hasil dan pembahasan · 2015-09-02 · menggunakan parameter-parameter generic pada konsepbalanced...
TRANSCRIPT
105
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan pembahasan penelitian akan diuraikan secara bersamaan dan tidak
terpisah pada bagian lain. Secara keseluruhan isi pada bagian ini mencakup jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan penelitian, yakni : (1) hasil dan pembahasan kinerja BSC
Puskesmas yang terdiri dari kinerja dari perspektif pelanggan, proses internal,
pembelajaran-pertumbuhan, dan keuangan. Selain itu juga diketengahkan tentang pola
atau arah kecenderungan kinerja Puskesmas yang ditunjukkan dengan peta Causal Loop
Diagram (CLD) yang berisi hubungan-hubungan variabel kinerja secara kausalitas, dan
umpan balik yang dihasilkan dari hubungan-hubungan di sana, yang berguna untuk
analisis kinerja BSC secara sistemik. ; (2) hasil dan pembahasan struktur atau bentuk
kinerja Puskesmas dalam analisis Stock Flow Diagram (SFD) yang menggambarkan
bentuk hubungan secara sistemik dan kuantitatif dan (3) model pemberdayaan Puskesmas
(elite, moderate, dan slum) yang terlebih dulu akan didahului dengan hasil uji sensitivitas,
dan skenario pemberdayaan.
Kinerja Puskesmas
Sebagaimana telah diketengahkan sebelumnya, kinerja Puskesmas diukur dengan
menggunakan parameter-parameter generic pada konsep Balanced Scorecard (BSC)
yang terdiri dari perspektif pelanggan, proses internal, keuangan, dan pembelajaran-
pertumbuhan. Siklus BSC pada penelitian ini tidak diakhiri dengan perspektif keuangan
sebagaimana konsep asli dari Kaplan dan Norton (1996), melainkan mengikuti anjuran
Niven (2003), yang diakhiri dengan perspektif pelanggan. Hal ini dilakukan karena
tujuan organisasi pelayanan publik (sebagaimana halnya Puskesmas) tidak berorientasi
pada keuntungan, melainkan pada kemanfaatan bagi masyarakat pengguna. Niven
menggambarkan siklus tersebut sebagai berikut:
106
Gambar 8 Siklus BSC Pada Organisasi Publik dan Nirlaba (Sumber: Niven, 2003:32) Kinerja Puskesmas dari Perspektif Pelanggan
Kinerja Puskesmas dari Perspektif Pelanggan diukur melalui parameter ‘Indeks
Kepuasan Pelanggan’ terhadap 5 (lima) dimensi service quality (servqual) menurut
Zaithaml, Parasuraman, Berry (1990). Adapun pengertian setiap dimensi dan pembobotan
pelanggan terhadap indikator-indikator dimensi servqual adalah sebagai berikut :
1. Dimensi tangible : Kemampuan pelayanan yang terlihat pada aspek fisik
Puskesmas. Diukur melalui 4 indikator dengan urutan bobot kepentingan menurut
persepsi pelanggan, yakni (a) lokasi Puskesmas yang mudah dijangkau kendaraan
umum (43 %) ; (b) keteraturan loket pendaftaran (28 %); (c) Kecukupan bangku
di ruang tunggu (17 %) ; dan (d) kebersihan toilet (12%)
2. Dimensi responsiveness : Kemampuan Puskesmas memberikan pelayanan yang
tanggap dan cepat, dengan indikator sesuai urutan bobot menurut kepentingan
pelanggan, yakni (a) keberadaan dokter hingga jam kerja usai (46 %) ; (b)
kecepatan pelayanan (21 %) ; (c) kerumitan prosedur pelayanan, (19 %) dan ( d)
tanggap terhadap keluhan pasien (14 %).
MISSION
INTERNAL PROCESSES
To satisfy customer while meeting budgetary constraints, at which business processes must we excel ? FINANCIAL
How do we add value for customers while controlling cost ?
CUSTOMER Whom do we define as our customer ? How do we create value for our customer ?
EMPLOYEE LEARNING AND
GROWTH How do we enable ourselves to grow and change, meeting ongoing demands ?
STRATEGY
107
3. Dimensi reliability : Kemampuan Puskesmas memberikan layanan yang handal
dan akurat, dengan indikator sesuai urutan bobot menurut kepentingan pelanggan,
yakni (a) kemampuan dokter dalam pengobatan (42 %) ; (b) ketersediaan obat-
obatan yang dibutuhkan (32 %) ; (c) petugas medis yang dapat diandalkan (26 %)
4. Dimensi assurance :Kemampuan Puskesmas untuk meyakinkan pelanggan dalam
layanannya, dengan indikator sesuai bobot menurut kepentingan pelanggan, yakni
(a) Jaminan bahwa setiap keluhan pelanggan akan diperhatikan (48%) ; (b)
jaminan bahwa setiap permintaan keringanan biaya pengobatan akan diperhatikan
(31%);(c) jaminan bahwa tidak ada pembedaan perlakuan terhadap pasien (21 %).
5. Dimensi empathy : kemampuan Puskesmas memberikan perhatian secara
individual pada pelanggan, dengan indikator sesuai urutan bobot menurut
kepentingan pelanggan, yakni (a) empathy dokter (51 %) ; (b) empathy petugas
paramedis (37 %) ; dan (c) empathy petugas pendaftaran (12 %)
Pengukuran Kepuasan Pelanggan sesungguhnya merupakan penjabaran dari misi
dan tujuan Puskesmas yang pada hakekatnya memang bertujuan memberikan pelayanan
kesehatan yang berorientasi pada kebutuhan pelanggan, yakni memberikan pelayanan
yang simpel dalam prosedur, terjangkau dalam tarif, profesional dan bermutu,
sebagaimana tercermin dalam strategi Puskesmas yang dapat disimak melalui Tabel 9
berikut ini.
Tabel 9 Misi, Tujuan, Pengukuran, Target dan Indikator Kinerja Kepuasan Pelanggan Puskesmas
PELANGGAN MISI TUJUAN STRATEGIS PENGUKURAN
TARGET INDIKATOR
Mengembangkan pelayanan Kesehatan yang berkualitas dan paripurna
Memberikan pelayanan kesehatan yang berorientasi pada masyarakat, simple dalam prosedur, terjangkau, professional, dan berkualitas
Indeks Kepuasan Pelanggan (IKP) Pada skala Likert (1-5)
IKP = 5
5 dimensi servqual -tangible -responsiveness - reliability - assurance, dan - empathy
Sumber : Hasil Kajian Penelitian, 2006
108
Hasil pengukuran kepuasan pelanggan selanjutnya akan ditampilkan dalam 3
(tiga) macam tabel, Tabel 10 menunjukkan ‘Nilai Indeks Kepuasan’ atau IKP pelanggan
berdasarkan bobot kepentingan pelanggan yang belum dikonversikan, tujuannya adalah
untuk melihat rentang nilai rating scor kepuasan pelanggan terendah 1 (sangat tidak
puas) dan tertinggi 5 (sangat puas). Sementara Tabel 11 berikutnya, menggambarkan
nilai ‘Mutu layanan’ Puskesmas berdasarkan pada IKP yang telah dikonversikan secara
normatif menurut ketentuan SK Kep.MENPAN No 25/2004, ke dalam data ordinal A :
sangat baik, B : Baik, C : sedang, D : Buruk, dan E : sangat buruk. Sedangkan pada
Tabel 12 membandingkan mutu layanan Puskesmas berdasarkan pada IKP yang telah
dikonversikan secara empirik atau aktual. Aplikasi kedua metode tersebut akan
menghasilkan nilai mutu kinerja layanan yang berbeda. Adapun maksud dari
pembandingan ini adalah untuk bahan pertimbangan Puskesmas dalam memilih
kebijakan penentuan metode konversi pada nilai mutu kinerja, apakah mengikuti normatif
yang dianjurkan pemerintah saat ini atau mengikuti cara-cara empirik sesuai
kenyataannya walaupun hasilnya akan lebih rendah.
Tabel 10 Nilai Indeks Kepuasan Pelanggan Terhadap Servqual Puskesmas
ELITE
MODERATE SLUM
Triwulan
Triwulan
Triwulan
PKC SERVQUAL 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Tangible
2.62 2.67 2.73 2.78 3.84
3.85 3.87 3.92 3.64 3.77 3.89 3.91
Responsiveness
3.45 3.49 3.49 3.56 3.51 3.51 3.58 3.59 3.92 3.90 3.97 3.97
Reliablity
4.02 4.20 4.40 4.57 3.16 3.18 3.20 3.23 3.92 4.00 4.02 4.03
Assurance
4.12 4.26 4.63 4.68 3.41 3.47 3.52 3.56 3.11 3.22 3.38 3.45
Empathy
3.90 3.98 3.99 4.09 3.30 3.36 3.47 4.59 3.83 3.96 3.97 4.02
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian (2006)
Terlihat dalam tabel di atas bahwa Nilai Indeks Kepuasan Pelanggan (IKP)
terhadap dimensi tangible Puskesmas elite nampak lebih rendah bila dibandingkan
dengan Puskesmas moderate, dan slum. Nilai IKP berada pada kisaran 2.62 hingga 2.78,
sedang pada moderate berada pada kisaran 3.84 – 3.92 dan pada slum berada pada
109
kisaran 3.64-3.91. Secara keseluruhan IKP menunjukkan kecenderungan nilai yang
meningkat sejak triwulan 1 hingga 4, walaupun tidak begitu tajam.
Selanjutnya IKP dikonversikan melalui metode penghitungan normatif menurut
IKM pada Kep.MENPAN No. 25/2004, maka terlihat pada tabel 11 bahwa mutu kinerja
layanan Puskesmas elite pada dimensi tangible adalah ‘sedang’ dengan nilai ‘C’,
sedangkan pada Puskesmas moderate (Kalideres) dan slum (Kemayoran), mutu kinerja
layanan tergolong ‘Baik’ atau ‘B’.
Tabel 11 Mutu Pelayanan Servqual Puskesmas (Metode Normatif)
ELITE
MODERATE SLUM
Triwulan
Triwulan
Triwulan
PKC SERVQUAL
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Tangible
C C C C B B B B B B B B
Responsiveness
B B B B B B B B B B B B
Reliablity
B B A A B B B B B B B B
Assurance
B B A A B B B B B B B B
Empathy
B B B B B B B B B B B B
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian (2006)
Apabila penghitungan konversi menggunakan metode empirik dengan cara
berdasarkan peringkat nilai interval, maka diperoleh hasil yang sangat berbeda dengan
penghitungan sebelumnya. Secara keseluruhan hasil konversi dapat disimak pada Tabel
12 berikut ini. Nampak dalam Tabel 12 bahwa nilai mutu kinerja pelayanan setiap
dimensi berbeda dengan nilai pada Tabel 11 sebelumnya. Sebagai contoh pada dimensi
tangible, Puskesmas elite Kebayoran Baru sebelumnya berada pada nilai mutu pelayanan
‘sedang’ dengan nilai ‘C’, pada Tabel 12, tangible berada pada nilai mutu ‘sangat
kurang’ dengan nilai ‘E’. Begitu pula dengan nilai kinerja yang lainnya, nampak
setingkat di bawah nilai mutu normatif.
Hasil metode empirik sering dipandang tidak nyaman, namun sebenarnya hasil
tersebut menunjukkan nilai aktual apa adanya dan justru menjadi masukan yang berguna
untuk menetapkan langkah-langkah perbaikan yang diperlukan.
110
Tabel 12 Indeks Kepuasan Pelanggan dan Mutu Pelayanan Puskesmas (Metode Empirik)
ELITE
MODERATE SLUM
Triwulan
Triwulan
Triwulan
PKC SERVQUAL 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Tangible
2.62 E
2.67 E
2.73 E
2.78 E
3.84 C
3.85 C
3.87 B
3.92 B
3.64 C
3.77 C
3.89 C
3.91 C
Responsiveness
3.45 C
3.49 C
3.49 C
3.56 C
3.51 C
3.51 C
3.58 C
3.59 C
3.92 B
3.90 B
3.97 B
3.97 B
Reliablity
4.02 B
4.20 B
4.40 A
4.57 A
3.16 D
3.18 D
3.20 D
3.23 D
3.92 B
4.00 B
4.02 B
4.03 B
Assurance
4.12 B
4.26 B
4.63 A
4.68 A
3.41 D
3.47 C
3.52 C
3.56 C
3.11 D
3.22 D
3.38 D
3.45 C
Empathy
3.90 B
3.98 B
3.99 B
4.09 B
3.30 D
3.36 D
3.47 C
4.59 C
3.83 C
3.96 B
3.97 B
4.02 B
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian (2005)
Rendahnya penilaian pelanggan terhadap tangible elite terutama karena sebagian
besar pelanggan menilai bahwa ruang tunggu di Puskesmas tidak memadai terutama pada
jam-jam sibuk. Untuk melayani jumlah pelanggan yang mencapai rata-rata 200 orang per
hari, luas ruang tunggu dan ketersediaan bangku-bangku yang ada terlihat kurang
memadai. Beberapa bangunan Puskesmas Kecamatan di wilayah DKI-Jakarta sebetulnya
telah cukup bagus dan sesuai dengan standar yang ditetapkan kurang lebih 1500 m2
untuk luas tanah, dan 1200 m2 untuk luas bangunan, namun masih terdapat beberapa
bangunan yang belum direnovasi dan masih terkesan tambal sulam dalam penataan
ruang-ruang pelayanan kesehatan, terutama ruang tunggu. Menurut keterangan Kepala
Puskesmas, renovasi hanya dapat dilakukan bila disetujui oleh Dinas Kesehatan terkait,
dalam hal ini Puskesmas sebagai unit teknis tidak memiliki kewenangan untuk
mengubah, membangun atau merenovasi atas inisitaif sendiri. Puskesmas hanya
mengusulkan dalam biaya anggaran tahunan (subsidi). Krisis ekonomi yang
berkepanjangan diduga akan meningkatkan potensi pasien dan jumlah pasien, yang harus
diimbangi dengan penataan ruang layanan kesehatan yang memadai.
Selanjutnya dapat digambarkan perbandingan tangible elite, moderate dan slum
sebagaimana nampak pada gambar grafik di bawah ini.
111
Pada grafik terlihat kinerja elite lebih rendah dari dua Puskesmas yang lain. Grafik
juga mengindikasikan suatu kecenderungan perilaku kinerja ke arah model ‘goal seeking
behaviour’ (Sterman, 2000: 111), perilaku yang mengacu pada pencarian keseimbangan
sistem karena masih terdapat kesenjangan antara kinerja yang diharapkan dengan
kenyataannya. Melalui perbaikan kesenjangan nilai tangible maka grafik akan tergambar
meningkat namun peningkatannya tidak akan linier, melainkan terbatas pada titik tujuan
yang diinginkan yakni skala penilaian 5. Selanjutnya bila titik tujuan tersebut telah
tercapai, grafik akan tergambar mendatar. Bentuk ini sekaligus menandakan adanya
perilaku non linier. Dapat dipastikan bahwa seluruh grafik dimensi-dimensi servqual
lainnya juga membentuk kecenderungan yang sama yakni ‘goal seeking behaviour’
Pada dimensi responsiveness, bobot tertinggi yang diberikan pelanggan adalah
indikator ‘keberadaan dokter hingga jam kerja Puskesmas usai’. Wajar kiranya jika
indikator tersebut diberikan bobot tertinggi, karena harapan terbesar pelanggan
Puskesmas adalah kesiapan dokter yang selalu berada di tempat ketika diperlukan.
Adapun ‘kecepatan pelayanan Puskesmas’, dipandang oleh pelanggan sebagai unsur
kedua terpenting, selanjutnya ‘kerumitan prosedur pelayanan’ dan ‘tanggapan dokter
terhadap keluhan pasien’, menempati bobot ketiga dan keempat.
Nampak dalam Tabel 10 Puskesmas slum memiliki IKP tertinggi bila
dibandingkan dengan elite maupun moderate. Secara keseluruhan IKP juga menunjukkan
kecenderungan meningkat pada setiap triwulan. Adapun nilai mutu pelayanan normatif
pada ketiga kelompok Puskesmas berada pada peringkat ‘B’ atau pada peringkat kinerja
Time
Tangible_Elit1
Tangible_Moderat2
Tangible_Slum3
1 2 3 4
2.8
3.0
3.3
3.5
3.8
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
Gambar 9 Grafik Perilaku Kinerja Tangible Puskesmas Elite,Moderate, dan Slum (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006)
112
pelayanan ‘Baik’, sedangkan secara empiris, elite terendah dengan nilai mutu ‘C’,
moderate berada pada peringkat kedua dengan nilai C, dan slum memiliki peringkat
tertinggi dengan nilai B. Adapun grafik perilaku kinerja responsiveness dapat disimak
pada gambar 10 berikut ini.
Faktor kunci penilaian responsifitas adalah kesiapsiagaan figur dokter dalam
pelayanan sehari-hari. Masyarakat menghendaki para dokter tidak mewakilkan urusan
pengobatan pada para perawat Dalam kenyataannya, para dokter dan petugas para medis
memiliki tugas ganda, yakni sebagai profesional medis dan administratif sekaligus. Para
dokter dan petugas paramedis tidak hanya bertanggung jawab di bidangnya, namun juga
bertanggung jawab terhadap urusan-urusan yang bersifat administratif seperti membuat
laporan rutin, bulanan dan tahunan, mengelola berbagai aktifitas yang bersifat
administratif manajerial seperti kunjungan ke masyarakat, rapat lintas sektoral,
penyuluhan, dan promosi, yang memakan waktu lebih besar dari pada fungsi utama
pelayanan medis. Dari hasil pengamatan dapat dikemukakan bahwa pasien sering
ditangani hanya oleh petugas paramedis atau bidan yang juga diberikan kuasa untuk
menulis resep, bila dokter sedang berkeliling melakukan kunjungan atau rapat-rapat lintas
sektoral, sedangkan dokter jaga tidak mampu menangani seluruh pasien terutama pada
jam-jam sibuk. Keinginan pelanggan agar dokter senantiasa siaga bila dibutuhkan tidak
Time
Responsiveness_elit1
Responsiveness_moderat2
Responsiveness_slum_3
1 2 3 43.0
3.2
3.4
3.6
3.8
4.0
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
Gambar 10 Grafik Perilaku Kinerja Responsiveness Puskesmas Elite,Moderate, dan Slum (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006)
113
mungkin terwujud tanpa adanya penataan kembali tugas dan fungsi dokter dan para
medis
Pada dimensi reliability, IKP tertinggi berada pada Puskesmas elite, yakni berkisar
pada nilai 4.12 hingga 4.68. bahkan pada triwulan 3 dan 4 mutu kinerja adalah ‘A’.
Kemudian peringkat kedua adalah Puskesmas slum dengan nilai kinerja normatif
maupun empirik ‘B’, sedangkan Puskesmas moderate memiliki nilai mutu kinerja
normatif ‘B’ namun pada nilai mutu kinerja empirik adalah ‘D’. Nampak pada tabel di
atas, kecenderungan peningkatan IKP pelanggan dari triwulan I hingga IV, walaupun
tidak begitu tajam, namun menunjukkan perbedaan yang cukup nyata.
Bobot paling tinggi yang diberikan pelanggan adalah pada indikator ‘kemampuan
dokter mengobati’, hal tersebut menggambarkan bahwa keandalan Puskesmas di mata
pelanggan adalah ‘kemampuan dokter’ dalam menyembuhkan pasien. Sedangkan
‘ketersediaan obat-obatan’ dan ‘kehandalan petugas medis’ me miliki peringkat penting
kedua dan ketiga di mata pelanggan. Berikut ini adalah grafik kecenderungan perilaku
reliability pada ketiga Puskesmas.
Sekali lagi data menunjukkan bahwa dimensi reliability erat kaitannya dengan
kehandalan SDM Puskesmas terutama dokter. Stigma yang melekat dan cenderung
meragukan kemampuan dokter-dokter Puskesmas terlanjur membentuk opini masyarakat.
Diduga penyebabnya adalah kurang seimbangnya jumlah pasien dengan jumlah dokter
Time
Reliability_Elit1
Reliability_Moderat2
Reliability_Slum3
1 2 3 4
3.5
4.0
4.5
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
Gambar 11 Grafik Perilaku Kinerja Reliability Puskesmas Elite,Moderate, dan Slum (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006)
114
yang melayani, sehingga terjadi work load dan waktu pemeriksaan tidak optimal atau
tidak sungguh-sungguh.
Pada dimensi assurance, IKP terendah nampak pada Puskesmas slum Sedangkan
Puskesmas elite memiliki IKP tertinggi dan kinerja terbaik yang dicapai pada triwulan 3
dan 4 dengan nilai mutu kinerja ‘A’, sedangkan moderate pada peringkat kedua, dengan
nilai mutu kinerja empirik ‘D’ pada triwulan pertama, dan meningkat ‘C’ pada triwulan
2, 3, dan 4. Peringkat ketiga adalah slum dengan nilai mutu kinerja empiris ‘D’. Secara
keseluruhan pola kecenderungan sejak triwulan 1 hingga 4 nampak meningkat, kendati
tidak tajam.
Indikator terpenting yang dinilai pelanggan adalah ‘keterjaminan bahwa setiap
keluhan pelanggan diperhatikan Puskesmas’. Pada aspek ini yang diharapkan pelanggan
adalah Puskesmas memperhatikan secara serius masukan-masukan pelanggan berupa
saran, komplain dan sebagainya dengan tindak lanjut kongkrit. Pada indikator
‘keterjaminan bahwa permintaan keringanan biaya diperhatikan’, adalah berkaitan
dengan biaya-biaya tindakan medis yang bervariasi besarannya. Sedangkan pada
‘keterjaminan bahwa Puskesmas tidak melakukan diskriminasi pelanggan’ dimaksudkan
diskriminasi terhadap pelanggan ‘gratis’ atau yang tidak mampu membayar biaya
tindakan, bahkan biaya karcis. Kecuali elite, moderate dan slum, berada pada peringkat
mutu pelayanan ‘D’ atau ‘Kurang’. Berikut ini adalah grafik kecenderungan perilaku
assurance.
Time
Assurance_Elit1
Assurance_Moderat2Assurance_Slum
3
1 2 3 4
3.5
4.0
4.5
1
2
3
1
2
3
1
23
1
2
Gambar 12 Grafik Perilaku Assurance Puskesmas Elit,Moderat, dan Slum (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006)
115
Dimensi terakhir adalah empathy yakni perhatian secara personal dari pihak
Puskesmas. Grafik kecenderungan empathy nampak pada Gambar 13 berikut ini, di
mana Puskesmas moderate memiliki kecenderungan peningkatan paling rendah bila
dibandingkan dengan dua Puskesmas yang lain.
Empathy adalah perhatian secara personal dari para petugas Puskesmas. Pada
umumnya pelanggan menginginkan ‘empathy dokter’ lebih penting dari pada petugas
yang lain. Hal tersebut nampak pada pembobotan tertinggi yang diberikan oleh pelanggan
pada indikator tersebut. IKP tertinggi adalah elite, sedangkan moderate menempati
peringkat ketiga. Ketiga kelompok Puskesmas nampak rata-rata memiliki nilai mutu
pelayanan normatif ‘B’ atau peringkat kinerja pelayanan ‘Baik’ , namun secara empiris,
nilai mutu pelayanan ‘B’ hanya terdapat pada Puskesmas elite, sedangkan pada
Puskesmas slum pada awalnya ‘C’ dan kemudian meningkat pada triwulan 2, 3, dan 4.
menjadi ‘B’. Peringkat terendah adalah pada Puskesmas moderate
Dari hasil temuan dapat disimpulkan bahwa secara empiris, mutu layanan tangibel
pada Puskesmas elite lebih rendah dibandingkan dengan dua Puskesmas lainnya .
Sedangkan pada mutu layanan responsiveness, yang terbaik adalah Puskesmas slum.
Pada dimensi reliability, mutu layanan yang terbaik adalah Puskesmas elite, demikian
pula mutu layanan pada dimensi assurance dan empathy. Secara keseluruhan fokus
penilaian pelanggan mengacu pada ‘kemampuan dokter’ dalam melayani.
Time
Empathy_Elit1
Empathy_Moderat2
Empathy_Slum3
1 2 3 4
3.4
3.6
3.8
4.0
1
2
3
1
2
3 1
2
3
1
2
Gambar 13 Grafik Perilaku Empathy Puskesmas Elit,Moderat, dan Slum (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006)
116
Upaya peningkatan kepuasan pelanggan, tidak selalu dihubungkan dengan
peningkatan keuntungan, namun lebih merupakan upaya untuk menciptakan ‘customer
intimacy’ (membangun hubungan dengan pelanggan untuk jangka panjang), yang
merupakan bagian dari konsep proposisi nilai pelanggan. Operasional yang baik,
bermutu, dan efisien serta mengacu pada kebutuhan pelanggan adalah aplikasi dari
konsep proposisi nilai pelanggan tersebut
Manfaat dari membangun hubungan yang baik dengan pelanggan adalah,
Puskesmas dapat mempertahankan pelanggan lama yang telah sembuh, dan tetap berobat
ke Puskesmas bila sakit, dan selanjutnya melalui promosi dari mulut ke mulut dari
pelanggan yang sembuh, kepercayaan terhadap pelayanan Puskesmas diharapkan
meningkat, artinya bahwa dengan peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja
Puskesmas, maka persentase jumlah pelanggan dapat ditingkatkan lebih besar dari yang
ada saat ini.
Karena sasaran Puskesmas adalah penduduk di wilayah Kecamatan di mana
Puskesmas beroperasi, maka laju pertambahan penduduk juga mempengaruhi jumlah
pelanggan Puskesmas. Bahkan penduduk di wilayah Kecamatan tersebut sekaligus
menjadi ‘pasar’ bagi Puskesmas. Pada saat ini jumlah penduduk yang menjadi pelanggan
Puskesmas kurang lebih baru 40 %, artinya masih sekitar kurang lebih 60 % yang dapat
ditingkatkan potensinya sebagai pelanggan Puskesmas. (Sumber: data sekunder
penelitian, 2005).
Variabel berikutnya yang juga diduga mempengaruhi total jumlah pasien adalah
variabel ‘harga’ atau tarif yang terjangkau. Keterjangkauan tarif Puskesmas antara lain
juga dapat dilihat melalui perbandingan jumlah pasien gratis dengan total pasien per hari
yang tidak begitu mencolok, keadaan ini membuktikan bahwa daya beli masyarakat atas
tarif layanan kesehatan di Puskesmas masih terjangkau atau sesuai dengan daya beli
mereka. Semakin meningkat kualitas Puskesmas, maka diasumsikan bukan hanya orang
miskin/tidak mampu yang akan berobat ke Puskesmas, namun juga sebagian besar
masyarakat menengah, dari data diketahui bahwa lebih dari setengah jumlah pengunjung
Puskesmas elite berpenghasilan rata-rata di atas Rp.1.500.000,- , sedangkan Puskesmas
moderate dan slum rata-rata berpenghasilan di bawahnya. Fakta lain juga menunjukkan,
bahwa Puskesmas elite dalam satu hari rata-rata dikunjungi oleh 3.55 % pasien gratis (8
117
orang) dari total kunjungan sebesar 100 hingga 150 orang pasien per hari. Sedangkan
Puskesmas moderate, 8.5 % pasien gratis per hari (17 orang), dari total kunjungan rata-
rata 130 hingga 200 orang perhari, adapun Puskesmas slum dikunjungi 17.6 % pasien
gratis per hari (37 orang) dari rata-rata total kunjungan pasien 150 hingga 250 orang
perhari (Sumber: diolah dari data sekunder penelitian, 2005).
Aspek tarif menjadi kekuatan atau daya tarik tersendiri bagi Puskesmas, sebab di
wilayah Kecamatan di mana Puskesmas beroperasi, hampir tidak ada layanan kesehatan
sejenis yang memasang tarif semurah Puskesmas yakni sekali kunjungan 2000 rupiah
sudah termasuk pemeriksaan dan obat. Jika aspek tarif ini diimbangi dengan pelayanan
yang bermutu, maka tidak mustahil hal ini dapat mengubah citra Puskesmas dan menjadi
pelayanan kesehatan yang diminati oleh masyarakat.
Kinerja Puskesmas dari Perspektif Proses Internal
Perspektif kedua untuk mengukur kinerja Puskesmas adalah proses internal.
penekanan utama perspektif ini yakni pada pentingnya mata rantai proses produksi yang
diawali dengan proses inovasi – yakni bagaimana organisasi mengidentifikasikan
kebutuhan pelanggan saat ini maupun yang akan datang, kemudian mengembangkan
identifikasi tersebut ke dalam rencana-rencana maupun tindakan kongkrit – kemudian
pada proses operasi – yakni bagaimana organisasi menyampaikan produk atau jasanya
kepada pelanggan saat ini – dan yang terakhir adalah pada proses layanan purna jual,
yakni bagaimana organisasi menciptakan layanan setelah penjualan guna memberikan
nilai tambah bagi kepuasan pelanggan (Kaplan dan Norton, 1996:92).
Pada penelitian ini karena proses purna jual belum menjadi kelaziman dan belum
dilaksanakan di Puskesmas, maka ukuran proses internal hanya mengacu pada kinerja:
(1) Inovasi, dan (2) Operasi,
Adapun misi, dan tujuan strategis yang menjadi basis parameter proses internal
Puskesmas dapat disimak pada Tabel 13 berikut ini.
118
Tabel 13 Misi, Tujuan, Pengukuran, Target dan Indikator Kinerja Proses Internal Puskesmas
PROSES INTERNAL MISI TUJUAN STRATEGIS PENGUKURAN
TARGET INDIKATOR
Mengembangkan pelayanan Kesehatan yang berkualitas dan paripurna
Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan (Yankes ) terutama dalam pengembangan produk layanan jasa kesehatan dan peningkatan manajemen kesehatan yang handal.
1.Mutu Kinerja Inovasi 2.Mutu Kinerja Operasi
Realisasi 1
1. Target Realisasi Inovasi pelayanan baru 2. Lead Time Pelayanan 3. Ketersediaan Obat. 4. Penyuluhan
Sumber : Hasil Kajian Penelitian, 2006
1). Kinerja Inovasi
Hasil identifikasi pelayanan baru (inovasi) pada 3 (tiga) Puskesmas sampel adalah
(1) perubahan tatacara pelayanan kesehatan yang mengarah pada efisiensi prosedur, (2)
praktek sore hari, (3) kontrak dokter spesialis, (4) paket layanan persalinan, (5) Sistem
Informasi Kesehatan (SIK), dan (6) International Standart Organization (ISO).
Selanjutnya kinerja inovasi diukur dari kemampuan Puskesmas dalam
merealisasikan setiap target program-program inovasi yang telah dirancang. Adapun
metode pengukurannya adalah sebagai berikut : Pertama, menetapkan nilai skor standar
dari perkembangan proses pelaksanaan program-program inovasi di Puskesmas. Kecuali
program SIK dan ISO, 4 program lainnya ditargetkan selesai akhir tahun 2005.
Sedangkan SIK dan ISO ditargetkan selesai 2007. Target penyelesaian program
kemudian diterjemahkan ke dalam nilai skor perkembangan program pada setiap
triwulan. Kecuali SIK dan ISO, pada triwulan 1, program ditargetkan sampai pada tahap
‘rencana’, dan diberikan skor 0.25. Pada triwulan 2, target program adalah ‘pembahasan’
dengan nilai skor 0.50. Sementara pada triwulan 3, target program adalah ‘persiapan’
dengan nilai skor adalah 0.75, dan pada akhir tahun 2005 atau triwulan 4, target program
adalah ‘realisasi’ dengan nilai skor 1.
Pada program SIK dan ISO karena program ditargetkan selesai setelah tahun 2007,
maka target program pada triwulan 1 adalah ‘rencana’ dengan nilai skor 0.25, triwulan 2
adalah ‘pembahasan 1’ dengan nilai skor 0.50, pada triwulan 3 masih dalam ‘pembahasan
119
2’ dengan nilai skor 0.75, dan pada triwulan 4 program masih dalam tahap ‘pembahasan
3’ dengan nilai skor 0.75.
Tabel 14 Target dan Penilaian Perkembangan Program Inovasi Puskesmas
Target dan Penilaian Hingga th 2005 Triwulan 1 Triwulan 2 Triwulan 3 Triwulan 4
No.
Program Inovasi
T P T P T P T P 1 Perubahan tata cara
pelayanan kesehatan
Renc
0.25
Pemb
0.50
Pers
0.75
Real
1.0 2 Praktek sore hari Renc 0.25 Pemb 0.50 Pers 0.75 Real 1.0 3 Kontrak dokter
spesialis
Renc
0.25
Pemb
0.50
Pers
0.75
Real
1.0 4. Paket layanan
persalinan
Renc
0.25
Pemb
0.50
Pers
0.75
Real
1.0 5. Sistem Informasi
Kesehatan (SIK)
Renc
0.25
Pemb
0.50
Pemb
0.75
Pemb
0.75 6. ISO Renc 0.25 Pemb 0.50 Pemb 0.75 Pemb 0.75
Total Nilai Per Triwulan 1.50 3.0 4.5 5.5 Keterangan :
1. Program 1 – 4 ditargetkan 1 tahun anggaran (2005) harus dapat direalisasikan 2.Program 5 dan 6 ditargetkan 2 tahun anggaran yakni akhir 2007 selesai, sedangkan tahun 2005 target adalah perencanaan dan pembahasan untuk persiapan. 3.Singkatan : T : Target P : Penilaian Renc : Tahap Rencana Pemb: Tahap Pembahasan Pers : Tahap Persiapan Real : Tahap Realisasi (Program telah dapat dijalankan)
Sumber : Hasil pengolahan Data Sekunder Penelitian (2005)
Kedua, Untuk menentukan mutu kinerja inovasi, nilai-nilai skor pada tabel
tersebut kemudian dikonversikan ke dalam nilai interval dan nilai mutu layanan.
Selanjutnya kedua nilai konversi digunakan sebagai pembanding dalam menilai kinerja
pencapaian target program-program inovasi Puskesmas pada setiap triwulan. Berikut ini
adalah tabel tentang nilai konversi tersebut.
Tabel 15 Pedoman dan Pembanding Penilaian Kinerja Inovasi Per Triwulan
Nilai Interval
Nilai Interval Tw.1
(nilai 1.5)
Nilai Interval Tw. 2
(nilai 3 )
Nilai Interval Tw.3
(nilai 4.5)
Nilai Interval Tw.3
(nilai 5.5)
Mutu Kinerja Inovasi
1 2 3 4 5 6 1 0 - 0.3 0 - 0.60 0 - 0.90 0 - 1.10 E 2 0.31 - 0.6 0.61 - 1.20 0.91 - 1.80 1.11 - 2.20 D 3 0.61 - 0.9 1.21 - 1.80 1.81 - 2.70 2.21 - 3.30 C 4 0.91 - 1.2 1.81 - 2.40 2.71 - 3.60 3.31 - 4.40 B 5 1.21 - 1.5 2.41 - 3.00 3.61 - 4,50 4.41 - 5.50 A
Sumber: Hasil Pengolahan Data Sekunder Penelitian (2005)
120
Pada Puskesmas elite, temuan menunjukkan bahwa pada triwulan 1 nilai
pencapaian program inovasi sebesar total 1.0 yang diperoleh dari terpenuhinya target
perencanaan program sebesar 0.25 pada program inovasi nomor 1 hingga 4, sedangkan
pada program SIK dan ISO perencanaannya belum dijalankan sehingga nilainya nol.
Tabel 16 Mutu Kinerja Program Inovasi Puskesmas Elite
Target dan Penilaian Hingga th 2005 Triwulan 1 Triwulan 2 Triwulan 3 Triwulan 4
No.
Program Inovasi
T P T P T P T P 1 Perubahan tata cara
pelayanan kesehatan
Renc
0.25
Pemb
0.50
Pers
0.75
Real
1.0 2 Praktek sore hari
Renc
0.25 -
0
Pers
0.75
Real
1.0
3 Kontrak dokter spesialis
Renc
0.25
Pemb
0.50
Pers
0.75
Real
1.0
4. Paket layanan persalinan
Renc
0.25
Pemb
0.50
-
0
Real
1.0
5. Sistem Informasi Kesehatan (SIK)
-
0
Renc
0.25
Pemb
0.50
-
0
6. ISO -
0
Renc
0.25
Pemb
0.50
-
0
Total Nilai 1.0 2.00 3.25 4.0 Mutu Kinerja Inovasi (Elit) 4 (Baik / B) 4 (Baik / B) 4 (Baik/ B) 4 (Baik/ B) Sumber: Hasil Identifikasi Data Sekunder Penelitian (2005)
Pada triwulan 2, satu-satunya target yang tidak terpenuhi adalah pada program
inovasi nomor 2 yakni ‘praktek sore hari’ seharusnya pada triwulan 2 program tersebut
telah sampai pada ‘pembahasan’ namun karena sesuatu hal, tidak dijalankan. Adapun
nilai pencapaian program-program inovasi adalah 2.0, nilai ini termasuk dalam skala
interval 4. Sedangkan pada triwulan 3, giliran program inovasi paket pelayanan
persalinan yang tidak berjalan, sehingga nilai pencapaian program-program inovasi total
adalah adalah 3.25, dan termasuk dalam skala interval 4 juga. Terakhir pada triwulan 4,
nilai pencapaian program-program inovasi adalah 4.0, karena program SIK dan ISO
stagnan. Total nilai berada pada skala interval 4. Dapat disimpulkan bahwa keseluruhan
kinerja inovasi elite menunjuk skala interval 4 yang berarti penilaian ‘Baik’ atau
memiliki mutu kinerja ‘B’
Berikut ini adalah Tabel 17 yang menggambarkan nilai target program-program dan
mutu kinerja inovasi Puskesmas moderate.
121
Tabel 17 Mutu Kinerja Program Inovasi Puskesmas Moderate
Target dan Penilaian Hingga th 2005 Triwulan 1 Triwulan 2 Triwulan 3 Triwulan 4
No.
Program Inovasi
T P T P T P T P 1 Perubahan tata cara
pelayanan kesehatan -
0
Renc
0.25
Pemb
0.50
Pers
0.75
2 Praktek sore hari -
0
Renc
0.25
Pers
0.75
Real
1.0
3 Kontrak dokter spesialis
Renc
0.25
Pemb
0.50
Pers
0.75
Real
1.0
4. Paket layanan persalinan
Renc
0.25
-
0
Pers
0.75
Real
1.0
5. Sistem Informasi Kesehatan (SIK)
Renc
0.25
Renc
0.25
-
0
-
0
6. ISO -
0
Renc
0.25
Pemb
0.50
Pemb
0.50
Total Nilai 0.75 1.50 3.25 4.25 Mutu Kinerja Inovasi (Moderat)
3 (Cukup / C) 3 (Cukup / C) 4 (Baik/ B) 4 (Baik/ B)
Sumber: Hasil Identifikasi Data Sekunder Penelitian (2005)
Pada triwulan 1 program inovasi yang sesuai target (sampai tahap rencana)
adalah program ‘kontrak dokter spesialis’, ‘paket layanan persalinan’ dan ‘SIK’, sehingga
nilainya adalah 0.75. Nilai ini berada pada ranking skala ordinal 3 atau mutu kinerja
‘cukup’ atau ‘C’. Pada triwulan 2, seharusnya seluruh program berada pada tahap
pembahasan, namun ada 3 program yang tidak memenuhi target antara lain ‘paket
layanan persalinan’ (tidak memerlukan pembahasan lagi melainkan langsung ke
persiapan). Sedangkan program ISO yang seharusnya sudah sampai pembahasan, pada
triwulan 2 baru direncanakan. Dengan demikian total nilai skor pada triwulan 2 adalah
1.50, nilai ini termasuk dalam ranking nilai ordinal 3 atau ‘Cukup’ (C).
Pada triwulan 3, satu-satunya program yang tidak sesuai target adalah ‘SIK’, total
nilai skor adalah 3.25. Nilai ini termasuk dalam ranking skala ordinal 4 atau ‘Baik’
dengan mutu kinerja ‘B’. Sedangkan pada triwulan 4, program yang belum memenuhi
target sekali lagi adalah ‘SIK’ dan ‘perubahan tata cara pelayanan kesehatan’ yang
seharusnya telah direalisasikan ternyata masih dalam persiapan, sehingga total nilai skor
adalah 3.25 dan berada pada ranking nilai ordinal 4 atau ‘Baik’ dengan mutu kinerja ‘B’
Berikut ini nilai pencapaian target dan mutu kinerja inovasi pada Puskesmas
(Slum).
122
Tabel 18 Mutu Kinerja Program Inovasi Puskesmas Slum
Target dan Penilaian Hingga th 2005 Triwulan 1 Triwulan 2 Triwulan 3 Triwulan 4
No.
Program Inovasi
T P T P T P T P 1 Perubahan tata cara
pelayanan kesehatan -
0
Renc
0.25
Pemb
0.50
-
0
2 Praktek sore hari -
0
Renc
0.25
Pers
0.75
Real
1.0
3 Kontrak dokter spesialis
Renc
0.25
Pemb
0.50
Pers
0.75
Real
1.0
4. Paket layanan persalinan
Renc
0.25
-
0
Pers
0.75
Real
1.0
5. Sistem Informasi Kesehatan (SIK)
Renc
0.25
Renc
0.25
-
0
-
0
6. ISO Renc
0.25
Renc
0.25
Pemb
0.50
Pemb
0.50
Total Nilai 1.00 1.50 3.25 3.50 Mutu Kinerja Inovasi (Slum) 3 (Cukup / C) 3 (Cukup / C) 4 (Baik/ B) 4 (Baik/ B) Sumber: Hasil Identifikasi Data Sekunder Penelitian (2005)
Pada triwulan 1 terdapat 2 program inovasi yang tidak memenuhi target yakni,
program ‘perubahan tata cara pelayanan kesehatan’ dan ‘praktek sore hari’, kedua
program tersebut seharusnya telah berada pada tahap perencanaan, pada kenyataannya
perencanaannya diundur ke triwulan 2. Nilai yang diperoleh adalah 1.0 dan termasuk
dalam ranking skala ordinal 3 atau ‘Baik’ dengan mutu kinerja ‘B’. Selanjutnya pada
triwulan 2, program inovasi yang tidak memenuhi target adalah ‘paket layanan
persalinan’ , kemudian ‘SIK’ dan ‘ISO’ (kedua program tersebut seharusnya sudah
sampai pembahasan), total nilai skor adalah 1.50 dan termasuk dalam ranking skala
ordinal 3 atau ‘Cukup’ dengan mutu kinerja ‘C’.
Pada triwulan 3, satu-satunya target yang tidak terpenuhi adalah ‘SIK’. Program
ini pada triwulan 3 seharusnya telah berada pada tahapan pembahasan pertama, sehingga
total nilai skor adlah 3.25 atau berada pada skala ordinal 4 yang berarti ‘Baik’ dengan
mutu kinerja ‘B’. Sedangkan pada triwulan 4, terdapat 2 program yang tidak memenuhi
target, yakni program ‘perubahan tata cara pelayanan kesehatan’ yang belum terealisasi,
dan program ‘SIK’ yang belum dibahas. Total nilai skor adalah 3.50 atau ‘Baik’ dengan
mutu kinerja ‘B’.
2). Kinerja Operasi
Indikator kinerja operasi mencakup waktu layanan, ketersediaan obat, dan indeks
penilaian penyuluhan. Berikut adalah hasilnya.
123
a. Waktu Layanan
Indikator pertama pada proses operasi adalah ‘waktu layanan’. Sebelum data tentang
‘waktu layanan’ diketengahkan, terlebih dahulu dikemukakan bahwa jam kerja
Puskesmas secara resmi adalah 8 (delapan) jam per hari kerja (Senin – Jum’at), yang
dimulai dari pukul 08.00 – 16.00. Selama jam kerja tersebut, Puskesmas mengalokasikan
6 (enam) jam yakni dari pukul 08.00 – 14.00 untuk pelayanan operasional di dalam
gedung (pengobatan/kuratif) dan di luar gedung (penyuluhan, promosi, dsb), sedangkan 2
(dua) jam selebihnya digunakan untuk urusan administratif. Pembagian tugas-tugas yang
mencakup di dalam dan di luar gedung juga membawa implikasi bahwa konsentrasi
petugas terbagi menjadi dua. Kondisi inilah yang nampak bahwa tidak semua petugas
medis dan paramedis selalu berada di dalam gedung untuk melayani pengobatan. Untuk
menghitung waktu layanan, digunakan sampel poliklinik umum, karena jumlah
pelanggan terbanyak (di atas 50 %) terpusat di poliklinik umum, demikian pula SDM
yang bertugas, yakni dipilih dokter umum dan perawat umum yang bertugas di poliklinik
umum. Berdasarkan hal tersebut, maka ‘waktu layanan’ dapat diketahui dengan cara
membagi jam kerja operasional di dalam gedung dengan rata-rata jumlah pasien yang
ditangani oleh seorang petugas medis dan paramedis.
Untuk menilai seberapa besar mutu layanan yang diperoleh, maka diperlukan nilai
pembanding yakni waktu ideal yang seharusnya dipakai oleh pihak Puskesmas. Secara
normatif, pihak Puskesmas menyatakan bahwa waktu ideal yang dijadikan standar waktu
pelayanan yakni 15 – 30 menit untuk melayani 1 (satu) orang pasien dengan kasus umum
yang tidak memerlukan tindakan medis yang memakan waktu lebih dari yang ditentukan.
Selanjutnya nilai skor dapat ditentukan dengan berpedoman pada perbandingan waktu
ideal dan persebarannya sebagaimana tertera pada tabel berikut ini.
Tabel 19 Pedoman Penilaian Waktu Layanan
WAKTU LAYANAN SKOR
MUTU Kurang dari 15 menit Lebih dari 30 menit
KINERJA
5 A Waktu ideal 15-30 menit Sangat Baik 4 B 10-14.9 menit 30.1-35 menit Baik 3 C 5-9.9 menit 35.1-40 menit Sedang 2 D 0-4.9 menit 40.1-45 menit Tidak Baik 1 E - > 45 menit Sangat Tidak Baik
Sumber : Hasil Pengolahan Data Sekunder Penelitian (2005)
124
Tabel berikut ini adalah hasil penghitungan Waktu Layanan di Puskesmas elite
Tabel 20 Waktu Layanan Aktual Puskesmas Elite NO
KETERANGAN TRIWULAN 1 TRIWULAN 2 TRIWULAN 3 TRIWULAN 4
1 Jumlah Pelanggan Poli Umum/hari
117 orang 121 orang 132 orang 145 orang
2 Rasio Jumlah SDM Medis + paramedis/hari berbanding pelanggan /hari
4 : 117 orang
(1 : 29 orang)
4 : 121 orang (1 : 30 orang)
4 : 132 orang (1 : 33 orang)
4 : 145 orang (1 : 36 orang)
3 Jumlah Jam kerja/hari 360 menit/hari 360 menit/hari 360 menit/hari 360 menit/hari
Waktu layanan Mutu Kinerja
360 : 29 =
12.4 menit Baik (B)
360 : 30 = 12 menit Baik (B)
360 :33 =
10.9 menit Baik (B)
360 : 36 = 10 menit Baik (B)
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian (2006)
Berdasarkan pada pedoman pemberian skor tersebut, maka dapat diketahui nilai
skor waktu layanan Puskesmas elite, yakni pada triwulan 1, adalah 12.4 menit, nilai ini
termasuk dalam skor 4 dan mutu layanan B (baik). Pada triwulan 2, waktu layanan aktual
adalah 12 menit, nilai ini termasuk dalam skor 4 dengan mutu layanan B. Sedangkan
pada triwulan 3 waktu layanan aktual adalah 10.9 menit, dengan demikian skornya adalah
4, dengan mutu layanan B. Terakhir pada triwulan 4, waktu layanan aktual adalah 10
menit, nilai ini termasuk dalam skor 4, dan termasuk dalam mutu layanan B.
Menyimak mutu kinerja yang diperoleh Puskesmas elite, maka nampak
kecenderungan yang terjadi adalah semakin meningkat jumlah pasien, semakin cepat
waktu yang digunakan untuk melayani pasien. Terlihat dari triwulan 1 hingga ke 4
menunjukkan waktu pelayanan yang semakin berkurang seiring dengan peningkatan
jumlah pasien, yakni pada kisaran 10 menit per pasien. Jika peningkatan jumlah pasien
tidak diikuti dengan penambahan SDM medis, maka kecenderungan tersebut dapat
membahayakan mutu pelayanan karena kemungkinan petugas sangat cepat memeriksa
pasien, sebagai akibat bertambahnya work load petugas, implikasinya sama yakni akan
menurunkan mutu layanan.
Dari hasil identifikasi Waktu Layanan Puskesmas Kalideres (moderate), diketahui
bahwa pada triwulan 1 waktu layanan aktual Puskesmas moderate Kalideres adalah 16.4
menit, termasuk dalam skor ideal yakni 5 ( mutu kinerja A). Selanjutnya pada triwulan 2
adalah 15 menit (mutu kinerja A), juga termasuk dalam skor ideal, dan pada triwulan 3
125
adalah 14.4 menit, skor nya adalah 4 (mutu kinerja B), serta pada triwulan terakhir adalah
13.3 menit atau skor 4 (mutu kinerja B). Waktu layanan aktual tersebut masih dalam
batas waktu ideal yang ditentukan yakni 15 hingga 30 menit. Namun sebagaimana yang
terjadi pada Puskesmas elite kecenderungan yang terjadi adalah semakin meningkat
jumlah pasien semakin berkurang waktu layanan yang digunakan, jika masih berada pada
batas waktu ideal, maka hal tersebut tidak akan menimbulkan masalah, namun jika keluar
dari batas ideal, maka jelas akan mempengaruhi mutu layanan dan beban kerja pegawai.
Tabel 21 Waktu Layanan Aktual Puskesmas Moderate
NO
KETERANGAN TRIWULAN 1 TRIWULAN 2 TRIWULAN 3 TRIWULAN 4
1 Jumlah Pelanggan Poli Umum/hari
110 orang 118 orang 125 orang 135 orang
2 Rasio Jumlah SDM Medis + paramedis/hari berbanding pelanggan /hari
5 : 110 orang
(1 : 22 orang)
5 : 118 orang (1 : 24 orang)
5 : 125 orang (1 : 25 orang)
5 : 135 orang (1 : 27 orang)
3 Jumlah Jam kerja/hari
360 menit/hari 360 menit/hari 360 menit/hari 360 menit/hari
Waktu layanan Mutu Kinerja
360 : 22 =
16.4 menit Sangat baik (A)
360 : 24 = 15 menit
Sangat baik (A)
360 :25 =
14.4 menit Baik (B)
360 : 27 = 13.3 menit Baik (B)
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian (2006)
Pada Puskesmas slum Jumlah SDM yang bertugas rata-rata perhari adalah 4
orang terdiri dari 2 orang dokter umum dibantu dengan 2 orang perawat umum, waktu
layanan di Puskesmas slum berada pada kisaran 10 menit hingga 12.4 menit untuk
melayani pelanggan sejumlah 115 orang perhari hingga 142 orang per hari.
Pada tabel berikut , nampak bahwa semakin meningkat jumlah pelanggan, petugas
menggunakan waktu layanan yang semakin singkat. Jika batas minimal waktu ideal
adalah 15 menit, maka yang perlu dipertimbangkan dalam temuan tersebut adalah
perlunya menambah jumlah petugas, agar mutu layanan tetap dapat dipertahankan,
artinya jangan sampai terjadi waktu layanan yang terlalu cepat hanya karena jumlah
pelanggan yang banyak. Dari empat triwulan, Puskesmas slum memperoleh skor 4 atau
mutu kinerja baik (B) pada setiap triwulannya.
126
Tabel 22 Waktu Layanan Aktual Puskesmas Slum
NO
KETERANGAN TRIWULAN 1 TRIWULAN 2 TRIWULAN 3 TRIWULAN 4
1 Jumlah Pelanggan Poli Umum/hari
115 orang 124 orang 128 orang 142orang
2 Rasio Jumlah SDM Medis + paramedis/hari berbanding pelanggan /hari
4 : 115 orang
(1 : 28 orang)
4 : 124orang (1 : 31 orang)
4 : 128 orang (1 : 32 orang)
4 : 142 orang (1 : 36 orang)
3 Jumlah Jam kerja/hari
360 menit/hari 360 menit/hari 360 menit/hari 360 menit/hari
Waktu layanan Mutu Kinerja
360 : 28 = 12.9 menit Baik (B)
360 : 31= 11.6 menit Baik (B)
360 :32 =
11.3 menit Baik (B)
360 : 36= 10 menit Baik (B)
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian (2006)
Dari paparan waktu layanan di ketiga Puskesmas sampel. Maka dapat disimpulkan
bahwa kinerja terbaik adalah Puskesmas moderate, terutama di triwulan 2, di mana waktu
layanan yang digunakan berada pada ranking waktu minimal yang ideal. Selebihnya
adalah waktu layanan yang digunakan rata-rata di bawah waktu minimal ideal (15 menit),
dan hal ini harus menjadi perhatian terutama masalah ketelitian petugas medis dalam
memeriksa pasien.
b. Ketersediaan Obat
Indikator variabel operasi yang kedua, adalah ketersediaan obat. Norma yang
digunakan Puskesmas dalam menjamin ketersediaan obat adalah didasarkan pada jumlah
pasien pada tahun anggaran sebelumnya ditambah dengan 25 %. Di samping itu
penyediaan obat juga memperhitungkan norma kelebihan atau kekurangan obat, batas
toleransi kelebihan atau kekurangan adalah 25 %. Dengan demikian jika jumlah pasien
per triwulan diketahui, maka penghitungan norma kesediaan obat per triwulan juga dapat
diketahui. Selanjutnya dalam penghitungan norma kesediaan obat, penghitungan akan
menggunakan sampel poliklinik umum dengan sampel obat infeksi saluran pernapasan
atas (ISPA) yang termasuk dalam daftar 10 (sepuluh) penyakit terbanyak di ketiga
Puskesmas.
Informasi yang perlu diketengahkan dalam penghitungan ketersediaan obat adalah ;
(1) Data ketersediaan obat yang seharusnya pada setiap triwulan berdasarkan jumlah
pasien per triwulan saat ini ; (2) Data ketersediaan obat aktual berdasarkan perhitungan
jumlah pasien tahun lalu (pesediaan obat di Puskesmas didasarkan pada perkiraan jumlah
127
pasien tahun lalu) ; (3) Data tentang kesejangan atau gap antara ketersediaan yang
seharusnya dengan yang aktual. Toleransi besaran gap maksimal adalah 25 % , (Sumber:
judgment pihak Puskesmas), artinya gap ideal adalah jika tidak terjadi kelebihan obat
atau gap = 0 %. Selanjutnya kinerja akan dilihat dari toleransi gap ketersediaan obat ini ;
(4) Penentuan jenis penyakit dan obat. Oleh karena jenis obat dan jenis penyakit yang ada
di Puskesmas sangat bervariasi dan cukup banyak, maka pengukuran menggunakan
sampel yakni poliklinik umum dengan jenis penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan
Akut), dengan alasan bahwa poliklinik umum adalah poli yang paling besar
pengunjungnya, lebih dari 50 % pasien Puskesmas adalah pengujung poli umum,
sedangkan penyakit ISPA adalah salah satu dari 10 besar penyakit yang paling banyak
diderita oleh pasien umum. Selanjutnya dilakukan penghitungan jumlah obat dalam butir
per pasien dengan berdasarkan pada norma dosis dan macam obat untuk ISPA.
Tabel 23 Pedoman Penilaian Ketersediaan Obat
SKOR MUTU KETERSEDIAAN OBAT PER TRIWULAN
5 A Gap ketersediaan obat ideal 0 % 4 B ± 0.1 - 5% 3 C ± 5.1 – 10 % 2 D ± 10.1 – 15% 1 E ±> 15%
Sumber : Hasil Pen golahan Data Sekunder Penelitian (2005)
Norma obat untuk pasien ISPA di Puskesmas adalah mengacu pada jenis dan
komposisi obat serta dosis minum perhari. Pada umumnya komposisi obat yang diberikan
untuk pasien ISPA adalah (1) paracetamol, (2) amoxiciline, (3) obat batuk, dan (4) CTM.
Jadi ada 4 jenis obat. Masing-masing diberikan dalam dosis 1 hari 3 kali selama 3 hari.
Berdasarkan perhitungan tersebut, kebutuhan butir obat dapat dihitung, yakni untuk 1
orang pasien ISPA diperlukan paracetamol 9 butir, amoxiciline 9 butir, obat batuk 9 butir,
dan CTM 9 butir.
Berikut ini secara berturut-turut disajikan hasil verifikasi ketersediaan obat di
Puskesmas melalui sampel penghitungan obat yang dibutuhkan oleh pasien penyakit
128
ISPA, serta perbandingannya dengan normatif tahun sebelumnya yang telah ditetapkan
oleh Puskesmas.
Jumlah pasien di Puskesmas elite pada triwulan 1 adalah 15.192 (lima belas ribu
seratus sembilan puluh dua) orang. Dari jumlah tersebut, 62 % atau 9.419 (Sembilan ribu
empat ratus sembilan belas) adalah pengunjung poli umum. Selanjutnya 72 % atau 6.782
(enam ribu tujuh ratus delapan puluh dua) adalah pasien ISPA.
Pada triwulan 2 Jumlah pasien di Puskesmas elite adalah 15.975 (lima belas ribu
sembilan ratus tujuh puluh lima) orang, 55 % atau 8.786 (delapan ribu tujuh ratus delapan
puluh enam) orang adalah pasien poli umum. Dari jumlah pasien poli umum tersebut, 65
% penderita ISPA yakni 5.710 (lima ribu tujuh ratus sepuluh) orang
Pada triwulan 3, terdapat 62 % dari 17.048 (tujuh belas ribu empat puluh
delapan) orang adalah pasien poli umum. 54 % atau 5708 (lima ribu delapan) orang
diantaranya adalah penderita ISPA. Pada triwulan 4 ada 54 % dari 19.350 (sembilan
belas ribu tiga ratus lima puluh) orang adalah pasien poli umum, 59 %-nya atau 6.165
(enam ribu seratus enam puluh lima) orang adalah penderita ISPA Berdasarkan pada data
jumlah pasien ISPA per triwulan tersebut selanjutnya diketahui jumlah obat yang
dibutuhkan adalah dengan mengalikan kebutuhan obat berdasarkan norma dosis dengan
jumlah pasien ISPA, hasilnya adalah sebagai berikut :
Tabel 24 Kinerja Ketersediaan Obat Puskesmas elite, Per Triwulan (2005)
Uraian Triwulan 1 (dalam butir)
Triwulan 2 (dalam butir)
Triwulan 3 (dalam butir)
Triwulan 4 (dalam butir)
Jenis Obat ISPA: 1. Paracetamol
6.782 x 9 = 61.038
5.710x9= 51.390
5.708x9=51.372
6.165x9=55.485
2. Amoxiciline 6.782 x 9 = 61.038 5.710x9= 51.390 5.708x9=51.372 6.165x9=55.485 3. Obat batuk 6.782 x 9 = 61.038 5.710x9= 51.390 5.708x9=51.372 6.165x9=55.485 4. CTM 6.782 x 9 = 61.038 5.710x9= 51.390 5.708x9=51.372 6.165x9=55.485 Total obat 244.152 205.560 205.488 221.940 Cadangan 25 % 61.038 51.390 51.372 55.485 Obat yang seharusnya tersedia
305.190 256.950 256.860 277.425
Obat yang tersedia saat ini (termasuk sisa obat)
343.690 300.200 300.010 300.049
Gap (Kelebihan obat) Persentase
38.500 ( 12.61 % )
42.250 ( 16.83 % )
43.150 ( 16.79 % )
22.624 ( 8.15 % )
Mutu Kinerja D E E C
Sumber : Hasil Pengolahan Data Sekunder Penelitian, 2006
129
Berdasarkan Tabel 24 tersebut dapat dinyatakan bahwa gap atau kesenjangan
antara ketersediaan obat yang seharusnya dengan yang aktual tidak melebihi 25 % dari
norma yang ditetapkan. Angka yang tertera adalah pada triwulan 1 sebesar 12.61 % atau
mutu kinerja ‘D’, triwulan 2, adalah 16.83 % atau mutu kinerja ‘E’, sedangkan
kesenjangan pada triwulan 3 yakni 16.79 % atau mutu kinerja E, dan pada triwulan 4
adalah 8.15 % atau mutu kinerja C. Gap ketersediaan obat mendekati ideal atau yang
paling bagus adalah pada triwulan 4.
Dari jumlah pasien di Puskesmas moderate, sebanyak 13.034 (tiga belas ribu tiga
puluh empat) orang pada triwulan 1, sejumlah 51 % atau 6.647 (enam ribu enam ratus
empat puluh tujuh) orang adalah pelanggan poli umum. Dari jumlah tersebut, 70 % atau
4.653 (empat ribu enam ratus lima puluh tiga) orang adalah pasien ISPA.
Pada triwulan 2 Jumlah pasien di Puskesmas adalah 14.192 (empat belas ribu
seratus sembilan puluh dua) orang, 52 % atau 7.380 (tujuh ribu tiga ratus delapan puluh)
orang adalah pasien poli umum. Dari jumlah pasien poli umum tersebut, 65 % penderita
ISPA yakni 4.797 (empat ribu tujuh ratus sembilan puluh tujuh) orang.
Pada triwulan 3, terdapat 60 % dari 15.074 (lima belas ribu tujuh puluh empat)
orang adalah pasien poli umum. 51 % di antaranya atau 4.613 (empat ribu enam ratus tiga
belas) orang adalah penderita ISPA.
Data selanjutnya, pada triwulan 4 ada 55 % dari 16.199 (enam belas ribu seratus
sembilan puluh sembilan) orang adalah pasien poli umum, 53 %-nya atau 4.722 (empat
ribu tujuh ratus dua puluh dua) orang adalah penderita ISPA Berdasarkan pada data
jumlah pasien ISPA per triwulan tersebut selanjutnya diketahui jumlah obat yang
dibutuhkan adalah dengan mengalikan kebutuhan obat berdasarkan norma dosis dengan
jumlah pasien ISPA, hasilnya adalah sebagai berikut :
Data pada Tabel 5.17 menunjukan bahwa gap ketersediaan obat di Puskesmas
cukup baik karena mendekati angka ideal dengan prosentase gap yang lebih kecil bila
dibandingkan dengan Puskesmas elite Pada triwulan 1 adalah 5.26 % dengan mutu
kinerja ‘C’ , triwulan 2 adalah 4.23 % dengan mutu kinerja ‘B’ , kemudian pada triwulan
3 hanya 3.57% dengan mutu kinerja ‘B’, dan pada triwulan 4 hampir sama yakni 3.53 %
dengan mutu kinerja ‘B’.
130
Tabel 25 Kinerja Ketersediaan Obat Puskesmas Moderate Per Triwulan (2005)
Uraian Triwulan 1 (dalam butir)
Triwulan 2 (dalam butir)
Triwulan 3 (dalam butir)
Triwulan 4 (dalam butir)
Jenis Obat ISPA: 1. Paracetamol
4.653 x 9=41.877
4.797x9=43.173
4.613x9=41.517
4.722x9=42.498
2. Amoxiciline 4.653 x 9=41.877 4.797x9=43.173 4.613x9=41.517 4.722x9=42.498
3. Obat batuk 4.653 x 9=41.877 4.797x9=43.173 4.613x9=41.517 4.722x9=42.498 4. CTM 4.653 x 9=41.877 4.797x9=43.173 4.613x9=41.517 4.722x9=42.498 Total obat 167.508 172.692 166.068 169.992 Cadangan 25 % 41.877 43.173 41.517 42.498 Obat yang seharusnya tersedia
209.385 215.865 207.585 212.490
Obat yang tersedia saat ini
220.400 225.000 215.000 220.000
Gap (Kelebihan obat) Persentase
11.015 ( 5.26 % )
9.135 ( 4.23 % )
7.415 ( 3,57 % )
7.510 ( 3.53 % )
Mutu Kinerja C B B B
Sumber : Hasil Pengolahan Data Sekunder Penelitian, 2006
Berikutnya adalah data ketersediaan obat pada Puskesmas slum Dari jumlah pasien
di Puskesmas sebanyak 13.836 (tiga belas ribu delapan ratus tiga puluh enam ) orang
pada triwulan 1, sejumlah 56 % atau 7.748 (tujuh ribu tujuh ratus empat puluh delapan)
orang adalah pelanggan poli umum. Dari jumlah tersebut, 52 % atau 4.029 (empat ribu
dua puluh sembilan) orang adalah pasien ISPA.
Pada triwulan 2 Jumlah pasien di Puskesmas adalah 14.950 (empat belas ribu
sembilan ratus lima puluh) orang, 58 % atau 8.671 (delapan ribu enam ratus tujuh puluh
satu) orang adalah pasien poli umum. Dari jumlah pasien poli umum tersebut, 53 %
penderita ISPA yakni 4.595 (empat ribu lima ratus sembilan puluh lima) orang.
Pada triwulan 3, terdapat 67 % dari 15.350 (lima belas ribu tiga ratus lima puluh)
orang adalah pasien poli umum. 60 % diantaranya atau 6.170 (enam ribu seratus tujuh
puluh ) orang diantaranya adalah penderita ISPA.
Data selanjutnya, pada triwulan 4 ada 59 % dari 17.126 (tujuh belas ribu seratus dua
puluh enam) orang adalah pasien poli umum, 57 % diantaranya atau 5.759 (lima ribu
tujuh ratus lima puluh sembilan) orang adalah penderita ISPA.
Selanjutnya berdasarkan pada data jumlah pasien ISPA per triwulan tersebut
diketahui jumlah obat yang dibutuhkan adalah dengan mengalikan kebutuhan obat
berdasarkan norma dosis dengan jumlah pasien ISPA, hasilnya adalah sebagai berikut :
131
Tabel 26 Kinerja Ketersediaan Obat Puskesmas slum Per Triwulan (2005)
Uraian Triwulan 1 (dalam butir)
Triwulan 2 (dalam butir)
Triwulan 3 (dalam butir)
Triwulan 4 (dalam butir)
Jenis Obat ISPA: 1. Paracetamol
4.029 x 9 =36.261
4.595x9=41.355
6.170x9=55.530
5.759x9=51.831
2. Amoxiciline 4.029 x 9 =36.261 4.595x9=41.355 6.170x9=55.530 5.759x9=51.831
3. Obat batuk 4.029 x 9 =36.261 4.595x9=41.355 6.170x9=55.530 5.759x9=51.831 4. CTM 4.029 x 9 =36.261 4.595x9=41.355 6.170x9=55.530 5.759x9=51.831 Total obat 145.044 165.420 222.120 207.324 Cadangan 25 % 36.261 41.355 55.530 51.831 Obat yang seharusnya tersedia
181.305 206.775 277.650 259.155
Obat yang tersedia saat ini
250.200 250.000 300.000 300.000
Gap (Kelebihan obat) Persentase
68.895 ( 37 % )
43.225 ( 20.90 % )
22.350 ( 8.0 % )
40.845 ( 15.76 % )
Mutu Kinerja E E C E
Sumber : Hasil Pengolahan Data Sekunder Penelitian, 2006
Dari data dalam Tabel 26 nampak bahwa Puskesmas slum pada triwulan 1
memiliki kesenjangan ketersediaan obat paling tinggi bila dibandingkan dengan elite
maupun moderate, yakni 37 % atau diatas batas toleransi yang ditetapkan, dengan
demikian mutu kinerjanya adalah ‘E’. Pada triwulan 2 adalah 20.90 %, juga masih tinggi
dengan mutu kinerja ‘E’. Sedangkan pada triwulan 3 turun menjadi 8 % atau mutu
kinerjanya ‘C’ , dan pada triwulan 4 gap ketersediaan obat naik menjadi 15.76 % di mana
mutu kinerjanya adalah ‘E’
Berdasarkan temuan tersebut, maka secara keseluruhan, gap ketersediaan obat
yang terbaik adalah pada Puskesmas moderate, kemudian peringkat kedua adalah
Puskesmas elite, dan yang memiliki gap tertinggi adalah Puskesmas slum
c. Penyuluhan Masyarakat
Dalam proses operasi atau produksi Puskesmas, aspek penyuluhan masyarakat
dipandang sebagai mata rantai yang tidak terpisahkan dengan proses pelayanan kesehatan
secara keseluruhan. Penyuluhan juga dipandang tidak hanya sebagai tindakan preventif
terhadap kasus-kasus kesehatan yang belum terjadi, namun juga dianggap sebagai
tindakan lanjutan akibat terjadinya kasus-kasus kesehatan yang menonjol dan
memerlukan penanganan dan pencegahan lebih lanjut agar kasus-kasus kesehatan
tersebut tidak meluas.
132
Selanjutnya, mutu operasi Puskesmas dilihat dari aspek penyuluhan diukur melalui
: pertama, total frekuensi penyuluhan per triwulan, kedua, persentase sasaran yang hadir
dari yang ditargetkan, dengan cara membandingkan persentase gap antara tingkat
kehadiran sasaran yang diharapkan dengan kenyataannya, ketiga, indeks persepsi atau
penilaian peserta penyuluhan terhadap : (1) manfaat penyuluhan, (2) metode penyuluhan,
(3) kesesuaian jadwal penyuluhan, (4) pemahaman terhadap isi yang disuluhkan. Berikut
ini adalah hasilnya.
Banyaknya program-program kesehatan yang ditunjang penyuluhan pada saat
penelitian ini diadakan adalah 20 (dua puluh) program kesehatan, yakni, 1).KB ; 2). KIA
; 3).gizi ; 4) immunisasi ; 5).diare ; 6). DBD ; 7). ISPA ; 8). AIDS ; 9). Hepatitis ; 10).
rokok-narkotika-obat berbahaya ; 11). Kangker ; 12). penyakit degeneratif ; 13). air-
kesehatan lingkungan ; 14).TBC ; 15). kusta/prambosia ; 16). kesehatan gigi dan mulut
;17). kesehatan mata ; 18). kesehatan jiwa ; 19). kesehatan kerja ; dan 20). kecacingan.
Pada setiap triwulannya, puskesmas diharapkan mengadakan 60 kali penyuluhan Mutu
kinerja frekuensi penyuluhan dinilai dari seberapa banyak penyuluhan diadakan setiap
triwulannya. Ukuran kinerja frekuensi penyuluhan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 27 Pedoman Penilaian Frekuensi Penyuluhan
SKOR MUTU FREKUENSI PENYULUHAN PER TRIWULAN 5 A Frekuensi Penyuluhan Ideal = 60 4 B 55-59 3 C 50-54 2 D 45-49 1 E < 45
Sumber : Hasil Pengolahan Data Sekunder Penelitian (2005)
Untuk kehadiran sasaran penyuluhan, standar idealnya adalah 90% sasaran harus
hadir. Penilaian kehadiran sasaran penyuluhan didasarkan pada jumlah sasaran
penyuluhan yang hadir. Ukuran kehadiran sasaran penyuluhan adalah sebagai berikut :
133
Tabel 28 Pedoman Penilaian Kehadiran Sasaran Penyuluhan
SKOR MUTU KEHADIRAN SASARAN PENYULUHAN PER TRIWULAN
5 A Kehadiran Sasaran Penyuluhan Ideal = 90 % 4 B 85 – 89% 3 C 80 – 84% 2 D 75 – 79 % 1 E < 75 %
Sumber : Hasil Pengolahan Data Sekunder Penelitian (2005)
Frekuensi penyuluhan pada pada Puskesmas elite pada triwulan 1 dan 2 masih jauh
dari yang diharapkan, sedangkan pada triwulan 3 terlihat adanya peningkatan hingga
triwulan 4. Data tentang hal tersebut dapat disimak pada Tabel 5.21 berikut ini.
Tabel 29 Frekuensi Penyuluhan Pada Puskesmas elite
Triwulan Frekuensi Penyuluhan Mutu Kinerja 1 52 C 2 52 C 3 56 B 4 62 A
Sumber : Diolah dari data Sekunder Penelitian (2005)
Persentase kehadiran sasaran penyuluhan juga turut menentukan efektifitas dari
suatu penyuluhan. Dalam tabel 30 terlihat bahwa rata-rata persentase kehadiran sasaran
penyuluhan Puskesmas elite berkisar pada angka 80 hingga 85 % atau pada mutu kinerja
sedang ‘C’. Hanya pada triwulan 3 mencapai 85 % dengan mutu kinerja ‘B’
Tabel 30 Persentase Kehadiran Sasaran Penyuluhan pada Puskesmas elite
Triwulan
Persentase Kehadiran Sasaran
Mutu Kinerja
1 80 % C 2 84 % C 3 85 % B 4 80 % C
Sumber : Diolah dari data Sekunder Penelitian (2005)
Indikator terakhir adalah dilihat dari indeks penilaian pelanggan terhadap
penyuluhan-penyuluhan yang dilakukan Puskesmas. Hasilnya adalah sebagaimana tertera
pada Tabel 31 berikut ini.
134
Tabel 31 Indeks Penilaian Pelanggan Terhadap Penyuluhan Puskesmas elite
Triwulan No Indikator 1 2 3 4
1 M anfaat Penyuluhan 3.45 (B)
3.56 (B)
3.5 (B)
3.65 (B)
2 Ketepatan metode yang digunakan 2.67 (C)
2.69 (C)
2.98 (C)
3.02 (C)
3 Kesesuaian jadual penyuluhan 2.45 (D)
2.48 (D)
2.49 (D)
2.55 (D)
4 Pemahaman terhadap isi penyuluhan 3.44 (B)
3.48 (B)
3.51 (B)
3.56 (B)
Sumber: Diolah dari Data Primer Penelitian, 2005
Jika angka-angka skor pada Tabel 31 tersebut dikalikan dengan nilai dasar 20
(lihat aturan normatif MenPan) maka indeks penilaian pelanggan terhadap indikator
pertama, yakni ‘manfaat penyuluhan’ bagi pelanggan adalah ‘Baik’ atau ‘B’. Sedangkan
indikator kedua, yakni ‘ketepatan metode penyuluhan yang digunakan’ dinilai oleh
pelanggan ‘sedang’ atau ‘C’. Selanjutnya pada indikator ‘kesesuaian jadual penyuluhan
dengan kesibukan pelanggan’ dinilai ‘kurang’ atau ‘D’oleh pelanggan. Dan yang terakhir,
indikator ‘pemahaman terhadap isi penyuluhan’ oleh pelanggan dinilai ‘baik’ atau ‘B’.
Pada Puskesmas moderate, banyaknya program-program kesehatan yang ditunjang
penyuluhan pada saat penelitian ini diadakan adalah 15 (lima belas) program kesehatan,
yakni, KB, KIA, gizi, immunisasi, diare, DBD, ISPA, AIDS, hepatitis, rokok-narkotika-
obat berbahaya, kesehatan gigi dan mulut, penyakit degeneratif, air-kesehatan
lingkungan, TBC, kusta/prambosia. Berikut ini tabel frekuensi penyuluhan moderate.
Tabel 32 Frekuensi Penyuluhan Pada Puskesmas Moderate
Triwulan Frekuensi Penyuluhan Mutu Kinerja 1 40 E 2 43 E 3 49 D 4 55 B
Sumber : Diolah dari data Sekunder Penelitian (2005) Tabel 33 Persentase Kehadiran Sasaran Penyuluhan Pada Puskesmas Moderate
Triwulan Persentase Kehadiran Sasaran Penyuluhan
Mutu Kinerja
1 88 % B 2 87 % B 3 85 % B 4 85 % B
Sumber : Diolah dari data Sekunder Penelitian (2005)
135
Dalam Tabel 33 terlihat bahwa secara keseluruhan hasil menunjukkan mutu
kinerja berada pada ranking penilaian ‘baik’ atau ‘B’. Indikator terakhir adalah dilihat
dari indeks penilaian pelanggan terhadap penyuluhan-penyuluhan yang dilakukan
Puskesmas. Hasilnya adalah sebagaimana tertera pada Tabel 34 berikut ini.
Tabel 34 Indeks Penilaian Pelanggan Terhadap Penyuluhan Puskesmas Moderat
Triwulan No Indikator 1 2 3 4
1 Manfaat Penyuluhan 4.45 4.48 4.51 4.55 2 Ketepatan metode yang digunakan 3.44 3.47 3.47 3.52 3 Kesesuaian jadual penyuluhan 3.45 3.48 3.47 3.51 4 Pemahaman terhadap isi penyuluhan 4.34 4.42 4.51 4.56
Sumber: Diolah dari Data Primer Penelitian, 2005
Dengan mengalikan angka-angka skor pada Tabel 5.26 dengan nilai dasar 20
(lihat aturan normatif MenPan) maka indeks penilaian pelanggan terhadap indikator
pertama, yakni ‘manfaat penyuluhan’ bagi pelanggan dinilai ‘sangat baik’ atau ‘A’.
Sedangkan indikator kedua, yakni ‘ketepatan metode penyuluhan yang digunakan’ dinilai
oleh pelanggan ‘Baik’ atau ‘B’. Selanjutnya pada indikator ‘kesesuaian jadual
penyuluhan dengan kesibukan pelanggan’ dinilai ‘baik’ atau ‘B’oleh pelanggan. Dan
yang terakhir, indikator ‘pemahaman terhadap isi penyuluhan’ oleh pelanggan dinilai
‘sangat baik’ atau ‘A’.
Pada Puskesmas slum, jumlah program-program yang ditunjang penyuluhan pada
tahun 2004 adalah 15 (lima belas) yakni, KB, KIA, gizi, diare, ISPA, DBD, immunisasi,
TBC, kesehatan gigi dan mulut, kesehatan lingkungan, kusta, kulit, AIDS, narkotika, dan
kesehatan kerja. Sedangkan saat ini 2005 jumlah program-program yang ditunjang
penyuluhan meningkat menjadi 16 yakni ditambah dengan penyuluhan hepatitis. Dengan
demikian peningkatannya hanya 3.2 %. Padahal bila diperhatikan, subsidi slum hampir
sama dengan Puskesmas elite, yakni sekitar 4 miliar rupiah.
Tabel 35 Frekuensi Penyuluhan Pada Puskesmas Slum
Triwulan Frekuensi Penyuluhan Mutu Kinerja 1 44 E 2 46 D 3 54 C 4 62 A
Sumber : Diolah dari data Sekunder Penelitian (2005)
136
Berikutnya adalah angka persentase kehadiran sasaran penyuluhan pada tahun
2005, sebagaimana tertera pada Tabel 36 berikut ini.
Tabel 36 Persentase Kehadiran Sasaran Penyuluhan Pada Puskesmas Slum
Triwulan Persentase Kehadiran Sasaran Penyuluhan Mutu Kinerja
1 80% C 2 80 % C 3 75 % D 4 82 % C
Sumber : Diolah dari data Sekunder Penelitian (2005)
Indikator terakhir adalah dilihat dari indeks penilaian pelanggan terhadap
penyuluhan-penyuluhan yang dilakukan Puskesmas. Hasilnya adalah sebagaimana tertera
pada Tabel 37 berikut ini.
Tabel 37 Indeks Penilaian Pelanggan Terhadap Penyuluhan Puskesmas Puskesmas Slum
Triwulan No Indikator 1 2 3 4
1 Manfaat Penyuluhan 3.02 3.15 3.22 3.27 2 Ketepatan metode yang digunakan 3.11 3.14 3.24 3.33 3 Kesesuaian jadual penyuluhan 2.33 2.33 2.41 2.44 4 Pemahaman terhadap isi penyuluhan 3.21 3.23 3.22 3.35
Sumber: Diolah dari Data Primer Penelitian, 2005
Dengan mengalikan angka-angka skor pada Tabel 37 dengan nilai dasar 20 (lihat
aturan normatif MenPan) maka indeks penilaian pelanggan terhadap indikator pertama,
yakni ‘manfaat penyuluhan’ bagi pelanggan dinilai ‘sedang’ atau ‘C’. Sedangkan
indikator kedua, yakni ‘ketepatan metode penyuluhan yang digunakan’ dinilai oleh
pelanggan juga ‘sedang’ atau ‘C’. Selanjutnya pada indikator ‘kesesuaian jadual
penyuluhan dengan kesibukan pelanggan’ dinilai ‘kurang’ atau ‘D’oleh pelanggan. Dan
yang terakhir, indikator ‘pemahaman terhadap isi penyuluhan’ oleh pelanggan dinilai
‘sedang’ atau ‘C’ oleh pelanggan.
137
Kinerja Puskesmas dari Perspektif Keuangan
Perspektif finansial memberikan target jangka panjang yang jelas bagi perusahaan
yang mencari keuntungan. Tetapi bagi perusahaan pemerintah dan organisasi nirlaba,
perspektif keuangan mungkin akan memberikan batasan dan bukan tujuan. Perusahaan-
perusahaan pemerintah harus membatasi pengeluaran mereka sesuai dengan jumlah yang
dianggarkan. Tetapi keberhasilan organisasi seperti ini tidaklah diukur dengan bagaimana
menjaga pengeluaran sesuai dengan anggaran, atau bahkan dengan penghematan yang
dapat dilakukan sehingga pengeluaran yang sebenarnya jauh dibawah yang dianggarkan.
Keberhasilan bagi organisasi pemerintah dan nirlaba adalah seharusnya diukur dengan
seberapa efektif dan efisien organisasi tersebut dalam memenuhi berbagai aturan
pokoknya. Pertimbangan finansial memang dapat menjadi pendorong atau kendala, tetapi
jarang menjadi tujuan utama (Kaplan dan Norton, 1996:179-180).
Tabel 38 Misi, Tujuan, Pengukuran, Target dan Indikator Kinerja Keuangan Puskesmas
MISI TUJUAN STRATEGIS PENGUKURAN
INDIKATOR
Mengembangkan pelayanan Kesehatan yang berkualitas dan paripurna
Meningkatkan kemandirian pembiayaan operasional melalui peningkatan swadana, dan meningkatkan penghematan
1 Tingkat pembiayaan per pasien 2.Tingkat kontribu si swadana per pasien
1.Biaya per pasien 2.Kontribusi swada na per pasien
Sumber : Hasil Kajian Penelitian, 2006
Jumlah total pemasukan subsidi tahun 2005 pada Puskesmas elite adalah Rp.
4.559.250.870,- (empat miliar lima ratus lima puluh sembilan juta dua ratus lima puluh
ribu delapan ratus tujuh puluh rupiah). Sedangkan jumlah pengeluaran subsidi total
adalah Rp. 4.503.958.595,- (empat miliar lima ratus tiga juta sembilan ratus lima puluh
delapan ribu lima ratus sembilan puluh lima rupiah). Dari total pemasukan subsidi, 54.2
% di antaranya digunakan sebagai biaya operasional pelayanan kesehatan di dalam
gedung dalam bentuk belanja langsung (telepon, listrik, dan air) dan tidak langsung
(biaya operasional termasuk obat-obatan, pelayanan 24 jam atau UGD, dan biaya-biaya
138
lainnya). Tabel 39 berikut ini adalah mengetengahkan tentang efektivitas biaya subsidi
pelayanan kesehatan Puskesmas elite .
Tabel 39 Efektivitas Biaya Subsidi Pelayanan Kesehatan Puskesmas Elite(2005)
No Uraian
Triwulan
1.
2.
Pemasukan: Belanja langsung Belanja Tidak Langsung
25.620.832
600.792.317
29.859.150
600.792.317
31.143.142
600.792.317
37.920.041
600.792.317
124.543.165
2.316.991.636
T o t a l 626.413.149 630.651.467 631.935.459 637.712.358 2.441.534.801
1.
2.
Pengeluaran: Belanja langsung Belanja Tidak Langs ung
25.620.832
568.092.909
23.022.210
570.907.909
37.980.082
540.547.909
37.920.041
637.442.909
124.543.165
2.316.991.636
T o t a l Subsidi
593.713.741 593.930.119 577.527.991 674.362.950 2.441.534.801
T o t a l Pelanggan
15.192 15.975
17.048 19.350
67. 565
Biaya per satu pelanggan (cost effectiveness)
1 : 39.081 1 : 37.179 1 : 33.877 1 : 34.850 1 : 36.136
Sumber: Hasil pengolahan data sekunder penelitian (2006)
Efektivitas biaya per pelanggan dapat diketahui melalui perhitungan sederhana
dengan cara membandingkan total pengeluaran subsidi per triwulan dengan jumlah
pelanggan pertriwulan. Dalam Tabel 39 tersebut, nampak bahwa perbandingan antara
total pengeluaran subsidi per triwulan dengan total pelanggan per triwulan menunjukan
kecenderungan yang meningkat, dimana semakin besar pengeluaran semakin besar pula
jumlah pelanggan. Secara nyata, peningkatan kedua variabel tersebut diikuti dengan
penurunan rasio biaya per pelanggan dari Rp.39.081,- per satu orang pelanggan pada
triwulan 1 menurun menjadi Rp.37.179,- pada triwulan 2, dan Rp.33.877,- pada triwulan
3, serta meningkat lagi menjadi Rp.34.850 pada triwulan 4. Dengan demikian dapat
dihitung rata-rata biaya per pelanggan pada Puskesmas elite yakni Rp. 36.136,- per
pelanggan. Selanjutnya untuk mengetahui kinerja keuangan swadana, berikut ini akan
diketengahkan peningkatan pemasukan swadana Puskesmas yang akan diketengahkan
melalui Tabel 40 berikut ini.
139
Tabel 40 Pertumbuhan Pemasukan Swadana Per Triwulan Puskesmas Elite
TRIWULAN
JUMLAH PELANGGAN
TOTAL PEMASUKAN SWADANA
RATA-RATA KONTRIBUSI PER PELANGGAN
1 15.192 (22.5 %)
Rp. 275.550.745 (23.6 %)
Rp. 20.888,-
2 15.975 (23.6 %)
Rp. 286.780.200 (24.6 %)
Rp. 21.603
3 17.048 (25.3 %)
Rp. 295.890.810 (25.4 %)
Rp. 19.663
4 19.350 (28.6 %)
Rp. 308.381.224 (26.4 %)
Rp. 18.978
T o t a l
67.565 (100 %)
Rp. 1.166.602.979 (100 %)
Rp. 20.196
Sumber: Hasil pengolahan data sekunder penelitian (2006)
Menyimak Tabel 40 tersebut, dapat diketengahkan bahwa pemasukan swadana
Puskesmas elite cenderung meningkat pada setiap triwulan. Triwulan 1 ke 2 meningkat 1
%, triwulan 2 ke 3 peningkatannya 1.2 %, dan pada triwulan 3 ke 4 meningkat 1 %.
Secara logika, peningkatan swadana disebabkan peningkatan jumlah pelanggan per
triwulan, nampak dalam tabel, bahwa jumlah pelanggan mengalami peningkatan 1.1 %
pada triwulan 1 ke 2, kemudian pada triwulan berikutnya meningkat 1.7 % dan
selanjutnya pada triwulan 3 ke 4 menurun 3.3 %.
Rata-rata pelanggan memberikan kontribusi Rp.20.196,- pertriwulan. Kontribusi
pelanggan terhadap swadana berupa pembayaran biaya retribusi/karcis dan biaya/tarif
tindakan medis yang besarnya bervariasi berdasarkan jenis pelayanan atau tindakan.
Sebagai contoh, pelayanan umum, gigi, dan pelayanan klinik lainnya dikenakan karcis
retribusi Rp.2000,-/pelanggan termasuk pemeriksaan dan pengobatan, namun jika
diperlukan tindakan medis misalnya cabut gigi atau jahitan, maka pelanggan dikenakan
tarif tidakan medis yang besarannya diatur berdasarkan tarif yang telah ditentukan oleh
Peraturan Daerah.
Selain tarif umum, terdapat pula tarif retribusi bagi layanan keluarga miskin
(GAKIN) yang besarnya Rp.750,- , sedangkan Asuransi Kesehatan (Askes) dikenakan
Rp.1000,- dan Jaminan Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dikenakan Rp. 1750,-.
Sementara itu pelayanan Unit Gawat Darurat (UGD) dikenakan tarif Rp.10.000,- dan
tarif bersalin dikenakan Rp. 150.000,- (paket bersalin selama 3 hari). Perhitungan dalam
140
Tabel tersebut merupakan agregat dari jumlah pelanggan dari berbagai jenis pelayanan
kesehatan, tarif karcis pada setiap layanan, dan jumlah pemasukan dari tindakan medis.
Berikut ini adalah kinerja keuangan dari Puskesma s moderate. Jumlah total
pemasukan subsidi pada Puskesmas moderat tahun 2005 adalah Rp. 2.755.451.000,- (dua
miliar tujuh ratus lima puluh lima juta empat ratus lima puluh satu ribu rupiah),
sedangkan total pengeluaran subsidi di tahun yang sama adalah Rp. 2.734.451.000,- (dua
miliar tujuh ratus tiga puluh empat juta empat ratus lima puluh satu ribu rupiah).
Dari total pemasukan subsidi Puskesmas moderate 60 % atau Rp. 1.653.270.600,-
(Satu miliar enam ratus lima puluh tiga juta dua ratus tujuh puluh ribu enam ratus rupiah)
digunakan sebagai biaya pengobatan yang terdiri dari biaya langsung (listrik, telepon, dan
air), dan biaya tidak langsung berupa biaya operasional pelayanan kesehatan di dalam
gedung atau pengobatan.
Tabel 41 Efektivitas Biaya Subsidi Pelayanan Kesehatan Puskesmas Moderate (2005)
No Uraian
Triwulan
1.
2.
Pemasukan: Belanja langsung Belanja Tidak Langsung
18.750.000
381.583.650
17.580.000
385.200.000
18.668.000
392.132.000
18.700.000
420.656.450
73.698.000
1.579.572.100
T o t a l 400.333.650 402.780.000 410.800.500 439.356.450 1.653.270.600
1.
2.
Pengeluaran: Belanja langsung Belanja Tidak Langsung
18.750.000
381.583.650
17.580.000
385.200.000
18.668.000
392.132.000
18.700.000
420.656.450
73.698.000
1.579.572.100
T o t a l Subsidi
400.333.650 402.780.000 410.800.500 439.356.450 1.653.270.600
T o t a l Pelanggan
13.034 14.192 15.074 16.199 58.499
Biaya per satu pelanggan (cost effectiveness)
1 : 30.715 1 : 28.381 1 : 27.252 1 : 27.122 1 : 28.262
Sumber: Hasil pengolahan data sekunder penelitian (2006)
Nampak dalam Tabel 41 kecenderungan peningkatan jumlah pelanggan yang
diikuti dengan kecenderungan peningkatan jumlah penggunaan subsidi. Jika
dibandingkan dengan Puskesmas elite, rasio subsidi per pelanggan di Puskesmas
141
moderate lebih rendah yakni rata-rata satu orang pelanggan dibiayai dengan subsidi
sebesar Rp.28.262,- (dua puluh delapan ribu dua ratus enam puluh dua rupiah)
Selanjutnya, pertumbuhan swadana moderate pada triwulan 1 ke triwulan 2
meningkat 0.4 %, pada triwulan 2 ke 3 meningkat 0.2 %, dan pada triwulan 3 ke 4
meningkat 1.22 %. Adapun peningkatan jumlah pelanggan pada triwulan 1 ke triwulan 2
adalah 3 %, sedangkan triwulan 2 ke triwulan 3, meningkat 1.5 %, dan pada triwulan ke 3
dan 4 meningkat sebesar 1.9 %. Dari nilai total swadana dan total pelanggan dapat
diketahui bahwa rata-rata setiap pelanggan memberikan kontribusi pemasukan swadana
sebesar Rp. 25.158,- (dua puluh lima ribu seratus lima puluh delapan rupiah). Rata-rata
kontribusi ini lebih besar bila dibandingkan dengan rata-rata kontribusi pelanggan pada
pemasukan swadana Puskesmas elite.
Tabel 42 Pertumbuhan Pemasukan Swadana Per Triwulan Puskesmas Moderate
TRIWULAN
JUMLAH
PELANGGAN TOTAL PEMASUKAN
SWADANA RATA-RATA KONTRIBUSI
PER PELANGGAN 1 13.034
(21.3 %)
Rp. 357.932.600 (24.3 %)
Rp. 27.461
2 14.192 (24.3 %)
Rp. 362.850.900 (24.7 %)
Rp. 25.567
3 15.074 (25.8 %)
Rp. 367.900.900 (24.9 %)
Rp. 24.406
4 16.199 (27.7 %)
Rp. 383.046.093 (26.12 %)
Rp. 23.646
T o t a l
58.499
(100 %)
Rp. 1.471.730.493
(100 %)
Rp. 25.158
Sumber: Hasil pengolahan data sekunder penelitian (2006)
Pada Puskesmas slum, dari Tabel 42 berikut ini menunjukkan total pemasukan
subsidi tahun 2005 adalah Rp. 4.910.568.000 (empat miliar sembilan ratus sepuluh juta
lima ratus enam puluh delapan ribu rupiah), sedangkan total pengeluaran subsidi di tahun
yang sama adalah Rp. 4.733.273.056,- (empat miliar tujuh ratus tiga puluh tiga juta dua
ratus tujuh puluh tiga ribu lima puluh enam rupiah). Sejumlah Rp.1.964.227.200 (satu
miliar sembilan ratus enam puluh empat juta dua ratus dua puluh tujuh dua ratus rupiah)
atau 40 % dari total pemasukan subsidi digunakan sebagai biaya operasional pelayanan
kesehatan. Tabel 43 berikut ini adalah efektivitas biaya subsidi pada Puskesmas slum
142
Efektivitas biaya per satu orang pelanggan dapat diketahui dari penghitungan
total pemasukan subsidi dibagi dengan total pelanggan, hasilnya adalah Rp.32.063,- (tiga
puluh dua ribu enam puluh tiga rupiah) per triwulan. Nilai ini terlihat lebih besar jika
dibandingkan dengan Puskesmas moderate, namun di bawah efektivitas biaya Puskesmas
elite
Tabel 43 Efektivitas Biaya Subsidi Pelayanan Kesehatan Puskesmas Slum (2005)
No Uraian
Triwulan
1.
2.
Pemasukan: Belanja langsung Belanja Tidak Langsung
31.210.000
452.990.390
32.010.000
456.970.000
32.500.000
462.370.200
35.900.100
460.276.510
131.620.100
1.832.607.100
T o t a l 484.200.390 488.980.000 494.870.200 496.176.610 1.964.227.200
1.
2.
Pengeluaran: Belanja langsung Belanja Tidak Langsung
31.210.000
452.990.390
32.010.000
456.970.000
32.500.000
462.370.200
35.900.100
460.276.510
131.620.100
1.832.607.100
T o t a l Subsidi
484.200.390 488.980.000 494.870.200 496.176.610. 1.964.227.200
T o t a l Pelanggan
13.836 14.950 15.350 17.126 61.262
Biaya per satu pelanggan (cost effectiveness)
1 : 34.996 1 : 32.708 1 : 32.239 1 : 28.972 1 : 32.063
Sumber: Hasil pengolahan data sekunder penelitian (2006)
Selanjutnya diketengahkan pertumbuhan swadana pada Puskesmas Slum
sebagaimana ditampilkan dalam Tabel. Dari Tabel 43 dapat disimak bahwa pertumbuhan
pemasukan swadana terlihat pada triwulan 1 ke triwulan 2 terlihat adanya peningkatan
0.2 % , pada triwulan 2 ke triwulan 3 meningkat kecil yakni 0.12 %, dan terjadi pada
triwulan 3 ke triwulan meningkat sebesar 0.32 %. Adapun peningkatan jumlah pelanggan
pada triwulan 1 ke triwulan 2 nampak cukup tinggi yakni 1.8 %, dan pada triwulan 2 ke
triwulan 3 sebesar 0.7 %, serta pada triwulan 3 ke triwulan 4 sebesar 2.8 %.
Dari aspek kontribusi pelanggan terhadap pemasukan swadana, rata-rata setiap
pelanggan memberikan kontribusi sebesar Rp.20.363. Nilai ini masih di bawah
Puskesmas moderate, namun hampir sama dengan Puskemas elite.
143
Tabel 44 Pertumbuhan Pemasukan Swadana Per Triwulan Puskesmas Slum
TRIWULAN
JUMLAH PELANGGAN
TOTAL PEMASUKAN SWADANA
RATA-RATA KONTRIBUSI PER PELANGGAN
1 13.836 (22.6 %)
Rp. 309.332.600 (24.7 %)
Rp. 22.357
2 14.950 (24.4 %)
Rp. 310. 500.900 (24.9 %)
Rp. 20.769
3 15.350 (25.1 %)
Rp. 312.100.900 (25.02 %)
Rp. 20.332
4 17.126 (27.9 %)
Rp. 315.557.550 (25.3 %)
Rp. 18.425
T o t a l
61.262
(100 %)
Rp. 1.247.491.950
(100 %)
Rp. 20.363
Sumber: Hasil pengolahan data sekunder penelitian (2006)
Secara keseluruhan, kinerja keuangan ketiga Puskesmas dapat disimpulkan bahwa
kinerja keuangan Puskesmas moderate, nampak memiliki mutu tertinggi bila
dibandingkan dengan Puskesmas elite dan slum dilihat dari efektivitas biaya subsidi,
peningkatan pelanggan, dan kontribusi setiap pelanggan terhadap swadana.
Biaya operasional yang dikeluarkan untuk setiap pelanggan hanya Rp.28.262 (dua
puluh delapan ribu dua ratus enam puluh dua rupiah) lebih murah sekitar Rp. 7000,-
(tujuh ribu rupiah) bila dibandingkan dengan dua Puskesmas yang lain, padahal
pemasukan subsidi Puskesmas moderate jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan elite
maupun slum
Dalam aspek pertumbuhan swadana, Puskesmas moderate berada pada peringkat
mutu ‘sedang’, pertumbuhan swadana yang tertinggi adalah Puskesmas elite, terendah
adalah slum. Tabel 45 berikut ini gambaran tentang hal tersebut.
144
Tabel 45 Mutu Kinerja Keuangan Puskesmas
NO
UKURAN STRATEGIS ELITE MODERATE SLUM
1
Efektivitas Biaya Subsidi
Rp.36.136/orang
( Rendah )
Rp.28.262/orang
( Tinggi )
Rp.32.063/orang
( Sedang )
2 Pertumbuhan Swadana
1.06 % ( Tinggi )
0.60 % ( Sedang )
0.21 % ( Rendah )
3 Peningkatan Pelanggan
2.03 % ( Sedang )
2.13 % ( Tinggi )
1.77 % ( Rendah )
4 Kontribusi setiap pelanggan Terhadap swadana.
Rp.20.196/orang ( Rendah )
Rp.25.158/orang ( Tinggi )
Rp.20.363/orang ( Sedang )
Mutu Kinerja Keuangan Sedang Tinggi Rendah Sumber: Hasil pengolahan data sekunder penelitian (2006)
Kinerja Puskesmas dari Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan
Berdasarkan konsep BSC, terdapat 3 parameter generik yang dianggap memiliki
kontribusi kuat terhadap pertumbuhan dan pembelajaran pegawai di Puskesmas, yakni (1)
kepuasan pegawai, (2) kapabilitas informasi, dan (3) kapabilitas pegawai. Berikut ini
adalah hasilnya.
1). Kepuasan Pegawai
Indikator-indikator pada parameter kepuasan pegawai adalah penilaian pegawai
terhadap (1) keterlibatan pegawai dalam pengambilan keputusan, (2) penghargaan
terhadap prestasi pegawai, (3) lingkungan suasana kerja, (4) dukungan sarana kerja, dan
(5) insentif pegawai. Tabel 46 berikut ini adalah hasil dari pengukuran kepuasan pegawai.
Baik pegawai Puskesmas elite, moderate maupun slum, memberikan penilaian
yang rendah terhadap indikator insentif pegawai bila dibandingkan dengan indikator-
indikator lain dalam kepuasan pegawai, yakni rata-rata kurang lebih 2.0. Pada Puskesmas
elite, penilaian tertinggi terdapat pada indikator penghargaan terhadap prestasi pegawai
dan lingkungan suasana kerja. Sedangkan pada Puskesmas moderate, penilaian tertinggi
adalah pada dukungan sarana kerja yang memadai. Pada Puskesmas slum penilaian
tertinggi terlihat pada keterlibatan pegawai dalam pengambilan keputusan. Secara
keseluruhan nilai-nilai persepsi menunjukan kecenderungan yang meningkat setiap
145
Tabel 46 Nilai Indeks Kinerja Dari Aspek Kepuasan Pegawai Puskesmas
ELITE
MODERATE SLUM
Triwulan
Triwulan
Triwulan
PKC Kepuasan Pegawai
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Keterlibatan dalam pengambilan keputusan
2.11 2.10 2.14 2.16 2.10 2.13 2.12 2.17 2.08 2.11 2.13 2.19
Penghargaan terhadap prestasi pegawai
2.23 2.27 2.31 2.43 2.08 2.10 2.16 2.19 2.03 2.03 2.05 2.06
Lingkungan suasana kerja di Puskesmas
2.09 2.17 2.13 2.29 2.05 2.09 2.11 2.28 2.07 2.07 2.09 2.09
Dukungan sarana kerja yang memadai
2.07 2..15 2.26 2.26 2.12 2.12 2.22 2.34 2.06 2.08 2.10 2.13
Insentif Pegawai 2.00 2.02 2.01 2.04 2.00 2.03 2.05 2.07 2.01 2.02 2.04 2.06
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian (2006)
Untuk mengetahui nilai mutu kinerja kepuasan pegawai, dapat disimak pada tabel
berikut ini.
Tabel 47 Mutu Kinerja Puskesmas dari Aspek Kepuasan Pegawai (Metode Normatif)
ELITE
MODERATE SLUM
Triwulan
Triwulan
Triwulan
PKC Kepuasan Pegawai
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Keterlibatan dalam pengambilan keputusan
2.11 D
2.10 D
2.14 D
2.16 D
2.10 D
2.13 D
2.12 D
2.17 D
2.08 D
2.11 D
2.13 D
2.19 D
Penghargaan terhadap prestasi pegawai
2.23 D
2.27 D
2.31 D
2.43 D
2.08 D
2.10 D
2.16 D
2.19 D
2.03 D
2.03 D
2.05 D
2.06 D
Lingkungan suasana kerja di Puskesmas
2.09 D
2.17 D
2.13 D
2.29 D
2.05 D
2.09 D
2.11 D
2.28 D
2.07 D
2.07 D
2.09 D
2.09 D
Dukungan sarana kerja yang memadai
2.07 D
2..15 D
2.26 D
2.26 D
2.12 D
2.12 D
2.22 D
2.34 D
2.06 D
2.08 D
2.10 D
2.13 D
Insentif pegawai 2.00 D
2.02 D
2.01 D
2.04 D
2.00 D
2.03 D
2.05 D
2.07 D
2.01 D
2.02 D
2.04 D
2.06 D
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian (2006)
Penilaian pegawai terhadap mutu kinerja kepuasan pegawai secara keseluruhan
adalah kurang atau ‘D’. Sebagaimana pada bagian sebelumnya, pada kesempatan ini juga
akan diketengahkan mutu kinerja yang dihitung dari nilai konversi melalui metode
empirik. Adapun hasil nilai konversi adalah sebagai tertera pada Tabel 48 berikut ini.
146
Tabel 48 Nilai Konversi Mutu Kinerja Kepuasan Pegawai dengan Metode Empirik
Nilai Persepsi
Nilai Interval Konversi Empiris Peringkat Mutu
Mutu Kinerja
1 2.00 - 2.08 E Sangat Kurang 2 2.09 - 2.17 D Kurang 3 2.18 - 2.26 C Sedang 4 2.27 - 2.34 B Baik 5 2.34 - 2.43 A Sangat Baik
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian (2006)
Berdasarkan nilai konversi tersebut, maka mutu kinerja kepuasan pegawai dapat
dibandingkan dengan menyimak Tabel 49 berikut ini.
Tabel .49 Mutu Kinerja Puskesmas dari Aspek Kepuasan Pegawai (Metode Empirik)
ELITE
MODERATE SLUM
Triwulan
Triwulan
Triwulan
PKC Kepuasan Pegawai
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Keterlibatan dalam pengambilan keputusan
2.11 D
2.10 D
2.14 D
2.16 D
2.10 D
2.13 D
2.12 D
2.17 D
2.08 E
2.11 D
2.13 D
2.19 C
Penghargaan terhadap prestasi pegawai
2.23 C
2.27 C
2.31 B
2.43 A
2.08 E
2.10 D
2.16 D
2.19 C
2.03 E
2.03 E
2.05 E
2.06 E
Lingkungan suasana kerja di Puskesmas
2.09 D
2.17 D
2.13 D
2.29 B
2.05 E
2.09 D
2.11 D
2.28 B
2.07 E
2.07 E
2.09 D
2.09 D
Dukungan sarana kerja yang memadai
2.07 E
2..15 D
2.26 C
2.26 C
2.12 D
2.12 D
2.22 C
2.34 A
2.06 E
2.08 E
2.10 D
2.13 D
Insentif Pegawai 2.00 E
2.02 E
2.01 E
2.04 E
2.00 E
2.03 E
2.05 E
2.07 E
2.01 E
2.02 E
2.04 E
2.06 E
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian (2006)
Pada indikator keterlibatan pegawai dalam pengambilan keputusan, nampak mutu
kinerja rata-rata kurang baik atau ‘D’, artinya bahwa pegawai kurang puas terhadap aspek
keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan di Puskesmas. Sedangkan mutu
kinerja indikator-indikator lainnya lebih bervariasi, seperti pada pengha rgaan terhadap
prestasi pegawai pada triwulan 4 Puskesmas elite memperoleh nilai mutu ‘A’ yang berarti
meningkat dari triwulan-triwulan sebelumnya yakni ‘C’ dan ‘B’. Begitu pula pada
Puskesmas moderate meningkat dari sangat kurang menjadi baik atau ‘B’. Secara
keseluruhan nampak tidak berbeda jauh antara mutu kinerja yang diolah dengan metode
147
normatif dengan empiris, misalnya pada indikator insentif pegawai baik Puskesmas elite,
moderate, maupun slum memiliki mutu sangat kurang atau ‘E’.
Gambar 14 berikut ini adalah grafik kecenderungan dari perilaku kepuasan pegawai
baik di Puskesmas elite, moderate, maupun slum.
Pada grafik tergambar secara jelas, bagaimana pola kecenderungan perilaku sistem
kepuasan pegawai yang meningkat namun sangat kecil peningkatannya sehingga terkesan
datar. Yang perlu diperhatikan pada grafik tersebut adalah discrepancy antara kinerja
yang diharapkan dengan kenyataannya tergambar begitu lebar, sehingga dapat dipastikan
bahwa umpan balik negatif akan terjadi. Sistem akan mencari keseimbangan melalui
tindakan koreksi terhadap kesenjangan yang ada. Tindakan koreksi diperlukan untuk
perbaikan pada kelima indikator kinerja kepuasan pegawai.
2). Kapabilitas Informasi
Variabel kedua dari perspektif pembelajaran dan pertumbuhan adalah
kapabilitas informasi. Sejauh mana kemampuan pegawai dalam menjalankan tugas
memperoleh dukungan akses informasi tentang pelanggan, proses internal, dan keuangan,
yang secara keseluruhan mencakup ketersediaan, kecepatan, dan keakuratan informasi
tersebut. Hasil dari pengolahan data dapat disimak dalam Tabel 50 berikut ini.
Penilaian pegawai terhadap indikator ketersediaan informasi yang mencakup informasi
Time
Kepuasan_Pegawai_Elite1
Kepuasan_Pegawai_Moderat2
Kepuasan_Pegawai_Slum3
1 2 3 41
2
3
4
5
1 2 31
2 3 1 2 3 1
Gambar 14 Grafik Perilaku Kinerja Kepuasan Pegawai Puskesmas Elite,Moderate, dan Slum (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006)
148
tentang pelanggan, proses internal, dan keuangan, dinilai lebih tinggi oleh pegawai
Puskesmas elite, dan moderate, dari pada penilaian pegawai di Puskesmas slum.
Tabel 50 Nilai Indeks Kinerja Dari Aspek Kapabilitas Informasi Puskesmas
ELITE
MODERATE SLUM
Triwulan
Triwulan
Triwulan
PKC Kapabilitas Informasi
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Ketersediaan Informasi 3.22
3.24
3.30
3.52
2.95
3.14
3.40
3.28
2.72
2.96
2.88
3.16
Kecepatan Informasi
3.67
3.75
3.75
3.84
3.40
3.56
3.58
3.60
3.08
3.22
3.24
3.34
Keakuratan Informasi 3.77
3.88
3.82
3.95
3.40
3.46
3.56
3.72
3.22
3.32
3.33
3.54
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian (2006)
Ketersediaan informasi dinilai penting dalam meringankan beban kerja pegawai.
Beban kerja (work load) pegawai diketahui melalui perbandingan jumlah pegawai
Puskesmas dengan jumlah kunjungan pasien ke Puskesmas, dan jumlah kunjungan
pegawai Puskesmas ke masyarakat. Jumlah pegawai Puskesmas saat ini berjumlah lebih
kurang 62 hingga 64, sedangkan jumlah pasien yang berkunjung ke Puskesmas kurang
lebih 200 hingga 300 orang setiap hari. Beban tersebut belum termasuk dengan pelayanan
di luar gedung Puskesmas yang harus menjangkau seoptimal mungkin penduduk di
wilayah di mana Puskesmas berada. Sejalan dengan peningkatan jumlah pelanggan, maka
idealnya jumlah pegawai juga ditingkatkan terutama pegawai medis. Saat ini pegawai
medis di Puskesmas rata-rata berjumlah 9 hingga 11 orang
Indikator kedua yakni kecepatan informasi, nilai terendah adalah pada Puskesmas
slum. Kecepatan informasi menggambarkan adanya dukungan teknologi tinggi yang
membantu kelancaran arus informasi antara pegawai, antar pimpinan dan pegawai, dan
arus informasi keluar-masuk Puskesmas. Pada waktu penelitian ini dilakukan, ketiga
Puskesmas sampel sedang dalam proses mewujudkan program Sistem Informasi
Kesehatan (SIK) yang rencananya akan terintegrasi dengan Dinas Kesehatan.
Indikator yang terakhir adalah keakuratan informasi, nampak dalam tabel bahwa
urutan nilai tertinggi adalah Puskesmas elite, kemudian moderate, dan nilai terendah
adalah Puskesmas slum. Informasi yang tersedia dengan cepat tidak akan bermanfaat
149
apabila ternyata tidak akurat. Keakuratan informasi ditentukan oleh bagaimana cara
Puskesmas mengolah dan menyajikan data atau informasi yang diperlukan pegawai.
Berikut ini Tabel 51 yang akan menyajikan mutu kinerja kapabilitas informasi
menurut metode normatif.
Tabel. 51 Mutu Kinerja Puskesmas dari Aspek Kapabilitas Informasi (Metode Normatif)
ELITE
MODERATE SLUM
Triwulan
Triwulan
Triwulan
PKC Kapabilitas Informasi
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Ketersediaan Informasi 3.22
C 3.24
C 3.30
C 3.52
B 2.95
C 3.14 C
3.40 C
3.28 C
2.72 C
2.96 C
2.88 C
3.16 C
Kecepatan Informasi
3.67 B
3.75 B
3.75 B
3.84 B
3.40 C
3.56 B
3.58 B
3.60 B
3.08 C
3.22 C
3.24 C
3.34 C
Keakuratan Informasi 3.77 B
3.88 B
3.82 B
3.95 B
3.40 C
3.46 B
3.56 B
3.72 B
3.22 C
3.32 C
3.33 C
3.54 B
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian (2006)
Mutu kinerja ketersediaan informasi pada ketiga Puskesmas hampir sama yakni
berada pada nilai mutu ‘C’ atau sedang, kecuali pada triwulan 4 Puskesmas elite ‘B’.
Pada ‘kecepatan informasi’ mutu paling rendah adalah pada Puskesmas slum begitu pula
pada mutu kinerja ‘keakuratan informasi’.
Berikut ini adalah Tabel 52 yang akan mengetengahkan terlebih dahulu hasil
pengolahan nilai konversi mutu kinerja kapabilitas informasi secara empirik sebagai
berikut.
Tabel 52 Nilai Konversi Mutu Kinerja Kapabilitas Informasi dengan Metode Empirik
Nilai Persepsi
Nilai Interval Konversi Empiris Peringkat Mutu
Mutu Kinerja
1 2.720 - 2.966 E Sangat Kurang 2 2.966 - 3.212 D Kurang 3 3.212 - 3.458 C Sedang 4 3.458 - 3.704 B Baik 5 3.704 - 3.950 A Sangat Baik
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian (2006)
Berdasarkan pada nilai konversi tersebut, maka hasil penilaian mutu kinerja kapabilitas
informasi adalah sebagai berikut.
150
Tabel 53 Mutu Kinerja Puskesmas dari Aspek Kapabilitas Informasi (Metode Empirik )
ELITE
MODERATE SLUM
Triwulan
Triwulan
Triwulan
PKC Kapabilitas Informasi
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Ketersediaan Informasi 3.22
C 3.24
C 3.30
C 3.52
B 2.95
E 3.14 D
3.40 C
3.28 C
2.72 E
2.96 D
2.88 D
3.16 D
Kecepatan Informasi
3.67 B
3.75 A
3.75 A
3.84 A
3.40 C
3.56 B
3.58 B
3.60 B
3.08 D
3.22 C
3.24 C
3.34 C
Keakuratan Informasi 3.77 A
3.88 A
3.82 A
3.95 A
3.40 C
3.46 B
3.56 B
3.72 A
3.22 C
3.32 C
3.33 C
3.54 B
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian (2006)
Secara keseluruhan dalam metode empirik, mutu kinerja kapabilitas informasi
yang terbaik di antara ketiga Puskesmas adalah Puskesmas elite, peringkat kedua adalah
Puskesmas moderate, sedangkan yang terakhir adalah Puskesmas slum. Sedangkan grafik
yang menggambarkan kecenderungan dari perilaku sistem kapabilitas informasi
Puskesmas adalah sebagai berikut.
Grafik kecenderungan perilaku masih berbentuk ‘goal seeking’ karena masih
terdapat kesenjangan antara kinerja yang diharapkan dengan kenyataannya. Untuk
memperbaiki sistem kinerja, diperlukan tindakan koreksi pada nilai kinerja yang rendah.
Time
Kapabilitas_Informasi_Elite1
Kapabilitas_Informasi_Moderat2
Kapabilitas_Informasi_Slum3
1 2 3 41
2
3
4
5
12
3
1 23
1 23
13
Gambar 15 Grafik Kecenderungan Kapabilitas Informasi Puskesmas Elite, Moderate, dan Slum (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006)
151
3). Kapabilitas Pegawai
Pengukuran elemen-elemen kapabilitas pegawai dibatasi dan mengacu pada
indikator general knowledge atau pengetahuan umum pegawai tentang manajemen dan
beberapa upaya Puskesmas dalam mendukung terlaksananya pelayanan yang berkualitas.
Sedangkan pada skill, lebih mengacu pada pengukuran client-service skill-abilities.
Begitu pula tentang sikap responden, lebih diarahkan pada pengukuran sikap responden
tentang ketertarikannya terhadap kualitas pelayanan.
Indikator nomor 1 hingga 3 pada Tabel 54 berikut ini merupakan indikator tingkat
pengetahuan umum pegawai. Nampak bahwa angka skor yang cenderung di atas 4
menunjukan pengetahuan responden pegawai tentang ‘keteraturan manajemen Puskesmas
saat ini’. Begitu pula pengetahuan tentang masih sesuainya ‘20 Program Upaya Pokok
Puskesmas’ hingga saat ini
Mutu kinerja kapabilitas pegawai terhadap kedua pengetahuan tersebut memiliki
nilai ‘baik’ atau ‘B’ bahkan cenderung ‘sangat baik’ atau ‘A’. Namun pada indikator
nomor 3, yakni pengetahuan pegawai tentang hubungan Puskesmas swadana dengan
peningkatan kualitas pelayanan responden Puskesmas elite dan moderate yang menilai
bahwa swadana meningkatkan kualitas layanan, sedangkan responden Puskesmas slum,
rata-rata menyatakan peningkatannya sedang saja.
Selanjutnya indikator nomor 4 mewakili sikap responden terhadap perlunya
pelatihan yang mendukung pelaksanaan kualitas pelayanan Puskesmas, responden
Puskesmas slum menyatakan bahwa pelatihan semacam itu ‘cukup perlu’, terbukti
dengan nilai mutu pada kisaran ‘sedang’ atau ‘C’. Hal ini berbeda dengan sikap
responden dari Puskesmas elite dan moderate yang memperlihatkan optimisnya terhadap
perlunya pelatihan yang mendukung terselenggaranya kualitas pelayanan di Puskesmas.
Mutu kinerja kapabilitas elite dan moderate adalah ‘sangat baik’ atau ‘A’.
Indikator nomor 5 mewakili sikap minat atau ketertarikan pada pelatihan yang
mendukung pelaksanaan kualitas pelaya nan di Puskesmas. Pada kenyataannya, sikap
yang memandang perlu pelatihan dengan ketertarikan terhadap pelatihan tersebut tidak
selalu konsisten. Terbukti dengan nilai skor moderate yang melemah, yang diikuti dengan
mutu kinerja kapabilitas yang berada pada kisaran ‘sedang’ atau ‘C’.
152
Tabel 54 Indeks dan Mutu Kinerja Kapabilitas Pegawai
ELITE
MODERATE SLUM
Triwulan
Triwulan
Triwulan
PKC Kapabilitas Pegawai
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1. Pengetahuan Responden tentang manajemen Puskesmas saat ini
3.88 B
4.25 A
4.55 A
4.31 A
4.07 B
4.25 A
4.22 A
4.37 A
3.45 B
3.52 B
4.51 A
4.55 A
2. Pengetahuan terhadap kesesuaian 20 Upaya Pokok Puskesmas saat ini
4.11 B
4.30 A
4.33 A
4.32 A
4.21 A
4.14 B
4.31 A
4.37 A
3.71 B
3.80 B
3.74 B
4.00 B
3.Pengetahuan tentang Puskesmas Swadana
3.72 B
4.20 B
4.23 A
4.30 A
4.12 B
4.32 A
3.92 B
4.31 A
2.83 C
2.78 C
2.83 C
2.89 C
4.Sikap tentang perlunya pelatihan kualitas pelayanan
4.40 A
3.79 B
4.40 A
4.41 A
4.22 A
4.21 A
4.52 A
4.71 A
3.40 C
3.37 C
3.43 B
3.43 B
5.Ketertarikan terhadap pelatihan kualitas pelayanan
4.12 B
4.40 A
4.40 A
4.62 A
3.22 C
3.40 C
3.63 B
4.09 B
2.77 C
2.92 C
2.92 C
2.80 C
6.Sikap terhadap manfaat ISO
3.20 C
3.21 C
3.21 C
3.51 C
3.07 C
3.16 C
3.17 C
3.29 C
3.52 B
3.70 B
3.92 B
3.49 B
7.Kesesuaian pengetahuan yang dimiliki dengan tugas yang dijalankan
3.20 C
2.98 C
3.30 C
3.31 C
3.10 C
3.24 C
3.24 C
3.18 C
2.62 C
2.51 C
2.70 C
2.72 C
8.Komitmen untuk komunikasi dengan pelanggan
3.92 B
4.30 A
4.31 A
4.41 A
3.23 C
3.14 C
3.27 C
3.27 C
2.91 C
3.20 C
3.22 C
3.43 B
9. Komitmen dengan upaya mengetahui kepuasan pelanggan
4.00 B
4.10 B
3.98 B
4.50 A
3.10 C
3.40 C
3.61 B
3.66 B
2.12 C
2.32 C
2.91 C
2.83 C
10. Ketertarikan terhadap tugas menangani keluhan pelanggan
4.00 B
4.13 B
3.98 B
4.00 B
3.30 C
3.41 B
3.37 C
3.58 B
3.41 B
3.42 B
4.11 B
4.09 B
11. Ketersediaan terhadap tugas menangani keluhan pelanggan
4.33 A
4.33 A
4.61 A
4.58 A
4.14 B
4.14 B
4.23 B
4.37 B
3.52 B
3.52 B
3.55 B
3.65 B
12. Pilihan tugas ‘dibelakang meja’ atau melayani pelanggan secara langsung.
2.92 C
2.59 C
3.23 C
3.26 C
4.02 B
4.23 B
4.13 B
4.35 B
3.00 C
3.15 C
3.25 C
3.24 C
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian (2006)
Selanjutnya, sikap responden terhadap manfaat pelaksanaan ISO di Puskesmas
(ISO merupakan salah satu bentuk upaya peningkatan mutu manajemen pelayanan), pada
indikator nomor 6 nampak bahwa responden Puskesmas slum memiliki sikap lebih positif
dalam memandang ‘manfaat ISO’ dalam mendukung kemajuan pelaksanaan tugas-tugas
pelayanan di Puskesmas. Sedangkan responden elite dan moderate tidak antusias dengan
ISO.
Indikator selanjutnya yang masih berhubungan dengan sikap adalah, sikap
responden terhadap kesesuaian pendidikan formalnya dengan tugas-tugas yang dijalankan
153
saat ini. Ketiga responden baik dari Puskesmas elite, moderate maupun slum menyatakan
‘cukup sesuai’. Hasil pengamatan di lapangan menunjukan, hampir sebagian besar
pegawai Puskesmas yang menjabat struktural, dan menjalankan tugas-tugas administratif
adalah bergelar atau berpendidikan dokter dan medis-paramedis. Nampaknya terjadi dwi
fungsi dokter, yakni baik sebagai manajer atau administrator maupun berfungsi pula
sebagai dokter. mantan Ketua IDI, Kartono Muhamad pernah menyoroti hal ini, dalam
kaitannya dengan kekurangan dokter di daerah, sedangkan di sisi lain dokter di
Puskesmas lebih banyak menjalankan tugas-tugas manajerial (Sumber: Kompas, April,
2006)
Selanjutnya indikator- indikator yang mewakili skill-abilities adalah indikator
nomor 8 hingga 12. Kemampuan Client serv ices competencies adalah kemampuan
menyediakan pelayanan yang berkualitas yang ditunjukkan dengan penilaian terhadap
pentingnya membangun hubungan dengan pelanggan, mencari input atau sumber-sumber
penting agar pelayanan menjadi lebih baik, sharing information, dan membangun
komunikasi dengan pelanggan (Brisson et al, 1998).
Nampak nilai skor indikator nomor 8 yang tertinggi adalah pada responden
pegawai Puskesmas Kebayoran Baru. Dengan pernyataan komitmen tinggi terhadap
kesediaan untuk membangun komunikasi dengan pelangga n, sedangkan responden
moderate dan slum berada pada tingkat komitmen yang sedang. Komitmen yang tinggi
juga nampak pada responden Puskesmas elite dalam kesediaan mencari upaya untuk
melayani pelanggan sebaik-baiknya, sedangkan responden moderate dan slum lebih
memilih berada pada tingkat komitmen yang sedang-sedang saja.
Indikator nomor 10 tentang ketertarikan menangani tugas-tugas yang berhubungan
dengan keluhan pelanggan bila tugas tersebut didelegasikan oleh pimpinan, nampaknya
memperoleh nilai yang konsisten, artinya ketiga responden tidak menunjukan perbedaan
nilai yang nyata, dan konsisten terhadap indikator nomor 11 yakni ‘bersedia’
melaksanakan tugas-tugas tersebut.
Komitmen yang tinggi juga nampak pada responden Puskesmas elite dalam
kesediaan mencari upaya untuk melayani pelanggan sebaik-baiknya, sedangkan
responden moderate dan slum lebih memilih berada pada tingkat komitmen yang sedang-
sedang saja.
154
Komitmen responden selanjutnya diuji dengan persetujuannya terhadap pilihan
bekerja di belakang meja atau berhadapan langsung dengan pelanggan. Keraguan nampak
pada responden elite dan slum, sedangkan pada responden moderate secara tegas ‘setuju’
dengan tugas-tugas pelayanan langsung pada pelanggan.
Indikator-indikator kapabilitas tersebut hanya sebagian dari informasi tentang
kapabilitas pegawai Puskesmas, serta lebih mengacu pada skala sikap pegawai terhadap
pengetahuannya tentang manajemen secara umum, sikap terhadap pelayanan yang
berorientasi pada kualitas, serta komitmennya untuk menjalankan beberapa kualitas
pelayanan yang ditanyakan pada mereka. Untuk melengkapi informasi tentang kapabilitas
pegawai, berikut ini disajikan data sekunder tentang jumlah dan komposisi pegawai, rata-
rata pelatihan yang pernah diikuti, work load, rata-rata pengalaman kerja, dan pelatihan
atau pendidikan yang bersertifikat yang berhubungan dengan pekerjaan di Puskesmas.
Berikut ini adalah hasil dari identifikasi tentang hal tersebut.
Tabel 55 Data Sekunder yang Menunjang Kapabilitas Pegawai
Elite Moderate Slum No. Uraian Jumlah
1 Jumlah Pegawai 64 73 62 2 Komposisi Pegawai
-Medis (PNS) -Medis (Kontrak) -Para Medis (PNS) -Para-Medis (Kontrak) -Non-Medis (PNS) -Non- Medis (Kontrak)
11 10
14 6
17 6
10 2
38 4
12 7
9 5
18 3
21 6
3 Lama bekerja di Puskesmas -Kurang dari 1 tahun -1 tahun – 2 tahun -2 tahun – 3 tahun -3 tahun - 4 tahun - diatas 4 tahun
7 5 18 10 24
13 4
10 19 46
15 9
10 12 16
4 Rata-rata Pelatihan yang pernah diikuti dalam 2 tahun terakhir -Medis (PNS) -Para Medis (PNS) -Non-Medis (PNS)
5 kali 3 kali 3 kali
3 kali 4 kali 2 kali
3 kali 3 kali 2 kali
5 Work load (jumlah SDM : jumlah pasien)
1 : 903 1 : 801 1 : 988
Su mber: Diolah dari Data Sekunder Puskesmas, 2005
155
Setelah seluruh hasil kinerja BSC ketiga Puskesmas (elite, moderate dan slum)
diketahui, maka selanjutnya secara garis besar dapat disimpulkan sebagai berikut :
Tabel 56 Rekapitulasi Hasil Kinerja BSC Puskesmas di DKI-Jakarta
Puskesmas No. Kinerja Elite Moderate Slum
I Kepuasan Pelanggan : 1. Tangible R T S 2 Responsiveness R S T 3 Reliability T R S 4 Assurance T S R 5 Empathy T R S II Proses Internal : 1 Indeks Pencapaian Program-Program Inovasi T S S 2 Rata-rata Lead Time (waktu layanan) S S S 3 Indeks Ketersediaan obat S R T 4 Indeks Penilaian Penyuluhan R S T
III Keuangan : 1 Indeks Biaya Per Pelanggan R T S 2 Indeks Kontribusi Pemasukan per Pelanggan. R T S
IV Pembelajaran – Pertumbuhan 1 Indeks Kepuasan Pegawai T S R 2 Indeks Kapabilitas Informasi T S R 3 Indeks Kapabilitas Pegawai T R S Data Sekunder yang Mendukung Kap.Pegawai
4 Jumlah Pegawai PNS S T R 5 Jumlah Pegawai Kontrak T S R 6 Rata- rata Pelatihan Per Pegawai T S R 7 Tingkat Work Load S R (+)=T T (-)=R
Total nilai dari 18 Indikator Kinerja yang diujikan
9T+ 3S+6R
5T+9S+4R
3T+8S+7R
Sumber : Hasil Penelitian Penulis, 2006
Secara garis besar, dapat ditetapkan bahwa urutan kinerja BSC adalah pertama,
Puskesmas elite, kedua adalah Puskesmas moderate, dan terakhir adalah Puskesmas slum
Pola Kecenderungan Hubungan Kinerja BSC Puskesmas
Sebagaimana telah diketengahkan bahwa variabel-variabel kinerja BSC
diperkirakan saling berhubungan secara kausalitas membentuk suatu sistem. Cara
pandang yang mengacu pada analisis hubungan variabel secara sistemik sangat
membantu untuk mengambil keputusan pemberdayaan Puskesmas secara komprehensif
dan tidak parsial. Tindakan perbaikan kinerja yang lemah dipandang memiliki keterkaitan
dengan kinerja yang lainnya, Kaplan dan Norton (1996) memberikan pernyataan bahwa
156
lag indicator (indikator hasil ) pasti terkait dengan lead indicator (indikator pendorong).
Untuk menggambarkan hubungan tersebut, berikut ini diketengahkan pola atau arah
kecenderungan hubungan-hubungan sistemik dalam kinerja BSC Puskesmas dalam suatu
gambar Causal Loop Diagram (CLD)
Dalam System Dynamic (SD), CLD adalah suatu alat berupa model yang
memperlihatkan pola hubungan kausal diantara satu set variabel-variabel yang
dioperasikan dalam sistem. Elemen dasar dalam CLD adalah ‘variabel-variabel’ dan
‘panah-panah’ yang menggambarkan hubungan variabel-variabel, baik hubungan searah
(tanda ‘s’ atau ‘+’) maupun berlawanan arah (tanda ‘o’ atau ‘- ‘). Suatu variabel adalah
suatu kondisi, situasi, tindakan, atau keputusan-keputusan yang dapat mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh variabel lainnya. Model CLD diciptakan dengan melalui proses yang
panjang yang memadukan kerangka berpikir secara teoritis dan aspek-aspek empiris.
Hubungan kausalitas dalam CLD menghasilkan dua macam umpan balik, yakni positif
(Reinforcing / R) dan negatif (Balancing/ B)
Umpan balik positif (R) menggambarkan pola kecenderungan hubungan yang
saling menguatkan (seluruhnya + ) atau meluruhkan (seluruhnya - ) dalam bentuk loop
(hubungan kausal) tertutup. Makna positif atau negatif bukan berarti baik atau buruk,
melainkan hanya menggambarkan pola perubahan searah atau berlawanan arah. Contoh:
Bila mutu layanan meningkat, maka kepuasan pelanggan juga meningkat, dan bila
kepuasan pelanggan meningkat, jumlah pasien akan bertambah, bertambahnya jumlah
pasien akan meningkatkan penerimaan retribusi, bertambahnya penerimaan akan
meningkatkan mutu layanan. (variabel mutu layanan akan mengawali dan menutup
sebuah loop atau pola umpan balik)
Umpan balik negatif (B) menggambarkan pola arah hubungan yang bersifat
melemahkan, karena salah satu variabel negatif. Untuk menyeimbangkan sistem, maka
variabel yang negatif biasanya diperhatikan dan dilakukan tindakan koreksi. Berdasarkan
pengertian tersebut, maka umpan balik B juga dikenal sebagai suatu sistem yang mencari
stabilitas dan kontrol terhadap keseimbangan yang diinginkan. Contoh: Penerimaan
retribusi akan meningkatkan pelatihan pegawai (+), sementara peningkatan pelatihan
akan mengurangi (-) penerimaan. Pesan yang dibawa dalam hubungan ini adalah, bahwa
157
penerimaan harus dijaga sedemikian rupa agar kebutuhan pelatihan terpenuhi dengan
wajar.
Sebelum model CLD dan SFD (Stock Flow Diagram) diciptakan, terlebih dulu
dilakukan validasi terhadap kedua model tersebut. Berikut ini hasil validasi model.
Hasil Validitas Model
Pekerjaan pemodelan adalah pekerjaan ilmiah yang harus dilakukan seobyektif
mungkin dengan mentaati fakta yang ada, oleh karena itu validitas atau keabsahan suatu
model menjadi salah satu kriteria penilaian obyektifitas suatu pekerjaan ilmiah.
(Muhammadi, dkk, 2001:343).
Keabsahan suatu model juga berfungsi untuk memastikan bahwa model layak
digunakan untuk membangun skenario pemberdayaan Puskesmas. Model dianggap layak
bila memiliki keserupaan dengan dunia nyata. Menurut Muhammadi, dkk (2001:344),
keserupaan model tidak berarti harus sama, melainkan dapat ditunjukan dengan sejauh
mana simulasi dapat menirukan data statistik dan informasi aktual.
Dalam penelitian ini tehnik validasi yang digunakan mencakup validasi proses
modeling (secara kualitatif), dan validasi statistik. Penjelasan dan hasil kedua validasi
adalah sebagai berikut : Pertama, validasi proses adalah suatu cara membuktikan
keabsahan suatu model kinerja BSC Puskesmas berdasarkan pada proses kesepakatan
para ahli dan praktisi yang dibangun melalui perjalanan yang panjang dalam
menghasilkan keserupaan model dengan dunia nyata. Dengan kata lain, validasi pada
proses modeling sebenarnya merupakan proses verifikasi secara kualitatif terhadap model
yang dibangun, apakah suatu model benar-benar memiliki keserupaan dengan dunia
nyata atau tidak, sebelum model ditetapkan. Logika pemikiran model umumnya didahului
dengan teori dan data aktual yang kemudian di diskusikan dengan para ahli/pakar
maupun para praktisi/stakeholders Puskesmas untuk memperoleh kesepakatan.
Langkah pertama dalam validasi proses modeling adalah, dilakukan studi awal
terhadap masalah-masalah yang terkait dengan kinerja Puskesmas. Dari hasil telaah
berbagai dokumen dan data sekunder, kemudian dibuat rancangan model dan kemudian
mendiskusikan rancangan tersebut dengan para ahli modeling untuk memperoleh
158
dukungan teknis dan teoritik yang diperlukan. Pada langkah pertama ini rancangan model
mengalami perubahan dan replikasi berulang-ulang.
Langkah kedua, kemudian hasil replikasi model hub ungan kinerja yang dihasilkan
didiskusikan dengan praktisi terkait, dalam hal ini pihak yang pertama kali terlibat dalam
diskusi model adalah pimpinan Puskesmas dan beberapa staf yang berfungsi sebagai
informan. Proses kedua ini juga tidak secara serta merta menghasilkan model yang
definitif, melainkan mengalami berbagai perubahan dan pengembangan model hingga
diperoleh kesepakatan.
Langkah ketiga adalah membawa replikasi model dari hasil kesepakatan ke para
ahli pemodelan kembali, untuk dilakukan uji simulasi secara statistik. Ketiga langkah
validasi proses yang diuraikan tersebut hanyalah bentuk penyederhanaan dari proses
panjang perjalanan rancangan model hingga menjadi model yang ditetapkan saat ini, dan
belum mencerminkan validasi model secara utuh.
Kedua, keabsahan suatu model melalui validasi proses adalah belum cukup, untuk
itu perlu dilakukan validasi statistik. Uji statistik yang digunakan yaitu AME (Absolute
Means Error), yaitu penyimpangan nilai rata-rata simulasi terhadap nilai aktual. Batas
penyimpangan yang dapat diterima adalah antara 5-10%. Ada tujuh variabel yang akan
divalidasi, yakni kepuasan pasien, jumlah pasien, pemasukan, pengeluaran dana, insentif
pegawai, dan kepuasan pegawai. Secara teoritis, validasi statistik dapat dilakukan dengan
secara representasi atau perwakilan, dan tidak harus menguji seluruh variabel dalam
model, melainkan memilih variabel-variabel yang memiliki kompleksitas dan mewakili
setiap perspektif kinerja BSC.
Dalam uji validasi statistik ini dilakukan dua langkah, yang pertama, analisis visual
yaitu melihat perbedaan atau kesamaan grafik hasil simulasi dan data aktual. Bagaimana
pola kecenderungannya, misalnya, apakah menunjukkan pola yang sama-sama meningkat
atau sebaliknya sama-sama menurun. Apakah pola meningkatnya memiliki tipe grafik
yang sama, seperti eksponensial, goal seeking, atau S-shape. Analisis visual ini untuk
memastikan adanya kesamaan pola kecenderungan.
Namun demikian kesamaan pola tersebut tidak menjelaskan apakah penyimpangan
antara hasil simulasi dan aktual nilainya dapat diterima secara statistik. Untuk itu uji
159
statistik dilakukan sebagai langkah kedua. Hasil rinci dari kedua langkah ini dapat
disimak dalam lampiran disertasi ini.
Sedangkan hasil uji statistik dari ketujuh variabel kinerja Puskesmas elite, moderate
dan slum secara keseluruhan menunjukan pola kecenderungan meningkat atau menaik,
serta menunjukan angka-angka penyimpangan yang rata-rata di bawah 10 %, sehingga
dapat dinyatakan bahwa ketujuh variabel pada ketiga Puskesmas adalah valid secara
keseluruhan. Berikut ini adalah tabel yang berisi ringkasan dari hasil uji validitas AME
variabel-variabel kinerja Puskesmas .
Tabel 57 Hasil Validasi Variabel-variabel Model Kinerja Puskesmas Elite, Moderate dan Slum
Puskesmas Elite
Puskesmas Moderate Puskesmas Slum No
Variabel
AME
Validitas AME Validitas AME Validitas
1 Ind. Kep.Plg 0.5 Valid 1.6 Valid 0.3 Valid 2 Jumlah Pasien 2.4 Valid 2.8 Valid 4.3 Valid 3 Jum.Pemasuk 0.6 Valid 1.2 Valid 1.1 Valid 4 Jum.Pengeluar 3 Valid 1.5 Valid 1.8 Valid 5 Jum.Insen.Peg 2 Valid 0.8 Valid 4.1 Valid 6 Ind.Kep.Pgw 5.1 Valid 3 Valid 1.6 Valid 7 Lead Time 4.3 Valid 4.4 Valid 6.6 Valid
Sumber: Hasil Pengolahan Penulis, 2005 Causal Loop Diagram Kinerja BSC Puskesmas
Setelah model dinyatakan valid, maka selanjutnya diketengahkan model yang
menggambarkan arah kecenderungan hubungan kinerja BSC Puskesmas melalui Causal
Loop Diagram (CLD). Dalam model CLD dapat diketahui hubungan-hubungan yang
menggambarkan umpan balik sistem kinerja, apakah positif atau Reinforcing (R) atau
negatif Balancing (B). Dalam model ditemukan 4 hubungan umpan balik positif (R) yang
ditandai R1 hingga R4 (bulatan merah) dan 8 hubungan umpan balik negatif (B) yang
ditandai B1-B8 (bulatan biru)
Ke duabelas hubungan tersebut terjadi pada 4 perspektif BSC sebagaimana
tergambar pada 4 kotak model dengan warna yang berbeda. (lihat gambar 5.9)
160
KepuasanPasienJumlah
Pasien
+Mutu
Layanan
+
LeadTime
KetersediaanObat
Penyuluhan
++
-
Penerimaan
Subsidi
Tarif
+
+
+
InsentifPegawai
CoveragePelatihan
JumlahPegawai
+
-
-
+
KapabilitasPegawai
+
+
+
-
Workload
KepuasanPegawai
+
+
+
+
+
+
PELANGGAN
KEUANGAN
PROSESINTERNAL
PERTUMBUHANPEMBELAJARAN
-
KetersediaanInformasi
+
+
+
+
-
InovasiLayanan
B8
B7
B1
B2
B3
B4
B5
B6
R1
R3R2
R4
Gambar 16 CLD Dinamika Sistem Kinerja BSC Puskemas (Sumber: Hasil Penelitian Penulis,2006)
Gambar model CLD berisi kompleksitas detail dan kompleksitas dinamik.
Kompleksitas detail menggambarkan jumlah variabel-variabel yang dioperasionalisasikan
dalam model, sementara kompleksitas dinamik menggambarkan hubungan kausalitas
variabel-variabel. Adapun kompleksitas detail dalam CLD Puskesmas terdiri dari 2 (dua)
variabel pada perspektif pelanggan yakni jumlah pelanggan / pasien dan indeks kepuasan
pelanggan/pasien. Sementara pada perspektif proses internal terdapat 5 (lima) variabel
yakni penyuluhan, mutu layanan, waktu layanan (lead time), inovasi layanan, dan
ketersediaan obat. Pemilihan variabel-variabel yang dioperasionalisasikan ini adalah
kesepakatan dalam hasil validasi proses dengan pihak Puskesmas.
Pada perspektif keuangan, variabel-variabel yang diketengahkan ada 2 yakni
penerimaan retribusi dan subsidi. Sedangkan pada perspektif pembelajaran-pertumbuhan,
161
variabel-variabel yang diangkat berjumlah 7 (tujuh) yakni, jumlah pegawai, beban kerja
(work load), insentif pegawai, kepuasan pegawai, pelatihan yang bisa di ‘cover’
(coverage pelatihan), ketersediaan informasi, dan kapabilitas informasi. Dengan demikian
total variabel yang dioperasionalisasikan dalam model CLD ada 16 variabel .
Pada kompleksitas dinamik yang terdapat pada CLD dapat diketahui dengan
identifikasi hubungan umpan balik yang terdapat di dalamnya. Sebagaimana telah
diketengahkan bahwa terdapat 12 hubungan umpan balik. Berikut ini adalah hasilnya.
Umpan Balik Pada Perspektif Pelanggan (R1 – R4 dan B1)
Pada perspektif pelanggan terdapat 4 (empat) hubungan kausalitas dengan umpan
balik positif (Reinforcing atau R1-R4) dan 1 (satu) umpan balik negatif (Balancing atau
B1) sebagai berikut :
R1: Umpan balik Reinforcing Loop terjadi antara jumlah pasien – penerimaan –
insentif pegawai – kepuasan pegawai – kapabilitas pegawai – mutu layanan – kepuasan
pasien - jumlah pasien.
Pola hubungan R1 dimulai dari variabel jumlah pasien dan diakhiri pada variabel
yang sama. Dengan demikian jumlah pasien menjadi variabel awal dan akhir yang
membentuk suatu loop (system) tertutup yang bersifat positif. Dikatakan positif karena
hubungan-hubungan bersifat searah atau positif / meningkat semua (saling menguatkan),
dan dapat juga negatif/menurun semua (saling menurunkan).
Secara naratif dapat dijelaskan, bahwa jumlah pasien secara positif (+)
mempengaruhi penerimaan atau pemasukan Puskesmas dari tar if/swadana. Dengan
bertambahnya penerimaan swadana yang dapat dikelola oleh Puskesmas sendiri, maka
Puskesmas dapat memberikan (+) insentif pegawai secara lebih layak, sebab sesuai
dengan peraturan Pemerintah Daerah, 35 % dari penerimaan swadana memang
dialokasikan untuk jasa medis dan insentif pegawai secara merata. Selanjutnya variabel
insentif pegawai secara positif mempengaruhi (+) variabel kepuasan pegawai, artinya jika
insentif pegawai meningkat, maka kepuasan pegawai juga akan meningkat, begitu pula
sebaliknya.kepuasan pegawai yang meningkat, selanjutnya akan mempengaruhi (+)
kapabilitas pegawai, dan pada gilirannya, akan mempengaruhi (+) pula mutu layanan.
Jika mutu layanan terus meningkat, maka akan mempengaruhi secara positif (+) kepuasan
162
pasien/pelanggan, dan selanjutnya akan berpengaruh (+) terhadap jumlah Pasien.(lihat
lampiran model 1)
R 2: Umpan balik Reinforcing Loop yang terjadi antara jumlah pasien –work load
–lead time – mutu layanan - kepuasan pasien - jumlah pasien.
Sekali lagi terjadi hubungan kausalitas dengan umpan balik positif antara variabel –
variabel pelanggan dengan perspektif lainnya. Narasinya adalah, peningkatan (+) jumlah
pasien secara positif akan meningkatkan (+) pula beban kerja atau work load pegawai.
Jika beban kerja meningkat maka lead time atau waktu layanan akan menjadi cepat atau
meningkat (+) karena para pegawai menjadi sibuk. lead time secara positif akan
mempengaruhi mutu layanan, dan selanjutnya pada gilirannya akan mempengaruhi (+)
kepuasan pasien, dan kembali akan mempengaruhi (+) jumlah pasien. (lihat lampiran
model 2)
R 3: Umpan balik Reinforcing Loop terjadi antara jumlah pasien – work load –
inovasi layanan - mutu layanan – kepuasan pasien - jumlah pasien.
Hubungan yang terjadi masih bersumber pada perspektif pelanggan, di mana
jumlah pasien sebagaimana telah diungkapkan berpengaruh secara positif (+) akan
menambah beban kerja atau Work Load, sedangkan beban kerja akan secara positif
mempengaruhi (+) indeks inovasi layanan, artinya jika beban kerja meningkat maka
harus dicari upaya untuk meningkatkan inovasi pelayanan agar menurunkan beban kerja
pegawai. Pada gilirannya, inovasi layanan akan secara positif pula (+) mempengaruhi
mutu layanan, dan seperti yang sudah-sudah mutu akan mempengaruhi kepuasan
pelanggan, dan kepuasan akan mempengaruhi jumlah pasien. (lihat lampiran model 3)
R 4: Umpan balik Reinforcing Loop yang terjadi antara jumlah pasien –
penerimaan – penyuluhan - mutu layanan – kepuasan pasien - jumlah pasien.
Pada hubungan R4, jumlah pasien secara positif mempengaruhi (+) penerimaan,
selanjutnya penerimaan akan mempengaruhi kemampuan Puskesmas untuk melakukan
penyuluhan (termasuk promosi) pada masyarakat. Efek penyuluhan maupun promosi
akan secara positif pula mempengaruhi tersebarnya mutu layanan, dan pada gilirannya
akan kembali memuaskan pelanggan, serta meningkatnya jumlah pasien. (lihat lampiran
model 4)
163
B 1 : Umpan balik Balancing Loop terjadi antara jumlah Pasien – ketersediaan obat
– mutu layanan – kepuasan pasien - jumlah pasien.
Pada struktur ini, pola hubungan negatif terdapat pada hubungan antara jumlah
pasien akan mengurangi (-) ketersediaan obat. Selanjutnya ketersediaan obat akan secara
positif (+) mempengaruhi mutu layanan, kemudian pada gilirannya mutu layanan akan
mempengaruhi secara positif (+) jumlah pasien. Hasil hubungan negatif – positif – positif
menghasilkan negatif atau umpan balik negatif yang disebut sebagai Balancing (B1).
Yang perlu diperhatikan di sini adalah bagaimana menjaga atau mengoreksi agar
ketersediaan obat selalu dalam batas normal atau ideal sebagaimana di tetapkan.
Tindakan koreksi terhadap ketersediaan obat selanjutnya akan menjadi variabel
penyeimbang dalam sistem. (lihat lampiran model 5)
Umpan Balik Pada Pe rspektif Proses Internal (B2 – B4)
Pada perspektif proses internal, terjadi pola hubungan dengan umpan balik negatif
(Balancing / B2 , B3, dan B4). Secara keseluruhan muara dari hubungan dimulai dan
diakhiri dari variabel mutu layanan. Berikut ini adalah narasi dari hubungan tersebut.
B 2 : Umpan balik Balancing Loop terjadi antara variable -variabel mutu layanan –
kepuasan pasien - jumlah pasien – jumlah pegawai – work load – lead time – mutu
layanan
Peningkatan mutu layanan secara positif akan diikuti oleh peningkatan kepuasan
pasien (+), dan kemudian peningkatan jumlah pasien (+). Jika jumlah pasien meningkat,
maka jumlah pegawai juga idealnya ditingkatkan (+), sebab jika tidak beban kerja akan
meningkat pula. Peningkatan jumlah pegawai secara otomatis akan mengurangi work
load (-), selanjutnya peningkatan work load akan menyebabkan peningkatan waktu
layanan atau lead time. Naik – turunnya waktu layanan jelas akan mempengaruhi mutu
layanan. (lihat lampiran model 6)
B 3: Umpan balik Balancing Loop terjadi antara variable mutu layanan –
kepuasan pasien - jumlah pasien. - jumlah pegawai – work load – inovasi layanan – mutu
layanan
Mutu layanan secara positif mempengaruhi kepuasan pasien (+) dan kemudian
membawa dampak pada peningkatan jumlah pasien (+). Peningkatan jumlah pasien
164
kemudian akan mempengaruhi peningkatan jumlah pegawai (+), kemudian pada siklus
berikutnya jika jumlah pegawai ditingkatkan maka akan mengurangi work load (-),
selanjutnya peningkatan beban kerja seharusnya diikuti dengan peningkatan (+) inovasi
layanan agar mutu layanan menjadi bagus (lihat lampiran model 7)
B 4: Umpan balik Balancing Loop terjadi antara variable-variabel mutu layanan –
kepuasan pasien - jumlah pasien.- jumlah pegawai – coverage pelatihan – kapabilitas
pegawai – mutu layanan
Masih bermuara dari mutu layanan, pengaruh positifnya mencapai jumlah pasien
dan jumlah pegawai. Jumlah pegawai selanjutnya akan mengurangi (-) jumlah pelatihan
yang bisa di cover oleh setiap pegawai (coverage pelatihan). Peningkatan atau penurunan
coverage pelatihan selanjutnya akan mempengaruhi peningkatan atau penurunan
kapabilitas pegawai (+), kemudian pada gilirannya akan mempengaruhi pula mutu
layanan itu sendiri (+). ( lihat lampiran model 8)
Umpan Balik Pada Perspektif Pembelajaran-Pertumbuhan (B 5 – B 6)
Pada Perspektif Pembelajaran-Pertumbuhan pegawai Puskesmas, terdapat 2 (dua)
pola hubungan kausalitas dengan umpan balik negatif (Balancing atau B5 dan B6).
Dengan bermuara pada variabel jumlah pegawai, maka dapat dijelaskan hubungan
variabel-variabel tersebut sebagai berikut :
B 5: Umpan balik Balancing Loop terjadi antara variable-variabel jumlah pegawai
- penerimaan – penyuluhan – mutu layanan – kepuasan pasien - jumlah pasien –jumlah
pegawai.
Peningkatan jumlah pegawai akan diikuti dengan penurunan penerimaan (-),
kemudian turunnya penerimaan menyebabkan turunnya mutu layanan (+), selanjutnya
turunnya mutu layanan akan menyebabkan turunnya kepuasan pasien (+) serta turunnya
jumlah pasien (+), pada gilirannya turunnya jumlah pasien akan diikuti dengan turunnya
jumlah pegawai dalam hal ini pengurangan tenaga kontrak. (lihat lampiran model 9)
B 6: Umpan balik Balancing Loop terjadi antara variable-variabel jumlah
pegawai – penerimaan - insentif pegawai – kepuasan pegawai – kapabilitas pegawai –
mutu layanan - kepuasan pasien - jumlah pasien- jumlah pegawai.
165
Meningkatnya jumlah pegawai karena beban kerja yang meningkat akan
mengurangi penerimaan karena Puskesmas harus mengeluarkan belanja pegawai kontrak
(-). Jika penerimaan menurun maka hal ini juga akan diikuti dengan penurunan insentif
(+) sebab insentif pegawai Puskesmas salah satunya adalah mengandalkan pemasukan
swadana (retribusi tarif yang dikelola otonom oleh Puskesmas). Jika insentif menurun
maka kepuasan pegawai juga akan menurun (+), pada gilirannya akan mempengaruhi
atau menurunkan kapabilitas pegawai karena tidak puas (+). Jika kapabilitas menurun
maka dapat dipastikan bahwa mutu layanan juga akan menurun, demikian pula kepuasan
pelanggan, dan selanjutnya akan menurunkan jumlah pasien yang datang. Jumlah pasien
yang turun harus diikuti dengan penurunan jumlah pegawai (+) agar tidak terjadi
kelebihan pegawai.(lihat lampiran model 10)
Umpan Balik Pada Perspektif Keuangan (B 7 – B 8)
Pada Perspektif Keuangan, pola hubungan yang terjadi diantara variabel-variabel di
dalamnya, menghasilkan umpan balik negatif (Balancing feed back B 7 dan B 8). Secara
naratif, hubungan tersebut adalah sebagai berikut :
B 7: Umpan balik Balancing Loop terjadi diantara variabel-variabel penerimaan -
insentif pegawai – penerimaan.
Artinya adalah, jika penerimaan Puskesmas meningkat, maka insentif pegawai
kemungkinan besar juga akan meningkat (+), demikian pula jika yang terjadi sebaliknya.
insentif pegawai yang meningkat akan mengurangi (-) atau menyedot penerimaan
Puskesmas (lihat lampiran model 11)
B 8: Umpan Balik Balancing Loop terjadi diantara hubungan variabel-variabel
penerimaan – penyuluhan – penerimaan.
Sama dengan hubungan sebelumnya, bahwa jika penerimaan Puskesmas
meningkat karena jumlah pelanggan meningkat misalnya, maka biaya penyuluhan juga
akan meningkat (+), namun jika biaya penyuluhan meningkat, maka penerimaan akan
kembali berkurang (-) atau menurun (lihat lampiran model 12)
Demikian hasil analisis model hubungan kausalitas kinerja BSC Puskesmas yang
digambarkan melalui Causal-Loop Diagram (CLD). Sebagai bangunan mental model
sebagaimana diketengahkan oleh Senge, maka parameter-parameter dalam struktur CLD
166
akan lebih lengkap dan quantifiable bila diketengahkan dalam bangunan model Stock -
Flow Diagram (SFD) dalam struktur atau bentuk sistem kinerja Puskesmas berikut ini.
Struktur Sistem Kinerja Puskesmas
Pola atau arah kecenderungan hubungan yang digambarkan melalui CLD adalah
untuk membantu analisis hubungan variabel-variabel kinerja secara sistemik, namun
untuk mengetahui berapa nilai hubungan variabel-variabel di sana, diperlukan alat bantu
yang disebut Stock Flow Diagram (SFD). Melalui SFD dinamika struktur sistem secara
quantifiable dapat diketahui. (dapat dihitung). Hal ini secara konseptual diperkuat oleh
Sterman (2000:191) yang menyatakan bahwa CLD memiliki sejumlah keterbatasan,
antara lain adalah ketidakmampuannya untuk menggambarkan atau menghitung stock –
flow dari struktur sistem yang merupakan konsep sentral dalam System Dynamic (SD).
Stock-Flow Diagram (SFD) selanjutnya diperlukan untuk mengetahui aliran
berbagai informasi maupun keputusan-keputusan yang ada dalam sistem secara
kuantitatif. Perhitungan-perhitungan diperlukan untuk membantu membuat intervensi
tindakan melalui simulasi model sistem sehingga dapat diketahui perilaku dari sistem.
Dengan diketahuinya perilaku sistem kinerja Puskesmas, maka dapat disusun skenario-
skenario tindakan atau pemberdayaan sebagai dasar pengambilan keputusan dalam
penetapan model pemberdayaan Puskesmas elite, moderate, maupun slum sebagai tujuan
terakhir dari penelitian disertasi ini.
Menurut Sterman (2000:192) stock adalah akumulasi-akumulasi. Dalam sistem
dapat berupa akumulasi apa saja, dapat berupa informasi, keputusan-keputusan, barang-
barang yang kasat mata, sumber-sumber termasuk sumber daya manusia. Sterman
mengibaratkan stock seperti gudang penyimpanan atau inventory. Dalam SD stock
merupakan sumber dari terjadinya ketidakseimbangan dalam sistem, karena jumlah atau
akumulasi stock selalu berubah dan perubahannya sangat dipengaruhi oleh flow atau
aliran keluar dan masuknya apapun dalam stock. Sehubungan dengan hal tersebut notasi
kedua yang harus dikenal dalam SD adalah flow, yakni laju dari stock , dan dapat berupa
laju peningkatan stock (laju masuk) atau in-flow, dan berupa laju penurunan stock (laju
167
keluar) atau out-flow. Demikian, stock-flow merupakan diagram ringkas dari apapun yang
keluar dan masuk ke dalam dan mempengaruhi sistem.
Pada setiap Puskesmas terdapat 4 (empat) SFD yang mewakili 4 (empat) perspektif
BSC yakni perspektif pelanggan, proses internal, keuangan, dan pembelajaran-
pertumbuhan, sehingga jumlah keseluruhannya adalah 12 (dua belas) SFD. Bentuk dasar
(architype) SFD pada ketiga Puskesmas adalah sama, yang berbeda adalah nilai pada
setiap variabelnya. Berdasarkan hal tersebut, maka pada bagian ini hanya ditampilkan
SFD dari Puskesmas elite (SFD Puskesmas moderate dan slum dilampirkan).
pertumbuhan_pddk
efek_kepuasan
pasien_datang
Penduduk
potensi_pasien
konstanta_efek_kepuasan
rasio_laju_pddk
Total_Pasien
rasio_potensi_pasienkepuasan_psn_diinginkan
laju_kepuasan_psn
Kepuasan_Pasien
gap_kep_pasien
Gambar 17 Stock -Flow Diagram (SFD) Kinerja Perspektif Pelanggan Puskesmas elite (Sumber: Hasil Kajian Penulis, 2006) Pada SFD perspektif pelanggan, terdapat 3 (tiga) stock-flow yakni kepuasan
pasien, total pasien, dan penduduk. Hubungan-hubungan yang terbentuk dari ketiga
stock-flow tersebut dapat diketahui secara kuantitatif sebagai berikut :
1. Nilai efek kepuasan pasien yang mempengaruhi total pasien
Dalam notasi perangkat lunak powersim, rumus hubungan efek kepuasan terhadap
pasien adalah :
aux efek_kepuasan = Kepuasan_Pasien/konstanta_efek_kepuasan,
Jadi jika kepuasan pasien diketahui 3.4, dan konstanta efek kepuasan
adalah 5, maka efek kepuasan = 3.4 / 5 = 0.68
168
Dengan kata lain, pada tingkat kepuasan pasien (pelanggan) 3.4 (data
primer) diperoleh efek kepuasan yang akan mempengaruhi total pasien
sebesar 0.68.
2. Nilai potensi pasien yang mempengaruhi total pasien
Dalam notasi perangkat lunak powersim, rumus tersebut adalah :
aux potensi_pasien = Penduduk*rasio_potensi_pasien
Jika jumlah penduduk diketahui yakni = 164.943 dan rasio potensi pasien adalah
12 %, maka potensi pasien adalah 164.943 x 12 % = 19.793 orang yang menjadi
potensi pasien Puskesmas.
3. Efek kepuasan dan potensi pasien mempengaruhi pasien datang
Dalam notasi perangkat lunak powersim, rumus tersebut adalah :
aux pasien_datang = ROUND(efek_kepuasan*potensi_pasien)
Jumlah pasien datang adalah efek kepuasan yakni 0.68 kali potensi
pasien yakni 19.793.
Selanjutnya jika diperhatikan, SFD perspektif pelanggan tidak berdiri sendiri,
melainkan terkait dengan SFD perspektif lainnya, dalam hal ini akan ditelaah
keterkaitannya dengan SFD perspektif proses internal yang akan disampaikan pada
bagian berikut ini.
Dalam SFD proses internal, terdapat 4 (empat) variabel yakni inovasi, ketersediaan
obat, lead time, dan penyuluhan. Tidak semua variabel ditampilkan sebagai stock -flow
dengan alasan agar mudah dikelola. Secara konseptual model tidak mengenal
keterbatasan. (boundary). Sterman (2000: 222) menjelaskan bahwa gambar notasi stock -
flow dimulai dan diakhiri dengan ‘awan’ (cloud) yang berarti melambangkan
‘ketidakterbatasan’ (infinite) dari suatu sistem, namun kenyataannya, dalam dunia nyata
sumber-sumber yang digunakan dalam sistem adalah terbatas dan harus dibatasi, agar
mudah mengelolanya secara baik. Menurut Sterman: “To keep your models manageable,
you must truncate these chains using sources and sinks, represented in stock and flow
maps by ‘cloud’ ”.
169
efek_leadtime_pd_mutu
prog_penyuluhan
obat_per_pasien
gap_ketersediaan
buffer_obat_pasien
rasio_cadangan_diinginkan
pemakaian
pembelian
Ketersediaan_Obat
tingkat_daya_beli
efek_inovasi_pd_mutu
biaya_per_prog_penyuluhan
leadtime
efek_mutu_ketersediaan
normal_leadtime
mutu_layanan
efek_prog_penyuluhan
Gambar 18 Stock-Flow Diagram (SFD) Kinerja Perspektif Proses Internal Puskesmas elite (Sumber: Hasil Kajian Penulis, 2006)
Dengan demikian, pemotongan rantai stock-flow pada perspektif proses internal
adalah dimaksudkan agar model sistem akan lebih mudah di kelola, karena jelas batas-
batasnya. Pada variabel inovasi misalnya, yang perlu diketahui adalah efek inovasi pada
mutu layanan, begitu pula pada variabel ketersediaan obat, yang perlu diketahui adalah
bagaimana efek ketersediaan obat pada mutu layanan. Pada variabel lead time (waktu
layanan) dan penyuluhan, yang perlu diketahui adalah juga efek lead time dan efek
penyuluhan pada mutu layanan. Berikut ini adalah persamaan matematisnya.
1. Efek inovasi pada mutu layanan
Hasil pengolahan data tentang efek inovasi pada mutu layanan adalah sebagai
berikut :
Keterangan :
- aux = singkatan dari ‘auxiliary’ , yakni variabel antara yang terdiri dari
fungsi- fungsi stock.
aux efek_inovasi_pd_mutu = GRAPH(inovasi 0,0.2,[0.16,0.65,0.88,0.97,1,1,1,0.96,0.87,0.67,0.15"Min:0;Max:1;Zoom"])
170
- GRAPH adalah fungsi yang selalu tergantung pada waktu dan tidak
selalu linier, bahkan kebanyakan dari fungsi ini digunakan untuk
memperlihatkan hubungan yang bersifat non- linier.
Rumus GRAPH adalah :
di mana :
X = variabel bebas (nilainya bebas, merupakan sumbu-X, disebut pula
INPUT)
X1 = nilai pertama dari X (variabel bebas)
dx = pertambahan nilai (increment) dari X (variabel bebas). Nilainya
selalu positif.
Y (N)= vektor (sumber-Y, disebut pula OUTPUT)
Cara membaca notasi GRAPH tersebut adalah, jika nilai inovasi = 0 , maka nilai
mutu layanan adalah = 0.16. Selanjutnya, jika nilai inovasi = 0.2 , maka mutu layanan
adalah = 0.65. Apabila diperhatikan, mula-mula peningkatan nilai inovasi akan diikuti
dengan peningkatan nilai mutu layanan. Pada saat nilai inovasi mencapai 0.8 mutu
layanan akan mencapai titik optimum sebesar 1. Pada saat inovasi nilainya 1.4, mutu
layanan akan semakin menurun, dan menggambarkan pola hubungan non- linier pada
kedua variabel. Artinya, inovasi harus dilakukan secara proporsional, tidak boleh kurang
tetapi tidak boleh berlebih.
2. Efek lead time pada mutu layanan
Hasil pengolahan data tentang efek lead time pada mutu layanan adalah sebagai
berikut :
Seperti pada fungsi sebelumnya, cara membaca notasi GRAPH tersebut adalah,
jika nilai lead time = 0 , maka nilai mutu layanan adalah = 0.5. Selanjutnya, jika
nilai lead time naik = 5, maka nilai mutu layanan adalah = 0.78. dan seterusnya
peningkatan nilai lead time tidak akan diikuti lagi dengan peningkatan nilai mutu
layanan hingga titik optimum 1 (satu) setelah itu nilai mutu layanan akan semakin
menurun. Hal tersebut menggambarkan pola hubungan non-linier pada kedua
aux GRAPH = GRAPH (X,X1,dx, Y (N))
aux efek_leadtime_pd_mutu = GRAPH(leadtime,0,5,[0.5,0.78,0.93,1,1,1,1,0.94,0.86,0.71,0.5"Min:0;Max:1;Zoom"])
171
variabel. Artinya waktu layanan juga harus dilakukan secara proporsional sesuai
waktu ideal yang ditetapkan, tidak boleh lebih atau kurang dari waktu yang ideal
telah ditetapkan
3. Efek ketersediaan obat pada mutu layanan
Hasil pengolahan data tentang efek ketersediaan obat pada mutu layanan adalah
sebagai berikut :
Pada nilai ketersediaan obat = 0 , nilai mutu layanan adalah = 0.39, dan pada nilai
ketersediaan obat = 0.25, nilai mutu layanan adalah = 0.65. Sama seperti pada
variabel sebelumnya, hal tersebut membuktikan bahwa hubungan kedua variabel
adalah non linier. Artinya ketersediaan obat juga tidak boleh melebihi standar
yang telah ditetapkan.
4. Efek penyuluhan pada mutu layanan
Hasil pengolahan data tentang efek penyuluhan pada mutu layanan adalah sebagai
berikut :
Pada nilai program penyuluhan = 0 , efek program penyuluhan pada mutu layanan
adalah = 0.15, dan pada nilai program penyuluhan = 0.05, efek program
penyuluhan pada mutu layanan adalah = 0.21. Sama seperti pada variabel
sebelumnya, bahwa hubungan kedua variabel adalah non linier
Pada SFD terdapat 3 (tiga) stock -flow dari variabel kepuasan pegawai, kapabilitas
pegawai, dan medis-paramedis. Hubungan-hubungan non linier antara efek dari variabel
yang satu ke yang lain. Dalam hal ini misalnya pada stock –flow kepuasan pegawai, efek
kepuasan pegawai mempengaruhi laju penambahan kapabilitas pegawai, selanjutnya efek
kapabilitas pegawai akan mempengaruhi mutu layanan pada proses internal Puskesmas.
aux efek_mutu_ketersediaan = GRAPH(Ketersediaan_Obat,0,0.25,[0.39,0.65,0.84,0.94,0.98,1,0.98,0.94,0.86,0.7,0.38"Min:0;Max:1;Zoom"])
aux efek_prog_penyuluhan = GRAPH(prog_penyuluhan/1000,0,0.5,[0.15,0.21,0.37,0.65,0.82,0.89,0.93,0.95,0.95,0.95,0.95"Min:0;Max:1;Zoom"])
172
Karena jumlah efek variabel-variabel yang saling mempengaruhi cukup banyak,
maka dalam bagian ini akan diketengahkan 2 (dua) di antaranya, yakni efek kepuasan
pegawai dalam mempengaruhi laju kapabilitas pegawai, dan efek kapabilitas pegawai
pada mutu layanan.
Berikut ini adalah Gambar 5.12 yang menunjukan struktur SFD dari perspektif
pembelajaran-pertumbuhan pada Puskesmas elite
Gambar 19 Stock-Flow Diagram (SFD) Kinerja Perspektif Pembelajaran- Pertumbuhan Puskesmas elite (Sumber Hasil Kajian penulis, 2006)
Sedangkan hasil secara lengkap dapat disimak pada lampiran.
1. Efek kepuasan pegawai pada laju penambahan kapabilitas pegawai
Hasil pengo lahan data tentang efek kepuasan pegawai pada laju penambahan
kapabilitas pegawai adalah sebagai berikut :
selesai_kontraklaju_penambahan
gap_kepuasan
efek_pelatihan
pelatihan
efek_ketersediaan_info
efek_kapabilitas_pd_mutukepuasan_diinginkan
rasio_kapabilitas_info
rasio_subsidi_pelatihan
kapabilitas_diinginkan
rasio_peserta_pelatihan
gap_kapabilitas
efek_kepuasan_pgw
masa_kontrak
tenaga_medis_dibutuhkan
rekrutmen
laju_kepuasan_pgw
PNS
rasio_pasien_medis
workload
total_Medis_Paramedis
Medis_Paramedis
tingkat_kemampuan_rekrutmen
Kapabilitas_Pegawai
Kepuasan_Pegawai
kapabilitas_informasicoverage_pelatihan
173
Pada nilai kepuasan pegawai = 0 , akan menyebabkan laju penambahan
kapabilitas pegawai sebesar 0.05. Selanjutnya jika efek kepuasan pegawai = 0.5,
maka laju penambahan kapabilitas pegawai menjadi = 0.07. demikian seterusnya
hingga pada titik optimum 1, laju penambahan kapabilitas pegawai akan menurun.
Hal ini sekaligus juga menggambarkan hubungan-hubungan yang terjadi adalah
bersifat non- linier.
2. Efek kapabilitas pegawai pada mutu layanan
Hasil pengolahan data tentang efek kepuasan pegawai pada laju penambahan
kapabilitas pegawai adalah sebagai berikut :
Pada nilai efek kapabilitas pegawai = 0 , akan menyebabkan peningkatan mutu
layanan sebesar 0.14. Jika nilai efek kapabilitas pegawai meningkat yakni = 0.5,
maka mutu layanan akan meningkat sebesar 0.18. demikian penambahan ini akan
berlangsung hingga titik optimum 1 dan pengaruhnya terhadap mutu layanan akan
semakin menurun, dan hubungan-hubungan yang terjadi adalah bersifat non-
linier.
Pada halaman berikutnya diketengahkan gambar SFD dari Perspektif Keuangan
Puskesmas elite. Variabel-variabel keuangan yang perlu diperhatikan adalah hubungan
antara efek subsidi dengan work load dan tenaga medis yang dibutuhkan. Yang kedua
adalah efek insentif pada kepuasan pegawai. Dari aspek penerimaan, variabel pasien
datang pada perspektif pelanggan mempengaruhi penerimaan puskesmas. Berikut ini efek
insentif pada kepuasan pegawai.
- Efek insentif pada kepuasan pegawai
Hasil pengolahan data tentang efek insentif pada kepuasan pegawai adalah
sebagai berikut :
aux efek_kepuasan_pgw = GRAPH(Kepuasan_Pegawai,0,0.5,[0.05,0.07,0.13,0.18,0.25,0.3,0.37,0.46,0.59,0.72,0.87"Min:0;Max:1;Zoom"])
aux efek_kapabilitas_pd_mutu = GRAPH(Kapabilitas_Pegawai,0,0.5,[0.14,0.18,0.22,0.28,0.32,0.38,0.44,0.52,0.6,0.73,0.89"Min:0;Max:1;Zoom"])
174
Pada nilai insentif = 0 , akan menyebabkan peningkatan nilai kepuasan pegawai
sebesar 0.04. Jika nilai insentif ditingkatkan sebesar 0.2, maka nilai kepuasan
pegawai akan meningkat sebesar = 0.13. Demikian penambahan ini akan
berlangsung hingga titik optimum tertentu sampai pengaruhnya terhadap
kepuasan pegawai aakan semakin menurun. Hal ini sekaligus juga
menggambarkan hubungan-hubungan yang terjadi adalah bersifat non-linier.
Gambar 20 Stock-Flow Diagram (SFD) Kinerja Perspektif Keuangan Puskesmas
elite. (Sumber: Hasil Kajian Penulis, 2006)
Model Pemberdayaan Puskesmas di DKI-Jakarta
Baik diagram CLD maupun SFD merupakan dasar dalam membuat keputusan
untuk model pemberdayaan Puskesmas. melalui uji simulasi sensitivitas terhadap
pasien_datang
swadana
rasio_subsidi_infrastruktur
anggaran
rasio_anggaran
tarif
insentif
efek_insentif_pd_kepuasan
konstanta_insentif
Cash
pengeluaranpenerimaan
subsidi
total_Medis_Paramedis
rasio_norma_insentif
175
variabel-variabel dalam model, dapat ditemukan variabel-variabel sensitif yang dapat
digunakan untuk dasar pemberdayaan. Berikut ini hasil dan pembahasannya.
Uji Sensitivitas Model
Menurut Muhammadi, dkk, (2001:361), uji sensitivitas adalah untuk mengetahui
respon model terhadap suatu stimulus. Respon ditunjukkan dengan perubahan perilaku
dan/atau kinerja model. Sedangkan stimulus dilakukan dengan memberikan perlakuan
tertentu pada variabel atau struktur model.
Uji sensitivitas bertujuan untuk menjelaskan sensitivitas parameter, variabel, dan
hubungan antar variabel dalam model. Sedangkan hasil uji sensitivitas adalah dalam
bentuk perubahan perilaku dan/atau kinerja model, dan digunakan untuk menganalisis
efek intervensi terhadap model.
Melalui uji sensitivitas maka dapat diketahui variabel-variabel mana saja yang
berperan paling efektif atau dapat berperan sebagai pengungkit dalam membangun model
kinerja Puskesmas di DKI. Dengan mengetahui variabel-variabel leverage yang paling
berpengaruh terhadap kinerja sistem maka dapat ditemukan variabel-variabel tepat guna
untuk merumuskan strategi organisasi ke depan. Berkaitan dengan tujuan disertasi ini,
maka dengan menganalisis variabel-variabel yang memiliki peran leverage dalam kinerja
Puskesmas di DKI Jakarta, selanjutnya diharapkan dapat berguna untuk membangun
upaya pemberdayaan Puskesmas.
Secara teoritis, setidaknya ada dua macam uji sensitivitas sebagaimana yang
diketengahkan oleh Muhammadi, dkk. Pertama, intervensi fungsional, yakni intervensi
terhadap parameter tertentu atau kombinasi parameter tertentu dari model dengan
menggunakan fasilitas dalam perangkat lunak komputer (powersim) yang cocok atau
mewakili perubahan keputusan, kejadian, dan keadaan tertentu.
Maani dan Cavana (2000:228) menambahkan bahwa intervensi fungsional ini dapat
dilakukan dengan cara menambah atau mengurangi 10 % dari parameter-parameternya.
Sedangkan Muhammadi,dkk melakukannya dengan menambah atau mengurangi 10 – 20
%.
Uji sensitivitas dilakukan dengan cara mengintervensi variabel dengan
menambahkan nilai sebesar 10 % terhadap variabel yang diuji. Kemudian hasilnya
176
dibandingkan dengan peningkatan yang terjadi pada variabel yang dijadikan referensi
atau variabel base case. Hasil perbandingan tersebut diukur selisihnya dengan
menggunakan rasio, yaitu selisih hasil intervensi dengan base case dibagi base case.
Semakin besar variabel tersebut berpengaruh terhadap perubahan variabel base
case, maka semakin sensitif variabel tersebut memberikan perubahan pada sistem. Atau
dengan pengertian lain, variabel yang sensitif tersebut dapat menjadi variabel yang dapat
mendongkrak sistem.
Ada dua hal yang digunakan sebagai pertimbangan untuk menetapkan variabel
base case, yaitu:
(1) Variabel tersebut memiliki dinamika kompleksitas yang tinggi, artinya
variabel tersebut memiliki kaitan hubungan sebab akibat lebih banyak.
(2) Variabel tersebut menunjukkan pola kecenderungan kinerja yang lemah
berdasarkan analisis kinerja yang telah dilaksanakan sebelumnya.
Berdasarkan pertimbangan dua hal tersebut, maka dari 16 (enam belas) variabel
yang dioperasionalisasikan, ditetapkan 4 (empat) variabel base case, yaitu: kepuasan
pasien, kepuasan pegawai, mutu layanan, dan penerimaan. Adapun hasilnya sebagaimana
terlihat pada rekapitulasi hasil uji sensitivitas berikut ini.
Tabel 58 Rekapitulasi Uji Sensitivitas
TS Elit Moderat Slum 1 RPsnMedis 2.2089 RPsnMedis 2.203 RPsnMedis 2.054 2 Subsidi 2.0201 Subsidi 2.020 Subsidi 2.020 3 Rinsen 2.0197 RObatPSn 2.012 RObatPSn 2.010 4 NormLeadt 2.0049 Rinsen 2.010 Rinsen 2.009 5 RAngrn 2.0036 NormLeadt 2.008 NormLeadt 2.008 6 Rrekrut 1.9998 TgkDB 2.004 RAngrn 2.003 7 ByPorg 1.9967 RAngrn 2.002 Rrekrut 2.000 8 RPotPsn 1.9036 ByPorg 1.998 RKapInfo 1.998 9 RKapInfo 1.0000 RPotPsn 1.863 RPotPsn 1.995 10 RSubPel 1.0000 Rrekrut 1.000 TgkDB 1.846 11 RObatPSn 1.0000 RKapInfo 1.000 ByPorg 1.000 12 TgkDB 1.0000 RSubPel 1.000 RSubPel 1.000
Sumber: Hasil Penelitian Penulis (2006) Catatan:
• RPsnMedis = Rasio Pasien Medis • Subsidi • Rinsen = Rasio Insentif • NormLeadt = Normal Lead Time
177
• Rangrn = Rasio Anggaran • Rrekrut = Rasio Rekrutmen • ByPorg = Biaya per Progam Peny uluhan • RPotPsn = Rasio Potensi Pasien • RKapInfo = Rasio Kapabilitas Informasi • RSubPel = Rasio Subsidi Pelatihan • RObatPSn = Rasio Obat per Pasien • TgkDB = Tingkat Daya Beli • TS = Tingkat Sensitivitas • Rasio Anggaran diintervensi adalah untuk program
penyuluhan Hasil uji sensitivitas di atas diperoleh dengan menggunakan pendekatan skala
nilai yaitu dengan nilai terendah 1 dan tertinggi 3. Nilai ini diperoleh dengan melakukan
pembobotan ulang, berupa pengkalian dua atas hasil uji sensitivitas aktual. Pembobotan
dilakukan hanya untuk memperjelas nilai- nilai hasil uji sensitivitas tersebut. Hasil
pembobotan menjadi nilai sensitivitas variabel-variabel yang di uji terhadap variabel base
case
Interpretasi uji sensitivitas sebagaimana disampaikan dalam tabel di atas
diuraikan berikut ini. Nilai 1 memiliki arti tidak sensitif sehingga dalam hal ini diabaikan
(dalam tabel adalah variabel nomor 9 – 12). Nilai 2 adalah batas antara Reinforcing dan
Balancing. Semakin besar nilai menuju 3, dari nilai tengah 2, maka semakin sensitif
pengaruh-nya terhadap 4 variabel base case. Pengaruhnya lebih ke arah Reinforcing
yakni saling menguatkan atau saling melemahkan. Sedangkan apabila nilai semakin
menuju 1 dari nilai tengah 2, maka semakin sensitif pengaruhnya terhadap tindakan
koreksi /Balancing.
Dalam tabel nilai uji sensitivitas Puskesmas elite, terdapat 5 (lima) variabel yang
memperoleh nilai di atas 2 (dalam tabel adalah variabel nomor 1-5) yakni variabel rasio
anggaran (RAngrn)= 2.0036, variabel norma lead time (Normleadt)= 2.0049, variabel
rasio insentif (Rinsen) = 2.0197, variabel subsidi (subsidi) = 2.0201, dan variabel rasio
pasien medis (RpsnMedis) = 2.2089. Dari 5 variabel tersebut, dipilih 3 (tiga) yang
memiliki nilai sensitivitas tertinggi (dalam tabel adalah variabel nomor 1-3), dalam hal
ini adalah variabel rasio insentif, subsidi, dan rasio pasien medis. Sementara itu terdapat 3
variabel di bawah nilai 2 dan diatas nilai 1 (dalam tabel adalah variabel nomor 6–8),
yakni rasio rekruitmen (Rrekruit) = 1.9998, biaya program penyuluhan (Bypro.Penyul) =
1.9967, dan potensi pasien (PotenPsn) = 1.9036.
178
Kontinum berikut ini akan memperjelas gambaran arah sensitivitas yang telah
diuraikan tersebut.
Gambar 21 Kontinum Interpretasi Nilai Sensitivitas Puskesmas Elite Sumber : Hasil Kajian Penulis (2006) Pada Puskesmas moderate terdapat 7 (tujuh) variabel yang memiliki nilai
sensitivitas di atas 2 (dalam tabel adalah variabel nomor 1-7), namun dalam hal ini
ditetapkan 3 (tiga) variabel yang memiliki sensitivitas tertinggi yakni variabel rasio obat
pasien (RobatPsn) = 2.012, variabel subsidi = 2.002, dan variabel rasio pasien medis
(RpsnMedis) = 2.203. Adapun variabel-variabel dengan nilai 1 diabaikan karena tidak
memiliki sensitivitas (dalam tabel adalah variabel nomor 10-12). Sementara, variabel-
variabel yang memiliki nilai sensitivitas di bawah 2 hanya berjumlah 2 variabel, yakni
variabel rasio potensi pasien (RpotPsn) = 1.863 dan biaya program penyuluhan
(ByProg,Penyul) = 1.998. Berikut ini adalah gambar kontinum dari nilai-nilai sensitivitas
pada variabel-variabel Puskesmas moderate
Gambar 22 Kontinum Interpretasi Nilai Sensitivitas Puskesmas Moderate Sumber : Hasil Kajian Penulis (2006) Pada Puskesmas slum terdapat 7 (tujuh) variabel yang memiliki nilai sensitivitas di
atas 2 (dalam tabel adalah variabel-variabel nomor 1-7). Dari jumlah tersebut, 3 (tiga) di
antaranya yang memiliki nilai tertinggi dipilih, yakni variabel rasio obat pasien = 2.010,
kemudian variabel subsidi = 2.002, dan variabel rasio pasien medis = 2.054. Sedangkan
variabel-variabel yang bernilai di bawah 2 yang mengarah ke kontinum Balancing ada 3
(tiga) variabel, dan keseluruhannya di pilih, yakni variabel biaya program penyuluhan
(ByProgPenyul)= 1.998, variabel tingkat daya beli obat (TDB Obat) = 1.995, dan terakhir
RPsn Medis 2.0289
2 Subsidi 2.0201
RInsentif 2.0197
R Rekrut 1.9998
ByProg Penyul 1.9967
PotenPsn 1.9036
B R PUSKES ELITE
RPsn Medis 2.203
2 Subsidi 2.002
RObat Psn 2.012
ByProg Penyul 1.998
PotenPsn 1.863
B R PUSKES MODERAT
179
adalah variabel potensi pasien (PotenPsn) = 1.846. Gambar berikut ini merupakan
kontinum dari nilai-nilai tersebut
Gambar 23 Kontinum Interpretasi Nilai Sensitivitas Puskesmas Slum (Sumber : Hasil Kajian Penulis (2006) Setelah variable-variabel sensitif diketahui, maka langkah selanjutnya adalah
menetapkan skenario pemberdayaan.
Skenario Pemberdayaan Puskesmas Elite Fahey dan Randal (1998:4) menjelaskan bahwa proses pembelajaran skenario,
yaitu proses bagaimana sebuah organisasi dapat memperkirakan apa yang akan terjadi di
masa mendatang pada lingkup usahanya. Untuk itu, menurut, Fahey dan Randal, perlu
adanya sebuah metode yang dapat menggabungkan pembuatan sebuah skenario dengan
proses pengambilan keputusan berkaitan dengan penyusunan strategi manajemen ke
depan.
Fahey dan Randall mengartikan skenario sebagai sebuah deskripsi naratif tentang
proyeksi berbagai pilihan yang masuk akal dari bagian-bagian spesifik di masa
mendatang. Sejumlah kombinasi peristiwa di masa depan, ada yang mudah dan sulit
diperkirakan sehingga memunculkan berbagai pilihan di masa depan. Gambaran masa
depan tersebut, umumnya dibatasi oleh informasi yang berhasil diperoleh, kemampuan
untuk memahami informasi, dan kemampuaan untuk membuat imajinasi. Kendala-
kendala inilah yang mengakibatkan gambaran masa depan tetap gelap karena tidak
mampu mengetahui secara pasti apa yang akan terjadi di masa mendatang. Melalui
pembelajaran skenario diharapkan dapat memberikan masukan penting yang dapat
mempengaruhi dan meningkatkan kualitas pengambilan keputusan.
Menurut Baker (1993, dalam Maani dan Cavana, 2000:83), skenario adalah bukan
peramalan (forecast). Jika ramalan adalah suatu intensi yang menggambarkan suatu
kepastian pernyataan masa depan, maka skenario adalah ditujukan untuk menyediakan
RPsn Medis 2.054
2 Subsidi 2.020
RObat Psn 2.010
ByProg.Penyul 1.998
TDB Obat 1.995
PotenPsn 1.846
B R PUSKES SLUM
180
sesuatu yang mungkin dapat digunakan untuk mengantisipasi kondisi-kondisi yang akan
datang. Selanjutnya dijelaskan, bahwa terdapat dua cara skenario, pertama berupa
skenario yang dapat menggambarkan evolusi kejadian-kejadian dari saat ini hingga
beberapa waktu ke depan (future history). Kedua, skenario yang disusun berdasarkan
analisis kebijakan dan strategi yang menyediakan informasi hubungan sebab-akibat masa
sekarang dan yang akan datang.
Secara lebih jauh Wack (1985, dalam Maani dan Cavana, 2000:83) menyatakan
bahwa skenario harus dapat menolong para pengambil keputusan untuk mengembangkan
visi kedepan tentang sistem organisasi mereka.
Dengan demikian dapat digarisbawahi bahwa skenario adalah suatu gambaran akan
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di masa datang. Skenario dibedakan
dengan peramalan dalam hal, pertama, adanya sebuah pola dan bukan presisi atau suatu
gambaran kinerja dalam time series. Kedua, adanya multiple path yaitu beragam
kecenderungan sesuai asumsi yang digunakan.
Untuk kepentingan penyusunan skenario pemberdayaan agar lebih praktis dan
mengedepankan prioritas, maka dalam penelitian ini variabel-variabel base case akan
dikelompokkan dalam suatu kuadran-kuadran prioritas yang diadopsi dari model Star
(dalam Ringland,2002:33). Pengelompokan ke dalam model Star dipandang sesuai
karena selain dapat memberikan gambaran penempatan variabel menurut prioritas, juga
dipandang sesuai dengan domain organisasi pelayanan publik seperti halnya Puskesmas.
Pada model Star, terdapat 4 (empat) kuadran yang didasarkan pada kombinasi
faktor- faktor lingkungan kondisional organisasi pelayanan publik pada umumnya.
Pertama, pada kuadran A, kombinasi faktor- faktor kondisional organisasi yang penuh
ketidakpastian (uncertainty) dengan kondisi ketatnya rantai hierakhi dan pengawasan
(common-control hierarchy ). Kuadran ini menggambarkan kuadran yang sulit
diintervensi karena berada pada kombinasi dua aspek kondisional yang sulit.
Kedua, pada kuadran B, menggambarkan kombinasi faktor- faktor kondisional
organisasi yang penuh ketidakpastian (uncertainty) dan terdapatnya jaringan
pemberdayaan (empowered networks). Kuadran ini tingkat kesulitannya di bawah
kuadran A, sedangkan aspek yang mempermudah adalah adanya jaringan pemberdayaan.
181
Ketiga, pada kuadran C, menggambarkan kombinasi faktor- faktor kondisional
organisasi yang relatif memiliki tingkat kepastian atau dapat diprediksikan (relative
certainty/predictability) dengan terdapatnya jaringan pemberdayaan (empowered
networks). Kuadran ini digambarkan sebagai kuadran ideal, dimana terdapat dua kondisi
yang saling mendukung untuk dilakukan proses pemberdayaan.
Keempat, pada kuadran D, menggambarkan kombinasi faktor- faktor kondisional
organisasi yang relatif memiliki tingkat kepastian atau dapat diprediksikan (relative
certainty/predictability) dengan ketatnya rantai hierakhi dan pengawasan (common-
control hierarchy). Digambarkan sebagai kebalikan kuadran B, yang memerlukan
perlakuan khusus, karena berada pada dua kondisi yang saling bertolak belakang.
Kuncinya, salah satu kondisi harus dapat dik uasai.
Selanjutnya 4 variabel base case Puskesmas ditempatkan ke dalam kuadran-
kuadran yang sesuai (lihat gambar 5.17). Variabel-variabel dalam kuadran kemudian
disimulasikan untuk menemukan variabel-variabel sensitif terhadap variabel-variabel
base case. Dengan demikian baik Puskesmas elite, moderate, maupun slum memiliki
model kuadran Star yang sama, sedangkan yang membedakan adalah variabel-variabel
sensitif di dalamnya
Gambar 24 Penempatan Variabel Base Case Menurut Kuadran Star pada Puskesmas Elite (Sumber: Diadopsi dari Model Star, 2002)
Uncertainty
Relative Certainty/ Predictability
Empowered Networks
Command/Control Hierarchy
A B
D C
Penerimaan -Subsidi -Potensi Pasien
Mutu layanan -BiayaPenyuluhan -RasioInsentif -Rasio Pasien-Medis
Kepuasan Pegawai -Rasio Insentif -PotensiPasien
Kepuasan Pasien -Rasio Pasien-Medis
182
Selanjutnya skenario pemberdayaan Puskesmas dapat disusun berdasarkan pada
hubungan variabel base case dengan variabel sensitif dengan prioritas simulasi sebagai
berikut:
1. Skenario dengan mensimulasikan perubahan variabel mutu layanan jika
diintervensi oleh perubahan variabel biaya program penyuluhan, rasio insentif,
dan rasio pasien medis.
2. Skenario dengan mensimulasikan perubahan variabel kepuasan pasien jika
diintervensi oleh perubahan variabel rasio pasien medis.
3. Skenario dengan mensimulasikan perubahan variabel kepuasan pegawai jika
diintervensi oleh perubahan variabel rasio insentif dan potensi pasien
4. Skenario dengan mensimulasikan perubahan variabel penerimaan jika diintervensi
oleh perubahan variabel subsidi dan potensi pasien.
1. Hasil Simulasi Variabel Mutu Layanan
Dari 3 variabel sensitif (biaya program penyuluhan, rasio insentif, dan rasio pasien
medis) yang diasumsikan mempengaruhi mutu layanan Puskesmas elite, setelah
disimulasikan dengan penambahan atau pengurangan antara 10 – 20 % pada nilai masing-
masing variabel untuk waktu dua tahun kedepan (dimulai dari t5 – t12), ternyata ketiga
variabel berpengaruh terhadap mutu layanan Puskesmas elite, tetapi variabel rasio pasien-
medis lebih besar pengaruhnya atau lebih bermakna, bila dibandingkan dengan dua
variabel yang lain. Perubahan variabel tersebut sebelum dan setelah diintervensi dapat
disimak pada tabel dan gambar grafik berikut ini.
Tabel 59 Hasil Intervensi Variabel Rasio Pasien Medis terhadap Mutu Layanan elite
Mutu Layanan Waktu (triwulan)
Simulasi 1
Simulasi 2
Simulasi 3
Keterangan
0 0.0629 0.0629 0.0629 1 0.0614 0.0614 0.0614 Simulasi 1 : Rasio Pasien-Medis 130 (awal) 2 0.0559 0.0559 0.0559 Simulasi 2 : Intervensi : 130+STEP(117, pada t5) 3 0.0449 0.0449 0.0449 Simulasi 3 : Intervensi : 130+STEP (150, pada t5) 4 0.0331 0.0331 0.0331 5 0.0220 0.117 0.117 6 0.0230 0.123 0.123 7 0.0238 0.128 0.128 8 0.0243 0.131 0.133 9 0.0248 0.132 0.136
10 0.0252 0.133 0.138 11 0.0254 0.133 0.139 12 0.0255 0.133 0.139
183
1) 2)
Gambar 25 Grafik Perkembangan Mutu Layanan setelah di Intervensi Rasio Pasien-Medis elite (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006) Grafik nomor 1 menggambarkan kondisi awal mutu layanan sebelum diintervensi
(nilainya dinaikkan atau diturunkan). Kemudian setelah diintervensi dengan penurunan
nilai awal dari 130 menjadi 117 pada triwulan ke 5 (t5) dengan rumus 130+STEP(117,5),
maka hasilnya dapat disimak pada gra fik nomor 2 (dalam gambar berwarna hijau) dan
pada perubahan nilai mutu layanan di tabel kolom simulasi 2. Asumsi
penurunan/peningkatan nilai didasarkan pada perkiraan jika beban kerja
dikurangi/ditambah 10-20% dari nilai awal, maka akan seberapa jauh perubahan
penurunan/peningkatan mutu layanan Puskesmas elite di triwulan 1 tahun depan.
Hasilnya terlihat bahwa nilai mutu layanan meningkat hingga diatas 0.1 setelah triwulan
ke 5 hingga ke 12
Pada simulasi 3, dilakukan intervensi dengan meningkatkan nilai awal hingga 150
pada t5 dengan rumus 130+STEP(150,5) pada perangkat lunak powersim, hasilnya dapat
disimak baik pada tabel simulasi 3 dan grafik nomor 3. Terjadi peningkatan nilai mutu
layanan ‘sedikit’ lebih besar dari pada simulasi 2.
Dapat disimpulkan bahwa rasio pasien medis pada triwulan pertama tahun depan
(t5) dapat mempengaruhi peningkatan nilai mutu layanan ketika berada pada rasio
minimal 117 atau maksimal 150 dengan asumsi kuantitas pegawai tidak berubah.
Berdasarkan hal tersebut maka rasio pasien medis dipandang sebagai leverage mutu
layanan paling tidak untuk satu tahun ke depan, dan direkomendasikan untuk menjadi
perhatian Puskesmas.
2. Hasil Simulasi Variabel Kepuasan Pasien
Hasil simulasi penurunan dan peningkatan variabel rasio pasien medis ternyata
sangat berpengaruh secara nyata terhadap kepuasan pasien. Gambar grafik nomor 1
berikut ini menunjukkan kepuasan pasien ketika belum diintervensi, grafik nomor 2
Time
mut
u_la
yana
n
0 3 6 9 12
0.05
0.10
1 2 31 2 3
2 3 2 3 2
Time
mut
u_la
yana
n
0 3 6 9 12
0.03
0.04
0.05
0.06
184
setelah diintervensi dengan penurunan rasio pasien medis dengan dari 130 menjadi 117
pada t5 dengan rumus 130+STEP(117,5), dan setelah diintervensi dengan peningkatan
rasio pasien medis sebesar 150 dengan rumus 130+STEP(150,5) hasilnya keduanya
mempengaruhi perubahan kepuasan pasien hingga diatas 4,5. (grafik ketiga gambar
nomor 2). Hasil ini menunjukkan bahwa rasio pasien medis ideal bagi kepuasan pasien
ketika berada pada nilai rasio 117 hingga 150, dengan kata lain minimal rasio adalah 117
dan maksimal adalah 150. Dalam hal ini variabel rasio pasien medis sekali lagi berperan
sebagai pengungkit variabel kepuasan pasien, selain pada mutu layanan.
Tabel 60 Hasil Intervensi Variabel Rasio Pasien Medis terhadap Kepuasan Pasien (elite)
Kepuasan Pasien Waktu Simulasi
1 Simulasi
2 Simulasi
3
Keterangan
0 3.40 3.40 3.40 Simulasi 1 : Rasio Pasien-Medis 130 (awal) 1 3.50 3.50 3.50 Simulasi 2 : Intervensi : 130+STEP(117, pada t-5) 2 3.59 3.59 3.59 Simulasi 3 : Intervensi : 130+STEP (150, pada t -5) 3 3.67 3.67 3.67 4 3.73 3.73 3.73 5 3.77 3.77 3.77 6 3.80 3.92 3.92 7 3.83 4.05 4.05 8 3.86 4.17 4.17 9 3.88 4.28 4.28
10 3.91 4.38 4.38 11 3.94 4.46 4.47 12 3.97 4.53 4.54
1) 2)
Gambar Grafik Perkembangan Kepuasan pasien setelah di Intervensi Rasio Pasien-Medis elite. (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006)
3. Hasil Simulasi Variabel Kepuasan Pegawai
Variabel-variabel sensitif yang diduga mempengaruhi kepuasan pegawai adalah
rasio insentif dan rasio pasien medis. Hasil simulasi keduanya berpengaruh, namun
pengaruh yang paling bermakna adalah variabel rasio insentif.
Time
Kep
uasa
n_P
asie
n
0 3 6 9 12
3.5
4.0
4.5
1 2 3
1 2 31
2 31
2 3
1
2
Time
Kep
uasa
n_P
asie
n
0 3 6 9 123.4
3.5
3.6
3.7
3.8
3.9
185
Dalam tabel maupun grafik nampak perubahan nilai kepuasan pegawai yang begitu
signifikan setelah rasio insentif dinaikkan dari 0.115 (11 %) menjadi 0.15 (15 %) pada t5.
Pada t12 bahkan kepuasan pegawai dapat meningkat hingga 4,0 lebih. Pengaruh menjadi
tidak berarti ketika intervensi dilakukan lewat simulasi peningkatan nilai rasio insentif
menjadi 20 % (grafik ketiga gambar nomor 2 dan tabel kolom simulasi 3) nilai kepuasan
pegawai bertahan pada posisi simulasi 2, artinya, bahwa tindakan koreksi untuk
meningkatkan kepuasan pegawai adalah peningkatan rasio insentif hingga kurang lebih
15 % dari insentif yang diterima saat pegawai saat ini, yakni rata-rata 11 % dari take
home pay mereka. Dapat disimpulkan variabel rasio insentif merupakan pengungkit bagi
kepuasan pegawai, dan direkomendasikan agar variabel ini diberdayakan lebih lanjut.
Tabel 61 Hasil Intervensi Variabel Rasio Insentif terhadap Kepuasan Pegawai (elite)
Kepuasan Pegawai Waktu Simulasi
1 Simulasi
2 Simulasi
3
Keterangan
0 2.00 2.00 2.00 Simulasi 1 : Rasio Insentif 0.115 (awal) 1 2.12 2.12 2.12 Simulasi 2 : Intervensi : 0.115+STEP(0.15, pada t5) 2 2.23 2.23 2.23 Simulasi 3 : Intervensi : 0.115+STEP (0,20, pada t5) 3 2.35 2.35 2.35 4 2.48 2.48 2.48 5 2.60 2.60 2.60 6 2.73 2.97 2.97 7 2.85 3.29 3.29 8 2.97 3.55 3.55 9 3.08 3.77 3.77
10 3.19 3.96 3.96 11 3.30 4.12 4.12 12 3.40 4.26 4.26
1) 2)
Gambar 27 Grafik Perkembangan Kepuasan Pegawai setelah di Intervensi Rasio Insentif elite. (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006)
Time
Kep
uasa
n_P
egaw
ai
0 3 6 9 122.0
2.5
3.0
3.5
Time
Kep
uasa
n_P
egaw
ai
0 3 6 9 122.0
2.5
3.0
3.5
4.0
1 2 31 2 3
1
23
1
2 3
1
2
186
4. Hasil Simulasi Variabel Penerimaan
Nilai potensi pasien kenyataannya mempengaruhi penerimaan, artinya ketika
dilakukan simulasi terhadap peningkatan potensi pasien dari 0.15 menjadi 0.20 pada t5
dengan rumus 0.15+STEP(0.20,5) terlihat lonjakan penerimaan yang begitu nyata. Uji
simulasi lebih jauh dengan semakin meningkatkan nilai potensi pasien semakin
meningkatkan pula nilai penerimaan, karena itu diputuskan menampilkan 2 simulasi saja
karena hasilnya telah jelas.
Pada variabel subsidi, karena kondisinya penuh ketidak pastian maka berapapun
nilai yang diubah dalam simulasi (dilakukan secara acak karena sulit diprediksi) hasilnya
tidak menentu. Karena itu variabel subsidi tidak direkomendasikan sebagai pengungkit
karena sulit diprediksikan. Berikut ini adalah hasil simulasi tersebut.
Tabel 62 Hasil Intervensi Variabel Potensi Pasien terhadap Penerimaan (elite)
Penerimaan Keterangan
Waktu
Simulasi 1
Simulasi 2
0 849,978,131 849,978,131 Simulasi 1 : Potensi pasien 0.15 (awal) 1 887,940.131 887,940.131 Simulasi 2: Intervensi 0.15+STEP(0.20 pada t5) 2 924.747.525 924.747.525 3 958,960,355 958,960,355 4 989,000,124 989,000,124 5 1.014,992,124 2.359.793.124 6 1.137,450,124 2.410.181.124 7 1,060,478,124 2.462.222.124 8 1,084,133,124 2.515.688.124 9 1,108,187,124 2.570.465.124
10 1,132,697,124 2.626.496.124 11 1,157.606,124 2.683.439.124 12 1,182,857,124 2.741.294.124
1) 2)
Gambar 28 Grafik Perkembangan Penerimaan setelah di Intervensi Potensi Pasien Elite (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006)
Time
pene
rimaa
n
0 3 6 9 12
900,000,000
1e9
1.1e9
Time
pene
rimaa
n
0 3 6 9 12
1e9
2e9
2e9
3e9
1 2 1 2 1
2
1
2
1
2
187
Model Pemberdayaan Puskesmas Elite
Berdasarkan pada skenario yang telah disimulasikan tersebut, maka pemberdayaan
Puskesmas elite dapat dilakukan dengan mengkombinasikan prioritas variabel base case -
sebagai variabel yang dipandang memiliki kompleksitas dinamis tinggi serta memiliki
banyak kelemahan - dengan variabel sensitif yang telah diuji secara simulasi
pengaruhnya terhadap variabel base case tersebut. Berikut ini adalah gambar model
pemberdayaan Puskesmas elite.
Visualisasi model dituangkan dalam kombinasi sumbu X yang menggambarkan
‘waktu’ yakni waktu dimulainya pemberdayaan (t5) hingga t12 (2 tahun ke depan), dan
sumbu Y yang menggambarkan ‘tingkat kinerja’ yang paling lemah hingga yang
tertinggi.
Tahun 2007 (t5 – t8): Prioritas pemberdayaan pertama adalah pada perbaikan mutu
layanan dan kepuasan pelanggan. Variabel yang terbukti sensitif pada kedua aspek
tersebut adalah rasio pasien medis. Dalam simulasi, rasio pasien medis elite adalah dapat
ditingkatkan pada nilai tertinggi 150 dan terendah 117 dari nilai ideal 130 pasien setiap
harinya. Saat ini Puskesmas elite melayani 100 hingga 150 lebih pasien setiap harinya,
hal ini menyebabkan terjadinya work load (beban kerja) sehingga dapat dipahami jika
aspek resposiveness pegawai rendah (lihat IKP) dan penyuluhan rendah. Pada nilai yang
sama variabel kepuasan pelanggan juga sensitif terhadap rasio pasien medis. Artinya jika
jumlah pasien semakin meningkat, maka pelanggan kuatir mutu layanan akan menjadi
semakin rendah.
Gambar 29 Model Pemberdayaan Puskesmas elite (Sumber: Hasil Kajian Penulis, 2006)
High
Low
t5 t12
ML
KP
K.Peg
Per
form
ance
Time
P
188
Keterangan gambar: ML = Mutu Layanan (varibel sensitif adalah Rasio Pasien Medis) KP = Kepuasan Pelanggan (variabel sensitif adalah Rasio Pasien Medis) K.Peg = Kepuasan Pegawai (variabel sensitif adalah Rasio Insentif) P = Penerimaan (variabel sensitif adalah Potensi Pasien)
Tahun 2008 (t9 – t12): Prioritas pemberdayaan adalah kepuasan pegawai dan
penerimaan (swadana). Variabel yang sensitif mempengaruhi kepuasan pegawai adalah
rasio insentif. Untuk meningkatkan rasio insentif adalah melalui dua cara, pertama,
menunggu kebijakan Pemerintah Daerah Provinsi DKI-Jakarta, kedua adalah dengan
meningkatkan penerimaan swadana.
Benang merah yang dapat ditarik dari model pemberdayaan Puskesmas elite
Kebayoran Baru adalah, bahwa ternyata pemberdayaan SDM pada Puskesmas elite
menjadi kunci utama untuk keberhasilan ke depan. Dalam model terlihat bahwa
perspektif Pembelajaran-Pertumbuhan mendominasi tiga tahap prioritas pemberdayaan,
di samping perspektif lainnya. Semua perbaikan dan perubahan yang berhubungan
dengan perspektif Pembelajaran-Pertumbuhan pasti terkait dengan pemberdayaan
pegawai.
Pemberdayaan pegawai berarti terkait dengan perubahan perilaku pegawai.
Perubahan perilaku pegawai mengacu pada peningkatan, perbaikan, bahkan kontrol
terhadap kemampuan pegawai. Dengan demikian diperlukan kesiapan-kesiapan dalam
memberdayakan pegawai. Tyson dan Jackson (2000:237) menyatakan bahwa kesiapan
pegawai untuk berubah bertumpu pada dua kekuatan, pertama, yakni kekuatan yang ada
dalam individu-individu itu sendiri yang meliputi pengetahuannya, ketrampilan dasar,
kesadaran diri, dan toleransi terhadap ambiguitas. Bahkan terdapat bukti bahwa tingkat
motivasi dan harga diri berperan penting dalam kesiapan individu untuk berubah.
Kekuatan kedua adalah berkaitan dengan sistem yang meliputi budaya dan iklim kerja
organisasi, serta konsekuensi-konsekuensi terhadap kegagalan maupun keberhasilan
organisasi akibat perubahan. Selanjutnya dinyatakan bahwa gabungan dari faktor-faktor
tersebut memberikan diskripsi mengenai rasa aman.
Terkait dengan konsep Tyson dan Jackson tersebut, maka setiap pemberdayaan
pegawai masalah kesiapan dan rasa aman menjadi kunci keberhasilan. Jangan sampai
pemberdayaan di satu sisi memberikan kewenangan, disatu sisi menambahkan beban.
189
Jika yang terjadi demikian maka tidak ada rasa aman, pegawai akan cenderung
menghindari perubahan sehingga pemberdayaan akan gagal, dan justru menimbulkan
resistensi.
Robbins dan Decenzo (2001:236) mengingatkan bahwa kebanyakan kasus
pemberdayaan sering menimbulkan resistensi , karena para pegawai berasumsi negatif
terlebih dulu terhadap setiap perubahan. Perubahan diasumsikan sebagai sesuatu yang
tidak pasti (uncertainty) manfaatnya bagi mereka. Sebagian orang takut pada perubahan,
karena mengancam eksistensi mereka yang sudah mapan. Penilaian baik -buruknya
perubahan adalah tergantung pada manfaatnya secara individual bagi mereka. Dalam
kasus pemberdayaan pegawai Puskesmas agar lebih resposif dalam melayani, mungkin
akan menemui kendala resistensi jika pimpinan Puskesmas kurang hati-hati dalam
melaksanakan perubahan bagi mereka.
Dalam studi Penyuluhan Pembangunan dikenal teknik untuk menurunkan
resistensi yakni dengan metode pembelajaran orang dewasa (POD). Metode POD
menganggap orang-orang yang diberdayakan bukan sebagai orang yang bodoh atau
lemah, melainkan justru dipandang sebagai individu yang telah memiliki peta kognitif
yang lengkap tentang pekerjaannya, sehingga posisi mereka adalah sebagai mitra sejajar
yang secara lateral diberikan kesempatan untuk memberdayakan diri sendiri, dan sharing
dengan pegawai yang lain, sehingga tanpa disadari tidak ada yang merasa ‘kehilangan
harga diri’.
Stewart (1994:122-124) mencoba mengingatkan bahwa setiap pemberdayaan
memerlukan budget atau investasi untuk pelatihan. Kebanyakan organisasi pemerintah
menurutnya kurang investasi dibidang pelatihan, tanpa budget yang memadai maka
pelatihan akan kehilangan arti. Mungkin yang dimaksud oleh Stewart disini adalah bahwa
dengan budget yang memadai dimungkinkan penyelenggaraan suatu pelatihan yang baik,
dengan kurikulum yang baik dan instruktur yang baik pula. Selanjutnya juga diingatkan
bahwa tidak cukup hanya dengan invest pelatihan, namun juga diperlukan dukungan
waktu dan encouragement pimpinan dalam bentuk pertemuan atau meeting time yang
cukup, atensi pribadi, sharing ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki pimpinan.
Saran terakhir yang diberikan Stewart adalah bahwa setiap pemberdayaan harus diikuti
190
dengan pemberian reward yang memadai bisa berbentuk peningkatan insentif maupun
gaji atau penghargaan non finansial.
Skenario Pemberdayaan Puskesmas moderate Pada Puskesmas moderate, terdapat 5 (lima) variabel yang diduga mempengaruhi
sensitifitas 4 (empat) variabel base case (kepuasan pasien, kepuasan pegawai, mutu
layanan, dan penerimaan). Kelima variabel sensitif tersebut adalah rasio obat pasien,
subsidi, rasio pasien-medis, biaya program penyuluhan, dan potensi pasien. Sebagaimana
pada Puskesmas elite, keempat variabel base case selanjutnya ditempatkan pada posisi di
kuadran Star sesuai dengan karakteristik kondisi lingkungan organisasi Puskesmas. Yang
berbeda adalah variabel-variabel sensitifnya.
Gambar 30 Penempatan Variabel Base Case Menurut Kuadran Star pada Puskesmas Moderate (Sumber: Diadopsi dari Model Star, 2002)
Berdasarkan penempatan variabel-variabel base case pada kuadran Star tersebut,
maka dapat dibangun asumsi-asumsi skenario sebagai berikut :
Uncertainty
Relative Certainty/ Predictability
Empowered Networks
Command/Control Hierarchy
A B
D C
Penerimaan -Subsidi -Potensi Pasien
Mutu layanan -BiayaPenyuluhan -Rasio Pasien-Medis
Kepuasan Pegawai -PotensiPasien
Kepuasan Pasien -Rasio Pasien-Medis -Rasio Obat-Pasien
191
1. Skenario dengan mesimulasikan perubahan variabel mutu layanan jika
diintervensi oleh perubahan variabel biaya program penyuluhan, dan rasio pasien-
medis.
2. Skenario dengan mensimulasikan perubahan variabel kepuasan pasien jika
diintervensi oleh perubahan variabel rasio pasien medis, dan rasio obat-pasien
3. Skenario dengan mensimulasikan perubahan variabel kepuasan pegawai jika
diintervensi oleh perubahan variabel potensi pasien
4. Skenario dengan mensimulasikan perubahan variabel penerimaan jika diintervensi
oleh perubahan variabel potensi pasien.
Adapun hasil simulasi adalah sebagai berikut :
1.Hasil Simulasi Variabel Mutu Layanan
Tabel 63 Hasil Intervensi Variabel Rasio Pasien-Medis Terhadap Mutu Layanan
(moderate)
Mutu Layanan Waktu (Triwulan) Simulasi
1 Simulasi
2 Simulasi
3
Keterangan
0 0.0541 0.0541 0.0541 Simulasi 1 : Rasio Pasien Medis 100 (awal) 1 0.0487 0.0487 0.0487 Simulasi 2 : Intervensi : 100+STEP(110, pada t5) 2 0.035 0.035 0.035 Simulasi 3 : Intervensi : 100+STEP (120, pada t5) 3 0.0216 0.0216 0.0216 4 0.0151 0.0151 0.0151 5 0.0157 0.111 0.111 6 0.0164 0.117 0.117 7 0.0168 0.122 0.122 8 0.0171 0.126 0.126 9 0.0173 0.127 0.129
10 0.0174 0.128 0.13 11 0.0174 0.128 0.13 12 0.0174 0.127 0.13
Sumber: Hasil Simulasi Penelitian, 2006
1) 2)
Gambar 31 Grafik Perkembangan Mutu Layanan setelah di Intervensi Rasio Pasien Medis Moderate (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006)
Time
mut
u_la
yana
n
0 3 6 9 12
0.02
0.03
0.04
0.05
Time
mut
u_la
yana
n
0 3 6 9 12
0.05
0.10
1 2 31 2
31
2 3
1
2 3
1
2
192
Dalam tabel terlihat perbedaan nilai mutu layanan sebelum diintervensi melalui
simulasi (lihat kolom simulasi 1) dengan nilai setelah diintervensi dua kali (lihat kolom
simulasi 2 dan 3). Intervensi pertama adalah dengan mengubah rasio pasien medis
menjadi 110 pada waktu t5 dengan rumus 100+STEP(110,5) dalam perangkat lunak
powersim. Hasilnya dapat disimak peningkatan nilai mutu layanan yang cukup
signifikan. Pada simulasi 2 ketika intervensi ditingkatkan, nilai mutu layanan juga
meningkat. Intervensi selanjutnya tetap menunjukkan nilai yang sama dan tidak ada
peningkatan yang berarti, sehingga diputuskan untuk menghentikan simulasi dan
ditetapkan bahwa perubahan yang paling baik adalah pada nilai rasio pasien-medis
sebesar 110 hingga 120. Nilai inilah yang direkomendasikan untuk pemberdayaan.
Berikut ini adalah gambar grafik yang menvisualisasikan hasil simulasi mutu layanan.
3. Hasil Simulasi Variabel Kepuasan Pasien
Kedua variabel sensitif yakni rasio pasien medis dan rasio obat-pasien, memiliki
pengaruh terhadap variabel kepuasan pasien, namun pengaruh yang paling bermakna dan
memperlihatkan perubahan yang berarti adalah variabel rasio pasien medis. Logikanya
adalah jika rasio pasien medis sesuai maka beban pegawai tidak akan berat, sehingga
pelanggan dapat melakukan komunikasi lancar dengan petugas medis (konsultasi
kesehatan secara intensif), dengan kata lain petugas memiliki banyak waktu untuk
pelanggan atau pasien.
Pada tabel dapat disimak perubahan nilai Kepuasan Pasien yang cukup nyata
setelah diintervensi nilai Rasio Pasien-Medis pada simulasi 2 sebesar 110 pada waktu t5
dengan rumus 100+STEP(110,5). Demikian pula perubahan pada simulasi 2, setelah
intervensi ditingkatkan menjadi 120. Simulasi selanjutnya tidak akan membuat nilai
meningkat, melainkan terbatas pada nilai tertinggi yakni 5 (skala Likert) setelah nilai 5
tercapai maka grafik akan tumbuh mendatar pada titik tertinggi 5. Grafik semacam ini
menggambarkan pola goal seeking .
193
Tabel 6 Hasil Intervensi Variabel Rasio Pasien-Medis Terhadap Kepuasan Pasien (moderate)
Kepuasan Pasien Waktu Simulasi
1 Simulasi
2 Simulasi
3
Keterangan
0 3.40 3.40 3.40 Simulasi 1 : Rasio Pasien Medis 100 (awal) 1 3.49 3.49 3.49 Simulasi 2 : Intervensi : 100+STEP(110, pada t5) 2 3.56 3.56 3.56 Simulasi 3 : Intervensi : 100+STEP (120, pada t5) 3 3.61 3.61 3.61 4 3.64 3.64 3.64 5 3.66 3.66 3.66 6 3.68 3.81 3.81 7 3.70 3.95 3.95 8 3.73 4.08 4.08 9 3.75 4.19 4.19
10 3.77 4.30 4.30 11 3.79 4.39 4.39 12 3.81 4.46 4.47
Sumber: Hasil Simulasi Penelitian, 2006
1) 2)
Gambar 32 Grafik Perkembangan Kepuasan Pasien setelah di Intervensi Rasio Pasien Medis (moderate) (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006)
Gambar grafik nomor 1 menunjukkan pola kecenderungan yang belum diintervensi
dengan nilai rata-rata kepuasan pasien diatas 3, sedangkan pada grafik nomor 2 terlihat
kecenderungan peningkatan nilai kepuasan pasien yang meningkat setelah t5, bahkan
pada t8 mencapai nilai kepuasan pasien diatas 4. Grafik tidak akan meningkat secara
eksponential, melainkan akan mendatar setelah mendekati titik tertinggi dari nilai
kepuasan pasien yakni 5 (skala Likert).
3. Hasil Simulasi Variabel Kepuasan Pegawai
Jika pada Puskesmas elite variabel rasio insentif berpengaruh secara nyata
terhadap variabel kepuasan pegawai, maka tidak demikian di Puskesmas moderate. Rasio
potensi pasien ternyata menjadi perhatian pegawai.
Time
Kep
uasa
n_P
asie
n
0 3 6 9 123.4
3.6
3.8
Time
Kep
uasa
n_P
asie
n
0 3 6 9 12
3.5
4.0
4.5
1 2 31 2 3 1
2 3
1
2 3
1
2
194
Hasil simulasi menunjukkan bahwa potensi pasien mempengaruhi kepuasan
pegawai ketika dinaikan menjadi 15 % dan 24 %, namun kenaikannya tidak begitu
mencolok, begitu juga ketika nilai intervensi ditingkatkan lebih lanjut, hasilnya tetap
sama. Hal ini menggambarkan bahwa adanya dilema, dimana di satu sisi pegawai pada
Puskesmas moderate mengharapkan jumlah pasien meningkat dengan harapan
pemasukan swadana meningkat dan berimbas pada insentif mereka. Tetapi di sisi lain
kekuatiran akan meningkatnya beban kerja juga menjadi pemikiran para pegawai.
Memperhatikan hal ini, tentunya pemberdayaan akan lebih bijak jika memperhatikan
antara rasio peningkatan jumlah pasien dengan beban kerja pegawai.
Tabel Hasil Intervensi Variabel Rasio Potensi Pasien Terhadap Kepuasan Pegawai (moderate)
Kepuasan Pegawai Waktu Simulasi
1 Simulasi
2 Simulasi
3
Keterangan
0 2.05 2.05 2.05 Simulasi 1 : Rasio Potensi Pasien 12% (awal) 1 2.11 2.11 2.11 Simulasi 2 : Intervensi : 12%+STEP(15%, pada t5) 2 2.17 2.17 2.17 Simulasi 3 : Intervensi : 12%+STEP (24%, pada t5) 3 2.23 2.23 2.23 4 2.29 2.29 2.29 5 2.36 2.36 2.36 6 2.43 2.44 2.44 7 2.50 2.51 2.51 8 2.57 2,59 2,59 9 2.64 2.66 2.66
10 2.71 2.72 2.72 11 2.78 2.79 2.79 12 2.84 2.86 2.86
Sumber: Hasil Simulasi Penelitian, 2006
1) 2)
Gambar 33 Grafik Perkembangan Kepuasan Pegawai setelah di Intervensi Rasio Potensi Pasien (moderate) (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006) Hasil simulasi dapat disimak pada tabel dengan membandingkan nilai simulasi 1
(belum diintervensi) dengan simulasi 2 dan 3. Sedangkan pada grafik dapat disimak
Time
Kep
uasa
n_P
egaw
ai
0 3 6 9 12
2.2
2.4
2.6
2.8
Time
Kep
uasa
n_P
egaw
ai
0 3 6 9 12
2.1
2.4
2.7
1 2 3
1 2 3
1 2 3
1 2 31
195
grafik nomor 1 adalah sebelum diintervensi, dan grafik nomor 2 adalah menggambarkan
intervensi 2 dan 3 (kedua grafik divisualisasikan menjadi satu gambar agar lebih efisien)
5.Hasil Simulasi Variabel Penerimaan
Sebagaimana pada Puskesmas elite, rasio potensi pasien secara meyakinkan
mempengaruhi penerimaan Puskesmas moderate. Berikut ini tabel nilai hasil simulasi
tersebut.
Peningkatan rasio potensi pasien dari 15 % menjadi 20 % dan seterusnya, terbukti
berpengaruh terhadap penerimaan (swadana) hampir 80 %. Peningkatan potensi pasien
dapat terjadi jika Puskesmas memperhatikan pemberdayaan kepuasan pasien, dan
peningkatan kepuasan pasien terjadi jika mutu layanan juga diperhatikan. CLD dan SFD
sistem kinerja ketiga Puskesmas (elite, moderate, dan slum) telah menggambarkan
kausalitas hubungan ketiga variabel tersebut.
Tabel 66 Hasil Intervensi Variabel Rasio Potensi Pasien Terhadap Penerimaan (moderate)
Penerimaan Keterangan Waktu Simulasi
1 Simulasi
2
0 686,341,650 686,341,650 Simulasi 1 : Rasio Potensi Pasien 15% (awal) 1 693.634.650 693.634.650 Simulasi 2 : Intervensi : 15%+STEP(20%, pada t5) 2 703,663,000 703,663,000 3 719,571,500 719,571,500 4 756,321,450 756,321,450 5 764,804,450 1,198,729,450 6 773,559,450 1,217,854,450 7 782,569,450 1,237,659,450 8 791,834,450 1,258,127,450 9 801,337,450 1,279,224,450
10 811,044,450 1,300,865,450 11 820,972,450 1,323,067,450 12 831,104,450 1,345,796,450
Sumber: Hasil Simulasi Penelitian, 2006
1) 2) Gambar 34 Grafik Perkembangan Penerimaan setelah di Intervensi Rasio Potensi Pasien (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006)
Time
pem
asuk
an
0 3 6 9 12
700,000,000
750,000,000
800,000,000
Time
pem
asuk
an
0 3 6 9 12
700,000,000
900,000,000
1.1e9
1.3e9
12 1 2 1
2
1
2
1
2
196
Model Pemberdayaan Puskesmas Moderate
Berdasarkan pada temuan hasil simulasi pada Puskesmas moderate, maka dapat
disusun model pemberdayaan moderate. Pada tahun 2007 (t5 – t8) prioritas
pemberdayaan pertama adalah pada perbaikan mutu layanan dan kepuasan pelanggan.
Variabel yang terbukti sensitif pada kedua aspek tersebut adalah rasio pasien medis.
Dalam simulasi, rasio pasien medis moderate adalah dapat ditingkatkan hanya pada nilai
tertinggi 120 dan nilai terendah 100 pasien setiap harinya. Saat ini Puskesmas moderate
130 hingga 200 pasien setiap harinya. Seperti halnya pada elite, terjadi work load (beban
kerja), sehingga dapat dipahami jika aspek reliability dan empathy pegawai rendah (lihat
IKP). Selain membenahi rasio pasien medis, pemberdayaan dapat dilakukan dengan cara
memperbaiki reliability dan empathy pegawai. Pada moderate, indeks kapabilitas
pegawai ditemukan rendah bila dibandingkan dengan 2 Puskesmas yang lain.
Gambar 35 Model Pemberdayaan Puskesmas moderate (Sumber: Hasil Kajian Penulis, 2006) Keterangan gambar: ML = Mutu Layanan (variabel sensitif adalah Rasio Pasien Medis) KP = Kepuasan Pelanggan (variabel sensitif adalah Rasio Pasien Medis) K.Peg = Kepuasan Pegawai (variabel sensitif adalah Potensi Pasien) P = Penerimaan (variabel sensitif adalah Potensi Pasien) Tahun 2008 (t9 – t12): Prioritas pemberdayaan adalah kepuasan pegawai dan
penerimaan (swadana). Kedua variabel sensitif terhadap potensi pasien. Pada kepuasan
pegawai, jika potensi pasien meningkat, maka jumlah pasien akan meningkat pula, hal ini
High
Low
t5 t12
ML
KP
K.Peg
Per
form
ance
Time
P
197
akan menyebabkan beban pegawai meningkat. Pada variabel penerimaan, pengaruh
potensi pasien adalah menambah jumlah pasien,yang pada gilirannya akan mendongkrak
penerimaan Puskesmas dari retribusi pasien.
Skenario Pemberdayaan Puskesmas slum
Pada Puskesmas slum terdapat 6 (enam) variabel (rasio obat pasien, subsidi, rasio
pasien-medis, biaya program penyuluhan, dan potensi pasien, dan tingkat daya beli),
yang diduga mempengaruhi sensitifitas 4 (empat) variabel base case (kepuasan pasien,
kepuasan pegawai, mutu layanan, dan penerimaan).
Gambar 36 Penempatan Variabel Base Case Menurut Kuadran Star pada Puskesmas slum (Sumber: Diadopsi dari Model Star, 2002) Sebagaimana pada Puskesmas elite maupun moderate, keempat variabel base case
selanjutnya ditempatkan pada posisi di kuadran Star sesuai dengan karakteristik kondisi
lingkungan organisasi Puskesmas, sedangkan yang berbeda adalah variabel-variabel
sensitifnya. Berdasarkan penempatan variabel-variabel base case pada kuadran Star
tersebut, maka dapat dibangun asumsi-asumsi skenario hubungan variabel sebagai
berikut:
Uncertainty
Relative Certainty/ Predictability
Empowered Networks
Command/Control Hierarchy
A B
D C
Penerimaan -Subsidi -Potensi Pasien
Mutu layanan -BiayaPenyuluhan -Rasio Obat-Pasien -Rasio Pasien-Medis
Kepuasan Pegawai - Rasio Pasien medis
Kepuasan Pasien -Rasio Pasien-Medis -Tingkat Daya Beli
198
1. Skenario dengan mesimulasikan perubahan variabel mutu layanan jika
diintervensi oleh perubahan variabel biaya program penyuluhan, rasio obat-
pasien, dan rasio pasien-medis.
2. Skenario dengan mensimulasikan perubahan variabel kepuasan pasien jika
diintervensi oleh perubahan variabel rasio pasien medis, dan tingkat daya beli
3. Skenario dengan mensimulasikan perubahan variabel kepuasan pegawai jika
diintervensi oleh perubahan variabel rasio pasien medis.
4. Skenario dengan mensimulasikan perubahan variabel penerimaan jika diintervensi
oleh perubahan variabel potensi pasien.
Adapun hasil simulasi adalah sebagai berikut :
1. Hasil Simulasi Variabel Mutu Layanan
Pada dasarnya ketiga variabel sensitif yakni biaya penyuluhan, rasio obat-pasien
dan rasio pasien-medis berpengaruh terhadap variabel base case mutu layanan, namun
seperti pada elite dan moderate, nampaknya pengaruh yang paling bermakna adalah
variabel rasio pasien-medis.
Pada intervensi terhadap peningkatan rasio pasien medis dari 129 menjadi 140
pada t5, terjadi peningkatan nilai mutu layanan yang begitu signifikan, kemudian pada
simulasi berikutnya nilai rasio pasien ditingkatkan dari 129 menjadi 150, hasilnya tidak
terlihat peningkatan nilai mutu layanan yang mencolok seperti pada simulasi 2 (grafik
nomor 2), berarti bahwa nilai peningkatan rasio pasien medis yang paling bermakna dan
dapat mengubah nilai mutu layanan adalah tidak lebih dari 140. Lebih dari nilai tersebut
tidak memiliki pengaruh terhadap peningkatan mutu layanan.
Pada intervensi terhadap peningkatan rasio pasien medis dari 129 menjadi 140
pada t5, terjadi peningkatan nilai mutu layanan yang begitu signifikan pada waktu t5 dan
seterusnya hingga t12. Kemudian pada simulasi 3 nilai rasio pasien ditingkatkan dari 129
menjadi 150, hasilnya tidak terlihat peningkatan nilai mutu layanan yang mencolok
seperti pada simulasi 2 (grafik nomor 2).
199
Tabel 67 Hasil Intervensi Variabel Rasio Pasien-MedisTerhadap Mutu Layanan (slum)
Mutu Layanan Waktu Simulasi
1 Simulasi
2 Simulasi
3
Keterangan
0 0.0611 0.0611 0.0611 Simulasi 1 : Rasio Pasien-Medis 129 (awal) 1 0.0605 0.0605 0.0605 Simulasi 2 : Intervensi : 129+STEP(140 pada t5) 2 0.0551 0.0551 0.0551 Simulasi 3 : Intervensi : 129+STEP (150pada t5) 3 0.0423 0.0423 0.0423 4 0.0284 0.0284 0.0284 5 0.0161 0.113 0.113 6 0.0167 0.118 0.118 7 0.0171 0.123 0.123 8 0.0175 0.126 0.126 9 0.0177 0.129 0.129
10 0.0179 0.130 0.131 11 0.0181 0.130 0.132 12 0.0181 0.131 0.132
Sumber: Hasil Simulasi Penelitian, 2006
1) 2)
Gambar 37 Grafik Perkembangan Mutu Layanan setelah di Intervensi Rasio Pasien-Medis (slum) (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006)
2. Hasil Simulasi Variabel Kepuasan Pasien
Dua variabel sensitif yakni rasio pasien medis dan tingkat daya beli
disimulasikan terhadap variabel kepuasan pasien, kedua berpengaruh, namun pengaruh
yang paling mencolok perubahannya adalah rasio pasien medis, hasilnya adalah sebagai
berikut.
Rasio pasien medis ternyata berpengaruh pada kepuasa n pasien di ketiga
Puskesmas sampel. Pada Puskesmas slum pengaruh pada perubahan nilai dari 129
menjadi 100 pada t5 dengan rumus 129+STEP(100,5) artinya jika nilai rasio pasien medis
diturunkan menjadi 100, maka nilai kepuasan pasien meningkat hingga 4.58 pada t12
(lihat tabel kolom simulasi 2). Ketika intervensi ditingkatkan menjadi 140 dan
seterusnya, maka nilai kepuasan pasien bergeming pada nilai tertinggi 4.60 dan tidak
Time
mut
u_la
yana
n
0 3 6 9 12
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
Time
mut
u_la
yana
n
0 3 6 9 12
0.05
0.10
1 2 31 2 3
2 3 2 3 2
200
meningkat lagi. Hal ini menunjukan bahwa kepuasan pasien berkisar pada rasio pasien
medis 100 hingga 140.
Tabel 68 Hasil Intervensi Variabel Rasio Pasien-MedisTerhadap Kepuasan Pasien (slum)
Kepuasan Pasien Waktu Simulasi
1 Simulasi
2 Simulasi
3
Keterangan
0 3.68 3.68 3.68 Simulasi 1 : Rasio Pasien-Medis 129 (awal) 1 3.76 3.76 3.76 Simulasi 2 : Intervensi : 129+STEP(100 pada t5) 2 3.84 3.84 3.84 Simulasi 3 : Intervensi : 129+STEP (140 pada t5) 3 3.90 3.90 3.90 4 3.95 3.95 3.95 5 3.98 3.98 3.98 6 3.99 4.09 4.09 7 4.01 4.20 4.20 8 4.03 4.30 4.30 9 4.04 4.38 4.39
10 4.06 4.46 4.47 11 4.08 4.52 4.53 12 4.09 4.58 4.60
Sumber: Hasil Simulasi Penelitian, 2006
Gambar 38 Grafik Perkembangan Kepuasan Pasien setelah di Intervensi Rasio Pasien-Medis (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006)
3. Hasil Simulasi Variabel Kepuasan Pegawai
Variabel sensitif yang mempengaruhi variabel kepuasan pegawai adalah rasio
pasien medis, berikut ini adalah hasilnya
Intervensi yang dilakukan terhadap perubahan rasio pasien-medis dari 129 menjadi
90 pada waktu t5 dengan rumus 129+STEP(90,5) terbukti meningkatkan nilai kepuasan
pegawai setelah t8 menjadi 2.29 dan pada hingga t12 menjadi 2.48. Upaya yang
dilakukan dengan intervensi ditingkatkan menjadi 129+STEP(100,5) bahkan lebih besar
lagi, ternyata tidak berhasil meningkatkan nilai kepuasan pegawai. Dengan demikian
Time
Kep
uasa
n_P
asie
n
0 3 6 9 12
3.8
4.0
4.2
4.4
1 2 31 2 3 1
2 3
1
2 3
1
2
Time
Kep
uasa
n_P
asie
n
0 3 6 9 12
3.7
3.8
3.9
4.0
201
dapat dikatakan bahwa kepuasan pegawai mencapai 2.48 jika rasio pasien medis adalah
90 hingga 100 orang per hari.
Tabel.69 Hasil Intervensi Variabel Rasio Pasien-MedisTerhadap Kepuasan Pegawai (slum)
Kepuasan Pegawai Waktu Simulasi
1 Simulasi
2 Simulasi
3
Keterangan
0 2.05 2.05 2.05 Simulasi 1 : Rasio Pasien-Medis 129 (awal) 1 2.07 2.07 2.07 Simulasi 2 : Intervensi : 129+STEP(90 pada t5) 2 2.10 2.10 2.10 Simulasi 3 : Intervensi : 129+STEP (100 pada t5) 3 2.12 2.12 2.12 4 2.15 2.15 2.15 5 2.18 2.18 2.18 6 2.21 2.21 2.21 7 2.24 2.24 2.24 8 2.27 2.29 2.29 9 2.31 2.33 2.33
10 2.35 2.38 2.38 11 2.38 2.43 2.43 12 2.42 2.48 2.48
Sumber: Hasil Simulasi Penelitian, 2006
1) 2)
Gambar 39 Grafik Perkembangan Kepuasan Pegawai setelah di Intervensi Rasio Pasien-Medis slum (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006)
3. Hasil Simulasi Variabel Penerimaan
Variabel sensitif yang mempengaruhi variabel penerimaan adalah potensi pasien
berikut ini adalah hasilnya
Intervensi yang dilakukan terhadap variabel potensi pasien dengan meningkatkan
nilai potensi dari 10 % menjadi 12 hingga 15 %, terbukti mempengaruhi peningkatan
penerimaan hampir 80 % pada t5, bahkan nilai cenderung meningkat pada t12 . Intervensi
pengurangan nilai potensi pasien juga berakibat pada penurunan penerimaan hanya tidak begitu
mencolok seperti pada intervensi peningkatan. Simulasi dihentikan, karena berapapun nilai
intervensi ditingkatkan, penerimaan akan terus meningkat. Secara logika hal ini dapat dipahami.
Time
Kep
uasa
n_P
egaw
ai
0 3 6 9 12
2.1
2.2
2.3
2.4
Time
Kep
uasa
n_P
egaw
ai
0 3 6 9 12
2.1
2.2
2.3
2.4
1 2 31 2 3
1 2 31
2 312
202
Tabel 70 Hasil Intervensi Variabel Potensi Pasien Terhadap Penerimaan (slum)
Penerimaan Keterangan
Waktu
Simulasi 1
Simulasi 2
0 727.504.390 727.504.390 Simulasi 1 : Potensi Pasien 10 % (awal) 1 737.823.390 737.823.390 Simulasi 2 : Intervensi : 10 %+STEP(15% pada t5) 2 752.939.000 752.939.000 Simulasi 3 : Intervensi : 10%+STEP (20% pada t5) 3 768.689.200 768.689.200 4 778.835.610 778.835.610 5 786.672.610 1.222.416.610 6 793.727.610 1.239.518.610 7 800.986.610 1.257.113.610 8 808.432.610 1.293.731.610 9 816.048.610 1.312.737.610
10 823.851.610 1.332.185.610 11 831.841.610 1.352.075.610 12 840.001.610 1.352.075.610
Sumber: Hasil Simulasi Penelitian, 2006
1) 2)
Gambar 40 Grafik Perkembangan Penerimaan setelah di Intervensi Potensi Pasien (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006)
Model Pemberdayaan Puskesmas Slum
Visualisasi model dituangkan dalam kombinasi sumbu X yang menggambarkan
‘waktu’ yakni waktu dimulainya pemberdayaan (t5) hingga t12 (2 tahun ke depan), dan
sumbu Y yang menggambarkan ‘tingkat kinerja’ yang paling lemah hingga yang
tertinggi.
Tahun 2007 (t5 – t8): Prioritas pemberdayaan pertama adalah pada perbaikan mutu
layanan dan kepuasan pelanggan. Variabel yang terbukti sensitif pada kedua aspek
tersebut adalah rasio pasien medis. Dalam simulasi, rasio pasien medis slum dapat
ditingkatkan pada nilai tertinggi 140 hingga 150, dan nilai terendah adalah 129 pasien
setiap harinya. Saat ini Puskesmas melayani 150 hingga 250 pasien setiap harinya.
Puskesmas slum memiliki work load (beban kerja) paling tinggi bila dibandingkan
dengan elite dan moderate. Sementara itu kondisi ini diperparah dengan temuan kinerja
Time
pem
asuk
an
0 3 6 9 12
750,000,000
800,000,000
850,000,000
Time
pem
asuk
an
0 3 6 9 12
900,000,000
1.2e9
1.5e9
1 2 3 1 2 3 1
2
3
1
2
3
1
2
3
203
assurance, kepuasan pegawai, kapabilitas informasi dan jumlah pegawai yang rendah.
Secara garis besar pemberdayaan pada tahun pertama diarahkan pada pembenahan aspek-
aspek yang mendukung kapabilitas pegawai, agar mutu layanan meningkat dan kepuasan
pelanggan meningkat pula.
Gambar 41 Model Pemberdayaan Puskesmas Slum (Sumber: Hasil Kajian Penulis, 2006) Keterangan gambar: ML = Mutu Layanan (variabel sensitif adalah Rasio Pasien Medis) KP = Kepuasan Pelanggan (variabel sensitif adalah Rasio Pasien Medis) K.Peg = Kepuasan Pegawai (variabel sensitif adalah Rasio Pasien Medis) P = Penerimaan (variabel sensitif adalah Potensi Pasien)
Tahun 2008 (t9 – t12): Prioritas pemberdayaan adalah kepuasan pegawai dan
penerimaan (swadana). Kepuasan pegawai sensitif terhadap rasio pasien medis,
mencerminkan ketidakpuasan atau keengganan pegawai bila jumlah pasien terus
meningkat yang pada gilirannya akan menyebabkan beban kerja mereka meningkat pula.
Hal ini wajar karena selama ini beban pegawai di Puskesmas slum adalah tertinggi
dibandingkan elite dan moderate. Pada variabel penerimaan, potensi pasien dapat
mendongkrak penerimaan swadana, namun di sisi lain akan menurunkan kepuasan
pegawai. Pemberdayaan dapat diarahkan dengan cara mengimbangi peningkatan jumlah
pasien dengan peningkatan jumlah tenaga medis secara kontrak.
High
Low
t5 t12
ML
KP
K.Peg
Per
form
ance
Time
P
204
Dari model pemberdayaan yang telah digambarkan pada ketiga Puskesmas, dapat
disimpulkan bahwa variabel sensitif yang juga berfungsi sebagai variabel pengungkit
(leverage) bagi mutu layanan dan kepuasan pelanggan yang paling berperanan saat ini
dan dua tahun ke depan adalah rasio pasien medis. Sebagai variabel pengungkit, rasio
pasien medis dan efek yang ditimbulkannya dapat dipertimbangkan untuk mengambil
keputusan pemberdayaan Puskesmas. Artinya pemberdayaan dapat dimulai dari mana
saja asal memperhatikan keterkaitan atau efek dari dinamika rasio pasien medis.
Dalam konsep berpikir sistemik, dapat dijelaskan hubungan variabel arsio pasien
medis dan efek yang ditimbulkannya secara kausalitas sebagai berikut : tinggi rendahnya
rasio pasien medis akan mempengaruhi work load, selanjutnya work load akan
mempengaruhi tingkat kapabilitas pegawai dalam melayani, tingkat kapabilitas pegawai
akan mempengaruhi tingkat mutu layanan Puskesmas, selanjutnya mutu layanan akan
mempengaruhi kepuasan pasien, dan kepuasan pasien akan mempengaruhi jumlah pasien,
yang pada gilirannya akan mempengaruhi jumlah penerimaan retribusi/swadana, di mana
hasil penerimaan retribusi diantaranya adalah dimanfaatkan untuk rekruitmen pegawai /
dokter kontrak, tinggi rendahnya penerimaan akan mempengaruhi kemampuan
Puskesmas untuk menyeimbangkan rasio pasien medis yang diinginkan.
Rasio pasien medis terkait dengan kuantitas SDM. Keterbatasan dana subsidi yang
dapat dialokasikan untuk penambahan SDM Puskesmas pada dasarnya dapat ditutupi
dengan kewenangan Puskesmas untuk merekrut pegawai dengan sistem kontrak yang
anggarannya diambil dari 65 % dana retribusi yang lazim disebut sebagai dana swadana.
Cara lain untuk memberdayakan adalah dengan melihat efek rasio pasien medis,
antara lain dengan memperhatikan kapabilitas pegawai. Aspek kapabilitas adalah hasil
dari rasio pasien medis, artinya tinggi rendahnya rasio pasien medis akan mempengaruhi
tinggi rendahnya kapabilitas pegawai. Pegawai yang capai karena melayani jumlah
pelanggan yang banyak akan mempengaruhi kapabilitasnya dalam melayani,
manifestasinya dapat terlihat pada sikap pegawai yang kurang atau tidak menyenangkan
pelanggan. Mengacu pada hal tersebut, maka tidak kalah penting untuk meningkatkan
kapabilitas pegawai dengan cara meningkatkan mutu pegawai dalam bekerja, antara lain
dengan pembinaan dan pelatihan pegawai Puskesmas yang hingga saat ini masih
205
dipandang krus ial terutama pada peningkatan kedisiplinan, reliabilitas, responsifitas, dan
empathy pegawai dalam melayani, yang ditemukan masih lemah kinerjanya.
Dari informasi dengan beberapa pegawai di tiga Puskesmas sampel diakui bahwa
pelatihan yang dibutuhkan yang terkait dengan peningkatan mutu layanan, dan
peningkatan kemampuan pegawai masih jarang dilakukan. Kendati telah diusulkan dalam
anggaran subsidi tahunan, budget untuk pelatihan tidak sampai 1 % dari anggaran
keseluruhan. Respon yang begitu positif nampak ketika penulis menawarkan pelatihan
mutu layanan secara cuma-cuma di beberapa Puskesmas. Ketika diberikan waktu oleh
pimpinan Puskesmas, para pegawai dengan antusias mengikuti pelatihan dengan serius.
Hal tersebut menunjukkan bahwa minat terhadap pelatihan yang berfungsi menyegarkan
kemampuan mereka dalam melayani nampak kuat, sayang ketersediaan dana tidak
mendukung.
Bila disimak lebih jauh, pada mutu layanan ketiga Puskesmas, penilaian pelanggan
atau masyarakat nampak terkonsentrasi pada dimensi ‘kemampuan’ dokter Puskesmas,
seperti kemampuan dokter dalam mengobati, keberadaan dokter pada saat dibutuhkan
pasien, dan sikap ramah para dokter terhadap pasien. Dalam hal ini dokter menjadi
barometer mutu layanan Puskesmas. Dengan demik ian pemberdayaan dokter menjadi
perlu untuk dipertimbangkan. Pemberdayaan di sini lebih dikaitkan dengan aspek
perilaku, karena yang ditemukan adalah berkaitan dengan perilaku kerja.
Secara psikologis, sikap para dokter Puskesmas terhadap pasien sangat mungkin
dipengaruhi oleh kemampuan ekonomi si pasien, dan perlu diketahui bahwa sebagian
besar pelanggan Puskesmas adalah kalangan menengah ke bawah. Kalangan mana adalah
merupakan bagian masyarakat yang paling lemah dalam memperjuangkan hak-haknya.
Dominasi dokter terhadap pasien lebih menonjol bila dibandingkan dengan dokter yang
praktek di rumah sakit-rumah sakit besar dan melayani pasien kalangan atas yang lebih
kritis dalam menerima layanan. Tentu bahwa ke depan hal ini harus diubah, dan
perubahan sikap tersebut adalah pemberdayaan perilaku.
Perubahan perilaku individu- individu dalam Puskesmas memerlukan kesiapan,
artinya, pegawai dapat berubah bertumpu pada dua kekuatan, pertama, yakni kekuatan
yang ada dalam individu- individu itu sendiri yang meliputi pengetahuannya, ketrampilan
206
dasar, kesadaran diri, dan toleransi terhadap ambiguitas. Bahkan terdapat bukti bahwa
tingkat motivasi dan harga diri berperan penting dalam kesiapan individu untuk berubah.
Kekuatan kedua adalah berkaitan dengan sistem yang meliputi budaya dan iklim
kerja organisasi, serta konsekuensi-konsekuensi terhadap kegagalan maupun keberhasilan
organisasi akibat perubahan. Selanjutnya dinyatakan bahwa gabungan dari faktor-faktor
tersebut memberikan diskripsi mengenai rasa aman, setiap pemberdayaan pegawai
masalah kesiapan dan rasa aman menjadi kunci keberhasilan. Jangan sampai
pemberdayaan di satu sisi memberikan kewenangan, di sisi lain menambahkan beban.
Jika yang terjadi demikian maka tidak ada rasa aman, pegawai akan cenderung
menghindari perubahan sehingga pemberdayaan akan gagal, dan justru menimbulkan
resistensi.
Kebanyakan kasus pemberdayaan sering menimbulkan resistensi, karena para
pegawai berasumsi negatif terlebih dulu terhadap setiap perubahan. Perubahan
diasumsikan sebagai sesuatu yang tidak pasti (uncertainty) manfaatnya bagi mereka.
Sebagian orang takut pada perubahan, karena mengancam eksistensi mereka yang sudah
mapan. Penilaian baik-buruknya perubahan adalah tergantung pada manfaat secara
individual bagi mereka. Dalam kasus pemberdayaan pegawai Puskesmas agar lebih
responsif dalam melayani, mungkin akan menemui kendala resistensi jika pimpinan
Puskesmas kurang hati-hati dalam melaksanakan perubahan bagi mereka.
Dalam studi Penyuluhan Pembangunan dikenal teknik untuk menurunkan resistensi
yakni dengan metode pembelajaran orang dewasa (POD). Metode POD menganggap
orang-orang yang diberdayakan bukan sebagai orang yang bodoh atau lemah, melainkan
justru dipandang sebagai individu yang telah memiliki peta kognitif yang lengkap tentang
pekerjaannya, sehingga posisi mereka adalah sebagai mitra sejajar yang secara lateral
diberikan kesempatan untuk memberdayakan diri sendiri, dan sharing dengan pegawai
yang lain, sehingga tanpa disadari tidak ada yang merasa ‘kehilangan harga diri’.
Karena Dinas Kesehatan memiliki kewenangan lebih luas menyangkut
pemberdayaan pegawai Puskesmas, maka seharusnya unit-unit penyelenggara pelatihan
dan pendidikan di sana menjadi lebih aktif dalam memberdayakan pegawai Puskesmas.
Dua perubahan perilaku dapat dilakukan, pertama perubahan skill atau kemampuan yang
mengacu pada perilaku khusus sesuai yang dikehendaki dalam pelayanan – yang dapat
207
dilakukan dengan pelatihan - dan perubahan yang terkait dengan pengetahuan yang
mendasar yang berisi prinsip -prinsip melayani secara berkualitas dan mengarah pada
peningkatan kesadaran pegawai, yang dapat dilakukan dengan pendidikan.
Menarik mengamati beberapa Puskesmas di daerah elite yang menempati sebuah
gedung yang cukup megah dan dilengkapi dengan lift 4 lantai, namun sepi dari
pengunjung (PKC Kelapa Gading dan Ciracas). Informasi yang diperoleh menunjukkan
bahwa masyarakat sekitar enggan masuk ke Puskesmas tersebut karena dua alasan,
pertama takut bahwa tarif berobat akan berbeda dengan Puskesmas lain, kedua persepsi
masyarakat terhadap Puskesmas adalah bahwa Puskesmas telah berganti status sebagai
rumah sakit dan berarti lebih eksklusif. Suatu hal yang dilematis yang didasari oleh
stigma yang terlanjur melekat pada Puskesmas selama ini yakni sebagai pusat pelayanan
kesehatan murah dan kumuh.
Pilot project pembangunan Puskesmas secara berlebihan tersebut hanya merugikan
pemerintah sendiri. Kedekatan Puskesmas dengan masyarakat dapat diupayakan dan
lebih bermanfaat bila Puskesmas beroperasi secara ‘merakyat’ namun tidak
meninggalkan standar pelayanan kesehatan yang layak, disertai sikap para pegawai
termasuk para dokter dan para medis yang ramah, bertanggung jawab dan handal.
Tak kalah penting dalam bahasan ini adalah pemberdayaan masyarakat sebagai
pelanggan Puskesmas. Kendati masyarakat sebagai pelanggan diberikan hal untuk
menilai kinerja Puskesmas, tidak berarti bahwa mereka steril dari kelemahan dan
kekurangan sebagai pelanggan. Beberapa ahli pelayanan publik memproklamirkan
pelanggan adalah ‘raja’, bahkan tanggal 5 September diperingati sebagai Hari Pelanggan.
Penghormatan terhadap pelanggan tidak akan berarti bila masyarakat pelanggan tidak
mengimbangi dengan perilaku yang sesuai. Dari pengamatan yang dilakukan, pada
beberapa Puskesmas terjadi penggunaan kartu miskin secara tidak wajar. Sebagaimana
diketahui bahwa kewenangan mengeluarkan kartu GAKIN (Keluarga Miskin) berada di
tangan Lurah, pihak Puskesmas memberikan verifikasi berdasarkan pada data BPS.
Dalam praktik, kartu GAKIN banyak yang jatuh di tangan pelanggan yang bukan
semestinya, terlihat selama pengamatan ada beberapa pelanggan yang secara ekonomi
terlihat mampu (memakai perhiasan, menggunakan motor pribadi) tetapi menggunakan
kartu GAKIN. Pihak Puskesmas seolah tidak memiliki daya dalam menghadapi
208
fenomena ini, kartu GAKIN menjadi senjata paling ampuh yang tidak mungkin untuk
ditolak.
Di sisi lain hal yang sebaliknya terjadi, terlihat beberapa pelanggan yang secara
ekonomi nampak tidak mampu tetapi tidak memiliki kartu GAKIN karena berbagai
alasan, antara lain tidak mempunyai KTP. Beberapa Puskesmas menolak memberikan
layanan, namun beberapa yang lain melayani dengan baik dan gratis karena alasan
kemanusiaan.
Contoh perilaku pelanggan dari hasil pengamatan penulis tersebut seharusnya juga
menjadi perhatian Dinas Kesehatan terkait. Sistem asuransi seperti Askes, Jamsostek, dan
GAKIN mungkin memerlukan reformasi dalam sistem distribusi dan alokasi. Pendataan
penduduk miskin melalui BPS kadang-kadang tidak sesuai dengan kenyataan di
lapangan, penduduk miskin yang sudah didata banyak yang sudah pindah karena berbagai
alasan. Di sisi lain kewenangan Kelurahan untuk mengeluarkan kartu GAKIN bagi
penduduknya harus diawasi secara ketat melalui verifikasi Puksesmas secara sungguh-
sungguh. Pihak Puskesmas terkesan kurang peduli dengan hal ini karena beban kerja
mereka sendiri sudah cukup berat, sehingga pekerjaan verifikasi dipandang menambah
beban kerja. Dalam hal ini Dinas Kesehatan seharusnya mengambil alih tugas verifikasi
atau memberikan tenaga khusus untuk melakukan pekerjaan tersebut, dan tidak
membebankan ke Puskesmas.
McKevitt (1998) mengungkapkan bahwa ‘pelanggan bukannya tidak pernah salah’
ungkapan tersebut terbukti pada kasus GAKIN yang telah diuraikan di atas. Sebagaimana
Pada pelanggan internal (pegawai), maka pelanggan masyarakat juga harus diberdayakan
melalui pembinaan dan pengararahan yang mampu menyadarkan masyarakat tentang
partisipasi dan dukungannya terhadap setiap layanan kesehatan yang disediakan oleh
pemerintah dengan cara mematuhi aturan main yang telah diterapkan. Arena yang sesuai
untuk itu adalah penyuluhan. Dari data sekunder yang dihimpun, rata-rata frekuensi
penyuluhan yang dilakukan oleh ketiga Puskesmas pada saat penelitian ini dilaksanakan,
telah baik, yakni hampir 90 % dari yang ditargetkan yakni 60 kali dalam sebulan, dan
meliputi berbagai penyuluhan kesehatan sesua i 20 Upaya Pokok Puskesmas, serta
diselenggarakan baik di dalam maupun di luar gedung. Penilaian sebagian besar
pelanggan terhadap program-program penyuluhan Puskesmas adalah baik, hanya pada