hasil audit bpk menyebutkan keputusan pemerintah untuk ... filehasil audit bpk itu juga menyebutkan...

24
Divestasi Menun 6 Warta BPK OKTOBER 2011 LAPORAN UTAMA Hasil audit BPK menyebutkan keputusan pemerintah untuk membeli 7% saham di PT Newmont harus ditetapkan dengan peraturan pemerintah dan mendapat persetujuan DPR. Newmont

Upload: dangthuan

Post on 30-Apr-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Divestasi  Menunggu Restu DPR

6 Warta BPKOKTOBER 2011

LAPORAN UTAMA

Hasil audit BPK menyebutkan keputusan pemerintah  untuk membeli 7% saham di PT

Newmont  harus ditetapkan dengan peraturan pemerintah dan  mendapat persetujuan DPR.

Newmont

Divestasi  Menunggu Restu DPR

7Warta BPK OKTOBER 2011

LAPORAN UTAMA

KONtROveRsi  pembeliaan 7% saham divestasi Pt Newmont Nusa teng­gara (NNt) oleh  pemerintah melalui Pusat investasi Pemerintah  (PiP) kini menemukan  titik terang.  Pada 19 Oktober 2011, BPK telah menyerahkan hasil Pemeriksaan Dengan tujuan tertentu (PDtt)

divestasi NNt ke DPR.  sebelumnya, BPK  telah melakukan  audit terhadap proses pembelian

7% saham NNt. ini dilakukan BPK  seiring dengan  adanya permintaan DPR melalui surat yang dilayangkan parlemen ke BPK pada 21 Juni 2011. surat itu menyebutkan adanya permintaan Komisi Xi  untuk melakukan PDtt terhadap proses pembelian 7%  saham NNt oleh PiP.  

Adapun, tujuan pemeriksaan  terhadap proses pembelian saham itu untuk menilai  apakah proses  pembelian telah mengikuti  perundang­undangan. selain itu,  audit juga  untuk mengetahui apakah  transaksi pembelian saham perlu  terlebih dahulu meminta persetujuan DPR atau tidak.

Berangkat dari sana,  BPK melakukan audit dengan prosedur  pemeriksaan seperti  mengkaji peraturan  perundang­undangan, mewawancarai  aparat pejabat  Kementerian Keuangan  dan Kementerian esDM dan BKPM,  serta mewancarai  beberapa anggota  Komisi X DPR.  Untuk membedahnya, BPK menggunakan landasan hukum berupa UU Nomor 17/ 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1/ 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Hasilnya,   BPK berpendapat pembelian saham NNt oleh pemerintah merupa kan investasi jangka panjang  dalam bentuk Penyertaan Modal Pemerintah.  Hanya saja, sesuai dengan Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 44/2005 tentang tata Cara Penyertaan dan Penataan Modal Negara pada BUMN dan Perseroaan terbatas,  penyertaan modal ke dalam perseroan terbatas yang di dalamnya belum terdapat  saham milik negara hanya dapat dilakukan dalam keadaan tertentu untuk menye lamatkan perekonomian nasional.

sementara penyertaan modal pemerintah di NNt, menurut BPK, dilakukan karena adanya keadaan tertentu yakni adanya kontrak karya antara pemerintah dan NNt. Dalam kontrak karya disebutkan adanya hak kepada pemerintah atau perusahaan indonesia untuk memiliki 51% saham di NNt.

Oleh karena itu, BPK berpendapat  pembelian 7% saham Newmont oleh pemerintah  harus terlebih dahulu  mendapatkan  persetujuan DPR. Hal ini sesuai dengan ketentuan  dalam Pasal 24 ayat (7) UU No.  17 tahun 2003  tentang Ke­uangan Negara.

Hasil audit BPK itu juga menyebutkan hingga  saat ini belum ada alokasi APBN untuk  pembelian saham NNt oleh pemerintah.  Alokasi APBN  untuk dana investasi  yang  dikelola oleh PiP  pada 2006 ­2007 diarahkan untuk mendukung  dana infrastuktur. Adapun, alokasi APBN  periode 2009­2011 untuk dana investasi  tidak dijelaskan  uraian penggunaannya.  sementara APBN 2008  tidak mengalokasikan anggaran investasi untuk PiP.

Alokasi APBN untuk dana investasi  tanpa adanya rincian dan penjelasan yang memadai tidak sesuai dengan ketentuan pasal 15 ayat (5) UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam ketentuan disebutkan bahwa APBN yang dise­tujuai oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.

8 Warta BPKOKTOBER 2011

LAPORAN UTAMA

selain itu,  hasil audit BPK  juga menyebutkan keputusan untuk melakukan investasi jangka panjang dalam bentuk  penyertaan modal pemerintah pada NNt adalah kewenangan pemerintah bukan kewenangan Menteri Keuangan.  Kewenangan Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara  di bidang investasi  hanya menempatkan  uang negara  dan me­ngelola  investasi pemerintah.

Oleh karena itu,  BPK berpanda­ngan dalam  investasi  jangka panjang

berupa penyertaan  modal pemerintah, kewenangan Menteri Keuangan  untuk mengelola  investasi merupakan tindak lanjut dari keputusan pemerintah untuk melakukan investasi jangka panjang.

Untuk itu,  BPK berpandangan PP No. 1/ 2008 tentang investasi  peme rintah   telah memperluas  kewena ngan Menteri Keuangan selaku  BUN  di bidang investasi. Pasalnya, dalam  PP itu  disebutkan seluruh proses  pengelolaan investasi  pemerintah  diserahkan sepenuhnya  menjadi kewenangan  Menteri Keuangan, termasuk kewenangan  memutuskan  untuk melakukan

investasi  jangka panjang  dalam bentuk penyertaan modal pemerintah  pada perusahaan  swasta  yang seharusnya kewenangan peme rintah.

Tidak SesuaiHasil audit BPK

juga  mengungkapkan  kelembagaan PiP sebagai Badan Layanan Umum  (BLU) yang tidak sesuai  dengan filosofi dan semangat pembentukan  BLU. Hal ini sebagaimana  diatur  dalam Pasal 58 UU No. 1/ 2004 tentang Perbendaharaan Negara.   Dalam

pandangan BPK, PiP tidak memberikan  pelayanan secara langsung kepada masyarakat.  sebaliknya PiP bertujuan  untuk memupuk keuntungan ekonomi.

BPK berpendapat bahwa keputusan pemerintah  untuk melakukan investasi  jangka panjang dalam bentuk  penyertaan  modal pada perusahaan swasta yakni berupa pembelian 7% saham di NNt harus ditetapkan  de­ngan Peraturan Pemerintah. Juga harus  terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR, baik mengenai substansi keputusan investasi  atau penyertaan modal maupun penyediaan anggaran dalam APBN.

Wakil Ketua Komisi Xi DPR Harry Azhar Azis mengungkapkan berdasarkan hasil audit BPK pembelian saham Newmont oleh PiP terbukti menggunakan dana APBN.  Oleh karena itu, lanjutnya, jika pemerintah ingin menggunakan dana APBN, harus melalui persetujuan DPR. “Karena itu hasil audit BPK menyebutkan  adanya pelanggaran dalam pembelian saham Newmont,” kata Harry.  

sebenarnya,  menurut Harry, ada dua poin penting dari hasil audit BPK yang harus menjadi perhatian peme­rintah. Pertama, BPK menyatakan untuk kepentingan investasi yang menggunakan anggaran negara diperlukan aturan pemerintah tersendiri. Dia mencontohkan penyertaan modal negara yang dikucurkan bagi BUMN yang perlu aturan khusus.  Kedua, dalam kebijakan investasi pemerintah harus mengajukan permohonan persetujuan dari DPR karena sumber dana pembelian saham itu berasal dari dana APBN.

Oleh karena itu, tambahnya, de ngan adanya pendapat BPK itu, tidak ada alasan lagi bagi Menkeu untuk melanjutkan transaksi saham NNt.  Untuk itu, sesuai dengan hasil audit BPK, keinginan PiP untuk membeli 7% saham Newmont mesti dibatalkan demi hukum.  “Kecuali bila  nanti Menkeu mengajukan proposal baru  untuk meminta persetujuan DPR,” kata Harry .

Dia menambahkan hasil audit BPK sudah  dengan jelas  mengungkapkan perlunya keterlibatan DPR jika peme­rintah ingin membeli 7% saham divestasi NNt. “Keterlibatan di sini adalah pemerintah harus meminta persetujuan dari dewan karena pembelian itu menggunakan dana APBN,” jelasnya. 

selain itu, tambahnya, PiP juga telah menyimpang dari tujuan pendiriannya. Menurut dia,  PiP didirikan untuk membantu pembiayaan infrastrukutr pembangunan. Oleh karena itu, Komisi Xi meminta agar pemerintah wajib

foto: zonanews.comHarry Azhar Azis

9Warta BPK OKTOBER 2011

LAPORAN UTAMA

mematuhi peraturan perundang­undangan dalam setiap kebijakannya.  

Harry menjelaskan Komisi Xi akan menyurati Presiden susilo Bambang Yudhoyono yang berisi mengenai permintaan agar Kepala Negara mematuhi hasil audit BPK. “Jika tidak meminta persetujuan DPR, penggunaan dana APBN oleh pemerintah bertentangan dengan peraturan perundang­unda ngan,” tandas Harry.

Dalam surat No. 344/ MK.01/2011  yang dilayangkan Menteri Keuangan Agus Martowardojo kepada BPK pada 23 Juni 2011 disebutkan keputusan untuk membeli 7% saham Newmont oleh pemerintah melalui PiP  merupakan kewenangan  Menteri Keuangan. Hal ini sesuai dengan  UU  No. 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1/ 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Argumen MenkeuUntuk memperkuat argumennya,

Agus menunjuk Pasal 8 huruf f UU No. 17/2003 yang menyebutkan bahwa dalam rangka  pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal Menteri Keuangan melaksanakan fungsi BUN. Adapun, untuk melaksanakan fungsi BUN, Menkeu menunjuk Pasal 7 ayat (2) huruf h UU No. 1/2004. Dalam aturan itu disebutkan bahwa Menteri Ke­ua ngan berwenang menempatkan uang negara dan pengelola atau menatausahakan investasi.

sementara dalam mengelola investasi tersebut, Menkeu juga menunjuk Pasal 41 UU Perbendaharaan Negara. Pemerintah dapat melakukan  investasi jangka

panjang untuk memperoleh manfaat ekonomi dan sosial. selanjutnya ayat 2 menyebutkan bahwa investasi  dilakukan dalam bentuk saham, surat utang, dan investasi langsung. Berbekal ketentuan tersebut, Menteri Keuangan berpandangan persetujuan DPR dalam pembelian saham divestasi NNt oleh PiP tidak diperlukan.       

selain itu, Menteri Keuangan  juga menulis kalau pemerintah berkeyakinan  investasi 7% saham  NNt akan mendayagunakan dana PiP untuk menghasilkan return yang lebih baik melalui  perolehan dividen dari pertumbuhan nilai perusahaan.

Melalui pembelian saham ini pemerintah berkeinginan  untuk menjaga kepentingan nasional. Untuk itu, pemerintah juga akan mendukung  upaya Newmont  untuk go public  agar manfaat dari bisnis pertambangan tembaga dan emas ini dapat dinikmati oleh rakyat indonesia.

Dengan begitu, papar Menkeu, keterlibatan pemerintah dalam

pengelolaan Newmont  dapat mengarahkan perseroan untuk melakukan yang terbaik bagi  rakyat indonesia. selain itu, bagi pemda Nusa tenggara Barat kehadiran  wakil pemerintah dalam NNt akan memberikan  keuntungan yang lebih maksimal dibandingkan dengan jika komposisi kepemilikan nasional hanya diwakili  oleh daerah.

seperti diketahui, NNt yang beroperasi di Batu Hijau, Nusa tenggara Barat, merupakan tambang tembaga terbesar kedua di indonesia setelah Pt Freeport. selain tembaga, tambang ini juga mengekstraksi emas dan perak. Dari aspek bisnis, tambang Newmont sangat menjanjikan dan menarik ba nyak pihak untuk menguasainya.  

saat ini, komposisi pemegang saham NNt adalah Newmont & sumitomo (NtP) 49%, Multi Daerah Bersaing (MDB) 24%, Pukuafu indah (Pi) 17,8%, indonesia Masbaga investama (iMi) 2,2% dan pemerintah 7%.   bw

Pemerintah berkeyakinan  investasi 7%

saham  NNt akan mendayagunakan

dana PiP untuk menghasilkan

return yang lebih baik melalui 

perolehan dividen dari pertumbuhan nilai perusahaan.

foto: infogres.comAgus Martowardojo

MeNURUt dia, jika Pemda Nusa tenggara Barat (NtB) yang diputuskan untuk membeli divestasi

7% saham NNt, perlu ada kesepakatan bahwa saham itu benar­benar jatuh ke tangan pemda.

“Bukan perusahaan  konsorsium  pemda­swasta seperti sebelumnya. Pasalnya, pemda memiliki kemampuan terbatas. Pemerintah pusat harus memberi garansi. Baik itu garansi keuangan, maupun  pengetahuan dan teknologi,” jelasnya kepada Warta BPK belum lama ini.

Untuk itu, tambahnya, harus ada kesepakatan politik antara pemerintah dan DPR, bahwa saham itu benar­benar jatuh ke pemda. Artinya, pemda maju sendiri tanpa menggandeng swasta atau konsorsium, seperti sebe lumnya. skenario  ini, menurut Firdaus, adalah solusi terbaik keluar dari kekisruhan masalah divestasi saham NNt.

sebagaimana diketahui, terjadi masalah soal pembelian 7% saham NNt. Kementerian Keuangan melalui Pusat investasi Pemerintah (PiP) memutuskan akan membeli saham tersebut. Namun,  DPR mempersoalkan sumber dananya dan meminta BPK mengaudit keputusan tersebut.

Pada 19 Oktober 2011, BPK menye­rahkan hasil audit terhadap proses pembelian 7% saham divestasi NNt kepada DPR. BPK menilai pembelian 7% saham oleh pemerintah adalah penyertaan modal kepada perusahaan swasta yang terlebih dahulu harus mendapat persetujuan DPR,

sebagaimana dimaksud pada pasal 24 ayat (7) UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Hasil audit juga menyebutkan keputusan pemerintah untuk melakukan investasi jangka panjang dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan swasta yaitu pembelian 7% saham NNt oleh PiP atas nama pemerintah, harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Namun, harus mendapat persetujuan DPR lebih dahulu sebagai pemegang hak budget, baik mengenai substansi keputusan investasi/penyertaan modal maupun penyediaan anggaran dalam APBN.

Dalam pandangan iCW, ada dua cara yang bisa ditempuh untuk menjernihkan masalah ini. Pertama, Kementerian Keuangan  bisa meminta pertimbangan Mahkamah Konstitusi untuk mengetahui apakah landasan UU yang digunakan kementerian, dan  hasil audit BPK, bertentangan atau tidak.

“MK tempat kita berdebat masalah konstitusi. Jadi tidak masalah jika ingin meminta pertimbangan hukum,” jelasnya. 

Firdaus menambahkan hasil pertimbangan MK hanya dua yaitu mengabulkan persepsi Kemenkeu atau mendukung hasil audit BPK. MK bisa mengatakan landasan justifikasi yang digunakan BPK sudah benar. Jadi, apapun hasil keputusan MK, Kemenkeu harus mentaati.

“Kemenkeu, PiP, mau tidak mau­­­karena ini amanat konstitusi­­­ harus meminta izin DPR. Di sana harus dipresentasikan aspek regulasinya,

Masalah divestasi 7% saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) masih bergulir. Sejumlah pendapat sudah mengemuka di media massa. Salah sa-tunya dikemukakan oleh  Firdaus Ilyas, Koordinator Divisi Monitoring dan Analisisis Anggaran Indonesia Corrouption Watch (ICW).

ekonominya. Kalau kita bicara kepenti­ngan ekonomi, harus melihat misalnya, landasan hukumnya, apa dampak ekonominya jangka pendek dan panjang untuk negara,” paparnya. 

Atau, cara kedua yakni Kemenkeu menempuh langkah politik, tidak perlu ke MK. Kementerian bisa datang ke DPR mengajukan proposal permohonan pembelian saham itu. ini arti nya, Kemenkeu menghormati hasil audit, menghormati UU, dan menempuh mekanisme politik anggaran.

 “DPR mengisyaratkan harus ada izin, ya, sudah tempuh saja.  Menkeu, PiP datang ke DPR, meminta persetujuan untuk memiliki saham itu. Paparkan tentang rencana pengambilan saham 7%. Jelaskan perhitungan ekonominya, landasan hukum, dan lainnya,” tuturnya.

Jika DPR menolak,  jelas Firdaus, Kemenkeu bisa menjelaskan ke publik mengenai penolakan itu. DPR juga harus menjelaskan alasan menolak, apa landasan hukumnya juga dampak ekonominya. “Biarkan publik yang menilai.”

 Penyelamatan Muka

iCW berharap pemerintah, baik pusat ataupun daerah, dapat mengambil saham itu. Kalau nantinya diputuskan Pemda NtB yang mengambil, diharapkan saham tersebut benar­benar jatuh ke pemda. Artinya, Pemda NtB maju sendiri tanpa menggandeng swasta atau konsorsium seperti sebelumnya.

ICW: Serahkan ke Pemda Tanpa Swasta

10 Warta BPKOKTOBER 2011

LAPORAN UTAMA

Firdaus Ilyas

istim

ewa

“Kami prinsipnya mendorong saham ini jatuh pada pemerintah, baik itu pusat maupun daerah, nonswasta. Kita sudah punya terlalu banyak pe ngalaman dibohongi oleh swasta, termasuk swasta lokal,” tegas Firdaus.

sikap keras iCW ini menengok beberapa kasus pemda menggandeng swasta, pada akhirnya tidak mendapat apa­apa. tidak perlu jauh­jauh melihat kasus  di daerah lain, cukup melihat bagaimana kasus kepemilikan 24% saham. Ketika itu, pemerintah memberi kesempatan kepada Pemda NtB untuk memiliki saham NNt. Untuk itu, Pemda NtB, Pemkab sumbawa dan Pemkab sumbawa Barat, membentuk BUMD yakni Pt Daerah Maju Bersama (DMB).

selanjutnya, DMB bergabung de­ngan Multi Capital (Pt Bumi Resources Mineral tbk), membentuk konsorsium menjadi Multi Daerah Bersaing (MDB). Namun, perjanjian dan kerja sama dengan MDB sangat merugikan Pemda.

“Nah, jangan sampai hal seperti itu terulang kembali. Oleh karena itu, iCW mendorong, kalau akhirnya diputuskan pemda yang mengambil, harus sendiri tanpa melibatkan swasta. Pemda tidak akan mendapat apa­apa jika gandeng swasta,” katanya.

tentu saja, tegas Firdaus, jika pemda sendirian memiliki keterbatasan seperti masalah dana. Lalu siapa yang mau memberi utang? tentu peran pemerintah pusat dibutuhkan dengan harus memberikan garansi. Dengan catatan, pemda mempunyai tata kelola yang baik, memiliki sDM juga kemampuan manajemen.

“Nantinya, dengan garansi peme­rintah pusat, pihak perbankan nasio nal atau BUMN yang memberikan pinjaman atau talangan modal,” paparnya.

Menurut dia, inilah cara terakhir untuk menyelamatkan ‘muka’ Kemenkeu jika DPR menolak atau jika MK memperkuat hasil audit BPK. Kemenkeu harus legowo menyerahkan pembelian saham itu kepada Pemda NtB.

“saya kira ini cara terakhir untuk menyelamatkan ‘muka’. tidak ada yang dirugikan. Memang pada akhirnya

masalah ini menjadi pertempuran politik­bisnis,” tuturnya.

Firdaus menambahkan jika ingin menyelamatkan pengelolaan industri pertambangan, menjaga keselamatan pemerintah dalam hal ini pusat­daerah, masalah ini merupakan pelajaran bagi semua.

“sejak awal ketidakkonsistenan  pada industri tambang berdampak luas. sejak dulu  tidak pernah mau menyiapkan. Padahal, dalam konstitusi sudah dikatakan, suatu saat nanti harus dikelola nasional. Harus disiapkan agar tidak glagapan saat jatuh tempo,” ujarnya.

iCW juga akan meminta BPK untuk mengaudit proses divestasi 24% saham NNt. “Untuk itu, kami akan kirim surat secara resmi ke BPK. terlepas dari jawabannya seperti apa, tetapi artinya persoalan ini harus dipandang proporsional. sebenarnya ada apa sih dibalik 7%? Apakah ada pelanggaran hukum? Apakah ada dampaknya? Kita harus melihat dampak ekonominya seperti apa pada keuangan daerah, kemudian hukum utang­piutangnya,” tandas Firdaus.

Desember Diputuskan sementara itu, setelah mendapat

hasil audit BPK,  DPR bergegas mengi rim surat kepada Presiden susilo Bambang Yudhoyono. Hal itu merupakan hasil rapat internal Komisi Xi DPR tentang hasil audit BPK soal NNt.

Dalam rapat internal yang berlangsung 26 Oktober, antara lain diputuskan, untuk mengirim surat kepada Presiden yang isinya meminta Presiden mematuhi hasil audit BPK tentang pembelian saham NNt oleh pemerintah yang harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR.

“Dikirim melalui pimpinan DPR dengan tembusan ke Komisi vii DPR dan BAKN DPR,” kata Harry Azhar Azis, Wakil Ketua Komisi Xi  dalam rilisnya.

Bila tidak meminta persetujuan DPR, tuturnya, penggunaan dana APBN oleh pemerintah bertentangan dengan peraturan perundang­unda ngan.

“Jika PiP menggunakan dana APBN untuk membeli saham NNt dianggap

telah menyimpang dari tujuan berdi­rinya PiP. PiP didirikan untuk membantu pembiayaan infrastrukutr pembangunan,” ujarnya.

selain itu, Komisi Xi meminta agar pemerintah wajib mematuhi pera­turan perundang­undangan dalam setiap kebijakannya.

Menteri esDM Jero Wacik me­

ngatakan akan dilakukan rapat untuk memutuskan siapa yang diizinkan untuk beli, pemerintah pusat atau Pemda NtB. Dia berjanji Desember mendatang keputusan tentang masalah itu sudah didapat.

“ini arahan dari Pak Wapres. Untuk masalah hukum, Menkumham yang tangani. Mudah­mudahan Desember sudah ada keputusan,” ujarnya.

sebelumnya, saat menggelar jumpa pers acara Pameran Produksi Dalam Negeri Pendukung Usaha Pertambangan, Wacik mengungkapkan soal surat dari DPR yang meminta agar sisa saham divestasi 7% diserahkan kepada pemerintah daerah.

Dia mengaku belum menjawab surat tersebut secara langsung. Pasalnya, hingga saat ini masih ada proses hukum yang belum pasti soal pembelian sisa saham divestasi 7% tersebut.

“Karena masih ada beberapa pendapat diserahkan ke pusat atau daerah, jadi kita tunggu proses hu­kumnya,” tegasnya. dr/bd 

Komisi Xi DPR meminta agar

pemerintah wajib mematuhi

peraturan perundang­undangan

dalam setiap kebijakannya.

11Warta BPK OKTOBER 2011

LAPORAN UTAMA

LAPORAN KHUSUS

12 Warta BPKOKTOBER 2011

LAPORAN yang disampaikan BPK secara reguler tentu akan sia-sia jika tidak ada tindak lanjut atau langkah

konkret dari pihak auditee. Apalagi jika hasil laporan yang disampaikan ternyata banyak temuan kerugian yang cenderung terjadi dari tahun ke tahun. BPK sebagai salah satu lembaga negara tentu ingin berpartisipasi dalam mengurangi kerugian itu melalui tugas, fungsi, dan wewenangnya. BPK bisa memandu Indonesia ke arah pengelolaan dan penggunaan uang negara yang transparan dan akuntabel dengan nilai efisiensi, efektivitas, dan ekonomis.

Berdasarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, pada pasal 20 ayat 1 dinyatakan bahwa pihak auditee yang dalam hal ini pejabat dari instansi yang diperiksa BPK, wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.

BPK sebagai lembaga

negara yang bertugas

melakukan pemeriksaan

keuangan negara masih

terbentur dilema. Hasil

pemeriksaannya, apalagi

temuan BPK acapkali

tidak ditindaklanjuti. Ini

butuh solusi.

Laporan BPK Butuh Tindak Lanjut Nyata

LAPORAN KHUSUS

13Warta BPK OKTOBER 2011

Selain itu, dalam ayat 2 pada UU yang sama, disebutkan pihak auditee wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang tindak lanjut atas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan. 

Selanjutnya, pada ayat 4 dinya ta-kan bahwa BPK punya kewenangan dalam memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan, apakah pihak auditee menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan BPK.

Dalam ayat 5, dinyatakan pula bahwa pihak auditee yang dalam hal ini pejabatnya diketahui tidak melaksanakan kewajiban menindaklanjuti rekomendasi BPK, dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian. Selanjutnya, dalam ayat 6, BPK memberitahukan hasil pemantauan tindak lanjut tersebut kepada lembaga perwakilan dalam hasil pemeriksaan semester.

Dalam hal ini, BPK tidak sendirian dalam melakukan pemantauan pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksa annya. DPR/DPRD dan DPD melalui alat kelengkapannya pun punya sinergi untuk melakukan hal yang sama dengan BPK terkait pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK oleh auditee.  

Pada pasal 21 ayat 1 dalam UU yang sama, lembaga perwakilan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK  dengan melakukan pembahasan se suai dengan kewenangannya. Pada ayat 2 dalam pasal yang sama, DPR/DPRD dapat meminta pemerintah untuk melakukan tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK yang salah satunya tentang tindak lanjut auditee terhadap rekomendasi BPK.

Di sisi lain, dalam Undang-Undang No. 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD pada Bab III Bagian Ketiga Pasal 71 huruf n, dinyatakan bahwa DPR mempunyai tugas dan wewenang untuk membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan

oleh BPK. Masih dalam UU yang sama, pada

paragraf 6 tentang Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) pasal 113, dijelaskan tugas badan ini. Salah satunya dalam pasal 113 huruf a, dinya-takan BAKN bertugas untuk melakukan penelaahan terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK yang disampaikan kepada DPR.

Nah, dalam pasal 21 UU No. 15 Tahun 2004 dan Pasal 71 Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 inilah alat kelengkapan DPR yang dalam hal ini

salah satunya adalah BAKN berperan. Sementara dalam UU No. 27 Tahun

2009, pada Bab IV Bagian ketiga tentang Tugas dan Wewenang DPD, pasal 224 huruf g, dinyatakan bahwa DPD mempunyai tugas dan wewenang untuk menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN.

Pada paragraf 3 tentang panitia kerja DPD, pasal 240 angka 4 huruf

b, dinyatakan bahwa tugas Panitia Kerja DPD di bidang pengawasan adalah membahas hasil pemeriksaan BPK. Dari sinilah DPD yang dalam hal ini Panitia Akuntabilitas Publik (PAP) berperan dalam hal tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK.   DPR, DPD, dan DPRD menjadi jembatan penghubung antara BPK dan auditee terkait tindak lanjut hasil temuan BPK. Selain itu, menjadi check and balance terhadap pemerintah pusat dan daerah selaku pengelola keuangan negara atau daerah. Juga ikut berpartisipasi dalam

pemberantasan korupsi. Untuk mengkondisikan hal itu,

dalam DPR terdapat suatu badan yang dinamakan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) dan Panitia Akuntabilitas Publik (PAP) di DPD. Ke dua entitas ini bertugas untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK maupun temuan BPK. Sementara DPRD tidak memiliki alat kelengkapan yang bertugas khusus untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK.

BAKN dan PAP merupakan alat

Yuna Farhanfoto:mediaindonesia.com

LAPORAN KHUSUS

14 Warta BPKOKTOBER 2011

kelengkapan yang dimiliki DPR dan DPD, akan tetapi belum berusia lama. BAKN baru sekitar 2 tahun, PAP pun tidak lebih dari itu. Pondasi masih perlu diperkuat lagi, tugas pokok dan fungsinya harus lebih dipopulerkan kepada masyarakat dan kalangan internal DPR maupun DPD.

“Mengingat usianya yang relatif masih sangat muda, BAKN masih perlu melakukan berbagai upaya peningkatan kapasitasnya untuk memastikan agar badan tersebut dapat menjalan kan tugas-tugas kelembagaannya secara efektif,” ucap Yahya Sacawiria pada acara Workshop, di Room Atanaya 2 lantai 1, Hotel Atlet Century Park, Selasa (25/10).

Apa yang dikatakan Yahya, disetujui oleh Eva Kusuma Sundari, anggota BAKN yang juga salah satu konseptor pendirian BAKN. “Saya harus mengakui juga bahwa BAKN ini adalah new tradition dalam parlemen. Tidak ada pendahulu di DPR sebelumnya yang kemudian bisa untuk menjadi referensi kita dalam berpraktek. Jadi, semata-mata didorong oleh kebutuhan terutama pada periode lalu selalu pertanyaannya sama, apa peran DPR di dalam mengatasi pemberantasan korupsi. Kok, malah sekarang ditemukan sumber korupsi sendiri, sementara korupsi menjadi masalah pokok di dalam governance kita,” ungkapnya.

Fungsi PAP juga baru dikembangkan. Sebab, ada yang perlu dipisahkan dengan tugas Komite 4 yang juga sama-sama menelaah hasil pemeriksaan BPK. “Di dalam kita juga masih ada beda pendapat terkait fungsi PAP yang baru kita kembangkan ini,” ungkap Ketua PAP DPD Farouk Muhammad ketika ditemui di kediamannya di kawasan Kebagusan, Jagakarsa, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.

Belum Maksimal

Mekanisme alur tindak lanjut hasil temuan BPK di DPR yaitu setelah menerima hasil pemeriksaan BPK dalam sidang paripurna,

DPR menyerahkannya ke BAKN. Selanjutnya, BAKN yang menganalisa. Hasilnya diserahkan ke komisi yang masing-masing membidangi auditee yang diperiksa BPK. Kemudian, komisi-komisi itulah yang menindaklanjutinya kepada auditee. Namun, alur ini secara implementasi ternyata tak maksimal.

Peran BAKN yang belum maksimal juga diungkapkan oleh Eva Kusuma Sundari. “Saya harus akui bahwa BAKN belum optimal itu yang paling penting kenapa kita kemudian butuh refleksi, ternyata banyak sekali peluang yang belum kita maksimalkan,” tegasnya.

Hal ini juga diutarakan oleh Anggota DPR dari Fraksi PDIP Tjahjo

Kumolo, bahwa komisi-komisi di DPR tidak maksimal dalam menindaklanjuti temuan BPK. Hal yang sama juga diungkapkan Wakil Ketua BAKN Yahya Sacawiria.

Menurut Yahya, peran dan fungsi BAKN masih belum optimal dan terkendala. Seperti masih kurangnya dukungan, baik dari DPR sendiri maupun dari luar. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman berbagai pihak mengenai peran dan fungsi BAKN dalam proses pengawasan keuangan negara.

Meskipun begitu, Yahya menyatakan bahwa dalam kurun waktu 2 tahun perjalanannya banyak hal telah dilakukan dan diperoleh BAKN. Seperti kunjungan ke daerah

dalam rangka klarifikasi temuan BPK dan mendapat tanggapan positif.

Menurut dia, kunjungan BAKN bukanlah dalam rangka mengadili atau mencari kesalahan tetapi untuk melakukan klarifikasi hasil temuan BPK. Kunjungan dilakukan tidak sendiri, tetapi didampingi oleh BPK Perwakilan dan Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP) daerah.

“Ini penting kami lakukan untuk mengetahui lebih jauh bahwa temuan-temuan audit yang dilakukan oleh BPK direspons secara baik oleh daerah dan dilakukan perbaikan se suai dengan aturan yang berlaku untuk menuju good governance dan clean government,” jelasnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi (Fitra) Yuna Farhan mengatakan kunci tindak lanjut temuan BPK ada di komisi DPR. Berdasarkan aturan, BAKN baru bisa meminta BPK menelusuri dugaan penyimpangan jika ada permintaan dari komisi yang terkait dengan anggaran. Sayangnya, lanjutnya, pekerjaan komisi cukup banyak dan sarat kepentingan politik.

“Dan biasanya di DPR semangat kalau menyusun anggaran dan bagi-bagi anggaran, tapi soal pertanggungjawaban anggaran kalau kasus itu bukan kasus besar tak akan interest mereka. Kita lihat perbedaannya kalau rapat paripurna penyusunan anggaran dan pertanggungjawaban anggaran.” ucap Yuna.

Mantan Sekretaris Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan Siswo Sujanto juga merasa pengawasan lembaga legislatif di bidang keuangan negara merupakan pengawasan yang cenderung kurang efektif.

Kendati pengawasan tersebut dapat dilaksanakan pada dua fase dalam siklus anggaran, berbagai keterbatasan lembaga tersebut baik berupa teknis-operasional maupun sistem pengawasan telah membuat lembaga tersebut tidak berdaya. and

Saya harus mengakui juga bahwa BAKN

ini adalah new tradition dalam parlemen. Tidak

ada pendahulu di DPR sebelumnya yang kemudian

bisa untuk menjadi referensi kita dalam

berpraktek.

LAPORAN KHUSUS

15Warta BPK OKTOBER 2011

Dasar Hukum dan Tugas BAKNUU No. 27/ 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD 

disusun untuk meningkatkan peran dan tanggung jawab lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, lembaga perwakilan daerah, sesuai dengan amanat UUD 1945.

UU No. 27/ 2009 mengatur secara komprehensif  dimana tidak membatasi pengaturan yang hanya terbatas pada materi muatan susunan dan kedudukan lembaga, tetapi juga mengatur hal-hal lain yang lebih bersifat komprehensif.

Berkaitan dengan penguatan dan pengefektifan kelembagaan DPR, terdapat penambahan alat kelengkapan dalam rangka mendukung fungsi serta tugas dan wewenang dewan, yaitu Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) sebagai alat kelengkapan yang bersifat tetap, yang berfungsi untuk menindaklanjuti laporan hasil pemeriksaan BPK dalam hal pengawasan penggunaan keuangan negara. Keberadaan BAKN diharapkan memberi kontribusi positif dalam pelaksanaan transparansi dan akuntabilitas penggunaan keuangan negara.

Dalam rangka melaksanakan fungsi dan tugas serta wewenang  BAKN sebagai lembaga yang baru dibentuk, harus dapat menjaga kredibilitas atau kepercayaan publik/masyarakat dalam melaksanakan fungsi pengawasan dewan.

      Dasar Hukum :

1.    UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;2.    UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;3.    UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;4.    UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan

dan Tanggung jawab Keuangan Negara;5. UU No.15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa

Keuangan;6.    UU No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD

(MD3);7.    Peraturan DPR RI Nomor    1/DPR RI/2009-2010  tentang

Tata Tertib DPR RI.

Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Tata Tertib DPR RI menyebutkan bahwa DPR memiliki tiga fungsi, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.  Fungsi-fungsi tersebut dilaksanakan oleh alat-alat kelengkapan DPR RI yang berwenang.  Ketiga fungsi tersebut juga tercantum dalam Pasal 20A amandemen Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam Pasal 70 Tata Tertib DPR RI, BAKN bertugas :

a.  Melakukan penelaahan terhadap temuan hasil pemerik saan BPK yang disampaikan kepada DPR;

b.  Menyampaikan hasil penelaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada komisi;

c. Menindaklanjuti hasil pembahasan komisi terhadap

temuan hasil pemeriksaan BPK atas permintaan komisi;dand.  Memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana

kerja pemeriksaan tahunan, hambatan pemeriksaan, serta penyajian dan kualitas laporan.

Dan Pasal 71 Tata Tertib DPR RI,BAKN bertugas :

Ayat (1)Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 70 huruf a dan huruf b,  BAKN :a.  Mengadakan rapat untuk melakukan penelaahan

atas laporan hasil pemeriksaan BPK;b. Menyampaikan hasil telaahan sebagaimana

dimaksud dalam huruf a kepada komisi berupa ringkasan temuan beserta analisis kebijakan berdasarkan hasil pemeriksaan semester BPK dan hasil temuan pemeriksaan dengan tujuan tertentu setelah BPK menyerahkan hasil temuan kepada DPR;

c.  Dapat menyampaikan hasil telaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf b kepada alat kelengkapan selain komisi;

d)  Mengadakan pemantauan atas tindak lanjut hasil telaahan yang disampaikan kepada komisi; dan/atau

e.  membuat evaluasi dan inventarisasi atas tindak lanjut yang dilaksanakan oleh komisi.

Ayat (2)Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 70 huruf c, BAKN :a. Dapat mengadakan koordinasi dengan unsur

pimpinan komisi untuk membicarakan hasil pembahasan komisi atas hasil temuan pemeriksaan BPK;

b. Dapat mengadakan rapat dengan komisi yang meminta penelaahan lanjutan atas hasil temuan pemeriksaan BPK;

c. Dapat meminta penjelasan kepada BPK untuk menindaklanjuti penelaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;dan/atau

d. Menyampaikan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c kepada pimpinan DPR dalam rapat paripurna setelah terlebih dahulu dibicarakan dengan komisi.

Ayat  (3)Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud

dalam pasal 70 huruf d, BAKN menginventarisasi permasalahan keuangan negara.

Pasal 72Hasil kerja sebagaimana dimaksud Pasal 70 huruf a, huruf

b, dan huruf d disampaikan kepada Pimpinan DPR dalam rapat paripurna secara berkala.

BAKN dibentuk DPR sebagai alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, bertugas melakukan penelaahan terhadap

LAPORAN KHUSUS

16 Warta BPKOKTOBER 2011

SETIAP pekerjaan jika dilakukan secara sistematis, teratur, dan tidak tumpang tindih, tentu bisa dilakukan dengan baik. Hal ini juga bisa diterapkan dalam tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK.

Dalam UU No.15/ 2006 tentang BPK, dinyatakan bahwa hasil kerja BPK ditindaklanjuti oleh DPR, DPD, dan DPRD. Dilihat dari sudut administrasi ketatanegaraan, DPR dan DPD telah mengakomodirnya dengan pembentukan suatu alat kelengkapan tersendiri yang fokus untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan maupun temuan BPK, BAKN, dan DPD.

Bagaimana dengan DPRD? Lembaga perwakilan rakyat daerah ini tidak punya alat kelengkapan yang khusus menangani tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK. Jika harus dikesampingkan, hal ini sebenarnya menjadi garapan BAKN DPR dan PAP DPD.

Masalahnya, jika tidak dibangun pembagian kerja secara sistematis, terstruktur, dan jelas, yang ada hanya kerancuan dan tumpang tindih, baik kewenangan maupun tugas pokok dan fungsinya. Apa jadinya jika BAKN dan PAP bertugas di tempat yang sama dan waktu yang bersamaan pula?

“Pembagian kerja pengawasan tindaklanjut rekomendasi atau temuan BPK, antara DPR dan DPD perlu dipertegas. Coba kalau semuanya turun ke daerah, sama-sama bingung nanti daerah. Ini perlu diatur, dibagi. Temuan BPK yang menyangkut di daerah, serahkan kepada DPD. Sementara

BAKN DPR fokus untuk di pusat. Ini salah satu contoh. Ini harus dibicarakan,” ucap Ketua PAP Farouk Muhammad.

Tugas PAPJika di DPR ada BAKN sebagai alat kelengkapan yang

bertugas untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK, di DPD ada PAP sebagai alat kelengkapan penunjang. Tugasnya melakukan penelaahan lanjutan terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK yang disampaikan kepada DPD.

Farouk mengatakan bahwa sebenarnya dalam struktur organisasi DPD, ada empat komite. Komite yang berkaitan dengan temuan BPK ini adalah Komite 4. Selain Komite 4, tugas yang sama juga diemban PAP.

PAP sendiri, menurut dia, pengembangan tugas berangkat dari falsafah apa yang disebut Parliementary Ombudsman. PAP dibentuk karena kebutuhan DPD bahwa BPK atau General Audit umumnya tidak bisa melakukan aksi.

“Kami mengembangkan tugas PAP ini berangkat dari falsafah apa yang disebut dengan Parliementary Ombudsman. Jadi, ombudsman parlemen. Kenapa ada? Ya itu karena tadi itu, jadi General Audit itu, umumnya tidak bisa action. Dia menyajikan apa adanya, faktanya. Ini kembali kepada fungsi Parliementary Ombudsman,” ungkap Farouk.

Pembentukan PAP ini untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK. Lebih bersifat aksi untuk mendorong dan mengetahui permasalahan yang ada dalam pengelolaan keuangan negara melalui hasil pemeriksaan BPK.

Terkait Komite 4 dan PAP mempunyai tugas yang sama. Seharusnya ada pembagian tugas agar tidak tumpang tindih. Komite 4 lebih berbicara tentang pengawasan umum dalam rangka melaksanakan tugas memberikan pertimbangan atau mengoreksi kebijakan pemerintah. Sementara, terkait hasil pemeriksaan BPK yang perlu untuk ditindaklanjuti dan ada kerugian negara yang berindikasi tindak pidana, maka itu ranah PAP.

“Jadi, misalnya ditemukan ada pengalokasian anggaran yang tidak sesuai dengan kenyataan. Nah, ini masukan bagi Komite 4. Kemudian ada temuan BPK yang sifatnya perlu ditindaklanjuti karena ada kerugian negara, apalagi ada kerugian negara secara melawan hukum. Ini yang masuk ke PAP. Jadi, kalau Komite 4 berbicara fenomena. PAP berbicara kasus,” jelasnya. and

temuan hasil pemerikasaan BPK yang disampaikan kepada DPR, dan menyampaikan hasil penelaahannya kepada Komisi DPR. Selain itu memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemerikasaan tahunan, hambatan pemerikasaan, serta penyajian dan kualitas laporan.

Dalam melaksanakan tugasnya, BAKN dapat meminta penjelasan dari BPK, pemerintah, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, BI, BUMN, badan layanan umum, BUMD, dan dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. and

Rancu dan Tumpang Tindih

Farouk Muhammadfoto: dpd

LAPORAN KHUSUS

17Warta BPK OKTOBER 2011

‘Kewenangan BAKN Perlu Ditingkatkan’ BAKN tetap diperhitungkan jika mempunyai hasil dan dampak yang nyata. Jika itu bisa dilakukan akan berimbas pada perbaikan tata kelola keuangan negara.

AWAL mula dibentuknya Badan Akuntabilitas Keua-ngan Negara (BAKN) sebenarnya mengacu pada

model entitas pengawasan keuangan negara yang berada di negara-negara lain, yaitu Public Account Committee (PAC). Model PAC di seluruh dunia memiliki kewenangan yang kuat. PAC bisa langsung menindaklanjuti, melakukan hearing, dan investigasi terhadap kasus-kasus yang terkait dengan keuangan negara.

Anggota BAKN Eva K. Sundari yang pernah mendapatkan pendidikan singkat di Melbourne Australia menyatakan PAC di Australia merupakan alat kelengkapan parlemen yang paling powerfull, diminati, dan berwibawa. PAC di negara itu, tuturnya, bisa menindaklanjuti hasil laporan ANAO, BPK-nya Australia. Bahkan bisa memanggil siapapun jika ANAO menemukan persoalan dalam laporan keuangan maupun kinerja.

Berbeda dengan di Indonesia, BAKN pada awal pembentukannya banyak ditentang oleh kalangan DPR sendiri. Resistensi juga datang dari pemerintah. Mereka yang menentang menganggap bahwa banyak entitas yang melakukan hal itu, seperti BPK, Komisi DPR, dan BPKP.

Hanya saja, BPK tidak punya kewenangan untuk melakukan dorongan kuat kepada auditee agar hasil pemeriksaan atau temuannya ditindaklanjuti dengan nyata. Sementara komisi-komisi di DPR, menurut Eva, tidak pernah melakukan pengawasan kinerja keuangan.

“Laporan BPK itu seperti hilang, hanyut begitu saja. Dan, saya bisa merasakan frustasinya teman-teman di BPK, sudah kerja ngoyo-ngoyo, lapor di DPR tetapi tidak diapa-apakan,” tegasnya.

Namun, walaupun sudah dibentuk, tetap saja kewenangan BAKN dibatasi. BAKN lebih sebagai subordinat dan

melayani Komisi. BAKN akan bisa menindaklanjuti temuan BPK kalau mendapat otorisasi dari Komisi.

Meski model PAC tidak akan diterapkan secara keseluruhan, BAKN tetap diperhitungkan jika mempunyai hasil dan dampak yang nyata. Jika itu bisa dilakukan, akan berimbas pada perbaikan tata kelola keuangan negara.

Oleh karena itu, BAKN idealnya bertugas memastikan bahwa temuan BPK direspons secara semestinya oleh auditee. Lebih dari itu, memastikan tata kelola keuangan negara berjalan dengan baik. Bisa diukur dari perbaikan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dan penggunaan keuangan negara.

Di sisi lain, pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh BPK tidak menjamin dapat menekan atau meminimalisir tindak korupsi, khususnya penyalahgunaan uang negara. Pemeriksaan keuangan ini dianggap tidak cukup untuk melakukan itu. Sebab, banyak auditee yang mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian atau WTP, tetapi korupsi tetap terjadi. Bahkan, banyak ditemukan korupsi yang terjadi di auditee yang mendapatkan WTP.

Menurut Eva, hal ini dikarenakan opini BPK lebih pada pendekatan audit keuangan. Sementara, jika targetnya memperbaiki transparansi dan akuntabilitas tata kelola keuangan tidak cukup hanya mengandalkan audit keuangan saja. Nah, inilah mengapa perlu audit kinerja.

Ekonomi Hendri Saparini yakin jika BAKN hanya men-summary temuan BPK, tentu tidak akan mampu memperbaiki pengelolaan keuangan negara. Oleh karena itu, lanjutnya, BAKN perlu memiliki kewenangan memanggil pihak-pihak yang diharapkan bisa memberikan masukan. Juga melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum dengan kelompok yang telah melakukan kajian. “Sehingga hal itu bisa meringankan BAKN yang memiliki keterbatasan resources,” paparnya.

Menurut dia, jika BAKN ideal seperti

Eva K. Sundari Hendri Saparini

warta bpk / andy warta bpk / andy

LAPORAN KHUSUS

18 Warta BPKOKTOBER 2011

itu perlu ada perubahan peraturan perundang-undangan tentang kewenangan badan ini. Pasalnya, tanpa didukung oleh aturan kuat jangan berharap BAKN akan lebih berdaya.

Wakil Ketua BAKN Yahya Sacawiria mengakui bahwa lembaga ini masih perlu penguatan agar bisa mencapai apa yang diinginkan. Secara struktural, tuturnya, anggota BAKN hanya sembilan orang yang berasal dari komisi-komisi di DPR. “Kerja untuk BAKN hanya dua hari Selasa dan Kamis. Kalau untuk Komisi, kerjanya banyak. Dengan model seperti itu, jika diberi beban yang banyak, akan sulit bekerja dengan baik.”

Oleh karena itu, dia melemparkan gagasan pembentukan Komisi tersendiri. Sehingga bisa lebih fokus dalam menjalankan fungsi pengawasan DPR terkait dengan pengelolaan keuangan negara dan juga terkait dengan tindak lanjut hasil pemeriksaan atau temuan BPK.

“Jadi, bahan-bahan dasar yang diberikan BPK kemudian bisa juga mencari bahan tambahan, sehingga bisa memberikan masukan kepada Komisi yang membawahi beberapa kementerian. Kalau sekarang, terkadang dihadapkan kepada tugas yang cukup banyak di Komisi. Untuk melaksanakan tugas di BAKN itu tidak selalu lengkap,” ungkap Yahya.

Menanggapi hal itu, Hendri menilai seharusnya BAKN mempunyai kewenangan yang besar berdasarkan tugas pokok dan fungsinya. Sebagai salah satu alat kelengkapan DPR, seperti halnya Badan Anggaran, tentu juga memiliki kewenangan yang besar.

Eva lebih memilih untuk memperkuat kewenangan BAKN. Menurut dia, BAKN adalah salah satu alat kelengkapan DPR yang otonom dan berdiri sendiri. Walau dalam kenyataannya, banyak kalangan DPR yang ingin menggabungkan BAKN ke dalam Komisi yang ada.

“Ini yang perlu diluruskan. Namanya alat kelengkapan itu ya otonom, tidak

perlu kemudian harus melayani alat kelengkapan lain. Alat kelengkapan sejajar. Masing-masing punya otoritas, masing-masing bisa menentukan output sendiri,” ujar Eva.

Perlu ImprovementTerkait dengan perlunya tindak

lanjut BPK dilakukan secara nyata, Hendri Saparini menyatakan selain BAKN perlu melakukan perbaikan dan penguatan, presentasi laporan BPK perlu improvement.

“Tidak hanya BAKN atau anggota DPR, kami dari analis juga sering tidak memahami temuan-temuan dari BPK. Artinya, temuannya banyak sekali, tetapi presentasinya kadang-kadang

menimbulkan pemahaman yang keliru.”Dia mencontohkan kalimat ‘tidak

dapat diyakini kebenarannya’. Bagi DPR, dalam hal teknis keuangan yang terkait dengan kebijakan dan tindaklanjut, kalau ‘tidak dapat diyakini kebenarannya’ harus diapakan.

Terkait dengan tindak lanjut, Hendri mengharapkan agar BPK dalam menyampaikan laporan secara detail. “Berapa yang sudah dan belum ditindaklanjuti oleh auditee masing-masing dan apa saja poin rincian yang belum ditindaklanjuti. Ini yang harus dibicarakan antara BPK dan BAKN.”

Poin penting lainnya agar hubungan kedua lembaga makin selaras yakni perlunya persamaan dalam melihat sudut pandang persoalan. Menurut

Hendri, BAKN yang merupakan alat kelengkapan DPR sebenarnya lebih condong pada soal kebijakan. BPK dalam laporannya justru lebih condong pada masalah teknis administrasi keuangan. “Sehingga ini sedikit tidak match.”

Dia mengharapkan agar ada keselarasan antara BPK dan DPR perlu prioritas yang sama. Misalnya, dari sekian banyak hasil pemeriksaan, bahkan pemeriksaan dengan tujuan tertentu, tetapi seringkali bukan prioritas DPR.

“Ini harus ada link yang lebih dekat. Mulai dari penetapan APBN. Misalnya berdasarkan RKP. Jadi, RKP ini yang jadi prioritas apa, Nah itulah

yang dipesankan DPR kepada BPK untuk perlu dilakukan pemeriksaan yang lebih detail,” papar Hendri.

Selain itu, BPK juga bisa melakukan pemeriksaan yang lebih detail atas masukan dari masyarakat. Menurut Hendri, banyak sekali yang menjadi interest publik tetapi tidak menjadi prioritas BPK.

“Ini biar optimal, karena kapasitas BAKN terbatas, kapasitas BPK juga terbatas, sehingga semestinya isu-isu yang diangkat memang betul-betul yang menjawab masalah

interest di DPR maupun di masyarakat,” ungkapnya.

Melihat kewenangan dan fungsi BPK, Hendri melihat temuan pemeriksaan BPK adalah masukan terpenting bagi penyusunan anggaran. Namun, melihat dari siklus pemeriksaan BPK dan siklus dari perencanaan anggaran terlihat tidak match.

“Jadi, kalau kemudian kita membayangkan bagaimana agar temuan BPK ini bisa bermanfaat selama aturan perundang-undangannya tidak berubah, ini tidak akan bisa. Jadi, lewat saja. Apalagi sudah tertutup dengan membahas temuan-temuan lainnya. Tidak heran kalau temuan berulang itu menjadi sangat banyak dari BPK,” ungkap Hendri. and / bw

Yahya Sacawiriafoto: parlementaria

19Warta BPK OKTOBER 2011

AGENDA

Guna terus meningkatkan kualitas pengawasan pengelolaan keuangan negara yang menjadi

wewenang dan tugas utamanya, BPK menandatangani kesepakatan bersama dengan 12 pemerintah daerah di Provinsi Kalimantan Selatan, pada 27 Oktober 2011.

Seperti halnya di provinsi lain di Indonesia, kesepakatan yang dibangun oleh BPK bertujuan untuk menunjang pengembangan sistem informasi bagi akses data yang tengah dikembangkan oleh BPK.

Kesepakatan itu diwujudkan dalam nota kesepahaman (MoU) yang ditandatangani oleh Kepala Perwakilan BPK Provinsi Kalimantan Selatan bersama Gubernur Kalimantan Selatan serta pimpinan pemerintah kabupaten dan kota.

Pemda se-Kalsel Dukung BPK Sinergi

Dalam peristiwa yang berlangsung di Auditorium BPK Kantor Perwakilan Provinsi Kalsel itu, Kepala Perwakilan BPK Kalsel, Jack Anwar Mursidi melaporkan bahwa penandatanganan nota kesepahaman ini dilakukan dengan 12 pemda dari 14 yang ada.

Pemda se-Kalsel yang hadir terdiri dari Pemprov Kalsel, dua pemkot

yaitu Kota Banjarbaru dan Kota Banjarmasin, sembilan pemkot (Banjar, Tanah Bumbu, Balangan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Barito Kuala, Tapin, Tanah Laut, Hulu Sungai Selatan. Adapun, dua kabupaten yang belum menandatangani MoU adalah Kabupaten Kotabaru dan Kabupaten Tabalong.

Upaya BPK mewujudkan Sinergi Nasional Sistem Informasi terus mendapat dukungan dari auditee. BPK telah menandatangani 485 nota kesepahaman. Kalimantan Selatan tinggal menunggu penyesesuaian software dan aplikasi data.

Penyerahan naskah nota kesepahaman disaksikan oleh Ketua BPK, Hadi Poernomo, Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Selatan, Nasib Alamsyah, Sekretaris Jenderal BPK, Hendar Ristriawan, serta Auditor Utama Keuangan Negara VI BPK, Abdul Latief.

warta bpk/rianto prawoto

20 Warta BPKOKTOBER 2011

AGENDA

Dalam nota kesepakatan ini bukan mengatur kewenangan atau perizinan BPK untuk mengakses data milik pemerintah daerah/BUMD. Namun, mengatur hubungan kerja sama pengembangan dan pengelolaan sistem informasi untuk akses data.

“Dengan kata lain, nota kesepahaman ini hanya mengatur mengenai cara untuk mengakses data yang diperlukan dalam pemeriksaan oleh BPK,” tegas Kepala Perwakilan BPK.

Selain disaksikan Ketua BPK Hadi Poernomo, penandatangan juga diikuti oleh Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Selatan Nasib Alamsyah, Sekretaris Jenderal BPK Hendar Ristriawan, serta Auditor Utama Keuangan Negara VI BPK Abdul Latief.

Hadi Poernomo memaparkan guna mempermudah perolehan data/dokumen yang menjadi salah satu wewenangnya, BPK telah memprakarsai pembentukan sinergi data dengan auditee melalui strategi link & match.

Inti dari strategi sinergi data tersebut, tuturnya, BPK menjalin kerja sama pembentukan pusat data BPK secara elektronik dengan

menggabungkan data elektronik BPK (e-BPK) dengan data elektronik auditee (e-auditee) yang selanjutnya disebut dengan Sinergi Nasional Sistem Informasi (SNSI).

Menurut Ketua BPK, dengan pusat data elektronik yang dimiliki, BPK dapat melakukan perekaman, pengolahan, pemanfaatan, dan monitoring data yang bersumber dari berbagai pihak dalam rangka pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dengan demikian, pemeriksaan akan berjalan lebih cepat, cakupan lebih luas, biaya lebih hemat, dan penyelesaian laporan pemeriksaan akan lebih cepat. “Konsep seperti ini kami sebut dengan BPK Sinergi” ujarnya.

Bila konsep BPK Sinergi bisa secepatnya diterapkan secara optimal, ada beberapa manfaat yang akan diperoleh permerintah. Seperti mengurangi KKN secara sistemik, mendukung optimalisasi penerimaan negara, mendukung efisiensi dan efektifitas pengeluaran negara, serta memberikan sistem peringatan dini melalui monitoring.

“Kalau sudah demikian, maka

optimalisasi, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara akan lebih cepat terwujud, sehingga semua itu diharapkan dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk menopang kemakmuran rakyat,” tegas Ketua BPK.

Sebagimana diamanatkan pada Pasal 10 huruf a dan b UU No. 15 Tahun 2004, dan Pasal 9 ayat (1) huruf b UU No. 15 Tahun 2006, BPK memiliki kewenangan untuk meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan setiap orang, unit organisasi pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, BUMN, BLU, BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.

Oleh karena itu, tambah Hadi Poernomo, perlu dipahami bahwa tanpa nota kesepahaman bersama ini BPK tetap berwenang untuk mengakses data pemerintah daerah yang diperlukan dalam rangka pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Nota kesepahaman ini lebih mengatur tata cara akses data terkait pengelolaan

Ketua BPK Hadi Poernomo didampingi oleh Sekjen BPK Hendar Ristriawan dan Kepala BPK Perwakilan Kalimantan Selatan Jack Anwar Mursidi berfoto bersama dengan jajaran pejabat di pemerintah daeran Provinsi Kalimantan Selatan dan DPRD setempat, seusai penandatanganan nota kesepahaman akses data dalam kaitan BPK Sinergi, di Auditorium BPK Perwakilan Kalimantan Selatan, belum lama ini.

21Warta BPK OKTOBER 2011

AGENDA

dan tanggung jawab keuangan negara, serta salah satu bentuk kulo nuwun BPK kepada para auditee,

Dengan penandatanganan nota kesepahaman bersama pemda di wilayah Kalsel ini, BPK telah menandatangani 1.012 nota kesepahaman, termasuk di antaranya 485 MoU tentang pengembangan dan pengelolaan informasi untuk akses data. Dari 485 terdapat 264 nota kesepahaman dengan pemerintah provinsi/kabupaten/kota.

Sementara itu, Gubernur Kalsel Rudy Arifin menyatakan kesiapannya dalam kerja sama di bidang pemeriksaan keuangan negara guna mendorong terwujudnya tata kelola keuangan daerah yang sesuai dengan aturan.

“Kami sangat mendukung dan mengapresiasi upaya BPK dalam pengembangan dan pengelolaan sistem informasi untuk akses data pada pemerintah daerah di wilayah Kalimantan Selatan,” jelasnya.

Rudy memaparkan sebenarnya seluruh pemerintah provinsi/kabupaten dan kota se-Kalsel sudah siap menyambut gagasan BPK untuk mengembangkan jaringan akses

data secara elektronik karena sistem administrasi yang kini dikembangkan pada dasarnya telah berbasis komputerisasi dan teknologi informasi.

“Yang kita perlu seragamkan sekarang ini mungkin hanyalah software yang digunakan serta aplikasinya saja. Kalau semua sudah sama, akses data itu setelah di ujicoba secara matang, bisa secepatnya diterapkan. Jadi kami sangat mendukung gagasan BPK itu dan mudah-mudahan tahun depan sudah bisa diterapkan,” tambahnya.

Rudy Arifin menambahkan dalam hal pengelolaan keuangan, pada 2 tahun terakhir ini, Provinsi Kalsel mendapatkan penghargaan dari Kementerian Keuangan, sebagai provinsi yang berhasil mengelola keuangan dengan baik.

“Kami merasa bangga karena selain mendapatkan bonus, pada 2010 Provinsi Kalsel adalah salah satu dari empat provinsi yang mendapat penghargaan dari Kementerian Keuangan,” jelasnya.

Bupati Tanah Bumbu Mardani H Haming kepada wartawan menyatakan pihaknya sudah siap menerima sistem akses data yang akan diterapkan BPK

karena sistem administasi tata usaha yang dilakukan sudah dengan sistem komputerisasi.

Namun, sebagaimana diungkapkan Gubernur Kalsel Rudy Arifin, yang masih perlu disesuaikan adalah aplikasi data serta software yang digunakan sehingga tidak ada lagi masalah teknis . ”Kalau soal sumber daya manusia, kita sudah mulai menyiapkan. Yang penting saya kira sistem dan koordinasinya,” tambahnya.

Menyangkut opini BPK, Mardani yang tercatat sebagai salah satu bupati termuda di Indonesia menyatakan hingga saat ini Kabupaten Tanah Bumbu masih mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Salah satu kendalanya yang menjadi catatan BPK adalah menyangkut soal aset.

“Masalah aset ini memang harus didata dengan hati-hati karena harus dilengkapi dengan bukti pendukungnya. Ini memang tidak mudah karena Tanah Bumbu merupakan kabupaten yang masih baru. Namun, kami yakin semua itu bisa segera kami selesaikan,” tegasnya.

bd

Jack Anwar Mursidi, Kepala Perwakilan BPK Provinsi Kalsel tengah menyampaikan pidatonya dihadapan Ketua BPK RI Hadi Poernomo dan Gubernur Kalsel Rudy Arifin dalam acara penandatanganan naskah nota kesepahaman belum lama ini.

22 Warta BPKOKTOBER 2011

AGENDA

BPK Kembangkan Sistem Informasi Pemda se-KaltimBPK menyepakati pengembangan sistem informasi untuk akses data dengan 15 pemerintah daerah di Kalimantan Timur dalam rangka pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

KeSePAKATAN mengenai cara akses data ini terwujud dalam nota

kesepahaman yang ditandatangani oleh Kepala Perwakilan BPK Provinsi Kalimantan Timur Sri Haryoso Suliyanto, dengan para pimpinan pemda.

Penandatanganan nota kesepahaman berlangsung di Kantor BPK Provinsi Kalimantan Timur, Samarinda, pada 31 Oktober 2011. Acara disaksikan oleh Ketua BPK Hadi Poernomo, Anggota V BPK Sapto Amal Damandari, Kepala Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum Pemeriksaan Keuangan Negara BPK Nizam Burhanuddin, Gubernur

Kalimantan Timur Awang Farouk Ishak, Wakil Gubernur Kalimantan Timur, Pimpinan DPRD, Forum Komunikasi Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur, Pimpinan instansi vertikal Provinsi Kalimantan Timur, serta para pejabat di lingkungan BPK.

Dalam melaksanakan tugasnya, BPK berwenang meminta data/dokumen kepada auditee dan/atau pihak lain yang terkait. Untuk mempermudah perolehan data/dokumen tersebut, BPK memprakarsai pembentukan sinergi data dengan auditee melalui strategi link & match data. Dalam sinergi data ini, BPK akan menjalin kerja sama

pembentukan pusat data BPK secara elektronik dengan auditee yang selanjutnya disebut Sinergi Nasional Sistem Informasi (SNSI). Demikian dipaparkan oleh Ketua BPK dalam sambutannya.

Ketua BPK menambahkan pemanfaatan kemajuan teknologi informasi akan membuat pemeriksaan berjalan lebih cepat, cakupan pemeriksaan lebih luas, biaya pemeriksaan lebih hemat, dan laporan pemeriksaan diselesaikan lebih cepat.

Kepala Perwakilan melaporkan bahwa kesepakatan dalam nota kesepahaman ini bukan mengatur mengenai kewenangan atau perizinan bagi BPK untuk mengakses data milik lembaga negara, kementerian, atau badan.

“Kesepakatan ini mengatur mengenai hubungan kerjasama pengembangan dan pengelolaan sistem informasi untuk akses data dalam rangka pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dengan kata lain, nota ini hanya mengatur cara mengakses data,” jelas Sri Haryoso seperti dikutip dari website resmi BPK, belum lama ini.

Pada kesempatan yang sama, Ketua BPK meresmikan Gedung Kantor BPK Perwakilan Provinsi Kalimantan Timur. Gedung ini terletak di Jalan M. Yamin No. 19, Samarinda, Kalimantan Timur, yang dibangun di atas lahan seluas 5.917 meter persegi. Gedung ini terdiri dari tiga lantai seluas 3.300 meter. Gedung juga dilengkapi dengan sarana teknologi informasi yang dipasang untuk mendukung proses pemeriksaan.

Hadi Poernomo berpesan kepada seluruh jajaran BPK Perwakilan Kaltim agar dapat memelihara gedung dengan sebaik-baiknya.

“Mudah-mudahan gedung ini bermanfaat untuk meningkatkan kerja sama dan sinergi dengan para pemilik kepentingan, serta dapat melayani mereka dengan sebaik-baiknya dengan berpegang teguh pada nilai dasar BPK yaitu Independensi, Integritas dan Profesionalisme.”   aiz

23Warta BPK OKTOBER 2011

W A W A N C A R A

Perubahan budaya kerja diyakini bisa membuat BPK menjadi lebih baik dalam core bisnisnya. Hal lain yang

perlu mendapat perhatian serius yakni pelaksanaan audit kinerja. Itulah beberapa hal yang mendapat sorotan dalam wawancara dengan Anggota I BPK Moermahadi Soerja Djanegara di ruang kerjanya pada beberapa waktu lalu . Berikut petikan

wawancara dengan Anggota BPK yang membidangni Sosial Politik Pertahanan dan Keamanan itu.

Bagaimana pandangan Bapak terhadap perkembangan BPK dari awal sampai sekarang?

Saya dulu di BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan). Waktu itu saya melihat, BPK mempunyai kewenangan tapi tidak sebesar BPKP. Waktu itu BPK hanya punya kelebihan

Moermahadi Soerja Djanegara Anggota BPK RI

“Perlu Dibangun Budaya Kerja Baru”

bisa memeriksa TNI. Sementara instansi lain, BPKP yang pegang. Malah saya memandang waktu itu, BPK itu hanya mengambil laporan BPKP dan tinggal meneruskan saja.

Namun, sekarang sewaktu saya sudah masuk, saya terkaget-kaget karena organisasi BPK ini sudah sedemikian besar. Namun di sisi lain, SDM-nya belum sepenuhnya siap. Perlu dibangun budaya audit yang lebih kuat lagi. Seperti tempo hari, ada laporan kita yang sampai salah angka. Kejadian seperti ini tidak akan terjadi kalau manajemen risiko dan quality control audit kita sudah terbangun. Tapi ini memerlukan proses. Butuh jam terbang tinggi untuk menciptakan auditor yang handal.

Filter audit dalam setiap tahap harus benar-benar bekerja. Di setiap jenjang proses audit mulai dari pengumpulan data hingga justifikasi laporan harus melalui suatu filter yang ketat. Ketua Tim harus bertanggung jawab atas masalah angka-angka itu. Sampai Pengendali Teknis ikut menyaring juga. Jadi berlapis. Nah, di BPK itu masih kurang.

Selalu saya bilang ke teman-teman kepala auditoriat, pakai nota dinas untuk administrasi silahkan tapi mereka harus bekerja langsung. Datang ke anggota tim audit untuk ikut mengawasi. Pengawasan dan pengendalian audit tidak bisa jalan hanya dengan nota dinas. Kalau pakai nota dinas memakan waktu lama, padahal pekerjaan ini butuh kecepatan. Garis-garis komando seperti itu memang harus dilakukan. Budaya itu yang mesti dibangun.

Apa sekarang ada perubahan?Ya, sedikit-sedikit ada perbaikan.

Kalau dasar pendidikan, mereka hebat-hebat semua, tetapi ini masalahnya pada budaya. Budaya yang mesti dibangun. Dan, itu butuh proses.

Apa pengalaman juga minim?Benar. Jam terbang masih sangat

terbatas. Sekarang kewenangan BPK demikian besar sehingga kita terkaget-kaget, wewenang kita itu jauh lebih besar dari sebelumnya.

Moermahadi Soerja Djanegara

warta bpk/rianto prawoto

24 Warta BPKOKTOBER 2011

W A W A N C A R ASampai sekarang, BUMD belum terawasi dengan baik. Bayangkan saja. Coba tanya ke Kepala Perwakilan, apa mereka tahu berapa BUMD yang ada di daerahnya. Tidak ada yang care. Hasilnya tidak ada, karena tidak ada yang memeriksa. Padahal yang periksa itu KAP, BPKP yang periksa. Sementara wewenang ada di kita. Namun, tidak dilakukan.

Artinya kewenangan besar tapi SDM terbatas, auditee banyak yang harus kita audit?

Makanya masih butuh banyak orang. Juga penyebaran pegawai ke daerah. Coba saja teman-teman suruh pindah ke daerah, susah pasti.

Makanya, pola mutasi dan karier itu, saya bilang harus dipaksa agar bisa berjalan.

Ini tak bisa dihindari juga karena organisasi begitu cepat besar, orang tidak siap. Sama juga dengan UU Keuangan Negara. Sebetulnya belum siap. Entitasnya belum siap. Dulu tidak pernah buat ini, sekarang harus buat. Kalau yang di daerah awalnya parah. Kalau sekarang sudah mulai membaik.

Siapa yang berwenang untuk membantu pengelolaan keuangan negara?

BPKP. Kalau kita [BPK] terlalu ikut-ikutan nanti malah kita yang buat laporan keuangan. Itu tugas BPKP untuk mendorong entitas pemerintah lebih baik. Hanya saja, BPKP juga ada penyakitnya. Saya bilang ke mereka, “Kamu jangan memeriksa sekarang, kalian sudah jadi konsultan.’

Namun, otak mereka masih sebagai

periksa saja. Padahal sekarang ini mestinya BPKP bukan lagi periksa tapi sebagai konsultan, dia harus dorong auditee. Justru kalau perlu orang-orang BPKP didistribusikan ke daerah.

Bagaimana BPK ke depannya terkait dengan pemeriksaan kinerja yang masih belum seluruhnya dilakukan?

Memang harus ke arah sana [pemeriksaan kinerja]. Untuk apa kita hanya memeriksa laporan keuangan. Kita kasih saja ke Akuntan Publik. Kalau tidak ke BPKP saja, tetapi atas nama kita. Justru memang kita stressing-nya ke audit kinerja. Hanya saja, masalah-nya, tergantung dari jam terbang.

Tidak bisa orang hanya ditatar. Harus langsung terjun ke pemeriksaan ini.

Apakah pemeriksaan laporan keuangan sudah bagus?

Kalau pemeriksaan keuangan sudah mulai bagus. Karena kita paksa dia [auditee] juga, seperti misalnya di TNI dan polisi. Dulu, di Polri, mereka tidak mau mencatat barang bukti. Kemudian kita sampaikan ke mereka, barang bukti harus cacat. Ternyata mereka sekarang tertib. Kalau tidak mau, ya akan berpengaruh pada opini.

Apa saja permasalahan yang biasa muncul di laporan keuangan?

Masalah aset dan Penerimaan Ne gara Bukan Pajak (PNBP) kalau di tempat kita. Ada juga yang belum dicatat.

Apa penyebabnya?SDM yang berkualifikasi untuk

menyusun laporan keuangan juga tidak ada. Namun, sekarang mereka

tetap harus menyampaikan laporan keuangan.

Sekarang sudah pakai SAI (Sistem Akuntansi Instansi), apa dampaknya?

Begitu TNI menggunakan sistem SAI, berantakan, akibatnya balik lagi ke manual. Mereka masih WDP. Namun, memang di TNI itu yang beda sistemnya. Kalau yang lain DIPA itu sampai Satker (Satuan kerja), kalau TNI hanya di Mabes TNI, Mabes Angkatan masing-masing, dan Kementerian Pertahanan. Makanya pencairan dana mereka lambat. Bulan Agustus baru cair, kecuali gaji pegawai. Alasannya, dananya masih di komando.

Masalah aset ternyata dikeluhkan Komisi XI DPR, karena dari tahun ke tahun permasalahan ini tetap sama dan itu juga mempengaruhi Opini BPK?

Ya, kalau aset itu gara-gara UU Keuangan Negara. Kita mesti buat laporan keuangan. Nah, dari dulu pencatatan aset tidak beres inventarisasinya dan penilaiannya. Kementerian Keuangan mungkin terlalu rigid cara penilaiannnya. Terkadang harus ada dokumennya, sementara dokumennya lama-lama, dari tahun berapa, berapa nilainya. Akhirnya masuk pada nilai. Nilai aset di TNI itu, katakanlah pesawat tahun berapa? Nilainya berapa? Siapa yang bisa menilai?

Belum masalah kepemilikan aset. Asetnya dimiliki siapa? Mana bukti kepemilikannya? Ada buktinya? Itu kejadian biasanya di Pemda. Di TNI

25Warta BPK OKTOBER 2011

W A W A N C A R Abiasanya aset-aset yang ditempati orang.

Dulu inventarisasi ada, tetapi tidak ada nilai. Dulu tidak perlu pakai nilai, yang penting semua barang dicatat semua. Begitu nilainya berapa, cari dokumennya, ternyata tidak ketemu. Nah, mereka lama membenahinya.

Bagaimana caranya agar masalah aset ini tidak menjadi kendala tetap?

Harus ke Kementerian Keuangan melalui Dirjen Kekayaan Negara. Saya katakan shortcut saja. Berapa harganya, tulis saja. Masa meributkan masalah nilai. Bukan untuk dijual. Atau, nilainya sekarang sudah nol. Sekarang mereka belum bicara penghapusan.

Bagaimana jika pakai nilai perolehan?

Kalau kita mau, pakai nilai wajar. Nah, itu lebih seru lagi. Kalau sekarang sih menurut saya, catat dulu saja. Hanya mereka kadang mengalami kesulitan karena barangnya sudah tidak ada, tapi di daftarnya ada. Mestinya bicara penghapusan. Pos penghapusan aset itu harus proses ke Kementerian Keuangan.

Bagaimana dengan audit kinerja?

Kita sudah bilang kepada mereka, kalau nanti sudah WTP, kita akan periksa laporan keuangan. Kita mau masuk di audit kinerja. Sampai sekarang audit kinerja belum banyak dilakukan.

Sebetulnya auditee mengharapkan hal itu terlaksana. Mereka juga perlu diberikan penjelasan, apa sih gunanya audit kinerja. Kita itu memberi rekomendasi. Memberi saran perbaikan internal mereka. Apa yang dilakukan sudah sesuai belum dengan tugas dan fungsi mereka. Buat mereka itu bagus.

Apa kendala dalam aplikasi audit kinerja?

Pertama jam terbang. Mereka harus melakukan pemeriksaan. Baru nanti kita tahu bagaimana meningkatkan kualitas dari audit ini. Hanya memang, audit kinerja itu ada tahapan-tahapannya. Sewaktu kita melakukan pemeriksaan pendahuluan, mengumpulkan data, diskusi harus dilakukan, brain storming antara tim pemeriksa itu harus dilakukan. Untuk mendapatkan persepsi yang sama.

Setelah persepsinya sama, kita tentukan langkah

berikutnya apa. Kita bersama-sama menyusun audit programnya. Tidak seperti audit keuangan. Audit keuangan sebetulnya sudah mudah, ada template-nya. Kalau audit kinerja tidak bisa. Harus diskusi dengan auditee juga. Sampai kita menyusun audit program. Baru kita masuk dan mesti banyak bicara. Nah, anak-anak itu [pemeriksa BPK] harus membiasakan hal itu.

Kita juga harus mengatur tim itu. Nanti, ada yang special di audit ada yang bagian komunikasi, misalnya. Pasalnya, tidak semua orang bisa berkomunikasi sewaktu memeriksa. Kalau sebagai penanggungjawab harus tahu detil.

Rekomendasi juga tidak ujug-ujug bisa dikasih saran. Diskusikan lagi dengan auditee. Menurut kita begini, menurut dia bagaimana. Ada adu argumen, tidak masalah. Bisa juga tidak ketemu atau satu suara, tetapi kita

sudah tahu penyebabnya apa. Kita diskusi lagi sampai clear.

Apakah BPK akan membentuk tim audit kinerja tersendiri?

Belum ada. Agak susah kita bikin seperti di ANAO (Australian National Audit Office/BPK-nya Australia). Mereka bisa membagi dua audit kinerja dan audit keuangan. Kalau di Indonesia agak susah. Pengalaman saya, kita campur dengan audit keuangan. Karena untuk menghindari kejenuhan juga jika terlalu terspesialisasi. Namun, kalau mau dicoba, juga tidak apa-apa.

Merekrut orang juga masih terpisah-pisah. Seperti

kita merekrut pegawai itu ada yang dari latar belakang teknik

sipil dan sebagainya. Habis itu, dari kondisi yang ada sekarang,

SDM yang ada, baru kita bilang, ’kita mau audit kinerjanya apa dulu?’ Baru kita masuk-masukan orang-orang itu.

26 Warta BPKOKTOBER 2011

W A W A N C A R ASampai sekarang itu belum dilakukan. Kita meski mengatur pembagian orang-orang itu.

Sepertinya ada pola, pada semester pertama semua auditor diarahkan untuk audit keuangan dan pada semester kedua ke audit kinerja atau PDTT (Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu)?

Audit keuangan itu mandatory. Kita harus memberikan opini LKPP. Mau tidak mau kita harus lakukan itu. Memang akhirnya, kita mungkin harus meniru ANAO juga. Harus ada spesialisasi di audit kinerja. Supaya bisa jalan di awal tahun. Biasanya memang audit kinerja itu bagusnya dilakukan di tahun berjalan. Jangan pemeriksaan yang sudah lewat. Itu kurang bermanfaat.

Berapa persentase antara audit keuangan, audit kinerja, dan PDTT?

Kalau audit kinerja baru memulai. Kalau tahun-tahun kemarin audit keuangan dan PDTT. Namun, PDTT itu stressing-nya di keuangan juga, cuma di parsialnya. Kalau proporsinya audit kinerja 20%, 30% PDTT, 50% audit keuangan.

Apa itu sudah komposisi ideal?

Belum. Ke depan kita unggulannya audit kinerja. PDTT tidak perlu ada. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, itu bisa macam-macam. Namun, yang sekarang dilakukan lebih banyak ke keuangannya.

Ke depan memang mesti dibikin komposisi seperti itu [audit keuangan seimbang dengan audit kinerja].

Apa yang harus dilakukan agar pemeriksa terlatih dengan audit kinerja?

Saya belum tahu juga hasilnya yang di diklat itu. Pemeriksa semua katakan ada 300 orang, sudah mulai memeriksa. Syaratnya, harus melibatkan semua. Semua harus ikut. Jangan yang berpikir itu di bawah saja. Pengendali teknis karena tidak tahu, tidak ikut

memikirkan. Penanggung jawab juga sama. Jadi, proses review itu harus dilakukan.

Apa yang paling mendesak untuk dibenahi?

Kembali ke masalah budaya kerja. Masalah deadline saja masih belum terpenuhi. Ada laporan hasil pemeriksaan 6-9 bulan baru

jadi. Bagaimana ceritanya, coba? Laporannya ada, tetapi ada di meja Kaud atau Kasubaud-nya, tidak dibaca, tidak diapa-apakan. Sudah 4 bulan di sana.

Ketaatan terhadap deadline itu buat apa dibikin rencana pemeriksaan (P2), sementara realisasinya tidak ditaati. Saya yakin bukan hanya di AKN di bawah saya, tetapi AKN lain juga.

Pada level apa yang paling menentukan dalam mengubah budaya kerja?

Level Tortama ke bawah. Itu dia, budaya kerjanya meski diubah. Kalau dia menjadi auditor, sewaktu masuk ke BPK, itu peranan diklat untuk menanamkan budaya itu. Jadi, mendidik auditor yang dari akuntan berapa lama, yang nonakuntan berapa

lama, itu harus dipisahkan. Setelah itu, di pendidikan sudah mulai ditanamkan budaya dan harus dipraktekkan.

Berdasarkan IHPS kemarin, tindak lanjut dari audit itu masih 55%, ini indikasinya apa pak? Apakah memang auditee kurang berkomitmen atau memang ada kesalahan di dalam kita sendiri?

Sebesar 50% IHPS itu, periode tahun berapa? Itu mesti dilihat. Laporan yang dulu-dulu itu bagaimana? Jadi, makanya Pak Ketua kemarin menyampaikan “ya sudah yang 2009 sampai sekarang kita cut saja. Berapa jumlah yang belum ditindaklanjuti dari tahun 2009?

Itu pernah polisi. Kita kumpulkan, tindak lanjut yang laporan itu, yang berjalan bisa dilakukan, yang lama-lama. Dari mereka sudah, di kita datanya belum. Bagaimana ceritanya?

Mestinya, otomatis begitu selesai laporan, kasih waktu 60 hari auditee, itu harus ada action lagi dari kita. Panggil cepat, kenapa tidak menindaklanjuti. Menurut saya yang berjalan sekarang, lancar semua. Tidak ada masalah.

Temuan audit berindikasi TPK (Tindak Pidana Korupsi)

yang dilaporkan ke penegak hukum, penanganannya masih rendah. Tanggapan Anda?

UU mengatakan bahwa kalau ada indikasi tindak pidana korupsi kita serahkan ke aparat penegak hukum. Namun, penjabaran dari itu belum kita lakukan. Mekanismenya seperti apa. Itu belum kita buat. Kalau kita hanya buat laporan, kasih ke kejaksaan sudah selesai. Terserah dia mau ditindaklanjuti atau tidak.

Kita tidak pernah buat mekanismenya. Panggil dia [penegak hukum], kita bicara, kita ekspos, baru kita monitor, bagaimana bisa nggak? Mestinya kita atur mekanismenya dengan kejaksaan seperti apa, dengan kepolisian seperti apa, dengan KPK seperti apa. and

foto: warta bpk/rianto prawoto

27Warta BPK OKTOBER 2011

Pantau

BPK menilai BPKP belum memiliki standar operasional dan prosedur alias SOP sehingga dapat menimbulkan potensi

penyimpangan dan penyalahgunaan PNBP. Hal itu diketahui dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (LHP BPK) atas pemeriksaan Sistem Pengendalian Internal (SPI) di BPKP pada semester I/2011. Laporan Realisasi Anggaran (LRA) BPKP untuk anggaran yang berakhir 31 Desember 2010 menyajikan total realisasi PNBP sebesar Rp4,9 miliar.

Dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) BPKP pada 2010 dijelaskan PNBP tersebut bersumber dan pendapatan penjualan dan sewa sebesar Rp2,1 miliar, pendapatan Jasa sebesar Rp3,5 iuta, pendapatan pendidikan Rp1,8 miliar, pendapatan iuran dan denda Rp64,8 juta,

dan pendapatan lain-lain Rp 928,5 juta.BPK melihatnya janggal, mengingat

sebagai auditor yang bertanggung jawab kepada Presiden seperti dinyalakan dalam PP No. 60/2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP).

Dalam aturan itu disebutkan BPKP berperan mendukung akuntabilitas Presiden dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan negara melalui fungsi pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara dan pembinaan penyelenggaraan.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, komitmen ini selanjutnya dituangkan dalam pernyataan visi yaitu sebagai lembaga auditor Presiden yang responsif, interaktif, dan terpercaya, untuk mewujudkan akuntabilitas  keuangan negara yang berkualitas.

BPKP merupakan lembaga pemerintah

Pendapatan Negara Rp4,9 miliar di BPKP Diduga Menyimpang

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan

(BPKP) kesandung masalah

pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) senilai Rp4,9 miliar.

Akibat tidak ada standar operasional

prosedur.

Gedung BPKP

28 Warta BPKOKTOBER 2011

Pantau

nonkementerian, yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 31 Tahun 1983. Kemudian diperbarui dengan Keppres Nomor 103 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas. Fungsi, Kewenangan. Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen.

Sebagai aparat pengawasan internal pemerintah. BPKP juga berperan membantu pemerintah membangun pemerintahan yang baik dan bersih, memberikan masukan/solusi atas permasalahan yang terjadi.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. BPK telah memeriksa neraca BPKP pada 31 Desember 2009 dan 2010, serta Laporan Realisasi Anggaran (LRA).

Selanjutnya, BPK menerbitkan LHP atas Laporan Keuangan (LK) BPKP 2010 yang memuat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dengan nomor 89A/HP/ XVI/05/2011 pada 12 Mei 2011. dan LHP kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan nomor 89 C/HP/XVI/05/2O11 pada 12 Mei 2011.

Sesuai Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). dalam pemeriksaan atas LK BPKP tersebut, BPK mempertimbangkan SPI BPKP untuk menentukan prosedur pemeriksaan dengan tujuan menyatakan pendapat atas LK dan tidak ditujukan untuk memberikan keyakinan atas SPI.

BPK menemukan kondisi yang dapat dilaporkan berkaitan dengan SPI dan operasinya. Pokok-pokok kelemahan dalam SPI atas LK BPKP yang ditemukan BPK di antaranya BPKP belum memiliki SOP pengelolaan PNBP yang dapat menimbulkan potensi penyimpangan dan penyalahgunaan PNBP.

LHP BPK menjelaskan PNBP jenis pendapatan pendidikan diperoleh dan dilaporkan oleh pusat pendidikan dan pelatihan BPKP.

Selama 2010, PNBP tersebut antara lain berupa pendapatan dari penjualan modul pendidikan dan pelatihan (diklat) dan sewa mess/akomodasi diklat, serta pendapatan berupa biaya penyelenggaraan diklat di Pusdiklatwas BPKP.

Berdasarkan keputusan Kepala BPKP Nomor KEP-55I/K/SU/ 2010 pada 29 Juli 2010 tentang Bendahara Penerimaan PNBP BPKP Tahun Anggaran 2010 yang menyebutkan, pengelolaan dan penatausahaan PNBP Pusdiklatwas BPKP dilakukan bendahara penerimaan PNBP.

Menurut Quality Procedure nomor QP-TU/KEU-13 pada 10 Juni 2009 tentang pelaksanaan pengelolaan keuangan oleh petugas dalam penyelenggaraan diklat  antara lain disebutkan, agar pengelolaan keuangan penyelenggaraan diklat tepat kelola dan tertib administrasi, maka ditunjuklah Liason Officer (LO) Keuangan sebagai petugas penghubung dari Sub Bagian Keuangan untuk mengelola keuangan penyelenggaraan diklat.

Tugas LO adalah menerima uang muka kegiatan, membayar honorarium dan biaya lainnya sesuai dengan pembiayaan penyelenggaraan diklat, kemudian mencatat dan menyiapkan Laporan Realisasi Rencana Anggaran  (LRAB) penyelenggaraan diklat.

Pemeriksaan BPKHasil pemeriksaan BPK terhadap dokumen PNBP BPKP

menunjukkan pembayaran honor untuk LO dikeluarkan berdasarkan Keputusan Sekretaris Utama BPKP nomor KEP-680/SU/03/2007, 9 Maret 2007 tentang tarif komponen biaya pendidikan dan pelatihan di lingkungan Pusdiklatwas BPKP 2007.

Surat keputusan tersebut menyebutkan penetapan honor LO berlaku untuk tahun anggaran 2007. Namun,

Harus dibuktikan BPKP bahwa temuan itu bukan suatu

kesengajaan. Kalau tidak maka lembaga

yang diaudit BPKP bisa tidak yakin dan mempertanyakan

kompetensi BPKP,

Yuna Farhan

29Warta BPK OKTOBER 2011

Pantau

sampai dengan pemeriksaan BPK berakhir pada 20 April 2011 dasar pembayaran honor LO masih mengacu pada ketentuan tersebut dan belum ada revisi mengenai pengenaan tarifnya.

Selain itu, setiap penerimaan diklat melalui LO keuangan tidak langsung segera disetor ke bendahara penerimaan PNBP, melainkan ditampung  terlebih dahulu. Setelah diklat berakhir baru diserahkan ke bendahara penerimaan PNBP untuk disetor ke kas negara.

Mekanisme penerimaan PNBP oleh bendahara penerimaan PNBP dari kegiatan diklat diperoleh melalui tiga cara, transfer masuk dari peserta diklat ke rekening bendahara penerimaan PNBP, melalui pembayaran tunai dari peserta diklat melaui LO keuangan, dan pembayaran langsung dari instansi peserta diklat melalui rekening bendahara penerimaan PNBP.

Hasil pemeriksaan fisik kas pada 10 Maret 2011 menunjukkan, terdapat uang tunai dari tujuh orang peserta diklat sertifikasi Jabatan Fungsional Auditor (JFA) dan tingkat ahli Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) sebesar Rp49,5 juta yang masih berada di LO keuangan.

Sejak uang tunai tersebut diterima dan peserta diklat pada I8 Februari 2011 sampai dengan saat pemeriksaan fisik kas pada 9 Maret 2011, LO keuangan belum menyetorkan uang tersebut kepada bendahara penerimaan PNBP, yang pada gilirannya diharuskan menyetorkannya ke kas negara.

Dalam pemeriksaan lanjutan BPK menunjukkan setiap penerimaan diklat yang masuk ke rekening bendahara penerimaan PNBP tidak langsung segera disetor ke kas negara. Lamanya uang tersebut disimpan sebelum disetor ke kas negara berkisar antara 3 - 24 hari.

Hasil konfirmasi kepada bendahara penerimaan menjelaskan, penyetoran penerimaan diklat  ke kas negara dilakukan apabila penerimaan itu sudah terkumpul seluruhnya, baru disetor ke kas negara.

Kondisi tersebut tidak sesuai dan melanggar tiga peraturan, termasuk peraturan Kepala BPKP yaitu Keputusan Kepala BPKP Nomor KEP-55 l/K/SU/2010 yang menyatakan, bendahara penerimaan PNBP 2010 mempunyai tugas untuk menerima, menyimpan, menatausahakan. dan mempertanggungjawabkan uang pendapatan negara yang berasal dari PNBP dalam rangka menertibkan APBN.

Selain itu, tidak sesuai dengan perintah Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47/ 2010 tanggal 24 Mei 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada BPKP, pasal 4 menyatakan seluruh PNBP yang berlaku pada BPKP wajib disetor langsung secepatnya ke kas negara.

BPKP juga dinilai melanggar Peraturan Menteri Keuangan nomor 73/PMK.O5/2OO8 pada 9 Mei 2008 tentang Tata Cara Penatausahaan dan Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban Bendahara Kementerian Negara/ Lembaga/Kantor/Satuan Kerja, pasal 4 ayat 1 yang menyatakan,  orang atau badan hukum yang berdasarkan ketentuan diwajibkan menyetor PNBP, wajib menyetorkan langsung ke kas negara, kecuali untuk jenis penerimaan tertentu yang diatur secara khusus dan telah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.

BPK menyimpulkan, hal itu disebabkan lemahnya pengawasan dan pengendalian pengelolaan PNBP yang berasal dari penyelenggaraan diklat, dan BPKP dianggap belum mempunyai SOP pengelolaan PNBP.

Akibatnya, pertanggungjawaban atas pembayaran honor LO keuangan menjadi tidak sah dan terjadi

potensi penyimpangan dan penyalahgunaan uang yang berada di LO Keuangan.

BPK juga merekomendasikan kepada Kepala BPKP supaya meningkatkan pengawasan dan pengendalian pengelolaan PNBP sesuai dengan ketentuan yang berlaku, serta menyusun dan menetapkan SOP pengelolaan PNBP.

Terungkapnya BPKP tidak memiliki  SOP atas pengelolaan PNBP bisa berakibat menurunkan kepercayaan lembaga yang diaudit  terhadap BPKP. Oleh karena itu, BPKP disarankan dapat menepis temuan BPK itu.

“Harus dibuktikan BPKP bahwa temuan itu bukan suatu kesengajaan. Kalau tidak maka lembaga yang diaudit BPKP bisa tidak yakin dan mempertanyakan kompetensi BPKP,” kata Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan, belum lama ini, seperti dikutip Rakyat Merdeka.

Tak hanya itu, BPKP dan BPK juga diharapkan mengumumkan kepada publik terhadap hasil-hasil temuannya, selama ini masyarakat kurang memiliki akses tentang hasil audit keuangan negara.

“Ada kesan dari masyarakat, setiap hasil audit dan tindaklanjutnya yang dilakukan lembaga auditor keuangan negara itu masih tertutup,” jelasnya. aiz