harapan

16
MESIAS Pengantar Dalam Perjanjian Baru, Yesus dari Nazaret digelari dan diakui sebagai Mesias, artinya ‘yang diurapi’ (mesyiah),1 oleh para murid. Gagasan tentang Mesias sebenarnya bukan suatu hal yang baru. Sudah sejak lama gagasan tentang Mesias mengakar kuat dalam hidup dan pemikiran orang Yahudi. Mereka mengharapkan dan menantikan kedatangan Mesias yang hadir sebagai sosok yang berkuasa, meraja, atau mulia, yang olehNya Israel mendapat kemenangan dari para musuh, kekuasaan atas bangsa lain, dan kesejahteraan untuk selama-lamanya. Dalam cara pandang yang demikian, maka, tak ayal, Mesias didudukkan oleh orang Yahudi dalam gambaran yang sepenuhnya nasional, politis, dan materialis. Harapan yang sedemikian besar jelas tidak terpenuhi dalam diri Yesus. KematianNya di kayu salib membuyarkan harapan dan gambaran Mesias orang Yahudi. Lantas, mengapa Para Rasul tetap menganggap dan mewartakan Yesus sebagai seorang Mesias? Apa benar Dia adalah Mesias yang telah lama dinantikan orang Yahudi? Jika benar, bagaimana menjelaskan konflik yang terjadi antara gambaran Mesias orang Yahudi dengan gambaran Mesias yang diwartakan oleh Para Rasul? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang hendak dijawab oleh penulis dalam tulisan sederhana ini. Mesias dalam Gambaran PL Asal-usul ide tentang Mesias sebenarnya erat sekali hubungannya dengan ide perjanjian antara Allah dan Israel (Yahudi) yang menjadi umat pilihanNya. Perjanjian tersebut menandaskan bahwa kelak bangsa Israel berhak mendapat kehormatan, kemulian, dan supremasi sebagai sebuah bangsa. Mesias lalu menjadi duta mratansi Allah, Juruselamat yang dinantikan kehadirannya, yang dengan perantaraanNya, Israel akan menerima kepenuhan janji Allah.[2] Dengan kata lain, Mesias ‘dikirim’ oleh Allah untuk menggenapi suatu tujuan penyelamatan bagi umatNya. Pada mulanya, impian itu sederhana. Impian itu tidak lebih dari negeri yang aman, adil, makmur, dan penuh kedamaian di bawah pemerintahan raja dinasti Daud Hal ini nampak dalam nubuat-nubuat nabi Yesaya (9:2-7; 11:1-5.; 32:1-5, atau juga 3:2-6). Dalam nubuat-nubuat tersebut, raja, dalam dinasti Daud, digambarkan sebagai: pahlawan yang berkuasa, yang mampu menolong umat dari kesusahan dan mendudukkan lawan-lawan, pemimpin yang bijaksan dan adil dalam tindakan, raja

Upload: cyntia-theresia-lumintang

Post on 19-Nov-2015

6 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Kumpulan Sumber

TRANSCRIPT

MESIAS

PengantarDalam Perjanjian Baru, Yesus dari Nazaret digelari dan diakui sebagai Mesias, artinya yang diurapi (mesyiah),1oleh para murid. Gagasan tentang Mesias sebenarnya bukan suatu hal yang baru. Sudah sejak lama gagasan tentang Mesias mengakar kuat dalam hidup dan pemikiran orang Yahudi. Mereka mengharapkan dan menantikan kedatangan Mesias yang hadir sebagai sosok yang berkuasa, meraja, atau mulia, yang olehNya Israel mendapat kemenangan dari para musuh, kekuasaan atas bangsa lain, dan kesejahteraan untuk selama-lamanya. Dalam cara pandang yang demikian, maka, tak ayal, Mesias didudukkan oleh orang Yahudi dalam gambaran yang sepenuhnya nasional, politis, dan materialis.

Harapan yang sedemikian besar jelas tidak terpenuhi dalam diri Yesus. KematianNya di kayu salib membuyarkan harapan dan gambaran Mesias orang Yahudi. Lantas, mengapa Para Rasul tetap menganggap dan mewartakan Yesus sebagai seorang Mesias? Apa benar Dia adalah Mesias yang telah lama dinantikan orang Yahudi? Jika benar, bagaimana menjelaskan konflik yang terjadi antara gambaran Mesias orang Yahudi dengan gambaran Mesias yang diwartakan oleh Para Rasul? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang hendak dijawab oleh penulis dalam tulisan sederhana ini.

Mesias dalam Gambaran PLAsal-usul ide tentang Mesias sebenarnya erat sekali hubungannya dengan ide perjanjian antara Allah dan Israel (Yahudi) yang menjadi umat pilihanNya. Perjanjian tersebut menandaskan bahwa kelak bangsa Israel berhak mendapat kehormatan, kemulian, dan supremasi sebagai sebuah bangsa. Mesias lalu menjadi duta mratansi Allah, Juruselamat yang dinantikan kehadirannya, yang dengan perantaraanNya, Israel akan menerima kepenuhan janji Allah.[2]Dengan kata lain, Mesias dikirim oleh Allah untuk menggenapi suatu tujuan penyelamatan bagi umatNya.

Pada mulanya, impian itu sederhana. Impian itu tidak lebih dari negeri yang aman, adil, makmur, dan penuh kedamaian di bawah pemerintahan raja dinasti Daud Hal ini nampak dalam nubuat-nubuat nabi Yesaya (9:2-7; 11:1-5.; 32:1-5, atau juga 3:2-6). Dalam nubuat-nubuat tersebut, raja, dalam dinasti Daud, digambarkan sebagai:

pahlawan yang berkuasa, yang mampu menolong umat dari kesusahan dan mendudukkan lawan-lawan, pemimpin yang bijaksan dan adil dalam tindakan, raja yang akan membersihkan Yerusalem menjadi kota suci dan raja itu akan berkuasa selama-lamanya.[3]Gambaran Mesias tersebut terus hidup dalam impian-impian orang Yahudi. Namun, di kemudian hari, oleh sebagian besar orang Yahudi, gambaran Mesias diubah menjadi harapan pada seorang tokoh yang ilahi dan adikodrati. Mengapa? Karena impian-impian indah akan kekuasaan, kemakmuran, atau juga kemerdekaan yang bakal dialami oleh Israel ternyata tak kunjung datang. Israel terus saja dijajah dan dipebudak oleh bangsa-bangsa lain yang lebih kuat. Dekadensi moral dan spiritual pun semakin terasa. Akibatnya, banyak pemikir Yahudi yang menumpukan harapannya tidak lagi pada daya dan kekuatan manusiawi, melainkan pada kekuatan ilahi, kuasa adikodrati, yang memasuki dunia manusia dengan daya surgawi. Dengan demikian, sekali lagi, gambaran tentang Mesias lantas menjadi semakin ilahi dan adikodrati. Gambaran ini nampak jelas terutama dalam tulisan Henokh (38:1.2; 45:3.4; 49:2.4) dan Ezra (12:30-32; 13:4.25.26).[4]Meski demikian, gambaran tentang Mesias, oleh orang Yahudi, tetap ditempatkan dalam bingkai tokoh penyelamat atau penguasa yang sanggung membawa Israel kepada kemuliaan dan kejayaan sebagai sebuah bangsa.

Mesias dalam Gambaran PBDalam PB, khususnya keempat Injil dan Kisah Para Rasul, gelar Mesias[5]kerapkali disematkan pada diri Yesus dari Nasaret. Sebagai contoh:

1. Ketika Andreas bertemu Yesus, ia segera memberitahu Simon, saudaranya, dengan pernyataan bahwa ia menemukan Mesias (Yoh 1:41).

2. Di kaisarea Filipi, Petrus mengakui Yesus sebagai Mesias (Mat 16:16; Mrk 8:29; Luk 9:20).

3. Setelah Yesus ditangkap dan dibawa ke pengadilan agama, Imam agung bertanya kepada Yesus apakah Ia Mesias, Sang Terurapi (Mat 26:63; Mrk 14:16; Luk 22:67).

4. Inti pewartaan Paulus adalah pemakluman bahwa Yesus itu seorang Mesias (Kis 9:22; 17:3}

Pemberian gelar Mesias atau Kristus pada diri Yesus tidaklah tanpa sebab. Mengingat harapan mesianis yang tumbuh subur kala itu dalam diri orang Yahudi, maka tidak mengherankan, melihat apa yang dikerjakan oleh Yesus, banyak orang disekitarNya mulai bertanya-tanya apakah Ia adalah Mesias yang diharapkan, dan bahkan ada yang mulai menganggapnya demikian. Dalam tindakan dan ajaranNya, mereka melihat dan mendengar sejumlah hal yang dinantikan dari seorang Mesias. Ia mengatakan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat. Ia tampil sebagai seorang yang berkharisma, seorang yang dipenuhi dengan kuasa Roh Allah. Ia mengadakan mujizat, membawa kesembuhan, atau juga menjamu orang yang lapar. Tanda-tanda yang demikian sudah cukup bagi sejumlah orang Yahudi yang hidup dalam keadaan yang sulit, untuk mulai melihat seorang Mesias dalam diri Yesus, orang Nazaret itu.[6]Namun, yang menjadi pertanyaannya, apakah Yesus, sesuai dengan pandangan lingkungannya, juga memandang diriNya sebagai Mesias? Jawabannya tidak. Yesus nampaknya tidak bermaksud memenuhi semua segi harapan mesianik yang hidup di tengah masyarakat Yahudi. Dan, selama hidupNya, Ia tampak tidak ingin memperkenalkan diriNya sebagai Mesias kepada masyarakat Yahudi yang luas, sebagimana nampak dalam Injil Markus (1: 23-25. 32-34; atau juga 8.30). Mengapa demikian? Sebab, dalam gambaran serta harapan mesianis yang hidup dalam pemikiran orang Yahudi, ada beberapa segi yang tidak menjadi maksud Yesus. Misalnya, gambaran Mesias sebagai seorang penguasa kerajaan dunia, yang mulia, kuat dan kuasa.

Yesus menyatakan ke-Mesias-an diriNya dengan cara yang sama sekali lain dengan gambaran Mesias yang sudah umum beredar dalam orang Yahudi kebanyakan, yakni melalui sengsara dan wafatNya di salib. Sebuah gambaran yang tidak bisa diterima oleh masyarakat Yahudi luas. Bagaimana mungkin seorang Mesias menderita? Tapi itulah kenyataannya. Mesias yang dijanjikan itu harus terlebih dulu mengalami sengsara dan wafat di salib guna memperoleh kemuliaan yang lebih tinggi, yakni kekuasaan atas dosa dan maut, lewat kebangkitanNya dari antara orang mati. Poin kebangkitan inilah yang lantas diserukan oleh para rasul, untuk menyatakan bahwa, Yesus yang mereka salib adalah sungguh-sungguh Mesias yang dijanjikan Allah. Kebangkitan lalu merupakan peneguhan, bahwa apa yang dilaksanakan Yesus hingga wafatNya memiliki nilai bagi karya Allah untuk manusia.

Konflik Gambaran[7]Pada bagian ini, penulis akan sedikit mengurai gambaran tentang Mesias yang terekam dalam PL dan PB. Dari sini, akan nampak jelas bagaimana Yesus mengartikulasikan dan mengaktualisasikan peran ke-Mesias-annya, dan bagiamana gambaran Mesias yang ditampilkan oleh Yesus menjadi problem serius orang Yahudi kebanyakan.

1. Gambaran Mesias Yahudi pada dasarnya adalah nasional. Kedatangan Mesias semata-mata dipandang sebagai hadiah istimewa atau privelese dari Allah kepada bangsa Yahudi. Gambaran semacam itu jelas bertentangan dengan apa yang diwartakan oleh Yesus. Karya dan ajaran Yesus adalah untuk semua manusia. Perhatiannya bukan melulu perhatian nasional atau demi keselamatan Israel semata. SikapNya terhadap orang kafir, perlakuanNya terhadap orang Samaria, atau juga kelembutanNya terhadap putri Syro-Fenesia, jauh dari kesan semacam itu.

2. Gambaran Mesias Yahudi pertama-tama adalah materialis. Mesias didambakan sebagai salah seorang raja, keturunan Daud, yang berkuasa. Dialah yang sanggup mengalahkan musuh-musuh Israel, yang pada akhirnya membawa bangsa tersebut pada hidup mulia dan sejahtera. Hal ini jelas bertentangan dengan pesan yang dibawa oleh Yesus. Yesus mengumumkan kekuasaan atau Kerajaan Allah bukan dengan tindakan peperangan, melainkan dengan tindakan belas kasihan. Ia melihat karyaNya sebagai pelayanan, bukannya sebagai dominasi.33. Gambaran Mesias Yahudi adalah tokoh yang mulia, kuat-kuasa dan megah. Hal ini jelas tidak sesuai dengan sikap dan tindakanYesus sebagai seorang hamba Yahwe yang harus menderita. Bagi orang Yahudi, Mesias yang menderita itu tidak mungkin, tidak bisa dipercaya. Tapi itulah kenyataannya. Melalui sengsara, wafat, dan terutama kebangkitanNya, Yesus menunjukkan kemenangan serta kekuasaanNya atas dosa dan maut.

PenutupAkhirnya, dapat dikatakan bahwa pengertian Mesias mengalami perubahan yang cukup radikal dalam lingkungan Kristen. Kehadiran Yesus membuyarkan gambaran mesianis yang telah lama hidup dalam pemikiran orang Yahudi. Dalam Kekristenan, Yesus tidaklah dipandang sebagai Mesias dalam arti penguasa dunia yang mencapai kemenangan lewat perjuangan fisik. Kemenangan yang ia tawarkan justru bermula dari kekalahanNya di kayu salib. Ia menunjukkan kepada banyak orang akan Allah yang merajai hati, Mesias yang meraja dalam penderitaan. Dan, jika Paulus mewartakan Yesus sebagai Mesias dan Penyelamat, maka penyelamatan itu terlaksana justru melalui salib dan kebangkitan Yesus.

Daftar PustakaDarmawijaya, St. Pr.Gelar-Gelar Yesus. Yogyakarta: Kanisius, 1987.

Harun, Martin, OFM. Mesias dalam Apokaliptik Abad Pertama, dalam Tom Jacobs, SJ (Ed),Yesus Kristus Pusat Teologi. Yogyakarta: Kanisius, 1986.

Walker, Dr. D.F.Konkordansi Alkitab. Yogyakarta: Kanisius, 1994.

1Di dalam PL, pengurapan dihubungkan dengan tiga macam orang. Pertama, dihubungkan dengan nabi. Elia diperintah agar mengurapi Elisa sebagai nabi, menggantikan kedudukan dan peranannya (1 Raj 19:16). Kedua, dihubungkan dengan imam. Allah memerintahkan imam-imam diurapi dan disucikan sehingga pantas menjadi pelayan bagiNya (Kel 28:41). Ketiga, dihubungkan dengan raja. Atas perintah Allah, Samuel mengurapi Daud di hadapan saudara-saudaranya, karena Daud adalah orang pilihan Allah (1 Sam 16:12.13). Tiga peran yang juga menjadi ciri tugas perutusan Yesus. (Bdk. St. Darmawijaya, Pr,Gelar-Gelar Yesus, Yogyakarta: Kanisius, 1987, hlm. 79-80).

[2]Bdk,Ibid, hlm. 81-82.

[3]Bdk,Ibid, hlm. 82.

[4]Ibid, hlm 84.

[5]Patut diperhatikan bahwa dalam PB, kata Mesias kerapkali diterjemahkan dangan kata Kristus. Kiranya, makna tersebut sama. Kristus dalam bahasa Yunani adalah terjemahan, tafsiran Mesias dalam bahasa Ibrani. Sehingga, penyebutan Yesus Kristus sama artinya dengan mengakui dia sebagai Mesias, sang terurapi, tokoh yang dijanjikan. (Bdk,Ibid,, hlm. 80).

[6]Bdk, Martin Harun, OFM, Mesias dalam Apokaliptik Abad Pertama, dalam Tom Jacobs, SJ (Ed),Yesus Kristus Pusat Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1986), hlm 42.

[7]Bdk,Ibid, hlm. 98-99.

3Martin Harun, OFM,Op. Cit, hlm. 43.

https://domingguspenga.wordpress.com/2010/03/06/mesias/IDE MESIANIS KEINDONESIAAN

Indonesia jelas sebuah bangsa yang unik dengan kemajemukannya. Tidak hanya karena keanekragaman suku, budaya dan agama yang terdapat di dalamnya, melainkan juga keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya. Namun, apa yang paling unik dari Indonesia dibandingkan dengan banyak negara lain adalah bagaimana keragaman itu dapat disatukan dalam suatu wadah yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diikat dengan rasa sebagai sebuah bangsa. Tentu tidak mudah untuk menyatukan dan mengakomodir semua kemajemukan, termasuk juga kepentingan yang berada di dalamnya. Di sini saya mengajak pembaca untuk melihat satu sisi yang kerap terlupa dalam pembacaan kita mengenai arus sejarah keindonesiaan, yaitu ide mesianis yang mengikat kita sebagai suatu bangsa di dalam sebuah negara.

Ide Mesianis?Kata Mesianis adalah kata umum dalam terminologi religius agama-agama abrahamistik. Di dalam kata tersebut terkandung sebuah harapan akan masa yang cemerlang di depan sana. Secara etimologis kata ini berasal dari bahasa Ibrani,Mesyiakhyang berarti yang diberkati. Hans Kohn dalamEncyclopaedia of the Social Sciencesmendefinisikan mesias sebagai kepercayaan religius akan kedatangan seorang penebus yang akan mengakhiri peraturan (order) masa kini, baik secara universal maupun pada kelompok tertentu, dan membangun sebuah peraturan baru yang mengacu pada keadilan dan kebahagiaan. Namun demikian, mesianisme di kemudian hari tidak hanya menjadi milik ranah religius belaka. Ia menembus batas yang membelenggunya dan merasuki kehidupan politik.

Kondisi pemerintahan yang bobrok, keadaan sosial dan ekonomi yang kacau, bahkan penderitaan eksistensial sebuah warga bangsa dapat menimbulkan harapan mesianis. Nikolay Berdyaev, seorang filsuf Rusia, mengatakan:

Harapan mesianis lahir melalui penderitaan dan ketidakbahagiaan serta harapan akan datangnya penghakiman terakhir... pilihan terhadap kesadaran mesianis merupakan ganti dari pengalaman menderita. Penderitaan orang Yahudi, Polandia, Jerman, dan kelas pekerja di masyarakat menjadi faktor penumbuh kesadaran mesianis.

Dalam dunia politik, ide mesianis ini meresap dalam kesadaran sebuah bangsa. Ia menjadi sebuah cita-cita bersama yang kemudian dikemas dalam ideologi-ideologi. Meski tak tampil secara vulgar dalam sebuah ideologi, dalam arti tak tertuliskan, namun ide mesianis menjadi hal yang tidak dapat dipungkiri memiliki pengaruh untuk menentukan perjalanan sebuah bangsa.

Di sini ide mesianis menjadi sebuah eskatologisme sejarah. Ia adalah harapan bahwa akan ada pembebasan di depan sana. Bahwa penderitaan yang dialami kini adalah suatu situasi yang tak bisa dihindarkan untuk menuju kebahagiaan paripurna. Dalam sejarah politik, kiranya dapat dilihat bagaimana marxisme adalah jelmaan dari ide mesianis. Runtuhnya kapitalisme dan berakhirnya penderitaan kelas akan membuat tidak ada lagi penindasan, dan kebahagiaan bersama akan terenggut dari tangan para penindas. Di sini kiranya dapat ditunjukan bahwa ide mesianis bahkan hadir dalam doktrin yang paling materialis.

Mesianisme dalam keindonesiaanIndonesia sebagai sebuah negara modern tidak dapat berkelit dari ide mesianis keindonesiaan. Bahkan dalam terminologi khas Indonesia terdapat padanan bagi kata mesias itu sendiri. Kita melihat ide mengenai Ratu Adil yang hingga kini masih dipercaya banyak orang. Sosok Ratu Adil ini adalah sosok yang hadir karena penderitaan yang pernah dialami rakyat Indonesia. Presiden Soekarno dalam Indonesia Menggugat bahkan menguatkan kepercayaan tentang Ratu Adil sebagai paham yang timbul karena penderitaan. Senada dengan yang diungkapkan Nikolay Berdyaev, Soekarno mengatakan:

Tuan-tuan Hakim, apakah sebabnya rakyat senantiasa percaya dan menunggu-nunggu datangnya Ratu Adil, apakah sebabnya sabda Prabu Jayabaya sampai hari ini masih terus menyalakan harapan rakyat ? Tak lain ialah karena hati rakyat yang menangis itu, tak habis-habisnya menunggu-nunggu, mengharap-harapkan datangnya pertolongan. Sebagaimana orang yang dalam kegelapan, tak berhenti-berhentinya menunggu-nunggu dan mengharap-harap kapan, kapankah matahari terbit?

Apa dan siapa sebenarnya Ratu Adil, sang Mesias Indonesia tersebut? Konsep Ratu Adil berasal dari seorang raja Mataram, Prabu Jayabaya yang hidup di abad 12. Di masa hidupnya ia meramalkan akan datangnya masa kelam di mana bencana menjadi hal yang biasa terjadi. Tidak hanya alam yang akan menyebabkan terjadinya bencana bagi manusia, melainkan juga dari manusia itu sendiri. Kehidupan sosial akan didominasi oleh orang-orang licik dan menindas sesamanya. Namun, masa itu akan segera berganti ketika sosok Ratu Adil datang dan membawa pembebasan dan kesejahteraan bagi rakyat. Pada masa itulah Nusantara akan memasuki zaman keemasannya. Sebuah zaman baru tanpa penindasan dan kelaparan.

Seiring berkembangnya zaman dan interaksi intelektual antara kaum bumiputera dan dunia Barat, Ratu Adil pun mengalami pergeseran makna. Ramalan Jayabaya yang tadinya merujuk pada suatu figur yang akan datang, kini dipahami sebagai suatu sistem di dalam pemerintahan. Melalui sistem rakyat dapat hidup sejahtera dan memperoleh pembebasan. Pada pidato tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengatakan:

Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimaksud dengan faham Ratu Adil, ialahsociale rechtvaardigheid.Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan Ratu-Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.

Dalam pidato tersebut, Soekarno secara tegas menyebut kata Ratu Adil. Namun tidak seperti faham tradisional yang menganggap Ratu Adil adalahfigur, presiden Indonesia pertama itu lebih merujuk kata Ratu Adil padasociale rechtvaardigheid,yang juga tercantum di dalam Pancasila sila ke 5, yaitu Keadilan Sosial.

Ratu Adil kemudian terejawantah menjadi suatu Negara. Ia bukan lagi figur personal, melainkan sebuah negara. Di sin Indonesia sebagai sebuah kekuatan administratif (negara) adalah keharusan untuk mewujudkan kepentingan bersama. Negara menjadi alat untuk mengakomodir kepentingan bersama dan membawa pada tujuan paripurna cita-cita bangsa. Dalam pembukaan UUD 1945 alinea 4 tertulis peran Negara sebagai berikut.

untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,

Meski kata Ratu Adil dimoderasi dan dijadikan ideologi oleh Soekarno,jika dicermati ia ternyata juga membuka celah bagi tafsir tradisional. Tengoklah kutipan di atas, saat ia mengatakan menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan,di bawah pimpinan Ratu-Adil. Di sini ia menampilkan kembali Ratu Adil sebagai sebuah figur. Entah disengaja atau tidak, namun interpretasi rakyat kebanyakan yang hadir atau mendengarkan dari siaran radio saat itu sontak dapat mengenakan predikat Ratu Adil pada diri Soekarno sebagai pemimpin saat itu.

Soekarno jelas pernah menjadi figur yang menyatukan Indonesia. Tetapi penyatuan Indonesia saja nampaknya belum cukup untuk membuat rakyat sejahtera dalam sebuah ikatan bernama negara. Pasca Soekarno, Soeharto sebagai presiden terpilih ke 2 mencoba menyejahterakan rakyat melalui sistem pembangunan material yang digagasnya. Sayangnya sistem ini tidak dilandasi oleh pembangunan mental. Alih-alih menyejahterakan rakyat banyak, yang terjadi justru Indonesia mengalami ketergantunganpada dunia Barat, yang hampir pula menenggelamkan kepribadian bangsa.

Apakah dengan berakhirnya pemerintahan Soeharto, ide mesianis bangsa Indonesia berakhir dengan materialisme? Nampaknya tidak. ide mesianis terlalu lentur untuk patah dalam perjalanan sejarah. Di masa pasca Soeharto, ide mesianis melebur dalam semangat reformasi. Reformasi kemudian menjadi tolok ukur kebangsaan. Seseorang dapat dikatakan reformis atau antek Orba. Ukuran ini laksana ukuran halal atau haram di dalam suatu agama. Namun tentu saja tidak ada imbalan surga atau neraka dibalik ide reformasi.

Jokowi Sang Ratu Adil?Sejak Reformasi dipertengahan tahun 90-an yang seperti berjalan di tempat. Rakyat menemukan suatu kejenuhan akan jargon-jargon yang berlaku. Elit-elit politik ternyata tidak pernah berubah, tetap mengabdi pada kekuasaan dan tidak pernah bersama dengan rakyat. Rakyat pun hanya menjadi penonton dari keangkuhan dan pendengar setia janji-janji politis.

Hingga suatu saat muncullah suatu namandesoyang dianggap sebagai Ratu Adil. Joko Widodo atau Jokowi dengan kesederhanaannya lantas dikait-kaitkan dengan Ratu Adil. Menjelang pemilu lalu, jargon-jargon mesianik tentang Ratu Adil bermunculan dalam diskusi-diskusi warung kopi hingga ke jejaring sosial.

Kini ide mesianis kembali ke paradigma tradisional. Mesias, sang Ratu Adil adalah figur personal yang akan memberi pembebasan. Hal yang menjadi nyata dalam majunya Jokowi dan hantaman keras dari lawan-lawan politiknya, serta aksi diam tak membalas sang calon presiden itu semakin menguatkan klaim mesianis rakyat biasa pada Jokowi.

Yang menarik dari fenomena Jokowi sebagaipresiden terpilih Indonesia adalah ia nampaknya sadar bahwa klaim Ratu Adil pada dirinya itu berbahaya. Suatu saat klaim seperti ini dapat membawa pada bencana personal jika ia gagal mengemban tugas. Upaya mengembalikan Ratu Adil menjadi sebuah sistem pun selalu dilakukan. Tentu hal ini bisa dilihat juga sebagai sebuah usaha penyadaran bahwa kesejahteraan itu adalah urusan bersama dan bukan bergantung pada sosok Ratu Adil secara personal.

Dengan mengembalikan ide pembebasan dan juga kesejahteraan pada usaha bersama, dapat dilihat moderasi ide Ratu Adil atau mesianisme adalah kita. Kita adalah Ratu Adil dan kita lah yang akan mengubah keadaan korup, culas, munafik, bangsa tak berkepribadian, dan jagoan ngutang, menjadi bangsa yang mandiri dan bermartabat. Tentu hal ini berarti berat bagi rakyat yang selama ini hanya menuntut dan berdemo jika tuntutannya tak dipenuhi. Paradigma rakyat kini diubah menjadi pelaku perubahan itu sendiri. Jika bangsa ini mau maju atau tetap berjalan ditempat, maka itu menjadi tanggung jawab bersama.

Kini pertanyaan kembali kepada kita. Sanggupkah kita sebagai rakyat menjadi Ratu Adil bagi bangsa ini? Sanggupkah kita menilai diri sendiri sebagai pembebas bagi bangsa ini?

http://penggugattuhan.blogspot.com/2014/10/normal-0-false-false-false.htmlA.PendahuluanApa itu mesianisme? Mesianisme merupakan konsep yang berisi suatu pengharapan akan hadirnya sosok pembebas atau penyelamat manusia di dalam penderitaannya. Kata ini sebenarnya berasal dari bahasa IbraniMasyiakhyang berarti yang diurapi. Peran yang diemban oleh seorang mesias adalah sebagai pembebas manusia dari rasa ketertindasannya di dunia ini. Martin Kavka mendefinisikan mesias sebagai berikut:

Secara tradisional mesianisme yahudi tidak hanya merujuk pada penebusan umum Israel dan dunia dalam arti konkret yaitu historis dan politis, melainkan juga merujuk pada harapan akan figure tertentu yang menjadi saluran dan perantara bagi Yang Ilahi. Figur yang diurapi, baik itu adalah raja, pendeta, atau orang suci, mengejawantahkan kerajaan ilahi dalam hubungannya dengan Bukit Zion (Mazmur 2:6), Kediaman Allah (Yesaya 8:18).Dengan demikian, harapan akan figure mesianis yang membawa damai dan otonomi politik bagi Israel juga merupakan pengharapan akan kedekatan (nearness) Allah bagi bangsa tersebut, yang dicapainya melalui perantaraan figure manusiawi sang mesias.[1]Messianisme adalah suatu gerakan sosial yang dikendalikan, dan sebagai suatu kepercayaan, messianisme dapatditemukan dalam agama zoroaster Persia, Yahudi, Kristen dan Islam. Messiah merupakan doktrin tentang kedatangan seorang penebus yang disambut sebagai pahlawan dan pembangun dengan karakter yang khas, pembangunan itu tidak hanya memengaruhi pemikiran agama di Barat tetapi juga memberikan inspirasi dalam gerakan sekular modern.[2]Keyakinan, harapan dan kebangkitan dunia ini telah memperoleh ungkapan klasiknya dalam visi nabi messianik. Dalam literature profetik versi messianic bersandar pada tekanan antara apa yang terjadi dan apa yang belum ada. Pada post-profetik, makna ide messianic mengalami perubahan, yang muncul pertama dalam kitab Daniel, sekitar 164 SM. Di dalam literatur pseudo epigrafik yang tidak terhimpun dalam kumpulan perjanjian lama.[3]Literatur ini mempunyai ide vertikal tentang penyelamatan sebagai lawan terhadap ide horisontal dari para nabi. Curahan perhatiannya pada tranformas individu atau secara luas pada tujuan katastropis sejarah, yang berlangsung pada hari kiamat. Versi apokalipstik ini bukan merupakan alternatif-alternatif melainkan merupakan ramalan, bukan kebebasan melainkan ketentuan.Sedangkan dalam pandangan, Kristen; Messianisme selain meyakini Yesus sebagai juru selamat yang telah mengorbankan dirinya untuk disalib, juga memercayai tentang akan datangnya seorang juru selamat lain setelahYesus. Keterangan mengenai ini tersebut dalam Gospel John. Teks Gospel John menyebut dengan jelas nama Parakletos (Paraclet) sebagai pemimpin masa depan itu.[4]B.Mesianisme dalam Pandangan IslamPada masyarakat Islam, kedatangan Imam Mahdi diakhir zaman merupakan ide messianistik yang sangat diyakini.Abdul Aziz Abdul Hussein Sachedina dalam bukunya Islamic Messianis menuliskan messianisme dalam Islam sebagai berikut:Konsep messianisme dalam agama Islam berbeda dengan messianisme dalam agama-agama sebelumnya.Jika dalam agama Yahudi maupun Nasrani para nabinya selain sebagai penerima wahyu dariTuhan sekaligus juga dipersonifikasikan sebagai juru selamat.Dalam agama islam sang juruselamat itubukanNabi Muhammad SAW, tetapi seorang figure yang disebut dengan Imam Mahdi. Imam Mahdi akan datang sebagai penyelamat manusia setelah disesatkan oleh Dajjal.[5]Konsep Mahdiisme, keimanan akan datangnya Al-mahdi (Al-Mahdiberarti "orang yang mendapat petunjuk)yang dijanjikan,dalam Islam, didasarkan pada pandangan tentang masa depan Islam, umat manusia dan dunia. Imam Mahdi sering digambarkan sebagai sosok penyelamat manusia dari kebobrokan moral diakhir jaman menjelang kiamat. Keadaan manusia diakhir jaman itu digambarkan sebagai keadaan yang penuh dengan kemaksiatan, kerusakan akhlak terjadi dimana-mana, manusia tidak lagi menyembah Allah. Dengan demikian Imam Mahdi tidak datang untuk menyelamatkan manusia penindasan suatu kaum atau rezim, tetapi datang untuk mengembalikan manusia pada kemurnian akidah dan tauhid.[6]Konsep Mahdiisme ini dipegang teguh oleh pengikut SyiahItsna Atsariyah,sekte ini menganggap bahwa Imam kedua belas, Muhammad Al-Mahdi, dinyatakanghoibah(occultation). Pada tahun260 AH/874 M(Zaman Dinasti Buwaihi), pada saat kematian ayahnya, dan itu berlangsung hampir 70 tahun. Di Samarra di Irak, di samping kuil para Imam kesepuluh dan kesebelas, adalah masjid di mana ada sebuah gua dari mana Imam Mahdi dikatakan telah hilang[7]ketika ia berusia lima tahun. Gua ini adalah tempat retret dan meditasi untuk kesebelas Imam dan anaknya, dan juga tempat bersembunyi dari agen Abbasiyah[8].Selama kegaiban ini, ImamMuhammad Al-Mahdi bersembunyi di ruang bawah tanah rumah ayahnya di samara dan tidak kembali. Itulah sebabnya, kembalinya imam Al-Mahdi ini selalu ditunggu-tunggu pengikut sekte SyiahItsna Asyariyahatau yang disebut Doktrin Intizar.[9]Ciri khas kehadiranyaadalah sebagai ratu adil yang akan turun di akhir zaman. Oleh karena inilah, Muhammad Al-Mahdi dijulukisebagai Imam Mahdi Al-Muntazhar.C.Legalitas dan Pendapat Tokoh-TokohDari Ummu Salamah Radhiyallahu Anha, ia mengatakan: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: Al-Mahdi dari keluargaku dari putra Fathimah. (Shahih, HR. Abu Dawud dan ini lafadznya, Shahih Sunan no. 4284, Ibnu Majah no. 4086, dan Al-Hakim no. 8735, 8736)Dari Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu Anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam telah bersabda: Al-Mahdi dariku, dahinya lebar, hidungnya mancung, memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana (sebelumnya) telah dipenuhi dengan kedzaliman, berkuasa selama 7 tahun. (Hasan, HR. Abu Dawud no. 4285 dan ini lafadznya, IbnuMajah no. 4083, At-Tirmidzi, Kitabul Fitan Bab Ma Ja`aFil Mahdi no. 2232, Ibnu Hibban no. 6823, 6826)Riffat Hasan menyatakan bahwa: "munculnyaMessianismetidak sesuai dengan ajaran Al Qur'an , namun di dunia Muslim itu adalah fenomena yang luas, memainkan peran penting dalam kehidupan banyak muslim masa kini dari semua segmen masyarakat "[10]Fazlur Rahman,menunjukkanbahwa Messianismebukanlah bagian dari Islam yang asli. Dia menyatakan: "Adapun Messianism, awalnya diadopsi dalam Islam baikSyiah,Sunniatau tasawuf, tetapi dalam halini paham messianisme dibawa olehpara Sufi[11]Ali Syariatimengakui bahwa "Insting kerinduan terhadap sosokpenyelamat adalah fenomena universal dalam semua kebudayaan manusia dan kerinduan Islam untuk Mahdi identik dengan harapan dalam kekristenan dari kedatangan Kristus yang kedua dan harapan universal untuk membangun "zaman keemasan[12]".Menurut Syari'ati, Messianism dan futurisme di Islam Syi'ah adalah hasil dari "sintesis antara idealisme dan realitas" Islam, ambisi untuk mengembalikan cita-cita hanya aturan Ali. Untuk merekonstruksi seperti masa lalu ideal, Syari'ati percaya, yang tertindas (mustad'afin) dari bumi harus berusaha untuk "masyarakat tanpa kelas" di mana keadilan dan kesetaraan akan menang atas eksploitasi, imperialisme dan tirani.

[1]Martin Kavka. 2004.Jewish Messianism and the Historyof Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press. Hlm.7

[2]Kohn, H., 1959, Messianism dalam Edwin R.A. Seligman (eds)Encyclopediaof the Social Sciences, Volume Nine, The Macmullan Company, New York.,hlm. 356

[3]Fromm, E., 1999,RevolusiHarapan, PustakaPelajar, Yogyakarta,hlm.17[4]Bucaille, M., 1978,Bibel, QorandanSains Modern, Alihbahasa; HM. Rasjidi,BulanBintang Jakarta,hlm.154[5]Sachedina, A.A., 1981, Islamic Messianisme: The Idea of the Mahdi in TwelverShiism, State university of New York Press, New York,hlm.1[6]Mutahhari, Murtadha,Kritik Islam terhadapMaterialisme,, Jakarta: Risalah Musa, 1991.,hlm.61

[7].Momen, Moojan, AnIntroductionto Shi'iIslam, Yale University Press, 1985,hlm.161[8]H.Corbin, En Islam iranien: Aspects spirituels et philosophiques, II: Sohrawardi et les platoniciens de Perse, (Paris: , 1971),hlm 322[9]] Majlisi, Bihar al-Anwar, Vol. 52, Bab Fazl al-Intizar va madh al-Syiah fi zaman al-ghayba, hlm 122-127.[10];R.Hassan, 'MessianismandIslam', in Journal of Ecumenical Studies, 22 (1985), pp. 261-291. 5 Cf. e.g[11]FazlurRahman,Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982),hlm.245[12]Art Awaiting The Saviour , Trans, HomaFarjadi (Shariati Foundation and Hamdami Publishers, Tehran 1979).,hlm.4[13]http://mustafa20.deviantart.com/Diposkan olehcacing padang pasirdiWednesday, June 26, 2013http://cacingpadangpasir.blogspot.com/2013/06/beberapa-konsep-mesianisme.html