hambatan uu no 13 tahun 2000

Upload: sandra-tri-septarini

Post on 12-Oct-2015

41 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Hambatan Pelaksanaan UU No.13 Tahun 2000 Terhadap Tenaga Kerja Wanita

TRANSCRIPT

i

Kendala Penegakan Hukum UU No.13 2003 Terhadap Hak Wanita

Di Susun Oleh :Nama: Sandra Tri SeptariniNIM: 0611 3031 1453Kelas: 6 ELCMata Kuliah : K3POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA

PALEMBANG

2014BAB I

PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Dewasa ini, dimana dunia telah berkembang menjadi dunia emansipasi wanita, yaitu wanita mempunyai hak untuk turun langsung dalam proses hukum, khususnya di Indonesia. Banyak hal yang telah menjadi tuntutan wanita selama ini, diantaranya adalah hak untuk memiliki kesetaraan di muka hukum dan hak untuk memiliki kesetaraan kesempatan dalam memperoleh pekerjaan. Berbicara masalah kesetaraan kesempatan dan perlakuan di dalam pekerjaan dan jabatan, sebenarnya UU No. 13 tahun 2003 Pasal 6 telah mengatur mengenai larangan adanya diskriminasi di dalam memperoleh pekerjaan dan jabatan, walaupun di dalam ketentuan tersebut tidak diberikan penjabaran lebih lanjut mengenai batasan-batasan terhadap diskriminasi tersebut. Sebenarnya dapat diberikan terminologi terlebih dahulu terhadap beberapa hal mengenai diskriminasi itu sendiri.

Diskriminasi dalam pengertian discrimination sebenarnya mencakup pengertian perbedaan yang luas, tidak hanya pada jenis kelamin akan tetapi juga pada SARA (suku, agama dan ras) bahkan juga pada perbedaan pandangan politik. Perbedaan pandangan politik, pada beberapa dekade yang lalu yaitu pada masa Pemerintahan Orde Baru bahkan telah mengancam tidak saja penganut pandangan politik yang berbeda tetapi juga dengan anak keturunannya (yang kemudian kita kenal sebagai keturunan eks TAPOL G 30 S PKI) untuk memperoleh kesempatan yang sama di dalam segala hak-haknya sebagai warganegara Indonesia termasuk untuk mendapat pekerjaan yang layak.

Hubungan kerja itu sendiri merupakan hubungan hukum, karena hubungan kerja adalah hubungan hukum antara pengusaha dan pekerja/buruh, maka segala sesuatu yang diputuskan oleh kedua belah pihak merupakan keputusan yang dapat diproses oleh badan hukum. Hal-hal yang sering terjadi adalah tidak diberlakukannya UU ketenagakerjaan dalam proses penerimaan pegawai, khususnya diskriminasi terhadap wanita. Akibat adanya diskriminasi dalam dunia kerja tersebut menimbulkan adanya pembicaraan terhadap hak wanita dalam dunia ketenagakerjaan di bidang hukum. Hak-hak wanita itu sendiri tidak lain meliputi hak-hak wanita dalam memperoleh pekerjaan tanpa adanya diskriminasi. Untuk itu penulis membahas tentang kendala penegakan hukum tentang hak wanita.1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada tugas ini adalah antara lain :

1. Bagaimana cara mengatasi kendala hak wanita supaya hak wanita bisa ditegakkan secara tegas ?2. Bagaimana hukum di Indonesia menyikapi tentang hak wanita ?BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1 Perlindungan Pekerja Perempuan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang KetenagakerjaanDalam Pasal 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa,Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.Berdasarkan pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan Pekerja Wanita adalah Tenaga Kerja Wanita dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja dengan menerima upah.Aturan hukum untuk pekerja perempuan ada yang berbeda dengan pekerja laki-laki, seperti cuti melahirkan, pelecehan seksual di tempat kerja, jam perlindungan dan lain-lain.1. Pedoman Hukum Bagi Pekerja WanitaPelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja wanita berpedoman pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya Pasal 76, 81, 82, 83, 84, Pasal 93, Kepmenaker No. 224 tahun 2003 serta Peraturan Perusahaan atau perjanjian kerja bersama perusahaan yang meliputi:a. Perlindungan Jam KerjaPerlindungan dalam hal kerja malam bagi pekerja wanita (pukul 23.00 sampai pukul 07.00). Hal ini diatur pada pasal 76 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Tetapi dalam hal ini ada pengecualiannya yaitu pengusaha yang mempekerjakan wanita pada jam tersebut wajib:1) Memberikan makanan dan minuman bergizi2) Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja3) Menyediakan antar jemput bagi pekerja perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 05.00.Tetapi pengecualian ini tidak berlaku bagi pekerja perempuan yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun ataupun perempuan hamil yang berdasarkan keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya apabila bekerja antara pukul 23.00 07.00. Dalam pelaksanaannya masih ada perusahaan yang tidak memberikan makanan dan minuman bergizi tetapi diganti dengan uang padahal ketentuannya tidak boleh diganti dengan uang.b. Perlindungan dalam masa haidPadal Pasal 81 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur masalah perlindungan dalam masa haid. Perlindungan terhadap pekerja wanita yang dalam masa haid tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid dengan upah penuh. Dalam pelaksanaanya lebih banyak yang tidak menggunakan haknya dengan alasan tidak mendapatkan premi hadir.c. Perlindungan Selama Cuti HamilSedangkan pada pasal 82 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur masalah cuti hamil. Perlindungan cuti hamil bersalin selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan dengan upah penuh. Ternyata dalam pelaksanaannya masih ada perusahaan yang tidak membayar upah secara penuh.d. Pemberian Lokasi MenyusuiPasal 83 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur masalah ibu yang sedang menyusui. Pemberian kesempatan pada pekerja wanita yang anaknya masih menyusui untuk menyusui anaknya hanya efektif untuk yang lokasinya dekat dengan perusahaan.2. Peranan Penting Dinas tenaga KerjaPeran Dinas Tenaga Kerja dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja wanit yakni dengan melalui pengesahan dan pendaftaran PP & PKB Perusahaan pada Dinas Tenaga Kerja, Sosialisasi Peraturan Perundangan di bidang ketenagakerjaan dan melakukan pengawasan ke Perusahaan.3. Hambatan-Hambatan Hukum Bagi Pekerja WanitaHambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja wanita adalah adanya kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha yang kadang menyimpang dari aturan yang berlaku, tidak adanya sanksi dari peraturan perundangan terhadap pelanggaran yang terjadi, faktor pekerja sendiri yang tidak menggunakan haknya dengan alasan ekonomi.Agar langkah ini dapat efektif maka negara harus menjabarkannya dan mengusahakan untuk memasukkan jabaran konvensi tersebut ke dalam rumusan undang-undang negara dan menegakkannya dengan cara mengajukan para pelanggarnya ke muka sidang pengadilan. Namun demikian, preempuan sendiri masih belum banyak yang sadar bahwa hak-haknya dilindungi dan bahwa hal tersebut mempunyai pengaruh terhadap kehidupan perempuan. Adalah sangat prematur untuk mengadakan bahwa CEDAW sudah dihormati dan dilaksanakan secara universal.CEDAW memerintahkan kepada seluruh negara di dunia untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap perempuan. Di dalam CEDAW ditentukan bahwa diskriminasi terhadap perempuan adalah perlakuan yang berbeda berdasarkan gender yang:a. Secara sengaja atau tidak sengaja merugikan perempuan;b. Mencegah masyarakat secara keseluruhan memberi pengakuan terhadap hak perempuan baik di dalam maupun di luar negeri; atauc. Mencegah kaum perempuan menggunakan hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang dimilikinya.Perempuan mempunyai atas perlindungan yang khusus sesuai dengan fungsi reproduksinya sebagaimana diatur pada pasal 11 ayat (1) CEDAW huruf f bahwa hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja termasuk usaha perlindungan terhadap fungsi reproduksi.Selain itu seringkali adanya pemalsuan dokumen seperti nama, usia, alamat dan nama majikan sering berbeda dengan yang tercantum di dalam paspor. Tenaga kerja yang tidak berdokumen tidak diberikan dokumen perjanjian kerja. Hal ini juga sering terjadi pada pekerja perempuan yang bekerja di luar negeri. Maka untuk itu CEDAW pada pasal 15 ayat (3) mengatur yaitu negara-negara peserta bersepakat bahwa semua kontrak dan semua dokumen yang mempunyai kekuatan hukum, yang ditujukan kepada pembatasan kecakapan hukum para wanita, wajib dianggap batal dan tidak berlaku.2.2 Perlindungan Pekerja Perempuan Berdasarkan Konvensi ILOKonvensi ILO Nomor 45 tentang Kerja wanita dalam semua macam tambang di bawah tanah. Isi Pasal 2 menyebutkan bahwa setiap wanita tanpa memandang umurnya tidak boleh melakukan pekerjaan tambah di bawah tanah. Pengecualiannya terdapat pada pasal 3.Dalam konvensi ILO Nomor 100 mengenai Pengupahan Bagi Laki-Laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama nilainya menyebutkan, Pengupahan meliputi upah atau gaji biasa, pokok atau minimum dan pendapatan-pendapatan tambahan apapun juga, yang harus dibayar secara langsung atau tidak, maupun secara tunai atau dengan barang oleh pengusaha dengan buruh berhubung dengan pekerjaan buruh.Hak untuk menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhir pada saat hubungan kerja putus. Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh diskriminasi antara buruh laki-laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya. BAB IIIPEMBAHASANPerbedaan di dalam kesempatan dan perlakuan di lapangan kerja sering diisukan sebagai sebagai isu gender, yang kemudian sering diasosiasikan sebagai perbedaan jenis kelamin antara pria dan wanita di dalam berbagai bidang, juga dalam memperoleh pekerjaan dan jabatan. Isu gender ini sebenarnya sudah sering pula diantisipasi oleh undang-undang ketenagakerjaan kita, bahkan sejak zaman penjajahan Hindia Belanda yang beberapa di antaranya adalah Staadblad 1947 No.348 tentang Kesehatan Kerja yang kemudian menjadi UU No. 12/1948 tentang Kesehatan Kerja. Dalam undang-undang tersebut diatur larangan pekerjaan bagi wanita,anak-anak dan orang muda.

Di kalangan pengambil keputusan dan pelaksana program di beberapa instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah, pernah diajukan pertanyaan mengenai gender dengan penjelasan yang terbatas tentang peran dan tanggung jawab atau keseimbangan antara peran laki-laki dan perempuan di dalam keluarga dan masyarakat. Beberapa ungkapan tentang gender sebagai berikut :

1. Laki-laki dan perempuan sesuai dengan peran dan fungsinya di dalam keluarga, social juga ditambahkan bahwa gender adalah perbedaan status antara laki-laki dan perempuan (Depnakertrans)

2. Gender pada dasarnya merupakan konsep yang membedakan antara laki-laki dan perempuan bukan berdasarkan biologisnya semata melainkan dikaitkan dengan peran, fungsi, hak,sifat, perilaku yang direkayasa social. Oleh karena itu pemahaman tentang gender dapat berubah dan sangat tergantung pada budaya setempat yang mendukung (Depag)

3. Penerapan keadilan dan kesetaraan gender (Depdagri)

4. Sebuah istilah yang digunakan sebagai pendekatan dalam pemberdayaan perempuan (Deptan)

5. Sudah ada kesamaan kedudukan antara wanita dan laki-laki baik di dalam pekerjaan maupun dalam social kecuali dalam agama

6. Gender artinya tidak ada perbedaan jabatan dan pekerjaan

7. Gender artinya mengenai wanita

8. Gender artinya tentang perempuan, ada perlindungan dan pemberdayaan

9. Kesetaraan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan

10. Konstruksi sosial yang tidak membedakan antara jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan

Begitu banyak istilah maupun konotasi yang timbul dari pemahaman mengenai gender, sehingga arti harafiahnya sendiri menjadi tercerabut dari akarnya. Gender menurut pengertian dalam kamus Inggris- Indonesia adalah jenis kelamin antara pria dan wanita. Akan tetapi di dalam kehidupan bermasyarakat, pengertian gender menjadi luas makna dan konotasinya. Gender juga harus dibedakan dengan pengertian stereotype. Pengertian mengenai stereotype sendiri sebenarnya tidak hanya sebatas ruang lingkup gender, tetapi juga pada agama, adat istiadat, suku bangsa dan bahasa. Menurut pemahaman penulis sendiri, stereotype cenderung berkonotasi negatif, sedangkan gender tidak dapat dikatagorikan negatif.

Reaksi pembentuk undang-undang terhadap isu gender sebenarnya sudah banyak ditanggapi di dalam peraturan perundang-undangan. Untuk merespon program legislasi nasional (prolegnas) 2005-2009 yang mengagendakan sejumlah RUU terkait penegakan HAM perempuan, seperti UU trafficking, RUU revisi UU Kesehatan, RUU Revisi Kewarganegaraan, Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) membuat langkah politis untuk mendesak agenda proleg untuk kepentingan penegakan HAM perempuan.Konsep mengenai perlindungan hukum belum memiliki batasan-batasan yang diakui secara keilmuan. Selaras dengan hal itu, Harjono berpendapat bahwa Para pengkaji hukum belum secara komprehensif mengembangkan konsep perlindungan hukum dari perspektif keilmuan hukum. Banyak tulisan-tulisan yang dimaksudkan sebagai karya ilmiah ilmu hukum baik dalam tingkatan skripsi, tesis, maupun disertasi yang mempunyai tema pokok bahasan tentang perlindungan hukum. Namun tidak secara spesifik mendasarkan pada konsep-konsep dasar keilmuan hukum secara cukup dalam mengembangkan konsep perlindungan hukum. Bahkan dalam banyak bahan pustaka, makna dan batasan-batasan mengenai perlindungan hukum sulit ditemukan, hal ini mungkin didasari pemikiran bahwa orang telah dianggap tahu secara umum apa yang dimaksud dengan perlindungan hukum sehingga tidak diperlukan lagi sebuah konsep tentang apa yang dimaksud Perlindungan Hukum[1].

Perlindungan hukum atau dalam bahasa Inggris disebut legal protection dan dalam bahasa Belanda disebut rechtsbecherming. Harjono mencoba untuk memberikan pengertian terhadap perlindungan hukum yaitu sebagai perlindungan dengan menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum, ditujukan kepada perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu, yaitu dengan cara menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi tersebut ke dalam sebuah hak hukum[2]. Dengan kata lain perlindungan hukum adalah perlindungan yang diberikan dengan berlandaskan pada hukum dan Undang-Undang.

Perlindungan hukum terhadap pekerja merupakan pemenuhan hak dasar yang melekat dan dilindungi oleh konstitusi sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 Tiap tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan Pasal 33 ayat (1) yang menyatakan bahwa Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas kekeluargaan. Pelanggaran terhadap hak dasar yang dilindungi konstitusi merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja dan menjamin kesamaan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha dan kepentingan pengusaha. Peraturan perundang-undangan yang terkait denganperlindungan bagi pekerja Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pelaksana dari perundang-undangan di bidang Ketenagakerjaan.

Hak-hak dasar buruh adalah instrumen yang mampu memberikan kesadaran kepada kaum buruh untuk berjuang dalam mempertahankan dan mengupayakan apa yang menjadi haknya. Kaum buruh memerlukan dukungan dari semua pihak dalam mengupayakan perlindungan terhadap haknya karena sebagaimana disebutkan di atas bahwa kedudukan buruh dan pengusaha yang tidak sejajar menyebabkan buruh menjadi obyek penderita dalam skenario hubungan ketenagakerjaan. Kelompok rentan dari golongan buruh yang sangat memerlukan perlindungan adalah buruh perempuan. Penyebabnya adalah paradigma dalam berbagai peradaban, konstruksi sosial, bahkan adanya kebudayaan yang masih memberikan pembeda berdasarkan gender, menempatkan posisi perempuan di bawah laki-laki, memberikan label pada perempuan sebagai makhluk yang lemah, rentan dan mudah ditindas. Hal tersebut membuat buruh perempuan sering mendapat perlakuan diskriminasi, tidak menyenangkan, bahkan tindak pelecehan. Di sisi lain buruh perempuan juga memiliki perbedaan bersifat kodrat yang merupakan pemberian Tuhan Yang Maha Esa bersifat permanen dan tidak dapat di ubah. Berdasarkan kodrat itulah kemudian timbul hak-hak istimewa sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yaitu hak reproduksi seperti cuti haid, hamil, melahirkan, menyusui, dan lain sebagainya. Dalam prakteknya hak-hak tersebut seringkali tidak diberikan dan pemegang hak hanya pasrah tanpa bisa berbuat apapun.

Secara umum perlindungan hukum bagi pekerja/buruh atau disebut juga perlindungan kerja menurut Imam Soepomo sebagaimana yang di kutip oleh Agusmidah, terbagi menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut.

Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup memenuhi keperluan sehari-hari baginya beserta keluarganya, termasuk dalam hal pekerja tersebut tidak mampu bekerja karena sesuatu di luar kehendaknya. Perlindungan ini disebut dengan jaminan sosial.

Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengenyam dan mengembangkan prikehidupannya sebagai manusia pada umumnya, dan sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga; atau yang biasa disebut kesehatan kerja.

Perlindungan teknis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan oleh pesawat-pesawat atau alat kerja lainnya atau oleh bahan yang diolah atau dikerjakan perusahaan. Perlindungan jenis ini disebut dengan keselamatan kerja.[3]Secara umum perlindungan hukum dibedakan menjadi dua yaitu:

1)Perlindungan Hukum Pasif

Berupa tindakan-tindakan dari luar (selain buruh/pekerja) yangmemberikan pengakuan dan jaminan dalam bentuk pengaturan dankebijaksanaan berkaitan dengan hak pekerja wanita.

2)Perlindungan Hukum Aktif

Berupa tindakan dari pekerja wanita yang berkaitan dengan upaya pemenuhan hak-haknya. Perlindungan hukum aktif ini dibagi menjadi dua yaitu:

a.Perlindungan hukum aktif-preventif, yaitu berupa hak-hak yang diberikan oleh pekerja wanita berkaitan dengan penerapan aturan ataupun kebijaksanaan pemerintah ataupun pengusaha yang akan diambil sekiranya mempengaruhi atau merugikan hak -hak pekerja wanita.

b.Perlindungan hukum aktif-represif, yaitu berupa tuntutan kepada pemerintah atau pengusaha terhadap pengaturan maupun kebijaksanaan yang telah diterapkan kepada pekerja wanita yang dipandang menimbulkan kerugian.[4]Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah memberikan perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan terkait dengan kekhususan perempuan itu sendiri yakni perlindungan yang didasarkan fungsi biologisnya. Fungsi biologis perempuan yang membedakannya dengan laki-laki adalah fungsi dalam reproduksi, oleh karena itu pekerja/buruh perempuan memiliki hak yang dinamakan hak reproduksi. Berikut ini adalah beberapa Pasal dalam Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003 yang merupakan bentuk perlindungan terhadap hak reproduksi pekerja/buruh perempuan.

1.Haid (Pasal 81 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003),

(1)Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.(2)Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.2.Melahirkan (Pasal 82Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003),

Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.3.Keguguran (Pasal 82Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003),

Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran berhak memperoleh istirahat1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandunganatau bidan.4.Menyusui (Pasal 83Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003),

Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selamawaktu kerja.

Khusus bagi ketentuan dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yaitu mengenai istirahat melahirkan dan istirahat akibat keguguran, pengusaha harus tetap memberi upah penuh sebagaimana tertea pada Pasal 84 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang berbunyisebagai berikut.

Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahata sebagaimana dimaksuddalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80 dan Pasal 82 berhak mendapat upah penuh.

Hubungan kerja yaitu suatu hubungan antara pihak penerima kerja dengan buruh/pekerja, dimana hubungan ini sendiri berarti mengikatkan diri dari kedua belah pihak terhadap Undang-Undang atau hukum yang berlaku di indonesia. Tetapi pada kenyataannya sering kali sang penerima kerja tidak mempekerjakan buruh/pekerja wanita sebagaimana yang telah diatur oleh Undang-Undang, contohnya saja hak-hak yang didapatkan wanita yang tertuang pada UU No.13 Tahun 2003 Pasal 82, yang menyatakan bahwa wanita mempunyai berbagai macam hak, diantaranya adalah hak reproduksi. Hak reproduksi ini sendiri merupakan hak yang harus diberikan oleh pengusaha kepada wanita apabila wanita tersebut dalam keadaan haid, melahirkan, keguguran, dan menyusui. Peraturan yang cukup konkrit ini sendiri menimbulkan berbagai spekulasi dari sang pengusaha. Karena pada kenyataannya terdapat pengusaha yang terus memerintahkan pekerja/buruh wanita walaupun sang pekerja tersebut dalam keadaan tidak sehat fisiknya, dengan alasan adanya pekerjaan mendesak dan harus segera diselesaikan. Disamping itu, dengan adanya peraturan yang konkrit terhadap wanita ini juga menimbulkan diskriminasi terhadap wanita untuk memperoleh pekerjaan. Karena tidak sedikit perusahaan yang berpikiran bahwa perusahaannya akan terhambat apabila mepekerjakan wanita. Hal ini lagi-lagi menimbulkan adanya diskriminasi terhadap wanita dalam memperoleh pekerjaan. Kedua hal inilah yang harus diupayakan untuk dapat dikurangi dan dicegah dalam pelaksanaannya.

Menurut saya cara mengatasi kendala hak wanita supaya hak wanita bisa ditegakkan secara tegas adalah dengan cara memperkuat kembali hukum yang ada di Indonesia, dimana telah diketahui bahwa ada UU 13 Tahun 2003 yang menjamin adanya kesetaraan hak dan hak-hak yang harus didapatkan oleh wanita dalam dunia ketenagakerjaan. Yang misalnya apabila terjadi penyimpangan atas ketentuan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 merupakan tindak kejahatan dan dikenakan sanksi pidana sebagaimana di atur pada Pasal 185 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, yang berbunyi sebagai berikut :

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.00,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.400.000.000,00 (empat ratus juta rupah).(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.Selain itu penerapan hukum terhadap wanita itu juga dalam penerapannya memerlukan dukungan dari unsur-unsur lain yang mempengaruhi efektifitas keberlakuan hukum. Karena ketentuan tersebut hanya unsur substansi yang tidak akan berjalan tanpa unsur lain. Efektivitas berlakunya hukum itu sendiri ditentukan oleh lima faktor, yaitu :

1. Hukumnya, misalnya memnuhi syarat yuridis, sosiologis, dan filosofis;2. Penegak hukumnya, misalnya betul-betul telah melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana digariskan oleh hukum yang berlaku;3. Fasilitasnya, misalnya prasarana yang mendukung dalam proses penegakan hukumnya;4. Kesadaran hukum masyarakat;5. Budaya hukumnya, misalnya perlu ada syarat yang tersirat yaitu pandangan Ruth Benedict tentang adanya budaya malu (shome culture) dan budaya rasa bersalah bilamana seseorang melakukan pelanggaran terhadap hukum-hukum yang berlaku (quality feeling).

Kaitan dengan hukum mengenai perlindungan hak reproduksi pekerja/buruh wanita masih terdapat ketentuan yang tidak memiliki sanksi. Kewajiban penegak hukum dalam menegakkan hukum tersebut perlu untuk dibenahi begitu pula dengan fasilitasnya sebagai contoh yaitu fungsi pengawasan yang memiliki masalah tentang jumlah pengawas yang tidak sesuai dengan jumlah yang di awasi. Kesadaran hukum masyarakat harus terus diperbaiki melalui sosialisasi-sosialisasi khususnya terhadap pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan. Budaya hukum dapat dicontohkan dengan budaya pengusaha yang menyalahgunakan makna anti diskriminasi dalam mempekerjakan pekerja/buruh wanita.BAB IV

KESIMPULAN1. Wanita mempunyai hak atas kesetaraan di muka hukum, diantaranya hak untuk tidak berlakunya diskriminasi dalam memperoleh pekerjaan. 2. Wanita harus mempunyai pengetahuan akan hak-hak yang didapatkannya dalam dunia ketenagakerjaan.3. Untuk mempertegas peraturan terhadap wanita diperlukan lima faktor penguat peraturan tersebut, dan juga diperlukan pengawasan terhadap penerapannya. DAFTAR PUSTAKA1. Agusmidah, 2010, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Dinamika & Kajian Teori, Ghalia Indonesia, Bogor. Hal.61

2. Winahyu Erwiningsih, Masalah -Masalah Tenaga Kerja di Sektor Informal dan Perlindungan Hukumnya, ar tikel pada Jurnal Hukum, Vol.1 Nomor 3, PSH Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1995, hlm. 24-25.

3. R.Otje Salman, 1993, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Penerbit Alumni, Bandung. Hal 62

4. http://www.hukumtenagakerja.com/ , diakses 19 Mei 2014 pukul 20.00

5.http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo- jakarta/documents/presentation/wcms_203337.pdf , diakses 21 Mei 2014 pukul 20.30