ham sebagai isu global.rtf

8
HAM SEBAGAI ISU GLOBAL Oleh : Bagya Agung Prabowo, SH, MHum Banyak usaha dari sementara kalangan di Masyarakat Eropa (ME) untuk memasukkan faktor-faktor non ekonomis, seperti masalah pemeliharaan lingkungan hidup dan HAM (Hak Asasi Manusia), dalam hubungan bantuan keuangan dan kerjasama ekonomi antara Indonesia dengan ME. Kini faktor-faktor tersebut mulai berpengaruh, dalam hubungan kerjasama ekonomi dan bantuan keuangan. Persoalannya kemudian adalah, bagaimana kita dapat mengajukan sebuah respons yang positif dan rasional. Tingkat pembangunan dan kedewasaan kita sekarang ini tampaknya tidak lagi mengijinkan kita untuk secara emosional bereaksi dengan go to hellwith your aid. Lagipula, isu HAM khususnya tidak hanya akan muncul dalam hubungan Indonesia dengan ME, tetapi juga dengan “negara-negara utara” lainnya. Isu HAM tampaknya akan menjadi salah satu isu yang akan mewarnai hubungan antara negara-negara Selatan dan negara-negara Utara, dengan pihak pertama akan merasa “terpojokkan”. Maka yang dibutuhkan kemudian ialah bahasa yang sama, katakanlah “kerangka dialog”, yang sedikit

Upload: azham-reeza

Post on 09-Jul-2016

215 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

HAM SEBAGAI ISU GLOBAL

Oleh : Bagya Agung Prabowo, SH, MHum

Banyak usaha dari sementara kalangan di MasyarakatEropa (ME) untuk memasukkan faktor-faktor nonekonomis, seperti masalah pemeliharaan lingkunganhidup dan HAM (Hak Asasi Manusia), dalamhubungan bantuan keuangan dan kerjasama ekonomiantara Indonesia dengan ME. Kini faktor-faktortersebut mulai berpengaruh, dalam hubungankerjasama ekonomi dan bantuan keuangan. Persoalannya kemudian adalah, bagaimana kitadapat mengajukan sebuah respons yang positif danrasional. Tingkat pembangunan dan kedewasaan kitasekarang ini tampaknya tidak lagi mengijinkan kitauntuk secara emosional bereaksi dengan go tohellwith your aid. Lagipula, isu HAM khususnyatidak hanya akan muncul dalam hubungan Indonesiadengan ME, tetapi juga dengan “negara-negara utara”lainnya. Isu HAM tampaknya akan menjadi salahsatu isu yang akan mewarnai hubungan antaranegara-negara Selatan dan negara-negara Utara,dengan pihak pertama akan merasa “terpojokkan”. Maka yang dibutuhkan kemudian ialah bahasa yangsama, katakanlah “kerangka dialog”, yang sedikit

formalistis dan sedikit filosofis, yang dapat dipahamidan malahan dijunjung tinggi oleh “pihak sana”,namun tidak menjadikan “pihak sini” senantiasamenjadi underdog yang diajar-ajari dan disalah-salahkan. Ini barangkali akan lebih efektif danproduktif. Berkilah bahwa kita punya konsep sendiritentang HAM yang digali dari khasanah budayasendiri, biarpun barangkali benar, tentu lebih sukardipahami oleh “pihak sana”. Suka atau tidak, hakasasi manusia sudah menjadi unsur penting dalamglobal narrative kita sekarang.

Tekstur Hak Asasi

Kesadaran historis umat manusia dengan tekstur yangdicapainya sekarang, tertuang dalam “Piagam HakAsasi Manusia” PBB (Universal Declaration OfHuman Rights). Tekstur inipun dicapai dengan susahpayah melalui pelbagai chaos, fluctuation atausymmetry breaking process dalam bentuk pelbagairevolusi, malaise ekonomi dan perang. Kitabarangkali dapat menggambarkannya dalam carayang analog dengan cara seorang paleontolog atauaerkolog memperlakukan lapisan-lapisan geologis. Dari lapisan yang berasal dari abad ke-17, kitamewarisi kesadaran akan katakanlah hak-hak asasiuntuk merdeka, seperti secara tajam tersimpul dalamfilsafat si orang Inggris, John Locke. Hak-hak asasi

ini mengacu pada perlunya menjaga martabatmanusia sebagai makhluk rasional berhadapandengan kemungkinan polusi yang timbul darifitrahnya sebagai makhluk sosial. Semua hak dasaryang menghalau campur tangan negara danmasyarakat hak hidup, hak atas kebebasan bergerak,dan hak milik pribadi. Hak-hak untuk merdeka initerutama tercantum dalam pasal 1 sampai pasal 18Piagam PBB. Dari lapisan yang berasal dari abad ke-18, kitatemukan kesadaran akan katakanlah, hak-hak asasidemokrasi yang khususnya mencuat dalam pemikiransi orang Perancis, Jean Jacques Rousseau. Hak-hakasasi ini menekankan perlunya partisipasi si makhlukrasional dalam lingkungan, dimana ia hidup sebagaimakhluk sosial. Inilah hak untuk ikut-meminjambahasa Freire- “membangun sejarah dan masyarakatdengan tangan sendiri”. Hak untuk berserikat,mengemukakan pendapat, memilih wakil dan jurubicara yang piawai dan terpercaya, termasuk disini.Pasal 19 sampai dengan 22 dari Piagam PBB rupa-rupanya berbicara lantang tentang hak-hak demokrasiini. Akan tetapi, untuk menjaga martabatnya yangrasional dan untuk berpartisipasi sebagai makhluksosial yang rasional, manusia juga perlu sehat, makankenyang, tidak terlalu letih, punya waktu luang.Inilah hak asasi sandang, pangan, papan, pekerjaan.

Inilah hak asasi padi dan kapas. Manusia padaakhirnya juga adalah makhluk bertubuh.Kesejahteraan tubuhnya ikut berbicara dalam kiprahrasional dan sosialnya. Kita mewarisi kesadaran inipada lapisan yang terutama berasal dari abad ke-19.Mungkin si orang Jerman, Ludwig AndreasFeuerbach, tidak seratus persen benar. Mengatakanbahwa “manusia adalah apa yang dia makan”, terasakasar dan berlebihan. Tetapi apa yang tercantumdalam pasal 23 sampai dengan 28 Piaganm Hak AsasiPBB merupakan pengakuan bahwa ia tidaksepenuhnya salah.

Pemerataan dan Restrukturisasi

Dari tiga lapisan dalam tekstur kesadaran globaltentang hak asasi itu, hak asasi kemerdekaan dan hakasasi demokrasi yang lazimnya dikaitkan denganbantuan negara maju kepada negara berkembang.Adanya Capital Punishment terselubung dan tanpaprosedur pengadilan, dipersoalkan (karena hak atashidup lalu tidak terjamin). Adanya pembangunansarana dan prasarana tanpa consent sepenuhnya darirakyat yang dirugikan, dipersoalkan (karena hakdemokrasi lalu diabaikan). Dan masih ada beberapacontoh lagi. Kesulitannya adalah bahwa kemerdekaan untukmemiliki tidak berarti, kalau orang tidak memiliki

apa-apa. Dan hak untuk berserikat tidak berbunyi,kalau orang tidak punya uang lebih untuk naik bus ketempat rapat atau kalau waktu luangnya dipakaiuntuk mencari penghasilan tambahan. Makaterdengar masuk akal jika negara-negara berkembangmemberi prioritas pertama pada pembangunanekonomi. Dilihat dari kacamata hak asasi,pembangunan ekonomi haruslah dikaitkan denganuasaha menjamin hak asasi padi-kapas dari setiapwarga negara, atau pemerataan. Sulitnya lagi, begitukita dengar dari para ekonom, pembangunan ekonomiitu pun dipengaruhi oleh pola-pola hubunganekonomi global.Jadi, hak atas kemerdekaan dan hak demokrasiseringkali sukar terwujud dalam konstelasi politikdalam negeri suatu negara berkembang, karena posisinegara itu sebagai negara pinggiran dalam kontelasiekonomi internasional. Hak untuk merdeka dan hakuntuk berpartisipasi tidak sepenuhnya terjamin,karena “susunan sosial internasional” tidakmenjamin, mengabaikan, bahkan melanggar hak-hakpadi-kapas dari kebanyakan warga negaraberkembang. Ini justru terjadi antara lain, karenanegara-negara maju ternyata lebih mementingkankepentingan (ekonomi) nasional merekadibandingkan kepentingan kemanusiaan sebagaimanamereka gembar-gemborkan.

Kepada negara-negara maju, khususnya negara –negara donor yang rewel, ada baiknya diingatkanklausul yang berbunyi, bahwa “setiap orang berhakatas suatu susunan sosial internasional”, yangmemungkinkan terlaksananya semua hak yangtercantum dalam Piagam PBB itu. Pelaksanaan hakuntuk merdeka dan hak untuk berpartisipasi berkaitanerat dengan pertumbuhan ekonomi, dan padagilirannya dengan struktur dependensi global, yanguntuk sebagian disebabbkan oleh ulah negara-negaramaju sendiri. Kemerdekaan dan DemokrasiDi lain pihak, sudah sering disuarakan, bahwakredibilitas negara-negara berkembang akan naik dimata negara-negara donor, apabila ditunjukkanusaha-usaha nyata ke arah perbaikan pelaksanaanhak-hak asasi untuk merdeka dan untuk berpartisipasiitu. Setidak-tidaknya harus ada token, isyarat daripihak negara berkembang, bahwa mereka memangpunya goodwill dan political will untuk mewujudkankomitmen mereka dalam percaturan umat manusiaatau global narrative ini. Dari sudut etis juga dikemukakan, bahwa tidak adahak moral bagi suatu bangsa untuk memperjuangkansuatu “susunan sosial internasional” yangmenghormati hak asasi manusia, apabila di dalamnegerinya sendiri tidak dijalankan penghormatansemacam itu.

Namun lebih dari itu, pertumbuhan ekonomi sebagai“jembatan emas” ke arah terlaksananya pemerataanatau terjaminnya hak asasi padi-kapas akan tidakefektif, apabila tidak disertai hak untuk merdeka, danlebih-lebih lagi, hak untuk berpartisipasi sertamenegakkan demokrasi. Kalau pers hanya bertaburandengan bahasa birokrat dan hanya sedikit mempunyaikesempatan mengangkat bahasa rakyat sendiri, kalauorsospol sudah puas dengan hanya menjadi OPP(organisasi peserta pemilu), kalau pemberantasanbuta huruf di pelosok-pelosok tidak disertai denganpemberantasan buta politik, kalau “vokal”diasosiasikan dengan “nakal”, maka sulitlah untukmengontrol agar pertumbuhan mengarah padapemerataan.Agar supaya bantuan luar negeri, termasuk suntikanmodal untuk mengangkat pertumbuhan ekonomi,mencapai sasarannya sebagai sarana untukmengingatkan pelaksanaan hak asasi, maka perluditumbuhkan iklim dimana orang yang diperlakukantidak adil, bisa mengatakan bahwa ia diperlakukantidak adil, dan orang yang melihat kecurangan tidaktakut-takut untuk mengatakan, bahwa ia menyaksikanpenyimpangan ; dan orang yang merasa ditelantarkantidak sungkan-sungkan mengatakan bahwa iaditelantarkan. Dalam tekstur kesadaran kita tentang hak asasimanusia, ketiga lapisan itu ternyata saling

mengandaikan. Daripada bersifak geologis, teksturitu tampaknya lebih bersifat organis. Sifat organisdari tekstur hak asasi inilah barangkali, yang kelakterbukti sebagai pencapaian abad ke-21. Dan dalammelaksanakan hak asasi sebagai unsur fundamental(mungkin paling fundamental) dari global narrativekita sekarang, dibutuhkan ketetapan hati untukmelakukan kritik keluar maupun otokritik kedalam.

Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum UII danPengampu Mata Kuliah Civic Education padaFakultas Kedokteran UII