hak-hak istri akibat perceraian...
TRANSCRIPT
HAK-HAK ISTRI AKIBAT PERCERAIAN PERBANDINGAN
IMAM SYAFI’I DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
NOOR BAAYAH BINTI ABU BAKAR
NIM: 107044103904
K O N S E N T RA S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2011M/1432H
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 16 September 2011
Noor Baayah Binti Abu Bakar
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمه الرحيم
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang Maha
Mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, yang nyata maupun yang
tersembunyi, baik dalam terang benderang maupun gelap gulita, segala puji dan
syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Alhamdulillah dengan berkah rahmat-Nya, penulisan skripsi ini telah dapat
diselesaikan dengan baik. Namun keberhasilan penyusunan skripsi bukanlah hasil
dari diri penulis sendiri bahkan semangat dan dukungan serta doa dari insan tersayang
dan tercinta. Untuk itu, penulis mempersembahkan ungkapan syukur dan terima kasih
yang tidak terhingga kepada insan yang tercinta dan tersayang yaitu Ayahandaku Abu
Bakar bin Yahaya dan Ibundaku Siti Hajar binti H. Taib dengan segala curahan kasih
sayang, pengorbanan, dan kesabaran mengasuh, mendidik, mendoakan serta memberi
dukungan baik berbentuk moril maupun materil, kepada penulis dari bermulanya
kehidupan sehingga berakhirnya nyawa semoga mendapat balasan dan tergolong
dikalangan mereka yang beruntung.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selesainya penyusunan skripsi ini
bukanlah semata-mata atas usaha penulis sendiri, melainkan tidak luput dari bantuan
semua ada secara langsung maupun tidak langsung dan karena itu penulis sampaikan
ucapan terima kasih tidak terhingga kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan selaku dosen
pebimbing yang selalu memberikan perhatian, bimbingan, buah pikiran, kritik dan
saran sepanjang proses penyusunan hingga selesainya skripsi ini.
2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA, Ketua Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah
dan Ibu Rosdiana MA. , Sekretaris Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah yang banyak
memberikan kemudahan berbentuk administratif bimbingan akademik.
3. Seluruh dosen Akademi Pengajian Islam dan Dakwah yang dihormati terutama
Bapak Rektor Al-Fadhil Ustaz Edeey Ameen yang banyak memberikan dukungan
sehingga penulis dapat meneruskan pengajian di bumi Indonesia.
4. Segenap bapak dan ibu dosen yang telah memberi petunjuk dan mencurahkan
ilmu yang bermanfaat kepada penulis dan rekan-rekan seperjuangan selama
menjalani perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
5. Para pimpinan dan staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Syariah dan
hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta yang telah menyediakan fasilitas dan
perkhidmatan bagi kemudahan penulis memanfaat arkib referensi.
6. Kakanda-kakanda tecinta yang bersama-sama hidup dalam suka duka dan banyak
memberi dukungan serta pengorbanan yang tidak terhitung baik berupa moril
atau materil, yaitu Sharima dan Mohd Sulaiman, Latifah dan Zanor, Robiah dan
Zainal Abidin, Salmah dan Rosli, Salmiah dan Zainol, Mohammad Hamadi, dan
serta keponakan-keponakanku, semoga kalian menjadi insan yang mulia.
7. Seluruh tenaga pengajar Pesantren Markaz At-taalim Wat Tarbiyah, Desa Bandar
Baru Sik, Kedah, yaitu alm. Mudir KH. H. Abu Bakar bin Ibrahim dan Nyai
Zabedah binti Saman yang sering mendoakan kejayaanku.
8. Teman-teman seperjuangan yang dikasihi, kenangan bersama tak terlupakan,
senantiasa menemani dan semangat menunut ilmu di rantau orang, kakak senior,
Huda, Baizura, Adilah, Halimah, Shazwani, Aziz, Zul, Mizi, Rais, rekan-rekan
sekuliah yaitu, Akram Erni, Pijul, Muiz, Alfiyah, Siti Hajar, Rabiatul,
Adawiyyah, Rozilawati, NurFaizah, dan ramai lagi yang tidak mungkinku
sebutkan satu persatu. Tak lupa juga senior dan junior KUDQI dan KIDU
teman-teman seangkatan 2007/2008, dan 2009/2010, dan 2011/2012 terima kasih
atas dukungan kalian.
9. Kedutaan Besar Malaysia di Indonesia atas pengawasan dan kebajikan yang
mengambil alih peran menjaga seluruh mahasiswa Malaysia di bumi Indonesia.
10. Badan Dewan Pembina Asrama UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta yang telah
menyediakan penempatan dengan segala fasilitas menjalani perkuliahan di
Indonesia.
11. Persatuan Kebangsaan Pelajar Malaysia di Indonesia (PKPMI), Malaysian Club
UIN Jakarta (MCUJ), dan Kelab UMNO Jakarta, Indonesia.
12. Semua pihak yang telah menghulur bantuan secara langsung maupun tidak
langsung sepanjang penyusunan skripsi ini, semoga segala bantuan dan niat baik
kalian diterima sebagai amal shaleh di sisi Allah SWT.
Akhirnya penulis menginsafi bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan
kelemahan, oleh karena itu kritikan dan saran yang konstruktif sangat diperlukan
untuk perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat sebagai karya ilmiah
khususnya bagi penulis dan sekalian pembaca umumnya.
Jakarta, 7 JANUARI 2011 M
16 Safar 1432 H
Penulis
NOOR BAAYAH BINTI ABU
BAKAR
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................................1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.........................................5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...................................................5
D. Studi Review Terdahulu.............................................................6
E. Metode Penelitian.......................................................................7
F. Sistematika Penulisan.................................................................9
BAB II TINJAUAN TEORETIS TENTANG HAK ISTRI DALAM
PERNIKAHAN
A. Hak Mahar ................................................................................. 13
B Hak Nafkah ................................................................................ 16
C Hak Disayangi. .......................................................................... 20
D. Hak Pendidikan ......................................................................... 22
BAB III HAK ISTRI AKIBAT PERCERAIAN MENURUT IMAM
SYAFI’I DAN KHI DI INDONESIA
A. Latar Belakang Imam Syafi’i....................................................25
B. Hak Istri Akibat Perceraian Menurut Imam Syafi’i ................. 26
C. Hak Istri akibat Perceraian Akibat Perceraian Menurut KHI di
Indonesia .................................................................................. 40
D. Persamaan dan Perbedaan Hak istri Akibat Perceraian Menurut
Pendapat Imam Syafi’i dan Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia .............................................................................. 48
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 51
B. Saran-Saran................................................................................ 54
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 55
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam merupakan agama fitrah, yang artinya seluruh ajaran Islam sesuai
dengan fitrah manusia. Dengan demikian, segala sesuatu yang berkenaan dengan
fitrah manusia, maka Islam terlebih dahulu mengaturnya dalam bentuk ajaran-ajaran
Islam atau lebih dikenali sebagai syariat Islam. Islam sebagai sebuah cara hidup yang
universal, syumul dan menjadi rahmat kepada seluruh alam hadir dengan aturan-
aturan yang menjadi perlindungan hak bagi kehidupan manusia sejagat dan sesuai
diaplikasikan di setiap kondisi, masa dan tempat untuk menunjangi ketertiban dan
kemaslahatan seluruh alam.
Termasuk dalam hukum yang telah diatur oleh Islam adalah berkenaan hukum
kekeluargaan (munakahat). Dengan demikian, perkawinan merupakan sebuah aturan
yang disyariatkan untuk menjaga dan memelihara salah satu maqasid syarieyyah
yaitu kehormatan.1 Pernikahan merupakan perjanjian atau akad yang sangat kuat atau
miitsaaqan ghalidzhan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup
bersama secara sah dalam membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan
rahmah. Setelah dilangsungkan pernikahan, sepasang pengantin telah resmi menjadi
suami istri. Dengan status ini, secara signifikan keduanya telah berubah, baik pada
1 Imam Ghazali menggariskan bahwa ada lima maqasid syrieyyah yang harus dijaga dan
dipelihara oleh umat manusia seluruhnya, yaitu agama, akal, harta, kehormatan dan jiwa.
hak dan kewajiban yang melekat pada masing-masing individu maupun pada relasi
sosial dengan sesama.
Keluarga bermula dengan terbentuknya rumahtangga, yaitu apabila seseorang
itu mendirikan rumahtangga, yaitu apabila seseorang itu mendirikan rumahtangga
maka kedua belah pihak akan terikat dengan peraturan perkawinan atau undang-
undang. Undang-undang ialah untuk menjamin hak individu dalam rumahtangga
sepanjang tempoh selama dalam ikatan pernikahan atau ketika berlakunya
perceraian.2
Apabila terjadi perceraian maka timbullah akibat perceraian. Maka hukum
yang berlaku sesudahnya adalah hubungan antara keduanya adalah asing adalah arti
harus berpisah dan tidak boleh saling memandang, apalagi bergaul sebagai suami
istri, sebagaimana yang berlaku yang berlaku antara dua orang yang saling
asing.islam memberikan hak kepada wanita sesuai dengan tugas, peran dan
tanggungjawab mereka, sesuai dengan sifat dan bentuk kejadian mereka. Lebih jauh
dari itu hak mereka dilindungi dan dipertahan. Mengambil hak berarti melakukan
kezaliman, menentang peraturan dan hukum Allah Swt. serta mengkhianati amanah
yang telah diberikan-Nya.3
Islam datang membawa misi pengembalian hak-hak perempuan yang telah
dirampas dan dijajah oleh kaum laki-laki di zaman jahiliah. Islam mengangkat
2 A. Sytarmadi, Mesraini, AdministrasiPernikahan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta:
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2006), h. 134. 3 Mat Saad Abd Rahman, Undang-undang Keluarga Islam Aturan Perkawinan, (Selangor:
Intel Multimedia and Publication, 2007)h. 209.
martabat kaum perempuan dan memberikan kembali hak-hak mereka yang telah
hancur berantakan, diinjak-injak oleh dominasi kaum laki-laki dan telah
diluluhlantakkan oleh tradisi-tradisi keagamaan, fanatisme, golongan dan kebangsaan
yang sempit.di antara hak-hak yang dikembalikan oleh Islam, setelah lam dirampas
kaum laki-laki, tanpa ada orang yang berusaha memperjuangkan untuk merebutnya
kecuali Islam.4 Mengetahui hukum yang disepakati (ijma’) dan perbedaan pendapat
para ulama termasuk perkara penting. Hal ini merupakan keharusan bagi setiap
mujtahid dan hakim terutama para imam mazhab yang pendapat-pendapat mereka
dijadikan rujukan di timur dan barat.
Ijma’ salah satu tonggak Islam sehingga menurut para ulama kufurlah orang
yang mengingkarinya jika telah ada hujah bahwa hal itu merupakan ijma’ yang
sempurna. Diperkenankan mengingkari orang yang melakukan sesuatu yang
menyimpang darinya. Perbedaan pendapat di antara para imam mazhab merupakan
rahmat bagi umat ini, yang tidak dijadikan Allah sebagai kesempitan di dalam agama
ini. Melainkan, hal itu merupakan luthf dan kemurahan.5
Mantan istri masih memiliki hak untuk dituntut apabila terjadinya perceraian.
Antaranya hak-hak mendapatkan nafkah iddah, hak untuk menuntut harta
sepencarian, hak untuk mendapatkan mut’ah dan penjagaan anak. Ini bagi
memastikan bahwa kaum wanita perlu mengetahui hak mereka supaya tidak dianiayai
4 Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2010), h.115. 5 Muhammad bin Abdurrahman ad- Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, (Bandung: Hasyimi,
2010), h. 10.
oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggungjawab. Begitu suami mempunyai
hak dan tanggungjawab setelah perceraian. Walaupun istri diceraikan, namun
hubungan anak dengan ayahnya tetap kekal hingga ke akhir hayat. Bapa mempunyai
kewajiban memberi nafkah kepada anak-anak. Namun begitu, terdapat beberapa
pendapat imam mazhab tentang hak-hak istri akibat perceraian dan dijadikan landasan
hukum atau sebagai pedoman.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia merupakan rangkuman dari berbagai
pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis para ulama fiqih yang
biasa dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama yang diolah dan
dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu himpunan. Himpunan tersebut inilah
yang dinamakan kompilasi.6
Mayoritas penduduk di Asia tenggara adalah muslim dan menganut mazhab
Syafi’i, terdapat juga sebagian penduduk yang menganut mazhab lain seperti, Hanafi,
Maliki dan Hambali. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan tentang hak-hak
istri akibat perceraian secara mendalam. Penulis mencoba melakukan penelitian lebih
lanjut dan terdorong untuk menganalisis lebih mendalam melalui penelitian skripsi
yang berjudul “HAK-HAK ISTRI AKIBAT PERCERAIAN: Perbandingan Antara
Pendapat Imam Syafi’i dan Kompilasi Hukum di Indonesia (KHI)”.
6 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007),h. 14.
B . Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan skripsi ini menjadi lebih praktis dan terfokus sehingga para
pembaca mendapat manfaat dari penelitian ini, penulis membuat batasan hanya
tentang persamaan dan perbedaan hak-hak istri akibat perceraian menurut pendapat
Imam Syafi’i di dalam kitab Fiqih Imam Syafi’i dan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia.7
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang dan pembatasan masalah di atas dan
supaya tidak menjadi kajian yang melebar, penulis merumuskan pemasalahan dengan
rincian dalam bentuk persoalan yang berikut:
a) Adakah istri yang telah diceraikan masih mempunyai hak-hak?
b) Hak-hak apa saja yang dimiliki oleh mantan istri akibat perceraian menurut Imam
Syafi’i dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia?
c) Di mana letak perbedaan dan persamaan pendapat Imam Syafi’i dan KHI di
Indonesia tentang hak-hak istri akibat perceraian?
C . Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, penelitian memiliki beberapa tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui hak isti setelah diceraikan.
7 Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum, Buku Pedoman Skripsi, (Jakarta: Fakultas
Syariah dan Hukum, 2007), h. 23.
2. Untuk mengetahui hak-hak yang dimiliki oleh mantan istri akibat perceraian
menurut Imam Syafi’i dan KHI di Indonesia.
3. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan pendapat imam Syafi’i.
Seterusnya, manfaat yang dapat dikutip dari penelitian ini antara lain adalah
sebagai berikut:
1. Secara akademis untuk mendapat jawaban terhadap perbedaan dan persamaan
tentang hak istri akibat perceraian menurut Imam Syafi’i dan KHI di Indonesia
2. Sebagai pedoman kepada para peneliti lain yang ingin memahami hak-hak istri
menurut pandangan Imam Syafi’i dan KHi di Indonesia.
3. Sebagai motivasi kepada wanita terutamanya wanita Indonesia tentang hak mereka
yang diatur di dalam KHI di Indonesia.
4. Penelitian ini juga dapat memberi sumbangan karya ilmiah dan juga sumbangan
pemikiran bagi perkembangan khazanah ilmu pengetahuan dan literasi pada
Fakultas Syariah dan Hukum Uin Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Studi Review Terdahulu
Penulis berusaha membaca beberapa penelitian yang ada hubungannya dengan
penelitian yang penulis lakukan baik Fakultas Syariah dan Hukum, berupa skripsi
maupun dalam bentuk buku. Penulis menemukan tidak banyak penelitian terkait
masalah ini. Namun penulis menemukan satu penelitian yang dilakukan oleh Nurul
Huda Abdul Razak dengan judul skripsi “Nafkah masa Iddah Menurut Perspektif dam
Implementasinya DalamEnakmen Keluarga Islam (Studi Pada Mahkamah Rendah
Syariah Rendah Malaysia)”,mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum, Jurusan
Peradilan Agama Tahun 2009. Di dalam skripsi tersebut, ia membahaskan antara lain
yaitu menginterpretasikan urgensi nafkah dalam iddah dari perspektif hak-hak
perempuan dalam perkawinan, khususnya hak yang harus diterima oleh istri setelah
perceraian, dan dan studi komparatif antara fiqih dan Enakmen keluarga Islam tahun
1984 (pindaan 2004) di Negeri Perak sebagai hokum positif di Malaysia dan Hukum
positif yang ada di Indonesia. Dengan melihat review studi terdahuku di atas, yang
membedakan antara skripsi di atas dengan skripsi penulis, adalah bahwa penulis
membahas tentang hak-hak istri akibat perceraian, dan perbandingan pendapat Imam
Syafi’i dan KHI, karena itulah dari aspek pembahasannya berbeda dengan pembahasan
dari skripsi Nurul Huda.
E. Metode Penelitian
Untuk memperoleh hasil yang maksimal dari suatu karangan ilmiah, maka
metode yang digunakan adalah metode pengumpulan data yang diperlukan untuk
penulisan tersebut akan memegang peranan yang sangat penting. Dengan demikian
penggunaan metode pembahasan bagi suatu hal yang menentukan bermutu atau
tidaknya dari penulisan yang bersangkutan. Metode yang digunakan dalam penulisan
skripsi ini adalah:
1. Penentuan Jenis Data
Dalam kajian ini data yang diteliti adalah data yang berhubungan dengan topik
yang dikaji, yaitu Hak-hak Istri Akibat Perceraian: Perbandingan Antara Pendapat
Imam Syafi’i dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI).
2. Pendekatan
Penulis mendiskripsikan penelitian ini dengan menggunakan pendekatan bersifat
normatif.8
3. Obyek Penelitian
Penulis melakukan penelitian kepustakaan atau studi dokumentasi dengan merujuk
kitab-kitab fiqih Imam Syafi’i yaitu, kitab Fiqih Imam Syafi’i dan Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia.
4. Sumber data
Penelitian berorientasikan data kualitatif yang bersumber pada:
a) Data Primer: Yang termasuk ke dalam sumber data primer adalah data yang
langsung diperoleh dari sumber yang asli dari obyek penelitian, yaitu kitab fikih
Imam Syafi’i dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.9
b) Data Sekunder: Sedangkan sumber data sekunder adalah data yang diperolehi
dari sumber kedua atau sumber pendukung dari data yang kita butuhkan. Data
ini didapati dari buku-buku lain yang berkaitan dengan obyek penelitian.
8 Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum , Buku Pedoman Skripsi, (Jakarta: Fakultas
Syariah dan Hukum, 2007), h. 25. 9 Amirudin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,(Jakarta:Pt Raja Grafindo
Persada, 2004) h.119.
c) Data Tertier: Data Tertier merupakan data pelengkap yang terdiri daripada
majalah, jurnal dan sebagainya.
5. Tenik Analisis Data
Dalam melakukan analisis data, penulis menggunakan teknik analisis data yang
telah terhimpun (kualitatif), dengan mengumpulkan data-data dan mencoba untuk
menganalisis tentang perbedaan dan persamaan hak-hak istri akibat perceraian
menurut Imam Syafi’i dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
6. Teknik Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas
Syriah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007 yang diterbitkan
oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai materi yang menjadi
pokok penulisan dan memudahkan para pembaca dalam memahami tata aturan
penulisan skripsi ini, maka penulis telah menyusun sistematika penulisan yang dibagi
atas empat bab, tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub bab dengan rincian berikut:
Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang didahului dengan persoalan
melatarbelakangi penelitian dan pengangkatan tema ini, kemudian dilanjutkan dengan
pembatasan masalah dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi
terdahulu, metodologi penelitian,dan sisteematika penulisan.
Bab kedua menjelaskan tinjauan teoretis tantang hak-hak istri dalam
perkawinan yaitu, hak mahar, hak nafkah, hak disayangi, dan hak pendidikan.
Bab ketiga yaitu membahaskan tentang latar belakang Imam Syafi’i, hak istri
akibat perceraian menurut Imam Syafi’i, hak istri akbat perceraian menurut KHI di
Indonesia, dan persamaan dan perbedaan hak istri akibat perceraian menurut Imam
Syafi’i dan KHI di Indonesia.
Bab keempat adalah penutup yang mengandung tentang kesimpulan dari
seluruh perbahasan beserta saran-saran dan harapan penulis agar penulisan ini menjadi
satu komitmen yang berguna bagi agama, bangsa dan negara.
BAB II
TINJAUAN TEORETIS TENTANG HAK ISTRI DALAM PERKAWINAN
Sebagai upaya untuk mewujudkan misi pernikahan membentuk keluarga
sakinah, mawaddah wa rahmah, masing-masing suami dan istri harus menjaga hak
dan kewajibanny.10
Keluarga bermula dengan terbentuknya rumahtangga, yaitu
apabila seseorang itu mendirikan rumahtangga maka kedua belah pihak akan terikat
dengan peraturan perkawinan atau undang-undang. Undang-undang ini diadakan
mengikut adat dan agama.
Perjanjian perkawinan memberi dampak kepada suami istri yang bukan hanya
sekedar merubah status atau daripada seorang jejaka kepada seorang suami.
Sebenarnya dampak adalah melewati penentuan hak dan tanggungjawab seorang
suami dan juga seorang istri. Antara dampak-dampak tersebut yang terlibat dengan
kebendaan spiritual seperti menggauli istri dengan penuh kasih sayang (mawaddah)
dan belas kasihan (rahmah) serta juga bersifat menghormati persemendaan. Antara
dampak-dampak tersebut ada dengan kebendaan seperti hak mahar, hak nafkah, hak
disayangi, dan hak pendidikan.
10
A. Sutarmadi, Mesraini, Administrasi Pernikahan dan Manajemen keluarga, (Jakarta:
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2006), h. 134.
A. Hak Mahar
1. Pengertian dan Pensyariatan Mahar
Definisi maskawin adalah sesuatu yang wajib diberikan karena pernikahan,
hubungan intim, dan pengabaian hubungan intim karena terpaksa. Maskawin adalah
sesuatu yang disyariatkan, dianjurkan, sekaligus disunnahkan dalam Islam. Mahar
dalam bahasa Arab shadaq. Asalnya isim mashdar dari kata ashdaqa, mashdarnya
ishdaq diambil dari kata shidqin (benar). Dinamakan shadaq memberikan arti benar-
benar cinta nikah dan inilah yang pokok dalam kewajiban mahar atau maskawin.11
Maskawin adalah sesuatu yang disyariatkan, dianjurkan, sekaligus disunahkan
dalam Islam. Telah terkumpul banyak dalil tentang pensyariatan mahar dan
hukumnya wajib. Suami, istri, dan para wali tidak mempunyai kekuasaan
mempersyaratkan akad nikah tanpa mahar.12
Dalil kewajiban mahar dari al-Quran
adalah firman Allah Swt.:
(۶:۶/سرة الىساء)
Artinya: “Dan berikanlah kepada perempuan-perempuan itu maskahwin-
maskahwin mereka sebagai pemberian yang wajib. kemudian jika mereka dengan
suka hatinya memberikan kepada kamu sebagian dari maskawinnya maka makanlah
11
Abdul Aziz Muhammad Azzam, dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat,
(Jakarta: Amzah, 2009), Cet 1, h. 176. 12
Ibid., h. 176.
(gunakanlah) pemberian (yang halal) itu sebagai nikmat yang lazat, lagi baik
kesudahannya.
Dalil sunnahnya adalah sabda Nabi Saw. kepada orang yang hendak
menikah:
Artinya: “Carilah walaupun cincin dari besi.”
Hadis ini menunjukkan kewajiban mahar sekalipun sesuatu yang sedikit.
Demikian juga tidak ada keterangan dari Nabi saw bahwa beliau meninggalkan mahar
pada suatu pernikahan. Andai kata mahar tidak wajib tentu Nabi Saw. pernah
meninggalkannya walaupun sekali dalam hidupnya yang menunjukkan tidak wajib.
Akan tetapi, beliau tidak pernah meninggalkannya, hal ini menunjukkan
kewajibannya.
2. Macam-macam Mahar
Mahar terbagi kepada dua macam, yaitu mahar musamma dan mahar mitsil.
Pertama: Mahar musamma adalah mahar yang disebutkan bentuk, wujud atau
nilainya secara jelas dalam akad.13
Selanjutnya kewajiban suami untuk memenuhi
selama hidupnya atau nilainya sesuai dengan apa yang disebutkan dalam akad
perkawinan itu. Kedua: Mahar mitsil yaitu mahar yang tidak disebutkan jenis dan
jumlahnya pada waktu akad, maka kewajibannya adalah membayar sebesar mahar
yang diterima oleh perempuan lain dalam keluarganya.14
Mahar mitsil diwajibkan dalam tiga kemungkinan:
13
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 89. 14
Ibid., h. 89.
a. Dalam kondisi suami tidak ada menyebutkan sama sekali mahar atau jumlahnya.
b. Suami menyebutkan mahar musamma, namun mahar tersebut tidak memenuhi
syarat ditentukan atau mahar tersebut cacat seperti maharnya adalah minuman
keras.
c. Suami ada menyebutkan mahar musamma,namun kemudian suami istri berselisih
dalam jumlah atau sifat mahar tersebut dan tidak dapat diselesaikan.
Mahar adalah hak istri, bukanlah hak walinya. Dan masih banyak ayat-ayat
menunjukkan bahwa mahar adalah hak perempuan sepenuhnya. Orang lain, ayahnya
sendiri, tidak boleh mengambil apa pun dari mahar tersebut tanpa seizinnya.
3. Hikmah disyariatkan Mahar
Mahar disyariatkan Allah Swt. untuk mengangkat derajat wanita dan
memberikan penjelasan bahwa akad pernikahan ini mempunyai kedudukan yang
tinggi. Oleh karena itu, Allah Swt. mewajibkannya kepada laki-laki bukan kepada
wanita, karena ia lebih mampu berusaha. Mahar diwajibkan padanya seperti halnya
juga seluruh beban materi. Istri pada umumnya dinafkahi dalam mempersiapkan
dirinya dan segala perlengkapannya yang tidak dibantu oleh ayah dan kerabatnya,
tetapi manfaatnya kembali kepada suaminya juga.
Oleh karena itu, merupakan sesuatu yang relevan suami dibebani mahar untuk
diberikan kepada sang istri. Mahar ini dalam segala bentuknya menjadi penyebab
suami tidak terburu-buru menjatuhkan talak kepada istri karena yang ditimbulkan dari
mahar tersebut seperti penyerahan mahar yang diakhirkan, penyerahan mahar bagi
wanita yang dinikahinya setelah itu dan juga sebagai jaminan wanita ketika ditalak.15
B. Hak Nafkah
1. Definisi dan Bagian Nafkah
Secara bahasa, an-nafaqat adalah bentuk jamak dari kata nafaqah, kata kerja
yang dibendakan (mashdar) al-infaq,yaitu memberikan sesuatu secara baik demi
mengharap ridha Tuhan. Nafkah juga bermaksud mengeluarkan biaya atau
tanggungan hidup kepada mereka yang wajib atas seseorang untuk membiayainya.16
Nafkah terbagi kepada dua yaitu, Pertama: Memprioritas nafkah untuk diri sendiri.
Kedua: Bernafkah kepada orang lain. Poin ini disebabkan oleh tiga faktor yaitu,
hubungan pernikahan, hubungan kekerabatan, dan hubungan kepemilikan, di
antaranya kewajiban memberi makan kepada hewan ternak.
2. Hukum Pemberian Nafkah
Nafkah hanya diwajibkan atas suami, karena tuntutan akad nikah dan karena
keberlangsungan bersenang-senang sebagaimana istri wajib taat kepada suami, selalu
menyertainya, mengatur rumah tangga, mendidik anak-anaknya. Ia tertahan
melaksanakan haknya, “setiap orang yang tertahan untuk hak orang lain dan
manfaatnya, maka nafkahnya atas orang yang menahan karenanya.” Dalil al-Quran,
yaitu firman Allah Swt.:
15
Abdul Aziz Muhammad Azzam, dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqh
Munakahat,(Jakarta: Amzah, 2009), cet 1, h.178. 16
Mohd Razuan Ibrahim, Undang-Undang dan Prosedur, (Selangor: DRI Publishing
House,2006), h. 56.
(۲:۲۳۳/سرة البقرة)
Artinya: “Dan ibu-ibu hendaklah menyusukan anak-anak mereka selama dua
tahun genap yaitu bagi orang yang hendak menyempurnakan penyusuan itu; dan
kewajipan bapa pula ialah memberi makan dan pakaian kepada ibu itu menurut cara
yang sepatutnya”.
((۷):سرة الطالق
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya; dan sesiapa yang di sempitkan rezekinya, maka hendaklah ia
memberi nafkah dari apa yang diberikan Allah kepadanya (sekadar Yang mampu);
Allah tidak memberati seseorang melainkan (sekadar kemampuan) yang diberikan
Allah kepadaNya. (orang-orang yang dalam kesempitan hendaklah ingat bahawa)
Allah akan memberikan kesenangan sesudah berlakunya kesusahan”.
Ayat di atas mewajibkan nafkah secara sempurna bagi wanita atau pun
seorang istri. Sebab wajib nafkah atas suami kepada istri, karena dengan selesainya
akad yang sah, perempuan menjadi terikat dengan hak suaminya, yaitu untuk
menyenangkannya, wajib taat kepadanya, harus tetap tinggal di rumah untuk
mengurus rumah tangganya, mengasuh anak-anaknya dan mendidiknya, maka
sebagai imbalan dari yang demikian ini, Islam mewajibkan kepada suami untuk
memberi nafkah kepada istrinya.17
3. Besarnya Nafkah
Jika istri hidup serumah dengan suaminya, ia wajib menangung nafkahnya dan
mengurus segala keperluan, seperti makan, pakaian, dan sebagainya. Istri tidak
17
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Petempuan Kontemporer, (Bogor: Ghali Indonesia, 2010),
h. 121.
berhak menerima nafkahnya dalam jumlah tertentu selama suami melaksanakan
kewajibannya itu. Jika suami bakhil, tidak memberikan nafkah yang secukupnya
kepada istrinya atau itdak memberikan nafkah tanpa alas an-alasan dibenarkan syara,
istri berhak menuntut jumlah nafkah tertentu baginya untuk keperluan makan,
pakaian, dan tempat tinggal. Imam Mazhab berpendapat tentang besarnya nafkah
yang harus diberi oleh suami kepada istrinya yaitu seperti berikut:
a. Golongan Hanafi berpendapat bahwa agama tidak menentukan jumlah nafkah.
Kalangan Hanafi menetapkan jumlah nafkah istri sesuai dengan kemampuan
suami, baik kaya atau miskin, tanpa melihat keadaan istrinya.18
b. Imam Malik berpendapat bahwa besarnya nafkah itu tidak ditentukan berdasarkan
ketentuan syarak, tetapi berdasarkan keadaan masing-masing suami istri, dan ini
akan berbeda-beda berdasarkan perbedaan tempat, waktu, dan keadaan. Pendapat
ini juga dikemukakan oleh Abu Hanifah.
c. Menurut kalangan Imam Syafi’i, menetapkan jumlah nafkah tidak diukur dengan
jumlah kebutuhan, tetapi diukur hanya berdasarkan hukum syarak. Walaupun
kalangan Syafi’i sependapat dengan kalangan Hanafi, yaitu tentang
memperhatikan kaya dan miskinnya keadaan si suami, suami yang kaya tetap
diwajibkan memberi nafkah setiap hari sebanyak dua mud.19
18
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi, 2008), h. 62 19
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi, 2008), h.62.
d. Silang pendapat ini disebabkan ketidak jelasan nafkah dalam hal ini, antara
disamakan dengan pemberian makan dalam kafarat atau dengan pemberian
pakaian. Dengan demikian makanan itu ada batasnya.
4. Syarat-syarat Menerima Nafkah
Syarat-syarat perempuan yang berhak menerima nafkah suami:
a) Ikatan perkawinan yang sah
b) Menyerahakan dirinya kepada suaminya
c) Suami dapat menikmati dirinya,
d) Tidak menolak apabila diajak pindah ke tempat yang dikehendaki suaminya.20
e) Kedua-duanya dapat saling menikmati.
Jika salah satu dari syarat-syarat ini tidak terpenuhi, ia tidak wajib diberi
nafkah. Jika ikatan perkawinannya tidak sah, bahkan batal, suami istri tersebut wajib
bercerai untuk mencegah timbulnya bencana yang tidak dikehendaki. Begitu juga istri
yang tidak mau menyerahkan dirinya kepada suaminya atau suami tidak dapat
menikmati dirinya atau istri enggan pindah ke tempat yang dikehendaki suami, dalam
keadaan seperti ini tidak ada kewajiban. Orang yang berhak menerima nafkah fuqaha
berpendapat bahwa nafkah tersebut untuk istri yang merdeka dan tidak membangkang
(nusyuz).
20
Kecuali kalau suami bermaksud merugikan istri dengan membawanya pindah atau
membahayakan keselamatan dirinya atau hartanya.
5. Pendapat tentang nafkah istri yang durhaka
Tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa apabila istri mendurhakai
suaminya, kemudian gugur nafkahnya.21
Allah Swt. telah menyuruh wanita mentaati
suaminya. Firman Allah Swt. dalam surat al-Nisa’: 34:
( ۳۶/الىساء سرة( Artinya: “Maka jika mereka taat kepada kamu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi,
lagi Maha Besar”.
Apabila istri mendurhakai kepada suaminya, diperbolehkan menghukum istri
dengan menghentikan nafkah hingga istri kembali taat kepada suaminya. Karena istri
meninggalkan kewajibannya untuk taat kepada suaminya, maka suami boleh
menghentikan kewajiban berupa pemberian nafkah.
C. Hak Disayangi
Di dalam perkawinan ada juga hak dan tanggungjawab yang harus
dilaksanakan, bukan sekedar berbentuk kebendaan bahkan berbentuk kasih sayang
seperti hak perempuan untuk mendapatkan perlakuan yang baik. Di antara hak istri
dalam perkawinan ialah untuk mendapat perlakuan yang baik dari suami dalam
pergaulan hidup berumah tangga. Perlakuan yang baik adalah meliputi tingkah laku,
21
Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Muslimah Ibadat-Muamalat, (Jakarta:Pustaka Amani,
1999), Cet 3, h. 350.
tindakan dan sopan santun yang harus dilakukan suami terhadap istri.22
Hal ini
disebutkan dalam al-Quran surah An-Nisa’ ayat19:
( ۱۹:الىساء سرة )
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi
perempuan-perempuan dengan jalan paksaan, dan janganlah kamu menyakiti mereka
(dengan menahan dan menyusahkan mereka) kerana kamu hendak mengambil balik
sebahagian dari apa yang kamu telah berikan kepada-Nya, kecuali (apabila) mereka
melakukan perbuatan keji yang nyata. dan bergaulah kamu dengan mereka (istri-istri
kamu itu) dengan cara yang baik. kemudian jika kamu (merasai) benci kepada
mereka (disebabkan tingkah-lakunya, janganlah kamu terburu-buru
menceraikannya), karena boleh jadi kamu bencikan sesuatu, sedang Allah hendak
menjadikan pada apa yang kamu benci itu kebaikan yang banyak (untuk kamu)”.
Bergaul dengan baik antara suami istri untuk membina rumah tangga adalah
merupakan syarat dari suatu perkawinan yang akan mencapai tujuan dan hikmah
berumah tangga.23
Laki-laki sebagai pemimpin kaum perempuan di dalam rumah
tangga wajib melaksanakan tanggungjawab kepimpinannya untuk mengajari kaum
perempuan agar bisa melaksanakan kewajibannya dengan baik, serta menanamkan
rasa hormat dalam diri mereka sendiri dengan memberikan hak-hak perempuan tanpa
dipersulit karena manusia berdasarkan naluri alamiahnya selalu menghormati orang
dalam pandangan matanya adalah terdidik dan tahu akan hak kewajibannya, serta
22
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta:Ghalia Indonesia,
2010), h. 121. 23
Ibid., h.121.
tidak pernah memandang enteng kepadanya, maka apabila hak-hak perempuan tidak
diberikan, berarti kaum laki-laki sendirilah yang menutup pintu kebaikan yang akan
diberikan oleh kaum perempuan. Suami wajib menjaga dan memelihara istri segala
hal yang menghilangkan kehormatannya, atau mengotori kehormatannya, atau
merendahkan derajatnya, dan atau yang menghilangkan pendengarannya karena
dicela.
D. Hak Pendidikan
Di antara yang menjadi hak seorang istri suaminya ialah membimbingnya ke
arah penghayatan hukum-hukum agama, membaiki akhlaknya serta memberi tujuk
ajar kearah kebaikan dan kabahagiaan tanpa membiarkannya dalam keadaan serba
tidak betul serta menyimpang ke arah keburukan.24
Jika si suami diwajibkan menjaga
keselamatan diri istrinya, kesehatan tubuh badannya dan memberi layanan yang baik,
maka dia juga diwajibkan menjaga kesempurnaan agamanya, akhlaknya serta
kebaikan sikapnya.
Dengan demikian, si suami sudah benar-benar menjadi pemimpin yang
berkualitas serta beramanah. Justru, itu seorang suami tidak dianggap sebagai
beramanah terhadap amanah Allah jika dia tidak mempedulikan tentang kejahilan
serta penyimpangan istrinya dari kehendak agama, pengabaiannya menunaikan fardu-
fardu agama dan tidak membetulkan akhlaknya yang salah, sedangkan dia wajib
24
Mat Saad Abd Rahman, Undang-Undang Keluarga Islam Aturan Perkawinan, (Selangor:
Intel Multimedia and Publication, 2007), h. 78.
menjaga serta mengawal ahli keluarganya daripada kesiksaan dunia dan akhirat.25
Firman Allah Swt.:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! peliharalah diri kamu dan
keluarga kamu dari neraka yang bahan-bahan bakarannya: manusia dan batu
(berhala); neraka itu dijaga dan dikawal oleh malaikat-malaikat yang keras kasar
(layanannya); mereka tidak mendurhaka kepada Allah dalam segala yang
diperintahkanNya kepada mereka, dan mereka pula tetap melakukan segala yang
diperintahkan”.
Secara kesimpulannya dapat kita katakan bahwa seseorang suami tidak
mungkin dapat mengawal keluarganya (yang juga termasuk istrinya) kecuali dengan
bimbingannya yang baik dan sempurna.26
25
Ibid, h. 78. 26
Mat Saad Abd Rahman, Undang-Undang Keluarga Islam Aturan Perkawinan, (Selangor:
Intel Multimedia and Publication, 2007), h.79.
BAB III
HAK ISTRI AKIBAT PERCERAIAN MENURUT IMAM SYAFI’I
DAN KHI DI INDONESIA
Secara umumnya ikatan perkawinan merupakan anugerah dan karunia Allah
kepada umatnya. Lafaz yang diakadkan oleh suami di majelis perkawinan dan
penerimaan suami adalah merupakan kontrak yang tidak bertempoh dan berjalan buat
selama-lamanya. Meskipun, dalam menjalani kehidupan sebagai manusia biasa kita
tidak terlepas dari menerima apa-apa ujian dan cobaan termasuklah keretakan
rumahtangga.27
Rumahtangga yang kehilangan elemen-elemen tersebut menjurus kepada
kerengangan di mana hubungan suami istri menjadi tidak harmonis dan akhirnya
menjurus kepada perceraian. Bagaimanapun, kita harus menerima hakikat bahwa
jodoh dan pertemuan itu adalah ketentuan Tuhan. Islam telah menetapkan hak bagi
pihak-pihak yang terlibat dalam perkawinan dan berlakunya perceraian itu.
Di dalam Kamus Bahasa Indonesia hak memiliki pengertian tentang sesuatu
hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu
(karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dan sebagainya), kekuasaan
yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat.
Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang wajib dilaksanakan, keharusan (sesuatu
hal yang harus dilaksanakan). Di dalam perjalanan sejarah, tema hak relatif lebih
27
Mohd Razuan Ibrahim, Undang-Undang dan Prosedur, (Selangor: DRI Publishing House,
2006), h. 85.
muda usianya dibandingkan dengan tema kewajiban, walaupun sebelumnya telah
lahir. Tema hak baru “lahir” secara formal pada tahun 1948 melalui Deklarasi HAM
PBB, sedangkan tema kewajiban (bersifat umum) telah lebih dahulu lahir melalui
ajaran agama di mana manusia berkewajiban menyembah Tuhan, dan berbuat baik
terhadap sesama terlibat dalam perkawinan dan berlakunya perceraian itu.28
A. Latar Belakang Imam Syafi’i
Muhammad al-Syafi’i ibn Idris (150-205 / 767-820). Seorang tokoh arsitek
sistematika hukum Islam, lahir di Palestina dan tumbuh dewasa di Makkah. Ia adalah
keturunan Quraisy yang hidup bergaul suku-suku badwi, sehingga pengetahuannya
tentang bahasa Arab dan tentang syair-syair Arab sangatlah mendalam. Ia belajar
hukum Islam di Madinah kepada Malik ibn Anas, dan kemudian ia belajar di
Baghdad, dan kembali ke Madinah beberapa lama, karenanya ia mengenal fiqh
Hambali secara dekat. 29
Sebagai perlawanan terhadap sunnah (kebiasaan)
masyarakat Madinah yang menjadi metode penarikan hukum mazhab Maliki, dan
sebagai serangan terhadap deduktif spekulatif mazhab Hanafi, maka al-Syafi’i
berjuang mempromosikan hadis dan al-sunnah Nabi sebagai sumber otoritas utama
dalam menafsirkan perintah-perintah al-Quran. Menurutnya, otoritas hadis dan
sunnah al-Nabi lebih utama daripada qiyas (analogi), dan hal ini mendukung
keberadaan ijma’ sebagai legitimasi hukum al-Quran, hadis, sunnah, qiyas,dan ijma’
28
Wikipedia, “Pengertian Hak”, artikel diakses pada 17 Mei 2011 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Hak. 29
Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), Cet 2, h. 379.
secara bersama-sama merupakan prinsip utama hukum Islam (ushul al-fiqh), dan
merupakan dasar sistematika fiqh. Al-Syafi’i sendiri tidak bermaksud mendirikan
sebuah mazhab fiqh, melainkan hal ini merupakan supaya yang dilakukan oleh
murid-muridnya. Metodologi al-Syafi’i secara universal diterima mazhab-mazhab
lainnya.30
B. Hak Istri Akibat Perceraian menurut Imam Syafi’i
Menurut pendapat Imam Syafi’i tentang hak-hak istri akibat perceraian yaitu,
hadhanah, nafkah iddah, mut’ah,dan hutang mahar;
1. Hadhanah
a. Definisi Hadhanah dan Syarat-syaratnya
Hadhanah dalam pengertian syariat adalah mengasuh anak yang belum
tamyiz dan belum mampu mengerjakan urusannya secara mandiri, seperti merawat
dirinya, mandi, mencuci baju serta menjaga diri dari bahaya. Hadhanah termasuk dari
bagian perwalian dan penguasaan. Namun, dalam hal ini lebih diutamakan kaum
perempuan karena mereka lebih lembut, sayang, pendidikan, lebih ulet, merawat, dan
lebih akrab terhadap anak yang diasuh.31
Tidak semua orang berhak memberi
hadhanah kepada seseorang anak kecil, hanya mereka yang mampu memenuhi syarat-
syarat kelayakan seperti berikut saja yang diharuskan32
:
30
Ibid., h. 379. 31
Ibid., h. 65. 32
Mat Saad Abd Rahman, Undang-Undang Keluarga Islam Aturan Perkawinan, (Selangor:
Intel Multimedia and Publication, 2007), h.124
1. Beragama Islam. Dengan itu adalah tidak sah seorang perempuan kafir ataupun
murtad menjadi petugas hadhanah;
2. Baligh dan sempurna akalnya;
3. Mampu dan boleh dipercayai dalam menjalankan tugas penjagaan dan pendidikan
dengan sempurna;
4. Beramanah dan bermoral tinggi. Dengan arti perempuan perempuan yang terkenal
dengan kefasikannya, seperti penzina, pencuri, peminum arak, pembunuh dan
seumpamanya tidak harus melaksanakan hadhanah si kecil;
5. Sekiranya yang melaksanakan hadhanah itu adalah ibunya sendiri, maka
disyaratkan dia belum lagi berkawin dengan laki-laki lain selain dari bapak anak
kecil itu, sama ada dia masih di dalam iddahnya ataupun selepasnya. Andainya dia
kembali kepangkuan bapanya maka hak hadhanah terhadap anaknya dan tidak akan
putus, dan
6. Mempunyai tempat. Ini mengartikan bahwa si kecil tidak harus diserahkan kepada
ibunya atau siapa saja selepas ibunya yang dapat memenuhi kesemua yang di atas
jika dia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, sama ada miliknya sendiri
ataupun sewaan.
Manakala terjadi perselisihan antara suami istri perihal pengasuhan anak maka
istrilah yang berhak mengasuh anak, dengan syarat putusan hakim. Hak asuh istri
gugur bila dia telah kawin dengan laki-laki lain sebagaiman hadits yang terdahulu,
dasar logisnya cukup kuat karena istri akan disibukkan untuk melayani suami barunya.
Inilah yang dikhawatirkan akan membahayakan anak yang diasuh karena perhatian istri
terbagi kepada suami barunya, walaupun suami barunya mengizinkanya untuk
mengasuh anak tersebut.
b. Daftar Urut Pengasuhan
Kaum ibu lebih berhak untuk mengasuh si kecil dan lebih layak daripada
bapak. Yang berhak menjadi pengasuh ada tiga bagian, yaitu laki-laki dan perempuan
saja, atau laki-laki saja. Adapun pengasuh dari kalangan kaum ibu secara berurutan,
yaitu sebagai berikut:
1. Ibu, karena kasih sayang kepada anak,33
2. Nenek dari ibu, mengingat nenek termasuk orang yang besar perhatiannya kepada
cucu,
3. Nenek dari ayah, karena perhatian yang diberikan oleh nenek dari ayah sama
besarnya dengan perhatian yang diberikan oleh nenek dari ibu,
4. Ibu dari ayahnya ayah (umi abil jaddi) dan ke atas dari kalangan kaum ibu yang
berhak menerima waris dan begitu seterusnya karena mereka orang yang
mempunyai keturunan dan warisan sebagaimana ibu dan nenek,
5. Saudari kandung, karena mereka setara dalam hal nasab dan kasih sayang yang
diberikan kepada anak tersebut,
6. Saudari kandung, kemudian saudara seayah, lalu saudara seibu.
7. Bibi dari ibu,
8. Keponakan perempuan dari saudara kandung, putra-putra mereka, kemudian putri-
putri dari saudara seayah, lalu yang seibu,
33
Ibid., h. 71.
9. Bibi sekandung, seayah, atau seibu,
10. Paman sekandung atau seayah,
11. Putri-putri bibi dari kandung, seayah, atau seibu,
12. Putri-putri paman dari ayah,
13. Putra-putra paman dari ayah.34
Dapat disimpulkan bahwa yang didahulukan dalam urutan pengasuh tersebut
adalah dari kalangan ibu, nenek, saudara, dan dan dari kalangan paman. Hak asuh
diberikan kepada laki-laki yang mempunyai ikatan mahram dan waris dengan si kecil
dengan mengacu pada tuntutan warisan. Kemudian hak asuh juga diberikan kepada
pihak laki-laki yang tidak mempunyai ikatan mahram seperti anak dari paman
(sepupu si kecil). Namun, tidak boleh menyerahkan pengasuhan anak wanita yang
sudah besar kepada laki-laki untuk menghindari berduaan yang diharamkan. Akan
tetapi, si kecil boleh diasuh dan diserahkan kepada laki-laki yang bisa dipercayai dan
direkomendasikan oleh orang yang berhak mengasuhnya karena pengasuhan
merupakan haknya.
c. Hal Yang Membatalkan Hadhanah
Hadhanah dilarang bagi ibu yang tidak memenuhi syarat yang telah dijelaskan
seperti gila, budak, kafir fasik, tidak dipercayai, dan menikah dengan laki-laki lain,
terkecuali menikah dengan laki-laki yang berhak untuk mengasuh anak tersebut,
seperti paman anak itu atau seperti ayah menikahkan anaknya dengan anak istri yang
dihasilkan dari suami lain, dan kemudian melahirkan anak, hasil dari pernikahan itu.
34
Ibid., h. 71.
Lalu ayah dan ibu si anak meninggal maka istri dari bapaknya itu berhak untuk
mengasuh anak tersebut.
Orang yang tidak mempunyai hak waris (dzawil arham) tidak berhak untuk
mengasuh anak, seperti cucu laki-laki dari anak perempuan, anak laki-laki dari
saudari, anak laki-laki saudara seibu, bapaknya ibu, paman dari ayah, karena
pengasuhan itu merupakan hak perempuan yang memahami cara mengasuh dengan
baik atau merupakan kewajiban orang yang mempunyai ikatan kekerabatan yang bisa
dibuktikan dengan berhak menerima waris dari kalangan laki-laki dan ini tidak
terdapat dalam kalangan anak famili (dzawil arham).35
Orang yang garis keturunannya melalui dzawil arham tersebut, baik laki-laki
maupun perempuan tidak mempunyai hak asuh karena orang yang garis keturunan di
atasnya saja tidak mempunyai hak waris apalagi yang bergaris keturunan ke
bawahnya.36
Apabila suami istri bercerai dan mempunyai anak yang telah tumbuh
dewasa maka dia boleh hidup sendiri, tidak bersama dengan orang tuanya. Dia tidak
membutuhkan pengasuhan dan tanggungan, namun dianjurkan agar dia hidup
bersama salah satu dari kedua orang tuanya dan wajib berbakti kepada mereka. Jika
dia seorang perempuan maka dimakruhkan hidup sendirian tanpa orang tua demi
keselamatannya.
35
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟i, (Jakarta: almahira, 2010 ), h. 70. 36
Ibid., h. 70
d. Mut’ah
Mut’ah diambil dari kata mata‟, artinya sesuatu yang digunakan untuk
senang-senang. Mut’ah yaitu suatu pembayaran sagi hati yang diberikan oleh seorang
mantan suami kepada mantan istrinya yang dicerai.37
Yang dimaksud di sini ialah,
harta yang wajib diberikan suami istri yang ditinggalkannya semasa hidup akibat
perceraian maupun putusan hukum dengan syarat-syarat tertentu. Pemberian mut’ah
ini berlaku untuk pria muslim, dzimmi, muslimah, dan dzimmiah, dan lain
sebagainya.
Hukum mut’ah berbeda-beda sesuai jenis perpisahan suami istri (furqah).
Sebab furqah ada dua macam: (1) furqah akibat kematian, yang dalam hal ini,
menurut kesepakatan ulama, tidak ada mut’ah, sebagaimana dikemukakan an-
Nawawi r.a; dan (2) furqah yang terjadi saat masih hidup, seperti perceraian.38
Apabila furqah terjadi sebelum hubungan intim, baik pihak wanita ditalak
atau disumpah lian, maka akan muncul ketentuan hukum sebagai berikut:
Menurut qaul jadid, wanita itu berhak menerima mut’ah, jika dia tidak wajib
menerima separuh mas kawinnya, misalnya dia wanita mufawadhah (wanita yang
diserahkan oleh walinya kepada seorang pria untuk dinikahi), dan suami tidak
menentukan maskawin apa pun baginya. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt.:
37
Mat Saad, UU Keluarga Islam Aturan Perkawinan, (Selangor: Intel Multimedia and
Publicition, 2007), h. 165. 38
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟i, (Jakarta: almahira, 2010 ), h. 571.
Artinya: “ Tidak ada dosa bagi kalian, jika kalian menceraikan istri-istri
kalian yang belum kalian sentuh (campuri) atau belum kalian tentukan maharnya.
Dan hendaklah kalian beri mereka mut‟ah, bagi yang mampu menurut
kemampuannya dan bagi yang tidak mampu kesanggupannya, yaitu pemberian
dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat
kebaikan.”
Selain itu, wanita mufawadhah tidak memperoleh apa pun. Jadi, dia wajib
mendapatkan mut’ah, karena adanya perasaan gundah dalam dirinya. Dia berbeda
dengan wanita yang berhak menerima separuh maskawin telah cukup baginya cukup
baginya sebagai pengobatan kesedihannya. Demikian pula, menurut pendapat Imam
Syafi’i, mut’ah wajib diberikan kepada istri setelah hubungan intim, juga kepada
setiap wanita yang diceraikan suaminya tanpa ada aib dalam dirinya, atau diceraikan
oleh hakim, misalnya dalam kasus suami melakukan lian, atau ayah atau anak suami
menyetubuhinya akibat syubhat dan lain sebagainya. Status ini seperti ditalak.39
Menurut pendapat yang shahih, khuluk itu kedudukannya seperti talak,
sedangkan talak yang ditaklik kedudukannya seperti talak yang dilakukan secara
langsung. Talak itu, baik terjadi karena suami atau atas permintaan istri, statusnya
sama saja. Seandainya suami menaklik talak dengan suatu perbuatan tertentu, lalu si
istrinya melakukan perbuatan tersebut, atau dia menyetubuhi istrinya kemudian
39
Ibid., h. 572.
menalaknya setelah beberapa lama atas permintaan istri, menurut pendapat yang
shahih, hal itu statusnya seperti talak.
Begitu pula setiap perceraian yang bukan disebabkan istri, artinya bersumber
dari suami, misalnya suami murtad, melakukan lian, baru masuk Islam; atau
perceraian itu dilakukan melalui orang lain, misalnya ibu mertua istri ternyata ibu
susuannya, atau anak laki-laki suaminya akibat syubhat.40
Untuk semua kasus ini,
dalam hal kewajiban memberikan mut’ah, hukumnya seperti talak. Jika sumber
furqah (perpisahan) itu berasal dari pihak wanita, misalnya dia murtad atau masuk
Islam karena mengikuti salah satu orang tuanya, atau suami melakukan fasakh akibat
aib yang dimiliki istri, atau justru istri yang mengajukan fasakh lantaran suami
melarat atau menghilang maka wanita tersebut tidak bisa mendapatkan mut’ah, baik
perpisahan itu terjadi sebelum maupun sesudah hubungan intim, mengingat
maskawin menjadi gugur akibat adanya fasakh tersebut. Apabila suami istri
bersengketa perihal besarnya mut’ah, hakim menetapkan ukuran mut’ah menurut
pertimbangannya. Artinya, ukuran mut’ah yang harus diberikan adalah menurut
ijtihad hakim sendiri, dengan mempertimbangkan situasi dan keadaan keduanya,
seperti kaya, miskin, keturunan, termasuk juga karakter wanita tersebut.41
Hal ini
berdasarkan firman Allah Swt.:
40
Kata, Imam Nawawi rahimahullah adalah sesuatu yang tidak jelas halalnya ataupun
haramnya, karena itu kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Adapun ulama mereka
mengetahui hukumnya dengan nash atau qiyas atau istishaab atau dengan selainnya atau arti lain ragu-
ragu. 41
Ibid., h. 573.
(۲: ۲۳۴/ سرة البقرة)
Artinya: “ Dan hendaklah kalian beri mereka mut‟ah, bagi mereka yang
mampu menurut kemampuannya. Dan bagi yang tidak mampu menurut
kesanggupannya, yaitu pemberian dengan patut, yang merupakan kewajiban bagi
orang-orang yang yang berbuat kebaikan.”
e. Nafkah Iddah
Macam-macam iddah istri. Pertama, iddah karena talak raj’i (cerai tetapi
suami masih diperkenankan untuk kembali ke pangkuan istri). Kedua, iddah karena
talak ba’in (cerai yang dilakukan tiga kali oleh suami atau dengan melalui talak
khulu’(yaitu gugatan cerai yang dilakukan oleh istri dengan mengembalikan
maskawin atau sejenisnya). Ketiga, iddah dalam masa hamil. Keempat, iddah sebab
ditinggal mati oleh suaminya.
Selama iddah karena talak raj’i, istri berhak menerima nafkah serta seluruh
haknya, kecuali biaya merias diri karena dia bukan lagi milik sang suami, terkecuali
tidak bisa tidur karena kotor. Selain itu, suami wajib memberikan nafkah istrinya
jika dicerai jika istri masih tamkin.42
Di samping tanggungjawab suami memberikan nafkah dalam masa
perkawinan, suami juga dikehendaki membayar nafkah istri dalam masa iddah
karena perkawinan mereka masih lagi berterusan sehinggalah habis tempoh iddah.
Wanita yang ditalak dan berada dalam tempoh iddah berhak mendapat nafkah
daripada suaminya dalam beberapa keadaan. Istri yang diceraikan dengan talak raj’i
42
Tamkin yaitu sempurna.
adalah berhak untuk menerima nafkah dalam tempoh beriddah. Bagi istri yang
berada dalam talak bain, mereka hanya mendapat nafkah apabila hamil. Jika mereka
tidak hamil dalam tempoh beriddah, mengikut Imam Syafi’i mereka hanya berhak
mendapat tempat tinggal sahaja. 43
Istri haruslah menetap di tempat kediaman suami. Maksud menetap ialah
tidak keluar ke mana-mana dari tempat kediamannya. Maksud tempat kediaman
suami ialah kediaman yang disediakan oleh si suami sebagai memenuhi
tanggungjawab nafkah yang diwajibkan ke atasnya selepas saja akad perkawinan
dilangsungkan di antara mereka berdua. Inilah di antara tanggungjawab seorang istri
yang berada di dalam iddah cerainya yang sering tidak dipedulikan oleh si istri atau
suami atau keluarga masing-masing terutamanya keluarga si istri.
Apa yang kita tahu, selepas saja lafaz talak diucapkan oleh si suami, sama ada
talak raj’iatau talak bain, maka si istri yang diceraikan itu akan terus pulang ke
rumah ibu bapanya, atau dia terus larikan pulang ke rumah keluarganya hampir
kalaupun tidak ke rumah ibu bapanya, atau dia diusir keluar dari rumah
kediamannya oleh si suami. Sebenarnya tindakan begini boleh menjejaskan hak dan
tanggungjawab istri yang diceraikan di samping menjejaskan juga hikmah talak itu
disyariatkan.
Sebagian mantan istri berhak mendapat nafkah semasa menjalani masa
iddahnya. Ia menjadi tanggungjawab si suami untuk melaksanakannya karena sama
ada hubungan perkawinan itu masih lagi wujud seperti bekas istri yang berada di
43
Mohd Razuan, Undang-undang & Prosedur, (Selangor:Dri Publishing), h. 170.
dalam iddah raj‟i atau karena dia sedang hamil sekalipun dia sedang menjalani iddah
bain. Menurut asalnya, tidak ada nafkah yang diwajibkan untuk bekas istri yang
menjalani iddah bain walaupun dia berhak mendapatkan tempat tinggal. Tetapi
apabila, pada ketika itu, dia sedang hamil maka nafkah dan tempat tinggal diberi
peruntukan untuknya sama seperti seorang bekas istri yang menjalani iddah raj’i. 44
Hal ini disebabkan anak yang dikandungnya itu memerlukan kepada kesehatan yang
sempurna. Sedangkan kesehatan adalah tergantung pada kondisi kesehatan si ibu dan
kesehatan si ibu pula memerlukan bahan-bahan makanan dan minuman yang
sempurna begitu juga dengan tempat tinggal yang selesa. Justru itu kedua-duanya
(yaitu nafkah dan tempat tinggal) menjadi haknya yang wajib dipenuhi oleh bekas
suaminya selama sebelum dia melahirkan anaknya. Firman Allah Swt.:
(سرة
(۴:۴۵/الطالق
Artinya: “Dan jika mereka sedang hamil maka berikanlah kepada mereka
akan nafkah mereka sehinggalah mereka melahirkan anak yang dikandungnya”.
Kewajiban memberikan nafkah lain sebagainya tidak bisa gugur sampai
lewat waktu. Begitulah menurut Imam Syafi’i. Namun, nafkah tidak wajib diberikan
kepada perempuan yang hamil karena wathi syubhat dan tidak dinikahi atau
perempuan yang hamil hasil nikah fasid. Tidak wajib memberikan nafkah kepada
44
Mat Saad, UU Keluarga Islam Aturan Perkawinan, (Selangor: Intel Multimedia and
Publicition 2007), h. 164.
istri yang ragu hamil, kecuali betul-betul hamil. Apabila dia telah nyata hamil, maka
suami wajib memberikan nafkah harian.45
Jumlah nafkah bagi perempuan yang telah dicerai yaitu setara dengan
kebutuhannya saat masih bersama sang suami. Apabila nikah fasakh disebabkan
sesusuan atau aib, maka istri berhak mendapat tempat tinggal pada masa iddah. Hal
ini tidak termasuk perempuan yang cerai dari nikah fasid atau wathi syubhat karena
perempuan tersebut tidak melalui nikah yang sah.46
Dan dalil pemberian tempat tinggal bagi wanita yang ditalak ini adalah
firman Allah Swt.:
(سرة
(۱:۴۵/الطالق Artinya: “Janganlah kalian keluarkan mereka dari rumahnya, dan jangan
(diizinkan) keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas….”
Suami atau orang lain tidak bisa mengusir istri yang sedang menjalani iddah.
Dia juga tidak boleh keluar dari rumah karena dalam iddah terdapat hak Allah. Hak
tersebut tidak gugur dengan adanya saling ridha antara suami istri, kecuali dalam
kondisi darurat atau ada uzur, misalnya karena mengkhawatirkan keselamatan jiwa,
harta dan kehormatan, atau karena takut rumahnya runtuh dan terbakar, takut
sendirian, para tetangganya jahat, atau dia sangat jahat pada mereka.47
45
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟i, (Jakarta: almahira, 2010), Cet 1, h. 54. 46
Ibid., h.55. 47
Ibid., h. 21.
Imam Syafi’i berkata ada kemungkinan perintah Allah Swt. untuk
menempatkan mereka, dan tidak keluar baik siang atau malam, bukan karena suatu
makna selain makna uzur.48
Semua wanita yang dicerai dan masih memungkinkan
dirujuk kembali oleh suaminya, maka ia berhak mendapatkan nafkah selama masih
dalam iddah dari suami yang menceraikannya itu. Lalu semua wanita yang dicerai
dan suaminya tidak mungkin lagi untuk rujuk dengannya, maka ia tidak mendapatkan
nafkah (dari suaminya) selama dalam masa iddah, kecuali bila ia dalam keadaan
hamil.
Fuqaha sependapat bahwa yang beriddah dari talak raj’i memperoleh nafkah
dan tempat tinggal. Begitu halnya wanita yang sedang hamil, berdasarkan firman
Allah berkenaan dengan istri-istri yang ditalak raj’i dan istri-istri yang ditalak dalam
keadaan hamil:
Artinya: “Tempatkanlah istri-istri (yang menjalani iddahnya) itu di tempat
kediaman kamu sesuai dengan kemampuan kamu; dan janganlah kamu adakan
sesuatu yang menyakiti mereka (di tempat tinggal itu) dengan tujuan hendak
menyusahkan kedudukan mereka (supaya mereka keluar meninggalkan tempat itu).
Dan jika mereka berkeadaan sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya sehingga mereka melahirkan anak yang dikandungnya….”
Kemudian fuqaha berselisih pendapat mengenai tempat tinggal dan nafkah
bagi istri yang ditalak bain tidak di dalam keadaan hamil dalam tiga pendapat:
48
Imam Syafi’i, Kitab Al-Umm, ( Jakarta: Pustaka Azzam 2009 ), h. 599.
Pendapat pertama yaitu menetapkan istri berhak mendapat tempat tinggal dan
nafkah. Pendapat ini dikemukakan oleh fuqaha Kufah, pendapat kedua, mengatakan
bahwa istri tersebut tidak memperoleh tempat tinggal maupun nafkah. Pendapat ini
dikemukakan oleh Ahmad, Dawud, Abu Tsaur, Ishaq, dan segolongan fuqaha dan
pendapat ketiga, hanya menetapkan tempat tinggal saja untuk istri tanpa nafkah.
Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik, Imam Syafi’i dan lain.49
f. Hutang Mahar
Mahar yang perlu dibayar biasanya dilakukan semasa akad nikah dilakukan.
Ada juga sekelompok lelaki yang tidak membayarnya. Apabila mas kawin atau
pemberian tidak dibayar dan tidak dihalalkan oleh istri, istri berhak mendapat mas
kawin apabila diceraikan.50
Imam Syafi’i berpendapat, tidak wajib membayar uang
mahar seluruhnya kecuali bila diawali dengan persetubuhan yang sebenar-benarnya.
Akan tetapi, jika suami istri hanya tinggal serumah, ia hanya wajib membayar
separuh maharnya, Firman Allah Swt.:
Artinya: “Dan jika kamu ceraikan mereka sebelum kamu sentuh (bercampur)
Dengan mereka, padahal kamu sudah menetapkan kadar maskawin untuk mereka,
maka mereka berhak mendapat separuh dari maskawin yang telah kamu tetapkan itu,
49
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), Cet 3, h. 615. 50
Mohd Razuan, Undang-Undang & Prosedur, (Selangor: Dri Publishing, 2006), h. 170.
kecuali jika mereka memaafkannya tidak menuntutnya); atau (pihak) yang memegang
ikatan nikah itu memaafkannya (memberikan maskawin itu dengan sepenuhnya). Dan
perbuatan kamu bermaaf-maafan (halal menghalalkan) itu lebih hampir kepada
taqwa. dan janganlah pula kamu lupa berbuat baik dan berbudi sesama sendiri.
Sesungguhnya Allah sentiasa melihat akan apa jua yang kamu kerjakan”.
Maksudnya, bila terjadi talak, padahal belum pernah bersetubuh dalam arti
yang sebenarnya, ia wajib membayar mahar separuh dari yang telah dijanjikan.
Adapun dalam keadaan tinggal serumah dan belum melakukan persetubuhan, ia tidak
wajib membayar mahar seluruhnya.51
Mahar disyariatkan dibayar oleh suami kepada
istrinya karena dinilai dari kemampuan suami karena suami akan menafkahi
keluarganya dan ia telah mendapat nikmat dari istri.
C. Hak Istri Akibat Perceraian Menurut KHI di Indonesia
Kompilasi hukum Islam adalah merupakan rangkuman dari berbagai pendapat
hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis para ulama fiqih yang biasa
dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama yang diolah dan
dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu himpunan. Himpunan tersebut inilah
yang dinamakan kompilasi.
Materi atau bahan-bahan hukum dimaksud telah diolah melalui proses metode
tertentu, kemudian dirumuskan dalam bentuk yang serupa dengan peraturan
perundang-undangan (yaitu dalam pasal-pasal tertentu). Bahan ini kemudian
ditetapkan berlakunya melalui sebuah keputusan Presiden yang untuk selanjutnya
51
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta:Pena Pundi Aksara, 2008), Jil 3, h.45.
dapat digunakan oleh para Hakim Pengadilan Agama dalam memeriksa, mengadili
dan memutuskan sesuatu perkara yang diajukan kepadanya sebagai pedoman.52
Hak istri akibat perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
terdapat dalam beberapa pasal yaitu:
1. Pasal 156 yang berbunyi: Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali
bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
2. Ayah;
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;
6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.53
a) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah
dari ayah atau ibunya;
b) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah
dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan
Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang
mempunyai hak hadhanah pula;
52
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007),h. 14. 53
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), h. 151.
c) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat
mengurus diri sendiri (21 tahun);
d) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c),
dan (d);
e) Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan
jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut
padanya.
2. Pasal 157
Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal
96, 97.54
3. Pasal 158
Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat:
a. Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da al dukhul.
b. Perceraian itu di atas kehendak suami.
4. Pasal 159
Mut’ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada Pasal
158.
5. Pasal 160
Besarnya mut’ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.
54
Ibid., h. 152.
Menurut Pasal 156 yang dinyatakan di atas, hadhanah menjadi hak si kecil
karena dia masih memerlukan seseorang yang menjaga dan menguruskan halnya serta
mendidiknya. Hanya ibunya saja yang mampu melayani keperluan anaknya dengan
wataknya sebagai seorang ibu. Lantaran itu ia menjadi hak dan tanggungjawab
ibunya sendiri karena bapaknya tidak mampu melakukan tugas itu dengan sempurna
sekalipun dia telah berkawin dengan perempuan lain. Lagipun seorang ibu tiri tidak
mungkin akan melakukan untuk si kecil sama seperti yang dilakukan oleh ibunya
sendiri.55
Tetapi jika ibunya telah meninggal dunia, tugas mengasuh anak tersebut
digantikan kepada wanita-wanita garis lurus ke atas dari ibunya. Kerabat dari
keluarga ibunya diutamakan dibandingkan dengan bapaknya. Biaya penjagaan dan
segala keperluan anak tersebut dibiaya oleh bapaknya.
Menurut Pasal 157 yang dinyatakan di atas, harus diberi oleh mantan suami
kepada istrinya menurut ketentuan Pasal 96 dan 97. Harta bersama yaitu harta yang
diperolehi sepanjang masa perkawinan suami istri sama ada daripada sumber atau
daripada usaha mereka bersama. Harta bersama tidak semestinya hasil daripada satu
jenis pekerjaan yang dilakukan oleh suami istri yang menghasilkan satu bentuk
harta.56
Harta bersama adalah harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah antara
suami istri sehingga terjadi percampuran harta yang satu dengan yang lain dan tidak
dapat dibeda-bedakan lagi. Syirkah menurut bahasa adalah percampuran dengan harta
lain sehingga tidak dapat dibedakan lagi satu dari yangt lain. Menurut istilah Hukum
55
Mat Saad Abd Rahman, UU Keluarga Islam Aturan Perkawinan, (Selangor: Intel
Multimedia and Publication, 2007), h. 122. 56
Mohd Razuan, Undang-Undang&Prosedur, (Selangor: Dri Publishing, 2006), h.183.
Islam ialah adanya hak dua orang atau lebih terhadap sesuatu. Adapun dasar hukum
syirkah adalah diriwayatkan oleh Abu Daud Hakim:
ريرة رضى أهلل عى ل ص: قال, عه ابي اوا ثالث الشريكيه ما : قال اهلل: م.قال رس
ما ما فأرا خان خرجت مه بيى (راي اب داؤد صحح الحاكم) لم يخه احذ
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah saw bersabda, Allah
ta‟ala berfirman: Aku adalah yang ketiga dari dua orang yang berserikat selama
salah seorang diantara mereka tidak dikhianati pada temannya, apabila ada yang
berkhianat. Maka aku keluar dari mereka.” (Riwayat Abu daud, dan dishahihkan
oleh Al-Hakim).57
Dari hadis tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perkongsian (syirkah)
pada umunya menurut hokum Islam bukan hanya sekedar boleh melainkan lebih dari
itu tidak ada tipu muslihat. Di kalangan empat mazhab terdapat lima macam yang
disebutkan harta syarikat (disebut juga syarikat, syarkat, dan syirkat). Syarikat „inan,
yaitu dua orang yang berkongsi di dalam harta tertentu, misalnya bersyarikat dalam
membeli suatu barang dan keuntungannya untuk mereka. Syarikat abdan, yaitu dua
orang atau lebih bersyarikat masing-masing mengerjakan suatu pekerjaan dengan
tenaga dan hasilnya(upahnya) untuk mereka bersama menurut perjanjian yang
merreka buat, seperti tukang kayu, tukang batu, mencari ikan dilaut, berburu, dan
kegiatan yang seperti menghasilkan lainnya.
Syarikat mufawadlah, yaitu perserikatan dari dua orang atau lebih untuk
melaksanakan suatu pekerjaan dengan tenaganya yang masing-masing di antara
mereka mengeluarkan modal, menerima keuntungan dengan tenaga dan modalnya,
57
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, Penerjemah:
Achmad Sunarto, (Jakarta: Pustaka Amani, 2000), Cet 2, h. 422.
masing-masing melakukan tindakan meskipun tidak diketahui oleh pihak lain.
Syarikat wujuh, yaitu syarikat atas tanpa pekerjaan ataupun harta, yaitu permodalan
dengan dasar kepercayaan pihak lain kepada mereka.58
Syarikat mudharabah, yaitu perkongsian orang yang memilki modal dan
tidak. Artinya perkongsian yang diadakan antara orang yang tidak mempunyai modal,
dengan cara orang yang mempunyai modal untuk berusaha menyerahkan modalnya
kepada yang tidak mempunyai modal untuk berusaha dan berdagang. Disepakati
tentang bolehnya syirkah ini oleh mazhab Malikiyah dan Hambali, karena terdapat
syirkah dalam laba (keuntungan), sedangkan mazhab Syafi’i dan Hanafiyah tidak
menggolongkan ke dalam syirkah karena pekerjaan ini tidak dinamakan syirkah.59
Di dalam al-Quran dan hadis tidak diatur tentang harta bersama dalam
perkawinan. Harta kekayaan istri tetap menjadi milik istri dan dikuasai penuh olehnya
demikian pula sebaliknya, harta suami menjadi milik suami dan dikuasai sepenuhnya.
Sedangkan dalam kesadaran kehidupan sehar-hari masyarakat Islam di Indonesia
sejak dari dulu hukum adat tidak mengenalnya dan diterapkan terus menerus sebagai
hukum hidup. Apakah kenyataan ini dibuang kehidupan masyarakat? Tentu tidak
mungkin, dari pengamatan lembaga harta bersama lebih besar mudaratnya. Atas dasar
metodologi maslahah mursalah.60
“Uruf” dan kaidah “al-„adatu al-muhakmat”, para
58
Abdul Manan, Aneka Masalah H ukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana
Prenada Media Group), Cet 1, h.110. 59
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: PT al-maarif 1987), h. 196-198. 60
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Jakarta: Maktabah al-Dakwah al- Islamiyah,
1990), h. 84.
ulama melakukan pendekatan kompromistis, Prof. Ismail Muhammad Syah dalam
disertasinya.61
Telah mengembangkan pendapat pencaharian bersama suami istri mestinyya
masuk dalam rubu‟ muamalah tetapi ternyata secara khusus tidak dibicarakan,
mungkin hal ini disebabkan karena pada umumnya pengarang dari kitab-kitab
tersebut adalah orang Arab sedangkan adat Arab tidak mengenal adanya adat harta
bersama, tetapi di sana ada dibicarakan mengenai masalah perkongsian yang dalam
bahasa Arab disebut syirkah atau syarikah karena itu masalah pencaharian bersama
suami istri ini adalah termasuk perkongsian atau syarikah.
Menurut Pasal 158 yang dinyatakan tersebut, mut‟ah wajib diberikan oleh
bekas suami dengan syarat belum ditetapkan mahar qabla al dukhul penceraian itu
atas kehendak suami. Apabila seorang suami menceraikan istrinya sebelum
menyetubuhinya dan sebelum membayar sebagian maskawinnya maka bekas istrinya
berhak menuntut mut‟ah daripadanya. Si suami, pada ketika itu, wajib membayarnya.
Akan tetapi jika dia sudah mengambil sebagian maskawinnya maka dia tidak lagi
berhak menuntut mut‟ahnya.62
Firman Allah Swt.:
(۲:۲۳۴/البقرة سرة)
61
Ismail Muhamad Syah, Pencahariann Bersama Suami Istri, Ditinjau dari Sudut Undang-
Undang Perkawinan Tahun 1974 dan Hukum Adat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h. 282. 62
Mat Saad Abd Rahman, Undang-Undang Keluarga Islam Aturan Perkahwinan, (Selangor:
Intel Multimedia and Publication), Cet 2, h. 166.
Artinya: “Tidaklah kamu bersalah dan tidaklah kamu menanggung bayaran
maskahwin) jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu sentuh
(bercampur) dengan mereka atau (sebelum) kamu menetapkan maskawin untuk
mereka. Walaupun demikian, hendaklah kamu memberi "Mut'ah" (pemberian
saguhati) kepada mereka (yang diceraikan itu). yaitu: suami yang senang (hendaklah
memberi saguhati itu) menurut ukuran kemampuannya dan suami yang susah pula
menurut ukuran kemampuannya, sebagai pemberian saguhati menurut yang patut,
lagi menjadi satu kewajiban atas orang-orang (yang mahu) berbuat kebaikan”.
Menurut Pasal 159 yang dinyatakan tersebut, mut’ah disunatkan oleh bekas
suami tanpa syarat tersebut pada Pasal 158 pendapat ini juga dikemukakan oleh
Imam Malik.63
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa peemberian untuk menyenangkan
hati istri (mut‟ah) tidak diwajibkan untuk setiap istri yang diceraikan.
Menurut Pasal 160 yang dinyatakan tersebut, besarnya mut’ah disesuaikan
dengan kepatutan dan kemampuan suami. Batasan mut’ah sebaiknya tidak kurang
dari 30 dirham atau barang lain yang senilai. Mut’ah tertinggi adalah memberikan
pembantu, dan yang tengah-tengah adalah memberikan pakaian, dan sunahnya
mut’ah itu itu tidak melebihi separuh nilai mahar mitsil.
Apabila suami istri bersengkata perihal besarnya mut’ah , hakim menetapkan
ukuran mut’ah menurut pertimbangannya. Artinya, ukuran mut’ah yang harus
diberikan adalah menurut ijtihad hakim sendiri, dengan mempertimbangan situasi dan
keadaan keduanya, seperti kaya, miskin, keturunan, termasuk juga karakter wanita
tersebut.64
Hal ini berdasarkan firman Allah Swt. :
(۲:۲۶۱/البقرة سرة )
63
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani), Jil 2, h. 622. 64
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟i, (Jakarta:Almahira), Cet 1, h. 573.
Artinya: “Dan istri-istri ang diceraikan berhak mendapat mut'ah (pemberian
saguhati) dengan cara yang patut, sebagai satu tanggungan yang wajib atas orang-
orang yang taqwa”.
Kekhususan mut’ah kepada orang-orang yang berbuat baik dan takwa
didasarkan kepada kebaikan (ihsan) dan anugerah, kebaikan tidak wajib.65
D. Persamaan dan Perbedaan Hak Istri Akibat Perceraian Menurut Pendapat
Imam Syafi’i dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Hak istri akibat perceraian menurut pendapat Imam Syafi’i dan Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia, semestinya mempunyai kesamaan dan perbedaannya.
Meskipun beberapa perbedaannya, penulis akan coba untuk mencari dan dapat dilihat
seperti berikut:
1. Persamaan
Persamaan hak istri akibat perceraian menurut Imam Syafi’i dan Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia yaitu:
a. Pasal 156: Hadhanah menjadi hak ibu , jika ibunya meninggal dunia hak tersebut,
akan diganti kepada wanita-wanita garis lurus ke atas dari ibu, wanita-wanita
dalam garis lurus ke atas dari ayah, saudara perempuan dari dari anak yang
bersangkutan, wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu,
wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah seperti yang di
atur di dalam KHI di Indonesia Pasal 156 (a). Jika anak tersebut sudah mumayyiz
65
Abdul Aziz Muhammad Azzam, dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqh
Munakahat,(Jakarta: Amzah, 2009), Cet 1, h. 210.
berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayahnya atau ibunya.66
Ketentuan yang diatur di dalam di dalam KHI di Indonesia Pasal 156 sama
dengan pendapat Imam Syafi’i.
b. Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami tanpa dengan syarat belum ditetapkan
mahar bagi istri ba’da al dukhul dan perceraian itu atas kehendak suami diatur
dalam KHI di Indonesia Pasal 158 (a) dan (b) sama pendapat dengan Imam
Syafi’i.
c. Besarnya mut’ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami ini
menurut pendapat Imam Syafi’I dan KHI di Indonesia diatur pada Pasal 160.
2. Perbedaan
Perbedaan hak istri akibat perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia dan pendapat Imam Syafi’i dan yaitu:
a. Harta bersama Karena di dalam fiqih tidak diatur tentang harta bersama. Ia hanya
diatur di dalam KHI di Indonesia Pasal 157.
b. Seperti yang diatur di dalam 159 yaitu mut’ah sunnat diberikan oleh mantan suami
tanpa syarat tersebut Pasal 158, ini berbeda dengan pendapat Imam Syafi’i.
c. Hutang mahar menjadi hak mantan istri, tidak wajib membayar mahar seluruhnya
kecuali diawali dengan persetubuhan yang sebenar-benarnya. Akan tetapi, jika
suami istri hanya tinggal serumah maka wajib membayar separuh ini menurut
66
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:Akademi Pressindo, 2007), h.
151.
pendapat Imam Syafi’I dan tidak dinyatakan dalam KHI di Indonesia Bagian
Ketiga (Akibat Perceraian) dan Bagian Keempat (mut’ah).67
d. Nafkah iddah menjadi hak mantan istri yang masih di dalam iddah, ini tidak
dinyatakan di dalam KHI di Indonesia pada bagian akibat perceraian.
67
Ibid., h. 151.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setelah penulis menguraikan beberapa pembahasan mengenai hak istri dari
mantan suami merujuk pendapat Imam Syafi’i dan KHI di Indonesia penulis
mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Semua peruntukan dengan hak-hak istri akibat perceraian yang terdapat ketentuan
hukum mencakupi perkara-perkara yang diperlukan bagi memastikan tuntutan
hak istri dapat dijalankan dengan lancar dan sewajarnya sebagaimana dikehendaki
atau ditetapkan oleh hukum syarak. Hak istri akibat perceraian haruslah diberi
mengikut pada kemampuan pihak suami untuk mengadakan jumlah tersebut
dengan meletakkan taraf sosial dan kedudukan istri tahap maksimal dalam jumlah
bayaran.
2. Mantan istri mempunyai hak selepas perceraian seperti, nafkah dalam iddah, hak
pengasuhan anak (hadhanah), mut’ah, dan hutang mahar.
3. Hak istri akibat perceraian menurut pendapat Imam Syafi’i dan Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia ada persamaan dan perbedaan. Persamaannya yaitu
pada Pasal 156, 158, 159 dan 160.
4. Perbedaannya yaitu di dalam Pasal 157 yang menyatakan tentang harta bersama.
Harta bersama tidak diatur di dalam fiqih. Ia merupakan hukum adat saja yang
dikenali pada zaman sekarang. Nafkah iddah tidak diatur dalam akibat perceraian
dalam Pasal 156 sampai dengan 160.
5. Anak-anak yang mempunyai hak terhadap ibu bapak yang telah bercerai seperti
hak perlindungan, keselamatan dan kehormatan, hak pemilikan harta, hak nafkah,
pendidikan, tempat tinggal dan juga nasab. Dalam hal ini, hubungan anak dengan
ibu bapaknya akan terus ada selama-lamanya walaupun terjadi penceraian antara
ibu bapaknya.
6. Dampak dari teputusnya perkawinan akibat perceraian disebabkan cerai, khuluk
dan sebagainya. Di dalam Kompilasi Hulum Islam di Indonesia istilah akibat
perceraian dan istilah cerai menurut Imam Syafi’i sebenarnya sama tetapi di
dalam KHI di Indonesia istilah akibat putusnya perkawinan adalah karena
perceraian.
B. Saran-Saran
1. Bagi pasangan suami istri tidak harus bercerai sebaik-baiknya pasangan
trersebut harus berdamai, karena jika terjadi perceraian ada dampak negatif
terhadap anak dan keluarga yang lain.
2. Bagi pasangan suami istri, hendaklah mengetahui tanggungjawab masing-
masing dalam membina rumah tangga dan wajib mengikut hukum yang sesuci
dengan tuntutan agama dan undang-undang yang berlaku.
3. Sebagai seorang perempuan atau seorang istri mestilah mengetahui akan hak-
haknya baik dalam perkawinan atau setelah perceraian dan ketika tidak
mendapatkan nafkah dari suaminya haruslah membuat tuntutan di pengadilan
supaya suami melaksanakan tanggungjawabnya.
4. Mengenai hak-hak istri akibaat perceraian kelihatannya belum ada kesadaran
bagi pihak suami yang mengabaikan tanggungjawabnya kepada istri dan
bekas istri, seharusnya masyarakat harus tahu bagaimana pelaksanaan,
pendapat, ketentuan hukum yang berlaku pada suatu tempat tersebut dan
mazhab yang diikuti.
5. Anak-anak juga mempunyai hak terhadap ibu bapa yang telah bercerai seperti
hak perlindungan, keselamatan dan kehormatan, hak pemilikan harta, hak
nafkah, pendidikan, tempat tinggal dan juga nasab. Dalam hal ini, hubungan
anak dengan ibu bapaknya akan terus ada selama-lamanya walaupun terjadi
perceraianantara ibu dan bapaknya.
6. Masyarakat harus mengetahui ketentuan dan perkembangan masa kini hukum
yang berlaku di Indonesia , walaupun berbagai pendapat dan mazhab yang
diikuti, haruslah mengikut ketentuan yang berlaku.
7. Bagi wanita ataupun istri masih memiliki hak untuk dimiliki atau dituntut
apabila terjadinya perceraian. Oleh itu, setiap kaum wanita perlu mengetahui
hak mereka bagi memastikan mereka tidak teraniaya oleh pihak-pihak tertentu
yang tidak bertanggungjawab.
Sebagai penutupnya, adalah diharapkan agar penulisan ini sedikit banyaknya
menjelaskan hak yang dimilki pihak-pihak dalam perkawinan dan memberi ruang
kepada mereka untuk menambah pengetahuan dan menyadari hak dan tanggungjawab
masing-masing yang ada dalam undang-undang dan hukum Islam.