hak dan kedudukan anak zina dalam hukum positif indonesia

Upload: ahmad-rizza-habibi

Post on 08-Oct-2015

22 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VII/2010 diucapkan pada hari Senin, tanggal 13 Februari tahun 2012. Banyak bermunculan opini, komentar dan kritikan dari masyarakat, baik di media massa, jejaring sosial maupun kolom-kolom pembaca di pelbagai blog dan website internet, pada umumnya komentar tersebut terbagi menjadi dua kubu. Kubu yang pertama membela Putusan Mahkamah Konstitusi, dan kubu yang lain menentang putusan tersebut.

TRANSCRIPT

Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Prespektif Hukum Positif di Indonesia(Studi analisis putusan MK tentang uji materiil UU Perkawinan)

A. PendahuluanKehadiran seorang anak dalam suatu keluarga merupakan anugerah tersendiri bagi kedua orang tua, anak menjadi suatu peran penting dalam terbentuknya suatu keluarga. Karena tujuan dari suatu pernikahan sendiri bukan hanya untuk menciptakan suatu tatanan rumah tangga yang bahagia, namun juga untuk meneruskan kelangsungan suatu keturunan dari keluarga tersebut. Sejalan dengan itu Soetojo Prawirohamidjojo menyatakan bahwa tujuan utama dari sebuah perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan, memenuhi nalurinya sebagai manusia, membentuk dan mengatur rumah tangga atas dasar cinta dan kasih sayang, memelihara manusia dari kejahatan dan menumbuhkan kesungguhan mencari rezeki yang halal dan memperbesar tanggung jawab.[endnoteRef:1] Sungguh besar arti dari sebuah ikatan pernikahan, sehingga darinya menciptakan berbagai kemaslahatan untuk kelangsungan hidup manusia sendiri. [1: Soetojo Prawirohamidjojo, pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press. Jakarta. 1986. Hlm: 28-29.]

Maka dari itu banyak dari pasangan suami istri yang baru melangsungkan akad nikah sangat mendambakan akan adanya seorang anak. Karena selain menjadi penerus suatu keturunan, anak juga berfungsi sebagai pengikat cinta kasih dan kedamaian suatu mereka. Pada umumnya, orang tua berharap kepada anaknya untuk mewujudkan cita-cita mereka yang belum tercapai, selain itu anak juga merupakan pewaris yang utama terhadap harta kekayaan yang dimiliki oleh orang tua mereka kelak ketika mereka telah meninggal. Dalam perkawinan yang ideal, kehadiran anak merupakan idaman bagi setiap orang tua, namun pada kenyataannya tidaklah demikian, banyak fakta yang membuktikan bahwa masih ada orang tua yang rela membuang bahkan membunuh darah dagingnya sendiri demi menutupi aib keluarganya. Kelahiran bayi tersebut membuat malu seluruh keluarga, karena anak tersebut dihasilkan dari hubungan di luar nikah, yang notabenenya perbuatan tersebut tidak dibenarkan oleh ajaran agama dan etika yang berlaku di masyarakat pada umumnya. Dalam pandangan hukum sendiri, kelahiran merupakan sebuah peristiwa hukum yang menimbulkan banyak akibat hukum. Karena dari proses kelahiran tersebut akan menimbulkan hubungan keluarga, hubungan perwalian, hubungan waris dan hubungan-hubungan lainnya yang masih berkaitan dengan lahirnya subjek hukum yang baru di dunia ini, dengan segala status dan kedudukannya di mata hukum. Dalam hukum keluarga sendiri akan menimbulkan hubungan antara hak dan kewajiban alimentasi orang tua terhadap anaknya, sedangkan dalam hukum perwalian akan timbul pada saat orang tua si anak tidak sanggup memikul tanggung jawab terhadap anaknya, dan adapun dalam hukum waris anak akan menduduki peringkat tertinggi dalam perwarisan.Dalam Undang-undang telah jelas menyatakan bahwa seorang anak yang masih di dalam kandungan akan dijamin haknya. Dan adapun jika anak tersebut lahir dalam keadaan meninggal, maka hak-hak tersebut dianggap tidak ada, hal tersebut menunjukkan bahwasannya Undang-undang disini telah memandang bayi di dalam kandungan sebagai subjek hukum yang telah memiliki hak-hak keperdataannya. Seorang anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan biologis yang dilakukan oleh seorang laki-laki ndan perempuan akan menyandang status dan kedudukan di mata hukum berdasarkan perkawinan orang tuanya. Suatu perkawinan yang sah akan melahirkan seorang anak yang memilki status dan kedudukan yang sah dimata hukum, sedangkan seorang anak yang lahir dari suatu hubungan yang tidak sah tanpa adanya perkawinan yang sah, maka anak tersebut akan menyandang status sebagai anak luar kawin (biasa disebut dengan anak zina) ketika kelak ia terlahir ke dunia.Sejak keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VII/2010, pada tanggal 13 Februari 2012 tentang judicial riview terhadap Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, timbul banyak polemik dikalangan ulama, akademisi, praktisis, aktivis keagamaan dan LSM pemerhati anak tentang dampak dari lahirnya putusan tersebut yang dianggap akan berbenturan dengan kaidah hukum islam. Putusan tersebut mengandung kontroversi karena telah menyatakan Pasal 43 ayat (1) UU perkawinan yang menyebutkan bahwa Anak luar kawin hanya memilki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya bertentangan dengan konstitusi. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi sendiri ayat tersebut harus dibaca Anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.Dengan lahirnya putusan tersebut, penulis menaruh harapan yang besar bahwa suatu saat stigma negatif yang saat ini disandang oleh anak-anak luar kawin baik di mata hukum maupun dimata masyarakat bisa sedikit mereda, karena semua perlakuan yang tidak manusiawi terhadap anak-naak yang lahir di luar perkawinan telah menjadi fenomena sepanjang jaman yang tidak kunjung ada solusinya. Padahal jika kita sejenak berfikir dari posisi mereka, sesungguhnya mereka tidak pernah meminta untuk dilahirkan dan tidak pula diberikan kesempatan untuk memilih akan terlahir dari rahim milik siapa, maka terlalu naif jika kita menjatuhkan hukuman terhadap mereka dengan berbagai status dan kedudukan yang membuat mereka terbelenggu dalam dunia tanpa pengakuan.B. Pengaturan Tentang Kedudukan Anak dalam Undang-undang PerkawinanPasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan bahwa Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya bunyi pasal di atas juga sebenarnya menimbulkan banyak penafsiran kaeran kalimat dilahirkan diluar perkawinan itu sebenarnya mengandung makna seperti apa? Apakah yang dimaksud diluar perkawinan itu adalah suatu kelahiran yang sama sekali tanpa adanya proses perkawinan, misalnya anak yang lahir dari adanya proses perzinahan, atau juga termasuk dalam pengertian perkawinan yang tidak sah berdasarkan hukum agama senagimana disyaratkan oleh ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, atau sebenarnya menunjuk pada proses perkawinan yang tidak didaftarkan sesuai dengan Pasal 2 ayat (2)? Tiga keadaan yang disebutkan di atas masing-masing memiliki persoalan hukum yang berbeda, karena jika maksudnya menunjuk pada keadaan yang sama sekali tidak pernah ada perkawinan, maka anak yang lahir dari perkawinan siri tidak boleh digolongkan anak luar kawin, karena kelahiran anak tersebut dilahirkan dalam atau sebagai akaibat dari perkawinan yang sah. Jika maksudnya adalah perkawinan yang tidak dicatatkan maka rumusan kalimat Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tersebut menjadi tidak cocok, karena antara perkawinan dengan pencatatan merupakan dua hal yang berbeda walupun yang satu memberikan pengaruh bagi yang lain.Jika kita terjemahkan secara parsial bunyi Pasal 43 ayat (1) UU perkawinan tanpa memperhatikan ketentuan Pasal 42, maka anak dibenihkan dalam suatu perkawinan yang sah namun ketika anak tersebut lahir namun perkawinan orang tuanya telah putus, maka abnak tersebut hanya akan memilki hubungan perdata dengan ibunya karena anak tersebut lahir diluar perkawinan.[endnoteRef:2] [2: D.Y. Witanto, SH. Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin, Pasca Keluarnya Putusan MK tentang Uji Materiil UU Perkawinan, Prestasi Putakakarya, Jakarta, 2012. Hlm: 142-143.]

Contoh:Seorang suami istri menikah secara sah pada tanggal 1 januari 2013 dan tidak selang lama kemudian si isteri mengandung, ketika isterinya sedang mengandung tujuh bulan tiba-tiba suaminya meninggal, sehingga otomatis perkawinannya menjadi putus (cerai mati), dan lahirlah seorang anak setelah suaminya meninggal.Coba kita hubungkan kasus di atas dengan bunyi kalimat Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya bukankah si anak dalam kasus di atas lahir di luar perkawinan karena perkawinannya telah terputus sebelum anak tersebut lahir? Jadi jika kasusu di atas hanya diartikan dengan bunyi Pasal 43 ayat (1) UU perkawinan, maka anak tersebut tidak akan memiliki hubungan perdata dengan ayahnya. Jika pengertiannya di hubungkan dengan Pasal 42 UU Perkawinan, barulah anak tersebut akan mendapatkan statusnya sebagai anak sah karena bunyi Pasal 42 jelas menyebutukan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai sebab dari perkawinan yang sah sehingga antara Pasal 42 dengan Pasal 43 ayat (1) sesungguhnya mengandung pertautan yang kurang harmonis. Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tidak menyebutkan kata sah atau didaftarkan/dicatatkan sehingga jika ditafsirkan secara kaku, maka rumusan Pasal 43 ayat (1) tersebut dapat diartikan bahwa yang penting antara orang tua si anak pernah melangsungkan perkawinan maka setiap anak yang dilahirkan akan menjadi anak yang sah terlepas dari perkawinan yang dilakukannya itu sah atau tidak, didaftarkan atau tidak karena Pasal 43 ayat (1) tidak menentukan harus dah atau harus didaftarkan.Entah merupakan suatu kaelalaian dari pembentuk undang-undang atau sebenarnya pembentuk undang-undang menganggap bahwa rumusan Pasal 43 ayat (1) tersebut pengertianya tidak boleh dipisahkan dari rumusan Pasal 2 ayat (1) dan pasal 42 UU Perkawinan sehningga kata perkawinan dalam rumusan Pasal 43 ayat (1) mengandungpengertian bahwa perkawinan yang dimaksud adalah perkawinan menurut dua ketentuan pasal di atas. Agar kedua pasal tersebut memiliki harmonisasi, maka lebih tepat jika rumusan Pasal 43 ayat (1) itu berbunyi Anak yang tidak dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sehingga tidak menimbulkan penafsiran-penafsiran yang melenceng dari kehendak undang-undang itu sendiri.Pasal 43 ayat (2) UU Perkawinan menyebutkan bahwa kedudukan anak dalam ayat (1) selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri, namun sampai dengan saat ini pemerintah belum juga mengeluarkan peraturan pemerintah tentang kedudukan anak luar kawin sedangkan PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Taun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur tentang kedudukan anak luar kawin, sehingga sampai sekarang persoalan tentang kedudukan anak luar kawin pengaturannya masih terkatung-katung karena Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan hanya menyebutkan tentang hubungan keperdataannya saja sedangkan terhadap hak-haknya yang harus dilindungi sebagai seorang manusia tidak mendapat pengaturan yang jelas dan terperinci.Sebagai akibat dari hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, anak tersebut hanya akan mendapatkan hak waris dari ibu dan keluarga ibunya saja, termasuk segala bentuk pemeliharaan sampai anak itu dewasa hanya menjadi tanggung jawab ibunya. Sekilas saja ketentuan tersebut mengandung ketidakadilan bagi si ibu dan anaknya, karena untuk membenihkan anak tersebut dalam rahim ibunya pasti ada peran dari pihak laki-laki sebagai ayah biologisnya. Lalu karena si ayah tidak mengakui atau atau tidak kawin dengan si perempuan itu, maka hubungan keperdataannya menjadi terputus dengan si ayahnya, padahal hubungan hukum tersebut sangat diperlukan oleh si anak untuk bisa menuntut hak pemeliharaan yang wajar seperti halnya anak-anak yang yang lain pada umumnya.C. Perdebatan Seputar Dampak Hukum atas Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VII/2010 diucapkan pada hari Senin, tanggal 13 Februari tahun 2012. Banyak bermunculan opini, komentar dan kritikan dari masyarakat, baik di media massa, jejaring sosial maupun kolom-kolom pembaca di pelbagai blog dan website internet, pada umumnya komentar tersebut terbagi menjadi dua kubu. Kubu yang pertama membela Putusan Mahkamah Konstitusi, dan kubu yang lain menentang putusan tersebut. Majelis Mujahidin menyatakan bahwa Putusan Mahkamah Kostitusi menyangkut UU NO. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 43 ayat (1) telah menodai keyakinan umat beragama di Indonesia, karena tidak satupun agama yang menyatakan bahwa anak hasil hubungan di luar pernikahan seperti zina, kumpul kebo atau samen leven mempunyai kependudukan keperdataan yang sama dengan anak hasil pernikahan, hal tersebut disampaikan oleh Amir Majelis Mujahidin Indonesia Muhammad Thalib dalam siaran pers dengan detik.com pada hari Rabu 7 Maret 2012. Selanjutnya dinyatakan bahwa dampak buruk dari keputusan tersebut akan memfasilitasi kebejatan moral, prostitusi, wanita simpanan, pasangan selingkuh. Jika hamil dan melahirkan anak, mereka tidak perlu khawatir karena hak perdata mereka dilindungi oleh Keputusan Mahkamah Kostitusi tersebut, sementara ahli waris pihak laki-laki pelaku hubungan seks diluar nikah akan terdzalimi karena hak-haknya terampas disebabkan perbuatan yang tidak mereka lakukan.[endnoteRef:3] [3: http://news.detik.com/read/2012/03/07/145234/1860343/10/majelis-mujahidin-putusan-mk-tentang-anak-luar-nikah-dorong-perzinahan?99220032]

Sedangkan dilain pihak Eka N.A.M Sihombing memiliki pendapat yang berbeda, bahwa kekhawatiran pihak yang kontra terhadap Putusan Mahkamah Kostitusi sebenarnya tidak beralasan karena putusan tersebut justru memberikan pesan moral kepada laki-laki untuk tidak sembarangan melakukan hubungan seks diluar pernikahan karena ada implikasi yang akan dipertanggung jawabkan akibat perbuatannya tersebut. Mahakamah Konstitusi bermaksud agar anak yang dilahirkan diluar pernikahan mendapatkan perlindungan hukum yang memadai karena pada prinsipnya anak tersebut tidak berdosa dan kelahiran itu diluar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian yang adil terhaadap status seorang anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih disengketakan.[endnoteRef:4] [4: Eka N.A.M. Sihombing. Kedudukan Anak Luar Nikah Pasca-Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010. Dikutip dari: http://sumut.kemenkumham.go.id/berita-utama/399-kedudukan-anak-luar-nikah-pasca-putusan-mk-nomor-46puu-vii2010.]

Dalam sisi yang berbeda Nurul Irfan yang juga sebagai ahli dalam persidangan Mahkamah Kostitusi yang diajukan oleh Pemohon Aisyah Mochtar menyatakan bahwa jika dilihat dari kaca mata islam, maka putusan tersebut merupakan bentuk ijtihad dari Mahkamah Kostitusi, putusan tidak menganut aliran madzhab fiqh manapun dalam islam, namun kalau mau dipaksakan denga salah satu madzhab yang ada maka putusan tersebut lebih mendekati dengan Madzhab Abu Hanifah yang menyatakan bahwa selama ayahnya mengakui, maka hak anak diberikan.[endnoteRef:5] [5: http://klik-galamedia.com/index.php?id=201202181138046]

Terlepas dari semua pendapat diatas, maka terhadap persoalan status anak luar kawin dari pandangan hukum harus dilihat dari dua aspek, antar lain:1. Dari aspek perkawinan orang tuanya,2. Dari aspek kepentingan si anak.Jika kita menggunakan aspek yang pertama dalam melihat kandungan isi Putusan Mahkamah Kostitusi, maka jelas akan menghasilkan kesimpulan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan denagn nilai-nilai luhur dalam sebuah perkawianan apalagi jika argumen tersebut kemudian dijadikan ukuran untuk menjustifikasikan persoalan anak luar kawin, karena tidak dapat dipungkiri bahwa kelahiran seorang anak merupakan akibat dari adanya hubungan antara seorang laki-laki denag seotrang permpuan yang seharusnya menurut hukum terikat dalam suatu hubungan perkawinan. Suatu perbuatan zina akan melahirkan seorang anak dari hasil perzinahan sehingga jika melegalkan status hukum anak yang dihasilkan dari perbuatan zina, maka akan pula berdampak pada upaya melegalkan perbuatan zina.Namun jika kita menggunakan aspek yang kedua, dimana kita mencoba melepaskan sejenak tentang persoalan keabsahan perkawinan yang dilakukan oleh kedua orang tua si anak atau mungkin yang sama sekali tidak pernah ada perkawinan, maka kita akan dapat melihat beberapa hal, antara lain:1. Terjadinya kelahiran bukanlah kehendak si anak,2. Si anak tidak pernah diberikan hak untuk memilih dia akan dilahirkan dari rahim milik siapa,3. Setiap anak yang lahir diluar perkawinan memiliki kepentingan dan kebutuhan yang sama dengan anak-anak pada umumnya, sehingga tidak adil jika si anak dibatasi hak keperdataanya hanya karena kesalahan yang bukan dilakukan olehnya.4. Konstitusi melindungi hak asasi setiap anak untuk bisa mendapatkan status yang layak dihadapan hukum,5. Melepaskan tanggung jawab si ayah terhadap anaknya hanya semata-mata karena tidak terjadi perkawinan atau perkawinannya tidak sah merupakan bentuk ketidakadilan karena ia memiliki peran yang besar atas kelahiran anak tersebut.Secara prinsip kita tidak boleh mengubah pandangan bahwa setiap hubungan seksual harus didahului oleh sebuah perkawinan yang sah menurut agama dan memenuhi perintah hukum negara, namun terhadap kasus-kasus yang terlanjur lahir anak-anak yang tidak sah, maka hukum juga tidak boleh menutup mata terhadap kenyataan tersebut. Bukanlah sebuah solusi yang tepat jika anak-anak itu mejadi objek penelantaran denagn adanya nir status dan pengakuan secara hukum. Emberian hak-hak keperdataan bagi si anak tidak akan menjadikan hubungan yang dilakukan oleh orang tuanya menjadi sah dimata hukum.