hadits muktalif

20
BAB I PENDAHULUAN Hadits diyakini oleh sebagian besar umat Islam sebagai sumber kedua ajaran agama Islam setelah al-Qur'an. Keyakinan ini mengharuskan umat Islam menjadikan hadits sebagai pedoman hidup, karena ia juga merupakan tuntunan Allah. Sebagai salah satu sumber ajaran Islam, secara prinsip hadits tidak mungkin bertentangan dengan dalil lain, baik dengan sesama hadits, sebab kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Seandainya ada pertentangan, maka hal itu hanya tampak di luarnya saja. Berangkat dari prinsip ini, maka timbul upaya para ulama untuk menyelesaikan persoalan ketika mendapati teks-teks hadits yang tampak bertentangan. Hadits-hadits yang tampak bertentangan ini biasa disebut dengan istilah Ikhtilaf atau Mukhtalif al-Hadis. Dengan demikian, ilmu ini akan membahas hadits-hadits yang secara lahiriah bertentangan, namun ada kemungkinan yang dapat diterima dengan syarat. Mungkin dengan cara membatasi kemutlakan atau keumumannya dan lainnya yang bisa disebut sebagai talfiq al- hadits[1] . Imam An-Nawawi berkata dalam at-taqrib: “Ini adalah salah satu ilmu dirayah yang terpenting. Semua ulama dari berbagai golongan perlu mengetahuinya. Ilmu Mukhtalif Al-Hadits ini telah mendapat perhatian serius sejak masa sahabat, yang menjadi rujukan utama segala persoalan setelah Rasulullah. Kajian tentang hadits-hadits yang

Upload: mas-syamsudin-s

Post on 26-Dec-2015

36 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

Page 1: Hadits Muktalif

BAB I 

PENDAHULUAN

Hadits diyakini oleh sebagian besar umat Islam sebagai sumber kedua ajaran agama

Islam setelah al-Qur'an. Keyakinan ini mengharuskan umat Islam menjadikan hadits

sebagai pedoman hidup, karena ia juga merupakan tuntunan Allah. Sebagai salah satu

sumber ajaran Islam, secara prinsip hadits tidak mungkin bertentangan dengan dalil

lain, baik dengan sesama hadits, sebab kebenaran tidak akan bertentangan dengan

kebenaran. Seandainya ada pertentangan, maka hal itu hanya tampak di luarnya saja. 

Berangkat dari prinsip ini, maka timbul upaya para ulama untuk menyelesaikan

persoalan ketika mendapati teks-teks hadits yang tampak bertentangan. Hadits-hadits

yang tampak bertentangan ini biasa disebut dengan istilah Ikhtilaf atau Mukhtalif al-

Hadis. 

Dengan demikian, ilmu ini akan membahas hadits-hadits yang secara lahiriah

bertentangan, namun ada kemungkinan yang dapat diterima dengan syarat. Mungkin

dengan cara membatasi kemutlakan atau keumumannya dan lainnya yang bisa disebut

sebagai talfiq al-hadits[1]. 

Imam An-Nawawi berkata dalam at-taqrib: “Ini adalah salah satu ilmu dirayah yang

terpenting. Semua ulama dari berbagai golongan perlu mengetahuinya. 

Ilmu Mukhtalif Al-Hadits ini telah mendapat perhatian serius sejak masa sahabat, yang

menjadi rujukan utama segala persoalan setelah Rasulullah. Kajian tentang hadits-

hadits yang bertentangan ini merupakan hal yang sangat penting bagi para pengkaji

hadis. Tidak ada yang mahir dalam bidang ini, kecuali imam hadits yang tajam

analisisnya. 

Berbagai hadits yang mukhtalif telah dihimpun oleh ulama dalam kitab-kitab khusus.

Page 2: Hadits Muktalif

Sejarah mencatat bahwa ulama yang mempelopori kegiatan penghimpunan itu adalah

Imam al-Syafi`i dengan karyanya Ikhtilaf al-Hadis. Disusul kemudian oleh Ibn Qutaibah

dengan kitabnya Ta'wil Mukhtalif al-Hadis. Lalu al-Thahawi dengan judul kitabnya

Musykil al-Asar, kemudian Ibnu Khuzaimah, Ibn Jarir dan Ibn al-Jauzi. 

Para ulama sependapat bahwa hadits-hadits yang tampak bertentangan harus

diselesaikan sehingga hilanglah pertentangan itu. Hanya saja dalam menyelesaikan

pertentangan tersebut, ulama berbeda pendapat. Makalah sederhana ini akan coba

membahas meskipun sepintas bagaimana menyikapi hadits-hadits yang tampak

bertentangan itu. 

BAB II 

MUKHTALIF AL-HADITS

A. Pengertian 

Dalam kaidah bahasa Mukhtalif Al-Hadits adalah susunan dua kata benda (isim) yakni

Mukhtalif dan Al-Hadits. Mukhtalif sendiri berasal dari kata ikhtalafa yang berarti

perselisihan dua hal atau ketidaksesuaian dua hal, secara umum apabila ada dua hal

yang bertentangan, hal tersebut bisa dikatakan mukhtalif atau ikhtila. 

Dengan demikian, pengertian Mukhtalif secara bahasa adalah bertentangan atau

berselisih. Mukhtalif AI-Hadits artinya hadits yang sampai kepada kita, namun saling

bertentangan maknanya satu sama lain. 

Page 3: Hadits Muktalif

Sedangkan pengertian mukhtalif al-hadits secara istilah terdapat beberapa pengertian,

diantaranya, Al-Qaththan mengartikan mukhtalif al-hadits sebagai hadits yang diterima,

namun pada zahirnya kelihatan bertentangan dengan hadits maqbul lainnya dalam

maknanya, sekalipun memungkinkan untuk dikompromikan antara keduanya.

Sementara menurut Nuruddin 'Itr, hadits-hadits mukhtalif ialah hadis-hadis yang secara

lahiriah bertentangan dengan kaidah-kaidah yang baku, sehingga mengesankan makna

yang batil atau bertentangan dengan nas-nas syara’ yang lain. 

Dalam kajian hadits, masalah ini dibahas oleh Ilmu Mukhtalîf al-Hadîs, salah satu

cabang Ulum al-Hadis. Ilmu mukhtalif al-Hadis adalah Ilmu yang membahas hadits-

hadits yang secara tekstual/lahiriah saling bertentangan, namun hakikatnya bisa

dikompromikan, baik dengan cara memberi taqyid (batasan) kepada yang mutlaq (tak

terbatas) atau memberi takhsis (pengkhususan) kepada yang `am (umum), atau

membawanya kepada berbagai konteks peristiwa atau cara yang lain. 

Menurut Ajjaj al-Khathib, bahwa pengertian Ilmu Mukhtalif Al-Hadits adalah: 

ف�ى �ح�ث� �ب ي �م�ا ك �ه�ا �ن �ي ب �و�ف�ق� ي و�� أ ض�ه�ا �ع�ار� ت �ل� �ز�ي ف�ي ��ع�ار�ض م�ت ه�ا ظ�اه�ر� �ي� %ت ال �ث� اد�ي �ح� �أل ا ف�ى �ح�ث� �ب ي %ذ�ي� ال �م� �ع�ل ال

�ه�ا �ق�ت ق�ي ح� �و�ض�ح� و�ي �ه�ا �ال ك ش�� أ �د�ف�ع� ف�ي ه�ا �ص�و5ر� ت و�

� أ ف�ه�م�ه�ا �ل� ك �ش� ي �ي� %ت ال �ث� اد�ي �ح� �أل ا

“Ilmu yang membahas hadits-hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan atau

berlawanan, kemudian pertentangan tersebut dihilangkan atau dikompromikan antara

keduanya, sebagaimana membahas hadits-hadits yang sulit dipahami kandungannya,

dengan menghilangkan kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya”[2]. 

Page 4: Hadits Muktalif

Dari pengertian ini dapat dipahami, bahwa dengan menguasai ilmu mukhtalif al-hadits,

hadits-hadits yang tampaknya bertentangan akan dapat diatasi dengan menghilangkan

pertentengan dimaksud. Begitu juga dengan kemusykilan yang terlihat dalam suatu

hadits, akan segera dapat dihilangkan dan ditemukan hakekat dari kandungan hadits

tersebut. 

Defenisi lain menyebutkan sebagai berikut: 

مطلقها بينهاامابتقييد الجمع امكان حيث من التناقض ظاهرها التي االحاديث عن يبحث علم

اوغيرذلك الحادثة تعدد على اوحملها عامها عامها اوبتخصيص

“Ilmu yang membahas hadits-hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan, karena

adanya kemungkinan dapat dikompromikan, baik dengan cara mentaqyid

kemutlakannya, atau mentakhsis keumumannya, atau dengan cara membawanya

kepada beberapa kejadian yang relevan dengan hadits tersebut, dan lain-lain”. 

Sebagian ulama menyamakan istilah ilmu mukhtalif al-hadits dengan ilmu musykil al-

hadits, ilmu ta’wil al-hadits, ilmu talfiq al-hadits, dan ilmu ikhtiaf al-hadits. Akan tetapi

yang dimaksudkan oleh istilah-istilah di atas, artinya sama. 

Sasaran ilmu ini mengarah pada hadits-hadits yang saling berlawanan untuk

dikompromikan kandungannya dengan jalan membatasi (taqyid) kemutlakannya dan

seterusnya. Atau yang dalam kitab Manhal al-Lathif biasa disebut al-ahadits allati

mutadhadan fi al-ma’na bi hasabi azh-zhahiry. Ilmu ini tidak akan muncul kecuali dari

orang yang menguasai hadits dan fiqih. Disebutkan bahwa Imam asy-Syafi`i (w. 204 H)

adalah ulama yang memelopori munculnya disiplin ilmu mukhtalif al-hadits. Hal ini

terlihat dalam karya besarnya “al-Umm”, meskipun beliau tidak secara khusus

Page 5: Hadits Muktalif

mengarang kitab mukhtalif al-hadits, tetapi di dalam kitab al-Umm beliau

mencantumkan pembahasan khusus tentang mukhtalif al-hadits[3]. 

Jadi, ilmu ini berusaha untuk mempertemukan (talfiq al-hadits) dua atau lebih hadits

yang bertentangan maknanya. Adapun cara-cara mengkompromikan hadits tersebut

adakalanya dengan men-taqyid kemutlakan hadits, men-takhish keumumannya, atau

adakalanya dengan memilih sanad yang lebih kuat atau yang lebih banyak datangnya.

Ilmu ini sangat dibutuhkan oleh ulama hadits, ulama fiqh, dan lain-lain. 

B. Seputar Ilmu Mukhtalif Al-hadits 

Dalam penjelasan mengenai ilmu ini, akan berkaitan dengan hadits-hadits mukhtalif,

atau bisa disebut sebagai objek kajian daripada disiplin ilmu ini. Oleh karenanya perlu

adanya penjelasan tentang hadits mukhtalif tersebut. 

Hadits mukhtalif adalah hadits-hadits yang mengalami pertentangan satu sama lain.

Namun di antara pertentangan itu hanya terdapat pada zhahirnya saja, dan ketika

ditelusuri sebenarnya masih memungkinkan untuk dikompromikan. Sementara menurut

Nuruddin ‘Itr, hadits-hadits mukhtalif ialah hadits-hadits yang secara lahiriah

bertentangan dengan kaedah-kaedah yang baku, sehingga mengesankan makna yang

batil atau bertentangan dengan nash-nash syara’ yang lain. Atau lebih jelasnya tentang

mukhtalif ini adalah adanya peretentangan dengan al-Quran, akal, sejarah, atau ilmu

pengetahuan dan sains modern. 

Ilmu mukhtalif al-hadits ini muncul atas usaha para ulama setelah Rasul wafat karena

mengingat bangsa-bangsa yang bukan arab memeluk Islam serta banyanya orang yang

kurang memahami istilah atau lafadz-lafadz tertentu yang gharib atau yang sukar

dipahaminya. 

Page 6: Hadits Muktalif

Para ulama berusaha menjelaskan apa yang dikandung oleh kata-kata gharib itu

dengan mensyarahkannya secara khusus hadits-hadits yang terdapat kata-kata gharib.

Diantara ulama yang menyusun hadits-hadits yang gharib ialah Abu Ubaidah Ma’mar

bin Matsna al-Timimi al-Bisri (w. 210 H) dan Abu al-Hasan bin Ismail al-Mahdini al-

Nahawi (w. 204 H) salah satu kitab yang terbaik yang ada sekarang ini, adalah kitab “al-

Nihayah fi gharib al-Hadits” karya al-Atsir[4]. 

Dan yang termasuk dalam pengertian hadits mukhtalif adalah hadits-hadits yang sulit

dipahami (musykil). Dr. Abu al-Layth mendefinisikan hadits musykil sebagai hadits

maqbul (shahih dan hasan) yang tersembunyi maksudnya karena adanya sebab dan

hanya diketahui setelah merenungkan maknanya atau dengan adanya dalil yang lain.

Dinamakan musykil karena maknanya yang tidak jelas dan sukar dipahami oleh orang

yang bukan ahlinya. 

Ibn Furak (w. 406 H.) dalam kitabnya yang berjudul Musykil al-Hadits wa Bayanuh,

berpendapat bahwa hadits musykil adalah hadits yang tidak dapat dengan jelas

dipahami tanpa menyertakan penjelasan lain, seperti hadits-hadits yang kandungannya

berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan Dzat Allah, sifat-sifat maupun perbuatan-

Nya yang menurut akal tidak layak dikenakan penisbatannya kepada-Nya kecuali

setelah dilakukan ta’wil terhadap haditst-haditst tersebut. 

C. Contoh Hadits Yang Tampak Bertentangan 

Sebagai contoh adalah dua hadits shahih di bawah ini: 

( مسليم ....( و البخاري رواه هامة وال ة� �ر� ط�ي وال ع�د�و�ى ال�

Page 7: Hadits Muktalif

“Tidak ada penyakit yang menularan, ramalan jelek, reinkarnasi roh yang telah

meninggal ke burung hantu.....” (HR. Bukhari dan Muslim). 

Secara lahirnya bertentangan dengan hadits: 

( ومسلم ( البخارى رواه االسد تفرمن كما � الم�ج�ذ�و�م من ف�ر%

"Larilah dari orang yang sakit lepra, sebagaimana kamu lari dari singa…” (HR. Bukhari

dan Muslim). 

Para ulama mencoba mengkompromikan dua hadits ini, antara lain[5]: 

1. Ibnu Al-Shalih menta’wilkan bahwa penyakit itu tidak dapat menular dengan

sendirinya. Tetapi Allah-lah yang menularkannya dengan perantaraan (misalnya)

adanya percampuran dengan orang yang sakit, melalui sebab-sebab yang berbeda-

besa. 

2. Al-Qadhi Al-Baqillani berpendapat bahwa ketetapan adanya penularan dalam

penyakit lepra dan semisalnya itu, adalah merupakan kekhususan bagi ketiadaan

penularan. Dengan demikian arti rangkaian kalimat, “la ‘adwa” itu, selain penyakit lepra

dan semisalnya. Jadi seolah-olah Rasul Saw, mengatakan: “Tak ada suatu penyakit

pun yang menular, selain apa yang telah kami terangkan apa saja yang dapat

menular”. 

Page 8: Hadits Muktalif

D. Sebab–sebab yang Melatarbelakangi Adanya Hadits Mukhtalif 

Nabi Muhammad adalah sumber ilmu bagi sahabat. Beliau sering diminta petunjuknya

dalam kehidupan sehari-hari oleh sahabat. Hal ini berlangsung selama kehidupan Nabi.

Segala persoalan sahabat beliau berikan penyelesaian dengan tuntas. Nasehat yang

diberikan kepada seseorang kadangkala belum dipahami secara penuh oleh sahabat.

Di samping itu sahabat juga mengamati perbuatan rasul dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagian sahabat melihat perbuatan rasul dalam kaitannya dengan sebuah ibadah

sekilas bertentangan dengan hadis yang disampaikannya dengan lisan. Sehingga

pemahaman yang tidak secara komprehensif ini menjadikan dua buah hadits dalam

tema yang sama seolah bertentangan[6]. 

Dan lebih rincinya faktor-faktor yang dapat menyebabkan hadits mukhtalif adalah

sebagai berikut: 

1. Faktor Internal, yaitu berkaitan dengan internal dari redaksi hadits tersebut. Biasanya

terdapat ‘illat (cacat) di dalam hadits tersebut yang nantinya kedudukan hadits tersebut

menjadi dha’if. Dan secara otomatis hadits tersebut ditolak ketika hadits tersebut

berlawanan dengan hadits shahih. 

2. Faktor Eksternal, yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi,

yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat di mana Nabi

menyampaikan haditsnya. 

3. Faktor Metodologi, yakni berkaitan dengan bagaimana cara dan proses seseorang

memahami hadits tersebut. Ada sebagian dari hadits yang dipahami secara tekstual

dan belum secara kontekstual, yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang

dimiliki oleh seorang yang memahami hadits, sehingga memunculkan hadits-hadits

yang mukhtalif. 

4. Faktor Ideologi, yakni berkaitan dengan ideologi atau manhaj suatu madzhab dalam

Page 9: Hadits Muktalif

memahami suatu hadits, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan

berbagai aliran yang sedang berkembang. 

E. Metode Penyelesaian Hadits Mukhtalif 

1. Metode al-Jam’u wa at-Taufiq 

Metode ini dinilai lebih baik daripada melakukan tarjih (mengumpulkan salah satu dari

dua hadits yang tampak bertentangan). Metode al-jam’u wa at-taufiq ini tidak berlaku

bagi hadits–hadits dha’îf (lemah) yang bertentangan dengan hadits–hadits yang

shahih. 

Contoh aplikasi dari metode al-jam’u wa at-taufiq adalah hadits tentang cara berwudhu

Rasulullah Saw,. Hadits pertama menyatakan bahwa Rasulullah Saw. berwudhu

dengan cara membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali,

sebagaimana tampak dalam hadits berikut ini: 

ع�ن� : : ، �م� ل س�� أ �ن� ب �د� ي ز� ع�ن� ، Qم�ح�م%د �ن� ب �ع�ز�يز� ال �د� ع�ب �ا ن �ر� ب خ�

� أ ق�ال� ، اف�ع�ي5 ال�ش% �ا ن �ر� ب خ�� أ ق�ال� ، �ع� �ي ب �ر% ال �ا �ن ح�د%ث

ح� و�م�س� ، �ه� �د�ي و�ي و�ج�ه�ه�� و�ض%أ %م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل %ه� الل ص�ل%ى %ه� الل س�ول� ر� �ن% أ ، Qاس% ع�ب �ن� اب ع�ن� ، Qار �س� ي �ن� ب ع�ط�اء�

– . ج الحديث اختالف ة^ م�ر% ة^ م�ر% ه� س�� أ �ر� ٦ص ١ب

“Ar-Rabi’ telah bercerita kepada kami, dia berkata: Imam asy-Syafi’i memberi kabar

kepada kami, Ia berkata: Abdul Aziz ibn Muhammad telah memberi kabar kepada kami

dari Zaid ibn Aslam dari Atha’ ibn Yasar dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw.

berwudhu membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali-

satu kali (H.R. asy-Syafi’i)”. 

Page 10: Hadits Muktalif

Sementara dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Nabi Saw. berwudhu dengan

membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala tiga kali, sebagaimana

terbaca dalam hadits berikut ini: 

م�و�ل�ى : ان� ح�م�ر� ع�ن� ، �يه� ب� أ ع�ن� ، و�ة� ع�ر� �ن� ب � ام ه�ش� ع�ن� ، �ة� �ن �ي ع�ي �ن� ب �ان� ف�ي س� �ا ن �ر� ب خ�

� أ ق�ال� ، اف�ع�ي5 ال�ش% �ا ن �ر� ب خ�� أ

– . ج الحديث اختالف �ثا �ال ث �ثا �ال ث � �و�ض%أ ت %م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل %ه� الل ص�ل%ى �ي% %ب الن ن%� أ ، ع�ف%ان� �ن� ب �م�ان� ٧ص ١ع�ث

“Imam Asy-Syafi’i telah memberi kabar kepada kami, dia berkata Sufyan ibn ‘Uyainah

telah memberi kabar kepada kami, dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, dari Hamran

maula “Utsman ibn ‘Affan bahwa Nabi Saw. berwudhu dengan mengulangi tiga kali

(dalam membasuh dan mengusap)”. (HR Asy-Syafi’i). 

Kedua riwayat tersebut tampak bertentangan, namun keduanya sama-sama shahih dan

akhirnya diselesaikan dengan metode al-Jam’u wa at-Taufîq dengan komentar Imam

asy-Syafi’i dalam kitab Ikhtilaf al- Hadits : 

: : و�ج�ه� م�ن� �ل�ف� ت �خ� ي ف�يه�ا �ف�ع�ل� ال �ك�ن% و�ل �ق^ا، م�ط�ل ��ل�ف ت م�خ� �ح�اد�يث� األ ه�ذ�ه� م�ن� Qي�ء ل�ش� �ق�ال� ي � و�ال اف�ع�ي5 الش% ق�ال�

: ،�ة م�ر% �و�ض�وء� ال م�ن� �ج�ز�ي ي م�ا �ق�ل5 أ �ق�ال� ي �ك�ن� و�ل ، %ه�ي� و�الن م�ر�� و�األ ، � ام �ح�ر� و�ال �ل� �ح�ال ال �ف� �ال ت �خ� ال ��اح م�ب %ه� ن

� أ

– . ج الحديث اختالف ��ث �ال ث �و�ض�وء� ال م�ن� �ون� �ك ي م�ا �م�ل� ك� ٧ص ١و�أ

Dengan terjemahan bebasnya adalah Imam asy-Syafi’i berkata: “Hadits-hadits itu tidak

bisa dikatakan sebagai hadits yang benar–benar kontradiktif. Akan tetapi bisa dikatakan

bahwa berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap

kepala satu kali, sudah mencukupi/memadai, sedangkan yang lebih sempurna dalam

berwudhu adalah mengulanginya tiga kali (dalam hal membasuh wajah dan mengusap

Page 11: Hadits Muktalif

tangan serta mengusap kepala)“. 

2. Metode Tarjih 

Metode ini dilakukan setelah upaya kompromi tidak memungkinkan lagi. Maka seorang

peneliti perlu memilih dan mengunggulkan mana di antara hadits-hadits yang tampak

bertentangan yang kualitasnya lebih baik. Sehingga hadits yang lebih berkualitas itulah

yang dijadikan dalil. 

Harus diakui bahwa ada beberapa matan (teks) hadits yang saling bertentangan.

Bahkan ada juga yang benar-benar bertentangan dengan al-Quran. Antara lain adalah

hadits tentang nasib bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup akan berada di neraka.

Sebagai contoh adalah hadits berikut ini: 

%ار� الن ف�ي �م�و�ؤ�ود�ة� و�ال �د�ة� �و�ائ ال

“Perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk neraka”. (HR

Abu Dawud). 

Hadits tersebut diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud dan Ibn Abi

Hatim. Konteks munculnya hadits tersebut (Sabab Wurudnya) adalah bahwa Salamah

Ibn Yazid al-Ju’fi pergi bersama saudaranya menghadap Rasulullah Saw,. Seraya

bertanya: “Wahai Rasul sesungguhnya saya percaya Malikah itu dahulu orang yang

suka menyambung silaturrahmi, memuliakan tamu, tetapi ia meninggal dalam keadaan

jahiliyah. Apakah amal kebaikannya itu bermanfaat baginya? Nabi menjawab: Tidak.

Kami berkata: dahulu ia pernah mengubur saudaranya perempuanku hidup-hidup di

zaman Jahiliyah. Apakah amal akan kebaikannya bermanfaat baginya? Nabi

menjawab: orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dan anak yang

dikuburnya berada di neraka, kecuali jika perempuan yang menguburnya itu masuk

Page 12: Hadits Muktalif

Islam, lalu Allah memaafkannya. Demikian hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad

dan an- Nasa’i, dan dinilai sebagai hadits hasan secara sanad oleh Imam Ibnu Katsir. 

Hadits tersebut dinilai musykil dari sisi matan dan mukhtalif dengan al-Quran surat at-

Takwir/81: 8-9 : 

�ل�ت� ق�ت Qب� ذ�ن ي�� �أ ب �ل�ت� ئ س� �م�و�ء�ود�ة� ال �ذ�ا و�إ

“Dan apabila bayi–bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa

apakah dia dibunuh?” 

Kalau seorang perempuan yang mengubur bayinya itu masuk ke neraka dapat

dikatakan logis, tetapi ketika sang bayi yang tidak tahu apa-apa itu juga masuk ke

neraka, masih perlu adanya tinjauan ulang. Maka dari itu, hadits tersebut harus ditolak

meskipun sanadnya hasan, dan juga karena adanya pertentangan dengan hadits lain

yang lebih kuat nilainya, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Nabi pernah ditanya

oleh paman Khansa’, anak perempuan al- Sharimiyyah: Ya Rasul, siapa yang akan

masuk surga? Beliau menjawab: Nabi Muhammad Saw. akan masuk surga, orang yang

mati syahid juga akan masuk surga, anak kecil juga akan masuk surga, anak

perempuan yang dikubur hidup-hidup juga akan masuk surga. (HR. Ahmad.) 

3. Metode Nasikh-Mansukh 

Jika ternyata hadits tersebut tidak mungkin ditarjih, maka para ulama menempuh

metode nasikh-mansukh (pembatalan). Maka akan dicari makna hadits yang lebih

datang terlebih dahulu dan makna hadits yang datang kemudian. Otomatis yang datang

lebih awal di-naskh dengan yang datang kemudian. 

Secara bahasa naskh bisa berarti menghilangkan (al-izalah), bisa pula berarti al-naql

Page 13: Hadits Muktalif

(memindahkan). Sedangkan secara istilah naskh berarti penghapusan yang dilakukan

oleh Syari’ (pembuat syari’at; yakni Allah dan Rasulullah Saw.) terhadap ketentuan

hukum syari’at yang datang terlebih dahulu dengan dalil syar’i yang datang kemudian.

Dengan definisi tersebut, berarti bahwa hadits-hadits yang sifatnya hanya sebagai

penjelasnya (bayan) dari hadits yang bersifat global atau hadits-hadits yang

memberikan ketentuan khusus (takhsish) dari hal-hal yang sifatnya umum, tidak dapat

dikatakan sebagai hadits nasikh (yang menghapus). 

Namun perlu diingat bahwa proses naskh dalam hadits hanya terjadi di saat nabi

Muhammad Saw. masih hidup. Sebab yang berhak menghapus ketentuan hukum

syara’, sesungguhnya hanyalah Syari’, yakni Allah dan Rasulullah s.a.w.. Naskh hanya

terjadi ketika pembentukan syari’at sedang berproses. Artinya, tidak akan terjadi setelah

ada ketentuan hukum yang tetap (ba’da istiqrar al-hukm). 

Salah satu contoh dua hadits yang saling bertentangan dan bisa diselesaikan dengan

metode nasikh-mansukh adalah hadits tentang hukum makan daging kuda: 

�ر�ب�“ ك م�ع�د�ي �ن� ب � �م�ق�د�ام ال �ن� ب �ى ي �ح� ي �ن� ب �ح� ص�ال ع�ن� �ز�يد� ي �ن� ب �و�ر� ث ع�ن� %ة� �ق�ي ب �ا �ن ح�د%ث ق�ال� Qد� �ي ع�ب �ن� ب �ير� �ث ك �ا ن �ر� ب خ�� أ

�ل� ي �خ� ال � �ح�وم ل �ل� ك� أ ع�ن� �ه�ى ن %م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل %ه� الل ص�ل%ى %ه� الل س�ول� ر� �ن% أ �يد� �و�ل ال �ن� ب �د� ال خ� ع�ن� ج�د�ه� ع�ن� �يه� ب

� أ ع�ن�

” �اع� ب الس� م�ن� Qاب� ن ذ�ي �ل� و�ك �ح�م�ير� و�ال �غ�ال� �ب و�ال

%ه�“ الل س�ول� ر� �ا ط�ع�م�ن� أ ق�ال� Qر� اب ج� ع�ن� Qار� د�ين �ن� ب ع�م�ر�و ع�ن� �ان� ف�ي س� �ا �ن ح�د%ث ق�اال� pع�ل�ي �ن� ب �ص�ر� و�ن �ة� �ب �ي ق�ت �ا �ن ح�د%ث

.” �ح�م�ر� ال � �ح�وم ل ع�ن� �ا �ه�ان و�ن �ل� ي �خ� ال �ح�وم� ل %م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل %ه� الل ص�ل%ى

Dua hadits di atas terlihat saling bertantangan, hadits pertama berisi tentang larangan

makan daging kuda yang sekaligus menjadikan ia haram. Hadits kedua menunjukkan

kebolehan memakan daging kuda. Pertentangan ini tidak boleh tidak, hatus dihilangkan

dengan cara naskh. Hukum keharaman makan daging kuda pada hadits pertama telah

di-naskh-kan oleh hukum kobolehan makan daging kuda pada hadits Jabir ibn ‘Abdillah

Page 14: Hadits Muktalif

yang datang setelahnya. 

4. Metode Ta’wil 

Metode ini bisa menjadi salah satu alternatif baru dalam menyelesaikan hadits-hadits

yang bertentangan. Sebagai contoh hadits tentang lalat. Hadits tersebut dinilai

kontradiktif dengan akal dan teori kesehatan. Sebab lalat merupakan serangga yang

sangat berbahaya dan bisa menyebarkan penyakit. Lalu bagaimana mungkin Nabi

s.a.w. menyuruh supaya menenggelamkan lalat yang hinggap di minuman? Demikian

kurang lebih keraguan dan penolakan Taufiq Shidqi terhadap kebenaran hadits tentang

lalat sebagaimana dikutip G.H.A. Juynboll. Hadits tersebut : 

Qن� �ي ن ح� �ن� ب �د� �ي ع�ب �ي ن �ر� ب خ�� أ ق�ال� Q �م ل م�س� �ن� ب �ة� �ب ع�ت �ي �ن ح�د%ث ق�ال� Qل �ال� ب �ن� ب �م�ان� �ي ل س� �ا �ن ح�د%ث Qد� ل م�خ� �ن� ب �د� ال خ� �ا �ن ح�د%ث

: ف�ي �اب� الذ5ب و�ق�ع� �ذ�ا إ %م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل %ه� الل ص�ل%ى �ي5 %ب الن ق�ال� �ق�ول� ي �ه� ع�ن %ه� الل ض�ي� ر� ة� �ر� ي ه�ر� �ا �ب أ م�ع�ت� س� ق�ال�

ف�اء^ ش� ى خ�ر�� و�األ� د�اء^ �ه� ي �اح� ن ج� �ح�د�ى إ ف�ي �ن% ف�إ �ز�ع�ه� �ن �ي ل �م% ث ه� �غ�م�س� �ي ف�ل �م� ح�د�ك

� أ اب� ر� ش�

“Khalid Ibn Makhlad bercerita kepada kami, Sulaiman ibn Bilal bercerita kepada kami,

dia berkata: Uthbah ibn Muslim telah bercerita kepadaku, dia berkata, Ubaidah ibn

Hunain berkata: saya mendengar Abu Hurairah berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda:

apabila ada lalat jatuh dalam minuman salah seorang kalian, maka hendaklah ia

membenamkannya sekalian, lalu buanglah lalat tersebut. Sesungguhnya pada salah

satu sayapnya terdapat penyakit, sedang pada sayap yang lain terdapat penawar

(obat)”. (HR al-Bukhari). 

Selintas hadits tersebut memang tidak masuk akal dan kontradiksi dengan teori

Page 15: Hadits Muktalif

kesehatan. Namun ternyata hasil penelitian dari sejumlah peneliti muslim di Mesir dan

Saudi Arabia terhadap masalah ini, justru membuktikan lain. Mereka membuat

minuman yang dimasukkan kedalam beberapa bejana yang terdiri dari air, madu dan

juice, kemudian dibiarkan terbuka agar dimasuki lalat. Setelah lalat masuk kedalam

beberapa minuman tersebut, mereka melakukan komparasi penelitian, antara minuman

yang ke dalamnya dibenamkan lalat dan tidak dibenamkan. Ternyata melalui

pengamatan mikroskop diperoleh hasil bahwa minuman yang dihinggapi lalat dan yang

tidak dibenamkan dipenuhi dengan banyak kuman dan mikroba, sementara minuman

yang dihinggapi lalat justeru tidak dijumpai sedikitpun minuman dan mikroba. Ini adalah

sebuah penelitian ilmiah dan semakin membuktikan kebenaran hadits tersebut secara

ilmiah meskipun pada awalnya dari zhahir hadits terlihat mempunyai pertentangan

dengan ilmu kesehatan[7]. 

Sebenarnya masih terdapat metode dalam penyelesaian hadits mukhtalif yang mana

biasa disebut metode tawaqquf. Namun ditengarai ketika orang menggunakan metode

ini terkesan hanya membiarkan saja tanpa ada usaha untuk melakukan komparasi

dengan penelitian lebih lanjut. Oleh karenanya lebih cenderung menggunakan metode

ta’wîl daripada menggunakan metode tawaqquf. Karena setiap sumber perkataan Nabi

pasti mengandung sebuah makna dan tujuan sehingga bagaimanapun juga kita harus

mengungkap makna yang tersirat di dalamnya. 

 

 

 

BAB III 

PENUTUP

1. Kesimpulan 

Ilmu mukhtalif al-hadits, ilmu musykil al-hadits, ilmu ta’wil al-hadits, ilmu talfiq al-hadits,

Page 16: Hadits Muktalif

dan ilmu ikhtiaf al-hadits merupakan istilah yang memiliki pengertian yang sama, yakni

ilmu yang berusaha untuk mempertemukan (talfiq al-hadits) dua atau lebih hadits yang

bertentangan maknanya. Adapun cara-cara mengkompromikan hadits tersebut

adakalanya dengan men-taqyid kemutlakan hadits, men-takhish keumumannya, atau

adakalanya dengan memilih sanad yang lebih kuat atau yang lebih banyak datangnya.

Ilmu ini sangat dibutuhkan oleh ulama hadits, ulama fiqh, dan lain-lain. Adapun Metode

Penyelesaian Hadits Mukhtalif, ialah Metode al-Jam’u wa at-Taufiq, Metode Tarjih,

Metode Nasikh-Mansukhdan Metode Ta’wil. 

2. Saran 

Dari uraian diatas, kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih terdapat

banyak kesalahan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, jika pembaca

menemukan kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini dengan senang hati kami

menerima saran maupun kritik dari pembaca demi sempurnanya materi dalam makalah

ini. 

BAB IV 

DAFTAR PUSTAKA

Subhi As-Shalih, 2000, Membahas Ilmi-Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus. 

Munzier Suparta, 2002, Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 

Ilyas Husti, 2007, Studi Ilmu Hadits, Pekanbaru: Yayasan Pustaka Riau Bekerjasama

dengan Lembaga Penelitian dan Pengembangan UIN SUSKA RIAU. 

Page 17: Hadits Muktalif

http://efrizalmalalak.blogspot.com/2010/05/hadis-mukhtalif.html 

http://nanangsoehendar.blogspot.com/2012/03/ilmu-mukhtalif-al-hadits-wa-

musykiluh.html 

--------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------

[1] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmi-Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000, hal.

104 

[2] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 42 

[3] Munzier Suparta, Ibid., hal. 45 

[4] Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadits, Pekanbaru: Yayasan Pustaka Riau Bekerjasama

dengan Lembaga Penelitian dan Pengembangan UIN SUSKA RIAU, 2007, hal. 13 

[5] Munzier Suparta, op. cit., hal. 44 

[6] http://efrizalmalalak.blogspot.com/2010/05/hadis-mukhtalif.html 

[7] http://nanangsoehendar.blogspot.com/2012/03/ilmu-mukhtalif-al-hadits-wa-

musykiluh.html