hadits-hadits kotradiksi tentang berjabat...
TRANSCRIPT
HADITS-HADITS KOTRADIKSI TENTANG BERJABAT TANGAN
DENGAN LAWAN JENIS YANG BUKAN MAHRAM: STUDI
KRITIK SANAD DAN MATAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Agama (S.Ag)
Oleh:
Helfiani
NIM. 53030150006
PROGRAM STUDI ILMU HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN) SALATIGA
2019
ii
iii
iv
v
MOTTO
Jadikanlah dirimu sendiri untuk bahagia selalu dan disaat cita-cita mu telah
tercapai jangan pernah berhenti untuk slalu bersyukur, berdoa, dan berusaha
setelah kesuksesan itu telah tercapainya. BAHAGIA ITU SEDERHANA.
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orang tuaku
Kepada saudara-saudaraku
Kepada dosenku
Dan kepada pembaca skripsi ini.
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Penulis memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT. Atas taufik
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul
“HADITS-HADITS KONTRADIKSI TENTANG BERJABAT
TANGAN DENGAN LAWAN JENIS YANG BUKAN MAHRAM:
STUDI KRITIK SANAD DAN MATAN” Penulis menyadari sepenuhnya
bahwa penulisan skripsi ini tidak lepas dari peran berbagai pihak, oleh
karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag., Selaku Rektor
Institut Agama Islam Negeri Salatiga.
2. Bapak Dr. Benny Ridwan, M.Hum, selaku Dekan Fakultas
Ushuludin, Adab dan Humaniora beserta jajarannya.
3. Ibu Miftachur Rif‟ah Mahmud, M.Ag. selaku ketua program studi
Ilmu Hadits.
4. Bapak Dr. Muh. Irfan Helmy, Lc., M.A.selaku Dosen Pembimbing
yang tiada hentinya memberikan saran untuk dapat menyelesaikan
skripsi ini.
5. Dosen-dosen pengajar Ilmu Hadis yang telah memberikan ilmunya.
6. Teman-teman seangkatan IH 2015 yang telah menemaniku empat
tahun ini.
7. Teman-teman yang selalu memberikan semangat kepadaku.
8. Semua pihak yang telah berkecimpung dan menetap dalam
kehidupanku, terimakasih kasih.
Sebagai manusia biasa, dengan segala kerendahan hati dan
keterbatasannya, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
sempurna dan terdapat banyak kekurangan baik dari segi isi maupun teknik
vii
penulisannya, karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari
berbagai pihak yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Salatiga, 01 Oktober 2019
Peneliti,
Helfiani
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Transliterasi Arab-Latin
Daftra huruf arab dan transliterasinya kedalam huruf latin dapat
dilihat pada tabel berikut:
1. Konsonan
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama
Alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan ا
Ba B Be ب
Ta T Te ت
. ث
Sa .
S
Es (dengan titik
diatas)
Jim J Je ج
Ha ح
Ḥ Ha (dengan titik di
bawah)
Kha Kh Ka dan Kh خ
Dal D De د
. ر
Zal
.
Z
Zet (dengan titik di
atas)
Ra R Er ر
Zai Z Zet ز
Sin S Es ش
Syin Sy Es dan Ey ظ
Ṣad Ṣ Es (dengan titik di ص
bawah)
ḍad ḍ De (degan titik di ض
bawah)
Ṭa Ṭ Te (dengan titik di ط
bawah
ẓa ẓ Zet (dengan titik di ظ
bawah)
Ain „_ Apostrof terbalik„ ع
Gain G Ge غ
Fa F Ef ف
ix
Qaf Q Qi ق
Kaf K Ka ن
Lam L El ل
Mim M Em و
Nun N En
Wau W We و
Ha H Ha
Hamzah _‟ Apostrof ء
Ya Y Ye
Hamzah (ء) yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa
diberi tanda apa pun. Jika ia terletak ditengah atau diakhir, maka
ditulis dengan tanda ( ‘ ).
2. Vokal
Vokal bahasa arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Vokal tunggal bahasa arab yang lambangnya berupa tanda atau
harakat, transliterasinya sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf latin Nama
Fathah A A ا
Kasraah I I ا
Dhomah U U ا
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan
antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:
Tanda Nama Huruf latin Nama
Fathah dan ya Ai A dan I ى
Fathah dan wau Au A dan U ى و
Contoh:
ف kaifa:ك
ل haula:ه و
3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang panjangnya berupa harakat dan
huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
Harakat dan
Huruf
Nama Huruf dan Tanda Nama
ى--- | ا--- Fathah dan alif
atau ya
_
A
a dengan garis
di atas
x
ىي Kasrah dan ya _
I
i dengan garis
di atas
Dhomah dan ى و
Wau
_
U
u dengan garis
di atas
Contoh: ات : ي
ي ي : ر
ت و :
mâta
ramâ
yamûtu
4. Ta Marbûtah
Transliterasi untuk ta marbûtah ada dua, yaitu ta marbûtah yang
hidup atau mendapat harakat fathah, kasrah dan dhammah,
transliterasinya adalah (t). Sedangkan ta marbûtah yang mati atau
mendapat harakat sukun, transliterasinya adalah (h).
Kalau pada kata yang berakhir dengan ta marbûtahdiikuti oleh kata
yang menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu
terpisah, maka ta marbûtah itu ditransliterasikan dengan ha (h).
Contoh:
ا ل ط ف ال ة ض و rauḍah al-aṭfâl : ر
ة ذ ه ة ا ن ان ف اض : al-madânah al-fâḍilah
ة ك al-hikmah : ا ن ح
5. Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda tasydid ( ), maka dalam transliterasi ini
dilambangkan dengan perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi
tanda syaddah.
Contoh:
ب ا rabbanâ: ر
ا najjaânâ : ج ك al-ḥaqq : ا ن ح
ج al-ḥajj : ا ن ح
xi
ى nu‟ima : ع
و ذ aduwwun„ : ع
Jika huruf ى bertasydid di akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf
kasrah ( ي .maka ditransliterasikan seperti huruf maddah (â) ,(ض
Contoh:
ه ali (bukan „aliyy atau „aly)„: ع
ض ر arabi (bukan „arabiyy atau „araby)„ : ع
6. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf
( alif lam ma „ arifah ) . Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang
ditransliterasi seperti biasa, al-, baik ketika ia diikuti oleh huruf
syamsiah maupun huruf qamariah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi
huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari
kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-).
Contoh:
ص Al-Syamsu (bukan Asy-Syamsu) : ا ش
ن ة ن س Al- Zalzalah (bukan Az-Zalzalah) : ا ن سف ة Al-Falsafah : ا ن ف ه ط _ : ا ن ب لا د
Al-Biladu
7. Hamzah
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof („) hanya berlaku
bagi hurufhamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila
hurufhamzah terletak di awal kata, maka tidak dilambangkan karena
dalam tulisan Arab ia berupa alif.
Contoh:
و ر ج ا ي : ta‟murūna
ء ‟al-nau : ا ن و
ء syai‟un : ش ت ر umirtu : ا ي
8. Penulisan Kata Arab Yang Lazim Digunakan Dalam Bahasa
Indonesia
Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah
atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata,
istilah atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari
pembendaharaan bahasa Indonesia tidak lagi ditulis menurut cara
transliterasi di atas, misalnya kata hadis, sunnah, khusus dan umum.
xii
Namun bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks
Arab, maka harus ditransliterasi secara utuh.
Dikecualikan dari pembakuan kata dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) adalah kata al-Qur‟an. Dalam KBBI digunakan kata
Alquran, namun dalam penulisan naskah ilmiah dipergunakan sesuai
asal teks Arabnya yaitu al-Qur‟an, dengan huruf a setelah apostrof tanpa
tanda panjang, kecuali jika merupakan bagian dari teks Arab.
Contoh:
Fi al-Qur‟an al-Karîm
Al-Sunnah qabl al-tadwîn
9. Lafz Aljalâlah (الله)
Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf
lainnya atau berkedudukan sebagai muḍâf ilaih (frasa
nominal)ditransliterasi tanpa huruf hamzah.
Contoh:
الله dînullah د
billâh ب الله
Adapun ta marbûtahdi akhir kata yang disandarkan kepada lafẓ al-
jalâlahditransliterasi dengan huruf (t).
Contoh:
ة الله ح ر ف hum fî rahmatillâh ه ى
10. Huruf Kapital
Walaupun dalam sistem alfabet Arab tidak mengenal huruf kapital,
tetapidalam transliterasinya huruf-huruf tersebut diberlakukan ketentuan
tentang penggunaan huruf kapital berdasarkan Pedoman Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan. Huruf kapital antara lain digunakan
untuk menuliskan huruf awal nama diri (orang, tempat, bulan) dan huruf
pertama pada permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata
sandang (al-), maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal
nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada
awal kalimat, maka huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan
huruf kapital (Al-). Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal
dari judul referensi yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika
ditulis dalam teks maupun dalam catatan rujukan.(CK, DP, CDK, dan
DR). Contoh:
xiii
_ _ _
Wa ma MuḤammadun illa rasul
_ _ _
Inna awwala baitin wuḍi„a linnasi lallaẓi bi Bakkata mubarakan.
xiv
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis ucapkan syukur sebanyak-banyaknya atas kehadirat Allah
SWT. yang memberikan rahmat, curahan kasih sayang, serta karunia
yang telaah diberikan kepada penulis berupa kesehatan daan waktu
yaang cukup banyak untuk menyelesaikaan tugas akhir penulis sebagai
mahasiswa IAIN Salatiga prodi Ilmu Hadis, dalam menyelesaikan
Skripsi ini. Shalawat serta salam selaalu penulis kirimkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad saw., yang slalu membawa keberkahan
dan slalu mengajak umatnya untuk berbuat kebaikaan terhadap
seseorang yang membutuhkan, mengajak kebenaran dengan izin-Nya
dan pemberi cahaya penerang bagi umatnya.
Dan dalam pembuatan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya
bahwa dalam pembuatan skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya
bantuan dan dukungan secara aktif maupun pasif dari berbagai pihak.
Oleh karna itu, penulis merasa sangat perlu untuk menyampaikan
ucapan terimakasih kepada kepada pihak yang membantu maupun yang
telah membimbing, mengarahkan, memberikan petunjuk, memberikan
nasehat, dan tak lupa memberikan do‟a dan motivasi agar penulis terus
belajar dalam hal apapun. Motivator pertama yang slalu memberikan
dukungan do‟a, serta usaha, yang telah diberikan kepada penulis yaitu:
1. Bapak Heri Ponimin dan Ibu Any Hidayah yang selama ini telah
berjuang, merawat, membesarkan, mendoakan, bekerja mencari
nafkah untuk anak-anaknya, sehingga penulis dapat memperoleh
pencapaian seperti sekarang ini. Segala do‟a, kasih sayang dan
kesabaran dalam mendidik ananda, semoga beliau mendapatkan
kebahagiaan di dunia maupun diakhirat dan mendapatkan
balasan yang berlimpah dari Allah SWT.
2. Ucapan terimkasih kepada bapak ibu guru TK sampai SMA dari
penulis belajar membaca, menulis, menghitung dan lain
sebagainya. Terimakasih atas bimbingan selama belajar di
sekolah, tak pernah lupa jasa-jasa bapak ibu guru selama
mengajar, hingga penulis bisa melanjutkan kejenjang perguruan
tinggi dan telah mendapatkan gelar S.Ag.
3. Kepada ibu Dra. Ulfah Susilawati, M.Si. selaku Pembimbing
Akademik yang slalu memberikan motivasi yang tak dilupakan.
xv
4. Kepada Ibu Miftachur Rif'ah Mahmud, M.Ag. selaku ketua prodi
Ilmu Hadis bersama sekretarisnya Bp. Dr. Muhammad Rikza
Muqtada, M. Hum.
5. Kepada bapak Dr. Muh. Irfan Helmy, LC., M.A. selaku
pembimbing penulis yang dengan ikhlas membimbing dan
memberikan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi
sejak awal hingga akhir.
6. Para dosen di lingkungan Fakultas Ushuluddin, Adab dan
Humaniora IAIN Salatiga, yang telah berjasa mengajar dan
mendidik penulis selama menjadi mahasiswa di IAIN Salatiga.
7. Kepada keluarga penulis yang slalu memberikan dukungan serta
do‟a-do‟anya.
8. Kepada sahabat-sahabat penulis terkhusus sahabat satu
perjuangan di kelas Ilmu hadis 2015 yang slalu mendukung satu
sama lain dan saling mendo‟akan satu sama lain agar kita tetap
menjadi yang terbaik untuk sahabat-sahabat disekeliling kita
bahagia.
9. Terakhir, penulis ucapakan banyak terimakasih kepada mereka
yang berkenan membaca dan mengoreksi skripsi ini, sehingga
kedepannya bisa menjadi lebih baik dan dapat diterima secara
layak di masyarakat. Semoga skripsi ini dapat memberikan
manfaat bagi pembaca.
Salatiga, 01 Oktober 2019
Penyusun
Helfiani
NIM. 53030150006
xvi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................. i
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .................................. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................... iii
PENGESAHAN KELULUSAN ............................................. iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ........................................... v
ABSTRAK .............................................................................. vi
KATA PENGANTAR.....................................................vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................. ix
UCAPAN TERIMA KASIH .................................................. xv
DAFTAR ISI ....................................................................... xviii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ......................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................. 8
C. Tujuan Penelitian. ................................................... 8
D. Manfaat Penelitian .................................................. 8
E. Kajian Pustaka......................................................... 9
F. Metode Penelitian ................................................. 11
G. Sistematika Pembahasan ....................................... 15
BAB II HADITS-HADITS KONTRADIKSI TENTANG HUKUM
BERJABAT TANGAN DENGAN LAWAN JENIS YANG BUKAN
MAHRAMNYA
A. Hadits Mukhtalif dan MetodePembahasan ...... 17
B. Hadits-Hadits Larangan dan Bolehnya
Berjabat Tangan dengan Lawan Jenis………26
C. Pendapat Para Ulama Tentang Larangan
D. dan Bolehnya Berjabat Tangan dengan Lawan
Jenis yang Bukan Maramnya .................................. 36
BAB III KRITIK SANAD TENTANG BERJABAT TANGAN
DENGAN LAWAN JENIS YANG BUKAN MAHRAMNYA
A. Takhrij Hadits ................................................ 39
B. I‟tibar Hadits .................................................. 57
C. Naqd‟ Hadits....................................................62
xvii
BAB IV KRITIK MATAN HADITS TENTANG BERJABAT
TANGAN DENGAN LAWAN JENIS YANG BUKAN
MAHRAMNYA
A. Teori Kritik Matan ............................................ 83
B. Analisa Kritik Matan ......................................... 84
C. Kesimpulan Hasil Penelitian Kritik Sanad
dan Matan .......................................................... 92
BAB V PENUTUP ............................................................. 93
A. Kesimpulan ........................................................ 93
B. Saran...... ............................................................. 94
DAFTAR PUSTAKA .......................................................... 95
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................. 98
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur‟an.
Fungsi hadits yaitu menetapkan hukum yang belum nyata disebutkan di
dalam al-Qur‟an. Dari kata al-hadits )ث ذ )ا نح ,yaitu kata mufrad, jamak
dari kata al-hadits yaitu ) اد ث الأح ), dasar dari kata tersebut yaitu
tahdits) ث ذ yang artinya “pembicaraan”. Adapun dari segi bahasa ,(ج ح
kata al-hadits memiliki beberapa arti, diantaranya yaitu: Al-Jadid) ذ ذ ;(ا ن ج
yang berarti “yang baru”, Ath-thariqah al-Maslukah) ة ك ه و ط ا ن م ة ;(ا نطر
yang berarti “jalan yang ditempuh”, Al-Khabar ( ب ر yang berarti ;(ا ن خ
“berita”, As-sunnah ( ة yang berarti “perjalanan”.52 ;(ا نط
Adapun menurut istilah, yaitu segala sesuatu yang bersumber dari
Nabi SAW, baik dari perkataan, perbuatan, dan ketetapaan (taqrir)
maupun dari sifat beliau. Dari ahli hadits dan ahli ushul berbeda
pendapat dalam pengertian hadits Nabi, yaitu menurut ahli hadits
memandang hadits sebagai sesuatu yang bersumber dari Nabi
Muhammad sendiri, hingga setiap apa yang melekat pada Nabi
Muhammad akan menjadi kebiasaan yang akan ditiru oleh umatnya yang
bersifat kemanusiaan. Sedangkan ahli ushul memandang Nabi
Muhammad Saw, apa yang menjadi kebiasaan dan bersifat kemanusiaan
tidak termasuk hadits.
Dalam memahami hadits harus mempunyai kejelian yang kuat karna
bisa menentukan mana hadits shahih, hasan, dan dhaif atau mempunyai
metode yang tepat. Jika ada hadits-hadits yang bertentangan secara
dhahir satu dengan yang lainnya, maka hadits yang bertentangan lebih
baik diteliti dahulu kebenarannya, karna sebuah riwayat hadits harus
52
Ma‟shum Zein, Ilmu Memahami Hadis Nabi: Cara Praktis Menguasai Ulumul
Hadits dan Mustholah Hadits, ((Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2016), h.1-2.
ii
lebih dipahami dengan melihat riwayat yang lain, sehingga apa yang
dimaksudkan dalam hadits tersebut akan menjadi lebih jelas.53
Sebuah hadits mempunyai bebeapa redaksi, yaitu yang bersifat
umum satu riwayat sedangkan redaksi yang bersifat khusus yaitu dengan
topik yang sama. Sebagaimana halnya redaksi hadits yang bersifat
muthlaq (pengertian secara luas), muqayyad (pengertian secara terbatas),
mujmal (global), dan mubayyin (penjelas) pada topik yang sama. Maka,
dalam hal ini yang mutlak harus dipahami dengan pengertian yang
muqayyad, sedangkan yang mujmal harus dipahami dengan pengertian
yang mubayyin. Sehingga yang tadinya bersifat global dalam redaksi
hadits maka akan lebih jelas (mubayyan). Jika dalam arti lain, hadits
yang belum jelas dalam maknanya lebih baik harus ditafsirkan oleh
hadis yang sudah jelas maknanya. Inilah yang disebut bahwa hadits
dengan hadits saling menjelaskan, sebagaimana halnya al-Qur‟an yaitu
ayat dengan ayat saling menafsirkan.
Banyak persoalan yang sedang di hadapi oleh masyarakat muslim,
dengan ini penulis ingin menyampaikan pemahaman hadits yang
(kontradiktif) bertentangan dengan persoalan yang membahas pendapat
pemahaman para ulama empat madzhab dan ulama kontemporer yaitu
Yusuf Qardhawi serta meneliti sebuah hadis yang berbeda pendapat
dengan melakukan penelitian kritik sanad dan kritik matan hadis tersebut
yang berkaitan dengan tema boleh tidaknya berjabat tangan antara laki-
laki dan perempuan yang bukan makhramnya.
Dalam status kemahraman keluarga yang perlu diperhatikan untuk
saling menyentuh atau menghindari dalam berjabat tangan yaitu dengan
cara pemahaman dari anak-anak terlebih dahulu untuk mengetahui nasap
kemahraman yang boleh atau tidak untuk bersentuhan dan
menerapkannya kedalam sosialisasi antara orang tua terhadap anaknya.
Hal ini perlu diperhatikan dalam memahami kemahraman antara
keluarga seperti anak paman atau anak bibi dari ayah maupun ibu
(bukan mahramnya), istri paman dari ayah maupun ibu (mahram nasap),
dan saudara ipar/ponakan ipar/sepupu (bukan mahramnya) atau wanita-
53
Ali Musthafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadits, (Cet. I, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2016), h. 133.
iii
wanita lain yang masih ada hubungan kekerabatan. Pada saat waktu
tertentu seperti silaturahmi, menjeguk orang sakit, teman atau kerabat
mengucapkan selamat apa yang kita capai, bertemu dengan sapaan
berjabat tangan antara satu dengan yang lainnya yang bukan
mahramnya. Hal itu, sekarang menjadi budaya yang orang awam tidak
tau nasab haramnya berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan
mahramnya.54
Dalam pribadi Rasulullah Saw. yang mempunyai sifat tawadhu
(rendah diri), Rasulullah Saw., slalu mengulurkan tangan beliau untuk
mengajak bersalaman kepada setiap orang, baik orang tua maupun anak-
anak, baik kaya maupun miskin, dan orang yang berkulit hitam atau
putih. Beliau slalu mendahului dalam bersalaman kepada kaumnya akan
tetapi berjabat tangannya beliau tidak ada rasa suka atau syahwat kepada
kaum perempuannya, itulah sifat Rasulullah Saw yang bersikap tawadhu
(rendaah diri). 55 Tawadhu termasuk pilar penting dalam pergaulan
dengan manusia. dengan bersikaptawadhu, seseorang dapat masuk
kedalam hati manusia dan memperoleh kecintaan mereka.
Didalam ilmu fiqih menurut jumhur ulama berjabat tangan dengan
lawan jenis yang bukan mahramnya itu diharamkan, karna apabila kita
diperintahkan untuk menahan pandangan dari seorang laki-laki maupun
pandangan dari perempuan yang bukan mahramnya, pada dasarnya
pandangan adalah salah satu sarana untuk menimbulkan syahwat, maka
menahan tangan kita dari berjabat tangan yang bukan mahramnya jauh
lebih penting, sebab berjabat tangan itu sentuhannya lebih kuat dan lebih
besar dalam merangsang syahwat dari pada memandang seseorang yang
bukan mahramnya. 56
54
Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer 2, (Cet. 1, Jakarta: Gema Insani,
1995), h. 402. 55
Khalil Al-Musawi, Keajaiban Silaturahmi, (Cet I, Jakarta: PT Ufukreatif Design,
2011), h. 81. 56
Ahmd Sarwat, Ensiklopedia fiqih Indonesia 8: Pernikahan, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2019), h. 83.
iv
Disamping itu, ada beberapa hadits yang menjadi persoalan tentang
boleh tidaknya berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan
mahramnya. Hadits yang di riwayatkan oleh Tabrani, yaitu:
أ , لبي: أبأ ث, حس صب شساز ث ؼعس, ع س , حس صبصط ث ع ث أح ث حسصب عجسا
ع صى الل ث ؽبض, لبي: لبي ضؼي الل عم علاء, حس ص ف ا طع : "الأ ؼ
." طأحلا رح ػ ا أ ط حسس ذ رظ ث 57ضأغ ضج
Telah menceritakan kepada kami Abdaanu bin Ahmad, telah
menceritakan kepada kami Nas‟ru bin Ali, berkata Abihi, telah
menceritakan kepada kami Sa‟dadu bin Syaid, dari Abi Al‟i, telah
menceritakan kepada kami Maqil bin Yasar, berkata: Rasulullah Saw
berkata: kepala salah seorang diantara kamu ditusuk dengan jarum besi,
lebih baik daripada dia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.
Pada dasarnya ungkapan “menyentuh” itu berarti menyentuh yang
semata-mata tidak menggunakan tanggan akan tetapi yang dimaksud
disini yaitu jima‟ (hubungan biologis/seksual) yang dapat memberikan
kepuasan atau mengeluarkan syahwat yang dimiliki oleh salah satu
orang yang berjabat tangan. Dalam hadis tersebut terdapat sebuah petisi
yaitu “menyentuh perempuan yang tidak halal baginya” (maksud dari
petisi tersebut yaitu, tidak halal bagi seseorang yang saling bersentuhan
jima‟ yang bukan mahram dalam melakukan menyentuh dan akan
adanya yang ditimbulkan oleh orang tersebut dengan syahwat yang
berlebihan). 58
Ditemukan pula hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, yaitu:
ز حسصب عجس اط ح صب حس الل عبئشخ ضض ح ع عط طي ع اع ط ع ع اق أذجطب ظ
خ } لا ا ص ث ىلا جبع اؽبء ثب ؼ ع صى الل اج ب لبذ وب ع ثبلل شطو
ئب { لبذ بش ى طأح طأح إلا ا س ا ؼ ع صى الل ؽذ س ضؼي الل ب
Telah menceritakan kepada kami Mahmud telah menceritakan
kepada kami Abdurrazaq telah mengabarkan kepada kami Ma'mar dari
57
Hadis Riwayat Thabrani, Kitab Mu‟jam al-Kabir Thabrani, Bab Haramnya
Bersalaman Lawan Jenis, No. 16881, Juz 15, Maktabah Syamilah, h. 143. 58
Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, (Cet. I, Jakarta: Gema Insani Press,
1997), h. 114.
v
Az Zuhri dari 'Urwah dari Aisyah radliallahu 'anha, mengatakan, Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam Shallallahu'alaihiwasallam membaiat wanita
cukup dengan lisan (tidak berjabat tangan) dengan ayat ini; 'Untuk tidak
menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun….' sampai akhir (QS.
Almumtahanah 12) kata Aisyah; Tangan Rasulullah
Shallallahu'alaihiwasallam sama sekali tidak pernah menyentuh wanita
selain wanita yang beliau miliki (isterinya).59
Maksud dari hadis tersebut yaitu, menghindarnya Rasulullah Saw
dalam berjabat tangan denga kaum perempuan karna Rasulullah
menghindar disaat kondisi kaum beliau yang ingin bertemu dengan
baliau beragamnya acara untuk melakukan berjabat tangan dengan
beliau, mulai dari menyampaikan selamat dalam bentuknya yang paling
sederhana, sampai pada meminta doa dan mengharap keberkahan
dengan cara menyentuh tangan beliau yang mulia atau untuk berbai‟at
masuk islam. Akan tetapi Rasullulah tidak akan menghindar dari semua
bentuk kondisi yang lain, hanya saja Rasulullah menghindar dari fitnah
pada kondisi dengan wanita yang ingin berjabat tangan dengan beliau.
Jadi Rasulullah merasa aman dari fitnah pada kondisi tersebut dan tidak
ada alasan yang lain yang berkepentingan dengan Rasulullah untuk
berjabat tangan. 60
Hadis yang menunjukan boleh menyentuh tangan ketika ada
kebutuhan dan terhindar dari fitnah. Hal ini di perkuat oleh hadis riwayat
Bukhari, yaitu:
ح ع ؽ م ذبس ا عجس ث صب حس وضط أذجطب ؼفب س ث ح صب ت حس بضصخ ث
ضعف جخ و ا ثأ لبي ألا أذجطو ؼ ع صى الل اج ع رعاع زضبعف ا
اظ ج عز ابض و ثأ ألا أذجطو لأثط عى الل ألؽ عؽى س ث ح لبي ؽزىجط
بء إ خ وبذ الأ به لبي إ حسصب أػ ث س اط أذجطب ح حسصب ش أ
ف ؼ ع صى الل سخ زأذص ثس ضؼي الل ش شبءد ا ح طك ث ز
59
Hadis Riwayat Bukhari, Kitab Shohih Bukhari, Bab Bai‟at Wanita, No. 6674,
(Jakarta: Lidwa Pusaka i-Software, 2011).
60
Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan.., (Cet. I, Jakarta: Gema Insani Press), h.
120.
vi
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir telah
mengabarkan kepada kami Sufyan telah menceritakan kepada kami
Ma'bad bin Khalid Al Qaisi dari Haritsah bin Wahb Al Khuza'i dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Maukah kalian aku
beritahu penduduk surga? Yaitu setiap orang yang lemah dan
diperlemah. Sekiranya ia bersumpah atas nama Allah pasti Allah akan
mengabulkannya, Maukah kalian aku beritahu penghuni neraka? Yaitu
Setiap orang yang keras (hati), congkak dan sombong." Muhammad bin
Isa berkata; telah menceritakan kepada kami Husyaim telah
mengabarkan kepada kami Humaid At Thawil telah menceritakan
kepada kami Anas bin Malik dia berkata; "Sekiranya ada seorang budak
dari budak penduduk Madinah menggandeng tangan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam, sungguh beliau akan beranjak bersamanya
kemana budak itu pergi."61
Dalam buku Yusuf Qardhawi, yang dikatakan oleh Al-Hafidz Ibnu
Hajar dalam Fathul Bari yaitu: dari istilah memegang tangan di dalam
hadis tersebut yaitu kasih sayang atau keteundukan seorang Nabi
terhadap kaum-Nya yang memenuhi keperluan sang budak tersebut
untuk pergi keluar kota madinah, niscaya beliau akan membantunya.62
Pemahaman dalam berjabat tangan antara laki-laki dengan
perempuan yang bukan mahramnya tidak sepenuhnya dipahami oleh
kaum muslim, seperti budaya sekarang ini yang pada umumnya
menjadikan berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan bukan
mahramnya menjadi sesuatu yang sudah biasa dilakukan atau adab
berjabat tangan yang semestinya tidak diterapkan yang akan menjadi
budaya dikalangan milenial sekarang. Dan dalam penelitian ini akan
membahas implementasi antara pendapat pemahaman para ulama empat
madzhab dan ulama Yusuf Qardhawi serta membahas hadis yang akan
ditakhrijkan dengan meneliti sanad dan matan hadis, maka dalam
penelitian ini sangat penting untuk dikaji karna agar lebih mengetahui
hukum yang sebenarnya.
61
Hadis Riwayat Bukhari, Kitab Shohih Bukhari, Bab Sombong, No. 5610, (Jakarta:
Lidwa Pusaka i-Software, 2011). 62
Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer 2, (Cet. 1, Jakarta: Gema Insani,
1995), h. 415.
vii
B. Rumusan Masalah Untuk memudahkan serta memperjelas dalam melakukan penelitian
ini, maka beberapa rumusan masalah yang dapat diambil dari hasil
pemaparan latar belakang mengenai berjabat tangan dengan lawan jenis
yang bukan mahramnya,yaitu:
1. Bagaimana kritik sanad hadits-hadits yang berkaitan dengan
berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya?
2. Bagaimana kritik matan hadits-hadits yang berkaitan
denganberjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan
mahramnya?
C. Tujuan Penelitian Dari deskripsi masalah yang telah penulis uraikan di atas dalam
permasalahan tersebut tentunya penulis mempunyai alasan atau tujuan
yang hendak dicapai dalam penelitian ini, yaitu:
1. Mengetahui dan memahami kritik sanad tentang hadis-hadis
kontradiksi tentang berjabat tangan dengan lawan jenis yang
bukan mahramnya.
2. Megetahui dan memahami kritik matan hadis-hadis kontradiksi
tentang berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan
mahramnya,
D. Manfaat Penelitian Segala sesuatu yang dilakukan dengan nama kebaikan pasti akan
mendapatkan bermacaam manfaat, sehingga hasildari penelitian ini
mempunyai manfaat secara teoritis dan praktis dan bisa di ambil dalam
pengetahuannya tentang berjabat tangan dengan lawaan jenis yang
bukan mahramnya:
1. Manfaat secara teorotis
viii
Menambah wawasan dari hasil penelitian ini, dengan
mengetahui pendapat pemahaman para ulama dan mengetahui
kualitas sanad dan matan hadis, sehingga dapat memahami hadis
dengan semestinya.
2. Manfaat secara praktis
Hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi yang bisa
diterapkan dengan baik dalam bermasyarakat antara laki-laki dan
perempuan yang bukan mahramnya, karna kualitas hadis tidak
diragukan lagi.
E. Kajian Pustaka
Dalam pembahasan pada masalah yang penulis kaji ada beberapa
penelitian yang terkait dengan berjabat tangan dengan lawan jenis yang
bukan mahramnya, yaitu sebagai berikut:
Pertama, yaitu Berjabat Tangan antara Laki-Laki dengan
Perempuan dalam tinjauan Ikhtilaf Hadis oleh Mazro‟atus Sa‟adah
dalam artikelnya yaitu menjelaskan tentang metode memahami hadis
bertentangan, hadis-hadis tentang berjabat tangan antara laki-laki dengan
perempuan, dan pendapat para ulama yang berkaitan dengan berjabat
tangan dengan lawan jenis yang bukan makhramnya.63
Kedua, yaitu Metode Ijtihad Yusuf al-Qardhawi dalam Fatawa
Mu‟ashirah oleh Ali Akbar dalam jurnalnya yaitu menjelaskan tentang
pemikiran hukum al-Qardhawi dan metode ijtihadnya dalam bidang
ibadah. Dimana dalam pembahasan tersebut menjelaskan hukum
berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan yang bukan
mahramnya.64
Ketiga, yaitu Analisi Hukum Islam Berjabat Tangan antara Laki-
laki dan Perempuan pada Pesta Pernikahan Studi Kasus Desa Bandung
63
Mazro‟atus Sa‟adah, Metode Memahami Hadits Nabi”Berjabat Tangan Antara
Laki-Laki Dengan Perempuan Dalam Tinjauan Ikhtilaf Hadits”, dalam
http://ejournal.kopertais4.or.id.pdf , diakses 22 Maret 2019, h. 29. 64
Ali Akbar, Metode Ijtihad Yusuf Qardhawi Dalam Fatwa Mu‟ashirah, dalam
http://ejournal.uin-suska.ac.id.pdf (Vol. XVIII, No. 1, Januari/2012), diakses 22 Maret 2019,
h. 6-7.
ix
Lor, Kunir, Dempet, Demak oleh Bustanul Arifin dalam skripsinya yaitu
menjelaskan tentang ketentuan umum berjabat tangan, dan hasil praktek
dalam pelaksanaan berjabat tangan saat pesta pernikahan.65
Keempat, yaitu Relevansi Pengetahuan Masyarakat tentang Etika
dan Berjaba Tangan dengan Lawan Jenis dalam Tinjauan Islam oleh
Nurin Fitriana dalam artikelnya yaitu menjelaskan tentang lembaga-
lembaga pendidikan islam, etika dan moral, dan berjabat tangan dalam
islam.66
Kelima, yaitu Hadis Mushafahah Berjabat tangan atau Bersalaman
oleh Suheri dalam artikelnya yaitu menjelaskan hukum berjabat tangan
dan berjabat tangan dengan lawan jenis.67
Dari penelitian di atas peneliti belum menemukan penelitian dengan
judul hadits-hadits kontradiksi tentang berjabat tangan dengan lawan
jenis yang bukan muhrimnya: studi kritik sanad dan matan. Perbedaan
dari penelitian di atas dengan penelitian penulis terutama pada penelitian
pendapat para ulama keseluruhannya tidak membahas ulama empat
madzhabdan pada penelitan kualitas sanad, dan matan hadis belum
ditemukan penulis dalam mentarjih hadis-hadis berjabat tangan dengan
lawan jenis yang bukan mahramnya.
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis untuk meneliti
penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka ( library research),
dengan mengumpulkan data dan informasi dari data-data tertulis yang
65
Bustanul Arifin, Analisi Hukum Islam Berjabat Tangan antara Laki-laki dan
Perempuan pada Pesta Pernikahan “Studi Kasus Desa Bandung Lor, Kunir, Dempet,
Demak”, Skripsi (Jepara: Program Studi Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah UNISNU Jepara,
2015), h. 18. 66
Nurin Fitriana, Relevansi Pengetahuan Masyarakat tentang Etika dan Berjaba
Tangan dengan Lawan Jenis dalam Tinjauan Islam, dalam http://www.researchgate.net.pdf,
diakses 31 Agustus 2019, h. 10-13. 67
Suheri Euroliner, Hadis Mushafahah Berjabat tangan atau Bersalaman, dalam
http://www.Academia.edu.pdf, diakses 14 September 2019, h. 2-3.
x
berupa literatur berbahasa Arab dan berbahasa Indonesia yang
mempunyai relevansi rujukan yang dengan penelitian.
2. Sumber Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini, bersumber dari
perpustakaan tertulis buku ilmiah, referensi tertulis lainnya dan
menggunakan CDR Sofware lidwa 9 imam kitab. Data adalah
sekumpulan informasi yang digunakan dan dilakukan analisis agar
tercapai tujuan penelitian. Kemudian dikategorikan sebagai berikut:
a. Data Primer
Data primer adalah data utama atau data pokok penelitian yang
diperoleh secara langsung dari sumber utama yang menjadi obyek
penelitian. Yang akan dijadikan rujukan dalam penelitian ini yaitu
pendapat para ulama tentang berjabat tangan dengan lawan jenis yang
bukan mahramnya dan hadis yang menunjukkan boleh atau tidaknya
berjabat tangan dengan lawan jenis yang terdapat dalam sembilan kitab
hadis dan dengan menggunakan metode takhrij, yaitu:
1) Takhrij bi al-Lafzh yaitu mencari hadis melalui lafal matan, baik
bagian awal, tengan maupun akhir.
2) Takhrij bi al-Maudhu‟ yaitu penelusuran hadis yang didasarkan
pada topik, seperti bab sholat dan lain sebagainya.
3) Takhrij bi al-Rawi al-A‟la yaitu penelusuran hadis melalui nama
perawi pertama dalam sanad.
Metode takhrij ada 5 metode, akan tetapi penulis mengambil tiga
metode, karna penulis dalam mencari hadis di sofware aplikasi komputer
lidwa 9 imam kitab hadis tidak semua lima metode digunakan untuk
menelusuri hadis, seperti mencari hadis melalui permulaan matan yang
terdapat dalam kitab al-Jami‟ Al-Shagir, dan penelusuran melalui status
hadis.
Sebagai sumber utama dalam penelitian ini adalah buku-buku yang
berkaitan langsung dengan berjabat tangan antara laki-laki dan
prempuan yang bukan mahramnya. Penelusuran data hadis ini dibantu
dengan sofware aplikasi komputer lidwa 9 imam kitabhadis. Adapun
kitab-kitab hadis yang menjadi sumber primer hadis-hadis berjabat
xi
tangan dengan lawan jenis yang bukn mahranya yaitu dengan
mengelompokkan hadis larangan yang dilarang berjabat tangan dengan
lawan jenis yang bukan mahramnya yaitu terdapat dalam kitab Thabrani
dan Bukhari, sedangkan pengelompokan hadis yang membolehkan yaitu
dalam kitab bukhari.
b. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data-data yang mendukung tema-tema pokok
yang akan dibahas dalam penelitian dengan mengunakan buku pustaka ,
artikel, jurnal maupun bahan pustaka lainnya yang didalamnya ada
pembahasan yang terkait dengan berjabat tangan dengan lawan jenis
yang bukan mahramnya, guna untuk memperkuat argumentasi dan
melengkapi hasil dari penelitian tersebut. Dalam mendapatkan buku
ataupun bahan pustaka lainnya dengan cara mencari tema utama seperti
berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya yang akan
dibahas dalam penelitian tersebut.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam melakukan teknik pengumpulan data, maka teknik yang
digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Mengumpulakan data yang relevan dengan masalah yang
akan diteli yang berhubungan dengan hadis-hadis tentang
berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya.
b. Mengumpulkan hadis-hadis tentang berjabat tangan dengan
lawan jenis yang bukan mahramnya.
c. Meneliti kualitas para perawi hadis dengan menggunakan
Ilmu al-Jarah wa Ta‟dil.
d. Meneliti ketersambungan sanad yang jalur periwayatannya
berkaitan antara perawi satau dengan yang lainnya, baik
berupa guru, murid, wafat, yang terdapat dalam data kitab
Rijal al-Hadis.
e. Meneliti kualitas matan, apakah matan tersebut mempunyai
tambahan lafal, sisipan lafal, pengurangan lafal, dan
perbaikan lafal.
4. Teknik Analisis Data
xii
Metode analisis data yaitu, mencari sumber data yang berkaitan
dengan penelitian ini lalu menjelaskan data-data tersebut untuk mencari
makna dalaam penelitian ini. Dalam penelitian ini menggunakan
penelitian analisis kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskripsi-analisis dalam suatu objek tertulis yang dapat diamati dan
di teliti.
Kemudian dalam penelitian analisis data ini menggunakan metode
tahlili68dengan menggunakan pendekatan takhrij hadis dalam metode
kritik sanad dan kritik matan , metode ini mempunyai langkah-langkah
sebagai berikut:
a. Mengumpulkan sanad, matan dan mukharrij yang berkaitan
dengan judul penelitian.69
b. Menjelaskan kualitas sanad dan matan hadis yang akan diteliti.
c. Menjelaskaan kandungan hadis.
d. Menguraikan hikmah yang dapat dipetik dari hadis yang akaan
diteliti.
5. Pendekatan Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, ada metode dalam pendekatan
penelitian yang penulis gunakan dalam skripsi ini, yaitu menggunakan
pendekatan penelitian dengan pendekatan deskriptif-normatif.
Pendekatan deskriptif adalah penelitian yang berusaha mendeskripsikan
suatu gejala, peristiwa, atau kejadiaan yang masih terjadi pada saat-saat
sekarang. Dalam penelitian ini tidak dilakukan kesimpulan yang secara
menyeluruh atas data yang telah ada, akan tetapi penelitian ini hanya
mengumpulkan fakta dan menguraikannya secara teliti sesuai dengan
data yang akan diteliti dari sumber yang telah didapatkan. 70Pendekatan
68
Metode tahlili yaitu, metode yang menjelaskan makna hadis secara berurutan dan
memaparkan segala aspek yang terkandung didalamnya, dengan mengikuti sistematika buku
hadis yang disyarahkan. Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis Nabi,
(Cet. 1, Jakarta, Amzah: 2014), h. 141. 69
Siti Fatimah, Silaturahmi Menurut Hadis Nabi SAW Suatu Kajian Tahlili, Skripsi
dalam http://repositori.UIN-Alauddin.ac.id.Skripsi.pdf diakses 30 Juni 2019, h. 14.
70 Deny Nofriansyah, Penelitian Kualitatif Analisis Kinerja Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat Kelurahan, (Cet. 1, Yogyakarta: Deepublish, 2018), h. 8.
xiii
normatif adalah upaya dalam memahami aturan atau norma-norma
tertentu dalam ajaran islam sebagaimana terdapat dalam al-Qur‟an,
Sunnah, dan Ijtihad.71
Jadi pendekatan deskriptif-normatif yaitu penelitian dengan
mendeskripsikan suatu peristiwa dengan kejadian yang telah terjadi
dengan menggunakan norma-norma dalam aturan ajaran agama islam
yang terdapat dalam al-Qur‟an, Hadits, dan Ijtihad sebagai suatu
kebenaran yang harus diterima dan tidak boleh diganggu-gugat.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan penjelasan, pemahaman, da penelaahan pokok
pembahasan yang penulis akan bahas dalam penelitian ini, maka penulis
menyusun sistematika pembahasan skripsi sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan, berisi tentang: latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode
penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.
BAB II :Hadis-hadis kontradiktif tentang hukum berjabat tangan
dengan lawan jenis yang bukan mahramnya dengan menjelaskan tentang
hadits mukhtalif dan metode penyelesaiannya, hadits-hadits larangan
dan bolehnya berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan
mahramnya, pendapat para ulama yang berkaitan dengan larangan dan
bolehnya berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya.
BAB III :Kritik sanad hadis tentang berjabat tangan dengan lawan
jenis yang bukan mahramnya. Yang menjelaskan tentang takhrij hadis,
i‟tibar hadis, dan naqd hadis
BAB IV : Kritik matan hadits tentang berjabat tangan dengan lawan
jenis yang bukan mahramnya. Menjelaskan tentang teori kritik matan,
analisis kritik matan, kesimpulan hasil penelitian kritik sanad dan matan.
71
Wahidul Anam, Dekontruksi Kaidah „Adalah Al-Sahabah: Implikasi Terhadap
Studi Ilmu Hadits, (Cet. 1, Yogyakarta: LKS Pelangi Aksara, 2016), h. 132.
xiv
BAB V : Menjelaskan tentang kesimpulan dari penelitian yang
penulis buat dari berbagai sumber. Saran dan daftar pustaka.
xv
BAB II
HADITS-HADITS KONTRADIKTIF TENTANG HUKUM
BERJABAT TANGAN DENGAN LAWAN JENIS YANG
BUKAN MAHRAMNYA
A. Hadits Mukhtalif dan Metode Penyelesaiannya
Hadits mukhtalif yaitu hadits yang kontradiktif dengan hadits yang
lain, dengan arti hadits yang secara lahiriyah sudah saling bertentangan
dengan hadits yang sama maknanya, lalu hadits-hadits tersebut yang
saling bertentangan dihilangkan salah satu atau kedua hadis tersebut
dikompromikan terlebih dahulu sebelum dihapusnya. Jika masalah
dalam kandungan hadits-hadits tersebut sulit dipahami atau sulit mencari
gambaran dalam hadis tersebut, maka kesulitan tersebut akan
dihilangkan dan dijelaskan pada hakikat yang sebenarnya.72
Apabila ada dua hadits yang kontradiktif tetapi keduanya shahih,
maka solusinya yaitu mengompromikannya dengan membatasi (taqyid)
yang mutlak, mengkhususkan (takhsbih) yang umum, atau
menginterpretasikan pristiwa yang terjadi berkali-kali dengan berbeda
latar belakang dan kondisnya.73 Atau hadits-hadits yang bersifat muskil
untuk ditakwilkan, maka kan hilang kemuskilannya, walaupun hadits-
hadits tersebut tidak saling bertentangan.
Prinsip pokok dalam penyelesaian hadits-hadits yang saling
bertentangan menurut ulama dalam urutannya sebagai berikut:
1. Al-Jam‟u wa al-taufiq (kompromi)
Salah satu hal yang terpenting dalam memahami sunnah Nabi yang
baik adalah menyesuaikan hadits-hadits yang tampak bertentangan serta
menggabungkan hadits yang satu dengan hadits yang lainnya. Jika salah
satu hadits bersifat khusus, hadits yang bersifat khusus tersebut
mengkhususkan hadits yang umum. Cara lainnya yaitu menakwilkan
72 Ma‟shum Zein, Ilmu Memahami Hadis Nabi:Cara Praktis Menguasai Ulumul
Hadits dan Mustholah Hadits, (Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2016), h. 100. 73
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, (Cet.I, Jakarta: Amzah,
2014), h. 196.
xvi
salah satu hadits yang berlawanan dengan syara‟, sedangkan yang
lainnya sesuai dengan syara‟.74 Bisa juga dengan cara penyelesaian
berdasarkan pemahaman dengan pendekatan kaidah ushul dalam arti
untuk memahami maksud dari suatu hadis-hadis Rasulullah dengan
memperhatikan dan mempedomani ketentuan atau kaedah-kaedah ushul
untuk dapat meng-istinbath-kan hukum-hukum yang dikandung dengan
baik.75
Contoh al jam‟u wa al-taufiq yaitu dengan hadis yang melarang dan
membolehkan berjabat tangan dengan lawan jenis non mukhrim. Hadis
yang melarang yaitu:
Hadis pertama
ص ز حس ح صب حس عبئشخ ضض ح ع عط طي ع اع ط ع ع اق أذجطب ظ ب عجس اط
خ ا ثص ىلا جبع اؽبء ثب ؼ ع صى الل اج ب لبذ وب ع الل } لا شطو
ش ثبلل ى طأح طأح إلا ا س ا ؼ ع صى الل ؽذ س ضؼي الل ب بئب { لبذ
Telah menceritakan kepada kami Mahmud telah menceritakan
kepada kami Abdurrazaq telah mengabarkan kepada kami Ma'mar dari
Az Zuhri dari 'Urwah dari Aisyah radliallahu 'anha, mengatakan, Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam Shallallahu'alaihiwasallam membaiat wanita
cukup dengan lisan (tidak berjabat tangan) dengan ayat ini; 'Untuk tidak
menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun….' sampai akhir (QS.
Almumtahanah 12) kata Aisyah; Tangan Rasulullah
Shallallahu'alaihiwasallam sama sekali tidak pernah menyentuh wanita
selain wanita yang beliau miliki (isterinya).76
Hadis kedua
74
Ibid., h. 197. 75
Sri Aliyah, “Teori Pemahaman Ilmu Mukhtalif Hadits”, jurnal, (Juni 2014), h. 7. 76 Hadis Riwayat Bukhari, Kitab Shohih Bukhari, Bab Bai‟at Wanita, No. 6674,
(Jakarta: Lidwa Pusaka i-Software, 2011).
xvii
، لبي: أب س، حسصب صط ث ع ث أح أث حسصب عجسا أث، حسصب شساز ث ؼعس، ع
ف طع :"لأ ؼ ع صى الل ث ؽبض، لبي: لبي ضؼي الل عم علاء، حسص ضأغ ا
طأح لا ػ ا أ ط حسس ذ رظ ث ".ضج 77 رح
Telah menceritakan kepada kami Abdanu bin Ahmad, telah
menceritakan kepada kami Nas‟ru bin Ali, berkata Abihi, telah
menceritakan kepada kami Sa‟dadu bin Syaid, dari Abi Al‟i, telah
menceritakan kepada kami Maqil bin Yasar, berkata: Rasulullah SAW
berkata: Kepala salah sesorang diantara kamu ditusuk dengan jarum dari
besi, lebih baik daripada dia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.
Sementara hadis yang membolehkan berjabat tangan dengan lawan
jenis non mukhrim, yaitu:
حبضصخ ع ؽ م ذبس ا عجس ث صب حس وضط أذجطب ؼفب س ث ح صب ت حس ث
ضعف جخ و ا ثأ لبي ألا أذجطو ؼ ع صى الل اج ع رعاع زضبعف ا
ؽزى اظ ج عز ابض و ثأ ألا أذجطو لأثط عى الل ألؽ عؽى س ث ح لبي جط
بء إ خ وبذ الأ به لبي إ حسصب أػ ث س اط أذجطب ح حسصب ش أ
ط فز ؼ ع صى الل سخ زأذص ثس ضؼي الل ش شبءد ا ح ك ث
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir telah
mengabarkan kepada kami Sufyan telah menceritakan kepada kami
Ma'bad bin Khalid Al Qaisi dari Haritsah bin Wahb Al Khuza'i dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Maukah kalian aku
beritahu penduduk surga? Yaitu setiap orang yang lemah dan
diperlemah. Sekiranya ia bersumpah atas nama Allah pasti Allah akan
mengabulkannya, Maukah kalian aku beritahu penghuni neraka? Yaitu
Setiap orang yang keras (hati), congkak dan sombong." Muhammad bin
Isa berkata; telah menceritakan kepada kami Husyaim telah
mengabarkan kepada kami Humaid At Thawil telah menceritakan
kepada kami Anas bin Malik dia berkata; "Sekiranya ada seorang budak
dari budak penduduk Madinah menggandeng tangan Rasulullah
77 Hadis Riwayat Thabrani, Kitab Mu‟jam al-Kabir Thabrani, Bab Haramnya
Bersalaman Lawan Jenis, No. 16881, Juz 15, Maktabah Syamilah, h. 143.
xviii
shallallahu 'alaihi wasallam, sungguh beliau akan beranjak bersamanya
kemana budak itu pergi."78
2. Al-Naskh (penghapusan)
Kata “Naskh” berasal dari bahasa arab yaitu ( خ-غ- ), betuk tasrifan
dari kata tersebut yaitu: ( ؽرب-ؽد -ؽد) , secara bahasa berarti izalah
(penghapusan atau pembatalan). Sedangkan secara istilah yaitu “suatu
hukum penghapusan syari‟ oleh syari‟at, berdasarkan hukum satu dalil
syari‟ yang datang kemudian.” Maksud dari pernyataan tersebut yaitu,
apabila hukum yang sebelumnya berlaku, kemudian dinyatakan tidak
berlaku lagi oleh syari‟ (Allah dan Rasul-Nya), maka akan datangnya
syar‟iy yang baru dan yang akan membawa ketentuan hukum lain dari
yang berlaku sebelumnya. Hukum lama yang tidak berlaku lagi disebut
mansukh, sedangkan hukum yang baru yang datang kemudian disebut
nasikh.79
Apabila dalam bentuk penyelesaian naskh dipandang sebagai bentuk
penyelesaian hadis-hadis mukhtalif non-kompromi, maka salah satu dari
hadis tidak lagi dapat diamalkan, karna hal in sesuai dengan ungkapan
imam al-Syafi‟i terdahulu yakni: “Dan jangan jadikan hadis-hadis
bertentangan kecuali tidak mungkin untuk diamalkan selain harus
meninggalkan salah satu darinya.”80
Apabila dalam penyelesaian hadis yang bertentangan menggunakan
al-jam‟u wa al-taufiq tidak bisa dilakukan, maka ditetapkan bahwa hadis
yang datang belakangan menaskh hadis yang lebih dahulu. Contohnya:
طي ع اع ط ع ع صب اق لبي حس ظ جأب عجس اط لبي أ إثطا أذجطب إؼحك ث اث ع ؼب
ثعس صلاس الأضبح ح رؤو ى أ ؼ ع صى الل ضؼي الل ط أ ع
Telah mengabarkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim, ia berkata;
telah memberitakan kepada kami Abdur Razzaq, ia berkata; telah
78 Hadis Riwayat Bukhari, Kitab Shohih Bukhari, Bab Bai‟at Wanita, No. 5610,
(Jakarta: Lidwa Pusaka i-Software, 2011). 79
Kaizal Bay, Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi‟i, dalam
http://ejournal-ushuluddin.uin-suska.ac.id.pdf (Vol. XVII, No. 2, Juli/2011), diakses 10
September 2019, h. 195. 80 Sri Aliyah, “Teori Pemahaman Ilmu Mukhtalif Hadits”, jurnal, (Juni 2014), h. 8.
xix
menceritakan kepada kami Ma'mar dari Az Zuhri dari Salim dari Ibnu
Umar bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang memakan
daging kurban setelah tiga hari.81
صى الل ضؼي الل جبثط أ ط ع ث أث اع به ع عؽى أذجطب حسصب إؼحبق ث ع
ازذطا زا رع لبي ثعس شه وا ثعس صلاس ص الأضبح ح أو ى ع ؼ
Telah bercerita kepada kami Ishaq bin 'Isa telah mengabarkan
kepada kami Malik dari Abu Az-Zubair dari Jabir Rasulullah
Shallallahu'alaihiwasallam melarang makan daging kurban setelah tiga
hari. Namun di kemudian hari beliau bersabda "Makanlah, berbekallah
dan simpanlah."82
Pada hadis yang pertama menunjukkan adanya larangan menyimpan
daging kurban selama lebih dari tiga hari. Kemudian pada hadis yang
kedua tersebut dinasakh-kan, bahwa larangan menyimpan daging kurban
selama tiga hari berlaku pada masa lampau.83
3. Al-Tarjih (Menguatkan)
Tarjih secara etimologi yaitu “menguatkan”. Dalam arti istilah
adalah sebuah ungkapan mengenai di iringinya salah satu dari dua dalil
yang pantas dalam menunjukkan kepada siapa yang dikehendaki, dan
disamping keduanya berbenturan yang mewajibkan untuk diamalkan
satu di antaranya dan meninggalkan yang satu lagi.
Dalam sebuah kata (satu di antara dua dalil yaang pantas), maksud
dari kata tersebut yaitu, apabila diantara dua atau satu dalil yang tidak
pantas untuk dijadikan dalil, maka yang demikian itu tidak disebut
dengan tarjih. Sedangkan dalam kata (disamping keduanya
berbenturan), maksud dari kata tersebut yaitu, apabila dari kedua dalil
yang patut untuk di tarjih, namun dalil tersebut tidak berbenturan, maka
dalil tersebut dinamakan tarjih. Karena tarjih itu diperlukan waktu
81
Hadits Riwayat Nasa‟i, Kitab Sunan Nasa‟i, Bab Larangan menyantap daging
setelah tiga hari dan menahannya, No. 4347, (Jakarta: Lidwa Pusaka i-Software, 2011). 82 Hadits Riwayat Ahmad, Kitab Musnad Ahmad, Bab Musnad Jabir bin Abdullah
Radliyallahu ta'ala 'anhu, No. 14635, (Jakarta: Lidwa Pusaka i-Software, 2011). 83
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, (Cet.I, Jakarta: Amzah,
2014), h. 201.
xx
menghadapi dua dalil yang berbenturan dan tidak perlu di tarjih apabila
tidak terdaapat perbenturan tersebut.84
Apabila di antara salah satu dalil hadis yang termasuk dalam hadis
kontradiktif tidak dapat diketahui apakah dalil tersebut muncul lebih
awal atau belakangan, jalan yang bisa diaplikasikan dalam menentukan
metode yang ketiga dengan menggunakan metode tarjih. Tarjih disini
yaitu penguatan salah satu hadis yang dilihat dari segi sanad, matan, atau
penguat lainnya. Misalnya, dari segi sanad, Al-Hazimi dalam kitabnya
yang berjudul Al-I‟tibar menjelaskan ada 50 sanad, Al-Iraqi
menjelaskan ada 110 sanad, dan Al-Suyuthi meringkasnya menjadi 7
sanad.85 Hukum mengamalkan dalil hadis yang rajih adalah wajib,
sedangkan mengamalkan dalil yang marjuh, disamping adanya yang
rajih tidak dibenarkan.86
Menurut ahli hadis yang dikatakan oleh Al-Iraqi mempunyai 110
sanad dan semua itu kalo disimpulkan dapat dibedakan dalam tujuh
kategori,87 yaitu:
a. Tarjih dengan memeperhatikan keadaan periwayatan dalam
segala aspeknya.
b. Tarjih dengan memperhatikan aspek Tahammul.
c. Tarjih dengan memperhatikan aspek periwayatan.
d. Tarjih dengan waktu wurud.
e. Tarjih dengan memperhatikan lafal khabar, seperti mentarjih
khabar yang bersifat khash atau yang bersifat „am, dan
mendahulukan hakikat atau majaz.
f. Tarjih memeperhatikan aspek hukum, seperti mentarjih nas yang
menunjukkan kepada haram yang menunjukkan kepada mubah.
84
Kaizal Bay, Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi‟i, dalam
http://ejournal-ushuluddin.uin-suska.ac.id.pdf (Vol. XVII, No. 2, Juli/2011), diakses 10
September 2019, h. 197. 85
Abdul Majid Khon, Takhrij..., h. 202. 86 Kaizal Bay, Metode Penyelesaian..., h. 198. 87 Sri Aliyah, “Teori Pemahaman Ilmu Mukhtalif Hadits”, jurnal, (Juni 2014), h. 9.
xxi
g. Mentarjih dengan faktor luar, seperti kesesuaian dengan lahir al-
Qur‟an atau sunnah lain, dengan qiyas, amal ulama terutama
para khalifah, dan sebagainya.
Sedangkan jalan untuk merajih dua dalil hadis yang bertentangan itu
dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu:
1) Tarjih dilihat dari segi sanad
a) Hadis yang memiliki perawi banyak merajihnya hadis yang
rawinya sedikit.88
b) Hadis yang memiliki perawi yang lebih tsiqah, maka merajih
hadisnya dengan yang rawinya kurang tsiqah.
c) Dalam periwayatan yang terdahulu lebih utamaa
dibandingkan dengan periwayatan yang sekarang, kecuali
lebih dhabith.
d) Diantara salah satu seorang yang lebih kuat degan
hafalannya seperti, Malik bin Anas lebih kuat ingatannya
daripada Syu‟aib bin Kisan.
e) Salah seorang periwayataannya disepakati dengan
keadilannya, akan tetapi yang lainnya diperselisihkan.
f) Salah satu periwayat menerima suatu hadis disaat setelah
balig, sementara yang satu lagi belim balig.
2) Tarjih dilihat dari segi matan
a) Hadis yang mempunyai arti hakikat, merajihkan hadis
dengan yang mempunyai arti majazi.89
b) Mendahulukan hadis khusus daripada hadis yang umum.
c) Mendahulukan yang muqayyad (ada pembatas) daripada
yang mutlak (tanpa pembatas).
d) Mendahulukan penguat asal bagi hukum asal daripada yang
menimbulkan hukum.
e) Mendahulukan yang lebih ihtiyath (berhati-hati)
3) Tarjih dilihat dari segi hasil penunjukkan
88 Kaizal Bay, Metode Penyelesaian..., h. 198. 89
Muhammad Misbah, Hadis Mukhtalif Dan Pengaruhnya Terhadap Hukum
Fiqih:Studi Kasus Haid Dalam Kitab Bidayatul Mujtahid, dalam
http://Journal.stainkudus.ac.id.pdf, (Vol 2, No. 1, 2016), diakses 10 September 2019, h. 109-
110.
xxii
a) Mad-lul yang positif, merajihnya yang negatif (didahulukan
mutsbit „alan-nafi).90
4) Tarjih dilihat dari segi penguat lain
a) Mendahulukan hadis yang memiliki penguat lain daripada
yang tidak memilikinya.91
b) Mendahulukan hadis qauli daripada fi‟li karena qauli
mempunyai bentuk ungkapan (shighah), sedangkan fi‟li
tidak mempunyai.
c) Mendahulukan ungkapan yang tegas dan jelas.
d) Mendahulukan amalan yag sesuai dengan amalan Khulafaur
Rasyidin.
e) Mendahulukan yang lebih dekat kepada makna lahirnya al-
Qur‟an.
4. Al-Tawaqquf (Berhenti)
Dan apabila ketiga dalam penyelesaian metode hadis kontradiktif itu
tidak dapat diselesaikaan dengan cara ditas, maka penyelesaian
terakhirnya menggunakan cara di tawaqquf-kan atau ditinggalkan untuk
beristidlal dengan kedua dalil hadis yang kontradiktif tersebut dan
berpindah dengan beristidlal dengan hadis lain, jika ketiga cara diatas
tidak bisa tercapai penyelesaiannya.92
Yang dimaksud dengan Al-Tawaqquf atau Mutawaqqaf fih yaitu
hadis yang dihentikan, ditunda, tinggalkan, di diamkan atau tidak
diamalkan. Munculnya dua dalil hadis bermula saat dua dalil hadis yang
kontradiktif tidak dapat dikompromikan, tidak dapat dinaskh, dan tidak
dapat ditarjih, maka jalan yang ditempuh untuk menyelesaikan dua dalil
hadis yang bertentangan ini yaitu dengan cara ditinggalkan, dihentikan,
ditunda,di diamkan dan tidak diamalkan.93
90 Kaizal Bay, Metode Penyelesaian..., h. 198. 91
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, (Cet.I, Jakarta: Amzah,
2014), hal. 203. 92
Khairuddin, Metode Penyelesaian Hadits Mukhtalif:KajianTa‟arudh al-Adillah,
dalam http://Journal.ar-raniry.ac.id.pdf (Vol. XII, No. 1, April/2010), diakses 10 September
2019, h. 57. 93
Ibid, h. 205.
xxiii
Dalam kasus seperti hadis mutawaqqaf fih ini mempunyai
kesamaan dengan hadis mudhtharib, karna dua dalil hadis yang
mempunyai sifat kontradiktif yang tidak dapat ditarjihkan. Sebagaimana
dengan hadis mudhtharib lebih umum daripada dengan hadis
mutawaqqaf fih. Jika hadis mudhtharib dapat terjadi pada sanad dan
matan dan bisa juga terjadi pada hadis shahih, hasan, dan dhaif. Maka
pada hadis mutawaqqaf fih hanya akan terjadi pada matan dan hadis
yang makbul saja.
B. Hadits-Hadits larangan dan Bolehnya Berjabat Tangan
dengan Lawan Jenis
1. Definisi Berjabat Tangan dengan Lawan Jenis yang Bukan
Mahramnya
Berjabat tangan (mushafahah) yaitu menempelkan kedua telapak
tangan bagian dalam dengan telapak tangan bagian dalam dari orang lain
yang saling menjabat tangannya disaat mereka bertemu dan
mengucapkan salam hingga selesai berbicara. Berjabat tangan sangat
dianjurkan, akan tetapi berjabat tangan yang dimaksud dianjurkan yaitu
berjabat tangan yang diperbolehkan antar sesama jenis.94 Karna berjabat
tangan antar sesama jenis akan menambahkan rasa kasih sayang diantara
kaum muslimin dan akan terjalinnya silaturahmi yang baik yang akan
menimbulkan rasa persaudaraan yang tulus terhadap sesama
seimannya.95 Sebagai saudara seiman diharuskan untuk saling
membantu dalam hal apapun jika kita mampu untuk membantunya,
islam pun mengajarkan kita untuk saling mendoakan, mengucap salam,
berjabat tangan ketika bertemu dengan orang lain.
Dalam budaya disekitar kita, berjabat tangan sesama jenis atau tidak
itu merupakan salah satu simbol keakraban, kekeluargaan, dan
pertemanan. Namun dalam hukum islam yang sesungguhnya, berjabat
tangan antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahramnya ada
batasan yang harus diperhatikan untuk menghindari fitnah. Karna
94
Abdul Wahab Abdussalam Thawilah, Panduan Berbusana Islami, (Cet. I, Jakarta:
Almahira, 2007), h. 151. 95
Abdul Aziz bin Fathi as-Sayyid, Ensiklopedia Adab Islam Menurut Al-Qur‟an Dan
As-Sunnah, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi‟i, 2007), h. 36.
xxiv
berjabat tangan antar lawan jenis yang bukan mahram itu sering
menimbulkan terjadinya fitnah dan akan menimbukan perasaan yang
mengarah pada perbuatan yang tidak diinginkan.96
Dalam berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya
harus lebih berhati-hati dalam bertindak sikap untuk saling menghargai
orang lain yang tidak melakukan berjabat tangan dan menolaknya
dengan cara halus, menolak bukan berarti oraang tersebut benci, karna
seseorang tersebut sangat meneladani sunnah Rasul dan ketaatan
seseorang tersebut pada syariat islam yang begitu memuliakan wanita
yang menghindari berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan
mahramnya.
2. Hadis Larangan Berjabat Tangan dengan Lawan Jenis yang Bukan
Mahramnya :
, لبي س , حس صبصط ث ع ث أح أث حسصب عجسا : أبأ ث, حس صب شساز ث ؼعس, ع
طع : "الأ ؼ ع صى الل ث ؽبض, لبي: لبي ضؼي الل عم علاء, حس ص ف ا
ػ أ ط حسس ذ رظ ث ".ضأغ ضج طأحلا رح ا97
Telah menceritakan kepada kami Abdaanu bin Ahmad, telah
menceritakan kepada kami Nas‟ru bin Ali, berkata Abihi, telah
menceritakan kepada kami Sa‟dadu bin Syaid, dari Abi Al‟i, telah
menceritakan kepada kami Maqil bin Yasar, berkata: Rasulullah Saw
berkata: kepala salah seorang diantara kamu ditusuk dengan jarum besi,
lebih baik daripada dia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.
Adapun larangan untuk berjabat tangan dengan lawan jenis yang
bukan mahramnya tentang keharaman menyentuh lawan jenis yaitu
terdapat dalam al-Qur‟an diantaranya:
س طا لبذ ضة أى ى ب شبء إشا لضى أ ؽؽ ثشط لبي وصه الل رك
ب مي و فى ٧٤-فئ -
96 Abdillah F Hasan, 101 Rahasia Wanita Muslimah, (Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, 2015), h. 154. 97 Hadis Riwayat Thabrani, Kitab Mu‟jam al-Kabir Thabrani, Bab Haramnya
Bersalaman Lawan Jenis, No. 16881, Juz 15, Maktabah Syamilah, h. 143.
xxv
“Dia (Maryam) berkata, “Ya Tuhan-ku, bagaimana mungkin aku
akan mempunyai anak, padahal tidak ada seorang laki-laki pun yang
menyentuhku?” Dia (Allah) Berfirman, “Demikianlah Allah
Menciptakan apa yang Dia Kehendaki. Apabila Dia Hendak Menetapkan
sesuatu, Dia hanya Berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu
itu.”98 (Q.S Al-Imran: 47)
Dari pernyataan hadis riwayat Thabrani ini menunjukkan bahwa
Rasulullah saw sama sekali tidak menyentuh tangan wanita, sebab ada
keharaman dan hukuman apabila seseorang lawan jenis saling
bersentuhan tau sentuhan yang dimaksud yaitu jima‟ (hubungan
intim/seksual) yang akan ditusuknya kepala seseorang dengan seutas
besi. Yang dimaksud dengan pengharaman menyentuh antara kulit laki-
laki dengan perempuan itu yang akan menutup pintu fitnah dan menutup
syahwat ketika salah seorang dari mereka berjabat tangan dengan
menimbulkan rasa saling suka.99
Menurut penulis apabila tidak ada kepentingan untuk bersalaman
dengan lawan jenis baik tua maupun muda yang bukan mahramnya lebih
baiknya kita cukup menundukkan kepala agar menghormati orang lain.
Ketika berjabat tangan dengan lawan jenis terutama seseorang yang
memiliki rasa saling suka maka hawa nafsu lebih kuat dari pada
memandang, karna bersentuhan tangan itu lebih banyak menimbulkan
madhorotnya. Jadi menurut penulis lebih baik menghindar yang sifatnya
akan menimbulkan madhorotnya daripada ketika berslaman dengan
lawan jenis akan menimbulkan nafsu dan terjadinya fitnah yang akan
merugikan diri kita sendiri baik di dunia maupun diakhirat, karna hadis
iwyat thabrani sangat jelas ancamannya bagi seseorang yang melakukan
perbuatan bersalaman dengan lawan jenis yang bukan mahramnya.
Dan apabila kita sedang membutuhkan sentuhan dari lawan jenis
untuk membantu sesuatu dari orang lain karna sakit atau kecelakaan
98
Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: PT Syaamil Cipta
Media, 2005), h. 56. 99 Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer 2, (Cet. 1, Jakarta: Gema Insani,
1995), h. 409.
xxvi
maka diperbolehkannya untuk menyentuh lawan jenis karna sifatnya
darurat.
Kemudian hadis selanjutnya yang tidak membolehkan berjabat
tangan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya yaitu ketika
Rasulullah tidak memegang tangan perempuan disaat Rasulullah
melakukan bai‟at kepada kaum perempuan:
عبئشخ ضض ح ع عط طي ع اع ط ع ع اق أذجطب ظ ز حسصب عجس اط ح صب حس
ع خ } لا ش الل ا ثص ىلا جبع اؽبء ثب ؼ ع صى الل اج ب لبذ وب طو
ط طأح إلا ا س ا ؼ ع صى الل ؽذ س ضؼي الل ب ئب { لبذ ش بثبلل ى أح
Telah menceritakan kepada kami Mahmud telah menceritakan
kepada kami Abdurrazaq telah mengabarkan kepada kami Ma'mar dari
Az Zuhri dari 'Urwah dari Aisyah radliallahu 'anha, mengatakan, Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam Shallallahu'alaihiwasallam membaiat wanita
cukup dengan lisan (tidak berjabat tangan) dengan ayat ini; 'Untuk tidak
menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun….' sampai akhir (QS.
Almumtahanah 12) kata Aisyah; Tangan Rasulullah
Shallallahu'alaihiwasallam sama sekali tidak pernah menyentuh wanita
selain wanita yang beliau miliki (isterinya).100
Adapun larangan untuk berjabat tangan dengan lawan jenis yang
bukan mahramnya tentang Rasulullah terhadap bai‟atnya kepada kaum
perempuannya yaitu terdapat dalam al-Qur‟an diantaranya:
لا ؽطل ئب ش ثبلل بد جبعه عى أ لا شطو ؤ إشا جبءن ا ب اج ب أ لا ع
لا عص أضج س أ فزط ث زب ثج لا أر لاز أ لا مز عطف ه ف
ح غفض ض الل إ الل اؼزغفط ٢١-فجبع -
“Wahai Nabi! Apabila perempuan-perempuan Mukmin datang
kepadamu untuk mengadakan baiat (janji setia), bahwa mereka tidak
akan mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah; tidak akan
mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak
akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki
100
Hadis Riwayat Bukhari, Kitab Shohih Bukhari, Bab Bai‟at Wanita, No. 6674,
(Jakarta: Lidwa Pusaka i-Software, 2011).
xxvii
mereka** dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka
terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka
kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”101
(Q.S Mumtahanah: 12).
Ketika Rasulullah Saw ditunjuk untuk membai‟at kaum wanita untuk
masuk islam, maka sikap Rasulullah berkata “Saya tidak berjabat tangan
dengan kaum wanita. Ucapanku untuk sratus kaum wanita sama dengan
ucapanku untukseorang wanita.”102 Dalam periwayatan Urwah, Aisyah
mengatakan Rasulullah Saw bwrsabda: “Saya telah membai‟at kaum
wanita dengan ucapan.” Demi Allah Rasulullah belum pernah sekali pun
menyentuh tangannya dengan tangan wanita mana pun ketika waktu
berbai‟at. Beliaulah hanya bersabda, „saya telah membai‟atmu terhadap
perkara-perkara itu.‟103
Menurut penulis perkataan Aisyah dengan ucapan “Demi Allah” itu
untuk meyakinkan dalam berita yang menunjukkan Rasulullah pernah
berjabat tangan ketika berbaiat dengan kaum perempuan yang
diriwayatkan oleh Ummu Athiyah.
Ketika apa yang Rasulullah perbuat maka kita juga harus meniru
perbuatan Rasulullah, maka disaat Rasulullah tidak berjabat tangan
dengan lawan jenis kita pun tidak dianjurkan untuk berjabat tangan
dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. Karna Rasulullah pun ketik
membai‟at kaum wanita mempunyai rasa takuta apabila Rasulullah
menjabat tangan kaum wanita tersebut dan akan menimbulkannya
fitnah. Dalam hadis ini Aisyah istri dari Rasulullah meyakinkan
kaumnya untuk tidak percaya terhadap berita yang ditujukan kepada
Rasulullah ketika Rasulullah membai‟at kaum wanita
3. Hadis Yang Membolehkan Berjabat Tangan dengan Lawan Jenis
yang Bukan Mahramnya:
101
Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: PT Syaamil Cipta
Media, 2005), h. 551. 102
Yahya Ismail, Hubungan Penguasa dan Rakyat dalam Presepektif Sunnah, (Cet.
1, Jakarta: Gema Insani, 1995), h. 157. 103
Ibid, h. 158.
xxviii
ذب عجس ث صب حس وضط أذجطب ؼفب س ث ح صب ت حس حبضصخ ث ع ؽ م س ا
ضعف جخ و ا ثأ لبي ألا أذجطو ؼ ع صى الل اج ع رعاع زضبعف ا
ابض ثأ ألا أذجطو لأثط عى الل ألؽ عؽى س ث ح لبي ؽزىجط اظ ج عز و
بء إ خ وبذ الأ به لبي إ حسصب أػ ث س اط أذجطب ح حسصب ش أ
صى الل سخ زأذص ثس ضؼي الل ش شبءد ا ح طك ث فز ؼ ع
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir telah
mengabarkan kepada kami Sufyan telah menceritakan kepada kami
Ma'bad bin Khalid Al Qaisi dari Haritsah bin Wahb Al Khuza'i dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Maukah kalian aku
beritahu penduduk surga? Yaitu setiap orang yang lemah dan
diperlemah. Sekiranya ia bersumpah atas nama Allah pasti Allah akan
mengabulkannya, Maukah kalian aku beritahu penghuni neraka? Yaitu
Setiap orang yang keras (hati), congkak dan sombong." Muhammad bin
Isa berkata; telah menceritakan kepada kami Husyaim telah
mengabarkan kepada kami Humaid At Thawil telah menceritakan
kepada kami Anas bin Malik dia berkata; "Sekiranya ada seorang budak
dari budak penduduk Madinah menggandeng tangan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam, sungguh beliau akan beranjak bersamanya
kemana budak itu pergi."104
Penjelasan dari hadis di atas termasuk dalam berjabat tangan yang
dibolehkan. Karna keterbukaan dan keakraban Rasulullah saw. dengan
orang-orang yang banyak baik laki-laki maupun perempuan dan budak
madinah. Kedekatan Rasulullah terhadap orang-orang tersebut karna
inginnya beliau untuk membimbing orang yang membutuhkan
bimbingan agar mereka slalu mendekatkan diri kepada Allah dan dapat
berbuat baik yang orang tersebut bisa menyontoh sikap rendah dirinya
Rasulullah saw. Rasulullah saw slalu memberikan bantuan terhadap
setiap orang yang membutuhkan bantuan dan berusahanya beliau untuk
memenuhi permintaan orang-orang tersebut yang berada didekatnya
beliau maupun berada di tempat yang jauh.105
104 Hadis Riwayat Bukhari, Kitab Shohih Bukhari, Bab Sombong, No. 5610, (Jakarta:
Lidwa Pusaka i-Software, 2011). 105
Abu Usamah Salim bin „Ied Al-Hilali, Syarah Riyadhus Shalihin, (Jakarta: Pustaka
Imam, 2005), h. 529.
xxix
Kerendahan hati seorang Rasulullah saw., membuatnya bersedia
ketika budak wanita Madinah mengajak beliau pergi untuk menunaikan
kebutuhannya. Dihadapan sang Rasulullah semua umatnya sama dan
Rasulullah tidak pernah membedakan kehidupan sosial kaumnya,
Rasulullah pun tidak menunjukkan kesombongan sebagai seoraang
pemimpin atau seorang guru. Disaat Rasulullah dekat dengan kaumnya
maka Rasulullah akan paham dengan masalah-masalah yang dihadapi
oleh kaumnya dan Rasulullah slalu memberikan solusi yang baik untuk
mereka agar mereka lebih menaati perintah-perintah Allah SWT dan
menjauhi larangan-larangan yang Allah perintahkan kepada umatnya. 106
Menurut penulis hadis ini merupakan deskripsi yang jelas tentang
ketawadhuan Rasulullah saw sebagai pemimpin yang sangat jauh dari
sifat sombong dan selalu memberikan bantuan terhadap umatnya karna
Rasulullah sangat mencintai umatnya yang taat kepada perintah Allah
SWT. bukan berarti bersentuhan itu dibolehkan, akan tetapi ketika
seseorang membutuhkan bantuan terhadap kita alangkah baiknya kita
untuk membantu mereka dengan rasa hormat dan rasa santun terhadap
seseorang yang kita bantu. Karna Rasulullah mengajarkan kita untuk
tidak berbuat sombong atau pebuatan yang tidak disukai oleh orang lain.
Maka dari situ kita harus saling tolong menolong ketika orang lain
membutuhkan bantuan kita.
C. Pendapat Para Ulama Tentang Boleh Tidaknya Berjabat
Tangan Dengan Lawan Jenis Yang Bukan Mahramnya
Berjabat tangan dalam pembahasan hadis diatas ada yang melarang
dan ada pula yang membolehkan. Dan menurut ulama pula berjabat
tangan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya akan ada perbedaan
dalam menangani masalah seperti ini. Perselisihan diantara ulama
madzhab dalam penjelasan hukumnya berjabat tangan dengan lawan
jenis yang bukan mahramnya yaitu:
1. Madzhab Syafi‟i
106
Yendri Junaidi, Metode Rasulullah Saw Dalam Mendidik, (Cet. I, Yogyakarta:
Deepublish, 2014), h. 15.
xxx
Didalam buku Ensiklopedia Fiqih Indonesia 8: Pernikahan, pendapat
madzhab Syafi‟i yaitu: Imam Nawawi Berkata dalam Syarah Shahih
Muslim “ketika Rasulullah membaiat para wanita, baiatnya Rasulullah
itu dengan menggunakan perkatan/ucapan saja tidak berjabat tangan
dengan wanita tersebut. Dalam menyentuh secara langsung dengan
lawan jenis yang bukan mahramnya hukumnya haram, karna akan
menimbulkan fitnah atau seseorang diantara yang menyentuh itu akan
mengeluarhkan syahwat. Jika dalam keadaan darurat karna sakit
(perempuan) dan dokter (laki-laki) menyentuh pasien tersebut untuk
diperiksa, maka hal itu diperbolehkan karna dalam keadaan yang
darurat. Kalau pun laki-laki dan perempuan saling bertemu tidak ada
kepentigan hal yang darurat sangat haram hukumnya untuk saling
menyentuh.”107
Menurut madzhab Syafi‟i dalam buku fiqih Moderen Praktis 101
Panduan Hidup Muslim Sehari-hari yaitu, bahwa berjabat tangan antara
laki-laki dan perempuan boleh berjabat tangan akan tetapi masing-
masing pihak laki-laki maupun perempuan sebaiknya menggunakan
lapisan kain dan aman dari fitnah baik perempuan tua maupun
perempuan yang masih gadis.108
menurut penulis jika kita akan berjabat tangan dengan lawan jenis
yang bukan mukhrimnya sebaiknya kalo tidak ada kepentigan apa pun
dan tidak ada darurat sakit alangkah baik menghindari dari perbuatan
menyentuh yang akan menimbulkan terjadinya fitnah dan saling
menghargai terhadap orang yang menolak untuk berjabat tangan dengan
meminta maaf atau menundukkan badan serta mengangkat tangan
dengan telapak tangan saling menyentuh agar kita tidak dianggap
sombong oleh orang lain.
2. Madzhab Hambali
Didalam buku Ensiklopedia Fiqih Indonesia 8: Pernikahan,
pendapat madzhab Hambali, yaitu: Ibnu Muflih dalam Al-Furu‟
107 Ahmad Sarwat, Ensiklopedia Fiqih Indonesia 8: Pernikahan, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2019), h. 84. 108 Fahad Salim Bahamam, fiqih Moderen Praktis 101 Panduan Hidup Muslim
Sehari-hari, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), h. 275.
xxxi
mengatakan “apabila laki-laki dengan perempuan yang bukan mukhrim
saling berjabat tangan itu diperbolehkan dengan wanita terhormat yang
sudah tua yang umurnya sudah tidak muda lagi dan tidak mempunyai
gairah nafsu. Akan tetapi jika berjabat tangan dengan wanita muda yang
masih mempunyai gairah nafsu dan akan menimbulkan terjadinya fitnah
hukumnya haram.109
3. Madzhab Maliki
Menurut pandangan ulama madzhab Maliki dalam berjabat tangan
dengan lawan jenis yang bukan mukhrim hukumnya haram, baik dengan
perempuan muda yang sudah balig atau dengan perempuan tua. karna
keduanya akan menimbulkan dorongan syahwat dan melakukan
perbuatan yang tidak menyenangkan yang akan menimbulkan fitnah.110
Dalam buku Ensiklopedia Fiqih Indonesia 8: Pernikahan, menurut
Imam Al-Baji berkata dalam kitabnya Al-Muntaqa, Rasulullah saw.
bersabda “sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita”.
Maksud dari petikan tersebut yaitu, berjabat tangan secara langsung
dengan tangannya. Akan tetapi saat beliau membai‟at laki-laki yaitu
dengan cara berjabat tangan dengannya secara langsung, akan tetapi jika
Rasulullah berbai‟at dengan perempuan yang menggunakan tanggan
secara langsung hukumnya terlarang.111
4. Madzhab Hanafi
Dalam buku Ensiklopedia Fiqih Indonesia 8: Pernikahan,penulis
kitab Al-Hidayah dan kitab Ad-Dar Al-Mukhtar berkata: bagi seorang
laki-laki tidak diperbolehkan menyentuh wajah atau telapak tangan
perempuan yang bukan mukhrimnya, walaupun kedua belah pihak
merasa aman dari syahwat.112
109 Ahmad Sarwat, Ensiklopedia Fiqih,,,, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2019),
h. 84. 110 Fahad Salim Bahamam, fiqih Moderen Praktis 101 Panduan Hidup Muslim
Sehari-hari, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), h. 262. 111 Ahmad Sarwat, Ensiklopedia Fiqih,,,, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2019),
h. 83. 112
Ibid., h. 83.
xxxii
Dalam buku Fiqih Moderen Praktis, menurut Madzhab Hanafi:
disebutkan dalam kitab “Tabyin Al-Haqoaiq Syarhu Kanzi Ad-Daqaaiq”
oleh Imam Az-Zaila‟i, menyentuh wajah atau telapak tangan seorang
perempuan yang bukan mukhrimnya hukumnya tidak boleh/haram
walaupun mereka akan merasa aman dari fitnah, dan jika tidak ada
kepentingan atau sesuatu yang darurat untuk menyentuhnya, lebih baik
menghindari untuk berjabat tangan supaya aman dari timbulnya fitnah.
Apabila ada seorang perempuan tua yang masih didambakan untuk
dinikahi maka hukum berjabat tangan dengan wanita tua itu haram, akan
tetapi jika perempuan tua itu sudah lanjut usia dan tidak mempunyai
gairah syahwat dan pikun (lupa ingatan) atau tidak didambakan untuk
dinikahi hukum berjabat tangan dengan perempuan tua tersebut boleh
saja, karna timbulnya fitnah yang dikhawatirkan tidak akan ditunjukkan
kepada pelaku yang berbuat berjabat tangan tersebut.113
5. Yusuf Qardhawi
Menurut Yusuf Qardhawi berjabat tangan itu haram, karena apabila
seseorang lawan jenis yang bukan mahramnya saling berjabaat tangan
yang disertai dengan syahwat dari salah satu pihak, maka dikhawatirkan
akan menimbulkan terjadinya fitnah.114 Seseorang yang sudah balig jika
melihat atau bersentuhan anggota tubuh degan lawan jenisnya
khususnya disaat berjabat tangan tentu saja akan menimbulkan gairah
nafsu dari salah satu pihak, dan jika sudah terjadi bersentuhan sudah
pasti orang yang melihat akan mengira seseorang tersebut dengan fitnah-
fitnah yang ditunjukkan kepada seorang yang melakukan sentuhan
tersebut.
113
Fahad Salim Bahamam, fiqih Moderen Praktis 101 Panduan Hidup Muslim
Sehari-hari, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), h. 262. 114
Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer 2, (Cet. 1, Jakarta: Gema Insani,
1995), h. 404.
xxxiii
BAB III
KRITIK SANAD HADITS TENTANG BERJABAT TANGAN
DENGAN LAWAN JENIS YANG BUKAN MAHRAMNYA
A. Takhrij Al-Hadits
1. Pengertian Takhrij hadits
Takhrij ( ج -secara bahasa memiliki beberapa arti, yaitu al ( ررط
Istinbath( جبط ) artinya “mengeluarkan”, at-tadrib ,(الاؼز ت ازسض ), artinya
“melatih”, atau “pembiasan” dan at-tarjih ( ح ازطج ), artinya
“menghadap”.115
Sedangkan menurut istilah, takhrij mempunyai beberapa arti,
diantaranya adalah:
a. Menyampaikan hadits kepada orang banyak dengan
menyebutkan semua perawi dalam mata rantai sanad hadits itu
beserta metode yang mereka tempuh.
b. Seorang ulama yang ahli dalam bidang hadis menyampaikan
beberapa hadits yang telah dikemukaan oleh para guru hadis,
atau dari kitab-kitab koleksi yang susunannya dikemukaan
berdasarkan riwayat sendiri, bisa juga didasarkan pada riwayat
para gurunya, dengan menjelaskan sumber siapa
periwayatannya, dari penyusun kitab atau karya tulis yang
dijadikan sumber pengambilan.
c. Menunjukkan asal-usul hadits dan mengemukakan sumber
pengambilannya dari berbagai kitab hadits yang disusun oleh
para mukharijnya secara langsung.
d. Menjelaskan hadits berdasarkan sumbernya, yakni kitab-kitab
hadits yang didalamnya disertai metode periwayatannya dan
sanadnya masing-masing, serta menjelaskan keadaan para
perawi dan kualitas sanadnya.
115
Ma‟shum Zein, Ilmu Memahami Hadist Nabi: Cara Praktis Menguasai Ulumul
Hadis Dan Mustholah Hadits, (Cet. I, Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang, 2016), h. 222.
xxxiv
e. Menunjukkan letak asal hadits pada sumbernya yang asli secra
lengkap, baik matan maupun mata rantai sanadnya. Serta
menerangkan kualitas hadtis yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan pengertian takhrij diatas apabila dihubungkan
dengan kegiatan penelitian hadits bisa berarti sebagai penelusuran atau
pencarian sebuah hadits pada berbagai sumber kitab asli dari hadits yang
bersangkutan yang di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap
baik matan dan mata rantai sanad yang bersangkutan.116
2. Tujuan Takhrij
Sebelum melakukan penelitian takhrij hadis, maka alangkah baiknya
mengetahui tujuan pokok dari takhrij yang ingin dicapai seorang
peneliti,117yaitu:
a. Menentukan suatu hadis dari beberapa sumber buku hadis yang
ingin diteliti, apakah hadis tersebut berada dibuku hadis atau
tidak.
b. Mengetahui asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti. jika
riwayat hadis tidak diketahui asal-usulnya, maka hadis tersebut
akan sulit diteliti statusnya dan kualitasnya.118
c. Mengetahui kualitas dan kuantitas hadis, baik dari segi sanad
maupun dari segi matan. Dengan demikian, daapat ditetapkan
apakaah hadis tersebut diterima (makbul) atau tertolak
(mardud).119
d. Menemukan cacat dalam sanad atau matan, mengetahui sanad
yang sambung (muttashil) atau terputus (munqhati‟), dan
mengetahui kemampuan periwayat dalam mengigat hadis serta
kejujurannya.
e. Mengetahui status hadis. Apabila sanad suatu hadis hukumnya
dha‟if kemudian melalui sanad lain hukumnya shahih, maka
116
Ibid, h. 223-224. 117
Abdul Majid Khon, Takhrij Dan Metode Memahami Hadis, (Cet. 1, Jakarta:
Amzah, 2014), h. 4. 118
Asep Herdi, Memahami Ilmu Hadis, ( Cet. I, Bandung: Tafakur, 2014), h. 136. 119
Abdul Majid Khon, Takhrij..., h. 5.
xxxv
hadis tersebut akan meningkatkan status hadis tersebut yang
awalnya dha‟if akan menjadi hasan li ghairihi atau dari hasan
menjadi shahih li ghairihi.
f. Mengetahui bagaimana pendapat ulama dengan menilai kualitas
hadis dan bagaimana penilaian terebut disampaikan.
3. Metode Takhrij
Untuk menelusuri sebuah hadis secara jelas beserta sumber-sumber
asalnya yang terhimpun dalam banyak kitab,maka ada beberapa metode
takhrij hadis yang dapat digunakan. Ada lima metode takhrij hadis yang
digunakan,120 yaitu:
a. Bi al-lafzh (dengan kata)
b. Bi al-maudhu‟ (dengan topik)
c. Bi awwal al-matn (dengan awal matan)
d. Bi al-rawi al-a‟la (dengan rawi paling atas)
e. Bi al-shifah al-hadits (dengan status hadits).121
Akan tetapi, disini penulis menggunakan tiga metode takhrij hadis.
Hadis yang digunakan ialah hadis tentang boleh tidaknya berjabat
tangan dengan lawan jenis yang bukan mukhrimnya yang di riwayatkan
oleh Thabrani, dan Bukhari.
1) Takhrij bi al-lafzh, penelusuran hadis melalui lafal matan, baik
dibagian awal, tengah atau bagian akhir. Pada lafal di dalam
matan hadis mempunyai akar kata yang dapat dirubah bentuk
katanya. Dalam menggunakan metode ini kitab yang di perlukan
untuk mentakhrij hadis dengan Al-Mu‟jam Al-Muhfaras bisa
juga menggunakan sofware atau aplikasi komputer seperti, Al-
Maktabah Al-Syamilah atau lidwa 9 buku induk hadis.
2) Takhrij bi al-maudhu‟, penelusuran hadis yang berdasarkan pada
topik masalah, seperti bab tawadhu‟, bab sholat, bab nikah, dan
bab niat. Rujukan kitab yang digunakan dalam metode ini selain
kitab Mu‟jam al-Muhfaras dan sofware (CDR) bisa juga
menggunakan kitab Miftah Min Kunus Al-Sunnah.
120
Asep Herdi, Memahami Ilmu..., h. 137. 121
Abdul Majid Khon, Takhrij..., h. 8.
xxxvi
3) Takhrij bi Awwal Matn, penelusuran hadis dengan menggunakan
awal matan. Dalam metode ini kitab yang digunakan yaitu Al-
Jami‟ Al-Shaghir karya Al-Suyuthi.
Setelah melakukan pencarian menggunakan metode diatas untuk
merujuk ke kitab sembilan dan kitab Thabrani ditemukan beberapa
petunjuk yang dapat mengarah ke berbagai kitab sumber. Berikut ini
hadis yang telah ditemukan, antaranya:
a) Hadis yang dilarang berjabat tangan riwayat Thabrani di
temukan dua hadis, dan kosa kata yang penulis dapat yaitu ,طع
berikut hadisnya:
أ , لبي: أبأ ث, حس صب شساز ث ؼعس, ع س , حس صبصط ث ع ث أح ث حسصب عجسا
علا ف ا طع : "الأ ؼ ع صى الل ث ؽبض, لبي: لبي ضؼي الل عم ء, حس ص
." طأحلا رح ػ ا أ ط حسس ذ رظ ث 122ضأغ ضج
، حسصب شساز ث ، أب اضط ث ش ، حسصب إؼحبق ث ضا بض ؼى ث حسصب
، لبي: اؼج ث ؽبض، ؼعس اط عم عذ ط، مي: ؼ ر ث اش عذ عس ث عجس الل ؼ
حسس رظ ث ف ضأغ أحسو طع :"لأ ؼ ع صى الل مي: لبي ضؼي الل
طأح ػ ا أ ط " ذ 123لا رح " b) Hadis yang tidak dibolehkannya berjabat tangan riwayat Bukhari
dan penguat hadisnya diriwayatkan oleh musnad ahmad, dan
kosa kata yang penulis temukan yaitu ىلا berikut ini ,جبع اؽبء ثب
terdapat hadisnya:
ز حسصب ح صب حس الل عبئشخ ضض ح ع عط طي ع اع ط ع ع اق أذجطب ظ عجس اط
خ } لا ا ص ث ىلا جبع اؽبء ثب ؼ ع صى الل اج ب لبذ وب ع ثبلل شطو
ئب بش ى طأح طأح إلا ا س ا ؼ ع صى الل ؽذ س ضؼي الل ب 124{ لبذ
122
Hadis Riwayat Thabrani, Kitab Mu‟jam al-Kabir Thabrani, Bab Haramnya
Bersalaman Lawan Jenis, No. 16881, Juz 15, Maktabah Syamilah, h. 143.
123
Hadis Riwayat Thabrani, Kitab Mu‟jam al-Kabir Thabrani, Bab Haramnya
Bersalaman Lawan Jenis, No. 16880, Juz 15, Maktabah Syamilah, h. 143. 124
Hadis Riwayat Bukhari, Kitab Shohih Bukhari: Hukum-Hukum, Bab Bai‟at
Wanita, No. 6674, (Jakarta: Lidwa Pusaka i-Software, 2011).
xxxvii
ح ضؼي الل عبئشخ لبذ وب ح أ عط طي ع اع ط ع ع اق أذجطب ظ سصب عجس اط
ش ثبلل لا شطو خ } عى أ ا ص ث ىلا جبع اؽبء ثب ؼ ع ئب { لبذ صى الل
ىب طأح طأح لظ إلا ا ؽذ س س ا ب 125
c) Hadis yang di bolehkan berjabat tangan diriwayatkan oleh
Bukhari dan ditemukan dua hadis, penulis menemukan kosa kata
dalam hadis tersebut yaitu سخ زأذص ا بء أ dan hadisnya ,إ
seperti berikut:
س اط ، أذجطب ح عؽى ، حسصب ش س ث ح لبي به لبي وبذ ، حسصب أػ ث
ح طك ث ضؼي الل صى الل ع ؼ فز سخ زأذص ثساج ا بء أ إ خ ش الأ
126شبءد
حبضصخ ث ع ؽ م ذبس ا عجس ث صب حس وضط أذجطب ؼفب س ث ح صب ت حس
لبي ألا أذج ؼ ع صى الل اج ع رعاع ا زضبعف ضعف جخ و ا ثأ طو
س ح لبي ؽزىجط اظ ج عز ابض و ثأ ألا أذجطو لأثط عى الل عؽى ألؽ ث
ص حس س اط أذجطب ح حسصب ش بء أ إ خ وبذ الأ به لبي إ ب أػ ث
ش شبءد ح طك ث فز ؼ ع صى الل سخ زأذص ثس ضؼي الل 127ا
Berdasarkan redaksi hadits-hadits kontradiksi tentang berjabat
tangan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya yang diriwayatkan
oleh Thabrani, Bukhari dan Ahmad, maka peneliti menyusun urutan
periwayatan sebagai berikut:
A . Tabel Hadits Riwayat Thabrani
1. Tabel hadits jalur pertama
No. Nama
Periwayatan
Urutan Sebagai
Sanad
Lambang
Periwayatan
Status
1 Thabrani Mukharij al-
Hadits
ث ا ذ Mukharij ح
al-hadits
(Tsiqat)
2 „Abdan bin VI ث ا ذ Tabi‟ut ح
125
Hadis Riwayat Ahmad, Kitab Musnad Sahabat Anshar, Bab Bai‟at Wanita, No.
24042, (Jakarta: Lidwa Pusaka i-Software, 2011). 126
Hadis Riwayat Bukhari, Kitab Shohih Bukhari, Bab Wahyu, No. 6072, Juz 8,
Maktabah Syamilah, h. 24. 127
Hadis Riwayat Bukhari, Kitab Shohih Bukhari, Bab Sombong, No. 5610, (Jakarta:
Lidwa Pusaka i-Software, 2011).
xxxviii
Ahmad Atba
kalangan
tua
3 Nashr bin Ali V ث ا ذ Tabi‟ut ح
Atba
kalangan
pertengahan
4 Abihi IV أب Tabi‟in
5 Saddad bin Sa‟id III ث ا ذ Tabi‟in ح
6 Abi Al-Ala II Tabi‟in ع
kalangan
pertengahan
7 Maqil bin Yasir I حس ص Sahabat
2. Tabel jalur kedua
No. Nama
Periwayatan
Urutan Sebagai
Sanad
Lambang
Periwayatan
Status
1 Thabrani VII ث ا ذ -Muharij Al ح
hadits
(Tsiqat)
2 Musa bin Harun VI ث ا ذ Tabi‟ul Atba ح
kalangan tua
3 Ishaq bin
Rohawaih
V ث ا ذ Tabi‟ul Atba ح
kalangan
pertengahaan
4 Al-Nadlr bin
Syumail
IV أب Tabi‟in
5 Saddad bin Sa‟id III ث ا ذ Tabi‟in ح
6 Yazid bin
Abdullah
II ث ع Tabi‟in ض
kalangan
pertengahan
7 Maqil bin Yasir I ث ع Sahabat ض
xxxix
B. Tabel hadits Riwayat Bukhari dan Ahmad
1. Tabel hadits jalur pertama riwayat Bukhari
No. Nama
Periwayataan
Urutan
Sebagai Sanad
Lambang
Periwayatan
Status
1 Bukhari VII ث ا ذ Mmuharij ح
Al-hadits
(Tsiqat)
2 Mahmud VI ث ا ذ Tabi'in ح
kalangan
pertengahan
3 Abdurrazaq V ث ا ذ Tabi'ut ح
Tabi'in
kalangan
biasa
4 Ma‟mar IV أذجطب Tabi'ut
Tabi'in
kalangan tua
5 Az-Zuhri III Tabi‟ut ع
Tabi‟in
kalangan
pertengahan
6 Urwah II Tabi‟in ع
kalangan
pertengahan
7 Aisyah I Sahabat ع
2. Tabel hadist jalur kedua riwayat Ahmad
No. Nama
Periwayatan
Urutan
Sebagai
Sanad
Lambang
Periwayatan
Status
1 Ahmad VI ث ا ذ -Mukharij Al ح
Hadits
(Tsiqat)
2 Abdurrazaq V ث ا ذ Tabi‟ut ح
Tabi‟in
xl
kalangan
biasa
3 Ma‟mar IV ب ر اأ خ Tabi‟ut
Tabi‟in
kalangan tua
4 Az-Zuhri III Tabi‟ut ع
Tabi‟in
kalangan
pertengahan
5 Urwah II Tabi‟in ع
kalangan
pertengahan
6 Aisyah I Sahabat أ
C. Tabel Hadits Riwayat Bukhari
1. Tabel hadits jalur pertama
No. Nama
Periwayatan
Urutan
Sebagai
Sanad
Lambang
Periwayatan
Status
1 Bukhari V ث ا ذ -Muharij al ح
Hadits
(Tsiqat)
2 Muhammad bin
Isya
IV ل ال Tabi‟ut و
kalangan tua
3 Hasim III ث ا ذ Tabi‟in ح
kalangan tua
4 Humaid at-Tawil II ا ب ر Tabi‟in أ خ
kalangan
pertengahan
5 Anas bin Malik I ث ا ذ Sahabat ح
2. Tabel hadis jalur kedua
No. Nama Urutan Lambang Status
xli
Periwayatan Sebagai
Sanad
Periwayatan
1 Bukhari V ث ا ذ Mukharih ح
Hadits
(Tsiqat)
2 Muhammad bin
Katsir
IV ث ا ذ Tabi‟ul Atba ح
kalangan tua
3 Sufyan III ا ب ر Tabi‟ut أ خ
Tabi‟in
kalangan tua
4 Ma‟bad bin
Khalid Al-Qaisi
II ث ا ذ Tabi‟in ح
kalangan
pertengahan
5 Haritsah bin
Wahb Al-
Khuza‟i
I Sahabat ع
B. I’tibar al-Hadits
I‟tibar secara bahasa yaitu, al-I‟tibar ( اعزجبض ) masdar dari kata
I‟tabara( اعزجبض ), sedangkan makna dari kata I‟tibar adalah memahami
atau meninjau suatu perkara dengan maksud untuk mengetahui sesuatu
yang sejenisnya.
Sedangkan dalam istilah ilmu hadis, al-I‟tibar dengan arti
menyertakan sanad-sanad yang lain dalam suatu hadis tertentu, dan pada
hadis bagian sanadnya hanya terdapat seorang periwayat saja. Apabila
tidak menyertakan sanad-sanad yang lain, maka tidak dapat diketahui
apakah ada periwayat yang lain atau tidak, pada bagian sanad dari sanad
hadis yang dimaksud. Jadi yang dimaksud dengan I‟tibar yaitu metode
untuk medapatkan informasi mengenai kualitas hadis dari literatur
xlii
hadis.128 Juga bisa mengetahui ada tidaknya suatu pendukung yang
berupa perawi yang mempunyai status muttabi‟ atau syahid.129
Setelah melakukan pengelompokan hadis dari sumber kitab induk
atau CDR Maktabah Syamilah, dan Lidwa imam 9 kitab maka langkah
selanjutnya dengan meneliti I‟tibar sanad. Dengan demikian penulis
melakukan penelitian dengan jalur periwayatan dari 3 kitab sumber, dan
dibawah ini ditemukannya jalur-jalur periwayatan sebagai berikut:
128
Cut Fauziah, I‟tibar Sanad Dalam Hadits, Jurnal Ilmu Hadis, Vol. I, No. I,
(Januari-Juli 2018 M/1349 H), h. 125. 129
Ma‟shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi: Cara Praktis Menguasai Ulumul
Hadits dan Mustholaah Hadits, (Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2016), h. 195.
xliii
1. Bagan sanad hadis pertama riwayat Thabrani
Rasulullah saw
Maqil bin Yasir
Abi Al'ala Yazid bin Abdullah
syaddad bin Sa'id
Abihi
Nashr bin Ali
'Abdan bin Ahmad
Al-Nadlr bin Syumail
Ishaq bin Rahawaih
Musa bin Harun
Thabrani
xliv
2. Bagan sanad riwayat Bukhari dan penguat hadis riwayat Musnad
Ahmad
Rasulullah saw
Aisyah
Urwah
Az-Zuhri
Ma'mar
Abdurrazaq
Mahmud
Bukhari
Ahmad
xlv
3. Bagan sanad riwayat Bukhari
Rasulullah saw
Anas bin Malik
Humaid at-Thawil
Hasim
Muhammad bin I'sa
Bukhari
Haritsah bin Wahb Al Khuza'i
Ma'bad bin Khalid Al
Qaisi
Sufyan
Muhammad bin Katsir
Bukhari
xlvi
47
Naqd al-Hadits
Dalam istilah bahasa al-Naqd mempunya pegertian yang sama
dengan al-Tanqad (مس yang berarti meneliti secara seksama, dan ,( ر
menyatakan secara khusus yang mempunyai sifat keaslian dan
menyingkirkan sifat yang palsu darinya.79 Menurut Johana Nasrudin
Naqd al-Hadits yaitu, ilmu yang meneliti suatu sanad dan matan hadis
untuk mengetahui kualitas suatu hadis yang akan diteliti.80
1. Kritik Sanad
Dalam meneliti sebuah hadis yang akan diketahui kualitas hadisnya,
maka sangat diperlukan gambaran untuk menentukan suatu hadis.
Setelah penulis melakukan penelitian dengan sekema pohon sanad,
maka langkah selanjutnya dengan melakukaan kritik sanad dan kritik
matan. Pada kritik sanad dilakukan untuk membuktikan saanad pada
hadis-hadis tersebut memenuhi kriteria hadis shahih atau sebaliknya.
Disini penulis menggunakan CDR Maktabah Syamilah dan Lidwa 9
Kitab Imam untuk membantu memudahkan dalam mencari sanad-sanad
hadis yang ingin diteliti penulis. Syarat-syarat yang memenuhi hadis
shahih yaitu:
a. Sanadnya bersambung
b. Perawinya adil
c. Perawinya dhabit
d. Tidak ada kejanggalan (syadz)
e. Tidak ada cacat (mu‟allal).81
1) Biografi Perawi
a) Sanad Thabrani
79
Hatta Abdul Malik, Naqd al-Hadits Sebagai Metode Kritik Kredibilitas Informasi
Islam, Jurnal of Islamic Studies and Humanities, Vol. I, No. I, (Universitas Islam Negri
Walisonggo Semarang: 2016), h. 58. 80
Johana Nasrudin dan Dewi Royani, Kaidah-Kaidah Ilmu Hadits Praktis, (Cet. I,
Yogyakarta: Deepublish, 2017), h. 156. 81
Ma‟shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi: Cara Praktis MenguasaiUlumul
Hadits Dan Mustholah Hadits, (Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2016), h. 113.
48
, لبي: أبأ ث, حس صب شساز س , حس صبصط ث ع ث أح أث حسصب عجسا ث ؼعس, ع
طع : "الأ ؼ ع صى الل ث ؽبض, لبي: لبي ضؼي الل عم علاء, حس ص ف ا
." طأحلا رح ػ ا أ ط حسس ذ رظ ث 82ضأغ ضج
از ث ، حسصب شس ، أب اضط ث ش ، حسصب إؼحبق ث ضا بض ؼى ث حسصب
ث ؽبض، عم عذ ط، مي: ؼ ر ث اش عذ عس ث عجس الل ، لبي: ؼ اؼج ؼعس اط
حسس رظ ث ف ضأغ أحسو طع :"لأ ؼ ع صى الل مي: لبي ضؼي الل
ط "ذ طأح لا رح ػ ا أ 83
Nama : Maqil bin Yasir bin Abdullah bin
Ma‟bar
Nama lain : Maqil bin Yasir Maj‟ni
Guru : Rasulullah saw
Murid : Abi Al‟ala
Wafat : 60 H
Al-Jarah wa Ta‟dil : Sahabiy
Thabaqah : II
Nama : Yazid bin Abdullah bin Syahir bin Auf
Nama lain : Yazid bin Abdullah al-Am‟ri
Guru : Maqil bin Yasir bin Abdullah
82
Hadis Riwayat Thabrani, Kitab Mu‟jam al-Kabir Thabrani, Bab Haramnya
Bersalaman Lawan Jenis, No. 16881, Juz 15, Maktabah Syamilah, h. 143.
83
Hadis Riwayat Thabrani, Kitab Mu‟jam al-Kabir Thabrani, Bab Haramnya
Bersalaman Lawan Jenis, No. 16880, Juz 15, Maktabah Syamilah, h. 143.
49
Murid : Syaddad bin Said bin Malik
Wafat : 108 H
Al-Jarah wa Ta‟dil : Ahmad bin Su‟aib An-Nasa‟i : Tsiqat.
Ahmad bin Shalih al-Jaili : Tsiqat.
Ibnu Hajar As-Qalani : Tsiqat
Thabaqah III
Nama Saddad bin Said bin Malik
Nama lain Saddad bin Said Ar-Rasbi
Guru Abi Al‟Ala
Murid Abihi dan Al-Nadlr bin Syumail
Wafat
Al-Jarah wa Ta‟dil Yahya bin Mu‟ain : Tsiqat
Zuhair bin Harb An-Nasa‟i : Tsiqat
Thabaqah IV
Nama Ali bin Nasru bin Ali bin Shahiban
bin Abi al-Jah‟dhahi
Nama lain Ali bin Nasru al-Hadis
Guru Saddad bin Said bin Malik
Murid Nasru bin Ali
Wafat 187 H
50
Al-Jarah wa Ta‟dil Abu Hatim Ar-Razi : Tsiqat
Shaduq.
Ahmad bin Syuaib An-Nasa‟i :
Tsiqat.
Ibnu Hajar As-Qalani : Tsiqat.
Halih bin Muhammad Jazarah :
Shaduq (sangat benar).
Thabaqah : IV
Nama : Al-Nadlr bin Syumail
Nama lain : Abu al-Hasan al-Nawi al-Bashr
Guru : Saddad bin Said
Murid : Ishaq bin Rohawaih
Wafat : 203 H
Al-Jarah wa Ta‟dil : Al-Nasa‟i : Tsiqat
Abu Hatim : Tsiqat
Thabaqah : V
Nama : Nasru bin Ali bin Nasru bin Ali bin
Shahiban bin Abi
Nama lain : Nasru bin Ali al-Ardhi
Guru : Abihi
Murid : Abdan bin Ahmad
51
Wafat : 250
Al-Jarah wa Ta‟dil : Musalamah bin Al-Qasim :
kepercayaan itu dia miliki semuanya.
Ahmad bin Suaip al-Nasa‟i : Tsiqat
Thabaqah : V
Nama : Ishaq bin Rahawaih
Nama lain : Abu Yaqub al-Marwazi
Guru : Al-Nadlr bin Syumail
Murid : Musa bin Harun
Wafat : 237 H
Al-Jarah wa Ta‟dil : Abu Bakar al-Nu‟aim : Tidak ada
cacat padanya (Laba‟tsa bihi)
Thabaqah : VI
Nama : Abdan bin Ahmad
Nama lain : Abdullah bin Ahmad al-Ahwari
Guru : Nasru bin Ali
Murid : Al-Thabrani
Wafat : 306 H
Al-Jarah wa Ta‟dil : Abu al-Abas bin Makil : dia
seorang hafidz.
52
Abdul Hayya bin Amad Hambal :
dia seorang penghafal yang Tsiqaat
(dapat dipercaya.
Thabaqah : VI
Nama : Musa bin Harun
Nama lain : Abu Umar
Guru : Ishaq bin Rahawaih
Murid : Al-Thabrani
Wafat : 224 H
Al-Jarah wa Ta‟dil : Abu Zur‟ah : tidak ada cacat
padanaya (Laba‟tsa
bihi).
Ibnu Hiban : Tsiqat.
Sanad Thabrani, semua sanad hadis ini memiliki keterambungan
sanad antara perawi satu dengan yang lain dan perawinya mendapat
predikat Tsiqat oleh para ahli hadis dan pada periwayatan Nasru bin Ali
kekuatan daya hafalannya dapat dipercaya, maka kedudukan hadis ini
bisa dikatakan dengan hadis shahih. Namun tetap di posisikan hadis
hasan.
53
b) Sanad Bukhari
ا ظ ز حسصب عجس اط ح صب حس عبئشخ ضض ح ع عط طي ع اع ط ع ع ق أذجطب
خ ا ثص ىلا جبع اؽبء ثب ؼ ع صى الل اج ب لبذ وب ع الل } لا شطو
ب ئب { لبذ ش بثبلل ى طأح طأح إلا ا س ا ؼ ع صى الل ؽذ س ضؼي الل 84
ح صب ت حس حبضصخ ث ع ؽ م ذبس ا عجس ث صب حس وضط أذجطب ؼفب س ث
ضعف جخ و ا ثأ لبي ألا أذجطو ؼ ع صى الل اج ع رعاع زضبعف ا
ألؽ س ث ح لبي ؽزىجط اظ ج عز ابض و ثأ ألا أذجطو لأثط عؽى عى الل
بء إ خ وبذ الأ به لبي إ حسصب أػ ث س اط أذجطب ح حسصب ش أ
ش شبءد ح طك ث فز ؼ ع صى الل سخ زأذص ثس ضؼي الل ا
Thabaqah : I
Nama : Aisyah binti Abdullah bin Asim bin
Amer bin Ka‟ab bin Sa‟id
Nama lain : Aisyah binti Abi Bakar As-Shadiq
Guru : Rasulullah Saw
Murid : Urwah
Wafat : 57 H/ 58 H
Al-Jarah wa Ta‟dil : Sahabiy
Thabaqah : II
Nama : Urwah bin Zabir bin A‟um
Nama lain : Urwah bin Zabir al-As‟di
Guru : Aisyah
Murid : Az-Zuhri
84
Hadis Riwayat Bukhari, Kitab Shohih Bukhari: Hukum-Hukum, Bab Bai‟at Wanita,
No. 6674, (Jakarta: Lidwa Pusaka i-Software, 2011).
54
Wafat : 94 H
Al-Jarah wa Ta‟dil : Muhammad bin Sa‟id : banyak
kepercayaan di era moderen ini.
Ibnu Hajar As-Qalani : Tsiqat
al-Ajli : Tsiqat
Thabaqah : III
Nama : Muhammad bin Muslim bin
Ubaiduallah bin Abdullah bin Shihab
Nama lain : Muhammad bin Shihab Az-Zuhri
Guru : Urwah
Murid : Ma‟mar
Wafat : 124 H
Al-Jarah wa Ta‟dil : Abu Abdullah al-Hakim : Tsiqat
Muhammad bin Sa‟id : banyak
ilmu pengetahuan ahli hukum
modern yang dapat dipercaya.
Ibnu Hajar „Asqalani : faqih hafidz
mutqin
Thabaqah : IV
Nama : Ma‟mar bin Rosid
Nama lain : Ma‟mar bin Abi Amru Al-Az‟di
55
Guru : Az-Zuhri
Murid : Abdul Rozak
Wafat : 154 H
Al-Jarah wa Ta‟dil : Abu Bakar al-Baihaqi : dia
seorang Hafidz.
Abu Abdullah al-Hakim al-
Naisaburi : terpercaya dan
amanah.
Abu Muhammad al-Hajim
Adhohiri : Tsiqat.
Ibnu Hajar Asqalani : Tsiqat
Tsabat
Thabaqah : V
Nama : Abdul Rozaq bin Hamam bin Nafi‟
Nama lain : Abdul Rozaq bin Hamam al-
Hamiri
Guru : Ma‟mar
Murid : Mahmud
Wafat : 211 H
Al-Jarah wa Ta‟dil : Abu Abdullah al-Hakim Naisaburi
: Tsiqat.
An-Nasa‟i : Tsabat
Ya‟kub bin Syaibah : Tsiqat
56
Tsabat
Ibnu Hiban : Tsiqat
Ibnu Adi : Laba‟tsa bih
Thabaqah : VI
Nama : Muhammad bin Ai‟lan
Nama lain : Muhammad bin Ai‟lan al-A‟di
Guru : Abdul Rozaq bin Hamam
Murid : Bukhari
Wafat : 239 H
Al-Jarah wa Ta‟dil : Abu Hatim al-Razi : Tsiqat
Ahmad bin Suaip an-Nasa‟i : Tsiqat
Ibnu Hajar As-Qalani : Tsiqat.
Adz-Dzahabi : Hafidz
c) Sanad Ahmad
عبئش ح أ عط طي ع اع ط ع ع اق أذجطب ظ حسصب عجس اط ضؼي الل خ لبذ وب
ش ثبلل لا شطو خ } عى أ ا ص ث ىلا جبع اؽبء ثب ؼ ع ئب { لبذ صى اللىب طأح طأح لظ إلا ا ؽذ س س ا ب
85
85
Hadis Riwayat Bukhari, Kitab Shohih Bukhari, Bab Wahyu, No. 6072, Juz 8,
Maktabah Syamilah, h. 24.
57
Thabaqah : V
Nama : Abdul Rozaq bin Hamam bin Nafi‟
Nama lain : Abdul Rozaq bin Hamam al-Hamiri
Guru : Ma‟mar
Murid : Musnad Ahmad
Wafat : 211 H
Al-Jarah wa Ta‟dil : Abu Abdullah al-Hakim Naisaburi :
Tsiqat.
Ahmad bin Suaib An‟Nasa‟i : yang
dapat ditandingkan hafalannya.
Sanad Bukhari dan Ahmad, semua perawi sanadnya bersambug
dan semua perawi mendapatkan predikat Tsiqat oleh para ahli hadis,
kecuali pada periwayatan Az-Zuhri atau Muhammad bin Muslim bin
Ubaidillah dan periwayatan Ma‟mar bin Rasyid mereka mempunyai
hafalan yang buruk, maka kedudukan hadis ini sama seperti sanad
Thabrani bisa dikatakan dengan hadis shahih, namun tetap di posisikan
dalam hadis hasan. Dan orang yang pertama mendengar langsung
perkataan Rasulullah tersebut yaitu Aisyah (istrinya).
d) Sanad Bukhari
به ، حسصب أػ ث س اط ، أذجطب ح عؽى ، حسصب ش س ث ح لبي لبي وبذ
ح طك ث ضؼي الل صى الل ع ؼ فز سخ زأذص ثساج ا بء أ إ خ ش الأ
86شبءد
86
Hadis Riwayat Bukhari, Kitab Shohih Bukhari, Bab Wahyu, No. 6072, Juz 8,
Maktabah Syamilah, h. 24.
58
ت ح حبضصخ ث ع ؽ م ذبس ا عجس ث صب حس وضط أذجطب ؼفب س ث ح صب س رعاع ا
زض ضعف جخ و ا ثأ لبي ألا أذجطو ؼ ع صى الل اج عى ع ألؽ بعف
عؽى ح س ث ح لبي ؽزىجط اظ ج عز ابض و ثأ ألا أذجطو لأثط أذجطب الل سصب ش
وبذ الأ به لبي إ حسصب أػ ث س اط ح سخ زأذص ثس ضؼي الل ا بء أ إ خ ش شبءد ح طك ث فز ؼ ع 87صى الل
Thabaqah : I
Nama : Anas bin Malik bin Nadar bin
Dhomdhom
Nama lain : Anas bin Malik an-Naisaburi
Guru : Rasulullah
Murid : Humaid at-Tawil
Wafat : 93 H
Al-Jarah wa Ta‟dil : Sahabiy
Thabaqah : II
Nama : Humaid bin Tayriya
Nama lain : Humaid bin Abi Humaid at-Tawil
Guru : Anas bin Malik
Murid : Husaim
Wafat : -
87
Hadis Riwayat Bukhari, Kitab Shohih Bukhari, Bab Sombong, No. 5610,
(Jakarta: Lidwa Pusaka i-Software, 2011).
59
Al-Jarah wa Ta‟dil : Abu Hatim al-Razi : dapat dipercaya
dan tidak ada kecacatan padanya.
Abu Daud al-Sajistani : hadis yang
baru dapat di percaya.
Ahmad bin Shalih al-Jaili : Tsiqat
Ahmad bin Suaip an-Nasa‟i : Tsiqat.
Thabaqah : III
Nama : Husaim bin Basri bin Qasim bin Dinar
Nama lain : Usaim bin Basri as-Salami
Guru : Humaid at-Tawil
Murid : Muhammad bin Isya
Wafat : 183 H
Al-Jarah wa Ta‟dil : Abu Abdullah Al-Khatim Naisaburi :
Tsiqat.
Thabaqah IV
Nama Muhammad bin Isya bin Surat bin
Musa
Nama lain Muhammad bin Isya at-Tirmidzi
Guru Husaim bin Qasim
Murid Bukhari
60
Wafat 279 H
Al-Jarah wa Ta‟dil Para ahli hadis 9 kitab mempunyai
kepercayaan yang disetujui
Ibnu Hajar as-Qalani : salah satu
imam yang dapat dipercayai dengan
hafidz nya.
Thabaqah V
Nama Harits bin Wahab al-Khaza‟i
Nama lain Haris bin Wahab
Guru Rasulullah Saw
Murid Ma‟bad bin khalid
Wafat -
Al-Jarah wa Ta‟dil Sahabiy
Thabaqah VI
Nama Ma‟bad bin Khalid bin Murair bin
Haris bin Yasir
Nama lain Ma‟bad bin Khalid
Guru Harits bin Wahab
Murid Sufyan
Wafat 118 H
61
Al-Jarah wa Ta‟dil Yahya bin Ma‟in : Tsiqat
Al-Ajli : Tsiqat
Abu Hatim : Shaduq
Ibnu Hibban : disebutkan dalam
„ats Tsiqat
Ibnu Hajar as-Qalani : Tsiqat
ahli ibadah
Thabaqah VII
Nama Sufyan bin Sa‟id bin Masruq
Nama lain Abu‟ Abdullah
Guru Ma‟bad bin Khalid
Murid Muhamad bin Yasir
Wafat 161 H
Al-Jarah wa Ta‟dil Malik bin Anas : Tsiqat
Yahya bin Ma‟in : Tsiqat
Ibnu Hibban : termasuk dari para
huffad mutqin
Ibnu Hajar „asqalani : Tsiqat
hafidz faqih
62
Thabaqah VIII
Nama Muhammad bin Katsir al-Adzi
Nama lain Abu Abdullah al-Basri
Guru Sufyan
Murid Bukhari
Wafat 223 H
Al-Jarah wa Ta‟dil Yahya bin Ma‟in : lam yakun bi
Tsiqat
Abu Hatim : Shaduq
Ibnu Hibban : disebutkan dalam „ats
Tsiqat
Ibnu Hajar Asqalani : Tsiqat
Setelah penulis melakukan peneitian terhadap periwayatan hadis-
hadis diatas, maka dapat dikatakan bahwa jalur sanad diatas shahih.
Melihat dari kriteria ketersambungan sanad, yakni dari segi
ketersambungan sanad karna pertemuan antara guru dan murid, dan para
perawi yang dinilai Tsiqat oleh para kritikus hadis, maka penulis
menyatakan bahwasannya sanad ini shahih.
63
BAB IV
KRITIK MATAN HADITS TENTANG BERJABAT TANGAN
DENGAN LAWAN JENIS YANG BUKAN MAHRAMNYA
A. Teori Kritik Matan
Dalam ilmu hadits dirayah, kritik matan itu bisa dilakukan dengan
dua cara, yaitu; Pertama, kritik terhadap redaksi matan hadits, dan kedua
kritik terhadap makna matan hadis.88 Sanad yang tsiqat belum tentu
matan dalam hadits itu juga memiliki predikat tsiqat dan dapt dipercaya.
Dalam kepercayaan isnad, ke-Tsiqat-an matan juga harus dibuktikan
untuk keautentikan sebuah hadits dengan syarat bahwa autentifikasi dan
penilaian “buruk” seorang perawi berdasarkan sebuah asumsi dan
seorang perawi yang dianggap memiliki predikat tsiqat oleh seorang
kritikus hadits maka kritikus hadits yang lainnya akan menganggap
sebaliknya. Dengan meneliti kritik matan, kesalahan yang diperbuat oleh
seorang perawi dapat dikontrol dan penilaian seorang kritikus terhadap
dinilai tsiqat atau sebaliknya, hanya saja setelah meneliti riwayat mereka
dan meneliti matannya.89
Setelah penulis melakukan penelitian terhadap sanad hadis yang
menjadi objek kajian penelitian, dan telah sampai pada kesimpulan
bahwa sanad tersebut bisa dikatakan hadis shahih, karna sudah
memenuhi kriteria hadis yang shahih. Setalah melakukan kritik sanad
dan memenuhi kriteria hadis shahih, maka langkah selanjutnya penulis
akan melakukan kritik terhadap matan hadis diatas.
B. Analisa Kritik Matan
Dalam menelusuri kritik matan ini, penulis menggunakan
pendekatan dalam kritik matan, yaitu: meneliti matan dengan melihat
kualitas sanad, meneliti susunan lafal matan yang semakna, dan meneliti
kandungan matan dalam hadis, dan hasil penelitian matan hadits.
88
Johana Nasrudin dan Dewi Royani, Kaidah-Kaidah Ilmu Hadits Praktis, (Cet. I,
Yogyakarta: Deepublish, 2017), h. 156. 89
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadits, (Cet. I,
Jakarta: Mizan Publika, 2009), h. 56-57.
64
Berikut adalah langkah-langkah dalam penelitian kritik matan hadis,
yaitu sebagai berikut:
1. Meneliti matan dengan melihat kualitas sanad
Hadis diatas adalah hadis yang masyhur, karna dikalangan sahabat
thabaqah pertamadiriwayatkan lebih dari dua orang sahabat, yaitu Maqil
bin Yasir, Aisyah, Anas bin Malik, dan Harits bin Wahab. Dan pada
thabaqah selanjutnya, yaitu dikalangan tabi‟in dan setelahnya juga
termasuk pada golongan hadis masyhur.
Pada hadis diatas sanadnya muttashil (bersambung) dari awal
sampai akhir. Dan pada semua kalangan sahabat yang pertama
mendengar hadis ini secara langsung dari Nabi Saw. sedangkan bobot
untuk masing-masing sanad dari tiga sempel yang telah dipilih adalah
sebagai berikut:
2. Meneliti susunan matan yang semakna
Setelah mengetahui kualitas kritik sanad hadis, maka langkah
selanjutnya dalam penelitian ini yaitu penulis meneliti susunan matan
yang semakna dari berbagai hadis. Akan tetapi dalam penelitian kritik
matan yang susunan lafalnya semakna, penulis akan menggunakan
kaidah mayor kesahihan hadis yaitu terhindarnya dari „illah. Illah secara
bahasa yaitu, penyakit. Dalam sebuah hadis, jika salah satu ada penyakit
yang membuat hadis itu lemah maka hadis tersebut tidak bisa di
kategorikan sebagai hadis shahih. Sedangkan illah secara istilah yaitu,
ssuatu sebab permasalahan atau penyakit yang tersembunyi yang
membuat cacat pada hadis, sementara secara lahir tidak tampak adanya
kecacatan pada hadis tersebut.90
Dan kaidah minornya yaitu, terhindarnya dari Ziyadah (tambahan),
Inqilab (perbaikan lafal), Mudraj (sisipan), Naqis (pengurangan), dan
Al-Tahrif/Al-Tahsif (perubahan huruf/syakalnya). Berikut susunan lafal
90
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadits, (Cet. I, Jakarta:
Amzah, 2014), h. 123.
65
matan hadis yang penulis melakukan perbedaan lafal disetiap matan
hadis, yaitu sebagai berikut:
Dalam kitab at-Thabrani ditemukan dua hadis, yaitu:
Hadis ke 1
رظ ث ف ضأغ ضج طع الأ
Hadis ke 2
رظ ث ف ضأغ أحسو طع لأ
Dalam kitab Bukhari ditemukan satu hadis dan hadis penguatnya dari
periwayatan Musnad Ahmad hanya ditemukan satu hadis saja, yaitu:
Hadis ke 1
طأح إلا س ا ؼ ع صى الل ؽذ س ضؼي الل ب ئب { لبذ ش ثبلل } لا شطو
ب ى طأح ا
Hadis ke 2
ب ى طأح طأح لظ إلا ا ؽذ س س ا ب ئب { لبذ ش ثبلل لا شطو } عى أ
Dalam kitab Bukhari ditemukan dua hadis, yaitu:
Hadis ke 1
طك ث ضؼي الل صى الل ع ؼ فز سخ زأذص ثساج ا بء أ إ خ وبذ الأ
ش شبءد ح
Hadis ke 2
طك ث فز ؼ ع صى الل سخ زأذص ثس ضؼي الل ا بء أ إ خ وبذ الأ إ
ش شبءد ح
Setelah melakukan penelitian dalam membandingkan matan hadis
satu dengan matan hadis pengguatnya, dari beberapa periwayatan di atas
dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa perbedaan, diantaranya
66
terdapat pada matan yang panjang pada lafalnya dan ada pula matan
dengan lebih pendek lafalnya. Berikut perbedaan lafal matan yang
berbeda:
Dari periwayatan Thabrani perbedaan kata hadis pertama
menggunakan kata pada bagian sedangkan pada hadis nomor dua ,ضج
menggunakan kata أحسو
Dari periwayatan Bukhari dan Ahmad, perbedaan kata hadis yang
pertama menggunakan kata pada bagian ؼ ع صى الل ,ضؼي الل
sedangkan pada bagian hadis kedua tidak menggunakan kata
tersebut.Selanjutnya pada hadis pertama tidak menggunakan kata ,عى أ
sedangkan pada hadis kedua menggunakan kata Dan pada hadis .عى أ
pertama tidak menggunakan kata , sedangkan hadis kedua
menggunakan kata . Terakhir pada hadis pertama tidak menggunakan
kata لظ, sedangkan hadis kedua menggunakan kata لظ. Dari kesimpulan
diatas bahwa periwayatan Ahmad lah yang ada perubahan kata, akan
tetapi tidak merubah makna dari kalimat tersebut.
Selanjtnya dari periwayatan Bukhari perbedaan kata hadis yang
pertama menggunakan kata وبذ, sedangkan pada matan hadis kedua
menggunakan kata وبذ Dari kesimpulan diatas perbedaan dengan .إ
ditambahnya kata .د dan perubahan syakal pada hurufإ
Selanjutnya penulis akan meneliti hadis di atas apakah benar-benar
memenuhi kaidah keshahihan matan atau tidak. Penulis meneliti sebuah
hadis diatas dengan istilah kaidah mayor dan kaidah minor dalam
keshahihan suatu matan hadis yang terhindarnya ari illah, illah disini
mempuyai kaidah minor, yaitu sebagai berikut:
a. Tidak Mudraj91, artinya mengalami sisipan atau penambahan dari
lafal matan hadis atau dari periwayatan.
b. Tidak Maqlub92, artinya hadis yang lafal matannya mengalami
pertukran oleh perawi atau oleh seseorang yang ada pada mata rantai
91
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Shahih Bukhari Muslim, (Jakarta: PT Gramedia,
2017), h. XXVii.
67
tersebut, misalnya perawi yang seharusnya mendahulukan lafalnya,
akan tetapi malah mengakhirkan lafalnya. Namun pada penelitian
lafal matan hadis diatas tidak terjadi perputaran balikan lafal.
c. Tidak Mushahhaf93, artinya hadis yang mengalami perubahan lafal
atau makna. Akan tetapi hadis pertama riwayat Thabrani
menggunakan kata م ج sedangkan hadis kedua menggunakan kata ,ر
ذ ك ى أ ح . Namun dari perubahan kata lafal tersebut sama sekali tidak
merubah makna dari hadis riwayat Thabrani.
d. Tidak mengalami Naqis, artinya mengurangi lafal pada matan hadis
yang sebenarnya.
3. Meneliti Kandungan Matan
Dalam memahami kandungan matan hadits ditemukannya
keragaman acuan dalam pendekatan tersebut ada dua dalam memahami
maksud matan hadits yaitu al-Qur‟an dan Sunnah, sementara acuan
dalam memahami substansi matan hadits yang sampai sekarang masih
menjadi polemik di antara ulama yaitu logika (akal sehat), (fakta
historis), (pokok-pokok ajaran islam), (ijma/kesepakatan ulama),
(qiyas/analogi), (prilaku sahabat), dan lain sebagainya.94
Hadits tentang berjabat tanggan dengan lawan jenis yang bukan
makhramnya tidak bertentangan dengan akal sehat karna berjabat tangan
yang dilakukan oleh pihak laki-laki dengan perempuan bukan
makhramnya tidak dianjurkan kalo tidak ada kepentingan apapun
menjaga sentuhan terhadap lawan jenis nya lebih baik dari pada berjabat
tanggan tetapi banyak mudhorotnya seperti menimbulkan hawa nafsu
dan akan mengakibatkan terjadinya fitnah dianta mereka. Kalo pun
bersentuhan itu dibolehkan jika dalam keadaan darurat atau membantu
orang tua yang sudah pikun tak berdaya dan sudah tak memiliki hawa
nafsu. Karna membantu sesama muslim itu lebih baik daripada kita
mengabaikan orang yang sedang membutuhkan bantuan dari kita.
92
Ma‟shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi: Cara Praktis MenguasaiUlumul
Hadits Dan Mustholah Hadits, (Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2016), h. 153. 93
Ibid, h. 160. 94
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadits, (Jakarta:
Elex Media Komputindo, 2014), h. 21.
68
Apabila disandingkan dengan al-Qur‟an peneliti menyimpulkan tidak
ada yang bertentangan dengan al-Qur‟an pada periwayatan Thabrani,
Bukhari, dan Ahmad dalam larangan berjabat tangan dengan lawan jenis
yang bukan mahramnya. Sebagai firman Allah SWT, yaitu:
طا ل ب شبء إشا لضى أ ؽؽ ثشط لبي وصه الل رك س بذ ضة أى ى
ب مي و فى ٧٤-فئ -
“Dia (Maryam) berkata, “Ya Tuhan-ku, bagaimana mungkin aku
akan mempunyai anak, padahal tidak ada seorang laki-laki pun yang
menyentuhku?” Dia (Allah) Berfirman, “Demikianlah Allah
Menciptakan apa yang Dia Kehendaki. Apabila Dia Hendak Menetapkan
sesuatu, Dia hanya Berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu
itu.”95 (Q.S Al-Imran: 47)
لا ؽطل ئب ش ثبلل بد جبعه عى أ لا شطو ؤ إشا جبءن ا ب اج ب أ لا ع
لا مز عط لا عصه ف أضج س أ فزط ث زب ثج لا أر لاز ف أ
ح غفض ض الل إ الل اؼزغفط ٢١-فجبع -
“Wahai Nabi! Apabila perempuan-perempuan Mukmin datang
kepadamu untuk mengadakan baiat (janji setia), bahwa mereka tidak
akan mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah; tidak akan
mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak
akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki
mereka** dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka
terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka
kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”96
(Q.S Mumtahanah:12)
4. Hasil Penelitian Matan
Setelah matan hadits diteliti berdasarkan kualitas sanad hadits,
peneliti menyimpulan susunan matan yang seksama, dan peneliti
95
Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: PT Syaamil
Cipta Media, 2005), h. 56. 96
Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: PT Syaamil
Cipta Media, 2005), h. 551.
69
mendapatkan kesimpulan dalam kandungan matan hadis periwayatan
Thabrani, Bukhari, dan Ahmad tentang larangan berjabat tangan dengan
lawan jenis yang bukan makhramnya dimana dalam matan hadits
tidaklah ada yang bermasalah karena sesuai dengan syarat-syarat matan
shahih yang disyaratkan oleh mukharij hadits, dengan demikian unsur
syuzuz dan „illat tidaklah ditemukan. Kesimpulan yang penulis dapatkan
dalam membandingkan kritik matan yang satu dengan matan yang
lainnya yaitu, setiap matan dalam hadis mempunyai perbedaan. Namun,
semua perbedaan itu tidak ada satupun yang merusak makna dalam
matan hadits. jadi hadits ini dapat disimpulkan dengan predikat shahih
berdasarkan pertimbangan yang penulis telah kemukakan.
C. Kesimpulan Hasil Penelitian Kritik Sanad dan Matan
Sanad hadits yang melarang berjabat tangan dengan lawan jenis
yang bukan mahramnya dalam periwayatan Thabrani, Bukhari, Ahmad,
dan Bukhari (yang membolehkan berjabat tangan dengan lawan jenis
yang bukan mahramnya) adalah shahih. Dan dalam penelitian dengan
kritik matan hadits tersebut juga dikatakan shahih. Apabila keduanya
digabungkan dalam sanadnya yang mempunyai predikat shahih dengan
matan juga mempunyai predikat shahih, maka hasil dari keseluruhan
hadis tersebut adalah bersetatus predikat shahih. Dalam penelitian
tersebut bisa dikatakan shahih karena sanad adalah kunci bagi matan
dalam suatu kasus hadis tersebut, sanad yang menjadi kunci utama bagi
matan yaitu mempunyai predikat shahih.
70
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan-pembahasan yang telah penulis paparkan di bab-
bab sebelumnya, maka pembahasan selanjutnya di bab ini penulis akan
menarik kesimpulan dari hasil penelitian sebelumnya kedalam bentuk-
bentuk poin yang berdasarkan pada rumusan masalah, yaitu: .
1. Hadis yang telah dijadikan kajian objek dalam penelitian ini,
berdasarkan penelusuran yang telah diteliti baik dari segi kritik
sanad hadis maka penulis menyimpulkan bahwa dalam larangan
dan bolehnya berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan
mahramnya dilihat dari aspek kualitas hadis diatas memnuhi
yarat-syarat hadis shahih dan hadis ini juga termasuk kedalam
hadis hadis yang al-Muttashil Marfu‟, yaitu hadis yang
sanadnya langsung disandarkan kepada Rasulullah saw.
Disamping itu juga dari persambungan sanad perawinya, pada
periwayatan Thabrani, Bukhari, dan Ahmad yang melarang
berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya
sanad prawinya jugaa saling bertemu dan semuanya yang
mayoritas Tsiqaat dan Adil. Akan tetapi pada sanad hadis yang
membolehkan berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan
mahramnya dari awal sudah tidak bersambungnya sanad dan ada
berapa periwayatan memiliki predikat dalam lemah hafalannya
maka penulis menyimpulkan sanad hadis ini dikategorikan
dalam hadis dha‟if. Karna hadis ini tidak memiliki syarat-syarat
hadis shahih.
2. Pada kritik matan tidak adanya pendukung dari al-Qur‟an dan
hadisnya termasuk dalam hadits mungkar, dan pada salah satu
periwayatan memiliki lemah dalam hafalannya. Jadi hadits ini
tidak bisa dikatakan hadits shahih karna tidak mepunyai kriteria
kedalam hadis shahih.
71
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian skripsi ini, penulis berharap pembaca
bisa memahami dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk
menghindari dari berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan
mahramnya karna akan dikhawatirkan dapat menimbulkan syahwat dan
menimbulkan fitnah. Dalam budaya berjabat tangan yang sering kita
lihat dalam sehari-hari anatara laki-laki dan perempuan yang bukan
mahramnya jangan dijadikan budaya yang tidak taat akan perintah
Allah, budaya yang tidak seharusnya dilestarikan. Akan tetapi budaya
yang menjadikan ketaatan akan perintah Allah SWT. dan sunah-sunah
Rasulullah yang sudah diajarkan. Jika tidak ada keperluan darurat
alangkah baiknya kita menghindari dari perbuatan tersebut agar tidak
menimbulkan nafsu dan fitnah.
Dengan selesainya penelitian skripsi ini, penulis menyadari
bahwasannya masih banyak terjadinya kesalahan dari kata sempurna
yang memiliki banyak kekurangan di dalam skripsi ini, dan penulis
berharap kepada pembaca akan saran dan sanggahan tentunya yang
bersifat membangun.
72
DAFTAR PUSTAKA
Abu Syuqqah, Abdul Halim. Kebebasan Wanita. Cet. I. Jakarta: Gema
Insani Press, 1997.
Aliyah, Sri. “Teori Pemahaman Ilmu Mukhtalif Hadits.” jurnal,
Juni/2014.
Akbar, Ali. Metode Ijtihad Yusuf Qardhawi Dalam Fatwa
Mu‟ashirah, dalam http://ejournal.uin-suska.ac.id.pdf. Vol.
XVIII. Januari/2012. diakses 22 Maret 2019.
Anam, Wahidul. Dekontruksi Kaidah „Adalah Al-Sahabah: Implikasi
Terhadap Studi Ilmu Hadits. Cet. 1, Yogyakarta: LKS
Pelangi Aksara, 2016.
Amin, Kamaruddin. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik
Hadits. Cet. I. Jakarta: Mizan Publika, 2009.
Arifin, Bustanul. Analisi Hukum Islam Berjabat Tangan antara Laki-
laki dan Perempuan pada Pesta Pernikahan “Studi Kasus
Desa Bandung Lor, Kunir, Dempet, Demak.” Skripsi. Jepara:
Program Studi Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah UNISNU Jepara,
2015.
Bahamam, Fahad Salim. fiqih Moderen Praktis 101 Panduan Hidup
Muslim Sehari-hari. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2013.
Baqi, Muhammad Fuad Abdul. Shahih Bukhari Muslim. Jakarta: PT
Gramedia, 2017.
Bay, Kaizal. “Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif Menurut
al-Syafi‟i.” Jurnal Ushuluddin. Vol. XVII. Juli/2011.
Departemen Agama. Al-Qur‟an dan Terjemahannya. Bandung: PT
Syaamil Cipta Media, 2005.
73
Eurolinier, Suheri. Hadis Mushafahah Berjabat tangan atau
Bersalaman. Dalam http://www.Academia.edu.pdf. diakses
14 September 2019.
Fatimah, Siti. Silaturahmi Menurut Hadis Nabi SAW Suatu Kajian
Tahlili. Skripsi Dalam http://repositori.UIN-
Alauddin.ac.id.Skripsi.pdf. diakses 30 Juni 2019.
Fauziah, Cut. “I‟tibar Sanad Dalam Hadits”, Jurnal Ilmu Hadis. Vol.
I. Januari-Juli 2018 M/1349 H.
Fitriana, Nurin. Relevansi Pengetahuan Masyarakat tentang Etika dan
Berjaba Tangan dengan Lawan Jenis dalam Tinjauan Islam.
Dalam http://www.researchgate.net.pdf. diakses 31 Agustus
2019.
Herdi, Asep. Memahami Ilmu Hadis. Cet. I. Bandung: Tafakur, 2014.
Hasan, Abdillah F. 101 Rahasia Wanita Muslimah. Jakarta: PT Elex
Media Komputindo, 2015.
Hadits Riwayat Ahmad. Kitab Musnad Sahabat Anshar. Bab Bai‟at
Wanita. Jakarta: Lidwa Pusaka i-Software. 2011.
Hadis Riwayat Bukhari. Kitab Shohih Bukhari. Bab Sombong. Jakarta:
Lidwa Pusaka i-Software. 2011.
Hadis Riwayat Thabrani. Kitab Mu‟jam al-Kabir Thabran., Bab
Haramnya Bersalaman Lawan Jenis. Maktabah Syamilah.
Ismail, Yahya. Hubungan Penguasa dan Rakyat dalam Presepektif
Sunnah. Cet. 1. Jakarta: Gema Insani, 1995.
Irina, Fristiana. Metodelogi Penelitian Terapan. Cet. I. Yogyakarta:
Parama Ilmu, 2017.
Junaidi, Yendri. Metode Rasulullah Saw Dalam Mendidik. Cet. I.
Yogyakarta: Deepublish, 2014.
Khairuddin. Metode Penyelesaian Hadits Mukhtalif:KajianTa‟arudh
al-Adillah. Dalam http://Journal.ar-raniry.ac.id.pdf. Vol. XII.
April/2010. diakses 10 September 2019.
74
Khon, Abdul Majid. Takhrij dan Metode Memahami Hadis. Cet.I,
Jakarta: Amzah, 2014.
Malik, Hatta Abdul. “Naqd al-Hadits Sebagai Metode Kritik
Kredibilitas Informasi Islam.” Jurnal of Islamic Studies and
Humanities Vol. I. Universitas Islam Negri Walisonggo
Semarang, 2016.
Muhammad Misbah, Hadis Mukhtalif Dan Pengaruhnya Terhadap
Hukum Fiqih:Studi Kasus Haid Dalam Kitab Bidayatul
Mujtahid, Dalam http://Journal.stainkudus.ac.id.pdf. Vol 2
2016. diakses 10 September 2019.
Muhtador, Moh. “Sejarah Perkembangan Metode Dan Pendekatan
Syarah Hadis”, Jurnal UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
(2016).
Musawi, Khalil. Keajaiban Silaturahmi. Cet I. Jakarta: PT Ufukreatif
Design, 2011.
Nasrudin, Johana dan Dewi Royani. Kaidah-Kaidah Ilmu Hadits
Praktis. Cet. I. Yogyakarta: Deepublish, 2017.
Nofriansyah, Deny. Penelitian Kualitatif Analisis Kinerja Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan. Cet. 1, Yogyakarta:
Deepublish, 2018.
Qardhawi, Yusuf. Fatwa-Fatwa Kontemporer 2. Cet. 1. Jakarta: Gema
Insani, 1995.
Sa‟adah, Mazro‟atus. Metode Memahami Hadits Nabi”Berjabat
Tangan Antara Laki-Laki Dengan Perempuan Dalam
Tinjauan Ikhtilaf Hadits.” Dalam
http://ejournal.kopertais4.or.id.pdf. diakses 22 Maret 2019.
Salim, Abu Usamah bin „Ied Al-Hilli. Syarah Riyadhuh Shalihin.
Jakarta: Pustaka Imam, 2005.
Sarwat , Ahmad. Ensiklopedia Fiqih Indonesia 8: Pernikahan.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2019.
75
Sayyid, Abdul Aziz bin Fathi. Ensiklopedia Adab Islam Menurut Al-
Qur‟an Dan As-Sunnah. Jakarta: Pustaka Imam Syafi‟i,
2007.
Thawilah, Abdul Wahab Abdussalam. Panduan Berbusana Islami.
Cet. I. Jakarta: Almahira, 2007.
Umar, Nasaruddin. Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan
Hadits. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2014.
Yaqub, Ali Musthafa. Cara Benar Memahami Hadits. Cet. I. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2016.
Zein, Ma‟shum. Ilmu Memahami Hadis Nabi: Cara Praktis
Menguasai Ulumul Hadits dan Mustholah Hadits. Cet. I.
Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2016.
76
Daftar Riwayat Hidup
Data Pribadi
Nama : Helfiani
Tempat,
Tanggal
Lahir
: Kendal, 23 Desember 1996
Jenis
Kelamin
: Perempuan
Umur : 23 Tahun
Agama : Islam
Alamat
Rumah
: Ds. Kebonharjo Perumahan Patebon
Indah, Kec. Patebon, Kab. Kendal
Status : Belum Menikah
E-mail : [email protected]
Latar Belakang Pendidikan
Formal
2002-2004 : TK Mayasari Cepiring Kendal
2004-2009 : SDN 3 Cepiring Kendal
2009-2012 : SMP Taqkhassus al-Qur‟an al-
Asy‟ariyyah, Kalibeber, Wonosobo
2012-2015 : Man Kendal
2015-2019 : Institut Agama Islam Negri ( IAIN),
Salatiga (S1)
Non Formal
Pondok Pesantren Takhfidul Qur‟an (PPTQ) Al-Asy‟ariyyah,
Kalibeber, Mojotengah Wonosobo.