hadis yang tampak bertentangan

Download Hadis Yang Tampak Bertentangan

If you can't read please download the document

Upload: zack-bobs

Post on 19-Jun-2015

1.530 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN Persoalan yang akan kita hadapi dalam rangka memahami hadis, di samping persoalan-persoalan tentang ilmu jarh dan tadil dan ilmu-ilmu lainnya. Terkadang kita menemukan hadis-hadis yang saling bertentangan dengan hadis dhaif, tentu akan kita menangkan yang sahih. Atau hadis-hadis yang saling bertentangan. Setelah diteliti, ternyata salah satunya bukan dari Nabi. Maka dengan mudah kita menyingkirkan hadis tersebut. Sekarang, ada hadis yang saling bertentangan keduanya berasal dari Nabi, hadis yang sama-sama sahih bukan hadis yang dhaif (lemah) ataupun maudhu (palsu). Hadis yang dhaif.dan maudhu tidak dimasalahkan lebih lanjut tentang kandungan petunjuknya sebab hadis yang bersangkutan menurut pandangan ulama hadis tertolak sebagai hujah. Menurut para ulama, kandungan hadis yang secara lahiriah bertentangan itu disatukan disebut al-jamu wa al taufiq. Apabila pertentangan itu dapat dihapus dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan antara kedua nash, tanpa harus memaksakan atau mengada-ada, sehingga keduanya dapat diamalkan dan dimanfaatkan secara proporsional, maka yang demikian lebih utama daripada harus mentarjihkan antara keduanya. Sebab pentarjihan berarti mengabaikan salah satu dari keduanya sementara mengutamakan yang lainnya.

BAB II PEMBAHASAN A. Definisi al-Jamu dan Macam-macamnya Jam'u (mengkompromikan) Definisinya adalah: "Menyelaraskan atau menyesuaikan dua dalil yang saling bertentangan dengan suatu cara yang dapat menghindarkan pertentangan tersebut (sehingga tidak ada pertentangan antara keduanya dan atau dapat diamalkan secara bersamasama)". Macam-macam Jama': 1. Mentakhshis 'Am-nya Dalam kitab "al-Minhaj" dan syarahnya, menurut madzab Syafi'iyah, apabila terjadi pertentangan antara lafad 'am dan khash, maka ada dua kemungkinan. Pertama, mungkin salah satunya lebih khash (khusus) daripada lainnya secara mutlak. Kedua, mungkin ke-'am-annya dan ke-khash-annya hanya terletak pada satu sisi saja. Apabila kondisi pertama terjadi maka lafad khash lebih diunggulkan dan diamalkan daripada lafad 'am-nya. Karena lafad khash masih dapat merealisasikan apa yang terkandung dalam lafad 'am. Mengamalkan lafad khash berarti mengamalkan ketentuan kekhususannya dan mengamalkan lafad 'am berarti mengamalkan ketentuan lain di luar ketentuan yang terkandung dalam lafad khusus. Apabila kondisi kedua yang terjadi dan terdapat sesuatu yang dapat diunggulkan, maka itulah yang diamalkan. Namun apabila tidak terdapat sesuatu yang dapat diunggulkan, maka seorang mujtahid dapat memilih mana diantara keduanya yang diamalkan. Keduanya tidak dapat diamalkan secara bersamaan. Contoh, hadis nabi: "Barangsiapa yang lupa melaksanakan shalat, maka shalatlah di kala ingat".1 Bersamaan dengan larangan Rasulullah SAW, shalat di waktu karahah (Makruh).2 Apabila ditinjau hadis pertama bersifat umum. Namun bila ditinjau 1 HR. Bukhari Muslim dan lainnya dari Anas ibn Malik (Lihat: Nail al-Authar juz 2), 28 . 2 Dari Uqbah ibn Amr, ia berkata: Rasulullah SAW melarang kita melakukan shalat atau mengubur jenazahdalam tiga waktu: ketika matahari terbit hingga agak tinggi, ketika matahari mencapai titik kulminasi hingga tergelincir dan matahari terbenam". (HR. Muslim, Abu Dawud, Nasa'i dan urmudzi) Lihat Nail... juz 3, 104.

dari segi shalatnya, hadis ini bersifat khusus, karena menunjuk pada sebagian shalat saja yaitu shalat qadla' Apabila ditinjau dari segi shalatnya, maka hadis kedua bersifat umum. Namun apabila ditinjau dari segi waktunya, maka hadis kedua bersifat khusus, karena menunjuk pada sebagian waktu saja, yaitu waktu makruh. Dari sinilah madzab Syafi'i mengunggulkan hadis pertama. Sehingga mereka memperbolehkan mengqada' shalat yang tertinggal pada waktu karahah. 2. Mentaqyid muthlaq-nya Mayoritas ulama berpendapat bahwa lafad muthlaq dapat dipahami secara muqayyad. Artinya, lafad muthlaq yang terdapat pada salah satu hadis yang bertentangan harus dipahami secara muqayyad berdasarkan hadis satunya. Sebagaimana contoh hadis yang berarti: Dari Nafi' dari Umar ra. Bahwasanya rasulullah SAW. Mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha' kurma atau gandum kepada setiap muslim yang merdeka, budak, laki-laki maupun perempuan.3 Bukhari juga meriwayatkan hadis lain tanpa menyebutkan lafad: "setiap muslim". Turmudzi berkata, Lebih dari satu rawi yang meriwayatkan hadis tersebut dengan tanpa menyebut lafad setiap muslim. Dalam kedua hadis tersebut terdapat obyek hukum yang sama yaitu zakat fitrah, dan ketentuan hukum yang sama yaitu wajibnya zakat fitrah. Mutlaq dan muqayyadnya terdapat pada sebab hukumnya, yaitu seseorang yang ditanggung wajib zakatnya (muzakki). Pada hadis pertama, wajib zakat dibatasi dengan sifat Islam (muslim), sedang hadis kedua, wajib zakat tidak dibatasi dengan sifat tersebut. Artinya, lafad mutlaq yang terdapat pada hadis kedua harus dipahami secara muqayyad berdasarkan hadis pertama. Sehingga zakat fitrah tidak diwajibkan kecuali pada orang muslim yang menjadi tanggungan wajib zakat. Selanjutnya ulama berperndapat bahwa zakat tidak diwajibkan kepada selain orang Islam. Begitu pula, budak (orang yang menjadi tanggungan) yang non Islam. B. Penggabungan didahulukan sebelum pentarjihan Kasus tentang petunjuk hadis yang tampak saling bertentangan itu telah terjadi3 Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih Muslim, Tahqiq Muhammad Fuad Abd Baqi juz 3 (Bairut: Daral-Ma'rifah, tt), h. 369.

juga pada zaman sahabat dan memang tidak menyeluruh untuk semua hadis, tetapi bersifat parsial yang dimuat secara berserak bersama dengan pendapat-pendapat ulama sesudah zaman sahabat Nabi dalam berbagai kitab, khususnya kritik ataupun syarah hadis.4 Sehingga ilmu ini ada yang menyebut dengan Ikhtilaf al-Hadis, atau musykil al-Hadis, atau talfiq al-Hadis. Keberadaan ilmu mukhtalif hadis jelas sangat membantu mengatasi kesulitan ini. Selanjutnya ilmu ini tidak hanya dibutuhkan oleh ulama hadis, tetapi juga ulama lain, seperti ulama fiqh. Orang yang pertama menyusun buku yang berbicara tentang problema ini adalah Imam Syafii (150-240 H) dengan kitabnya Ikhtilaf al-Hadis. Ulama lain yang mengikuti jejaknya antara lain: 1. Abdullah bin Muslim bin Qutaibah al-Dainuri (213-276 H) dengan kitabnya Tawil Mukhtalif al-Hadis 2. al-Imam Abu Jafar bin Muhammad al-Thahawi (239-321 H) dengan kitabnya Musykilul Atsar. 3. al-Imam Abu Bakr Muhammad bin Hasan (w. 406 H) dengan karyanya Musykil al-Hadis wa Bayanuhu.5 Termasuk hal yang amat penting untuk memahami hadis dengan baik, ialah dengan cara menyesuaikan antara berbagai hadis sahih yang redaksinya tampak seolah-olah saling bertentangan, demikian pula makna kandungannya, yang sepintas lalu tampak berbeda. Semua hadis itu sebaiknya dikumpulkan, masingmasing dinilai secara proporsional, sehingga dapat dipersatuakn dan tidak saling berjauhan, saling menyempurnakan dan tidak saling bertentangan.6 Untuk menyelesaikan hadis-hadis yang kandungannya tampak bertentangan, cara yang ditempuh oleh ulama tidak sama, ada yang menempuh satu cara dan ada yang menempuh lebih dari satu cara dengan urutan yang berbeda. Istilah yang banyak dijumpai dalam hal ini antara lain: a. al-Tarjih (meneliti dan menentukan petunjuk hadis yang memiliki argument yang lebih kuat) b. al-Jamu, al-taufiq atau al-talfiq, sama-sama (kedua hadis yang sesuai dikompromikan, atau diamalkan

4 H. M. Syuhudi Ismail, hadis Nabi yang tekstual dan kontekstual; telaah maanil hadis tentang ajaran Islam yang universal, temporal, dan local, (Cet. 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 72 5 Muh. Zuhri, Hadis Nabi telaah histories dan metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h. 141 6 Yusuf Qardhawi, Bagaimana memahami hadis Nabi, (Cet. 5, Bandung: Karisma, 1997), h. 118

konteksnya). c. Al-Nasikh wa al-Mansukh (petunjuk hadis yang satu sebagai penghapus sedang hadis yang satunya lagi sebagai yang dihapus). d. Al-Tauqif (menunggu samapai ada petunjuk atau dalil yang dapat menjernihkan dan menyelesaikan pertentangan).7 Imam Syafii mengemukakan empat jalan keluar: pertama, mengandung makna universal (mujmal) dan lainnya terperinci (mufassar); kedua, mengandung makna umum dan lainnya khusus; ketiga, mengandung makna penghapus dan yang lainnya dihapus; dan keempat, keduanya mungkin dapat diamalkan.8 Ibn Qutaybah menambahkan bahwa untuk menilai suatu matan hadis harus menggunakan ilmu asbab wurud al-hadis. Sementara al-Qarafi (w. 684 H) menempuh metode al-tarjih, yaitu dengan cara mencari petunjuk yang mempunyai alasan yang kuat. Dengan metode ini dimungkinkan akan ditempuh cara nasikh wa al-mansukh dan al-jamu.9 lain halnya dengan Ibn Salah dan Fasih al-Hawari (w. 837 H), yang menempuh tiga macam metode: al-Jamu, al-Nasikh wa al-Mansukh, dan al-Tarjih.10 Sedangkan Ibn Hajar al-Asqalani menempuh empat cara: yaitu al-Jamu, al-Nasikh wa alMansukh, al-Tarjih, al-Tawqif.11 Walaupun cara penyelesaian ulama berbeda-beda, namun tidaklah berarti bahwa hasil penyelesaiannya harus berbeda juga. Dinyatakan demikian karena ulama pada umumnya lebih mengutamakan cara a-Jamu, sekiranya cara itu dapat diterapkan, juga penyelesaian yang diberi istilah yang berbeda, hasilnya banyak yang menunjukkan kesamaan. Adanya penyelesaian tersebut, memberi petunjuk bahwa secara substantif sesungguhnya pertentangan hadis tidak ada. Kalau demikian, pasti ada implikasi pemikiran tertentu dibalik petunjuk hadis yang tampak bertentangan. Berikut ini dikemukakan sekedar contoh tentang hadis-hadis yang tampak7 Syuhudi Ismail, op.cit, h. 73 8 Abu Abdullah Muhammad Idris al-Syafii, Kitab Ikhtilaf al-Hadis, Beirut: Dar al-Fikr, 1403 H/ 1973M, h. 98-99 9 Syihab al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Idris al-Qarafi, Syarh Tanqih al-Fusul, (Beirut: Dar al-Fikr, 1393 H/ 1973 M), h. 420-425 10 Ibn Salah al-Din bin Ahmad al-Adabi, Manhaj Naqd al-Matn, Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1403 H/1983 M, h. 257-258; Abu Fayd Muhammad bin Muhammad bin Ali al-Hawari, Jawahir al-Usul fi ilm hadis al-Rasul, (Madinah Munawwarah: Maktabah al-Ilmiyah, 1373H), h. 40 11 Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Nuzatun Nazar Syarh Nukhbat al-Fikr, (Maktabah alMunawwar), h. 24-25

bertentangan dan cara penyelesaian ulama: a. Hadis tentang ziarah kubur bagi wanita. Hadis yang berkaitan dengan ziarah kubur bagi wanita, yaitu: . Artinya: Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. melaknati wanita-wanita yang terlalu sering berziarah kubur. Hadis di atas bertentangan dengan hadis: . Artinya: Berziarahlah kubur, sesungguhnya berziarah kubur itu mengingatkan tentang kematian. Kedua hadis di atas berkualitas sahih. Pada hadis pertama, dianggap bertentangan dengan hadis kedua. Hadis pertama berisi ketidaksenangan Nabi yang bisa diartikan sebagai larangan kepada wanita-wanita yang terlalu sering berziarah kubur. Sedangkan hadis kedua berisi perintah secara umum baik untuk laki-laki dan perempuan untuk berziarah ke kubur, karena hal tersebut dapat mengingatkan manusia terhadap adanya kematian. Menurut al-Qardawi, sebagaimana ia menukil pendapat al-Qurtubi, bahwa hadis pertama di atas dapat dikumpulkan dengan hadis kedua. Pada hadis pertama disebutkan bahwa yang dilaknat adalah zawwarat (wanita-wanita yang terlalu sering berziarah kubur). Ini berarti ada kemungkinan wanita tersebut telah meninggalkan kewajibannya yang lain, hanya karena terlalu sering berziarah. Itulah yang menyebabkan mengapa dilarang oleh Nabi. Analisis tersebut merupakan suatu analisa yang digunakan oleh Ilmu Mukhtalif al-Hadis, yaitu pertentangan yang terjadi antara hadis-hadis dibawa kepada perbedaan peristiwa masing-masing. Karena peristiwanya berbeda, maka tuntunan terhadap peristiwa itu juga berbeda. 12 Berkata Asy-Syaukani : Pendapat itulah yang sepatutnya dijadikan analan dalam upaya penggabungan antara hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan menurut zahirnya.1312 Yusuf Qardhawi, Bagaimana memahami hadis Nabi, (Cet. 5, Bandung: Karisma, 1997), h. 122 13 Ibid, h. 122

b. Larangan dan kebolehan buang hajat menghadap kiblat yang artinya : , : : 14

Apabila kamu sekalian membuang hajat, maka janganlah menghadap ke kiblat dan jangan membelakanginya, baik buang air kecil maupun buang air besar. (Hadis riwayat al-Bukhari, Muslim) Kemudian hadis yang lain dari Abdullah bin Umar : berkata, : : . : Pada suatu hari, sungguh saya telah naik (musuh) ke rumah kami (tempat tinggal Hafsah, istri Nabi), maka saya melihat Nabi saw. di atas dua batang kayu (tempat jongkok buang hajat) untuk buang hajat dengan menghadap ke arah Bait al-Maqdis. (Hadis riwayat al-Bukhari, Muslim).15 Hadis tersebut di atas bila diteliti, maka tampak kontroversi dan masalah tersebut sangat menarik untuk diteliti. Hadis yang dikutip pertama berisi larangan buang hajat menghadap ke arah kiblat ataupun membelakanginya, sedang hadis yang dikutip berikutnya menyatakan bahwa Nabi pernah membuang hajat dengan menghadap ke Baitul Maqdis, yang berarti membelakangi kiblat. Menurut penelitan ulama hadis petunjuk kedua hadis di atas tidak bertentangan. Larangan Nabi berlaku bagi yang membuang hajat di lapangan terbka, sedang yang melakukan buang hajat di tempat tertutup, misalnya di WC. Penyelesaian dalam hal ini ditempuh dengan metode al-Jamu.16 Dari berbagai penyelesaian yang telah ditempuh oleh ulama di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya tak ada pertentangan dalam nash-nash syariat, sebab satu kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Meskipun ada pertentangan itu terbatas pada zahirnya saja, bukan pada hakikat dan14 Lihat Ibn Hajar al-Asqalaniy, op. cit, Juz I, h. 331. 15 Ibid., h. 75. 16 M. Syuhudi Ismail, op.cit, h. 75-76

realitas. Dan atas dasar itu, kita wajib menghilangkannya tentang anggapan pertentangan ini.17

BAB III KESIMPULAN Sebagai bagian akhir dari tulisan ini, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut :17 Yusuf Qardhawi, op.cit, h. 117

1. Kontroversi hadis ada dua yaitu kontroversi lafaz hadis dan kontroversi pemahaman hadis (penafsiran hadis). 2. Dilihat dari substansinya, hadis-hadis Nabi tidak ada yang bertentangan, namun dalam kenyataannya ada berbagai matan hadis yang tampak bertentangan. Untuk menyelesaikan hadis yang bertentangan, para pakar hadis dan pakar fiqh, menempuh metode yang boleh dikatakan sama, yaitu: a. Al-tarjih (menganalisa, meneliti dan menentukan petunjuk hadis yang memiliki argumen yang lebih kuat). b. Al-jamu (kedua hadis yang kontroversi dikompromikan atau samasama diamalkan sesuai konteksnya). c. Al-nasikh wa al-mansukh (petunjuk dalam hadis yang satu menyatakan sebagai penghapus sedang hadis yang lainnya sebagai yang dihapus). d. Al-taufiq (menunggu sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menjernihkan dan menyelesaikan pertentangan). 3. Dalam mengaplikasikan metode tersebut, khususnya mengkompromikan hadis kontroversial, cara yang ditempuh para pakar beragam, ada yang menempuh satu cara, ada yang menempuh lebih dari satu cara dengan urutan yang berbeda. Walaupun cara-cara penyelesaian para pakar beragam, tidaklah berarti bahwa hasil penyelesaian berbeda.

DAFTAR PUSTAKA al-Adabi, Ibn Salah al-Din bin Ahmad, Manhaj Naqd al-Matn, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1403 H/1983 M).

al-Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, Nuzatun Nazar Syarh Nukhbat al-Fikr, (Maktabah al-Munawwar). _________, Fath al-Bari Syarh Shahih Muslim, Tahqiq Muhammad Fuad Abd Baqi juz 3, (Beirut: Dar al-Ma'rifah, tt). al-SyafiI, Abu Abdullah Muhammad Idris, Kitab Ikhtilaf al-Hadis, (Beirut: Dar alFikr, 1403 H/ 1973M). al-Hawari, Abu Fayd Muhammad bin Muhammad bin Ali, Jawahir al-Usul fi ilm hadis al-Rasul, (Madinah Munawwarah: Maktabah al-Ilmiyah, 1373H). al-Qarafi, Syihab al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Idris, Syarh Tanqih al-Fusul, (Beirut: Dar al-Fikr, 1393 H/ 1973 M). Ismail, M. Syuhudi, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kautekstual, Telaah Maani alHadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Termporal dan Lokal, (Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1994). Qardhawi, Yusuf, Bagaimana Memahami Hadis Nabi, (Cet. 5, Bandung: Karisma, 1997) Zuhri, Muh., Hadis Nabi Telaah Histories dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997).