hadis-hadis larangan menafsirkan al-qur’an...

88
HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN DENGAN RA’Y ; (Studi Pemahaman Hadis Nabi) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana (S-1) Ushuluddin Oleh : Fitroh Fuadi NIM : 105034001205 PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M

Upload: truongminh

Post on 05-Feb-2018

248 views

Category:

Documents


16 download

TRANSCRIPT

Page 1: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN

DENGAN RA’Y ; (Studi Pemahaman Hadis Nabi)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana (S-1) Ushuluddin

Oleh :

Fitroh Fuadi NIM : 105034001205

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431 H/2010 M

Page 2: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN

DENGAN RA’Y ; (Studi Pemahaman Hadis Nabi)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana (S-1) Theologi Islam

Oleh :

Fitroh Fuadi NIM : 105034001205

Dosen Pembimbing:

Dr. Bustamin, M.Si. NIP : 196307011998031003

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431 H/2010 M

Page 3: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “Hadis-Hadis Larangan Menafsirkan Dengan

Ra’y ; Studi Pemahaman Hadis Nabi” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S-1) pada Jurusan Tafsir Hadis.

Jakarta, 23 September 2010

Sidang Munaqasyah,

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Dr. Bustamin, M.Si Rifqi Muhammad Fathi, MA NIP : 19630701 199803 1 003 NIP : 19770120 200312 1 003

Anggota,

Dr. M. Isa H. A. Salam, MA Rifqi Muhammad Fathi, MA NIP : 19531231 198603 1 010 NIP : 19770120 200312 1 003

Dr. Bustamin, M.Si NIP : 19630701 199803 1 003

Page 4: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

KATA PENGANTAR

Segala puji serta syukur selalu tercurahkan kepada Allah Swt. ‘Azza

Wajalla yang senantiasa memberikan rahmat, taufik serta inayah-Nya dan selalu

mengiringi langkah-langkah penulis dalam melewati jalan panjang dan berliku

dalam proses penulisan skripsi ini. Dan atas segala nikmat dan karunia-Nya itu

pula, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat serta salam tercurahkan selalu kepada baginda besar Nabi

Muhammad Saw. yang telah membawa manusia dari zaman jahiliyyah ke zaman

yang beradab. Semoga kita selaku ummatnya mendapatkan syafaatnya di akhirat

nanti. Amîn.

Penulis menyadari bahwa dukungan, dorongan dan do’a dari pihak-pihak

luar sangat berperan dalam membantu penulisan skripsi ini. Oleh karena itu,

sebagai wujud syukur dan hormat penulis, kiranya sangat perlu untuk

memaparkan nama-nama tersebut, akan tetapi karena adanya keterbatasan, penulis

tidak mampu untuk menuliskannya satu persatu secara lengkap namun pada

hakikatnya penulis berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada siapapun yang

telah banyak membantu penulisan skripsi ini.

Terlebih dahulu sembah bakti dan terimakasih penulis haturkan kepada

ayahanda H. Bahruddin dan ibunda Hj. Choziah tercinta, yang telah mendidik dan

mengarahkan penulis dengan penuh kesabaran, kasih sayang dan keikhlasan serta

tak bosan-bosannya mendo’akan penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan

penulisan skripsi ini. Semoga Allas Swt. Senantiasa memberikan kesehatan

i

Page 5: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

kepada beliau sehingga bisa terus membimbing penulis dalam mengarungi bahtera

kehidupan ini, dan semoga Allah Swt. mengampuni segala kesalahan mereka serta

menempatkan derajat keduanya pada derajat yang tinggi. Amîn. Demikian pula

kepada adik penulis Umi Hani, Inayatullah, Nawa Syarif, Very Mahmudi serta

seluruh keluarga besar yang penulis cintai.

Selanjutnya ucapan syukur dan hormat penulis haturkan dan tujukan

kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A. selaku Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.

2. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, M.A. selaku dekan Fakultas

Ushuluddin beserta para Pembantu Dekan I, II, dan III.

3. Bapak Dr. Bustamin, M.Si. selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis sekaligus

Dosen Pembimbing dalam skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya atas kerelaannya rela meluangkan waktu, bimbingan dan

saran-sarannya mengarahkan penulis dengan penuh kesabaran dalam

menyelesaikan skripsi ini. Lalu Bapak Rifqi Muhammad Fathi, M.A. selaku

Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis, yang selalu memfasilitasi penulis hingga

skripsi ini dapat diselesaikan.

4. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, yang tidak bisa penulis sebutkan

namanya satu persatu. Terima kasih atas ketulusan dan keikhlasannya dalam

memberikan ilmu yang telah diberikan kepada penulis. semoga ilmu dan

pengalaman yang telah diajarkan menjadi amal jariyah bagi mereka semua dan

senantiasa membawa berkah dan manfaat bagi masa depan penulis.

Page 6: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

5. Pimpinan dan seluruh staff Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan

Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Umum Islam Iman

Jama’, yang telah membantu pengadaan sumber bacaan dari awal perkuliahan

hingga selesainya skripsi ini.

6. Keluarga besar pondok pesantren al-Khiyaroh Buntet Cirebon yang telah

banyak memberikan sumbangsih dalam bidang keagamaan kepada penulis

sehingga dapat membantu penulis dalam memahami dan mengerjakan skripsi

ini.

7. Ustadzuna Sururi yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis

sehingga dapat membuka cakrawala pemahaman dalam menyelesaikan

masalah.

8. Kawan-kawan seperjuangan di Tafsir Hadis, Syahid Akhyari yang selalu

menjadi motivator yang dapat membangkitkan semangat penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini, Alvin yang menjadi target agar bisa wisuda bareng,

Haris yang udah ngebet banget mau kawin, Kojek, Manaf, Bangkit, Amar

MD, Taufik, Jazuli, Lukman, Tezar, Noval, yang masih sering ngelobi dosen

untuk ngeluarin nilai, sorry ga bisa wisuda bareng bro, abis pada lama-lama

sih lu. Tak lupa pula untuk Baihaqi, Ghafar, Sofyan, Dillah, Asep, Labib,

Bedah, Indri, Sumi, Mona, Qurtubi, Hazami, Umam, Irfan, Fauzi, Farhan,

Farel, Nyinyip, dan seluruh kawan-kawan lainnya, semoga Allah Swt. selalu

melindungi kalian dan semoga kita semua dapat menjadi manusia yang

bermanfaat bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Amîn.

Page 7: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

9. Kawan-kawan sepenanggungan, Kayis, Zulham, Azri, Petoy, Bolay, Farqo,

Fauzan, Andre, Panca, Ajik, dan lain-lainnya. sorry ga bisa ngumpul-ngumpul

bersama dulu sebelum skripsi selesai.

10. Semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil,

yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Mengakhiri rangkaian pengantar ini, Penulis hanya bisa memohon kepada

Yang Maha Kuasa untuk membalas segala kebaikan meraka. Mudah-mudahan

Allah Swt. memberikan balasan yang setimpal atas segala amal kebaikannya.

Hanya kepada Allah Swt. penulis berserah diri dan bertawakkal serta memohon

ampunan-Nya atas segala kesalahan dan kekhilafan dalam penulisan skripsi ini.

Dan penulis berharap karya tulis kecil ini dapat bermanfaat sebagai sumbangsih

sederhana dalam khazanah keilmuan hadis di Fakultas Ushuluddin tercinta.

جزاھم اهللا أحسن الجزاء

Jakarta, 22 September 2010

Penulis,

Fitroh Fuadi

Page 8: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

Pedoman Transliterasi Berdasarkan Buku “Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat 2005/2006”

A. Aksara Huruf Arab Huruf Latin

tidak dilambangkan ا b ب t ت ts ث j ج h ح kh خ d د dz ذ r ر z ز s س sy ش s ص d ض t ط z ظ (koma terbalil di atas, menghadap ke kanan) ‘ ع g غ f ف q ق k ك l ل m م n ن

w و h ھـ (apostrof) ’ ء y ي

Page 9: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

B. Vokal

1. Vokal Tunggal Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ــــــ a fathah

ــــــ i kasrah

ـــــــ u dammah 2. Vokal Rangkap

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan يـ ــ ai a dan i وـ ــ au a dan u

3. Vokal Panjang

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan ــــاـــ â a dengan topi di atas ـيــــ î i dengan topi di atas

ــوــــ û u dengan topi di atas

Page 10: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..……………………………………………………………

PEDOMAN TRANSLITERASI…………………………………………….....….

DAFTAR ISI……………………………………………………………………….

BAB I. PENDAHULUAN………………………………………….……………

A. Latar Belakang Masalah……………………………..……….……..

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah………………..…….……….

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan………………………..……………

D. Kajian Pustaka………………………………………..……….…….

E. Metodologi Penelitian…………………………………..…………..

F. Sistematika Penulisan………………………………..…….………..

BAB II. PENGANTAR PEMAHAMAN HADIS………………………………

A. Problematika Pemahaman Hadis………………….…..….………….

B. Metodologi Pemahaman Hadis………….…….………..…….……...

BAB III. STUDI KUALITAS SANAD HADIS LARANGAN MENAFSIR-

KAN DENGAN RA’Y...………………………….……………………..

A. Takhrîj Hadis………….……………………………………..………

B. Penelitian Sanad Hadis……………………..……………….……….

C. Kesimpulan (Natijah)………………………………………………..

Page 11: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

BAB IV. PEMAHAMAN TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL HADIS

LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN DENGAN RA’Y.....…

A. Tafsir bi al-Ra’y.………………………………………………..…...

B. Pemahaman Tekstual Hadis Larangan Menafsirkan Al-Qur’an

Dengan Ra’y…………………..……………………………………..

C. Pemahaman Kontekstual Hadis Larangan Menafsirkan Al-Qur’an

Dengan Ra’y……………………………………..……………………...

BAB V. PENUTUP………………………………………………………….……

A. Kesimpulan…………………………………………………………..

B. Saran-saran…………………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………...

Page 12: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Umat Islam mengakui bahwa hadis Rasulullah Saw. itu merupakan

pedoman hidup yang utama setelah al-Qur’an. Tingkah laku manusia yang tidak

ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak diterangkan cara mengamalkannya, tidak

diperincikan menurut petunjuk dalil yang masih utuh, tidak dikhususkan menurut

petunjuk ayat yang masih mutlak dalam al-Qur’an, hendaklah dicarikan

penyelesaiannya dalam Hadis.

Meskipun keduanya merupakan sumber utama ajaran Islam, namun hadis

Nabi berbeda dengan al-Qur’an. Semua periwayatan ayat-ayat al-Qur’an

berlangsung secara mutawâtir1, sedangkan hadis Nabi diriwayatkan sebagiannya

secara mutawatir dan sebagian lainnya diriwayatkan secara ahâd.2 Oleh

karenanya, al-Qur’an memiliki kedudukan qat‘î al-wurûd sedangkan hadis Nabi

sebagiannya berkedudukan qat‘î al-wurûd dan sebagian lainnya bahkan yang

terbanyak berkedudukan zannî al-wurûd.3

Berdasarkan asumsi di atas, maka dilihat dari segi periwayatannya seluruh

1 Istilah mutawâtir secara bahasa yaitu berurutan, sedangkan dalam terminologi ‘Ulûm al-Hadîts, istilah mutawâtir arti berita yang diriwayatkan oleh banyak orang pada setiap tingkatan mulai dari tingkat sahabat hingga mukharrij yang menurut ukuran rasio serta kebiasaan, mustahil para periwayat yang jumlahnya banyak tersebut bersepakat untuk berdusta. Lihat Subhi al-Salîh, ‘Ulûm al-Hadîts wa Mustalâhuhu, (Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malayîn, 1977), h. 146.

2 Istilah ahâd dalam ‘Ulûm al-Hadîts memiliki pengertian berita yang disampaikan oleh orang perorang yang tidak sampai pada derajat mutâwatir.

3 Maksud dari qat‘î al-wurûd atau qat‘î al-tsubût adalah kebenaran beritanya bersifat absolut (mutlak), sedangkan zannî al-wurûd atau zannî al-tsubût adalah tingkatan kebenaran dari beritanya bersifat nisbi (relatif). Subhi al-Salîh, ‘Ulûm. al-Hadîts wa Mustalâhuhu, h. 151.

Page 13: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

al-Qur’an tidak perlu dilakukan penelitian kembali tentang orisinalitasnya,

sedangkan terhadap hadis Nabi Saw. khususnya yang termasuk kategori ahâd,

maka diperlukan penelitian akan orisinalitasnya.4

Sebagaimana telah diakui bahwa apa yang bersumber dari Nabi

Muhammad Saw. yang kemudian dihimpun dalam hadis-hadis nabawi merupakan

bagian tak terpisahkan dari al-Qur’an itu sendiri, hal ini disadari karena salah satu

fungsi Nabi Saw. adalah menjelaskan al-Qur’an baik lisânî maupun fi’lî agar

maksud al-Qur’an dapat dengan segera dipahami dan diamalkan ummatnya.

Namun manusia menyadari bahwa persoalan tidak pernah selesai, bahkan terus

berkembang sementara sang penjelas (Nabi Saw.) telah wafat, oleh karena itu

persoalan ini menjadi tantangan bagi ummatnya untuk diselesaikan melalui teknik

atau cara-cara yang dilakukan oleh Nabi Saw. agar nilai Islam yang tertuang

dalam al-Qur’an tetap relevan hingga akhir zaman, sebagaimana prinsip agama ini

yang dikenal dengan sâ1ih 1ikulli zamân wa makân.

Bila ajaran Islam yang sesuai dengan tuntutan zaman dan tempat ini

dihubungkan dengan berbagai kemungkinan persamaan dan perbedaan

masyarakat, berarti di dalam ajaran Islam ada ajaran-ajaran yang berlakunya tidak

terikat oleh waktu dan tempat, disamping ada ajaran-ajaran yang terikat oleh

waktu dan tempat tertentu, sehingga di dalam ajaran Islam ada muatan universal,

ada pula yang temporal maupun yang lokal.5

Menurut petunjuk al-Qur’an Nabi Muhammad Saw. diutus oleh Allah Swt.

4 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 4. 5 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Telaah Ma‘âni

al-Hadîts tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 4.

Page 14: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

untuk semua umat manusia, seperti pada surat al-Sabâ’ ayat 28 :

Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. Dan Nabi Muhammad Saw. diutus oleh Allah Swt. sebagai rahmat bagi

seluruh alam (rahmatan li al-‘âlamîn), seperti pada surat al-Anbiyâ’ ayat 107 :

Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. Dalam pengertian bahwa kehadiran Nabi Muhammad Saw. membawa misi

kebajikan dan kerahmatan bagi semua umat manusia dalam segala ruang dan

waktu. Di sisi lain, hidup Nabi Muhammad Saw. dibatasi oleh ruang dan waktu,

dengan demikian apa yang direkam dari kehidupan Nabi Muhammad Saw. dalam

hadis-hadis Nabawi memiliki muatan ajaran yang bersifat universal, sekaligus ada

muatan temporal dan lokal.6

Sebagaimana telah diungkap sebelumnya, bahwa salah satu fungsi Nabi

Saw. adalah menjelaskan al-Qur’an serta mengejawantahkan Islam melalui

ucapan, perbuatan serta perjalanan hidupnya baik dalam kesendiriannya maupun

di tengah masyarakat, saat mukim ataupun saat bepergian, saat terjaga maupun

pada saat tidur, dalam kehidupan khusus maupun umum, dalam hubungannya

kepada Allah ataupun dengan sesama makhluk, dengan orang-orang terdekat

maupun orang-orang jauh, dengan mereka yang mencintai maupun yang

6 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, h. 4.

Page 15: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

memusuhi, pada masa damai maupun masa perang. saat sehat maupun saat

menerima musibah.7

Hal-hal di atas itulah yang menuntut umat Islam mempelajari serta

memahami sunnah Nabi Saw. dengan sebaik-baiknya, sebagaimana yang telah

dicontohkan para sahabat dan generasi tabi‘în yang secara sungguh-sungguh

berusaha menggali dan mempelajari aktualitas Nabi Saw. untuk kemudian mereka

amalkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dikenallah generasi ini sebagai

generasi sebaik-baik ummat karena mereka mengikuti jejak Nabi Saw. demikian

pula bagi mereka yang senantiasa mengikuti jalan yang benar tersebut.8

Tidak sedikit hadis Nabi yang telah dibukukan oleh para ulama, dan di

dalamnya memuat berbagai persoalan yang tak habis-habisnya untuk

diperbincangkan, salah satunya adalah hadis yang memuat tentang larangan Nabi

Saw. terhadap ummatnya untuk menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y, yang di sisi

lain tafsir-tafsir al-Qur’an yang berkembang sampai saat ini, ada yang dikenal

dengan sebutan tafsir bi al-ra’y, disamping tafsir bi al-riwâyah, lalu

bagaimanakah kita menyikapi tafsir bi al-ra’y tersebut.

Guna memecahkan persoalan-persoalan tersebut, perlu kiranya

mempelajari akar polemik di sekitar boleh dan tidaknya menafsirkan al-Qur’an

dengan ra’y yaitu dengan mempelajari lebih jauh dan mendalam tentang hadis

“larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y”, dengan harapan tersingkapnya

maksud Nabi Saw. tersebut sekaligus bentuk-bentuk pelarangannya. Salah satu

7 Yûsuf Qardâwî, Metode Memahami al-sunnah dengan Benar, terj. Syaifullah Kamalie,

(Jakarta : Media Dakwah, 1994), h. 35. 8 Yûsuf Qardâwî, Metode Memahami al-sunnah dengan Benar, h. 35.

Page 16: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

hadis tersebut adalah hadis riwayat al-Turmudzî:

الأع دبع نة عانوو عا أبثندح رو الكلبيمع نب ديوا سثنديع حكو نان بفيا سثندلى حبن جب يدعس نيث عدقوا الحقال ات لمسو هليلى اللهم عص بين الناس عبن عن ابر عي

قرآن عني إلا ما علمتم فمن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار ومن قال في الوبتفلي أيهبر نسيث حدذا حى هيسار قال أبو عالن نم هدقع٩ )الترمذى(أ م

Sufyân bin Wakî’ menceritakan kepada kami, (Sufyân berkata): Suwaid bin ‘Amr al-Kalbî menceritakan kepada kami, (Suwaid berkata): Abû ‘Awânah menceritakan kepada kami dari ‘Abd al-A’lâ dari Sa‘îd bin Jubair dari Ibn ‘Abbâs dari Nabi Saw., beliau bersabda: “takutlah kalian (hati-hati dalam memegangi) hadis-hadis dariku kecuali yang benar-benar telah aku ajarkan kepada kalian, barangsiapa berbohong atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya dari api neraka, siapa yang mengatakan sesuatu tentang al-Qur’an dengan ra’y-nya maka hendaklah ia menempati tempat duduknya dari api neraka”. Abû ‘Îsâ (al-Turmudzî) berkata: hadis ini hasan.

Hadis di atas dipegangi oleh sebagian ulama sebagai dasar penolakan atas

tafsir bi al-ra’y, namun sebagian yang lain memahami hadis tersebut sebagai

larangan menafsirkan dengan hawa nafsu dan bukan penafsiran melalui

kemampuan ijtihad yang melahirkan tafsir bi al-ra’y yang dikenal saat ini.

Tentang tafsir bi al-ra’y, ulama juga berselisih pendapat hingga

mengkristal pada dua model tafsir bi al-ra’yi, yaitu tafsir bi al-ra’y yang mahmûd

(terpuji) dan tafsir bi al-ra’y yang mazmûm (tercela).10 Terlepas dari klasifikasi

tersebut, kata al-ra’y itulah yang menjadi kata kunci dari perdebatan di atas.

Kata al-ra’y sendiri dimaknai berbeda-beda oleh para ulama, sebagian

memaknai al-ra’y dalam konteks hadis di atas sebagai ijtihad, ada pula yang

9 Abû ‘Îsâ Muhammad bin ‘Îsâ al-Turmudzî al-Silmî, Sunân al-Turmudzî, (Beirut : Dâr Ihyâ’ al-Turas al-‘Arabî, tt.), juz 5, h. 199.

10 Fahd bin ‘Abd al-Rahmân al-Rumî, Ulûm al-Qur’an: Studi Kompleksitas al-Qur’an, terj. Amirul Hasan dan Muhamad Halabi, (Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 1999), h. 210.

Page 17: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

memaknainya sebagai penafsiran tanpa menggunakan ilmu, artinya tidak

didasarkan pada dalil-dalil syara’, sebagian yang lain memaknainya sebagai hawa

nafsu. Mereka yang memaknai al-ra’y dengan hawa nafsu inilah yang

memfatwakan bahwa barang siapa berbicara mengenai al-Qur’an menurut hawa

nafsunya dan tidak memberikan perhatian kepada keterangan yang telah

disampaikan kaum salaf, maka sekalipun pendapatnya itu benar, ia tetap dianggap

sebagai perbuatan yang keliru, hal tersebut disebabkan karena telah menentukan

makna ayat al-Qur’an tanpa memperhatikan kaedah-kaedah yang ditentukan oleh

ahli hadis.11

Bertolak dari permasalahan di atas, maka sangat urgen untuk melakukan

pendalaman atas hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y, mengingat

banyaknya tafsir al-Qur’an yang berkembang hingga saat ini dikelompokkan pada

kategori tafsir bi al-ra’y, apakah kemudian penafsiran-penafsiran tersebut jatuh

pada kelompok yang diancam Nabi atau tidak.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dalam pembahasan tentang penafsiran menggunakan al-ra’y terdapat

beberapa hadis yang membolehkan dan ada yang melarangnya, dan dalam skripsi

ini penulis membatasi pembahasan dengan hanya mengangkat hadis-hadis yang

melarang menafsirkan dengan ra’y saja dengan disertai kajian sanad melalui

metode takhrîj al-hadîts serta rijâl al-hadîts dan juga kajian matan hadis melalui

metode pemahaman hadis, dengan harapan pembahasan yang berbelit-belit dan

11 Ahmad al-Syirbasî, Sejarah Tafsir al-Qur’an, terj. Tim Pustaka firdaus, (Jakarta :

Pustaka Firdaus, 1994), h. 106-107.

Page 18: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

tidak mengarah kepada maksud dapat dihindari.

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, maka pokok

masalah dalam penelitian skripi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kualitas sanad dari hadis-hadis larangan menafsirkan al-

Qur’an dengan al-ra’y?

2. Bagaimanakah kandungan dan juga maksud dari hadis-hadis larangan

menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y?

3. Apakah tafsir bi al-ra’y itu termasuk yang dilarang dalam hadis tersebut?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, penulisan skripsi ini bertujuan

untuk:

1. Untuk mengetahui kualitas sanad hadis-hadis larangan menafsirkan al-

Qur’an dengan al-ra’y.

2. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai hadis

larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y dan mengkorelasikannya

dengan tafsir bi al-ra’y.

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Menambah wawasan serta memperkaya khazanah intelektual, khususnya

bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

2. Menambah kepustakaan bagi Universitas, Fakultas dan Jurusan pada

khususnya.

Page 19: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

3. Untuk melengkapi sebagian dari syarat-syarat guna memperoleh gelar

Sarjana Strata Satu (S-1) pada Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Kajian Pustaka

Untuk menghindari terjadinya kesamaan pembahasan pada skripsi ini

dengan skripsi lainnya, terlebih dahulu penulis menelusuri kajian-kajian yang

sudah ada atau memiliki kesamaan. Hasil penulusuran ini akan menjadi acuan

penulis untuk tidak mengangkat pembahasan ataupun pendekatan yang sama,

dengan harapan semoga kajian yang penulis lakukan tidak terkesan plagiat dari

kajian yang telah ada.

Berdasarkan pengamatan dan pencarian yang penulis lakukan, ditemukan

satu skripsi yang membahas tentang tafsir al-Qur’an bi al-Ra’y, yaitu skripsi yang

berjudul “studi hadis nabi tentang penafsiran al-Qur’an dengan akal (tafsîr bi al-

ra’y)” yang ditulis oleh mahasiswa jurusan tafsir hadis Muhammad Hafizh

Lidinillah pada tahun 2006. Yang mana skripsi tersebut menjelaskan tentang

seputar tafsir bi al-ra’y disertai dengan takhrij hadis yang berkaitan pembahasan

tersebut.

Sedangkan kajian yang penulis lakukan dalam skripsi ini berbeda dengan

yang dilakukan oleh Muhammad Hafizh, walaupun membahas tema yang hampir

sama. Dalam skripsi Muhammad Hafizh hanya fokus kepada metode pentakhrijan

hadis saja, sedangkan pada skripsi ini lebih mengkaji secara khusus terhadap

hadis-hadis yang melarang menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’y dengan disertai

Page 20: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

pemahaman kandungan hadis serta mengkorelasikannya dengan tafsir bi al-ra’y

yang berkembang hingga saat ini.

E. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyusunnya dengan

langkah-langkah metodologis sebagai berikut;

1. Penelitian skripsi ini merupakan penelitian kepustakaan, karena data-data

penelitian ini hampir keseluruhannya adalah data-data kepustakaan.

2. Karena fokus penelitian ini ada pada hadis Nabi sebagai kunci persoalan,

maka sumber primer penelitian ini adalah kitab-kitab hadis Nabi. Adapun

sumber-sumber sekunder yang dapat digunakan dalam memahami hadis

secara tekstual maupun kontekstual, maka digunakanlah kitab-kitab syarh

hadis juga kitab-kitab yang terkait dengan perdebatan tafsir al-Qur’an bi al-

ra’y.

3. Pedoman yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah buku

“Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat 2005/2006”.

F. Sistematika Penulisan

Secara garis besar penyusunan skripsi ini dibagi ke dalam tiga bagian yaitu

pendahuluan, isi dan penutup. Ketiga bagian tersebut saling terkait atau satu

bagian yang integralistis.

Adapun sistematika secara rinci sebagai berikut: Bab pertama berisi

pendahuluan yang memuat latar belakang terbentuknya masalah, pembatasan dan

Page 21: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, kajian pustaka, metodologi

penelitian serta sistematika penulisan. Bab kedua berisi pengantar tentang

problematika pemahaman hadis dengan disertai metodologi pemahaman hadis

Nabi. Bab ketiga berisi redaksi hadis tentang larangan menafsirkan al-Qur’an

dengan ra’y berikut penelitian kualitas sanadnya. Bab keempat berisi tentang

pemahaman tekstual dari hadis, penjelasan tentang tafsir bi al-ra’y serta kolerasi

antara hadis larangan menafsirkan dengan ra’yu dan tafsir bi al-ra’y. Dan pada

bab kelima berisi kesimpulan serta saran-saran.

Page 22: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

BAB II

PENGANTAR PEMAHAMAN HADIS

A. Problematika Pemahaman Hadis

Keberadaan Hadis Nabi Saw. sebagai sumber hukum Islam setelah

al-Qur’an telah disepakati oleh sebagian besar umat Islam. Oleh karena itu

kedudukan hadis Nabi Saw. sangat strategis dalam kehidupan umat Islam, ia

memiliki otoritas tertinggi setelah al-Qur’an karena di dalamnya memuat sejumlah

sunnah Nabi Saw. yang menuntut umat Islam menggunakan atau

mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Pada mulanya sunnah Nabi Saw. diikuti secara langsung oleh

sahabat-sahabatnya baik yang mendengar secara langsung maupun melalui sistem

periwayatan yang pada umumnya masih berlangsung secara safahî (lisan),

Kemudian berangsur-angsur atsâr Nabi Saw. ini dikhawatirkan memudar bahkan

menjadikan hilangnya sunnah Nabi Saw. yaitu seiring dengan mulai sedikitnya

penghafal hadis, satu demi satu sahabat mulai wafat berikut generasi tabi’în yang

memeliharanya juga semakin berkurang, terlebih berkecamuknya politik yang

mengakibatkan munculnya hadis-hadis palsu dan sebagainya. Kondisi inilah yang

dipikirkan ‘Umâr bin ‘Abdul ‘Azîz (w. 101) untuk melakukan kebijakan strategis

yang terkait dengan kekuasaannya yang dibarengi kecintaan akan ilmu agama,

yaitu penghimpunan hadis-hadis Nabi Saw.12

12 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),

h.16-17.

Page 23: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

Adanya selisih waktu yang cukup panjang antara periwayatan hadis

secara lisan dengan penghimpunan serta pembukuan hadis secara resmi

memunculkan kesangsian atas otentisitas hadis sebagai suatu berita yang

benar-benar bersumber dari Nabi Saw., lebih-lebih di antara periwayatan dengan

masa pembukuan tersebut telah terjadi berbagai konflik serta pertikaian yang

terkait dengan ideologi, politik dan sebagainya.13

Hal itulah yang menjadikan pengkajian terhadap keotentikan suatu hadis

menjadi bagian tak terpisahkan dari studi kritis terhadap hadis Nabi Saw. Problem

tersebut tidak terhenti begitu saja saat telah dipastikan hadisnya sahih, sebab

rentang waktu yang panjang itu pula yang menyebabkan proses pemahaman

terhadap suatu hadis ada kalanya mudah dan segera dapat dipraktekkan namun

sebagian yang lain dipahami kurang tepat, sehingga status hadis yang sahih

adakalanya ma’mûl bih adakalanya gair ma’mûl bih. Hal inilah yang mendorong

lahirnya ilmu ma‘ânî al-hadîts guna menjembatani teks yang hadir pada masa

Nabi Saw. hidup dengan realitas kehidupan umatnya yang terus ada sampai

sekarang dan dalam ruang yang berbeda.14

Realita juga menunjukkan bahwa tidak semua sanad hadis yang

berkualitas sahih, secara otomatis matannya juga berkualitas sahih. M. Syuhudi

Ismail mengemukakan beberapa kemungkinan sebab di antaranya:

1. Karena telah terjadi kesalahan dalam melaksanakan penelitian matan,

umpamanya karena kesalahan dalam menggunakan pendekatan ketika

13 Lihat M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h.12-13. 14 Indal Abror, Syuhudi Ismail dan Metodologi Pemahaman terhadap Hadis Nabi,

(Yogyakarta : Juli, 2000), h. 42.

Page 24: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

meneliti matan yang bersangkutan.

2. Karena telah terjadi kesalahan dalam melaksanakan penelitian sanad,

atau

3. Karena matan hadis yang bersangkutan telah mengalami periwayatan

secara makna yang ternyata mengalami kesalahpahaman.

Memperhatikan kemungkinan terjadinya kesalahan yang terjadi di atas, maka

penelitian ulang terhadap sanad dan matan hadis tidak hanya bersifat komfirmatif

semata, melainkan perlu dan penting.15

Pada aspek isi hadis, yang dipahami sahabat dari aktualitas diri Nabi Saw., baik

ucapan, perbuatan maupun hal-hal lain yang bersumber darinya sarat akan

kemampuan dan daya tangkap sahabat, ada yang berusaha menggambarkan secara

detail yaitu berikut dengan sebab munculnya hadis (asbâb al-wurûd al-hadîts),

ada pula yang tidak (hanya menuturkan essensinya saja), sehingga bagi generasi

selanjutnya mengalami kesulitan bahkan kesalahan di dalam memahami maksud

hadis yang sebenarnya.

Terlebih suatu aktifitas Nabi Saw., ada kalanya disaksikan oleh perorangan,

adakalanya beberapa orang, terkadang dari beberapa orang tersebut berlangsung

secara bersamaan, ada kalanya berlangsung dalam waktu yang berbeda dengan

situasi dan kondisi yang berbeda, di antaranya ada yang menjaga periwayatan

secara lafzî adakalanya cukup memahami isi dan dibahasakan sendiri oleh

Sahabat. Hal ini pulalah yang memunculkan ragam redaksi hadis yang tak jarang

15 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 124.

Page 25: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

antara satu redaksi hadis dengan redaksi hadis lainnya dalam satu persoalan

berbeda bahkan ada yang saling bertolak belakang (mukhtalaf).

Atas dasar hal tersebut di atas, umat Islam dituntut untuk kritis dalam mengkaji

serta memahami suatu hadis, tanpa upaya kritis tersebut hanya akan memunculkan

selisih paham yang sudah barang tentu akan menumbuhkan perpecahan di

kalangan umat Islam sendiri.

B. Metodologi Pemahaman Hadis

Menurut M. Syuhudi Ismail, al-Qur’an telah menjelaskan fungsi serta

tugas Nabi Muhammad, baik sebagai rahmatan li al-‘âlamîn, juga sebagai

manusia biasa. Oleh karenanya apa yang lahir dari ekspresi Nabi Saw., disamping

memiliki muatan universal, pada saat yang sama, ekspresi tersebut juga muncul

dari diri Muhammad sebagai manusia biasa yang hidup pada konteks waktu dan

wilayah yang terbatas. Beliau juga hidup bersama yang lain (berinteraksi) baik

sebagai keluarga, tetangga, kepala negara, da‘i dan sebagainya, sehingga

kompleksitas diri yang integral dalam dirinya turut mewarnai apa yang terlahir

dari aktualisasi hidupnya.16

Berdasarkan argumen itulah maka hadis Nabi sarat akan nilai universal,

temporal dan lokal, pada sisi lain sarat akan fungsi beliau sebagai Rasul, kepala

negara, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim, pribadi dan lainnya. Hal

16 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Telaah Ma‘âni

al-Hadîts tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 3-4.

Page 26: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

ini pulalah yang harus diperhatikan ketika memahami hadis tersebut.17

Syuhudi Ismail juga menjelaskan bahwa apa yang terekam dari aktualisasi

Nabi yang kemudian dikenal dengan hadis-hadis Nabawi merupakan teks-teks

yang kemudian dapat dipahami dari makna yang tersurat, tetapi sekaligus dapat

dipahami pada konteks apa teks tersebut muncul. Itulah sebabnya, ada beberapa

hadis yang tepat ketika dipahami secara teks, tetapi ada pula yang kurang tepat

kalau tidak dipahami konteksnya. Hal inilah yang melahirkan pemahaman tekstual

dan kontekstual.18

Menurutnya, perlunya penelitian matan hadis tidak hanya karena keadaan

matan itu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh keadaan sanad saja, tetapi juga

karena dalam periwayatan, matan hadis dikenal adanya periwayatan secara makna

(riwâyah bi al-ma’nâ). Adanya periwayatan secara makna menyebabkan

penelitian matan dengan pendekatan semantik tidak mudah dilakukan. Kesulitan

tersebut terjadi karena matan tersebut terlebih dahulu telah beredar pada sejumlah

periwayat yang berbeda generasi dan tidak jarang juga berbeda latar belakang

budaya dan kecerdasannya, sehingga menyebabkan timbulnya perbedaan

penggunaan dan pemahaman dalam suatu kata ataupun istilah.19 Penggunaan

pendekatan bahasa dalam penelitian matan sangat diperlukan selain pendekatan

semantik karena sangat membantu kegiatan penelitian yang berhubungan dengan

kandungan petunjuk dari matan hadis yang bersangkutan.

Untuk meneliti matan hadis dari segi kandungannya, acapkali diperlukan

17 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, h. 5. 18 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, h. 6-7. 19 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h.26.

Page 27: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

penggunaan pendekatan rasio, sejarah dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam.

Penelitian matan dengan beberapa macam pendekatan tersebut ternyata memang

masih tidak mudah dilakukan, apalagi kandungan matan hadis berhubungan

dengan masalah keyakinan tentang hal-hal gaib dan petunjuk-petunjuk agama

yang bersifat ta‘abbudî. Dengan begitu, penelitian hadis memang membutuhkan

kecerdasan penelitian dalam mengunakan cara pendekatan yang relevan dengan

masalah yang diteliti. Kesulitan penelitian matan juga disebabkan masih sangat

langkanya kitab-kitab yang secara khusus membahas kritik matan.20

Adapun tolak ukur penelitian matan, Salâh al-Dîn al-Adlabî

menyimpulkan ada empat macam, yaitu :21

1. Tidak bertentangan dengan al-Qur’an.

2. Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat.

3. Tidak bertentangan dengan akal yang sehat, indera dan juga sejarah.

4. Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.

Dalam buku Metodologi Hadis Nabi Saw. Karya M. Syuhudi Ismail

dijelaskan langkah-langkah metodologi kegiatan penelitian matan hadis, yaitu:22

1. Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya.

2. Meneliti susunan lafaz matan yang semakna.

3. Meneliti kandungan matan, yakni dengan membandingkan kandungan

matan yang sejalan ataupun tidak sejalan (bertentangan).

20 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h.27-28. 21 Salâh al-Dîn bin Ahmad al-Adlabî, Manhâj Naqd al-Matan, (Beirut: Dâr al-Afâq al-

Jadîdah, 1993), h. 238. 22 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h.122.

Page 28: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

Syuhudi Ismail juga mengemukakan beberapa upaya ulama sebelumnya

dalam menyelesaikan hadis-hadis yang tidak sejalan atau tampak bertentangan,

yaitu dengan cara :23

1. al-Tarjîh , yakni meneliti dan menentukan petunjuk hadis yang memiliki

argumen yang lebih kuat.

2. al-Jam‘u a1-Taufîq atau al-Talfîq, yakni kedua hadis yang tampak

bertentangan dikompromiskan, atau sama-sama diamalkan sesuai

konteksnya.

3. al-Nasîkh wa al-Mansûkh, petunjuk dalam hadis yang satu dinyatakan

sebagai “penghapus” dan yang lainnya sebagai “yang dihapus”.

4. al-Tauqîf, “menunggu” sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat

menjernihkan dan menyelesaikan pertentangan.

Dari beberapa model penyelesaian tersebut antara ulama satu dengan

ulama lainnya menggunakan tolok ukur serta prioritas yang berbeda, ada yang

mendahulukan al-jam‘u, ada yang mendahulukan al-tarjîh, ada pula yang

mendahulukan al-nasîkh wa al-mansûkh di atas cara yang lainnya.

Upaya ini dilakukan ulama untuk meyakinkankan bahwa pada dasarnya

dalam hadis-hadis itu tidak ada pertentangan, kalaupun ada perbedaan redaksi

yang seolah bertentangan, boleh jadi itu karena perbedaan dalam memahami

konteks masing-masing sejarah atau kapan hadis itu muncul.

23 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, h. 73.

Page 29: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

BAB III

STUDI KUALITAS SANAD HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN

AL-QUR‘AN DENGAN RA’Y

Tidak sedikit hadis Nabi yang telah dibukukan oleh para ulama, dan di

dalamnya memuat berbagai persoalan yang tak habis-habisnya untuk

diperbincangkan, salah satunya adalah hadis yang memuat tentang larangan Nabi

Saw. terhadap ummatnya untuk menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y, yang di sisi

lain tafsir-tafsir al-Qur’an yang berkembang sampai saat ini, ada yang dikenal

dengan sebutan tafsir bi al-ra’y, disamping tafsir bi al-riwâyah, lalu

bagaimanakah kita menyikapi tafsir bi al-ra’y tersebut.

Kata al-ra’y sendiri dimaknai berbeda-beda oleh para ulama, sebagian

memaknai al-ra’y dalam konteks hadis di atas sebagai ijtihad, ada pula yang

memaknainya sebagai penafsiran tanpa menggunakan ilmu, artinya tidak

didasarkan pada dalil-dalil syara’, sebagian yang lain memaknainya sebagai hawa

nafsu. Mereka yang memaknai al-ra’y dengan hawa nafsu inilah yang

memfatwakan bahwa barang siapa berbicara mengenai al-Qur’an menurut hawa

nafsunya dan tidak memberikan perhatian kepada keterangan yang telah

disampaikan kaum salaf, maka sekalipun pendapatnya itu benar, ia tetap dianggap

sebagai perbuatan yang keliru, hal tersebut disebabkan karena telah menentukan

makna ayat al-Qur’an tanpa memperhatikan kaedah-kaedah yang ditentukan oleh

ahli hadis.24

24 Ahmad al-Syirbasî, Sejarah Tafsir al-Qur’an, terj. Tim Pustaka firdaus, (Jakarta :

Pustaka Firdaus, 1994), h. 106-107.

Page 30: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

Bertolak dari permasalahan di atas, maka sangat urgen untuk melakukan

pendalaman atas hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’y, mengingat

banyaknya tafsir al-Qur’an yang berkembang hingga saat ini dikelompokkan pada

kategori tafsir bi al-ra’y, apakah kemudian penafsiran-penafsiran tersebut jatuh

pada kelompok yang diancam Nabi atau tidak. Namun sebelum membahas pada

aspek pemahaman materi hadis, penulis akan terlebih dahulu dilakukan penelitian

dari segi sanad dan juga kualitas perawi hadis tersebut.

A. Takhrîj Hadis

Hadis yang akan diteliti adalah hadis yang berisi tentang “Larangan

Menafsirkan Al-Qur’an Dengan Ra’y” dan hadis yang sering dijadikan landasan

ketika membahas persoalan ini adalah yang intinya berbunyi sebagai berikut:

.......نار مالن نم هدقعأ موبتفلي أيهبر آني القرقال ف “……siapa yang mengatakan sesuatu tentang al-Qur’an dengan ra’y-nya maka hendaklah ia menempati tempat duduknya dari api neraka” Penelitian ini difokuskan kepada beberapa redaksi hadis yang

memungkinkan memuat maksud yang saling berkaitan. Hal ini dimaksudkan

untuk memfokuskan bahasan pada aspek pemahaman materi hadis bukan

semata-mata aspek sanad hadis, sekalipun aspek yang terakhir ini menjadi bagian

tak terpisahkan dari hadis itu sendiri.

Karena objek penelitiannya adalah hadis-hadis yang tercantum dalam

kitab-kitab hadis, maka dalam proses pengumpulan data dilakukan kegiatan

takhrîj al-hadîts, yaitu pencarian teks hadis pada berbagai kitab hadis yang

merupakan sumber asli dari hadis yang bersangkutan, yang di dalamnya

Page 31: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

disebutkan secara lengkap sanad dan matan hadisnya.

Metode takhrîj yang digunakan adalah dengan penelusuran kata yang

terdapat dalam hadis yang akan dibahas, dengan menggunakan kitab al-Mu’jâm

al-Mufahrâs li Alfâz al-Hadîts al-Nabâwî sebagai rujukan, penulis menggunakan

lafaz 25 رأي dan 26 بوأ sebagai kata kunci dalam pencarian hadis. Melalui dua kata

kunci tersebut ditemukan banyak rujukan hadis yang dimaksud, namun setelah

ditelusuri ke dalam kitab-kitab hadis, terdapat beberapa hadis yang tidak cocok

terhadap inti hadis yang akan dijadikan pembahasan pada skripsi ini. Untuk itu,

maka penulis hanya mengambil hadis-hadis yang berkaitan dengan pembahasan

saja, yakni yang terdapat pada :

1. Sunan al-Turmudzî, Kitab Tafsîr, bab 1, nomor hadis 2874 dan 2875.

2. Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz 1, halaman 233, 269, 323 dan 327.

Ketika penulis menelusuri hadis-hadis tersebut, penulis menemukan hadis

yang berkaitan dengan inti hadis di atas, hanya saja pada matannya terdapat

sedikit perbedaan lafaz, dan inti hadis tersebut sebagai berikut :

من قال في كتاب الله عز وجل برأيه فأصاب فقد أخطأGuna mendukung upaya pemahaman hadis tentang “larangan menafsirkan

al-Qur’an dengan ra’y”, penulis kemudian memasukkan hadis tersebut dalam

pembahan skripsi ini. Dan hadis tersebut terdapat pada :

1. Sunan al-Turmudzî, Kitab Tafsîr, bab 1, nomor hadis 2876.

2. Sunan Abî Dâwud, Kitab ‘Ilmu, bab 5.

25 A.J. Wensinck, al-Mu’jâm al-Mufahrâs li Alfâz al-Hadîts al-Nabâwî, (Leiden : EJ.

Brill, 1943), Juz II, h. 204. 26 A.J. Wensinck, al-Mu’jâm al-Mufahrâs li Alfâz al-Hadîts al-Nabâwî, Juz 1, h. 229.

Page 32: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

B. Penelitian Sanad Hadis

Hadis yang akan diteliti kemudian ditemukan dari hasil takhrîj yang

dilakukan pada pembahasan sebelumnya, yang kemudian ditelusuri hadis yang

terdapat pada kitab asalnya dengan rangkaian sanad dari setiap mukharrij-nya.

١. نار مالن نم هدقعأ موبتلم فلير عيبغ آني القرقال ف

a. Teks hadis yang dikeluarkan oleh Imâm al-Turmudzî :

o س نلى عالأع دبع نان عفيا سثندح ريالس نب را بشثندلان حغي نب ودمحا مثندن حب يدعنم لمسو هليلى اللهم عص ول اللهسا قال قال رهممني اللهم عضاس ربن عن ابر عيبقال ج

٢٧.في القرآن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار قال أبو عيسى هذا حديث حسن صحيح

o الأع دبع نة عانوو عا أبثندح رو الكلبيمع نب ديوا سثنديع حكو نان بفيا سثندح نلى ع

عني إلا ما سعيد بن جبير عن ابن عباس عن النبي صلى اللهم عليه وسلم قال اتقوا الحديثأيهبر آني القرقال ف نمار والن نم هدقعأ موبتا فليدمعتم ليع كذب نفم متملأ عوبتفلي

نسيث حدذا حى هيسار قال أبو عالن نم هدقع٢٨.م

b. Teks hadis yang dikeluarkan Imâm Ahmad bin Hanbal :

o اسبن عن ابر عيبن جب يدعس نع لبيلى الثعالأع دبع نان عفيا سثندح يعكا وثندقال قال ح ٢٩.ليتبوأ مقعده من الناررسول الله صلى اللهم عليه وسلم من قال في القرآن بغير علم ف

o اس قال قبن عن ابر عيبن جب يدعس نلى عالأع دبا عثندان حفيا سثندل حمؤا مثندال ح

27 Abû ‘Îsâ Muhammad bin ‘Îsâ al-Turmudzî al-Silmi, Sunân al-Turmudzî, (Beirut : Dâr

Ihyâ’ al-Turas al-‘Arabî, tt.),juz 5, h. 199. 28 Abû ‘Îsâ al-Turmudzî, Sunân al-Turmudzî, juz 5, h. 199. 29 Ahmad bin Hanbal Abû ‘Abdillâh al-Syaibani, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal,

(Mesir: Mu‘assasah Qartah, tt), jilid 1, h. 233.

Page 33: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

٣٠.علم فليتبوأ مقعده من النار رسول الله صلى اللهم عليه وسلم من قال في القرآن بغير

o اسبن عن ابر عيبن جب يدعس نلى عالأع دبع نة عانوو عا أبثندح يدلو الوا أبثندقال قال حعني إلا ما علمتم فإنه من كذب علي رسول الله صلى اللهم عليه وسلم اتقوا الحديث

هدقعأ موبتلم فلير عيبغ آني القرف كذب نمار والن نم هدقعأ موبتا فليدمعتم ارالن ن٣١.م

o دة حانوو عا أبثندفان حا عثندن حاس عبن عن ابر عيبن جب يدعس نع لبيلى الثعالأع دبا عثن

النبي صلى اللهم عليه وسلم قال اتقوا الحديث عني إلا ما علمتم قال ومن كذب علىوبتلم فلير عيبغ آنارالقرالن نم هدقع٣٢.أ م

من قال في كتاب الله عز وجل برأيه فأصاب فقد أخطأ .٢

a. Teks hadis yang dikeluarkan oleh Imâm al-Turmudzî :

نل بيها سثندلال حه نان ببا حثندح ديمح نب دبا عثندم حزو حم أخزأبي ح ناب وهو الله دبعهم عليه القطعي حدثنا أبو عمران الجوني عن جندب بن عبد الله قال قال رسول الله صلى الل

فقد ابفأص أيهبر آني القرقال ف نم لمسو يث غريبدذا حى هيسطأ قال أبو ع٣٣.أخ

b. Teks hadis yang dikeluarkan oleh Imâm Abû Dâud :

ثندح يمرضالح قرئالم اقحإس نب قوبعا يثندى حيحن يب دمحم نب الله دبا عثندا حخي حزم القطعي حدثنا أبو عمران عن جندب قال قال رسول الله صلى سهيل بن مهران أ

٣٤.اللهم عليه وسلم من قال في كتاب الله عز وجل برأيه فأصاب فقد أخطأ

30 Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, jilid 1, h. 269. 31 Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, jilid 1, h. 323. 32 Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, jilid 1, h. 327. 33 Abû `Îsâ al-Turmudzî, Sunân al-Turmudzî, juz 5, h. 200. 34 Sulaimân bin al-Asy‘as Abû Dâwud al-Sijistanî al-Azdî, Sunân Abî Dâwud, (Beirut,

Dâr al-Fikr, tt), juz 3, h. 320.

Page 34: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

Hadis-hadis di atas secara umum bersumber dari dua orang sahabat, hadis

pertama bersumber dari Ibn ‘Abbâs, sedangkan hadis kedua bersumber dari

Jundub, artinya hadis-hadis di atas diriwayatkan oleh orang perorang (ahâd) atau

tidak sampai pada derajat mutawâtir, oleh karena itu meneliti sejauh mana

kualitasnya menjadi penting guna digunakannya sebagai hujjah.

Pada hadis-hadis model pertama, keenam matan hadis tersebut bersamaan

maknanya. Perbedaan lafaz memang ada, tetapi tidak menjadikan perbedaan

makna. Untuk memperlihatkan jalur sanad hadis yang diteliti, maka penulis akan

melakukan i’tibâr.35 Kegiatan i’tibâr dilakukan untuk memperlihatkan dengan

jelas seluruh jalur sanad hadis yang diteliti, termasuk juga nama-nama

periwayatnya, dan metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing

periwayat yang bersangkutan.36

Sebelum dikemukakan skema sanadnya, ada beberapa hal yang perlu

dijelaskan terlebih dahulu sehingga skema akan lebih mudah disusun dan

dipahami. Dalam hadis model pertama, pada keenam sanadnya terdapat nama-

nama periwayat yang ditulis secara berbeda, tetapi maksudnya sama yakni ‘Abd

al-A’lâ yang pada dua sanad Ahmad bin Hanbal ditulis secara lengkap, yakni

‘Abd al-A’lâ al-Tsa’labî, yang pada sanad lainnya hanya ditulis dengan ‘Abd al-

A’lâ. Dan pada skema nanti, akan ditulis dengan ‘Abd al-A’lâ saja. Selanjutnya,

35 Kata i’tibâr merupakan masdar dari kata i’tabara yang berarti peninjauan terhadap

berbagai hal yang dimaksud untuk dapat mengetahui yang sejenis dengannya. Sedangkan menurut ilmua hadis i’tibâr berarti menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu yang pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja, dan dengan menyertakan sanad-sanad lain akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada. Lihat M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 52.

36 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 52.

Page 35: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

mulai periwayat pertama sampai dengan periwayat ketiga, tidak terdapat

periwayat yang berstatus pendukung (corroboration) baik berupa syahid37

maupun mutabi’38. Pada periwayat keempat, kelima, dan bagi sanad Turmudzî

periwat keenam, barulah terdapat mutabi’. Dengan demikian, mulai periwayat

pertama sampai dengan periwayat ketiga, sanad hadis termasuk garîb, dan barulah

pada periwayat keempat, sanad tersebut menjadi masyhûr.

Pada hadis model kedua, pada kedua sanadnya terdapat tiga orang

periwayat yang nama-nama mereka dikemukakan secara tidak seragam, yakni

Jundub, Abû ‘Imrân dan Suhail bin Mihrân yang pada sanad Turmudzî ditulis

Jundub bin ‘Abdillah, Abû ‘Imrân al-Jaunî dan Suhail bin ‘Abdillah, sedangkan

pada sanad Abû Dâwud ditulis Jundub, Abû ‘Imrân dan Suhail bin Mihrân. Dan

pada skema nanti akan ditulis Jundub bin ‘Abdillah, Abû ‘Imrân al-Jaunî dan

Suhail bin ‘Abdillah. Selanjutnya, mulai periwayat pertama sampai dengan

periwayat ketiga, tidak terdapat periwayat yang berstatus pendukung

(corroboration) baik berupa syahid maupun mutabi’. Pada periwayat keempat,

kelima, dan bagi sanad Turmudzî periwat keenam, barulah terdapat mutabi’.

Dan untuk memperjelas dan mempermudah proses penelitian sanad, maka

diperlukan pembuatan skema untuk seluruh sanad hadis yang akan diteliti. Berikut

gambaran skematis jalur periwayatan hadis-hadis di atas :

37 Pengertian syahid (dalam istilah ilmu hadis biasa diberi kata jamak dengan syawahid)

ialah periwayat yang berstatus pendukung yang berkedudukan sebagai sahabat Nabi. Lihat M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 53.

38 Yang dimaksud mutabi’ (biasa juga disebut tabi’ dengan jamak tawabi’) ialah periwayat yang berstatus pendukung pada periwayat yang bukan sahabat Nabi. Lihat M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 53.

Page 36: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

نع

نع

نع نع

حدثنا حدثنا حدثنا حدثنا حدثنا حدثنا

حدثنا حدثنا

حدثنا حدثنا

حدثنا حدثنا حدثنا حدثنا

حدثنا حدثنا

SKEMA SANAD HADIS TENTANG LARANGAN MENAFSIRKAN

DENGAN RA’YU

Hadis I

بغیر علم فلیتبوأ مقعده من النار قال في القرآن قال رسول اللھ صلى اللھم علیھ وسلم من

عباس ابن

يدعن سر بيبج

دبلى عالأع

عوانة أبو سفيان

عمرو بن سويد وكيع مؤمل يدالول أبو السري بن بشر عفان

وكيع بن سفيان ودمحم نلان بغي

حنبل بن أمحد الترمذى

Page 37: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

نع

حدثنا

حدثنا حدثنا

حدثنا حدثنا

داحا ثنثندح

SKEMA SANAD HADIS TENTANG LARANGAN MENAFSIRKAN

DENGAN RA’YU

Hadis II

لیھ وسلم من قال في القرآن برأیھ فأصاب فقد أخطأقال رسول اللھ صلى اللھم ع

الله عبد بن جندب

الجوني عمران أبو

الله عبد بن سهيل

قوبعي نب اقحإس

دمحن مى بيحي دبع الله نب

داود ابو

هلال بن حبان

دبع نب ديمح

الترمذى

Page 38: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

Pada gambaran skema sanad hadis pertama di atas, telihat hadis ini

diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbâs dari Nabi Muhammad Saw. Secara marfû’ qawlî

haqîqî.39 Hadis tersebut keseluruhannya bersumber dari Ibn ‘Abbâs, yang

kemudian ditransmisikan kepada Sa`îd bin Jubair, lalu kepada ‘Abd al-A’lâ,

melalui ‘Abd al-A’lâ inilah bercabang kepada Sufyân dan Abû ‘Awânah.

Beberapa rawi yang meriwayatkan dari Sufyân antara lain Wakî’ dan Muammal

sebagaimana di-takhrîj Imam Ahmad, sementara yang meriwayatkan dari Sufyan

yang di-takhrîj Imam al-Turmudzî adalah Bisyr bin al-Sariyy melalui Mahmûd

bin Gailân. Sementara rawi yang meriwayatkan dari Abû `Awânah antara lain

Suwaid bin ‘Amr yang di-takhrîj Imam al-Turmudzî melalui Sufyân bin Wakî’,

rawi lainnya adalah (yang meriwayatkan dari Abû ‘Awânah) Abû al-Walîd dan

‘Affân yang di-takhrîj Imam Ahmad bin Hanbal.

Dan pada hadis kedua di-takhrîj oleh dua mukharrij yaitu Imam

al-Turmudzî dan Imam Abû Dâwud, yang di-takhrîj Imam al-Turmudzî dari ‘Abd

bin Humaid dari Habbân bin Hilâl dari Suhail dari Ab^u ‘Imrân al-Jaunî dari

Jundub bin ‘Abdillâh. Yang lainnya di-takhrîj Imam Abû Dâwud melalui

‘Abdullâh bin Muhammad bin Yahyâ dari Ya’qûb bin Ishâq al-Hadrâmî dari

Suhail dengan jalur yang sama dengan jalur sanad al-Turmudzî.

Dalam hubungannya dengan penelitian sanad, maka unsur-unsur kaidah

kesahihan hadis yang berlaku untuk sanad dijadikan sebagai acuan. Unsur-unsur

itu ada yang berhubungan dengan rangkaian atau persambungan sanad dan ada

39Marfû’ qawlî haqîqî ialah apa yang disandarkan oleh sahabat kepada Nabi Saw. tentang

sabdanya, bukan perbuatan atau ikrarnya. Lihat Fatchur Rahman, Ikhtisâr Mustalahul Hadîts, (Bandung : Alma’arif, 1974), h. 160.

Page 39: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

yang berhubungan dengan keadaan pribadi atau kualitas para periwayatnya, untuk

itu diperlukan penelitian secara spesifik terhadap masing-masing periwayatnya.

Dan hasilnya dapat dilihat pada keterangan di bawah ini :

o Hadis I

Jalur al-Turmudzî melalui Mahmûd bin Gailân

1. Al-Turmudzî

Nama lengkapnya adalah Abû Îsa Muhammad bin Îsâ bin Surah, beliau

adalah seorang muhaddits yang dilahirkan di kota Turmudz, sebuah kota kecil di

pinggir utara sungai Amuderiya, sebelah utara Iran. Beliau dilahirkan di kota

tersebut pada bulan dzulhijjah tahun 200 H (824 M) dan wafat di Turmudz juga

pada akhir Rajab tahun 279 H (892 M).40

Beliau menyusun satu kitab Sunan dan kitab ‘Ilâl al-Hadîts. Pada akhir

kitabnya beliau menerangkan, bahwa semua hadis yang terdapat dalam kitab ini

adalah ma’mûl (dapat diamalkan).41

Beliau meriwayatkan hadis dari Qutaibah bin Sa’d, Ishâq bin Rahawaih,

Muhammad bin Amru al-Sawaq al-Balkhî, Mahmûd bin Gailân, Ismâ‘îl bin

Mûsâ al-Fazari, Abû Mus‘ab al-Zuhrî, Bisyri bin Mu‘âdz al-Aqdî, al-Hasan bin

Ahmad bin Abî Syu‘aib, Sufyân bin Wakî’, ‘Ali bin Hujr, Hannnâd, ‘Abd bin

Humaid, Yûsuf bin Îsâ, Muhammad bin Yahyâ, Khalad bin Aslam, Ahmad bin

Munî’, Bukhârî, Muslim, Ahmad bin Hanbal, Abû ‘Umar al-Dârir, Muslim bin

Ibrâhîm, Abû Kuraib dan lainnya. Sedangkan yang meriwayatkan hadis darinya

40 Fatchur Rahman, Ikhtisâr Mustalahul Hadîts, h. 382-383. 41 Fatchur Rahman, Ikhtisâr Mustalahul Hadîts, h. 383.

Page 40: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

di antaranya yaitu Abû Hamid Ahmad bin ‘Abdillah bin Dâwud al-Marwazî,

Makhul bin Fadl, Muhammad bin Mahmûd bin ‘Anbar, Hammâd bin Syakir,

Ahmad bin Yûsuf al-Nasafi, ‘Abd al-Rahmân Mubârakfûrî dan lainnya. Beberapa

penilaian ulama terhadapnya antara lain Ibn Hibbân menilai tsiqah, al-Khalîl

menilai tsiqah muttafaq ‘alaih.42

Pernyataan al-Turmudzî bahwa ia menerima riwayat dari Mahmûd bin

Gailân dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang

bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis, serta masa hidup dan

tahun wafat mereka berdekatan.

2. Mahmûd bin Gailân

Nama lengkapnya Mahmûd bin Gailân al-‘Adawî, Abû Ahmad al-Marwazî

al-Bagdâdî, ia wafat pada tahun 249 H. Ia meriwayatkan hadis dari Wakî’, Ibn

‘Uyainah, al-Nadr bin Syumail, Abû Ahmad al-Zubairî, ‘Abd al-Razzâq, Abû

Usâmah, Basyar bin al-Sariyy, Sa`id bin ‘Amîr al-Dabî`iy, Abû Dâwud

al-Badramî, Mu`awiyyah bin Hisyâm dan lainnya.

Perawi yang meriwayatkan darinya cukup banyak dari kalangan ulama

selain Abû Dâwud, al-Hakîm dan beberapa perawi saja. Ulama menilainya bagus

seperti Al-Nasâ’î menilainya tsiqah, Ibn Hibbân juga menyebutkan namanya

dalam kitab al-tsiqât.43

Pernyataan Mahmûd bin Gailân bahwa ia menerima riwayat dari Bisyr bin

al-Sariyy dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang

42 Shihâb al-Dîn Ahmad bin ‘Alî bin Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, (Beirut: Dâr

al-Fikr, 1984), juz 10, h. 113. 43 Ibn Hajar al-`Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 10, h. 58-59.

Page 41: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis, serta masa hidup dan

tahun wafat mereka berdekatan.

3. Bisyr bin al-Sariyy

Nama lengkapnya Bisyr bin al-Sariyy al-Basrî, Abû ‘Amr al-Makkî, ia wafat

pada tahun 196 H dalam usia 63 tahun.44 Ia meriwayatkan hadis dari Sufyân

al-Tsaurî, Hammâd bin Salamah, Ibn al-Mubârak, al-Lais bin Sa‘d, Ibrâhîm bin

Tuhmân, ‘Umar bin Sa‘îd bin Abî Husain, ‘Abd al-Razzâq, Nâfi’ bin ‘Umar bin

Muhammad dan lainnya. Perawi yang meriwayatkan darinya antara lain Yahyâ

bin Adam, Ahmad bin Hanbal, Abû Haisamah, Khalid bin Yazîd al-Qarnî, Abû

Sâlih (sekretarisnya al-Lais), Mahmûd bin Gailân al-Marwazî dan lainnya.

Beberapa penilaian ulama di antaranya adalah Abû Hatîm menilainya Tsabt

Sâlih, Ibn Sa‘d menilainya tsiqah, al-‘Ijlî menilainya tsiqah, Ahmad menyebutkan

muttaqîn fî al-hadîts, ibn Ma’în menilainya tsiqah. 45

Pernyataan Bisyr bin al-Sariyy bahwa ia menerima riwayat dari Sufyân al-

Tsaurî dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang

bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis, serta masa hidup dan

tahun wafat mereka berdekatan.

4. Sufyân

Nama lengkapnya adalah Sufyân bin Sa‘îd bin Masrûq al-Tsaurî, Abû

‘Abdillah al-Kûfî. Ia lahir pada tahun 96 H di Kuffah, kemudian ia pergi ke

44 Jamaluddin Yûsuf al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, (Beirut: Dâr al-Fikr,

1994), Juz 11, h. 79. 45 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 1, h. 394-395.

Page 42: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

Basrah pada tahun 155 H, dan wafat pada tahun 161 H.46

Ia meriwayatkan hadis dari bapaknya Sa‘îd bin Masrûq al-Tsaurî, Ibrâhîm

bin ‘Abd al-A’lâ, Ibrâhîm bin ‘Uqbah, Ibrâhîm bin Muhammad bin al-Muntasyir,

Usamah bin Zaid al-Laitsî, Zaid bin Aslam, Hisyâm bin ‘Urwah, , Suhail bin Abî

Sâlih, ‘Abd al-A’lâ bin ‘Âmir, ‘Abdullah bin Jâbir al-Basrî dan lainnya.

Perawi yang meriwayatkan hadis darinya antara lain Ibrâhîm bin Sa’d,

Umayyah bin Khâlid, Bisyr bin al-Sariyy, Sufyân bin ‘Uyainah, Wakî’ bin al-

Jarrâh, Yahyâ bin Sa‘îd al-Qattân, ‘Abdullah bin Wahab, ‘Abd al-Rahman bin

Mahdî, Muhammad bin al-Hasan al-Asadî, Muammal bin Ismâ‘îl dan lainnya.

Beberapa penilaian ulama terhadapnya adalah Wakî’ bin Syu’bah

mengatakan Sufyân ahfazu minnî, al-‘Ijlî menilainya ahsanu isnâd, Syu’bah

mengatakan bahwa Ia seorang yang wara’ dan ‘alîm.47

Pernyataan Sufyân al-Tsaurî bahwa ia menerima riwayat dari ‘Abd al-A’lâ

dengan ungkapan ‘an dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena

penilaian ta’dil terhadapnya oleh kritikus hadis, serta tempat tinggal Sufyân al-

Tsaurî dan ‘Abd al-A’lâ sama-sama di Kuffah .

5. ‘Abd al-A’lâ

Nama lengkapnya ‘Abd al-A’lâ bin ‘Âmir al-Sa’labî al-Kûfî. Ia

meriwayatkan hadis dari Abû ‘Abd al-Rahmân al-Sulâmî, Muhammad bin

Hanafiyyah, Sa‘îd bin Jubair, Bilâl bin Abî Musâ dan lainnya.

Perawi yang meriwayatkan darinya adalah ‘Alî bin ‘Abd al-A’lâ,

Muhammad bin Jahadah, Isrâ‘il bin Yûnus, Abû ‘Awânah, Sufyân al-Tsaurî,

46 Jamaluddin Yûsuf al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, Juz 7, h. 363-364. 47 Jamaluddin Yûsuf al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, Juz 7, h. 353-360.

Page 43: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

Abû al-Ahwâs dan lainnya.

Beberapa penilaian ulama antara lain, Abû Zur‘ah dan Ahmad bin Hanbal

menilainya da’îf al-hadîts, Al-Nasâ’î dan Abû Hatim menilainya laisa bi al-

qawî,48 namun al-Turmudzî menilainya hasan bahkan al-Hakîm menilainya

sahîh.49

‘Abd al-A’lâ dinilai oleh ulama kritikus hadis dengan tajrih, tetapi tingkat

pen-tajrih-annya adalah yang paling rendah, dan ulama yang tajrih-nya adalah

ulama yang terkenal berkesangatan bila men-tajrih seorang perawi yakni Abû

Hâtim dan al-Nasâ’î. Di sisi lain al-Turmudzî menilainya hasan bahkan al-Hâkim

menilainya sahîh, dalam hal ini memang dikarenakan al-Turmudzî termasuk

kritikus hadis hadis yang moderat (tawasut) dalam menilai perawi, sedangkan al-

Hâkim termasuk kritikus hadis yang longgar (tasahul) dalam menilai perawi. Oleh

karena itu, penulis lebih condong pada penilaian moderat al-Turmudzî yakni ‘Abd

al-A’lâ adalah orang yang hasan. Dan penilaian tajrih kepadanya itu bisa

dikarenakan kurangnya ke-dabit-an bukan dari keadilannya. Dan pernyataan

bahwa ‘Abd al-A’lâ menerima riwayat dari Sa’îd bin Jubair dengan ungkapan ‘an

dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena di dalam kitab Tahdzîb al-

Kamâl dijelaskan bahwa ‘Abd al-A’lâ meriwayatkan hadis dari Sa’îd bin Jubair

serta tempat tinggal mereka sama-sama di Kuffah.

6. Sa‘îd bin Jubair

Nama lengkapnya Sa’îd bin Jubair bin Hisyâm al-Asadî, Abû ‘Abdillah

48 Jamaluddin Yûsuf al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, Juz 11, h. 6-7. 49 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 6, h. 86-87.

Page 44: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

al-Kûfî, wafat di Iraq pada tahun 94 H. Ia meriwayatkan hadis dari Ibn ‘Abbâs,

Ibn al-Zubair, Ibn ‘Umâr, Ibn Ma’qîl, Abû Mas‘ûd al-Ansârî, Abû Hurairah,

‘Âisyah, Abî Mûsâ al-Asy‘arî, Anas bin Mâlik, Abî Sa‘îd al-Khudrî dan lainnya.

Di antara perawi yang meriwayatkan darinya adalah Abdullah bin Sa‘îd

‘Abd al-Malîk bin Sa‘îd, ‘Abd al-A’lâ, Abû Ishâq al-Sabi‘î, Adam bin Sulaimân,

Mansûr bin al-Mu’tamir, Talhah bin Masrâf dan lainnya. Tentang kualitasnya,

Abû al-Qâsim al-Tabarî menilainya tsiqah, Ibn Hibbân menyebutkan dalam

kitabnya al-Tsiqât bahwa ia seorang yang faqîh serta ‘abîd.50

Pernyataan Sa’îd bin Jubair bahwa ia menerima riwayat dari Ibn ‘Abbâs

dengan ungkapan ‘an dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena

penilaian ta’dil oleh kritikus hadis, serta masa hidup dan tahun wafat mereka

berdekatan.

7. Ibn ‘Abbâs

Nama lengkapnya adalah ‘Abdullâh bin ‘Abbâs bin `Abd al-Mutallib

al-Hasyimî, anak laki-laki dari paman Nabi Muhammad Saw., ia dikenal dengan

habr dan bahr (tinta dan lautan) karena banyaknya ilmu Ibn `Abbâs ini, ia wafat

pada tahun 69 H ada juga yang menyatakan tahun 70 H.51

Beliau banyak meriwayatkan hadis dari Nabi Muhamad Saw., juga dari

ayahnya, ibunya (Umm Fadl), saudara laki-lakinya (Fadl), bibinya (Maimunah),

Abû Bakr, ‘Umâr, ‘Utsmân, ‘Alî, ‘Abd al-Rahmân bin ‘Auf dan lainnya. Dan

yang meriwayatkan hadis darinya antara lain: ‘Abdullâh Ibn ‘Umâr bin

al-Khattâb, Sa’labah bin al-Hakam, al-Laisi, Sa’îd bin al-Musayyib, ‘Abdullâh bin

50 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 4, h. 11-13. 51 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 5, h. 242.

Page 45: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

al-Haris bin Naufal, Sa’îd bin Jubair dan lainnya.52

Tentang kredibilitasnya tidak dipertanyakan lagi, lebih-lebih Nabi

Muhammad Saw. pernah berdo’a khusus untuknya allâhumma faqqihhu fî al-dîn

wa ‘a11imhu al-ta’wîl. Oleh karena itu, pernyataan Ibn ‘Abbâs bahwa ia

menerima riwayat dari Nabi Saw. dengan ungkapan qâla dan ‘an yang

menunjukkan bahwa Ibn ‘Abbâs benar-benar mendapatkan hadis tersebut dari

Nabi Saw. dapat diterima. Dengan demikian, antara Nabi dan Ibn ‘Abbâs telah

terjadi persambungan periwayatan hadis.

Jalur al-Turmudzî melalui Sufyân bin Wakî’

1. Al-Turmudzî (telah dijelaskan di halaman 28-29)

Al-Turmudzî menyatakan bahwa ia menerima riwayat dari Sufyân bin

Wakî’ dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang

bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis terhadapnya, serta masa

hidup dan tahun wafat mereka berdekatan.

2. Sufyân bin Wakî’

Nama lengkapnya adalah Sufyân bin Wakî’ bin al-Jarrâh al-Ruwâsî, Abû

Muhammad al-Kûfî, ia wafat pada tahun 247 H yaitu pada bulan Rabî’ al-Tsanî.

Dia meriwayatkan hadis dari Abû Mu‘awiyyah, Humaid bin ‘Abd

al-Rahmân al-Ruwâsî, Ibn Idrîs, Ibn ‘Uyainah, Ibn Wahhâb, Suwaid bin ‘Amr,

Jarîr bin ‘Abd al-Humaid, ‘Isâ bin Yûnus dan lainnya.

Di antara perawi yang meriwayatkan darinya adalah al-Turmudzî, ibn

52 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 5, h. 243-245.

Page 46: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

Mâjah, Ibn Makhlad, anaknya ‘Abd al-Rahmân bin Sufyân, Abû Bakar bin ‘Alî

al-Marwazî dan lainnya. Penilaian para kritikus hadis terhadapnya seperti Al-

Nasâ’î menilainya laisa bisyai’, Ibn Hibbân menyatakan kâna syaikhan fâdilan

sadûqan.53

Pernyataan Sufyân bin Wakî’ bahwa ia menerima riwayat dari Suwaid bin

‘Amr dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang

bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis, tempat tinggal mereka

yang sama-sama di Kuffah serta masa hidup dan tahun wafat mereka berdekatan.

3. Suwaid bin ‘Amr

Nama lengkapnya Suwaid bin ‘Amr al-Kalbî, Abû al-Walîd al-Kûfî, ia

wafat tahun 203 H. ada pula yang menyebutkan tahun 204 H. Ia meriwayatkan

hadis dari Hammâd bin Salamah, Zuhair bin Mu‘awiyyah al-Bimsi, Abû

‘Awânah, al-Hasan bin Sâlih, Dâwud bin Nâsir, Anas bin Huyy dan lainnya. Dan

perawi yang meriwayatkan darinya adalah Ahmad bin Hanbal, Ahmad bin

Muhammad, Abu Bakr bin Abî Syaibah, Sufyân bin Wakî’ dan lainnya.

Komentar ulama terhadapnya antara lain al-Nasâ’î, ‘Usmân bin Sa‘îd, dan

ibn Ma‘în menilainya tsiqah, al-‘IjIî menilainya tsiqah tsabat fî al-hadîts, kâna

rijâlan sâlihan muta‘abbidan, 54.

Pernyataan Suwaid bin ‘Amr bahwa ia menerima riwayat dari Abû ‘Awânah

dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang bersambung

karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis, serta masa hidup dan tahun wafat

mereka berdekatan.

53 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 4, h. 109-110. 54 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 4, h. 243-244.

Page 47: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

4. Abû ‘Awânah

Nama lengkapnya Waddah bin ‘Abdillah al-Yasykûrî budakYazîd bin ‘Ata’,

Abû ‘Awânah al-Wasitî al-Bazzarî, dan ia lebih dikenal dengan Abû ‘Awânah, ia

wafat tahun 176 H.55

Dia meriwayatkan dari Qatâdah, Abû Basyâr, Al-Hakim bin Utaibah, ‘Amr

bin Abî Salamah, Ya’la bin Ata’, ‘Abd al-A’lâ, ‘Abd al-Malik bin ‘Umair,

Ibrahîm bin Muhammad bin al-Muntasyîr, Ibrahîm bin Muhâjir dan lainnya. Dan

di antara perawi yang meriwayatkan darinya adalah Abû Dâwud al-Tayalisî, Abû

al-Walîd al-Tayalisî, Ahmad bin Ishâq al-Hadramî, Qutaibah bin Sa‘îd, Ibn

Mubarak, ‘Affân bin Muslim bin ‘Abdullah, Suwaid bin ‘Amr al-Kalbî, Yahyâ

bin Hammâd.

Penilaian ulama terhadapnya antara lain: al-‘Ijlî menilainya tsiqah, ibn

al-Mubârak menilainya sebagai ahsan al-nâs hâditsan, Ibn Sa`d menilai tsiqah

sadûq,56 Ahmad bin Hanbal menilai sahîh al-kitâb, ‘Affan bin Muslim berkata:

hadis Abû Awânah lebih sahih daripada Syu’bah.57

Pernyataan Abû ‘Awânah bahwa ia menerima riwayat dari ‘Abd al-A’lâ

dengan ungkapan ‘an dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena

penilaian ta’dil terhadapnya oleh kritikus hadis dan penjelasan di dalam kitab

Tahdzîb al-Tahdzîb bahwa ia meriwayatkan hadis dari ‘Abd al-A’lâ .

5. ‘Abd al-A’lâ (telah dijelaskan di halaman 31-32)

6. Sa‘îd bin Jubair (telah dijelaskan di halaman 33)

55 Al-Imâm Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsmân al-Dzahabî, Siar al-A’lam

al-Nubalâ, (Beirut: Muassasat al-Risâlah, 1992), Juz 8, h. 221. 56 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 11, h. 103-106. 57 ‘Utsmân al-Dzahabî, Siar al-A’lam al-Nubalâ, Juz 8, h. 219.

Page 48: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

7. Ibn ‘Abbâs (telah dijelaskan di halaman 33-34)

Jalur Ahmad bin Hanbal melalui Wakî’

1. Ahmad bin Hanbal

Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin

Asad al-Syaibânî al-Marwazî al-Bagdâdî. Beliau lahir pada bulan Rabi‘ul awal

tahun 164 H di Bagdad, dan wafat pada bulan Rabi’ul awal juga pada tahun 241 H

di Bagdad. Beliau sudah belajar dan mencari hadis sejak beliau berumur 16 tahun

di Bagdad, beliau juga merantau ke kota Mekah, Madinah, Syam, Yaman dan

Basrah untuk belajar hadis pada ulama yang ada di Negara itu.58

Di antara guru-gurunya ialah Sufyân bin ‘Uyainah, Yahyâ bin Sa‘îd al-

Qattan, Ibrâhîm bin Sa‘d al-Zuhrî, Abû al-Walîd, Abû Mu‘âwiyah Muhammad

bin Khazim al-Tamîmî, Wakî’ bin al-Jarrah, Mu‘ammal bin Isma‘îl, ‘Affân bin

Muslim, Yazid bin Harun bin Wadi dan lainnya. Dan murid-muridnya antara lain

al-Bukhârî, Muslim, Abû Dâwud, Yahyâ bin Ma‘în, dua orang putranya

‘Abdullah dan Sâlih dan lainnya.

Penilaian kritikus hadis terhadapnya antara lain Ibn Ma‘în berkata : saya

tidak pernah melihat orang yang lebih baik pengetahuannya di bidang hadis

melebihi Ahmad. Al-Qattân berkata: tidak ada orang yang datang kepada saya

yang kebaikannya melebihi Ahmad, ia merupakan hiasan umat di bidang

pengetahuan Islam khususnya hadis. Al-Nasâ’î menilainya tsiqah ma’mûn. Ibn

58 Fatchur Rahman, Ikhtisâr Mustalahul Hadîts, h. 373-375.

Page 49: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

Hibbân menilai hafîz mutqin faqîh. Ibn Sa’ad menilai tsiqah tsabt suduq.59

Tidak ada seorang kritikus pun yang mencela Ahmad bin Hanbal. Pujian

yang diberikan kepadanya adalah pujian berperingkat tinggi. Dengan demikian,

pernyataan yang mengatakan bahwa ia telah menerima riwayat hadis dari Wakî’

dengan ungkapan haddatsanâ dapat dipercaya kebenarannya, dengan demikian

sanad antara ia dan Wakî’ dalam keadaan bersambung.

2. Wakî’

Nama lengkapnya adalah Wakî’ bin al-Jarrah bin Malîh al-Ru‘asî, Abû

Sufyân al-Kûfî al-Hafîz, beliau meninggal tahun 196 H. Ia meriwayatkan hadis

dari ayahnya, Ismâ‘îl bin Abî Khalîd, ‘Ikrimah bin ‘Ammar, Hisyâm bin ‘Urwah,

al-A’masy, al-Auza‘î, ‘Abd al-Humaid bin Ja’far, Sufyân al-Tsaurî, Hisyâm ibn

Sa’d dan lainnya.

Perawi yang meriwayatkan darinya antara lain: putra-putranya yaitu Sufyân,

Malih, ‘Ubaid, juga guru-gurunya seperti Sufyân al-Tsaurî, lalu Ahmad, ‘Alî,

Yahyâ, Ishâq bin Rahuwaih dan lainnya.

Beberapa komentar ulama terhadapnya antara lain: Ibn Ma‘în menyatakan

mâ ra‘aitu atsbat al-‘Irâq min Wakî’, Ibn Sa’d menyatakan kâna tsiqah ma’mûn,

al-‘Ijlî menyatakan huwa kûfî tsiqah, ‘âbid sâlîh. 60

Pernyataan Wakî’ bahwa ia menerima riwayat dari Sufyân al-Tsaurî dengan

ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang bersambung karena

penilaian ta’dil oleh kritikus hadis, tempat tinggal mereka yang sama-sama di

Kuffah serta masa hidup dan tahun wafat mereka berdekatan.

59 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 1, h. 72-76. 60 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 11, h. 109-114.

Page 50: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

3. Sufyân (telah dijelaskan di halaman 30-31)

4. ‘Abd al-A’lâ (telah dijelaskan di halaman 31-32)

5. Sa’îd bin Jubair (telah dijelaskan di halaman 33)

6. Ibn ‘Abbâs (telah dijelaskan di halaman 33-34)

Jalur Ahmad bin Hanbal melalui Mu’ammal

1. Ahmad bin Hanbal (telah dijelaskan di halaman 37-38)

Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ia menerima riwayat dari

Mu’ammal dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang

bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis terhadapnya, serta masa

hidup dan tahun wafat mereka berdekatan.

2. Mu’ammal

Nama lengkapnya adalah Mu’ammal bin Isma‘îl al-‘Adawi al-Khattâb ada

yang menyatakan budak Banî Bakr, Abû ‘Abdillâh al-Basrî, ia tinggal di Mekkah

dan wafat pada tahun 206 H, ada yang menyatakan 205 H.61

Dia meriwayatkan hadis dari ‘Ikrimah bin ‘Ammar, Sufyân, Syu’bah,

Hammâd, Nafî’ bin ‘Umâr al-Jamhi dan lainnya. Dan perawi yang meriwayatkan

darinya antara lain: Ahmad, Ishâq bin Rahuwaih, ‘Alî bin al-Madinî, Bundâr,

Abû Kuraib dan lainnya.

Komentar ulama terhadapnya antara lain; al-Bukhârî menyatakan munkar

al-hadîts, al-Sajî menilainya sadûq katsîr al-khatâ’, al-Daruqutnî menilainya

tsiqah katsîr al-khatâ’, demikian pula Ibn Sa`d menyatakan tsiqah katsîr al-

61 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 10, h. 339.

Page 51: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

galât.62

Mu’ammal dinilai tsiqah oleh sebagian kritikus hadis walaupun

disandingkan dengan katsîr al-khatâ’, dan bahkan al-Bukhârî menilainya munkar

al-hadîts tetapi penilaian tajrih kepadanya ini bisa dikarenakan kurangnya ke-

dabit-an dan bukan dari segi keadilannya. Dan pernyataan Mu’ammal bahwa ia

menerima riwayat dari Sufyân al-Tsaurî dengan ungkapan haddatsanâ dapat

diterima sebagai sanad yang bersambung karena di dalam kitab Tahdzîb

al-Tahdzîb dijelaskan bahwa Mu’ammal meriwayatkan hadis dari Sufyân al-

Tsaurî serta masa hidup dan tahun wafat mereka berdekatan.

3. Sufyân (telah dijelaskan di halaman 30-31)

4. ‘Abd al-A’lâ (telah dijelaskan di halaman 31-32)

5. Sa’îd bin Jubair (telah dijelaskan di halaman 33)

6. Ibn ‘Abbâs (telah dijelaskan di halaman 33-34)

Jalur Ahmad bin Hanbal melalui Abû al-Walîd

1. Ahmad bin Hanbal (telah dijelaskan di halaman 37-38)

Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ia menerima riwayat dari Abû

al-Walîd dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang

bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis terhadapnya, serta masa

hidup dan tahun wafat mereka berdekatan.

2. Abû al-Walîd

Nama lengkapnya adalah Hisyâm bin ‘Abd al-Malîk al-Bahilî, Abû al-Walîd

62 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 10, h. 339-340.

Page 52: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

al-Tayâlisi al-Basrî al-Hafîz al-Imâm al-Hujjah. Ia wafat pada tahun 227 H.

Dia meriwayatkan hadis dari ‘Ikrimah bin ‘Ammar, Jarîr bin Hazîm, Mahdi

bin Maimûn, Syu`bah, al-Lais, Abu ‘Awânah dan lainnya. Dan perawi yang

meriwayatkan darinya antara lain al-Bukhârî, Abû Dâwud, Ahmad bin Hanbal

dan lainnya. Ulama menilainya unggul seperti Ahmad menyatakan muttaqîn,

syaikh al-Islâm, al-‘Ijlî menyatakan tsiqah sabat fî al-hadîts. 63

Pernyataan Abû al-Walîd bahwa ia menerima riwayat dari Abû ‘Awanah

dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang bersambung

karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis, serta masa hidup dan tahun wafat

mereka berdekatan.

3. Abû ‘Awanah (telah dijelaskan di halaman 36-37)

4. ‘Abd al-A’lâ (telah dijelaskan di halaman 31-32)

5. Sa‘îd bin Jubair (telah dijelaskan di halaman 33)

6. Ibn ‘Abbâs (telah dijelaskan di halaman 33-34)

Jalur Ahmad bin Hanbal melalui ‘Affan

1. Ahmad bin Hanbal (telah dijelaskan di halaman 37-38)

Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ia menerima riwayat dari ‘Affân

dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang bersambung

karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis terhadapnya, serta masa hidup dan

tahun wafat mereka berdekatan.

2. ‘Affân

63 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 11, h. 42-43.

Page 53: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

Nama lengkapnya adalah ‘Affân bin Muslim bin ‘Abdillah al-Safar, Abû

‘Utsmân al-Basri budak ‘Uzrah ibn Tsâbit al-Ansarî, ia tinggal di Bagdad dan

meninggal tahun 220 H.

Dia meriwayatkan hadis dari ‘Abdullâh bin Bakr al-Mizzî, Sakhr Ibn

Juwairiyah, Syu`bah, Abû ‘Awânah, al-Aswad Ibn Syaibân dan lainnya. Perawi

yang meriwayatkan darinya antara lain; al-Bukhârî, Ahmad, Abû Bakar bin Abî

Syaibah dan lainnya.

Di antara penilaian ulama terhadapnya antara lain: al-‘Ijlî menilainya tsiqah

tsabat sâhib al-sunnah, Abû Hâtim menyatakan tsiqah, imâm muttaqîn, Ibn

Hibbân juga mencantumkan namanya dalam kitab al-Tsiqât. 64

Dengan demikian pernyataan ‘Affân bahwa ia menerima riwayat dari Abû

‘Awanah dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang

bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis, serta masa hidup dan

tahun wafat mereka berdekatan.

3. Abû ‘Awanah (telah dijelaskan di halaman 36-37)

4. ‘Abd al-A’lâ (telah dijelaskan di halaman 31-32)

5. Sa‘îd bin Jubair (telah dijelaskan di halaman 33)

6. Ibn ‘Abbâs (telah dijelaskan di halaman 33-34)

o Hadis II

64 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 7, h. 205-209.

Page 54: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

Jalur al-Turmudzî melalui Sufyân bin Wakî’

1. Al-Turmudzî (telah dijelaskan di halaman 28-29)

Al-Turmudzî menyatakan bahwa ia menerima riwayat dari ‘Abd bin

Humaid dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang

bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis terhadapnya, serta masa

hidup dan tahun wafat mereka berdekatan.

2. ‘Abd bin Humaid

Nama lengkapnya adalah ‘Abd bin Humaid bin Nasr al-Kassî, Abû

Muhammad, ada yang menyatakan namanya adalah ‘Abd al-Majîd atau ‘Abd al-

Hamîd. Ia wafat pada tahun 249 H.

Dia meriwayatkan hadis dari, Abû Usâmah, Abî al-Walîd al-Tayâlisî,

Habbân bin Hilâl, Ja’far bin ‘Aun Yazîd bin Harûn, Ahmad bin Ishâq

al-Hadrami, Yahyâ bin Ishâq, Sa’îd bin ‘Amîr, ‘Abd al-Razzâq, ‘Abd al-Samad

bin ‘Abd al-Waris dan lainnya. Perawi yang meriwayatkan darinya antara lain

Muslim, al-Turmudzî, Muhammad bin ‘Abd Abû Mu‘âz al-‘Abbâs bin Idris dan

lainnya.

Tentang penilaian ulama, al-Zahabî menilai hâfiz, Ibn Hibbân dalam

kitabnya al-Tsiqât menerangkan bahwa ‘Abd bin Humaid ini orang yang

produktif dalam menghimpun dan berkarya.65

Pernyataan ‘Abd bin Humaid bahwa ia menerima riwayat dari Habbân bin

Hilâl dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang

bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis, serta masa hidup dan

65 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 6, h. 402-403.

Page 55: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

tahun wafat mereka berdekatan.

3. Habbân bin Hilâl

Nama lengkapnya adalah Habbân bin Hilâl al-Bahîli, ada yang menyatakan

al-Kindî, Abû Habîb al-Basrî, ia meninggal di Basrah pada tahun 216 H.

Dia meriwayatkan hadis dari Hammâd bin Salamah, Suhail bin ‘Abdillâh,

Syu’bah, Jarîr bin Hazîm, Muslim bin Zurair, Abu ‘Awânah dan lainnya. Dan

perawi yang meriwayatkan darinya antara lain: Hammâd bin Sa‘îd al-Ribati,

Ahmad bin Sa‘îd al-Darimi, Ishâq bin Mansûr al-Kausaj, ‘Abd bin Humaid.

Komentar ulama tentangnya antara lain: Ibn Ma‘în, al-Turmudzî dan Al-Nasâ’î

menilainya tsiqah, ibn Sa’d menyatakan tsiqah tsabat hujjah. 66

Pernyataan ‘Habbân bin Hilâl bahwa ia menerima riwayat dari Suhail bin

‘Abdillâh dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang

bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis, serta masa hidup dan

tahun wafat mereka berdekatan.

4. Suhail bin ‘Abdillâh

Nama lengkapnya Suhail bin Abî Hazm, namanya mihrân, Abû Bakr

al-Basri, ada yang menyatakan ‘Abdullâh al-Quta‘î. Ia saudaranya Hazm bin Abî

Hazm al-Quta‘î. Menurut Ibn Hibbân, ia wafat sebelum saudaranya Hazm, Hazm

wafat pada tahun 175 H.67

Dia meriwayatkan hadis dari Tsabit al-Bunânî, Abû ‘Imrân al-Jaunî, Gâlib

al-Qattân, Yûnus bin ‘Ubaid, Malîk bin Dinâr dan lainnya. Dan di antara perawi

yang meriwayatkan darinya adalah Zaid bin al-Habbâb, Abû Salamah, Abû

66 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 2, h. 148-149. 67 Jamaluddin Yûsuf al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, Juz 8, h. 190.

Page 56: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

Qutaibah, al-Mu’afi bin ‘Imrân, Sâlim bin Nûh, Sufyân bin ‘Uyainah, Ya’qûb bin

Ishâq al-Hadrami, Habbân bin Hilâl dan lainnya.

Penilaian ulama terhadapnya antara lain: Ahmad bin Hanbal menyebutkan

bahwa Suhail meriwayatkan hadis-hadis munkarah (yang diriwayatkan dari

Tsâbit), Ibn Ma‘în menilainya sâlih, Abû Hâtim menyatakan laisa bî al-Qawî,

yuktabu hadîtsuhu wa lâ yuhtajju bih, Al-Nasâ’î menilainya laisa bî al-Qawî,

al-Bukhârî menilai laisa bî al-Qawî, hum yatakallamûna fîh.68

Suhail dinilai oleh ulama kritikus hadis dengan tajrih, tetapi tingkat pen-

tajrih-annya adalah yang paling rendah, dan ulama yang tajrih-nya adalah ulama

yang terkenal berkesangatan bila men-tajrih seorang perawi yakni Abû Hâtim dan

al-Nasâ’î. Di sisi lain Ibn Ma’în yang juga terkenal berkesangatan dalam men-

tajrih memberikan penilaian sâlih kepada Suhail. Oleh karena itu, menurut

penulis hadis yang diriwayatkan oleh Suhail masih boleh untuk ditulis tetapi tidak

bisa dijadikan hujjah sebagaimana penilaian yang diutarakan oleh Abû Hâtim.

Dan pernyataan Suhail bahwa ia menerima riwayat dari Abû ‘Imrân al-Jaunî

dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai sanad yang bersambung

karena di dalam kitab Tahdzîb al-Kamâl dijelaskan bahwa ia meriwayatkan hadis

dari Abû ‘Imrân al-Jaunî serta masa hidup dan tahun wafat mereka berdekatan.

5. Abû ‘Imrân al-Jaunî

Nama lengkapnya’Abd al-Maîk bin Habib al-Azdî, ada yang menyatakan

al-Kindî, Abû ‘Imrân al-Jaunî al-Basrî, ia wafat pada tahun 129 H, ada yang

menyatakan 128 H, bahkan Ibn Hibbân dalam kitab al-Tsiqât menyatakan bahwa

68 Jamaluddin Yûsuf al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, Juz 8, h. 189.

Page 57: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

ia wafat pada tahun 123 H.69

Ia meriwayatkan hadis dari Jundub bin ‘Abdillâh al-Bajali, Anas bin

Mâlik, Abî Bakr bin Abî Mûsâ al-Asy‘arî, ‘Adullâh bin al-Samit, ‘Alqamah bin

‘Abdillâh, Talhah bin ‘Abdillah dan lainnya. Di antara perawi yang meriwayatkan

darinya antara lain Ibn ‘Aun, Syu`bah bin al-Hajjâj, Abu Qudamah a1-Haris bin

‘Ubaid, Hammâd bin Salamah, Hamâm bin Yahyâ, ‘Abdullah bin ‘Auf, Suhail

bin Abî Hazm, Ziyâd bin al-Rabî’ dan lainnya.

Penilaian ulama terhadapnya seperti Abû Hâtim menilai sâlih, al-Nasâ’î

menilai laisa bihi ba’s, Yahyâ bin Mu‘ayyan dan Ibn Sa‘d yang menilainya

tsiqah. 70

Pernyataan Abû ‘Imrân al-Jaunî bahwa ia menerima riwayat dari Jundub bin

‘Abdillâh dengan ungkapan ‘an dapat diterima sebagai sanad yang bersambung

karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis, serta masa hidup dan tahun wafat

mereka berdekatan.

6. Jundub bin ‘Abdillâh

Nama lengkapnya Jundub bin ‘Abdillâh bin Sufyân al-Bajali al-‘Alaqî, Abû

‘Abdillah, ia adalah salah seorang sahabat Nabi Saw. Terkadang namanya

dinasabkan kepada kakeknya, kadang disebut Jundub bin Khalid bin Sufyân. Ia

meninggal antara tahun 60 H. sampai dengan 70 H. 71

Ia meriwayatkan hadis dari Nabi Saw. dan Hudzaifah bin al-Yamân,

sedangkan rawi yang meriwayatkan darinya antara lain: al-Aswad bin Qais, Anas

69 Jamaluddin Yûsuf al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, Juz 12, h. 34. 70 Jamaluddin Yûsuf al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, Juz 12, h. 33-34. 71 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 2, h. 101.

Page 58: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

bin Sirin, al-Hasan al-Basri, Abû Majlaz, Abû ‘Imrân al-Jaunî, ‘Abdullah bin al-

Hârits al-Najrânî dan lainnya dari ahli Kufah dan Basrah. 72

Tentang kualitasnya tidak banyak komentar dari ulama, oleh karena itu

kembali kepada prinsip keadilan sahabat. Oleh karena itu, pernyataan Jundub

bahwa ia menerima riwayat dari Nabi Saw. dengan ungkapan qâla yang

menunjukkan bahwa Jundub benar-benar mendapatkan hadis tersebut dari Nabi

Saw. dapat diterima. Dengan demikian, antara Nabi dan Jundub telah terjadi

persambungan periwayatan hadis.

Jalur Abû Dâwud melalui ‘Abdullâh bin Muhammad bin Yahyâ

1. Abû Dâwud

Nama lengkapnya adalah Abû Dâwud Sulaiman bin al-Asy‘âts bin Ishâq

bin Basyîr bin ‘Amr al-Azdî al-Sijistânî. Beliau dilahirkan di kota Sijistan

(terletak antara Iraq dan Afganistan) pada tahun 202 H dan wafat pada tahun 275

H di Basrah. Beliau merantau mengelilingi negeri-negeri tetangga untuk mencari

hadis dan ilmu-ilmu yang lain yakni ke Iraq, Khurasan, Syam dan Mesir.73

Beliau meriwayatkan hadis dari Ahmad bin Hanbal al-Qa’nabî, Abû

‘Umar al-Dârir, Muslim bin Ibrâhîm, Abû Walîd al-Tayalisî, ‘Abdullâh bin

Muhammad, Sulaimân bin ‘Abd al-Rahmân al-Dimisqî dan lainnya. Sedangkan

yang meriwayatkan hadis darinya ialah Abû ‘Îsâ al-Turmudzî, Abû ‘Alî

Muhammad bin Ahmad bin ‘Amr al-Lu’luay, Abû ‘Abd al-Rahmân al-Asynanî,

Abû ‘Abd al-Rahmân al-Nasâ’î, putranya Abû Bakr bin Abû Dâwud dan lainnnya.

72 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 2, h. 101. 73 Fatchur Rahman, Ikhtisâr Mustalahul Hadîts, h. 380-383.

Page 59: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

Penilaian ulama terhadapnya antara lain Ibn Hibbân yang menilainya faqqîh,

‘Âlim, Warâ’, hâfiz. Maslamah bin Qâsim menilai Abû Dâwud adalah seorang

yang tsiqah tsabt, zâhid dan orang yang mengetahui hadis.74 Dengan demikian

pernyataan Abû Dâwud bahwa ia menerima riwayat dari Abdullâh bin

Muhammad bin Yahyâ dengan ungkapan haddatsanâ dapat diterima sebagai

sanad yang bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus hadis terhadapnya.

2. ‘Abdullâh bin Muhammad bin Yahyâ

Nama lengkapnya adalah ‘Abdullâh bin Muhammad bin Yahyâ al-Tarsûsî,

Abû Muhammad, yang dikenal dengan al-Dâ‘if. Ia meriwayatkan hadis dari

Sufyân bin ‘Uyainah, Yazîd bin Harûn, Abû Mu‘awiyyah, Zaid bin Habbâb,

Ya’qûb ibn Ishâq al-Hadrâmi, Ma’n bin ‘Îsâ, Muhammad bin al-Mugîrah dan

lainnya.

Perawi yang meriwayatkan darinya antara lain Abû Dâwud, Al-Nasâ’î,

Musâ ibn Harûn, al-Hasan bin Sâdzî al-Tarsûsî, ‘Umar bin Sa‘îd bin Sinân, Abû

Bakr bin Abî Dâwud, Ibrâhîm bin Muhammad al-Mu‘addab dan lainnya.

Penilaian ulama terhadapnya antara lain Abû Hâtim menilainya sudûq, al-

Nasâ’î menilai syaikh, sâlih dan tsiqah, Maslamah menilainya tsiqah, Ibn Hibbân

menyebutkan dalam kitabnya al-tsiqât sebutan al-dâ‘if disandingkan kepadanya

karena banyaknya beribadah dan berzikir, Abû Muhammad menyatakan beliau

da‘îf badannya bukan pada hadisnya.75

Dengan demikian pernyataan Abdullâh bin Muhammad bin Yahyâ bahwa ia

menerima riwayat dari Ya’qûb bin Ishâq dengan ungkapan haddatsanâ dapat

74 Jamaluddin Yûsuf al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, Juz 11, h. 355. 75 Jamaluddin Yûsuf al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, Juz 10, h. 519-520.

Page 60: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

diterima sebagai sanad yang bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus

hadis terhadapnya dan penjelasan di dalam kitab Tahdzîb al-Kamâl bahwa ia

meriwayatkan hadis dari Ya’qûb bin Ishâq.

3. Ya’qûb bin Ishâq

Nama lengkapnya adalah Ya’qûb bin Ishâq bin Zaid bin ‘Abdillah bin Abî

Ishâq al-Hadramî, Abû Muhammad al-Basrî. Ia wafat pada tahun 205 H. Ia

meriwayatkan hadis dari kakeknya Zaid bin ‘Abdillah, al-Aswâb bin Syaibân,

Suhail bin Mihrân al-Quta‘î, Sawâdah ibn Abî al-Aswad, Sulaimân bin Mu‘âz

al-Dabî, Salîm bin Hayyân dan lainnya.

Perawi yang meriwayatkan darinya antara lain ‘Amr bin ‘Alî al-Fallâsî, Abû

al-Rabî’ al-Zahrânî, ‘Abdullâh ibn Muhammad bin Yahyâ al-Tarsûsî, ‘Uqbah

bin Mukrim al-Umayy dan lainnya.

Penilaian ulama terhadapnya antara lain Ahmad dan Abû Hatîm menilainya

sadûq, Ibn Hibbân menyebutkan namanya dalam kitab al-tsiqât, Ibn Sa‘d

menyatakan laisa huwa ‘indahum bidzâka al-tsabt.76

Dengan demikian pernyataan Abdullâh bin Muhammad bin Yahyâ bahwa ia

menerima riwayat dari Ya’qûb bin Ishâq dengan ungkapan haddatsanâ dapat

diterima sebagai sanad yang bersambung karena penilaian ta’dil oleh kritikus

hadis terhadapnya serta masa hidup dan tahun wafat mereka yang berdekatan.

4. Suhail bin ‘Abdillâh (sudah dijelaskan di halaman 44-45)

5. Abû ‘Imrân al-Jaunî (sudah dijelaskan di halaman 45-46)

6. Jundub bin ‘Abdillâh (sudah dijelaskan di halaman 46-47)

76 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 11, h. 335.

Page 61: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

C. Kesimpulan (Natijah)

Berdasarkan penelitian terhadap sanad-sanad hadis di atas, ada beberapa

kesimpulan yang dapat diambil peneliti antara lain:

1. Semua hadis di atas bersandar kepada Rasulullah Saw., artinya semuanya

berkategori marfû’, lebih spesifiknya marfû’ qaulî haqîqî .

2. Ditinjau dari isi hadis, kesemuanya berupa ungkapan Nabi Saw., artinya

termasuk kategori hadis qaulî.

3. Ditinjau dari jumlah perawi yang meriwayatkan hadis di atas, hadis model

pertama hanya diriwayatkan oleh Sahabat Ibn ‘Abbas bahkan hingga tâbi’ al-

tabi‘în diriwayatkan oleh satu perawi saja, oleh karena itu hadis tersebut

dinilai sebagai hadis garîb, demikian pula dengan hadis model kedua yang

juga garîb mulai dari Sahabat Jundub bin ‘Abdillâh hingga tâbi’ al-tabi‘în.

4. Pada hadis model pertama semua jalurnya melalui ‘Abd al-A’lâ yang menurut

sebagian ulama seperti Abû Zur‘âh menilainya da‘îf al-hadîts, Abû Hâtim dan

al-Nasâ’î menilainya laisa bi al-qawî, namun menurut sebagian, seperti al-

Turmudzî tidak sampai tingkatan da’îf melainkan hasan, bahkan al-Hakîm

menilainya sahîh, hal ini disebabkan al- Hakîm dinilai oleh ulama dari

kalangan mutasahil. Tingkat pen-tajrih-annya terhadapnya adalah yang paling

rendah, dan ulama yang tajrih-nya adalah ulama yang terkenal berkesangatan

bila men-tajrih seorang perawi yakni Abû Hâtim dan al-Nasâ’î. Oleh karena

itu, penulis lebih condong pada penilaian moderat al-Turmudzî yakni ‘Abd

al-A’lâ adalah orang yang hasan.

Hanya saja pada jalur riwayat Ahmad melalui Mu’ammal saja yang secara

Page 62: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

jelas jalurnya lemah sebab Mu’ammal dinilai sebagian ulama seperti

al-Daruqutnî dan Ibn Sa‘d yang menilainya tsiqah namun sering khata’

ataupun galat (salah) dan al-Bukhârî yang menilai munkar al-hadîts, sehingga

dalam sanad ini terdapat perawi yang lemah. Akan tetapi jalur ini memiliki

tabî` dari jalur Ahmad melalui wakî’, Abû al-Walîd dan ‘Affân maka kembali

kepada status keseluruhan sanad hadis ini berkualitas hasan.

5. Adapun hadis model kedua, semua perawinya tidak bermasalah kecuali satu

yaitu Suhail bin ‘Abdillâh, yang seluruh jalur sanad baik dari al-Turmudzî

maupun Abû Dâwud melewati Suhail ini. Suhail dinilai laisa bî al-qawî, dan

ulama yang menilainya seperti itu adalah ulama yang terkenal berkesangatan

bila men-tajrih seorang perawi yakni Abû Hâtim dan al-Nasâ’î. Di sisi lain Ibn

Ma’în yang juga terkenal berkesangatan dalam men-tajrih memberikan

penilaian sâlih kepada Suhail. Oleh karena itu, menurut penulis hadis yang

diriwayatkan oleh Suhail masih boleh untuk ditulis tetapi tidak bisa dijadikan

hujjah sebagaimana penilaian yang diutarakan oleh Abû Hâtim. Sehingga

dapat disimpulkan bahwa keseluruhan sanad hadis ini berkualitas hasan

6. Tentang tinjauan matan hadis, tampaknya antara satu jalur sanad dengan jalur

sanad lainnya tidak terlalu banyak perbedaan, hanya teknis istilah saja seperti

pada kata al-ra’y dan bi gair ‘ilm, dan akan dibahas dalam bab berikutnya.

Page 63: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

BAB IV

PEMAHAMAN TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL HADIS LARANGAN

MENAFSIRKAN AL-QUR’AN DENGAN RA'Y

A. Tafsir Bi al-Ra’y

Salah satu penjelasan syârih al-hadîts yang dikutip al-Mubârakfûrî

menyebutkan secara kongkrit bentuk penafsiran yang menggunakan ra’y, di

antaranya penafsiran ‘Abd al-Rahmân al-Asam, al-Jubbâ‘î, ‘Abd al-Jabbâr,

al-Hanî, al-Zamakhsyarî dan mereka yang sealiran dengan mereka. Tampaknya

penilaian ini lebih karena mereka dari kalangan mu’tazilî yang dikenal sebagai

kelompok rasionalis yang berseberangan dengan ahl al-sunnah, sebagaimana

diterangkan al-Imam Ibn al-‘Arafah al-Malikî.77

Melalui contoh ini kemudian sebagian menunjuk kepada karya tafsir

seperti al-Kasysyâf dan beberapa kitab tafsir lain yang dikelompokkan oleh ulama

berikutnya sebagai kelompok tafsir bi al-ra’y. Terlepas dari pembenaran atau

koreksi ulang terhadap pengkategorian tersebut, penulis tertarik mengupas

kembali istilah yang digunakan ulama tentang tafsir bi al-ra’y sebagai salah satu

tipologi tafsir, di samping tafsir bi al-riwâyah ataupun bi al-isyâri.

Tafsir bi al-ra’y adalah penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan al-

ra’y. Kata al-ra’y memiliki beberapa pengertian, di antaranya al-i’tiqâd (paham,

aliran), al-ijtihâd, al-qiyâs (analogi) sebagaimana sebutan ahl al-ra’y sering

77 Al-Mubârakfûrî, Tuhfah al-Ahwazî bi Syarh Jâmi’ al-Turmudzî, juz 8, h. 224.

Page 64: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

digunakan untuk menyebut kalangan ashâb al-qiyâs (para pengguna analogi).78

Dalam penggunaanya, kata al-ra’y sering digunakan kalangan ulama tafsir

untuk menyebut penafsiran dengan ijtihad. Sudah barang tentu mufassir yang

masih menerima term al-ra’y ini sebagai ijtihad memberikan batasan tafsir bi al-

ra’y yang dimaksudkan adalah penafsiran yang dilakukan setelah mufassir

memahami ungkapan orang Arab dengan seluk beluknya, sekaligus mengetahui

bentuk lafaz sekaligus cakupan maknanya serta dibantu syair Arab yang akrab

digunakan, memahami latar belakang turunnya, memahami nasâkh mansûkh dari

ayat-ayat al-Qur’an dan sebagainya yang dibutuhkan oleh mufassir.79

Imam ‘Alî al-Sâbûnî berpendapat bahwasanya tafsir bi al-ra’y adalah

ijtihad yang berdasarkan dasar-dasar dan juga kaidah-kaidah yang benar, bukan

berdasarkan hawa nafsu, bukan berdasarkan sesuatu yang mengkhawatirkan bagi

manusia dan bukan berdasarkan keinginannya sendiri.80

Sebagain ulama memaknai tafsîr bi al-ra’y sebagai bentuk penafsiran

yang dibangun melalui pemahaman lafaz sekaligus mengambil hukum darinya

yang mana lafaz itu sendiri menuntut adanya pengerahan kemampuan (ijtihad)

atau pengerahan al-ra’y yang dibangun atau prinsip-prinsip yang benar dan

lurus.81

Terlepas dari definisi di atas, tampaknya para ulama pro kontra terhadap

78 Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Hadisah, tt), jilid 1, h. 255.

79 Hasan Yûnus ‘Ubaid, Dirâsat wa Mabâhits fî Tarîkh al-Tafsîr wa Manâhij al-Mufassirîn, (Mesir: Markâz al-Kitâb Ii al-Nasyr, tt), h. 100.

80 Muhammad ‘Alî al-Sâbûnî, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1984), h. 155.

81 Kamîl Mûsâ dan ‘Alî Dahruj, Kaifa Nafham al-Qur’ân, Dirâsah fî al-Mazâhib al-Tafsriyah wa Ijtihâdihâ, (Beirut: Dâr al-Mahrusah, 1992), h. 211.

Page 65: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

penafsiran bi al-ra’y ini, di antara mereka ada yang secara keras tidak

memperkenankan, sebagian lain membolehkannya.

Mereka yang menolak tafsir bi al-ra’y mengemukakan argumen di

antaranya:

1. Mengungkapkan atau mengomentari ayat-ayat Allah tanpa ilmu atau hanya

didasarkan pada zann (dugaan) semata condong menghasilkan sesuatu yang

tercela, karenanya hal itu terlarang.82 Dengan dalil surat al-A’râf ayat 33 :

Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui."

yang intinya haram mengada-adakan sesuatu terhadap Allah dengan apa yang

tidak diketahui. Ayat yang lain adalah Surat al-Isrâ’ ayat 36 tentang larangan

mengikuti atau menetapkan sesuatu yang tidak didasari pengetahuan.

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.

2. Allah berfirman dalam Surat al-Nahl ayat 44 yang intinya Nabi diberikan

otoritas menjelaskan isi al-Qur’an, karenanya yang lain tidak, memiliki

otoritas.

82 Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid 1, h. 256.

Page 66: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.

3. Hadis-hadis yang diteliti dalam penelitian ini adalah hadis-hadis yang

dijadikan dasar larangan tegas menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’y.

ليع كذب نفم متملا عي إلا منيث عدقوا الحقال ات لمسو هليلى اللهم عص بين النع نم هدقعأ موبتفلي أيهبر آني القرقال ف نمار والن نم هدقعأ موبتا فليدمعتمارالن

Dari Nabi Saw., beliau bersabda: “takutlah kalian (hati-hati dalam memegangi) hadis-hadis dariku kecuali yang benar-benar telah aku ajarkan kepada kalian, barangsiapa berbohong atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya dari api neraka, siapa yang mengatakan sesuatu tentang al-Qur’an dengan ra’y-nya maka hendaklah ia menempati tempat duduknya dari api neraka”. Sementara mereka yang membolehkan tafsir bi al-ra’y menggunakan

argumen sekaligus menanggapi argumen yang melarang hal itu sebagai berikut:

Tentang tanggapan poin pertama, yang memperkenankan penggunaan ra’y

sebagai alat untuk menafsirkan dengan alasan:

a. Allah tiada membebani manusia di atas batas kemampuannya sebagaimana

tertuang dalam Surat al-Baqarah ayat 286:

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.

b. Nabi Muhammad Saw. menganjurkan umatnya untuk menggunakan

seluruh kemampuan akalnya dalam memecahkan persoalan yaitu dengan

Page 67: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

berijtihad disertai stimulan atau dorongan kepada upaya ini yaitu mereka

yang berijtihad dan benar hasilnya maka ia memperoleh dua pahala,

sementara mereka yang telah berusaha sungguh-sungguh (berijtihad) tetapi

hasilnya salah tetap akan diberikan satu pahala.

c. Nabi Saw. bangga dan berbahagia atas diri Mu‘âz yang memahami

prosedur dalam memutuskan suatu perkara, ketika ia diutus ke Yaman,

yaitu dengan al-Qur’an, bila tidak ditemukan maka dengan al-Sunnah dan

bila tidak dijumpai, maka berijtihad. 83

Menanggapi point kedua, ulama yang memperkenankan penggunaan ra’y

dalam penafsiran menjawab bahwa ayat tentang fungsi bayân Nabi Saw. adalah

selama Nabi Saw. hidup dan persoalan pemahaman terhadap al-Qur’an pada

masanya dapat terselesaikan, namun perlu diingat bahwa tidak semua ayat

dijelaskan oleh Nabi, disamping itu persoalan terus berkembang, sementara Nabi

Saw. telah wafat, karenanya persoalan yang tidak ada penjelasan dari Nabi Saw.

diserahkan kepada para ulama. 84

Tentang point ketiga ditanggapi sebagai bentuk larangan menafsirkan al-

Qur’an yang di dalamnya mengandung unsur dorongan nafsu atau mereka yang

hanya mendasarkan zahir nash tanpa memperhatikan sunnah Nabi Saw. ataupun

atsâr sahabat yang memahami betul situasi dan kondisi saat suatu ayat turun.

Lebih dari itu ulama memandang bahwa makna al-ra’y dalam hadis tersebut

adalah upaya menafsirkan ayat-ayat yang musykil dipahami dengan akalnya

83 Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid 1, h. 261. 84 Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid 1, h. 261.

Page 68: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

semata, al-ra’y dipahami pula sebagai al-hawâ (hawa nafsu) tanpa dalil atau

bukti-bukti, atau dipahami pula sebagai fanatisme yang timbul dalam dirinya

sehingga ia cenderung mernahami sesuai pendapat yang diikutinya padahal ia

sadar bahwa kebanaran ada pada pihak lain. Al-ra’y tersebut juga dimaksudkan

adalah kebodohan sebagaimana di dalam riwayat lain menggunakan istilah bi gair

‘ilm, dan terakhir pemaknaan al-ra’y dalam hadis tersebut dipahami sebagai cara

melihat dan memahami al-Qur’an sebatas zahirnya tanpa memperhatikan riwayat

yang terkait dengannya.85

Imam al-Gazâlî mengatakan di dalamnya kitabnya Ihyâ ‘Ulum al-Dîn:

“Sesungguhnya terdapat ruangan yang sangat luas dalam memahami makna-makana al-Qur’an. Dan sesungguhnya menukil dari tafsiran yang Nampak saja bukan batas akhir untuk memahami. Maka mendengar (menukil) di dalam menafsirkan adalah tidak benar. Dan diperbolehkan bagi setiap orang untuk ber-istinbât (menarik kesimpulan) dari al-Qur’an sebatas pemahamannya saja.”86 Untuk mengukuhkan argumen bolehnya menafsirkan al-Qur’an dengan

ra’y, mereka mengemukakan dalil al-Qur’an Surat Muhammad ayat 24 yang

memuat tentang pertanyaan retoris: “apakah mereka tiada memperhatikan

al-Qur’an atau hati mereka telah terkunci?”, karenanya menurut mereka ijtihad

adalah bagian yang harus ada, menghilangkan fungsi al-ra’y dalam memahami

al-Qur’an berarti meniadakan ijtihad.

Muhammad bin’Abdullah al-Zarkâsyî di dalam kitabnya al-Burhân fî

‘Ulûm al-Qur’ân mengatakan bahwa :

85 Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid 1, h. 258. 86 Muhammad bin Muhammad al-Gazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, (Beirut: Dâr al-Kutub al-

‘Ilmiyyah, tt.), Juz 1, h. 343.

Page 69: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

“Al-Qur’an itu diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia, jika tidak diperbolehkan menafsirkannya maka tidak dapat dijadikan petunjuk. Jika demikian maka diperbolehkan bagi seseorang untuk mengetahui bahasa Arab dan keadaan diturunkannya al-Qur’an untuk menafsirkannya. Dan bagi orang yang tidak mengetahui beberapa sudut pandang menafsirkan, maka hendaknya ia menafsirkan sebatas apa yang ia dengar (menukil).”87 Mereka juga berargumen bahwa Nabi Saw. pernah secara khusus

mendo’akan Ibn ‘Abbâs dengan ucapan: allâhumma faqqihhu fî al-Dîn wa

‘a11imhu al-ta’wî1a (Ya Allah limpahkanlah pemahaman dalam agama

kepadanya dan berilah pengetahuan kepadanya tentang penakwilan), sekiranya

takwil hanya kembali kepada yang ma’tsûr (nash hadis Nabi Saw.), maka apalah

gunanya do’a tersebut.88

Demikianlah sekilas pro kontra di sekitar boleh dan tidaknya tafsir bi al-

ra’y berikut argumen masing-masing. Kedua-duanya sulit dipertemukan, namun

bila dilihat dari substansinya, sebenarnya keduanya memiliki titik temu,

sebagaimana yang akan dijelaskan pada sub bab berikutnya.

B. Pemahaman Tekstual Hadis Larangan Menafsirkan Al-Qur’an Dengan

Ra’y

Hadis-hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y yang telah

dipaparkan sebelumnya, bila dipilah-pilah berdasarkan penggalan kata yang syarat

akan keragaman interpretasi adalah sebagai berikut :

Pertama, من قال dalam riwayat lain من كذب; Kedua, في القرآن atau على القرآن,

87 Muhammad bin’Abdullah al-Zarkâsyî, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-

Fikr, 1988), Juz 2, h. 180. 88 Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid 1, h. 263.

Page 70: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

dalam riwayat lain في كتاب اللھ ; Ketiga, برأیھ, dalam riwayat lain بغیر علم; Keempat,

ده من النارفلیتبوأ مقع ,dan Kelima , فأصاب فقد أخطأ .

Adapun penjelasan secara rinci penggalan-penggalan hadis di atas adalah

sebagai berikut:

Pertama, hadis di atas diawali statement Nabi Saw. من قال (siapa yang

menyatakan), mengandung pengertian siapa saja yakni umat Muhammad sendiri

ataupun bukan, orang yang ada pada masa Nabi ataupun sesudahnya dan siapa

saja tanpa terikat oleh apapun khususnya setelah ucapan ini diluncurkan, untuk

tidak menyatakan baik secara lisan maupun tertulis, dalam syarah ‘Aun al-Ma’bûd

mencakup pula makna "memperbincangkan" (takallama)89 sesuatu yang

disebutkan dalam kalimat berikutnya. Dalam riwayat lain menggunakan kata كذب

(berbohong) atau mengatakan yang bukan sebenarnya, atau mengatakan yang

tidak dikatakan atau pernyataan yang disadari bukan kebenaran (qaulan yu’lamu

anna al-haqqa gairuhu), demikian pernyataan al-Qarî maupun al-Manâwî

sebagaimana dikutip al-Sa‘âtî.90 Al-Manâwî juga memberikan pengertian lain

dalam kitab al-Musykîl yaitu pernyataan yang tidak ia kenali, atau tidak diketahui

atau tidak dimengerti.91

Kedua, sesuatu yang dinyatakan atau diperbincangkan tersebut adalah

sesuatu yang ada di dalam al-Qur’an (في القرآن) atau dalam riwayat lain في كتاب اللھ

sebagai istilah atau sebutan lain dari al-Qur’an itu sendiri. Sudah barang tentu

89 Abû al-Tayyib Muhammad Syâm al-Haq al-‘Azîm Âbâdî, ‘Aun al-Ma’bûd, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415), juz 10, h. 61.

90 Ahmad ‘Abd al-Rahmân al-Banna al-Sa‘âtî, al-Fath al-Rabbânî, (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turas al-‘Arabi, tt), Juz 18, h. 62.

91 Abû al-‘Ulâ Muhammad ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Abd al-Rahîm al-Mubârakfûrî, Tuhfah al-Ahwazî bi Syarh Jâmi’ al-Turmudzî, (Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, tt), juz 8, h. 223.

Page 71: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

yang diperbincangkan bukan al-Qur’an-nya itu sendiri melainkan apa yang ada di

dalamnya, ada yang memaknai arti yang dikandung di dalamnya adalah tentang

lafaznya maupun maknanya.92 Maksud hadis ini ditujukan kepada siapa saja yang

mengucapkan atau mengungkapkan, lebih-lebih berbohong mengungkapkan yang

tidak benar atau menyalahi yang sebanarnya dari apa-apa yang ada di dalam al-

Qur’an baik lafaz (wilayah qira’at) maupun maknanya (wilayah takwil dan tafsir).

Ketiga, keterangan lebih lanjut pengungkapan tentang isi al-Qur’an (lafaz

maupun makna) tersebut dilakukan dengan cara atau timbulnya dari ra’y atau

dalam riwayat lain diungkapkan dengan kata بغیر علم (tanpa pengetahuan). Al-ra’y

mengandung pengertian pendapat yang bukan bersumber dari nash, sebagaimana

kalangan Muhadditsîn menyebut para ulama yang menggunakan qiyâs sebagai ahl

al-ra’y, yang mereka maksudkan adalah karena mereka berpegang kepada

pendapat mereka sendiri terhadap hal-hal yang musykil pada nash, atau dengan

kata lain mereka yang tidak menghadirkan argumen di dalamnya dengan hadis

atau atsâr.93 Lebih jauh para syârih al-hadîts memahami kata برأیھ sebagai

ungkapan yang didasarkan pada akalnya semata atau simbol dari nafsunya sendiri

tanpa diikuti pernyataan para tokoh atau ahli bahasa Arab yang sesuai dengan

kaedah-kaedah syar‘iyyah.94 Artinya mengungkapkan makna al-Qur’an dengan

menggunakan kaedah-kaedah bahasa Arab yang sesuai dengan manhaj

‘al-syar‘iyyah tidak termasuk dalam kategori bi ra’yih. Lebih-lebih dalam riwayat

lain diungkapkan dengan term بغیرعلم yang dimaknai oleh para syârih sebagai

92 Al-Mubârakfûrî, Tuhfah al-Ahwazî bi Syarh Jâmi’ al-Turmudzî, juz 8, h. 225. 93 Jamâl al-Dîn Muhammad bin Mukarram al-Ifriqî al-Misrî Abû al-Fadl, Lisân al-‘Arab,

(Beirut: Dâr al-Sadîr, 1990), juz 14, h. 300. 94 Al-Mubârakfûrî, Tuhfah al-Ahwazî bi Syarh Jâmi’ al-Turmudzî, juz 8, h. 224.

Page 72: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

ungkapan yang tidak di dasari dalil yaqinî maupun dalil zannî baik naql (nash

al-Qur’an maupun hadis) maupun ‘aql (logika-logika, mantiq, qiyâs dan

sejenisnya) yang masih selaras dengan syariat.95 Sehingga hasil ijtihad dalam

konteks hadis ini tidak masuk dalam kategori bi gair ‘ilm selama menggunakan

kaedah-kaedah atau selaras dengan prinsip-prinsip syar‘î. Lebih-lebih Nabi Saw.

sendiri memperkenankan penggunaan ijtihad ketika tidak ada dasar nash al-

Qur’an maupun hadis bahkan Nabi Saw. sendiri dalam beberapa hal menggunakan

qiyâs untuk menjawab suatu permasalahan dan sebagainya.

Keempat, hadis di atas dilanjutkan dengan penegasan فأصاب فقدأخطأ

(sekiranya benar maka ia telah berbuat kesalahan), artinya hasil dari

pengungkapan yang muncul dari dorongan nafsu semata, atau muncul dari

otaknya tanpa dilandasi kaedah-kaedah atau tidak selaras dengan prinsip-prinsip

syar‘î, maka sekalipun benar maka tetap bersalah, sebab benarnya adalah suatu

kebetulan sedangkan salahnya karena faktor prosedurnya.

Sebagaimana ulama memberikan penjelasan atas kalimat ini, seperti Ibn

Hajar yang menyatakan kesalahannya. karena prosedur yang diberlakukan secara

tidak konsisten, padahal Kalamullâh satu kata saja bila tidak dipahami dari kaedah

bahasa, seperti nahwu, saraf, balagah, dan lainnya akan membawa konsekuensi

makna yang berbeda, demikian pula suatu ayat yang didalamnya terkait dengan

ayat lain membutuhkan telaah historis (sabâb al-nuzul), nasâkh mansûkh dan lain

sebagainya.96 Al-Turbutsî yang dikutip al-Mubârakfûrî menyatakan bahwa yang

95 Al-Mubârakfûrî, Tuhfah al-Ahwazî bi Syarh Jâmi’ al-Turmudzî, juz 8, h. 223. 96 Al-Mubârakfûrî, Tuhfah al-Ahwazî bi Syarh Jâmi’ al-Turmudzî, juz 8, h. 225.

Page 73: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

dimaksudkan dengan bi al-ra’y adalah sesuatu yang tidak dilandasi atau

melandaskan pada ilmu-ilmu al-Qur’an dan Sunnah, di antaranya tolok ukur

kebahasaan, dalam hal ini bahasa Arab, lalu ilmu asbâb al-nuzul, al-nasîkh wa

al-mansûkh, ‘am dan khâs, mujmal dan sebagainya, akan tetapi pernyataan yang

muncul karena tuntutan akalnya sendiri, maka siapa saja yang melakukan tanpa

memenuhi persyaratan di atas adalah salah di atas hal yang benar, itulah sebabnya

ia membedakan antara mujtahid dan mutakkallif, mujtahid diberi pahala sekalipun

salah, sedangkan mutakkalif diazab sekalipun benar.97 Perbedaan antara keduanya

menurut penulis terletak pada prosedur (manhaj). Abû al-Tayyib Âbâdî

menambahkan bahwa maksud pernyataan dengan al-ra’y adalah tanpa landasan

pengetahuan akan pokok-pokok serta cabang-cabang ilmu yang terkait sehingga

sekiranya ada kesesuaian yang tanpa disadarinya, bukanlah sesuatu yang terpuji.98

Kelima, sebagai konsekuensi mereka yang mengungkapkan isi al-Qur’an

dengan prosedur yang salah yaitu melalui nalar ansich atau tanpa dasar ilmu-ilmu

yang terkait, lebih lebih muncul dari hawa nafsunya, maka disediakan bagi

mereka tempat yang sesuai dengan kecerobohannya tersebut yaitu فلیتبوأ مقعده من النار

(maka hendaklah ia menempati tempat duduknya dari api), umumnya ulama

menerjemahkan kata النار dengan api neraka terutama yang terkait dengan

ancaman-ancaman agama. Bentuk perintah di dalam hadis ini dipahami sebagai

bentuk ancaman, ada pula yang memaknai perintah dalam hadis ini menunjukkan

berita saja, artinya diberitakan bahwa mereka yang sengaja mengungkapkan isi al-

Qur’an tanpa dasar ilmu atau muncul dari nafsu atau akal-nya semata akan

97 Al-Mubârakfûrî, Tuhfah al-Ahwazî bi Syarh Jâmi’ al-Turmudzî, juz 8, h. 226. 98 Abû al-Tayyib Âbâdî, ‘Aun al-Ma’bûd, juz 10, h. 61.

Page 74: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

ditempatkan ditempat dari api neraka. Ibn Hajar al-‘Asqalânî sebagaimana yang

dikutip al-Mubârakfûrî menyatakan bahwa ancaman ini ditujukan kepada kaum

pembuat bid‘ah yang menghilangkan begitu saja lafaz al-Qur’an untuk maksud

yang mereka kehendaki sehingga dari segi prosedur mereka telah rnembuat

kesalahan dalam pengambilan dalil maupun nashnya.99

Semakin jelas sudah makna hadis di atas ditinjau dari sisi lafaznya dengan

berbagai kemungkinan kandungan di dalamnya jelas sekali bahwa ancaman hadis

ini diberikan kepada siapa saja yang melakukan upaya pemaknaan al-Qur’an

dengan akal semata lebih-lebih dengan nafsunya atau tanpa landasan pengetahuan

yang memadai dan terkait dengan al-Qur’an. Kalau diperhatikan lebih jauh dari

setting statemen ini, tampaknya hadis ini sedang membicarakan tentang keharusan

umat Islam atau siapa saja yang akan mendalami al-Qur’an memiliki bekal ilmu

khususnya terhadap sunnah Nabi yang di dalamnya memuat penjelasan beliau

(sebagai mubayyin al-Qur’an) guna memahami al-Qur’an secara benar dan bukan

sebaliknya tergesa menafsiri dengan akalnya sendiri dengan mengabaikan apa

yang telah dijelaskan Nabi. Kalau hal itu dilakukan berarti dia telah berbohong

atas nama Nabi Saw., karena otoritas penjelasan ada padanya, tanpa berkonsultasi

dengan penafsirannya atau manhaj penafsiran Nabi Saw. tersebut berarti telah

berbohong atas namanya. Ungkapan inilah yang tampak pada bagian awal hadis

yang sedang diteliti ini yaitu: علمتم takutlah kalian/hati-hatilah) اتقوا الحدیث عني إلا ما

terhadap hadis-hadis dariku kecuali yang benar-benar telah aku ajarkan kepada

kalian), makna takutlah kalian di atas adalah anjuran untuk waspada kalau perlu

99 Al-Mubârakfûrî, Tuhfah al-Ahwazî bi Syarh Jâmi’ al-Turmudzî, juz 8, h. 224.

Page 75: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

menjauhi apa apa yang dinyatakan sebagai hadis dari Nabi, kecuali benar-benar

hal itu telah diajarkan Nabi Saw. (disimak dan dipelajari sahabatnya). Lebih-lebih

menyatakan sesuatu untuk menguatkan argumennya atau pelaksanaan agamanya

dengan mengatasnamakan hadis Nabi Saw., atau bersumber dari Nabi Saw.

Dan apabila diterapkan berbagai tolak ukur penelitian matan, maka

kandungan matan-matan hadis yang tersebut dapat dinyatakan sebagai maqbûl

(dapat diterima) dengan alasan:

1. Tidak bertentangan dengan al-Qur’an.

Hadis-hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y tidak

bertentangan dengan al-Qur’an seperti pada ayat-ayat berikut:

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran. (QS. Sâd : 29)

Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci? (QS. Muhammad : 24)

Namun ada juga ayat al-Qur’an yang lain yang mempunyai makna secara

eksplisit bertentangan dengan hadis tersebut, namun secara insplisit tidak

bertentangan dan dapat di-jam’u (dikompromikan), yaitu:

Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. (QS. Al-Baqarah : 169)

Page 76: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS. Al-Isrâ’ : 36)

Ayat-ayat tersebut memerintahkan agar tidak berbicara tentang sesuatu

yang belum kita ketahui hanya didasarkan pada akalnya semata atau dari nafsunya

sendiri tanpa diikuti pernyataan para tokoh atau ahli bahasa Arab yang sesuai

dengan kaedah-kaedah syar‘iyyah.100

2. Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat.

Nabi Saw. pernah secara khusus mendo’akan Ibn ‘Abbâs dengan ucapan:

allâhumma faqqihhu fî al-Dîn wa ‘a11imhu al-ta’wî1a (Ya Allah limpahkanlah

pemahaman dalam agama kepadanya dan berilah pengetahuan kepadanya tentang

penakwilan), sekiranya takwil hanya kembali kepada yang ma’tsûr (nash hadis

Nabi Saw.), maka apalah gunanya do’a tersebut.101

3. Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan juga sejarah.

Larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y pada hadis tersebut adalah

ra’y yang di dalamnya mengandung unsur dorongan nafsu atau mereka yang

hanya mendasarkan zahir nash tanpa memperhatikan sunnah Nabi Saw. ataupun

atsâr sahabat yang memahami betul situasi dan kondisi saat suatu ayat turun.

Lebih dari itu ulama memandang bahwa makna al-ra’y dalam hadis tersebut

adalah upaya menafsirkan ayat-ayat yang musykil dipahami dengan akalnya

semata, al-ra’y dipahami pula sebagai al-hawâ (hawa nafsu) tanpa dalil atau

100 Al-Mubârakfûrî, Tuhfah al-Ahwazî bi Syarh Jâmi’ al-Turmudzî, juz 8, h. 224. 101 Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid 1, h. 263.

Page 77: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

bukti-bukti, atau dipahami pula sebagai fanatisme yang timbul dalam dirinya

sehingga ia cenderung mernahami sesuai pendapat yang diikutinya padahal ia

sadar bahwa kebanaran ada pada pihak lain. Al-ra’y tersebut juga dimaksudkan

adalah kebodohan sebagaimana di dalam riwayat lain menggunakan istilah bi gair

‘ilm, dan terakhir pemaknaan al-ra’y dalam hadis tersebut dipahami sebagai cara

melihat dan memahami al-Qur’an sebatas zahirnya tanpa memperhatikan riwayat

yang terkait dengannya.102 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis

tersebut tidak bertentangan dengan akal, indera dan juga sejarah.

4. Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.

Pada matan-matan hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y

memiliki susunan pernyataan yang menunjukkan ciri-ciri sabda nabi seperti tarhîb

(hal yang memberikan ancaman) dengan maksud mendorong umatnya untuk

menjauhi apa yang dilarang oleh agama yang pada matan tersebut dijelaskan

dengan ancaman neraka bagi orang yang menafsirkan al-Qur’an dengan hanya

mengunakan ra’y semata tanpa menggunakan ilmu yang mendukung untuk

menafsirkan.

C. Pemahaman Kontekstual Hadis Larangan Menafsirkan Al-Qur’an

Dengan Ra’y

Untuk mendapatkan titik temu antara hadis yang melarang menafsirkan

dengan ra’y dengan tafsir bi al-ra’y maka diperlukan upaya kompromi sehingga

ulama menilai kembali kepada tafsir yang ada apakah masuk dalam kategori bi al-

102 Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid 1, h. 258.

Page 78: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

ra’y yang diancam Nabi Saw. tersebut, ataukah masuk kategori bi al-ra’y yang

komprehensif, al-ra’y yang dianjurkan Nabi Saw. untuk ditumbuh kembangkan

yaitu sesuai semangat al-Qur’an yang mendorong manusia untuk senantiasa

mendayagunakan akal pikirannya.

Tampaknya pemahaman seperti ini juga telah dilakukan beberapa ulama

bahwa perbedaan yang muncul di kalangan ulama pro pelarangan tafsir bi al-ra’y

dan yang membolehkannya, sebenarnya bukan pada tataran makna al-ra’y secara

kontekstual, melainkan pada tataran tekstual saja.103

Secara garis besar pemaknaan al-ra’y dalam perdebatan ini perlu dipahami

dari dua sisi, yaitu:

1. Sekiranya al-ra’y itu digunakan pada ayat dengan tetap memiliki kesesuaian

dengan ungkapan orang Arab juga seirama dengan kandungan al-Qur’an dan

al-Sunnah (secara umum) berikut tetap memelihara keseluruhan persyaratan

yang dibutuhkan dalam menafsirkan al-Qur’an, maka penggunaan al-ra’y

seperti ini diperbolehkan tanpa keraguan.

2. Sebaliknya, bila al-ra’y tersebut diberlakukan tanpa memandang ketentuan-

ketentuan kebahasan (dalam hal ini bahasa Arab) juga tidak sesuai dengan

dalil-dalil syar‘î atau tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang

dibutuhkan di dalam penafsiran. Maka semua ulama sepakat penggunaan al-

ra’y yang demikian ini terlarang.

Point yang kedua di atas inilah yang menurut penulis sebagai pemahaman

makna al-ra’y dalam konteks hadis, mengingat hadis tersebut menekankan makna

103 Kamîl Mûsâ dan ‘Alî Dahruj, Kaifa Nafham al-Qur’ân, Dirâsah fî al-Mazâhib al-Tafsriyah wa Ijtihâdihâ, h. 215.

Page 79: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

al-ra’y sebagai nalar akal ansich (tanpa didasari pengetahuan / bi gair ‘ilm).

Kata bi ra’yih dalam hadis tersebut sudah sangat jelas mengacu kepada

kemampuan akal belaka sehingga apabila dikaitkan dengan tafsir bi al-ra’y

sangatlah berbeda, karena tafsir bi al-ra’y walaupun didominasi oleh akal namun

tetap juga kembali kepada dasar syar‘î dan kaedah-kaedah yang berlaku selama

penafsiran.

Lebih-lebih bila kita pahami hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan

ra’y tersebut dalam bingkai keutuhan dakwah Nabi Muhammad Saw., yang di

dalamnya juga menganjurkan umatnya untuk mendayagunakan akalnya, juga

tidak menyalahkan bahkan bangga kepada mereka yang senantiasa berpegang

teguh kepada al-Qur’an dan al-Sunnah kemudian mencari solusi dengan ijtihad

bila secara eksplisit tidak dijumpai di dalam kedua sumber ajaran tersebut.

Namun demikian, sebagian juga dapat membantah pernyataan tersebut,

sebab persoalan yang dihadapi adalah ketika di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah

tidak ada, sementara yang diperdebatkan di dalam bahasan ini adalah memaknai

sesuatu yang telah ada yaitu ayat al-Qur’an. Maka dalam rangka menjawab hal ini

yang lebih tepat adalah keberadaan ayat-ayat al-Qur’an yang tidak keseluruhannya

mendapatkan penjelasan dari Nabi Saw.

Masyarakat Arab pada saat itu (para sahabatnya) tidak membutuhkan

penjelasan karena ayat-ayat al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas,

sehingga hanya ayat-ayat tertentu yang dianggap musykil oleh mereka sajalah

yang dimintakan penjelasannya dari Nabi Saw.

Dengan berjalannya waktu, juga perluasan wilayah Islam, sudah barang

Page 80: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

tentu telah terjadi pergeseran-pergeseran, mulai dari kebahasaan orang Arab

sendiri, lebih-lebih masyarakat yang bukan Arab, padahal Nabi Saw. sendiri,

sebagai pemilik otoritas penjelas telah tiada, maka sekiranya Nabi Saw. masih

hidup pastilah penjelasan ayat-ayat al-Qur’an semakin banyak dan bisa mencapai

seluruhnya, namun tidak demikian adanya. Nabi secara umum telah menunjukkan

metode yang tepat di dalam menafsirkan al-Qur’an yaitu dengan melalui tafsir al-

Qur’an itu sendiri, kemudian selainnya dapat dipahami dari kandungan bahasa

yang dimiliki al-Qur’an yang (setidaknya menurut ukuran bahasa para Sahabatnya

pada saat itu), oleh karenanya menjadi penting untuk memahami maksud al-

Qur’an dengan melihat cakupan bahasa berikut moment yang melatar belakangi

turunnya ayat tersebut.

Atas dasar ini pulalah sahabat seperti ibn ‘Abbâs melakukan penafsiran

terhadap al-Qur’an yang tidak semuanya bersumber dari Nabi Saw. melainkan

curahan pemikirannya yang diakui kemampuannya sekaligus beliau dikenal

mendapat do’a khusus dari Nabi Saw. agar ia mampu memahami agama dan

menguasai pengetahuan tentang pentakwilan suatu ayat. Ia menafsirkan melalui

telaah bahasa yang telah dikenal pada masa turunnya ayat yang kemudian

dikukuhkan dengan syair-syair yang tumbuh pada saat itu, demikan pula yang

terkait dengan cerita-cerita masa lalu dalam al-Qur’an, Ibn ‘Abbâs juga

menyandarkan kepada cerita Isrâilliyat yang dapat dipertanggungjawabkan dan

sebagainya.104

Ibn ‘Abbâs menggunakan ra’y-nya, bukan semata-mata muncul dari nalar

104 Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid 1, h. 263.

Page 81: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

apalagi nafsunya, melainkan muncul dari pengetahuan dan dukungan dalil atau

bukti-bukti yang dapat dipertanggung jawabkan. Sekiranya apa yang dia lakukan

ini sebagaimana yang dimaksudkan Nabi Saw. dalam hal larangan menafsirkan al-

Qur’an dengan ra’y, maka dapat dipastikan ibn ‘Abbâs tidak akan melakukan hal

itu, demikian pula dengan sahabat lainnya seperti Ibn Mas‘ûd, ‘Âisyah dan

lainnya.

Bagi kelompok yang menolak tafsir bi al-ra’y, mereka selalu

mengkategorikan sebagai tafsir Mu’tazilah yakni di luar Sunni, hal ini merupakan

anggapan ideologi semata. Karya-karya tafsir bi al-ra’y di antaranya penafsiran

‘Abd al-Rahmân al-Asam, ‘al-Jubbâ‘î, ‘Abd al-Jabbar, al-Hanî, al-Zamakhsyarî

dan tafsir-tafsir yang sealiran dengan mereka.

Maka dari sini Husain al-Dzahabî dan juga al-Sâbûnî mengkompromikan

antara pendapat yang menolak dan yang memperbolehkan tafsir bi al-Ra’y

dengan menjadikan dua golongan yaitu tafsir bi al-Ra’y Mahmûd dengan bi al-

Ra’y Mazmûm. Tafsir bi al-Ra’y Mahmûd ialah penafsiran al-Qur’an dengan

pendapat (akal) yang berdasarkan kaidah-kaidah bahasa Arab dan ilmu lainnya

yang mendukung ilmu tafsir dan sesuai dengan syariat.105 Sedangkan tafsir bi al-

Ra’y Mazmûm sebagaimana penjelasan Mannâ’ Khalîl al-Qattân yakni

menafsirkan al-Qur’an hanya dengan sebatas pemahamannya saja dan hanya

menggunakan ra’y (ijtihad) secara mutlak tanpa adanya pemahaman yang sesuai

dengan syariat.106

105 Al-Sâbûnî, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, h. 157. 106 Mannâ’ Khalîl al-Qattân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Muassasah al-Risâlah,

1990), h. 351.

Page 82: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

Berdasarkan pemaparan di atas maka menjadi sesuatu hal yang sangat

berbeda antara hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y dengan tafsir bi

al-ra’y karena tafsir bi al-ra’y merupakan tafsir yang dalam penafsirannya

mengedepankan akal namun tetap dalam bingkai kaidah syara’.

Sesungguhnya semua tafsir yang disebut dengan tafsir bi al-ra’y baik yang

Mu’tazilah, Syiah maupun Sunni tidak ada satupun di antaranya yang tidak

menggunakan akal (ra’yu) artinya tafsir bi al-ra’y yang lebih diidentikkan dengan

tafsir Mu’tazilah oleh golongan Sunni ini sebenarnya masih tetap dalam koridor

penafsiran yang memperhatikan ayat-ayat yang lain, hadis-hadis, kaidah-kaidah

bahasa arab serta memperhatikan pendapat ulama sebelumnya.

Alhasil tafsir bi al-ra’y memang dalam menafsirkannya didominasi oleh

akal namun tetap dalam kaidah syara’, jadi jika dihubungkan dengan hadis

larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y sangatlah berbeda, karena maksud

menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y pada hadis tersebut hanya dengan

pendapatnya semata.

Sebagai penutup bab ini penulis ingin mengemukakan contoh dari tafsir bi

al-ra’y yang dilarang dalam hadis tersebut, yakni yang dikemukakan oleh Syarîf

al-Murtadâ dari kalangan Mu’tazilah dalam kitabnya Amalî al-Murtadâ. Pada

firman Allah Swt. Dalam Surat al-Qiyâmah ayat 22-23 yang berbunyi:

Dapat dipahami bahwa kaum mukmin dapat dan akan melihat Tuhan

mereka kelak di hari Kiamat. Hal itu sejalan dengan penunjukkan tegas dan hakiki

dari kata ناظرة dalam ayat tersebut dan didukung oleh riwayat-riwayat yang sahih.

Page 83: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

Akan tetapi Syarîf al-Murtadâ mengatakan bahwa ناظرة dalam ayat itu tidaklah

dimaksud melihat dengan mata kepala, tetapi ia membawa kepada salah satu dari

beberapa kemungkinan arti lain yaitu االنتظار (menunggu) atau العطف والرحمة (kasih

sayang) atau التأمل والتفكر (berfikir dan merenungkan) atau التوقع والرجاء (menunggu)

atau kemungkinan arti lainnya. Di antara mereka bahkan ada yang mengatakan

bahwa kata الى dalam ayat tersebut bukanlah huruf, tapi merupakan kata benda

yang berarti nikmat. Sehingga ayat tersebut diartikan “menunggu nikmat Tuhan

mereka”. Pengertian tersebut menunjukkan suatu takwil yang sangat jauh dan

menyimpang serta bertolak dari segi uslûb al-bayân dan kaedah bahasa.107

Dengan maksud membela kepentingan aliran mereka, tokoh dari aliran ini

telah berani menundukkan sebagian dari lafaz dan ayat al-Qur’an dalam karyanya

sesuai dengan kehendak bebas nalarnya. Sehingga ulama menilai ini sebagai

tindakan yang berlebihan dalam menafsirkan al-Qur’an dan jauh dari

kebenaran.108

Demikianlah satu contoh tafsir terhadap ayat yang semata-mata hanya

berlandaskan rasio, tanpa didukung oleh dalil atau bukti yang dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya, serta telah secara sengaja menakwilkan al-

Qur’an sesuai nalar bebas mereka.

107 Kusmana dan Syamsuri, ed., Pengantar Kajian Al-Qur’an: Tema Pokok, Sejarah dan

Wacana Kajian, (Jakarta: Pustaka AlHusna Baru, 2004), h. 191. 108 Kusmana dan Syamsuri, ed., Pengantar Kajian Al-Qur’an, h. 190.

Page 84: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian terhadap hadis-hadis larangan menafsirkan

al-Qur’an dengan ra’y, maka dapat disimpulkan bahwa kualitas keseluruhan hadis

tidak sampai derajat sahih, melainkan hasan saja, karena terdapat perawi yang

tingkat ke-dabit-annya lemah seperti ‘Abd al-A’lâ dan Mu’ammal pada jalur

sanad hadis model pertama. Dan Suhail bin ‘Abdillâh pada jalur sanad model

kedua.

Apabila ditinjau dari isi hadis, kesemuanya berupa ungkapan Nabi Saw.,

artinya termasuk kategori hadis qaulî. Semua hadis tersebut bersandar kepada

Rasulullah Saw., artinya semuanya berkategori marfû’, lebih spesifiknya marfû’

qaulî haqîqî Dan apabila ditinjau dari jumlah perawi yang meriwayatkan hadis

tersebut, hadis model pertama hanya diriwayatkan oleh Sahabat Ibn ‘Abbâs

bahkan hingga tâbi’ al-tabi‘în diriwayatkan oleh satu perawi saja, oleh karena itu

hadis tersebut dinilai sebagai hadis garîb, demikian pula dengan hadis model

kedua yang juga garîb mulai dari Sahabat Jundub bin ‘Abdillâh hingga tâbi’ al-

tabi‘în.

Tentang kandungan hadis tersebut terdapat perbedaan beberapa ulama

yakni yang melarang menafsirkan dengan ra’y dan yang membolehkannya, dan

apabila diteliti kembali sebenarnya perbedaan pendapat tersebut bukan pada

tataran makna al-ra’y secara kontekstual, melainkan pada tataran tekstual saja.

Page 85: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

Sehingga secara garis besar pemaknaan al-ra’y dalam perdebatan ini perlu

dipahami dari dua sisi, yaitu:

3. Sekiranya al-ra’y itu digunakan pada ayat dengan tetap memiliki kesesuaian

dengan ungkapan orang Arab juga seirama dengan kandungan al-Qur’an dan

al-Sunnah (secara umum) berikut tetap memelihara keseluruhan persyaratan

yang dibutuhkan dalam menafsirkan al-Qur’an, maka penggunaan al-ra’y

seperti ini diperbolehkan tanpa keraguan.

4. Sebaliknya, bila al-ra’y tersebut diberlakukan tanpa memandang ketentuan-

ketentuan kebahasan (dalam hal ini bahasa Arab) juga tidak sesuai dengan

dalil-dalil syar‘î atau tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang

dibutuhkan di dalam penafsiran. Maka semua ulama sepakat penggunaan al-

ra’y yang demikian ini terlarang.

Sehingga tafsir bi al-ra’y yang masih memenuhi persyaratan penafsiran

yaitu yang menelaah dari segi kebahasaan, rnemperhatikan riwayat yang terkait

dengan situasi dan kondisi saat ayat tersebut turun, memahami nasîkh mansûkh

dan lainnya juga selaras dengan prinsip syar‘î, maka diperkenankan.

B. Saran-saran

Setelah penulis melakukan penelitian ini tampaknya perlu ditindak lanjuti

dengan penelitian berikutnya yaitu meneliti secara seksama kitab-kitab tafsir yang

ada, apakah masih dalam koridor tafsir bi al-ra’y yang tidak masuk pada kategori

diancam Nabi Saw. atau justru tafsir tersebut benar-benar hanya menggunakan

nalar atau hawa nafsunya semata.

Page 86: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

Penulis juga merasa bahwa apa yang telah dilakukan belum sepenuhnya

menyelesaikan persoalan, oleh sebab itu masih membutuhkan kritik konstruktif

dari berbagai pihak yang memiliki konsen di bidang kajian tafsir dan hadis Nabi

Saw. Selebihnya, penulis berharap apa yang telah dilakukan ini ada manfaatnya

khususnya bagi penulis sendiri, dan umumnya bagi pembaca skripsi ini.

Page 87: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

DAFTAR PUSTAKA

Âbâdî, Muhammad Syâm al-Haq al-‘Azîm Abû al-Tayyib. ‘Aun al-Ma’bûd.

Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415. Abror, Indal. Syuhudi Ismail dan Metodologi Pemahaman terhadap Hadis Nabi.

Yogyakarta: Juli, 2000. Abû ‘Abdillâh al-Syaibanî, Ahmad bin Hanbal. Musnad al-Imâm Ahmad bin

Hanbal. Mesir: Mu‘assasah Qartah, tt. Abû al-Fadl, Jamâl al-Dîn Muhammad bin Mukarram al-Ifriqî al-Misrî. Lisân

al-‘Arab. Beirut: Dâr al-Sadîr, 1990. Abû Dâwud al-Sijistanî al-Azdî, Sulaimân bin al-Asy‘as. Sunân Abî Dâwud.

Beirut, Dâr al-Fikr, tt. Al-Adlabî, Salâh al-Dîn bin Ahmad. Manhâj Naqd al-Matan. Beirut: Dâr al-Afâq

al-Jadîdah, 1993. Al-‘Asqalânî, Shihâb al-Dîn Ahmad bin `Alî bin Hajar. Tahdzîb al-Tahdzîb.

Beirut: Dâr al-Fikr, 1984. Al-Dzahabî, Al-Imâm Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman. Siar al-

A’lam al-Nubalâ. Beirut: Muassasat al-Risâlah, 1992. Al-Dzahabî, Muhammad Husain. Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn. Beirut: Dâr

al-Kutub al-Hadisah, tt. Al-Gazâlî, Muhammad bin Muhammad. Ihya ‘Ulûm al-Dîn. Beirut: Dâr al-Kutub

al-‘Ilmiyyah, tt. Al-Mizzî, Jamaluddin Yûsuf. Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl. Beirut: Dâr

al-Fikr, 1994. Al-Mubârakfurî, Abû al-‘Ulâ Muhammad ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Abd al-Rahîm.

Tuhfah al-Ahwazi bi Syarh Jâmi’ al-Turmudzî. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.

Al-Qattân, Mannâ’ Khalîl. Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Beirut: Mu’assasah al-

Risâlah, 1990.

Page 88: HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5837/1/FITROH... · sebagai wujud syukur dan ... pedoman hidup yang utama setelah

Al-Rumî, Fahd bin ‘Abd al-Rahmân. ‘Ulûm al-Qur’ân: Studi Kompleksitas al-Qur'an, terj. Amirul Hasan dan Muhamad Halabi. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999.

Al-Sa‘âtî, Ahmad ‘Abd al-Rahmân al-Banna. Al-Fath al-Rabbânî. Beirut: Dâr

Ihyâ’ al-Turas al-‘Arabî, tt. Al-Sâbûnî, Muhammad ‘Alî. Al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Beirut: ‘Alam al-

Kutub, 1984. Al-Salîh, Subhi. ‘Ulûm al-Hadîts wa Mustalâhuhu. Beirut: Dâr al-‘Ilm li

al-Malayin, 1977.

Al-Syirbasî, Ahmad. Sejarah Tafsir al-Qur’an, terj. Tim Pustaka firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.

Al-Turmudzî al-Silmî, Abû ‘Îsâ Muhammad bin ‘Îsâ. Sunan al-Turmudzî. Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turas al-`Arabî, tt.

Al-Zarkâsyî, Muhammad bin’Abdullah. Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Beirut:

Dâr al-Fikr, 1988. Ismail, Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Telaah Ma‘ani

al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

_____, Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Kusmana dan Syamsuri, ed. Pengantar Kajian Al-Qur’an: Tema Pokok, Sejarah

dan Wacana Kajian. Jakarta: Pustaka AlHusna Baru, 2004.

Mûsâ, Kamîl dan Dahruj, ‘Alî. Kaifa Nafham al-Qur’ân, Dirâsah fî al-Mazâhib al-Tafsriyah wa Ijtihâdihâ. Beirut: Dâr al-Mahrusah, 1992.

Qardâwî, Yûsuf. Metode Memahami al-sunnah dengan Benar, terj. Syaifullah

Kamalie. Jakarta : Media Dakwah, 1994. Rahman, Fatchur. Ikhtisâr Mustalâhul Hadîts. Bandung : Alma’arif, 1974. Wensinck, A.J. Al-Mu’jâm al-Mufahrâs li Alfâz al-Hadîts al-Nabâwî. Leiden : EJ.

Brill, 1943. Yunus ‘Ubaid, Hasan. Dirâsat wa Mabâhits fî Tarîkh al-Tafsîr wa Manâhij

al-Mufassirîn. Mesir: Markâz al-Kitâb Ii al-Nasyr, tt.