habis revolusi, habis reformasi [kata pengantar buku]

12
KATA PENGANTAR BUKU: HABIS REVOLUSI, HABIS REFORMASI Oleh Ariel Heryanto Awal abad ke-21 ini Indonesia diliputi kemuraman berkepanjangan. Perasaan kecewa, pasrah, marah, cemas bercampur aduk dengan rasa tidak berdaya menghadapi berlapis- lapis masalah sesudah tumbangnya kekuasaan Orde Baru, dan tersaruknya perubahan sosial yang dijuluki Reformasi. Situasi pada masa ini sangat ironis jika diingat kembali apa yang lazim pada dua dekade sebelumnya. Di puncak kejayaan Orde Baru, dan gencarnya penindasan politis, banyak yang asyik membayang-bayangkan sebuah kehidupan bangsa dan negara yang lebih baik, yakni bila Orde Baru sudah berlalu. Demi angan- angan atau bayang-bayang yang indah itu, tidak sedikit orang Indonesia mempertaruhkan tenaga, waktu, harta, karier, keluarga, bahkan nyawa. Ironi di awal abad ke-21 ini tidak jauh berbeda dari suasana pada tahun-tahun pertama kemerdekaan Republik Indonesia. Dulu yang dinamakan "Revolusi" (dengan huruf besar R) menempati kedudukan mirip dengan yang setengah abad kemudian disebut "Reformasi" (juga huruf besar R). Masing-masing menjadi semacam gairah politik pada zamannya. Keduanya menjadi sumber pemberdayaan massa untuk mengejar sebuah perubahan di saat penindasan negara atas bangsa sedang parah-parahnya. Masing- masing menjadi semacam bendera yang dikerek tinggi, menghimpun berbagai kekuatan majemuk masyarakat yang berpadu menghadapi sebuah musuh bersama. Ironisnya, tidak lama setelah musuh itu tumbang, kedua semboyan itu layu sebelum berkembang. Ternyata, keadaan tidak dengan serta merta menjadi lebih indah dan mudah. Sandang pangan tidak serta merta menjadi murah dan meriah. Maju Ke Belakang? Siapa di tahun 1950-an yang bisa menduga bahwa ucapan lirih seorang cendekiawan Indonesia pada masa itu (tulisan pembuka dalam buku ini) masih dirasakan dan diulangi orang Indonesia di awal abad ke-21: Masyarakat kita seolah-olah tidak bergerak lagi. Gerak-gerik yang masih ada sebenarnya tak lain dari suatu gerak kembali. Gerak kembali tersebut seolah-olah membawa masyarakat kita

Upload: moh-fathoni

Post on 05-Feb-2016

7 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

sejarah, politik, ariel heryanto

TRANSCRIPT

Page 1: Habis Revolusi, Habis Reformasi [Kata Pengantar Buku]

KATA PENGANTAR BUKU: HABIS REVOLUSI, HABIS REFORMASI

Oleh Ariel Heryanto

Awal abad ke-21 ini Indonesia diliputi kemuraman berkepanjangan. Perasaan kecewa, pasrah, marah, cemas bercampur aduk dengan rasa tidak berdaya menghadapi berlapis-lapis masalah sesudah tumbangnya kekuasaan Orde Baru, dan tersaruknya perubahan sosial yang dijuluki Reformasi. Situasi pada masa ini sangat ironis jika diingat kembali apa yang lazim pada dua dekade sebelumnya. Di puncak kejayaan Orde Baru, dan gencarnya penindasan politis, banyak yang asyik membayang-bayangkan sebuah kehidupan bangsa dan negara yang lebih baik, yakni bila Orde Baru sudah berlalu. Demi angan-angan atau bayang-bayang yang indah itu, tidak sedikit orang Indonesia mempertaruhkan tenaga, waktu, harta, karier, keluarga, bahkan nyawa.

Ironi di awal abad ke-21 ini tidak jauh berbeda dari suasana pada tahun-tahun pertama kemerdekaan Republik Indonesia. Dulu yang dinamakan "Revolusi" (dengan huruf besar R) menempati kedudukan mirip dengan yang setengah abad kemudian disebut "Reformasi" (juga huruf besar R). Masing-masing menjadi semacam gairah politik pada zamannya. Keduanya menjadi sumber pemberdayaan massa untuk mengejar sebuah perubahan di saat penindasan negara atas bangsa sedang parah-parahnya. Masing-masing menjadi semacam bendera yang dikerek tinggi, menghimpun berbagai kekuatan majemuk masyarakat yang berpadu menghadapi sebuah musuh bersama. Ironisnya, tidak lama setelah musuh itu tumbang, kedua semboyan itu layu sebelum berkembang. Ternyata, keadaan tidak dengan serta merta menjadi lebih indah dan mudah. Sandang pangan tidak serta merta menjadi murah dan meriah.

Maju Ke Belakang?

Siapa di tahun 1950-an yang bisa menduga bahwa ucapan lirih seorang cendekiawan Indonesia pada masa itu (tulisan pembuka dalam buku ini) masih dirasakan dan diulangi orang Indonesia di awal abad ke-21:

Masyarakat kita seolah-olah tidak bergerak lagi. Gerak-gerik yang masih ada sebenarnya tak lain dari suatu gerak kembali. Gerak kembali tersebut seolah-olah membawa masyarakat kita mundur kembali mencari ketentraman yang meliputi suasana sendiri yang lama, menolak dengan rasa takut segala sesuatu yang baru, kecuali yang baru itu menyajikan diri dengan kedok yang lama yang sudah lama dikenal. Gerak kembali ini dilahirkan oleh ketakutan jiwa, ketakutan terhadap yang baru dan yang

Page 2: Habis Revolusi, Habis Reformasi [Kata Pengantar Buku]

belum dikenal, serta berakar di dalam kemandulan dan ketidakpercayaan dalam daya pencipta sendiri.

Wajar bila perjalanan ke depan terbentur ujung jalan yang seakan buntu, orang ramai bicara tentang "krisis" dan menengok ke belakang dan bertanya apa yang salah? Di tahun 1950-an: apa yang salah dengan Revolusi, setelah penjajah asing cabut dari tanah air? Di tahun 2000-an: apa yang salah dengan Reformasi setelah Orde Baru tumbang dan dihinakan?

Sejarah seakan-akan berulang kembali. Tapi ada beberapa perbedaan penting di antara kedua masa yang penuh paralelisme itu. Misalnya perubahan dari sebuah titik-temu kekuataan massa dari "Revolusi" pasca-kolonial (tahun 1950-an) menjadi "Reformasi" (tahun 2000-an) pasca-Orde Baru bukan sebuah perubahan yang sepele. Ada beberapa perubahan atau perbedaan lain yang ingin saya sebutkan di bagian lain dari catatan ini. Tapi untuk sementara ini, satu perbedaan mencolok yang pantas ditunjuk adalah perbedaan posisi.

Mereka yang bertanya-tanya di tahun 1950-an tidak punya kesempatan istimewa yang di-miliki orang di tahun 2000-an untuk membandingkan dengan kedua masa kembar tersebut Betapa tidak bertanggungjawabnya bila peluang ini disia-siakan begitu saja. Penerbitan buku ini merupakan sebagian—mungkin sebagian kecil— dari khasanah sejarah perubahan sosial Indonesia yang layak disimak siapa saja yang perduli, prihatin, bersorak atau mengeluh berkepanjangan tentang kondisi Indonesia di awal abad 21 ini. Betapa mubazir dan konyol sebuah keperdulian pada Indonesia di awal abad ke-21 ini jika tidak menghiraukan keperdulian serupa yang diper-gulatkan para pendahulu kita setengah abad lalu.

Suka atau tidak, di awal abad ke-21 ini Indonesia telah dan sedang memasuki tahap "baru". Yang baru ini memang tidak sepenuhnya ber-lainan atau berlawanan dengan yang "lama", tetapi hanya orang yang buta-sejarah akan mengabaikan perbedaan keduanya. Seperti halnya, In-donesia pada masa ini tidak sepenuhnya berbeda dari Hindia Belanda seratus tahun lalu, tetapi kita tidak akan menyangkal perbedaan di antara keduanya. Itu sebabnya, di tangan novelis seperti Pramoedya Ananta Toer dan Remy Sylado, masa kolonial dan pasca-kolonial itu merupakan se-buah bagian yang penting dalam memahami Indonesia di masa Orde Baru dan pasca-Orde Baru.

Sebagai sebuah institusi, militer masih berjaya di Indonesia setelah Orde Baru runtuh secara formal. Namun, kejayaan militer saat ini jauh ber-

Page 3: Habis Revolusi, Habis Reformasi [Kata Pengantar Buku]

kurang dan penuh rintangan dibandingkan dengan kejayaannya selama masa Orde Baru. Korupsi masih merajalela di awal abad baru ini, bahkan mungkin lebih parah, ketimbang korupsi di masa Orde Baru. Tetapi perlawanan terhadap korupsi di masa ini juga meningkat secara kuan-titatif dan kualitatif dibandingkan masa-masa sebelumnya. Beberapa perbedaan lain yang penting di antara kedua masa yang terpisah setengah abad itu adalah berakhirnya Perang Dingin, bangkitnya kembali kekuatan Islam di tingkat lokal, nasional, regional mau pun global, dan revolusi teknologi informasi.

Tidak semua perubahan—yang masih berproses atau serba tanggung—itu bersifat eman-sipauf dan mensejahterakan sebagian besar umat manusia. Bersamaan dengan meluasnya kemerdekaan berbicara dan berserikat di Indonesia pasca-Orde Baru, terlihat merosotnya kualitas perdebatan publik. Redanya tingkat penindasan oleh aparatur negara dan partai berkuasa pada kehidupan publik dibarengi oleh menguatnya kekuasaan modal dan logika pasar yang mengatur dan mengacak-acak kehidupan tanpa ampun.

Dalam situasi yang tidak selalu serba-jelas di masa ini (apalagi masa depan), akan terasa betapa pentingnya mencoba mengambil hikmah dari masa lampau yang tidak kalah dalam hal derita, keraguan, kecemasan pengharapan, peluang mau pun kecemasan. Tentu saja, tidak ada masa lampau yang secara otomatis dapat dipanggil kembali sebagai dewa penolong untuk menyelesaikan masalah di masa ini. Masa lampau itu hanya sebuah sumber kemungkinan yang layak dikunyah secara kritis di tangan orang yang terlatih. Kalau pun masa lampau itu tidak membantu kita memecahkan persoalan masa kini secara konkret dan praktis, paling sedikit masa lampau itu layak membantu kita menghindarkan pengulangan kesalahan atau kebodohan yang tidak perlu.

Pada saat terkuaknya berita kebiadaban rasial terhadap minoritas Tionghoa di Jakarta dan Solo pada bulan Mei 1998, banyak orang terhenyak tak percaya. Publik Indonesia beramai-ramai menyesalkan dan mengutuk kekerasan itu. Sebagian masyarakat bertindak lebih lanjut: mengupayakan berbagai bentuk pemulihan luka sosial. Tetapi hampir-hampir tidak ada yang ingat atau tahu sama sekali bahwa kejadian yang sangat mirip, tapi lebih ganas, terjadi di beberapa kota di Pulau Jawa ini setengah abad sebelumnya! Walau tidak bisa dikatakan ada sebab-akibat yang langsung, terjadinya kekerasan rasial dan seksual tahun 1998 itu sedikit banyak didukung oleh kegelapan sejarah, kegagalan sejarahwan dan publik Indonesia untuk mencatat kisah kekerasan yang mirip di akhir tahun 1940-an, untuk mengingat dan menjelaskan sebab-musababnya,

Page 4: Habis Revolusi, Habis Reformasi [Kata Pengantar Buku]

serta menekan serendah mungkin tingkat kemungkinan terulangnya peristiwa itu di kemudian hari.

 

Lain dulu, Lain Sekarang

Terpilihnya "Revolusi" (perombakan besar-besaran dan mendasar) sebagai panji-panji komitmen perubahan sosial di pertengahan abad ke-20, dan terpilihnya "Reformasi" (penyesuaian kecil-kecilan tanpa merombak yang dasar) sebagai padanan untuk sejarah Indonesia pasca-Orde Baru menunjukkan sebuah perubahan sejarah yang sangat penting. Tentu saja, perbedaan ini bisa, tetapi tidak dengan sendirinya perlu diang-gap, menunjukkan yang satu lebih benar atau hebat daripada yang lain.

Sepintas lalu, Revolusi mengandaikan sebuah pertaruhan yang jauh lebih besar ketimbang Reformasi. Jika Revolusi menjadi titik pertemuan sejumlah pemikiran, semangat, gagasan, gairah, dan angan-angan anak bangsa di pertengahan abad ke-20, sebabnya mungkin karena apa yang ada pada waktu itu (sebutlah kolonialisme, sebagai bagian dari imperialisme global) dianggap layak dirombak secara total, dan bukan sekedar tambal-sulam. Yang dimginkan bukan sekedar sebuah Kolonialisme Baru dengan wajah yang lebih manusiawi, dengan jiwa atau semangat Pancasila, dan jati diri Asia yang sesuai dengan nilai-nilai luhur nenek-moyang.

Jika semboyan yang menonjol di masa pasca-Orde Baru ini Reformasi, barangkali karena tata masyarakat yang ada pada masa ini pada da-sarnya dianggap sudah baik dan benar, hanya saja dibutuhkan beberapa perubahan kecil dan penyesuaian untuk menyempurnakan yang sudah ada. Tetapi komitmen pada Reformasi (dan bukan pada Revolusi) bisa juga dibaca sebagai gejala lembeknya sikap masa ini dalam menghadapi kenyataan yang berlangsung di tanah air. Bisa jadi, ini sebuah sikap serba tanggung, yang didorong oleh rasa takut atau tidak percaya diri. Bisa juga, sebaliknya, ini merupakan sebuah kesadaran yang realistik dan dewasa tentang mustahilnya perubahan yang lebih dahsyat karena tidak tersedianya sumber daya dan tenaga besar dalam masyarakat untuk melancarkan sebuah proyek lebih ambisius sejenis Revolusi. Dengan kata lain, perbedaan cita-cita, angan-angan, semboyan, dan propaganda melancarkan perubahan sosial dalam dua masyarakat yang terpisah setengah abad ini bisa ditafsirkan secara berbeda-beda.

Page 5: Habis Revolusi, Habis Reformasi [Kata Pengantar Buku]

Ada perbedaan lain yang tak kalah pentingnya di masa krisis kedua zaman. Dalam upaya memahami krisis yang terjadi setengah abad lalu, faktor "sastra" dan "budaya" dianggap sebagai bagian yang sangat penting dalam perdebatan publik, paling sedikit di kalangan elit Tidak semua pihak dalam perdebatan di masa itu setuju tentang posisi yang pantas untuk faktor-faktor sastra dan budaya dalam memahami perubahan sosial. Namun mereka yang menolak pengagungan sastra dan budaya sekali pun ternyata sangat fasih dalam perbincangan tentang sastra dan budaya. Mereka merasa perlu memperdebatkan posisi sastra dan budaya dalam seluruh persoalan krisis bangsa dan negara yang baru merangkak bangkit sebagai sosok yang merdeka dan berdaulat di tengah rekan-rekannya se-planet

Apa yang terjadi dalam perdebatan tentang krisis di awal abad ke-21? Faktor-faktor apa yang dianggap paling penting? Terorisme, perbedaan agama dan suku, globalisasi dan liberalisasi dalam perdagangan internasional, pemilihan umum, militerisme, separatisme, peradilan hak asasi, dan tentu saja korupsi besar-besaran Sastra dan budaya? Wah! Sebagai lelucon pun mereka tidak masuk hitungan.

Mengapa ada perbedaan yang begitu mencolok? Mengapa perbedaan itu tidak berlaku terbalik? Mengapa justru bukan dulu sastra/budaya diremehkan dan sekarang diangkat-angkat? Mengapa bangsa yang sedang menjadi radikal dan sibuk melancarkan Revolusi masih punya waktu untuk bersastra dan budaya dan sebagian menganggap sedemikian pentingnya kedua hal itu? Sebaliknya, masyarakat yang lebih santai dan cuma mengejar Reformasi tidak punya perhatian pada sastra dan budaya?

Salah satu jawaban paling gampang yang bisa diberikan adalah: masyarakat Indonesia setengah abad lalu jauh lebih beradab dan terdidik ketimbang cucu-cucunya di awal abad ke-21. Sejelek-jeleknya kolonialisme Belanda, masa itu melahirkan sejumlah cendekiawan pribumi yang pada usia sangat muda sudah sangat fasih beberapa bahasa asing, sejarah budaya, dan peradaban dunia. Mahluk-mahluk semacam ini sulit, jikalau pun ada, dijumpai di kalangan generasi yang dilahirkan di masa Orde Baru, juga di kalangan anak-anak Papi Mami dengan harta jauh berlimpah dan kemudahan telekomunikasi serta transportasi global daripada kakek-neneknya. Pada masa Orde Baru sendiri, elit nasional—termasuk kepala negaranya yang tidak pernah diganti— terdiri dari mereka yang masih kesulitan berbahasa nasional secara fasih, dan hampir-hampir tidak pernah fasih berbahasa asing. Malahan dalam seluruh sejarah Nusantara dan Indonesia, hanya pada masa Orde Baru

Page 6: Habis Revolusi, Habis Reformasi [Kata Pengantar Buku]

terjadi pelarangan penggunaan sebuah bahasa yang paling banyak dipakai di dunia, yakni bahasa Cina.

Di zaman kolonial Belanda, kaum cendekia muda menggugat penguasa dengan berbagai bentuk, termasuk bahasa dan penerbitan bacaan. Pihak penguasa menghadapinya dengan bacaan tandingan lewat sebuah lembaga yang disponsorinya dan dinamakan Balai Pustaka. Di masa Orde Baru, penguasa militer menghadapi kritik para wartawan dengan pembredelan, menghadapi novel-novel yang menggugat dengan mem-bakarnya, dan menghadapi tantangan aktivis muda dengan proyek penculikan dan mengerahkan preman.

Jawaban begitu pasti ada benarnya, tetapi tidak cukup memuaskan. Membandingkan kedua masa tidak bisa direduksi hanya pada para penguasa di masing-masing zaman Lagi pula kedua penguasa negara itu bukan benda yang sama dengan dua warna yang sepenuhnya berbeda.

Ada cara lain untuk memahami perbedaan kedua masa yang terpisah setengah abad itu. Oleh sebagian pihak, publikasi semacam buku ini mungkin tidak bisa diterima sebagai acuan untuk memahami perbedaan kedua zaman. Polemik yang dipublikasikan kembali dalam buku ini bisa dianggap bersumber dari penerbitan yang memang khusus beredar di kalangan terbatas, yakni seniman dan budayawan. Dengan demikian be-sarnya persoalan "sastra" dan "budaya" di sini tidak dapat dianggap mewakili perhatian publik pada masa itu. Lagi pula, dapat ditambahkan bahwa apa yang dinamakan "sastra" dan "budaya" setengah abad lalu meliputi cakupan kehidupan sosial yang jauh lebih luas ketimbang yang dipahami khalayak Indonesia masa kini. Maklumlah jika sastra dan budaya dipertimbangkan secara serius pada masa itu, dan tidak sekarang. Maka—jika semua pengandaian itu benar—perbedaan kedua masa tidak dengan sendirinya menunjukkan yang satu lebih peka pada persoalan kebudayaan-peradaban-dan-kesusastraan ketimbang masa yang lain.

Pandangan di atas macam ini ada benarnya, tetapi tidak sepenuhnya menggugurkan perbedaan yang diajukan semula. Pertama-tama, ada baiknya ditengok, para budayawan yang sedang berdebat setengah abad lalu adalah orang-orang yang juga kemudian terlibat secara formal dan penuh dalam partai politik dan birokrasi negara pada tingkat tinggi. Dengan kata lain, sosok budayawan/sastrawan/politikus pada masa itu tidak saling terpisah. Ini jelas berbeda dengan yang kita jumpai di Indonesia di awal abad ke-21 ini. Para politikus Indonesia yang terkemuka pada masa ini tidak pernah terlibat perdebatan sastra dan budaya di garis depan, walau ada satu dua yang memberanikan diri tampil bernyanyi atau

Page 7: Habis Revolusi, Habis Reformasi [Kata Pengantar Buku]

baca puisi dalam peristiwa yang sarat kepentingan politik—sekali dalam sepuluh tahun barangkali. Di antara tokoh sastra dan kebudayaan Indonesia sejak masa Orde Baru ada yang ikut-ikutan partai politik sebagai penggembira, tetapi tidak lebih dari itu. Mereka tidak pernah berpolitik dan sekaligus terlibat dunia sastra dan budaya secara tuntas sebagai profesi atau panggilan hidup, sebagaimana yang terjadi setengah abad lalu.

Perbedaan ini menyangkut soal yang lain. Sosok sastra di pertengahan abad ke-20 memang tidak sama dengan sastra di masa ini. Setengah abad lalu, sastra yang diterbitkan dalam majalah terkemuka dan berbahasa Indonesia, merupakan sebuah artikulasi sebuah kemewahan dan kecerdasan yang terbilang elitis. Bagi kebanyakan orang; jangankan menulis karya tulis dalam genre yang modern dan berasal dari negeri penjajah, kemampuan dan kebiasaan membaca huruf dan angka saja pada waktu itu masih sangat terbatas (tujuh persen dari jumlah penduduk, menurut salah satu tulisan di buku ini)! Dengan kata lain, bertutur naratif dalam bentuk "sastra" pada pertengahan abad ke-20 mungkin lebih pantas dibandingkan dengan kegiatan anak-anak muda Indonesia di awal abad ke-21 yang gemar menciptakan sebuah narasi lewat film, di saat tingkat melek-huruf sudah mencapai lebih dari 90 persen.

 

Beberapa Karya Mutakhir

Disinilah duduk persoalannya: ada perbedaan yang luar biasa pentingnya di antara kegiatan kreatif menyusun narasi fiksi dengan mesin ketik di awal abad ke-20 dan narasi fiksi yang disusun rekan-rekan sebangsanya lewat peralatan rekaman audio-visual di awal abad ke-21. Walau keduanya terbilang sama-sama trendy dan bergengsi, secara umum ada beda di antara kiblat, lingkup dan bobot keduanya. Di kalangan generasi terdahulu banyak yang bekerja dengan kesadaran sejarah, perspektif global, dan hasrat menyumbangkan sesuatu bagi proses yang oleh para sarjana disebut "nation-building". Bukan karena secara individual mereka itu patriotik, tetapi memang pada masa itu, misi semacam itu sudah menjadi tuntutan zamannya. Walau tidak pantas dibuat generalisasi, boleh dikatakan ada tekanan dan sekaligus tuntutan yang berbeda ketika sineas di kalangan generasi pasca-Orde Baru menyiapkan sebuah narasi lewat film. Bagi mereka, semua yang makan pemikiran serba berat itu dianggap beban bertele-tele, membosankan dan layak dihindarkan Yang

Page 8: Habis Revolusi, Habis Reformasi [Kata Pengantar Buku]

dikejar sekarang adalah masalah teknis, estetis, dan nilai hiburan (komer-sial).

Dalam sebuah resensi atas film 30 Hari Mencari Cinta di majalah Tempo di awal tahun 2004, Leila Chudori menulis secara tajam:

ADA yang harus diingat dengan kuat dan lekat ketika kita memutuskan menyaksikan sebagian karya sineas masa kini. Ada yang mencoba menghibur dengan serius sembari meyakinkan kita bahwa remaja Indonesia masih peduli pada kedalaman puisi (Ada Apa dengan Cinta?); ada yang mencoba meyakinkan kita bahwa remaja Indonesia tak punya kesibukan lain, sehingga harus iseng memanggil-manggil hantu (Jelangkung dan Tusuk Jelangkung); ada yang meyakinkan kita bahwa remaja Indonesia sebegitu dungunya hingga usia 15 tahun pun masih dilarang orang tuanya berjalan-jalan ke mal, tapi boleh terbang ke Paris tanpa orang tuanya (Eiffel, I'm in Love); dan yang terakhir, ada yang mencoba meyakinkan kita bahwa mahasiswa di Indonesia tak pernah terli-hat kuliah barang semenit pun dan setiap hari dalam hidupnya mengkhawatirkan ukuran payudara, jenis kondom, dan poni di dahi yang "kurang ngerock" demi pencarian seorang lelaki.

Film 30 Hari Mencari Cinta: karya perdana Upi Avianto adalah jenis terakhir. Tidak berpretensi apa pun kecuali menghibur. Oke. Tapi menghibur tentu punya klasifikasi: menganggap penonton dungu atau menganggap penonton pandai dan haus akan hiburan yang cerdas.

Dibandingkan Leila, mungkin saya lebih bisa menikmati film 30 Hari Mencari Cinta dalam sebuah gedung bioskop yang hampir semuanya terdiri dari penonton seusia anak-anak saya. Tapi setelah mengikuti produk budaya pop Indonesia beberapa tahun belakangan secara lebih umum, saya mempunyai keprihatinan yang mirip dengan Leila Chudori. Sepintas lalu, di telinga sebagian anak muda Indonesia, kritik Chudori kedengaran seperti omelan orangtua yang tidak paham selera anak muda. Persoalannya, kita tidak membandingkan selera anak muda dengan selera orangtua, tetapi selera sesama anak muda Indonesia di dua masa yang berbeda—terpisah "hanya" setengah abad.

Film pasca-Orde Baru paling terpuji di Indonesia sampai saat ini adalah Ada Apa Dengan Cinta? Walau ada adegan beberapa menit yang nyrempet-nyrempet soal politik, pada intinya film yang berlangsung lebih dari seratus menit ini berkisah tentang anak muda, cinta, dan dunia remaja: di antara halaman dan jadwal sekolah, mal, lapangan olah raga, dan panggung konser musik pop. Sebagian terbesar film, sinetron mau-

Page 9: Habis Revolusi, Habis Reformasi [Kata Pengantar Buku]

pun bacaan dalam aneka majalah dan novel yang beredar di Indonesia pada masa pasca-Orde Baru mendukung kesimpulan Leila Chudori: kaum muda Indonesia masa ini sibuk berdandan, doyan humor, nongkrong di mal, atau jalan-jalan ke luar negeri, acuh terhadap persoalan sosial apalagi global. "Kalau punya babu, buat apa kita harus kerja sendiri di rumah?" kata tokoh Cinta dalam film Ada Apa Dengan Cinta? Dalam berbagai produk budaya pop yang dihasilkan dan dikonsumsi kaum muda masa ini, tidak cukup terlihat sebuah pergulatan batin atau intelektual—tidak juga gairah ke arah itu—sebagai usaha menghadapi tantangan memecahkan kesulitan yang serius pada lingkungan terdekat, apalagi nasional atau global.

Orang-orang seperti Garin Nugraha atau Aria Kusumadewa merupakan beberapa sineas perkecualian yang dianggap "aneh", "nekad" atau ekstrim" di kalangan generasi muda pecinta film. Beberapa novelis terkemuka seperti Ayu Utami lebih banyak dikenang publik Indonesia karena keberanian berbisik tentang seksual ketimbang tema-tema sosial yang cutulisnya. Walau dari semua nama besar yang disebut ini ada karya yang juga nyrempet-nyrempet masalah kesejarahan yang serius, karya-karya itu dibicarakan bukan sebagai bagian dari pergulatan intelektual dan estetika dalam soal-soal dengan tema berlingkup luas, jauh melampaui kehidupan sehari-hari kelompok kelas menengah kota. Kalau pun ada, masalah sosial cuma jadi dekorasi, seperti gincu di bibir siswi di Jawa Tengah yang sedang ikut perayaan hari Kartini.

Untuk adilnya, perlu juga disebut beberapa penulis kreatif dan mutakhir Indonesia yang lebih serius menggugat sejarah tanpa terjungkal menjadi propaganda, termasuk Seno Gumira Ajidarma, Nano Riantiarno, dan Remy Sylado. Tetapi, di lingkungan dan zaman Orde Baru yang lebih terlatih berseteru atas nama agama atau suku ketimbang membaca kritis dan berpikir luas tentang persoalan-persoalan peradaban, karya-karya kreatif itu dihargai tidak lebih sebagai hiburan di waktu senggang. Dan karena itu karya-karya mereka tidak menjadi bagian dari perdebatan parlemen atau tema pergulatan partai politik atau kampanye dan perdebatan calon presiden RI di tahun 2004.

Semua ini berbeda tidak saja dengan padanan mereka setengah abad lalu, tetapi juga berbeda dari situasi pada masa Orde Baru, dan juga ber-beda dari karya-karya jurnalistik sezaman. Berkali-kali karya jurnalisme mutakhir Indonesia sempat menggigit penguasa politik dan membuat sejumlah pejabat tinggi negara dan pengusaha raksasa susah tidur pulas. Dari lingkungan yang sama, persoalan-persoalan terbesar bangsa ini (misalnya tragedi 1965—jangankan 1998 yang masih baru berlalu) masih

Page 10: Habis Revolusi, Habis Reformasi [Kata Pengantar Buku]

di luar jangkauan imajinasi novelis dan sineas Indonesia, walau perlahan-lahan telah menjadi obyek penelitian para sarjana dan jurnalis.

Kualitas pidato dan perdebatan para politikus di awal abad ke-21 ini jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan perdebatan politikus 50 tahun lalu yang diterbitkan ulang di buku ini. Jadi bukan cuma selera anak muda masa kini yang kelewat encer, tetapi juga seluruh wawasan orangtua mereka, kakak-kakak mereka, guru-guru mereka, dan pejabat negara mereka juga demikian.

Semua ini tidak dengan sendirinya berarti yang terjadi setengah abad lalu, serba hebat dan membesarkan hati. Di awal tulisan Soedjatmoko yang memicu perdebatan di tahun 1950-an ini, disebutkan sebuah keprmatinan: "Kesusastraan revolusioner kita telah berhenti pada tataran psikologisme, di dalam pengalaman dan getaran sukma yang kecil-kecil, yang hanya cukup untuk menjelmakan berbagai cerita pendek dan sajak kita". Yang mungkin tidak terbayangkan oleh budayawan dan diplomat Indonesia ini, krisis yang disaksikannya di tahun 1950-an masih terus berlanjut, bahkan telah menjadi semakin parah di awal abad ini.

Harus diakui, di sebagian besar masyarakat dunia, kebanyakan orang tidak suka berpikir yang berat-berat atau serius dalam kehidupan sehari-hari. Di setiap masyarakat ada sejumlah kecil orang yang suka dan mau secara terus-menerus bergulat secara praksis, estetis, religius, atau inte-lektual. Yang membedakan satu masyarakat dari yang lain, dan satu zaman dari yang lain, adalah perhatian dan keterlibatan publik terhadap pergulatan beberapa gelmtir orang serius itu. Jumlah orang yang berpikir besar atau tinggi setengah abad lalu mungkin tidak lebih banyak daripada sekarang. Tetapi setengah abad lalu pemikiran mereka merupakan bagian yang penting dalam proses perubahan masyarakat dengan ambisi besar (Revolusi). Perdebatan macam apa—apakah memang ada?—dari masa Reformasi atau pasca-

Orde Baru yang masih akan menarik perhatian anak-cucu kita setengah abad lagi?

Dalam "Catatan Editor"-nya Nursam menyanggah pandangan umum atas dekade 1950-an sebagai masa "gelap" sejarah Indonesia. Yang menarik bukan saja apa persisnya yang terjadi di masa itu —seperti diusahakan oleh Nursam dengan menyiapkan penerbitan ini — tetapi juga bagaimana pandangan umum di Indonesia pada masa ini atas masa lampaunya itu dibentuk dan untuk kepentingan apa atau siapa. Dan pertanyaan lain:

Page 11: Habis Revolusi, Habis Reformasi [Kata Pengantar Buku]

sampai kapan kita tidak kenal sejarah masa lalu, dan serba acuh tak acuh pada masa sekarang?