gusdur dan papua
TRANSCRIPT
Gus Dur Adalah Kunci !
Oleh : A. Malik Mughni
Belajar dari Gus Dur
ia telah lama tiada,
tapi banyak hal yang bisa kita ambil
dengan membacanya lagi dan lagi.
Para Bapak Bangsa tak pernah benar-benar mati.
. -@matanajwa-
Pernyataan puitis Syarifah Najwa Syihab dalam tayangan Mata Najwa, Rabu (4/3/2015)
malam, itu mengingatkan saya pada sejumlah momentum di Tanah Tabi, Papua.
Tempat yang nun jauh dari Ibu Kota Negara Republik Indonesia, yang dihantui konflik
tak berkesudahan itu, perlahan mengubah citranya. Berkah K.H Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) itu akan terasa betul jika anda berkunjung ke sana dan berbincang dengan
warga setempat, dari lintas elemen. Bahkan yang di daratan kerap berperang, seperti
Tentara Pembebasan Nasional Papua -Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) dan
Tentara Nasional Indonesia, maupun rakyat sipil yang berkubu-kubu, sama terharunya
saat mengingat nama Gus Dur.
***---***
Kongres Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Februari 2015 berjalan
sukses dan mengukuhkan Muhammad Rifa’I Darus, putera Jayapura memimpin
organisasi kepemudaan yang melahirkan banyak tokoh nasional tersebut. Wakil
Sekjend Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) itu tak
hanya sukses menapaki kepemimpinan organisasi kepemudaan, tetapi juga ikut andil
mengubah citra Papua sebagai area konflik, yang kurang nyaman dijadikan ajang
perhelatan nasional.
Jauh sebelum Kongres itu berlangsung, Desember 2012 lalu, PB PMII juga
pernah mengadakan kegiatan akbar yang diikuti tak kurang oleh 500 kader PMII se
Nusantara. Agenda besar nasional itu memangkas isu keamanan di Jayapura yang
merupakan daerah ‘merah’ karena merupakan salah satu basis OPM. Di sinilah,
kebesaran nama K.H Abdurrahman Wahid kembali terbukti, ia menjadi kunci suksesnya
perhelatan akbar itu.
Tanpa membawa nama Gus Dur, kegiatan yang dihelat sepekan itu memang
menuai banyak tentangan. Selain mengkhawatirkan, karena diikuti oleh ratusan
pemuda dari luar Papua, kondisi politik dan keamanan di Jayapura dan sekitarnya, saat
itu terbilang genting. Serangkaian konflik bersenjata terjadi sepanjang Januari hingga
Juli tahun itu. Para pendukung Wakil Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB),
Mako Tabuni Mako Tabuni yang tewas ditembak aparat kepolisian dan dimakamkan di
Sentani pada Juni tahun itu sedang menanti saaat tepat untuk membalas dendam.
Belum lagi, sisa-sisa konflik Pilkada Jayapura yang dihelat Juli 2012 masih
belum reda sepenuhnya. Sementara di Jakarta, wacana evaluasi Otonomi Khusus
(Otsus) Papua juga sedang hangat-hangatnya. Kaukus Papua, komunitas anggota DPR
RI asal Tanah Tabi itu sempat menolak keras agenda PMII di Papua saat itu. Terlebih,
agenda besar itu dihelat di bulan Desember, sebuah masa yang rawan karena
bertepatan dengan hari lahir Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang diabadikan
sebagai bulan perayaan kemerdekaan Papua.
“Jika saja tak nekat mungkin selamanya nama Papua ditakuti dan dihindari untuk
jadi tempat perhelatan tingkat Nasional, termasuk Kongres Komite Nasional Pemuda
Indonesia (KNPI), Februari 2015 lalu juga mungkin tak diadakan di sana. Suksesnya
Muspimnas saat itu juga berkat wasilah Gus Dur,” kata Sabarudin Rery, Ketua SC
Muspimnas PMII 2012.
Pernyataan Rery yang asal Maluku itu, bukanlah bualan. Engel Waly budayawan
setempat, mengaku dengan suka rela mengoordinir anak-anak adat binaanya untuk
menampilkan sejumlah tarian adat dalam Festival Budaya dalam salah satu agenda
Muspimnas PMII, yang digelar selama sepekan pada medio Desember 2012 lalu.
Menurut Engel, para tokoh adat di Sentani juga turut mengerahkan pasukannya
untuk mengamankan kegiatan PMII yang dihelat di Hotel Sentani, Jayapura itu. Sentani
menurut Engel dan sejumlah tokoh lain yang saya wawancara merupakan daerah
‘merah’ pusat konflik antara Organisasi Papua Merdeka (OPM) dengan TNI. Tak jauh
dari Hotel tua yang tampak tak terawat itu kerap terjadi konflik bersenjata dan tak jarang
menimbulkan korban jiwa baik dari TNI, OPM, maupun kalangan sipil biasa.
“Kalian cukup berani mengadakan kegiatan di sini. Kalau saja kalian bukan anak-
anak Gus Dur, mungkin kami juga pikir-pikir untuk terlibat,” ujarnya.
Warga Papua, kata Engel sangat menghargai peranan
K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang telah mengembalikan identitas kepapuaan itu.
“Gus Dur memimpin dengan hati. Pluralisme yang diajarkan beliau juga kami
pertahankan di sini. Maka ketika PMII yang merupakan kader Gus Dur membuat
kegiatan di sini, kami menyambut baik kegiatan ini karena kami yakin akan memberi
dampak positif bagi masyarakat lokal. Di sini kami merasa bertanggung jawab
mengamankan kegiatan ini,” katanya lagi.
Sejatinya, tak hanya pasukan adat yang turut menjaga kegiatan yang diikuti 500
kader PMII se Nusantara itu. Sebab di dalam hotel, kami sering melihat hilir-mudik
sejumlah orang berpakaian safari, dengan handy talky tergantung di celananya. Kami
mengira mereka adalah intel. Terkadang mereka duduk-duduk berkelompok di sejumlah
kursi yang tersedia di pojok-pojok hotel seluas tiga kali lapangan sepak bola itu. Di
seberang hotel, terdapat pegunungan Cyclop yang sebagian sedang dieksplorasi. Naik
sedikit, ada hutan dan “Pasukan adat itu berjaga di sana,” kata Wally.
Meski terbilang sebagai daerah konflik, namun selama sepekan kami beracara di
Sentani, tak satu pun berjumpa aparat bersenjata. Hanya beberapa orang tegap dan
cepak memang kerap nongkrong di warung-warung kecil sekitar hotel. Sederetan
bendera dan spanduk berlogo PMII berjejer di pintu masuk hotel bersama satu baliho
bergambar Gus Dur.
Konflik antar warga, kata pemuda asli Sentani itu, kerap terjadi di pinggiran
perkotaan Jayapura, atau di bagian pegunungan. Tetapi menurutnya, konflik lantaran
isu keagamaan hampir tak pernah terjadi di Senati, “Mungkin karena muslim di sini
banyak pengikut Gus Dur. Kami yang Kristen dan saudara kami yang masih bertahan
dengan animisme pun menghargai beliau,” katanya.
Ia menyesalkan banyaknya berita perang adat di sejumlah daerah Papua,
yang imbasnya mendiskreditkan warga Papua secara keseluruhan. “Padahal
itu hanya terjadi di sebagian daerah Papua. Konflik itu biasanya terjadi karena isi
perut, gejolak terjadi karena berebut SDA. Kenapa SDA kami diambil sementara kami
malah diabaikan. Kurang perhatian. Otsus (Otonomi Khusus,red) saja, belum
teraplikasikan sepenuhnya,” tandasnya.
Pergantian nama Propinsi Irian dengan Papua, menurut Engel sangat disyukuri
warga adat, karena hal itu merupakan pengembalian identitas mereka. “Maka tak
heran, jika warga Papua tak bisa melupakan Gus Dur,” imbuhnya.
Propinsi Papua terdiri dari 27 Kabupaten/Kota dengan luas 420.540 km².
warga yang terbagi dalam ratusan suku dan bahasa. Dengan dimensi geografisnya
yang dikitari pegunungan dan lautan, setiap daerah di Papua sampai saat ini masih sulit
dijangkau oleh alat transportasi biasa.
Dari Jayapura, menuju Kabupaten Sorong, atau Manokwari misalnya, tak bisa
ditempuh kecuali dengan pesawat atau kapal laut. Program transmigrasi yang
digulirkan sejak era Orde Baru, ditambah dengan otonomi khusus yang diterapkan
tahun 2001 lalu, membuat wajah Papua agak berubah.
Engel menguraikan, masyarakat adat setempat, kini telah berbaur dengan para
pendatang. Animisme yang dianut pun perlahan terkikis. Kini banyak masyarakat adat
memeluk agama Islam dan Nasrani. Sebagian warga Papua masih mempertahankan
tradisi asli mereka. Tak kurang daari 255 suku dengan dialek bahasa masing-masing,
terdapat di Tanah Tabi. Mereka tinggal di gunung-gunung, di pedalaman Papua. Meski
begitu, menurut Budayawan Sentani, Engel Wally, seluruh warga Papua, mengerti
bahasa Indonesia. Di Sentani saja, yang notabene merupakan salah satu Kecamatan di
Kabupaten Jayapura, terdapat puluhan suku yang punya dialek bahasa
beragam.
“Sentani, dibagi sentani timur, tengah dan barat. Masing-masing punya bahasa
masing-masing dengan dialek berbeda. Tapi semua warga Papua tahu bahasa
Indonesia. Di pedalaman sekali saya tak akan bicara bahasa saya atau bahasa mereka.
Tapi kami akan bicara bahasa Indonesia. Sejak tahun 30-an bahasa Indonesia masuk
lewat para penduduk pendatang dan penginjil,” kata Engel.
Ia mencontohkan, sapaan Selamat Pagi, di Sentani timur adalah Renevoy.
Sementara di Barat, sapaan itu berbunyi Denevoy. Dua kata tersebut,
menurut Engel adalah bahasa asli Sentani, yang bukan kata serapan dari
bahasa mana pun. Karenanya, bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan
di Papua. “Kami banyak mendengar dan mengejanya sendiri. Sekali
mendengar, pelan-pelan akan mengikuti berbicara bahasa Indonesia.
Begitu pun bahasa Inggris,” imbuhnya.
Meski saat ini warga Papua terdiri dari beragam suku, bahsa dan agama,
Engel berani menjamin bahwa agama, suku dan bahasa yang berbeda itu
tak membuat warga di Papua berperang. “Kami saling menghargai agama,
suku dan bangsa sesama. Inilah miniature Indonesia. Siapa pemimpin yang mengerti
soal itu, selain Gus Dur? ,” kata Engel.
Gus Dur di Mata OPM
Di sela acara, sesekali kami berkeliling kota Sentani ditemani kader PMII
setempat. saya dikenalkan dengan salah satu petinggi Organisasi Papua Merdeka
(OPM), yang mengaku bernama Syafaruddin Lakairo, tak ada yang mengira jika saat itu
kami menumpang Avanza yang disetiri oleh kader OPM, kecuali seorang sahabat
bernama Jailani, asal Sulawesi, yang masih bertalian darah dengan Syafar.
Perbincangan ringan siang itu berubah serius, ketika saya bertanya perihal
penembakan .. di Sentani.
Syafar dengan bergelora menjelaskan tentang peta konflik di Papua dan
kemudian mengaku diri sebagai bagian dari OPM. “Konflik di Papua terjadi lantaran
kesenjangan ekonomi,” tegasnya. Lahirnya OPM, kata Syafar juga lantaran Pemerintah
Republik Indonesia dinilai tak adil terhadap masyarakat Papua. Ia berkeyakinan,
Jakarta (Pemerintah RI) tak pernah serius mengurus Papua.
Caci-maki Syafar terhadap pemerintah mereda ketika saya bertanya soal Gus
Dur. Menariknya, baik pendukung NKRI, maupun OPM, baik pendatang maupun
pribumi, menurut Syafar adalah pengagum K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur). “Gus
Dur adalah salah satu tokoh bangsa yang sangat dicintai Rakyat Papua. Bukan karena
beliau pemimpin NU. Tapi Gus Dur, menurut kami, benar-benar mengamalkan amalan
Islam Rasul. Beliau memimpin negara khususnya dalam memandang Papua, beliau
seperti Rasulullah, memimpin madinah,” paparnya.
Meski menjiwai betul prinsip OPM, namun Syafar sangat menghargai ukhuwah,
atau persaudaraan Islam. “Kami melihat PMII sebagai anak ideologis Gus Dur yang
mengajarkan pluralism dan menghargai Papua. Meski berbeda pandangan soal NKRI,
kami tetap menghargai,” ujarnya.
Ia menilai, turunnya Gus Dur dari jabatan Presiden, merupakan konspirasi elit,
yang menginginkan Negara ini tak maju. Ia juga meyakini, jika saja Gus Dur tak turun
dari jabatan Presiden, Gus Dur akan mengabulkan aspirasi rakyat Papua untuk
merdeka. “Politik di Papua tak sehat. Kalau Gus Dur saat itu menjabat satu tahun lagi
saja, Papua pasti Merdeka. Andaikan refferendum terjadi di Papua, andaikan anak di
dalam kandungan di Papua ditanya, pasti akan bilang Merdeka. Kami meyakini,
Kemerdekaan di Papua akan terjadi tanpa pertumpahan darah,” tandasnya.
Mengapa begitu yakin, jika Gus Dur mendukung kemerdekaan Papua? cecar
saya. Sebab, kata dia, Gus Dur sangat mafhum psikologi warga Papua. Ia juga
menyesalkan betapa cepatnya, Gus Dur pergi. Sebab selama Gus Dur ada, “kehidupan
beragama di sini tak mengalami gangguan apapun,” ujarnya.
Syafar yang seorang muslim, mengaku kecewa dengan merebaknya peraturan
daerah (perda) syariat Islam dan ramainya berita larangan pembangunan gereja di
Bekasi, Bogor dan sebagainya, umat Islam di Papua terkena imbas. "Tolong sampaikan
pada saudara kita di Jawa, jangan hancurkan tempat ibadah agama lain. Kami di sini
kena imbasnya. Membangun masjid pun kini kami dipersulit, gara-gara ulah sebagian
umat Islam di Jawa,” tandasnya.
Lalu Syafar bercerita tentang dukungan OPM terhadap kegiatan Muspimnas
PMII. Senada dengan pengakuan Engel, yang merupakan salah satu anak tokoh adat
setempat yang mendukung NKRI, OPM juga jarang bersedia menerima tamu yang
dianggap sebagai representasi ‘Jakarta’. Tapi karena yang melobi mereka adalah tokoh
NU setempat dan acara digelar oleh ‘kader-kader’ Gus Dur, maka OPM pun menerima
kedatangan ratusan pemuda Nusantara yang tergabung di PMII itu. “Karena Gus Dur,
kami juga malah ikut berjaga di sekitaran hotel,” imbuhnya. Maka berlapislah
pengamanan di sekitaran Sentani, dari aparat kepolisian dan TNI yang tak
memperlihatkan senjatanya, dari pasukan adat sekitaran pegunungan Sentani, hingga
pasukan OPM.
--
Berkah Gus Dur di tengah Premanisme
Peredaran minuman keras yang liar dan karakter warga setempat yang keras,
menambah potensi konflik di Tanah Tabi. Hal itu diakui Engel maupun Syafaruddin
secara terpisah. Sekali waktu, kami terlibat perselisihan kecil dengan sejumlah pemuda
yang tersinggung lantaran motornya disalip oleh mobil yang kami tumpangi. Beruntung
perselisihan perselisihan itu cepat tuntas tanpa menimbulkan pertumpahan darah.
Suasana sepi, dan malam hari, membuat kami agak ngeri juga. Jika tak ditemani
kader setempat, entah bagaimana nasib kami malam itu. Lantas apa tips sang kader
menghindari preman jalanan itu? “Saya minta maaf dan bilang kalau kami sedang antar
anak Gus Dur,” ujarnya.
Hal berbeda dialami Hendrik Sugara, ia mengaku sempat dihadang para
pemuda dan dilempari tombak. “Pagi itu saya menjemput salah satu
pemateri, di tengah jalan ada tombak yang dipalang. Karena tak tahu
saya tabrak saja. Tiba-tiba, mobil kami dikejar dan dilempari tombak,
Saya pun langsung tancap gas,” ujarnya.
Jalanan di Jayapura, khususnya di kawasan Sentani, memang mengitari
pegunungan, danau dan lautan. Pegunungan Siklok yang tengah dikeruk
untuk pelebaran jalan, tak mengurangi kesan angker di sana.
Ajaran Gus Dur Lestari di Tanah Tabi
Meski telah tiada, ajaran Gus Dur masih melekat di hati para aktivis Papua.
Tokoh muda Muslim Jayapura, Ahmad Muhajir yang kini mengasuh Pondok Pesantren
Daru Dakwah Wal Isryad (DDI) Abdurrahman Ambo Dalle itu, merasakan hal itu sejak ia
kecil dan tumbuh di tanah Tabi.
“Potret kerukunan umat terindah menurut saya di Papua. Ketika lebaran,
kita berlebaran bersama, semua merayakan. Ketika natalan, semua
gembira. Dinamika masyarakat beragama yang patut dicontoh saya kira di
Papua. Masjid selalu berdampingan dengan Gereja, tak ada masalah.
Penerapan Islam Rahmatan Lil Alamin termanifestasi di Papua,”
paparnya.
Pluralisme di Papua, kata Muhajir, sangat terjaga dengan baik. “Kami dengan
teman-teman pemuda lintas agama, membentuk Forum
Komunikasi Lintas Agama (Formula) Natalan, begini biasanya ketua
panitia pengamanan muslim, dari masjid, pesantren OKP-OKP Islam,
begitu pun sebaliknya. Kalau Idul Fitri, kaum Nasrani yang menjaga
kami,” ujarnya.
Dengan marwah gerakan Ahlu Sunnah Wal Jamaah (Aswaja) yang banyak
dianut para Ulama di Papua, Islam menjadi sebuah mainstream gerakan
yang diterima secara keseluruhan karena bersifat moderat. Hal itu,
kata Muhajir berimbas positif bagi gerakan kemahasiswaan Islam semacam
PMII. “Sejak 1994 PMII masuk ke Papua tak pernah ada konflik dengan
masyarakat lokal. Bahkan sejak sebelum integrasi Papua dengan NKRI
sudah ada NU di Papua, melalui para perantau dari Bugis. Sejak masa
pemerintahan Hindia Belanda, tak pernah ada konflik berlatar belakang
agama,” ujarnya.
*(Sebagian isi feature ini pernah dimuat berseri di Harian Duta Masyarakat,
dengan judul “Pluralisme Gus Dur Bersemai di Tanah Tabi”, 11 Desember 2012-
15 Desember 2012)