granuloma apikal junal
DESCRIPTION
granulomaTRANSCRIPT
Laporan Kasus: Atipikal Granuloma Periapikal yang Agresif
Abstrak
Kasus ini membahas tentang atipikal granuloma periapikal yang agresif pada
molar pertama dan kedua mandibula kanan dari seorang wanita, ras kaukasian,
berusia 32 tahun.
Pendahuluan
Rahang adalah tempat tempat pertumbuhan beberapa jenis kista dan
neoplasma, karena merupakan jaringan utama penyusun gigi. Lesi periapikal yang
dihasilkan dari nekrosis pulpa adalah salah satu penyakit yang paling sering terjadi di
tulang alveolar. Meskipun demikian, beberapa tumor jinak rahang dan beberapa kista,
baik yang berasal dari odontogen dan non-odontogen, dapat menunjukkan
pertumbuhan yang agresif dan mungkin sulit didiagnosa. Pemeriksaan histopatologi
masih merupakan pemeriksaan utama untuk menegakkan diagnosis, walaupun telah
berkembang pemeriksaan molekuler dan imunohistokimia.
Periodontitis apikalis merupakan disorganisasi jaringan periradikuler yang
disebabkan oleh agen endodontik yang akan menjadi infiltrat inflamasi kronis, yang
dapat menyebabkan resorbsi jaringan keras dan destruksi ligamen periodontal. Ini
merupakan akibat dari infeksi saluran akar gigi yang mengakibatkan inflamasi yang
terus menerus dan destruksi tulang periradikuler. Resorbsi tulang alveolar disekitar
akar gigi mempengaruhi pembentukan osteoklastik dan reseptor kemotaktik
osteoklastik.
Banyak kasus granuloma periapikal tidak menunjukkan gejala. Tidak
ditemukan perforasi tulang dan pembengkakan mukosa dalam bentuk fistula,
walaupun lesinya eksaserbasi akut. Dengan adanya proliferasi dari granuloma
periapikaldan resorbsi tulang, granuloma periapikal tampak sebagai daerah radiolusen
dengan berbagai ukuran. Enam faktor yang diduga menyebabkan granuloma
periapikal asimptomatik adalah infeksi intraradikuler persisten, infeksi ekstraradikuler
(paling banyak karena actinomyosis), reaksi tubuh terhadap benda asing, akumulasi
kristal kolesterol yang mengiritasi jaringan periapikal, lesi kista yang sebenarnya, dan
jaringan sikatrik. Interaksi dari faktor mikrobiologi dan mekanisme pertahanan tubuh,
banyak menghancurkan jaringan periapikal, yang menghasilkan beberapa tipe lesi
periapikal.
Ketika pulpa dentin terserang bakteri, saluran akar gigi menjadi habitat
berbagai macam biota yang bisa menjadi respon inflamasi. Ini merupakan penyebab
periodontitis apikal yang paling banyak yang bermanifestasi sebagai granuloma
dental, kista radikuler, dan abses periapikal. Biasanya, lesi inflamasi periapikal yang
berasal dari endodontik berdiameter 5-8 mm. Lesi lebih besar dari 10 mm merupakan
granuloma, dan terbesar adalah kista apikalis. Diagnosis banding dari periodontitis
apikal termasuk beberapa lesi yang berasal dari lesi non-endodontik.
Tujuan dari artikel ini adalah melaporkan temuan radiologis dari lesi ekspansif dan
lesi osteolitik dari regio posterior mandibula yang diduga merupakan suatu tumor
odontogen atau kista apikal, yang dari pemeriksaan histopatologi merupakan suatu
granuloma apikal. Pada artikel ini dijelaskan aspek radiografi, klinis, dan histologi
dari lesi beserta follow-up 5-8 bulan setelah operasi.
Laporan Kasus
Seorang wanita 32 tahun, ras kaukasian yang rutin periksa gigi ke dokter gigi
mengeluhkan nyeri dan rasa tidak nyaman pada molar pertama rahang kiri bawah,
dokter meyarankan untuk melakukan foto panoramik dan periapikal radiografi to
melengkapi pemeriksaan. Sebuah lesi radiolusen dikelilingi radioopak halo, ekspansif
dan menyebabkan penipisan lapisan kortikal molar pertama dan kedua mandibula
kanan. Kunjungan terakhir ke dokter gigi sekitar 5 tahun lalu dan tidak ada data
munculnya lesi tersebut.
Pasien tersebut tidak mengeluhkan gejala pada regio tersebut, karena keluhan
tidak nyaman dan nyeri pada sisi sebelahnya, dimana terdapat lesi apikal pada molar
pertama rahang kiri bawah. Namun, ia menyampaikan abses sporadis pada regio
bukoapikal molar pertama rahang kanan bawah.
Pemeriksaan fisik ekstraoral menunjukkan asimetri wajah yang tidak
mencolok di basal dan sudut regio mandibula. Pemeriksaan intraoral menunjukkan
peningkatan volume bukal dan kemerahan pada ginggiva.
Pemeriksaan radiologi didapatkan lesi osteolitik, lesi hipodens, dikelilingi
hiperdens halo yang mengganggu kanalis mandibularis, ekspansif ke kortikal lidah
dan basis mandibul, termasuk apex molar kedua mandibula kanan dan menyatu
dengan lesi endo-perio molar pertama mandibula kanan. Molar ketiga mandibula
kanan tidak terkena. Diagnosis sementara dianggap unikistik ameloblastoma, tumor
odontogen keratokistik, dan kista apikal.
Pasien dikonsulkan pada dokter bedah, dan disarankan melakukan eksisi
biopsi. Akses pertama sebelum operasi melalui intraoral, dengan mengambil fragmen
bukal dari lesi periodontal dari molar pertama mandibula kanan. Karena lesinya
terletak di lingual, dokter bedah memutuskan untuk mengambil melalui ekstraoral,
lewat leher, sampai regio yang dituju. Selama menghilangkan lesi, ditemukan juga
beberapa material granuloma. Gigi yang bersangkutan tidak diambil karena takut akan
terjadi fraktur patologis. Spesimen lalu dikirim untuk pemeriksaan histopatologi.
Pemeriksaan histologi dilakukan dengan pengecatan hematoxylin-eosin dan
diperiksa dibawah mikroskop cahaya. Didapatkan fragmen-fragmen jaringan ikat
dengan berbagai densitas, jaringan kolagen, fibroblas, beberapa basofilik, tebal
dibeberapa area, bagian dalamnya terdiri dari infiltrat inflamasi terdiri dari limfosit,
sel plasma, neutrofil, dan epiteloid dan makrofag. Terdapat juga pembuluh darah,
sebagian ada yang melebar. Diagnosanya merupakan suatu inflamasi kronik karena
granuloma dental. Dibutuhkan follow-up terhadap kasus ini sehingga dilakukan foto
radiologi ulangan.
Setelah empat bulan, molar pertama rahang kanan bawah dicabut dan
dilakukan CT baru untuk memantau involusi dari lesi. Dari hasil foto ulang,
didapatkan bahwa lesi telah regresi dan ekspansi telah berkurang, meskipun demikian
hasil itu belum bisa dinilai jika tulangnya belum diperbaiki. Foto yang lain diambil
delapan bulan setelahnya dan memungkinkan pengamatan pembentukan tulang dan
perbaikan.
Pembahasan
Secara klinis dan radiologi, enukleasi dan destruksi tulang merupakan pola lesi
atipikal granuloma. Salah satu hipotesis adalah tumor odontogen keratokistik (TOK).
TOK biasanya dibagi atas kista yang berkembang secara agesif dan perilaku klinis
yang berulang. Secara radiologi, digambarkan sebagai radiolusensi multilokuler. TOK
merupakan 5-15% penyebab dari kista odontogen. Hipotesis yang lain adalah
ameloblastoma, secara umum terdiri dari satu kantung, biasanya pada usia 20-30an,
terdapat pada molar rahang bawah. Meskipun, kista ameloblastoma sering
menyebabkan perforasi tulang mandibula. Kista apikal tidak disingkirkan dari
diagnosa, karena merupakan penyebab tersering dari lesi di mandibula. Sementara itu,
hipotesis granuloma apikal tidak tepat dipertimbangkan karena lesi yang atipikal.
Penyembuhan dari lesi tergantung pada periodontitis apikalis, seperti
granuloma, abses, dan kista, gagal setelah perawatan saluran akar gigi, hingga infeksi
intra dan ekstraradikuler. Perawatan saluran akar gigi pada molar pertama mandibula
kanan tidak cukup untuk menyingkirkan infeksi dan mungkin menjadi etiologi
pertumbuhan dari lesi. Diantara terapi bedah yang dilakukan untuk lesi osteolitik,
marsupilasi tidak begitu invasif, walaupun selama pembedahan dirasakan tidak
nyaman saat pemasangan drain, sulitnya menjaga kebersihan, penyembuhan dapat
berlangsung lama, dan mungkin diperlukan operasi yang lain. Kebanyakan hipotesis
merupakan tumor odontogen sehingga pilihan utama nya adalah eksisi biopsi. Dalam
kasus enukleasi, pembuluh darah besar dan saraf harus dilindungi dan graft untuk
rekonstruksi mungkin diperlukan dengan perawatan khusus di rumah sakit. Dalam
kasus ini, graft rekonstruksi tidak diperlukan, karena destruksi tulang terbatas pada
tulang lingual dan tidak menganggu fungsi dan estetika.
Selama evaluasi perioperatif, dilakukan pemeriksaan Papaniculau smear, tes
albumin, dan elektroforesis. Seharusnya, kista periapikal dan granuloma bisa
dibedakan dengan pemeriksaan radiografi periapikal. Karateristiknya menyerupai
kista, bulat, berbatas tegas, dengan batas sklerotik dengan diameter lebih besar dari 10
mm. Sementara granuloma dapat berbagai bentuk, difus, dan biasanya lebih kecil dari
10 mm. Lesi periapikal yang ekstensif dan kista radikuler tidak dapat didiagnosa
sebelum biopsi. Pemeriksaan radiografi juga tidak bisa digunakan untuk membedakan
keduanya.
Sekarang, dengan perkembangan pemeriksaan radiologi, seperti CT, MRI, dan
CBCT (cone beam computer tomography), lesi bisa dibedakan dengan melihat
perbedaan densitas lesi preoperatif. Penggunaan klinis CBCT terbukti dapat
membedakan diagnosis banding dari lesi periapikal. Kista dapat dibedakan dari
granuloma dengan pemeriksaan CT menggunakan perbedaan densitas antara kavitas
kista dan jaringan granuloma. Granuloma mempunyai celah yang lebih sempit dan
radioopak dari pada kista apikal. Lesi periapikal umumnya terdiri dari jaringan lunak
keras (granuloma) atau termasuk semi-solid dan cairan. Pengukuran daerah radioopak
dapat membedakan jaringan lunak atau cairan. Kista radikuler bisa dibedakan dengan
granuloma periapikal dengan CT ditandai dengan rendahnya densitas dari kavitas
kista dibanding jaringan granuloma. CBCT menunjukkan hasil yang lebih baik, lebih
akurat, dan lebih cepat to mendiagnosis lesi solid daripada cairan dan kavitas. Jika
lebih radioopak, berarti lesi tersebut granuloma. Ini digunakan para dokter bedah
untuk menentukan apakah perlu operasi atau tidak. Pendapat lain mengatakan tidak
mungkin dapat membedakan granuloma dan kista dari pemeriksaan radiologi dan
klinis. Namun, pemeriksaan histopstologi dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosa, tetapi mempelajari radiografi untuk rencana perawatan tidak dapat
dikesampingkan.
Kesimpulannya, dalam mendiagnosis tumor endodontik diperlukan informasi
yang cukup dari anamnesis (riwayat penyakit sekarang), pemeriksaan fisik, tes
vitalitas pulpa, dan aspek radiologi. Oleh karena itu, perawatan selama diagnosis
wajib dilakukan untuk menentukan pilihan terapi terbaik. Lesi endodontik tidak boleh
diremehkan, seperti diperlihatkan pada kasus, gangguan yang tampaknya tidak agresif
akhirnya dapat menyebabkan kerusakan tulang dan gigi yang luas.