globalization, terorisme dan human security 6

21
Globalization, Terorisme Dan Human Security Makalah ini ditulis untuk memenuhi salah satu tugas individu mata kuliah Globalisasi Dosen Pembimbing: Arry Bainus, Drs., M.A. Dadan Suryadipura, S.IP Deasy Silviyasari. S.IP Disusun oleh : Fanny Gunawan 170210060066 0

Upload: zazaroza

Post on 21-Jun-2015

311 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Globalization, Terorisme Dan Human Security 6

Globalization, Terorisme Dan Human Security

Makalah ini ditulis

untuk memenuhi salah satu tugas individu

mata kuliah Globalisasi

Dosen Pembimbing:

Arry Bainus, Drs., M.A.

Dadan Suryadipura, S.IP

Deasy Silviyasari. S.IP

Disusun oleh :

Fanny Gunawan

170210060066

Universitas Padjadjaran

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jurusan Hubungan Internasional

Jatinangor 2008

Pendahuluan

0

Page 2: Globalization, Terorisme Dan Human Security 6

Perang global melawan terorisme, sebagaimana definisi Campbell seperti ‘Perang

Globalisasi Pertama’, hal ini disimbolisasikan oleh banyaknya trend; tendensi

meningkatnya Negara-negara untuk berbalik memberi perhatian untuk

melakukan kerja sama international dalam pencegahan ancaman keamanan.

Perang global melawan terorisme tersebut makin mengemuka setelah terjadinya

serangan terrorist ke gedung WTC dan Pentagon, Amerika Serikat yang dikenal

dengan Peristiwa 9/11. Peristiwa tersebut menegaskan bahwa perang melawan

terorisme menjadi bagian yang terpisahkan dari menjaga agar peradaban

manusia tetap terjaga. Terorisme yang berakar dari ketidakpuasan dan

ketidakadilan yang berkembang di masyarakat karena ketidakmampuan

pemerintah dalam merealisasikan harapan dan tuntutan yang berkembang di

masyarakat makin menjadi dengan menggunakan sentimen ideologi; Marxism-

Leninism, atau nationalism, dan juga agama. Ideologi-ideologi tersebut menjadi

bagian dari upaya untuk melegitimasikan berbagai praktik kekerasan yang

menjadi inti dari terorisme. Kebencian kelompok separatism terhadap Negara

induk, menjadi satu stimulasi bagi praktik kekerasan dan terror, sebagaimana

yang terjadi di Srilanka, antara pemerintah Srilanka dengan kelompok Macan

Tamil Ealam, antara Pemerintah Turki dengan kelompok pemberontak Suku

Kurdi, antara Pemerintah Philipina dengan MILF,Abu Sayaf, ataupun MLNF, serta

sejumlah aksi tindak kekerasan dan terror lainnya, aksi bom bunuh diri dan

tindak kekerasan hampir selalu menjadi keseharian di Negara-negara penuh

konflik.

Sementara itu, aksi terror yang berkaitan dengan kebencian terhadap dominasi

Barat, telah menyebar, tidak hanya di Negara-negara yang dianggap sebagai

actor dari hegemoni Barat. Melainkan juga ke Negara-negara yang relative tidak

memiliki kaitan secara langsung dengan Amerika Serikat, Inggris, ataupun

Australia. Sebut saja misalnya Indonesia, yang telah diguncang empat kali aksi

terror terkait dengan jaringan transnational terrorisme: bom bali I dan Bom Bali

II, Bom di Hotel J.W.Marriot, dan juga Kedutaan Besar Australia di Jakarta. Belum

lagi sejumlah aksi terror yang dilakukan di Indonesia sepanjang tahun 2001

hingga tahun 2006,yang membidik sasaran pada fasilitas dan symbol Barat;

Mc.Donalds Resuaturant, KFC Restauran, dan lain sebagainya. Di samping itu, di

beberapa Negara juga mengalami hal yang sama sebagaimana yang terjadi di

Indonesia, sebut saja misalnya Turki, dan Pakistan, India, yang mengalami

berbagai aksi kekerasan atas nama agama dan kebencian terhadap symbol

Barat, terakhir misalnya terbunuhnya Benazir Bhuto sebagai salah satu bentuk

1

Page 3: Globalization, Terorisme Dan Human Security 6

peringatan kelompok radikal agama di Negara tersebut yang menganggap Bhuto

terlalu dekat dengan Amerika Serikat, dan Inggris.

Berbagai contoh di atas sesungguhnya mempertegas bahwa pola dan gerak

terrorisme telah berubah sejak Peristiwa 9/11. Perubahan pola tersebut terletak

pada sasaran, dan organisasi terrorisme, yang hingga saat ini cenderung tercerai

berai pasca tumbangnya Rezim Taliban, serta tertangkap dan terbunuhnya

sejumlah tokoh organisasi terorisme,baik level nasional, regional, maupun

transnational. Di samping itu, terbangunnya perdamaian di beberapa Negara

yang memiliki konflik dengan kelompok terorisme setempat makin melengkapi

hipotesis awal bahwa pengaruh Perang Global terhadap Terrorisme pasca

Peristiwa 9/11 telah merubah pola dan pergerakan kelompok terorisme di seluruh

dunia, baik yang bersifat nasional, regional maupun transnational.

2

Page 4: Globalization, Terorisme Dan Human Security 6

Globalisasi

Pada titik ini, perlu dicatat bahwa terdapat persoalan dalam mendefinisikan

kedua terminologi, globalisasi dan terorisme. Salah satu penyebab luasnya

tafsiran atas globalisasi adalah kerancuan yang muncul karena istilah globalisasi

digunakan berganti-ganti dengan istilah internasional, inter-territorial,

multinasional, transnasional, dan world-wide. Sementara, istilah tersebut berbeda

makna satu dengan lainnya. Penelitian Hirst dan Thompson, misalnya, menolak

penggunaan istilah globalisasi secara interchangeable. Keduanya berargumen

bahwa apa yang dikenal orang banyak sebagai “globalisasi” seharusnya disebut

dengan istilah highly internationalized economy.1

Singkatnya, pengertian global economy sangat jauh berbeda dengan highly

internationalized economy. Pada pengertian pertama, global economy, sebuah

kebijakan nasional dalam bidang ekonomi menjadi tidak berguna karena

berjalannya ekonomi akan sangat ditentukan oleh kekuatan pasar dunia dan

keputusan-keputusan yang diambil oleh perusahaan trasnasional. Sementara

pada pengertian yang kedua, kebijakan ekonomi nasional tetap diperlukan dan

bahkan merupakan bagian penting dalam mempertahankan corak dan kekuatan

dari basis ekonomi sebuah negara dan perusahaan-perusahaan yang melakukan

transaksi dengannya.2

Berkaitan dengan hal ini, terdapat sebuah pertanyaan penting yang perlu

dicarikan jawabnya yaitu: apakah global economy eksis atau akan eksis? Untuk

menjawab pertanyaan ini, Linda Weiss telah mengajukan empat point yang bisa

dijadikan tolok ukurnya yakni: world trade, finance, investment dan production.

Studinya menunjukkan bahwa tingkat keterbukaan (openness) dan

kesalingtergantungan (interdependence) saat ini bukanlah tanpa preseden

karena pada periode sebelum Perang Dunia I, perdagangan dunia telah mencapai

level yang sama dengan saat ini.3

Pemikiran lain mengenai globalisasi dimunculkan oleh Stanley

Hoffman.4 Menurutnya, globalisasi berjalan dalam tiga bentuk yang masing-1 http://yudhitc.wordpress.com/2007/06/19/110/2 Lihat Paul Hirst dan Grahame Thompson, Globalization in question (Cambridge: Polity Press, 1996), hal.185.3 Linda Weiss, The Myth of powerless state (NY: Cornell University Press), hal. 167-168.4 Stanley Hoffman, “Clash of globalization”, Foreign Affairs vol.81/4 (July/August 2002), hal. 107-108.

3

Page 5: Globalization, Terorisme Dan Human Security 6

masing memiliki masalah tersendiri. Pertama adalah globalisasi ekonomi, yang

merupakan hasil dari revolusi teknologi, informasi, perdagangan, investasi dan

bisnis internasional.

Aktor utamanya adalah perusahaan, investor, bank, industri jasa, negara dan

organisasi internasional. Kedua adalah globalisasi kultural, yang juga merupakan

turunan dari revolusi teknologi dan globalisasi ekonomi, di mana keduanya

menciptakan dan membentuk arus perpindahan barang-barang kultural.

Dilemanya adalah keharusan memilih antara uniformitas (yang sering disebut

sebagai Americanization) dan keragaman (diversity). Hasilnya adalah reaksi

terhadap uniformitas tersebut. Ketiga adalah globalisasi politik, yang merupakan

produk dari dua bentuk terdahulu. Bentuk terakhir ini ditandai dengan kuatnya

pengaruh Amerika Serikat dan institusi politiknya serta berbagai jaringan

organisasi internasional dan regional.

Perlu diperhatikan bahwa sebuah fenomena lain menjadi proxy yang mengiringi

meluasnya fenomena globalisasi. Setelah Perang Dingin usai, dan juga setelah

aksi serangan terorisme ke New York dan Washington DC pada 2001, dunia

semakin menaruh perhatian pada fenomena kejahatan transnasional

terorganisasi (transnational organized crime/TOC). Kemungkinan pertemuan

kepentingan antara kelompok kejahatan transnasional dengan kelompok teroris

mengubah cara pandang secara drastis mengenai TOC. Sebelumnya, persoalan

kejahatan terorganisasi seringkali dianggap sebagai persoalan kriminal biasa dan

karenanya hanya berhubungan dengan ketertiban dan sama sekali bukan

persoalan mengenai keamanan (security).

Globalisasi sering dianggap sebagai penyebab meluasnya fenomena TOC ini.

Globalisasi jelas mendorong meluasnya modus bisnis legal yang melintas batas

negara, namun pada saat yang sama ia juga memberi peluang pada meluasnya

bisnis illegal karena kemudahan yang ditawarkan oleh kemajuan pesat dalam

teknologi, utamanya teknologi komunikasi dan transportasi. Akibatnya,

konsumerisme dan komersialisme Barat yang dicitrakan melalui gaya hidup dan

kemakmuran yang ditransfer melalui citra televisi, internet dan lain-lain,

mendorong orang untuk mendapatkannya dengan cara mudah yakni melalui

bisnis-bisnis illegal. Akibatnya, kelompok-kelompok bisnis illegal, yang sering

disebut sebagai kelompok black dollar, meningkat pesat jumlahnya di berbagai

tempat di dunia.

4

Page 6: Globalization, Terorisme Dan Human Security 6

Manifestasi dari bisnis illegal TOC ini sangat beragam, di antaranya adalah

meluasnya akses atas pembelian senjata bagi aktor-aktor non-negara, baik

perorangan maupun kelompok. Sejak pertengahan 1990-an, pasar senjata

semakin terfragmentasi yang ditandai dengan bermunculannya banyak produsen

senjata baru di dunia. Sebelumnya, selama masa Perang Dingin, pasar global

untuk senjata ringan ini sangat dikuasai oleh dua negara super power yaitu Uni

Soviet dan Amerika Serikat. Akibatnya, kontrol atas produksi dan transfer senjata

menjadi jauh lebih sulit dilakukan. Pada akhirnya, hal ini mengubah struktur

industri senjata dan membuatnya semakin bisa diakses oleh lebih banyak pihak

di luar negara.5

Terkaitnya kelompok kejahatan dengan kelompok terorisme terutama bisa dilihat

di wilayah Asia Selatan. Di kawasan ini, selama 1980-an misalnya, berkembang

hubungan-hubungan yang kompleks antara produsen narkotika, penyelundup

senjata dan gerakan-gerakan radikal yang menggunakan metode teror (Marxist,

separatis, ataupun kelompok-kelompok militan), yang menyebabkan wilayah

tersebut secara geopolitik menjadi wilayah yang tidak stabil.6

Terrorisme Pasca 9/11

Charles F. Parker dan Eric K. Stern mengungkapkan bahwa aksi dari kelompok

terorisme pasca 9/11 akan mengejutkan dan cenderung kurang terantisipasi,

karena telah terjadi banyak perubahan dan penyesuaian dengan Perang Global

melawan terorrisme. Keduanya mencontohkan bahwa sasaran aksi dari terorisme

transnational, misalnya tidak lagi ke pusat Negara-negara Barat seperti Amerika

Serikat, Inggris, ataupun Australia, melainkan pada asset-aset yang terkait

dengan Negara-negara Barat yang tersebar di seluruh dunia. Meski pada kasus

peledakan bom di stasiun kereta bawah tanah dan lapangan terbang di Inggris

menjadi bukti bahwa sesekali, aksi terror juga dilakukan di jantung dari

peradaban Barat. Dalam konteks tersebut sebenarnya membutuhkan konsentrasi

dan siaga penuh bagi Negara-negara Barat khususnya, dan Negara-negara di

belahan dunia lainnya untuk secara khusus memberikan perhatian pada Perang

Global melawan terrorisme. Taktik Hit and Run yang dipraktikkan oleh organisasi

terrorisme tersebut memberikan satu pelajaran berharga bahwa perang global

5 Small arms survey 2001: profiling the problem (Jenewa: Graduate Institute of International Studies, 2001) untuk memperoleh gambaran yang lebih komprehensif mengenai industri senjata ringan.6 Tara Kartha, “Southern Asia: the narcotics and weapons linkage”, dalam Singh, J (ed.), Light weapon and international security (New Delhi: Indian Pugwash Society and British American Security Information Council, 1995), hal. 63-86.

5

Page 7: Globalization, Terorisme Dan Human Security 6

melawan terrorisme harus lebih diefektifkan kembali. Karena semangat Jihad dan

siap mati demi kehormatan, bangsa, dan agama menjadi satu opsih yang banyak

dipilih pelaku terror, baik level nasional, regional,maupun transnational pasca

Peristiwa 9/11. Dimana dari penelitian yang dilakukan oleh Robert A. Pape , bom

bunuh diri mengalami peningkatan dibandingkan sebelum Peristiwa 9/11.

Dalam pandangan saya, perubahan yang terjadi di internal organisasi terorisme

cenderung luput dari perhatian banyak pihak. Asumsi bahwa dengan menginvasi,

dan menghancurkan Negara yang menjadi basis dari organisasi terorisme

sebagaimana yang dilakukan di Afganistan ataupun Irak, maka aksi terror akan

berhenti adalah asumsi yang tidak sepenuhnya benar. Aksi penangkapan dan

terbunuhnya beberapa petinggi organisasi terorisme seperti Al Qaeda, ataupun

Jama’ah Islamiyah (JI) di Asia Tenggara tidak juga memberikan garansi akan

berhentinya aksi terror. Dalam kasus JI di Asia Tenggara misalnya, penangkapan

Hambali, dan Omar Faruk sebagai operator JI di Asia Tenggara juga tidak

memberikan ketenangan dari ancaman terror. Tertangkapnya Imam Samudera,

dan jaringan terrorisme lainnya seperti Abu Dujana menjadi satu keberhasilan

bagi Indonesia dalam perang global melawan terrorisme, ditambah pula Dr.

Azahari, gembong terrorisme juga terbunuh oleh satuan khusus anti terror;

Detasemen 88. Akan tetapi, sekali lagi, keberhasilan tersebut tidak serta merta

membuat aksi terror di Indonesia, dan asia tenggara khususnya,dan dunia

umumnya akan hilang. Justru invasi Amerika Serikat dan sekutunya ke

Afganistan, dan Irak, penangkapan, dan terbunuhnya sejumlah petinggi dari

organisasi terorisme menjadi stimulasi akan makin bervariasinya organisasi, pola,

strategi dan target dari organisasi terorisme tersebut , yang pada akhirnya akan

menyulitkan upaya banyak Negara untuk memerangi terorisme dalam kontek

perang global melawan terorisme ini.

Adapun perubahan-perubahan yang terjadi di internal organisasi terrorisme

adalah sebagai berikut: Pertama, pola hubungan organisasi terorisme. Jika

sebelum Peristiwa 9/11 organisasi terorisme yang tersebar di seluruh dunia

bersifat terdesentralisasi terkomando, di mana keputusan organisasi terorisme

intternational harus dijalankan oleh satuan-satuan organisasi terorisme yang

bersifat regional maupun nasional. Pola penyebarannya informasi dari keputusan

organisasi terorisme international dan pendanaannya pun masih memanfaatkan

kurir dengan bentuk sel organisasi yang tidak terlalu beraturan. Sekedar ilustrasi,

misalnya organisasi JI dapat beroperasi dengan berbagai pola yang terkesan

menyatu dengan gerakan separatism di Thailand Selatan , ataupun Philipina

Selatan , sementara di Indonesia, JI dapat menjelma menjadi organisasi Islam

6

Page 8: Globalization, Terorisme Dan Human Security 6

radikal seperti Darul Islam , yang menuntut dan memperjuangkan Negara Islam.

Sementara di Malaysia JI menjelma menjadi organisasi pengajian Islam .

Disamping itu juga organisasi terorisme lainnya yang bermarkas di beberapa

negara Timur Tengah. Organisasi tersebut menjalankan pola dan gerak yang

seirama dengan terrorisme international seperti Al Qaeda, sebagai induk dari

organisasi terorisme di dunia, khususnya yang terkait dengan Islam. Salah satu

tuntutan yang sama adalah memperjuangkan semangat dan penyadaran kepada

masyarakat untuk membentuk Negara Islam di masing-masing Negara, yang

kemudian akan membangun satu Pemerintahan Islam di Dunia.

Sedangkan perubahan dari organisasi terorisme pasca Peristiwa 9/11 adalah

desentralisasi organisasi yang diserahkan inisiatifnya kepada masing-masing

organisasi. Hal ini pada akhirnya mendorong beberapa organisasi terorisme

berubah menjadi organisasi yang bersifat formal, seperti Majelis Mujahidin

Indonesia (MII), atau kemudian secara terbuka menjadi bagian dari organisasi

pemberontakan sebagaimana yang terjadi di Thailand Selatan dan Philipina

Selatan. Atau ada juga yang merubah organisasinya menjadi partai politik seperti

Ichwanul Muslimun di Mesir, Hamas di Palestina, Hisbullah di Libanon, dan tak

jarang juga yang terpecah menjadi beberapa faksi sebagaimana yang terjadi di

PKK, partai etnis Kurdi, yang salah satu pecahan faksinya bekerja sama dengan

Pemerintah Turki.

Kedua, pola hubungan antara organisasi terrorisme dengan Negara atau

pemerintah. Sebelum Peristiwa 9/11 hubungan antara organisasi terrorisme

dengan Negara atau pemerintah hanya ada dua kemungkinan, menjadi

pendukung pemerintah atau menjadi oposisi dan melawan pemerintahan dengan

senjata. Pemerintah yang mendapat dukungan dari organisasi terorisme adalah

Pemerintahan Taliban di Afganistan, dan yang mendukung aktivitas Terorisme

adalah Iran dan Suriah yang mendukung Hisbullah, dan Hamas. Sedangkan

Negara yang mendapat perlawanan hebat oleh terorisme adalah Thailand, dari

Pathani dan Yala di Thailand Selatan, dan Philipina dari Philipina Selatan.

Sementara Indonesia mendapatkan perlawanan serius jaringan terorisme asal

Malaysia yang beroperasi di Indonesia, Dr. Azahari dan Norordin M. Top.

Sedangkan pasca 9/11, hubungan antara organisasi terorisme dengan Negara

berkembang menjadi tiga model,yakni: (1) Organisasi terorisme yang berubah

menjadi partai politik atau organisasi massa, seperti Hamas di Palestina dan

Hisbullah di Libanon. Hamas memenangkan Pemilu di Palestina, namun

berkonflik dengan Faksi Fatah pimpinan Presiden Machmod Abbas, sedangkan

Hisbullah menguasai sebagian wilayah Libanon, dan secara tidak langsung

7

Page 9: Globalization, Terorisme Dan Human Security 6

hubungannya dengan pemerintah Libanon relative baik. (2) Organisasi terrorisme

yang murni mengusung gerakan separatisme, hubungannya dengan pemerintah

tidak stabil, kadang berdamai kadang berperang. Gerakan Moaist di Nepal

menjadi salah satu contoh yang menarik, karena tuntutan kelompok tersebut

untuk merubah kerajaan menjadi republik, mendapatkan dukungan luas,dan

tengah digodok parlemen. Contoh yang lain adalah kelompok separatism Tamil

Ealam, setelah gencat senjata, dan perang terbuka dengan pemerintah,

kelompok separatism di Srilanka tersebut kemudian memilih melakukan metode

gerilya kembali, karena tuntutan untuk merdeka ditolak pemerintah Srilanka. (3)

organisasi terorisme yang sebelumnya mendapat dukungan dari

pemerintah,lantas berubah haluan melawan pemerintah adalah Al Qaeda di

Afganistan kemudian bergabung dengan sisa-sisa pejuang Taliban, yang

dilengserkan oleh Amerika Serikat dan Sekutunya ketika berkuasa dibawah

pimpinan Mullah Omar. Al Qaeda dan Taliban melakukan taktik gerilya untuk

mengganggu konsentrasi pemerintahan Hameed Karzai yang dianggap boneka

yang dikendalikan oleh Amerika Serikat. Hal yang menarik adalah, keduanya

tidak melakukan perlawanan separatism, melainkan melawan pemerintahan

yang dikendalikan oleh Amerika Serikat dan sekutunya, yang nota bene adalah

musuh besar kelompok terorisme tersebut.

Ketiga, ideology dari kelompok terorisme sebelum Peristiwa 9/11 begitu

beragam, dari mulai Marxism-Leninism, ultra-nationalism, hingga ideology

berbasis agama, Kristen, Katolik, Hindu, dan lain sebagainya. Bahkan tak jarang

beberapa organisasi terrorisme tersebut mencampuradukkan berbagai ideology

kedalam perjuangannya, sebut saja misalnya PKK, Partai Pekerja Kurdistan, yang

mencampuradukkan Islam, Marxism-Leninism dengan nasionalisme Kurdi. Atau

misalnya FLN, MILF, Pemberontak Phatani di Thailand Selatan yang

mencampuradukkan semangat keislaman dengan nasionalisme, atau

nasionalisme dengan Katolik di Irlandia Utara, nasionalisme dan kedaerahan di

Basque, dan Corsica, serta berbagai label ideology dari organisasi terorisme.

Sementara itu organisasi terorisme yang lebih radikal lainnya salah satunya

adalah Red Army, Jepang, yang banyak beroperasi di luar Jepang. Red Army

berideologi Marxism-Leninism.

Pasca Peristiwa 9/11, ideology terorisme cenderung mengerucut pada ideology

keagamaan,khususnya Islam. Hal ini disebabkan banyak dari organisasi

terorisme yang mengubah pola dan strategi gerakannya agar tidak disamakan

dengan Al Qaeda dan jaringannya, baik JI, Hamas, Ichwanul

Muslimun,Hisbullah,dan lain sebagainya. Bahkan tak sedikit organisasi terorisme

8

Page 10: Globalization, Terorisme Dan Human Security 6

tersebut memilih berdamai dengan pemerintah setempat untuk menghindari

pelabelan sebagai organisasi terorisme, salah satunya misalnya MNLF, yang

akhirnya kalah pamor dengan MILF, atau GAM di Aceh, Indonesia, dan Fatah di

Palestina. Selain itu ada IRA, yang memilih berdamai dan duduk bersama dalam

parlemen Irlandia Utara dengan faksi protestan pro Inggris. Sehingga tak heran

apabila kemudian ideology organisasi terorisme lebih mengerucut kepada

ideology berbasis Islam, meski juga harus digarisbawahi bahwa ideology lain juga

tetap ada meski setelah Peristiwa 9/11 cenderung tidak signifikan.

Keempat, tujuan organisasi terorisme. Sebelum Peristiwa 9/11, tujuan dari

organisasi terorisme beragam dan bervariasi, dari sekedar membuat keonaran,

terror dan mengganggu kestabilan sosial politik suatu Negara, menolak

hegemoni Negara Barat, merebut kekuasaan, memisahkan diri dari Negara induk,

hingga membentuk pemerintahan international berbasis Islam. Kelompok

terrorisme yang cenderung mengganggu kestabilan social politik suatu Negara,

bisa disebut misalnya Red Army, Jepang, menolak hegemoni Negara Barat

misalnya aktivis lingkungan radikal, serta kelompok Islam radikal. Sementara

organisasi yang bercita-cita merebut kekuasaan misalnya kelompok

pemberontak Marxist di Columbia, sedangkan organisasi terorisme yang bercita-

cita memisahkan diri dari Negara induk misalnya Tamil Aelam, MILF,

Pemberontak Phatani, Thailand Selatan, dan lain sebagainya. Sedangkan

kelompok yang menginginkan terbentuknya pemerintahan international berbasis

Islam, sebelum Al Qaeda mengemuka, ada organisasi Islam bernama Hizbut

Tahrir, yang memiliki basis di banyak Negara, khususnya Negara Islam atau

Negara dengan jumlah penduduk beragama Islamnya cukup signifikan.

Setelah Peristiwa 9/11, lebih mengerucut pada keinginan untuk mematahkan dan

menyudahi hegemoni Barat, dalam hal ini Amerika Serikat dengan pembentukan

pemerintahan islam dunia. Tujuan ini dikomandoi oleh Al Qaeda dan jaringannya.

Meski demikian, organisasi terorisme lain dengan tujuan yang berbeda juga

masih tetap ada, hanya saja karena Perang Global melawan terrorisme lebih

mengerucut kepada perang melawan Al Qaeda dan jaringannya, maka tak heran

apabila tujuan dari organisasi terorisme lebih mengarah kepada tujuan dari Al

Qaeda dan jaringannya tersebut. sementara itu organisasi terorisme bertujuan

untuk memisahkan diri serta merebut kekuasaan hingga saat inipun masih ada,

namun tidak terlalu signifikan,bila dibandingkan dengan berbagai opini dan

membesarnya isu perang global melawan terrorisme sebagai perang melawan Al

Qaeda dan jejaringnya.

9

Page 11: Globalization, Terorisme Dan Human Security 6

Kelima, jaringan terorisme. Sebelum Peristiwa 9/11kelompok terorisme lebih

cenderung menggunakan pola kurir, dengan memanfaatkan SDM yang berlapis

untuk menghubungkan jaringan terorisme dengan sel-selnya. Sedikit sekali

memanfaatkan jaringan telekomunikasi, TV, internet, telepon, dan lain

sebagainya. Model komunikasi ini dalam konteks intelijen merupakan model

jaringan konvensional, dimana komunikasi dilakukan oleh kurir dengan tingkat

kepercayaan yang sangat tinggi. Kurir ini juga selain menjadi mata rantai

komunikasi antar jaringan dan sel terorisme, juga bertugas untuk membawa dan

mensuplai berbagai kebutuhan organisasi dan selnya,dari mulai uang hingga

kebutuhan operasional. Salah contohnya misalnya IRA yang banyak

memanfaatkan jaringan donaturnya di Amerika Serikat untuk mensuplai

pendanaan hingga senjata, komunikasi yang dibangun juga memanfaatkan kurir

organisasi yang dipercaya organisasi tersebut untuk menyampaikan informasi

dan berbagai hal terkait dengan komunikasi antar jaringan dan pemberi donator

maupun sel organisasi nya. Atau jika melihat hubungan antara kelompok

terorisme di Timur Tengah dan Asia Selatan, kurang lebih sama polanya. Hanya

saja hal yang menarik adalah bahwa pola hubungan antara kelompok terorisme

di Asia Selatan,khususnya Pakistan dan Afganistan,dengan jaringan Timur

Tengah adalah terkait dengan pola pembelajaran agama Islam yang berpusat di

Pakistan,kemudian masuk ke daerah Afganistan untuk bergabung dengan

pejuang mujahidin, ketika Uni Soviet masih menguasai Negara penuh konflik

tersebut .

Adapun pola komunikasi dan jaringan organisasi terorisme relative berubah

setelah Peristiwa 9/11, Marc Sageman mengungkapkan bahwa perubahan

jaringan terorisme salah satunya terkait dengan pemanfaatan jaringan

komunikasi yang makin canggih. Pola konvensional yang selama ini digunakan

untuk berhubungan antar jaringan dan sel terorisme sangat riskan

dipertahankan. Hal ini terkait dengan makin ketatnya pengamanan jalur

transportasi, baik darat, laut,dan udara pasca Peristiwa 9/11. Perang global

terhadap terorisme menjadi bagian terpenting yang merevolusi pola komunikasi

dan jaringan terrorisme. Banyaknya sel-sel organisasi, kurir, dan actor dari

organisasi terorisme yang tertangkap dan terbunuh menjadi indikasi bahwa pola

komunikasi dan jaringan terorisme juga diubah. Bahkan bila sebelumnya

pengiriman video rekaman dan pengakuan bertanggung jawab pengeboman

ataupun aksi terror lainnya kepada jaringan TV seperti Al Jazeera dilakukan oleh

kurir dan jaringan sel lainnya, sekarang memanfaatkan jasa pos dan pengiriman

barang. Langkah tersebut, selain lebih aman dari jangkauan aparat penegak

10

Page 12: Globalization, Terorisme Dan Human Security 6

hukum, juga dipercaya karena meminimalisir pemanfaatan SDM untuk

menyampaikan pesan ataupun perintah pada jaringan organisasi yang lainnya

cukup memanfaatkan internet dan alat komunikasi lainnya. Sehingga jaringan sel

organisasi tetap terhindar dari jangkauan aparat penegak hukum dalam perang

global melawan terrorisme tersebut.

Globalisasi dan Human Security

Ketidakjelasan definisi cakupan Human Security tidak hanya menyulitkan para

ahli dan akademisi untuk memosisikan apakah Human Security adalah bagian

dari security, atau merupakan problematika hubungan antara Negara dengan

warganya. Sebagian ahli dan akademisi menganggap bahwa Human Security

bukan bagian dari security, melainkan merupakan bagian dari problematika

hubungan antar Negara dengan warganya, sedangkan yang lain berpendapat

sebaliknya. Perdebatan ini pada akhirnya mempengaruhi wacana dan kebijakan

suatu Negara menyangkut elemen-elemen tersebut dalam Human Security.

Group of Eight (G8), sebuah kelompok negara maju telah mendeklarasikan

komitmen mereka memerangi berbagai ancaman terhadap Human Security.

Deklarasi tersebut telah mempertegas bahwa peran Negara harus terintegral

dalam menjamin keamanan individu dan kelompok.

Sementara tak sedikit pula Negara yang beranggapan sebaliknya, bahwa

keamanan individu dan kelompok terkait dengan Human Security telah ada dan

diatur dalam konstitusi dan berbagai perundang-undangan. Sehingga tidak perlu

lagi mempertegasnya dalam bentuk peraturan atau kebijakan yang berbeda,

salah satunya adalah Indonesia. Kelompok Negara ini kemudian cenderung

melihat keamanan dalam persfektive kelompok realist yang melihat bahwa

Human Security bukan bagian dari keamanan. Dalam konteks ini sesungguhnya

keberadaan Human Security tak ubahnya sebagai suatu dinamika sosial

kemasyarakatan yang terpisah dari wilayah keamanan. Meski dalam kasus

tertentu terkadang dinamika tersebut menyentuh wilayah keamanan,salah

satunya misalnya konflik yang disebabkan karena belitan kemiskinan dan

kesenjangan social.

Ada tiga peran yang akan dilakukan oleh Negara untuk menjamin keamanan

individu dan kelompok warganya, yakni: Pertama, Negara akan mengupayakan

pengentasan kemiskinan dengan berbagai cara, selain pembukaan lapangan

pekerjaan baru, juga berupaya mengurangi intrastate konflik dengan pendekatan

11

Page 13: Globalization, Terorisme Dan Human Security 6

persuasive, ataupun mengundang negaralain atau lembaga international untuk

memediasi proses perdamaian tersebut. dalam kasus Perdamaian antara

Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang dimediasi oleh Marti

Atisaari, Mantan Presiden Finlandia, bersama dengan Uni Eropa dan Negara-

negara ASEAN yang melakukan pengamatan terhadap proses perdamaian

tersebut. Secara statistic, tingkat kemiskinan di Aceh menurun dari data tahun

2004 kemiskinan di Aceh dengan indeks kelayakan hidup sebesar US$ 120/bulan

sebanyak 1.156.100 jiwa menurun menjadi 1.83.600 jiwa. penurunan yang tidak

terlalu signifikan inidisebabkan karena Aceh dilanda gempa bumi dan tsunami.

Namun bila dilihat dari kualitas hidup, maka masyarakat di Aceh relatif lebih baik

bila dibandingkan dengan masa konflik.

Kedua, Negara akan mengupayakan terjadinya stabilitas politik yang signifikan

agar kebebasan politik dan demokrasi dapat berjalan dengan baik. Langkah ini

menjadipenting mengingat stabilitas politik menjadi satu parameter bagi

terselenggaranya demokrasi yang efektif dengan kebebasan politik yang relatif

baik. Kenya menjadi satu kasus yang menarik, sebab sebelum pelaksanaan

Pemilu tahun lalu Kenya merupakan contoh Negara terstabil

denganpertumbuhan ekonomi yang baik, dimana Mwai Kibaki, presiden yang

berkuasa memaksakan kemenangannya, sehingga mengundang kemarahan

kalangan oposisi yang dikalah dengan suara 51.13% berbading 48.7 % yang

dipimpin oleh Raila Odinga. Kenya yang dalam 20 tahun terakhir menjadi Negara

dengan tingkat stabilitas keamanan dan pertumbuhan ekonomi yang baik,

dengan pelaksanaan demokrasi yang relatif baik pula, berubah menjadi ajang

konflik baru di Afrika,mengikuti jejak Negara tetangganya,Ethiopia, Sudan dan

Uganda, di mana kebebasan politik dan demokrasi, serta elemen lainnya

terkubur dalamkonflik sekterian yang berkepanjangan. Dalam konteks ini

sesungguhnya Negara, dalam hal ini pemerintahan berkuasa di Kenya

mengambil inisiatif dialog dengan oposisi, atau mengundang mediator dari

lembaga international atau Negara ketiga agar permasalahan tersebut tidak

berkembang lebih jauh lagi dan mengancam keamanan warganya. Dan Mantan

Sekretaris Jenderal PBB, Koffi Anan mengambil inisiatif menjadi mediator

perdamaian tersebut atas nama komunitas international dan perdamaian.

Ketiga, Negara harus mengalokasikan anggaran pendidikan bagi warga

negaranya. Pendidikan menjadi factor krusial dalam pembangunan dan

pengembangansumber daya manusia di suatu Negara. Selama ini kebijakan

Negara untuk meningkatkan pendidikannya dengan memberikan subsidi yang

relatif besar dibandingkan dengan bidang lainnya. Hal ini dilakukan karena

12

Page 14: Globalization, Terorisme Dan Human Security 6

tingkat pendidikan juga mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Akan

tetapi model subsidi tersebut kemudian dikembangkan dalam bentuk pendidikan

keterampilan,khususnya di Negara-negara berkembang. Hal ini dilakukan untuk

mempercepat adaptasi dan kebutuhan tenaga kerja dan pasar. Disamping itu,

Negara harus menjamin pendidikan dasar atau minimal dapat terjamin dengan

baik, guna mengurangi tingkat buta huruf masyarakat. Dalam banyak kasus,

pemerintah di negara berkembang mengalami kesulitan untuk membangun dan

memenuhi berbagai fasilitas pendidikan. Di sinilah dalamkonteks globalisasi,

peran lembaga international dan Negara-negara lain untuk memberikan

dukungan,baik dalam pendanaan maupun pelatihan-pelatihan yang terkait

dengan peningkatan kualitas pendidikan masyarakat. Beberapa lembaga

international yang aktif memberikan bantuan dan dukungan kepada Negara-

negara berkembang antara lain UNDP,UNICEF, IOM, dan lain-lain.

Dari uraian tersebut di atas, maka peran Negara dalam menjamin keamanan

individu dan kelompok warganya tidak berbeda dengan apa yang harus Negara

lakukan guna memenuhi kewajiban konstitusinya kepada warga Negara. Dalam

pengertian bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh Negara dalam bentuk

kebijakan merupakan suatu cerminan dari konsepsi Negara sebagai representasi

politik masyarakat dan warga negaranya. Saya cenderung menolak bahwa

langkah Negara dengan kebijakan untuk memenuhi dan menjamin lima elemen

yang disebutkan oleh King dan Murray tersebut sebagai bagian dari menjamin

keamanan individu masyarakat dalam konteks Human Security. Konsepsi ini

dalam pandangan saya dengan sendirinya gugur karena lima elemen tersebut di

atas adalah hak hakiki yang harus dipenuhi oleh Negara kepada warga

negaranya, dan Negara akan menjamin dan memfasilitasi elemen-elemen

tersebut tanpa kecuali, terlepas apakah itu merupakan bagian dari Human

Security. Sebab, bila Negara alpa dalam memenuhi dan menjamin terlaksananya

elemen-elemen tersebut, maka mekanisme yang terjadinya adalah masyarakat

menarik mandatnya dari pemerintahan yang berkuasa.

13

Page 15: Globalization, Terorisme Dan Human Security 6

KESIMPULAN

Dari uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perang global

melawan terorisme pasca Peristiwa 9/11 telah mengubah juga organisasi

terorisme yang tersebar di seluruh dunia. Kecenderungan tersebut menguatlkan

asumsi bahwa perang global melawan terorisme di satu sisi memperkuat

keberadaan Negara-negara untuk bersatu melawan aksi terror, demi menjaga

peradabanmanusia secara umum. Namun di sisi lain, perang global melawan

terorisme tersebut juga menciptakan revolusi di internal organisasi terorisme

untuk kembali merapihkan barisan setelah sempat tercerai berai pasca Amerika

Serikat dan sekutnya menginvasi Afganistan dan memaksa turun Pemerintahan

Taliban. Tak heran apabila kemudian aksi teror berlanjut di kota-kota di mana

menjadi symbol dari hegemoni Barat, sebagaimana yang terjadi di

London,Inggris. Sehingga, sebagaimana Cambell tegaskan bahwa perang global

melawan terorisme adalah Perang Globalisasi I, dimana masih sangat mungkin

akan berlajut pada perang globalisasi berikutnya.

Serta peran Negara dalam konteks human security tidak ada, hal itu karena

sudah melekat dalam peran Negara dalam menjamin hak-hak warga negaranya,

di mana lima elemen tersebut ada didalamnya. Artinya secara konseptual, bisa

saja Human Security mengajukan klaimnya bahwa Negara harus berperan dalam

menjamin keamanan individu dan kelompok masyarakat. Akan tetapi dengan

peran Negara yang lebih dahulu established dibandingkan dengan pendekatan

Human security, maka dapat disimpulkan bahwa penekanan tentang pentingnya

Negara dalam menjamin keamanan individu dan kelompok warganya dalam lima

elemen dasar tersebut merupakan penegasan saja,bukan sesuatu yang baru.

14

Page 16: Globalization, Terorisme Dan Human Security 6

DAFTAR PUSTAKA

Baylis dan Steve Smith, eds.,The Globalization of World Politics. An Introduction

to

International Relations 2nd ed., Oxford:Oxford University Press

Linda Weiss, The Myth of powerless state (NY: Cornell University Press),

Paul Hirst dan Grahame Thompson, Globalization in question (Cambridge: Polity

Press,

1996),

Stanley Hoffman, “Clash of globalization”, Foreign Affairs vol.81/4 (July/August

2002),

Sudarsono, Juwono, State of the Art Hubungan Internasional: Mengkaji Ulang

Teori

Hubungan Internasional dalam Perkembangan Studi Hubungan

Internasional dan

Tantangan Masa Depan. Jakarta, Pustaka Jaya, 1996

Tara Kartha, “Southern Asia: the narcotics and weapons linkage”, dalam Singh, J

(ed.), Light

weapon and international security New Delhi: Indian Pugwash Society and

British

American Security Information Council, 1995

T. May Rudy, Drs. S.H.,MIR,.M.Sc.”Hubungan Internasional kontemporer dan

Masalah-

Masalah Global” Refika Aditama, Juni 2003

Viotti, Paul R., International Relations Theory. New York, MacMillan Publishing

Company,

1993.7.   Lamborn, Alan C., Theory and The Politics in World Politics dalam

International Studies Quarterly, Vol. 41. Number 1, June 1997.

Websites

www.id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi

http://yudhitc.wordpress.com/2007/06/19/110/

15