ghulul (penggelapan harta): konsep, sanksi dan …

21
SYAR’IE, Vol. 1 - Januari 2019 85 GHULUL (PENGGELAPAN HARTA): KONSEP, SANKSI DAN SOLUSINYA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN Oleh: Mohamad Zaenal Arifin, MA Abstrak Ghulul masih menjadi tema yang jarang dikaji secara mendalam pada konteks kekinian. Padahal, prakteknya sering terjadi dalam kehidupan manusia, tak terkecuali dalam kehidupan umat Islam. Ghulul dapat dimaknai sebagai penggelapan harta. Perbuatan tersebut hanya dilakukan oleh orang yang diberi kuasa atas suatu harta oleh orang lain. Jika orang tersebut menyimpangkan harta yang berada dalam kuasanya itu untuk kepentingan di luar yang dikehendaki pemiliki harta, maka orang tersebut dikatakan telah melakukan ghulul (penggelapan) harta. Kata Kunci: Ghulul, al-Qur’an, Harta, Islam Pendahuluan Islam menghormati kepemilikan individu atas harta, dengan mengharamkan orang lain mengambil dari sisinya secara tidak sah. Islam memberikan prinsip dan aturan yang jelas bagi manusia bahwa dalam memperoleh harta harus melalui cara yang halal dan tidak boleh saling merugikan. Di antara cara yang dilarang dalam usaha memperoleh harta ialah melalui penggelapan harta yang dalam terminologi Islam disebut dengan ghulul. Secara bahasa, ghulul berasal dari kata ghalla-yaghullu- ghallan-waghulûlan yang memiliki arti dasar khâna (berkhianat) 1 Dari arti dasar ini kemudian berkembang makna-makna baru, seperti: mengambil sesuatu dan menyembunyikan hartanya, 2 mengambil sesuatu secara tersembunyi dan memasukkannya ke dalam tempat penaruhannya, 3 mengambil sesuatu dengan cara diam-diam, 4 1 A.W. Munawir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), Cet. 14, 1014. 2 Muhammad Rawas Qala’arij dan Hamid Shadiq Qunaibi, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’ (Beirut: Dâr an-Nafis, 1985), 334. 3 Luwis Ma’luf, al-Munjid, (Beirut: al-Mathba’ah katolik, tt.), 854.

Upload: others

Post on 03-Oct-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

85
GHULUL (PENGGELAPAN HARTA): KONSEP, SANKSI DAN SOLUSINYA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Oleh: Mohamad Zaenal Arifin, MA
Abstrak Ghulul masih menjadi tema yang jarang dikaji secara mendalam pada konteks kekinian. Padahal, prakteknya sering terjadi dalam kehidupan manusia, tak terkecuali dalam kehidupan umat Islam. Ghulul dapat dimaknai sebagai penggelapan harta. Perbuatan tersebut hanya dilakukan oleh orang yang diberi kuasa atas suatu harta oleh orang lain. Jika orang tersebut menyimpangkan harta yang berada dalam kuasanya itu untuk kepentingan di luar yang dikehendaki pemiliki harta, maka orang tersebut dikatakan telah melakukan ghulul (penggelapan) harta. Kata Kunci: Ghulul, al-Qur’an, Harta, Islam Pendahuluan
Islam menghormati kepemilikan individu atas harta, dengan mengharamkan orang lain mengambil dari sisinya secara tidak sah. Islam memberikan prinsip dan aturan yang jelas bagi manusia bahwa dalam memperoleh harta harus melalui cara yang halal dan tidak boleh saling merugikan. Di antara cara yang dilarang dalam usaha memperoleh harta ialah melalui penggelapan harta yang dalam terminologi Islam disebut dengan ghulul.
Secara bahasa, ghulul berasal dari kata ghalla-yaghullu- ghallan-waghulûlan yang memiliki arti dasar khâna (berkhianat)1 Dari arti dasar ini kemudian berkembang makna-makna baru, seperti: mengambil sesuatu dan menyembunyikan hartanya, 2 mengambil sesuatu secara tersembunyi dan memasukkannya ke dalam tempat penaruhannya, 3 mengambil sesuatu dengan cara diam-diam, 4
1 A.W. Munawir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif,
1997), Cet. 14, 1014. 2 Muhammad Rawas Qala’arij dan Hamid Shadiq Qunaibi, Mu’jam
Lughat al-Fuqaha’ (Beirut: Dâr an-Nafis, 1985), 334. 3 Luwis Ma’luf, al-Munjid, (Beirut: al-Mathba’ah katolik, tt.), 854.
SYAR’IE, Vol. 1 - Januari 2019
85
mengambil ghanimah sebelum dibagi secara adil,5 dan sebagainya, yang bila dicermati semuanya diikat oleh yang namanya khianat. Dari segi tindakan yang dilakukan, khianat memang dilakukan secara diam-diam. Orang yang melakukan perbuatan khianat, biasanya tidak ingin orang lain mengetahuinya. Pelaku akan merasa malu jika perbuatannya diketahui orang lain. Dari segi apa yang diambil, mengambil sesuatu harta sebelum dibagi secara adil (semisal ghanimah), di mana ada bagian hak orang lain atas sesuatu harta itu, sama halnya telah khianat atas harta umat.
Dewasa ini bentuk pengkhianatan sudah sedemikian parah terjadi dalam masyarakat dengan berbagai cara dan pola. Yang terparah adalah pengkhianatan dengan pola penyalahgunaan wewenang dan jabatan. Dengan pola ini seorang pejabat menggunakan kekuasaan dan wewenangnya untuk mengatur dan memanipulasi suatu perkara yang diserahkan kepadanya dengan imbalan uang yang besar. Kasus semacam ini disamping menunjukkan parahnya moral pejabat dalam mengemban amanah jabatan publik, juga menunjukkan kompleksitasnya perbuatan khianat.
Tulisan ini untuk mengetahui konsep sebenarnya ghulul dari sudut pandang Al-Qur’an. Dengan mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an yang terkait konsep ghulul akan diketahui cakupannya, bentuk-bentuknya, hingga solusi yang ditawarkan.
Fenomena Sosial Prilaku Ghulul dalam Al-Qur’an
Fenomena ghulul (penggelapan) harta sebagai suatu cara yang bathil dalam memperoleh harta, dapat ditelusuri melalui ayat- ayat Madaniyyah. Sebab di Madinahlah ayat-ayat yang mengatur mu’amalah termasuk di dalamnya transaksi ekonomi kebanyakan turun. Dan pada ayat-ayat Madaniyyah banyak digunakan term-term yang berkaitan dengan penggelapan harta, semisal khianat, amanat, bathil, dan sebagainya.
4 Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi, Tafsîr al-Sya’rawiy, Jilid 3,
(Kairo: Akhbâr al-Yaum 1411 H/1991 M), 1845.
5 Ibrahim Anis, et al., al-Mu’jam al-Wasîth, Juz 2, (Mesir: Dar al- Ma’ârif, 1972), 659.
SYAR’IE, Vol. 1 - Januari 2019
06
Isyarat umum yang diberikan Al-Qur’an terhadap fenomena ghulul (penggelapan) harta adalah perintah kepada manusia untuk menunaikan amanat yang telah diberikan oleh orang lain. Allah SWT berfirman:
Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha mendengar, Maha Melihat. (an-Nisâ’ [4]: 58) Kata al-amânât –bentuk jamak- digunakan oleh Al-Qur’an
antara lain di dalam konteks pembicaraan tentang perintah Allah agar manusia menunaikan amanah kepada pemiliknya. Menafsirkan ayat di atas, Rasyid Ridha menegaskan bahwa al-amânât di sini adalah segala sesuatu yang dipercayakan seseorang kepada orang lain dengan rasa aman.6 Menurut al-Thabari bahwa ayat ini ditujukan kepada para pemimpin (penguasa) agar mereka menunaikan hak-hak umat Islam, seperti penyelesaian perkara rakyat yang diserahkan kepada mereka untuk ditangani dengan baik dan adil. 7 Dengan demikian, rumusan makna al-amânât memiliki cakupan makna yang cukup luas yaitu segala yang dipercayakan orang, berupa perkataan, perbuatan, harta dan pengetahuan atau segala nikmat yang ada pada manusia yang berguna bagi dirinya dan orang lain. Tidak menyampaikan amanah-amanah tersebut, sama dengan telah berkhianat. Secara khusus, jika seseorang tidak menyampaikan amanah harta yang telah diberikan oleh orang orang kepadanya, sama halnya ia telah berbuat khianat. Aplikasi dari khianat di sini di antaranya adalah dengan menggelapkan harta yang dititipkan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa ayat di atas secara tersirat menyinggung masalah ghulul (penggelapan) harta. Faktor yang mendasari pemikiran ini adalah bahwa ghulul (penggelapan) hanya
6 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr Al-Qur’an al-‘Azhîm (yang
masyhur dengan Tafsîr al-Manâr), (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2005), Jilid 5, 140.
7 Abi Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl Al-Quran disebut juga Tafsîr Thabari, Jilid 4, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999), 147-148.
SYAR’IE, Vol. 1 - Januari 2019
06
dilakukan oleh orang yang diberi kuasa atas suatu harta oleh orang lain. Bila kemudian orang tersebut “menyimpangkan” harta yang berada dalam kuasanya itu untuk kepentingan di luar yang dikehendaki pemiliki harta, maka orang tersebut dikatakan telah melakukan ghulul (penggelapan) harta.
Isyarat umum Al-Qur’an atas fenomena ghulul (penggelapan) harta juga didapat melalui firman Allah SWT. dalam surat al- Nisâ’/4: 29, berikut:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (al- Nisa’ [4]: 29) Dalam ayat di atas Allah SWT memerintahkan kepada hamba-
hamba-Nya yang beriman supaya tidak melakukan praktik-praktik yang diharamkan dalam memperoleh harta, namun harus melalui perdagangan yang disyariatkan dan berdasarkan kerelaan antara penjual dan pembeli. Sebab turunnya ayat ini sebagaimana disebutkan Ibn Katsir berdasarkan riwayat Ibn ‘Abbas adalah bahwa seseorang membeli pakaian dari orang lain. Penjual berkata, “Jika kamu suka, ambillah. Jika kamu tidak suka, kembalikanlah disertai satu dirham”. Maka, turunlah ayat di atas yang melarang perbuatan semacam itu.8
Bila sebab turunnya ayat di atas digunakan sebagai jalan mengetahui fenomena sosial suatu masyarakat, terlihat bahwa pada masyarakat saat itu telah teridentifikasi adanya perilaku bathil dalam mencari harta, yang dalam ayat di atas berupa jual beli secara ribawy. Hal ini tentunya tidak menutup kemungkinan adanya perilaku- perilaku bathil lainnya yang sejenis, termasuk perilaku ghulul (penggelapan). Ibn Katsir menerangkan bahwa ayat ini merupakan larangan memakan harta orang lain secara bathil, yakni melalui aneka
8 Abi al-Fida Isma’il Ibn Katsir, Tafsîr Al-Qur’an al-‘Azhîm (Kairo:
Maktabah al-Tsaqâfi, 2001 M), 468.
SYAR’IE, Vol. 1 - Januari 2019
06
jenis usaha yang tidak disyariatkan, seperti riba dan judi, serta beberapa jenis tipu muslihat yang sejalan dengan kedua cara itu.9
Secara lebih konkrit, perilaku ghulul (penggelapan) harta juga digambarkan Al-Qur’an berkenaan perilaku pemuka-pemuka Yahudi Madinah. Meskipun perilaku ini dilakukan oleh orang-orang Yahudi, setidaknya hal ini merupakan cermin perilaku sosial masyarakat Madinah saat itu, sebelum kemudian secara berangsur-angsur dikikis habis oleh ajaran Islam. Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan bathil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. (at-Taubah [9]: 34) Ayat ini menjelaskan bahwa sebagian besar pemuka agama
kaum Yahudi dan ahli ibadah kaum Nasrani, memanfaatkan agama, kedudukan dan kepemimpinannya atas umat untuk memperoleh pendapatan, hadiah dan berbagai jenis pajak yang dipersembahkan kepada mereka. Dengan kata lain, mereka memanfaatkan berbagai posisi yang melekat pada diri mereka untuk mengeruk keuntungan pribadi, padahal seharusnya sebagai pemuka agama mereka melayani dan mengurus umat, bukan mengeksploitasinya.
Ghulul (penggelapan) harta bisa terjadi karena adanya sifat rakus dan tamak terhadap harta. Secara manusiawi sebenarnya hal ini suatu kewajaran, dalam arti manusia sebagai makhluk yang memiliki nafsu duniawi memang memiliki potensi ke arah itu. Maka, dalam lingkup masyarakat muslim di bawah kepemimpinan Rasulullah Saw. pun masih didapati orang-orang semacam ini. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Qur’an:
Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang itu), maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia
9 Abi al-Fida Isma’il Ibn Katsir, Tafsîr Al-Qur’an al-‘Azhîm, 468.
SYAR’IE, Vol. 1 - Januari 2019
06
kerjakan dengan (pembalsan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. (Âli ‘Imrân [3]: 161) Ayat di atas, menurut al-Khazin memberikan penetapan
bahwa tidak mungkin Nabi SAW. mengkhianati umatnya atas sesuatu, termasuk harta rampasan perang, dan juga dalam penyampaian wahyu. Hal ini karena antara nubuwwah dan khianat tidak mungkin bersatu dalam diri nabi. Oleh karena itu, sebenarnya yang dikehendaki oleh ayat ini adalah umat nabi. Jika dipastikan bahwa tidaklah mungkin seorang nabi berbuat khianat (ghulul), maka kemungkinan besar yang berbuat seperti itu adalah umatnya.10 Pandangan al-Khazin ini senada dengan pandangan M. Quraish Shihab bahwa ayat 161 surat Âli ‘Imrân/3 ini tengah memberikan pernyataan secara jelas tentang kesucian Nabi SAW. dari segala jenis pengkhianatan, sekaligus menetapkan ke-amanah-an beliau dalam segala hal termasuk dalam hal membagi harta rampasan perang. Bila sedemikian jelas hal ini, jikalau ada bagian harta rampasan perang yang hilang berarti yang mengambilnya adalah umatnya (sahabat yang tidak amanah). Indikasinya adalah ketergesaan pasukan pemanah meninggalkan markas karena dalam hati mereka tersimpan kekhawatiran Nabi SAW. tidak membagi rampasan perang secara adil, yang karenanya mereka menyembunyikan apa atau sebagian yang diambilnya dari rampasan perang.11
Keterangan al-Khazin yang menegaskan fenomena ghulul (penggelapan) harta yang dilakukan oleh segolongan orang di masa Nabi SAW. didukung oleh hadits-hadits yang secara jelas menyebutkan fenomena tersebut, di antaranya:
Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash r.a. berkata: Ada seorang bernama Kirkirah biasa menjaga perbekalan Nabi saw dan ketika mati, Rasulullah saw bersabda: Ia dalam neraka. Maka orang-orang menyelidiki keadaannya mendadak mereka mendapatkan ia telah mencuri mantel dari ghanimah yang belum dibagi”. (HR Bukhari).
10 ‘Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdady (yang
masyhur dengan al-Khazin), Tafsir al-Khazin (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2004), Jilid 1, 314.
11 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbâh Pesan: Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 264.
SYAR’IE, Vol. 1 - Januari 2019
04
Zaid bin Khalid al-Juhany berkata sesungguhnya seorang laki- laki dari sahabat nabi meninggal. Maka diberitahukan kepada Rasulullah SAW. Beliau bersabda shalatlah kalian untuk sahabatmu ini. Maka berubahlah wajah para sahabat lainnya karena hal itu. Rasulullah SAW bersabda sesungguhnya sahabatmu ini telah ghulul di jalan Allah. Kami kemudian menyelidiki barang-barangnya, maka kami mendapati tali milik orang Yahudi yang nilainya tidak lebih dari dua dirham. (HR Abu Dawud dan an-Nasai) Pada Hadits pertama, perbuatan ghulul justru dilakukan oleh
orang yang dipercayai oleh Nabi SAW. untuk menjaga perbekalannya, atau dengan kata lain seorang pegawai. Secara lebih spesifik, fenomena ghulul (penggelapan) harta dengan pelakunya petugas yang diangkat oleh Rasulullah SAW. yang istilah sekarang disebut pejabat publik, juga didapat dari informasi hadits-hadits, di antaranya:
Dari Abu Hamid as-Saidi, dia berkata: ‘Rasulullah SAW memperkerjakan seseorang dari kabilah al-Azad yang bernama Ibn Lutbiyyah untuk mengurusi zakat. Setelah selesai bekerja, dia datang dan berkata, ‘Ini hak anda, dan ini hadiah dari orang untuk saya’. Maka, Rasulullah SAW berdiri di mimbar dan bersabda, ‘Bagaimana urusan seorang pegawai yang saya tugaskan untuk menangani sebuah pekerjaan, lalu dia berkata, ‘Ini hak anda dan ini hadiah dari orang untukku ?’. Maka mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah dan ibunya, kemudian menunggu apakah akan ada atau tidak orang yang datang memberinya hadiah ? Demi Dzat yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya, tidaklah salah seorang di antara kamu mengambil sesuatu melainkan pada hari kiamat ia akan datang sambil memikul sesuatu itu, baik berupa unta yang menderum, atau sapi yang mengemoh, atau kambing yang mengembik’. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya hingga terlihat putihnya kedua ketiak beliau, lalu bersabda, ‘Ya Allah, sungguh saya sudah menyampaikan risalah’. Beliau mengatakannya sebanyak tiga kali’. (HR Ahmad) Hadits di atas –sebagaimana tersurat- menjelaskan tentang
pegawai pengumpul zakat yang menerima hadiah saat menjalankan tugasnya. Tindakan pegawai tersebut dikategorikan oleh Rasulullah SAW. sebagai bentuk khianat terhadap harta. Menurut penulis,
SYAR’IE, Vol. 1 - Januari 2019
08
dikategorikannya hadiah bagi pegawai sebagai khianat (penggelapan) harta adalah karena sebagai pegawai tentu Rasulullah SAW telah mengalokasikan bagian atau gaji atas tugas yang diembannya tersebut. Dengannya selayaknya pegawai menjalankan beban tugas yang dipikulnya dengan sebaik-baiknya, tanpa harus menerima lagi sesuatu pemberian dari orang yang dilayaninya. Pemberian sesuatu kepada pegawai kemungkinan besar dapat mempengaruhi obyektifitas dalam menjalankan tugas yang diemban. Sehingga dimungkinkan akan timbul kecurangan, kongkalikong dengan orang yang dilayani dan manipulasi, yang ujungnya merugikan pihak yang memberi tugas, dalam hal ini negara dengan Rasulullah SAW. sebagai kepala negaranya.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa fenomena ghulul (penggelapan) harta secara umum memang telah menjadi fenomena sosial masyarakat Madinah saat itu, terutama di kalangan kaum Yahudi sebagai anggota masyarakatnya. Dan secara khusus, fenomena ini juga terjadi pada masyarakat muslim di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW., sebagai sebuah masyarakat yang baru tumbuh dan berkembang di bawah naungan wahyu-wahyu Allah SWT. dan bimbingan Nabi-Nya.
Bentuk-Bentuk Ghulul dan Sanksinya dalam Al-Qur’an
Cakupan makna ghulul dengan arti dasarnya khianat amatlah luas. Terlebih bila disandingkan dengan term al-amânât yaitu segala yang dipercayakan orang, berupa: perkataan, perbuatan, harta dan pengetahuan atau segala nikmat yang ada pada manusia yang berguna bagi dirinya dan orang lain. Tidak menyampaikan amanah- amanah tersebut, sama dengan telah melakukan ghulul (khianat/penggelapan).
Oleh karenanya dalam pembahasan ini penulis akan mengkerucutkan pada ghulul dalam hal harta. Secara spesifik, bentuk-bentuk ghulul (penggelapan) harta dapat dilihat berdasarkan beberapa sudut; obyek dan subyek ghulul.
1. Dilihat dari obyek ghulul. Obyek ghulul (penggelapan) adalah harta. Dari sudut ini,
ghulul (penggelapan) harta dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu; pertama, ghulul (penggelapan) terhadap harta bersama. Yang dimaksud harta bersama dalam tulisan ini adalah harta yang dimiliki oleh orang banyak atau masyarakat umum atau rakyat, di
SYAR’IE, Vol. 1 - Januari 2019
00
mana harta tersebut menurut ketentuan yang berlaku merupakan milik orang banyak dan digunakan untuk kepentingan atau kesejahteraan mereka. Yang termasuk harta bersama dalam konteks ini adalah harta ghanimah, harta zakat, harta fai’, pendapatan pajak negara, harta milik yayasan, perusahaan, dan sebagainya. Begitu juga termasuk kategori harta bersama adalah harta yang dimiliki oleh dua orang atau lebih karena terikat perjanjian. Harta bersama dalam konteks ini adalah modal usaha antara dua orang atau lebih (yang biasa dikenal dengan modal patungan).
Kedua, ghulul (penggelapan) terhadap harta orang lain secara individu. Yaitu harta yang dikuasakan atau diamanahkan secara sah kepada pelaku penggelapan oleh orang lain, semisal karena dititipkan, digadaikan, disewakan, terikat pekerjaan, dijanjikan upah, dan sebagainya. Contoh dalam hal ini adalah menggelapkan barang-barang milik pihak yang memberikan pekerjaan borongan bagi seorang pemborong. Atau menyelewengkan bantuan atau sumbangan korban bencana alam oleh pengelolanya. Termasuk juga merubah letak batas tanah orang lain dengan tujuan tanah milik sendiri bertambah luasnya. 2. Dilihat dari subjeknya.
Yang dimaksud subyek di sini adalah pelaku ghulul (penggelapan). Dilihat dari sudut pelakunya, ghulul (penggelapan) dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu; Pertama, ghulul (penggelapan) yang pelakunya tidak mempunyai kekuasaan (orang biasa). Ghulul (penggelapan) dalam konteks ini biasa terjadi dalam hubungan mu’amalah sehari-hari antara pelaku dengan orang lain. Misalnya, si A menyewa sepeda kepada si B, kemudian si A menjual sepeda tersebut tanpa sepengetahuan si B. Perbuatan si A dianggap telah melakukan ghulul (penggelapan) karena dia tidak memiliki hak untuk menjual sepeda tersebut. Dan juga misal: A dan B patungan modal usaha, dengan A sebagai pelaksana usaha. Di tengah jalan usaha, melihat keuntungan yang dihasilkan lumayan besar, A mengambil secara tidak hak sebagian keuntungan dengan cara membuat pembukuan secara tidak benar. Maka, perbuatan A sama dengan melakukan ghulul (penggelapan).
Kedua, ghulul (penggelapan) yang pelakunya memiliki kekuasaan (pejabat atau aparat berwenang). Ghulul (penggelapan)
SYAR’IE, Vol. 1 - Januari 2019
06
dalam konteks ini terjadi karena pelakunya menggunakan kekuasaan, kewenangan atau jabatan yang dimilikinya untuk mengambil atau memiliki harta yang digelapkan untuk keuntungan sendiri. Perbuatan ghulul (penggelapan) berupa penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk memperkaya diri sendiri maupun orang lain merupakan pengkhianatan terhadap amanat dan sumpah jabatan. Penggelapan harta dengan subyek pemilik kekuasaan inilah penggelapan yang paling berbahaya. Hal ini karena dengan kekuasaan, kewenangan atau jabatan yang dimiliki, pelaku dapat dengan mudah melaksanakan perbuatannya tanpa ada orang yang berani menghalangi. Bahkan bisa memaksa orang lain menuruti kemauannya, dan akibat yang ditimbulkan sangat luar biasa bagi moral bangsa dan perekonomian negara.
Ghulul (penggelapan) harta dengan subyek pejabat atau aparat berwenang banyak sekali bentuknya, di antaranya: a) Memark up proyek yang dibiayai oleh keuangan negara. b) Menggunakan fasilitas negara atau kantor untuk kepentingan pribadi atau kelompok. c) Pemalsuan catatan, yaitu membuat catatan palsu dengan cara mengubah tulisan pada buku-buku atau daftar-daftar yang sudah ada secara sengaja, sehingga isinya menjadi lain dari yang sebenarnya atau palsu, yang menjadikan pelakunya mendapat keuntungan. d) Menerima risywah (suap atau sogokan) oleh pejabat berwenang. e) Menerima hadiah atau sesuatu di luar gaji atau pendapatan resmi, yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan. Termasuk contoh dalam kategori ini adalah petugas pajak yang kongkalikong dengan wajib pajak dan mengajari bagaimana memperkecil tagihan pajak sembari menerima “imbalan” dari wajib pajak tersebut.
Tidak halalnya pemberian diluar gaji bila terkait tugas dan wewenang yang dimiliki pejabat, secara tegas dinyatakan Rasulullah SAW dalam sabdanya berikut:
Abu Humaid al-Sa’idi ra., ia berkata: Rasulullah SAW menugaskan seorang lelaki dari suku Asad yang bernama Ibnu Lutbiyah Amru untuk memungut zakat. Ketika telah tiba kembali, ia berkata: Inilah pungutan zakat itu aku serahkan kepadamu, sedangkan ini untukku yang dihadiahkan kepadaku. Lalu berdirilah Rasulullah SAW di atas mimbar kemudian memanjatkan pujian kepada Allah, selanjutnya beliau bersabda: Apakah yang terjadi dengan
SYAR’IE, Vol. 1 - Januari 2019
05
seorang petugas yang aku utus kemudian dia kembali dengan mengatakan: Ini aku serahkan kepadamu dan ini dihadiahkan kepadaku! Apakah dia tidak duduk saja di rumah bapak atau ibunya sehingga dia bisa melihat apakah dia akan diberikan hadiah atau tidak. Demi Tuhan Yang jiwa Muhammad berada dalam tangan-Nya! Tidak seorang pun dari kamu yang mengambil sebagian dari hadiah itu, kecuali pada hari kiamat dia akan datang membawanya dengan seekor unta yang melenguh di lehernya yang akan mengangkutnya atau seekor sapi yang juga melenguh atau seekor kambing yang mengembek. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami dapat melihat warna putih ketiaknya. Kemudian beliau bersabda: Ya Allah, bukankah telah aku sampaikan. Beliau mengulangi dua kali. (HR Bukhari dan Muslim) Ishaq ibn Isa telah menceritakan hadis kepada kami, Isma’il ibn Ayyasy telah menceritakan hadits kepada kami, dari Yahya ibn Sa’id, dari Urwah ibn al-Zubair, dari Abi Humaid al-Sa’idi, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Hadiah yang diterima para pejabat atau pemegang kebijakan adalah ghulul (korupsi). (HR. Ahmad) Ghulul (penggelapan) harta sebagaimana terlihat dari
uraian di atas, merupakan kejahatan harta yang sangat merugikan, baik bagi individu, masyarakat umum maupun negara. Oleh karenanya, untuk meredam kejahatan ini diperlukan sikap tegas terkait sanksi atau hukumam yang diberikan terhadap pelakunya.
Dalam hukum Islam dikenal tentang bentuk-bentuk hukuman, yaitu: qishash, hadd, dan ta’zir. Perbedaan pokok ketiga bentuk hukuman ini adalah bila qishash dan hadd jenis perbuatan dan hukuman yang dijatuhkan telah ditentukan oleh Al-Qur’an, sedangkan ta’zir tidak diatur secara jelas oleh Al-Qur’an. Contoh dalam hal ini adalah seperti pembunuhan, hukuman yang diberikan pada pelaku kejahatan pembunuhan adalah qishash dengan dibunuh juga. Sedangkan mencuri, berzina, merampok, menganiaya, meminum khamr adalah dijatuhi hukuman hadd dengan dipotong tangan, rajam dan cambuk, bahkan diasingkan. Hukuman-hukuman dan tindak pidana tersebut telah terdapat di
SYAR’IE, Vol. 1 - Januari 2019
05
dalam Al-Qur'an secara jelas dan qath’iy. Namun bagi tindak kejahatan yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur'an, termasuk di dalamnya perbuatan ghulul (penggelapan) harta, maka ijtihad para ulama atau seorang hakim yang akan menentukan. Artinya, ulama atau hakimlah yang menentukan sanksi atas perbuatan ini. Berat atau ringannya sanksi yang diberikan disesuaikan menurut tingkatan dan klasifikasi tindakan ghulul (penggelapan) harta yang telah dilakukan.
Bila merujuk sanksi yang telah diberikan oleh Rasulullah SAW. terhadap pelaku ghulul (penggelapan) harta, maka akan didapati beberapa macam sanksi di antaranya: Pertama, memberikan sanksi sosial yang keras. Di antara bentuk sanksi sosial yang diberikan Nabi SAW terhadap pelaku ghulul (penggelapan) harta adalah tidak bersedia menyalati jenazahnya dan mempublikasikan kejahatannya ke publik. Sebagaimana ditegaskan oleh hadits berikut:
Zaid bin Khalid al-Juhany berkata sesungguhnya seorang laki-laki dari sahabat nabi meninggal. Maka diberitahukan kepada Rasulullah SAW. Beliau bersabda shalatlah kalian untuk sahabatmu ini. Maka berubahlah wajah para sahabat lainnya karena hal itu. Rasulullah SAW bersabda sesungguhnya sahabatmu ini telah gelapkan di jalan Allah. Kami kemudian menyelidiki barang-barangnya, maka kami mendapati tali milik orang Yahudi yang nilainya tidak lebih dari dua dirham. (HR Abu Dawud dan Nasa’i) Hadits di atas menunjukkan bahwa ghulul (penggelapan)
harta terjadi dalam konteks harta atau kekayaan publik yang pada masa dahulu dicontohkan dengan harta rampasan perang. Jumlah barang atau kekayaan yang digelapkan pun dijelaskan, yakni tidak sampai dua dirham. Sekecil itupun Rasulullah SAW. tidak bersedia menyalatkan jenazahnya, apalagi yang lebih besar daripada itu. Dengan tidak bersedia menyalatkan, berarti Rasulullah SAW. sangat tidak bersimpati dan tidak mau mendoakan untuk pengampunan dan keselamatannya. Jenis sanksi sosial ini merupakan jenis sanksi yang terberat.
Dari Hadits di atas juga dapat dipahami bentuk sanksi sosial lain yang diberlakukan oleh Rasululah SAW yaitu mempublikasikan kejahatannya ke publik. Tiada sesuatu yang paling ditakuti oleh pelaku ghulul (penggelapan) kecuali
SYAR’IE, Vol. 1 - Januari 2019
66
masyarakat umum mengetahui kebusukan perbuatannya. Maka, dengan mempublikasikan kejahatannya ke publik, menjadi salah satu shock therapy bagi pelakunya, sekaligus pelajaran bagi masyarakat umum agar tidak meniru perbuatan semacam itu.
Kedua, tidak menerima harta dari hasil ghulul (penggelapan) harta. Bagi sebagian pelaku ghulul (penggelapan) harta, setelah sukses melakukan kejahatannya, akan berusaha tampil ‘saleh’ dengan membagi sebagian hasilnya untuk membangun masjid, menyantuni anak-anak yatim, memberi beasiswa belajar bagi anak tak mampu, mengundang fakir miskin, pergi ke Mekah tiap tahun untuk umrah dan haji, sebagai topeng yang menutupi wajahnya yang korup. Semua kebaikan dan ibadah yang dilakukan dalam konteks tersebut dianggap sia-sia. Isyarat ini sebagaimana diterangkan hadits berikut:
Samurah bin Jundub, dia berkata, “Apabila Rasulullah SAW mendapat ghanimah, maka beliau menyuruh Bilal memanggil manusia mengumpulkan ghanimah. Maka merekapun berdatangan membawanya. Kemudian beliau membaginya menjadi lima bagian, kemudian membagikannya. Pada suatu hari datanglah seseorang membawa seikat gandum –setelah diperintahkan untuk mengumpulkan- lalu berkata, “Wahai Rasulullah, ini ghanimah yang kami peroleh”. Nabi SAW. bersabda, “Apakah kamu mendengar seruan Bilal sebanyak tiga kali ?” Dia mengiyakan. Nabi SAW bersabda, “Lalu apa yang membuatmu tidak menyampaikannya ?” Kemudian dia memberikan alasan. Nabi SAW. bersabda, “Alasan itu tidak dapat diterima. Kamu akan datang pada hari kiamat dengan membawa ghanimah itu. Saya tidak mau menerimanya”. (HR. Abu Dawud) Ketiga, pelaku ghulul (penggelapan) mendapatkan
kehinaan di akhirat kelak dan perbuatannya itu menghalanginya masuk surga, sebagaimana dinyatakan dalam Âli ‘Imrân/3: 161. Si pelaku penggelapan kelak di akhirat keadaannya diserupakan dengan keadaan seseorang yang sedang memanggul-manggul menahan berat dipunggungnya. Ia merasakan kepayahan lantaran
SYAR’IE, Vol. 1 - Januari 2019
66
beban dosa-dosanya, dipermalukan dan tidak seorang pun mau menolongnya, termasuk Rasulullah SAW sendiri.12
Keempat, menyita dan mengembalikan harta yang dighulul kepada negara, terlebih bila pelakunya aparat pemerintah. Jika barangnya telah rusak atau cacat atau berkurang maka harus dikembalikan dengan barang lain yang senilai harganya. Berkaitan hal ini sebuah hadits mengisyaratkan:
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, dia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Kembalikanlah benang dan jarumnya yang diambil, karena ghulul merupakan perbuatan memalukan, api neraka, dan aib bagi pelakunya pada hari kiamat”. (HR. Ahmad) Kelima, hukuman fisik yang diperberat. Meskipun
sebagaimana terlihat dari sanksi-sanksi yang diberikan oleh Rasulullah SAW. tidak memberlakukan hukuman atau sanksi secara fisik secara diperberat, namun sebenarnya hakim dapat mempertimbangkan hukuman jenis ini. Lebih-lebih bila kadar dan jenis ghulul (penggelapan) yang dilakukan termasuk berat, sehingga kemudharatan yang ditimbulkan sangat berat dan luas, baik bagi masyarakat umum maupun perekonomian negara.
Dalam konteks Indonesia, di mana perilaku ghulul (penggelapan) sudah merebak di semua sektor kehidupan, bahkan menjadi penyakit masyarakat yang seakan sulit diberantas – dibuktikan tidak pernah jeranya pelaku ghulul (penggelapan)- maka hukuman ta’zir yang diberikan haruslah lebih berat lagi, tidak hanya penjara beberapa tahun. Tetapi bisa dipertimbangkan menjadi penjara seumur hidup, pencabutan izin bepergian keluar negeri seumur hidup, pencabutan hak politik seumur hidup, diasingkan dalam jangka waktu yang lama, sampai tingkat hukuman mati bila perlu. Namun sekali lagi ini memerlukan pertimbangan yang adil dan bijaksana dari hakim selaku pihak yang menjatuhkan hukuman, dengan berdasarkan bukti-bukti yang obyektif dan kuat berdasarkan fakta-fakta yang ada.
12 Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghi, Juz 4, (t.tp.: Dâr
al-Fikr, tt.), 209.
66
Solusi Al-Qur’an Mengatasi Penggelapan Harta Untuk memberantas perilaku ghulul (penggelapan) harta
diperlukan langkah besar dan sistematis. Ghulul (penggelapan) harta pada dasarnya merupakan perbuatan yang berujung pada moralitas pribadi. Seorang koruptor adalah orang yang telah kehilangan moral kejujuran, integritas, budaya malu, keteladanan, dan sebagainya. Maka, langkah awal pemberantasan korupsi semestinya dimulai dari pembangunan moral dan karakter masyarakat, dan ini dilakukan melalui jalur pendidikan. Dan inilah uswah yang telah dicontohkan oleh Al-Qur’an dan Rasulullah SAW. dalam upaya mengatasi perilaku ghulul (penggelapan).
Di antara upaya-upaya yang dilakukan adalah: Pertama, memberikan pencerahan dan penyadaran kepada umat melalui dakwah. Dilihat dari satu sisi, persoalan ghulul (penggelapan) dapat terjadi terkait pandangan manusia terhadap harta. Sebagian manusia ada yang memandang harta adalah segalanya, dan menjadikan harta sebagai tujuan hidup, bahkan sebagai ‘tuhan’nya. Karenanya seluruh hidupnya diorientasikan untuk mengumpulkan harta sebanyak- banyaknya meskipun melalui cara atau jalan yang tidak halal. Maka pada titik inilah Islam datang untuk meluruskan dan mengendalikan naluriah manusia tersebut. Jalan yang ditempuh Islam ialah dengan memberikan kesadaran tentang kedudukan harta dalam kehidupan di dunia.
Islam berpandangan bahwa harta maupun segala kelezatan duniawi lainnya, ialah: Pertama, hanyalah dzâlika matâ’ al-dunya wallahu ‘indahu husnul ma-âb. Penggalan bagian akhir ayat surat Ali ‘Imran/3: 14 ini mengingatkan janganlah manusia terlalu menuruti naluriahnya yakni kecintaan terhadap harta dan kesenangan keduniawian lainnya, sebab semuanya itu hanyalah kesenangan sementara di dunia ini. Ada kesenangan dan kenikmatan yang jauh lebih baik yang dapat dinikmati manusia, yakni kesenangan dan kenikmatan hidup di surga.
Kedua, pada dasarnya kepemilikan atas harta adalah mutlak di bawah kekuasaan Allah swt. Segala sesuatu yang berada di antara langit dan bumi merupakan milik Allah swt sebagai Dzat Sang Pencipta.13 Konsekwensinya, kepemilikan harta oleh manusia bersifat
13 al-Baqarah/2: 284
66
relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya.14
Ketiga, status harta yang dimiliki manusia, adalah sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT, sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan, 15 sebagai ujian keimanan, 16 dan sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan perintah-Nya dan melaksanakan muamalah di antara sesama manusia, melalui zakat, infak, dan sedekah.17
Bila demikian harta hanyalah satu di antara sekian banyak komponen pelengkap kehidupan manusia. Harta bukanlah segalanya, namun juga bukan berarti sebagai sesuatu yang tidak penting. Bukankah banyak ibadah-ibadah yang telah disyariatkan Islam, tidak akan berjalan sempurna jika tidak didukung sektor harta (finansial), semisal; pelaksanaan ibadah haji, penunaian zakat, pendirian pusat- pusat dakwah, dan sebagainya. Maka tak heran, secara berulang- ulang Al-Qur’an pun memotivasi sekaligus mengingatkan manusia agar bekerja memperoleh harta tetapi harus menggunakan cara, usaha yang baik dan benar dan setelah mendapatkan harta, hendaknya digunakan untuk hal-hal yang baik pula.
Solusi selanjutnya yang kedua adalah membekali aparat negara dengan ketakwaan. Rasulullah SAW telah menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada para sahabat. Terlebih kepada mereka yang ditunjuk menjadi aparat pemerintahan. Ditanamkan kepada mereka untuk tidak berbuat ghulul (curang). Namun tentunya hal ini menuntut adanya keteladanan dari sang pemimpin sendiri. Sebab bagaimana mungkin seorang pemimpin mengarahkan dan membimbing bawahannya untuk bertindak jujur dan amanah, sementara dirinya tidak seperti yang demikian.
Ketiga, audit (perhitungan kekayaan pejabat). Dalam hal ini Rasulullah SAW. bersabda:
Abu Hamid al-Sa’idi r.a. berkata: Rasulullah SAW pernah mempekerjakan seorang laki-laki dari Bani Asad untuk
14 al-Hadîd/57: 7 15 al-Kahfi/18: 46 16 al-Anfâl/8: 28, Âli ‘Imrân/3: 186 17 al-Taubah/9 : 41, 60 dan Âli ‘Imrân /3:133-134
SYAR’IE, Vol. 1 - Januari 2019
64
memungut zakat dari Bani Sulaim yang bernama Ibn Lutbiyyah. Ketika ia kembali (dan zakat sudah terkumpul), Rasulullah saw memeriksa dan menghitungnya. (HR. Bukhari) Secara tersurat Hadits di atas menjelaskan bahwa sistem
pengecekan hasil kinerja pegawai telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dari hadis di atas dapat dikembangkan apa yang kini dikembangkan audit kekayaan pejabat sebelum dan sesudah menjabat suatu jabatan. Artinya, siapa saja yang memangku suatu jabatan diminta menyerahkan daftar kekayaan secara jujur kepada pihak berwenang. Daftar tersebut menjadi bahan pertimbangan untuk menerima atau tidak pertanggungjawaban pejabat tersebut ketika purnatugas. Jika ada kenaikan yang tak wajar, yang bersangkutan harus membuktikan bahwa kekayaan itu benar-benar halal. Cara inilah yang kini dikenal sebagai pembuktian terbalik yang terbukti efektif mencegah aparat melakukan kecurangan.
Keempat, membuat sistem birokrasi yang baik, di antaranya sistem penggajian yang layak, sebagaimana sabda Rasulullah SAW berikut:
Barangsiapa yang diserahi suatu jabatan sedang ia tidak punya rumah, maka berikan rumah untuknya; bila tidak punya isteri, maka nikahkan dia; bila tidak punya pembantu, maka berilah dia pembantu; dan bila dia tidak punya kendaraan, maka sediakan kendaraan untuknya. Barangsiapa yang mengambil sesuatu selain itu, maka dia koruptor’ (HR Ahmad) Kadangkala beban tugas yang besar dan berat tidak disertai
dengan penerimaan finansial yang mencukupi. Sehingga mengakibatkan seorang mencari jalan lain untuk menutupi kekurangan finansialnya, yang terkadang melalui jalan yang tidak sah. Maka, hadits di atas secara jelas menyebutkan tentang pemenuhan kebutuhan pegawai yang diangkat.
Kelima, larangan menerima hadiah bagi pejabat. Yang dimaksud larangan menerima hadiah dalam konteks ini adalah bila terkait tugas yang diemban. Artinya, seorang pegawai atau pejabat tidak dibenarkan menerima suatu pemberian (baik itu istilahnya hadiah, hibah, dan sebagainya) yang dapat mempengaruhi kinerjanya atau mempengaruhi pelayanannya terhadap publik.
Keenam, mengangkat pegawai yang amanah dan kredible. Dalam proses awal perekrutan pegawai, selayaknya hanya dipilih dan diangkat orang-orang yang sangat amanah, takut pada Allah SWT.
SYAR’IE, Vol. 1 - Januari 2019
68
dan memiliki kemampuan sesuai bidang tugas yang diemban. Termasuk tidak mengangkat orang-orang yang sangat berambisi pada suatu jabatan dan mengangkat dalam suatu jabatan karena ada unsur kolusi dan nepotisme. Proses awal ini akan menentukan kelancaran dan keberhasilan tugas yang diemban ke depannya. Semua hal ini sebagaimana ditegaskan oleh hadits di bawah ini: 18
Abu Musa al-Asy’ary r.a. berkata: Saya dengan dua orang sepupuku masuk kepada Rasulullah SAW., maka salah seorang dari sepupuku itu berkata: Ya Rasulullah berilah pada kami jabatan di salah satu bagian yang diberikan Allah kepadamu. Yang kedua juga berkata demikian. Maka jawab Nabi SAW., “Demi Allah kami tidak mengangkat seorang dalam suatu jabatan, pada orang yang menginginkan atau orang yang berambisi pada jabatan itu”. (HR. Bukhari dan Muslim) Abu Hurairah r.a. berkata: Bersabda Rasulullah saw: Apabila tugas amanat telah diabaikan orang maka nantikanlah hari kiamat. Seseorang bertanya: Bagaimana mengabaikannya? Nabi SAW. menjawab: Jika semua urusan telah diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah saat kerusakannya. (HR Bukhari)
Penutup Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fenomena ghulul
(penggelapan) harta telah ada sejak zaman dahulu. Perilaku ini sangat merugikan masyarakat banyak bahkan kepentingan negara. Karenanya diperlukan upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan sedini mungkin. Langkah awal mengatasinya adalah dengan pembangunan moral dan karakter masyarakat. Adapun penuntutan pidana hanya berfungsi sebagai obat yang terakhir. Strategi pemberantasan ghulul (penggelapan) harta berbentuk piramida yang
18 Abu Zakaria Yahya an-Nawawiy, Riyâdh al-Shâlihîn min Kalâmi
Sayyid al-Mursalîn, Jilid I, Terj. Salim Bahreisy, (Bandung: AlMa’arif, 6666), 506. Lihat juga: Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhariy, Shahîh al- Bukhâriy, Terj. Zainuddin Hamidy, et al. dengan judul Terjamah Hadits Shahîh al- Bukhâriy, Jilid 4, (Malaysia, Selangor: Klang Book Centre, 1997), 144.
SYAR’IE, Vol. 1 - Januari 2019
60
SYAR’IE, Vol. 1 - Januari 2019
66
DAFTAR PUSTAKA
Anis, Ibrahim, et al., al-Mu’jam al-Wasîth, Juz 2. Mesir: Dar al-Ma’ârif, 1972.
al-Baghdadi, ‘Alauddin ‘Ali bin Muhammad bin Ibrahim (yang
masyhur dengan al-Khazin), Lubâb al-Takwîl fi Ma’âni al- Tanzîl, dikenal dengan Tafsîr al-Khâzin, Juz 1. Beirut: Dâr al- Kitâb, 1415 H.
al-Bukhariy, Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Terjemah Hadits
Shahîh al- Bukhâriy, Terj. Zainuddin Hamidy, et al. dari judul Shahîh al-Bukhâri, Cet. ke-5, Jilid 3, 4. Malaysia, Selangor: Klang Book Centre, 1997.
Hamzah, Andi, Pemberantasan Korupsi (Melalui Hukum Pidana
Nasional dan Internasional), Edisi Revisi. Jakarta: PT. Raja Grafido Persada, 2007.
Katsir, Abi al-Fida Isma’il Ibn, Tafsîr Al-Qur’an al-‘Azhîm, Jilid 1.
Kairo: Maktabah al-Tsaqâfi, 2001 M. al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsîr al-Marâghi. t.tp.: Dâr al-Fikr, tt. Munawir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir. Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984. Ma’luf, Luwis, al-Munjid. Beirut: al-Mathba’ah katolik, tt. an-Nawawiy, Abu Zakaria Yahya bin Syaraf, Riyâdh al-Shâlihîn
min Kalâmi Sayyid al-Mursalîn, Jilid I, Terj. Salim Bahreisy. Bandung: AlMa’arif, 2000.
Qala’arij, Muhammad Rawas dan Qunaibi, Hamid Shadiq, Mu’jam
Lughat al-Fuqaha’. Beirut: Dâr al-Nafis, 1985. Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsîr Al-Qur’an al-‘Azhîm (yang
masyhur dengan Tafsîr al-Manâr). Beirut: Dâr al-Kutub al- ‘ilmiyyah, 2005.
SYAR’IE, Vol. 1 - Januari 2019
65
Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
asy-Sya’rawi, Muhammad Mutawalli, Tafsîr al-Sya’rawiy, Jilid 3. Kairo: Akhbâr al-Yaum 1411 H/1991 M. ath-Thabari, Abi Ja’far Muhammad Ibn Jarir, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl