geofisika-2011-edisi1

54
EDISI 2011 No. 1 Analisis Stratigrafi Seismik Endapan Syn-rift Area Lembak, Cekungan Sumatera Selatan: Pleriminary Study for Unexplored Area (Angga Direzza, Sugeng S Surjono, Eko Widianto) Pendekatan Polinomial Orde-3 Hubungan Kecepatan Grup dan Fase dalam Estimasi Tetapan Anisotropi Medium Isotrop Transversal Tegak dari Difraksi Gelombang Seismik-P (Imam Setiaji Ronoatmojo, Djoko Santoso, Teuku Abdullah Sanny, Fatkhan) Penentuan Struktur Urat (Vein) Pirit di Kawasan Malang Selatan Berdasarkan Respon Geolistrik Polarisasi Terimbas (Sunaryo) Advanced Interpretation of Spectral Decomposition Method for Estimating Oil Reservoir Distribution; a Case Study (M.wahdanadi, Andy Februana P., Anofrilla) Pemograman Ray Tracing Metode Pseudo-Bending Medium 2-D untuk Menghitung Waktu Tempuh Antara Sumber dan Penerima (Andri Dian Nugraha, Ahmad Syahputra, Fatkhan)

Upload: moh-junaedy-yama

Post on 17-Jul-2016

70 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: geofisika-2011-edisi1

EDISI 2011 No. 1

Analisis Stratigrafi Seismik Endapan Syn-rift Area Lembak, Cekungan Sumatera Selatan: Pleriminary Study for Unexplored Area (Angga Direzza, Sugeng S Surjono, Eko Widianto)

Pendekatan Polinomial Orde-3 Hubungan Kecepatan Grup dan Fase dalam Estimasi Tetapan Anisotropi Medium Isotrop Transversal Tegak dari Difraksi Gelombang Seismik-P (Imam Setiaji Ronoatmojo, Djoko Santoso, Teuku Abdullah Sanny, Fatkhan)

Penentuan Struktur Urat (Vein) Pirit di Kawasan Malang Selatan Berdasarkan Respon Geolistrik Polarisasi Terimbas (Sunaryo)

Advanced Interpretation of Spectral Decomposition Method for Estimating Oil Reservoir Distribution; a Case Study (M.wahdanadi, Andy Februana P., Anofrilla)

Pemograman Ray Tracing Metode Pseudo-Bending Medium 2-D untuk Menghitung Waktu Tempuh Antara Sumber dan Penerima (Andri Dian Nugraha, Ahmad Syahputra, Fatkhan)

Page 2: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKAISSN: 0854-4352

Jurnal GEOFISIKA adalah jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI). Jurnal

ini diperuntukkan sebagai sarana publikasi dan komunikasi ilmiah di bidang geofisika secara luas mulai dari topik-

topik teoritik dan fundamental sampai dengan topik-topik yang terkait dengan penerapan geofisika di berbagai

bidang. Makalah yang dimuat dalam jurnal GEOFISIKA dapat berupa hasil penelitian yang orisinal, tinjauan

(review) tentang kemajuan terkini dari suatu topik tertentu, studi kasus penerapan metoda geofisika, serta resensi

tentang buku atau perangkat lunak yang berkaitan dengan geofisika. Makalah hendaknya dikirimkan ke alamat

sekretariat redaksi atau ke salah satu dari editor pelaksana. Makalah dapat diserahkan dalam bentuk cetakan (hard-

copy) atau dalam file komputer (soft-copy). Setiap makalah yang diterima akan ditinjau kelayakannya melalui

proses review yang ketat oleh pakar-pakar bidang yang terkait.

Editor kepala (chief editor)

Djedi S. WidartoUpstream Technology Center

PT. PertaminaGedung Kwarnas Lt.11

Jln. Medan Merdeka Timur, No. 06, Jakarta [email protected]

Dewan Editor (Board of Editors)

Hernowo DanusaputroJurusan Fisika – FMIPA

Universitas Diponegoro [email protected]

Telp.0811280608

Syaeful BachriProgram Studi Geofisika – FMIPA

Institut Teknologi [email protected]

Telp. 08122340854

Wiwit SuryantoLab. Geofisika FMIPA

Universitas Gajah [email protected]

Telp. 0274-545183

Eddy Ibrahim SyuebDept. Fisika Universitas Sriwijaya

[email protected]

Armi SusandiMeteorologi Institut Teknologi

[email protected]

Badrul Mustafa KemalTeknik Sipil Universitas Andalas

[email protected]

Mitra Bebestari (reviewer)

Gedung Patra Office Tower, lt. 20 suite 2045Jl. Jend. Gatot Subroto Kav 32-34, Jakarta 12950

telp. / fax.(021) 5250040email: [email protected]

http://www.hagi.or.id

Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI) didirikan pada tanggal 9 Oktober 1976 di Bandung

Nanang T. Puspito (TG-ITB)Andri Dian Nugraha (TG-ITB)

Agus Laesanpura (TG-ITB)Sonny Winardhie (TG-ITB)

Sigit Sukmono (TG-ITB)Wahyudi W. Parnadi (TG-ITB)

Wahyu Triyoso (TG-ITB)

Edi P. Utomo (Puslit Geoteknologi LIPI Bandung)Eko Widianto (Trisakti)Abdul Harris (Geofisika UI)Awali Priyono (TG-ITB)Irwan MeilanoHasanuddin Z. Abidin

Alamat Redaksi Jurnal Geofisika:

Untuk menjamin keseragaman format, naskah

hendaknya mempunyai margin sebagai berikut :

a. Margin atas kiri kanan dan bawah berturut-turut 3

3 2,5 2,5 cm, kecuali pada bagian abstrak margin

kiri dan kanan masing-masing 4 dan 3,5 cm.

b. Badan naskah harus ditulis dalam 2 kolom

dengan lebar tiap kolom 7,25 cm dan jarak antar

kolom 1 cm.

Huruf dan Spasi

· Badan naskah dicetak 1 spasi dengan huruf Times

New Roman 11 poin.

· Judul makalah dicetak tebal denga huruf besar

Times New Roman 14 poin, center

· Nama dan afiliasi penulis berturut-turut dengan

huruf Times New Roman 11 poin, 2 spasi di

bawah judul. Nama penulis diberi garis bawah

· Abstrak (Abstract) dicetak miring dengan huruf

Times New Roman 11 poin, 3 spasi dibawah

penulis.

Judul

Judul Makalah: Judul sebaiknya singkat dan jelas

serta mencerminkan isi naskah. Judul makalah diikuti

nama (tanpa gelar) dan afiliasi penulis, abstrak serta

kata kunci (keywords). Judul Bagian: Judul bagian

dicetak tebal dengan huruf besar dan diberi nomor,

dimulai dari sisi kolom kiri.

Judul Sub-Bagian: Judul sub-bagian dicetak dengan

gabungan huruf besar dan kecil, diberi nomor dan

dimulai dari sisi kiri kolom.

Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia

yang baik dan benar atau Bahasa Inggris.

Penggunaan singkatan dan tanda-tanda diusahakan

mengikuti aturan nasional atau internasional. Satuan

yang digunakan hendaknya mengikuti sistem satuan

internasional (SI).

Persamaan harus dicetak dan diberi nomor seperti

contoh di bawah ini:

T = 1/V ds (1)

Gambar

Gambar dapat dimasukkan dalam kolom atau meliputi

kedua kolom. Legenda gambar harus terlihat jelas

dengan ukuran minimum 10 poin. Keterangan ganbar

ditulis sebagai berikut “Gambar 1 Keterangan

Gambar”.

Daftar Pustaka

Daftap pustaka dicantumkan pada bagian akhir

naskah dengan format seperti pada contoh berikut:

Chao-ying, B. and Greenhalgh, S., 2006. 3D

Local earthquake Hypocenter Determination

with an Irregular Shortest-Path Method,

BSSA, 99,6, 2257 - 2268.

Grandis, H., 2007. Buku Ajar Inversi Geofisika,

Institut Teknologi Bnadung.

Stamps, D. S. and Smalley, R. Jr., 2006. Strings

and Things for Locating Earthquake,

Seismological Research Letters, 77,6,677-

683.

Bahasa, Satuan dan Persamaan

Page 3: geofisika-2011-edisi1

EDITORIAL

Jurnal GEOFISIKA kali ini hadir, meskipun agak terlambat, dengan beragam topik makalah mulai dari ilmu-ilmu

dasar hingga terapan. Makalah ilmu-ilmu dasar masih merupakan bagian penting dalam pengembangan geofisika itu

sendiri sebagai bagian dari ilmu pengetahuan. Sementara itu, topik geofisika terapan lebih banyak ditulis oleh

kalangan industri maupun lembaga riset yang lebih banyak menggunakan geofisika untuk mempelajari fenomena

Bumi, baik yang terkait dengan sumber daya energi maupun tektonofisika, dan aplikasi lainnya. Untuk penerbitan

nomor-nomor berikutnya, Editor berharap kepada anggota HAGI untuk dapat mengirimkan makalah-makalah

terbaiknya, dan dengan topik terkini di dunia geofisika tentu sangat kami harapkan. Kami berharap topik makalah

akan semakin beragam, baik itu sebagai sains murni maupun terapan, dan melibatkan geofisika padat (solid earth

geophysics) maupun geofisika fluida (fluid geophysics). Semoga harapan kami dapat kita wujudkan bersama, demi

kemajuan organisasi HAGI yang kita cintai ini.

TIM EDITOR

Page 4: geofisika-2011-edisi1

2

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

ANALISIS STRATIGRAFI SEISMIK ENDAPAN SYN-RIFT AREA LEMBAK, CEKUNGAN SUMATERA SELATAN :

PLERIMINARY STUDY FOR UNEXPLORED AREA

1 2 3Angga Direzza , Sugeng S Surjono , Eko Widianto1Eksplorasi, PT. Pertamina EP (PEP)

2Jurusan Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada (UGM)3PT. Pertamina Upstream Technology Center (UTC)

Abstrak

Pada Area Lembak, Cekungan Sumatera Selatan, berkembang endapan syn-rift yang belum dikaji secara teliti.

Sementara itu, berdasarkan interpretasi seismik diperkirakan terdapart endapan syn-rift Pre-Talangakar atau

Kelompok Lahat (LAF) yang mempunyai potensi besar berkembangnya petroleum system dan akumulasi

hidrokarbon. Metoda stratigrafi seismik diaplikasikan pada Area Lembak, Cekungan Sumatera Selatan untuk

mengetahui potensi tersebut. Melalui pendekatan tektonostratigrafi dan stratigrafi sikuen, penulis dapat mengetahui

arsitektur endapan syn-rift, sistem pengendapannya, dan sejarah pembentukan cekungan. Selain itu, tipe cekungan

serta potensi batuan induk dapat diprediksi. Berdasakan kajian awal ini, endapan syn-rift pada Area Lembak sangat

menarik untuk dieksplorasi lebih lanjut.

Abstract

Syn-rift sediments in Lembak Area, South Sumatra Basin are potential province for hydrocarbon accumulation

although they were underexplored. Meanwhile, based on seismic interpretation it is predicted that there are syn-rift

deposits, Pre- Talangakar or Lahat group (LAF), which have the greatest potential development of the petroleum

system and hydrocarbon accumulation. Seismic stratigraphic method was applied to determine it. Through

tectonostratigraphy and sequence stratigraphic approaches, the author can describe the architecture of syn-rift

sediments, deposition systems, and the history of basin formation. In addition, the type of basin and the potential of

source rock also can be predicted. Based on this preliminary study, syn-rift sediments in the Lembak Area are very

interesting to be explored future.

Keyword : seismic stratigraphy, tectonostratigraphy, syn-rift sediments, basin analysis

Pendahuluan

Endapan syn-rift di daerah Sumatera Selatan umumnya

memiliki status underexplored. Pada sisi lain,

batupasir dari Formasi Benakat, sebagai bagian

endapan syn-rift, telah terbukti secara komersial

sebagai reservoar hidrokarbon di Lapangan Benakat,

Lapangan Puyuh (Maulana et al., 1999; Tarazona et al.,

1999) dan Lapangan Ibul. Melalui pendekatan

tektonostratigrafi dan stratigrafi sikuen dari data

seismik, penelitian ini mencoba untuk mengetahui

arsitektur endapan syn-rift, sistem pengendapannya,

dan sejarah pembentukan cekungan pada Area

Lembak, Cekungan Sumatera Selatan (Gambar 1).

Metodologi Penelitian

Secara umum, metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah stratigrafi seismik (seismic

stratigraphy) dengan menggunakan pendekatan

analisis tektonostratigrafi (Prosser, 1993) dan

stratigrafi sikuen (Vail, 1987). Metode ini

diaplikasikan untuk mendefinisikan tatanan stratigrafi

pada endapan syn-rift di Area Lembak.

Keterbatasan data sumur menjadikan data seismik

sebagai fokus utama objek penelitian. Oleh karena itu,

metode seismik stratigrafi diharapkan dapat

menjawab permasalahan di atas.

Atribut Seismik

Sebelum dilakukan penarikan sikuen dan fasies,

penulis melakukan analisis atribut seismik dan miss-

tie analysis untuk optimalisasi penarikan horizon dan

Page 5: geofisika-2011-edisi1

3

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

struktur serta pengikatan antar lintasan 2D (Gambar

2). Atribut high cut filter digunakan untuk

menghilangkan amplitudo berfrekuensi tinggi yang

dianggap sebagai noise sedangkan atribut fasa sesaat

(instantaneous phase) digunakan untuk menarik

kemenerusan reflektor koheren yang lemah seperti

pada pembajian dan ketidakselarasan.

Batas Sikuen Seismik

Penulis menggunakan beberapa kriteria untuk

mengidentifikasi batas sikuen seperti yang diajukan

oleh Changson (2001), diantaranya :

1. Kontak ketidakselarasan stratigrafi ditunjukkan

oleh pemancungan pada hinge margin, permukaan

onlap dan downlap pada lerang, dan kontak

konkordan pada pusat cekungan;

2. Batas sikuen juga ditunjukkan oleh perubahan

karakter fisik secara tiba-tiba seperti perbedaan

litologi maupun fasies seismik;

3. Incised valley didefinsikan sebagai batas sikuen;

4. Apabila tidak dijumpai ketidakselarasan, batas

sikuen dapat diidentifikasi dari perubahan

hubungan perlapisan.

Dengan menggunakan keempat kriteria di atas, maka

dapat diidentifikasi adanya dua batas sikuen dan

perkiraan top batuan dasar (lihat Gambar 3). Sikuen 1

(S1) dibatasi oleh Top Basement (BSMT) – Batas

PALEMBANG

PRABUMULIH

Gambar 1. Peta konfigurasi batuan dasar Cekungan

Sumatera Selatan (Sapiie et al., 2005)

Page 6: geofisika-2011-edisi1

4

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

Gambar 3. Interpretasi a) batas sikuen dan fasies seismik pada penampang fasa sesaat serta b) fasies

pengendapannya pada lintasan kunci Barat-Timur di Area Lembak.

Sikuen (SB) 1 sedangkan Sikuen 2 (S2) dibatasi oleh

Batas Sikuen (SB) 1 - dan Batas Sikuen (SB) 2 yang

dinterpretasikan setara dengan Top LAF. Karena tidak

terdapatnya data sumur yang menembus sampai

batuan dasar pada daerah hanging wall, maka top

batuan dasar disini diinterpretasikan sebagai top

lapisan yang mendasari endapan syn-rift yang dapat

berupa endapan pre-rift (Formasi Kikim) maupun

batuan Pra-Tersier.

Analisis Data

Fasies Seismik dan Fasies Pengendapan

Fasies seismik ditentukan berdasarkan

pengelompokan batas atas, batas bawah, dan karakter

internal lapisan. Fasies seismik yang telah

diidentifikasi diterjemahkan menjadi fasies

pengendapan berdasarkan model distribusi sedimen

pada konsep tektonostratigrafi (Prosser, 1993) dan

stratigrafi sikuen (Vail, 1987).

Page 7: geofisika-2011-edisi1

5

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

a. Fasies pada Sikuen 1 (S1)

S1 diinterpretasikan termasuk pada sikuen

pengendapan awal pemekaran (rift initiation). Prosser

(1993) menyebutkan bahwa pada tahap rift initiation

pergerakan sesar akan menghasilkan daerah depresi

dan diikuti oleh sistem pengendapan gravitasional

(gravity-driven sedimentray system). Laju

penurunannya relatif sama dengan laju pasokan

sedimen sehingga pola ketebalnya akan relatif

seragam. Sistem drainase utama cekungan akan sejajar

dengan sumbu cekungan sebagai sistem sungai

longitudinal (longitudinal river system). Tinggian baru

yang terbentuk pada footwall crests dan hanging wall

crests dapat berpotensi sebagai sumber sedimen.

Pada Gambar 3, terlihat bahwa pada S1 terdapat

incised valley (ivf) di bagian hanging wall yang

memotong batuan dasar. Karakter internal chaotic

yang mengisinya diinterpretasikan sebagai endapan

pasiran (sand prone) (Widmier dan Sangree, 1972;

dalam Veeken, 2007). Terdapat juga karakter internal

hummocky dan discontinuous pada pusat cekungan

yang bergradasi menuju hinge margin menjadi pola

onlap terhadap BSMT. Karakter tersebut

diinterpretasikan mewakili fasies pendapan awal S1

dan mengindikasikan sistem sedimentasi yang

mempertahankan laju penurunan cekungan (kept pace

with subsidence) (Prosser, 1993).

Pada saat pasokan sedimen berkurang,

diinterpretasikan bahwa condense section (cs)

terbentuk sebagai downlap surface yang terlihat jelas

pada lereng (slope). Dalam model rift initiation,

penjelasan mengenai kehadiran downlap surface

dianggap sebagai batas akhir fase ini sedangkan pada

penelitian ini, batas sikuen ditentukan oleh kehadiran

incised valley (ivf) sebagai akibat dari pergerakan

rotasional hanging wall (Prosser, 1993 dan Strecker et

al., 1999). Pola paralel dan mounded diatas downlap

surface yang berubah menjadi sigmoid dan chaotic ke

arah pusat cekungan diinterpretasikan sebagai

perkembangan fasies dari sistem alluvial menjadi

sistem delta.

b. Fasies pada Sikuen 2 (S2)

S2 diinterpretasikan sebagai sikuen yang diendapkan

pada saat laju penurunan sesar maksimum (rift climax).

Prosser (1993) menjelaskan bahwa pada tahap rift

climax laju pergerakan sesar mencapai maksimum dan

cekungan umumnya tenggelam (drowning). Tinggian

topografi sesar pada footwall berada pada lingkungan

subaerial sementara pusat cekungan secara simultan

terendam (submerge). Laju penurunannya relatif lebih

besar daripada laju pasokan sedimen sehingga

cekungannya menjadi miskin sedimen (starvation).

Rift climax dapat dicirikan oleh berkembangnya pola

agradasi bersamaan pembentukan pola divergen

akibat pergerakan rotasional hanging wall selama

pengendapan. Pola mounded yang berasosiasi dengan

kipas-kipas (fans) dan talus hadir di sumbu cekungan.

Selain itu, pola sub-paralel (inter-bedding) reflektor

pada pusat cekungan merepresentasikan kontras

litologi antara kipas-kipas (fans) dan endapan

lakustrin.

Pada Gambar 3 juga dapat ditunjukkan bahwa batas

antara S2 dengan S1 pada hinge margin masih

dicirikan bidang erosional berupa incised valley (ivf).

Pola prograding fill dalam incise valley juga

mencirikan bahwa pengisinya didominasi oleh

endapan pasiran (sand prone) (Widmier dan Sangree,

1972 dalam Veeken, 2007). Struktur mounded yang

terbentuk pada pusat cekungan diinterpretasikan

sebagai lake-floor fan atau sub-lacustrine fan (Vail,

1987; Bochas et al., 2004). Pola agradasi dan

progradasi pada bidang footwall S2 terlihat lebih jelas

daripada S1. Karakter ini menandakan lebih

berkembangnya sistem delta kipas (fan delta) atau

kipas alluvial (alluvial fan) pada bidang border fault

(Prosser, 1993).

Pola sub-paralel beragradasi dengan amplitudo

reflektor yang tegas terdapat pada pusat cekungan.

Pola tersebut identik dengan deskripsi Prosser (1993)

mengenai perselingan (inter-bedding) antara kipas-

kipas (fans) dengan endapan lakustrin. Perkembangan

fasies ini mencirikan tahap pertengahan rift climax

(Prosser, 1993). Pada tahap ini lingkungan lakustrin

menjadi dominan. Kemungkinan besar banyak

diendapkan klastika halus di pusat cekungan yang

berfungsi sebagai batuan induk. Lapisan klastika

halus pada S2 ini diinterpretasikan setara dengan

Benakat (Shale Member) dari LAF. Permukaan banjir

maksimum (maximum flooding surface / mfs) pada S2

terbentuk sebagai downlap surface (horizon hitam

putus-putus Gambar 3).

Penerapan Stratigrafi Sikuen

Penulis mengambil hipotesis bahwa dalam penelitian

ini, setiap suksesi dan fasies yang terbentuk pada fase

Page 8: geofisika-2011-edisi1

6

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

tektonostratigrafi terutama rift climax dapat

dididefinisikan dalam pembagian sikuen berdasarkan

konsep sikuen stratigrafi sikuen yang dikembangkan

oleh Vail (1987) (Exxon Sequence Model) pada daerah

passive margin. Hal ini selaras dengan apa yang

dikemukakan oleh Changson (2001) yaitu bahwa

konsep stratigrafi sikuen dapat diaplikasikan untuk

mengetahui suksesi pengendapan lakustrin pada

cekungan rift.

Awal rift climax (early rift climax) identik dengan fase

Lowstand System Tract (LST) dimana penciri fase ini

ditunjukkan oleh kehadiran unit fasies dasar cekungan

yaitu basin floor fan atau dalam daerah penelitian

sama dengan lake-floor fan. Pertengahan rift climax

(mid-rift climax) identik dengan fase Transgressive

System Tract (TST). TST terbentuk pada saat kenaikan

muka air laut yang cepat. Fase ini dicirikan oleh pola

retrogradasi dan berakhir sampai mencapai

permukaan banjir maksimum (mfs). Pada daerah

penelitian, fase ini diinterpretasikan sebagai tahap

dominasi perkembangan lingkungan lakustrin dan

ruang akomodasi yang terbentuk merupakan fungsi

dari kenaikan relatif muka air danau (relatif lake level

rise) dan pergerakan rotasional hanging wall

(Changson et al., 2001). Akhir rift climax identik

dengan fase Highstand System Tract (HST) dimana

pengendapan fasiesnya terjadi setalah mfs dan ditandai

oleh pola progradasi menuju cekungan membentuk

delta dan dataran pantai dengan pelamparan yang luas

(Slatt, 2006).

Pada penerepan yang lebih lanjut, dengan

menggunakan konsep stratigrafi sikuen, kita juga

dapat menjelaskan mengenai bagaimana distribusi

fasies yang dapat berpotensi sebagai reservoar dan

batuan pada sistem rift, untuk meningkatkan tingkat

keakuratan analisis stratigrafi, dan sebagai metode

untuk analisis dan evaluasi cekungan (basin analysis

atau basin evaluation) (Takano, 2007).

Peta Isopach dan Peta Fasies

Peta isopach dihitung berdasarkan ketebalan

stratigrafi sebenarnya (true stratigraphic tickness)

dari masing-masing sikuen. Peta isopach digunakan

untuk melihat pola ketebalan lapisan sikuen,

kemungkinan daerah pembajian, dan paleotopografi

sikuen. Sedangkan peta fasies seismik dikelompokkan

berdasarkan karakter batas atas (A), batas bawah (B),

dan karakter internal (C) dalam sikuen menggunakan

kode Ramsayer (1977) yaitu A-B/C yang pada tahap

selanjutnya di terjemaahkan kedalam fasies

pengendapan.

Peta isopach (warna) dan peta fasies (garis putih putus-

putus) ditunjukkan pada Gambar 4. Gambar 4.a.

menunjukkan pola isopach dari S1 (BSMT-SB1) atau

tebal sikuen rift initiation. Pola tinggian lokal purba

yang diwakilkan oleh isopach rendah (merah) terlihat

sangat jelas berundulasi dan mengelilingi cekungan.

Diinterpretasikan bahwa sumber sedimen pengisi

cekungan berasal dari tinggian-tinggian tersebut dan

masuk ke dalam cekungan melalui incised valley

sebagai sistem pengendapan gravitasional (gravity-

driven sedimentary system). Pembajian dari fasies

alluvial-fluvial kemungkian terdapat pada tinggian A

di barat dan tinggian B di utara.

Gambar 4.b menunjukkan pola isopach dari S2 (SB1-

SB2) atau tebal sikuen rift climax. Pola ketebalan

lapisannya terlihat lebih seragam mengelilingi puat

cekungan. Geometri cekungan terlihat lebih sempit

secara lateral, lebih tebal secara vertikal dan lebih

melingkar daripada S1. Hal ini diinterpretasikan

berkaitan dengan semakin cepatnya laju penuruan

hanging wall secara rotasional pada tahap rift climax.

Daerah delta melebar ke arah selatan-barat daya.

Pembajian tetap berada pada daerah A dan didominasi

oleh fasies delta sedangkan pembajian di daerah B

didominasi oleh fasies alluvial-fluvial.

Dari kombinasi peta isopach fasies dan di atas dapat

disimpulkan bahwa daerah tinggian A dan B sangat

potensial sebagai daerah pemerangkapan stratigrafi

berupa pembajian baik untuk S1 maupun S2,

sedangkan fasiesnya dapat terdiri dari alluvial-fluvial

pada S1 dan delta pada S2.

Tipe Cekungan dan Potensi Batuan Induk

Pola-pola fasies seismik yang terdapat pada S2

t e ru t ama t ahap pe r t engahan r i f t c l imax

mengindikasikan bahwa perbandingan antara laju

pembentukan ruang akomodasi dan pengisian

cekungan relatif seimbang dan mencirikan suatu

konfigurasi fasies dari balanced-fill lake basin

(Bochas et al., 2000). Interpretasi ini berlawanan

dengan karakteristik rift climax yang dijelaskan oleh

Prosser (1993) sebelumnya dimana pada tahap

tersebut kemungkinan akan terbentuk cekungan

miskin sedimen (stravation atau underfilled lake

basin). Perbedaan tersebut terjadi karena Prosser

Page 9: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

7

Gambar 4. Peta isopach dalam milisecond (warna) dan peta fasies pengendapan untuk a) S1- rift initiation dan b)

S2 - rift climax. Garis putih putus-putus menandakan batas fasies pengendapan. Panah menunjukkan arah

pengendapan. Lingkaran hitam A dan B menunjukkan lokasi potensi pemerangkaan stratigrafi berupa pembajian

dan incised valley.

Page 10: geofisika-2011-edisi1

8

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

(1993) menggunakan asumsi bahwa pasokan sedimen

pengisi cekungan dianggap relatif konstan sehingga

penambahan ruang akomodasi tidak diimbangi oleh

pengisian sedimen.

Selain ditafsirkan dari geometri dan fasies pengisi

cekungan, tipe balanced-fill lake basin juga dapat

diidentifikasi dari karakter batuan induk dan

hidrokarbon seperti yang didefinisikan oleh Bochas et

al., (2000). Mereka menyebutkan bahwa pada tipe

cekungan ini, batuan induknya akan didominasi oleh

kerogen Tipe I, campuran kerogen tipe I-III dekat

flooding surface dan harga TOC memiliki kisaran

menengah sampai tinggi. Karakter hidrokarbonnya

cenderung menghasilkan minyak (oil prone), bersifat

parafin, dan kaya akan biomarker alga. Batuan

induknya digolongkan sebagai high-quality oil shale.

LAF yang tertembus pada sumur PX-3 terdapat pada

akhir dari rift climax (2975 – 3010 mbpl). Meskipun

demikian, analisis geokimia batuan induk dari LAF

yang dilakukan oleh Lemigas (1999) pada sumur PX-3

menyimpulkan bahwa LAF memiliki batuan induk

campuran tipe I-III. Kualitas batuan induknya

memiliki harga TOC 0,8 – 2,2%. Hasil uji produksi

pada kedalaman 3013-3018 mbpl menghasilkan

minyak dengan harga derajat API yang tinggi di atas

50 atau Specific Gravity (SG) sekitar 0.78 yang

digolongkan sebagai light oil atau minyak ringan

(paraffinic?) (Hunt, 1979). Analisis data biostratigrafi

pada LAF menunjukkan bahwa terdapat kelimpahan

Alga Concentris pada kedalaman 3038-3096 mbpl

(Lemigas, 1998 dalam Pertamina, 2001). Penjelasan

mengenai batuan induk, hidrokarbon, dan

biostratigrafi di atas memperkuat penafsiran bahwa

cekungan yang terbentuk pada S2 memiliki tipe

balanced-fill lake basin dan cenderung berfungsi

sebagai oil kitchen.

Potensi Akumulasi Hidrokarbon

Tatanan stratigrafi endapan syn-rift yang didefinisikan

berdasarkan data seismik menggunakan pendekatan

tektonostratigrafi dan stratigrafi sikuen digunakan

dalam menjelaskan perkembangan cekungan. Pada

tahap selanjutnya, hasil analisis tersebut dituntun

untuk menafsirkan potensi akumulasi hidrokarbon

atau play yang dapat berkembang di Area Lembak.

Model akumulasi hidrokarbon dari cekungan rift pada

Area Lembak dianggap analog dengan model yang

dikemukakan oleh Atkinson et al. (2006) untuk

cekungan rift Paleogen di Indonesia Meskipun

Atkinson et al. (2006) tidak menjelaskan secara detail

mengenai distribusi fasies pada cekungan rift serta

karakteristik dari masing-masing play, model tersebut

dapat memberikan gambaran umum mengenai

hubungan antara unsur-unsur sistem perminyakan

dengan play eksplorasi hidrokarbon pada cekungan

rift.

Model akumulasi hidrokarbon pada endapan syn-rift di

Area Lembak ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Model akumulasi hidrokarbon untuk endapan syn-rift pada Area Lembak modifikasi dari Atkinson et. al., (2006) (Direzza, 2010).

Page 11: geofisika-2011-edisi1

9

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

Berdasarkan evaluasi terhadap risiko penemuan

hidrokarbon yang berhubungan dengan unsur sistem

perminyakan seperti charging, perangkap, waktu

migrasi, dan lapangan penemuan hidrokarbon, maka

dapat ditentutkan beberapa play terhadap geometri

cekungannya seperti hanging wall, inversion dan

lake-floor fan pada pusat cekungan, dan footwall.

Selaras dengan pemodelan Atkinson et al. (2006),

lokasi terbaik untuk pemerangkapan hidrokarbon di

Area Lembak terdapat pada hanging wall play. Hal

tersebut dapat dijelaskan bahwa daerah hanging wall

merupakan jalur utama migrasi hidrokarbon

(charging), perangkap stratigrafi berkembang sebagai

pembajian atau perubahan fasies sedangkan

perangkap struktur berkembang sebagai hasil evolusi

tektonik. Penjelasan tersebut dibuktikan juga oleh

banyaknya penemuan hidrokarbon yaitu PY-1, PX-1,

dan PX-2 yang terletak pada hanging wall half graben

Lembak (Gambar 3 dan 4).

Berdasarkan model akumulasi hidrokarbon pada Area

Lembak pada Gambar 5, dapat diketahui bahwa masih

banyak daerah pada endapan syn-rift yang menarik

untuk dikaji lebih lanjut. Dengan kata lain, masih

banyak play pada endapan syn-rift yang belum

dibuktikan (unproven play) dan sangat menarik untuk

dijadikan target baru dalam strategi eksplorasi

hidrokarbon selanjutnya di Area Lembak.

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan mengenai

stratigrafi seismik pada endapan syn-rift di Area

Lembak, maka dapat disimpulkan :

1. Melalui pendekatan analisis tetktonostratigrafi dan

stratigrasi sikuen, metode stratigrafi seismik dapat

diterapkan untuk mengetahui evolusi pembentukan

dan pengisian cekungan khususnya pada endapan

syn-rift, sebagai underexplored area di Area

Lembak.

2. Endapan syn-rift dapat dibagi menjadi dua sikuen

yaitu Sikuen 1 (S1) dan Sikuen 2 (S2) yang masing-

masing dibatasi oleh ketidakselarasan menyudut

pada hinge margin dan keselarasan korelatif pada

pusat cekungan. Dua sikuen yang teridentifikasi di

atas diiterpretasikan sebagai manifestasi dari

perbedaan laju penurunan hanging wall secara

rotasional dengan arah orientasi utama barat-timur

: S1 – rift initiation dan S2 – rift climax.

3. Fasies endapan syn-rift dapat terdiri atas sistem

alluvial : alluvial-fan, fan-delta, incised valley; dan

sistem lakustrin: lake-floor fan, lacustrine, lake

delta. S1 didominasi oleh endapan alluvial

sedangkan S2 didominasi oleh endapan lakustrin.

4. Cekungan pada Area Lembak, khususnya pada

sikuen rift climax, dapat dikategorikan sebagai

balanced-fill lake basin yang akan memiliki batuan

induk utama berupa serpih lakustrin (oil prone).

5. Area Lembak masih memiliki banyak potensi

sistem perminyakan dan akumulasi hidrokarbon

yang cukup baik dan menarik untuk dieksplorasi

lebih lanjut.

Ucapan Terimakasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dirjen

Migas, BPMIGAS, serta majemen PT. Pertamina EP

yang telah memberikan izin untuk mempublikasikan

karya ilmiah ini.

Daftar Pustaka

Atkinson, C., M. Renolds, and O. Hutapea, 2006,

Stratigraphic traps in the Tertiaryrift basins of

Indonesia : case studies and future potential, in :

Allen et al., (editors), 2006, The Deliberate

Search for the Stratigraphic Trap, Geological

Society Special Publication, no.254, p.105-126

Bochas, K. M., A.R.Carroll, J.E. Neal, and P.J.

Mankiwicz, 2000, Lake-Basin Type, Source

Potential, and Hydrocarbon Character: an

Integrated Sequence - Stratigraphic-

Geochemical - Framework, in E.H. Gierlowski-

Koedesch and K.R Kelts, eds., Lake basin

trough space and time : AAPG Studies in

Geology 46. P.3-34.

Bochas, K. M., 2004, Reservoir Prediction in Lake

Systems: Complex, and Challangeing,

Association of American Petroleum Geologists

(AAPG) Hedberg Conference, Baku, Azerbaijan

Changson, L., K. Eriksson, L. Sitian, W. Yongxian, R.

Jianye, and Z. Yanmei, 2001, Sequence

architechture, depositional systems, and

control development of lacustrine basin fill,

Association of American Petroleum Geologists

(AAPG) Bulletin, v.85, no.11, p.2017-2043.

Page 12: geofisika-2011-edisi1

10

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

Direzza, Angga, 2010, Analisis Cekungan dan Potensi

Akumulasi Hidrokarbon pada Endapan Syn-

Rift Berdasarkan Stratigrafi Seismik Area

Lembak, Cekungan Sumatera Selatan, Tesis

Program Studi S-2 Teknik Geologi Universitas

Gadjah Mada (UGM), unpublised.

Hunt, J. M., 1979, Petroleum, Geochemistry and

Geology, Freeman, San Francisco, 675 pp.

Lemigas, 1999, Evaluasi Geokimia Lanjut Daerah

Tepus, Internal Report.

Maulana, E., A. Sudarsana, and S. Situmeang, 1999,

Characterization of a Fluvial Oil Reservoir in

the Lemat Sandstone (Oligocene), Puyuh Field,

South Sumatra Basin, Proc. IPA 27th Annual

Convention, p. 83-104.

Pertamina, 2001, South Sumatra Paleogen Syn-Rift

Deposition Study, Subdinas Eksplorasi

Cekungan Dinas Teknologi Eksplorasi,

Internal Report.

Prosser, S., 1993, Rift-Related Linked Depositional

Systems and Their Seismic Expression, in:

Williams, G.D. and Dobb, A., (editors), 1993,

Tectonics and Seismic Sequence Stratigraphy,

Geological Society Special Publication, no.71,

p.35-66

Sapiie, B., M. Hadiana, I. Nugraha, and Sayentika,

2005, Analogue Modeling of Rift Mechanism in

The Paleogene Graben System of Western

Indonesia, Proc. IPA, 30th Annual Convention,

p.593-604

Slatt, R. M., 2006, Stratigraphic Reservoir

Characterization for Petroleum Geologists,

Geophysicists, and Engineers, Handbook of

petroleum exploration and production, Vol.6,

Elseiver, Amsterdam, Netherlands.

Strecker, U., J.R. Steidtmann, and S.B. Smithson,

1999, A conceptual tectonostratigraphic model

for seismic facies migrations on a fluvio-

lacustrine extensional basin: AAPG Bulletin,

v.83, p.43–61.

Tarazona, C., J. S. Miharwatiman, A. Anita, and C.

Caughey, 1999. Redevelopment of Puyuh Oil

Filed (South Sumatra): A Seismic Success Story:

Proc. IPA 27th Annual Convention, p. 65-82

Vail, P.R., 1987. Seismic stratigraphy interpretation

using sequence stratigraphy. Part 1: Seismic

stratigraphy interpretation procedure. In: A.W.

Bally (Ed.), Atlas of Seismic Stratigraphy,

Amer. Assoc. Petrol. Geol. Studies in Geology

27, 1, pp. 1–10.

Veeken, P.C.H, 2007, Seismic Stratigraphy, Basin

Analysis and Reservoir Characterization,

Elsevier, France.

Page 13: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

PENDEKATAN POLINOMIAL ORDE-3 HUBUNGAN KECEPATAN GRUP DAN FASE DALAM

ESTIMASI TETAPAN ANISOTROPI MEDIUM ISOTROP TRANSVERSAL TEGAK DARI DIFRAKSI

GELOMBANG SEISMIK-P

1 2 2 2Imam Setiaji Ronoatmojo , Djoko Santoso , Teuku Abdullah Sanny , Fatkhan1)PT. ELNUSA Tbk, Graha Elnusa Lt.13, Cilandak Kav. 1B, Jakarta

2) Institut Teknologi Bandung, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Teknik Geofisika, Jalan

Ganesha 10 , Bandung

Abstrak

Kecepatan gelombang seismik berperan cukup penting dalam metoda seismik eksplorasi. Apabila hal tersebut

dihubungkan dengan sifat fisik medium dalam perambatan gelombang, maka sifat anisotropi medium akan

mengakibatkan perubahan kecepatan pada variasi arah. Untuk itu telah banyak dikaji pengaruh sifat anisotropi

medium terhadap perubahan harga kecepatan, dimana kajian tersebut berkembang pada pembelajaran keterkaitan

antara kecepatan grup dan kecepatan fase. Dalam hal ini, perbedaan harga antara keduanya dapat digunakan untuk

mengidentifikasi sifat anisotropi medium. Pada umumnya kajian mengenai sifat anisotropi diperoleh dari suatu

fungsi refleksi gelombang seismik-P, namun pada studi ini akan diturunkan dari fungsi difraksi yang belum pernah

dilakukan sebelumnya. Sehingga dalam kaitan tersebut, dilakukan metoda penyelesaian numerik dengan

pendekatan polinomial yang didasarkan pada hubungan antara kecepatan grup dan kecepatan fase dengan tetapan

anisotropi pada suatu geometri difraksi, dimana hal itu dilakukan dengan mempertimbangkan keberadaan waktu

tunda rambat gelombang seismik-P dari sumber di permukaan ke suatu sumber difraksi di bawah permukaan.

Selanjutnya metoda tersebut diuji dengan pemodelan fisik medium isotrop transversal tegak (vertical transverse

isotropy). Hasil pengujian terhadap beberapa penyelesaian numerik dengan pendekatan polinomial orde 2, 3, 4 dan

5 menunjukkan hubungan fungsional yang cukup signifikan antara variabel terikat dan variabel bebas. Hal ini 2ditunjukkan oleh harga F > F , P(f) > 0. dan nilai koefisien determinasi (R ) > 0,9. Bila nilai koefisien A dan A tabel 1 2

yang dihasilkan masing-masing polinomial dimasukkan ke dalam persamaan penghitungan tetapan anisotropi maka

tampak nilai tetapan dipengaruhi oleh nilai koefisien A sedangkan nilai tetapan dipengaruhi oleh nilai koefisien 1

A danA . Hal ini juga menunjukkan bahwa pada perhitungan tetapan akan terbebani kesalahan dari koefisien A 1 2 1

dan A .2

Abstract

Seismic velocity is an important aspect in seismic exploration, it is found that anisotropic properties of media yields

a velocity variation for different direction. Many studies attend as references for discussing the relation of phase

velocity to group velocity. Anisotropic tendency in seismic exploration is observed as a variation of velocity

orientation in a vertical and horizontal direction. This will generate a shifting position from the target along as

seismic P-wave propagation. The difference is more obvious in large offsets. Generally, anisotropy properties of

media were studied through reflected P-wave function but here we will introduce an approach using a diffraction

function. A polynomial equation, which is relating a diffracted P-wave travel time to anisotropy parameter has

been derived for a weak anisotropic medium. It is done by considering the existence of a propagation of seismic P-

wave delay time from a surface source to a sub-surface diffraction source. A physical examination of the polynomial

diffraction equation has been done by using the vertical transversal isotropy medium . The test is conducted on some nd rd th thvariation response of polynomial order including 2 , 3 , 4 , and 5 order polynomial. The result shows there is a

significant functional relationship between dependent variables and independent variables, which is shown by the 2value of F>F , P (f)> 0 and the coefficient of determination (R )> 0.9 . If the A and A coefficient value table 1 2

respectively are inserted into the anisotropy parameter estimation shows that is influenced by the coefficient A1

meanwhile is influenced by coefficient A and A . 1 2

Keywords: seismic velocity, group velocity, phase velocity, anisotropy parameter, polynomial approach

d e

e

d

e

11

Page 14: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

Pendahuluan

Pada saat ini, medium bumi telah dianggap sebagai

medium anisotrop dalam kajian ilmu geofisika

eksplorasi. Sifat anisotropi dan heterogenitas materi

penyusun bumi harus diperhitungkan sejak dari

pekerjaan pengumpulan data, pengolahan sampai

penafsiran data geofisika. Menurut Sheriff (2002) :

“anisotropy (seismic) is variation of seismic velocity

depending on either the direction of travel (for P- or S-

waves) or the direction of polarization (for S-waves)”.

Dalam definisi tersebut tampak bahwa kecepatan

merupakan parameter fisik gelombang yang berperan

penting dalam metoda seismik eksplorasi, serta

mempunyai kekhasan dalam medium anisotrop.

Akurasi estimasi kecepatan mempunyai arti cukup

penting, karena kecepatan adalah parameter kritikal

yang mempengaruhi kwalitas saat koreksi distorsi

dekat permukaan (Taner et.al, 1974), pemrosesan data

multi-fold (Mayne, 1962) dan migrasi data seismik

(Berkhout, 1984; Claerbout, 1985). Data kecepatan

juga akan berpengaruh pada estimasi kecepatan

interval yang digunakan sebagai dasar konversi

waktu ke kedalaman, baik dengan perhitungan rumus

Dix maupun proses tomografi, sehingga dibutuhkan

pengetahuan yang cukup mengenai aspek medium

terutama litologi dan stratigrafi untuk mengetahui

bagaimana pengaruh medium terhadap parameter

kecepatan dengan mengamati karakter gelombang

seismik pada saat merambat melalui medium tersebut

(Domenico, 1984).

Kecenderungan anisotropi dalam metoda seismik

eksplorasi teramati sebagai perbedaan nilai kecepatan

pada arah tegak dan mendatar. Perbedaan tersebut

akan muncul terutama saat offset yang digunakan

merupakan offset-offset jauh.

Pada tahun 1932, McCollum dan Snell menemukan

fakta bahwa nilai kecepatan gelombang seismik-P

arah mendatar pada endapan serpih Lorraine di

Canada adalah 1,4 kali nilai kecepatan tegaknya

(Levin, 1978). Kemudian berbagai pembelajaran

anisotropi mulai berkembang sejak tahun 1950-an

yang mendeskripsikan bahwa kecenderungan

anisotropik terjadi pada medium yang mempunyai

ketebalan perlapisan lebih rendah dari pada panjang

gelombang seismik yang merambat pada medium

tersebut (Postma, 1955 op.cit Dellinger, 1991).

Sementara itu, bukti adanya sifat intrinsik anisotropi

diperoleh dari pengamatan laboratorium terhadap

beberapa sampel batuan yang terjadi berkaitan dengan

perubahan tekanan di bawah permukaan (Nur, 1969

op. cit Dellinger, 1991). Bachman (1979) menemukan

sifat transverse isotropy pada core yang berasal dari

pemboran laut dalam. Hal yang sama juga diamati

oleh Jones dan Wang (1981) dari pengamatan core di

Willinston Basin , North Dakota.

Meskipun demikian aplikasi bagi anggapan anisotropi

diabaikan sampai tahun 1980-an, karena kebanyakan

data seismik direkam dengan offset-offset dekat yang

tidak menunjukkan kecenderungan anisotropi,

walaupun sebenarnya medium tidak bersifat isotropi.

Implikasi yang nyata teramati adalah pada saat proses

koreksi kecepatan NMO (normal move-out), yaitu

saat digunakannya data dengan offset dekat, maka bila

medium tersebut anisotrop atau bukan, hasil koreksi

pada reflektornya menunjukkan kenampakan koreksi

yang datar. Namun ketika menggunakan data offset

yang jauh, khususnya bagi medium yang anisotropik

maka hasil koreksinya sulit untuk menampakkan

refektor yang datar.

Pengaruh dari adanya sifat anisotropik juga terjadi

pada saat proses migrasi, dimana data waktu tempuh

dari offset-offset jauh yang mempunyai sudut pantul

lebih besar dari 400 merupakan data yang mengalami

penggeseran energi dari arah berkas semula ke posisi

lainnya yang mengacu pada posisi titik singgung

muka gelombangnya (Dellinger 1991). Pada saat

interpretasi data seismik, anggapan anisotropik mulai

diperhitungkan seperti saat analisis AVO (amplitude

versus offset), dimana Blangy (1994) dan Ruger

(1998) melakukan koreksi pada persamaan Aki-

Richard dengan memasukkan parameter anisotropi

pada koefisien yang merupakan gradien persamaan

tersebut.

Adapun estimasi nilai tetapan anisotropi bisa

dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.

Pengamatan secara langsung dilakukan dengan

menggunakan data VSP dari suatu sumur eksplorasi,

sedangkan pengamatan secara tidak langsung

dilakukan dengan menggunakan suatu fungsi refleksi.

Dalam penelitian ini, penulis melakukan hal yang

sama tetapi melalui fungsi difraksi yang muncul pada

suatu common shot gather dengan beberapa alasan

yang melatar-belakanginya yaitu :

12

Page 15: geofisika-2011-edisi1

13

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

1. Suatu difraksi yang muncul pada common shot

gather masih merupakan gelombang seismik yang

asli dan belum mengalami perubahan akibat

pemrosesan digital.

2. Fungsi tersebut bukan berada pada domain

bawah permukaan sehingga bukan merupakan

sekumpulan unit di dalam binning melainkan suatu

hamburan energi seketika yang diamati dalam

domain permukaan.

3. Fungsi tersebut bisa dianggap sebagai sekumpulan

unit gelombang transmisi sebagaimana yang

diamati oleh Thomsen (1986).

Dari penelitian ini diharapkan bisa diperoleh metoda

alternatif untuk menentukan suatu tetapan anisotropi

yang mempunyai arti sangat penting dalam

pemodelan kecepatan serta sangat berpengaruh pada

kwalitas penampang seismik terutama pada survai

yang menggunakan offset-offset jauh di daerah yang

mempunyai kecenderungan anisotropik. Berdasarkan

penelusuran pustaka, orisinalitas penelitian terletak

pada pengkajian hubungan antara kecepatan grup dan

fase pada medium anisotrop melalui fungsi waktu

tempuh gelombang seismik-P difraksi.

Medium Isotrop Transversal Tegak

Pembelajaran mengenai sifat anisotropi merupakan

pembelajaran mengenai perambatan gelombang

seismik pada suatu medium. Pada hakekatnya

perambatan gelombang adalah perambatan energi

sehingga hal tersebut tidak terlepas dari pembahasan

mengenai tegangan dan regangan yang berarti

perambatan energi gelombang menimbulkan tegangan

yang mengakibatkan regangan pada medium.

Menurut Hukum Hooke, hubungan tersebut

dinyatakan dalam Persamaan (1) sebagai :

úúúúúúúúúúúúúúú

û

ù

êêêêêêêêêêêêêêê

ë

é

úúúúúúúúúúúúúúú

û

ù

êêêêêêêêêêêêêêê

ë

é

=

úúúúúúúúúúúúúúú

û

ù

êêêêêêêêêêêêêêê

ë

é

zx

yz

xy

zz

yy

xx

zx

yz

xy

zz

yy

xx

c

cc

ccc

cccc

ccccc

cccccc

e

e

e

e

e

e

s

s

s

s

s

s

66

5655

464544

36353433

2625242322

161514131211

(1)

ije dengan adalah tegangan, adalah stiffness

dan adalah regangan. Tensor elastisitas mempunyai

21 konstanta independen, seperti tampak pada notasi

matriks 6x6 diatas yang merupakan reduksi dari 36

konstanta, dimana konstanta untuk i,j =

1,2,3,….; konstanta independen tersebut dapat dicari

melalui 21 kali pengukuran tegangan dan regangan

pada arah-arah tertentu.

jiijcc =

ijs

ijc

( ) ( )

( ) ( )

( ) ( )

úúúúúúúúúúúúúúú

û

ù

êêêêêêêêêêêêêêê

ë

é

úúúúúúúúúúúúúúú

û

ù

êêêêêêêêêêêêêêê

ë

é

--

--

--

=

úúúúúúúúúúúúúúú

û

ù

êêêêêêêêêêêêêêê

ë

é

zx

yz

xy

zz

yy

xx

zx

yz

xy

zz

yy

xx

c

c

c

ccccc

ccccc

ccccc

e

e

e

e

e

e

s

s

s

s

s

s

44

44

44

3344334433

4433334433

4433443333

22

22

22

(2)

( )

( )

úúúúúúúúúúúúúúú

û

ù

êêêêêêêêêêêêêêê

ë

é

úúúúúúúúúúúúúúú

û

ù

êêêêêêêêêêêêêêê

ë

é

-

-

=

úúúúúúúúúúúúúúú

û

ù

êêêêêêêêêêêêêêê

ë

é

zx

yz

xy

zz

yy

xx

zx

yz

xy

zz

yy

xx

c

c

c

ccc

cccc

cccc

e

e

e

e

e

e

s

s

s

s

s

s

66

44

44

331313

13116611

13661111

2

2

(3)

Maka kecepatan gelombang seismik-P pada suatu

variasi sudut fase dapat ditentukan melalui

Persamaan (4) (Tsvankin, 2001; Helbig dan Thomsen,

2005) :

dengan,

[ DccccVp +-++= qr

q 233114433

2 sin)(2

1)( [

( )4433 2cc -

Pada kasus isotropi sebagaimana ditunjukkan oleh

matriks Persamaan (2) maka hanya terdapat 2

konstanta independen yaitu dan dimana pada

arah diagonal terdapat konfigurasi simetris dari 2

konstanta independen serta nilai , dan diisi

dengan . Sedangkan untuk kasus anisotropi

polar berupa medium berlapis yang mempunyai

sumbu simetri tegak lurus bidang isotropi, mempunyai

5 konstanta independen sebagaimana ditunjukkan

dalam Persamaan (3) berikut :

33c 44c

12c 13c 23c

q

(4)

33114433

24413

24433 )(()(2[2){( ccccccccD +--++-º

[ ] 2

1

424413

2443311

244 }sin)(4)2(sin)2 qq cccccc +--++- (5)

Page 16: geofisika-2011-edisi1

14

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

Menurut Helbig dan Thomsen (2005), pangkat 4 dan

akar pada Persamaan (5) menunjukkan kompleksitas

dalam geofisika, meskipun demikian ada beberapa

asumsi yang dianut antara lain hal tersebut

mengandung aproksimasi simetri polar, lalu

kebanyakan merupakan medium anisotrop lemah dan

efek anisotropi selalu menunjukkan gabungan

pengaruh dari c .

Apabila tetapan anisotropi pada kasus anisotropi polar

dinyatakan sebagai dan maka hubungan tetapan

anisotropi tersebut dengan konstanta independen

dinyatakan sebagaimana berikut :

33

334413

443333

24433

24413 2

)(2

)()(

c

ccc

ccc

cccc -+»

-

--+ºd

33

3311

2c

cc -ºe

[ ]qeqqdq 422 sincossin1)0()( ++= PP VV

Gambar 1. Geometri kecepatan grup dan kecepatan

fase (Thomsen, 1986)

Fungsi Difraksi

Selama ini fungsi difraksi dianggap sebagai sesuatu

yang mengganggu data refleksi yang akan diproses

dan biasanya dihilangkan pada saat migrasi sebelum

dan sesudah stack, namun pada kali ini fungsi tersebut

akan digunakan untuk penghitungan tetapan

anisotropi.

Kemudian jika ditelaah lebih lanjut, maka suatu

peristiwa difraksi adalah suatu fenomena gelombang

seismik yang mengenai bidang diskontinyu dengan

karakteristik menyebar ke segala arah. Semakin kecil

obyek maka akan semakin kuat difraksinya.

Sebaliknya jika semakin besar obyek, pola difraksinya

melemah dan akan didapatkan sinyal refleksinya.

Dalam karakteristik dasarnya, gelombang yang

terdifraksi tidak dapat dibedakan dari gelombang

refleksi. Amplitudo difraksi akan maksimum pada

beberapa titik sepanjang kurva difraksi setelah suatu

kenampakan reflektor berakhir, dalam hal ini refleksi

merupakan tangensial dari difraksi (Sheriff dan

Geldart, 1995). Pengurangan amplitudo terjadi secara

cepat ketika menjauh dari titik ini. Kurva difraksi akan

bervariasi tergantung posisi masing-masing sumber

dan penerima. Apabila kurva waktu tempuh

gelombang refleksi memenuhi Persamaan (8) :

nx tt

Vh

x

hhx

Vt D+=+»+= 0

22

4

2)4(

1

ij

d e

(6a)

(6b)

Sehingga diperoleh hubungan :

(7)

Parameter dan sering disebut sebagai parameter

anisotropi dimana nilainya akan mendekati nol bila

medium bersifat isotropik. Selanjutnya dengan

mengetahui hubungan kecepatan fase dan

parameter anisotropi, maka akan dapat ditentukan

suatu model kecepatan yang mendekati sebenarnya.

Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

nilai , dan dasar penetapan asumsi

tersebut sebagaimana tampak dari Gambar 1 yakni :

1. Pada medium anisotrop, sudut fase atau sudut

yang merupakan sudut yang dibentuk oleh garis

normal gelombang dan vektor bilangan

gelombang k yang tegak lurus terhadap muka

gelombang bukanlah suatu berkas sinar yang

berasal dari suatu titik awal sumber di permukaan.

2. Perubahan sudut fase ( ) tidak bertumpu pada

satu titik tetapi akan selalu mengikuti perubahan

sudut grup ( , sehingga geometri perubahannya

akan lebih kompleks daripada geometri

perubahan sudut (

3. Sudut fase ( ) merupakan sudut teoritis yang tidak

bisa diukur di lapangan, sedangkan untuk

kepentingan praktis biasa digunakan sudut grup

(

f)

f).

f).

d e

( )qV

fq tantan =

q

q

q

(8)

dimana besarnya x diasumsikan lebih kecil dari h,

maka untuk kondisi sumber berada di atas titik

difraktor A, persamaan kurva travel-time difraksinya

menjadi :

nx tt

Vh

x

hhxh

Vt D+=+»++= 2

2

2])4([

10

222

(9)

wavefront

wave vector k

Page 17: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

Kurva difraksi juga berbentuk hiperbola seperti kurva

refleksi tetapi memiliki nilai waktu normal moveout

dua kali dari gelombang refleksi. Ketika posisi sumber

ledakan tidak terletak vertikal diatas titik difraktor,

maka kurva travel-time diberikan oleh Persamaan

(10) :

))(()[(1 2222

haxahV

t x +-++=

Vh

xaatt n

)(20

-+D+» (10)

Sedangkan kurva difraksi pada common mid-point gather memiliki persamaan kurva travel-time yang berbeda dengan persamaan diatas yaitu seperti Persamaan (11) berikut :

úúû

ù

êêë

é

ïþ

ïýü

ïî

ïíì

-++ïþ

ïýü

ïî

ïíì

++= 2222 )2

()2

()1

( bx

hbx

hV

tx (11)

Dari ketiga persamaan tersebut, Persamaan (10) yang

akan digunakan saat penurunan matematika, karena

mengacu pada domain sumber di permukaan,

Adapun persamaan polinomial yang dijadikan dasar

untuk penurunan matematika dalam penelitian ini

adalah Persamaan (12) yang menyatakan hubungan

antara kecepatan grup dan tetapan anisotropi yang

didasarkan pada persamaan-persamaan yang berlaku

untuk medium isotrop transversal tegak (Berryman,

1979; Thomsen, 1986; Dellinger, 1991; Tsvankin,

2001; Helbig dan Thomsen, 2005) , yakni :

[ ]qhqdq 42 sinsin1)0()( ++= PP VV (12)

Dan juga persamaan lainnya yang menggambarkan

suatu sifat anisotropi yang bisa menimbulkan suatu

pergeseran posisi sebagaimana Persamaan (13)

berikut :

2

22

)(

)()()( ÷÷

ø

öççè

æ+=

q

qqf

d

dVVV (13)

Kemudian bila kedua persamaan tersebut

disubstitusikan maka akan diperoleh persamaan :

22222 )3162()42(1[)0()( ZZVV ddhhddf -++++=

]15)1416(4232

ZZ hdhh --+

q2sin=Z

(14a)

dengan :

(14b)

Selanjutnya persamaan tersebut dapat ditulis menjadi :

( ) [ ]43222 1)0( sZrZqZpZVV ++++=f

dimana :

( )242 dd +=p

( )23162 ddhh -+=q

( )dhh 14162-=r

( )215h-=s

(14d)

(14e)

(14f)

(14g)

Gambar 2. Geometri difraksi (modifikasi dari Sheriff

dan Geldart, 1995)

Pada penelitian ini, selanjutnya penulis men-

substitusikan persamaan waktu tempuh difraksi ke

dalam persamaan tersebut berdasarkan geometri

difraksi sebagaimana Gambar 2 diatas sehingga akan

diperoleh persamaan :

22

22

22

0

2

220

)()1(1

'

1

1'

ZpqZp

hah

hatt

h

hat

x

-+-+=

úú

û

ù

êê

ë

é

÷÷

ø

ö

çç

è

æ

++

+-

úúúúú

û

ù

êêêêê

ë

é

÷÷÷÷÷

ø

ö

ççççç

è

æ

++

543 )()()( ZsZrsZqr -+-+-+

Jika a = 0 maka berlaku persamaan :

32

2

0

20

)()()1(1

2

'

2

'

ZqrZpqZpt

t

t

x

-+-+-+=

úû

ùêë

é-

úû

ùêë

é

54 )()( ZsZrs -+-+

(15a)

(15b)

(14c)

15

Page 18: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

Bila koefisien A1 dan A2 dari persamaan diatas dapat

diketahui dari suatu pencocokan polinomial maka

akan diperoleh harga melalui persamaan :

124 21 -+= ddA

8

)1(1642 12,1

++±-=

Ad

Setelah harga diketahui maka harga dapat dicari

melalui persamaan :

dddhh 27162

2 --+=A

d

(16a)

(16b)

e d

(16c)

)162(

)27( 22

d

ddde

+

+++=

A (16d)

Bila dikaji lebih lanjut polinomial dalam matematika

adalah pernyataan matematika yang melibatkan

jumlahan perkalian pangkat dalam satu atau lebih

variabel dengan koefisien. Sebuah polinomial dalam

satu variabel dengan koefisien konstan memiliki

bentuk seperti berikut:

nn xAxAxAxAAy +++++= ......3

32

210(17)

Pangkat tertinggi pada suatu polinomial menunjukkan

orde dari polinomial tersebut. Bila ditinjau dari

karakteristik kurvanya maka suatu polinomial orde 2

atau yang sering disebut sebagai persamaan kwadrat

akan mempunyai bentuk kurva parabola, sedangkan

pada orde 3 akan berbentuk kurva kubik dengan

sepasang tinggian dan rendahan kurva, sementara

polinomial dengan orde lebih besar dari 3 akan

berbentuk kurva non linear kontinyu.

Dari penjelasan tersebut bisa dipahami bahwa apabila

suatu fungsi polinomial yang belum diketahui

ordenya tetapi mempunyai nilai variabel bebas dan

variabel terikat yang diketahui, maka pemilihan orde

polinomialnya berpengaruh pada perubahan nilai

koefisien yang digunakan pada masing-masing

pendekatan orde terkait (Ronoatmojo et.al., 2008).

Penyelesaian numerik yang digunakan adalah dengan

cara pencocokan polinomial menggunakan regresi

polinomial (non linear), sehingga sangat penting

untuk mencari nilai galat dari masing-masing fungsi

hampiran. Adapun persamaan yang akan dihampiri

adalah persamaan hasil penurunan matematika

dengan orde 5 dengan suatu nilai variabel (x , y ) yang i i

diketahui dari hasil pengukuran. Nilai koefisien yang 0tetap dalam hal ini hanyalah nilai koefisien A dari x 0

yaitu bernilai 1 yang merupakan harga intercept. Nilai

tersebut tetap karena pada saat t berada pada posisi d

offset = 0, maka nilainya sama dengan . Selanjutnya

dengan jalan operasi matriks yang lazim digunakan

pada saat regresi polinomial akan dicari masing-

masing fungsi hampirannya. Sehingga salah satu

perangkat atau kriteria penilaian untuk penetapan orde

polinomial adalah melalui analisis varian dan

analisis t.

Diskusi dan Pembahasan

Jika dilakukan pengeplotan terhadap seluruh data

dan yang dihasilkan dari perhitungan (Gambar 3),

tampak bahwa ada suatu perubahan gradual antara

hasil perhitungan tetapan anisotropi dengan

menggunakan pencocokan polinomial orde 2 dan

polinomial orde 3, sedangkan perubahan ke arah

polinomial orde 4 serta orde 5 akan lebih nyata

perbedaannya, demikian pula tercermin dari masing-

masing perubahan koefisien A dan A . Hal ini 1 2

menandakan bahwa semakin besar orde polinomial-

nya akan semakin besar pula nilai kesalahan yang

terjadi. Yang patut juga dicatat bahwa nilai kesalahan

akan lebih besar daripada nilai kesalahan yang terjadi

pada , mengingat perhitungan secara kumulatif

dipengaruhi oleh nilai koefisien A dan A . Namun 1 2

demikian kesalahan perhitungan tidak semata-mata

akibat kesalahan pada , misalnya pada kasus

polinomial orde 2 dan orde 3, kesalahan tersebut

terjadi akibat nilai koefisien A dimana koefisien A 2 1

yang ada masih mampu memberikan nilai yang

mendekati akurat.

Bila dikaji lebih lanjut sumber dari kesalahan berasal

dari asumsi dasar nilai yang diaplikasikan

pada saat penurunan matematika melalui persamaan

pythagoras segitiga SDG (Gambar 2) serta pada saat

proses penghitungan nilai dianggap sama

dengan . Sehingga untuk orde polinomial yang

lebih tinggi kesalahan yang terjadi juga akan menjadi

lebih besar nilainya (Ronoatmojo et.al., 2009;

Ronoatmojo et.al., 2010). Dari pemodelan matematika

dan pengujian matematika tersebut dapat diperoleh

suatu klasifikasi penerapan metoda yang masing-

masing berlaku untuk nilai tetapan anisotropi tertentu.

Pembagian kelas tersebut didasarkan pada distribusi

tetapan anisotropi yang pernah dipublikasikan oleh

Thomsen (1986) dan kesalahan yang muncul dari

penyelesaian numerik.

d

e

e

d e

e

d

d

20t

qf tan=

fsin

qsin

16

Page 19: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

Gambar 3. Tetapan anisotropi hasil perhitungan vs model untuk pencocokan polinomial orde 2, 3, 4 dan 5

Sehingga dengan cara mengkaji masing-masing kelas

kita bisa tetapkan area berlakunya metoda yang diteliti

dimana tidak semua kelas menunjukkan suatu

tanggapan positif terhadap berlakunya asumsi. Pada

area dimana asumsi tidak diperkenankan akan jelas

menunjukkan adanya suatu kesalahan yang muncul

dari koefisien persamaan regresi polinomial, serta

akan masuk di dalam perhitungan tetapan anisotropi.

Selengkapnya k elas-kelas tersebut adalah :

1. Kelas 1 0 < d < 0,1 dan h < 0,1 2. Kelas 2 0 < d <0,1 dan h > 0,1 3. Kelas 3 d > 0,1 dan h > 0,1 4. Kelas 4 d < 0 dan h > 0 5. Kelas 5 d > 0,1 dan h < 0

Kelas 1 0 < d < 0,1 dan h < 0,1

Kebanyakan medium anisotrop berada pada area

Kelas 1 (Gambar 4) serta sering disebut sebagai

medium anisotrop lemah. Jika diamati tampak

bahwa nilai perbandingan untuk model d =

00,1 dan e= 0,2 mencapai 1,45 pada sudut q = 60

dengan bentuk kurva yang berubah dari non linier

dengan sedikit lengkungan ke suatu kurva mendekati

linear.

Meskipun pada kasus tersebut nilai perbandingan 0 mencapai 1,45 pada sudut = 60 , namun

hasil perhitungan dapat dikatakan akurat, dimana

pengujian dilakukan dengan menghitung kembali

q

q

f

tan

tan

q

f

tan

tan

Tetapan anistropi hasil perhitungan vs model

17

Page 20: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

tetapan anisotropi medium anisotrop dengan = 0,01

dan = 0,02 menghasilkan = 0,01 dan = 0,02 lalu

masing-masing = 0,01 dan = 0,05 menghasilkan =

0,01 dan = 0,05 , kemudian = 0,07 dan = 0,1

menjadi = 0,05 dan = 0,08 serta = 0,1 dan = 0,2

menjadi = 0,09 dan = 0,13 . Hal ini berarti bahwa

metoda yang diusulkan berlaku untuk kasus medium

yang mempunyai tetapan anisotropi pada area

tersebut.

.

d

e d e

d e d

e d e

e e d e

d e

Kelas 2 0<d<0,1 dan h>0,1

Medium anisotrop yang berada pada area Kelas 2

disebut juga medium anisotrop lemah seperti halnya

Kelas 1 , hanya dalam hal ini mempunyai nilai yang

lebih besar dari 0,1.

h

q

f

tan

tan

18

Page 21: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

Gambar 5. Kurva perubahan untuk variasi sudut fase ( ) pada Klas 2.q

q

f

tan

tan

Gambar 6. Kurva perubahan untuk variasi sudut fase ( ) pada Klas 3.q

q

f

tan

tan

19

Page 22: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

Gambar 7. Kurva perubahan untuk variasi sudut fase ( ) pada Klas 4.q

q

f

tan

tan

Gambar 8. Kurva perubahan untuk variasi sudut fase ( ) pada Klas 5.q

q

f

tan

tan

20

Page 23: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

Dari hasil pengujian tampak bahwa besarnya atau

selisih dari e dan d akan mempengaruhi besarnya

kesalahan penghitungan nilai e, yang pada akhirnya

juga akan berpengaruh pada perubahan estimasi nilai

d, dimana hal ini terjadi pada saat h > 0,49.

Bila diamati dari kurva uji untuk medium dengan

tetapan d = 0,01 dan e = 0,5 (Gambar 5) tampak bahwa 0nilai meningkat tajam dari 1,28 pada 20 menjadi 2,3

0pada 54 , sehingga hal ini yang menyebabkan

kesalahan tersebut terjadi. Untuk menghindari adanya

kesalahan perhitungan maka langkah yang dilakukan 0adalah mencuplik data pada sudut q < 30 , dimana

pada prakteknya sudut tersebut harus dikonversikan

ke sudut f terlebih dahulu .

Kelas 3 d > 0,1 dan h > 0

Medium anisotrop yang berada pada Kelas 3 bisa

dikatakan bukan lagi merupakan medium anisotrop

lemah, sebab nilai sudah mencapai lebih dari

02,1 pada sudut = 54 . Bila ditinjau dari hasil

pengujian tetapan anisotropi, maka kesalahan mula-

mula akan terjadi pada saat penghitungan , tetapi hal

tersebut bertambah dan pada akhirnya juga akan

merambat pada tetapan seiring dengan peningkatan

nilai (Gambar 6).

Dari bentuk kurva uji, tampak bahwa sangat sulit

untuk mendapatkan nilai yang tidak mengandung

kesalahan yang bisa diabaikan, karena mulai dari

sudut rendah sudah mempunyai nilai deviasi

yang cukup tinggi, meskipun demikian pada

kondisi tertentu kita masih bisa memperoleh hasil

yang mendekati benar.

Kelas 4 d < 0 dan h > 0

Medium anisotrop yang berada dalam area Kelas 4

akan mengalami perlambatan pada kecepatan

tegaknya, namun karena nilai selalu positif maka

juga akan didapatkan bernilai positif. Jika diamati dari

kurva uji, tampak bahwa ada 2 jenis tanggapan yakni

tanggapan yang mempunyai kurang dari nilai

h

q

e

d

d

d

e h

q

f

tan

tan

q

f

tan

tan

q

f

tan

tan

1,1 pada sudut 540, dan yang jauh lebih besar dari

angka tersebut. Untuk kasus yang bernilai kurang dari

1,1 akan menghasilkan estimasi dan yang benar,

kategori ini juga ditandai oleh nilai < 0,1.

Selanjutnya bila harga > 0,1 maka akan terjadi

kesalahan sebagaimana sebelumnya mula-mula

terjadi pada nilai dan akhirnya pada nilai

(Gambar 7).

Kelas 5 > 0 dan < 0

Sebagaimana tampak pada Gambar 8 , medium

anisotrop yang berada dalam area Kelas 5 akan berada

di atas garis ellipticity dimana nilai selalu negatif,

atau dengan kata lain kecepatan mendatarnya akan

lebih kecil daripada kecepatan tegak. Kasus medium

ITT (isotrop transversal tegak) seperti ini tidak banyak

dimana kebanyakan medium anisotrop mempunyai

nilai kecepatan mendatar yang lebih tinggi dari pada

kecepatan tegaknya.

Bila diamati dari kurva ujinya (Gambar 8) maka

tampak adanya nilai reverse pada sudut sekitar 200 0sampai 30 , sehingga menyebabkan inkonsistensi

gradien perubahan nilai yang mengakibatkan

kesalahan yang signifikan. Bentuk kesalahan ini

berbeda dengan kesalahan sebelumnya yang

cenderung gradual.

Batas Area Penerapan Metoda

Dari hasil uji matematika dan numerik dari model-

model yang berada pada kelima klas, tampak bahwa

untuk Kelas 1 metoda bisa diterapkan dengan nilai

akurat bila < 0,05 dengan < 0,1 serta akan muncul

kesalahan tetapi tidak terlalu besar pada berkisar

0,05 – 0,1 dengan < 0,1, sedangkan untuk Kelas 2

tampak bahwa metoda bisa diterapkan untuk

menghitung dengan kecenderungan didapatkan

kesalahan pada yang signifikan.

Selanjutnya untuk Kelas 3, sebagaimana Kelas 2 maka

kesalahan muncul pada perhitungan , yang akan

secara signifikan akan membesar bersamaan dengan

membesarnya harga . Kemudian untuk Kelas 4

metoda didapatkan akurat untuk nilai > - 0,05

dengan < 0,05 . Sedangkan untuk Kelas 5 meskipun

q

d e

h

h

e d

d h

h

q

d h

d

h

d

e

e

d

h

d

q

f

tan

tan

21

Page 24: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

nilai tetapan anisotropi tidak bisa akurat tetapi masih

bisa diterapkan untuk d < 0,2 dan h < -0,05.

Sehingga untuk tetapan anisotropi dengan nilai 0 < d

< 0,1 dan h < 0,1 perbedaan harga tan f dan tan q

tidak mengakibatkan kesalahan perhitungan,

sedangkan untuk tetapan anisotropi dengan nilai 0 < d

< 0,1 dan h > 0,1 perbedaan tan f dan tan q akan

mengakibatkan kesalahan perhitungan tetapan e.

Selanjutnya untuk tetapan dengan nilai d > 0,1 dan h

> 0 maka perbedaan tan f dan tan q akan

mengakibatkan kesalahan pada nilai tetapan q, lalu

untuk tetapan dengan nilai d < 0 dan h > 0 maka

perbedaan tan f dan tan q akan mengakibatkan

kesalahan pada nilai tetapan e bila h > 0,15 , dan untuk

tetapan dengan nilai d > 0,1 dan h < 0 maka perbedaan

tan f dan tan q akan mengakibatkan kesalahan baik

pada nilai tetapan d maupun e.

Kesimpulan

Dengan mengacu pada tujuan dan hasil penelitian

yang diperoleh dapat diambil beberapa kesimpulan

sebagai berikut :

1. Penelitian ini telah memberikan kontribusi

pengetahuan baru tentang hubungan antara fungsi

difraksi dan tetapan anisotropi suatu medium

isotrop transversal tegak (ITT) yaitu berupa

metoda penentuan tetapan anisotropi d dan e

melalui suatu pendekatan polinomial orde 3 yang

belum pernah ada sebelumnya.

2. Adanya asumsi bahwa tan f = tan q akan

menimbulkan kesalahan saat dijumpai adanya

perbedaan tan f dan terutama untuk medium

dengan d > 0,1 dan h > 0,1 sehingga hal tersebut

akan berimplikasi pula pada pencocokan

persamaan dengan polinominal orde 4 dan orde 5.

Hal ini tercermin pada kesalahan yang cukup

signifikan pada koefisien A dan A . Perbedaan 1 2

nilai tan f dan tan q teramati dengan jelas saat 0sudut grup lebih besar dari 30 , yang

diperlihatkan dengan kurva nilai perbandingan

antara keduanya yang meningkat tajam gradien

kurvanya.

3. Perhitungan secara akurat terjadi bila model

berada pada Kelas 1 dengan tetapan 0 < d < 0,1

dan h < 0,1 yang dikenal sebagai medium

anisotrop lemah.

f

Ucapan Terimakasih

Ucapan terimakasih disampaikan kepada PT.

ELNUSA Tbk, Prof.Dr. W.G.A Kadir, Dr.

Loektamadji A.P, Dr. Awali Prijono, Dr. Sonny

Winardhie, Dr. Bagus Endar Nurhandoko, dan Dr. Ir.

Eko Widianto, MT.

Daftar Acuan

Bachman, R.T. , 1979, Acoustic anisotropy in marine

sediments and sedimentary rocks, Journal of

Geophysical Research, 84, B13, p.7661-7663

Berkhout, A.J., 1984, Seismic migration, Elsevier

Publ., Amsterdam

Blangy, J.P., 1994, AVO in transversely isotropic

media- an overview, Geophysics 59, p. 775-781

Claerbout, J.F., 1985, Imaging the earth's interior,

Blackwell Sci. Publ., Oxford

Dellinger, J.A., 1991, Anisotropic seismic wave

propagation, Stanford Univ. Ph.D dissertation,

unpublished

Domenico , S.N., 1984, Rock lithology and porosity

determination from shear and compressional

wave velocity, Geophysics, 1188 - 1195

Helbig, K., and Thomsen, L., 2005, 75-plus years of

anisotropy in exploration and reservoir seismic,

Geophysics, 70, 9ND-23ND

Jones, L.E.A and Wang, H.F., 1981, Ultrasonic

velocities in Cretaceous shales from the

Williston basin, Geophysics, 46, 288-297

Levin, F.K., 1978, The reflection, refraction, and

diffraction of waves in media with an elliptical

velocity dependence, Geophysics, 43, 528 – 537

Mayne, W.H. 1962, Common reflection point

horizontal stacking techniques, Geophysics, 27,

927-938

Ronoatmojo, I.S., Santoso, D., Sanny , T.A., Fatkhan,

Bahar, A., and Poerwaka, L.A., 2008,

Numerical study of anisotropy parameter

determination using seismic P-wave diffraction

in vertical transverse isotropic media,

22

Page 25: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

Proceeding of the 119th SEGJ conference, The

Society of Exploration Geophysicist of Japan,

Tokyo, p.105-108

Ronoatmojo, I.S., Santoso, D., Sanny , T.A., Fatkhan,

Bahar, A., and Poerwaka, L.A., 2009,

Pemodelan Numerik Relasi Tetapan Anisotropi

Medium Isotrop Transversal Tegak dan Fungsi

Difraksi Gelombang Seismik-P, Proceeding of

the 33th HAGI annual meeting, HAGI,

Bandung

Ronoatmojo, I.S., Santoso, D., Sanny ,T.A., and

Fatkhan., 2010, Seismic P-wave diffraction

modeling to determine anisotropy parameters in

VTI medium, Proceeding of the SEG/Denver

2010 Annual Meeting, The Society of

Exploration Geophysicist , Denver

Ruger, A., 1998, Variation of P-wave reflectivity with

offset and azimuth in anisotropic media,

Geophysics, 63, 935-947

Sheriff, R.E., 2002, Encyclopedia of Geophysics,

Tulsa

Sheriff, R.E., and Geldart, L.P., 1995, Exploration

Seismology, 2nd Edition, Cambridge

University Press

Taner,M.T., Koehler, F., and Alhilali, K.A., 1974,

Estimation and correction of near surface time

anomalies, Geophysics, 441-463

Thomsen, L., 1986, Weak elastic anisotropy,

Geophysics, 51, 1954-1966

Tsvankin, I., 2001, Seismic signatures and analysis of

reflection data in anisotropic media. Pergamon

Press

LAMPIRAN: Penurunan matematika persamaan

polinomial orde 5 hubungan kecepatan grup dan

fase dengan tetapan anisotropi pada geometri

difraksi

Tampak dari Persamaan (13) bahwa besarnya

pergeseran akibat adanya sifat anisotropik adalah

sebesar yang akan mengakibatkan perbedaan

antara kecepatan grup dan kecepatan fase.

Adapun penyelesaian kwadrat dari Persamaan (12)

adalah :

( )( )[ ]2422sinsin10)( qhqdq ++= VV

( ) qhdqd 4222 sin)2(sin21(0[ +++= V

)sinsin2 826 qhqdh ++

Sedangkan untuk mencari nilai , mula pertama

dilakukan penurunan Persamaan (12) yang kemudian

dikwadratkan.

(L.1)

( ) ( )( )qqhqqdq

qcossin4cossin20 3+=÷

ø

öçè

æV

d

dV

( )( )( )232

2

cossin4cossin20 qqhqqdq

q+=÷

ø

öçè

æV

d

dV

( ) ( ) qddhqd 42222 sin416sin4(0 -+=V

( ) )sin16sin1616 8262 qhdhh --+

Selanjutnya dengan mensubstitusikan Persamaan

(L.2) dan (L.5) ke dalam Persamaan (13) akan

diperoleh persamaan :

( ) ( ) ( ) 22222 3162421(0)( ZZVV ddhhddf -++++=

( ) )151416 4232 ZZ hdhh --+

q2

sin=Z

Apabila kecepatan grup tersebut diaplikasikan ke

dalam geometri difraksi sebagaimana ditunjukkan

pada Gambar 2, maka akan diperoleh persamaan

sebagai berikut :

.

tan1

tan2

2

úúû

ù

êêë

é

+=

f

fZ

.22

2

úúû

ù

êêë

é

+=

hx

xZ

Jika waktu tempuh gelombang difraksi dalam suatu

fungsi offset sumber di permukaan ke penerima

dinyatakan sebagai t , maka :x

dkx ttt +=

Dalam hal ini t yang merupakan waktu tunda difraksi k

adalah waktu tempuh sepanjang ruas S'D saat sumber

berada sejauh a dari suatu proyeksi difraktor di

di permukaan, maka t akan berubah menjadi jika k

a = 0, atau sumber berada tepat di atas titik difraktor.

2

)(

)(÷÷ø

öççè

æ

q

q

d

dV

(L.2)

2

)(

)(÷÷ø

öççè

æ

q

q

d

dV

(L.3)

(L.4)

(L.5)

(L.6)

dengan

(L.7)

(L.8)

atau,

(L.9)

2

0t

23

Page 26: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

Tampak dari hubungan dalam segitiga siku-siku S'SD

bahwa besarnya t adalah :k

h

hattk 2

220 +

=

Jika t ' adalah waktu tempuh saat x = 0, maka :0

2' 0

0

ttt k +=

2' 0

220

0t

h

hatt +

+=

÷÷

ø

ö

çç

è

æ+

+= 1

2'

220

0h

hatt

÷÷

ø

ö

çç

è

æ+

+

=

1

'

2 22

00

h

ha

tt

Selanjutnya dari persamaan pythagoras segitiga siku-

siku SGD diperoleh hubungan :

( )( )222dtVhx f=+

Bila Persamaan L.6 dan L.8 disubstitusikan ke dalam

Persamaan L.15, maka akan diperoleh :

( ) )1(0

)1(43222

2

sZrZqZpZVtZ

hd ++++=

÷÷

ø

ö

çç

è

æ

-

( )

( ) ( ) )1(01

432222

sZrZqZpZVttZ

hkx ++++-=÷

÷

ø

ö

çç

è

æ

-

2

0

22 4

)0(t

hV =

Serta dengan mensubstitusikan Persamaan L.10 dan

L.14 maka akan diperoleh persamaan :

2

2

22

22

0

2

220

)()1(1

'

1

1'

ZpqZp

hah

hatt

h

hat

x

-+-+=

úú

û

ù

êê

ë

é

÷÷

ø

ö

çç

è

æ

++

+-

úúúúú

û

ù

êêêêê

ë

é

÷÷÷÷÷

ø

ö

ççççç

è

æ

++

543 )()()( ZsZrsZqr -+-+-+

2

20

20

)()1(1

2

'

2

'

ZpqZpt

t

t

x

-+-+=

úû

ùêë

é-

úû

ùêë

é

543 )()()( ZsZrsZqr -+-+-+

(L.10)

(L.11)

(L.12)

(L.13)

atau,

(L.14)

(L.15)

apabila,

(L.16)

(L.17)

(L.18)

(L.19)

Jika a = 0 maka berlaku persamaan :

(L.20)

24

Page 27: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

PENENTUAN STRUKTUR URAT (VEIN) PIRIT DI KAWASAN MALANG SELATAN

BERDASARKAN RESPON GEOLISTRIK POLARISASI TERIMBAS

1SUNARYO

1 Program Studi Geofisika Jurusan Fisika FMIPA, Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia

[email protected]; [email protected]; 08123354285; (0341)463499

Abstrak

Penelitian geolistrik polarisasi terimbas menggunakan konfigurasi dipol-dipol untuk mengetahui respon parameter

polarisasi terimbas percent frequency effect (PFE), metal factor (MF), serta chargeability (m) telah dilakukan pada

zona mineralisasi pirit di kawasan Malang Selatan. Akuisisi data menggunakan reistivitymeter ABEM dan home

made fungsi frekuensi pada lokasi tergrid dengan spasi (X,Y) 40cm. Pada lintasan 1 diperoleh 45 data dengan spasi

40m, dan 129 data dengan spasi 20. Sedangkan pada lintasan 2 diperoleh sejumlah 69 data dengan spasi 20m.

Pengolahan data dilakukan dengan menghitung nilai parameter-parameter percent frequency effect (PFE), metal

factor (MF), dan chargeability (m). Selanjutnya data yang diperoleh dilakukan pengolahan dan interpretasi

menggunakan metode inversi linear kuadrat terkecil dengan bantuan program RES2DINV versi 3.54. Dari

pengolahan dan interpretasi diperoleh bahwa struktur tubuh urat (vein) terletak pada kedalaman 7m sampai dengan

kedalaman 35m, terletak antara titik ukur 326 dan 328 serta mendangkal pada kedalaman atas 3.5m sampai dengan

kedalaman bawah 15m pada titik ukur antara 303 dan 355.

Kata Kunci: pirit, polarisasi terimbas.

DETERMINING PYRITE VEIN STRUCTURE OF SOUTH MALANG BY MEANS OF INDUCED

POLARIZATION GEOELECTRICAL RESPONSE

Abstract

Study on induced polarization to know how respon percent frequency effect (PFE), metal factor (MF), and

chargeability (m) parameters to determine of pyrite mineralization zone of South Malang has been done. Induced

polarization data has been acquired by using ABEM and IP home made frequency function. Data acquisition has

been done on gridded location with spacing (X,Y) 40cm. For line section 1 has been carried out 45 datas for spacing

40m, and 129 datas for spacing 20m. Mean while for line section 2 has been carried out 69 datas for spacing 20m.

Data processing has been done to carried out percent frequency effect (PFE), metal factor (MF), and chargeability

(m) parameters. All of processing result were arranged in pseudodepth section and interpreted by using least-square

invertion metode by using RES2DINV version 3.54 software. From data processing and interpretation has been

carried out vein pyrite structure by means of parameters respon to pyrite vein body with depth to top 7m and depth to

bottom 35m, and lateral location between measurement point 326 and 328 and then depth to top 3.5m and depth to

bottom 15m at lateral location between measurement location 303 and 355.

Key words: pyrite, induced polarization.

1. Pendahuluan

Sifat ambiguitas terhadap hasil dari penerapan

parameter fisika untuk mengetahui kondisi bawah

permukaan bumi merupakan alasan untuk mencari

metode yang tepat agar sifat ambiguitas dapat

direduksi semaksimal mungkin. Disamping

kemampuan interpretasi yang komprehensif,

mengintegrasikan atau mengkombinasikan sebanyak

mungkin parameter fisika untuk tujuan sebuah target

anomali masih merupakan metode yang terbaik

hingga saat ini, terutama untuk target anomali yang

memiliki kontras parameter terhadap host rock yang

relatif kecil. Usaha karakterisasi, simulasi, dan

pemodelan untuk mendapatkan ciri yang tegas

terhadap target-target tersebut sangat penting untuk di

lakukan karena justru target-target ini yang

25

Page 28: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

mempunyai nilai ekonomi tinggi dan/atau menjadi

problem yang harus segera diatasi.

Sebagai zona intrusi dasit, diorit, dan granodiorit, di

Desa Bangkong-Gadjahrejo, Gedangan, Malang

banyak dijumpai batuan yang terpropilitkan dan

terkersikkan akibat dari alterasi hidrotermal. Oleh

karena itu, di daerah penelitian ini banyak terbentuk

urat (vein) yang meskipun mempunyai nilai kontras

parameter fisika yang cukup besar, namun mempunyai

ukuran (volume) yang kecil dengan lokasi yang

cenderung menyebar. Dalam kondisi yang demikian,

dengan menggunakan peralatan geofisika yang ada

hingga saat ini, dibutuhkan desain lapangan (field

design) yang matang dan pemilihan parameter yang

mampu mendeteksi ukuran dan kontras parameter

target terhadap host rock yang signifikan. Dengan

demikian, kombinasi penerapan parameter kontras

massa untuk mendeteksi batuan pengintrusi, serta

parameter magnetik dan kelistrikan untuk mendeteksi

penyebaran maupun struktur urat (vein) merupakan

pilihan yang paling dapat diandalkan dari pada

pengintegrasian atau kombinasi pada aspek

processing dan interpretasinya.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian dilakukan

menggunakan metode kelistrikan yaitu geolistrik

induced polarization (IP) yang melibatkan parameter

resistivitas semu, percent frequency effect (PFE),

metal factor (MF), dan chargeability (m) untuk

menentukan struktur urat (vein) pirit baik secara

lateral (X, Y) maupun secara vertikal/ke dalaman (Z).

Penelitian tentang struktur bawah permukaan di

Kecamatan Gedangan Kabupaten Malang dilakukan

pertamakali dengan menggunakan parameter

gayaberat untuk mengetahui target sebaran batuan

intrusi dasit, diorit, dan granodiorit berdasarkan

interpretasi anomali Bouguer (Sunaryo dkk., 2001).

Berdasarkan hasil dari penelitian tersebut, pada lokasi-

lokasi yang terdeteksi adanya batuan-batuan intrusi

dilakukan penelitian dengan parameter gayaberat

spasi pendek, VLF-R, dan resistivitas wenner-

schlumberger, termasuk kawasan Gedangan Malang

Selatan (Sunaryo dkk., 2002).

Dalam rangka mendapatkan hasil yang mempunyai

resolusi tinggi, maka dilakukan penelitian dengan

desain survai tergrid jarak 40m dengan menggunakan

kombinasi parameter gayaberat, magnetik, VLF-R,

dan potensial diri pada luasan sekitar 800m x 800m

dengan target sebaran tubuh pirit. Anomali target

berupa pirit ditentukan berdasarkan singkapan (out

crop) yang dijumpai di kawasan tersebut (Sunaryo

dkk., 2004, 2005, dan 2006). Sampai dengan

penelitian yang terakhir ini, masih belum diperoleh

lokasi struktur urat (vein) pirit yang tegas terutama

untuk target sebaran cabang-cabang urat (vein).

Oleh karena itu, pada penelitian kali ini digunakan

parameter fisika lain yang belum diterapkan di

kawasan ini padahal secara teori mempunyai respon

sensitif terhadap anomali target mineral yaitu

parameter respon induced polarization (IP) yang

berupa resistivitas semu (apparent resistivity), percent

frequency effect (PFE), metal factor (MF), dan

kemampuan menyimpan potensial (chargeability

(m)). Berdasarkan pengintegra sian atau kombinasi

dari parameter-parameter tersebut, diharapkan

struktur urat (vein) pirit baik secara lateral (X,Y)

maupun secara vertikal/kedalaman (Z) akan dapat

diperoleh dengan resolusi yang tinggi serta mampu

mereduksi ambiguitas sebesar-besarnya.

2. Prinsip Dasar Metoda

Mineral logam yang terdapat di dalam bumi secara

umum dalam bentuk senyawa-senyawa, misalnya

senyawa sulfida yang memiliki kontras konduktifitas

yang tinggi dibandingkan dengan sekelilingnya.

Senyawa ini merupakan penghantar ionik. Oleh

karena itu mineral senyawa ini mudah menimbulkan

gejala induced polarization (IP) apabila arus listrik

dialirkan ke dalam bumi. (Parasnis, 1962, dan Telford,

1978).

Gejala adanya induced polarization (IP) dapat diamati

dan diukur dengan cara mengalirkan arus listrik

terkontrol ke dalam bumi, untuk selanjutnya diukur

respon IP-nya dalam bentuk: kawasan frekuensi,

kawasan waktu, atau pengukuran sudut fase. Untuk

alasan teknis, penelitian ini dilakukan pada kawasan

frekuensi (frequency domain).

Untuk mengetahui respon IP dari suatu mineral,

dilihat berdasarkan parameternya yaitu dengan

mendefinisikan Frequency Effect sebagai berikut:

( )

1

12

V

VVFE

-= ............................................ (1)

26

Page 29: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

................................ . (2)

Dimana:

V1: respon pada frekuensi tinggi

V2 : respon pada frekuensi rendah

Karena besarnya arus listrik yang diinjeksikan ke

dalam bumi adalah sama untuk semua frekuensi, maka

dapat dituliskan dalam bentuk:

ac

acdcFEr

rr -=

Karena nilai chargeabilitas:

dc

acdcmr

rr -=

maka persamaan (1.2) dapat dituliskan menjadi:

m

mFE

-=

1................................ . (3)

FE

FEm

+=

1

dan

................................ . (4)

Dengan menghitung Percent Frequency Effect

(PFE), yaitu:

%100FExPFE = ................................... (5)

maka Metal Factor (MF) dapat dihitung dengan persamaan:

1002 xx

PFEMF

ac

pr

= ................................... (6)

Dengan diperolehnya respon induced polarization

(IP) sebagaimana dipaparkan di atas, yaitu: resistivitas

semu (apparent resistivity), percent frequency effect

(PFE), metal factor (MF), dan kemampuan

menyimpan potensial (Chargeability (m)), maka

mineral-mineral terutama kelompok sulfida termasuk

pirit yang berbeda dengan nilai kontras resistivitas

yang sama (tidak dikenali oleh parameter lain) akan

lebih mudah untuk dikenali dengan kombinasi dari

parameter-parameter tersebut.

3. Akuisisi Data dan Peralatan

Akuisi data penelitian dilaksanakan di kawasan

Gedangan Malang Selatan pada luasan sekitar 800m x

800m. Sedangkan peralatan utama yang digunakan

adalah perangkat resistivitymeter ABEM dan

penambahan IP home made fungsi kawasan frekuensi

atau ac-dc. Disamping itu, peralatan pendukung yang

dibutuhkan adalah GPS, peta-peta, dan Handy Talky

(HT).

Rancangan akuisisi data (data acquisition design)

dibuat dengan merujuk pada penelitian sebelumnya

(preliminary research), yaitu:

1). Peta kontur anomali Bouguer gayaberat kawasan

Malang Selatan. (Sunaryo,dkk, 2001, dan 2002).

2). Peta kontur anomali Bouguer gayaberat zona

Bangkong Malang Selatan (Sunaryo dkk., 2006)

sebagaimana dapat dilihat pada gambar 3.

3). Peta kontur anomali medan magnet total zona

Bangkong Malang Selatan (Sunaryo dkk., 2006)

sebagaimana dapat dilihat pada gambar 4.

4). Peta kontur anomali potensial diri zona Bangkong

Malang Selatan (Sunaryo dkk., 2004, 2005, dan

2006) sebagaimana dapat dilihat pada gambar 2.

Berdasarkan rujukan-rujukan di atas, lintasan akuisisi

data pseudodepth untuk geolistrik resistivitas, dan

polarisasi terimbas (induced polarization) ditentukan

sebagaimana pada gambar 1 sampai dengan 4.

LINTASAN PSEUDODEPTH 01 Geolistrik Polarisasi Terimbas dan Resistivitas

LINTASAN PSEUDODEPTH 02 Geolistrik Polarisasi Terimbas dan Resistivitas

405

302

400 401

316 317 318 319 320 321 322 323 324 325

373

374 375 376 377 378 379 382

297

354353352350349348347

245

273 274

246 248 249 250 251

301

252

326 327 328

269 270 271

295 296

218 220 223 224 226

278

304

330

380

408

433 434

460459458456455

272

219

193

142

118115

141

167

221

119

197

222

196

170

192

166

140

114

88

62

36

10 1211 14 15

414037

63

89

64

90

38 39

66 69

92

144

171

275

98

34 35

6160

86 87

113112

138 139

164

190

165

191

216

242

268

294293

346

372

398

424

450

476

502

528

554

580 581

503

477

425

451

267

241

215

189

163

137

111

8584

110

136

162

188

214

240

292

266

base

265

239

187

161

135

109

186

82

108

134

160

212 213

238

264

290289

263

237

291

211

185

159

133

107

81

120

9493

146

172

198 199

173

147

121

95 96

122

148

174

200 201

227

253

279

305

331 332 333basebase

452

478

504

530

556

582 583

557

531

505

479

453 454

480

506

532

558

584

559

533

507

481 482

508

534

560

585 586

561

535

509

483

432

406 407

381

355

329

303

277

225

276

basebase

345

371

423

449 501

475

527

553

579578

552

526

500

474

422

396

370

344343

369

395

421

447

473

499

525

551550

549

523

497

524

498

472471

445

419

393

367

315 basebase

562 564

591590589588

563

537536

510

484 485

511

565

539538

512 513

461

435

409

592 593

567566

540 541

514 515

488 489

463

411

385

359

307

446

420

394

368

342

baseBASE

Area akuisisi data Geolistrik Resistivitas Mise a-la Mase

Gambar 1. Lintasan pseudodepth pada kontur

topografi DEM. Interval 5m

27

Page 30: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

LINTASAN PSEUDODEPTH 01 Geolistrik Polarisasi Terimbas dan Resistivitas

LINTASAN PSEUDODEPTH 02 Geolistrik Polarisasi Terimbas dan Resistivitas

575 576 577 578 579 580 581 582 583 584 585 586 587 588 589 590

549 550 551 552 553 554 555 556 557 558 559 560 561 562 563 564

523 524 525 526 527 528 529 530 531 532 533 534 535 536 537 538

497 498 499 500 501 502 503 504 505 506 507 508 509 510 511 512

471 472 473 474 475 476 477 478 479 480 481 482 483 484 485 486

445 446 447 448 449 450 451 452 453 454 455 456 457 458 459 460

419 420 421 422 423 424 425 426 427 428 429 430 431 432 433 434

393 394 395 396 397 398 399 400 401 402 403 404 405 406 407 408

367 368 369 370 371 372 373 374 375 376 377 378 379 380 381 382

341 342 343 344 345 346 347 348 349 350 351 352 353 354 355 356

315 316 317 318 319 320 321 322 323 324 325 326 327 328 329 330

289 290 291 292 293 294 295 296 297 298 299 300 301 302 303 304

263 264 265 266 267 268 269 270 271 272 273 274 275 276 277 278

237 238 239 240 241 242 243 244 245 246 247 248 249 250 251 252

211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226

185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200

159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174

133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148

107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122

81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96

Area akuisisi data Geolistrik Resistivitas Mise a-la Mase

LINTASAN PSEUDODEPTH 01 Geolistrik Polarisasi Terimbas dan Resistivitas

LINTASAN PSEUDODEPTH 02 Geolistrik Polarisasi Terimbas dan Resistivitas

325

299298

324

350

323322321320319318317316315314313

287 289 290 291 292 293 294 295 296 297

351 352

326

300

348

374

400

243

377

325325

269 270 271 272 273

247 248

274

301

217216

242241

218 219 220 221 222 223 224 225 226

252

278

304

330

356

382

408

434

460459458457456455454453

403

325325

247 248248

222 223

249

194

168

142

116115

325325

141

167

193

166

140

114

88

62

36

10 11 13

38

64

89 90

64

38 39

14 15

4140

65 66 67

91 92

117

143

170 171169

195 196 197

9

35

8

34

6160

86 87

113112

138 139

165164

190

216

191

248

268

325325

452

346

372

398

424

450

476

502

528

554

580 581

555

529

503

477

451

427

401

349

267

241

215

189

163

137

111

8584

110

136

162

188

214

240

266

325325

265

239

213

187

161

135

109

8382

108

134

186

212

238

264

160

263

237

211

185

159

133

107

81

120

94

119

146

172

198

173

147

121

95 96

122

148

174

200 201

227

253

279

305

331 332

306

199

325325

452

478

504

530

556

582 583

557

531

505

479 480

376

506

532

558

584 585

559

533

507

481 482

508

534

560

586 587

564

535

509

483

432

406 407

381

355

329

303

277

251250

325325

345

371

397

423

449

475

501

527

553

579578

552

526

500

474

448

422

396

370

344343

369

395

421

447

473

499

525

551550

524

325325

549

523

497 498

472

446

471

445

419 420

393 394

367

341

368

342

510

536 537

511

484

562

588 589 590 591

565564563

538 539

512 513

487486485

461

435433

353

379

405

431

405

378

404

430

402

347

373

399

380

354

328

302

325

Area akuisisi data Geolistrik Resistivitas Mise a-la Mase

Gambar 2. Lintasan pseudodepth pada kontur

potensial diri Interval 5mV.

Gambar 3. Lintasan pseudodepth pada kontur

anomali Bouguer. Interval 0.5mGal.

405

302

400 401

316 317 318 319 320 321 322 323 324 325

373

374 375 376 377 378 379 382

297

354353352350349348347

245

273 274

246 248 249 250 251

301

252

326 327 328

269 270 271

295 296

218 220 223 224 226

278

304

330

380

408

433 434

460459458456455

272

219

193

142

118115

141

167

221

119

197

222

196

170

192

166

140

114

88

62

36

10 1211 14 15

414037

63

89

64

90

38 39

66 69

92

144

171

275

98

34 35

6160

86 87

113112

138 139

164

190

165

191

216

242

268

294293

346

372

398

424

450

476

502

528

554

580 581

503

477

425

451

267

241

215

189

163

137

111

8584

110

136

162

188

214

240

292

266

base

265

239

187

161

135

109

186

82

108

134

160

212 213

238

264

290289

263

237

291

211

185

159

133

107

81

120

9493

146

172

198 199

173

147

121

95 96

122

148

174

200 201

227

253

279

305

331 332 333basebase

452

478

504

530

556

582 583

557

531

505

479

453 454

480

506

532

558

584

559

533

507

481 482

508

534

560

585 586

561

535

509

483

432

406 407

381

355

329

303

277

225

276

basebase

345

371

423

449 501

475

527

553

579578

552

526

500

474

422

396

370

344343

369

395

421

447

473

499

525

551550

549

523

497

524

498

472471

445

419

393

367

315 basebase

562 564

591590589588

563

537536

510

484 485

511

565

539538

512 513

461

435

409

592 593

567566

540 541

514 515

488 489

463

411

385

359

307

446

420

394

368

342

base

LINTASAN PSEUDODEPTH 01 Geolistrik Polarisasi Terimbas dan Resistivitas

LINTASAN PSEUDODEPTH 02 Geolistrik Polarisasi Terimbas dan Resistivitas

Area akuisisi data Geolistrik Resistivitas Mise a-la Mase

Gambar 4. Lintasan pseudodepth pada kontur

anomali magnetik. Interval 50nT.

4. Hasil Pengolahan Data dan Interpretasi

Berdasarkan gambar 1 nampak bahwa lintasan

akuisisi data terletak pada topografi yang relatif datar.

Sedangkan pada gambar 2 sampai dengan gambar 3,

nampak bahwa lintasan terletak pada kontur anomali,

baik potensial diri, gayaberat, maupun magnetik yang

mempunyai pola atau bentuk klosur yang relatif

berimpit satu dengan yang lain.

Dengan demikian, lokasi inilah yang secara lateral

diinterpretasikan sebagai zona mine ralisasi di

kawasan penelitian. Dengan melakukan pengukuran

secara pseudodepth, sebaran anomali pirit ke arah

vertikal dapat diperkirakan.

Adapun hasil selengkapnya adalah sebagai berikut:

1). Geolistrik Resistivitas.

Konfigurasi lapangan yang digunakan untuk

metode ini adalah konfigurasi dipole-dipole

pseudodepth. Konfigurasi didesain untuk

mendapatkan variasi resistivitas dalam arah

lateral dan kedalaman dengan pergeseran

elektroda potensial (n) dibatasi hingga 6 kali.

28

Page 31: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

Berdasarkan aturan tersebut, maka untuk lintasan

01 (warna biru) dengan a=40m diperoleh

sejumlah 45 data dan untuk a=20m diperoleh

sejumlah 129 data. Sedangkan untuk lintasan 02

(warna merah) dengan a=20m diperoleh sejumlah

69 data.

2). Geolistrik Polarisasi Terimbas.

Konfigurasi lapangan yang digunakan untuk

metode ini juga sama dengan geolistrik

resistivitas, yaitu konfigurasi dipole-dipole

pseudodepth. Konfigurasi didesain untuk

mendapatkan variasi resistivitas dalam arah

lateral dan kedalaman dengan pergeseran

elektroda potensial (n) juga dibatasi hingga 6 kali.

Berdasarkan aturan tersebut, maka untuk lintasan

01 (warna biru) dengan a=40m, frekuensi 5Hz dan

15Hz masing-masing diperoleh sejumlah 45 data

dan untuk a=20m dengan frekuensi yang sama

masing-masing diperoleh sejumlah 129 data.

Sedangkan untuk lintasan 02 (warna merah)

dengan a=20m dan frekuensi yang sama masing-

masing juga diperoleh sejumlah 69 data.

Interpretasi dilakukan dengan menggunakan

pemodelan inversi untuk memperoleh informasi

tahanan jenis bawah permukaan secara lebih

kuantitatif. Prinsip dasar metode inversi linier kuadrat

terkecil adalah modifikasi model awal secara iteratif

hingga diperoleh model yang responnya cocok dengan

hasil pengukuran akuisisi data lapangan. Modifikasi

model didasarkan pada informasi mengenai

sensitivitas parameter observasi (data) terhadap

perubahan parameter model. Perhitungan respon

model dilakukan melalui persamaan diferensial

metode beda-hingga atau elemen-hingga.

Loke dan Barker (1996) mengemukakan pendekatan

inversi linear kuadrat terkecil untuk data tahanan jenis

2D yang cukup efisien. Model awal adalah medium

homogen sehingga modifikasi model awal tersebut

hanya memerlukan matriks Jacobi untuk medium

homogen pula. Matriks Jacobi untuk medium

homogen dengan konfigurasi elektroda pole-pole

dapat dihitung secara analitik dan dapat digunakan

untuk menghitung matriks Jacobi untuk konfigurasi

elektroda lainnya. Hal ini mengingat adanya prinsip

superposisi potensial akibat sumber arus dan titik

pengukuran potensial tambahan. Untuk mempercepat

proses perhitungan inversi, elemen-elemen matriks

Jacobi berbagai konfigurasi elektroda telah dihitung

dan disimpan dalam file.

4.1 Hasil Pengolahan Data dan Interpretasi

Geolistrik Resistivitas.

4.1.1 Lintasan 1.

Data yang diperoleh sepanjang lintasan 1

sejumlah 45 data (datum points) dengan jarak

antar spasi minimal 40m.

Pengolahan dan interpretasi menggunakan

bantuan komputer dan program inversi

RES2DINV versi 3.54. Hasil iterasi dengan

iterasi maksimum 25 iterasi dicapai error terkecil

12.8% dengan hasil bahwa nilai resistivitas rendah

terdistribusi dibagian tengah pada kedalaman

sekitar 35m searah dengan lintasan. Di bagian

atas dan bawah cenderung mempunyai nilai

resistivitas tinggi, terutama di bagian bawah

(gambar 5).

Gambar 5. Penampang melintang hasil inversi pseudodepth section resistivitas semu lintasan 1.

29

Page 32: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

4.1.2 Lintasan 2. Data yang diperoleh sepanjang lintasan 2 sejumlah

67 data (datum points) dengan jarak antar spasi

minimal 20m.

Gambar 6. Penampang melintang hasil inversi pseudodepth section geolistrik resistivitas semu lintasan 2.

Hasil iterasi dengan iterasi maksimum 25 iterasi

dicapai error terkecil 17.9% dengan hasil nilai

resistivitas rendah terdistribusi dibagian atas dan

tengah pada kedalaman sampai dengan sekitar

35m searah dengan lintasan. Di bagian atas

cenderung nilai resistivitas tinggi, distribusi tidak

merata (gambar 6).

4.2 Hasil Pengolahan Data Interpretasi Geolistrik

Polarisasi Terimbas.

4.2.1 Lintasan 1.

Geolistrik polarisasi terimbas (induced

polarization) pada dasarnya adalah sama dengan

geolistrik resistivitas. Namun demikian, pada

polarisasi terimbas jumlah datums point 2 (dua)

kali resistivitas, karena polarisasi terimbas

menggunakan 2(dua) frekuensi ukur, yaitu

frekuensi dc (5Hz.) dan ac (15Hz.).

Gambar 7.

frequency effec (PFE) lintasan 1.

Penampang melintang hasil inversi pseudodepth section geolistrik polarisasi terimbas percent

Gambar 8.

metal factor (MF) lintasan 1

Penampang melintang hasil inversi pseudodepth section geolistrik polarisasi terimbas

30

Page 33: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

Gambar 9.

chargeability (m) lintasan 1.

Penampang melintang hasil inversi pseudodepth section geolistrik polarisasi terimbas

Data yang diperoleh sepanjang lintasan 1

sejumlah 45 data (datum points) dengan jarak antar

spasi minimal 40m. Untuk keperluan pengolahan

dan interpretasi data-data disusun dalam bentuk

pseudodepth section(gambar 5).

Hasil iterasi dengan iterasi maksimum 21 dicapai

error terkecil untuk percent frequency effect (PFE),

metal factor (ME), dan chargeability (m) masing-

masing berturut-turut adalah 34.4%, 29%, dan

0.25%. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai PFE

tinggi dan rendah terdistribusi sebagaimana

gambar 7, sedangkan nilai MF dan m masing-

masing dapat dilihat pada gambar 8 dan 9.

4.2.2 Lintasan 2.

Data yang diperoleh sepanjang lintasan 2 adalah

67 data (datum points) dengan jarak antar spasi

minimal 20m.

Hasil dari iterasi dengan iterasi maksimum 21

iterasi dicapai error terkecil untuk percent

frequency effect (PFE), metal factor (MF), dan

chargeability (m) masing-masing berturut-turut

adalah 36.8%, 36.3%, dan 0.20%. Hasil ini

menunjukkan bahwa nilai percent frequency effect

(PFE) tinggi dan rendah terdistribusi sebagaimana

pada gambar 10, sedangkan untuk nilai metal

factor (MF) dan chargeability (m) masing-masing

dapat dilihat pada gambar 11 dan 12.

Gambar 10.

percent frequency effect (PFE) lintasan 2.

Penampang melintang hasil inversi pseudodepth section geolistrik polarisasi terimbas

31

Gambar 11. Penampang melintang hasil inversi pseudodepth section geolistrik polarisasi terimbas metal factor (MF) lintasan 2.

Page 34: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

Gambar 12. Penampang melintang hasil inversi pseudodepth section geolistrik polarisasi terimbas chargeability (m) lintasan 2.

5. Pembahasan.

Untuk mendapatkan nilai kuantitatif kearah

kedalaman, dilakukan penelitian dengan konfigurasi

pseudosection menggunakan parameter resistivitas,

percent frequency effect (PFE), metal factor (MF), dan

chargeability (m) dengan mengambil lintasan

berdasarkan hasil interpretasi lateral kualitatif

terhadap penelitian sebelumnya (gayaberat, magnetik,

potensial diri, dan mise a-la mase).

32

Page 35: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

Gambar 13. Model hasil inversi lintasan 1 pseudodepth resistivity dan polarisasi terimbas percent frequency

effect (PFE), metal factor (PFE), dan chargeability (m).

Berdasarkan gambar 13 nampak nilai resistivitas

rendah terdistribusi pada kedalaman 20m sampai

dengan 45m, nilai percent frequency effect (PFE)

rendah hingga sedang terdistribusi pada kedalaman

20m sampai dengan 50m, nilai metal factor (MF)

tinggi terletak pada kedalaman 7m sampai dengan

35m, sedangkan nilai chargeability (m) sedang

terletak pada kedalaman 7m sampai dengan 30m.

Dengan demikian, Nilai metal factor (MF) yang

tinggi pada kedalaman 7m sampai dengan 35m dan

terletak antara titik ukur 326 dan 328 serta didukung

oleh parameter-parameter lain menunjukkan bahwa

posisi ini merupakan tubuh utama pirit yang

merupakan target utama penelitian.

33

Page 36: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

Gambar 14. Model hasil inversi lintasan 2 pseudodepth resistivity dan polarisasi terimbas percent frequency effect(PFE), metal factor(PFE), dan chargeability(m).

Sedangkan berdasarkan gambar 14 nampak nilai

resistivitas rendah terdistribusi pada kedalaman 3.5m

sampai dengan 30m, nilai percent frequency effect

(PFE) sedang hingga tinggi terdistribusi pada

kedalaman 3.5m sampai dengan 10m, nilai metal

factor (MF) relatif tinggi terletak pada kedalaman

3.5m sampai dengan 15m, sedangkan nilai

chargeability (m) sedang hingga tinggi terletak pada

kedalaman 3.5m sampai dengan 10m. Dengan

demikian, Nilai metal factor (MF) yang tinggi pada

kedalaman 3.5m sampai dengan 15m dan terletak

antara titik ukur 303 dan 355 serta didukung oleh

parameter lain menunjukkan bahwa posisi ini

merupakan tubuh utama pirit yang merupakan target

utama penelitian.

Kombinasi hasil interpretasi terhadap lintasan 1 dan

lintasan 2, menunjukkan bahwa tubuh utama pirit

mendangkal ke arah timur terhadap BASE dan

semakin dalam ke arah barat terhadap BASE.

6. Kesimpulan

Setelah dilakukan akuisisi data, pengolahan data, dan

interpretasi, dapat disimpulkan hal-hal sebagai

berikut:

1. Diperoleh respon yang tegas dari parameter-

parameter yang terlibat di dalam metode polarisasi

terimbas terhadap tubuh urat pirit di lokasi

penelitian.

2. Tubuh utama pirit terletak pada kedalaman 7m

sampai dengan 35m yang terletak antara titik ukur

326 dan 328 serta mendangkal pada kedalaman

3.5m sampai dengan 15m pada titik ukur antara

303 dan 355.

Daftar Pustaka

Loke M.H. and Barker R.D., 1996, Rapid Least-

squares Inversion of Apparent Resistivity

34

Pseudosection by Quasi-Newton Method.

Geophysics Prospecting 44, 131-152.

Parasnis, D.S., 1962, Principles of Applied

Geophysics, Chapman and Hall, ltd., London.

Sunaryo, Sakti, S.P., Rahmansyah, A., 2001,

Identifikasi Potensi Pertambangan dan Mineral

Kawasan Malang Selatan, FMIPA UB-

BAPEKAB, Malang.

Sunaryo, Sakti, S.P., Rahmansyah, A., 2002,

Inventarisasi Potensi Pertambangan dan

Mineral Kawasan Malang Selatan,

LEMLIT UB - BAPEKAB, Malang.

Sunaryo, Susilo,A., Djamil, 2004, Penentuan Struktur

Zona Mineralisasi Emas dan/atau pengikutnya

di Bangkong-Gajahrejo Gedangan Malang

berdasarkan Parameter Potensial Diri (Self

Potential), FMIPA UNIBRAW, Malang.

Sunaryo, Susilo, A., Djamil, 2005, Penentuan Struktur

Zona Mineralisasi Emas dan/atau pengikutnya

di Bangkong-Gajahrejo Gedangan Malang

berdasarkan Parameter Potensial Diri (Self

Potential), NATURAL Journal ISSN 1410-5713

Vol.9 N0.1 , Malang.

Sunaryo, Sukandarrumidi, Sri Brotopuspito, Kirbani,

Susanto,Adhi, 2006, Respon kontras densitas,

suseptibiltas, dan potensial diri terhadap zona

mineralisasi pirit di Gedangan Malang Selatan:

Penyelidikan geofisika, Prosiding Seminar

Nasional Basic Science III FMIPA UNIBRAW

ISBN 979-25-6030-0, Malang.

Telford, W.M., Geldart L.P.,, Sheriff, R.E., Keys,

D.A., 1978, Applied Geophysics, Cambridge

University Press, Cambridge.

Page 37: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

ADVANCED INTERPRETATION OF SPECTRAL DECOMPOSITION METHOD FOR ESTIMATING

OIL RESERVOIR DISTRIBUTION; A CASE STUDY

1 2 3M.Wahdanadi , Andy Februana P. , Anofrilla 1) KSO Pertamina EP-Patina Group Limited

2) Geophysics Reservoirs Program of Physics Department, University of Indonesia3) Geophysics Program, University of Padjadjaran

Abstrak

Interpretasi Lanjutan dari Spectral Decompostion (SDM) diaplikasikan untuk mengidentifikasi reservoar minyak di

sebuah lapangan minyak berlokasi di Cekungan Tarakan – Kalimantan Timur. Hasil analisa ini menjanjikan.

Reservoar utama di lapangan ini adalah lapisan batu pasir delta berumur Miocene yang diapit oleh 2 lapisan

vulkanik. Lapisan vulkanik pertama (atas) menyerap energy seismic dan mengurangi resolusi vertical seismic pada

target reservoar dengan frekuensi dominan 13 Hz. Distribusi lateral dari reservoar minyak ini sangat sulit karena

ketebalan yang berkisar 15 sampai 60 ft.

SDM digunakan untuk memprediksi distribusi reservoar minyak dengan menentukan respon frekuensi dominan.

CWT (Continuous Wavelet Transform)-SDM digunakan dengan Mexican Hat sebagai wavelet model. Melengkapi

data log sumur dan seismic 3D preserved amplitude, “interpretasi lanjutan” diaplikasikan dengan analisa pola grafik

pada frekuensi rendah hingga tinggi pada 4 karakteristik reservoar (kompak, gas, minyak, dan air). Pola spesifik dari

grafik akan digunakan untuk membedakan dan memperkirakan persebaran reservoar minyak.

The CWT-SDM diaplikasikan pada rentang frekuensi 0–60 Hz. Setiap sumur yang telah diikat dengan data seismik,

akan dibuat grafik dari magnitude terhadap frekuensi pada beberapa interval perforasi dan marker vulkanik. Masing-

masing karakter reservoar akan memperlihatkan pola unik dari magnitude terhadap frekuensi. Reservoar minyak

selanjutkan akan mudah untuk dikenali. Hasil akhir menunjukkan metoda ini akurat dan dapat diaplikasikan untuk

memprediksikan distribusi paket reservoar minyak dan lapisan vulakinik yang tidak dapat dilakukan dengan

interpretasi standar.

Abstract

Advance interpretation of Spectral Decomposition Method (SDM) is applied to identify oil bearing reservoirs in an

oil field located in Tarakan Basin – East Kalimantan. The result is promising. The main reservoirs in the field are

deltaic Miocene sandstones beds between 2 volcanic layers. The first (upper) volcanic layer absorbs the seismic

energy and decreases vertical seismic resolution within target reservoirs at 13 Hz dominant frequency. Defining

lateral distribution of reservoirs is difficult due their thickness that ranges from only 15 to a maximum of 60 ft.

SDM has been used to predict oil reservoir distribution by finding its dominant frequency response. We use CWT

(Continuous Wavelet Transform)-SDM with Mexican Hat as wavelet input model. In addition to well logs and 3D

preserved amplitude seismic data, the "advanced interpretation" also applies the analysis of graphic patterns at low,

middle, and high frequency ranges for 4 main reservoir characteristics (tight layer, gas reservoir, oil reservoir, and

water reservoir). A specific graphic pattern is then used to distinguish the oil bearing reservoirs.

The CWT-SDM is applied in 0–60 Hz frequency ranges. For each well that has been tied to seismic, we make

graphics of magnitude versus frequency at several perforation data and volcanic markers. Each reservoir character

shows a unique pattern in magnitude versus frequency. Oil bearing reservoir is then detectable. Final result shows

that this method is accurate and applicable to predict distribution of oil-bearing reservoir package as well as

predicting some volcanic layers that cannot be resolved by standard interpretation.

Keywords: Oil Reservoir, Spectral Decomposition, CWT

35

Page 38: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

1. Introduction

Time-frequency decomposition (also called spectral

decomposition) of a seismic signal aims to characterize

the time-dependent frequency response of subsurface

rocks and reservoir (Satish Sinha, Partha S. Routh, Phil

D. Anno, and John P. Castagna., 2005). Commonly

Spectral decomposition method is used to calculate the

composition of certain frequency from seismic data

with magnitude as the final result. The wave of seismic

reflection data will be processed within characteristic

frequency for each depth layer. Spectral decomposition

enables the interpreter to visualize seismic data in the

time-frequency domain. Typically used in thin bed

analysis, spectral decomposition is based on the

concept that a thin bed reflection in the frequency

domain has a unique spectral response that can

qualitatively indicate bed thickness in the time domain.

The method breaks down the seismic signal into its

frequency components and generates amplitude and

phase maps tuned to specific frequencies (i.e. a tuning

cube) (Janice, L., Rongfeng, Z. Karl, M., 2006). For a

given seismic analysis window, Tuning Cube generates

amplitude and phase response for each frequency over

range of frequencies. Data is displayed as a volume

where the z axis is now the frequency axis. Animating

through the spectral decomposition images allows

interpreters to detect subtle changes in reservoir

thickness and heterogeneity not obvious in static

displays.

Continued study by Burnett & Castagna (2004) shows

the modeled response using sonic and reflectivity logs,

explains this difference in dynamic behavior (Figure

1). The only change between the two curves is that the

velocity pay zone has been replaced by a brine-filled

sand velocity. The local reflectivity of both cases has

been analyzed for spectral content and is shown in the

graph of amplitude versus frequency. One can clearly

see that the hydrocarbons are responsible for the high

amplitudes at and around 32 Hz and the associated

dimming at 47 Hz. They also are responsible for subtle

changes in reflectivity at other frequencies. Similarly,

the amplitude low at 24 Hz in the curve with no

hydrocarbons can be seen in the maps in the area

surrounding the reservoir. The amplitude maxima of

the reservoir at 32 Hz and the following minima at 47

Hz, plus the amplitude minima at 24 Hz in the brine-

filled area adjacent to the reservoir observed in the

maps, are explained by the spectral modeling.

X field has produced 550 MBO from 4 sandstones

Meliat Formation layers at the depth interval 3,000-

3,300 ft. This field located in Tarakan Basin,

dominated by volcanic deposit environment and

fluvio-deltaic sandstone with various reservoir

thickness 10-45 ft. Combination of geological aspects

(stratigraphic and structural), limited existing well,

and low frequency seismic data is a major problem for

estimating the distribution of hydrocarbon reservoir in

X field. Frequency as a seismic attribute contains the

information of reservoir temporal thickness and fluid

response within reservoir. For describe both of

information, we are used Spectral Decomposition

CWT. This method can show frequency response of

volcanic rock and reservoirs. This frequency response

was observed at magnitude versus frequency gather

(frequency response pattern) for volcanic rock (tight

layer), gas reservoir, oil and water. Applying advanced

analysis of Spectral decomposition based on

recognized frequency response of oil reservoir, we can

estimate oil reservoir distribution and increase its

accuracy.

2. Geology Area Study

X Field discovered as Oil Field in 1980 is located in

Tarakan Basin, East Kalimantan. The Tarakan Basin

has a similar development to the Kutai-Mahakam

Basin (Lentini and Darman, 1996), which it resembles

in many ways. It comprises four subbasins, two

onshore (the Tidung and Berau synrift basins-mainly

Late Eocene to Middle Miocene), and two offshore

(the Belungan-Tarakan and Muara postrift basins with

mainly younger fill). The Tarakan Basin is generally a

passive deltaic margin with a minor wrench tectonic

overprint. Magnetic anomalies imply sea-floor

spreading with associated NW trending transform

faults.

FIGURE 1. Simple Fluid substitution via velocity,

Hydrocarbon reflectivity shown in shaded area and exhibited

at 32 Hz and 47 Hz (Burnett and Castagna, 2004)

36

Page 39: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

The study was focused at Meliat Formation in Tarakan

Sub-basin. Tarakan Sub-basin, mostly offshore

including Tarakan Island, is the northernmost Tertiary

sedimentary basin in Kalimantan. It is bounded to the

north by Pliocene-recent volcanic of Sampoerna High

and to Kuching High. To the south, it is separated from

Kutai- Mahakam Basin. Base on well data, the Meliat

Formation has both clastics and exstrusive/intrusives

rocks. The clastic sediments are dominantly lower

deltaic plain claystone with interbeds of sandstone.

Two major volcanic/intrusive bodies and several minor

bodies were penetrated.

Stratigraphic column of Tarakan Sub-basin can be

shown at figure 2. Meliat Formation was developed at

the Middle to Late Miocene. Early Synrift (Middle

Eocene), this sequence is dominated by volcanics and

volcaniclastics of the Sembakung Formation. It is

highly tectonized. Late Synrift (Late Eocene), this

comprises fluvio-deltaic to shallow marine shales,

marking a rapid transgressive phase (Harry Doust, Ron

A. Nobel, 2008). Delta front facies of Meliat Formation

consist of quartz sandstones interbedded with shales

and locally conglomeratic sandstones.

FIGURE 2. Stratigraphic Column of Tarakan Sub-basin

37

Structurally, the study area exists in fault zone, with

disquisition from west to east that is volcanic intrusion

zone and has complex fault structure. Whereas the

south part is an anticline and the north part is a

sincline. All existing wells located at the high closure

with several major faults that are a normal fault (Fault

Normal). Generally, the structure of the "X" field is

strongly influenced by normal faults that act at the

Southwest - Northeast and Northwest - Southeast

direction. The develop pattern are Northeast -

Southwest direction is related with 4 folds pattern of

northwest - southeast direction.

3. Seismic & Well Data

In this study, we used seismic data 3D PSTM

acquisition in 2010 and well data (Figure 4). The

seismic data has spectrum frequency 10-30 Hz with

dominant frequency is 13 Hz in target reservoir which

is located between two volcanic layers. Upper

volcanic rock layer reflects most of seismic energy

thus vertical resolution for target reservoir is

decreased showing by low dominant frequency. Both

of volcanic layers are shown by bright amplitude from

Page 40: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

seismic data and very low value Gamma Ray log. This

seismic data will be tied and correlated with well-1,

well-2, and well-3 as shown at figure 4.

Well-1 (Figure 5) is vertical well shows that the upper

boundary as a marker Upper Volcanic located at about

2500 ft (850 ms) and the lower boundary as a lower

Volcanic located at a depth of about 3900 ft (1050 ms).

Well-1 has produced 550 MBO, but it was shut in

because of high water saturation. Sand-A (30 ft), Sand-

B (20 ft), Sand-C (30 ft), and Sand-D (45 ft) at around

3000 ft are 4 main reservoirs that produced oil. These 4

main reservoirs have high water saturation so we

interpreted as water reservoirs. Volcanic upper (Vlc

Up) and volcanic lower (Vlc Low) are chosen as

models for tight layers.

Next, Well-2 (Figure 5) is a deviated gas well. At the

target zone there is only one water reservoir, Sand-C

(3200 ft MD). This reservoir located nearby fault so it

has poor quality of signal to noise ratio seismic trace.

We chose a “40 ft” gas sand reservoir (Sand-G) at 4900

ft MD as a model for gas reservoir.

Well-3 (Figure 5) is a deviated oil production well.

Sand-A (10 ft), Sand-B (20 ft), and Sand-C (15 ft) at

around 3000 ft are 3 main reservoirs that have only

FIGURE 3. Well to seismic tie analysis with a minimum phase extracted wavelet from seismic

38

10% water saturation. Sand-C is chosen as a model for

oil reservoirs.

4. Methods

First, a well to seismic tie analysis must be done for

showing where positions of reservoirs in seismic data

are. A Global Wavelet was extracted from Well-1 on

the target reservoir intervals using polarity increasing

AI recorded as peak with minimum phase (Figure 3),

obtained a maximum correlation coefficient 0.789 at

Well-1, 0.521 at Well-2, and 0.608 at Well-3.

Reservoir targets are generally located at depths of

2500 ft – 3900 ft. After wells are tied to seismic data,

we start the analysis of spectral decomposition. Time-

frequency decomposition method (time-frequency

decomposition) which is also known as spectral

decomposition is intended to see the seismic response

at a particular frequency. The basic idea of this method

is doing the FFT (Fast Fourier Transform) of each

window of time continuously to obtain the frequency

range of the target zone (reservoir). The CWT samples

wavelets using a moving, scalable time window and

allows for finer sampling of the seismic trace, also

provides better frequency resolution at lower

frequencies (Janice, L., Rongfeng, Z. Karl, M., 2006).

There are three models of wavelet is used as the basic

parameters for spectral decomposition analysis of

Page 41: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

FIGURE 4. Vertical seismic display and well correlation at seismic 3D data PSTM

FIGURE 5. Well data analysis

39

Page 42: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

CWT, there are Morlet, Gaussian, and Mexican Hat.

Spectral decomposition analysis is started by using

CWT (continuous wavelet transform) algorithm to

extract seismic trace at well-1 position. This analysis

will be generated in range frequency of 1-60 Hz

because of low frequency seismic data. Figure 6 shows

comparison CWT in frequency gather with Morlet,

Gaussian, and Mexican Hat model wavelet. Best

analysis magnitude of spectrum frequency performed

by Mexican hat as model wavelet result that gives focus

picture with good vertical and horizontal resolution.

The next stage is the spectral decomposition analysis

with previous specified parameter at well-1 and two

other existing deviated wells for creating frequency

gathers. For each deviated wells, seismic trace is

extracted at reservoir position (inline and crossline).

Figure 7 shows frequency gather for each wells and

marker for volcanic, water, oil, and gas reservoir.

5. Advance Analysis of Spectral Decomposition

From 3 existing frequency gathers then magnitudes are

extracted at each marker position for creating graphic

magnitudes versus frequency as shown in figure 8. This

graphic tells that volcanic and reservoirs can be

FIGURE 6. Comparison frequency gather with Morlet, Gaussian, and Mexican Hat model wavelet

40

distinguished. Volcanic responds high magnitude and

small change in decreasing magnitude for high

frequencies. Furthermore we can see patterns of

frequency responses for water, oil, and gas reservoir.

Gas reservoir responds high magnitude at low

frequency and decrease quickly with increasing

frequency. Water reservoir responds high magnitude

at low frequency then dropped to low magnitude and

followed small increasing magnitude at high

frequency. Similar with water reservoir, oil reservoir

responds high magnitude at low frequency then

dropped to low magnitude and followed significant

increasing magnitude at high frequency.

Frequency response magnitudes of each marker

reservoir and volcanic from 1-60 Hz are plotted in

figure 8. It shows that each marker has different

response from low to high frequency. Analyzing the

pattern from frequency response magnitude, each

marker can be distinguished.

Focused in oil reservoir pattern (figure 8) we made 3

interest range of frequency, Low (6-10 Hz), Mid (11-

15 Hz), and High (Hz), Mid (11-15 Hz), and High (18-

22 Hz). CWT is applied for each frequency in these

Page 43: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

FIGURE 7. Frequency gather for existing wells and markers for volcanic, water, oil, and gas reservoirs.

41

ranges. Low, Mid, and High cubes were created by

stacking each frequency cubes as previous defined

criteria. Figure 9 shows section of low, mid, and high

frequency cube. Either low, mid, or high frequency still

shows no differences for volcanic rock and reservoir

and an extended method is needed to improve accuracy

of spectral decomposition analysis.

From figure 9 we can find a new approximation by

calculating gradient of “low to mid frequency” as ΔML

and gradient of “mid to high frequency” as

ΔHM. Section of ΔML and ΔHM can be seen in figure

10. Volcanic rocks have high magnitude in ΔML

section and low magnitude in ΔHM section. Oil

reservoir now can be seen clearly with low magnitude

in ΔML section and high magnitude in ΔHM section.

For optimizing oil reservoirs distribution final Spectral

Decomposition cube (Final SpecD) is calculated by

subtracting ΔHM with ΔML. Final Section of

Advanced Spectral Decomposition Analysis can be

seen in figure 11 high magnitudes above 300 shows oil

reservoirs. There is still a limitation because of input

seismic is a low frequency seismic 3D, spectral

decomposition with CWT algorithm can improve

vertical resolution by showing a package of oil

reservoirs(sand-A, sand-B and sand-C). At Well-1

(time 1.016ms), we can see other oil reservoir potential

(lower oil reservoir potential) that has not been

developed. From this section there may be a water

FIGURE 8. The result of Spectral Decomposition for each markers at the existing wells

coning indication at Sand-D. Small volcanic rock in

well-3 is identified in this final spec D section.

Figure 12 shows comparison horizon slice of PSTM

volume and spectral decomposition volume of

existing package oil reservoir. From PSTM horizon

slice we can predict reservoir distribution, to increase

accuracy of oil reservoir distribution advance spectral

decomposition is recommended to be applied.

We also tried finding lower oil reservoir distribution

with previous horizon slice methods. Figure 13 shows

comparison horizon slice of PSTM volume and

spectral decomposition volume of lower oil reservoir.

We could not see reservoir distribution from PSTM

horizon slice but with spectral decomposition horizon

slice this lower oil reservoir can be image clearly.

Page 44: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

FIGURE 9. Vertical seismic sections as the Spectral Decomposition result at the low-mid-high frequency

42

FIGURE 10. Seismic sections part of Advanced Spectral Decomposition analysis

Page 45: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

FIGURE 11. Seismic section of final Advance Spectral Decomposition analysis

43

FIGURE 12. Existing oil reservoir horizon slice of PSTM volume (left) and horizon slice of final Advance Spectral Decomposition (right)

Page 46: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

44

FIGURE 13. Lower oil reservoir potential horizon slice of PSTM volume (left) and horizon slice of final Advance Spectral Decomposition (right)

6. Conclusions

From 3 wavelet models, Mexican Hat is the best model

wavelet for imaging frequency responses. The results

of processing had good vertical and horizontal

resolution in frequency range 1-60 Hz. Spectral

decomposition method with CWT algorithm and

Mexican Hat Wavelet can describe the frequency

responses pattern of volcanic stone, water, oil, and gas

reservoir. Each marker had unique pattern that can be

used for analysis. Advanced Spectral Decomposition

Analysis is an approximation that developed for

increasing accuracy of identifying oil reservoir based

on its unique pattern. This method shows great promise

to become another valuable seismic detection tool in

the search for hydrocarbons.

7. Reference

Harry Doust. and Ron, A. Nobel., 2008. *Petroleum

System of Indonesia. Marine and Petroleum

Geology 25 (2008)*, 103-129.

Janice, L., Rongfeng, Z. and Karl,M., 2006.

*Enhancing Reservoir Visualization with

Spectral Decomposition*, DEW Journal, July

2006, 38-42.

Janice, L., Rongfeng, Z. and Karl,M., 2006.

*Fine tuning with spectral decomposition*,

E&P Magazine, July 2006

Lentini, M. and Darman, H., 1996. *Aspects of the

Neogene Tectonic history and hydrocarbon

geology of the Tarakan Basin*, In: Proceedings

of Industrial Petroleum Association 25th

Annual Conference, (IPA96-1.1-168), pp.

241–251

Michael D. Burnett and John P. Castagna. 2004.

*Advances in Spectral Decomposition and

Reflectivity Modeling in the Frio Formation of

the Gulf Coast*,Online presentation from

Geophysical Corner column in AAPG

Explorer, January, 2003

Satish Sinha, Partha S. Routh, Phil D. Anno, and John

P. Castagna. 2005.* Spectral decomposition of

seismic data with continuous - wavelet

transform*, Geophysiscs, Vol. 70, No. 6

(November – December 2005); P.P19-2

Page 47: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

Pemograman Ray Tracing Metode Pseudo-Bending Medium 2-D Untuk Menghitung Waktu Tempuh Antara Sumber dan Penerima

1 1 1 Andri Dian Nugraha , Ahmad Syahputra , Fatkhan1 Teknik Geofisika, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Institut Teknologi Bandung

([email protected] / [email protected])

Abstrak

Rekonstruksi lintasan sinar gelombang melewati suatu medium dikenal dengan ray tracing. Ray tracing digunakan

untuk perhitungan waktu tempuh gelombang melewati suatu medium dari sumber ke stasiun penerima. Gelombang

merambat dengan mengikuti prinsip Fermat, melewati suatu medium dengan waktu tempuh yang minimum. Metode

yang digunakan merupakan aplikasi metode pseudo-bending dengan beberapa modifikasi untuk optimasi

perhitungan. Kami mengembangkan dan menguji pemograman dalam bahasa MATLAB ini dalam beberapa model

kecepatan 2-D dengan anomali kecepatan rendah, kecepatan tinggi hingga model dengan perubahan kecepatan

secara linier terhadap kedalaman. Hasil yang diperoleh, menunjukkan lintasan sinar gelombang akan selalu berusaha

melewati medium dengan kecepatan yang lebih tinggi dengan waktu tempuh yang minimum. Aplikasi dari

pemograman ini, dapat diterapkan pada inversi tomografi antara lubang bor 2-D untuk keperluan geoteknik dan

eksplorasi.

Kata kunci: Ray Tracing, Prinsip Fermat, Model Kecepatan 2-D

Abstract

We reconstructed seismic ray path through a medium from source to receiver by applying ray tracing pseudo bending

method. Basically, the ray tracing method based on Fermat principle to calculate minimum travel time. In this study,

we modified ray tracing method and created a MATLAB script that can be used for 2-D velocity model with varrying

anomalies. The results show seismic ray path travelling through high velocity medium with minimum travel time and

has a good agreement with Fermat principle. For the advance purposes, we can applied our script to 2-D cross hole

tomography inversion in geotechnic and exploration.

Keywords: Ray Tracing, Fermat principle, 2-D velocity model

1. Pendahuluan

Ray tracing sangat dibutuhkan untuk menghitung

waktu tempuh gelombang seismik dalam inversi

tomografi untuk memperoleh struktur kecepatan

gelombang P maupun S serta relokasi hiposenter

untuk kasus sumber gempa bumi. Ada 3 metode ray

tracing yang telah berkembang saat ini, antara lain:

1. Shooting menggunakan hukum Snell's.

2. Pseudo-bending menggunakan prinsip Fermat.

3. Full wave equation dengan menggunakan prinsip

Huygens.

Penentuan waktu tempuh gelombang antara sumber

dan penerima merupakan bagian yang penting pada

proses inversi tomografi. Beberapa pemanfataan

metode ray tracing tomografi global untuk

mencitrakan struktur zona subduksi sampai

kedalaman mantel (Widiyantoro dkk., 1997),

tomografi regional untuk mendelineasi heterogenitas

kerak di zona subduksi (Nugraha dan Mori, 2006 ) dan

tomografi gunung api untuk menduga zona lemah

(Priyono dkk., 2010). Pada penelitian ini, dilakukan

modifikasi dan pemograman metode ray tracing

metode pseudo bending (Um dan Thurber, 1987)

dalam medium 2-D untuk keperluan studi geoteknik

dan eksplorasi tomografi antara lubang bor. Ray

tracing metode pseudo bending pada medium 2-D

yang digunakan ini merupakan sebuah pendekatan

dalam proses minimisasi secara langsung waktu

45

Page 48: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

tempuh dengan cara memberikan gangguan kecil

secara bertahap pada lintasan sinar gelombang. Ray

tracing ini merupakan tahapan yang penting pada

proses inversi tomografi 2-D ataupun 3-D untuk

menghitung waktu tempuh antara sumber dan

penerima yang melewati medium suatu model

kecepatan. Pada studi ini telah dilakukan pemograman

dalam bahasa Matlab untuk proses ray tracing metode

pseudo-bending (Um dan Thurber, 1987) dalam

medium 2-D dengan beberapa modifikasi untuk

proses perhitungan. Tujuan dari studi ini yaitu untuk

membuat pemograman ray-tracing dalam bahasa

Matlab yang dapat diaplikasikan pada inversi

tomografi untuk keperluan geoteknik ataupun

eksplorasi seperti tomografi antara lubang bor untuk

memperoleh gambaran struktur kecepatan gelombang

seimik.

2. Metode

Waktu tempuh (T) sepanjang lintasan gelombang

antara sumber dan penerima dapat diekspresikan

sebagai sebuah persamaan integral, seperti di bawah

ini (Thurber, 1993) :

(1)

Dimana dl = segmen panjang lintasan gelombang dan

V = kecepatan medium yang dilewati sinar

gelombang. Dalam proses perhitungan, lintasan sinar

gelombang dapat didiskritisasi dengan menggunakan

n titik (jumlah titik bending) pada X , X ,..........., X

seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Setelah

direlokasi posisi X dan X didapat titik lintasan

yang baru X

Gambar 1. Ilustrasi dari skema tiga titik pertubasi

1 2 n

k-1 k+1

k .

k-1 k+1

k

midk

k mid

k-1

k+1

(2)

Dan jarak Rc dihitung dengan rumus sebagai berikut :

(3)

dimana L = X - X dan c = (K mid1

VK+1

1

VK1( 2

Sehingga didapat titik lintasan sinar gelombang yang

baru, sebagai berikut: X = X K mid nRc (4)

dimana n nn

Gambar 2. Skema urutan titik pertubasi dari kiri ke kanan yang digunakan dalam pemograman ray tracing pada studi ini.

2.1. Algoritma

Untuk memudahkan dalam pemograman ray tracing

metode pseudo-bending ini, kami membuat diagram

alir, sebagai berikut :

46

Page 49: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

Gambar 3. Diagram alir pemograman ray tracing metode pseudo-bending pada penelitian ini.

Berangkat dari posisi sumber dan penerima, kemudian

parameterisasi model dilakukan. Parameterisasi

model yang digunakan pada penelitian ini berupa blok

(grid 2-D). Ukuran blok ditentukan tergantung dari

tingkat heterogenitas dalam arah vertikal dan arah

horizontal dari model kecepatan. Setelah membuat

model kecepatan sesuai dengan parameterisasi model

kemudian dihitung gradien kecepatan yang

merupakan turunan kecepatan terhadap jarak spasial

arah X dan Z untuk kasus 2-D.

(5)

Salah satu tahapan penting dalam algortima ini adalah

penentuan jumlah titik tekuk dan banyaknya

pertubasi. Tahapan ini sangat berpengaruh terhadap

optimasi waktu algoritma ini dalam mencapai nilai

konvergensinya. Penentuan kedua nilai tersebut

dipengaruhi oleh parameterisasi model yang berujung

dengan tingkat heterogenitas model awal.

Pada pemograman ini, ray tracing berawal dengan

lintasan ray lurus. Kemudian lintasan ray yang lurus

ini diberi gangguan arah n sejauh Rc pada setiap titik

tekuknya. Lintasan ray diperbaharui sebanyak jumlah

pertubasi.

Masing-masing ray hasil setiap pertubasi dihitung

pajangnya pada setiap blok dengan cara membagi ray

tersebut menjadi segmen-segmen kecil. Semakin kecil

segmennya semakin tinggi tingkat ketelitian dalam

menghitung ray pada setiap blok.

Waktu tempuh gelombang merambat dihitung dengan

mengalikan panjang ray setiap blok dengan nilai

slowness (1/kecepatan) pada setiap blok.

Waktu Tempuh = (6)

Dimana S adalah slowness pada blok ke-f yang f

dilewati oleh ray. dL merupakan segmen panjang ray f

pada blok ke-f yang dilewati ray. Kemudian dari

waktu tempuh masing-masing pertubasi pada ray

tracing dipilih waktu minimumnya dan kemudian

pertubasi ke-i dengan waktu minimum ini menjadi ray

tracing akhir yang memenuhi prinsip Fermat.

3. Hasil Uji Ray Tracing

Dalam pemograman ray tracing 2-D metode pseudo-

bending pada penelitian ini kami mengujinya dalam

beberapa model kecepatan sehingga program ray

tracing ini dapat digunakan dalam berbagai model

kecepatan.

Model Kecepatan 2 Lapis : Homogen

PosisiSumber & Penerima

Parameterisasi Model

Model Kecepatan

Model Gradien Kecepatan

Jumlah Titik Tekuk

Banyak Pertubasi

Ray Tracing Awal (Lurus)

Ray Tracing Psedo-Bending

Waktu Tempuh

Minimum Waktu Tempuh

Ray Tracing

Panjang Ray Setiap Blok

Gambar 4. Hasil ray tracing metode pseudo bending

(garis hitam) untuk setiap pertubasi dengan 200 titik

tekuk dan jumlah pertubasi 100 pada model 1

47

Page 50: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

lapisan sama dengan ukuran dimensi blok arah z. Ray

tracing yang memenuhi waktu tempuh minimum

adalah ray tracing dengan warna merah tebal.

Gambar 5. Waktu tempuh pada setiap pertubasi rayt

racing. Pada pertubasi ke 50, waktu tempuh tiba-tiba

turun dengan signifikan dikarenakan ray tracing

gelombang langsung menjadi gelombang refraksi.

Waktu tempuh minimum dicapai pada pertubasi ke-

59.

Model Kecepatan N-Lapis: Gradasi terhadap Kedalaman

Gambar 6. Hasil ray tracing metode pseudo bending

(garis hitam) untuk setiap pertubasi dengan 80 titik

tekuk dan jumlah pertubasi 200 pada model kecepatan

N lapis dengan gradasi kecepatan pada masing-masing

lapisan. Ray tracing yang memenuhi waktu tempuh

minimum adalah ray tracing dengan warna merah

tebal.

Gambar 7. Waktu tempuh pada setiap pertubasi rayt

racing. Saat ray melewati lapisan dengan kecepatan

yang sama terlihat waktu tempuh semakin bertambah

seiring pertubasi yang membuat jarak tempuh

semakin jauh. Pada saat ray berhasil melewati batas

lapisan, waktu tempuh berubah dengan signifikan.

Waktu tempuh minimum dicapai pada pertubasi ke-

189.

Model Kecepatan N-Lapis: Gradasi terhadap Kedalaman dengan Undulasi

Gambar 8. Hasil ray tracing metode pseudo bending

(garis hitam) untuk setiap pertubasi dengan 40 titik

tekuk dan jumlah pertubasi 300 pada model kecepatan

N lapis dengan gradasi kecepatan pada masing-

masing lapisan dan batas lapisan berundulasi. Ray

tracing yang memenuhi waktu tempuh tercepat adalah

ray tracing dengan warna merah. Ray tracing

menunjukkan waktu tempuh minimum berada pada

saat gelombang merambat di sekitar batas lapisan.

48

Page 51: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

Gambar 9. Waktu tempuh pada setiap pertubasi ray

tracing. Pada model kecepatan gradasi terhadap

kedalaman, ray akan selalu ditekuk ke arah kecepatan

yang lebih tinggi. Waktu tempuh semakin lama

semakin menurun seiring nilai pertubasi. Pada

pertubasi ke-200 waktu tempuh sudah menunjukkan

konvergensi. Waktu tempuh minimum dicapai pada

pertubasi ke-300. Jika pertubasi diperbesar maka ray

tracing tidak akan banyak berubah pada posisi dan

nilai waktu tempuh.

Model Kecepatan Homogen dengan Anomali

Positif dan Negatif

Gambar 10. Hasil ray tracing dengan metode pseudo-

bending (20 titik tekuk dan 20 kali pertubasi) pada

model kecepatan homogen dengan anomali positif

(kotak biru) dan negatif (kotak merah) di tengahnya.

Ray (hitam) berasal dari 20 posisi sumber dan diterima

oleh 1 stasiun penerima. Terlihat gelombang

merambat menjauhi medium dengan kecepatan

rendah dan melewati medium dengan kecepatan tinggi

sehingga memenuhi prinsip Fermat.

Model Kecepatan Gradasi dengan Anomali Positif dan Negatif

Gambar 11. Hasil ray tracing dengan metode pseudo-

bending (20 titik tekuk dan 20 kali pertubasi) pada

model kecepatan gradasi terhadap kedalaman dengan

anomali negatif di tengahnya. Ray (hitam) berasal dari

20 posisi sumber dan diterima oleh 1 stasiun penerima.

Ray berusaha menjauhi kecepatan yang lebih rendah

sehingga ditekuk ke arah kecepatan yang lebih tinggi.

Gambar 12. Hasil ray tracing dengan metode pseudo-

bending (20 titik tekuk dan 20 kali pertubasi) pada

model kecepatan gradasi terhadap kedalaman dengan

anomali positif di tengahnya. Ray ditekuk ke arah

kecepatan yang lebih tinggi sehingga ray tertarik ke

anomali positif.

49

Page 52: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

3.1. Optimasi Jumlah Titik Tekuk dan Banyak

Pertubasi

Dari pengujian ray tracing metode pseudo-bending

dengan menggunakan beberapa model kecepatan,

jumlah titik tekuk dan banyak pertubasi berpengaruh

terhadap hasil ray tracing dengan metode ini. Faktor

utama yang paling mempengaruhi tekukkan ray pada

metode ini adalah gradien kecepatan dan

Gambar 14. Ray tracing dengan menggunakan 50

titik tekuk dan banyak pertubasi 150. Pada pertubasi

ke-113 ray tracing berada pada waktu tempuh

minimum yaitu 0.0378 s. Dari jumlah titik tekuk = 50

ini, dapat dilihat saat ray tracing diperbaharui setiap

pertubasinya memiliki jarak yang dekat (rapat)

terhadap pertubasi sebelumnya.

50

Gambar 13. Ray tracing dengan menggunakan 30 titik

tekuk dan banyak pertubasi 50. Pada pertubasi ke-41

ray tracing berada pada waktu tempuh minimum yaitu

0.0378 s. Dari jumlah titik tekuk = 30 ini, dapat dilihat

saat ray tracing diperbaharui setiap pertubasinya

memiliki jarak yang jauh (renggang) terhadap

pertubasi sebelumnya.

Gambar 15. Waktu tempuh untuk setiap pertubasi.

Dengan menggunakan 30 titik tekuk konvergensi

waktu tempuh mulai terlihat pada pertubasi ke-35

parameterisasi model. Gradien kecepatan yang

merupakan turunan kecepatan terhadap dimensi

spasial dipengaruhi oleh parameterisasi model yang

menjadi dimensi spasial dalam pemograman ini. Jika

ray melewati medium homogen maka ray tidak akan

mengalami gangguan karena gradien kecepatan pada

medium tersebut bernilai 0.

Salah satu cara untuk mengatasi kelemahan ini yaitu

untuk setiap dimensi parameterisasi model diharapkan

memiliki nilai gradien kecepatan (asal tidak 0) dengan

cara membuat model gradasi di dalam setiap lapisan.

Model gradasi ini akan membuat gradien kecepatan

akan memiliki nilai dan ray tracing metode pseudo-

bending ini akan dapat dijalankan.

. Kesimpulan

Modifikasi algoritma ray tracing metode pseudo-

bending pada penelitian ini terletak pada jumlah titik

tekuk yang ditentukan diawal, sedangkan Um dan

Thurber (1987) berawal dari 1 titik bending kemudian

jumlah titik bending bertambah seiring pertubasi.

Selain itu Um dan Thuber (1987) menggunakan

double paths segment dalam mengeksplorasi ruang

model.

Dari pemograman dan pengujian beberapa model

kecepatan pada penelitian ini, ray tracing metode

pseudo-bending ini sangat baik diterapkan dalam

rekonstruksi penjejakan sinar gelombang yang

memenuhi prinsip fermat dengan waktu tempuh

tercepat. Persamaan matematika dalam menghitung

Rc merupakan sebuah pendekatan dari penyelasaian

4

Page 53: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

persamaan gelombang. Dalam hal ini Rc kadang dapat

memiliki nilai imajiner dan akan bernilai sangat besar.

Dalam menjaga kestabilan tekukkan (gangguan) yang

diberikan kepada ray ditekuk ke arah n sejauh Rc,

nilai Rc diberi syarat dalam penerimaan jarak tekukkan

ray, yaitu Rc dapat diterima jika bernilai 0 – 1 dan jika

Rc ditemukan bernilai imajiner maka Rc dianggap

bernilai 0 pada pertubasi tersebut.

Optimasi ray tracing metode pseudo bending dari segi

waktu perhitungan ini dipengaruhi oleh jumlah titik

tekuk dan banyak pertubasi. Jumlah titik tekuk dan

banyak pertubasi akan dipengaruhi oleh parameterisasi

model dan model kecepatan. Semakin banyak titik

tekuk maka ray tracing akan semakin halus tetapi

membutuhkan waktu yang semakin lama dalam

mencapai konvergensi waktu tempuh minimum.

Pemograman ray tracing metode pseudo bending

Gambar 16. Waktu tempuh untuk setiap pertubasi.

Dengan menggunakan 50 titik tekuk konvergensi

waktu tempuh mulai terlihat pada pertubasi ke-100.

dalam penelitian ini, dapat diaplikasikan pada inversi

tomografi waktu tempuh antara lubang bor, untuk

memperoleh struktur kecepatan gelombang seismik

bawah permukaan.

5. Daftar Pustaka

Nugraha, A. D., dan Mori , J . , Three-

dimensional velocity structure in the Bungo

channel and Shikoku area, Japan, and its

relationship to low-frequency earthquakes,

Geophysical Research Letters, Vol. 33,

L24307, doi:10.1029/2006GL028479,

2006.

Widiyantoro, S., &, van der Hilst, R.D., Mantle

structure beneath Indonesia inferred from

high-resolution tomographic imaging.

Geophys. J. Int., 130, 167-182, 1997.

Priyono, A., Suantika, G., Widiyantoro, S., Priadi, B.,

dan Surono., Three-dimensional P- and S-

wave Velocity Structures of Mt. Guntur,

West Java, Indonesia, from Seismic

Tomography, Int. J. Tomogr. Stat., Vol.16.,

W11., 2010.

Thurber, C. H., Local earthquake tomography

velocities and Vp/Vs theory, in Seismic

Tomography: Theory and Practice, pp. 563-

583, edited by H. M. Iyer and K. Hirahara,

CRC Press, Boca Raton, Fla, 1993.

Um, Junho and Clifford Thurber. A Fast Algorithm

for Two Point Seismic Ray Tracing. Bulletin

of the Seismological Society of America,

Vol.77, No.33, pp. 972-986, 1987.

51

Page 54: geofisika-2011-edisi1

JURNAL GEOFISIKA 2011/01

SYARAT DAN FORMAT PENULISAN JURNAL GEOFISIKA

Umum

Redaksi menerima artikel berupa hasil penelitian atau

hasil studi, baik dalam bentuk kajian teoritik maupun

eksperimental atau gabungan keduanya dalam bidang

Geofisika.

Naskah harus berisi informasi yang benar, jelas dan

memiliki kontribusi substantif terhadap bidang kajian.

Penulisan harus singkat dan jelas sesuai dengan format

penulisan Jurnal Geofisika. Informasi dalam naskah

belum pernah dimuat atau tidak sedang dalam proses

untuk dimuat di media lain, baik media cetak maupun

elektronik.

Pengiriman dan Penilaian Naskah

Naskah asli yang dikirimkan ke redaksi Jurnal

Geofisika harus sesuai dengan format penulisan

naskah yang ditentukan. Naskah tersebut sebaiknya

dikirimkan dalam bentuk softcopy. Penulis yang

memasukkan naskahnyake redaksi Jurnal Geofisika

sebaiknya melampirkan biografi ringkas, afiliasi, dan

alamat lengkap termasuk alamat e-mail (bila ada).

Makalah yang masuk akan diseleksi oleh Tim Editor

yang memiliki wewenang penuh untuk mengoreksi,

mengembalikan untuk diperbaiki, dan menolak tulisan

yang masuk meja redaksi bila dirasa perlu. Penilaian

akan dilakukan secara obyektif dan tertulis. Naskah

yang ditolak untuk dimuat dalam Jurnal Geofisika

akan dikembalikan kepada penulis.

Format Penulisan Naskah

Format penulisan Jurnal Geofisika dapat dilihat pada

halaman berikut. Panduan penulistersebut sesuai

dengan format baku Jurnal Geofisika, dan dapat

dijadikan sebagai contoh.

Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia atau

Bahasa Inggris. Bila menggunakan BahasaIndonesia,

menggunakan bahasa yang benar. Penggunaan bahasa

dan istilah asing sebaiknya disertai makna/arti istilah

tersebut.

JUDUL MAKALAH

1 1 2PenulisPertama , Penulis Kedua , Penulis Ketiga1)Afiliasi Penulis Pertama dan Kedua

2)Afiliasi Penulis Ketiga

Abstrak

Abstrak berisi latar belakang, tujuan, metodologi, hasil, dan kesimpulan secara ringkas. Sebaiknya jumlah kata

dalam abstrak tidak lebih dari 300 kata. Abstrak ditulis dengan huruf Times New Roman dengan font 11 yang dicetak

miring. Tata letak abstrak ini dapat dijadikan contoh format baku penulisan dalam Jurnal M,eteorologi dan

Geofisika.

Abstract

An abstract consists of background, objectives, methodology, results, and conclution in brief. The abstract should be

less than 300 words, in 11 point Italic Times New Roman font. The layout of this abstract can be used as a template.

Keywords: terdiri dari tiga sampai lima kata dalam Bahasa Inggris.

1. Struktur Naskah

Struktur naskah adalah judul, nama penulis (tanpa

gelar), afiliasi tempat bekerja, abstrak, kata kunci,

pendahuluan/latar belakang dan tujuan, isi naskah,

kesimpulan, ucapan terima kasih, dan daftar pustaka.

2. Format Makalah

Tata Letak

Naskah dicetak dengan format kertas ukuran A4.

Setiap halaman diberi nomor dan panjang naskah

antara 10 sampai 15 halaman.

52