buletin lpsk edisi1

24

Upload: jusupjacobussetyabud

Post on 20-Jun-2015

404 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: Buletin LPSK Edisi1
Page 2: Buletin LPSK Edisi1

editorial …………………………………...... 04

laporan utama ………………………… 05 - 08 LPSK dan Reparasi Pelanggaran HAM Berat

Perlunya Membangun Sinergi Kerjasama Antar - Lembaga

fokus ………………………................…………… 09 - 13 Pentingnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam Upaya Penegakan Hukum dan HAM dI Indonesia

Dari Inisiatif Masyarakat Menuju Legislasi:Perjalanan Lahirnya UU Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia

daftar isi

internasional …………... 14 - 15 Sekilas Program Perlindungan Saksi di Kanada

daerah …………………. 16 - 17

suara komisioner …….... 18 - 20

pernyataan pers …………… 21

resensi buku ……...….... 22 - 23

tentang LPSK ……………... 24

kolom

EDISI I MARET — APRIL 2009

Kondisi Indonesia yang baru akan memulai dan menggunakan mekanisme perlindungan saksi ini, tentunya membutuhkan masukan penting dari berbagai studi, riset, dan pengalaman berbagai negara yang telah lebih dulu melakukan program perlindungan saksi.

Dalam PP No 44 Tahun 2008 pun masih terdapat beberapa penafsiran yang membingungkan mengenai norma-norma internasional yang berkaitan dengan reparasi karena masih mencerminkan penyangkalan terhadap pertanggungjawaban negara terhadap kerugian yang dialami korban

Sebagai suatu lembaga baru, tentu saja LPSK harus mendapat dukungan dari semua pihak, baik lembaga pemerintah - khususnya lembaga penegak hukum - maupun dari “civil society," mengingat pentingnya peran lembaga ini untuk membantu para korban dan saksi dalam mewujudkan hak-hak mereka yang dimuat dalam UU No 13 Tahun 2006.

Selama ini, hukum pidana (termasuk hukum acara pidana) melupakan kepentingan saksi dan korban. Faktanya, pelaku tindak pidana selalu menjadi satu-satunya orientasi serta ditempatkan sebagai satu-satunya pihak yang berkepenting-an dalam proses peradilan pidana.

Adapun kelompok organisasi mayarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Perlindungan Saksi juga mempersiapkan sebuah RUU Perlindungan Saksi dan Korban versi Masyarakat.

Potret Umum Kondisi Saksi dan Korban di Daerah: Belajar dari Pengalaman Pelaporan Kasus Dugaan Korupsi di Jawa Timur

F u n g s i d a n T u g a s , L e m b a g a Perlindungan Saksi dan Korban dalam Pandangan Ketua LPSK

Kartini Masa Kini adalah Survivor Kekerasan dan Pendamping yang Berjuang demi Keadilan, Demokrasi, dan HAM

Blue Print untuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

2

Page 3: Buletin LPSK Edisi1

Redaksional: Penanggung Jawab: Abdul Haris Semendawai, S.H., LL.M.

Pemimpin Redaksi: Lies Sulistiani, S.H., M.H. Redaktur Pelaksana: Maharani Siti Shopia, S.H. Dewan Redaktur: Abdul Haris Semendawai, S.H., LL.M. I Ktut Sudiharsa, S.H., M.Si. Lies Sulistiani, S.H., M.H. Lili Pintauli, S.H. Dra. Myra Diarsi, M.A. R. M. Sindhu Krishno, Bc.IP, S.H., M.H. Dr. H. Teguh Soedarsono, SIK., S.H., M.Si. Drs. Aidi Rusli, M.M. Sekretaris Redaksi: Raimondus Arwalembun, S.S.

Reporter: Ni’matul Hidayati, S.S. Pascalis Risdiana, S.E. Rista Magdalena Situmorang, S.H. Sirkulasi/Distribusi: Syafrinal Ainul Gunawan A. Nugroho Desain dan Tata Letak: Pascalis Risdiana, S.E.

Penerbit: Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

Alamat Redaksi: Gedung Perintis Kemerdekaan (Gedung Pola) Lantai 1 Jl. Proklamasi No. 56 Jakarta Pusat 10320 Telp/Fax: 021 -31927881 Email: [email protected]

Website: www.lpsk.go.id

Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A. (Dirjen Perlindungan HAM DEPKUMHAM)

Kamala Chandrakirana

Trimedya Panjaitan, S.H., M.H. (Ketua Komisi III DPR RI)

Ifdhal Kasim, S.H. (Ketua Komnas HAM)

suara pembaca

[email protected]

Pada buletin edisi perdana ini, redaksi telah menerima ucapan selamat, dukungan, dan masukan dari sejumlah pihak yang selama ini memberikan perhatian besar terhadap perlindungan saksi dan korban di Indonesia serta dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan buletin Kesaksian ke depan.

Saya sangat mendukung penerbitan buletin ini, khususnya untuk menyebarluaskan keberadaan LPSK, dan juga wewenangnya, bukan hanya pada publik tetapi juga pada para penegak hukum. Tidak banyak yang sadar (aware) bahwa ada LPSK yang akan memberi banyak kontribusi pada pemulihan korban dan jalannya penegakan hukum. Proficiat......!

Komnas Perempuan mengucapkan “Selamat Bekerja” kepada segenap Anggota LPSK. Besar harapan kami agar kerja-kerja LPSK dapat membantu perempuan korban segala bentuk kejahatan untuk bisa menikmati pemenuhan hak-haknya atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. Kami yakin LPSK akan membuka sejarah baru dalam upaya penegakan keadilan di Indonesia jika terbangun mekanisme kerjasama yang efektif dan akuntabel dengan semua pihak yang selama ini bekerja dan berjuang demi keadilan, baik lembaga-lembaga dari lingkungan Negara maupun masyarakat sipil, termasuk komunitas korban dan pendampingnya. Sebagai pihak yang ikut menggagas konsep perlindungan bagi saksi dan korban yang menjadi spirit UU Perlindungan Saksi dan Korban, Komnas Perempuan siap berbagi pengalaman dan bekerjasama dengan LPSK guna mengembangkan sebuah sistem yang peka terhadap kerentanan-kerentanan khas perempuan.

Selamat atas penerbitan Buletin LPSK. Sebagai salah satu lembaga hukum baru yang yang perannya cukup strategis dalam mendorong penegakan hukum, sudah saatnya LPSK memiliki Buletin. Melalui Buletin ini diharapkan masyarakat dapat mengetahui tugas, kewenangan LPSK dalam memberi-kan perlindungan dan bantuan kepada Saksi dan Korban. Sebagai Ketua Komisi III DPR RI, kami akan tetap mendorong agar LPSK lebih eksis dalam kinerja seperti yang diharapkan masyarakat. Sekali lagi, selamat dan sukses. Merdeka......!

Selamat atas terbitnya Buletin LPSK. Melalui media ini akan terjadi komunikasi antara LPSK dan publik. Media ini juga sekaligus menjadi sarana mendapat hak atas informasi bagi masyarakat terhadap apa LPSK dan kiprahnya. Semoga....!

(Ketua Komnas Perempuan)

Redaksi menerima tulisan, saran, kritik, uneg-uneg serta komentar dari pembaca. Silakan dikirim via email di bawah ini:

EDISI I MARET — APRIL 2009 3

Media Informasi Perlindungan Saksi dan Korban

Page 4: Buletin LPSK Edisi1

EDISI I MARET — APRIL 2009

editorial

Menanti Wujud Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia

Keberadaan LPSK

Salam, Pemimpin Redaksi

Belakangan ini berita terkait perlindungan saksi banyak mencuat di media. Misalnya saja, kasus penembakan yang terjadi pada Nasarudin Zulkarnaen (NZ), yang diberitakan sebagai saksi kasus tindak pidana korupsi yang terjadi pada BUMN. Kasus-kasus intimidasi lainnya seperti kasus Arifin Widiyanto, kasus Endin Wahyudi, kasus Maria Leonita, kasus Romo Frans, Kasus Kalep Situmorang dan lain sebagainya juga telah membuktikan bahwa praktik perlindungan saksi dan korban menjadi hal yang penting untuk segera diterapkan serta dijamin undang-undang.

Minimnya perhatian terhadap saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana di Indonesia kini telah mencapai stadium akut. Hal ini sulit dipungkiri sebab ‘ruh’ yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hanya memberikan hak terhadap tersangka/terdakwa saja.

Beberapa literatur menyebutkan, hampir di seluruh dunia, status saksi bisa dikatakan telah dilupakan. Di Amerika Serikat sendiri, sebagai negara yang dikenal pertama kali melakukan program perlindungan saksi yaitu dimulai tahun 1970-an, sedangkan di Inggris baru dilakukan pada awal tahun 80-an, dan di negara lainnya seperti Jerman, Australia, Afrika Selatan, dan Kanada juga menggambarkan kecenderungan yang sama.

Sejak adanya ketetapan MPR No.VIII tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pem-berantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang menyatakan perlu adanya sebuah undang-undang yang mengatur tentang perlindung-an saksi, tepatnya pada tanggal 18 Juli 2006, sebuah Undang-undang yang mengatur perlindung-an saksi akhirnya dilahirkan yakni Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UUPSK). Dengan demikian, Indonesia meski agak terlambat kini telah mempunyai peraturan untuk melindungi saksi dan korban.

Kondisi Indonesia yang baru akan memulai dan menggunakan mekanisme perlindungan saksi ini, tentunya membutuhkan masukan penting dari berbagai studi, riset, dan pengalaman berbagai negara yang telah lebih dulu melakukan program perlindungan saksi.

Harapannya, pembelajaran terkait kelem-bagaan perlindungan saksi dan korban di berbagai negara bisa menjadi bahan pelengkap untuk me-nemukan cara yang lebih efektif dalam memberikan

Perlindungan terhadap saksi dan korban terutama untuk meminimalisasi kelemahan-kelemahan yang mungkin timbul dalam proses implementasi UU

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang diamanatkan oleh UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban memberi ‘angin segar’ terhadap perlindungan saksi dan korban, terutama dalam hal menuju proses dan sistem peradilan pidana yang jujur dan adil.

Sebagai lembaga publik yang bersifat mandiri, tentunya LPSK mempunyai kewenangan dalam upaya perlindungan saksi dan pemberian bantuan terhadap korban. Tentu saja, kehadiran LPSK tidak terlepas dari berbagai tantangan, kendala dan hambatan dalam melayani masyarakat. Oleh karena itu keberadaan LPSK dan fungsi yang melekat, perlu mendapat dukungan yang positif dari berbagai pihak.

Akhirnya, saksi termasuk saksi korban jelas merupakan salah satu pihak yang berkepen-tingan dalam sistem peradilan pidana. Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi asas equality before the law, seharusnya sangat menyadari bahwa para saksi pun mempunyai hak untuk mendapat p e r l i n d u n g a n s e b a g a i m a n a h a l n y a tersangka/terdakwa. Kontribusi mereka dalam proses peradilan, baik semata-mata sebagai warga masyarakat yang membantu aparat penegak hukum maupun sebagai korban yang dirugikan secara langsung oleh pelaku, selayaknya mendapatkan jaminan agar kesaksian mereka dapat diberikan dengan baik. Dengan kesaksian semacam itu, diharapkan peradilan dapat dilaksanakan dengan layak, jujur, dan adil, tidak hanya dapat mencapai keadilan yang bersifat prosedural, tetapi juga keadilan yang substantif.

EDISI I MARET — APRIL 20094

Page 5: Buletin LPSK Edisi1

EDISI I MARET — APRIL 2009

laporan utama

LPSK dan Reparasi Korban Pelanggaran HAM Berat

dok: LPSK

Jakarta - Dalam UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan: a) bantuan medis, dan b) bantuan rehabilitasi psiko-sosial (Pasal 6). Selain itu, (1) korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa: a) hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat; b) hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. (2) keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan. (3) ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 7).

Nyatanya, UU yang telah disahkan oleh Presiden pada tanggal 11 Agustus 2006 tersebut masih dirasakan belum lengkap sehingga masih dibutuhkan sebuah Peraturan Pemerintah yang dapat mengupasnya lebih dalam. Dalam hal ini, telah diundangkan melalui PP No 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. Sayang sekali, kedua peraturan tersebut masih juga menimbulkan tanda tanya besar dalam benak LPSK terutama tentang reparasi sehingga dibutuhkan sebuah ajang diskusi yang secara khusus dapat membahasnya lebih rinci.

Menyikapi persoalan itu, pada tanggal 11 Maret 2009 bertempat di Hotel Ibis Arcadia Jakarta, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bekerjasama dengan International Center for Transitional Justice (ICTJ) mengadakan Lokakarya

Sehari dengan tema “Adakah Kesempatan untuk Reparasi Korban Pelanggaran HAM Berat Melalui LPSK?” Tujuan Lokakarya Sehari ini adalah mencari alternatif terbaik dalam memberikan reparasi bagi korban pelanggaran HAM Berat dengan melihat peluang-peluang LPSK dan Peraturan-Peraturan yang mendukungnya serta berusaha mencari tero-bosan-terobosan baru bagi proses pemenuhan reparasi bagi korban pelanggaran HAM berat. Acara yang dibuka langsung oleh Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai, diikuti kurang lebih 28 peserta dari berbagai unsur seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, dan beberapa individu dari lembaga terkait lainnya. Dalam sambutannya, Dawai, begitu bapak ini biasa disapa, menyebutkan bahwa dasar pemikiran terselenggara-nya acara ini adalah karena Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban telah memberikan mandat, kewenangan, serta tugas kepada LPSK untuk memberikan bantuan medis dan rehabilitasi psiko-sosial kepada korban pelanggaran HAM Berat (Pasal 6 UU Perlindungan Saksi dan Korban) serta menjadi mediator bagi korban kejahatan atau pelanggaran HAM Berat dalam memperoleh restitusi ataupun kompensasi (Pasal 7 UU tentang Perlindungan Saksi dan Korban). "Peraturan-peraturan yang sudah ada tersebut patut kita sambut dengan gembira," lanjut Dawai. Karena, menurutnya, kehadiran dari peraturan tersebut dalam ranah hukum pidana serta criminal justice system secara langsung telah merubah paradigma semua pihak yang terkait dalam penegakan hukum pidana ketika memposisikan saksi dan korban.

“Sayangnya, peraturan perundang-undang-an ini belum sepenuhnya operasional. Masih di-perlukan sejumlah aturan atau juga pedoman pendukung. Salah satunya, Pedoman Penghitungan Kerugian atau Nilai Kerugian yang diderita oleh korban,” tambahnya lagi. Hal senada juga di-ungkapkan oleh Chalid Muhammad, moderator dalam acara ini, bahwa melalui Lokakarya di-harapkan LPSK nantinya dapat memperoleh input bagi penyusunan S O P (Standar Operasional Prosedur) bantuan, kompensasi, dan restitusi serta dapat berbagi pengetahuan/pengalaman untuk meningkatkan pemahaman tentang bagaimana memberikan reparasi dan kelayakan bagi korban pelanggaran HAM Berat. Dibawah panduan Chalid, lokakarya ini menghadirkan Galuh Wandita dan Patrick Burgess dari ICTJ sebagai narasumber.

5

Page 6: Buletin LPSK Edisi1

EDISI I MARET — APRIL 2009 6

(Ni’matul Hidayati)

dok: LPSK

laporan utama

Secara bergantian, kedua narasumber tersebut memaparkan hal-hal yang menyangkut reparasi secara mendalam. Sebelum memulai presentasinya, Galuh mengungkapkan kegembira-annya terkait dengan adanya apresiasi pemerintah atas pembentukan LPSK. “Saya percaya bahwa pembentukan LPSK adalah bentuk keseriusan negara dalam melindungi Korban dan Saksi,” imbuhnya.

Menurut Galuh, pengertian reparasi ber-kaitan dengan penegasan kewajiban negara yang telah gagal memberikan keamanan. Ini terjadi karena dalam konteks di Indonesia, reparasi masih dipahami sebagai ganti rugi. Dalam PP No 44 Tahun 2008 pun masih terdapat beberapa penafsiran yang membingungkan mengenai norma-norma inter-nasional yang berkaitan dengan reparasi karena masih mencerminkan penyangkalan terhadap per-tanggungjawaban negara terhadap kerugian yang dialami korban. Padahal, berdasarkan Prinsip-Prinsip Dasar dan Panduan untuk Hak atas Penyelesaian (Right to Remedy) dan Reparasi untuk Korban Pelanggaran Berat atas Hukum Hak Asasi Manusia Internasional dan Pelanggaran Berat atas Hukum Humaniter yang tertuang dalam Prinsip dan Panduan PBB, bentuk-bentuk reparasi meliputi restitusi, kompensasi, rehabilitasi, jaminan tidak berulang, dan hak atas kepuasan (rights to satisfaction). Oleh karena itu, Galuh berharap agar segera dilakukan amandemen terhadap peraturan tersebut.

Menyambung presentasi dari Galuh, dalam paparannya, Patrick lebih banyak mencontohkan praktik-praktik peradilan di negara-negara lain. Dari proses reparasi yang muncul dalam proses peradilan di negara-negara tersebut, ada beberapa hal yang perlu kita garis-bawahi, antara lain: a) pemerintah tidak memberikan hak kepada korban; b) di luar pengadilan selalu ada hak korban untuk memperoleh reparasi, jadi tidak harus dalam pengadilan; c) setiap kelas korbannya berbeda; d) pelanggaran dalam skala nasib, lebih tepat di-tangani secara reparasi administratif. Kenapa? “Karena untuk membawa yang mati itu hidup atau membuktikan seseorang itu salah itu sulit, korban jauh lebih luas. Kejahatan massal mungkin bisa diungkap tapi dampak dari kejahatan itu sangat luas.”

Pada sesi diskusi semakin jelas ditemukan-nya kompleksitas masalah reparasi di Indonesia, yakni ditemukannya kelemahan di berbagai undang-undang yang terkait ditambah pula kenyataan akan situasi korban pelanggaran HAM Berat yang semakin mendesak untuk direspon. Misalnya,banyaknya korban yang semakin tua dan renta yang dalam kehidupan sosialnya ataupun keluarganya

masih mengalami stigmatisasi dan diskriminasi. Hal lain yang dibahas dalam diskusi adalah bahwa hingga saat ini korban pelanggaran HAM Berat masih mengalami kendala dalam mendapatkan hak-hak reparasi selama menjalani berbagai proses pengadilan HAM. Pertama, pelaku harus dinyata- kan bersa lah melakukan kesa lahan terhadap kemanusiaan atau genosida. Kedua, Pelaku juga harus memiliki dukungan dari Presiden dan DPR untuk membentuk pengadilan ad hoc untuk kasus-kasus kejahatan yang terjadi sebelum tahun 2000. Ketiga, sementara itu, jaksa harus membuat permohonan reparasi bagi korban sebagai bagian dari tuntutannya, meski hingga saat ini belum ada presedennya.

Apabila pelaku dinyatakan bersalah, ia wajib membayar restitusi. Jika tidak dilakukan, maka korban harus melaporkannya pada Jaksa Agung yang nantinya akan meminta Departemen Keuangan untuk membayar kompensasi. Ketiga hal tersebut tentu saja terjadi karena adanya paradigma yang tidak sama di kalangan aparat penegak hukum serta lemahnya undang-undang yang ada, khususnya UU No 13 Tahun 2006 (Pasal 6 dan Pasal 7) dan PP No 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban.

Beberapa rekomendas i yang per lu dilakukan untuk meminimalisir hal tersebut adalah diperlukannya beberapa tindak lanjut, misalnya perlunya amandemen PP No. 44 Tahun 2008 termasuk rencana harmonisasi baik antar- peraturan ataupun antar-penegak hukum yang ada, mencari mekanisme baru bersama para stake- holders guna mengupayakan proses pemberian reparasi bagi korban pelanggaran HAM Berat tanpa harus bertabrakan dengan hukum, namun tetap sesuai dengan mandat LPSK. Di samping itu, menggagas SOP yang komprehensif guna men-dukung kerja pemberian hak-hak reparasi korban pelanggaran HAM Berat.

Page 7: Buletin LPSK Edisi1

EDISI I MARET — APRIL 2009

Perlunya Membangun Sinergi Kerjasama Antar -Lembaga

dok: LPSK

7

laporan utama

Jakarta - Sebagai lembaga yang baru terbentuk (8 Agustus 2008), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) harus segera menemukan sistem yang tepat bagi kerja-kerjanya dalam memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban. Untuk itu, pada tanggal 17-19 Maret di Jakarta, LPSK bekerjasama dengan Kedutaan Besar Kanada di Indonesia menyelenggarakan serangkaian kegiatan berupa Seminar yang mengangkat tema “Tantangan Pelaksanaan Perlindungan Saksi di Indonesia: Posisi dan Hubungan Kerja LPSK dalam Menjalankan Tugas dan Fungsi Perlindungan Saksi dan Korban;" Workshop dengan tema "Posisi dan Peran LPSK dalam Pelaksanaan Perlindungan Saksi dan Korban;" dan "Rencana Tindak Lanjutnya."

Adapun seminar dan workshop yang di-laksanakan LPSK ini bertujuan untuk menjaring pemikiran-pemikiran mengenai mekanisme atau tata cara perlindungan saksi dan korban dari berbagai perspektif baik dari kalangan penegak hukum maupun pemangku kepentingan lainnya, menggali masukan dari narasumber serta peserta yang hadir (baik dari dalam maupun luar negeri) untuk menginventarisasi berbagai problem yang saat ini dan yang akan dihadapi LPSK serta bagaimana formulasi pemecahannya, khususnya dalam kerangka posisi hubungan kerja LPSK dengan berbagai pihak.

Serangkaian kegiatan ini dimulai dengan seminar sehari (Hotel The Acacia Jakarta, 17 Maret 2009). Seminar ini diawali dengan sambutan oleh Weldon Epp dari Kedutaan Besar Kanada di Indonesia dan kemudian dibuka secara resmi oleh Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai. Dalam sambutannya, Dawai mengatakan bahwa kehadiran UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban untuk melengkapi kekurangan-kekurangan (khususnya tentang peran penting saksi dan korban) dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Menurutnya, saksi dan korban memilki peran sangat penting dalam peradilan karena itu LPSK hadir untuk memberikan jaminan per- lindungan hukum bagi saksi dan korban dengan cara mengajak semua lembaga terkait (khususnya Kejaksaan dan Kepolisian) untuk menemukan mekanisme yang tepat bagi program perlindungan saksi dan korban. Senada dengan Ketua LPSK, Ibu Harkristuti Harkrisnowo (Dirjen Perlindungan HAM, DEPKUMHAM), selaku keynote speaker, mengata- kan bahwa sebagai suatu lembaga baru, tentu saja LPSK harus mendapat dukungan dari semua pihak,

baik lembaga pemerintah - khususnya lembaga penegak hukum - maupun dari civil society, mengingat pentingnya peran lembaga ini untuk membantu para korban dan saksi dalam mewujudkan hak-hak mereka yang dimuat dalam UU No 13 Tahun 2006.

Seminar sehari yang mengangkat tema “Tantangan Pelaksanaan Perlindungan Saksi di Indonesia: Posisi dan Hubungan Kerja LPSK dalam Menjalankan Tugas dan Fungsi Perlindungan Saksi dan Korban” ini menghadirkan para pembicara yang kompeten di bidangnya masing-masing. Para pembicara itu adalah Panusun Samosir Pakpahan

(Bareskrim POLRI bidang Produk dan Analisis Hukum), Aminur Rasyid Rambe (Direktur RAN HAM, Kejaksaan Agung), Teguh Sudarsono (Komisioner LPSK bidang Kerjasama), dan dua orang pakar perlindungan saksi korban, yakni Steve Sullivan (Federal Ombudsman for Victims of Crime Canada) dan Beth Heinz (Senior Policy Analyst, Policy Centre for Victim Issues, Department of Justice Canada) yang didatangkan langsung dari Kanada oleh Kedutaan Besar Kanada di Indonesia.

Dari diskusi, baik sesi I dan sesi II, pihak Kejaksaan dan Kepolisian menyatakan siap bekerja-sama dengan LPSK. Ke depan, Kepolisian, Kejaksaan dan LPSK sepakat untuk menyamakan persepsi tentang jalur dan sistem kerjasama seperti apa yang akan dipakai untuk perlindungan saksi dan korban dengan membuat MoU bersama. Selain itu, LPSK juga mendapat masukan yang sangat berharga dari dua pakar perlindungan saksi korban dari Kanada Steve Sullivan dan Beth Heinz yang membagi pengalaman tentang cara dan mekanisme perlindungan terhadap saksi dan korban yang telah dilakukan di Kanada.

Page 8: Buletin LPSK Edisi1

dok: LPSK dok: LPSK

dok: LPSK

EDISI I MARET — APRIL 2009 8

laporan utama

LPSK sepakat untuk menyamakan persepsi tentang jalur dan sistem kerjasama seperti apa yang akan dipakai untuk perlindungan saksi dan korban dengan membuat MoU bersama. Selain itu, LPSK juga mendapat masukan yang sangat berharga dari dua pakar perlindungan saksi korban dari Kanada, Steve Sullivan dan Beth Heinz yang membagi pengalaman tentang cara dan mekanisme per-lindungan terhadap saksi dan korban yang telah dlakukan di Kanada.

Hasil rumusan pokok-pokok pikiran yang didapat dalam seminar sehari ini selanjutnya di-jadikan bahan dalam workshop perlindungan saksi dan korban (18-19 Maret 2009) yang diselenggara-kan di Hotel Cemara Jakarta. Ketika membuka workshop tersebut, Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai mengatakan bahwa workshop ini di-maksudkan untuk mem-follow up hasil-hasil yang telah didapat dalam seminar sehari sebelumnya. Menurutnya, yang mendesak untuk didiskusikan adalah peran apa yang bisa dimainkan oleh LPSK dalam menjalin kerjasama dengan lembaga- lembaga terkait lainnya. LPSK tidak dapat bekerja sendiri, ada bagian-bagian di mana LPSK tidak mempunyai otoritas untuk masuk atau meng-intervensi tugas dan wewenang dari lembaga penegak hukum lainnya. Misalnya soal Peradilan, LPSK tidak bisa sampai ke sana tanpa ada kerjasama dengan pihak Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Artinya, dengan meng-harmonisasikan perbedaan yang ada maka di-harapkan LPSK dapat menjadi lembaga yang komplemen yang dapat berguna bagi lembaga-lembaga penegak hukum lainnya (Kepolisian, Kejaksaan, dan lainnya).

Berbeda dengan seminar sehari, workshop ini hanya dihadiri oleh pihak-pihak tertentu (termasuk dua orang pakar/ahli perlindungan saksi dan korban dari Kanada) yang diharapkan

mampu merumuskan secara bersama-sama langkah-langkah konkret yang dapat ditempuh LPSK guna menunjang kerja-kerjanya dalam memberikan perlindungan bagi saksi dan korban di Indonesia.

Akhirnya serangkaian kegiatan ini ditutup dengan rencana tindak lanjut kerjasama antara LPSK dan Kedutaan Besar Kanada di Indonesia. Salah satu agenda jangka panjang yang dipersiapkan adalah rencana mengadakan “Symposium International” tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam simposium tersebut, akan diundang beberapa lembaga perlindungan saksi dan korban yang ada di berbagai negara untuk saling berbagi atau bertukar pengalaman tentang program kerja yang telah dilakukan.

(Raimondus Arwalembun)

Page 9: Buletin LPSK Edisi1

EDISI I MARET — APRIL 2009 9

fokus

Pentingnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam Upaya Penegakan Hukum dan HAM di Indonesia

Oleh Lies Sulistiani, S.H., M.H.(Komisioner Bidang Hukum Diseminasi, dan Humas)

dok: LPSK

Peran saksi dan korban sangat penting dalam pengungkapan suatu kejahatan. Dalam hal ini, keterangan yang diberikan oleh saksi dan korban merupakan alat bukti yang sangat diperlukan untuk membuktikan kesalahan terdakwa dan menemukan kebenaran materiel. Tidak dapat dipungkiri, selama ini penegak hukum seringkali menemukan kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi dan korban. Banyak saksi dan korban yang ketakutan karena mendapat ancaman serta intimidasi. Untuk itu, perlu adanya perlindungan bagi saksi dan korban agar mereka dapat memberikan keterangan dengan rasa aman. Saksi dan korban yang secara faktual tidak bersalah, bahkan perlu diperhatikan dan mem- peroleh hak-hak yang dibutuhkannya, seperti mem-peroleh bantuan medis, kompensasi, maupun restitusi.

Selama ini, penegakan hukum dan HAM di Indonesia terutama dalam sistem peradilan pidana seringkali mengabaikan keberadaan saksi dan korban. Sebut saja, dalam hukum acara pidana (KUHAP), saksi dan korban justru menjadi pihak yang terlupakan karena sistem yang dibangun oleh hukum lebih berorientasi pada pelaku (offender oriented) dan belum berorientasi pada korban (victim oriented).

Persoalan saksi dan korban dalam hukum pidana dan sistem peradilan pidana adalah persoalan yang sangat kompleks karena menyang- kut persoalan sosial dan kemanusiaan serta dampak yang luas. Secara asasi, setiap orang memiliki hak untuk memperoleh keadilan, sebagaimana di-sebutkan dalam Pasal 17 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu: “setiap orang tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan cara mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.”

Oleh karena itu, sejatinya parameter keadilan dalam sistem peradilan pidana pun tidak melihat pada seberapa berat pelaku dikenai pidana, tapi bagaimana saksi dan korban dapat berperan aktif dalam proses peradilan serta memperoleh pen-yelesaian kasusnya sesuai dengan apa yang menjadi haknya, artinya hak-hak saksi dan korban dihormati dan dipenuhi.

Konsep Penegakan Hukum dan HAM Saat ini

Selama ini, hukum pidana (termasuk hukum acara pidana) melupakan kepentingan saksi dan korban. Faktanya, pelaku tindak pidana selalu menjadi satu-satunya orientasi serta ditempatkan sebagai satu-satunya pihak yang berkepentingan dalam proses peradilan pidana. Pelaku dipahami sebagai pencari keadilan yang berhadapan dengan negara karena telah melakukan pelanggaran terhadap negara. Artinya, perbuatan pelaku itu semata-mata di-pandang sebagai perbuatan yang melanggar hak negara. Di sisi lain, saksi dan korban justru sama sekali tidak dipandang sebagai pihak yang juga memiliki kepentingan karena telah menderita kerugian akibat perbuatan pelaku dan telah berperan dalam mengungkap kejahatan yang di-lakukan pelaku.

Persoalan saksi dan korban dalam hukum pidana dan sistem peradilan pidana merupakan persoalan yang sangat kompleks, karena menyangkut persoalan sosial

dan kemanusiaan serta dampak yang luas

Page 10: Buletin LPSK Edisi1

dok: LPSK

dok: LPSK

EDISI I MARET — APRIL 2009

fokus

Konsep tersebut merupakan konsep hukum pidana menurut keadilan retributif, yang orientasi keadilannya lebih ditujukan kepada pelanggar sebagai orang yang melanggar hak negara. Dalam konsep ini, pidana dan pemidanaan dipahami sebagai bentuk pembalasan atas perbuatan melanggar hukum pidana. Sebagaimana dikemuka-kan Mudzakkir, bahwa konsep yang demikian itu mempengaruhi keseluruhan cara kerja peradilan pidana yang ditandai dengan: (1) tidak dilibatkannya korban dalam proses peradilan pidana dan semua reaksi terhadap pelanggar hukum pidana, menjadi monopoli negara dan kepentingan yang dilindungi adalah kepentingan umum/negara; (2) peradilan pidana diselenggarakan dalam rangka untuk mengadili tersangka karena pelanggaran hukum pidana, dan pidana dijatuhkan kepada pelanggar berupa derita sebagai balasan terhadap pelanggaran hukum pidana yang telah dilakukan berdasarkan atas pertanggungjawaban karena kesalahannya (kesalahan dari sudut moral); (3) berat ringannya pidana yang dijatuhkan kepada pelanggar merupa- kan parameter keadilan yang ditujukan kepada (pribadi) pelanggar; (4) kerugian yang diderita korban menjadi tanggung jawab korban sendiri, dan jika korban berkeinginan meminta ganti kerugian kepada pelanggar harus ditempuh melalui prosedur perdata karena masalah kerugian merupakan

1cakupan hukum perdata. Dengan demikian, konsep ini telah memberikan dasar-dasar perlindungan hukum yang cukup terhadap kepentingan

2pelanggar, sedangkan bagi korban sebagai orang yang secara langsung dirugikan akibat perbuatan pelaku, justru tidak diberikan hak atau akses yang cukup dalam menentukan keadilan bagi dirinya maupun bagi pelaku itu sendiri.

Konsep lainnya adalah konsep yang lebih berorientasi pada keadilan restoratif, yakni orientasi keadilan lebih ditujukan kepada korban, sebagai pihak yang secara langsung telah terlanggar haknya atas perbuatan si pelanggar. Artinya, dalam konsep

ini pelanggaran hukum pidana diartikan sebagai pelanggaran atas hak (perseorangan) korban. Dalam konsep ini pun dipahami, sejatinya yang menjadi korban kejahatan, selain orang yang secara langsung dirugikan atau menderita akibat perbuatan pelanggar, adalah juga masyarakat dan negara. Selain itu, konsep ini mengartikan pemidanaan bukan sarana untuk membalas dendam melainkan sebagai bentuk penyelesaian konflik dan merupakan bentuk pertanggungjawaban pelanggar atas per-buatan yang di lakukannya. Selain itu juga, konsep ini memberikan akses dan peluang bagi korban dalam menyelesaikan konflik yang terjadi antara korban dan pelaku.

Melihat kecenderungan perkembangan di atas, sepertinya Indonesia menunjukkan hal yang positif, yakni telah terjadi pergeseran perspektif, dari perspektif keadilan retributif menuju pada keadilan restoratif. Pergeseran ini tidak terlepas dari pengaruh gerakan korban secara internasional yang kemudian pada 1985 mendorong lahirnya deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, serta pada 1995 Basic Principles of and guidelines on the Right to Remedy and Reparation for Victim of Violations of International Human Rights and Humanitarian Law. Saat ini, gagasan untuk memperhatikan kepentingan saksi dan korban tersebut bahkan telah diakomodasi di dalam peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan saksi dan korban, yaitu UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya ditulis UU PSK), yang diundangkan pada tanggal 11 Agustus 2006. Kelahiran undang-undang ini, meski masih

3terdapat kelemahan, menjadi sebuah awal yang baik dalam mewujudkan negara Indonesia yang aman dan damai, berkeadilan serta penghargaan atas harkat dan martabat manusia.

10

Page 11: Buletin LPSK Edisi1

EDISI I MARET — APRIL 2009 11

dok: www.republika.co.id

LPSK dalam Sistem Peradilan Pidana

Sebagaimana amanat UU PSK, pemrintah harus segera membentuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya ditulis LPSK). Disebutkan pula bahwa LPSK merupakan lembaga yang mandiri. Sebagai lembaga yang mandiri, maka LPSK tidak berada di bawah kekuasaan lembaga manapun (lembaga eksekutif, legislatif, maupun judikatif). Artinya, lembaga atau pihak manapun tidak boleh melakukan campur tangan. Pilihan sebagai lembaga mandiri ini, agaknya dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menjadi LPSK sebagai lembaga yang tidak dikuasai oleh kepentingan-kepentingan sektoral manapun, tetapi sebagai lembaga yang sungguh-sungguh mampu mengabdi pada kepentingan pemenuhan hak-hak bagi saksi dan korban di Indonesia.

Dalam Ketentuan Umum Pasal 1 UU PSK, disebutkan bahwa LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau korban. Mencermati karakteristik tugas dan kewenangan yang diemban LPSK, maka LPSK merupakan lembaga yang berada dalam lingkup sistem peradilan pidana, khususnya dalam tahap penyidikan, penuntutan, dan persidangan. Sebagaimana disebutkan sebelum-nya, sistem peradilan pidana sejatinya menjadi sistem yang tidak saja berorientasi kepada pelaku tetapi juga berorientasi kepada pihak korban ataupun saksi. Dalam konteks ini, kelembagaan LPSK menjadi penting dan perlu dibangun sedemikian rupa agar dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya itu, dapat sinergis dengan fungsi maupun kewenangan lembaga penegak hukum lainnya dalam sistem peradilan pidana. Praktis, ketentuan mengenai kewenangan LPSK dapat diatur lebih luas, lebih rinci, dan jelas.

Sebagai lembaga publik yang bersifat mandiri, LPSK mempunyai kewenangan dalam upaya perlindungan dan bantuan kepada para saksi dan korban pada sistem peradilan pidana. Untuk itu, terlebih dahulu LPSK harus mempunyai visi yang berorientasi pada cita hukum yang luhur dan mewakili perasaan keadilan, terutama dalam mewujudkan asas kesamaan di hadapan hukum bagi para pengungkap dan pencari keadilan. Visi LPSK yang dipandang mewakili cita hukum dimaksud adalah: “LPSK sebagai Lembaga yang Mampu Memberikan Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Saksi dan Korban untuk Mendukung Bekerjanya Sistem Peradilan Pidana Terpadu,“ dan misi LPSK dalam mewujudkan visi tersebut adalah: (1) mewujudkan kelembagaan LPSK yang profesional dalam memberikan kepastian perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi saksi dan korban dalam

proses peradilan pidana; (2) mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi saksi dan korban dalam peradilan pidana; (3) mem-bangun dan mengembangkan jejaring dengan berbagai pemangku kepentingan dalam rangka pemenuhan hak saksi dan korban; dan (4) memperkuat landasan hukum dan kewenangan LPSK demi pemenuhan hak-hak saksi dan korban.

Catatan:

1. Lihat: Mudzakkir, Viktimologi (studi Kasus di Indonesia), Makalah, Penataran Nasional "Hukum Pidana dan Kriminologi ke XI Tahun 2005", Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Surabaya, 13 - 16 Maret 2005.

2. Lihat Bab VI KUHAP yang mengatur mengenai hak-hak tersangka dan terdakwa.

3. Kelemahan UU PSK, baik dalam hal konsep perlindungannya, tata cara perlindungan, hak saksi dan korban, maupun yang menyangkut pengaturan kelembagaan. (Lihat: Supriyadi Widodo Eddyono, Perlindungan Saksi belum Progresif & Lembaga Perlindungan Saksi di Indonesia, Sebuah Pemetaan Awal, ELSAM, Jakarta, 2006).

fokus

Page 12: Buletin LPSK Edisi1

Dari Inisiatif Masyarakat Menuju Legislasi: Perjalanan Lahirnya UU Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia

Oleh Supriyadi W. Eddyono, S.H. (Advokat Publik, Inisiator Koalisi Perlindungan Saksi Indonesia)

dok: portal.mahkamahkonstitusi.go.id

EDISI I MARET — APRIL 2009

fokus

Munculnya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia bisa dikatakan cukup unik. Berbeda dengan beberapa Negara lainnya, inisiatif untuk membentuk Undang-Undang perlindungan bagi saksi dan korban bukan datang dari aparat hukum, polisi, jaksa, ataupun Pengadilan yang selalu berinteraksi dengan saksi dan korban tindak pidana, melainkan justru datang dari kelompok masyarakat yang memiliki pandangan bahwa saksi dan korban sudah saatnya diberikan perlindungan dalam sistem peradilan pidana. Di samping itu, minimnya perhatian yang serius oleh aparat penegak hukum terhadap saksi-korban membuat RUU ini harus selalu didesakkan hampir setiap tahun sejak 2001 hingga 2005 agar masuk dalam rencana Prolegnas.

Memang dalam kurun waktu yang singkat- sejak reformasi sistem politik dan hukum paska 1998 - sejumlah peraturan perundang-undangan yang dilahirkan telah mengadopsi beberapa ketentuan mengenai perlindungan saksi dan korban. Diawali dengan Undang-Undang Pengadilan HAM tahun 2000, UU Tindak Pidana Korupsi, UU Tindak Pidana Terorisme, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, hingga berbagai peraturan organik dibawahnya. Sayangnya, pengaturan undang-undang tersebut masih parsial sehingga ketentuan-ketentuannya belumlah komprehensif, implementasi-nya pun jauh dari harapan, sehingga masih dibutuhkan sebuah UU payung yang mengatur perlindungan saksi dan korban secara khusus.

Paling tidak, ada beberapa peristiwa atau pra-kondisi khusus yang menjadi dasar dilahirkan- nya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Masing-masing peristiwa dan pra-kondisi tersebut saling berhubungan menuju arah lahirnya Undang-Undang Perlindungan Saksi di Indonesia.

Pada tahun 2000-an ide untuk reformasi sistem hukum pidana yang pro terhadap saksi dan korban mulai digalang oleh beberapa organisasi dan individu yang memiliki perhatian terhadap situasi dan kondisi yang dihadapi oleh para saksi-korban di Indonesia dengan membuat RUU versi masyarakat sipil. Sebuah hasil studi awal bersama antara ICW, hanya difokuskan pada saksi saja belum mencakup YLBHI, dan Program Pidana FH UI akhirnya YLBHI,

dan Program Pidana FH UI akhirnya mendorong mereka berinisitif untuk mengeluarkan naskah akademis RUU Perlindungan Saksi pada April tahun 2000. Meski titik tekan RUU versi ini korban dan perlindungannya hanya diberikan pada tindak pidana tertentu, namun bisa dikatakan inilah cikal bakal dan sumber inspirasi dari berbagai naskah rancangan undang-undang perlindungan saksi dan korban yang akan lahir kemudian.

Munculnya in is iat i f dar i kelompok masyarakat tersebut terjadi karena pada saat yang sama juga bermunculan kasus-kasus intimidasi terhadap saksi atau pelapor, namun respon aparat hukum negara untuk menyelesaikan kasus-kasus ini masih sangat minim. Memang, setelah reformasi upaya penegakan hukum pidana dalam kasus-kasus yang menjadi sorotan publik mulai mencuat tetapi tidak didukung oleh instrumen yang memadai dan kultur aparat hukum yang masih bias terhadap posisi saksi-korban. Sulitnya proses penyelidikan kasus kerusuhan dan perkosaan Mei di Jakarta, penculikan aktivis di Jakarta, kasus Bank Bali di Jakarta, kasus 27 Juli, kasus pembunuhan dan teror di Ciamis, kasus Tengku Bantaqiah di Aceh, dan kasus-kasus lainnya menjadi motif dasar munculnya inisiatif masyarakat untuk mendorong RUU perlindungan saksi pada masa-masa tersebut.

Munculnya inisiatif dari kelompok masyarakat tersebut terjadi karena pada saat yang sama juga bermunculan kasus-kasus intimidasi terhadap saksi atau pelapor,namun

respon aparat hukum negara untuk menyelesaikan kasus-kasus ini masih sangat minim

12

Page 13: Buletin LPSK Edisi1

dok: www.dpr.go.id

fokus

EDISI I MARET — APRIL 2009 13

Kemudian, dengan munculnya Ketetapan MPR No. VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang menyatakan bahwa perlu adanya sebuah undang-undang (UU) yang mengatur tentang perlindungan saksi, menimbulkan reaksi positif baik dari kalangan pemerintah, masyarakat sipil, maupun DPR. Selain itu, pihak pemerintah RI juga berinisiatif untuk mengeluarkan naskah RUU Perlindungan Saksi dan Korban versi pemerintah, di mana tim perumusannya di-koordinasi oleh Direktur Jenderal Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM. Lantas sejak 2001 Badan Legislasi DPR RI mempersiapkan satu naskah RUU versi Baleg DPR dan hal ini merupakan prestasi tersendiri karena dalam kurun waktu tersebut DPR RI termasuk paling jarang mengeluarkan sebuah RUU inisiatif mereka. Adapun kelompok organisasi mayarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Perlindungan Saksi juga mempersiap-kan sebuah RUU Perlindungan Saksi dan Korban versi Masyarakat.

Namun, DPR tampaknya merespon lebih cepat. Setelah menyelesaikan naskah RUU versinya sendiri, Baleg DPR kemudian mengajukan sebuah RUU Perlindungan Saksi dan Korban pada tanggal 27 Juni 2002 yang ditandatangani oleh 40 anggota DPR dari berbagai fraksi dan ditandai sebagai RUU usul inisiatif DPR. RUU Perlindungan Saksi versi Baleg DPR pun resmi sah sebagai usul inisiatif DPR RI. Terbitnya berbagai naskah RUU dari berbagai versi yakni versi Pemerintah, versi Baleg DPR, dan versi masyarakat sipil ternyata belum memberikan hasil yang menggembirakan. Untuk itu, RUU yang sudah ada harus didorong agar dimasukkan dalam agenda pembahasan pembentukan Undang-Undang. Maka, dimulailah upaya untuk mendorong agar RUU tersebut dimasukkan dalam Agenda Prolegnas. Hal ini membutuhkan waktu hampir empat tahun hingga akhirnya Prolegnas benar-benar memasuk-kan RUU Perlindungan Saksi ini dalam agendanya.

Dalam masa tunggu empat tahun itu pula kasus-kasus intimidasi terhadap saksi dan korban mendapatkan porsi yang cukup banyak dalam berbagai pemberitaan media massa. Hampir setiap kasus yang dipublikasikan menjadi tambahan argumentasi agar RUU Perlindungan Saksi menjadi prioritas utama dalam pembahasan di DPR. Di saat yang sama, digelarnya Pengadilan HAM Ad Hoc di Jakarta untuk menyidangkan kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dalam peristiwa pasca jejak pendapat Timor Timur pun menjadi laboratorium baru bagi para pemerhati masalah perlindungan saksi dan korban. Disusul pula, dilaksanakannya Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Tanjung Priok di Jakarta dan Pengadilan HAM permanen untuk

kasus Abepura di Makasar. Sayangnya, praktik pengadilan HAM yang banyak disorot tersebut ternyata mengecewakan masyarakat. Belum lagi, munculnya kasus-kasus intimidasi seperti kasus Arifin Widiyanto, kasus Endin Wahyudi, kasus Maria Leonita, kasus Romo Frans, kasus Kalep Situmorang, dan lain-lainnya juga telah membuktikan bahwa praktik perlindungan saksi dan korban menjadi hal yang tak terelakkan lagi untuk segera diperbaiki.

Akhirnya, Rapat Paripurna ke-13 DPR RI Periode 2004-2009 pada tanggal 1 Februari 2005 memutuskan terbentuknya Program Legislasi Nasional. Saat itu, sebanyak 284 Rancangan Undang-Undang (RUU) telah disetujui sebagai prioritas pembahasan untuk periode 2005-2009. Dari 284 RUU tersebut, 55 diantaranya kembali ditetapkan sebagai RUU prioritas yang akan dibahas oleh DPR dan Pemerintah, salah satunya adalah RUU Perlindungan Saksi.

Selanjutnya, pada tanggal 30 Agustus 2005 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan sebuah Surat Presiden (Supres) tentang kesiapan pemerintah untuk pembahasan RUU Perlindungan Saksi sekaligus menunjuk Menteri Hukum dan Perundang-undangan sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan tersebut. Turunnya Surpres tersebut telah menunjukkan itikad baik dari pemerintah agar RUU Perlindungan Saksi dan Korban dapat segera dibahas di DPR. Hal tersebut kemudian direspon oleh Komisi III DPR RI yang menetapkan pembahasan RUU ini dalam bentuk Panitia Kerja (Panja). Panja pembahasan RUU yang dibantu oleh wakil dari pemerintah ini telah melakukan pembahasan secara maraton sejak 8 Februari 2006, dan hasilnya dirumuskan oleh Tim Perumus (Timus) dan Penelitian Bahasa (Libas) yang diteruskan dalam Rapat Komisi III dan Pleno DPR. Akhirnya, pada tanggal 18 Juli 2006 RUU ini disahkan menjadi UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Page 14: Buletin LPSK Edisi1

internasional

Sekilas Program Perlindungan Saksi di Kanada

Oleh Syahrial Martanto Wiryawan, S.H.

dok: rcmpabbotsford.blogspot.com

Program perlindungan saksi di Kanada dalam perjalanannya juga mengalami hal-hal pahit karena kompleksitas program itu sendiri dan rumitnya

sistem administrasi program. Tercatat setidaknya tiga kasus besar yang yang menunjukkan kompleksitas program perlindungan saksi dalam

hubungannya dengan orang (saksi) yang masuk program perlindungan saksi

Program perlindungan saksi dan korban di Kanada memiliki sejarah yang lumayan panjang setidaknya dimulai pada awal tahun delapan puluhan, yang juga bisa disebut sebagai fase awal pembentukan program perlindungan saksi di Kanada. Perlu ditilik bahwa Amerika Serikat melalui program WITSEC melaju lebih awal satu dekade sebelumnya, sekitar awal 1970 ditandai dengan diundangkannya O r g a n i ze d C r i m e s C o nt r o l A c t . P ro g ra m perlindungan saksi di Amerika Serikat tersebut tentu memberikan pengaruh besar bagi pembentukan program perlindungan saksi di Kanada. Hal lainnya yang penting diungkap adalah latar belakang pembentukan program perlindungan saksi di berbagai negara (termasuk Indonesia), memiliki alas pikir dan argumentasi yang cenderung seragam, yakni bagaimana aparatur administrasi peradilan pidana menghadapi banyak kendala dalam mengungkap suatu tindak pidana disebabkan intimidasi dan tidak terjaminnya keamanan saksi dalam menjalankan perannya di dalam proses peradilan pidana.

Program perlindungan saksi di Kanada tidak bisa lepas dari peran Royal Canadian Mounted Police (RCMP), di mana RCMP memiliki otoritas di tingkat federal untuk menangani berbagai jenis kejahatan federal sebagaimana terdapat dalam KUHP Kanada. Selain itu, RCMP juga menyediakan beragam layanan di tingkatan nasional, seperti labaratorium forensik dan Canadian Police Information Center di mana di dalamnya semua informasi mengenai data kriminal dan informasi mengenai badan-badan penegakan hukum secara sistemik telah terkomputerisasi. RCMP dipimpin oleh seorang Komisioner yang bertanggung jawab kepada Menteri Keamanan Publik/Departement Public Safety. (Sebelum tahun 2005 RCMP bertanggung jawab kepada the Solicitor General of Canada).

Terdapat dua fase atau periode krusial dalam pengembangan program perlindungan saksi di Kanada, yakni periode pertama: tahun 1984-1994 dan periode kedua: tahun 1994-1996. Di tahun 1984, permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dunia saat itu adalah maraknya perdagangan

narkotika dan obat-obatan terlarang sebagai salah satu trend kejahatan internasional dan kejahatan yang terorganisasi. Merespon pada kondisi saat itu, RCMP mendirikan satu program perlindungan saksi yang diperuntukkan bagi siapa saja yang mau bekerjasama dengan penegak hukum guna memberantas kejahatan perdagangan narkotika, khususnya. Pada masa itu, RCMP telah memiliki infrastruktur yang memadai dengan staf-staf yang telah ber-pengalaman dan terdapat jalinan kontak di seantero Kanada. Untuk itulah program-program relokasi dan perubahan identitas, serta penyediaan berbagai macam dokumen autentik yang diperlukan untuk kelancaran program telah dapat dilayani secara baik oleh RCMP.

Sebagaimana diketahui bahwa Kanada merupakan negara federal, di mana pada perkem-bangan berikutnya, di tingkat provinsi (negara bagian) dan daerah satuan-satuan kepolisian di tingkatan tersebut juga membentuk berbagai program perlindungan saksi sesuai dengan kewenangannya (meskipun pada praktiknya RCMP juga berperan besar di propinsi-propinsi yang ada di Kanada dan terotori lainnya). Seperti halnya pada Propinsi Ontario dan Propinsi Quebec yang memiliki sendiri program perlindungan saksi sesuai dengan kewenangan hukum di propinsinya. Program-program di masing-masing propinsi dan daerah, dalam praktiknya tetap memiliki sendiri p r o g r a m

EDISI I MARET — APRIL 200914

Page 15: Buletin LPSK Edisi1

dok: www.mediaindonesia.com

EDISI I MARET — APRIL 2009 15

internasional

perlindungan saksi sesuai dengan kewenangan hukum di propinsinya. Program-program di masing-masing propinsi dan daerah, dalam praktiknya tetap memiliki hubungan dengan RCMP, khususnya dalam hal program relokasi dan membantu untuk menyediakan dokumen-dokumen yang diperlukan dalam hal perubahan identitas.

Program perlindungan saksi di Kanada dalam perjalanannya juga mengalami hal-hal pahit karena kompleksitas program itu sendiri dan rumitnya sistem admnisitrasi program. Tercatat setidaknya tiga kasus besar yang menunjukkan adanya kompleksitas program perlindungan saksi dalam hubungannya dengan orang (saksi) yang masuk program perlindungan saksi. Sebut saja kasus Leonard Mitchell, pada tahun 1983 1985, selama 19 bulan dia melakukan penyamaran dan membongkar kejahatan narkoba senilai 238 juta dollar. Segera setelah kejahatan terbongkar, dia dan keluarganya direlokasi dan dijanjikan identitas baru. Meskipun tidak ada perjanjian tertulis antara RCMP dengan Mitchell, Mitchell mengharapkan adanya kompensasi atas usahanya selama ini yang mana nyata-nyata dia telah kehilangan bisnis legalnya dan banyak pengorbanan lain yang dipertaruhkannya. RCMP sendiri pada saat itu terus saja menunda untuk membahas tuntutan dari Mitchell. Hingga Mitchell pun frustasi dan menyewa pengacara untuk memastikan tuntutan kompensasinya agar di-realisasikan, bahkan dia juga melakukan ekspos permasalahannya tersebut melalui media televisi. Langkah Mitchell itu mendapatkan anggapan dari Solicitor General of Canada yang menyatakan bahwa Mitchell seharusnya menerima kompensasi atas apa yang dilakukannya. Akibat tindakannya yang mempublikasikan diri, keluarga Mitchell sekali lagi direlokasi, dan pada awal 1987 dia telah mencapai kesepakatan dengan RCMP.

Kasus Mitchell ini merupakan refleksi yang cukup tinggi terkait dengan kompleksitas prosedur-prosedur administrasi perlindungan saksi lainnya. Kesepakatan-kesepakatan seperti halnya pada kasus Mitchell yang sedemikian besar/penting itu tidak bisa dilakukan pada level pelaksana teknis. Kasus lainnya adalah Douglas Jaworski yang menarik diri sebagai saksi di pengadilan karena RCMP menolak untuk memberikan perlindungan bagi kedua orang tuanya. Perselisihan tersebut berakhir ketika pengadilan memerintahkan RCMP untuk juga melakukan atau memberikan perlindungan kepada orang tua Jaworski. Kasus penting lainnya adalah kasus Marcella Glambeck yang mendorong perlunya akuntabilitas RCMP kepada publik terkait dengan kerja-kerja perlindungan yang dilakukannya.

Periode kedua, tahun 1994, setelah terjadi beberapa komplain dan berbagai pengalaman-

pengalaman yang telah terjadi dalam pelaksanaan program perlindungan saksi RCMP, anggota parlemen Tom Wappel mendesakkan perlunya aturan untuk memformalisasikan program perlindungan saksi RCMP serta bagaimana proses pelaksanaan serta dukungan teknisnya di-administrasikan oleh pemerintah federal. Usulan ini mendapatkan sambutan yang besar dari Dewan Perwakilan Rakyat sehingga dari desakan tersebut lahirlah Witness Protection Program Act yang mulai diberlakukan 20 Juni 1996. Undang-undang tersebut juga membuat adminstrasi RCMP lebih terbuka dan efektif. Dalam undang-undang terdapat kepastian bahwa posisi saksi yang ikut dalam program lebih terjamin. Hal-hal yang penting dalam undang-undang ini adalah diaturnya perjanjian perlindungan, syarat-syarat untuk dapat masuk dalam program perlindungan saksi, penghentian program, situasi khusus yang mengatur tidak diperlukan perjanjian perlindungan saksi (berlaku tidak lebih dari 3 bulan), dan kewajiban menyusun laporan tahunan ke parlemen dan Menteri Keamanan Publik. Bahkan dalam struktur Departement of Public Safety terdapat satu komisi untuk pengajuan komplain pada RCMP (Commission for Public Complaints Against the RCMP). Belajar dari Pengalaman panjang Kanada tersebut, untuk memapankan suatu program perlindungan saksi tentunya bisa menjadi pelajaran bagi LPSK, di mana proses untuk mengembangkan sebuah program perlindungan saksi yang baik dan akuntabel tak luput dari berbagai tantangan dan bahkan pengalaman yang pahit sekalipun.

Catatan:

Tulisan ini disarikan dari berbagai sumber:

The Protection of Witnesses- Gregory Lacko November 2004 dalam http://www.justice.gc.ca/ eng/ pi/icg-gci/pw-pt/index.html; lihat pula www.publicsafety.gc.ca, dan www.rcmp-grc.gc.ca).

Page 16: Buletin LPSK Edisi1

daerah

Potret Umum Kondisi Saksi dan Korban di Daerah:Belajar dari Pengalaman Pelaporan Kasus Dugaan Korupsi di Jawa Timur

Oleh M. Syaiful Aris, S.H. (Direktur LBH Surabaya)

dok: www.poldajatim.info

Apakah menjadi saksi itu mudah? Pengalaman beberapa kasus di Jawa Timur menunjukan saksi/pelapor dan keluarganya kerap kali mendapatkan perlakuan yang mengancam

dok: rcmpabbotsford.blogspot.com

Lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban nampaknya memberikan harapan baru bagi para saksi dan korban karena saksi dan/atau korban seharusnya mendapatkan perlindungan hukum dan per- lindungan yang lain sesuai dengan amanat pasal 5 UU No. 13/2006. Kenyataan sebelum lahirnya UU ini dan sebelum terbentuknya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), kondisi saksi dan korban cukup memprihatinkan. Menjadi saksi bukanlah pilihan yang mudah bagi masyarakat karena menjadi saksi akan berhadapan dengan resiko serangan balik, teror, intimidasi, dan ancaman yang lain. Proses hukum tanpa adanya saksi tentunya akan menjadi masalah karena menurut pasal 184 KUHAP menyebutkan salah satu jenis alat bukti adalah saksi. Ini menunjukkan betapa pentingnya posisi saksi dalam proses hukum pidana.

Apakah menjadi saksi itu mudah? Pengala-man beberapa kasus di Jawa Timur menunjukan saksi/pelapor dan keluarganya kerap kali mendapat-kan perlakuan yang mengancam. Beberapa jenis perlakuan terhadap saksi (korupsi) antara lain:

Dilaporkan Pencurian Dokumen dan Membuka Rahasia

Kasus dugaan korupsi ini dilaporkan Serikat Pekerja PT. A (BUMN di Surabaya) yang telah melaporkan adanya dugaan tindak pidana korupsi/suap yang dilakukan oleh Managemen PT. A sebesar Rp. 30 juta, tetapi pelapor malah menjadi tersangka dan harus mendekam di tahanan Polda Jawa Timur. Pada tanggal 6 April 2006, terbit surat penangkapan dari Polda Jawa Timur yang ditujukan kepada saudara ANR dan JE dengan tuduhan melakukan tindak pidana pencurian dan sengaja membuka rahasia yang menurut jabatannya atau pekerjaan- nya diwajibkan untuk menyimpannya sebagaimana diatur dalam pasal 362 KUHP dan atau 322 KUHP dan atau 323 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) KUHP.

Kasus ini menarik karena dugaan penyuapan yang disertai dengan dokumen pengeluaran dari kas perusahaan ditujukan pada aparat penegak hukum (polisi dan jaksa). Karena kasus yang dilaporkan

oleh manageman PT. A dianggap memalukan institusi aparat penegak hukum, kasus ini akhirnya diproses dan mengakibatkan mereka (pelapor) harus diproses hukum serta mendapatkan ganjaran hukuman penjara 3 bulan 15 hari lewat putusan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.

Dalam kasus ini, proses dugaan kasus korupsi awalnya berjalan lebih lambat daripada kasus laporan balik yang dilakukan oleh pelapor, yang seyogyanya Kepolisian Daerah Jawa Timur mendasarkan pada Surat Edaran Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia dengan nomor polisi: B/345/III/2005/ Bareskrim pada tanggal 7 Maret 2005 yang ditujukan kepada U.p. Dir. Reskrim tentang Permohonan Perlindungan Saksi/Pelapor dengan prioritas utamanya adalah penanganan kasus tindak pidana korupsi dengan kegiatan penyelidikan/ penyidikan, baik oleh Polri, Kejaksaan maupun KPK. Penanganan kasus pencemaran nama baik sebagai kasus yang timbul kemudian akan tetap ditangani, namun bukan sebagai prioritas utama dengan tujuan agar kasus tersebut tidak menjadi hambatan atau mengaburkan penanganan korupsi yang menjadi kasus pokoknya. Meskipun akhirnya dugaan korupsi diproses setelah melewati proses advokasi yang panjang melalui pelaporan di KPK, Kejaksaan Agung, Mabes Polri, DPR RI, dan kampanye melalui media cetak dan elektronik serta advokasi jaringan LSM, namun pelapor dan saksi kasus ini sudah terlanjur dihukum penjara karena dianggap membuka dokumen rahasia.

EDISI I MARET — APRIL 200916

Page 17: Buletin LPSK Edisi1

Perlakuan terhadap

saksi/Pelapor

Jenis hukuman/

Sanksi

Upaya

penanganan

Korban

Dilaporkan pencurian dokumen dan membuka rahasia perusahaan.

Diputus hukuman oleh PN Surabaya dengan kurungan 3 bulan 15 hari karena dinyatakan membuka rahasia perusahaan.

Advokasi hukum di pengadilan Lapor ke KPK, Kejaksaan Agung, Mabes Polri dan DPR RI Kampanye media cetak dan elektronik

2 orang, karyawan BUMN

Perusahaan melakukan PHK.

Saksi di PHK dan dilaporkan kepolisian.

Advokasi hukum di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Kampanye media cetak dan elektronik

15 Orang, karyawan BUMN

Dikucilkan di kantornya dan diturunkan jabatan.

Diturunkan jabatanya dan dimutasi.

Advokasi hukum di PTUN Kampanye media cetak dan elektronik

1 Orang PNS

Dimutasi ke daerah yang terpencil dan dinyatakan melanggar disiplin.

Dimutasi. Advokasi hukum di PTUN Kampanye media cetak dan elektronik

1 Orang PNS

Dilaporkan balik dengan perbuatan tidak menyenang-kan, 335 KUHP

Di sidang di Pengadilan, meski akhirya tidak terbukti.

Advokasi hukum di Pengadilan.

1 Orang, tokoh masyarakat

Tabel Perlakuan Terhadap Saksi/Pelapor di Jawa Timur

EDISI I MARET — APRIL 2009 17

daerah

Karena kasus ini, saksi/pelapor harus menanggung akibatnya, yakni di PHK. Kurang lebih 15 orang yang telah menjadi saksi dalam kasus dugaan korupsi managemen PT. A BMN di Surabaya ini dipecat. Para aktivis Serikat Pekerja yang di-PHK melakukan upaya hukum melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang menuntut bahwa PHK yang dilakukan oleh perusahaan tidak sesuai prosedur, dan mereka menuntut karyawan yang telah di-PHK untuk dapat dipekerjakan kembali.

Saksi/Pelapor Diberhentikan dari Jabatan

Kasus di Jombang Jawa Timur, seorang yang berinisial MNH (PNS) melaporkan dugaan korupsi dan dugaan adanya pemalsuan di instansi tempat ia bekerja. Tindak pidana ini dilaporkan di kepolisian dan kejaksaan setempat. Dengan desakan yang terus dilakukan akhirnya beberapa pengaduannya diproses secara bertahap. Meski demikian, kasus ini tidak membuat saksi pelapor merasa aman, justru saksi/ pelapor diturunkan jabatannya dan yang ber-sangkutan harus berjuang melalui proses hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Saks i/Pelapor Dimutasikan di Daerah Terpencil dan Jauh

Kasus ini terjadi di Jawa Timur, seorang berinisial NK (PNS) melaporkan dugaan korupsi yang terjadi di instansi tempat ia bekerja kepada Kepolisian dan Kejaksaan. Salah satu modus yang dilaporkannya adalah adanya dugaan perjalanan dinas fiktif yang marak terjadi di instansi pemerintah. Laporan yang dilakukan oleh yang bersangkutan tampaknya harus berjalan di tempat karena aparat penegak hukum mengatakan bahwa laporan yang diajukan tidak cukup bukti untuk dibawa ke pengadilan. Atas laporan tersebut yang bersangkutan harus dimutasi-kan ke lokasi terpencil, jauhnya puluhan kilo meter dari tempat tinggal saksi pelapor. Karena mutasi itu, yang bersangkutan harus berjuang melalui proses hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Saksi/Pelapor Dilaporkan Balik dengan Perbuatan Tidak Menyenangkan

Kasus ini terjadi di Gresik Jawa Timur, seorang pemuda desa berinisial JK dan teman-temannya melaporkan ke Kejaksaan terkait dugaan kasus korupsi. Dana pembangunan desa diminta dari masyarakat, padahal kenyataannya dana pem-bangunan desa telah turun dari pemerintah. Atas tindakan double anggaran yang dilakukan, beberapa warga berencana membuat surat pernyata-an bahwa telah terjadi dugaan korupsi. Kemudian

kepala desa melaporkan seorang warga dengan tuduhan telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan sebagaimana diatur dalam pasal 335 KUHP. Laporan ini membuat saksi harus menjadi Terdakwa di PN Gresik.

Dengan hadirnya LPSK, diharapkan potret kondisi umum saksi/korban seperti yang terjadi di Jawa Timur dapat menjadi bahan refleksi bagi LPSK dalam mencari dan menemukan mekanisme yang tepat untuk memberikan perlindungan bagi saksi dan korban. Akhirnya potret kondisi saksi/korban yang dipaparkan di atas dapat dilihat lebih jelas lewat tabel di bawah ini. Semoga.....

Page 18: Buletin LPSK Edisi1

suara komisioner

Fungsi dan Tugas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korbandalam Pandangan Ketua LPSK

Peran saksi harus dilihat sebagai peran yang mulia karena ada kontribusi terhadap penegakan hukum. Bagi korban, inilah momentum agar pelaku tidak hanya

mendapat hukuman secara fisik, tetapi juga harus mengganti kerugian yang ditimbulkannya kepada korban

Bagaimana Anda melihat kondisi saksi dan korban yang ada di Indonesia selama ini (sebelum LPSK terbentuk)?

Banyak saksi yang mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan, seperti menunggu pemeriksaan dengan waktu yang tidak pasti, saksi harus meninggalkan pekerjaannya untuk memberi keterangan pada proses pemeriksaan tanpa memperoleh kompensas i dan juga harus mengeluarkan biaya sendiri untuk menghadiri proses pemeriksaan itu. Seringkali pula ketika seorang saksi memberi keterangan, mereka mendapat perlakukan yang kasar, menerima ancaman, dan teror juga beralih statusnya menjadi tersangka atau terdakwa. Tidak jarang pula, saksi kunci atau korban mengalami ancaman, kekerasan, atau teror hingga meninggal dunia. Selain mengalami gangguan secara fisik, saksi ada kalanya dipecat dari pekerjaannya atau dikucilkan dari komunitasnya. Hal ini sangat menghambat proses pengusutan perkara pidana. Jika dibiarkan maka akan timbul suatu budaya di mana masyarakat (kalau tidak terpaksa) enggan menjadi saksi karena takut akan mengalami kesulitan-kesulitan seperti yang saya sebutkan sebelumnya. Hal ini akan berakibat buruk pada proses peradilan di Indonesia. Untuk korban sendiri, karena adanya kesulitan mencari saksi ataupun disebabkan oleh faktor-faktor lain, proses peradilan tidak jalan. Hal ini tentu mengakibatkan korban tidak mendapatkan pemenuhan haknya atas peradilan juga hak-hak lainnya seperti hak untuk hak atas reparasi, kompensasi, restitusi, hak atas kepuasaan dan jaminan agar tidak mengalami peristiwa pidana seperti yang sebelumnya dialami.

Seberapa pentingkah Anda melihat kehadiran LPSK di Indonesia?

Kesulitan-kesulitan yang dialami oleh Saksi dan Korban di atas, dicoba dijawab dengan beberapa cara diantaranya dengan memastikan proses hukum berjalan dengan baik, misalnya perbaikan terhadap Hukum Acara Pidana, menyediakan mekanisme bagi korban untuk menuntut haknya. Di sisi lain, diberikan kepastian kepada orang- orang yang menjadi saksi untuk mendapatkan hak- haknya. Untuk itulah UU No. 13 Tahun 2006 hadir, agar kedudukan saksi diakui secara hukum dan ada suatu mekanisme atau metode yang menjamin keamanan saksi yang memberikan keterangan yang terkait dengan suatu kasus pidana. Perlindungan ini misalnya dengan memberikan kesempatan kepada saksi yang merasa terancam keselamatan jiwanya untuk bersaksi melalui media teleconfrence. Perlu ditegaskan bahwa perlindungan terhadap saksi dan korban ini menjadi tanggung jawab semua pihak (Masyarakat, penegak hukum seperti polisi, jaksa dan hakim). Ini pula yang menjadi salah satu peran penting LPSK untuk memberikan edukasi publik tentang arti penting saksi, bahkan LPSK memberi training kepada aparat penegak hukum tentang cara terbaik untuk memperlakukan saksi. Tentu saja, dalam kondisi tertentu LPSK akan pula memberi perlindungan terhadap saksi dan korban.

Korban dan Saksi yang bagaimana yang dilindungi oleh LPSK?

Korban dan saksi sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 antara lain korban dan saksi dalam kasus-kasus tertentu misalnya korupsi, terorisme dan narkoba- psikotropika atau saksi-saksi dalam kasus lain yang mengalami ancaman besar dan membahayakan jiwanya. Untuk mendapatkan perlindungan dari LPSK, saksi dan korban seperti ini akan diberikan assessment terlebih dahulu untuk mengetahui apakah mereka memenuhi kr iteria untuk memperoleh perlindungan dari LPSK.

Itulah sepenggal ucapan yang disampaikan Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai

Ketika diwawancarai reporter Kesaksian Rista Magdalena Situmorang. Berikut kutipan lengkap hasil wawancara kami dengan Ketua LPSK tentang fungsi dan tugas LPSK dalam menjalankan program perlindungan terhadap saksi dan korban.

EDISI I MARET — APRIL 200918

Page 19: Buletin LPSK Edisi1

Bagaimana mekanisme pemberian perlindungan yang diterapkan oleh LPSK?

LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) menerima permohonan dari saksi/kuasa hukumnya ataupun dari pihak berwajib yang menangani kasus pidana tersebut, lalu LPSK akan memberikan assessment apakah yang bersangkutan layak diberikan perlindungan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006, lalu akan ditentukan jenis perlindungan seperti apa yang akan diberikan. Selanjutnya akan ditentukan pihak mana yang akan memberi-kan perlindungan kepada yang ber-sangkutan.

Model perlindungan seperti apa yang diterapkan LPSK kepada saksi dan korban?

Model perlindungan yang diberikan oleh LPSK hampir sama dengan model perlindungan yang diterap kan di negara lain. Misalnya, dengan mem-berikan perlindungan dalam bentuk penjagaan secara fisik terhadap saksi, dapat juga berupa penjagaan ter-hadap keluarga dan harta bendanya. Ataupun mem-berikan nomor induk kepen-dudukan yang baru. Akan tetapi hal inipun akan diputuskan melalui proses assessment terlebih dahulu.

Bagaimana peran dan posisi LPSK dengan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya seperti kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman?

Yang membedakan LPSK dari lembaga-lembaga penegak hukum lainnya adalah peran khusus LPSK dalam memberikan pemenuhan hak-hak korban yang tidak dimiliki oleh lembaga lain. Misalnya, Hak korban atas kompensasi, restitusi dan reparasi. Melalui LPSK, korban juga dapat meminta agar diberi penyembuhan secara medis dan psikososial. Posisi LPSK adalah sebagai lembaga mandiri yang tidak berada di bawah lembaga lain. LPSK bertanggung jawab kepada Presiden dan memberi laporan berkala kepada DPR. Karena kemandirian ini, LPSK memiliki posisi yang strategis untuk menjalankan tugas dan fungsinya. Namun, LPSK tidak dapat bekerja sendiri. LPSK harus didukung oleh lembaga lain dalam menjalankan fungsi perlindungan korban. Karena itulah dalam UU No. 13 Tahun 2006

ditegaskan bahwa keputusan LPSK harus dijalankan oleh lembaga lain.

Mengingat LPSK sebagai lembaga baru, bagaimana kinerja LPSK semenjak dibentuk hingga kini?

Sebagai lembaga baru, sulit untuk bekerja secara cepat, hal ini terkait dengan keharusan LPSK (terkait TUPOKSI, SDM, struktur lembaga, dan lain-lain) harus mengikuti aturan-aturan yang berlaku untuk suatu lembaga negara. LPSK tidak dapat langsung bekerja sebagaimana yang diharapkan masyarakat,

Data Diri:

Nama

: Abdul Haris Semendawai, S.H., LL.M.

Tempat, Tanggal Lahir

: Ulak Baru Oku Sumsel, 28 September 1964

Email

: [email protected]

Keluarga

Istri

: Aida Milasari, S.Si (lahir 1970)

Anak

: Mahsya Maharani (27 Februari 1998)

Zeeshan Adiyat (2 April 2000)

Kemal Firdaus (1 Agustus 2001)

Ridhori Sholeh (5 Mei 2005)

Sisie Rahmasari (3 April 2007)

Pendidikan

− Master Hukum, Northwestern University School of Law (2004)

− Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta (1991)

− SMA Negeri II, Yogyakarta (1984)

− SMP Xaverius Belitang, Ogan Komering Ulu (OKU), Sumsel (1981)

− SD Negeri Uluk Baru, OKU, Sumsel (1977)

Pekerjaan

− Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Agustus 2008 –Sekarang

− Deputi Direktur Program ELSAM, Jakarta 2007

− Koordinator Divisi Pelayanan Hukum ELSAM, Jakarta, 1999 – 2006

− Koordinator Observatory Body of Sawit Watch, Bogor, 2004 – 2008

− Koordinator Divisi Capacity Building TAPAL, Jakarta 2000 – 2003

− Pengacara ELSAM, Jakarta, 1998 – 1999

− Pengacara Kantor Titi R. Danumiharjo Law Firm, Yogyakarta, 1994 – 1998

− Koordinator Lembaga Kajian Hak - Hak Masyarakat (Lekhat), Yogyakarta, 1991 – 1993

Training dan Workshop Internasional

− Seminar Hukum Internasional “Indonesian Supreme Court,” Hawaii (10 – 14 Januari 2005)

− Kunjungan Studi “The International Criminal Court and the International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia,” De Hague, Netherland (November 2005)

− South East Asia Seminar “Human Rights and Security,” Non -Violence International, Bangkok – Thailand (Juni 2001)

− Pelatihan Program “International Human Rights,” Canadian Human Rights Foundation, Montreal Canada (Juni – Juli 2000)

− Workshop HAM Asia Pasifik, Ichon, Korea (Desember 2000)

Khususnya mereka yang menggagas keberadaan LPSK. LPSK saat ini, pada tahun pertama dan kedua menetapkan prioritas lebih untuk penyelesaian pembangunan organisasi (capacity), rekrutmen SDM, financial assisstant, dan pembentukan peraturan-peraturan lain yang diperlukan dan sosialisasi ke masyarakat. Hal ini diharapkan dapat membuat kinerja LPSK berjalan dengan baik dan optimal di tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya. Pada tahun pertama ini, LPSK juga sudah menangani kasus-kasus,

EDISI I MARET — APRIL 2009 19

suara komisioner

Page 20: Buletin LPSK Edisi1

tetapi LPSK minta pengertian dari pihak-pihak terkait bahwa penanganan yang dilakukan belum secara maksimal.

Bagaimana pendapat Anda tentang reaksi masyarakat terhadap kekurangan yang terdapat dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan PP Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada korban?

LPSK tidak ada kesulitan, sejauh ini kekurangan-kekurangan yang ada dalam Undang-undang dan PP tersebut dapat diatasi melalui kerjasama dengan berbagai lembaga penegak hukum, tentunya dalam kerangka hukum. Untuk kekurangan yang tidak bisa diatasi, dapat usahakan adanya amandemen undang-undang, tetapi baru dapat dilakukan pada tahun 2010. Karena kelemahan-kelemahan tersebut harus dilihat dulu melalui penerapan UU dan PP-nya terlebih dulu, agar dapat dilihat bahwa kelemahannya bukan dalam kontekstual saja, tetapi juga dalam penerapannya.

Sebagai lembaga baru, bagaimana upaya LPSK untuk mengajak dan meyakinkan masyarakat bahwa LPSK mampu berkarya melindungi hak-hak Saksi dan Korban?

Jaminan bahwa proses peradilan berjalan dengan baik, fair, dan mampu menciptakan keadilan bukan

hanya tugas LPSK, tetapi juga oleh semua pihak. Untuk itu perlu kerja sama dari berbagai pihak. Untuk itu, saat ini sosialisasi tentang keberadaan LPSK menjadi prioritas.

Selaku ketua LPSK apa pesan Anda untuk masyarakat pada umumnya serta secara khusus bagi para Saksi dan Korban?

Bagi Masyarakat dan saksi: peran saksi harus dilihat s e b a g a i p e r a n y a n g m u l i a k a r e n a a d a kontribusi terhadap penegakan hukum. Apabila proses penegakan hukum berjalan dengan baik, maka akan mendorong terciptanya suatu masyarakat yang tertib yang akan mempermudah pemerintah dalam memberikan kemakmuran. Di sisi lain, perlu diingatkan kepada penegak hukum agar tugas-tugas mereka dijalankan dengan baik dan tidak dinodai oleh tindakan-tindakan yang membuat menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada hukum. Hal ini perlu dijaga agar tidak ada tindakan main hakim sendiri. Bagi korban, inilah momentum agar pelaku tidak hanya mendapat hukuman secara fisik, tetapi juga harus mengganti kerugian yang ditimbulkannya kepada korban. Dengan hal ini diharapkan ada efek jera bagi pelaku kejahatan.

Berita: Penyusunan SOP Bantuan LPSK

LPSK sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk menangani pemberian bantuan pada korban, perlu menyusun Standart Operasional Prosedur (SOP) yang dapat dijadikan acuan ketika memberi bantuan pada korban. Untuk menjawab kebutuhan tersebut, LPSK menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) tentang penyusunan SOP Bantuan.

FGD yang berlangsung sejak tanggal 26-29 Maret 2009 di Anyer ini mengundang berbagai kalangan terkait, di antaranya Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Departemen Sosial, Departemen Kesehatan serta dari kalangan profesi diantaranya Dokter Ahli Forensik, Psikiater, Psikolog serta dari LSM.

Dalam penyusunan SOP Bantuan tersebut, LPSK terutama bidang bantuan hanya memfokuskan pada materi pemberian bantuan medis dan psiko-sosial. Dalam acara ini, dibagi beberapa kelompok sesuai dengan fungsi dan profesi para peserta. Hasilnya, ditemukan sejumlah metode teknis yang terkait pemberian bantuan medis dan psiko-sosial, yang dapat dimasukkan dalam SOP Bantuan LPSK.

Meski telah berhasil menemukan bentuk SOP Bantuan yang telah direvisi dari hasil FGD ini, namun LPSK merasa perlu untuk melakukan konsultasi publik di beberapa daerah yang rawan menimbulkan korban. Konsultasi publik ini, diharapkan menjadi bagian dari proses penyempurnaan SOP Bantuan LPSK. Semoga!

EDISI I MARET — APRIL 200920

suara komisioner

Page 21: Buletin LPSK Edisi1

pernyataan pers

KARTINI MASA KINI ADALAH SURVIVOR KEKERASAN DAN PENDAMPING YANG BERJUANG DEMI KEADILAN, DEMOKRASI, DAN HAM

dok: LPSK

EDISI I MARET — APRIL 2009 21

Hari ini kita memperingati kelahiran Kartini, seorang perempuan luar biasa yang mengungkap ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan terhadap kaum-nya pada awal abad ke-20, serta memimpikan sebuah bangsa yang berdaulat, adil, dan sejahtera. Khusus untuk peringatan Hari Kartini ini, Komnas Perempuan memberikan apresiasi khusus terhadap para perempuan survivor (penyintas) kekerasan dan pelanggaran HAM yang berjuang tanpa henti demi keadilan, demokrasi, dan HAM. Mereka adalah ibu-ibu dari korban penghilangan paksa, perempuan korban dalam berbagai kasus pelanggaran berat HAM masa lalu yang hingga kini belum ada pertanggungjawabannya dari para pelaku dan Negara, serta perempuan pembela hak-hak warga yang selama ini terpinggirkan dan terlupakan. Mereka bangkit dan berjuang dalam kebersamaan dengan pendamping-pendampingnya yang kebanya-kan adalah perempuan muda yang tergerak untuk menyikapi ketidakadilan yang terjadi di sekitarnya. Semua adalah bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan perempuan di mana-mana untuk membebaskan diri dan kaumnya dari segala bentuk ketertindasan dan kesewenang-wenangan, baik akibat tindakan pelanggaran HAM oleh rejim pemerintahan yang berkuasa maupun akibat tatanan biudaya patriarki yang berakar di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Pada hari ini kita mem-berikan apresiasi kepada mereka semua sebagai Kartini-Kartini Masa Kini.

Para ibu dan perempuan yang terus-menerus berjuang untuk mendobrak tirani kekuasaan demi keadilan, demokrasi, dan HAM telah berhasil merebut ruang publik, menciptakan imaji sosok perempuan pejuang yang mutakhir, dan memberi makna baru pada arti ‘ibu’ dan ‘perempuan’ seraya membongkar stereotipe-stereotipe yang justru mengikis kedaulatan diri. Rujukan perjuangan perempuan masa kini terus menembus batas bumi Nusantara hingga ke berbagai belahan Asia, Afrika, dan Amerika Latin sebagaimana tercermin dari keberadaan ibu-ibu Plaza de Mayo Argentina bersama hari ini. Inilah wajah politik perempuan yang lahir bukan dari ambisi sempit untuk berkuasa dan yang maknanya jauh lebih luas dan kompleks dari sekedar soal pencalonan diri ke dalam parlemen ataupun penempatan jabatan-jabatan tinggi dalam pemerintahan.

Perjuangan perempuan Indonesia untuk keadilan, demokrasi dan HAM berlangsung terus secara dinamis dan berkesinambungan sejak masa hidup Kartini hingga sekarang, dengan penekanan-penekanan yang beragam sesuai dengan tantangan khas yang dihadapi pada jamannya masing-masing. Dalam menjalankan perjuangannya, para perempuan pejuang rentan terhadap berbagai bentuk diskriminasi, stigmatisasi, dan kekerasan dalam kehidupan publik dan privatnya, baik karena isu yang diperjuangkannya maupun karena identitas keperempuannya. Dukungan masyarakat atas perjuangan mereka sangat penting dan diharapkan. Peringatan Hari Kartini, yang dicanangkan setiap tanggal 21 April, adalah kesempatan emas bagi masyarakat luas dan gerakan perempuan se-Indonesia untuk menegaskan peng-hargaan atas kegigihan perjuangan perempuan, untuk saling mengenali berbagai ragam jenis perjuangan yang sedang dilakukan kaum perempuan, serta untuk merayakan kebersamaan perempuan dan masyarakat dalam mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Pada kesempatan ini, Komnas Perempuan menghimbau kepada masyarakat dan jajaran Pemerintah di seluruh Indonesia agar mulai tahun ini, Hari Kartini diperingati dengan kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk mendalami perjuangan perempuan dan untuk memberi penghargaan terhadap kaum perempuan di komunitasnya masing-masing.

Jakarta, 21 April 2009Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap

Perempuan (Komnas Perempuan)

(Pascalis Risdiana dan Ni'matul Hidayati)

Page 22: Buletin LPSK Edisi1

resensi buku

Blue Print untuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

Oleh Raimondus Arwalembun, S.S.

Judul Buku: Pokok-Pokok Pikiran Penyusunan Cetak Biru Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (Usul Inisiatif Masyarakat)

Penulis: Supriyadi Widodo Eddyono, Syahrial Martanto Wiryawan, Wahyu Wagiman, Emerson Yuntho.

Editor: Illian Deta Arta Sari dan Febri Diansyah Penerbit: ICW, ICJR, dan Koalisi Perlindungan Saksi Tahun: 2008 Data Fisik: xv, 136 hlm

EDISI I MARET — APRIL 200922

Salah satu amanat dari UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang harus segera disikapi terdapat dalam Pasal 45 yang berbunyi “LPSK harus dibentuk dalam waktu paling lambat 1 (satu) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.” Menyadari arti penting kehadiran lembaga ini (LPSK), maka para aktivis reformasi hukum yang tergabung dalam Koalisi Perlindungan Saksi melakukan kajian dan merumuskan hasilnya dalam buku "Pokok-Pokok Pikiran Penyusunan Cetak Biru Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (Main Opinions on Drafting The Blue Print for W i t n e s s a n d V i c t i m P r o t e c t i o n Institution)" seperti yang tersaji sekarang di hadapan kita. Buku yang dicetak dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris) ini

dimaksudkan untuk: (1) menjelaskan kondisi objektif dan normatif ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai LPSK dan program perlindungan saksi dan korban; (2) memberikan gambaran secara komprehensif mengenai pengembangan kelembagaan LPSK; (3) merumuskan rekomendasi tujuan strategis dan rencana tindak lanjut bagi penyelenggaraan dan pengembangan kelembagaan LPSK ke depan; dan (4) mensosialisasikan rencana pengembangan dan penguatan LPSK kepada masyarakat (hlm. 3).

Keseluruhan buku ini terdiri dari 10 (sepuluh) bab. Bab I Pendahulan, berisikan latar belakang, tujuan, ruang lingkup, dan metode yang dipakai dalam proses kajian dan penulisan buku ini. Bab II Kedudukan dan Kewenangan, berisikan penjelasan tentang independensi, kedudukan lembaga, serta tugas dan kewenangan LPSK. Bab III Struktur Organisasi Lembaga, berisikan penjelasan mengenai struktur kerja LPSK, dan alat-alat kelembagaan LPSK. Bab IV Sumber Daya Manusia, berisikan penjelasan mengenai anggota LPSK (Komisioner), Sekretaris Jenderal, Pegawai atau Staf LPSK, dan kinerja dan pengawasan SDM. Bab V Program Perlindungan Saksi, berisikan penjelasan mengenai hak saksi dalam UU PSK, kategori hak/perlindungan saksi, proses dan tahapan pemberian perlindungan, program perlindungan d a r u r a t , a l a t ke l e n g k a p a n , d a n p e m b e r h e n t i a n perlindungan.

Bab VI Pemberian Kompensasi dan Restitusi, berisikan penjelasan mengenai ruang lingkup kompensasi dan restitusi. Bab VII Pemberian Bantuan, berisikan penjelasan mengenai pemberian bantuan dalam undang-undang, ruang lingkup bantuan, alat kelengkapan dan infrastruktur, proses dan tahapan pemberian bantuan, dan pembinaan dan pengawasan. Bab VIII Standard Kerahasiaan dan Keamanan, berisikan penjelasan tentang prinsip dasar, kerahasiaan dan pengungkapan informasi, pengelolaan data dan informasi, kejahatan dan sanksi, hasil kesaksian saksi dan korban yang dilindungi, saksi yang melanggar perjanjian, saksi yang tidak memiliki itikad baik, dan dukungan infrastruktur.

Page 23: Buletin LPSK Edisi1

Kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK):

Bab IX Kerjasama Institusi, berisikan penjelasan tentang kerjasama dengan badan pemerintah, kerjasama dengan pihak lainnya, kerjasama non-pemberian perlindungan, pola kerjasama berdasarkan fungsi, dan prinsip dalam melakukan kerjasama. Bab X Sumber Daya Keuangan, bab ini berisikan penjelasan mengenai sumber pembiayaan, anggaran pendapatan dan belanja nasional, dan mata anggaran yang strategis bagi LPSK.

Hadirnya buku ini sesungguhnya merupakan respon positif dari para aktivis reformasi hukum yang ingin melihat LPSK tumbuh menjad i lembaga yang dapat beker ja maks imal da lam mengembangkan institusinya dan memberikan dan menjamin perlindungan saksi dan korban.

Akhirnya terlepas dari berbagai kekurangan yang mungkin akan ditemukan oleh para pembaca, buku yang dihasilkan lewat sebuah pemetaan awal terhadap LPSK dengan melihat substansi (khususnya yang terkait dengan pengaturan kelembagaan LPSK) dari UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ini dapat dijadikan salah satu referensi, khususnya bagi anggota LPSK, polisi, jaksa, pengacara, akademisi, dan siapa saja yang ingin memahami tugas, fungsi dan kewenangan LPSK di Indonesia.

Selamat membaca.....

EDISI I MARET — APRIL 2009 23

resensi buku

Sebagai lembaga publik yang bersifat mandiri, LPSK mempunyai kewenangan dalam mengupayakan perlindungan dan bantuan kepada para saksi dan korban pada sistem peradilan pidana;

Melaksanakan tata kerja dan aktivitas administrasi dalam kegiatan perlindungan dan pemberian bantuan kepada para saksi dan korban;

Mendayagunakan, mensinergikan, dan mengoptimalkan berbagai kemampuan kelembagaan, fasilitas, dan anggaran negara yang diperuntukkan bagi aktivitas perlindungan saksi dan korban secara bertanggung jawab;

Menentukan persyaratan maupun wujud pemberian dan atau penghentian aktivitas perlindungan saksi dan korban (termasuk keluarganya) sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

Melakukan berbagai upaya untuk melawan berbagai pihak yang menjadikan saksi dan atau korban tidak dapat memperoleh hak perlindungan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

Membantu saksi dan korban dalam mewujudkan haknya berkenaan dengan hak atas Kompensasi, hak atas Restitusi, dan atau hak atas Rehabilitasi yang ditentukan baginya; dan

Memberikan perlindungan kepada para saksi dan korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu di semua tahapan proses peradilan pidana.

Page 24: Buletin LPSK Edisi1