gastroentritis yudi pratama
DESCRIPTION
tulisanTRANSCRIPT
GASTROENTRITIS
Nama : Yudi Pratama
NIM : 0907101010065
A. DEFINISI
Gastroenteritis adalah peradangan pada mukosa membran lambung dan usus
halus ditandai dengan gejala diare, muntah dan demam ringan disertai hilangnya nafsu
makan dan rasa tidak enak di perut (WHO, 2002) .
Gastroenteritis adalah keadaan frekuensi buang air besar lebih dari empat kali
pada bayi dan lebih dari 3 kali pada anak. Konsistensi feces cair/encer, dapat berwarna
hijau atau dapat pula bercampur lendir dan darah atau lendir saja (Ngastiyah, 2005)
Diare adalah suatu gejala penyakit dengan tanda-tanda adanya perubahan bentuk
dan konsistensi dari tinja, yang melembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi
buang air besar lebih dari biasanya (3 kali atau lebih dalam 1 hari) ( Depkes RI, 2005).
Diare akut adalah diare yang timbul secara mendadak dan bisa berlangsung terus sampai
beberapa hari dan biasanya kurang dari 2 minggu yang disebabkan oleh infeksi usus
(Diskin, 2006).
B. ETIOLOGI
a. Pejamu (Host)
Beberapa faktor risiko pada pejamu (host) yang dapat meningkatkan kerentanan
pejamu terhadap kuman penyebab gastroenteritis antara lain (Depkes, RI 2003) :
1. Tidak mendapat ASI sampai usia 2 tahun. ASI mengandung antibodi yang dapat
melindungi terhadap kuman penyebab gastroenteritis.
2. Malnutrisi dan BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah).
3. Beratnya penyakit, lamanya diare dan risiko kematian karena gastroenteritis
meningkat pada bayi yang mengalami gangguan gizi dan BBLR.
4. Imunodefisiensi (penurunan kekebalan tubuh)
5. Campak. Gastroenteritis sering terjadi dan berakibat pada bayi atau anak-anak yang
sedang menderita campak dalam 4 minggu terakhir. Hal ini akibat penurunan
kekebalan tubuh penderita.
b. Agen (Agent)
Penyakit gastroenteritis dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Faktor infeksi
Agent penyebab infeksi saluran pencernaan (gastroenteritis) meliputi (Depkes, RI
2003):
1. Bakteri : Escherchia coli, Salmonella Typhi, Salmonella paratyphi, Shigella
dysentrie, Shigella Flexneri, Vibrio Cholera, Vibrio Eltor, Vibrio
Parahemolyticus, Clostridium Perfringens, Campilobacter, Staphylococcus sp,
Coccidiosis.
2. Parasit dan protozoa : Entamuba Histolytica, Giardia Lamblia, Trichomonas
Hominis, Isospora sp, Ascaris Lumbricoides, Necator Americanus, Ancylostoma
Duodenale, Trichuris Trichuria, Taenia Solium, Taenia Saginata, Oxylorus
Vermicularis, S.Srercoralis.
3. Virus : Rotavirus, Norwalkvirus, Adenovirus, dan Norovirus yang yang lebih
dikenal dengan Sapporo virus yag merupakan famili dari Calicifiridiae virus.
2. Faktor Malabsorbsi
1. Malabsorbsi karbohidrat, disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa ;
monosakarid ( intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). Pada bayi dan anak
adalah intoleransi laktosa.
2. Malabsorbsi lemak
3. Malabsorbsi protein
3. Faktor makanan, seperti makanan yang tercemar, makanan laut yang terkontaminasi
dengan racun kimia, makanan beracun, dan alergi makanan.
4. Efek samping penggunaan obat, misalnya obat antasid yang mengandung
magnesium dalam jumlah besar, antibiotik, obat-obat anti kanker, dan obat
pencahar.
c. Lingkungan (Environment)
Gastroenteritis merupakan penyakit yang berbasis lingkungan. Lingkungan
memiliki pengaruh besar tehadap terjadinya gastroenteritis. Dua faktor yang dominan
terhadap terjadinya gastroenteritis adalah sarana air bersih dan pembuangan tinja.
Kedua faktor ini akan berinteraksi dengan perilaku manusia yang tidak sehat.
Adapun masalah lingkungan hidup di Indonesia yang menjadi penyebab
gastroenteritis antara lain (Suharyono, 2001):
1. Kurangnya penyediaan air minum yang bersih dn memenuhi syarat kesehatan.
2. Kurangnya sarana pembuangan kotoran yang bersih dan sehat.
3. Keadaan rumah yang pada umumnya tidak sehat.
4. Higiene perorangan dan sanitasi makanan yang buruk.
5. Belum ditanganinya higene dan sanitasi industri secara intensif.
6. Kurangnya usaha pengawasan dan pencegahan terhadap pencegahan lingkungan.
7. Pembuangan limbah di daerah pemukiman yang kurang baik.
C. EPIDEMIOLOGI
Gastroenteritis merupakan salah satu penyakit infeksi yang terjadi diseluruh
dunia. Kejadian gastroenteritis pada laki-laki hampir sama dengan perempuan.
Gastroenteritis lebih sering terjadi pada anak-anak dan lansia dikarenakan daya tahan
tubuh yang lemah dan mudah mengalami dehidrasi (Suharyono, 2003).
Gastroenteritis biasanya terjadi pada masyarakat yang berpendidikan rendah dan
berpendapatan rendah, hal ini dikaitkan dengan tingkat pengetahuan dan perilaku
terhadap kesehatan yang kurang (Irwanto, 2002).
Di Amerika, infeksi rotavirus dan astrovirus terjadi selama musim dingin setiap
tahun (Oktober – April), sedangkan infeksi norovirus muncul sepanjang tahun. Di
negara-negara yang beriklim empat musim, diare yang disebabkan oleh bakteri sering
terjadi pada musim panas, sedangkan yang disebabkan oleh virus terjadi pada musim
dingin. Di Indonesia, diare yang disebabkan oleh rotavirus dapat terjadi sepanjang
tahun, dengan puncak kejadian pada pertengahan musim kemarau (Juli-Agustus),
sedangkan yang disebabkan oleh bakteri puncaknya pada pertengahan musim hujan
(Januari-Februari) (Sunoto, 2004).
Di Amerika tiap tahun terjadi sebanyak 90 juta kasus dari beberapa juta
kunjungan berobat dan kunjungan rumah sakit. Berdasarkan data Pusat Pengawasan dan
Pencegahan Penyakit, 3,5 juta kasus gastroenteritis berasal dari rotavirus dan sedikitnya
90.000 kasus keracunan makanan terjadi tiap tahunnya. Sejak tahun 1981 sampai tahun
1994 dilaporkan terjadi 333 kasus infeksi Vibrio vulnificus di Florida. Dua diantaranya
meninggal dunia karena gastroenteritis.
Pada tahun 2002, Norovirus ditandai sebagai penyebab 9 dari 21 KLB
gastroenteritis akut yang dilaporkan oleh Pusat Pengawasan dan Pencegahan Penyakit.
Norovirus menyebabkan sebanyak 23 juta kasus gastroenteritis akut tiap tahunnya dan
merupakan penyebab utama KLB gastroenteritis.
D. PATOFISIOLOGI
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya gastroenteritis ialah:
1. Gangguan osmotic
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan
tekanan osmotik meninggi dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan
akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul gastroenteritis.
2. Gangguan sekresi
Akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan terjadi
peningkatan sekresi, air dan elektrolit kedalam rongga usus dan selanjutnya timbul
gastroenteritis karena terdapat peningkatan isi rongga usus.
3. Gangguan motilitas usus
Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk
menyerap makanan sehingga timbul gastroenteritis. Sebaliknya bila peristaltik usus
menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan, selanjutnya timbul pula
gasteoenteritis. Berdasarkan cairan yang hilang tingkat dehidrasi terbagi menjadi:
1) Dehidrasi ringan, jika kekurangan cairan 5% atau 25 ml/kg/bb.
2) Dehidrasi sedang, jika kekurangan cairan 5-10% atau 75 ml/kg/bb.
3) Dehidrasi berat, jika kekurangan cairan 10-15% atau 125 ml/kg/bb.
Gastroenteritis dapat disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri secara langsung
atau oleh efek dari nurotoxin yang diproduksi oleh bakteria. Infeksi ini menimbulkan
peningkatan produksi air dan garam ke dalam lumen usus dan juga peningkatan
motilitas, yang menyebabkan sejumlah besar makanan yang tidak dicerna dan cairan
dikeluarkan. Dengan gastroenteritis yang hebat, sejumlah besar cairan dan elektrolit
dapat hilang, menimbulkan dehidrasi, hyponatremi dan hipokalemia (Long, 1996).
Selain itu juga gastroenteritis yang akut maupun yang kronik dapat meyebabkan
gangguan gizi akibat kelaparan (masukan kurang, pengeluaran bertambah),
hipoglikamik, dan gangguan sirkulasi darah.
E. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala gastroenteritis pada balita secara umum antara lain : anak
menjadi cengeng, sering menagis dan gelisah, kadang – kadang demam, mengalami
gangguan minum, dan nafsu makan berkurang, Gejala muntah dapat terjadi sebelum
atau sesudah diare disebabkan oleh lambung yang meradang dan akibat gangguan
keseimbangan asam basa dan elektrolit. Pada bayi penderita gastroenteritis biasanya
warna muntah seperti warna susu. Tinja cair dan dapat disertai lendir. Warna tinja
makin lama berubah menjadi kehijau-hijauan karena bercampur dengan empedu
(Schwartz, 2004).
Bila penderita telah kehilangan cairan dan elektrolit, maka gejala dehidrasi
mulai tampak. Secara umum gejala dan tanda dehidrasi pada anak antara lain :
mengantuk, tampak kehausan yang luar biasa, kulit, bibir, dan lidah kering, saliva
menjadi kental, mata dan ubun-ubun cekung, warna kulit pucat atau sianosis, turgor
kulit berkurang, ekstremitas dingin, banyaknya air kemih berkurang, gelisah, kadang-
kadang kejang kemudian syok, asidosis dan pernafasan Kuszmaull (pernapasan yang
cepat dan dalam), pada keadaan yang luar biasa anak terlihat kurang meresponi keadaan
sekitarnya (apatik) (Schwartz, 2004).
Berdasarkan banyaknya cairan yang hilang dapat dibagi menjadi:
1. Dehidrasi ringan (bila terjadi penurunan berat badan 2,5-<5%) dengan gejala
berupa: keadaan umum baik dan sadar, mata normal dan air mata tidak ada, mulut
dan lidah basah, tidak merasa haus dan bisa minum, turgor normal (cubitan kulit
cepat kembali).
2. Dehidrasi sedang (bila terjadi penurunan berat badan 5-10%) dengan gejala berupa:
kencing sedikit, nafsu makan berkurang, gelisah dan mengantuk, aktifitas menurun,
mata dan ubun – ubun cekung, mulut dan lidah kering, nadi lebih cepat dari normal,
turgor kurang (cubitan kulit lambat kembali).
3. Dehidrasi berat (bila terjadi penurunan berat badan >10%) dengan gejala fisik
berupa: tidak kencing dan tidak ada nafsu makan, sangat lemah hingga kesadaran
menurun, mata dan ubun – ubun sangat cekung, bibir dan lidah sangat kering, nadi
sangat cepat, turgor jelek (cubitan kulit sangat lambat kembali).
Berat ringannya dehidrasi akan menentukan jenis terapi dan mati hidupnya anak serta
pertumbuhannya dikemudian hari.
F. DIAGNOSIS
Menurut Mansjoer Arief (2000), pemeriksaan diagnostik pada klien
gastroenteritis adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan tinja
1) Makroskopis dan mikroskopis.
2) Biarkan kumanuntuk mencari kuman penyebab.
3) Tes resistensi terhadap berbagai antibiotik (pada diare persisten).
4) PH dan kadar gula jika diduga ada toleransi gula (sugar Intolerance).
b. Pemeriksaan darah
1) Darah perifer lengkap.
2) Analisis gas darah dan elektrolit (terutama Na,K, Ca dan P serum pada diare
yang disertai kejang).
3) PH dan cadangan alkali untuk menentukan gangguan keseimbangan asam
basa.
4) Kadar uream dan kreatinin darah untuk mengetahui faal ginjal.
c. Duodenal intubation
Untuk mengetahui kuman penyebab secara kuantitatif dan kualitatif terutama pada
diare kronik.
G. PENATALAKSANAAN
Menurut Mansjoer Arief (2000), penatalaksanaan gastroenteritis adalah terdiri
dari:
a. Simtomatis
1. Terapi rehidrasi. Tujuan terapi rehidrasi untuk mengoreksi kekurangan cairan dan
elektrolit secara cepat kemudian mengganti cairan yang hilang sampai diarenya
berhenti dengan cara memberikan oralit, cairan infus yaitu Ringer Laktat, Dekstrose
5%. Dekstrosa dalam salin, dll.
2. Antispasmodik, Antikolinergik (Antagonis stimulus kolinergik pada reseptor
muskarinik), contoh obat: Papaperin, obat anti diare: obat anti motilitas dan sekresi
usus (Loperamid), oktreotid (Sondostatin) sudah dicoba dengan hasil memuaskan
pada diare sklerotik,bat antidiare yang mengeraskan tinja dan absorbsi zat toksik
yaitu: Norit 1-2 tablet diulang sesuai kebutuhan.
3. Antiemetik (metoclopramid).
4. Vitamin dan mineral, tergantung kebutuhan yaitu vitamin B1, asam folat.
5. Makanan harus diteruskan bahkan ditingkatkan selama diare untuk menghindarkan
efek buruk pada status gizi.
b. Kausal
Pengobatan kausal diberikan pada infeksi maupun non infeksi, pada kasus
kronik dengan penyebab infeksi, obat diberikan berdasarkan etiologinya.
Berdasarkan penilaian derajat dehidrasi, maka penatalaksanaan gastroenteritis
dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Gastroenteritis/ diare dengan dehidrasi ringan
Pada keadaan ini dapat ditangani oleh ibu atau kader kesehatan dengan cara
memberikan oralit dan makanan cair seperti air tajin, sup dan kuah sayur.
Kebutuhan cairan dan elektrolit pada dehidrasi ringan sebanyak 180ml/kg.
b. Gastroenteritis/ diare dengan dehidrasi sedang
Pada keadaan ini perawatan dan pengobatan penderita sebaiknya didampingi oleh
petugas kesehatan. Berikan oralit sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Kebutuhan
cairan dan elektrolit pada dehidrasi sedang sebanyak 220ml/kg.
c. Gastroenteritis/ diare dengan dehidrasi berat
Pada keadaan ini penderita harus segera di infus karena sudah mengalami banyak
kekurangan cairan sementara kesadarannya sudah menurun Cairan yang diberikan
adalah Ringer Laktat melalui intravena. Bila kesadaran penderita mulai membaik
maka segera berikan oralit. Kebutuhan cairan dan elektrolit pada dehidrasi berat
sebesar 260ml/kg.
Pemberian obat – obat yang berkhasiat menghentikan diare secara cepat justru
akan memperburuk keadaan karena akan menyebabkan terkumpulnya cairan di usus dan
akan menyebabkan terjadinya perlipatgandaan kuman.
F. KOMPLIKASI
Sebagai akibat dari kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak dapat
terjadi berbagai macam komplikasi seperti (Suharyono, 2003):
a. Gangguan keseimbangan asam basa
b. Hipokalemia (keadaan kadar kalium yang rendah)
c. Hypoglikemia (keadaan kadar glukosa darah yang rendah).
Gejala hypoglikemi akan muncul jika kadar glukosa darah sampai 40 mg% pada
bayi disertai lemas apatis, peka rangsang, tremor, berkeringat, pucat, syok, kejang
sampai koma. Pada anak dan bayi dengan gizi yang cukup/baik, hipoglikemia
jarang terjadi, lebih sering terjadi pada bayi atau anak yang sebelumnya sudah
menederita KKP (Kekurangan Kalori Protein), hal ini terjadi karena :
d. Persediaan glikogen dalam hati terganggu
e. Adanya gangguan absorbsi glukosa Intoleransi laktosa sekunder, sebagai akibat
defisiensi laktase karena kerusakan vili mukosa usus halus.
f. Gangguan gizi, sewaktu anak menderita diare, sering terjadi gangguan gizi dengan
akibat terjadinya penurunan berat badan dalam waktu yang singkat. Hal ini
disebabkan karena: makanan sering dihentikan oleh orang tua karena takut dan
memberikan air teh saja, walaupun susu diteruskan sering diberikan dengan
pengenceran, dan diberikan dalam jangka waktu yang lama, makanan yang
diberikan tidak dapat dicerna dan diabsorpsi dengan baik karena adanya
hiperperistaltik usus.
g. Terjadi gangguan sirkulasi darah berupa renjatan (shock) hipovolemik yang
selanjutnya dapat mengakibatkan perdarahan dalam otak, dan kesadaran menurun.
G. PENCEGAHAN
1. Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama ini dilakukan pada masa pre-patogenesis dengan
tujuan menghilangkan faktor resiko terhadap gastroenteritis. Sasaran pada pencegahan
ini adalah orang sehat sehingga diharapkan tidak menderita sakit.
Adapun kegiatan yang dilakukan pada pencegahan tingkat pertama ini antara lain :
a. Health Promotion
Kegiatan health promotion (promosi kesehatan) dalam upaya mencegah terjadinya
gastreoenteritis dapat berupa :
1. Pemberian ASI
Pada waktu lahir sampai beberapa bulan sesudahnya, bayi belum dapat
membentuk kekebalan sendiri secara sempurna. ASI merupakan substansi bahan yang
hidup dengan kompleksitas biologis yang luas mampu memberikan daya perlindungnan
baik secara aktif maupun melalui pengaturan imunologis. ASI memberikan zat-zat
kekebalan yang belum di buat oleh bayi tersebut. Sehingga bayi yang minum ASI lebih
jarang sakit , terutama pada awal dari kehidupannya (Soetjiningsih, 2007).
Dengan adanya komponen- komponen zat anti infeksi yang terkandung dalam
ASI, maka bayi yang minum ASI akan terlindung dari berbagai macam infeksi baik
yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit dan antigen lainnya. ASI merupakan faktor
penting dalam mencegah terjadinya gastroenteritis. Berikan ASI selama 6 bulan pertama
kemudian berikan ASI bersama makanan lain sampai paling kurang anak berusia satu
tahun (Soetjiningsih, 2007).
2. Makanan Pendamping ASI
Makanan pendamping ASI diberikan setelah anak berusia diatas 6 bulan.
Pemberian makanan pendamping ASI yang terlalu dini dikhawatirkan dapat
mengganggu sistem pencernaan bayi, karena pembentukan organ tubuh bayi belum
sempurna. Pada tahap awal sebaiknya berikan makanan yang lunak.
3. Penggunaan Air Bersih
Gastroenteritis merupakan penyakit yang salah satu cara penularannya melalui
air, jadi untuk mencegah terjadinya gastroenteritis adalah dengan penggunaan air yang
bersih. Air minum sebaiknya dimasak terlebih dahulu hingga mendidih.
4. Membuang Tinja Bayi Secara Benar
Banyak orang yang beranggapan bahwa tinja bayi tidak berbahaya. Hal ini tidak
benar karena tinja bayi dapat pula menularkan penyakit pada anak-anak dan orang
tuanya. Yang harus diperhatikan adalah tinja bayi dibuang kejamban, bila tidak ada
jamban tinja dibuang ke lubang kemudian ditimbun.
5. Mencuci Tangan
Mencuci tangan juga merupakan cara untuk mencegah terjadinya gastroenteritis.
Tangan sebaiknya dicuci dengan sabun segera setelah membersihkan anak ketika buang
air besar, dan mencuci tangan baik dilakukan sebelum makan dan sesudah buang air
besar.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan tingkat kedua diberikan pada masa patogenesis dengan tujuan
mencegah kehilangan banyak cairan. Sasaran pada pencegahan ini adalah penderita
gastroenteritis yang diharapkan agar tidak terjadi dehidrasi yang berkelanjutan.
Kegiatan yang dapat dilakukan pada pencegahan ini berupa Early Diagnosis and
Prompt Treatment yaitu diagnosa dan pengobatan secepatnya.
Pengobatan pertama yang dapat dilakukan pada penderita gastroenteritis adalah
memberikan cairan oralit secepatnya untuk mencegah kehilangan banyak cairan.
Sementara pemberian obat – obat yang berkhasiat menghentikan diare secara cepat
justru akan memperburuk keadaan karena akan menyebabkan terkumpulnya cairan di
usus dan akan menyebabkan terjadinya perlipatgandaan kuman.
3. Pencegahan Tertier
Pencegahan tingkat ketiga ini bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi
dan kematian akibat dehidrasi. Kegiatan yang dapat dilakukan pada pencegahan tingkat
ketiga ini berupa Limitation of Ability (pembatasan kecacatan) dan Rehabilitation
(rehabilitasi). Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah tetap memberikan nutrisi
pada anak agar daya tahan tubuh anak tidak berkurang guna mencegah munculnya
penyakit lain.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes, RI 2003. Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare. Edisi 3. Jakarta: Dirjen PPM dan PLP,
Ditjen PPM dan PLP. Depkes RI, 2005. Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare Dalam Repelita VI. Jakarta: Depkes RI
Diskin, Arthur. 2006. Gastroenteritis. http://www.medicinet.com/gastroenteritis/ [diakses 13 April 2013]
Irwanto, dkk. 2002. Ilmu Penyakit Anak; Diagnosa dan Penatalaksanaan. Jakarta: Salemba Medika.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta. Ed.Ke-3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Ngastiyah, 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Schwartz, William. 2004. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Suharyono. 2001. Diare Akut Klinik dan Laboratorik. Jakarta: Rineka Cipta
Suharyono. 2003. Gastroenterologi Anak Praktis Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Sunoto. 2004. Diare Masalah dan Penatalaksanaannya. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia
Soetjiningsih. 2007. ASI : Petunjuk Untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,
WHO, 2002. Penatalaksanaan dan Pencegahan Diare Akut : Petunjuk Praktis edisi 2. Jakarta: PENERBIT BUKU KEDOKTERAN EGC