gapolitan · berada di taman firdaus, ... bersantai di taman fatahillah akan tergoda untuk ... mau...

1
Pengantar: BATAVIA yang pernah men- jadi pusat pemerintahan Be- landa meninggalkan banyak bangunan tua bersejarah. Ba- ngunan dengan arsitek kelas dunia itu bisa menjadi daya tarik sendiri jika dikelola de- ngan baik. Beberapa warisan sejarah itu kini direstorasi menjadi kafe, kantor, atau museum. Untuk mengetahui seperti apa Peme- rintah Provinsi DKI Jakarta merencanakan bangunan tua itu, Siska Nur ah mewawan- carai Kepala Dinas Pariwisata DKI Arie Budiman. Berikut ini petikannya. Bagaimana perhatian Peme- rintah Provinsi DKI terhadap bangunan-bangunan tua ber- sejarah di Ibu Kota? Sehubungan bangunan ber- sejarah ( heritage ), goodwill Pemprov DKI luar biasa. Gu- bernur DKI telah mengeluar- kan Surat Keputusan No 475 Tahun 1999 tentang Cagar Budaya. SK itu sudah berusia 12 tahun. Hal ini menunjukkan Ja- karta punya visi suatu kota harus memiliki heritage. Perlu dilestarikan dan bermanfaat untuk komunitas yang lebih luas mencakup aspek kebu- dayaan, kesenian, sosial mau- pun ekonomi, dan bisnis. Berapa bangunan yang masuk lingkup SK Guber- nur tersebut? Dalam SK tersebut ter- dapat 264 bangunan ber- sejarah, termasuk Batavi- asche Kunstkring di Jakarta Pusat maupun Stasiun Tan- jung Priok di Jakarta Utara. Daftar ini secara dina- mis akan diperbarui. Surat keputusan itu akan diperbarui tahun ini. Jumlah daftar ba- ngunan akan kita tambah ataupun kita kurangi dalam revisi nanti. Bangunan mana saja yang akan ditambah? Bangunan tersebut harus memenuhi syarat tertentu, yakni kriteria-kriteria cagar budaya. Niat baik DKI seiring dengan pemerintah pusat yang membentuk Undang- Undang Cagar Budaya. UU ini memberikan pe- nguatan lebih lanjut tentang pentingnya pemeliharaan dan pengawasan bangunan dan lingkungan cagar buda- ya. Apakah keseluruhan ba- ngunan bersejarah di Ibu Kota di bawah naungan Pem- prov DKI? Tidak semua bangunan ca- gar budaya di Ibu Kota milik Pemprov DKI. Ada milik ke- menterian, BUMN, swasta, dan bahkan individual. Tapi dengan adanya pera- turan untuk melakukan per- lindungan, pihak-pihak yang berkepentingan dapat turut mempertahankan bangunan- ba- ngunan tersebut. Apa pentingnya bagi masyarakat menjaga dan mempertahankan gedung- gedung tua tersebut? Bangunan-bangunan tua penting karena merupakan historical building. Gedung- gedung tersebut merupakan saksi perjalanan peradaban suatu kota dan bangsa Indone- sia yang patut untuk dilestari- kan. Bagaimana pemeliharaan yang dilakukan selama ini? Yang menjadi pertang- gungjawaban kami adalah bangunan milik Pemprov DKI. Yang menjadi milik pihak lain, seperti Stasiun Tanjung Priok, dibiayai Dinas Perhu- bungan DKI karena milik PT Kereta Api Indonesia. Bagaimana Pemprov DKI merestorasi bangunan-ban- gunan tua tersebut? Kami bukan menjadikannya ruko (rumah toko), melainkan membangun suatu peradaban kota. Jadi, struktur bangunan maupun desain harus sama dengan semula. Memang ada bahan-bahan bangunan yang bisa dimodi- kasi, contohnya genteng ta- hun 19-an, yang sulit dicari. Paling tidak, bentuk, bahan, maupun cat diusahakan seori- sinal mungkin. Berapa bangunan tua di DKI yang sudah mencapai titik memprihatinkan? Kami belum memiliki data. Karena itu, kami coba inven- tarisasi ulang data bangunan- bangunan tua di Ibu Kota di tahun ini. (J-1) GAPOLITAN 23 JUMAT, 14 JANUARI 2011 | MEDIA INDONESIA K OTA Tua menebar pesona cinta. Laksana berada di Taman Firdaus, tempat bersejarah tersebut kini menjadi pilihan favorit pasangan untuk berkasih-kasihan, saling membelai, bahkan berciuman. Tidak ada rasa malu. Namun, dari semua pasangan yang rajin memadu kasih di Taman Fatahillah, Kota Tua, Taman Sari, Jakarta Barat, yang terbanyak adalah sesama jenis. Terutama perempuan dengan perempuan. Salah satu bunga yang sedang mekar di Taman Fatahillah adalah Brina, 20, sebutlah namanya begitu. Tinggi badan 170 cm, atletis namun seksi. Dengan rambut panjang melewati bahu, kulit kuning kecokelatan, pemilik wajah manis khas Melayu itu cukup menarik perhatian. Beberapa pria yang sedang bersantai di Taman Fatahillah akan tergoda untuk memperhatikan tingkah laku Brina. Ia tertawa lepas bersama teman perempuannya. Brina, seorang terpelajar yang datang ke Fatahillah menggunakan mobil pribadi. Sudah berbulan-bulan pasangan perempuan senang berkumpul di depan Museum Sejarah Jakarta yang lebih dikenal dengan sebutan Museum Fatahillah atau Museum Batavia itu. Di depan Museum Fatahillah terdapat beberapa meriam. Di sekitar meriam itulah mereka memadu asmara. Mereka sama sekali tidak terganggu oleh para pedagang aksesori yang membuka lapak di dekat situ. Meski sesama perempuan, ada ciri khas yang membedakan mereka. Perempuan berambut pendek cenderung bergaya seperti pria. Adapun yang berambut panjang, cantik-cantik dengan tampilan tubuh menarik. Di kalangan mereka, ada sebutan buci dan femi. Perempuan bergaya pria disebut buci. Yang berambut panjang disebut femi. Buci dan femi sama-sama tertutup. “Buci dan femi enggak di sini. Mungkin di tempat lain. Kami cuma bersahabat. Enggak ada cewek yang berpacaran dengan cewek,” jelas Brina. Ketika diminta ia berkata jujur, apakah lebih senang kepada perempuan ketimbang pria, Brina berkilah, “Maaf, itu privacy. Enggak ada dari kami yang mau cerita tentang orientasi seksual kami. Jadi, no comment. Kami mau privacy kami dihormati.” Ketika malam semakin kelam, Brina lupa perkataannya. Ia pun terlihat berciuman dengan pasangan perempuannya. Panggil abang Menurut Gatot, 54, petugas Posko Keamanan RW 6 Pinangsia, Taman Sari, pasangan perempuan, banyak pula di antara mereka muda- muda, hampir setiap malam berkumpul di sana. Mengobrol sambil berciuman. “Kalau malam Sabtu atau malam Minggu, jumlah mereka bisa lebih dari 100 pasang,” terangnya. Gatot sering mendengarkan percakapan pasangan tersebut. “Yang berambut pendek dipanggil abang atau aa. Berarti mereka berpacaran. Menurut saya, yang berambut pendek cantik-cantik. Sayang sekali kalau mereka bukan buat cowok.” Penggiat Himpunan Masyarakat Pelestari Seni Budaya Kota Tua sudah meminta para perempuan itu menyingkir dari lingkungan tersebut. Namun, mereka menolak. “Mereka bilang, Taman Fatahillah tempat umum,” sebut Gatot. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) juga sudah pernah menegur bahkan mengancam akan membawa ke pos kalau berciuman di depan umum. Karena Satpol PP berpakaian seragam dan mudah terlihat, pasangan itu tahu kapan saatnya berciuman. Brina meminta masyarakat tidak berprasangka buruk terhadapnya maupun teman- temannya. “Tolong, jangan anggap kami kaum rendah. Dari zaman nabi, sudah ada kaum seperti itu (homoseksual). Kami juga manusia, sama seperti manusia lain. Cuma kebetulan kami seperti ini, tapi bisa dibilang, enggak ada hal negatif tentang kami. Dalam hal pendidikan dan pekerjaan, kami tetap produktif.” Tidak mudah membersihkan mereka dari lingkungan Kota Tua meskipun sudah banyak yang komplain. Kepala Seksi Penataan, Pengembangan, dan Publikasi Unit Pelaksana Teknis Kawasan Kota Tua Norviadi Setio Husodo berniat memanggil dua orang, satu rambut pendek dan satu Kota Tua Tempat Menjalin Cinta Bangunan Bersejarah Saksi Perjalanan Peradaban Suatu Kota Arie Budiman Kepala Dinas Pariwisata DKI rambut panjang. “Saya akan tanyakan mengapa mereka seperti itu. Saya hormati pilihan mereka, tapi sayang saja dengan pilihan itu. Yang jelas, mereka enggak boleh macam-macam di Taman Fatahillah. Kalau macam-macam, ditangkap Satpol PP dan dibawa ke panti sosial,” tegasnya. (*/J-1) Foto A 344 x 210 sebut direstorasi beberapa waktu lalu. MI/SUMARYANTO FATAHILLAH: Museum Fatahillah di kawasan Kota Tua, Jakarta, semakin diminati para pengunjung yang datang bukan hanya seputar Ibu Kota, tapi juga dari berbagai daerah. MI/GINO F HADI MI/LINA HERLINA TEMA: Babak Baru Perbulutangkisan Indonesia OLAHRAGA SABTU (15/1/2011) FOKUS

Upload: lamlien

Post on 28-Jun-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: GAPOLITAN · berada di Taman Firdaus, ... bersantai di Taman Fatahillah akan tergoda untuk ... mau cerita tentang orientasi seksual kami. Jadi, no

Pengantar: BATAVIA yang pernah men-

jadi pusat pemerintahan Be-landa meninggalkan banyak bangunan tua bersejarah. Ba-ngunan dengan arsitek kelas dunia itu bisa menjadi daya tarik sendiri jika dikelola de-ngan baik.

Beberapa warisan sejarah itu kini direstorasi menjadi kafe, kantor, atau museum. Untuk mengetahui seperti apa Peme-rintah Provinsi DKI Jakarta merencanakan bangunan tua itu, Siska Nur fi ah mewawan-carai Kepala Dinas Pariwisata DKI Arie Budiman. Berikut ini petikannya.

Bagaimana perhatian Peme-rintah Provinsi DKI terhadap bangunan-bangunan tua ber-sejarah di Ibu Kota?

Sehubungan bangunan ber-sejarah (heritage), goodwill Pemprov DKI luar biasa. Gu-bernur DKI telah mengeluar-kan Surat Keputusan No 475 Tahun 1999 tentang Cagar Budaya. SK itu sudah berusia 12 tahun.

Hal ini menunjukkan Ja-karta punya visi suatu kota harus memiliki heritage. Perlu dilestarikan dan bermanfaat untuk komunitas yang lebih luas mencakup aspek kebu-dayaan, kesenian, sosial mau-pun ekonomi, dan bisnis.

Berapa bangunan yang masuk lingkup SK Guber-nur tersebut?

Dalam SK tersebut ter-dapat 264 bangunan ber-sejarah, termasuk Batavi-asche Kunstkring di Jakarta Pusat maupun Stasiun Tan-jung Priok di Jakarta Utara.

Daftar ini secara dina-

mis akan diperbarui. Surat keputusan itu akan diperbarui tahun ini. Jumlah daftar ba-ngunan akan kita tambah ataupun kita kurangi dalam revisi nanti.

Bangunan mana saja yang akan ditambah?

Bangunan tersebut harus memenuhi syarat tertentu, yakni kriteria-kriteria cagar budaya. Niat baik DKI seiring dengan pemerintah pusat yang membentuk Undang-Undang Cagar Budaya.

UU ini memberikan pe-nguatan lebih lanjut tentang pentingnya pemeliharaan dan pengawasan bangunan dan lingkungan cagar buda-ya.

Apakah keseluruhan ba-ngunan bersejarah di Ibu Kota di bawah naungan Pem-prov DKI?

Tidak semua bangunan ca-gar budaya di Ibu Kota milik Pemprov DKI. Ada milik ke-menterian, BUMN, swasta, dan bahkan individual.

Tapi dengan adanya pera-turan untuk melakukan per-lindungan, pihak-pihak yang berkepentingan dapat turut mempertahankan bangunan-

ba-

ngunan tersebut.

A p a p e n t i n g n y a b a g i masyarakat menjaga dan mempertahankan gedung-gedung tua tersebut?

Bangunan-bangunan tua penting karena merupakan historical building. Gedung-gedung tersebut merupakan saksi perjalanan peradaban suatu kota dan bangsa Indone-sia yang patut untuk dilestari-kan.

Bagaimana pemeliharaan yang dilakukan selama ini?

Yang menjadi pertang-gungjawaban kami adalah bangunan milik Pemprov DKI.

Yang menjadi milik pihak lain, seperti Stasiun Tanjung Priok, dibiayai Dinas Perhu-bungan DKI karena milik PT Kereta Api Indonesia.

Bagaimana Pemprov DKI merestorasi bangunan-ban-gunan tua tersebut?

Kami bukan menjadikannya ruko (rumah toko), melainkan membangun suatu peradaban kota. Jadi, struktur bangunan maupun desain harus sama dengan semula.

Memang ada bahan-bahan bangunan yang bisa dimodi-fi kasi, contohnya genteng ta-hun 19-an, yang sulit dicari. Paling tidak, bentuk, bahan, maupun cat diusahakan seori-sinal mungkin.

Berapa bangunan tua di DKI yang sudah mencapai titik memprihatinkan?

Kami belum memiliki data. Karena itu, kami coba inven-tarisasi ulang data bangunan-bangunan tua di Ibu Kota di

tahun ini. (J-1)

GAPOLITAN 23JUMAT, 14 JANUARI 2011 | MEDIA INDONESIA

KOTA Tua menebar pesona cinta. Laksana berada di Taman

Firdaus, tempat bersejarah tersebut kini menjadi pilihan favorit pasangan untuk berkasih-kasihan, saling membelai, bahkan berciuman. Tidak ada rasa malu.

Namun, dari semua pasangan yang rajin memadu kasih di Taman Fatahillah, Kota Tua, Taman Sari, Jakarta Barat, yang terbanyak adalah sesama jenis. Terutama perempuan dengan perempuan.

Salah satu bunga yang sedang mekar di Taman Fatahillah adalah Brina, 20, sebutlah namanya begitu. Tinggi badan 170 cm, atletis namun seksi. Dengan rambut panjang melewati bahu, kulit kuning kecokelatan, pemilik wajah manis khas Melayu itu cukup menarik perhatian.

Beberapa pria yang sedang bersantai di Taman Fatahillah akan tergoda untuk memperhatikan tingkah laku Brina. Ia tertawa lepas bersama teman perempuannya. Brina, seorang terpelajar yang datang ke Fatahillah menggunakan mobil pribadi.

Sudah berbulan-bulan pasangan perempuan senang

berkumpul di depan Museum Sejarah Jakarta yang lebih dikenal dengan sebutan Museum Fatahillah atau Museum Batavia itu.

Di depan Museum Fatahillah terdapat beberapa meriam. Di sekitar meriam itulah mereka memadu asmara. Mereka sama sekali tidak terganggu oleh para pedagang aksesori yang membuka lapak di dekat situ.

Meski sesama perempuan, ada ciri khas yang membedakan mereka. Perempuan berambut pendek cenderung bergaya seperti pria. Adapun yang berambut panjang, cantik-cantik dengan tampilan tubuh menarik.

Di kalangan mereka, ada sebutan buci dan femi. Perempuan bergaya pria disebut buci. Yang berambut panjang disebut femi. Buci dan femi sama-sama tertutup. “Buci dan femi enggak di sini. Mungkin di tempat lain. Kami cuma bersahabat. Enggak ada cewek yang berpacaran dengan cewek,” jelas Brina.

Ketika diminta ia berkata jujur, apakah lebih senang kepada perempuan ketimbang pria, Brina berkilah, “Maaf, itu privacy. Enggak ada dari kami yang mau cerita tentang orientasi

seksual kami. Jadi, no comment. Kami mau privacy kami dihormati.”

Ketika malam semakin kelam, Brina lupa perkataannya. Ia pun terlihat berciuman dengan pasangan perempuannya.

Panggil abang Menurut Gatot, 54, petugas

Posko Keamanan RW 6

Pinangsia, Taman Sari, pasangan perempuan, banyak pula di antara mereka muda-muda, hampir setiap malam berkumpul di sana. Mengobrol sambil berciuman.

“Kalau malam Sabtu atau malam Minggu, jumlah mereka bisa lebih dari 100 pasang,” terangnya.

Gatot sering mendengarkan percakapan pasangan

tersebut. “Yang berambut pendek dipanggil abang atau aa. Berarti mereka berpacaran. Menurut saya, yang berambut pendek cantik-cantik. Sayang sekali kalau mereka bukan buat cowok.”

Penggiat Himpunan Masyarakat Pelestari Seni Budaya Kota Tua sudah meminta para perempuan itu menyingkir dari lingkungan

tersebut. Namun, mereka menolak. “Mereka bilang, Taman Fatahillah tempat umum,” sebut Gatot.

Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) juga sudah pernah menegur bahkan mengancam akan membawa ke pos kalau berciuman di depan umum. Karena Satpol PP berpakaian seragam dan mudah terlihat, pasangan itu tahu kapan saatnya berciuman.

Brina meminta masyarakat tidak berprasangka buruk terhadapnya maupun teman-temannya. “Tolong, jangan anggap kami kaum rendah. Dari zaman nabi, sudah ada kaum seperti itu (homoseksual). Kami juga manusia, sama seperti manusia lain. Cuma kebetulan kami seperti ini, tapi bisa dibilang, enggak ada hal negatif tentang kami. Dalam hal pendidikan dan pekerjaan, kami tetap produktif.”

Tidak mudah membersihkan mereka dari lingkungan Kota Tua meskipun sudah banyak yang komplain. Kepala Seksi Penataan, Pengembangan, dan Publikasi Unit Pelaksana Teknis Kawasan Kota Tua Norviadi Setio Husodo berniat memanggil dua orang, satu rambut pendek dan satu

Kota Tua Tempat Menjalin Cinta

Bangunan BersejarahSaksi Perjalanan

Peradaban Suatu Kota

Arie BudimanKepala Dinas Pariwisata DKI

rambut panjang. “Saya akan tanyakan

mengapa mereka seperti itu. Saya hormati pilihan mereka, tapi sayang saja dengan pilihan itu. Yang jelas, mereka enggak boleh macam-macam di Taman Fatahillah. Kalau macam-macam, ditangkap Satpol PP dan dibawa ke panti sosial,” tegasnya. (*/J-1)

Foto A344 x 210

sebut direstorasi beberapa waktu lalu.

MI/SUMARYANTO

FATAHILLAH: Museum Fatahillah di kawasan Kota Tua, Jakarta, semakin diminati para pengunjung yang datang bukan hanya seputar Ibu Kota, tapi juga dari berbagai daerah.

MI/GINO F HADI

MI/LINA HERLINA

TEMA:Babak Baru

PerbulutangkisanIndonesia

OLAHRAGASABTU (15/1/2011)

FOKUS