gangguan pada sistem urinari
DESCRIPTION
gangguan pada sistem urinari, GerontologiTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN TOERI
A. Perubahan Anatomi Fisiologi
Pada lansia ginjal berukuran lebih kecil dibanding dengan ginjal pada usia
muda. Pada usia 90 tahun beratnya berkurang 20-30% atau 110-150 gram bersamaan
dengan pengurangan ukuran ginjal. Pada studi kasus dari McLachlan dan Wasserman
tentang panjang, luas dan kemampuan untuk berkembang dari ginjal yang mendapat
urogram i.v, mereka menemukan bahwa panjang ginjal berkurang 0,5 cm per dekade
setelah mencapai usia 50 tahun. Dengan bertambahnya usia, banyak jaringan yang
hilang dari korteks ginjal, glomerulus dan tubulus. Jumlah total glomerulus berkurang
30-40% pada usia 80 tahun, dan permukaan glomerulus berkurang secara progresif
setelah 40 tahun, dan yang terpenting adalah terjadi penambahan dari jumlah jaringan
sklerotik. Meskipun kurang dari 1% glomerulus sklerotik pada usia muda, persentase
ini meningkat 10-30% pada usia 80 tahun. Terdapat beberapa perubahan pada
pembuluh darah ginjal pada lansia. Pada korteks ginjal, arteri aferen dan eferen
cenderung untuk atrofi yang berarti terjadi pengurangan jumlah darah yang terdapat di
glomerulus. Atrofi arteri aferen dan eferen pada jukstaglomerulus terjadi tidak
simetris sehingga timbul fistel. Jadi ketika aliran darah di korteks berkurang, aliran di
jukstaglomerular akan meningkat. Ini berpengaruh pada konsentrasi urin yang
berkurang pada usia lanjut akibat gangguan pengaturan sistem keseimbangan.
1. Perubahan aliran darah ginjal pada lanjut usia.
Ginjal menerima sekitar 20% dari aliran darah jantung atau sekitar 1 liter per
menit darah dari 40% hematokrit, plasma ginjal mengalir sekitar 600 ml/menit.
Normalnya 20% dari plasma disaring di glomerulus dengan GFR 120 ml/menit
atau sekitar 170 liter per hari. Penyaringan terjadi di tubular ginjal dengan lebih
dari 99% yang terserap kembali meninggalkan pengeluaran urin terakhir 1-1,5
liter per hari. Dari beberapa penelitian pada lansia yang telah dilakukan,
memperlihatkan bahwa setelah usia 20 tahun terjadi penurunan aliran darah ginjal
kira-kira 10% per dekade, sehingga aliran darah ginjal pada usia 80 tahun hanya
menjadi sekitar 300 ml/menit. Pengurangan dari aliran darah ginjal terutama
berasal dari korteks. Pengurangan aliran darah ginjal mungkin sebagai hasil dari
kombinasi pengurangan curah jantung dan perubahan dari hilus besar, arcus aorta
dan arteri interlobaris yang berhubungan dengan usia.
2. Perubahan fungsi ginjal pada lanjut usia.
Pada lansia banyak fungsi hemostasis dari ginjal yang berkurang, sehingga
merupakan predisposisi untuk terjadinya gagal ginjal. Ginjal yang sudah tua tetap
memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh dan fungsi
hemostasis, kecuali bila timbul beberapa penyakit yang dapat merusak ginjal.
Penurunan fungsi ginjal mulai terjadi pada saat seseorang mulai memasuki usia 30
tahun dan 60 tahun, fungsi ginjal menurun sampai 50% yang diakibatkan karena
berkurangnya jumlah nefron dan tidak adanya kemampuan untuk regenerasi.
Beberapa hal yang berkaitan dengan faal ginjal pada lanjut usia antara lain : (Cox,
Jr dkk, 1985).
a. Fungsi konsentrasi dan pengenceran menurun.
b. Keseimbangan elektrolit dan asam basa lebih mudah terganggu bila
dibandingkan dengan usia muda.
c. Ureum darah normal karena masukan protein terbatas dan produksi ureum
yang menurun. Kreatinin darah normal karena produksi yang menurun serta
massa otot yang berkurang. Maka yang paling tepat untuk menilai faal ginjal
pada lanjut usia adalah dengan memeriksa Creatinine Clearance.
d. Renal Plasma Flow (RPF) dan Glomerular Filtration Rate (GFR) menurun
sejak usia 30 tahun.
3. Perubahan laju filtrasi glomerulus pada lanjut usia
Salah satu indeks fungsi ginjal yang paling penting adalah laju filtrasi glomerulus
(GFR). Pada usia lanjut terjadi penurunan GFR. Hal ini dapat disebabkan karena
total aliran darah ginjal dan pengurangan dari ukuran dan jumlah glomerulus.
Pada beberapa penelitian yang menggunakan bermacam-macam metode,
menunjukkan bahwa GFR tetap stabil setelah usia remaja hingga usia 30-35 tahun,
kemudian menurun hingga 8-10 ml/menit/1,73 m2/dekade. Penurunan bersihan
kreatinin dengan usia tidak berhubungan dengan peningkatan konsentrasi
kreatinin serum. Produksi kreatinin sehari-hari (dari pengeluaran kreatinin di urin)
menurun sejalan dengan penurunan bersihan kreatinin. Untuk menilai
GFR/creatinine clearance rumus di bawah ini cukup akurat bila digunakan pada
usia lanjut. Cratinine Clearance (pria) = (140-umur) X BB (kg) ml/menit
72 X serum cretinine (mg/dl) Cretinine Clearance (wanita) = 0,85 X CC pria.
4. Perubahan fungsi tubulus pada lanjut usia
Aliran plasma ginjal yang efektif (terutama tes eksresi PAH) menurun sejalan dari
usia 40 ke 90-an. Umumnya filtrasi tetap ada pada usia muda, kemudian
berkurang tetapi tidak terlalu banyak pada usia 70, 80 dan 90 tahunan. Transpor
maksimal tubulus untuk tes ekskresi PAH (paraaminohipurat) menurun progresif
sejalan dengan peningkatan usia dan penurunan GFR. Penemuan ini mendukung
hipotesis untuk menentukan jumlah nefron yang masih berfungsi, misalnya
hipotesis yang menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan
gangguan pada transpor tubulus, tetapi berhubungan dengan atrofi nefron
sehingga kapasitas total untuk transpor menurun. Transpor glukosa oleh ginjal
dievaluasi oleh Miller, Mc Donald dan Shiock pada kelompok usia antara 20-90
tahun. Transpor maksimal Glukosa (TmG) diukur dengan metode clearance.
Pengurangan TmG sejalan dengan GFR oleh karena itu rasio GFR : TmG tetap
pada beberapa dekade. Penemuan ini mendukung hipotesis jumlah nefron yang
masih berfungsi, kapasitas total untuk transpor menurun sejalan dengan atrofi
nefron. Sebaliknya dari penurunan TmG, ambang ginjal untuk glukosa meningkat
sejalan dengan peningkatan usia. Ketidaksesuaian ini tidak dapat dijelaskan tetapi
mungkin dapat disebabkan karena kehilangan nefron secara selektif.
5. Perubahan pengaturan keseimbangan air pada lanjut usia. Perubahan fungsi ginjal
berhubungan dengan usia, dimana pada peningkatan usia maka pengaturan
metabolisme air menjadi terganggu yang sering terjadi pada lanjut usia. Jumlah
total air dalam tubuh menurun sejalan dengan peningkatan usia. Penurunan ini
lebih berarti pada perempuan daripada laki-laki, prinsipnya adalah penurunan
indeks massa tubuh karena terjadi peningkatan jumlah lemak dalam tubuh. Pada
lanjut usia, untuk mensekresi sejumlah urin atau kehilangan air dapat
meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler dan menyebabkan penurunan
volume yang mengakibatkan timbulnya rasa haus subjektif. Pusat-pusat yang
mengatur perasaan haus timbul terletak pada daerah yang menghasilkan ADH di
hypothalamus.
Pada lanjut usia, respon ginjal pada vasopressin berkurang
biladibandingkan dengan usia muda yang menyebabkan konsentrasi urin juga
berkurang, Kemampuan ginjal pada kelompok lanjut usia untuk mencairkan dan
mengeluarkan kelebihan air tidak dievaluasi secara intensif. Orang dewasa sehat
mengeluarkan 80% atau lebih dari air yang diminum (20 ml/kgBB) dalam 5 jam.
Proses penuaan berdampak pada perubahan-perubahan dihampir semua organ
tubuh termaksuat pada organ berkemih yang mengakibatkan orang usia lanjut lebih
mudah mengalami problem inkontinensia urian. Perubahan-perubahan yang
menyebabkan orang usia lanjut mudah mengalami inkontinensia urin antaranya
adalah:
1. Melemahnya otot dasar panggul yang menyanggah kandung kemih dan pintu
(sfinter) saluran kemih.
2. Timbulnya kontraksi abdomen pada kandung kemih yang menimbulkan
rangsangan untuk berkemih sebelum waktunya.
3. Pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna dan meninggalkan sisa air seni
di dalam kandung kemih yang cukup banyak sehingga dengan pengisian sedikit
saja sudah merangsang orang berkemih.
4. Hipertrofi prostad yang dapat mengakibatkan banyaknya sisa air sini kandung
kemih akibat pengosongan yang tidak sempurna.
B. Masalah – masalah yang timbul pada sistem perkemihan
Dalam hal ini kelompok hanya menyampaikan beberapa penyakit yang biasa
terjadi pada lansia khususnya pada system urinary yaitu urolitiasis (batu saluran
kemih), gagal ginjal kronik, benigna prostat hyperplasia (BPH), Inkontinensia pada
lansia.
1. Urolitiasis
Urolitiasis (batu saluran kemih) adalah adanya batu pada saluran kemih yang
bersifat idiopatik, dapat menimbulkan statis dan infeksi (Brunner.2002).
2. Gagal ginjal kronik
Gagal ginjal kronik biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut
secara bertahap Kegagalan ginjal kronis terjadi bila ginjal sudah tidak mampu
mempertahankan lingkungan internal yang konsisten dengan kehidupan dan
pemulihan fungsi tidak dimulai(Brunner.2002).
3. Benigna Prostat Hyperplasia (BPH)
Benigna Prostat Hiperplasi ( BPH ) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat,
disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat
meliputi jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan
penyumbatan uretra pars prostatik(Brunner.2002).
4. Inkontensia urin
a. Pengertian
Inkontinensia urin adalah salah satu keluhan utama pada penderita
lanjut usia. Seperti halnya dengan keluhan pada suatu penyakit, bukan
merupakan diagnosis, sehingga perlu dicari penyebebnya(brocklehurst
dkk.1987).
Inkontensia urin adalah pengeluaran urin atau feses tanpa disadari
dalam jumlah dan frekuensi yang cukup, sehingga mengakibatkan masalah
gangguan kesehatan atau sosial(Nugroho.2002).
inkontinesia adalah berkemih diluar kesadaran pada waktu dan tempat
yang tidak tepat serta menyebabkan masalah kebersihan atau
social(Maryam.2008).
Kami simpulkan Inkotinesia Urine (IU) adalah pengeluaran urien
involunter (tidak disadari) dalam jumlah yang cukup dan sangat menyebabkan
masalah bagi lansia.
b. Klasifikasi
Menurut Maryam 2008 Inkontenensia urine diklasifikasikan menjadi dua,
yaitu:
1. Inkontenensia urine akut
Penanganan IU akut pada usia lanjut berbeda tergantung
kondisi yang dialami pasien. Penyebab IU akut antara lain terkait dengan
gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin
meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet. IU akut
juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab.
Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus
dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa
diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti
kafein. Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab
produksi urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai.
Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik,
trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus
diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet.
Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus
disingkirkan dengan terapi nonfarmakologik atau farmakologik yang tepat.
2. Inkontenensia urine persisiten
Menurut Nugroho 2002 Inkontinensia yang persisten atau kronik/menetap
dapat dibagi menjadi empat tipe :
a) Tipe stress
Inkontinensia tipe stres ditandai dengan keluarnya urin diluar
pengaturan berkemih, biasanya dalam jumlah sedikit akibat
peningkatan tekanan intra-abdominal. Misalnya saat bersin, tertawa
atau olahraga. Inkontinensia ini banyak terdapat pada wanita lanjut
usia. Kadang terjadinya tidak terlalu sering, dan urin yang keluar
hanya sedikit dan tidak berpengaruh kepada kualitas kehidupan
penderita serta tidak membutuhkan pengobatan khusus. Tetapi juga
dapat sedemikian banyak dan menggangu, sampai dibutuhkan
tindakan pembedahan untuk mengatasinya. Seperti sudah disinggung
diatas, peristiwa seperti ini seringkali berkenaan dengan kelemahan
jaringan sekitar muara kandung kemih dan uretra. Hilangnya
pengaruh estrogen dan sering melahirkan disertai dengan tindakan
opembedahan merupakan salah satu faktor predisposisi. Obesitas dan
batuk kronik juga sering memegang peranan.
Inkontinensia tipe stres jarang pada pria. Dapat terjadi setelah
mengalami operasi lewat uretra (trans-uretral) atau misalnya akibat
terapi radiasi yang merusak struktur jaringan dari spingter (kane dan
kawan-kawan, broklehuresete dan kawan-kawan).
b) Tipe urgensi
Inkontinensia tipe urgensi ditanfai dengan pengeluaran urin
diluar pengaturan berkemih yang normal, biasanya dengan jumlah
banyak karena ketidakmampuan menunda berkemih, begitu sensasi
penuhnya kandung kemih diterima oleh pusat yang mengtur proses
berkemih terdapat gangguan pengaturan rangsangan dan instabilitas
dari otot-otot destrusor kandung kemih. Inkontinensia ini terdapat
pada gangguann sistem saraf pusat misalnya pada struk, demensia,
sindrom parkinson dan kerusakan mredula spinalis.
Gangguan lokal dari saluran urogenital misalnya sistitis, batu dan
diveretikulum dari kandung kemih juga dapat mencetuskan
inkontinensia tipe urgensi.
c) Tipe luapan
Inkontinensia tipe luapan (over flo) ditandai dengan kebocoran
atau keluarnya urin/keluarnya urin, biasanya dalam jumlah sedikit,
karena desakan mekanik akibat kandung kemih yang sudah sangat
teregang. Penyebab umum dari inkontinensia ini adalah antara lain :
1. Sumbatan akibat kelenjar prostat yang membesar atau adanya
kistokel, dan penyempitan darai jalan keluarnya urin.
2. Gangguan kontraksi kandung kemih akibat gangguan dari
persarafan misaknya pada penyakit diabetes militus.
d) Tipe fungsional
Inkontinensia tipe fungsional ditandai dengan keluarnya urin
secara dini, akibat ketidakmampuan mencapai tempat berkemih
karena gangguan fisik atau kognitf maupun macam-macam hambatan
situasi/linkungan yang lain, sebelumnya siap untuk berjkemih. Faktor-
faktor psikologik seperti marah-marah, depresi juga dapat
menyebabkan inkontinensia tipe ini.
Macam-macam tipe dari inkontinensia tipe ini dapat terjadi pada satu
penderita secara bersamaan, sehingga membawa dampak juga pada
strategi pengelolahannya.
c. Etiologi
Menurut nugroho 2002 yang merupakan etiologi inkontinensia urine adalah :
1. Melemahnya otot dasar panggul yang menyangga kandung kemih dan
memperkuat sfingter uretra.
2. Kontarksi abnormal pada kantung kemih
3. Obatdiuretik yang mengakibatkan sering berkemih dan obat penenang
terlalu banyak.
4. Radang kantung kemih
5. Radang saluran kemih
6. Kelainan control pada kantung kemih
7. Kelainan persyarafan pada kantong kemih.
8. Akibat adanya prostat
9. Faktor psikologis.
d. Patofisiologi
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:
1. Fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila
batuk atau bersin. Bisa juga disebabkan oleh kelainan di sekeliling daerah
saluran kencing.
2. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung
kemih.
3. Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih,
urine banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan.
Inkontinensia urine dapat timbul akibat hiperrefleksia detrusor pada
lesi suprapons dan suprasakral. Ini sering dihubungkan dengan frekuensi dan
bila jaras sensorik masih utuh, akan timbul sensasi urgensi. Lesi Lower Motor
Newron (LMN) dihubungkan dengan kelemahan sfingter yang dapat
bermanifestasi sebagai stress inkontinens dan ketidakmampuan dari kontraksi
detrusor yang mengakibatkan retensi kronik dengan overflow.
e. Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk
menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria.
2. Catatan berkemih (voiding record).
Catatan berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini
digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami
inkontinensia urin dan tidak inkontinensia urin, dan gejala berkaitan dengan
inkontinensia urin. Pencatatan pola berkemih tersebut dilakukan selama 1-3
hari. Catatan tersebut dapat digunakan untuk memantau respon terapi dan
juga dapat dipakai sebagai intervensi terapeutik karena dapat menyadarkan
pasien faktor-faktor yang memicu terjadinya inkontinensia urin pada
dirinya.
f. Penatalaksanaan
Menurut Martono. 2010 penatalaksanaan pada inkontinensia urine diantaranya
adalah :
1. Manfaat kartu catat berkemih
Kartu catat berkemih merupakan kertu yang dapat digunakan oleh usia
lanjut yang mempunyai masalah inkontinensia urin. Pada kertu ini akan
dicatat waktu dan urin yang keluar,baik yang keluar secara normal maupun
yang keluar karena tak tertahankan . selain itu juga akan dicatat waktu,
jumlah, jenis minuman yang diminum. Pencatatan pemasukan dan
pengeluaran cairan ini dilakukan setiap saat sepanjang hari selama tiga hari
berturut-turut. Tujuan pencatatan ini adalah agar diketahui pola berkemih
dan dapat diduga tipe inkontinensia urinnya. Dengan diketahui tipe
inkontinensia urin yang diderita, masalah ini dapat dikelolah dengan baik
dan benar.
2. Terapi non farmakologi.
Terapi nonfarmakologi dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang
mendasari timbulnya inkontinensia urin, seperti hipertropi prostat, skibala,
infeksi saluran kemih, diuretic, gula darah tinggi, dan lain-lain.beberapa
terapi yang digunakan adalah:
a. Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang waktu kemih)
dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekuensi barkemih 6-7
kali per hari.pasien dapat menahan keinginan/ sensasi untuk berkemiah
bila belum waktunya.pasien diinstruksikan untuk berkemih pada
interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya interval
berkemih diperpanjang secara bertahap samapi pasien ingin berkemih
setiap 2-3 jam.teknik latihan ini memerluka motivasi yang kuat dari
pihak pasien.
b. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan
sesuai dengan kebiasaan pasien. Teknik ini membutuhkan keterlibatan
petugas kesehatan dan atau pengasuh pasien.
c. Prompted voidingdilakukan dengan cara mengajari pasien mengenali
kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau
pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini digunakan pada pasien
dengan gangguan fungsi berfikir.
d. Melakukan latihan otot dasar panggul, dengan berkontraksi berulang-
ulang otot dasar panggul.hal ini dimaksutkan agar otot dasar panggul
menjadi lebih kuat dan uretra dapat tertutup dengan baik sebelum
pasien menjalani latihan,harus dilakukan lebih dahulu pemeriksaan
lubang kemaluan (perempuan) atau rektumuntuk menetapkan apakah
mereka dapat mengkontreksikan otot dasar punggungnya.
e. Pasien dengan trauma mandula spinalis, strok, atau demensi
memerlukan pemasangan kateter jangka panjang atau selamanya.
Terapi nonfarmakologi ini harus disertai dengan evaluasi fisik
dan lingkungan social pasien seperti kemudahan mencapai
toilet.,pakayan dalam atau celana yang mudah dibuka , system bel
untuk memanggil pengasuh/petugas kesehatan yang mudah dijangkau
usia lanjut, dan sebagainya.
3. Terapi farmakologi
Terapi dengan menggunakan obat-obatan dapat dilakukan bila terapi non
farmakologi tidak dapat menyelesaikan masalah inkontinesia urin. Obat-
obatan yang dapat diberikan adalah antikolinerik (relaksasi kandung
kemih) yang dapat diberikan pada inkontinensia urogensi dan agonis alfa
yang dapat diberikan pada inkontinensia stress.
4. Terapi pembedahan
Terapi pembedahan dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress
tipe campuran stress dan urgensi, bila terapi nonfarmakologi dan
farmakologi tidak berhasil. Inkontinensia urin tipe overflow umumnya
memerlukan tidakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin.
5. Modelitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medic yang
menyebabkan inkontinensia urin ini, dapat pula digunakan beberapa alat
bantu yang dapat digunakan oleh usia lanjut yang mengalami
inkontinensia urin. Diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu
toilet (seperti urinal, dan bedpan).
a. Pampers
Pampers dapat digunakan baik pada kondisi akut maupun pada kondisi
dimana pengobatan sudah tedak berhasil mengatasi inkontinensia urin.
Namun demikian, pemasangan pampers juga dapt menimbulkan
masalah seperti timbul luka lecet bila jumlah air seni berlebihan daya
tempung pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit dalam
pampers terus menerus lembab, sementara pasien tidak dapat
bergegerak karena penyakitnya.
b. Kateter
Kateter menetap (indwelling cathether) tidak diajurkan untuk
digunakan secara rutin karena dapat terjadi infeksi saluran kemih,
pembentukan batu, abses, dan kebocoran.
Kateter menetap dipasangi bila:
1. Terdapat inkontinensia overflow, infeksi somatic atau gangguan
fungsi ginjal akibat retensi urin
2. Retensi urin yang tidak dapat dikoreksi secara pembedahan atau
obat-obatan.
3. Retensi urin tidak dapat diatasi dengan kateterisasi intermitan.
4. Luka dikubitus atau iritasi yang terkontaminasi oleh inkontinensia
urin.
5. Perawatan pasien dengan penyakit terminal yang mengalami
kesulitan menggenti pakaian/celana.
Selain kateter menetap, terdapat akteter sementara yang merupakan
alat yang secara rutin digunakan intuk mengosongkan kandung
kemih. Teknik ini digunakan pada pesien yang tidak dapat
mengosongkan kandung kemih.namun teknik ini juga beresiko
untuk terjadinya infeksi saluran kemih.
c. Alat bantu toilet
Alat bantu toilet, seperti urinal, kondom dan bedpen
dapatdiginakan olehorang usia lanjut yang tidak mampu bergerak atau
menjalani tirah baring. Alat-alat bantu tersebut akan menolong akan
menolong mereka terhindar dari jatuh dan akan membantu
memberikan kemandirian pada usia lanjut dalam menggunakan toilet.
Urin umumnya digunakan oleh laki-laki, tetapi ada pula jenis
tertentuyang dapat digunakan oleh wanita. Dalam penggunaan urin ini
diperlukan adanya motivasi agar dapat menggunakan urin sendiri dan
bila tidak mampu baru dibantu.
Kondom merupakan alat bantu berupa kersi yang berlubang
dialas duduknya, dibawah lubang tersebut terdapat pen tempat
menampung air seni dan/atau tinja. Komod adalah alat bantu yang baik
untuk pasien yang tidak mampu pergi ketoilet tetapi dap bangun dari
tempat tidur. Bedpen digunakan untuk seseorang yang tidak dapat
bangun dari tempat tidur. Alat ini diselipkan dibawah bokong pada saat
pasien akan berkemih. Pasien diminta atau dibantu untuk menggkat
bagian tubuh bawahnya termasuk bokongnya dan kemudian bedpan
diletakan dibawah bokong.