gambaran histopatologi insang, otot dan usus pada ikan lele (clarias spp) bogor.pdf

64
1 GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp.) ASAL DARI DAERAH BOGOR Oleh : DEBBY FADHILAH PAZRA B04104042 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Upload: tomaru-andi

Post on 26-Dec-2015

333 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

TRANSCRIPT

Page 1: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

1

GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS

PADA IKAN LELE (Clarias spp.) ASAL DARI

DAERAH BOGOR

Oleh :

DEBBY FADHILAH PAZRA

B04104042

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

Page 2: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

2

ABSTRAK

DEBBY FADHILAH PAZRA. Gambaran Histopatologi Organ Insang, Otot dan

Usus pada Ikan Lele (Clarias sp.) Asal dari Daerah Bogor. Di bawah bimbingan :

Bambang Pontjo Priosoeryanto dan Risa Tiuria

Beberapa tahun terakhir produksi budidaya ikan mengalami penurunan,

penyebabnya adalah timbulnya wabah penyakit pada ikan, sedangkan permintaan

dan kebutuhan terhadap ikan terus meningkat. Peningkatan permintaan tersebut

merupakan konsekuensi dari pertambahan jumlah penduduk dan perubahan pola

konsumen yaitu peningkatan jumlah konsumsi ikan untuk memenuhi kebutuhan

protein hewani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi

secara deskriptif dari ikan lele (Clarias spp.) pada organ usus, insang dan otot

yang sampelnya diambil di daerah Bogor. Penelitian ini menggunakan 17 ekor

ikan lele yang dinekropsi. Organ yang diambil adalah insang, otot dan usus,

kemudian dibuat preparat histopatologi dan dilakukan pengamatan dengan melihat

perubahan histopatologi pada organ tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

perubahan histopatologi yang ditemukan pada organ insang yaitu hiperplasia

lamela sekunder pada 17 sampel, kongesti 16 sampel, edema 13 sampel,

proliferasi sel goblet 10 sampel, deskuamasi epitel insang 8 sampel, kerusakan

tulang rawan 8 sampel, hemoragi 6 sampel dan kista dari metaserkaria trematoda

digenea 5 sampel. Perubahan histopatologi pada organ usus adalah proliferasi sel

goblet dan kongesti pada 10 sampel, deskuamasi sel epitel usus 8 sampel, infeksi

parasit 5 sampel dan hemoragi 3 sampel. Perubahan histopatologi pada organ otot

yaitu degenerasi otot sampai nekrosa 13 sampel, edema dan deskuamasi epitel 8

sampel serta infeksi oleh parasit 4 sampel. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu

perubahan histopatologi paling banyak ditemui pada insang adalah hiperplasia

lamela sekunder, pada usus proliferasi sel goblet dan kongesti, sedangkan pada

otot adalah degenerasi otot. Perlunya penelitian lanjutan dengan melakukan

perlakuan khusus agar penyebab dari perubahan histopatologi akibat dari suatu

penyakit atau infeksi dapat diketahui dengan pasti.

Kata kunci : ikan lele, organ insang, organ usus, organ otot

Page 3: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

3

ABSTRACT

DEBBY FADHILAH PAZRA, Histopathological Lesions of Gill, Intestine, and Muscle of Catfish (Clarias spp.) from Bogor. Advisor: Bambang Pontjo Priosoeryanto dan Risa Tiuria

Fish production, especially from aquaculture product in the last several years have been decreased. One of the causes is the incidence of fish disease epidemic, meanwhile the demand of fish is increasing significantly. The increasing of the fish demand is a consequence from the increasing of human population and consumer behaviour change due to the need of animal protein consumption. This purpose of the present research is to elaborate the histopathological lesions in the intestine, gill and muscle of catfish (Clarias spp.) from Bogor. A total of 17 heads catfish were used in this study. Gill, muscle and intestine organs were collected upon necropsy and were then processed for histopathological technique. The slides were observed using a light microscopy. Result of the present research indicated that the main lesions in the gill is secondary lamella hyperplasia which found in 17 samples, congestion 16 samples, oedema 13 samples, goblet cell proliferation 10 samples, epithelial desquamation 8 samples, cartilago damage 8 samples, haemorrahage 6 samples and metacercariae encysted infection 5 samples. Histopathological lesions in intestines were goblet cell proliferation and congestion which detected in 10 fishes samples, epithelial desquamation 8 samples, parasite 5 samples and haemorrahage 3 samples. Histopathological lesions in muscle were muscle degeneration 13 samples, oedema and epithelial desquamation 8 samples and parasite infection 4 samples. Conclusion from research is the most histopathological lesions in gill were secondary lamella hyperplasia which found in 17 samples. The most histopathological lesions in intestines were goblet cell proliferation and congestion which detected in 10 fishes samples, while in the muscle was degeneration which found in 13 samples. Future researches needed by doing special treatment in order to knows the cause of histopatologi’s change that is effected infection or disease which is certainly known. Numbers and location of research require to be multiplied in order to got the data which is more amount and representative area Bogor. Key words : catfish, gill organs , intestine organs, muscle organs

Page 4: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

4

GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS

PADA IKAN LELE (Clarias spp.) ASAL DARI

DAERAH BOGOR

Oleh :

DEBBY FADHILAH PAZRA

B04104042

Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

Page 5: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

5

Judul Skripsi : Gambaran Histopatologi Insang, Otot dan Usus pada Ikan

Lele (Clarias spp.) Asal dari Daerah Bogor

Nama : Debby Fadhilah Pazra NRP : B04104042

Menyetujui Dosen Pembimbing :

drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, Ph.D drh. Risa Tiuria, MS, Ph.D Pembimbing I Pembimbing II

Mengetahui

Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan

Page 6: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

6

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sawahlunto, Sumatra Barat pada tanggal 2 Februari

1986 sebagai putri pertama dari lima bersaudara pasangan Ali Mukhni Oyon, SH

dan Rumjasmi.

Pada tahun 1992 penulis memasuki bangku sekolah dasar negeri 27

Sijunjung lulus pada tahun 1998 dan melanjutkan ke SLTP negeri 2 Sijunjung.

Pada tahun 2001 dilanjutkan ke SMA negeri 1 Sawahlunto Sijunjung dan lulus

pada tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa

Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, melalui jalur Undangan Seleksi

Masuk IPB (USMI).

Selama menjadi mahasiswa Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

penulis aktif di beberapa organisasi diantaranya IMAKAHI (infokom dan

bendahara), himpro satwa liar, himpro HKSA (hewan kesayangan dan satwa

aquatik) dan himpro ornitologi.

Page 7: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

7

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT karena dengan Rahmat dan Inayah-

Nya penulisan skripsi yang berjudul Gambaran Histopatologi Organ Insang, Otot

dan Usus pada Ikan Lele (Clarias spp.) Asal dari Daerah Bogor ini dapat

terselesaikan.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada

drh.Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, Ph.D dan drh. Risa Tiuria, MS, Ph. D

selaku pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan bimbingan

kepada penulis. Serta drh. R. Roso Soejoedono. MPH.DEA selaku pembimbing

akademik.

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Laboratorium

Patologi FKH-IPB dan Labratorium Helmintologi FKH-IPB beserta staf yang

telah banyak memberikan bantuan serta fasilitas laboratorium. Terima kasih juga

kepada teman-teman satu penelitian yang telah banyak membantu penulis selama

penelitian.

Rasa cinta kasih serta ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada

kedua orang tua, Ayahanda dan Ibunda, adik-adik tersayang. Terimakasih atas

bantuan, dorongan semangat dan doanya yang dicurahkan selama ini. Terima

kasih juga kepada semua pihak yang telah membantu penulis sampai akirnya bisa

menyelesaikan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini

bermanfaat bagi semuanya terutama bagi yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2008

Debby Fadhilah Pazra

Page 8: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

8

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... v

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1

1.2 Tujuan Penelitian ......................................................................... 2

1.3 Manfaat Penelitian ....................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 3

2.1 Biologi Ikan Lele ......................................................................... 3

2.1.1 Taksonomi ikan lele .......................................................... 3

2.1.2 Morfologi .......................................................................... 3

2.1.3 Habitat ............................................................................... 4

2.1.4 Makanan ............................................................................ 4

2.1.5 Tingkah laku ..................................................................... 5

2.2 Anatomi dan Fisiologi Ikan Lele.................................................. 5

2.2.1 Sistem Respirasi (Insang) .................................................. 5

2.2.2 Sistem Pencernaan ............................................................ 6

2.2.3 Sistem Integumen .............................................................. 7

2.2.4 Sistem Muskuloskeletal (Otot) .......................................... 8

2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Munculnya

Penyakit pada Ikan Lele ............................................................... 8

2.3.1 Suhu .................................................................................. 8

2.3.2 Cahaya ............................................................................... 9

2.3.3 Stres ................................................................................... 9

2.3.4 Kelebihan Populasi (overcrowded) atau

Multi kultur ....................................................................... 10

2.3.5 Sistem Imun Ikan Lele yang Rendah ................................ 10

2.4 Penyakit-Penyakit Infeksius pada Ikan Lele ................................ 10

2.4.1 Parasit ................................................................................ 10

Page 9: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

9

2.5 Penyakit-Penyakit Non-Infeksius pada Ikan Lele ........................ 14

2.5.1 Defisiensi Vitamin ............................................................ 14

2.5.2 Expose Bahan Toksik ........................................................ 15

2.6 Beberapa Perubahan Histopatologi .............................................. 16

2.6.1 Inflamasi ............................................................................ 16

2.6.2 Edema ................................................................................ 17

2.6.3 Hemoragi dan Kongesti .................................................... 18

2.6.4 Degenerasi Otot dan Nekrosa............................................ 19

2.6.5 Proliferasi Sel Goblet ........................................................ 20

2.6.6 Hiperplasia Lamela Sekunder ........................................... 20

BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 22

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................... 22

3.2 Bahan dan Alat ............................................................................. 22

3.3 Metode Penelitian ........................................................................ 22

BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 23

4.1 Insang ........................................................................................... 23

4.1.1 Hiperplasia Lamela Sekunder ........................................... 23

4.1.2 Edema dan Deskuamasi Epitel .......................................... 26

4.1.3 Kongesti dan Hemoragi..................................................... 28

4.1.4 Parasit ............................................................................... 30

4.1.5 Proliferasi Sel Goblet ........................................................ 32

4.1.6 Kerusakan Tulang Rawan (kartilago) Insang .................... 33

4.2 Usus .............................................................................................. 34

4.2.1 Proliferasi Sel Goblet ........................................................ 35

4.2.2 Kongesti dan Hemoragi..................................................... 38

4.2.3 Deskuamasi Epitel ............................................................. 39

4.2.4 Parasit ................................................................................ 40

4.3 Otot ................................................................................................ 41

4.3.1 Degenerasi Otot Sampai Nekrosa ..................................... 42

4.3.2 Edema ................................................................................ 44

4.3.3 Deskuamasi Epitel Integumen .......................................... 44

4.3.4 Parasit ................................................................................ 45

Page 10: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

10

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 47

5.1 Kesimpulan ................................................................................ 47

5.2 Saran ............................................................................................. 47

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 48

Page 11: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

11

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Gambar Ikan lele (Clarias spp.) ................................................................. 3

2. Gambar histogram frekuensi lesio histopatologi organ insang ikan lele

(Clarias spp.) ............................................................................................. 23

3. Gambaran HP organ insang yang mengalami hiperplasia lamela

sekunder ..................................................................................................... 25

4. Gambaran HP organ insang yang mengalami edema dan deskuamasi

epitel ........................................................................................................... 27

5. Gambaran HP organ insang yang mengalami kongesti dan hemoragi ...... 29

6. Gambaran HP kista dari metaserkaria trematoda digenea terdapat

di dalam filamen kartilago insang .............................................................. 31

7. Gambar HP proliferasi sel goblet pada insang. .......................................... 33

8. Gambaran HP kerusakan tulang rawan insang........................................... 34

9. Gambar histogram Frekuensi lesion histopatologi organ usus ikan Lele

(Clarias spp.) ..................................................................................................... 35

10. Gambaran HP proliferasi sel goblet pada usus........................................... 37

11. Gambaran HP kongesti, hemoragi dan deskuamasi epitel pada usus ........ 38

12. Gambaran HP perasit menginfeksi epitel usus........................................... 40

13. Gambaran HP histogram frekuensi lesio histopatologi organ otot ikan Lele

(Clarias spp.) ...................................................................................................... 41

14. Gambaran HP degenerasi hialin, edema dan nekrosa pada otot ................ 43

15. Gambaran HP deskuamasi epitel pada integument .................................... 45

16. Gambaran HP infeksi parasit di permukaan integumen dan otot ............... 46

Page 12: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

12

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Pembuatan Sediaan Histopatologi ............................................................. 51

2. Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) ........................................................ 52

Page 13: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan lele merupakan salah satu komoditi unggulan budidaya yang

dikembangkan saat ini. Ikan lele disamping sebagai salah satu sumber protein

hewani bagi masyarakat, juga merupakan komoditas yang dapat menunjang

ekonomi rumah tangga. Ikan lele mempunyai tingkat serapan pasar yang cukup

baik, selain pasar dalam negeri juga terdapat peluang untuk pasar ekspor.

Beberapa tahun terakhir produksi budidaya ikan khususnya ikan lele

mengalami penurunan penyebabnya adalah timbulnya wabah penyakit pada ikan,

sedangkan permintaan dan kebutuhan terhadap ikan terus meningkat. Peningkatan

permintaan terhadap ikan merupakan konsekuensi dari pertambahan jumlah

penduduk dan perubahan pola konsumen yaitu peningkatan jumlah konsumsi ikan

untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Ikan juga menjadi alternatif pilihan

karena masyarakat menganggap bahwa ikan lebih aman dan sehat dikonsumsi

bagi tubuh dan dapat meningkatkan kecerdasan.

Permintaan kebutuhan protein hewani asal ikan khususnya ikan lele yang

terus meningkat mendorong petani ikan untuk meningkatkan industri atau

budidaya ikan kearah intensifikasi. Budidaya sistem intensif sering

mengakibatkan ikan stres, dalam kondisi ini pertumbuhan dan penularan agen

penyakit terjadi secara cepat yang berakibat timbulnya wabah penyakit baik akibat

virus, bakteri, parasit maupun jamur yang bisa menimbulkan kematian. Menurut

Dana (1990), terjadinya kematian ikan budidaya dan stok alami yang dikaitkan

dengan penyakit sering dilaporkan. Indonesia sedikitnya telah tercatat tiga kali

wabah yang mengakibatkan kerugian besar disebabkan penyakit yaitu parasit

protozoa maupun bakteri.

Ikan lele merupakan ikan yang hidup diperairan berlumpur, air yang

tergenang bahkan ikan lele tahan hidup pada perairan yang tercemar bahan-bahan

organik, karena faktor tersebut ikan lele dengan mudah dapat terserang penyakit

infeksius maupun penyakit non infeksius. Menurut Irianto (2005), ikan konsumsi

bisa terserang penyakit infeksius dan non infeksius. Salah satu penyakit infeksius

Page 14: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

14

yaitu parasit. Ikan bisa terserang penyakit jika pemeliharaan dan

pembudidayaannya tidak baik. Serangan parasit pada ikan menimbulkan dampak

negatif yang cukup tinggi. Apabila ditemukan parasit dalam jumlah sedikit

sebetulnya masih dianggap wajar dan tidak mengganggu proses akuakultur, tetapi

apabila jumlah parasit yang menyerang ikan sangat banyak akan mengganggu

pertumbuhan dan produktifitas ikan bahkan mengakibatkan kematian. Pada ikan-

ikan yang hidup bebas di alam, akibat yang ditimbulkan oleh parasit umumnya

bersifat laten atau kronis. Ikan yang terinfeksi parasit biasanya dengan mudah

diikuti infeksi sekunder oleh bakteri, fungi atau virus. Nabib dan Pasaribu (1989)

menambahkan, penyakit non infeksius disebabkan oleh bermacam faktor

diantaranya rendahnya kandungan oksigen terlarut, tingginya kandungan amoniak,

nitrit ataupun racun-racun lain yang merupakan hasil ciptaan dan aktifitas manusia

yang masuk ke dalam perairan.

Histopatologi merupakan penelusuran penyakit secara mikroskopik

dimana dalam pengamatan histopatologi informasi yang diperoleh dalam bentuk

gambaran perubahan organ/jaringan. Informasi yang diperoleh juga dapat

digunakan sebagai data untuk mengetahui ada atau tidak infeksi penyakit serta

untuk meramalkan proses kejadian penyakit dan tingkat epidemik suatu penyakit.

Infeksi suatu penyakit baik yang infeksius maupun yang non-infeksius dapat

didiagnosa dengan beberapa cara, diantaranya dengan diagnosa secara

histopatologi yang bertujuan untuk mendapatkan berbagai informasi tentang

penyakit. Penelitian ini akan membahas tentang gambaran perubahan

histopatologi apa saja yang terlihat pada organ usus, insang dan otot ikan lele.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi secara

deskriptif dari ikan lele (Clarias spp.) pada organ usus, insang dan otot.

1.3 Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan dapat mengetahui ada atau tidak infeksi

penyakit pada ikan lele (Clarias spp.) berdasarkan perubahan histopatologi.

Page 15: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Ikan Lele

2.1.1 Taksonomi ikan lele

Menurut Suyanto (1999), taksonomi ikan lele (Clarias spp.) adalah

sebagai berikut: filum Chordata, sub filum Vetebrata, kelas Pisces, sub kelas

Teleostei, ordo Osteriophysi, sub ordo Siluroidae, famili Clariidae, genus Clarias

dan spesies Clarias spp..

2.1.2 Morfologi

Bentuk umum ikan lele adalah bulat memanjang dengan kepala pipih.

Mulut terminal dilengkapi dengan empat pasang sungut disekelilingnya. Tubuh

tidak bersisik, berkulit licin bewarna gelap atau coklat dengan bagian ventral lebih

terang. Sepanjang dorsal dan anal dilengkapi sirip lunak, sirip punggung hampir

mencapai atau bersambung dengan sirip ekor dan tidak bersirip lunak (Gambar 1)

(Saanin 1984).

Gambar 1. Ikan lele (Clarias spp.)

Ikan lele mempunyai ciri khusus yaitu di bagian sirip dada terdapat patil

pendek, tumpul dan tidak beracun. Tubuhnya tidak bersisik dan warnanya akan

berubah menjadi pucat bila terkena sinar matahari, jika ikan lele mengalami

tekanan dan stres tubuhnya akan diwarnai noda hitam dan putih (Suyanto 1986).

Mempunyai sungut mandibula dan maksilar yang lebih panjang dan tegar, sifatnya

tenang, lebih jinak dan kepala sampai punggung bewarna coklat kehitaman serta

Page 16: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

16

cangkang tengkorak sampai leher terdapat bercak putih kusam. Alat pernafasan

tambahan pada ikan lele bukan labirin seperti yang dipunyai ikan gurami, sepat

dan tambakan melainkan hanya berupa lipatan kulit tipis yang menyerupai spons

(arboresent) yang terdapat dalam rongga di atas insang serta melekat padanya

(Soetomo 1987). Kriteria ikan lele yang baik adalah tubuh tidak cacat, bentuk

tubuh lurus, berlendir bening, tidak ada benjolan ataupun luka, sungut sempurna

dan warna cerah (Anonim 1992).

2.1.3 Habitat

Habitat alami ikan lele adalah dasar perairan agak berlumpur, air

tergenang, ada pelindung dan perairan relatif dangkal. Habitat dapat disesuaikan

dengan persyaratan yang dituntut untuk hidup dan berkembang tumbuh sesuai

dengan tingkat stadiumnya. Tempat berlindung ikan lele dapat berupa pelindung

seperti tanaman air, pralon dan bambu. Kedalaman air di kolam induk antara 60-

125 cm dan di kolam benih antara 15-40 cm. Lele akan hidup lebih baik di air

yang tergenang dengan kedalaman tertentu yaitu kedalaman tertinggi 125 cm

(Anonim 1992).

Ikan lele mempunyai organ insang tambahan (arborescent) yang

memungkinkan ikan ini mengambil oksigen pernafasannya dari udara di luar air,

karena itu ikan lele tahan hidup di perairan yang airnya mengandung sedikit

oksigen. Ikan lele ini relatif tahan terhadap pencemaran bahan-bahan organik,

oleh karena itu ikan lele tahan hidup dengan baik di daratan rendah sampai daerah

perbukitan yang tidak terlalu tinggi. Apabila suhu tempat hidupnya terlalu dingin,

misal kurang dari 200 C pertumbuhannya akan terhambat (Suyanto 1986).

2.1.4 Makanan

Ikan lele termasuk dalam golongan pemakan segalanya (omnivora), tetapi

cenderung pemakan daging (karnivora). Selain bersifat karnivorus, ikan lele juga

makan sisa-sisa benda yang membusuk dan kotoran manusia, sedangkan tumbuh-

tumbuhan kurang disukai. Ikan lele juga dapat menyesuaikan diri untuk memakan

pakan buatan (Anonim 1992). Makanan alami ikan lele yaitu binatang-binatang

Page 17: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

17

renik, seperti kutu-kutu air (Daphnia, Cladosera, Copepoda), cacing-cacing, larva

(jentik-jentik serangga), siput-siput kecil dan sebagainya (Suyanto 1986).

Ikan lele secara alami makan di dasar perairan, tetapi dapat dilatih dan

sifat ini membuka peluang bagi penggunaan pakan buatan dalam usaha budidaya

baik pakan permukaan maupun tengah dan dasar (Anonim 1992).

2.1.5 Tingkah laku

Ikan lele adalah ikan yang hidup di air tawar dan bersifat nokturnal,

artinya ia aktif pada malam hari atau lebih menyukai tempat yang gelap. Siang

hari yang cerah, ikan lele lebih suka berdiam di dalam lubang-lubang atau tempat

yang tenang dan aliran air yang tidak terlalu deras. Ikan lele membuat sarang di

dalam lubang-lubang di tepi sungai, tepi-tepi rawa atau pematang sawah dan

kolam yang teduh dan terang. Berhubung sifat-sifat dan tingkah lakunya itu,

memancing ikan lele pada malam hari lebih berhasil dari pada siang hari, karena

ikan lele aktif mencari makan pada malam hari atau sesudah matahari terbenam

(Suyanto 1986).

Secara alami lele bersifat nokturnal, tetapi dalam usaha budidaya akan

beradaptasi (diurnal). Secara periodik lele akan muncul ke permukaan untuk

mengambil oksigen bebas. Lele mampu bergerak di darat dengan menggunakan

sirip dada. Padat penebaran yang relatif tinggi dan keadaan lapar dapat memacu

sifat kanibalisme (Anonim 1992).

2.2 Anatomi dan Fisiologi Ikan Lele

2.2.1 Sistem Respirasi (Insang)

Ikan dilengkapi dengan insang sebagai alat respirasi pengganti paru-paru

pada hewan darat. Insang sangat berperan dalam menyelenggarakan homeostasis

lingkungan bagi ikan. Lapis epitelnya tipis untuk memudahkan pertukaran gas,

namun hal ini pun menjadikan insang sangat rawan terhadap infeksi dari hama-

hama penyakit. Selain fungsinya dalam pertukaran gas, insangpun berfungsi

sebagai pengatur pertukaran garam dan air, pengeluaran limbah-limbah yang

mengandung nitrogen. Kerusakan struktur yang ringan sekalipun dapat sangat

Page 18: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

18

mengganggu pengaturan osmose dan kesulitan pernafasan (Nabib dan Pasaribu

1989).

Insang terdiri dari dua rangkaian yang tersusun atas empat lengkungan

tulang rawan dan tulang keras (holobrankhia) yang menyusun sisi faring. Masing-

masing holobrankhia yang menonjol dari pangkal posterior lengkung insang.

Hemibrankhia terdiri dari dua baris filamen tipis panjang yang disebut lamela

primer. Lamela primer permukaannya mengalami perluasan oleh adanya lamela

sekunder yang merupakan lipatan semilunar yang menutupi permukaan dorsal dan

ventral. Insang juga dilengkapi dengan lapisan sel-sel penghasil mukus dan sel-sel

yang mengekresi ammonia dan kelebihan garam. Pada bagian tepi tengah anterior

dilengkapi stuktur (gill rakers) yang berperan menyaring pertikel-pertikel pakan

(Roberts 2001).

Insang dilengkapi dengan sejumlah glandula yang dikenal sebagai

glandula brankhial, yaitu sel-sel epitel insang yang mengalami spesialisasi.

Glandula tersebut adalah glandula mukosa dan glandula asidofilik (sel-sel

khlorida). Glandula mukosa berupa sejumlah sel-sel tunggal berbentuk buah pear

atau oval dan menghasilkan mukus dan terdapat baik pada lengkung insang,

filamen insang maupun lamela sekunder. Mukus merupakan glikoprotein yang

bersifat basa atau netral dengan fungsi: a.) perlindungan atau proteksi, b.)

menurunkan terjadinya friksi atau gesekan, c.) antipatogen, d.) membantu

pertukaran ion, dan e.) membantu pertukaran gas dan air (Irianto 2005).

2.2.2 Sistem Pencernaan

Meskipun panjang usus ikan bisa berbeda-beda sesuai dengan

makanannya, tetapi kebanyakan usus ikan merupakan suatu tabung sederhana

yang tidak dapat bertambah diameternya untuk membentuk suatu kolon dibagian

belakangnya. Usus bisa lurus, melengkung atau bergulung-gulung sesuai dengan

bentuk dari rongga perut ikan. Usus mempunyai suatu epitel silindris sederhana

yang berlendir menutupi suatu sub-mukosa yang mengandung sel eosinofilik yang

dibatasi oleh suatu muskularis mukosa yang rapat dan lapisan fibroelastik.

Rektum pada ikan berdinding lebih tebal dari pada usus dan sangat berlendir serta

dapat sangat berkembang (Nabib dan Pasaribu 1989).

Page 19: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

19

Struktur histologi dinding dari intestin secara umum hampir sama dengan

vetebrata tingkat tinggi dimana terdiri dari empat lapisan yaitu : mukosa,

submukosa, muskularis dan serosa. Lapisan mukosa terdiri dari epitel mukosa,

lamina basalis, lamina propria dan muskularis mukosa. Pada lapisan submukosa

terdiri dari stratum kompaktum dan stratum granulosum. Pada lapisan muskularis

terdiri dari lapisan otot sirkuler dan lapisan otot longitudinal, sedangkan pada

lapisan serosa terdiri dari subserosa tella dan subserosa membran (Takashima dan

Hibiya 1995).

2.2.3 Sistem Integumen

Kulit merupakan penghalang fisik terhadap perubahan lingkungan serta

serangan patogen dari luar tubuh. Lapisan kulit terdiri atas kutikula, epidermis,

membran basalis, dermis dan hipodermis. Ikan tidak memiliki lapisan keratin pada

epidermisnya, tetapi dilapisi oleh kutikula yang memiliki mukus,

mukopolisakarida, immunoglobulin spesifik, lisozim dan sejumlah asam lemak

bebas. Sel lain yang ada pada lapisan epidermis yaitu sel-sel goblet yang berperan

dalam sekresi mukus. Mukus memiliki kemampuan protektif bagi hewan karena :

a.) mukus melapisi permukaan tubuh sehingga mempermudah gerakan saat

berenang, b.) membentuk lapisan pelindung dari infeksi agensia patogenik dan

mengandung senyawa anti mikroba, c.) melindungi permukaan tubuh dari abrasi

dan d.) berperan dalam proses osmoregulator (Irianto 2005).

Sisik dan kulit merupakan bagian dari sistim pelindungan fisik tubuh ikan.

Pada umumnya kerusakan sisik dan kulit dapat terjadi akibat penanganan

(handling stress), kelebihan populasi, dan infeksi parasit. Kelebihan populasi

(overcrowded) atau multikultur dapat menyebabkan trauma akibat berkelahi

disertai lepasnya sisik dan kerusakan kulit. Infestasi parasit dapat pula

menyebabkan gangguan berupa kerusakan insang, kulit, sirip serta kehilangan

sisik. Kerusakan pada sisik dan kulit akan mempermudah patogen menginvasi

inang. Banyak kasus menunjukkan bahwa kematian ikan sebenarnya akibat dari

infeksi sekunder oleh bakteri sebagai kelanjutan infestasi parasit yang berat dan

berakibat pada kerusakan pelindung fisik tubuh seperti mukus, kulit dan sisik

Page 20: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

20

tetapi tidak semua ikan memiliki sisik misalnya pada ikan lele (Clarias spp.)

(Irianto 2005).

2.2.4 Sistem Muskuloskeletal (Otot)

Hasil pemeriksaan histopatologi dan biokhemis dari otot ikan ternyata

terdapat sejumlah tipe serabut otot yang pada banyak spesies ikan tersusun dalam

banyak kelompok-kelompok yang terpisah. Umumnya ada 2 kelompok yaitu,

kelompok muskularis lateralis superfisialis terdiri atas yang disebut otot merah

dan kelompok muskularis lateralis profundus yang terdiri atas serabut-serabut

putih. Serabut-serabut merah ini adalah serabut aerobik dan berdaya kontraksi

lamban dan banyak pembuluh darah, serupa dengan serabut-serabut merah pada

otot mamalia, sedangkan serabut-serabut putih adalah anaerob berdaya kontraksi

cepat dan mudah menderita kerusakan. Diantara lapisan otot-otot merah dan putih

terdapat serabut merah muda yang fungsinya berada diantara serabut-serabut

merah dan putih (Nabib dan Pasaribu 1989).

2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Munculnya Penyakit pada Ikan Lele

2.3.1 Suhu

Ikan merupakan hewan ektotermik yang berarti tidak menghasilkan panas

tubuh, sehingga suhu tubuhnya tergantung atau menyesuaikan pada suhu

lingkungan sekelilingnya (Hoole et al. 2001). Ikan memiliki derajat toleransi

terhadap suhu dengan kisaran tertentu yang sangat berperan bagi pertumbuhan,

inkubasi telur, konversi pakan dan resistensi terhadap penyakit. Ikan akan

mengalami stes manakala terpapar pada suhu di luar kisaran yang dapat

ditoleransi (Irianto 2005).

Suhu tinggi tidak selalu berakibat mematikan tetapi dapat menyebabkan

gangguan status kesehatan untuk jangka panjang, misalnya stres yang ditandai

dengan tubuh lemah, kurus, dan tingkah laku abnormal. Pada suhu rendah, akibat

yang ditimbulkan antara lain ikan menjadi rentan terhadap infeksi fungi dan

bakteri pathogen akibat melemahnya sitem imun. Pada dasarnya suhu rendah

memungkinkan air mengandung oksigen lebih tinggi, tetapi suhu rendah

Page 21: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

21

menyebabkan stres pernafasan dan denyut jantung sehingga dapat berlanjut

dengan pingsannya ikan-ikan akibat kekurangan oksigen (Irianto 2005).

2.3.2 Cahaya

Pada sistem budidaya intensif, intensitas cahaya, lama penyinaran, area

berkanopi dan penyerapan cahaya lebih mudah dikontrol. Parameter-parameter ini

akan berperan dalam laju pertumbuhan dan maturisasi ikan. Pada system intensif

berair dangkal, sinar ultraviolet cahaya matahari yang berlebihan dapat

menyebabkan gangguan “sunburn” pada bagian dorsal ikan (Irianto 2005).

Penetrasi cahaya dapat terhalang oleh turbiditas air yang disebabkan

melimpahnya populasi fitoplankton (alga bloom) dan partikel-partikel padatan

terlarut. Apabila penetrasi cahaya tidak dapat mencapai dasar kolam atau tambak,

akan menghambat tumbuhnya algae berfilamen dan tumbuhan air pengganggu

pada dasar kolam. Sampai batas tertentu melimpahnya fitoplankton tertentu sangat

menguntungkan karena kebutuhan pakan alami tercukupi (Boyd 1991).

2.3.3 Stres

Stres yaitu suatu keadaan saat suatu hewan tidak mampu mengatur kondisi

fisiologis normal karena berbagai faktor merugikan yang mempengaruhi kondisi

kesehatannya. Sehingga stres didefinisikan sebagai pengaruh segala bentuk

perubahan atau tantangan lingkungan yang mendorong homeostatik atau proses-

proses penyeimbang lainnya melebihi batas kemampuan normal segala tingkatan

organisasi biologis (Irianto 2005).

Stres berpengaruh terhadap sistem pertahanan tubuh inang definitif yaitu

mukus. Segala bentuk stres akan menyebabkan perubahan kimiawi dalam mukus

yang dapat menyebabkan penurunan efektivitasnya sebagai pelindung kimiawi

inang terhadap patogen dan parasit. Stres akan mengganggu keseimbangan

elektrolit tubuh (Na, K, Cl) sehingga menyebabkan penyerapan air yang

berlebihan atau dapat pula berupa kehilangan air (dehidrasi). Kondisi stres

menyebabkan tuntutan kerja mukus dalam mengatur osmoregulasi yang efektif

menjadi sangat penting (Irianto 2005).

Page 22: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

22

2.3.4 Kelebihan Populasi (overcrowded) atau Multikultur

Penyakit infeksi menjadi ancaman utama keberhasilan akuakultur.

Pemeliharaan ikan dalam jumlah besar dan padat pada area yang terbatas,

menyebabkan kondisi lingkungan tersebut sangat mendukung berkembang dan

penyebarnya penyakit infeksi. Kondisi dengan padat tebaran tinggi akan

menyebabkan ikan mudah stres sehingga menyebabkan ikan menjadi mudah

terserang penyakit, selain itu kualitas air, volume air dan alirannya berpengaruh

terhadap berkembangnya suatu penyakit. Populasi yang tinggi akan

mempermudah penularan karena meningkatnya kemungkinan kontak antara ikan

yang sakit dengan ikan yang sehat (Irianto 2005).

2.3.5 Sistem Imun Ikan Lele yang Rendah

Beragam faktor yang mempengaruhi masing-masing individu dalam

menanggapi suatu patogen potensial. Patogen harus dapat menembus sistem imun

ikan untuk dapat menimbulkan penyakit. Daya tahan alami (imun) memungkinkan

suatu hewan menjadi terbebas dari serangan patogen karena tidak adanya jaringan

spesifik atau reseptor seluler bagi kolonisasi patogen atau tidak mampu

mendukung syarat-syarat optimum baik dari sisi kecukupan nutrien maupun

lingkungan bagi pertumbuhan pathogen. Masing-masing individu hewan memiliki

daya tahan individu yang ditentukan antara lain oleh umur, jenis kelamin, status

nutrien dan stres. Saat ikan pada kondisi lemah (sistem imun rendah) dan pada

kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan maka ikan akan rentan terserang

patogen (Irianto 2005).

2.4 Penyakit-Penyakit Infeksius pada Ikan Lele

2.4.1 Parasit

Supriyadi et al. (1986) menyatakan bahwa kematian benih ikan lele sekitar

80-100 % disebabkan oleh parasit-parasit dari golongan ciliata seperti

Ichthiophthirius multifiliis, Trichodina spp. dan Epistylis spp. ; cacing monogenea

seperti Gyrodactylus spp. dan Dactylogyrus spp. ; serta parasit yang tergolong

berbahaya dari golongan Myxosporea yaitu Henneguya spp.. Berdasarkan data

yang ada pada Dinas Perikanan Propinsi Jawa Barat, bahwa parasit yang umum

Page 23: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

23

menyerang ikan lele antara lain Ichthiophthirius multifiliis dan Argulus sp. Hasil

penelitian yang dilakukan di Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi diperoleh jenis-

jenis parasit yang ditemukan menginfeksi benih ikan lele dumbo yaitu Trichodina

spp.,Trichodinella spp., Ichthiophthirius multifiliis, Gyrodactylus spp., Cryptobia

spp.. Sedangkan menurut Hariyadi (2006), parasit yang menyerang ikan lele yaitu

Vorticella, Cryptobia sp., Trichodina, Ichthyophthirius multifiliis, Myxosporidea,

Gyrodactylus, Dactylogyrus, Branchionus, Metaserkaria dari trematoda digenea

dan Lytocestus parvulus.

1. Protoza

Epistylis spp.

Menurut Kabata (1985), Epistylis spp. digolongkan dalam filum

Ciliophora, sub kelas Peritricha, ordo Peritrichida, sub ordo Sessilina, famili

Epistylidae, genus Epistylis, spesies Epistylis spp..

Menurut Flynn (1973), tubuh berbentuk seperti kerucut dn mempunyai

cilia di daerah ujung adoral. Organisme muda berenang bebas mempunyai cilia

tambahan yang melingkar disekitar ujung posterior tubuh. Kabata (1985)

menambahkan, Epistylis spp. mempunyai makronukleus lonjong seperti sosis, ciri

perbedaan yang paling penting adalah tangkai yang tidak kontraktil. Selnya

sendiri cukup baik untuk berkontraksi dan menarik kembali periostoma ke dalam

sel.

Secara individual Epistylis spp. hidup di dekat luka atau kerusakan lainnya

di daerah kulit. Beberapa genus ini bersifat parasit obligat dan hampir tidak

spesifik terhadap ikan sebagai induk semang definitif. Asia Tenggara yang

kehidupan akuakultur air tawar kaya akan unsur organik mendukung dan mungkin

dapat diharapkan adanya kondisi seperti itu untuk kehidupan protozoa. Gejala

klinis yang tampak pada ikan yang terserang Epistylis spp. yaitu ikan menjadi

lemah, menyebabkan terjadinya iritasi kulit, menekan sel epitel yang diserangnya

mengakibatkan kelainan bentuk dan gangguan fungsi dari epitel. Kumpulan

koloni pada kulit dapat menginfeksi alat pernafasan, pada beberapa ikan yang

umumnya kulit berfungsi sebagai alat untuk bernafas. Koloni besar dari Epistylis

spp. pada opercula dapat menggangu gerakan normal dan menginfeksi alat

Page 24: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

24

pernafasan, pertumbuhan terhambat serta berat badan ikan menurun (Kabata

1985).

Eimeria

Menurut Woo (2006), Emeria digolongkan dalam filum Apicomplexa,

kelas Sporozoasida, Subkelas Coccidiasina, Ordo Eucoccidiorida, Subordo

Eimeriorina, famili Eimeriidae dan genus eimeria.

Eimeria spp. merupakan coccidia yang menginfeksi beragam jenis ikan air

tawar dan air laut serta menyebabkan penyakit coccidiosis. Emeria tidak hanya

menginfeksi sel-sel epitel tetapi juga organ dalam termasuk gonad. Emeria

subepitelia merupakan spesies emeria yang menginfeksi ikan-ikan cyprinid

menyebabkan area bintik-bintik putih agak menonjol pada bagian saluran

pencernaan anterior dan tengah. E. carpelli menginfeksi ikan cyprinid

menyebabkan borok, hemoragi pada saluran pencernaan. Adapun E. sardinae

menginfeksi ikan-ikan air laut menyebabkan reaksi granulomatous pada hati dan

testis (Irianto 2005). Infeksi pada usus sering bersifat asimtomatis tetapi dapat

menyebabkan nekrosa pada epitel usus dan enteritis. Inflamasi pada usus

disebabkan oleh pembentukan ookista. Parasit ektraintestin dapat juga

menyebabkan lesion dengan kerusakan sel target yang khas dan diikuti dengan

inflamasi. Selain itu, infeksi juga terjadi pada organ reproduksi, hati, limpa dan

gelembung renang (Noga 2000).

2. Trematoda Digenea

Anatomi Trematoda Digenea

Digenea menyebabkan infeksi asimtomatik pada ikan yang hidup

liar/bebas. Ada 1700 spesies digenea dewasa menginfeksi ikan. Metaserkaria lebih

sering terdapat pada ikan dewasa (Noga 2000). Bentuk tubuh pipih dorsoventral,

tidak bersegmen, biasanya berbentuk oval atau seperti wajik kadang-kadang juga

berbentuk oval secara melintang (leher lebih dominan). Trematoa digenea

umumnya mempunyai dua alat penghisap (sucker), satu penghisap oral yang

terletak di dekat anterior dan satu penghisap ventral yang letaknya bervariasi

(Kabata 1985).

Page 25: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

25

Siklus Hidup

Menurut Noga (2000), siklus hidup dari trematoda digenea yaitu digenea

dewasa menghasilkan telur yang keluar dari usus inang definitif (ikan, beruang

atau mamalia), telur menetas menjadi mirasidium yang menginfeksi moluska

(siput atau keong) sebagai inang antara. Serkaria berkembang dikeluarkan oleh

moluska dan mengalami penetrasi pada ikan. Setelah menempati jaringan target,

serkaria berubah menjadi metaserkaria dimana biasanya membentuk kista di

jaringan. Ikan yang juga sebagai inang antara mengandung kista dari metaserkaria

trematoda digenea dimakan oleh inang definitif kemudian metaserkaria berubah

menjadi dewasa. Irianto (2005) menambahkan, trematoda digenea memiliki siklus

hidup yang komplek dengan melibatkan sejumlah inang definitif. Ikan dapat

berperan sebagai inang sementara dan inang definitif tergantung spesies trematoda

digenea. Trematoda dapat berupa parasit ekternal atau internal pada berbagai

macam organ.

Patogenesis

Kebanyakan digenea dewasa berada di dalam gastrointestinal, tetapi jarang

menginfeksi gelembung renang, ovary, peritoneum, vesica urinaria atau sistem

sirkulasi (Noga 2000).

Kerusakan inang biasanya terjadi selama serkaria migrasi yang

menyebabkan hemoragi, nekrosis dan inflamasi di tempat migrasi dari serkaria,

jika terjadi infeksi bersifat akut sangat fatal khususnya pada ikan kecil. Serkaria

berpindah atau migrasi dari jaringan inang definitif dapat mengganggu fungsi

organ. Metaserkaria dapat ditemukan di beberapa jaringan, tergantung pada

spesies digenea yang menginfeksi. Metaserkaria dapat merusak nilai estetika dan

menurunnya laju pertumbuhan pada ikan. Lesion terlihat bewarna putih atau

kuning karena warna dari cacing, selain itu juga bewarna hitam karena

hiperpigmentasi reaksi dari inang definitif (Noga 2000).

Metaserkaria trematoda digenea dapat berbahaya bagi ikan yaitu

Diplostomum yang metaserkarianya menginfeksi lensa mata ikan salmon dan ikan

lainnya, menyebabkan kebutaan dan selanjutnya dapat menghambat kemampuan

mencari makan. Metaserkaria dari famili heterophyidae menyebabkan kerusakan

hebat pada insang, penurunan kemampuan respirasi dan mortalitas yang tinggi

Page 26: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

26

pada ikan subtropis dan tropis selain itu juga menyebabkan morbiditas serius di

Florida dan Israel (Noga 2000). Menurut Olson dan Pierce (1997), kista dari

metaserkaria dapat menimbulkan respon pada inang definitif berupa proliferasi

kartilago dari perikondrium dan respon fibroblastik pada jaringan insang, selain

itu juga mengakibatkan hiperplasia epitel insang dan fusi (penyatuan) lamela

insang sehingga terjadi kerusakan dan berkurangnya permukaan respirasi insang

serta berkurangnya efisiensi difusi gas.

Beberapa trematoda digenea yaitu dari kelompok heterophyds

(Heterophyes, Haplorchis, Metagonimus) dan opisthorchids (Chlonorchis,

Opisthorchis) dapat menginfeksi manusia karena cacing ini bersifat zoonosis.

Manusia dapat terinfeksi dengan cara memakan daging ikan yang mengandung

kista dari metaserkaria trematoda digenea yang tidak dimasak dengan baik atau

sempurna dan tidak diasinkan (Noga 2000). Menurut Woo (2006), kasus pada

manusia pernah dilaporkan di negara Israel dan Jepang menyebabkan laryngitis

akut pada manusia.

2.5 Penyakit-Penyakit Non-Infeksius pada Ikan Lele

2.5.1 Defisiensi Vitamin

Vitamin E (tokopherol)

Fungsi vitamin E dalam jaringan seperti halnya dalam diet menjadi

komponen komplek dalam mekanisme protektif melawan efek toksik radikal

bebas. Tokopherol sebagai antioksidan dipengaruhi oleh sumbangan proton dari

radikal bebas, diubah menjadi stabil sehingga menjadi senyawa yang tidak

berbahaya. Tokopherol berperan di dalam jaringan untuk regenerasi dengan

mekanisme yang melibatkan selenium. Diet ikan yang mengandung lipid oksidasi

mengakibatkan jumlah tokopherol regenerasi tidak dapat mengimbangi tekopherol

oksidasi dengan demikian akan mempercepat penipisan membran dan level

tokopherol seluler, ini menunjukkan tanda defisiensi. Gejala klinik defisiensi

vitamin E berhubungan dengan distropi otot, steatitis, patologi otot jantung serta

anemia. Anemia berhubungan dengan membran eritrosit yang rapuh dimana dapat

digunakan untuk menentukan status tokopherol pada ikan (Roberts 2001).

Page 27: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

27

Perubahan patologi akibat dari defisiensi vitamin E yaitu terjadinya

perubahan temperatur akibat respon patologi yang hebat, degenerasi hyalin pada

otot, infiltrasi lemak subepikardial dan proliferasi fibroblas. Pemberian tekopherol

dapat mencegah kondisi ini, tentu saja level tokopherol dalam jaringan ketika

diberikan makanan suplemen 5-10 kali di atas syarat diet minimum (Roberts

2001).

2.5.2 Expose Bahan Toksik

Bermacam polutan dan logam berat menyebabkan perubahan morfologi

insang pada ikan. Secara umum reaksi jaringan terhadap expose bahan toksik

lingkungan menyerupai respon inflamasi (peradangan). Expose ikan terhadap

logam berat, deterjen, nitropenol memperlihatkan pemisahan diantara sel epitel

dan dasar sel pilar sistem, dimana dapat terjadi koleps integriti struktur lamela

sekunder. Contohnya respon dari expose zinc pada ikan trout pelangi dan

stickleback terlihat adanya “swelling”(membengkak) pada lamela sekunder dan

pelepasan epitel lamela dari sel pilar sistem dan kerusakan sel epitel. Pada kasus

berat ruang interlamelar dimana air secara normal disalurkan, dapat menjadi

komplit menyebabkan hiperplasia sel epitel di filamen primer dan produksi mukus

berlebihan (Leatherland 1998). Menurut Hoole et al. (2001), perubahan-

perubahan yang akut pada jaringan insang akibat dari terpapar bahan-bahan toksik

berupa fusi (peleburan) lamela dan piknosis sel-sel. Kasus-kasus kronis akan

terjadi nekrosis, deskuamasi sel epitel, edema, dan ditandai dengan infiltrasi sel-

sel granuler eosinofilik dan jenis leukosit yang lain. Kondisi-kondisi ini

mengurangi efisiensi difusi gas dan fungsi insang yang lain dan dapat berakibat

fatal.

Keracunan Pestisida

Pestisida menimbulkan efek secara general yaitu penurunan tingkat

kelahiran/produksi atau menghambat pertumbuhan ikan. Kadang-kadang terjadi

overdosis atau melalui kontaminasi dapat menyebabkan kematian. Biasanya

menimbulkan nekrosis akut dengan nekrosis pada hati dan ginjal. Kelangsungan

hidup ikan dipertahankan dengan penggantian jaringan fibrosis pada area nekrosis

dan general rekover. Pada insang menyebabkan edema dikuti dengan deskuamasi

Page 28: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

28

epitel lamela sekunder dan nekrosa sel epitel mengakibatkan gangguan respirasi

dan osmoregulasi serta mengakibatkan kematian (Roberts 2001).

Ammonia

Ammonia lebih toksik dari nitrogen, dapat bersifat akut bagi ikan dan

dapat mengakibatkan kematian. Ammonia di dalam air ada dua bentuk yaitu ion

ammonia (NH4+) dan ammonia bebas (NH3). Ammonia bebas (NH3) lebih toksik

dari pada ion ammonia. Ammonia akan meningkat pada kondisi temperatur dan

pH air meningkat. Ammonia lebih toksik jika rendahnya level oksigen yang

terlarut (DO). Jika air mengandung biomass yang signifikan seperti macrophytes

dan algae pada saat terjadi fotosintesis dan respirasi (malam) akan mengakibatkan

kenaikan atau penurunan level (DO) dan kenaikan atau penurunan level CO2 hal

ini dapat mempengaruhi pH (Hoole et al. 2001)

Toksisitas dari ammonia dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya :

spesies ikan, level ekposur dari ammonia bebas (NH3), periode ekposur dan

beberapa efek aklimasi. Ikan yang terpapar toksik menyebabkan perubahan kimia

darah diantaranya : peningkatan pH, gangguan osmolegulator dan kesulitan

bernafas. Gangguan osmolegulator, peningkatan permeabilitas, dimana ikan harus

mengimbanginya dengan peningkatan ekresi urin. Fakta menyatakan bahwa

ammonia dapat merusak epitel insang, edema, deskuamasi epitel insang dan

nekrosis. Level ammonia yang tinggi menyebabkan kematian yang akut pada

ikan. Ini karena kerusakan epitel dan usus, menyebabkan hemoragi,

mempengaruhi CNS dan tingkahlaku yang abnormal. Ekposur kronis level

subletal dapat menyebabkan penurunan berat badan dan peningkatan kerentanan

infeksi (Hoole et al. 2001).

2.6 Beberapa Perubahan Histopatologi

2.6.1 Inflamasi

Menurut Guyton and hall (1996), inflmasi (peradangan) ditandai dengan :

(1) vasodilatasi pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah

setempat yang berlebihan, (2) kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan

kebocoran banyak sekali ke ruang interstisial, (3) seringkali pembekuan cairan

dalam ruang interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang

Page 29: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

29

bocor dari kapiler dalam jumlah berlebihan, (4) migrasi sejumlah besar granulosit

dan monosit ke dalam jaringan dan (5) pembengkakan sel jaringan, sedangkan

menurut Roberts (2001), inflamasi merupakan suatu respon pertahanan jaringan

yang rusak dan terjadi pada semua vetebrata. Respon inflamasi pada hewan

tingkat tinggi ditandai dengan color, rubor, tumor, dolore dan function laeso

(panas, merah, bengkak, sakit dan kehilangan fungsi).

Inflamasi dapat mengakibatkan pembatasan area yang terluka dari jaringan

yang tidak mengalami inflamasi. Ruang jaringan dan cairan limfatik dalam daerah

yang meradang dihalangi oleh bekuan fibrinogen, sehingga sedikit saja cair yang

melintasi ruang. Proses pembatasan akan menunda penyebaran bakteri atau

produk toksik (Guyton and Hall 1996).

Menurut Spector (1993), inflamasi dapat akut yaitu umurnya pendek atau

kronis yaitu berkepanjangan, tergantung kepada derajat luka jaringan. Underwood

(1992) menambahkan bahwa inflamasi akut merupakan reaksi awal dari

kerusakan jaringan, terjadinya dilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh

darah, cairan dan sel keluar dari pembuluh darah serta adanya netrofil di jaringan

yang meradang. Pada inflamasi kronis ditandai dengan : (1) adanya limposit, sel

plasma dan makrofag predominan, (2) merupakan lanjutan dari inflamasi akut, (3)

inflamasi granulomatos adalah bentuk spesifik dari inflamasi kronis dan kadang-

kadang diikuti reaksi sekunder oleh amyloidosis.

2.6.2 Edema

Edema merupakan suatu kondisi dimana meningkatnya jumlah cairan

dalam kopartemen jaringan interseluler. Edema terjadi pada jaringan ikat longgar

(sub kutis) dan rongga-rongga badan (rongga perut dan di dalam paru-paru)

(Underwood 1992).

Menurut Guyton and Hall (1996), penyebab dari edema adalah

meningkatnya tekanan hidrostatik intra vaskula menimbulkan perembesan cairan

plasma darah keluar dan masuk ke dalam ruang interstisium. Kondisi peningkatan

tekanan hidrostatik sering ditemukan pada pembendungan pada vena (kongesti)

dan edema merupakan resiko paska kongesti. Underwood (1992) menambahkan

bahwa edema dapat diklasifikasikan dalam empat kategori patogenetik yaitu (1)

Page 30: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

30

inflamasi yang berkaitan dengan peningkatan permeabilitas vaskuler, (2)

peningkatan tekanan intravena, (3) obtruksi saluran limfatik, (4) hipoalbumin

yang berkaitan dengan penurunan tekanan onkotik plasma.

2.6.3 Hemoragi dan Kongesti

Hemoragi (pendarahan) adalah kondisi yang ditandai dengan keluarnya

darah dari dalam vaskula akibat dari kerusakan dinding vaskula. Kebocoran

dinding ada dua macam melalui kerobekan (per reksis) dan melalui perenggangan

jarak antara sel-sel endotel dinding vaskula (per diapedisis). Hemoragi per

diapedisis umumnya terjadi pada pembuluh kapiler. Hemoragi per reksis dapat

terjadi pada vaskuler apa saja, bahkan dapat terjadi bila dinding jantung robek

atau bocor (Smith dan Jones, 1961).

Hemoragi kecil dimana berbentuk titik darah tidak lebih besar dari ujung

peniti disebut ptechiae (tunggal, petechia). Hemoragi dengan spot yang agak besar

di permukaan tubuh atau di jaringan disebut ekimosis (tunggal, ekimosis).

Ektrafasasi merupakan hemoragi dalam jaringan yang sudah sangat menyebar

(Smith dan Jones 1961) .

Hemoragi dapat disebabkan oleh : (1) trauma yaitu kerusakan dalam

bentuk fisik yang merusak sistem vaskula jaringan di daerah benturan/ kontak, (2)

infeksi agen infeksius terutama mengakibatkan septisemia, (3) bahan toksik yang

merusak endotel kapiler, (4) faktor lain yang menyebabkan dinding vaskula lemah

sehingga pembuluh darah rentan untuk bocor.

Kongesti adalah berlimpahnya darah di dalam pembuluh darah di regio

tertentu. Kongesti disebut juga hiperemi, jika dilihat secara mikroskopik kapiler-

kepiler dalam jaringan yang hiperemi terlihat melebar dan penuh berisi darah.Pada

dasarnya kongesti dapat terjadi dengan dua mekanisme yaitu : (1) Kenaikan

jumlah darah yang mengalir ke jaringan atau organ disebut dengan kongesti aktif

dan (2) penurunan jumlah darah yang mengalir ke jaringan atau organ disebut

dengan kongesti pasif (Price dan Wilson 2006).

Page 31: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

31

2.6.4 Degenerasi Otot dan Nekrosa

Degenerasi Hialin merupakan perubahan yang mengikuti cloudy swelling

dan disebut juga nekrosis koagulasi. Nukleus kromatin berkondensasi dan

menyebabkan lurik pada serabut otot menghilang. Serabut memperlihatkan suatu

penampilan homogen dan efektif terhadap pewarnaan eosin. Serabut-serabut otot

terhialinasi menjadi lebih rapuh dibandingkan serabut-serabut yang tetap utuh.

Degenerasi hialin yang hanya terjadi pada sebagian dari serabut otot

menyebabkan nukleus dekat dengan batas bagian terhialinasi dan bagian yang

tetap utuh sering kali mengalami hiperplasia. Beberapa serabut otot yang telihat

normal di dekat serabut-serabut yang terpengaruh hialinasi sering memperlihatkan

pemisahan longitudinal yang frekuen (Takashima dan Hibiya 1995).

Degenerasi granuler merupakan perubahan paling berat yang muncul pada

serabut otot dan dikenal sebagai nekrosis pencairan, yaitu degenerasi granuler

yang mempengaruhi seluruh serabut atau hanya suatu bagian saja. Sarkoplasma

menjadi granuler memperlihatkan suatu massa eosinofilik yang tidak beraturan di

dalam sarkolema, adakalanya tetap jelas terlihat pada bagian serabut otot yang

tidak terpengaruh. Kejadian umum terlihat pada serabut otot yang rusak, yaitu

adanya infiltrasi fagosit. Serabut dengan fagosit yang memenuhi bagian-bagian

terdegenerasi dikenal sebagai kantong-kantong berbentuk pipa (Tubular Bag).

Serabut-serabut otot berdekatan dengan serabut yang terpengaruh oleh degenerasi

ini juga memperlihatkan pemisahan longitudinal, hipertropi dan hiperplasia

nukleus, tetapi tingkatnya lebih besar dibandingkan dengan degenerasi hialin

pada serabut otot (Takashima dan Hibiya 1995).

Nekrosa merupakan jenis kematian sel ireversibel yang terjadi ketika

terdapat cidera berat atau lama hingga suatu saat sel tidak dapat beradaptasi atau

memperbaiki dirinya sendiri. Umunya perubahan-perubahan lisis yang terjadi

dalam jaringan nekrotik dapat melibatkan sitoplasma sel, perubahan-perubahan

paling jelas bermanifestasi pada inti. Inti sel yang nekrosis akan menyusut,

memiliki batas yang tidak teratur dan bewarna gelap. Proses ini dinamakan

piknosis. Kemungkinan lain inti dapat hancur dan membentuk fragmen-fragmen

materi kromatin yang tersebar di dalam sel, proses ini disebut sebagai karioreksis.

Pada beberapa keadaan init sel tidak dapat diwarnai lagi dan benar-benar hilang,

Page 32: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

32

proses ini disebut sebagai kariolisis. Pengaruh nekrosis mengakibatkan hilangnya

fungsi pada daerah yang nekrosa. Pada beberapa keadaan daerah nekrotik dapat

menjadi fokus infeksi yang merupakan medium pembiakan yang sangat baik bagi

pertumbuhan organisme tertentu yang kemudian dapat menyebar ke tempat lain di

dalam tubuh, bahkan tanpa infeksipun adanya jaringan nekrosa di dalam tubuh

dapat memicu perubahan sistemik tertentu misalnya peningkatan jumlah leukosit

di dalam sirkulasi. Jaringan yang mengalami nekrosis dapat menginduksi respon

peradangan dari jaringan yang berdekatan. Jaringan yang nekrosa akan hancur dan

hilang memberi jalan bagi proses perbaikan yang mengganti daerah nekrotik

dengan sel-sel yang beregenerasi, pada beberapa keadaan dengan terbentuknya

jaringan parut (Price dan Wilson 2006).

2.6.5 Proliferasi Sel Goblet

Sel goblet terdapat diantara sel absorbtif vili usus halus yang mengandung

asam glikoprotein berfungsi untuk melicinkan dinding usus (Janquiera et al. 1997)

dan berfungsi sebagai media pertahanan yang penting terhadap infeksi cacing

(Tiuria et al. 2000), sedangkan pada insang terdapat pada epitel lamela primer

bagian aferen dan eferen tepi lamela primer (Takashima dan Hibiya 1995) serta

berfungsi sebagai pelindung atau proteksi, menurunkan terjadinya friksi dan

gesekan, antipatogen, membantu pertukaran ion dan membantu pertukaran gas

dan air (Irianto 2005).

Proliferasi merupakan suatu keadaan dimana terjadi peningkatan atau

kenaikan jumlah sel yang nyata dalam jaringan (Price dan Wilson 2006). Menurut

Tiuria et al. (2000), proliferasi dan hiperplasia sel goblet terjadi pada permukaan

mukosa usus. Sel ini berasal dari sel bakal (stem sel ) yang terdapat pada dasar

kripta, berdiferensiasi dan bermigrasi dari dasar kripta ke bagian atas vili yaitu

lamina propria selanjutnya disalurkan ke dalam lumen.

2.6.5 Hiperplasia Lamela Sekunder

Hiperplasia lamela adalah respon dalam jangka panjang dari sel

malpighian. Sel terutama didapat dari lamela primer, mereka berpindah ke distal

dalam langkah awal menghasilkan akumulasi sel pada tepi lamela sekunder yang

Page 33: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

33

biasanya disebut “clubbing” pada lamela. Seluruh jarak antar lamela dipenuhi oleh

sel-sel baru dan sering ditunjukkan dengan metaplasia mukoid mengakibatkan

area respirasi menjadi berkurang (Roberts 2001).

Hiperplasia lamela biasanya berkaitan dengan peningkatan jumlah dan

migrasi sel malpighian di lamela primer. Insang rusak oleh efek pH air yang

rendah berkaitan dengan hujan asam dan peningkatan absorbsi (penyerapan)

aluminium tanah. Hiperplasia lamela sekunder juga berkaitan dengan edema pada

lamela dan hipertropi sel epitel. Terjadi perubahan bentuk sel pilar, tetapi faktor

utama yaitu peningkatan jumlah sel kloride yang meluas sampai ke permukaan

lamela sekunder sehingga terjadi penebalan pada lamela sekunder (Roberts 2001).

Page 34: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

34

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi Departemen Klinik,

Reproduksi dan Patologi serta Labratorium Helmintologi Departemen Ilmu

Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH-IPB dimulai dari

bulan Juli - Agustus 2007.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : (1) organ

insang, otot dan usus ikan lele yang telah difiksasi dalam BNF (Buffer Netral

Formalin) 10%, (2) pewarnaan Haematoksilin-Eosin, (3) xylol dan minyak

emersi, (4) objek gelas dan cover gelas, (5) mikroskop, (6) kamera untuk

dokumentasi, (7) akuarium.

3.3 Metode Penelitian

Sampel ikan lele diambil di pasar Laladon sebanyak 17 ekor kemudian

diaklimatisasi di dalam akuarium selama satu hari supaya ikan lele bisa

beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Ikan dimatikan dengan cara

memukul bagian frontal dari kepala kemudian dinekropsi. Usus, otot dan insang

yang diambil diawetkan dalam BNF 10%. Tahap berikutnya pembuatan preparat

histopatologi dilakukan beberapa tahap (lampiran 1), setelah pembuatan preparat

histopatologi dilakukan pewarnaan dengan Haematoksilin-Eosin (lampiran 2) dan

dilakukan pengamatan pada organ insang, otot, usus menggunakan mikroskop

cahaya dengan pembesaran 10x sampai 100x serta pengambilan foto histopatologi

untuk dokumentasi.

Page 35: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

35

100%

35,29%

94,12%

47,06%

58,82%

76,47%

29,41%

47,06%

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

Jumlah (Ekor)

Hiperplasia lamelasekunder

Hemoragi

Kongesti

Deskuamasi epitel

Proliferasi sel goblet

Edema

Kista dari metaserkariatrematoda digenea

Kerusakan tulangrawan

1 851181

Perubahan Histopatologi

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Insang

Berdasarkan pengamatan, perubahan histopatologi yang ditemukan pada

organ insang yaitu hiperplasia lamela sekunder yang merupakan perubahan

histopatologi paling banyak ditemukan yaitu pada 17 sampel dari 17 sampel ikan

yang diambil, berikutnya diikuti oleh kongesti 16 sampel, edema 13 sampel,

proliferasi sel goblet 10 sampel, deskuamasi epitel insang 8 sampel, kerusakan

tulang rawan 8 sampel, hemoragi 6 sampel dan yang paling sedikit kista dari

metaserkaria trematoda digenea 5 sampel (Gambar 2).

Gambar 2. Frekuensi lesio histopatologi organ insang ikan lele (Clarias spp.)

Hiperplasia Lamela Sekunder

Hiperplasia lamela sekunder merupakan perubahan histopatologi yang

paling banyak ditemukan pada insang. Semua sampel ikan yang diambil

mengalami hiperplasia lamela sekunder dan diikuti juga dengan inflamasi pada

insang. Hiperplasia lamela sekunder terjadi mulai dari ringan sampai berat.

Hiperplasia lamela sekunder yang berat terjadi jika hampir seluruh lamela

sekunder insang mengalami penebalan, sedangkan hiperplasia lamela sekunder

Page 36: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

36

ringan terjadi hanya sebahagian kecil dari lamela sekunder insang yang

mengalami penebalan.

Hiperplasia lamela sekunder disebabkan karena habitat ikan lele yang

hidup di perairan berlumpur, rawa, telaga, sawah yang tergenang air dimana

kualitas airnya buruk. Menurut Camargo dan Martinez (2007), kontaminasi air

oleh aktifitas manusia seperti pertanian dan industri yang mengandung

beranekaragam polutan organik dan inorganik diantaranya minyak, logam berat,

pestisida dan pupuk menyebabkan perubahan kualitas air dan ganguan kesehatan

pada ikan. Perubahan histopatologi insang ikan yang terpapar polutan berupa

hiperplasia sel epitel dan terangkatnya epitel lamela insang. Pada kasus berat

mengakibatkan fusi pada beberapa lamela sekunder, hipertropi sel epitel dan

bentuk lamela insang menjadi tidak beraturan (Gambar 3). Faktor lain yang dapat

menyebabkan hiperplasia lamela sekunder yaitu ammonia dalam bentuk NH3 yang

berasal dari ekresi metabolisme pakan yang bersifat toksik bagi ikan serta bisa

diikuti infeksi sekunder oleh bakteri. Kista dari metaserkaria trematoda digenea

juga dapat menyebabkan hiperplasia lamela sekunder. Hal ini dapat dilihat dari 5

sampel ditemukan kista dari metaserkaria trematoda digenea yang terdapat di

dalam filamen kartilago insang. Menurut Woo (2006), kista dari metaserkaria

trematoda digenea menginduksi hiperplasia epitel insang dan penebalan filamen

insang.

Menurut Roberts (2001), hiperplasia lamela biasanya berkaitan dengan

peningkatan jumlah dan migrasi sel malpighian di lamela primer. Hiperplasia

lamela sekunder juga berkaitan dengan edema pada lamela dan hipertropi sel

epitel serta terjadi perubahan bentuk sel pilar, tetapi faktor utama yaitu

peningkatan jumlah sel kloride yang meluas sampai ke permukaan lamela

sekunder sehingga terjadi penebalan pada lamela sekunder. Akibat dari penebalan

lamela sekunder area respirasi menjadi berkurang, selain itu juga terjadi gangguan

pertukaran ion di epitel dan terganggunya fungsi normal sel kloride.

Page 37: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

37

Gambar 3. Hiperplasia lamela sekunder pada insang (panah biru).

Pewarnaan HE, gambar atas 1 bar = 100 μm dan gambar bawah 1 bar = 60 μm

Page 38: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

38

Edema dan Deskuamasi Epitel Insang

Berdasarkan pengamatan, perubahan histopatologi pada organ insang

didapatkan 13 sampel ikan lele terjadi edema pada lamela insang dari 17 sampel

ikan lele yang diambil. Edema yang terjadi pada insang mulai dari yang ringan

sampai yang berat. Enam sampel mengalami edema berat sisanya mengalami

edema ringan sampai sedang, sedangkan deskuamasi epitel pada lamela primer

dan sekunder ditemukan pada 8 sampel ikan lele dari 17 sampel yang diambil.

Deskuamasi yang terjadi mulai dari ringan sampai berat. Edema dan deskuamasi

yang berat terjadi jika hampir seluruh lamela sekunder insang mengalami edema

dan deskuamasi, sedangkan edema dan deskuamasi ringan terjadi hanya

sebahagian kecil lamela sekunder insang yang mengalami edema dan deskuamasi.

Edema pada insang disebabkan karena bahan-bahan kimia seperti

peptisida dan logam berat, ini berhubungan juga dengan habitat ikan lele yang

hidup di air kotor yang kualitasnya buruk, selain itu juga disebabkan oleh eksresi

ammonia dari metabolisme pakan dalam bentuk NH3 yang berlebihan dapat

mengakibatkan terjadinya peningkatan permeabilitas vaskuler dan bersifat toksik

bagi ikan. Menurut Roberts (2001), edema pada lamela diakibatkan karena

terpaparnya polusi bahan-bahan kimia diantaranya logam (metal), peptisida,

formalin atau hidrogen peroksida dengan dosis yang terlalu tinggi, selain itu juga

bisa disebabkan oleh aflatoxikosis nutrisi akut yang dapat menyebabkan edema

hebat pada lamela. Kelanjutan dari edema yaitu terlepasnya (deskuamasi) epitel

respirasi pada lamela primer dan sekunder dengan nekrosa sel epitel lamela yang

hebat, sering bersifat letal akibat kesulitan bernafas dan osmoregulasi. Menurut

Underwood (1992), edema juga bisa disebabkan karena inflamasi akut dimana

dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan permeabilitas vaskuler dalam kaitan

dengan separasi (pemisahan) sel endotel di bawah pengaruh bahan kimia. Cairan

dengan kandungan protein tinggi keluar dari permeabilitas vena masuk ke

jaringan mengalami radang. Terjadinya deskuamasi epitel pada lamela primer dan

sekunder merupakan suatu indikasi adanya respon pertahanan insang terhadap

infeksi bahan asing seperti bahan-bahan kimia dan ammonia. Gambaran

histopatologi memperlihatkan insang yang mengalami edema ditandai dengan

merenggangnya epitel lamela sekunder karena berisi cairan edema (Gambar 4).

Page 39: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

39

Gambar 4. Edema (panah hitam) dan deskuamasi epitel lamela insang

(panah biru). Pewarnaan HE, gambar atas 1 bar = 100 μm dan gambar bawah 1 bar = 40 μm

Page 40: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

40

Kongesti dan Hemoragi

Kongesti menempati urutan kedua paling banyak dari perubahan

histopatologi yang terjadi pada insang yaitu 16 sampel, sedangkan hemoragi lebih

sedikit yaitu 6 sampel. Kongesti dan hemoragi yang terjadi pada insang mulai dari

yang ringan sampai dengan yang berat. Insang yang mengalami kongesti berat 4

sampel, sedangkan yang mengalami hemoragi yang berat 2 sampel sisanya

mengalami kongesti dan hemoragi yang ringan sampai sedang. Kongesti dan

hemoragi berat terjadi jika hampir seluruh bagian insang mengalami kongesti dan

hemoragi, sedangkan kongesti dan hemoragi ringan terjadi jika sebahagian kecil

insang yang mengalami kongesti dan hemoragi.

Kongesti dan hemoragi yang terjadi pada insang bisa disebabkan karena

migrasi dari serkaria yang merupakan tahap perkembangan dari trematoda

digenea. Serkaria yang migrasi akan penetrasi ke epitel insang sehingga terjadi

kerusakan pada insang dan diikuti dengan terjadinya hemoragi. Menurut Noga

(2000), serkaria yang migrasi dapat menyebabkan hemoragi, nekrosa dan

inflamasi di tempat migrasi dari serkaria tersebut. Menurut Camargo dan Martinez

(2007), kwalitas air yang buruk akibat dari aktifitas manusia seperti pertanian,

industri yang mengandung beranekaragam polutan organik dan inorganik dapat

menyebabkan kongesti pada insang. Kasus yang berat menyebabkan lesio pada

insang dimana lamela mengalami aneurism (pembengkakan pembuluh darah) dan

hemoragi dengan ruptur pada epitel lamela insang. Faktor lain yang dapat

menyebabkan terjadinya kongesti pada insang yaitu trauma fisik akibat dari

perlakuan pada saat ikan lele dimatikan sebelum di nekropsi. Ikan dimatikan

dengan cara memukul pada bagian frontal kepala sehingga menyebabkan

terjadinya kongesti pada insang. Kongesti pada insang secara histopatologi

ditandai dengan banyaknya eritrosit yang berada di pembuluh darah, sedangkan

hemoragi ditandai dengan eritrosit sudah keluar dari pembuluh darah dan berada

di jaringan insang (Gambar 5).

Page 41: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

41

Gambar 5. Kongesti (panah hitam) dan hemoragi (panah biru). Pewarnaan

HE, gambar atas 1 bar = 60 μm dan gambar bawah 1 bar = 40μm

Page 42: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

42

Parasit Berdasarkan pengamatan, didapatkan kista dari metaserkaria trematoda

digenea di dalam filamen kartilago insang sebanyak 5 sampel dari 17 sampel ikan

yang diambil. Infeksi dari metaserkaria trematoda digenea yang membentuk kista

mulai dari ringan sampai berat. Satu sampel mengalami infeksi berat, sedangkan

empat sampel mengalami infeksi ringan sampai sedang. Infeksi yang berat terjadi

jika kista dari metaserkaria trematoda digenea banyak ditemukan di dalam filamen

kartilago insang, sedangkan infeksi yang ringan terjadi jika kista dari metaserkaria

trematoda digenea sedikit ditemukan di dalam filamen kartilago insang.

Menurut Woo (2001), kista dari metaserkaria trematoda digenea terdapat

di dalam filamen kartilago insang diselimuti oleh kapsul sel kartilagenous akibat

dari penetrasi (penembusan) serkaria pada filamen insang dan kista di jaringan

konektif yang berdekatan dengan lapisan kartilago. Kista dari metaserkaria

trematoda digenea dapat menginduksi poliferasi kondroblas dari perikondrium

dan metaserkaria membentuk kapsul (hari ke-7 post-infeksi) terdapat di dalam

perpanjangan filamen kartilago insang. Infeksi dari metaserkaria trematoda

digenea yang membentuk kista juga menginduksi hiperplasia epitel, penebalan

filamen insang, memendek ketika terjadi infeksi berat dan kadang-kadang terjadi

hemoragi. Proliferasi kartilago insang menyebabkan filamen insang membesar

dari diameter normal dan terjadi fusi (peleburan) filamen serta rusaknya morfologi

insang normal (Gambar 6). Infeksi yang berat pada insang mengakibatkan

penurunan efisiensi respirasi.

Page 43: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

43

Gambar 6. Kista dari metaserkaria trematoda digenea di dalam filamen

kartilago insang (panah biru). Pewarnaan HE, gambar atas 1 bar = 100 μm dan gambar bawah 1 bar = 60 μm

Page 44: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

44

Proliferasi Sel Goblet Berdasarkan pengamatan, didapatkan 10 sampel dari 17 sampel ikan lele

yang diambil mengalami proliferasi sel goblet. Proliferasi sel goblet terjadi mulai

dari rendah sampai tinggi. Tiga sampel mengalami proliferasi sel goblet yang

tinggi dan sisanya rendah sampai sedang. Proliferasi sel goblet tinggi terjadi jika

jumlah sel goblet insang meningkat secara signifikan, sedangkan proliferasi sel

goblet rendah terjadi jika jumlah sel goblet yang meningkat hanya sedikit dan

tidak begitu signifikan.

Proliferasi sel goblet pada insang yang ditandai dengan meningkatnya

jumlah sel goblet insang (Gambar 7) disebabkan karena respon terhadap adanya

kista dari metaserkaria trematoda digenea. Ini terlihat pada insang ditemukan kista

dari metaserkaria trematoda digenea di dalam filmen kartilago insang, selain itu

juga proliferasi sel goblet bisa disebabkan karena terpapar bahan kimia organik

(pestisida dan deterjen) serta ammonia. Menurut Hoole et al. (2001), jumlah sel-

sel mukus juga meningkat akibat respon atas infeksi atau peradangan parasit dan

kualitas air yang buruk. Sel-sel mukus membebaskan material mukusnya ke

permukaan epitel untuk melindungi jaringan insang. Irianto (2005) menambahkan,

sel goblet merupakan sejumlah sel-sel tunggal berbentuk buah pear atau oval dan

menghasilkan mukus dan terdapat pada lengkung insang, filamen insang maupun

lamela sekunder. Mukus merupakan glikoprotein yang bersifat basa atau netral

dengan fungsi pelindungan atau proteksi serta anti patogen. Proliferasi sel goblet

yang terjadi pada insang merupakan mekanisme pertahanan dari selaput lendir

insang pada ikan yang terinfeksi akibat respon dari adanya parasit dan bahan asing

seperti bahan-bahan kimia organik.

Menurut Tiuria et al. (2000), mukus yang dihasilkan oleh sel goblet

bersifat protektif bagi inang dengan cara mempengaruhi pengeluaran atau

penjeratan cacing dan bahan asing serta menghalangi kontak langsung dengan

mukosa insang. Mukus juga memiliki kemampuan menghambat kolonisasi

mikroorganisme pada insang. Mukus mengandung imunoglobulin (IgM) yang

dapat menghancurkan patogen yang menginvasi. Hal ini menandakan bahwa

tubuh ikan berusaha mengeluarkan apapun bentuk dari suatu antigen atau bahan

asing dari dalam tubuh sehingga bisa terbebas dari bahan asing tersebut.

Page 45: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

45

Gambar 7. Proliferasi sel goblet pada insang (panah biru). Pewarnaan

HE, 1 bar = 40 μm Kerusakan Tulang Rawan (Kartilago) Insang

Hasil pengamatan histopatologi yang didapat yaitu 8 sampel mengalami

kerusakan tulang rawan pada insang dari 17 sampel ikan lele yang diambil. Lima

diantaranya terdapat kista dari metaserkaria trematoda digenea di dalam filamen

kartilago insang.

Kerusakan tulang rawan insang bisa disebabkan karena infeksi dari

metaserkaria trematoda digenea yang membentuk kista di dalam filamen kartilago

insang. Kista dari metaserkaria trematoda digenea yang terdapat di dalam filamen

kartilago insang diselimuti oleh kapsul sel kartilagenous. Menurut Olson dan

Pierce (1997), kista dari metaserkaria trematoda digenea menstimuli terjadinya

proliferasi kartilago dari perikondrium sehingga filamen kartilago insang

membesar dari diameter normal dan dapat merusak morfologi normal dari insang

serta diikuti dengan fusi pada filamen insang (Gambar 8). Infeksi yang berat pada

ikan menyebabkan berkurangnya permukaan respirasi pada insang.

Page 46: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

46

Gambar 8. Kerusakan tulang rawan insang (panah biru). Pewarnaan HE, gambar atas 1 bar = 100 μm dan gambar bawah 1 bar = 60 μm

2. Usus

Berdasarkan pengamatan, perubahan histopatologi yang ditemui pada

organ usus adalah proliferasi sel goblet dan kongesti pada 10 sampel, berikutnya

Page 47: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

47

diikuti oleh deskuamasi sel epitel usus 8 sampel, infeksi parasit 5 sampel dan yang

paling sedikit yaitu hemoragi 3 sampel (Gambar 9).

58,82%

17,65%

47,06%

58,82%

29,41%

0

2

4

6

8

10

Jumlah (Ekor)

Kongesti

Hemoragi

Deskuamasi epitel

Proliferasi selgoblet

Parasit Perubahan Histopatologi

183 5

Gambar 9. Frekuensi lesion histopatologi organ usus ikan Lele (Clarias spp.)

Proliferasi Sel Goblet

Proliferasi sel goblet merupakan perubahan histopatologi yang paling

banyak di temukan di organ usus ikan lele bersama dengan kongesti yaitu

sebanyak 10 sampel dari 17 sampel ikan lele yang diambil. Proliferasi sel goblet

pada usus mulai dari rendah sampai dengan tinggi. Proliferasi sel goblet yang

tinggi yaitu 4 sampel, sisanya mulai dari rendah sampai sedang. Proliferasi sel

goblet tinggi terjadi jika jumlah sel goblet usus meningkat secara signifikan,

sedangkan proliferasi sel goblet ringan terjadi jika jumlah sel goblet yang

meningkat hanya sedikit dan tidak begitu signifikan.

Page 48: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

48

Tabel 1. Jumlah Sel Goblet pada Usus Ikan Lele (Clarias spp.)

Sampel (lele) Jumlah sel goblet

1 70

2 132

3 131

4 101

5 97

6 108

7 136

8 92

9 80

10 147

11 158

12 104

13 82

14 197

15 60

16 83

17 109

Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa 5 lele dengan jumlah sel gobletnya lebih

banyak dari yang lain, ini menunjukkan bahwa kelima lele mengalami proliferasi

sel goblet yang tinggi pada usus. Proliferasi sel goblet pada usus yang ditandai

dengan meningkatnya jumlah sel goblet usus (Gambar 10) bisa disebabkan karena

infeksi cacing trematoda digenea. Kebanyakan cacing trematoda digenea dewasa

berada di dalam usus inang definitif (ikan, beruang dan mamalia) untuk

menghasilkan telur. Cacing trematoda digenea menstimulasi respon pertahanan

selaput lendir usus ikan terinfeksi yang dibuktikan dengan terjadinya proliferasi

sel goblet. Menurut Tiuria et al. (2000), mukus yang dihasilkan sel goblet bersifat

protektif dan anti patogen bagi inang dengan cara mempengaruhi pengeluaran

atau penjeratan cacing, menghalangi kontak langsung dengan mukosa sehingga

mencegah establishment bagi cacing. Mukus juga memiliki kemampuan

Page 49: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

49

menghambat kolonisasi mikroorganisme pada mukosa usus. Mukus mengandung

imunoglobulin (IgM) yang dapat menghancurkan patogen yang menginvasi. Ini

merupakan mekanisme pertahanan usus untuk mengeluaran suatu antigen atau

bahan asing dari dalam tubuh sehingga bisa terbebas dari bahan asing tersebut.

Gambar 10. Proliferasi sel goblet pada usus (panah biru). Pewarnaan HE, gambar atas 1 bar = 100 μm dan gambar bawah 1 bar = 40 μm

Page 50: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

50

Gambar 11. Kongesti (panah biru), hemoragi (panah hitam) pada usus gambar atas dan deskuamasi epitel usus (panah biru)

gambar bawah. Pewarnaan HE, 1 bar = 40 μm

Kongesti dan Hemoragi

Kongesti merupakan perubahan histopatologi yang paling banyak ditemui

pada organ usus bersama dengan proliferasi sel goblet yaitu 10 sampel, sedangkan

Page 51: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

51

hemoragi paling sedikit ditemui yaitu pada 3 sampel. Kongesti yang terjadi mulai

dari yang ringan sampai sedang, sedangkan hemoragi terjadi mulai dari yang

ringan sampai berat. Satu sampel mengalami hemoragi yang berat dan yang

lainnya mengalami hemoragi ringan sampai sedang. Kongesti dan hemoragi berat

terjadi jika hampir seluruh bagian usus mengalami kongesti dan hemoragi,

sedangkan kongesti dan hemoragi ringan terjadi jika sebahagian kecil usus yang

mengalami kongesti dan hemoragi.

Hemoragi yang terjadi pada usus bisa disebabkan oleh masuknya bahan

atau benda asing bersama makanan yang dapat menyebabkan lesio di usus dan

terjadinya hemoragi. Menurut Irianto (2005), Eimeria yang menginfeksi ikan juga

bisa menyebabkan borok, hemoragi pada saluran pencernaan. Infeksi berat yang

ditandai dengan banyaknya cacing dewasa dari trematoda digenea di dalam usus

dapat menyebabkan terjadinya kongesti akibat dari tertekannya pembuluh darah di

usus oleh cacing dewasa trematoda digenea. Kongesti pada usus secara

histopatologi ditandai dengan banyaknya eritrosit yang berada di pembuluh darah,

sedangkan hemoragi ditandai dengan eritrosit sudah keluar dari pembuluh darah

dan berada di jaringan usus (Gambar 11).

Deskuamasi Epitel Usus

Hasil pengamatan histopatologi yang didapat yaitu 8 sampel terjadi

deskuamasi epitel usus. Deskuamasi epitel yang terjadi mulai dari yang ringan

sampai sedang. Deskuamasi epitel sedang jika deskuamasi yang terjadi pada usus

lebih banyak dibandingkan deskuamasi ringan tetapi tidak sebanyak deskuamasi

yang berat, sedangkan deskuamasi epitel ringan terjadi jika hanya disebahagian

kecil usus yang mengalami deskuamasi epitel.

Deskuamasi epitel usus disebabkan karena infeksi dari parasit. Beberapa

parasit mengambil makanan dari induk semangnya dengan cara menempel di vili

usus sehingga menyebabkan kerusakan vili usus. Salah satunya yaitu cacing

trematoda digenea, cacing ini mempunyai batil hisap yang berfungsi untuk

menempel di vili usus yang dapat merusak epitel usus sehingga terjadi

deskuamasi. Deskuamasi epitel merupakan suatu indikasi adanya respon

pertahanan usus terhadap infeksi parasit (Gambar 11).

Page 52: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

52

Gambar 12. Perasit pada epitel usus (panah merah) dan infiltrasi sel-sel

radang (panah biru). Pewarnaan HE, gambar atas 1 bar = 100 μm dan gambar bawah 1 bar = 40 μm

Parasit

Hasil pengamatan histopatologi yang dilakukan pada organ usus didapat

infeksi dari parasit sejenis protozoa pada 5 sampel. Tingkat infeksinya mulai dari

Page 53: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

53

76,47%

47,06% 47,06%

23,53%

02468101214

Jumlah (Ekor)

Degenerasi otot

Deskuamasiepitel

Edema

Parasit4Perubahan Histopatologi81

ringan sampai berat. Satu sampel mengalami infeksi berat sisanya ringan sampai

sedang. Parasit menginfeksi epitel usus membentuk sarang-sarang bergranul

merah. Gambaran histopatologi memperlihatkan bahwa disekitar sarang-sarang

parasit ditemukan infiltrasi sel-sel radang yang merupakan respon pertahanan

tubuh terhadap infeksi parasit (Gambar 12).

Parasit ini belum teridentifikasi dengan pasti, kemungkinan oocysta yang

bersporulasi dari Eimeria yang menyebabkan coccidiosis pada ikan. Menurut

Philbey dan Ingram (1991), coccidia di usus berada di mukosa lamina epitelia dan

lamina propria. Biasanya disekitar sarang dari coccidia diinfiltrasi oleh sel-sel

radang pada bagian lamina propria. Menurut Woo (2006), Eimeria ditemukan di

usus ikan umumnya menginfeksi epitel usus. Oocysta dari ikan yang terinfeksi

coccidia akan bersporulasi ketika hidup di tubuh ikan, infeksi yang berat

menyebabkan letargi dan penurunan berat badan ikan.

3. Otot

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, perubahan histopatologi yang

ditemui pada organ otot adalah degenerasi otot sampai nekrosa 13 sampel diikuti

edema dan deskuamasi epitel 8 sampel serta infeksi oleh parasit 4 sampel

(Gambar 13).

Gambar 13. Frekuensi lesio histopatologi organ otot ikan Lele (Clarias spp.)

Page 54: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

54

Degenerasi Otot Sampai Nekrosa

Degenerasi otot sampai nekrosa merupakan perubahan histopatologi yang

paling banyak di temukan di organ otot ikan lele yaitu 13 sampel. Degenerasi otot

yang terjadi berupa degenerasi hialin, selain itu juga ditemukan nekrosa pada otot.

Degenerasi otot disebabkan karena faktor defisiensi nutrisi terutama defisiensi

vitamin E. Menurut Roberts (2001), perubahan patologi akibat dari defisiensi

vitamin E yaitu terjadinya perubahan temperatur akibat respon patologi yang

hebat, degenerasi hialin pada otot, infiltrasi lemak subepikardial dan proliferasi

fibroblas.

Menurut Takashima dan Hibiya (1995), degenerasi hialin merupakan

perubahan yang mengikuti cloudy swelling dan disebut juga nekrosis koagulasi.

Nukleus kromatin berkondensasi dan menyebabkan lurik pada serabut otot

menghilang. Serabut memperlihatkan suatu penampilan yang homogen dan

efektif terhadap pewarnaan eosin (Gambar 14). Serabut-serabut yang terhialinasi

menjadi lebih rapuh dibandingkan serabut-serabut yang tetap utuh, jika degenerasi

hialin yang hanya terjadi pada sebagian dari serabut otot menyebabkan nukleus

dekat dengan batas bagian yang terhialinasi dan bagian yang tetap utuh sering kali

mengalami hiperplasia. Beberapa serabut otot yang telihat normal di dekat

serabut-serabut yang terpengaruh hialinasi sering memperlihatkan pemisahan

longitudinal yang frekuen.

Perubahan-perubahan lisis terjadi dalam jaringan yang nekrotik dapat

melibatkan sitoplasma sel (Gambar 14), tetapi perubahan paling jelas terlihat pada

inti. Pengaruh nekrosis mengakibatkan hilangnya fungsi pada daerah yang

nekrosa. Pada beberapa keadaan daerah nekrotik dapat menjadi fokus infeksi yang

merupakan medium pembiakan yang sangat baik bagi pertumbuhan organisme

tertentu yang kemudian dapat menyebar ke tempat lain di dalam tubuh, bahkan

tanpa infeksipun adanya jaringan nekrosa di dalam tubuh dapat memicu

perubahan sistemik tertentu misalnya peningkatan jumlah leukosit di dalam

sirkulasi. Jaringan yang mengalami nekrosis dapat menginduksi respon

peradangan dari jaringan yang berdekatan. Jaringan yang nekrosa akan hancur dan

hilang memberi jalan bagi proses perbaikan yang mengganti daerah nekrotik

Page 55: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

55

dengan sel-sel yang beregenerasi, pada beberapa keadaan dengan terbentuknya

jaringan parut (Price dan Wilson 2006).

Gambar 14. Degenerasi hialin (panah hitam) gambar atas, edema (panah biru) dan nekrosa pada otot (panah hijau) gambar bawah. Pewarnaan

HE, gambar atas 1 bar = 100 μm dan gambar bawah 1 bar = 40μm

Page 56: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

56

Edema Hasil pengamatan histopatologi yang didapat yaitu 8 sampel terjadi edema

pada organ otot. Menurut Guyton dan Hall (1996), edema pada otot disebabkan

karena depresi sistem metabolik, inflamasi dan tidak adanya nutrisi untuk sel,

contohnya jika aliran darah ke jaringan menurun sehingga pengiriman oksigen

dan nutrien berkurang mengakibatkan pompa ion membran sel menjadi tertekan

maka ion natrium yang biasanya masuk ke dalam sel tidak dapat lagi dipompa

keluar sel. Gambaran histopatologi memperlihatkan bahwa otot yang mengalami

edema terlihat serabut-serabut otot menjadi merenggang dan diisi oleh cairan

edema (Gambar 14).

Menurut Gavin dan Zachary (2007), edema juga dapat terjadi pada

jaringan yang mengalami peradangan atau stimuli imunologi. Peradangan atau

stimuli imunologi menginduksi terjadinya vasodilatasi dan peningkatan

permeabilitas mikrovaskuler. Peningkatan permeabilitas diinduksi oleh mediator

diantaranya histamin, bradikinin, leukotrienes dan substan P, dimana mediator ini

dapat menyebabkan sel endotel kontraksi dan celah interendotel melebar sehingga

cairan dengan kandungan protein tinggi keluar dari celah interendotel masuk ke

jaringan yang mengalami peradangan. Price dan Wilson (2006) menambahkan,

peningkatan tekanan hidrostatik cenderung memaksa cairan masuk ke dalam

ruang interstisial tubuh sehingga dengan alasan ini kongesti dan edema cenderung

terjadi secara bersamaan. Faktor lain yang dapat mengakibatkan terjadinya edema

adalah penurunan tekanan osmotik intravaskuler. Keseimbangan cairan

bergantung pada sifat-sifat osmotik protein serum, jika terjadi penurunan

konsentrasi protein dapat mengakibatkan edema. Edema dapat menyebabkan

pembengkakan pada jaringan yang mengalami peradangan karena terjadi

akumulasi dari cairan.

Deskuamasi Epitel Integumen

Perubahan histopatologi yang ditemukan di bagian integumen (kulit) yaitu

deskuamasi epitel pada 8 sampel. Deskuamasi epitel pada integumen disebabkan

karena trauma fisik maupun akibat infeksi parasit yang mengakibatkan kerusakan

epitel sehingga terjadi perlepasan epitel (deskuamasi) dan nekrosa sel epitel

(Gambar 15). Ini dibuktikan pada saat sebelum nekropsi pada bagian kulit terjadi

Page 57: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

57

perlukaan. Kerusakan epitel kulit dapat diikuti dengan infeksi sekunder oleh

bakteri. Menurut Irianto (2005), kulit merupakan penghalang fisik terhadap

lingkungan serta patogen dari luar tubuh, jika terjadi kerusakan pada kulit patogen

akan dengan mudah masuk dan menginfeksi ikan.

Gambar 15. Deskuamasi epitel pada integumen (panah biru). Pewarnaan HE, 1 bar = 40 μm

Parasit Hasil pengamatan histopatologi yang dilakukan pada organ otot didapat

infeksi dari parasit sebanyak 4 sampel. Parasit ini sejenis protozoa yang

menginfeksi diantara serabut otot dan di permukaan integumen (Gambar 16).

Tingkat infeksinya masih tergolong ringan hanya di sebahagian kecil dari otot

maupun integumen. Parasit ini belum teridentifikasi dengan pasti, kemungkinan

Epistylis yang bersifat parasit obligat dan hampir tidak spesifik terhadap ikan

sebagai induk semang definitif. Menurut Kabata (1985), secara individual mereka

hidup di dekat luka atau kerusakan lainnya di daerah kulit. Epistylis menyebabkan

iritasi kulit, menekan sel epitel yang diserangnya sehingga dapat terjadi kelainan

bentuk dan gangguan fungsi dari epitel.

Page 58: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

58

Gambar 16. Parasit di permukaan integumen (panah biru) gambar atas dan

parasit di otot (panah biru) gambar bawah. Pewarnaan HE, 1 bar = 20 μm

Page 59: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

59

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Perubahan histopatologi yang ditemukan pada organ insang ikan lele

(Clarias spp.) adalah hiperplasia lamela sekunder, kongesti, edema, proliferasi sel

goblet, deskuamasi epitel insang, kerusakan tulang rawan, hemoragi dan kista dari

metaserkaria trematoda digenea. Perubahan histopatologi pada organ usus adalah

proliferasi sel goblet, kongesti, deskuamasi epitel usus, infeksi parasit dan

hemoragi, sedangkan perubahan histopatologi pada organ otot adalah degenerasi

otot sampai nekrosa, edema, deskuamasi epitel integumen dan infeksi oleh parasit.

5.2 Saran

Diperlukan perhatian terhadap kualitas air yang baik untuk habitat ikan

lele (Clarias spp.) agar tidak tercemar oleh bahan-bahan kimia maupun logam

berat. Diperlukan pemeriksaan air tempat habitat ikan lele untuk memastikan

apakah air tempat habitat ikan lele tercemar bahan-bahan kimia dan logam berat.

Perlunya penelitian lanjutan dengan melakukan perlakuan khusus agar penyebab

dari perubahan histopatologi akibat dari suatu penyakit atau infeksi dapat

diketahui dengan pasti. Jumlah dan lokasi penelitian perlu diperbanyak agar

didapat data yang lebih banyak dan mewakili untuk daerah Bogor. Kista dari

meteserkaria beberapa trematoda digenea merupakan zoonosis sehingga perlu

memasak ikan lele dengan baik atau sempurna.

Page 60: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

60

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1992. Pedoman Teknis Pembenihan Ikan Lele (Clarias batrachus).

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Perikanan, Departemen Pertanian.

Boyd, C E. 1991. Water Quality Management and Aeration in Shrimp Farming.

Proyek Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Pusat Penelitian dan

Pengembangan Perikanan, Jakarta.

Camargo, M M P dan Martinez C B R. 2007. Histopathology of Gill, Kidney and

Liver of A Neotropical Fish Caged in An Urban Stream. Neotropical

Ichthyology 5 (3) : 327-336.

Dana, D dan Angka S L. 1990. Masalah Penyakit Parasit dan Bakteri pada Ikan

Air Tawar Serta Cara Penanggulangannya. Prosiding Seminar Nasional II

Penyakit Ikan dan Udang. Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian, Bogor.

Flynn, R J. 1973. Parasit of Laboratory Animals. The Iowa State University

Press/Ames, USA.

Gavin, M D dan Zachary J F. 2007. Pathologic Basis Veterinary Disease. Mosby

Elsevier, USA.

Guyton, A C dan Hall J E. 1996. Fisiologi Kedokteran. Edisi IX. EGC,

Philadelphia.

Hariyadi, P. 2006. Inventarisasi Parasit Lele Dumbo Clarias sp di daerah Bogor

[skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.

Hoole et al.. 2001. Disease of Carp and Other Cyprinid Fishes. Fishing New

Books, Oxford.

Irianto, A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Gajah Mada University Press,

Yogyakarta. 243 hal.

Janquiera, L C et al..1971. Basic Histology. Second Edition. Lange Medical

Publication, California. 468 hal.

Kabata, Z. 1985. Parasites and Disease of Fish Cultured in the Tropics. Taylor

and Francis, London and Philadelphia. 318 hal.

Page 61: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

61

Leatherland, J F. 1998. Fish Diseases and Disorders. Volume 2 : Non-Infectious

Disorders. CABI Publishing, USA. 386 hal.

Nabib, R dan Pasaribu F H. 1989. Patologi dan Penyakit Ikan. Bogor.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bogor. 158 hal.

Noga, E J. 2000. Fish Disease Diagnosis and Treatment. Iowa State Press, USA.

366 hal.

Olson, R E dan Pierce J R. 1997. A Trematoda Metacercaria Causing Gill

Cartilage Proliferation in Steelhead Trout from Oregon. Journal of

Wildlife 33 (4) : 886-890.

Philbey, W dan Ingram A. 1991. Coccidiosis due to Goussia lomi (Protista:

Apicomplexa) in Aquarium-reared Murray cod, Maccullochela peeli

(Mitchell), (Percichthyide). Journal of Fish Disease 14 : 237-242.

Price, S A dan Wilson L M. 2006. Patofisiologi. Edisi VI. Volume I. EGC,

Philadelphia.

Roberts, R J. 2001. Fish Pathology. Third Edition. W.B.Saunders, London,

Edinburgh, Philadelphia, St Louis, Sydney, Toronto. 472 hal.

Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifiksi Ikan. Bina Cipta, Jakarta.

Smith, H A dan Jones T C. 1961. Veterinary Pathology. Lea & Febiger,

Philadelpia.

Soetomo, M H A. 1987. Teknik Budidaya Ikan Lele Dumbo. Sinar Biru, Bandung.

109 hal.

Spector, W G. 1993. Pengantar Patologi Umum. Edisi III. Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta.

Supriyadi, H et al.. 1986. Parasit pada Ikan Lele di Jawa Barat (Clarias sp.).

Buletin Penelitian Perikanan darat. Vol. 5., Bogor.

Suyanto, S R. 1986. Budidaya Ikan Lele. Cetakan IV. Penebar Swadaya, Jakarta.

Takashima, F dan Hibiya T. 1995. An Atlas of Fish Histology Normal and

Pathological Features. Edisi II. Kodansha Ltd, Tokyo. 195 hal.

Tiuria, R et al.. 2000. Pengaruh Infeksi Cacing Ascaridia Galli Terhadap Respon

Sel Goblet dan Sel Mast pada Usus Halus Ayam Petelur. Majalah

Parasitologi Indonesia 13.

Page 62: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

62

Underwood, J C E. 1992. General and Systematic Pathology. Churchill

Livingstone, New York.

Woo, P T K. 2006. Fish Diseases and Disorders. Volume 1 : Protozoa and

Metazoa Infections. Second Edition. CABI Publishing, USA.

Page 63: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

63

Lampiran 1 Pembuatan Sediaan Histopatologi

Sampling Organ

↓ Fiksasi

↓ Dehidrasi

(proses penarikan air dari jaringan) alkohol 70%, 80%,90%,95%,95%

alkohol absolut I, alkohol absolut II : masing-masimg 2 jam

↓ Clearing

Silol, silol II masing-masing 2 jam ↓

Embedding (penanaman jaringan dalam paraffin)

↓ Sectioning

(pemotongan) Menggunakan mikrotom setebal 5 μm

↓ Mounting

(penempelan sediaan pada gelas objek) ↓

Staining (pewarnaan)

Page 64: GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS PADA IKAN LELE (Clarias spp) BOGOR.pdf

64

Lampiran 2 Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE)

Xylol I : 2 menit

↓ Xylol II : 2 menit

↓ Alkohol absolute : 2 menit

↓ Alkohol 95% : 1 menit

↓ Alkohol 85% : 1 menit

↓ Cuci dengan air kran : 1 menit

↓ Mayer’s Haematoxylin : 8 menit

↓ Cuci dengan air kran : 30 detik

↓ Lithium carbonat : 15-30 detik

↓ Cuci dengan air kran : 2 menit

↓ Eosin : 2-3 menit

↓ Cuci dengan air kran : 30-60 menit

↓ Alkohol 95% : 10 celupan

↓ Alkohol absolute I : 10 celupan

↓ Alkohol absolute I : 2 menit

↓ Xylol I : 1 menit

↓ Xylol II : 2 menit

↓ Tutup dengan gelas penutup