fungsi sosial hak milik atas tanah
DESCRIPTION
fungsi sosial hak milik atas tanahTRANSCRIPT
FUNGSI SOSIAL HAK MILIK ATAS TANAH
Oleh : I Made Jana Kusuma, S.H.
NPM :P3600210071
I.Pendahuluan
A.Latar belakang
Dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok Pokok Agraria, maka berakhirlah plularisme hukum pertanahan di
Indonesia. Dengan berlakunya Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) berarti
terwujudnya unifikasi hukum pertanahan di Indonesia, dengan harapan membawa
kepastian hukum dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat
Indonesia.
Didalam salah satu pertimbangan diundangkan UUPA, yang dinyatakan dalam salah
satu konsiderannya, bahwa didalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan
rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan
ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang adil dan
makmur. Atas dasar itu diharapkan hukum agraria nasional harus memberi kemungkinan
akan tercapainya fungsi bumi, air, dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud diatas dan
harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya
menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria. Disamping itu hukum agraria
nasional itu harus mewujudkan penjelmaan dari Ketuhanan Yang maha Esa,
Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial, sebagai asas kerohanian
Negara dan cita-cita bangsa Indonesia seperti yang tercantum didalam pembukaan
Undang Undang Dasar.
Adapun tujuan pembentukan Undang Undang Pokok Agraria adalah untuk
menciptakan kepastian hukum dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan
kesejahteraan masyaraka. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam konsideran
UUPA yang mengandung suatu maksud untuk memberikan perlindungan bagi
masyarakat tani yang selama berlakunya hukum tanah barat menjadi masyarakat yang
termarjinalkan. Atas dasar pertimbangan tersebut maka dalam pembentukannya UUPA
menjadikan hukum adat sebagai sumber utama dan sebagai sumber pelengkap, sehingga
UUPA sebagai hak negara dengan hukum adat sebagai hukum rakyat diharapkan dapat
berkoeksistensi dalam pengaturan dan penerapan hak-hak atas tanah (I Made Suwitra,
2010, Eksistensi Hak Penguasaan dan Pemilikan Atas Tanah Adat di Bali dalam
Perspektif Hukum Agraria Nasional, Bandung: Logoz,XVII).
Sesuai dengan namanya UUPA hanya memuat hal-hal yang pokok-pokok saja,
maka dalam pelaksanaannya perlu diatur lagi dalam peraturan perundang-undangan yang
lain dan dalam peraturan pelaksananya.
Berkaitan dengan hal tersebut tentang pengaturan hak milik diatur dalam hal
penggunaannya oleh orang lain diatur dengan peraturan perundangan (pasal 24), akan
tetapi sejak diundangkan UUPA sampai saat ini belum ada aturan yang mengatur tentang
hal tersebut, sehingga dalam pelaksanaannya terjadi bermacam-macam penafsiran
(interpretable), seperti misalnya tentang fungsi sosial dari hak milik atas tanah yang
dinyatakan dalam pasal 6. Apa yang dinyatakan dalam pasal tersebut secara implisit
membawa pesan pemilikan hak atas tanah oleh perorangan tidak dimungkinkan secara
mutlak atau absolut seperti hak milik yang diatur dalam hukum barat (BW) yang disebut
eigendom yang tidak sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia.
Melalui berbagai penafsiran, ditemui berbagai peraturan pertanahan yang lebih
berfungsi fasilitatif para pengusaha industri, penafsiran, meliputi penafsiran tentang sifat
fungsi sosial atas tanah yang sebenarnya baru merupakan konsepsi dengan asas-asas dan
ketentuan-ketentuan pokoknya dalam UUPA dan beberapa undang-undang pokok lain,
sampai sekarang, belum cukup memasyarakat. Ketentuan-ketentuan yang merupakan
penjabaran sifat fungsi sosial tampaknya belum dilaksanakan sebagaimana diharapkan
pada waktu dibuatnya.(Boedi Harsono, 1992, Pembebasan Tanah, kendala, dan
Alternatifnya, Makalah Seminar Nasional Penanganan Kasus pertanahan di Indonesia,
jakarta: Universitas Taruma Negara/IPHI, hal 291).
Didalam perkembangan masyarakat dewasa ini yang corak kehidupannya telah
mengalami pergeseran dari agraris menuju industrialisasi akibat dari globalisasi yang
membawa konsekwensi pada cara pandang seseorang terhadap hak milik yang berfungsi
sosial. Cara pandang pada hak milik ini diakibatkan karena belum ada aturan perundang
undangan yang khusus mengaturnya sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh UUPA.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka muncul pertanyaan, yaitu : Apakah
fungsi sosial hak milik atas tanah dalam implementasinya, telah sesuai dengan maksud
yang dinyatakan dalam pasal 6 UUPA? Hal ini menjadi rumusan masalah yang dibahas
dalam peper ini.
II.Hakekat Hak Milik Atas Tanah
A.Pengertian Hak Milik
Menurut pasal 16 ayat (1) dinyatakan bahwa Hak-hak atas tanah sebagai yang
dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) terdiri dari hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan
hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan
dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan
dalam pasal 53.
Hak milik merupakan salah satu hak atas tanah yang diberikan oleh negara yang
boleh dipunyai oleh orang-orang dan badan hukum baik sendiri maupun secara bersama-
sama dengan orang lain. Menurut pasal 20 UUPA yang dimaksud dengan hak milik
adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah.
Sebagai hak yang terkuat dan terpenuh diantara hak-hak atas tanah yang ada, boleh
digunakan untuk segala keperluan yang terbuka bagi hak-hak atas tanah yang lain, tanpa
batas waktu, sedangkan yang terbatas sesuai dengan jangka waktu penggunaannya.
Adapun arti dari “ ter ” dalam kata terkuat dan terpenuh adalah untuk membedakan
dengan hak-hak yang lainnya, dalam hal ini hak milik mempunyai kedudukan yang
tertinggi diantara hak-hak atas tanah yang lainnya.
Sebagaimana isi dan sifat dari Hak Milik, jangka waktu Hak Milik tidak terbatas
atau tidak mempunyai jangka waktu, dalam artian bahwa pemberian sifat itu tidak berarti
merupakan hak yang mutlak, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu-gugat sebagai hak
eigendom menurut pengertian dalam BW. Sifat yang demikian jelas bertentangan dengan
sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak.
Selanjutnya, A.P.Parlindungan mengatakan bahwa luasnya isi dan sifat hak milik
juga meliputi tubuh bumi, air, dan ruang angkasa yang ada di atasnya, sebagai suatu
penjelmaan dari ciri-ciri hukum adat yang menjadi dasar dari Hukum Agraria
Nasional.(A.P.Parlindungan, 1991, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria,
Bandung: Mandar maju, hal 123). Kewenangan penggunaan hak milik yang meliputi
tubuh bumi, air, dan ruang angkasa di atasnya itu harus dimaknai dalam kerangka
pembatasan Pasal 4 ayat (2) UUPA, yakni sekedar diperlukan untuk kepentingan yang
langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu.
Sesuai hukum adat hak milik bersumber dari hak ulayat sebagai hak bersama dari
masyarakat hukum adat. Oleh karena itulah, hak milik harus tetap berfungsi sosial,
eksistensi dan penggunaannya harus tetap memperhatikan kepentingan bersama, yakni
kepentingan bangsa Indonesia.
Pengertian “turun-temurun” dalam isi dan sifat hak Milik Sudargo Gautama
memaknai sebagai hak yang dapat diwarisi dan diwariskan. Boedi Harsono menegaskan
bahwa hak milik ini tidak hanya akan berlangsung selama hidup orang yang
mempunyainya, tetapi hak itu dapat diwariskan dan diwarisi. Kemudian A.P
Parlindungan menafsirkan “turun-temurun” tersebut sebagai hak yang dapat diwariskan
berturut-turut ataupun dan dapat diturunkan kepada orang lain tanpa perlu diturunkan
derajatnya ataupun hak itu menjadi tiada atau harus memohon haknya kembali ketika
terjadi pemindahan hak. (Oloan Sitorus, H.M.Zaki Sierrad, 2006, Hukum Agraria Di
Indonesia Konsep Dasar dan Implementasi, Yogyakarta, Mitra Kebijakan Tanah
Indonesia; hal 90).
B.Kewenangan Dan Kewajiban Pemegang Hak Atas Tanah
Semua hak atas tanah yang tersebut diatas memberikan kewenangan untuk
menggunakan tanah yang dihaki, tetapi sifat-sifat khusus haknya, tujuan penggunaan
tanahnya dan batas waktu penguasaannya merupakan tolok pembeda antara hak atas
tanah yang satu dengan yang lain. Kewenangan yang dimiliki dalam menggunakan hak
atas tanah dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Tidak boleh menimbulkan kerugian bagi pihak lain, dalam hal ini berkaitan
denga penyalah gunaan hak (misbruik van recht atau abus de droit) yang pada
intinya melarang penggunaan hak seseorang mengganggu atau menimbulkan
kerugian bagi orang lain.
2. Sesuai dengan isi dan sifat hak itu sendiri, yaitu kewenangan penggunaan hak
atas tanah tidak boleh melebihi atau berlainan dengan isi dan sifat hak itu
sendiri.
3. Sesuai dengan ketentuan Rencana tata Ruang atau Tata Guna Tanah, yaitu
kewenangan penggunaan hak atas tanah harus memperhatikan ketentuan-
ketentuan yang ada mengenai tata ruang/tat guna tanah, seperti garis sempadan,
beberapa bagian tanah yang boleh dibangun, batas tinggi bangunan dan lain-
lain peratutaran yang ditetapkan oleh Pemerintah daerah.
4. Tidak boleh digunakan untuk praktek-praktek pemerasan, yaitu mewajibkan
pemegang hak atas tanah pertanian untuk mengerjakan atau mengusahakan
sendiri secara aktif dan mencegah cara-cara pemerasan serta mencegah
penggunaan hak untuk menguasai atas kehidupan dan pekerjaan orang lain
yang melampui batas.
5. Tidak boleh menggunakan ruang atas tanah dan ruang bawah tanah yang tidak
berkaitan langsung dengan penggunaan tanah (permukaan tanah). (Oloan
Sitorus, H.M.Zaki Sierrad, ibid, hal 78-79).
Hak-hak atas tanah tersebut selain memiliki kewenangan-kewenangan juga
berisikan kewajiban untuk menggunakan dan memelihara potensi tanah yang
bersangkutan. Didalam UUPA kewajiban-kewajiban tersebut bersifat umum, yang artinya
berlaku terhadap setiap hak atas tanah, diatur dalam :
1. Pasal 6, yang menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial. Adapun konsekuensi dari fungsi dari hak atas tanah ini adalah :
a. penggunaan tanah harus sesuai dengan perencanaan, peruntukan, dan
penggunaan tanah sebagaimana dalam pasal 14 UUPA.
b. Setiap hak atas tanah dapat dicabut demi kepentingan umum, dengan
catatan kepada si empunya tanah yang dicabut haknya diberikan
kompensasi yang layak.
c. Setiap jengkal tanah tidak boleh ditelantarkan, dalam UUPA ditegaskan
bahwa penelantaran tanah merupakan salah satu cara untuk mengakhiri
hak atas tanah.
d. Tanah bukan merupakan komoditi perdagangan.
2. Pasal 15 dihubungkan dengan pasal 52 ayat (1) tentang kewajiban memelihara
tanah yang dihaki;
3. Pasal 10 khusus mengenai tanah pertanian, yaitu kewajiban bagi pihak yang
mempunyainya untuk mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif.
Selain apa yang ditentukan dalam pasal-pasal tersebut diatas, dalam menghadapi
suatu kasus-kasus kongkrit, perlu diperhatikan juga kewajiban-kewajiban secara khusus
yang dicantumkan dalam surat keputusan pemberian haknya atau dalam surat
perjanjiannya serta dalam peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik
peraturan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah yang bersangk utan. (Boedi
Harsono, Hukum Agraria Indonesia, 2008, Jakarta, Jambatan; hal 296).
C. Asas Fungsi Sosial Hak Atas Tanah
Asas ini ditemukan pada pasal 6 UUPA dinyatakan bahwa semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial. Menurut Penjelasan Umumnya yang dimaksud dengan fungsi
sosial hak atas tanah adalah hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang, tidaklah
dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan)
semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian
bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat
daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang
mempunyai maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Tetapi dalam pada itu,
ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama
sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang Undang Pokok Agraria
memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan haruslah saling
mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok : kemakmuran, keadilan,
dan kebahagian bagi rakyat seluruhnya (pasal 2 ayat 3).
Rasionalitas dari ketentuan tersebut diatas, yaitu adanya suatu pandangan bahwa
semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada Hak Bang
sa sebagai kepunyaan bersama dari bangsa Indonesia. Ada beberapa konsekuensi dari
fungsi sosial dari hak atas tanah ini adalah sebagai berikut :
1. Tidak dapat dibenarkan untuk menggunakan atau tidak menggunakan tanah
hanya untuk kepentingan pribadi pemegang haknya, apalagi sampai
menimbulkan kerugian masyarakat;
2. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat dari haknya,
sehingga bermanfaat bagi kesejahteraaan dan kebahagiaan yang mempunyai
maupun bermanfaat bagi masyarakat dan negara;
3. Penggunaan dan pemanfaatan tanah harus memperhatikan Rencana Tata
Ruang, instrumen penatagunaan tanah lainnya yang ditetapkan secara sah oleh
pihak yang berwenang;
4. Pemegang hak atas tanah wajib memelihara tanah dengan baik, dalam arti
menambah kesuburan dan mencegah kerusakan tanahnya;
5. Merelakan hak atas tanahnya apabila dicabut demi kepentingan umum.(Oloan
Sitorus, H.M.Zaki Sierrad, op.cit, hal 66-67).
Mengikuti alur berfikir logika yuridis pasal 6 UUPA, terdapat semacam keharusan,
bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Melalui pasal ini pembuat
undang-undang mengalokasikan berbagai fungsi mengenai hak-hak atas tanah, termasuk
hak milik. Fungsi ini dapat bersifat fasilitatif atau kontrol, bahkan keduanya baik fungsi
fasilitatif maupun fungsi kontrol. Fungsi kontrol misalnya mewajibkan bagi siapapun
pemilik tanah (perorangan/badan hukum) untuk mengetahui dan mematuhi apa ”yang
dihukumkan” atau mematuhi kewajiban yang diidealkan oleh norma positif sehubungan
dengan fungsi sosial pada hak milik atas tanahnya.(Yusriyadi, 2010,
Industrialisasi&Perubahan Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah, Yogyakarta, Genta: hal
23).
Fungsi sosial hak milik atas tanah dianggap sebagai norma yang dianggap sebagai
norma positif atau norma yang dipositifkan oleh Pasal 6 UUPA. Dalam hal ini Sebagai
norma tentang hak milik yang diidealkan. Fungsi sosial hak milik atas tanah seakan
menjadi ”doktrin pemilikan tanah”. Didalam kajian-kajian hukum, doktrin (sering juga
disebut konsep) selalu dianggap sebagai kebenaran yang tak terbantahkan. Idealnya
dalam setiap decision making, doktrin/konsep ini harus menjadi tolok untuk menentukan
yang salah dan yang benar.( Yusrihadi, ibid, hal 24).
D.Implementasi Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah
Dengan beralih pemerintahan dari orde lama ke pemerintahan orde baru, berubah
pula politik pertanahan di Indonesia, yaitu yang sebelumnya pada orde lama bersifat
populis menjadi orde baru yang lebih menekankan pada pembangunan menuju
industrialisasi. Pemerintah orde baru dalam melaksanakan pembangunan, hanya
diarahkan mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi nasional. Kebijakan ini ditempuh
melalui pengadaan sektor industri dan modernisasi sektor pertanian sebagai usaha
mewujudkan swasembada pangan.
Dalam rangka kebijakan pembangunan ekonomi, pemerintah mengundang para
pemilik modal baik asing maupun domestik untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Pemerintah memandang perlu untuk menyediakan fasilitas perpajakan dan tanah.
Berbagai fasilitas diprioritaskan untuk para pemilik modal swasta (pengusaha) yang
memerlukan tanah untuk pembangunan industri atau kegiatan pembangunan lainnya yang
mengatasnamakan proyek-proyek ”kepentingan umum”. Karena persedian tanah terbatas,
pemerintah menempuh kebijakan yang sangat pragmatis dengan tujuan memungkinkan
pemerintah dan pemilik modal mengambil alih tanah-tanah milik warga/penduduk/rakyat
dengan cara pembebasan tanah dan pembayaran ganti rugi.
Konsep pembuat kebijakan dalam bidang pertanahan berpengaruh terhadap pilihan
yang ditempuh. Pilihan dapat berorentasi penghargaan pada hak-hak seseorang terhadap
tanah sebagai hak asasi yang dijamin secara adil, atau justru sebaliknya ke kebijakan
yang cenderung melihat tanah pada mekanisme pasar. Industrialisasi di Indonesia sejak
Pelita I telah menimbulkan berbagai persoalan yakni terjadinya transformasi struktural
berupa pergeseran sektor produksi yang mengandalkan sektor primer (pertanian) bergeser
ke sektor sekunder (industri) kemudian ke sektor-sektor jasa (rajesh chandra, 1992:4,
Yusriadi, ibid, hal 104).
Konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi di Indonesia sejalan dengan proses
transformasi struktural yang terjadi di berbagai negara, yakni terjadi penurunan
kontribusi sektor pertanian dan kontribusi sektor sekunder dan tersier meningkat. Adanya
pergeseran sektor pertanian oleh industri menyebabkan sektor industri dominan bahkan
melampaui pertumbuhan sektor pertanian (mudrajad Kuncoro, 1997: 77, Yusriadi, ibid,
hal 105).
Adanya pergeseran sektor pertanian oleh industri membuktikan ketidakseimbangan
antara sektor pertanian dan industri. Secara politis dalam beberapa GBHN sektor
pertanian diletakkan sebagai prioritas, tetapi sebatas prioritas kedua. Akibatnya dana-
dana pembangunan nasional yang sebagian besar merupakan pinjaman luar negeri,
diinvestasikan pada sektor industri.
Pada tahap awalnya, pergeseran perekonomian rakyat dari pertanian ke industri
menyebabkan terjadinya konflik kultural, yakni antara kultur agraris di pedesaan dengan
kultur industri yang bersifat industrial. Konflik muncul disebabkan karena adanya
perbedaan pandangan dalam hal memandang waktu, uang dan makna kehidupan. Dalam
kultur agraris, waktu lebih bersifat siklus sehingga berbeda dari kultur industri yang
bersifat linier. Dalam kultur agraris uang lebih bersifat sosial dan berfungsi sebagai alat.
Sementara itu, dalam kultur industri lebih bermakna ekonomi dan sekaligus sebagai
tujuan. Dalam struktur agraris harmoni atau keseimbangan lebih dianggap penting
daripada kemajuan atau angka-angka pertumbuhan yang menjadi ukuran bagi kultur
industri (Kiswondo dkk[Ed],2000:172, Yusriadi, ibid, hal 106).
Industrialisasi yang ditempuh melalui pembangunan industri menyebabkan banyak
tanah yang dikonversi, yakni dari tanah pertanian ke industri. Dengan demikian fungsi
tanah telah berubah, yakni dari alat produksi subsistensi rakyat berubah menjadi alat
produksi para pengusaha industri. Menurut data yang dikemukakan Kompas 13 juli 1995
menyebutkan sekitar 900.000 Ha (sembilan ratus ribu hektar) tanah pertanian di Pulau
Jawa telah terkonversi menjadi tanah non pertanian terutama industri (Noer Fauzi, 1999,
Petani dan Penguasa, Dinamika perjalanan politik Agraria indonesia, Yogyakarta:
pustaka Pelajar, hal 6-7). Disini telah terjadi ketimpangan pemilikan tanah diantara para
petani dengan para pengusaha industri. Dipihak rakyat/petani kebutuhan tanah semakin
meningkat. Sementara itu, dipihak pemerintah terdapat kebijakan memfasilitasi
pengusaha industri untuk pengadaan tanahnya. Kebijakan ini sering ditempuh, meskipun
mengorbankan tanah-tanah produktif yang semula diusahakan rakyat untuk pertanian.
Fungsi sosial hak atas tanah sebagaimana diidealkan oleh UUPA mengalami perubahan
dalam aktualisasinya. Dalam hal ini berubah identik dengan kepentingan umum atau
kepentingan pembangunan.
Semestinya arah kebijakan pemerintah dalam bidang pertanahan dilakukan sesuai
dengan apa yang tersirat dalam rumusan GBHN 1988, yaitu:
Tanah mempunyai fungsi sosial dan pemanfaatannya harus dapat meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Untuk itu perlu terus dikembangkan rencana tata ruang dan
tata guna tanah secara nasional, sehingga pemanfaatan tanah dapat terkordinasi,
antara berbagai jenis penggunaan dengan tetap memelihara kelestarian alam dan
lingkungan serta mencegah penggunaan tanah yang merugikan kepentingan
masyarakat dan kepentingan pembangunan. Di samping itu perlu dilanjutkan
penataan kembali penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah termasuk
pengalihan hak atas tanah.
Meskipun arah yang dituju GBHN 1988 tidak menyebut sebagai dasar kebijakan
pertanahan di Indonesia, namun mempunyai implikasi tersendiri terhadap fungsi sosial
milik tanah dalam teks normatif-positivistik. Dalam GBHN 1988 terdapat rumusan yang
mengisyaratkan pemisahan antara dua kepentingan yang harus dilayani dalam kaitannya
dengan fungsi sosial penggunaan tanah.
Pembangunan khususnya selama Orde Baru, aktualisasi fungsi sosial hak milik atas
tanah telah menimbulkan berbagai permasalahan sosial dan politik. Dalam kenyataannya,
banyak ditemukan kebijakan pembebasan tanah untuk pembangunan industri lebih
diarahkan memberikan kemudahan bagi kepentingan para pengusaha. Artinya, fungsi
sosial hak milik atas tamah menjadi lebih berfungsi sebagai sarana kontrol terhadap
pemilik tanah. Konsekuensinya, kebijakan pembebasan tanah lebih merugikan
kepentingan warga masyarakat dan menunjukkan kelemahan aspek hukum. Dalam
praktek komponen ganti rugi hanya meliputi tanah, bangunan, dan /atau tanam-tanaman
yang diserahkan. Dengan dalih semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, praktik
pembebasan tanah cenderung membenarkan ditiadakannya tolok ukur yang berbeda
mengenai kelayakan ganti-kerugian untuk tanah yang diperlukan untuk kepentingan
umum dan untuk keperluan lain sehingga untuk penyelenggaraan kepentingan umum
tersebut diharapkan kerelaan pemilik tanah untuk berkorban. (Boedi Harsono, op.cit, hal
2)
Menurut Moh.Mahfud MD, implementasi fungsi sosial tanah, menemukan barbagai
peraturan yang tidak dapat dilaksanakan. Ada yang overlap (tumpang tindih) diantara
lebih dari satu peraturan, baik yang vertikal maupun horizontal. Fakta semacam itu dapat
ditunjukan dari adanya berbagai pendudukan kembali tanah-tanah masyarakat yang sudah
dibebaskan. Misalnya, tanah peternakan di Tapos dan tanah-tanah untuk fasilitas umum
lainnya.(Moh.Mahfud MD, 2002: 25, yusriadi, op.cit, hal 150)
Pada hakekatnya pembangunan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia,
tetapi dalam prakteknya dijumpai paradoks pembangunan, disatu sisi pembangunan
menghasilkan berbagai proyek fisik, disisi lain memanfaatkan tanah-tanah yang semula
sebagai sumber kehidupan utama warga masyarakat. Disini muncul konflik-konflik
kepentingan atas penggunaan tanah. Konflik terjadi antara pelaksana pembangunan
dengan warga masyarakat yang pada umumnya lemah sehingga warga masyarakat selalu
berada di pihak yang kalah. Akibatnya warga masyarakat terpaksa harus tergusur atau
terpaksa melepaskan tanahnya dengan menerima ganti rugi yang sering tidak memadai.
Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah Orde Baru, yaitu menitikberatkan pada
upaya mendukung pertumbuhan ekonomi yakni menciptakan iklim kondusif bagi
penanaman modal asing. Hal ini bertolak belakang dengan kebijakan yang mengundang
investor untuk mengolah tanah berdampak pada rakyat menjadi termarjinalkan dari
penguasaan tanahnya, atau kehilangan akses/kesempatan untuk mendapatkan, mengelola
sumber daya tanah.
Setelah para pemilik modal mendapatkan kemudahan memperoleh tanah untuk
kepentingan usaha ternyata banyak juga yang tidak mengusahakan dengan baik hak atas
tanah yang diperolehnya, ada juga pemegang hak yang sengaja menelantarkan,
menunggu sampai harga tanah meningkat dan kemudian mereka menjual kembali dengan
harga yang lebih tinggi. Hal ini menyebabkan banyak tanah yang tidak dipergunakan
sesuai dengan sifat dan peruntukanya. Dengan demikian tanah telah menjadi komoditi.
Pembangunan di masa Orde Baru dalam tataran formal dan ideologis, disusun dalam
rangka melaksanakan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang mewajibkan
menggerakkan seluruh kekayaan bumi, udara dan air yang dimiliki oleh bangsa Indonesia
guna kesejahteraan rakyat. Namun dalam kenyataannya selalu terjadi kesenjangan antara
teori dan pakteknya. Hal ini disebabkan karena aktualisasi fungsi sosial hak milik atas
tanah telah menimbulkan berbagai permasalahan sosial dan politik. Dalam
kenyataannnya, banyak ditemukan kebijakan pembebasan tanah untuk pembangunan
industri lebih diarahkan memberikan kemudahan bagi kepentingan para pengusaha.
Artinya, fungsi sosial hak milik atas tanah menjadi lebih berfungsi sebagai sarana
fasilitatif pengusaha dan sebagai sarana kontrol terhadap pemilik tanah. Konsekuensinya,
kebijakan pembebasan tanah lebih merugikan kepentingan warga masyarakat dan
menunjukkan kelemahan aspek hukum.(Yusriadi, ibid, hal 150)
Pada era orde baru Pemerintah menyelamatkan bangsa dan negara dalam bidang
ekonomi dengan mengubah kebijakan pembangunan nasional. Karena semangat
pembangunan tersebut, maka kepentingan individu terdesak oleh semangat
pembangunan, sehingga makna fungsi sosial disalah tafsirkan. Kepentingan swasta
mendapat fasilitas penggunaan tanah dengan cara pengadaan tanah bagi pemerintah.
Perolehan tanah melalui pembebasan tanah hanya dikompensasi dengan harga dasar yang
pada umumnya lebih rendah dari nilai nyata ataupun Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP).
(Lieke Lianadevi Tukgali, 2010, Fungsi Sosial Hak atas Tanah, dalam Pengadaan Tanah
Untuk kepentingan Umum, jakarta: Kertasputih Communication, hal 123).
Pengadaan tanah oleh swasta yang luasnya terbatas berdasarkan Peratuiran Mentri
Dalam Negeri Nomor 2 tahun 1985 memberi peluang untuk mendesak kepentingan
individu/pribadi. Demikian juga perlindungan hukum pada masyarakat yang akan
dibebaskan tanahnya tidak tercermin dalam Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 15
Tahun 1975, peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 dan peraturan Mentri
Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985.( Lieke Lianadevi Tukgali, ibid, hal 123).
Sejak diberlakukan keppres No.55 Tahun 1993, terjadi penyimpangan dalam
penatagunaan tanah di perkotaan. Masalah ini disebabkan karena kebutuhan akan tanah
semakin meningkat, sementara dilain pihak luas tanah yang tersedia tidak bertambah,
sehingga timbul konplik penguasaan dan penggunaan tanah yang tidak jarang
diselesaikan melalui jalan kekerasan.(Haryono soehardi, 1994/1995: hal 7, Adrian Sutedi,
Tinjauan Hukum Pertanahan, 2009, Jakarta : Pradnya paramita, hal 113).
Oleh karena sering terjadi perubahan peruntukan yang semula fasilitas umum atau
fasilitas sosial berubah menjadi perumahan atau perkantoran dan lain-lainnya yang
sifatnya menjadi komersil. Benang merah utama dari berbagai kejadian di sektor agraria
tersebut adalah adanya penyakit struktural yang inheren di dalam masyarakat yang
mengakibatkan terjadinya konflik agararia berkepanjangan dan tanpa arah.(Konsorsium
Pembharuan Agraria, 1997: hal IX, Adrian Sutedi, ibid, hal 113).
Sebelum diberlakukannya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, Keputusan
presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Untuk kepentingan Umum jo
Peraturan Mentri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1994 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993. Dalam
kebijakan pemerintah tersebut di atas ternyata masyarakat atau yang terkena
pembebasan/pengadaan tanah tidak diikutkan dalam pembentukan panitia pengadaan
tanah untuk pelaksanaan pembangunan bagi kepentingan umum. Ini menandai
keterputusan akses masyarakat terhadap keadaan struktural. Sehingga akses masyarakat
terhadap keputusan strategis merupakan satu prasyarat tercapainya satu transformasi
sosial.(Adrian Sutedi, ibid, hal 119).
Kemudian, dengan Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 junctis Peraturan
Pemerintah Nomor 65 Tahun 2006, kepentingan individu kembali terdesak oleh
kepentingan umum. Kepentingan umum berkembang yang dijabarkan menjadi 21
(duapuluh satu) kegiatan sampai ke kepentingan yang cenderung komersial, misalnya
jalan tol. Walaupun Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2006 tersebut berusaha untuk
mengembalikan kepentingan individu dengan kepentingan umum, dengan
memperhatikan kegiatan menjadi 7 (tujuh) kegiatan, dan untuk menyeimbangkan
kepentingan individu dengan kepentingan umum, antara lain membentuk Lembaga
Penafsir Tanah yang independen, namun fungsi sosial pada kurun waktu ini justru
dipakai sebagai landasan yuridis untuk mengambil tanah atau alat mencabut hak atas
tanah yang dimiliki dan dikuasai rakyat untuk kepentingan pengusaha besar, antara lain
jalan tol. Kepentingan umum dalam peraturan presiden ini disejajarkan dengan orientasi
kebijakan pemerintah, yang difokuskan pada pertumbuhan ekonomi. (Lieke Lianadevi
Tukgali, op.cit, hal 167).
Dari uraian tersebut diatas pada intinya perubahan fungsi sosial hak milik atas tanah
disebabkan karena pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dari era orde baru
sampai sekarang berorientasi pada Industrialisasi demi pertumbuhan ekonomi. Dalam
pengadaan tanah untuk industrialisasi memunculkan permasalahan-permesalahan yang
berpengaruh pada fungsi sosial hak milik atas tanah. Permasalahan-permasalahan ini
menjadi faktor penyebab terjadinya perubahan fungsi sosial Hak Milik Atas Tanah,
seperti berikut ini:
1. Pembangunan/pendirian industri di lingkungan warga masyarakat selalu
menimbulkan keterkaitan dengan warga masyarakat sekitar. Salah satu
keterkaitan itu yakni meningkatnya kebutuhan tanah untuk
pembangunan/pendirian industri yang selalu didahului adanya tahap
pembebasan tanah.
2. Pembebasan tanah untuk pembangunan pendirian industri selalu
merambah atau meliputi tanah-tanah milik warga masyarakat yang
semula terbatas untuk usaha pertanian dan hampir tak tersentuh oleh
kegiatan ekonomi modern. Akibatnya banyak alih fungsi tanah dari
pertanian untuk usaha industri, sehingga tanah menjadi sarana produksi
bagi para pengusaha industri dan bukan sebagai sarana produksi
subsistem bagi rakyat yang semula sebagai pemilik tanah.
3. Pembangunan/pendirian industri yang menghadirkan industri
menimbulkan berbagai perubahan sosial di kalangan warga masyarakat
di tempat industri tersebut berada.
4. Munculnya nilai-nilai sosial baru yang berbeda dengan nilai-nilai sosial
lama yang dianut/ada dalam UUPA, menyebabkan pemilikan tanah
menjadi berubah dari fungsi soaial ke fungsi individu.
5. Munculnya realitas pemilikan tanah yang bersifat individual dan telah
mengabaikan fungsi sosial hak milik atas tanah.
6. Tanah menjadi semakin berdimensi ekonomis yang antara lain ditandai
harga tanah semakin membumbung naik, dijadikan sebagai objek
spekulasi atau sebagai komoditas ekonomi yang dapat diperdagangkan,
dan mendasarkan pada kepentingan individualnya semata, yaitu dalam
rangka memperoleh keuntungan individualnya.
7. Dalam setiap pengadaan tanah melalui acara pembebasan tanah terjadi
perkembangan dalam pelaksanaannya. Oleh penguasa (dan pengusaha),
fungsi sosial hak milik atas tanah sering diaktualisasikan sebagai identik
dengan dengan fungsi kepentingan umum. Kongkritnya identik dengan
fungsi pembangunan, termasuk pembanguann/pendirian industri.
Sementara di pihak pemilik tanah, telah berubah menjadi fungsi
individual dan berlanjut menjadi kebebasan penuh bagi pemilik tanah
untuk bebas ”mengapasajakan” tanah miliknya.
8. Banyaknya penguasaan tanah oleh para pengusaha industri melalui
pembebasan tanah, menyebabkan alih fungsi tanah pertanian ke fungsi
industri. Hal ini tampak dari semakin banyaknya tanah yang belum atau
secara sengaja tidak dimanfaatkan sesuai perencanaan semula, bahkan
oleh pemiliknya sengaja ditelantarkan sehingga fungsi sosial hak milik
atas tanah tidak diaktualisasikan.(yusriadi,Op.cit, hal 15-16)
Adapun bentuk atau wujud perubahan fungsi sosial hak milik atas tanah pada
fungsi individual dalam industrialisasi dapat ditemui dalam bentuk perubahan tata guna
tanah atau alih fungsi tanah yaitu dari tanah pertanian ke tanah untuk industri. Dalam hal
ini tanah lebih dimaknai sebagai fungsi ekonomis semata sehingga tanah berubah
menjadi komoditas ekonomi atau komoditas perdagangan. Tanah menjadi barang yang
dijadikan sebagai objek spekulasi demi keuntungan ekonomi semata, kemudian akses
perolehan tanah menjadi lebih ditentukan oleh mekanisme pasar dan menyebabkan
munculnya para spekulan tanah sehingga banyak pemilik tanah (pengusaha industri
maupun warga masyarakat) yang sengaja menelantarkan tanahnya untuk investasi demi
tujuan yang lebih menguntungkan secara ekonomi semata. Semua perilaku aktual ini
”ditolok” dari kepentingan individualnya pemilik tanah semata, sehingga dikalangan
pemilik tanah di sekitar industri semacam ada kebebasan penuh untuk ”mengapasajakan”
tanah miliknya yang berarti mengabaikan fungsi sosial hak milik atas tanah
sebagaimanan ada dalam teks normatif-positivistik atau yang diidealkan oleh hukum
positif.(Yusriyadi, ibid,17)
III.Penutup
Kebijakan pemerintah dalam bidang pertanahan diaktualisasikan lebih pada
penekanan sebagai fungsi fasilitatif untuk kepentingan para pengusaha dalam rangka
pembebasan tanah untuk industrialisasi ketimbang fungsi kontrol untuk menegakkan
fungsi sosial hak milik atas tanah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.