fungsi sosial hak milik atas tanah

16

Click here to load reader

Upload: jana-kusuma

Post on 29-Jul-2015

450 views

Category:

Documents


19 download

DESCRIPTION

fungsi sosial hak milik atas tanah

TRANSCRIPT

Page 1: Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah

FUNGSI SOSIAL HAK MILIK ATAS TANAH

Oleh : I Made Jana Kusuma, S.H.

NPM :P3600210071

I.Pendahuluan

A.Latar belakang

Dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan

Dasar Pokok Pokok Agraria, maka berakhirlah plularisme hukum pertanahan di

Indonesia. Dengan berlakunya Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) berarti

terwujudnya unifikasi hukum pertanahan di Indonesia, dengan harapan membawa

kepastian hukum dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat

Indonesia.

Didalam salah satu pertimbangan diundangkan UUPA, yang dinyatakan dalam salah

satu konsiderannya, bahwa didalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan

rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan

ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang adil dan

makmur. Atas dasar itu diharapkan hukum agraria nasional harus memberi kemungkinan

akan tercapainya fungsi bumi, air, dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud diatas dan

harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya

menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria. Disamping itu hukum agraria

nasional itu harus mewujudkan penjelmaan dari Ketuhanan Yang maha Esa,

Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial, sebagai asas kerohanian

Negara dan cita-cita bangsa Indonesia seperti yang tercantum didalam pembukaan

Undang Undang Dasar.

Page 2: Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah

Adapun tujuan pembentukan Undang Undang Pokok Agraria adalah untuk

menciptakan kepastian hukum dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan

kesejahteraan masyaraka. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam konsideran

UUPA yang mengandung suatu maksud untuk memberikan perlindungan bagi

masyarakat tani yang selama berlakunya hukum tanah barat menjadi masyarakat yang

termarjinalkan. Atas dasar pertimbangan tersebut maka dalam pembentukannya UUPA

menjadikan hukum adat sebagai sumber utama dan sebagai sumber pelengkap, sehingga

UUPA sebagai hak negara dengan hukum adat sebagai hukum rakyat diharapkan dapat

berkoeksistensi dalam pengaturan dan penerapan hak-hak atas tanah (I Made Suwitra,

2010, Eksistensi Hak Penguasaan dan Pemilikan Atas Tanah Adat di Bali dalam

Perspektif Hukum Agraria Nasional, Bandung: Logoz,XVII).

Sesuai dengan namanya UUPA hanya memuat hal-hal yang pokok-pokok saja,

maka dalam pelaksanaannya perlu diatur lagi dalam peraturan perundang-undangan yang

lain dan dalam peraturan pelaksananya.

Berkaitan dengan hal tersebut tentang pengaturan hak milik diatur dalam hal

penggunaannya oleh orang lain diatur dengan peraturan perundangan (pasal 24), akan

tetapi sejak diundangkan UUPA sampai saat ini belum ada aturan yang mengatur tentang

hal tersebut, sehingga dalam pelaksanaannya terjadi bermacam-macam penafsiran

(interpretable), seperti misalnya tentang fungsi sosial dari hak milik atas tanah yang

dinyatakan dalam pasal 6. Apa yang dinyatakan dalam pasal tersebut secara implisit

membawa pesan pemilikan hak atas tanah oleh perorangan tidak dimungkinkan secara

mutlak atau absolut seperti hak milik yang diatur dalam hukum barat (BW) yang disebut

eigendom yang tidak sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia.

Melalui berbagai penafsiran, ditemui berbagai peraturan pertanahan yang lebih

berfungsi fasilitatif para pengusaha industri, penafsiran, meliputi penafsiran tentang sifat

fungsi sosial atas tanah yang sebenarnya baru merupakan konsepsi dengan asas-asas dan

ketentuan-ketentuan pokoknya dalam UUPA dan beberapa undang-undang pokok lain,

sampai sekarang, belum cukup memasyarakat. Ketentuan-ketentuan yang merupakan

penjabaran sifat fungsi sosial tampaknya belum dilaksanakan sebagaimana diharapkan

pada waktu dibuatnya.(Boedi Harsono, 1992, Pembebasan Tanah, kendala, dan

Page 3: Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah

Alternatifnya, Makalah Seminar Nasional Penanganan Kasus pertanahan di Indonesia,

jakarta: Universitas Taruma Negara/IPHI, hal 291).

Didalam perkembangan masyarakat dewasa ini yang corak kehidupannya telah

mengalami pergeseran dari agraris menuju industrialisasi akibat dari globalisasi yang

membawa konsekwensi pada cara pandang seseorang terhadap hak milik yang berfungsi

sosial. Cara pandang pada hak milik ini diakibatkan karena belum ada aturan perundang

undangan yang khusus mengaturnya sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh UUPA.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka muncul pertanyaan, yaitu : Apakah

fungsi sosial hak milik atas tanah dalam implementasinya, telah sesuai dengan maksud

yang dinyatakan dalam pasal 6 UUPA? Hal ini menjadi rumusan masalah yang dibahas

dalam peper ini.

II.Hakekat Hak Milik Atas Tanah

A.Pengertian Hak Milik

Menurut pasal 16 ayat (1) dinyatakan bahwa Hak-hak atas tanah sebagai yang

dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) terdiri dari hak milik, hak guna usaha, hak guna

bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan

hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan

dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan

dalam pasal 53.

Hak milik merupakan salah satu hak atas tanah yang diberikan oleh negara yang

boleh dipunyai oleh orang-orang dan badan hukum baik sendiri maupun secara bersama-

sama dengan orang lain. Menurut pasal 20 UUPA yang dimaksud dengan hak milik

adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah.

Sebagai hak yang terkuat dan terpenuh diantara hak-hak atas tanah yang ada, boleh

digunakan untuk segala keperluan yang terbuka bagi hak-hak atas tanah yang lain, tanpa

batas waktu, sedangkan yang terbatas sesuai dengan jangka waktu penggunaannya.

Adapun arti dari “ ter ” dalam kata terkuat dan terpenuh adalah untuk membedakan

dengan hak-hak yang lainnya, dalam hal ini hak milik mempunyai kedudukan yang

tertinggi diantara hak-hak atas tanah yang lainnya.

Page 4: Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah

Sebagaimana isi dan sifat dari Hak Milik, jangka waktu Hak Milik tidak terbatas

atau tidak mempunyai jangka waktu, dalam artian bahwa pemberian sifat itu tidak berarti

merupakan hak yang mutlak, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu-gugat sebagai hak

eigendom menurut pengertian dalam BW. Sifat yang demikian jelas bertentangan dengan

sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak.

Selanjutnya, A.P.Parlindungan mengatakan bahwa luasnya isi dan sifat hak milik

juga meliputi tubuh bumi, air, dan ruang angkasa yang ada di atasnya, sebagai suatu

penjelmaan dari ciri-ciri hukum adat yang menjadi dasar dari Hukum Agraria

Nasional.(A.P.Parlindungan, 1991, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria,

Bandung: Mandar maju, hal 123). Kewenangan penggunaan hak milik yang meliputi

tubuh bumi, air, dan ruang angkasa di atasnya itu harus dimaknai dalam kerangka

pembatasan Pasal 4 ayat (2) UUPA, yakni sekedar diperlukan untuk kepentingan yang

langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu.

Sesuai hukum adat hak milik bersumber dari hak ulayat sebagai hak bersama dari

masyarakat hukum adat. Oleh karena itulah, hak milik harus tetap berfungsi sosial,

eksistensi dan penggunaannya harus tetap memperhatikan kepentingan bersama, yakni

kepentingan bangsa Indonesia.

Pengertian “turun-temurun” dalam isi dan sifat hak Milik Sudargo Gautama

memaknai sebagai hak yang dapat diwarisi dan diwariskan. Boedi Harsono menegaskan

bahwa hak milik ini tidak hanya akan berlangsung selama hidup orang yang

mempunyainya, tetapi hak itu dapat diwariskan dan diwarisi. Kemudian A.P

Parlindungan menafsirkan “turun-temurun” tersebut sebagai hak yang dapat diwariskan

berturut-turut ataupun dan dapat diturunkan kepada orang lain tanpa perlu diturunkan

derajatnya ataupun hak itu menjadi tiada atau harus memohon haknya kembali ketika

terjadi pemindahan hak. (Oloan Sitorus, H.M.Zaki Sierrad, 2006, Hukum Agraria Di

Indonesia Konsep Dasar dan Implementasi, Yogyakarta, Mitra Kebijakan Tanah

Indonesia; hal 90).

B.Kewenangan Dan Kewajiban Pemegang Hak Atas Tanah

Semua hak atas tanah yang tersebut diatas memberikan kewenangan untuk

menggunakan tanah yang dihaki, tetapi sifat-sifat khusus haknya, tujuan penggunaan

Page 5: Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah

tanahnya dan batas waktu penguasaannya merupakan tolok pembeda antara hak atas

tanah yang satu dengan yang lain. Kewenangan yang dimiliki dalam menggunakan hak

atas tanah dengan ketentuan sebagai berikut :

1. Tidak boleh menimbulkan kerugian bagi pihak lain, dalam hal ini berkaitan

denga penyalah gunaan hak (misbruik van recht atau abus de droit) yang pada

intinya melarang penggunaan hak seseorang mengganggu atau menimbulkan

kerugian bagi orang lain.

2. Sesuai dengan isi dan sifat hak itu sendiri, yaitu kewenangan penggunaan hak

atas tanah tidak boleh melebihi atau berlainan dengan isi dan sifat hak itu

sendiri.

3. Sesuai dengan ketentuan Rencana tata Ruang atau Tata Guna Tanah, yaitu

kewenangan penggunaan hak atas tanah harus memperhatikan ketentuan-

ketentuan yang ada mengenai tata ruang/tat guna tanah, seperti garis sempadan,

beberapa bagian tanah yang boleh dibangun, batas tinggi bangunan dan lain-

lain peratutaran yang ditetapkan oleh Pemerintah daerah.

4. Tidak boleh digunakan untuk praktek-praktek pemerasan, yaitu mewajibkan

pemegang hak atas tanah pertanian untuk mengerjakan atau mengusahakan

sendiri secara aktif dan mencegah cara-cara pemerasan serta mencegah

penggunaan hak untuk menguasai atas kehidupan dan pekerjaan orang lain

yang melampui batas.

5. Tidak boleh menggunakan ruang atas tanah dan ruang bawah tanah yang tidak

berkaitan langsung dengan penggunaan tanah (permukaan tanah). (Oloan

Sitorus, H.M.Zaki Sierrad, ibid, hal 78-79).

Hak-hak atas tanah tersebut selain memiliki kewenangan-kewenangan juga

berisikan kewajiban untuk menggunakan dan memelihara potensi tanah yang

bersangkutan. Didalam UUPA kewajiban-kewajiban tersebut bersifat umum, yang artinya

berlaku terhadap setiap hak atas tanah, diatur dalam :

1. Pasal 6, yang menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi

sosial. Adapun konsekuensi dari fungsi dari hak atas tanah ini adalah :

Page 6: Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah

a. penggunaan tanah harus sesuai dengan perencanaan, peruntukan, dan

penggunaan tanah sebagaimana dalam pasal 14 UUPA.

b. Setiap hak atas tanah dapat dicabut demi kepentingan umum, dengan

catatan kepada si empunya tanah yang dicabut haknya diberikan

kompensasi yang layak.

c. Setiap jengkal tanah tidak boleh ditelantarkan, dalam UUPA ditegaskan

bahwa penelantaran tanah merupakan salah satu cara untuk mengakhiri

hak atas tanah.

d. Tanah bukan merupakan komoditi perdagangan.

2. Pasal 15 dihubungkan dengan pasal 52 ayat (1) tentang kewajiban memelihara

tanah yang dihaki;

3. Pasal 10 khusus mengenai tanah pertanian, yaitu kewajiban bagi pihak yang

mempunyainya untuk mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif.

Selain apa yang ditentukan dalam pasal-pasal tersebut diatas, dalam menghadapi

suatu kasus-kasus kongkrit, perlu diperhatikan juga kewajiban-kewajiban secara khusus

yang dicantumkan dalam surat keputusan pemberian haknya atau dalam surat

perjanjiannya serta dalam peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik

peraturan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah yang bersangk utan. (Boedi

Harsono, Hukum Agraria Indonesia, 2008, Jakarta, Jambatan; hal 296).

C. Asas Fungsi Sosial Hak Atas Tanah

Asas ini ditemukan pada pasal 6 UUPA dinyatakan bahwa semua hak atas tanah

mempunyai fungsi sosial. Menurut Penjelasan Umumnya yang dimaksud dengan fungsi

sosial hak atas tanah adalah hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang, tidaklah

dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan)

semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian

bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat

daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang

mempunyai maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Tetapi dalam pada itu,

ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama

sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang Undang Pokok Agraria

Page 7: Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah

memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan haruslah saling

mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok : kemakmuran, keadilan,

dan kebahagian bagi rakyat seluruhnya (pasal 2 ayat 3).

Rasionalitas dari ketentuan tersebut diatas, yaitu adanya suatu pandangan bahwa

semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada Hak Bang

sa sebagai kepunyaan bersama dari bangsa Indonesia. Ada beberapa konsekuensi dari

fungsi sosial dari hak atas tanah ini adalah sebagai berikut :

1. Tidak dapat dibenarkan untuk menggunakan atau tidak menggunakan tanah

hanya untuk kepentingan pribadi pemegang haknya, apalagi sampai

menimbulkan kerugian masyarakat;

2. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat dari haknya,

sehingga bermanfaat bagi kesejahteraaan dan kebahagiaan yang mempunyai

maupun bermanfaat bagi masyarakat dan negara;

3. Penggunaan dan pemanfaatan tanah harus memperhatikan Rencana Tata

Ruang, instrumen penatagunaan tanah lainnya yang ditetapkan secara sah oleh

pihak yang berwenang;

4. Pemegang hak atas tanah wajib memelihara tanah dengan baik, dalam arti

menambah kesuburan dan mencegah kerusakan tanahnya;

5. Merelakan hak atas tanahnya apabila dicabut demi kepentingan umum.(Oloan

Sitorus, H.M.Zaki Sierrad, op.cit, hal 66-67).

Mengikuti alur berfikir logika yuridis pasal 6 UUPA, terdapat semacam keharusan,

bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Melalui pasal ini pembuat

undang-undang mengalokasikan berbagai fungsi mengenai hak-hak atas tanah, termasuk

hak milik. Fungsi ini dapat bersifat fasilitatif atau kontrol, bahkan keduanya baik fungsi

fasilitatif maupun fungsi kontrol. Fungsi kontrol misalnya mewajibkan bagi siapapun

pemilik tanah (perorangan/badan hukum) untuk mengetahui dan mematuhi apa ”yang

dihukumkan” atau mematuhi kewajiban yang diidealkan oleh norma positif sehubungan

dengan fungsi sosial pada hak milik atas tanahnya.(Yusriyadi, 2010,

Industrialisasi&Perubahan Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah, Yogyakarta, Genta: hal

23).

Page 8: Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah

Fungsi sosial hak milik atas tanah dianggap sebagai norma yang dianggap sebagai

norma positif atau norma yang dipositifkan oleh Pasal 6 UUPA. Dalam hal ini Sebagai

norma tentang hak milik yang diidealkan. Fungsi sosial hak milik atas tanah seakan

menjadi ”doktrin pemilikan tanah”. Didalam kajian-kajian hukum, doktrin (sering juga

disebut konsep) selalu dianggap sebagai kebenaran yang tak terbantahkan. Idealnya

dalam setiap decision making, doktrin/konsep ini harus menjadi tolok untuk menentukan

yang salah dan yang benar.( Yusrihadi, ibid, hal 24).

D.Implementasi Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah

Dengan beralih pemerintahan dari orde lama ke pemerintahan orde baru, berubah

pula politik pertanahan di Indonesia, yaitu yang sebelumnya pada orde lama bersifat

populis menjadi orde baru yang lebih menekankan pada pembangunan menuju

industrialisasi. Pemerintah orde baru dalam melaksanakan pembangunan, hanya

diarahkan mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi nasional. Kebijakan ini ditempuh

melalui pengadaan sektor industri dan modernisasi sektor pertanian sebagai usaha

mewujudkan swasembada pangan.

Dalam rangka kebijakan pembangunan ekonomi, pemerintah mengundang para

pemilik modal baik asing maupun domestik untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Pemerintah memandang perlu untuk menyediakan fasilitas perpajakan dan tanah.

Berbagai fasilitas diprioritaskan untuk para pemilik modal swasta (pengusaha) yang

memerlukan tanah untuk pembangunan industri atau kegiatan pembangunan lainnya yang

mengatasnamakan proyek-proyek ”kepentingan umum”. Karena persedian tanah terbatas,

pemerintah menempuh kebijakan yang sangat pragmatis dengan tujuan memungkinkan

pemerintah dan pemilik modal mengambil alih tanah-tanah milik warga/penduduk/rakyat

dengan cara pembebasan tanah dan pembayaran ganti rugi.

Konsep pembuat kebijakan dalam bidang pertanahan berpengaruh terhadap pilihan

yang ditempuh. Pilihan dapat berorentasi penghargaan pada hak-hak seseorang terhadap

tanah sebagai hak asasi yang dijamin secara adil, atau justru sebaliknya ke kebijakan

yang cenderung melihat tanah pada mekanisme pasar. Industrialisasi di Indonesia sejak

Pelita I telah menimbulkan berbagai persoalan yakni terjadinya transformasi struktural

berupa pergeseran sektor produksi yang mengandalkan sektor primer (pertanian) bergeser

Page 9: Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah

ke sektor sekunder (industri) kemudian ke sektor-sektor jasa (rajesh chandra, 1992:4,

Yusriadi, ibid, hal 104).

Konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi di Indonesia sejalan dengan proses

transformasi struktural yang terjadi di berbagai negara, yakni terjadi penurunan

kontribusi sektor pertanian dan kontribusi sektor sekunder dan tersier meningkat. Adanya

pergeseran sektor pertanian oleh industri menyebabkan sektor industri dominan bahkan

melampaui pertumbuhan sektor pertanian (mudrajad Kuncoro, 1997: 77, Yusriadi, ibid,

hal 105).

Adanya pergeseran sektor pertanian oleh industri membuktikan ketidakseimbangan

antara sektor pertanian dan industri. Secara politis dalam beberapa GBHN sektor

pertanian diletakkan sebagai prioritas, tetapi sebatas prioritas kedua. Akibatnya dana-

dana pembangunan nasional yang sebagian besar merupakan pinjaman luar negeri,

diinvestasikan pada sektor industri.

Pada tahap awalnya, pergeseran perekonomian rakyat dari pertanian ke industri

menyebabkan terjadinya konflik kultural, yakni antara kultur agraris di pedesaan dengan

kultur industri yang bersifat industrial. Konflik muncul disebabkan karena adanya

perbedaan pandangan dalam hal memandang waktu, uang dan makna kehidupan. Dalam

kultur agraris, waktu lebih bersifat siklus sehingga berbeda dari kultur industri yang

bersifat linier. Dalam kultur agraris uang lebih bersifat sosial dan berfungsi sebagai alat.

Sementara itu, dalam kultur industri lebih bermakna ekonomi dan sekaligus sebagai

tujuan. Dalam struktur agraris harmoni atau keseimbangan lebih dianggap penting

daripada kemajuan atau angka-angka pertumbuhan yang menjadi ukuran bagi kultur

industri (Kiswondo dkk[Ed],2000:172, Yusriadi, ibid, hal 106).

Industrialisasi yang ditempuh melalui pembangunan industri menyebabkan banyak

tanah yang dikonversi, yakni dari tanah pertanian ke industri. Dengan demikian fungsi

tanah telah berubah, yakni dari alat produksi subsistensi rakyat berubah menjadi alat

produksi para pengusaha industri. Menurut data yang dikemukakan Kompas 13 juli 1995

menyebutkan sekitar 900.000 Ha (sembilan ratus ribu hektar) tanah pertanian di Pulau

Jawa telah terkonversi menjadi tanah non pertanian terutama industri (Noer Fauzi, 1999,

Petani dan Penguasa, Dinamika perjalanan politik Agraria indonesia, Yogyakarta:

pustaka Pelajar, hal 6-7). Disini telah terjadi ketimpangan pemilikan tanah diantara para

Page 10: Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah

petani dengan para pengusaha industri. Dipihak rakyat/petani kebutuhan tanah semakin

meningkat. Sementara itu, dipihak pemerintah terdapat kebijakan memfasilitasi

pengusaha industri untuk pengadaan tanahnya. Kebijakan ini sering ditempuh, meskipun

mengorbankan tanah-tanah produktif yang semula diusahakan rakyat untuk pertanian.

Fungsi sosial hak atas tanah sebagaimana diidealkan oleh UUPA mengalami perubahan

dalam aktualisasinya. Dalam hal ini berubah identik dengan kepentingan umum atau

kepentingan pembangunan.

Semestinya arah kebijakan pemerintah dalam bidang pertanahan dilakukan sesuai

dengan apa yang tersirat dalam rumusan GBHN 1988, yaitu:

Tanah mempunyai fungsi sosial dan pemanfaatannya harus dapat meningkatkan

kesejahteraan rakyat. Untuk itu perlu terus dikembangkan rencana tata ruang dan

tata guna tanah secara nasional, sehingga pemanfaatan tanah dapat terkordinasi,

antara berbagai jenis penggunaan dengan tetap memelihara kelestarian alam dan

lingkungan serta mencegah penggunaan tanah yang merugikan kepentingan

masyarakat dan kepentingan pembangunan. Di samping itu perlu dilanjutkan

penataan kembali penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah termasuk

pengalihan hak atas tanah.

Meskipun arah yang dituju GBHN 1988 tidak menyebut sebagai dasar kebijakan

pertanahan di Indonesia, namun mempunyai implikasi tersendiri terhadap fungsi sosial

milik tanah dalam teks normatif-positivistik. Dalam GBHN 1988 terdapat rumusan yang

mengisyaratkan pemisahan antara dua kepentingan yang harus dilayani dalam kaitannya

dengan fungsi sosial penggunaan tanah.

Pembangunan khususnya selama Orde Baru, aktualisasi fungsi sosial hak milik atas

tanah telah menimbulkan berbagai permasalahan sosial dan politik. Dalam kenyataannya,

banyak ditemukan kebijakan pembebasan tanah untuk pembangunan industri lebih

diarahkan memberikan kemudahan bagi kepentingan para pengusaha. Artinya, fungsi

sosial hak milik atas tamah menjadi lebih berfungsi sebagai sarana kontrol terhadap

pemilik tanah. Konsekuensinya, kebijakan pembebasan tanah lebih merugikan

kepentingan warga masyarakat dan menunjukkan kelemahan aspek hukum. Dalam

praktek komponen ganti rugi hanya meliputi tanah, bangunan, dan /atau tanam-tanaman

yang diserahkan. Dengan dalih semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, praktik

pembebasan tanah cenderung membenarkan ditiadakannya tolok ukur yang berbeda

mengenai kelayakan ganti-kerugian untuk tanah yang diperlukan untuk kepentingan

Page 11: Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah

umum dan untuk keperluan lain sehingga untuk penyelenggaraan kepentingan umum

tersebut diharapkan kerelaan pemilik tanah untuk berkorban. (Boedi Harsono, op.cit, hal

2)

Menurut Moh.Mahfud MD, implementasi fungsi sosial tanah, menemukan barbagai

peraturan yang tidak dapat dilaksanakan. Ada yang overlap (tumpang tindih) diantara

lebih dari satu peraturan, baik yang vertikal maupun horizontal. Fakta semacam itu dapat

ditunjukan dari adanya berbagai pendudukan kembali tanah-tanah masyarakat yang sudah

dibebaskan. Misalnya, tanah peternakan di Tapos dan tanah-tanah untuk fasilitas umum

lainnya.(Moh.Mahfud MD, 2002: 25, yusriadi, op.cit, hal 150)

Pada hakekatnya pembangunan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia,

tetapi dalam prakteknya dijumpai paradoks pembangunan, disatu sisi pembangunan

menghasilkan berbagai proyek fisik, disisi lain memanfaatkan tanah-tanah yang semula

sebagai sumber kehidupan utama warga masyarakat. Disini muncul konflik-konflik

kepentingan atas penggunaan tanah. Konflik terjadi antara pelaksana pembangunan

dengan warga masyarakat yang pada umumnya lemah sehingga warga masyarakat selalu

berada di pihak yang kalah. Akibatnya warga masyarakat terpaksa harus tergusur atau

terpaksa melepaskan tanahnya dengan menerima ganti rugi yang sering tidak memadai.

Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah Orde Baru, yaitu menitikberatkan pada

upaya mendukung pertumbuhan ekonomi yakni menciptakan iklim kondusif bagi

penanaman modal asing. Hal ini bertolak belakang dengan kebijakan yang mengundang

investor untuk mengolah tanah berdampak pada rakyat menjadi termarjinalkan dari

penguasaan tanahnya, atau kehilangan akses/kesempatan untuk mendapatkan, mengelola

sumber daya tanah.

Setelah para pemilik modal mendapatkan kemudahan memperoleh tanah untuk

kepentingan usaha ternyata banyak juga yang tidak mengusahakan dengan baik hak atas

tanah yang diperolehnya, ada juga pemegang hak yang sengaja menelantarkan,

menunggu sampai harga tanah meningkat dan kemudian mereka menjual kembali dengan

harga yang lebih tinggi. Hal ini menyebabkan banyak tanah yang tidak dipergunakan

sesuai dengan sifat dan peruntukanya. Dengan demikian tanah telah menjadi komoditi.

Pembangunan di masa Orde Baru dalam tataran formal dan ideologis, disusun dalam

rangka melaksanakan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang mewajibkan

Page 12: Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah

menggerakkan seluruh kekayaan bumi, udara dan air yang dimiliki oleh bangsa Indonesia

guna kesejahteraan rakyat. Namun dalam kenyataannya selalu terjadi kesenjangan antara

teori dan pakteknya. Hal ini disebabkan karena aktualisasi fungsi sosial hak milik atas

tanah telah menimbulkan berbagai permasalahan sosial dan politik. Dalam

kenyataannnya, banyak ditemukan kebijakan pembebasan tanah untuk pembangunan

industri lebih diarahkan memberikan kemudahan bagi kepentingan para pengusaha.

Artinya, fungsi sosial hak milik atas tanah menjadi lebih berfungsi sebagai sarana

fasilitatif pengusaha dan sebagai sarana kontrol terhadap pemilik tanah. Konsekuensinya,

kebijakan pembebasan tanah lebih merugikan kepentingan warga masyarakat dan

menunjukkan kelemahan aspek hukum.(Yusriadi, ibid, hal 150)

Pada era orde baru Pemerintah menyelamatkan bangsa dan negara dalam bidang

ekonomi dengan mengubah kebijakan pembangunan nasional. Karena semangat

pembangunan tersebut, maka kepentingan individu terdesak oleh semangat

pembangunan, sehingga makna fungsi sosial disalah tafsirkan. Kepentingan swasta

mendapat fasilitas penggunaan tanah dengan cara pengadaan tanah bagi pemerintah.

Perolehan tanah melalui pembebasan tanah hanya dikompensasi dengan harga dasar yang

pada umumnya lebih rendah dari nilai nyata ataupun Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP).

(Lieke Lianadevi Tukgali, 2010, Fungsi Sosial Hak atas Tanah, dalam Pengadaan Tanah

Untuk kepentingan Umum, jakarta: Kertasputih Communication, hal 123).

Pengadaan tanah oleh swasta yang luasnya terbatas berdasarkan Peratuiran Mentri

Dalam Negeri Nomor 2 tahun 1985 memberi peluang untuk mendesak kepentingan

individu/pribadi. Demikian juga perlindungan hukum pada masyarakat yang akan

dibebaskan tanahnya tidak tercermin dalam Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 15

Tahun 1975, peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 dan peraturan Mentri

Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985.( Lieke Lianadevi Tukgali, ibid, hal 123).

Sejak diberlakukan keppres No.55 Tahun 1993, terjadi penyimpangan dalam

penatagunaan tanah di perkotaan. Masalah ini disebabkan karena kebutuhan akan tanah

semakin meningkat, sementara dilain pihak luas tanah yang tersedia tidak bertambah,

sehingga timbul konplik penguasaan dan penggunaan tanah yang tidak jarang

diselesaikan melalui jalan kekerasan.(Haryono soehardi, 1994/1995: hal 7, Adrian Sutedi,

Tinjauan Hukum Pertanahan, 2009, Jakarta : Pradnya paramita, hal 113).

Page 13: Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah

Oleh karena sering terjadi perubahan peruntukan yang semula fasilitas umum atau

fasilitas sosial berubah menjadi perumahan atau perkantoran dan lain-lainnya yang

sifatnya menjadi komersil. Benang merah utama dari berbagai kejadian di sektor agraria

tersebut adalah adanya penyakit struktural yang inheren di dalam masyarakat yang

mengakibatkan terjadinya konflik agararia berkepanjangan dan tanpa arah.(Konsorsium

Pembharuan Agraria, 1997: hal IX, Adrian Sutedi, ibid, hal 113).

Sebelum diberlakukannya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, Keputusan

presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Untuk kepentingan Umum jo

Peraturan Mentri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1994 tentang Ketentuan

Pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993. Dalam

kebijakan pemerintah tersebut di atas ternyata masyarakat atau yang terkena

pembebasan/pengadaan tanah tidak diikutkan dalam pembentukan panitia pengadaan

tanah untuk pelaksanaan pembangunan bagi kepentingan umum. Ini menandai

keterputusan akses masyarakat terhadap keadaan struktural. Sehingga akses masyarakat

terhadap keputusan strategis merupakan satu prasyarat tercapainya satu transformasi

sosial.(Adrian Sutedi, ibid, hal 119).

Kemudian, dengan Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 junctis Peraturan

Pemerintah Nomor 65 Tahun 2006, kepentingan individu kembali terdesak oleh

kepentingan umum. Kepentingan umum berkembang yang dijabarkan menjadi 21

(duapuluh satu) kegiatan sampai ke kepentingan yang cenderung komersial, misalnya

jalan tol. Walaupun Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2006 tersebut berusaha untuk

mengembalikan kepentingan individu dengan kepentingan umum, dengan

memperhatikan kegiatan menjadi 7 (tujuh) kegiatan, dan untuk menyeimbangkan

kepentingan individu dengan kepentingan umum, antara lain membentuk Lembaga

Penafsir Tanah yang independen, namun fungsi sosial pada kurun waktu ini justru

dipakai sebagai landasan yuridis untuk mengambil tanah atau alat mencabut hak atas

tanah yang dimiliki dan dikuasai rakyat untuk kepentingan pengusaha besar, antara lain

jalan tol. Kepentingan umum dalam peraturan presiden ini disejajarkan dengan orientasi

kebijakan pemerintah, yang difokuskan pada pertumbuhan ekonomi. (Lieke Lianadevi

Tukgali, op.cit, hal 167).

Page 14: Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah

Dari uraian tersebut diatas pada intinya perubahan fungsi sosial hak milik atas tanah

disebabkan karena pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dari era orde baru

sampai sekarang berorientasi pada Industrialisasi demi pertumbuhan ekonomi. Dalam

pengadaan tanah untuk industrialisasi memunculkan permasalahan-permesalahan yang

berpengaruh pada fungsi sosial hak milik atas tanah. Permasalahan-permasalahan ini

menjadi faktor penyebab terjadinya perubahan fungsi sosial Hak Milik Atas Tanah,

seperti berikut ini:

1. Pembangunan/pendirian industri di lingkungan warga masyarakat selalu

menimbulkan keterkaitan dengan warga masyarakat sekitar. Salah satu

keterkaitan itu yakni meningkatnya kebutuhan tanah untuk

pembangunan/pendirian industri yang selalu didahului adanya tahap

pembebasan tanah.

2. Pembebasan tanah untuk pembangunan pendirian industri selalu

merambah atau meliputi tanah-tanah milik warga masyarakat yang

semula terbatas untuk usaha pertanian dan hampir tak tersentuh oleh

kegiatan ekonomi modern. Akibatnya banyak alih fungsi tanah dari

pertanian untuk usaha industri, sehingga tanah menjadi sarana produksi

bagi para pengusaha industri dan bukan sebagai sarana produksi

subsistem bagi rakyat yang semula sebagai pemilik tanah.

3. Pembangunan/pendirian industri yang menghadirkan industri

menimbulkan berbagai perubahan sosial di kalangan warga masyarakat

di tempat industri tersebut berada.

4. Munculnya nilai-nilai sosial baru yang berbeda dengan nilai-nilai sosial

lama yang dianut/ada dalam UUPA, menyebabkan pemilikan tanah

menjadi berubah dari fungsi soaial ke fungsi individu.

5. Munculnya realitas pemilikan tanah yang bersifat individual dan telah

mengabaikan fungsi sosial hak milik atas tanah.

6. Tanah menjadi semakin berdimensi ekonomis yang antara lain ditandai

harga tanah semakin membumbung naik, dijadikan sebagai objek

spekulasi atau sebagai komoditas ekonomi yang dapat diperdagangkan,

Page 15: Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah

dan mendasarkan pada kepentingan individualnya semata, yaitu dalam

rangka memperoleh keuntungan individualnya.

7. Dalam setiap pengadaan tanah melalui acara pembebasan tanah terjadi

perkembangan dalam pelaksanaannya. Oleh penguasa (dan pengusaha),

fungsi sosial hak milik atas tanah sering diaktualisasikan sebagai identik

dengan dengan fungsi kepentingan umum. Kongkritnya identik dengan

fungsi pembangunan, termasuk pembanguann/pendirian industri.

Sementara di pihak pemilik tanah, telah berubah menjadi fungsi

individual dan berlanjut menjadi kebebasan penuh bagi pemilik tanah

untuk bebas ”mengapasajakan” tanah miliknya.

8. Banyaknya penguasaan tanah oleh para pengusaha industri melalui

pembebasan tanah, menyebabkan alih fungsi tanah pertanian ke fungsi

industri. Hal ini tampak dari semakin banyaknya tanah yang belum atau

secara sengaja tidak dimanfaatkan sesuai perencanaan semula, bahkan

oleh pemiliknya sengaja ditelantarkan sehingga fungsi sosial hak milik

atas tanah tidak diaktualisasikan.(yusriadi,Op.cit, hal 15-16)

Adapun bentuk atau wujud perubahan fungsi sosial hak milik atas tanah pada

fungsi individual dalam industrialisasi dapat ditemui dalam bentuk perubahan tata guna

tanah atau alih fungsi tanah yaitu dari tanah pertanian ke tanah untuk industri. Dalam hal

ini tanah lebih dimaknai sebagai fungsi ekonomis semata sehingga tanah berubah

menjadi komoditas ekonomi atau komoditas perdagangan. Tanah menjadi barang yang

dijadikan sebagai objek spekulasi demi keuntungan ekonomi semata, kemudian akses

perolehan tanah menjadi lebih ditentukan oleh mekanisme pasar dan menyebabkan

munculnya para spekulan tanah sehingga banyak pemilik tanah (pengusaha industri

maupun warga masyarakat) yang sengaja menelantarkan tanahnya untuk investasi demi

tujuan yang lebih menguntungkan secara ekonomi semata. Semua perilaku aktual ini

”ditolok” dari kepentingan individualnya pemilik tanah semata, sehingga dikalangan

pemilik tanah di sekitar industri semacam ada kebebasan penuh untuk ”mengapasajakan”

tanah miliknya yang berarti mengabaikan fungsi sosial hak milik atas tanah

sebagaimanan ada dalam teks normatif-positivistik atau yang diidealkan oleh hukum

positif.(Yusriyadi, ibid,17)

Page 16: Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah

III.Penutup

Kebijakan pemerintah dalam bidang pertanahan diaktualisasikan lebih pada

penekanan sebagai fungsi fasilitatif untuk kepentingan para pengusaha dalam rangka

pembebasan tanah untuk industrialisasi ketimbang fungsi kontrol untuk menegakkan

fungsi sosial hak milik atas tanah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.