full paper

Upload: mariapurbosari

Post on 07-Jul-2015

293 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

TUGAS UJIAN BEDAH PLASTIK

SEORANG LAKI-LAKI 20 TAHUN DENGAN TRAUMA MAXILLOFACIAL

Oleh: Artati Fikriyanti G0006047

Pembimbing: dr. Amru Sungkar, Sp. B, Sp. BP

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI

2011 SEORANG LAKI-LAKI 20 TAHUN DENGAN TRAUMA MAXILLOFACIAL A. IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis Kelamin Status Alamat RM Masuk RS Pemeriksaan B. ANAMNESIS1. Keluhan utama

: Sdr. Z : 20 tahun : Laki-laki : Belum Menikah : Gemolong, Sragen : 01070089 : 6 Juni 2011 : 8 Juni 2011

: Nyeri pada wajah setelah kecelakaan lalu lintas

2. Riwayat Penyakit Sekarang a. Mechanism of Injury + 3 jam sebelum masuk rumah sakit ketika pasien sedang mengendarai sepeda motor dengan menggunakan pelindung kepala (helm), pasien ditabrak motor lain dari arah berlawanan. Kemudian pasien terjatuh dari sepeda motor dengan posisi wajah membentur stang motor, pingsan (-), mual (-), muntah (-), nyeri kepala (-), kejang (-). Pasien mengeluh nyeri pada wajahnya dan keluar darah dari hidungnya. Kemudian oleh penolong pasien dibawa ke Puskesmas Gondang Rejo Sragen, karena keterbatasan sarana pasien kemudian dirujuk ke RSUD dr. Moewardi, Surakarta.b. Pertanyaan pada pasien dengan riwayat trauma wajah -

Apakah pasien mengalami epistaksis atau keluar cairan bening dari hidung maupun telinga?2

-

Apakah pasien kehilangan kesadaran? Jika sempat pingsan, berapa lama? Apakah ada masalah penglihatan seperti pandangan kabur atau pandangan dobel (diplopia)? Apakah ada masalah pada pendengaran, seperti penurunan pendengaran dan telinga berdenging (tinnitus)? Apakah pasien tidak bisa mengatupkan gigi seperti biasa (maloklusi)? Apakah ada daerah di wajah yang terasa kebas dan kurang peka jika disentuh? (Widell, 2011)

-

-

-

Pada pasien ini:-

Pasien mengalami mimisan sampai sekarang. Awalnya, darah keluar dari kedua lubang hidung, namum sekarang darah hanya keluar dari lubang hidung kiri

-

Pasien tidak mengalami pingsan Beberapa saat setelah kecelakaan, pasien sempat merasakan pandangannya dobel. Namun sekarang pandangannya sudah seperti sedia kala Pasien tidak mengeluhkan permasalahan pendengaran

-

Pasien tidak bisa mengatupkan giginya seperti sebelum kecelakaan dan tidak bisa membuka mulut selebar sebelum kecelekaan

-

Pasien mengeluhkan daerah pipi depan kanan terasa kebas dan kurang peka akan sentuhan jika dibandingkan pipi depan kiri.

c. Pertanyaan spesifik terhadap mata: -

Apakah pasien mengalami diplopia, yang mengindikasikan kemungkinan entrapment atau dislokasi lensa? Apakah pasien merasa nyeri bila menggerakkan mata, mengindikasikan periorbita? kemungkinan entrapment atau edema

-

-

Apakah pasien mengalami fotofobia (iritis)?3

-

Apakah pasien merasa melihat kilatan cahaya (retinal detachment)? Apakah pasien mengalami pandangan kabur (hifema, retinal detachment, hemoragia vitreous)? (Widell, 2011)

-

Pada pasien ini:-

Pasein mengaku sempat merasakan pandangan dobel pada beberapa saat setelah kecelakaan selama beberapa jam. Pasien mengeluh sedikit nyeri saat menggerakkan mata Pasien mengaku tidak ada kelainan dalam melihat cahaya (tidak fotofobia) Pasien tidak merasa melihat kilatan cahaya Pasien tidak mengeluhkan pandangan kabur-

-

d. Pertanyaan spesifik terhadap daerah pipi (regio zygomatika)

mechanism

of

injury

:

perhatikan

kemungkinan terdapatnya benda asing di area yang trauma-

area of numbness : kebas pada infraorbital atau bibir atas pada daerah yang terkena trauma (termasuk maksila, dan gigi tengah, tepi dan.atau gigi taring ditemukan pada 70-90% pasien dengan fraktur zygomatikus

kepala -

gejala visual : diplopia dapat terjadi karena terjebaknya, cedera saraf atau hematoma pada kelainan otot gejala lain : trismus merupakan spasme dari masseter dan membuat pengunyahan sukar dan nyeri. Tanyakan mrngenai maloklusi. Mukosa dari sinus maksilaris daoat robek dan menyebabkan epistaksis pada sisi itu. Nyeri hebat mungkin mengindikasikan hemoragi retrobulbar, khususnya jika berhubungan dengan berkurangnya penglihatan atau ophthalmoplegia.

Pada pasien ini:

4

-

terdapat daerah kebas pada daerah bawah mata sempat mengalami pandangan dobel pasien mengeluh tidak bisa mengatupkan gigi dan membuka mulut seperti sedia kala pasien mengeluh mimisan sampai saat ini

3. Riwayat Penyakit Dahulu a. AMPLE1) Alergi 2) Medication

: disangkal : pasien disuntik obat-obatan di

Puskesmas Gondang Rejo, Sragen, tetapi pasien tidak tahu obat apa yang disuntikkan.3) Post Medical History 4) Last Meal

: pasien terakhir makan malam

sekitar 8 jam sebelum masuk rumah sakit. 5) Environment (Cooper, 2000)C. PEMERIKSAAN FISIK LENGKAP

Sama seperti semua kasus trauma, prinsip dasar advanced trauma life support harus diterapkan sebagai penilaian awal. Penilaina ini meliputi primary survey dan secondary survey. Definitive care baru dilakukan setelah secondary survey (Ceallaigh, 2006).

5

(Stewart, 2008) Jalan nafas merupakan injuri penting pertama yang sering

berhubungan dengan trauma pada wajah. Pasien dengan trauma wajah biasanya memiliki penyesuaian jalan nafas karena adanya lidah yang jatuh atau obstruksi jalan nafas oleh darah ataupun debris. Pasien yang tidak sadar membutuhkan intubasi atau bahkan pembuatan jalan nafas operatif. Intubasi ini harus dilakukan dengan perlindungan cervical spine yang memadai. Pasien dengan trauma maksilofasial yang berat dianggap memiliki trauma cervical. Penelitian menunjukkan hampir 10% dari pasien dengan fraktur tulang wajah mengalami cedera cervical spine. Cedera tulang leher ini bervariasi mulai ringan pada fraktur nasal tunggal sampai sangat berat pada fraktur maksilofasial yang kompleks pada kecelakaan kendaraan kecepatan tinggi. Setelah airway, breathing dan status hemodinamika pasien telah stabil dan pasien telah dinilai cervical spine-nya, baru dilakukan secondary survey. Penilaian dan penatalaksanaan yang tepat mengenai status tetanus pasien harus dilakukan. Penilaian fisik yang komprehensif wajib dilakukan (Stewart, 2008) Pemeriksaan fisik pada pasien ini:6

a.

Primary Survey A: hidung tersumbat, namun masih bisa bernafas spontan lewat mulut B : spontan, tipe thoracoabdominal, RR 24 x/menit C : tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 72 x/menit teraba kuat dan reguler D : GCS E4V5M6, lateralisasi (-) E : suhu 36,30C, jejas (+) lihat status lokalis

b.

Secondary Survey Setelah primary survey dan pemeriksaan cervical telah dilakukan, maka pemeriksaan dilanjutkan untuk mengevaluasi pasien secara keseluruhan. Pemeriksaan klinis menyeluruh yang dilakukan pada pasien ini adalah sebagai berikut:1. Keadaan umum

: sakit sedang : compos mentis : gizi kesancukup : petechie (-), ikterik (-), turgor baik, hiperpigmentasi (-), scar (-)

Derajat kesadaran Status gizi 2. Kulit3. Kepala 4. Mata

: lihat status lokalis : conjungtiva pucat (-), skera ikterik (-), pupil isokor (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+) lihat status lokalis

5. Hidung 6. Mulut 7. Telinga

: nafas cuping hidung (-), sekret (-), darah(+/+) : lihat status lokalis : bentuk normal, darah (-/-), sekret (-/-) : trachea di tengah, simetris, pembesaran tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening (-) : normochest, simetris :Inspeksi Palpasi Perkusi : ictus cordis tidak tampak : ictus cordis tidak kuat angkat : batas jantung kesan tidak melebar7

8. Leher 9. Thorax Cor

Auskultasi : BJ I-II murni, intensitas normal, regular, bising jantung (-) Pulmo : Inspeksi Palpasi Perkusi : pengembangan dada kanan=kiri : fremitus raba kanan=kiri : sonor/sonor tambahan (-/-)10. Abdomen:

Auskultasi : suara dasar vesikular, suara : Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada Auskultasi : bising usus (+) normal Perkusi Perkusi 11. Ekstremitas Superior dextra Superior sinistra Inferior dextra Inferior sinistra Akraldingin _ _ _ _ : : tidak ada kelainan : tidak ada kelainan : tidak ada kelainan : tidak ada kelainan edema _ _ _ _ : tympani : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak membesar

12. Sistem musculoskeletal: kaku sendi (-), nyeri sendi (-) Yang menjadi penampakan klinis dari pasien dengan trauma wajah antara lain:1) Fraktur tulang frontal

8

Disrupsi atau krepitasi dari rima supraorbital, emfisema subkutan dan paresthesia pada nervus supraorbital dan supratrochlear2) Fraktur dasar orbita

Periorbital edema, krepitasi, ecchymosis, enopthalmos, dan cedera okuler dapat terjadi. Kerusakan nervus infraorbital dapat menyebabkan paresthesia atau anesthesia pada pipi dan gusi bagian atas dari sisi yang terluka. Gangguan gerak ke lateral dan atas dapat terjadi secara sekunder oleh karena entrapment dari otot rectus medial dan inferior. Diplopia dapat pula terjadi.3) Fraktur nasal

Hidung akan bengkak dan nyeri, selain itu juga akan tampak displacement, krepitasi dan epistaksis.

4) Fraktur nasoethmoidal

NOE menampilkan telecanthus ( melebar dan mendatarnya nasal bridge), epistaksis, rhinorrhea LCS dan epifora (air mata merembes) terjadi secara sekunder oleh blokade ductus lacrimalis5) Fraktur arch zygomatika

Defek yang dapat dipalpasi di sekitar area yang terkena. Nyeri tekan dan keterbatasan gerak dari mandibula merupakan hasil dari gangguan gerak prosesus koronoideus6) Fraktur kompleks zygomaticomaksila

Pendataran malar eminence menghasilkan pendataran tulang pipi dan nyeri saat dipalpasi pada zygomatic eminence. Flame signmungkin dapat ditemukan sejalan dengan disrupsi dan depresi dari tendonn canthal lateral. Terkadang muncul juga hemorrhage subkonjuntiva lateral. Defek step kadang dapat dipalpasi sepanjang rima infraorbital atau pada zygomaticomaksilaris.7) Fraktur maksila

9

Temuan potensial dari fraktur Le Fort I adalah edema fasialis dan goyangnya palatum durum dan gigi atas. Pada Le Fort II, ditemukan edema fasialis, hemorrage subkonjuntiva, goyangnya maksila pada sutura nasofrontal, epistaksis, dan rhinorrhea LCS.8) Fraktur alveolar

Perdarahan gingiva, goyangnya alveolus dan lepas atau tanggalnya gigi.9) Fraktur mandibular

Yang paling sering ditemukan adalah fraktur kondillus mandibula, dimana tragus pain akan muncul dan kondilus sisi yang patah tidak akan ikut bergerak ketika mandibula dibuka dan ditutup. Temuan sering dari fraktur mandibula adalah pergerakan sendi yang sakit dan maloklusi dari gigi, yaitu ketidakmampuan membuka mulut atau megatup dengan erat.mobilitas dan krepitus mungkin dapat dipalpasi sepanjang simfisis, angulus maupun corpus mandibula (Parsa, 2010).

10

Pada pasien ini: STATUS LOKALIS Regio Orbita I : hematoma periorbita (+/+), hemorrhage subkonjungtiva (+/+) (lateral), epifora (+/+) P : nyeri tekan (-/-), krepitasi (-) Regio Midfacial

11

I : hematoma (+) midfacial kiri, pendataran malar eminens (+/+), telecanthus (+), vulnus ekskoriasi pada regio nasalis (ukuran 0,1 x 0,1 cm), vulnus ekskoriasi pada regio zigomatika kanan (ukuran 0,1 x 1 cm), epistaksis (+/+) P : nyeri tekan (+) pada regio nasalis, regio zigomatika kanan & kiri, krepitasi (+) pada regio nasalis, hipoesthesia (+) pada regio infraorbita kanan. Regio Intra Oral I : maloklusi (+) tipe open bite, gigi tanggal (+) gigi 1 Gigi patah 1 , gigi goyah 2 , laserasi mukosa gingiva (-) P : maksila goyang (+), nyeri tekan (+) di regiopalatum durum, krepitasi (-) D. DIAGNOSIS DAN DIFFERENTIAL DIAGNOSIS 1. Diagnosis Diagnosis trauma maksilofasial dapat ditentukan dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang radiologis, yaitu: Adanya riwayat trauma pada muka

Pemeriksaan fisik, bisa dijumpai:1) Tampak deformitas muka, bisa berupa:

a) Bengkak, asimetri, miring disertai lecet kulit sampai ke luka jaringan lunak. b) Hematoma atau perdarahan di luka atau dari lubang hidung dan mulut sebagai jalan keluar perdarahan dari sinus maxilla/ fraktur. c) Tonjolan pipi yang menghilang. d) Daerah orbita merupakan daerah yang sering terlibat dari 60-70% fraktur tulang muka, perhatikan adanya periorbita hematom baik unilateral maupun bilateral (Brill hematom)

12

Nyeri, krepitasi (tanpa penekanan yang kuat karena tulang pipih), step

in atau diskontinuitas tepi tulang mandibula dan tulang rima orbita. Periksa sekaligus sisi kanan dan kiri serta bandingkan. Pada rongga mulut tampak gangguan oklusi (maloklusi) yaitu tonjolan gigi premolar yang tidak bertemu dengan cekungan gigi lawan/ pasangannya, juga bisa tampak laserasi ginggiva daerah fraktur, kadang dijumpai maxilla yang mengambang dalam hematom (floating maxilla). Hipostesi pada cuping hidung

Pada pasien ini, berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik, dapat ditegakkan diagnosis kerja yaitu: - Fraktur os nasalis - Fraktur nasoorbitoethmoidales - Fraktur zygomatika (D/S) 2. Differential Diagnosis Diagnosis banding trauma wajah terdiri dari semua patah tulang wajah, lecet jaringan lunak, memar, dan lecet. Pemeriksa harus berhatihati untuk tidak berhenti pada evaluasi hanya karena satu patah tulang atau cedera dicatat. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa sebanyak 30% dari pasien memiliki dua atau lebih patah tulang atau cedera (Mihalik, 2005).

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. - Foto foto Radiologis polos tengkorak lateral Foto AP: walaupun garis patah kadang tidak jelas,13

dari

anteroposterior (AP) dan

dengan

membandingkan

sisi

kontralateral,

bisa

ditemui

diskontinuitas tulang secara radiologis. Perhatikan pengisian sinus oleh darah yang menyebabkan pengaburan gambar sinus (Department of Health Western Australia , 2009; Sudjatmiko, 2010).

Waters (PA view dengan cephalad angulation)

Foto proyeksi semi-axial yang dapat memperlihatkan maksila dan dasar orbita serta canal infraorbita dengan baik. Sinus sphenoid dapat dilihat dengan membuka mulut (Edwards, 2006). .

14

Caldwell (PA view)

Foto dengan proyeksi frontal, memperlihatkan sinus frontalis dan ethmoid aircells, tulang pertosus menghalangi maksila (Edwards, 2006).

15

Foto Lateral Proyeksi lateral yang dengan baik memperlihatkan fraktur tulang hidung. Sinus sphenoid dapat terlihat sampai dibawah fossa pittuitary. Dinding posterior dari sinus frontalis dan sinus maksilari juga tampak (Edwards, 2006).

16

Submentovertek Proyeksi aksial yang dapat memperlihatkan posterior-lateral sinus maksilaris, dinding lateral orbita. Posterior dinding sinus frontalis juga tampak (Edwards, 2006).

2. CT Scan CT Scan bisa melihat garis patah yang tidak nampak dalam foto radiologi biasa. CT Scan 3-dimensi akan menggambarkan bentuk tulang muka keseluruhan dan lubang tulang yang patah atau melesak dapat dikenali dengan lebih jelas, selain itu dapat pula mengevaluasi jaringan lunak, dikerjakan atas indikasi khusus. Meskipun demikian, gambar 3D mungkin membantu dalam visualisasi besar kominuta, zygomatico, dan kompleks fraktur yang melibatkan beberapa rangkaian, khususnya17

sehubungan dengan midface. Gambar 3D memberikan informasi hanya mengenai arsitektur. Untuk jeratan lemak dan otot, encephaloceles, hematoma, dan cedera terkait harus dinilai radiografi melalui CT Scan 2D (Seagal et al., 2005). Pada kebanyakan pasien dengan dampak wajah yang signifikan, CT scan harus dilakukan. CT scan harus dilakukan dengan potongan aksial tidak lebih besar dari 3 mm terpisah, dari atas tempurung kepala melalui bagian bawah mandibula. Selain itu, dalam kasus-kasus trauma wajah kompleks, mungkin akan membantu untuk melakukan rekonstruksi tiga dimensi dari kerangka wajah yang direkonstruksi sehingga memberikan hasil yang lebih baik untuk keseluruhan orientasi. Secara umum, CT scan dapat diterima untuk diagnosis pada semua fraktur wajah, selain mandibula. Meskipun CT scan pada dasarnya 100% sensitif dan spesifik untuk fraktur, namun tidak memberikan informasi rinci tentang struktur gigi. Hal ini paling penting di daerah sudut mandibula dengan mengenai kondisi geraham ketiga. Informasi mengenai kerusakan akar gigi dan posisi relatif terhadap patah tulang sangat penting dalam perencanaan dan pengobatan patah tulang sudut (Eurle, 2005)

18

Adapun interpretasi dari hasil pemeriksaan radiologis antara lain: 1. Fraktur nasal Patah tulang hidung dapat didiagnosis dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Foto polos hidung terdiri dari sudut lateral mengerucut di bawah hidung dan foto waters dapat mengkonfirmasikan diagnosis terapi kegunaan praktis bernilai kecil. Jika edema telah diselesaikan dan tidak ada keluhan lain yang ditemukan x-ray tidak diperlukan.

(X-Ray nasal lateral view) 2. Fraktur nasoethmoidal

(CT-imaging)

Jika dicurigai fraktur nasal dan bukti-bukti menunjukan keterlibatan tulang ethmoidal, seperti rhinorea CSF atau pelebaran jembatan hidung dengan telechantus, pemeriksaan rontgen biasa jarang digunakan. CT scan koronal tulang wajah adalah pemeriksaan terbaik untuk menentukan tingkat fraktur. Sebuah rekonstuksi 3-D dapat diperlukan dalam membantu konsultan dalam operasi.

(CT 3 dimensi)

19

(CT scan pada fraktur NOE) 3. Fraktur Zygoma Jenis foto terbaik untuk mengevaluasi arkus zygomatic adalah sudut submental, juga dikenal dengan bucket handle view, karena lengkungan tampak seperti pegangan ember. Kasus ini dapat dilihat dengan foto waters dan beberapa kasus dengan foto towne

20

4. Fraktur Tripod Jika dicurigai fraktur tripod, foto polos harus disertai foto waters, cladwell, dan posisi submental underexposed. Posisi waters posisi terbaik untuk mengevaluasi rima orbital inferior, perpanjangan rahang atas dari zygoma, dan sinus maksilaris. Posisi cladwell dapat mengevaluasi bagian frontal dari zygoma dan sutura zygomaticofrontal. Posisi submental underexposed dapat megevaluasi arkus zygomatic. CT scan coronal tulang wajah sering digunakan untuk lebih mengevaluasi fraktur, terutama dengan menggunakan rekonstruksi 3-D untuk meningkatkan visualisasi dari reduksi fraktur. Jika diduga kuat fraktur tripod, memeriksa CT scan secara langsung tanpa pemeriksaan foto polos dapat mengurangi biaya. 5. Fraktur Le Fort CT scan koronal tulang wajah telah menggantikan foto polos dalam evalusi fraktur Le fort, terutama dengan penggunaan rekonstruksi 3-D. karena fraktur le fort sering bercampur dari satu sisi ke sisi lainnya, CT scan lebih unggul daripada foto polos dan membuat visualisasi dari yang lebih mudah dalam rekonstruksi fraktur. Jika CT scan tidak tersedia dapat dilakukan foto lateral, waters dan cladwell untuk mengevaluasi fraktur. Hampir semua fraktur Le fort menyebabkan darah berkumpul di sinus maksilaris. a. Fraktur Le fort I : menunjukan pelebaran fraktur ke horizontal di mandibula inferior, kadang kadang termasuk fraktur dari dinding lateral sinus, memanjang ke tulang palatine dan pterygoid. b. Fraktur Le fort II : pemeriksaan radiologis menunjukan gangguan dari pelek orbital inferior lateral saluran orbital dan patah tulang dari dinding medial orbital dan tulang nasal. Fraktur memperluas posterior kedalam piring pterygoid. c. Fraktur Le fort III : pemeriksaan radiologis menunjukan patah tulang pada sutura zygomaticofrontal, zygoma, dinding medial orbita, dan21

tulang

hidung

meluas

ke

posterior

melalui

orbita

di

sutura

pterygomaksilaris ke fosa sphenopalatina.

F. RENCANA PENATALAKSANAAN Penanganan awal a) Stabilkan Pasienb) Primary survey: Airway, breathing, circulation, dan selanjutnya tetap

diawasi. Fraktur mandibula bilateral harus distabilkan agar tidak mengganggu jalan napas. Apabila ada perdarahan lakukan penjahitan, penekanan atau pembalutan. c) Bila ada hematoma septum nasi atau hematoma auricula, harus dilakukan drainase dan dilanjutkan dengan balut tekan/ tamponade hidung.d) Secondary survey: pemeriksaan leher, neurologis, scalp, orbita, telinga,

hidung, wajah bagian tengah, mandibula, rongga mulut, dan oklusi. Adanya cedera kepala (brain injury) dapat menunda timing operasi Open Reduction Internal Fixation (ORIF) pada fraktur tulang muka. e) Bila ada luka, ditutup dengan kasa lembab sambil menunggu terapi definituf.22

f) Identifikasi cedera g) Memperoleh gambaran imaging yang diperlukan (radiologi, Ctscan) h) Konsultasi denganbagian yang bersangkutan, misalnya psikiatri, rehabilitasi medik, fisioterapi. i) Konsultasikan penyakit menular atau infeksi j) Undertake debridement (hari 3-10) untuk menghapus jaringan nekrotik k) Stabilkan dasar jaringan keras untuk mendukung jaringan lunak dan mencegah kontraktur bekas luka sebelum rekonstruksi utama. l) Lakukan Review menyeluruh atas model stereolithografi serta tentukan perawaan yang akan dilakukan. Penanganan lanjut a) Ganti komponen jaringan lunak yang hilang b) Lakukan rekonstruksi utama dan manajemen fraktur 1) Fraktur mandibula Reduksi kemudian fiksasi pada geligi dengan wire ataupun Arch Bar menghasilkan union dan occlusi yang dicapai dalan 5 minggu. Reduksi kemudian fiksasi dengan mini plate screw tidak memerlukan penguncian geligi sebagaimana pada wire dan arch bar. 2) Fraktur maxila Reduksi dengan pendekatan sulcus ginggivobuccalis dan infra cilliar palpebra inferior; dapat juga difiksasi dengan wire atau mini plate screw. 3) Fraktur rima orbita Penting dilakukan operasi reposisi dan fiksasi untuk mengembalikan bentuk orbita dan memulihkan fungsi gerak mata yang terganggu. 4) Fraktur nasal Sebaiknya direparasi tidak terlalu lama sejak traumanya, mengingat tulang nasi adalah tulang pipih dan sering patahnya23

dan imaging

berbentuk impresi, deviasi, atau remuk. Fraktur tulang hidung ini harus segera direposisi dengan anestesia lokal dan imobilisasi dilakukan dengan memasukan tampon ke dalam lubang hidung yang dipertahankan selama tiga hingga empat hari. Patahan dapat dilindungi dengan gips tipis berbentuk kupu-kupu untuk satu hingga dua minggu Memasukkan agresif fisik / pengobatan dgn memberi pekerjaan tertentu

Lakukan

rekonstruksi

sekunder

(misalnya,

implan,

vestibuloplasty) Lakukan rekonstruksi tersier (misalnya, masalah kosmetik, bekas luka revisi) (Ceallaigh, 2006; Cohen, 2008) G. EDUKASI, PENYULUHAN DAN PENCEGAHAN SEKUNDER Untuk mencegah morbiditas lebih lanjut, evaluasi dari penglihatan pasien harus terus dipantau baik ebelum maupun sesudah operasi. Memposisikan kepala pasien lebih tinggi dari badan baik sebelum maupun sesudah operasi juga akan menampah edema dan nyeri secara signifikan. Untuk mencegah emfisema orbital, menghembus nafas keras dari hidung harus dihindari setidaknya selama 10 hari setelah repair fraktur NOE. Diet yang dikonsumsi pasien tergantung dari tipe dan pola fraktur. Diet halus dapat diberikan sampai ada penyembuhan jaringan yang adekuat. Pemberian makanan intranasal dapat dipikirkan dalam kasus cedera tulang oral dan jaringan lunaknya. Pasien dengan trauma maksilofasial biasanya mendapat diet cair sampai masa penyembuhan. Selain itu untuk mencegah sekunder infeksi, oral higiene harus diperhatikan (Cornelius, 2010). Sebagai pencegahan primer atau pencegahan sebelum terjadi trauma maksilofasial, disarankan untuk lebih berhati-hati dalam mengendarai kendaraan bermotor. Hasil penelitian Malara et al. (2006) menunjukkan bahwa luka rahang atas akibat kecelakaan lalu lintas adalah yang paling umum24

pada kelompok pasien dalam usia 18 sampai 25. Insiden luka rahang atas adalah yang tertinggi di sore jam sibuk, 03:00-04:00. Demikian pula, sebagian besar trauma maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas terjadi antara siang dan 4 sore, ketika intensitas lalu lintas tertinggi. Salah satu metode pencegahan trauma antara pengguna kendaraan bermotor di sebagian besar negara di dunia adalah wajib sabuk pengaman. Penggunaan sistem kerja air bag maupun perlengkapan keselamatan dengan helm (pengaman kepala) yang melindungi sampai rahang bawah juga dapat menurunkan resiko kejadian luka rahang atas pada pengguna kendaraan bermotor. Selain itu, lebih dari separuh pasien yang menderita trauma wajah, akibat kecelakaan lalu lintas adalah setelah penggunaan alkohol dan obat-obatan yang menyebabkan kantuk. Edukasi untuk tidak menyetir kendaraan dalam keadaan mengantuk dan mabuk perlu dilakukan sebagai usaha pencegahan trauma maxillofacial (Malara et al., 2006; Cooper 2008).

25

DAFTAR PUSTAKA

Ceallaigh, P.O., Ekanaykaee, K., Beirne, C.J., Patton, D.W.Diagnosis and management of common maxillofacial injuries in the emergency department. Part 1:Advanced Trauma Life Support.2006.Emerg Med J, 23: 796-797 Ceallaigh, P.O., Ekanaykaee, K., Beirne, C.J., Patton, D.W.Diagnosis and management of common maxillofacial injuries in the emergency department. Part 2: Mandibular fractures.2006.Emerg Med J, 23: 927-928 Cohen, Adam J., 2008. Facial Trauma, Zygomatic Complex Fracture Cooper, J.C., 2008. FRACTURES OF THE JAW AND FACIAL BONES Cornelius, Carl-Peter; Gellrich Nils; et al. 2010. After Care following Management of NOE Fractures Edwards, M.C., Hllier, L.H. Facial Fractures.Handbook of Plastic Surgery.2006. Marcel Dekker, New York. P. 329-350 Eurle, Brian.,Kelly, Bryan. TRAUMA REPORT: Maxillofacial Injuries:Clinical Characteristics and Initial Management. 2005. Supplement to Emergency Medicine Reports, Pediatric Emergency Medicine Reports, ED Management,and Emergency Medicine Alert Vol 6 no 3 Malara, P., Malara, B., Drugacz, J. Characteristics of Maxillofacial Injuries Resulting from Road Trafic Accident- a 5 Year Review of The Case Records from Department of Maxillofacial Surgery in Katowice, Poland. 2006.Head and Face Medicine, 2:27 Mathur, Neeraj; 2009. Orbital Fracture

26

Parsa, Tania. 2008. Initial evaluatain and Management of Maxillofacial Injuries Stewart, Charles. 2008. Maxillofacial Trauma: Challenges In ED Diagnosis And Management. Emergency Medicine Practice vol 10 No2 Saigal, K., Winokur, B.S. Finden, S., Taub, D., Pribirkin, E. Use of ThreeDimensional Computerized Tomography Reconstruction in Complex Facial Trauma.2005.Facial Plastic Surgery. 21(3):214-219 Eurle, Brian.,Kelly, Bryan. TRAUMA REPORT: Maxillofacial Injuries:Clinical Characteristics and Initial Management. 2005. Supplement to Emergency Medicine Reports, Pediatric Emergency Medicine Reports, ED Management,and Emergency Medicine Alert Vol 6 no 3

27