fortifikasi roti manis dengan mikroemulsi fraksi...
TRANSCRIPT
FORTIFIKASI ROTI MANIS DENGAN MIKROEMULSI
FRAKSI TIDAK TERSABUNKAN DARI DISTILAT ASAM
LEMAK MINYAK SAWIT YANG MENGANDUNG SENYAWA
BIOAKTIF MULTI KOMPONEN
SKRIPSI
Oleh:
FAIRUZ BALQIS
NIM 115100407111001
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2015
FORTIFIKASI ROTI MANIS DENGAN MIKROEMULSI FRAKSI TIDAK
TERSABUNKAN DARI DISTILAT ASAM LEMAK MINYAK SAWIT YANG
MENGANDUNG SENYAWA BIOAKTIF MULTIKOMPONEN
Oleh:
FAIRUZ BALQIS
115100407111001
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Teknologi Pertanian
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
iv
RIWAYAT HIDUP
Penyusun dilahirkan di Jakarta pada tanggal 25 Oktober
1993. Penyusun merupakan anak pertama dari ayah yang
bernama Ichwan Muslimin dan ibu yang bernama Silviaty.
Penyusun memiliki tiga orang adik perempuan yang bernama
Khanza Jasmine, Khalisa Fitri Z., dan Ghina Syakirah.
Penyusun menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK Tunas
Jakasampurna School pada tahun 1999, melanjutkan ke tingkat sekolah dasar di
SD Tunas Jakasampurna School dan lulus pada tahun 2005, kemudian
melanjutkan ke tingkat sekolah menengah pertama di SMP Negeri 2 Kota Bekasi
dan lulus pada tahun 2008, dan menyelesaikan pendidikan sekolah menengah
atas di SMA Negeri 1 Kota Bekasi pada tahun 2011. Pada tahun 2011, penyusun
melanjutkan pendidikan S-1 di Universitas Brawijaya, Malang dan pada tahun
2015 telah berhasil menyelesaikan pendidikannya di Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.
Pada masa pendidikannya, penyusun aktif dalam beberapa organisasi
dan kepanitiaan, di antaranya Sekretaris Utama Gerakan Pramuka SMAN 1
Bekasi 2009-2010, Sie Abdi Masyarakat dan Lingkungan Hidup OSIS SMAN 1
Bekasi 2009-2010, Divisi Marketing Himalogista Great Event (HGE) 8 2013,
Divisi Hubungan Masyarakat Olimpiade Brawijaya 2013, dan sebagainya.
v
“In the name of Allah, the Entirely Merciful, the Especially Merciful” “Say, My Lord, increase me in knowledge.”
Chapter 20: Surat Taha- Holy Qur’an
A person’s a person, no matter how small- dr. seuss
You’re braver than you believe, and stronger than you seem,
and smarter than you think – Winnie the Pooh
You must not let anyone define your limits because of where you come
from. Your only limit is your soul – Ratatouille
To Infinity and Beyond – Buzz Lightyear
Hakuna Matata – Pumbaa & Timon
I’m only brave when I have to be.
Being brave doesn’t mean you go looking for trouble – Mufasa
“The past can hurt. But the way I see it,
you can either run from it, or learn from it.” – The Lion King
It’s gonna be legend, wait for it.. I hope you’re not lactose intolerance because the
second half word is.. Dary ! – Barney Stinson
May the force be with you – Jedi Knight
Alhamdulillahirabbil’alamin
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang telah diberikan
Karya ini kupersembahkan untuk orang tuaku, adik-adik, keluarga,
dan semua orang yang kucintai
vi
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Yang bertandatangan di bawah ini
Nama Mahasiswa : Fairuz Balqis
NIM : 115100407111001
Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas : Teknologi Pertanian
Judul Skripsi : Fortifikasi Roti Manis dengan Mikroemulsi Fraksi Tidak
Tersabunkan dari Distilat Asam Lemak Minyak Sawit
yang Mengandung Senyawa Bioaktif Multikomponen
Skripsi dengan judul di atas merupakan karya asli penyusun di atas. Apabila di
kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, Saya bersedia dituntut sesuai
hukum yang berlaku.
Malang, 3 Juli 2015
Pembuat Pernyataan
Fairuz Balqis
NIM. 115100407111001
vii
FAIRUZ BALQIS. 115100407111001. Fortifikasi Roti Manis Dengan Mikroemulsi Fraksi Tidak Tersabunkan Distilat Asam Lemak MInyak Sawit yang Mengandung Senyawa Bioaktif Multi Komponen. SKRIPSI. Pembimbing: Dr. Teti Estiasih STP, MP dan Sudarma Dita Wijayanti STP., M.Sc., MP
RINGKASAN
Distilat asam lemak minyak sawit (DALMS) merupakan hasil samping dari proses pemurnian minyak sawit pada tahap deasidifikasi-deodorisasi. DALMS mengandung asam lemak dan gliserida serta senyawa bioaktif minor antara lain vitamin E, fitosterol dan skualen. Senyawa bioaktif pada DALMS dapat diperoleh melaui proses pemisahan dengan metode saponifikasi yang akan menghasilkan fraksi tidak tersabunkan (FTT). Senyawa bioaktif pada FTT DALMS memiliki kelarutan dalam air yang rendah sehingga memiliki masalah dalam formulasi produk pangan. Untuk menangani masalah tersebut dapat dilakukan metode mikroemulsifikasi terhadap FTT dari DALMS. Mikroemulsi yang dapat membantu meningkatkan kelarutan dan dispersi senyawa bioaktif pada FTT DALMS dapat digunakan untuk proses fortifikasi pada produk pangan. Salah satu produk pangan yang dapat difortifikasi adalah roti. Roti merupakan produk pangan yang digemari masyarakat sebagai pengganti nasi. Selain itu, roti juga telah banyak diteliti sebagai makanan yang difortifikasi dengan berbagai macam senyawa mikronutrien. Namun, belum ada penelitian mengenai fortifikasi roti dengan senyawa bioaktif seperti vitamin E, fitosterol dan skualen. Oleh karena tingkat kegemaran masyarakat terhadap roti, kemudahan roti dilakukan proses fortifikasi serta banyaknya variasi roti dalam hal bentuk dan rasa, maka roti dianggap potensial untuk dijadikan produk pangan yang difortifikasi dengan mikroemulsi FTT dari DALMS.
Tujuan peneltian ini adalah untuk konsentrasi mikroemulsi fraksi tidak tersabunkan dari DALMS yang tepat yang memberi respon terbaik terhadap sifat fisik dan organoleptik serta pengaruh perbedaan konsentrasi mikroemulsi FTT dari DALMS terhadap sifat fisik dan organoleptik roti. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor yang terdiri dari lima level. Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali, sehingga didapatkan 15 satuan percobaan.
Hasil analisa senyawa bioaktif pada DALMS yaitu total vitamin E sebesar 4.768,28 mg/100g, total fitosterol 646,49 mg/100g dan skualen 141,01 mg/100g. Senyawa bioaktif pada FTT yaitu total vitamin E sebesar 34.237,58 mg/100g, total fitosterol 8.837,80 mg/100g dan skualen 2.101,86 mg/100g. Senyawa bioaktif pada mikroemulsi yaitu vitamin E sebesar 7.147,42 mg/100g, total fitosterol sebesar 8.322,02 mg/100g, dan skualen sebesar 250,45 mg/100g. Hasil analisa fisik roti manis menunjukkan konsentrasi mikroemulsi berpengaruh nyata terhadap nilai kekuningan (b) crumb roti manis dan densitas kamba roti manis. Hasil perlakuan terbaik pada roti manis dengan konsentrasi mikroemulsi 2% yang memiliki sifat fisik dan orgenoleptik terbaik. Hasil analisa senyawa bioaktif roti manis perlakuan terbaik adalah vitamin E sebesar 0,113 mg/100g, total fitosterol sebesar 3,930 mg/100g, dan skualen sebesar 2,262 mg/100g. Kata Kunci : DALMS, FTT, mikroemulsi, roti, senyawa bioaktif
viii
FAIRUZ BALQIS. 115100407111001. Sweet Bread Fortification with Microemulsion of Unsaponifiable Fraction from Palm Fatty Acid Distillate Contains Multi Component Bioactive Compounds. THESIS. Supervisor: Dr. Teti Estiasih STP, MP and Sudarma Dita Wijayanti STP., M.Sc., MP
SUMMARY
Palm Fatty Acid Distillate (PFAD) is a by-product of refining palm oil in deacidification-deodorizing processes. PFAD contains free fatty acid and glycerides and also bioactive compounds such as vitamin E, phytosterol, and squalene. Bioactive compounds in PFAD can be obtained with saponification, which produces unsaponifiable fraction. Bioactive compounds in unsaponifiable fraction has low solubility in water. To handle that problem microemulsification method can be applied for unsaponifiable fraction from PFAD. Microemulsion can increase bioactive compounds solubility and dispersion. Bread is one of the food product that can be fortified by microemulsion. As a popular rice subtituter, bread also has been researched as a fortified food with several micronutrients. However, there is still no research about bread fortification with bioactive compounds such as vitamin E, phytosterol dan squalene. Because of bread’s popularity and viability to be fortified and also lot of it’s variation, bread become a potential food product that can be fortified by microemulsion of unsaponifiable fraction from PFAD. The research aimed to determine the best concentration of unsaponifiable fration microemulsion that can give the best responses for physical and sensory properties and also determine the effects of different concentration of microemulsion toward physical and sensory properties. Completely randomized design with one factor and five level applied. Every level repeated three times, so that there were 15 units of trial. The result showed that total vitamin E, phytosterol, and squalene in PFAD are 4.768,28 mg/100g, 646,49 mg/100g, 141,01 mg/100g respectively. Meanwhile, total vitamin E, phytosterol and squalene in unsaponifiable fraction are 34.237,58 mg/100g, 8.837,80 mg/100g, 2.101,86 mg/100g respectively. Total vitamin E, phytosterol, and squalene in microemulsion are 7.147,42 mg/100g, 8.322,02 mg/100g, 250,45 mg/100g. The result of physical evaluatiuon for bread showed that concentration of microemulsion significant different on yellowness (b) of the bread crumb and the bulk density. Bread with the best treatment is bread with 2% concentration of microemulsion that has the best physical properties and sensory evaluation. The result showed that total vitamin E, phytosterol and squalene of the best treatment are 0,113 mg/100g, 3,930 mg/100g, 2,262 mg/100g respectively. Key Words: Bioactive compounds, Bread, Microemulsion, PFAD, Unsaponifiaable fraction
ix
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-NYA
sehingga penulis mampu menyelesaikan proposal skripsi yang berjudul
“Fortifikasi Roti Manis dengan Mikroemulsi Fraksi Tidak Tersabunkan Dari
Distilat Asam Lemak Minyak Sawit yang Mengandung Senyawa Bioaktif
Multikomponen”.
Pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Dr. Teti Estiasih STP, MP selaku dosen pembimbing pertama yang telah
memberikan bimbingan, arahan, bantuan, waktu, dan perhatian kepada
penulis dan Ketua Jurusan THP FTP UB
2. Sudarma Dita Wijayanti, STP., M.Sc., MP selaku dosen pembimbing kedua
yang telah memberikan bimbingan, arahan, bantuan, waktu, dan perhatian
kepada penulis.
3. Ir. Wahono Hadi Susanto, MS selaku dosen penguji yang telah memberikan
kritik dan saran yang membangun.
4. Bapak Kgs. Ahmadi atas bantuan, waktu dan arahan selama penelitian
5. Papi Ichwan, Mami Evi, Ka jaja Ka Lisa dan Ghina, serta seluruh keluarga,
atas segala restu, dukungan, dan doa dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Akang Naufal Arisyi selaku partner bermain dan belajar selama
menyelesaikan kuliah baik di dalam kampus maupun di luar kampus.
7. Mas Gumilang, Asusti dan Zamnia selaku teman satu tim proyek penelitian
ini atas suka dan duka yang kita bagi bersama.
8. Mbak Nadhif dan Mbak Laily yang selalu membimbing tim, baik di dalam lab
maupun di luar lab.
9. Mpok Lila, Panj Giza, Tiara, Iki, Kikid, Diga, Brian, Banu, Kharis yang selalu
menyemangati, membahagiakan, dan mengajak bermain penyusun selama
penelitian ini.
10. M. Aswan selaku mentor dalam mempelajari analisis data.
11. Maria Ika S. Atas bantuannya dalam meminjamkan catatan selama
perkuliahan.
12. Seluruh laboran laboratorium THP UB atas bantuan dan masukan yang
diberikan selama proses penelitian.
x
13. Segenap karyawan dan karyawati Jurusan THP, FTP, UB yang telah
membantu dalam kelancaran proposal skripsi ini.
Penulisan proposal skripsi ini merupakan upaya penulis sebagai sarana
dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Saran dan kritik yang membangun
sangat diharapkan demi kesempurnaan karya selanjutnya. Harapan penulis
semoga proposal skripsi ini dapat memberikan sumbangan yang berarti terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan.
Malang, Juni 2015
Penulis
xi
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN .................................................................................................... vii
SUMMARY ...................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ix
DAFTAR ISI .................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………. 1 1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 2 1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 3 1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................... 3 1.5 Hipotesis ................................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………....... 4 2.1 Kelapa Sawit ............................................................................................ 4 2.2 Minyak Kelapa Sawit ................................................................................ 5 2.3 Distilat Asam Lemak Minyak Sawit (DALMS) ............................................ 6 2.4 Proses Saponifikasi ................................................................................. 7 2.5 Fraksi Tidak Tersabunkan ......................................................................... 8 2.6 Senyawa Bioaktif Fraksi Tidak Tersabunkan DALMS ................................ 10 2.6.1 Vitamin E .......................................................................................... 10 2.6.2 Fitosterol ........................................................................................... 11 2.6.3 Skualen ............................................................................................. 12 2.7 Emulsi ........................................................................................................ 13 2.8 Mikroemulsi .............................................................................................. 14 2.9 Pengemulsi .............................................................................................. 15 2.10 Roti ........................................................................................................ 17 2.10.1 Bahan Dasar Roti ............................................................................ 17 2.10.2 Kualitas Roti .................................................................................... 23 2.10.3 Tahapan Pembuatan Roti ............................................................... 23 2.11 Nutrifikasi ................................................................................................. 25 2.12 Fortifikasi ................................................................................................. 25
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 27 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................... 27 3.2 Alat dan Bahan .......................................................................................... 27 3.3 Metode Penelitian ..................................................................................... 28 3.4 Pelaksanaan Penelitian ............................................................................ 29 3.5 Pengamatan dan Analisis Data ................................................................. 30 3.6 Diagram Alir Penelitian .............................................................................. 32
xii
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 36 4.1 Karakteristik Distilat Asam Lemak Minyak Sawit (DALMS) ......................... 36 4.2 Karakteristik Fraksi Tidak Tersabunkan (FTT) ........................................... 40 4.3 Karakteristik Mikroemulsi .......................................................................... 44 4.4 Karakteristik Roti ....................................................................................... 46
4.4.1 Warna Roti ....................................................................................... 46 4.4.2 Tekstur Roti ...................................................................................... 56 4.4.3 Daya Kembang ................................................................................ 57 4.4.4 Densitas Kamba ............................................................................... 59 4.4.5 Sifat Sensori Roti Manis ................................................................... 61 4.4.6 Perlakuan Terbaik ............................................................................ 69 4.4.7 Karakteristik Kimia Roti Manis Perlakuan Terbaik ............................ 70 4.4.8 Senyawa Bioaktif Roti Manis Perlakuan Terbaik .............................. 73
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 75 5.1 Kesimpulan ............................................................................................... 75 5.2 Saran ........................................................................................................ 75
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 76 LAMPIRAN ..................................................................................................... 84
xiii
DAFTAR TABEL
Nomor Teks Halaman
2.1 Kandungan Tokoferol dan Tokotrienol dalam DALMS .............................. 7 2.2 Karakteristik Fraksi Tidak Tersabunkan DALMS ...................................... 9 2.3 Nilai HLB dan Aplikasinya ........................................................................ 16 2.4 Syarat Mutu Roti Manis ............................................................................ 23 4.1 Kadar Asam Lemak Bebas DALMS ......................................................... 36 4.2 Tingkat Oksidasi DALMS ......................................................................... 37 4.3 Kadar Senyawa Bioaktif DALMS .............................................................. 38 4.4 Kadar Asam Lemak Bebas FTT ............................................................... 40 4.5 Tingkat Oksidasi FTT ............................................................................... 41 4.6 Kadar Senyawa Bioaktif FTT DALMS ...................................................... 42 4.7 Kadar Senyawa Bioaktif Mikroemulsi ....................................................... 44 4.8 Pengaruh Konsentrasi Mikroemulsi Terhadap Nilai Kekuningan Crumb ... 54 4.9 Pengaruh Konsentrasi Mikroemulsi Terhadap Densitas Kamba ............... 60 4.10 Karakteristik Sensori Roti Manis Metode Hedonik .................................... 61 4.11 Pengaruh Konsentrasi Mikroemulsi Terhadap Rasa ................................ 64 4.12 Pengaruh Konsentrasi Mikroemulsi Terhadap Rasa Menyimpang ........... 65 4.13 Pengaruh Konsentrasi MIkroemulsi Terhadap After Taste ....................... 66 4.14 Pengaruh Konsentrasi Mikroemulsi Terhadap Bau menyimpang ............. 67 4.15 Pengaruh Konsentrasi Mikroemulsi Terhadap Warna .............................. 68 4.16 Perlakuan Terbaik .................................................................................... 69 4.17 Hasil Analisa Kimia Roti Manis................................................................. 70 4.18 Senyawa Bioaktif Roti Manis .................................................................... 73
xiv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Halaman
2.1 Struktur Kimia Vitamin E ............................................................................ 11 2.2 Struktur Kimia Fitosterol ............................................................................. 12 2.3 Struktur Kimia Skualen .............................................................................. 13 3.1 Diagram Alir Proses Saponifikasi ............................................................... 31 3.2 Diagram Alir Pembuatan Mikroemulsi ........................................................ 32 3.3 Diagram Alir Pembuatan Roti Manis .......................................................... 33 4.1 Nilai Kecerahan Crust Roti Manis .............................................................. 47 4.2 Nilai Kemerahan Crust Roti Manis ............................................................. 48 4.3 Nilai Kekuningan Crust Roti Manis ............................................................. 49 4.4 Derajat Hue Crust Roti Manis .................................................................... 50 4.5 Nilai Kecerahan Crumb Roti Manis ............................................................ 51 4.6 Nilai Kehijauan Crumb Roti Manis .............................................................. 52 4.7 Nilai Kekuningan Crumb Roti Manis ........................................................... 53 4.8 Derajat Hue Crumb Roti Manis .................................................................. 55 4.9 Nilai Tekstur Roti Manis ............................................................................. 56 4.10 Daya Kembang Roti Manis ........................................................................ 58 4.11 Densitas Kamba Roti Manis ....................................................................... 59 4.12 Spider Chart Uji Sensori Mutu Hedonik ...................................................... 63
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Teks Halaman
1 Prosedur Analisa ....................................................................................... 84 2 Perhitungan Asam Lemak Bebas, Bilangan Peroksida, Bilangan Anisidin DALMS dan FTT ......................................................................... 97 3 Analisa Ragam Nilai Kecerahan Crust ....................................................... 100 4 Analisa Ragam Nilai Kecerahan Crumb..................................................... 101 5 Analisa Ragam Nilai Kekuningan Crust ..................................................... 102 6 Analisa Ragam Nilai Kekuningan Crumb ................................................... 103 7 Analisa Ragam Nilai Kemerahan Crust...................................................... 105 8 Analisa Ragam Nilai Kehijauan Crumb ...................................................... 106 9 Perhitungan Derajat Hue Crust dan Crumb ............................................... 107 10 Analisa Ragam Daya Kembang ................................................................. 108 11 Analisa Ragam Densitas Kamba ............................................................... 109 12 Analisa Ragam Tekstur ............................................................................. 111 13 Analisa Ragam Warna Metode Hedonik .................................................... 112 14 Analisa Ragam Bau Metode Hedonik ........................................................ 115 15 Analisa Ragam Keempukan Metode Hedonik ........................................... 117 16 Analisa Ragam Tekstur Metode Hedonik ................................................... 119 17 Analisa Ragam Rasa Metode Hedonik ...................................................... 121 18 Analisa Ragam Warna Mutu Hedonik ........................................................ 124 19 Analisa Ragam Bau Mutu Hedonik ............................................................ 127 20 Analisa Ragam Bau Menyimpang Mutu Hedonik ....................................... 129 21 Analisa Ragam Keempukan Mutu Hedonik ............................................... 132 22 Analisa Ragam Rasa Mutu Hedonik .......................................................... 134 23 Analisa Ragam Rasa Menyimpang Mutu Hedonik ..................................... 137 24 Analisa Ragam After Taste Mutu Hedonik ................................................. 140 25 Perlakuan Terbaik ..................................................................................... 143 26 Perhitungan Uji Kimia Roti Manis .............................................................. 146 27 Kromatogram Penelitian ............................................................................ 149 28 Dokumentasi Penelitian ............................................................................. 162
1
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara produsen utama minyak sawit dunia dengan rata-
rata laju pertumbuhan produksi kelapa sawit dalam bentuk CPO (Crude Palm Oil)
selama tahun 2004-2014 sebesar 11,09% per tahun, di mana produksi kelapa sawit
pada tahun 2014 sebesar 29,3 juta ton (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014).
Selama proses pemurnian minyak sawit pada tahap deasidifikasi-deodorisasi
dihasilkan distilat asam lemak minyak sawit (DALMS) sebesar lima persen dari berat
minyak sawit.
Distilat asam lemak minyak sawit (DALMS) mengandung asam lemak dan
gliserida (96,1%) dan senyawa bioaktif minor antara lain tokoferol dan tokotrienol
(0,48%), fitosterol (0,37%), skualen (0,76%) dan hidrokarbon lainnya, tetapi DALMS
masih belum diteliti sebagai sumber senyawa bioaktif (Estiasih dkk, 2013). Sejauh
ini, sumber tokotrienol masih terbatas, oleh karena itu penggunaan DALMS sebagai
sumber tokotrienol penting untuk diteliti (Liu dkk, 2008). Vitamin E yang terdiri dari
tokoferol dan tokotrienol memiliki fungsi yang sangat penting bagi tubuh manusia
yaitu sebagai memiliki aktivitas antioksidan, anti-aging dan antikanker (Maarasyid,
2014). Fitosterol yang terkandung dalam DALMS juga memiliki manfaat bagi
kesehatan manusia. Memiliki sifat yang dapat menurunkan kadar kolesterol dalam
darah, dan melindungi dari beberapa tipe kanker (Kritchevsky dan Chen, 2005).
Skualen sebagai senyawa bioaktif lain yang tedapat pada DALMS telah dilaporkan
memiliki sifat pencegahan terhadap kanker, tinggi aktivitas anti-tumor, dan memiliki
efek yang baik terhadap kolesterol (Gunes, 2013).
Senyawa bioaktif yang terdapat dalam DALMS dapat diperoleh melalui proses
pemisahan sehingga didapatkan fraksi tidak tersabunkan (FTT). Fraksi tidak
tersabunkan yang memiliki kandungan senyawa bioaktif seperti tokoferol (64,41
mg/100g), tokotrienol (732,39 mg/100g), fitosterol (9.184,63 mg/100g), skualen
(526,41 mg/100g) diperoleh menggunakan metode saponifikasi. Senyawa bioaktif
yang terkandung dalam FTT DALMS memiliki kelarutan dalam air yang rendah
sehingga memiliki masalah dalam pembuatan formulasi pangan (Tan dan Nakajima,
2005). Untuk menangani masalah tersebut dapat dilakukan metode
2
mikroemulsifikasi. Mikroemulsifikasi dapat meningkatkan kelarutan dalam air dan
meningkatkan kestabilan senyawa bioaktif tersebut (Anjali dkk, 2010).
Mikroemulsi merupakan dispersi yang terdiri dari fase minyak, pengemulsi dan
fase cair dengan memiliki ukuran droplet sekitar 10-100nm, dan secara
termodinamika stabil. Mikroemulsi jika dibandingkan dengan sistem emulsi pada
umumnya memiliki berbagai keunggulan seperti meningkatkan kelarutan, memiliki
kestabilan terhadap panas yang baik, dan meringankan proses produksi. Hal ini
disebabkan sistem emulsi masih bersifat tidak stabil secara termodinamika dan
memiliki ukuran droplet yang besar. Penggunaan mikroemulsi yang dapat membantu
meningkatkan kelarutan dan dispersi senyawa bioaktif FTT DALMS dapat digunakan
untuk produk pangan. Salah satu produk pangan yang dapat difortifikasi adalah roti.
Roti merupakan salah satu makanan yang digemari oleh masyarakat Indonesia
sebagai pengganti nasi. Berdasarkan data Survey Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas) oleh Kementan, konsumsi roti di Indonesia cenderung meningkat. Pada
tahun 2010-2011 terjadi peningkatan konsumsi roti per-bungkusnya sebesar 4,27
persen per tahun (Adyas, 2015). Roti juga telah banyak diteliti sebagai produk
pangan yang difortifikasi dengan senyawa mikronutrien. Senyawa yang difortifikasi
pada roti sebagian besar adalah vitamin dan mineral seperti vitamin A, vitamin B, zat
besi, iodin, dan magnesium (Clifton dkk, 2013). Namun, belum terdapat penelitian
mengenai fortifikasi roti dengan senyawa bioaktif seperti vitamin E, fitosterol dan
skualen. Oleh karena itu diperlukan penelitian tentang fortifikasi roti dengan
mikroemulsi FTT DALMS yang mengandung senyawa bioaktif multikomponen
dengan variasi konsentrasi mikroemulsi sehingga dapat menghasilkan roti yang baik
dari segi fisik, kimia, organoleptik serta memiliki banyak manfaat yang baik bagi
kesehatan.
1.2 Perumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh perbedaan konsentrasi mikroemulsi dari FTT DALMS
terhadap sifat fisik dan organoleptik roti?
2. Berapa konsentrasi mikroemulsi FTT dari DALMS yang tepat untuk
menghasilkan respon terbaik terhadap sifat fisik dan organoleptik dalam
fortifikasi pada produk roti?
3
1.3 Tujuan
1. Mengetahui konsentrasi mikroemulsi dari FTT DALMS yang tepat untuk
menghasilkan respon terbaik terhadap sifat fisik, kimia, dan organoleptik
pada produk roti.
2. Mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi mikroemulsi dari FTT DALMS
terhadap sifat fisik, kimia, dan organoleptik produk roti.
1.4 Manfaat
1. Meningkatkan nilai DALMS yang merupakan hasil samping pemurnian
minyak sawit.
2. Memberikan informasi mengenai konsentrasi mikroemulsi dari FTT DALMS
yang tepat untuk menghasilkan respon terbaik terhadap sifat fisik, kimia, dan
organoleptik dalam fortifikasi pada produk roti.
3. Memberikan informasi mengenai pengaruh perbedaan konsentrasi
mikroemulsi dari FTT DALMS terhadap sifat fisik dan organoleptik roti.
1.5 Hipotesis
1. Diduga terdapat pengaruh nyata dari perbedaan konsentrasi mikroemulsi dari
FTT DALMS terhadap sifat fisik dan organoleptik roti.
2. Diduga penambahan mikroemulsi dari FTT DALMS dengan konsentrasi
terkecil menghasilkan respon terbaik terhadap sifat fisik dan organoleptik roti
4
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineesis) termasuk dalam famili palmae,
subkelas Monocotyledoneae, kelas Angiospermae, subdivisi Tracheophyta. Kelapa
sawit merupakan tanaman asli Afrika dan tumbuh alami di Afrika Selatan dan Afrika
Barat. Tanaman ini tumbuh baik pada daerah beriklim tropis dengan curah hujan
2000 mm/tahun (Ketaren, 2005).
Tanaman kelapa sawit terdiri tiga varietas yang dapat dibedakan berdasarkan
tebal cangkang/tempurung dan daging buah, serta warna kulit buahnya. Ketiga
varietas tersebut yaitu: 1) Dura: memiliki tempurung 2-8 mm, dan daging buah 35-
50%. Terdapat buah, kernel lebih besar dan kandungan minyak sedikit. 2) Pisifera:
ketebalan cangkang sangat tipis, bahkan hampir tidak ada tetapi daging buahnya
tebal, lebih tebal dari Dura, daging biji sangat tipis, tidak dapat diperbanyak tanpa
menyilangkan dengan jenis lain dan dipakai sebagai pohon induk jantan. 3) Tenera:
berdasarkan tebal tipisnya cangkang sebagai faktor homozigot tunggal yaitu Dura
bercangkang lebih tebal jika dikawinkan dengan pisifera bercangkan tipis maka akan
menghasilkan varietas baru yaitu Tenera (Fauzi dkk, 2005).
Tanaman kelapa sawit dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu bagian
vegetatif dan bagian generatif. Bagian vegetatif kelapa sawit meliputi akar, batang,
dan daun, sedangkan bagian generatif terdiri dari bunga dan buah (Pahan, 2008).
Bagian dari tanaman ini yang bernilai ekonomis adalah buah. Buah kelapa sawit
tersusun dalam sebuah tandan yang disebut sebagai TBS (Tandan Buah Segar).
Buah kelapa sawit termasuk jenis buah keras (drupe), menempel dan bergerombol
pada tandan buah. Jumlah per tandan dapet mencapai 1600, berbentuk lonjong
sampai membulat. Panjang buah 2-5 cm, beratnya 15-30 gram. Bagian-bagian buah
terdiri atas kulit buah (exocarp), sabut (mesocarp). Exocarp dan mesocarp disebut
pericarp. Biji terdiri atas cangkang (endocarp) dan inti (kernel), sedangkan inti sendiri
terdiri atas endosperm atau putih lembaga dan embrio. Dalam embrio terdapat bakal
daun (plumula), bakal akar (radikula) (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2005).
5
2.2 Minyak Kelapa Sawit
Minyak kelapa sawit diperoleh dari pengolahan buah kelapa sawit. Minyak
kelapa sawit seperti umumnya minyak nabati lainnya adalah merupakan senyawa
yang tidak larut dalam air, sedangkan komponen penyusunnya yang utama adalah
trigliserida dan nontrigliserida. Trigliserida tersebut merupakan ester dari gliserol
dengan tiga molekul asam lemak. Asam lemak merupakan rantai hidrokarbon yang
setiap atom karbonnya mengikat satu atau dua atom hidrogen, kecuali atom karbon
terminal yang mengikat tiga atom hidrogen, sedangkan atom karbon terminal lainnya
mengikat gugus karboksil. Asam lemak yang pada rantai hidrokarbonnya terdapat
ikatan rangkat disebut asam lemak tidak jenuh, dan apabila tidak terdapat ikatan
rangkap pada rantai hidrokarbonnya karbonnya disebut dengan asam lemak jenuh.
Semakin jenuh molekul asam lemak dalam molekul trigliserida maka semakin
tinggi titik beku atau titik cair minyak tersebut sehingga pada suhu kamar biasanya
berada pada fase padat. Sebaliknya, semakin tidak jenuh asam lemak dalam
molekul trigliserida maka semakin rendah titik cair minyak tersebut sehingga pada
suhu kamar berada pada fase cair. Minyak kelapa sawit adalah lemak semi padat
yang memiliki komposisi yang tetap (Pasaribu, 2004).
Selain trigliserida, masih terdapat senyawa non trigliserida dalam jumlah kecil.
Dalam proses pemurnian dengan penambahan alkali (saponifikasi) beberapa
senyawa non trigliserida dapat dihilangkan, kecuali beberapa senyawa yang disebut
dengan senyawa yang tidak tersabunkan. Senyawa-senyawa tersebut antara lain: 1)
karotenoida (500-700 ppm), 2) Likopen (3,8%), 3) Xantofil (2,2%), 4) Tokoferol (500-
800 ppm), 5) Sterol (mendekati 300 ppm) (Pasaribu, 2004).
Selama proses pengolahan minyak kelapa sawit terdapat proses pemurnian
CPO (Crude Palm Oil). CPO yang diekstrak secara komersial dari tandan buah
segar walaupun dalam jumlah kecil mengandung komponen dan pengotor yang
tidak diinginkan. Komponen tersebut termasuk serat mesokarp, kelembaban, bahan-
bahan tidak larut, asam lemak bebas, fosfolipida, logam, produk oksidasi, dan
bahan-bahan yang memiliki bau yang kuat sehingga diperlukan proses pemurnian
sebelum digunakan. Terdapat dua metode dalam proses pemurnian, yaitu
pemurnian fisik dan pemurnian kimiawi. Kedua metode tersebut dapat menghasilkan
refined bleached deodorized palm oil (RBDPO) (Ayustaningwarno, 2012).
6
Metode pemurnian minyak sawit secara fisik terdiri dari dua tahap, yaitu
pretreatment dan deodorisasi. Tahap pretreatment dilakukan dengan penggunaan
asam fosfat dan pembersihan menggunakan bleaching earth. CPO ditambahkan
dengan asam fosfat (80-85%) dengan perbandingan 0.05-0.2%. Kemudian dilakukan
pemanasan hingga 90-110°C selama 15-30 menit sebelum melewati bleacher,
tempat di mana bleaching earth ditambahkan. Konsentrasi bleaching earth yang
ditambahkan adalah 0.8-2%. Bleaching dilakukan dalam kondisi vakum 20-25 mmHg
selama 30-45 menit. Tahap kedua pada pemurnian minyak sawit secara fisik adalah
deodorisasi. Pada tahapan ini, minyak yang telah melalui proses bleaching siap
dilakukan proses deasidifikasi dan deodorisasi. Minyak didearasi kemudian
dipanaskan pada suhu 240-270°C pada tekanan 2-5 mmHg didalam alat heat
exchanger external. Suhu yang digunakan tidak boleh lebih dari 270°C untuk
meminimalkan kehilangan minyak, tokoferol, tokotrienol dan kemungkinan terjadinya
isomerisasi dan reaksi termokimia yang tidak diinginkan (Basiron, 2005).
2.3 Distilat Asam Lemak Minyak Sawit (DALMS)
Distilat asam lemak minyak sawit merupakan hasil samping pemurnian minyak
sawit pada tahapan deodorisasi yang bertujuan untuk menghilangkan senyawa
volatil. Distilat asam lemak minyak sawit (DALMS) mengandung asam lemak dan
gliserida 96,1% dan senyawa bioaktif minor antara lain tokoferol dan tokotrienol
(0,48%), fitosterol (0,37%), squalene (0,76%) dan hidrokarbon lainnya (Estiasih,
2013). Sekitar 5-57% tokoferol dan tokotrienol hilang dari Crude Palm Oil (CPO)
selama proses deodorisasi dan sebagian terkumpul dalam distilat asam lemak
minyak sawit (DALMS) dan menghasilkan DALMS dengan konsentrasi vitamin E
sebanyak 0,7-1,0%. Minyak sawit merupakan sumber potensial tokotrienol
dibandingkan dengan sumber lainnya seperti kulit beras, biji anggur, kulit beras
merah, minyak zaitun. Minyak sawit berbeda dengan minyak nabati lainnya karena
vitamin E utama dalam CPO adalah tokotrienol (83%) dan sisanya adalah tokoferol
(17%) (Liu dkk, 2008). Kandungan tokoferol dan tokotrienol dalam DALMS dapat
dilihat pada Tabel 2.1.
7
Tabel 2.1 Kandungan Tokoferol dan Tokotrienol dalam DALMS
Tokoferol/tokotrienol Kisaran (ppm)
α-tokoferol 35-725
α-tokotrienol 124-1286
y-tokotrienol 217-2807
δ- tokotrienol 218-1548
Sumber : Bonnie dan Yusof (2009)
DALMS berwarna coklat terang dan berbentuk semi-solid pada suhu ruang dan
mencair menjadi cairan berwarna coklat ketika dipanaskan. DALMS mengandung
sebagian besar asam lemak bebas (>80%) dengan asam palmitat dan asam oleat
sebagai komponen terbesarnya. Kandungan sisanya adalah trigliserida, gliserida
parsial dan fraksi tidak tersabunkan antara lain vitamin E, sterol, skualen dan
komponen volatil (Bonnie dan Yusof, 2009).
2.4 Proses Saponifikasi
Saponifikasi merupakan proses hidrolisis basa terhadap lemak dan minyak, dan
reaksi saponifikasi bukan merupakan reaksi kesetimbangan. Produk yang terbentuk
adalah sabun dari garam asam-asam lemak (Naomi dkk, 2013). Proses saponifikasi
menghasilkan dua produk, yaitu sabun dan gliserin. Sabun merupakan hasil reaksi
kimia antara asam lemak dengan alkali. Asam lemak adalah lemak yang diperoleh
dari lemak hewan dan nabati (Prawira, 2010).
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi penyabunan antara lain: 1) konsentrasi
larutan KOH atau NAOH: konsentrasi basa yang digunakan berdasarkan stokiometri
reaksinya, di mana penambahan basa harus sedikit berlebih dari minyak agar
tersabunnya sempurna. Jika basa yang digunakan terlalu pekat akan menyebabkan
terpecahnya emulsi pada larutan sehingga fasenya tidak homogen, sedangkan jika
basa yang digunakan terlalu encer maka reaksi akan membutuhkan waktu yang
lebih lama. 2) Suhu: ditinjau dari segi termodinamikanya, kenaikan suhu akan
menurunkan hasil. Pada kisaran suhu tertentu, kenaikan suhu akan mempercepat
reaksi, yang artinya menaikan hasil dalam waktu yang cepat. Namun, jika kenaikan
suhu telah melebihi suhu optimumnya, maka akan menyebabkan pengurangan hasil.
3) Pengadukan: Pengadukan dilakukan untuk memperbesar probabilitas tumbukan
8
molekul-molekul reaktan yang bereaksi. Jika tumbukan antar molekul reaktan
semakin besar, maka kemungkinan terjadinya reaksi semakin besar pula. 4) Waktu:
semakin lama waktu reaksi menyebabkan semakin banyak pula minyak yang dapat
tersabunkan, berarti hasil yang akan didapat juga semakin tinggi, tetapi jika reaksi
telah mencapai kondisi setimbangnya, penambahan waktu tidak akan meningkatkan
jumlah minyak yang tersabunkan (Levenspiel, 1987).
2.5 Fraksi tidak tersabunkan
Fraksi tidak tersabunkan merupakan senyawa yang setelah dilakukan proses
saponifikasi dengan alkali dan dilakukan ekstraksi dengan heksan tidak menguap
dibawah kondisi tertentu. Fraksi tidak tersabunkan termasuk sterol, hidrokarbon dan
alkohol, alifatik dan terpenik alkohol, dan senyawa lainnya yang telah diekstrak
dengan pelarut bersifat tidak mudah menguap (non-volatil) pada suhu 103°C. Fraksi
tidak tersabunkan diekstraksi dari larutan sabun menggunakan heksan, kemudian
pelarut dievaporasi. Reagen yang digunakan, yaitu n-heksan distilasi antara 40-60°C
nilai bromine kurang dari 1, pelarut harus bersih dari residu (Ethiopian Standards
Agency, 2012).
Fraksi tidak tersabunkan didefinisikan sebagai substansi yang larut minyak
setelah dilakukan proses saponifikasi, tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut
yang digunakan. Kandungan dalam fraksi tidak tersabunkan yang terdiri dari
senyawa kecil, seperti alifatik alkohol, sterol, skualen, pigmen, dan hidrokarbon
secara parsial tersaring dan terakumulasi selama proses deodorisasi CPO. Fraksi
tidak tersabunkan yang terdapat dalam DALMS berkisar antara 1,2-2,5% dengan
rata-rata 1,61% (Bonnie dan Yusof, 2009).
Fraksi tidak tersabunkan diperoleh dari proses pemisahan dari DALMS dengan
metode saponifikasi. Proses ini menggunakan 10 g DALMS dimasukkan kedalam
Erlenmeyer 250 ml dengan menggunakan tutup karet dan ditambahkan etanol
188,3 ml, asam askorbat 0,5 g dan larutan KOH 50% (b/v). campuran tersebut
dikocok dan dipanaskan dengan suhu 65°C selama 32 menit dalam waterbath
shaker. Campuran reaksi tersebut ditambahkan 150 ml heksan dan air distilat 200 ml
dan diaduk secara perlahan. Campuran tersebut dibiarkan memisah dalam corong
pisah selama kurang lebih satu jam di suhu ruang. Lapisan bawah yang encer
mengandung fraksi yang tersabunkan. Sementara itu, lapisan heksan di bagian atas
9
mengandung fraksi tidak tersabunkan. Lapisan heksan selanjutnya dievaporasi
dengan evaporator vakum untuk menghasilkan fraksi tidak tersabunkan yang telah
bebas dari pelarutnya (Estiasih dkk.,2013). Kadar senyawa bioaktif Fraksi Tidak
Tersabunkan dari DALMS dapat dilihat pada Tabel 2.2
Tabel 2.2 Kadar Senyawa Bioaktif FTT dari DALMS
Senyawa Bioaktif Besaran (mg/100g)
Kadar Vitamin E 796,80
α-tokoferol (g/100g) 64,41
α-tokotrienol (g/100 g) 186,05
δ-tokotrienol (g/100 g) 485,38
γ-tokotrienol (g/100 g) 60,96
Total Tokotrienol 732,39
Total Fitosterol 9.184,63
β- Sitosterol 8.193,26
Stigmasterol 985,18
Kampesterol 6,19
Skualen 526,41
Sumber: Puspitasari (2013)
Bila dibandingkan DALMS dengan fraksi tidak tersabunkan dari DALMS, kadar
asam lemak bebas menurun secara signifikan. Reaksi KOH dengan asam lemak
bebas menghasilkan sabun sehingga mudah dipisahkan dari fraksi tidak
tersabunkan. Hal ini menyebabkan jumlah asam lemak bebas dari fraksi tidak
tersabunkan menjadi sangat menurun. Dibandingkan DALMS, kadar vitamin E pada
fraksi tidak tersabunkan jauh lebih tinggi. Komponen terbesar pada fraksi tidak
tersabunkan adalah fitosterol dan vitamin E. Komposisi vitamin E fraksi tidak
tersabunkan dan DALMS adalah sama. Tokotrienol mempunyai kadar yang lebih
tinggi dibandingkan tokoferol. Peningkatan kadar vitamin E fraksi tidak tersabunkan
dari DALMS adalah 26, 87 kali, yaitu 0,45 gram/100 gram pada DALMS menjadi
12,87 gram/100 gram pada fraksi tidak tersabunkan DALMS. Komponen lain yang
terdapat pada fraksi tidak tersabunkan DALMS selain asam lemak bebas adalah
10
fitosterol, hidrokarbon dan lilin. Aktivitas antioksidan fraksi tidak tersabunkan DALMS
adalah sebesar 81,51% (Ahmadi dan Estiasih, 2011)
2.6 Senyawa Bioaktif Fraksi Tidak Tersabunkan DALMS
2.6.1 Vitamin E
Vitamin E merupakan total dari delapan substansi dengan beragam aktivitas
biologis. Substansi-substansi ini disebut tocochromanols yang dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu tokoferol dan tokotrienol. Setiap kelompok merupakan gabungan
empat isomer α, ß, y, δ-tocos. α- tokoferol memiliki aktivitas biologis dan karakteristik
antioksidan tertinggi dibandingkan dengan substansi tocochromanols lainnya.
Tokoferol merupakan antioksidan yang dapat mengeliminasi radikal bebas untuk
pertahanan utama tubuh kita (Zacchi dkk., 2006).
Vitamin E yang terdiri dari tokoferol dan tokotrienol merupakan vitamin esensial
dan memiliki fungsi yang sangat penting bagi tubuh manusia. Tokoferol telah
diketahui sebelumnya sebagai bagian utama keluarga vitamin E yang memiliki
aktivitas antioksidan dan anti-aging. Di sisi lain, tokotrienol memiliki aktivitas
antioksidan dan antikanker yang lebih tinggi dalam jaringan membran dibandingkan
dengan tokoferol. Sebagai vitamin esensial, vitamin E tidak dapat diproduksi sendiri
oleh tubuh manusia dan membutuhkan asupan dari suplemen makanan. Buah sawit
merupakan sumber terbaik dari tokoferol dan tokotrienol. Buah sawit diketahui tidak
hanya mengandung tokoferol, tetapi juga tokotrienol yang unik. Buah sawit
merupakan sumber terbesar tokotrienol dibandingkan dengan semua minyak nabati.
Tokoferol dan tokotrienol dapat dengan langsung diekstraksi dari minyak sawit, atau
dapat secara simultan diperoleh dari proses ekstraksi CPO. CPO, refined bleaching
deodorized palm oil (RBDPO), dan palm olein merupakan produk utama dalam
penggilingan dan pemurnian minyak sawit, sedangkan palm pressed fibre oil (PFO)
dan DALMS merupakan produk sampingannya. Produk pemurnian dan penggilingan
minyak sawit hanya mengandung sedikit tokoferol dan tokotrienol. Sebaliknya,
terjadi akumulasi vitamin E dalam produk sampingan dari setiap proses tersebut. Hal
ini juga menunjukkan peningkatan total vitamin E dalam produk sampingan proses
penggilingan hingga pemurnian minyak sawit (Maarasyid dkk, 2014).
Komposisi vitamin E dalam minyak sawit adalah α tokoferol (20%), α tokotrienol
(22%), γ tokotrienol (46%) dan δ tokotrienol (12%). Tokotrienol sangat penting dalam
11
bidang farmasi, makanan, produk suplemen karena aktivitasnya sebagai
hipokolesterolemik, antioksidan, antiinflamasi, antitrombotik, imunomodulator, dan
hepaprotektor (Estiasih dkk, 2013)
Gambar 2.1 Struktur Kimia Vitamin E (Al-Darmaki, 2012) 2.6.2 Fitosterol
Fitosterol terdapat dalam DALMS dalam konsentrasi yang rendah. Fitosterol
utama yang terdpat dalam vegetable deodorizer distillate adalah kolesterol, ß
sitosterol, kampesterol, stigmasterol, dan isofukosterol. Komponen ini mencakup
bagian besar dari fraksi tidak tersabunkan dalam minyak. Fitosterol merupakan
substansi yang potensial untuk pemanfaatan makanan fungsional (Dunford dan
King, 2000). Fitosterol merupakan sterol nabati dengan struktur mirip kolesterol.
Fitosterol terdiri dari 28 hingga 30 atom dengan steroid sebagai rangka struktur
dengan gugus hidroksil menempel pada atom C-17dari cincin D (Pateh dkk, 2009).
Fitosterol tidak dapat disintesis oleh tubuh manusia dan semua sterol dan stanol
nabati dalam tubuh manusia berasal dari makanan (Jong dkk, 2003). Fitosterol
tersebut dikenal memiliki beberapa kualitas bioaktif dengan implikasi yang
memungkinkan untuk kesehatan manusia. Sifat-sifatnya dapat menurunkan level
kolesterol dalam darah, dan efek fungsionalnya lainnya yang telah diketahui selama
bertahun-tahun. Sterol nabati juga dapat melindungi dan melawan beberapa tipe
kanker seperti kolon, payudara, dan prostat. Keamanan sterol nabati, stanol nabati
dan esternya telah dinyatakan oleh lembaga pemerintahan seperti USDA (US Food
12
and Drug Administration) dan European Union Scientific Committee (Kritchevsky dan
Chen, 2005).
Penggunaan makanan mengandung fitosterol merupakan perkembangan terkini
dalam nutrisi manusia (Gilbert dkk, 2005). Fitosterol, sebagai kandungan fungsional
dalam makanan, terlihat menjadi pilihan yang aman dan praktis untuk meningkatkan
tingkat kolesterol dalam masyarakat. Pada saat ini, komponen ini telah menyatu
dalam banyak variasi produk makanan. Memproduksi makanan fungsional yang
mengandung kadar sterol dan stanol nabati yang tinggi merupakan tujuan dari
berbagai perusahaan makanan. Teknik terbaru telah memungkinkan untuk
menggabungkan sterol dan stanol nabati dalam makanan tanpa mempengaruhi
tekstur dan rasa. Fitosterol dapat digabungkan dalam produk bakery, jus buah, es
krim, dan produk lainnya (Clifton, 2002). Secara komersial, fitosterol telah
terkandung dalam minyak nabati, jus jeruk, mayonnaise, susu, yogurt, susu kedelai,
daging, sup, dan teh hijau. Fitosterol juga telah dijual atau dikembangkan
pencampurannya dengan bahan-bahan fungsional lainnya seperti serat, almond,
protein kedelai, mineral (Berger dkk, 2004).
Gambar 2.2 Struktur Kimia Fitosterol (Soupas, 2006)
2.6.3 Skualen
Skualen merupakan komponen hidrokarbon nonpolar yang penting dalam
industri kimia dan farmasi. Sumber alami utama skualen adalah minyak hati ikan
yang mengandung lebih dari 70%. Selain itu juga secara alami terdapat dalam
minyak zaitun, minyak sawit, dan minyak nabati lainnya dalam konsentrasi yang
13
lebih rendah. Skualen juga disintesis secara kimia dengan reaksi enzimatis
(Spanova dan Daum, 2011).
Skualen memiliki beragam sifat yang bermanfaat, merupakan antioksidan alami.
Skualen telah diketahui dapat meningkatkan oksigenasi darah dan dapat
dipertimbangkan sebagai agen anti kanker. skualen memiliki titik beku yang sangat
rendah (-72°C), titik didih yang tinggi (430°C pada 760 mmHg), tahan panas dan
gesekan, juga diketahui telah digunakan untuk memproduksi minyak kualitas tinggi
dan pelumas untuk instrumen tertentu. Sifat fisik dan fungsi fisiologis yang unik
menjadikan skualen penting sebagai sumber pangan fungsional dan suplemen
(Bhilwade dkk, 2010).
Skualen merupakan hidrokarbon non-polar dengan sifat hidrofobik yang kuat.
Suhu yang tinggi pada proses unsaturasi skualen menyebabkan ketidakstabilan dan
oksidasi dari molekul ini. Kulit dan hati hiu merupakan sumber utama dari skualen
alami dan skualen terdapat secara berlimpah dari ikan paus dengan total
konsentrasi hingga 70%. Meskipun minyak hati hiu dapat dipertimbangkan sebagai
sumber utama skualen, perlindungan laut dan lingkungan memiliki regulasi dalam
memburu hiu. Oleh karena itu, diperlukan sumber alternatif skualen, salah satu
potensi terbesar adalah ekstraksi dan pengkayaan skualen dari DALMS (Al-Darmaki,
2012).
Gambar 2.3 Struktur Kimia Skualen (Huang dkk, 2009)
2.7 Emulsi
Emulsi merupakan golongan sistem dispersi yang mengandung dua cairan yang
tidak saling bercampur. Droplet cairan (fase dispersi) terdispersi dalam medium
cairan (fase kontinu). Beragam golongan dalam emulsi yang dapat dibedakan,
dinamakan minyak dalam air (O/W), air dalam minyak (W/O) dan minyak dalam
minyak (O/O). Golongan terakhir mungkin dapat memberikan contoh emulsi yang
mengandung minyak yang bersifat polar terdispersi dalam minyak yang bersifat non-
14
polar. Untuk mendispersikan dua cairan yang tidak saling bercampur dibutuhkan
komponen ketiga yaitu pengemulsi. Pemilihan pengemulsi sangat penting tidak
hanya untuk pembentukan emulsi tetapi juga untuk stabilisasi jangka panjang.
Beragam cara yang dapat dilakukan untuk persiapan emulsi, berkisar dari aliran pipa
sederhana, static mixers dan general stirrer, mixer dengan kecepatan tinggi seperti
Ultra-Turrax, dan homogenizer tekanan tinggi. Metode preparasi juga dapat secara
kontinu ataupun batch (Tadros, 2009).
Berdasarkan pandangan fisiko-kimia, emulsi secara termodinamika merupakan
sistem yang tidak stabil. Setelah beberapa waktu, emulsi dapat dengan cepat atau
lambat terpisah menjadi dua fase yang tidak saling bercampur. Proses yang biasa
terjadi pada ketidakstabilan emulsi adalah droplet coalescence, flokulasi, creaming,
dan Ostwald ripening (Tcholakova dkk, 2006).
Berdasarkan ukuran droplet, dapat dibedakan menjadi tiga tipe emulsi yaitu
makroemulsi merupakan tipe yang paling dikenal dengan ukuran droplet lebih dari
400 nm, miniemulsi dengan ukuran droplet antara 100-400 nm dan yang ketiga
adalah mikroemulsi yang memiliki ukuran droplet kurang dari 100 nm (Pichot, 2010).
2.8 Mikroemulsi
Mikroemulsi didefinisikan sebagai dispersi yang terdiri dari minyak, pengemulsi,
dan fase cair. Merupakan isotropik optik tunggal dan secara termodinamika larutan
yang stabil dengan diameter droplet biasanya sekitar 10-100nm. Mikroemulsi
memiliki beberapa sifat spesial seperti meningkatkan kelarutan, stabilitas terhadap
panas yang baik, dan mempermudah proses pengolahan. Mikroemulsi telah
digunakan dalam industri pangan dan obat-obatan (Anjali, 2010).
Sebagai sistem yang berbentuk cair, pembentukan mikroemulsi bergantung
pada tipe dan struktur pengemulsi. Jika pengemulsi bersifat ionik dan mengandung
rantai hidrokarbon tunggal, mikroemulsi hanya akan terbentuk jika ko-surfaktan dan
atau elektrolit juga tersedia. Jika rantai rangkap ionik dan beberapa pengemulsi non-
ionik, ko-surfaktan menjadi tidak penting. Hal ini merupakan hasil dari salah satu
sifat paling fundamental dari mikroemulsi, di mana tegangan antarmuka yang sangat
rendah antara minyak dan fase cair. Peran utama dari pengemulsi adalah
menurunkan energi yang dibutuhkan untuk meningkatkan area permukaan sehingga
15
dispersi spontan dari air atau droplet minyak terbentuk dan sistem secara
termodinamika bersifat stabil.
Terdapat empat tipe mikroemulsi yaitu: 1) pengemulsi bersifat lebih larut dalam
air dan bentuk mikroemulsi minyak dalam air. Pengemulsi tinggi fase cair dan
berdampingan dengan fase minyak di mana pengemulsi hanya ada sebagai
monomer dalam konsentrasi yang kecil. 2) Pengemulsi utamanya berada dalam fase
minyak dan bentuk mikroemulsi air dalam minyak. Pengemulsi tinggi dengan fase
minyak dan berdapingan dengan dengan fase cair yang rendah pengemulsi 3)
pengemulsi tinggi fase pertengahan berdampingan dengan kedua fase cair dan
minyak yang rendah pengemulsi 4) fase tunggal (isotropik), larutan micellar yang
terbentuk atas penambahan sejumlah amphiphile yang cukup (Anjali, 2010)
Mikroemulsi merupakan salah satu struktur sistem emulsi yang biasanya
memiliki ukuran berkisar 5-10 nm dan bersifat stabil secara termodinamika. Struktur
sisten emulsi lainnya yaitu makroemulsi yang biasanya memiliki ukuran rata-rata
antara 1-2 µm. Terdapat beberapa cara dalam melakukan preparasi emulsi, berkisar
dari aliran pipa sederhana, pencampuran statis dan pengadukan, pencampuran
kecepatan tinggi seperti Ultra Turrax, dan homogenisasi tekanan tinggi (Tadros,
2009)
2.9 Pengemulsi
Pengemulsi merupakan suatu molekul yang memiliki gugus hidrofilik dan gugus
lipofilik sekaligus sehingga dapat menyatukan campuran yang terdiri dari air dan
minyak. Pengemulsi merupakan bahan aktif permukaan. Aktivitas pengemulsi
diperoleh karena sifat ganda dari molekulnya. Molekul pengemulsi memiliki bagian
polar yang suka air (hidrofilik) dan bagian non polar yang suka lemak (lipofilik). Sifat
rangkap ini menyebabkan pengemulsi dapat diadsorbsi pada antar muka udara-air,
minyak-air, dan zat padat-air membentuk lapisan tunggal di mana gugus hidrofilik
berada pada fase air dan rantai hidrokarbon ke udara, alam kontak dengan zat padat
ataupun terendam dalam fase minyak. Umumnya bagian non polar merupakan
rantai alkil yang panjang, sementara bagian yang polar mengandung gugus hidroksil
(Jatmika, 1998).
Penggunaan pengemulsi sangat bervariasi seperti bahan deterjen, kosmetik,
farmasi, makanan, tekstil, plastik dan lain-lain. Syarat agar pengemulsi dapat
16
digunakan pangan, yaitu bahwa pengemulsi tersebut memiliki nilai Hydrophyle
Lypophyle Balance (HLB) antara 2-16, tidak beracun, serta tidak menimbulkan iritasi.
Penggunaan pengemulsi terbagi atas tiga golongan, yaitu sebagai bahan pembasah
(wetting agent), bahan pengemulsi (emulsifiying agent) dan bahan pelarut
(solubilizing agent). Penggunaan pengemulsi ini bertujuan untuk meningkatkan
kestabilan emulsi dengan cara menurunkan tegangan antarmuka antara fase minyak
dan fase air. Pengemulsi dapat digunakan baik berbentuk emulsi minyak dalam air
maupun berbentuk emulsi air dalam minyak.
Hubungan kuantitatif struktur kimia molekul pengemulsi dengan efektifitasnya
sebagai pengemulsi adalah Hydrophyle Lypophyle Balance (HLB). Nilai HLB
ditentukan secara empiris, skala HLB berkisar antara 0-20. Semakin tinggi nilai HLB
maka pengemulsi semakin hidrofilik, yang memiliki kelarutan dalam air sangat tinggi
atau disebut emulsi O/W. Sedangkan nilai HLB rendah menunjukkan pengemulsi
tersebut merupakan emulsi W/O, baik sebagai agen pelarut, deterjen, dan
stabilisator. Oleh karenanya efektivitas pengemulsi dalam menstabilkan emulsi
bergantung pada kesetimbangan antara nilai HLB dan oil phase. Nilai HLB
digunakan untuk penentuan stabilitas emulsi pengemulsi non ionik. Sementara
pengemulsi ionik (anionin, kationik) tidak dapat ditentukan dengan nilai HLB, karena
sifatnya yang lebih kompleks, membutuhkan muatan listrik untuk mencapai
stabilitas. Pengemulsi ionik memiliki struktur hidrofobik lebih besar dan tidak mudah
membentuk misel dalam aqueous solution. Nilai HLB dan aplikasinya ditunjukan oleh
Tabel 2.3
Tabel 2.3 Nilai HLB dan Aplikasinya Skala HLB Aplikasi Umum
2-6 Emulsi W/O 7-9 Pembasah
8-18 Emulsi O/W 3-15 Deterjen 15-18 Pelarut
Sumber: Myers (2006)
Salah satu pengemulsi yang sering digunakan dalam industri pangan adalah
tween 80. Tween 80 adalah ester polioksietilen sorbitan dengan rumus kimia
C64H124O26. Pada suhu 25°C tween 80 berwujud cair, berwarna kekuningan dan
17
berminyak, memiliki aroma khas, dan ada rasa pahit. Dapat larut dalam air dan
etanol, tetapi tidak larut dalam minyak mineral. Tween 80 biasanya digunakan
sebagai pembasah, emulgator, peningkat kelarutan, dan peningkat penetrasi (Akhtar
dkk, 2011).
Tween 80 merupakan emulgator non-ionik yang memiliki keseimbangan lipofilik
dan hidrofilik, bersifat tidak toksik, tidak iritatif, memiliki potensi yang rendah untuk
menyebabkan reaksi hipersensitivitas, serta stabil terhadap asam lemah dan basa
lemah (Rowe dkk, 2009).
2.10 Roti
Roti merupakan produk pangan yang terbuat dari tepung terigu, ragi, bahan
pengembang lainnya lalu dilakukan pemanggangan. Berdasarkan rasanya, terdapat
dua jenis roti, yaitu roti tawar dan roti manis. Roti tawar merupakan roti yang dibuat
dari adonan dengan sedikit gula atau tidak sama sekali (Mudjajanto dan Yuliati,
2004). Roti manis merupakan roti yang memiliki cita rasa manis yang menonjol,
bertekstur empuk, dan diberi bermacam-macam isian maupun topping. Selain dari
segi rasa, daya tarik roti manis terletak pada bentuk roti yang menarik. Penggunaan
gula yang cukup tinggi inilah yang membedakan roti manis dengan roti tawar
(Wahyudi, 2003).
Dilihat dari cara pengolahannya, roti dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu
roti yang dikukus, dipanggang, dan yang digoreng. Bakpao dan mantao adalah
contoh roti yang dikukus. Donat dan panada merupakan roti yang digoreng.
Sedangkan aneka roti tawar, roti manis, roti pita, dan baquette adalah roti yang
dipanggang (Sufi, 1999). Menurut Mudjajanto dan Yuliati (2004) roti adalah produk
makanan yang terbuat dari fermentasi tepung terigu dengan ragi atau bahan
pengembang lain, kemudian dipanggang. Roti beranekaragam jenisnya. Adapun
penggolongannya berdasarkan rasa, warna, nama daerah atau negara asal, nama
bahan penyusun, dan cara pengembangan.
2.10.1 Bahan Dasar Roti
Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan roti terdiri dari bahan utama dan
bahan tambahan. Bahan utama dalam pembuatan roti terdiri dari tepung terigu, air,
18
ragi (yeast), gula dan garam. Sedangkan bahan tambahan terdiri dari susu,
shortening, telur, dan bread improver. Berikut merupakan penjelasan bahan dasar
pembuatan roti yaitu:
a. Tepung Terigu
Terigu merupakan tepung yang digunakan dalam pembuatan roti karena
mengandung gluten sebagai kerangka dasar roti. Tepung terigu dibedakan menjadi
tiga jenis, yaitu terigu protein rendah, terigu protein sedang, dan terigu protein tinggi.
Menurut Potter dan Hotchkiss (1995), terigu dapat diklasifikasikan ke dalam dua
jenis yaitu hard dan soft. Terigu jenis hard dibandingkan dengan jenis soft memiliki
kandungan protein yang lebih tinggi, menghasilkan terigu yang kuat dan membentuk
adonan menjadi lebih elastis, dan baik digunakan dalam pembuatan roti. Terigu
protein tinggi dihasilkan dari penggilingan gandung jenis hard atau keras. Terigu
tersebut memiliki sifat gluten yang kuat, kandungan proteinnya 11-12%, sifat
elastisnya baik dan tidak mudah putus (Indyah, 2008).
Terigu yang memiliki kadar protein tinggi akan memerlukan air lebih banyak agar
gluten yang terbentuk dapat menahan gas secara optimal. Gluten merupakan
protein tepung terigu yang tidak larut dalam air, bersifat elastis, dan dapat
memanjang. Adanya gluten dan CO2 yang dihasilkan oleh ragi menyebabkan gluten
mengembang selama fermentasi. Umumnya dalam pembuatan roti digunakan terigu
berprotein tinggi untuk mendapatkan volume yang besar, tetapi terdapat
kemungkinan roti menjadi alot. Oleh karena itu, dalam pembuatan roti diperlukan
penambahan bahan-bahan lain yang berfungsi untuk mengempukkan roti seperti
gula, margarin, dan kuning telur dengan komposisi tertentu (Mudjajanto dan Yuliati,
2004).
Tepung terigu diperoleh dari pengolahan biji gandum yang sehat dan telah
dibersihkan. Tepung terigu hasil penggilingan harus bersifat mudah tercurah, kering,
tidak mudah menggumpal jika ditekan, berwarna putih, bebas dari kulit, tidak berbau
asing seperti busuk, tidak berjamur atau tengik, juga bebas dari serangga, tikus,
kotoran, dan kontaminasi benda-benda asing lainnya. Yang harus dipertimbangkan
adalah terutama kadar protein tepung terigu dan kadar abunya. Kadar protein
mempunyai korelasi yang erat dengan kadar gluten, sedangkan kadar abu erat
hubungannya dengan tingkat dan kualitan adonan (Sunaryo, 1985).
19
Protein gandum adalah unik, bila tepung gandum dicampur dengan air di dalam
perbandingan tertentu, maka protein akan membentuk suatu massa atau adonan
koloidal yang plastis yang dapat menahan gas dan akan membentuk suatu struktur
spon bila dipanggang untuk mencapai suatu kehalusan yang memuaskan. Jenis
tepung gandum yang berbeda memerlukan jumlah pencampuran air yang berbeda
(Desrosier, 1988).
b. Air
Air merupakan bahan yang berperan penting dalam pembuatan roti karena
berfungsi dalam pembentukan struktur gluten. Air juga berguna sebagai pelarut
bahan seperti garam, gula, susu bubuk, dan mineral sehingga bahan tersebut dapat
terdispersi secara merata dalam adonan. Air sangat menentukan konsistensi dan
karakteristik adonan, sifat adonan selama proses dan menentukan mutu produk
yang dihasilkan (Subarna, 1992). Penambahan air dalam pembuatan roti selain
berfungsi dalam proses pembentukan struktur gluten juga untuk mengontrol
kepadatan dan suhu adonan (Mudjajanto dan Yuliati, 2004).
Air berfungsi sebagai media gluten dengan karbohidrat, larutan garam, dan
membentuk sifat kenyal gluten. Air yang digunakan sebaiknya memiliki pH 6-9.
Semakin tinggi pH air maka roti yang dihasilkan baik karena absorbsi air meningkat
dengan meningkatnya pH. Selain pH, air yang digunakan harus air yang memenuhi
persyaratan sebagai air minum, di antaranya tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak
berasa (Astawan, 2006).
Air yang digunakan dalam industri makanan pada umumnya harus
memenuhi persyaratan tidak berwarna, tidak berbau, jernih, tidak mempunyai rasa
dan tidak mengganggu kesehatan. Apabila air yang digunakan tidak memenuhi
persyaratan dalam pembentukan pati atau tepung maka akan meningkatkan kadar
abunya sehingga mutu pati menurun ( Syarief dan Irawati, 1988).
c. Gula
Gula memiliki fungsi penting dalam pembuatan roti. Gula berperan sebagai
nutrisi bagi ragi, memberi rasa, mengatur fermentasi, memperpanjang umur roti,
menambah kandungan gizi, membuat tekstur empuk, dan memberikan warna coklat
yang menarik pada kulit roti karena adanya proses Maillard atau karamelisasi
(Mudjajanto dan Yuliati, 2004). Penambahan gula berperan dalam pertumbuhan ragi
roti (Saccharomyces cereviseae) untuk dapat menghasilkan gas karbondioksida
20
(CO2) dalam jumlah yang cukup untuk mengembangkan adonan secara optimal
(Astawan, 2005). Penambahan gula dengan konsentrasi yang tinggi dapat
menghambat aktivitas ragi walaupun terjadi fermentasi. Gula berperan dalam
memberikan rasa manis dan warna crust roti (Owens, 2002).
Gula ditambahkan pada jenis roti tertentu untuk melengkapi karbohidrat yang
ada untuk proses fermentasi dan untuk melengkapi rasa manis pada roti. Namun,
gula lebih banyak dipakai dalam pembuatan biskuit dan kue, di mana selain
memberikan rasa manis, gula juga mempengaruhi tekstur (Buckle dkk, 1987).
d. Ragi
Ragi yang digunakan dalam pembuatan roti adalah Saccharomyces cereviseae.
Selama proses pembuatan roti, ragi memfermentasikan gula sederhana dan
menghasilkan CO2 dan alkohol. Proses pemanasan mematikan ragi dan
menginaktivasi enzim sehingga fermentasi dan pelepasan CO2 terhenti.
Meningkatnya suhu pada roti membuat pati tergelatinisasi dan gluten terkoagulasi,
menghasilkan struktur yang agak keras dan kurang rapuh. Volume roti yang
terbentuk sangat dipengaruhi oleh hasil CO2 selama pengembangan adonan dan
karakteristik dari protein untuk menahan gas (Mudjajanto dan Yuliati, 2004).
Dalam pembuatan roti, ragi atau yeast dibutuhkan agar adonan bisa
mengembang. Ragi biasanya ditambahkan setelah tepung terigu ditambah air lalu
diaduk-aduk merata. Setelah itu adonan dibiarkan beberapa waktu. Ragi sendiri
sebenarnya mikroorganisme, suatu makhluk hidup berukuran kecil, biasanya dari
jenis Saccharomyces cereviseae yang digunakan dalam pembuatan roti. Pada
kondisi air yang cukup dan adanya makanan bagi ragi khususnya gula, ragi akan
tumbuh dengan mengubah gula menjadi gas karbondioksida dan senyawa
beraroma. Gas karbondioksida yang terbentuk berperan dalam mengembangkan
adonan (Halal guide info, 2008).
e. Garam
Garam pada pembuatan roti merupakan bahan utama untuk mengatur rasa.
Garam dapat membangkitkan rasa pada bahan-bahan lainnya dan membangkitkan
aroma dan sifat-sifat roti. Garam juga dapat membuat adonan menjadi lebih padat
dan memperbaiki pori-pori roti dan tekstur roti akibat kuatnya adonan dan secara
tidak langsung membantu pembentukan warna adonan (US. Wheat Associates,
1983). Selain itu, garam juga berperan sebagai pengontrol waktu fermentasi,
21
penambahan kekuatan gluten, pengatur warna kulit, dan pencegah timbulnya bakteri
karena sifatnya yang higoskopis sehingga menurunkan aktivitas air dalam adonan.
Syarat garam yang baik dalam pembuatan roti adalah harus larut dalam air, jernih,
bebas dari gumpalan-gumpalan, tidak tercampur dengan senyawa-senyawa lain,
dan bebas dari rasa pahit (Mudjajanto dan Yuliati, 2004).
f. Bread Improver
Bread improver berfungsi membantu pengembangan roti, tetapi tidak
menghasilkan gas pengembang karena senyawa atau bahan yang mengembangkan
roti adalah gas yang dihasilkan oleh ragi (yeast). Bread improver berperan dalam
melengkapi zat makanan yang dibutuhkan ragi sehingga ragi tumbuh sempurna,
menghasilkan gas serta prekursor flavor pada roti, penstabil agar kondisi adonan
tetap sesuai untuk pengembangan ragi, penguat gluten, memperbaiki warna kulit
dan remah, meningkatkan volume, dan memperpanjang umur simpan (Setyo dan
Yulianti, 2004).
g. Telur
Telur ditambahkan pada pembuatan roti sebagai add-flavour dan berperan
sebagai pengemulsi karena protein telur terkoagulasi, ketegaran dari dinding roti
akan terpengaruh pada penambahan telur. Telur juga berguna sebagai
pengembang, pembentuk warna, perbaikan rasa, dan penambah nilai gizi. Roti yang
lunak dapat diperoleh dengan penggunaan kuning telur yang lebih banyak. Kuning
telur banyak mengandung lesitin (emulsifier) yang dapat memperlemas jaringan
gluten sehingga roti lebih lemas dan empuk (Mudjajanto dan Yuliati, 2004).
Peranan utama telur atau protein dalam pengolahan pada umumnya adalah
memberikan fasilitas terjadinya koagulasi, pembentukan gel, emulsi dan
pembentukan struktur. Telur banyak digunakan untuk mengentalkan berbagai saus
dan custard karena protein terkoagulasi pada suhu 62°C (Winarno, 1993).
h. Susu
Bahan padatan bukan lemak pada susu bubuk berfungsi sebagai bahan penegar
protein tepung sehingga volume roti bertambah. Toleransi waktu pengadukan juga
meningkat karena adonan susu bubuk lebih toleran pada pengadukan yang berlebih
(over mixing). Proses fermentasi juga menjadi lebih lama sehingga dapat membantu
pembentukan roti yang lebih baik karena bahan padat bukan lemak juga akan
menurunkan aktivitas enzim. Warna kerak akan menjadi lebih baik karena laktosa,
22
kasein, dan protein susu akan membantu menghasilkan kerak kekuningan dan
mempertinggi mutu pemanggangan. Susu padat juga menjadikan remah roti lebih
baik dan halus sehingga mudah dipotong, mempertinggi volume roti, meningkatkan
mutu simpan, mempertahankan keempukan roti pada saat penyimpanan, serta
menambah nilai gizi karena mengandung mineral, vitamin, protein dan lemak
(Mudjajanto dan Yuliati, 2004).
Walaupun tanpa dibubuhi sesuatu apapun, rasa susu sedikit manis, dengan
aroma agak harum serta berbau khas susu. Bau khas susu tersebut akan berkurang
bahkan hilang apabila susu dipanaskan atau dibiarkan pada tempat yang terkena
udara. Dalam susu terdapat berbagai macam mineral, vitamin, pigmen, dan enzim.
Lemak susu tersebar merata dalam bentuk emulsi (Syarief dan Irawati, 1988).
i. Lemak Roti (Shortening)
Shortening adalah lemak padat yang memiliki sifat plastis dan kestabilan
tertentu, umumnya berwarna putih sehingga sering disebut mentega putih. Bahan ini
diperoleh dari pencampuran dua atau lebih lemak, atau dengan cara hidrogenase.
Mentega putih ini banyak digunakan dalam banyak pangan terutama dalam
pembuatan cake dan kue panggang. Fungsinya adalah untuk memperbaiki citarasa,
struktur, keempukan, dan memperbesar volume roti atau kue (Winarno, 1997).
Shortening digunakan untuk meningkatkan volume dan kelembutan adonan.
Oleh karena itu, shortening dapat meningkatkan volume dan kelembutan roti.
Peningkatan konsentrasi lemak yang digunakan akan meningkatkan volume roti
sampai batas tertentu dan setelah itu tidak ada peningkatan volume roti yang berarti.
Konsentrasi lemak bervariasi tergantung jenis tepung yang digunakan, dengan
tepung wholemeal memerlukan penambahan konsentrasi lemak yang tinggi
dibandingkan tepung putih (Owens, 2002).
Shortening dalam pembuatan roti berfungsi dalam menahan atau mencegah gas
CO2 hasil fermentasi keluar dari adonan (Hardiyanto, 2010). Menurut Mudjajanto
dan Yuliati (2004), lemak roti berfungsi sebagai pelumas untuk memperbaiki remah
roti, mempermudah sifat pemotongan roti, menjadikan kulit roti lebih lunak, dan
dapat menahan air sehingga umur simpan roti lebih lama. Selain itu, lemak juga
memiliki nilai gizi, memberi rasa lezat, mengempukkan, dan membantu
pengembangan susunan fisik roti yang dibakar.
23
2.10.2 Kualitas Roti
Terdapat beberapa faktor yang menentukan kualitas roti, di antaranya
pengembangan volume, warna crust (kulit), rasa dan aroma, penampakan roti,
tekstur crumb (remah) pada saat dimakan, serta ketahanan roti terhadap proses
staling pada saat roti disimpan. Sifat fisik roti merupakan hal utama yang diterima
oleh konsumen yang meliputi tekstur, pori, kelenturan fisik, dan mouthfeel (Hebeda
dan Zobel, 2006). Standar Nasional Indonesia (SNI) telah menetapkan beberapa
syarat mutu yang harus dipenuhi dalam pembuatan roti manis, seperti yang
tercantum dalam Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Syarat Mutu Roti Manis
No Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan: - Kenampakan - Normal - Bau - Normal - Rasa - Normal 2 Abu % b/b Maksimal 3 3 Air % b/b Maksimal 40 4 Total Gula % b/b Maksimal 8 5 Lemak % b/b Maksimal 3 6 NaCl % b/b Maksimal 2,5 7 Serangga/belatung - Tidak boleh ada 8 Sakarin siklamat Negatif 9 Cemaran Logam - Raksa mg/ kg Maksimal 0,05 - Timbale (Pb) mg/ kg Maksimal 1 - Tembaga (Cu) mg/ kg Maksimal 10 - Seng (Zn) mg/ kg Maksimal 40 10 Cemaran Arsen (As) mg/kg Maksimal 0,5 11 Cemaran mikroba - E. coli APM/g Maksimal 10
4
- Kapang Koloni/g Maksimal 104
Sumber: SNI 01-3840-1995
2.10.3 Tahapan Pembuatan Roti
Tahapan dalam pembuatan roti meliputi penimbangan, pengadukan, atau
pencampuran, peragian, penimbangan adonan, pembulatan adonan,
pengembangan singkat, pembentukan adonan, peletakan adonan dalam loyang, dan
pemanggangan. Adonan dilakukan pencampuran dan pengadukan hingga kalis dan
dilanjutkan dengan proses peragian, yaitu adonan dibiarkan beberapa saat pada
24
suhu sekitar 35°C. Tahap peragian merupakan tahap yang sangat penting untuk
pembentukan rasa dan volume. Saat berlangsungnya proses fermentasi sangat
dipengaruhi oleh kelembaban udara. Suhu ruangan 35°C dan kelembaban udara
75% merupakan kondisi yang ideal dalam proses fermentasi adonan roti (Mudjajanto
dan Yuliati, 2004).
Mixing berfungsi mencampur secara homogen semua bahan, mendapatkan
hidrasi yang sempurna pada karbohidrat dan protein, membentuk dan melunakkan
gluten, serta menahan gas pada gluten. Mixing harus berlangsung hingga tercapai
perkembangan optimal dari gluten dan penyerapan airnya. Mixing yang berlebihan
akan merusak susunan gluten, adonan akan semakin panas, dan peragian semakin
lambat (Mudjajanto dan Yuliati, 2004).
Pengadonan yang berlebihan akan merusak susunan gluten, adonan akan
panas dan peragiannya akan lambat. Adonan tersebut akan menghasilkan roti yang
pertambahan volumenya sangat buruk dan juga rotinya akan mempunyai remah
pada bagian dalam. Pengadonan yang kurang akan menyebabkan adonan menjadi
kurang elastis (Wheat Associates, 1983).
Pembakaran merupakan proses pemanasan yang disertai dengan terjadinya
reaksi. Beberapa reaksi yang terjadi di antaranya pengembangan dan pemuaian
gas, koagulasi gluten dan telur serta gelatinisasi pati, pengeringan sebagian dari
evaporasi air, pengembangan rasa, perubahan warna karena reaksi pencoklatan
Maillard antara susu, gluten, dan protein telur dengan penurunan gula, pembentukan
kerak karena reaksi pencoklatan Maillard dan karamelisasi gula (Potter dan
Hotchkiss, 1995).
Suhu dan waktu yang umum digunakan dalam pemanggangan adalah 180-
200°C selama 15-20 menit. Proses pemanggangan akan menyebabkan volume
adonan bertambah dalam waktu 5-6 menit pertama dalam oven dan aktivitas yeast
akan berhenti pada suhu 65°C temperatur adonan. Proses pembakaran roti akan
mendenaturasi protein dan terjadi proses gelatinisasi dari kanji, dan untuk
menghasilkan remah roti yang kokoh temperatur adonan harus mencapai minimum
77°C (Mudjajanto dan Yuliati, 2004).
25
2.11 Nutrifikasi
Nutrifikasi merupakan penambahan mikronutrien ke dalam makanan sehingga
menghasilkan produk pangan yang lebih bergizi. Nutrifikasi (restorasi, enrichment,
dan fortifikasi) pangan yang secara individu bahan pokok atau diberi pangan dan
diberi tambahan mikronutrien yang diperlukan seperti vitamin, mineral, asam amino,
protein, vitamin A, vitamin B, zat besi, iodium, dan mikronutrien lain sehingga
dihasilkan makanan yang bergizi lebih tinggi dengan harga relatif murah. Teknik
nutrifikasi pangan dilakukan dengan cara penambahan mikronutrien pada tingkat
yang telah disarankan dan dengan mudah dapat menyesuaikan dengan kebutuhan
serta tingkat perkembangan ilmu saat itu (Winarno, 1997).
Terdapat sepuluh prinsip dalam penambahan nutrien (nutrifikasi) pada makanan
yaitu nutrien penting terdapat pada level yang tidak berlebihan dan member efek
yang signifikan; penambahan nutrien penting tidak boleh memberikan efek
merugikan; nutrien harus bersifat stabil pada makanan; nutrien harus secara biologis
terdapat pada makanan; nutrien tidak boleh memberikan karakteristik yang tidak
diinginkan pada makanan; teknologi dan fasilitas pengolahan harus tersedia untuk
memperbolehkan penambahan zat gizi penting dalam makanan; penambahan zat
gizi esensial pada makanan tidak boleh menyesatkan ataupun menipu konsumen;
metode pengukuran, pengawasan tingkat penambahan zat gizi pada makanan harus
tersedia; ketika ketetapan tentang standar, regulasi dan garis pedoman nutrifikasi
dibuat, ketetapan khusus baru harus mempertimbangkan jenis zat gizi yang
ditambahkan dan kadar yang diperbolehkan terdapat produk pangan untuk
mencapai tujuannya (Codex Alimentarius Commission, 1994)
2.12 Fortifikasi
Fortifikasi pangan merupakan penambahan zat gizi esensial seperti vitamin dan
mineral dalam makanan untuk meningkatkan kualitas gizi dari produk pangan
tersebut. Fortifikasi pangan dapat dilakukan dengan menambahkan zat gizi ke dalam
makanan, baik secara alami zat gizi tersebut ada di dalam makanan maupun tidak
ada secara alami dengan tujuan untuk mencegah terjadinya defisiensi atau
memperbaiki defisiensi pada satu atau lebih zat gizi dalam suatu populasi. Strategi
ini dapat meningkatkan status mikronutrien dalam suatu populasi, dengan biaya
yang lebih terjangkau, khususnya jika manfaat dapat diperoleh menggunakan
26
teknologi yang telah ada dan jaringan distribusi lokal. Sejak keuntungan yang ada
sangat potensial, fortifikasi pangan dapat menjadi intervensi kesehatan masyarakat
dengan biaya yang efektif. Fortifikasi mikronutrien pada makanan merupakan
sebuah teknologi untuk menurunkan tingkat malnutrisi mikronutrien (Allen dkk, 2006)
Kebanyakan makanan mengandung berbagai nutrisi alami dengan tingkat yang
relatif rendah. Penambahan nutrisi pada makanan, dengan pengkayaan
(menggantikan nutrisi yang hilang selama pengolahan) atau dengan fortifikasi
(penambahan nutrisi dengan tingkat yang lebih tinggi daripada yang terdapat dalam
makanan). Kriteria fortifikan antara lain: a) harus stabil dibawah kondisi ekstrim
seperti pemasakan, pengolahan, distribusi dan penyimpanan makanan. Salah satu
bentuk fortifikasi adalah roti yang diperkaya dengan tiamin, niasin, riboflavin, zat besi
(Fulgoni dkk, 2014).
Roti merupakan produk utama dari terigu yang diproduksi secara komersial. Roti
komersial hingga sekarang telah dilakukan perbaikan dan diteliti untuk meningkatkan
kandungan nutrisi dan sifat-sifat roti dalam proses pemanggangan dengan fortifikasi.
Salah satu cara untuk meningkatkan nilai gizi pada roti rumahan adalah dengan
dilakukan fortifikasi menggunakan ragi yang dinutrifikasi. Ragi yang ternutrifikasi
merupakan cara untuk meningkatkankadar protein roti. Ragi ternutrifikasi digunakan
pada pabrik pembuatan biskuit sebagau suplemen vitamin. Selain itu juga digunakan
pada farmasi dan pakan hewan sebagai sumber protein dan suplemen vitamin
(Harusekwi dkk, 2014).
Roti yang dilakukan fortifikasi telah banyak diteliti salah satunya dengan teh hijau
yang bertujuan untuk melawan gagal ginjal kronis. Teh hijau dipilih karena memiliki
manfaat untuk melawan obesitas, berbagai macam kanker meliputi hati, perut,
payudara, prostat, paru-paru dan kulit, serta menurunkan resiko atherosclerosis dan
serangan jantung. Roti dipilih sebagai makanan yang difortifikasi karena roti
merupakan makanan yang dikonsumsi sehari-hari (El-Megeid dkk, 2009).
27
III METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dimulai pada bulan Juli 2014 sampai Februari 2015 dan dilakukan
di beberapa tempat yaitu:
a. Laboratorium Rekayasa dan Pengolahan Pangan, Jurusan Teknologi
Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya
b. Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan, Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya
c. Laboratorium Uji Organoleptik, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya
d. Laboratorium Food Processing and Training Center (FPTC), Jurusan
Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas
Brawijaya
e. Laboratorium Sentra Kimia, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Malang
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat Penelitian
Alat yang digunakan untuk proses saponifikasi DALMS meliputi rotary vacuum
evaporator, shaker water bath, freezer, timbangan analitik, thermometer, alat gelas,
spatula, pipet tetes, aluminium foil, botol sampel, kertas label, wadah plastik, tisu,
plastik. Alat yang digunakan untuk pembuatan mikroemulsi meliputi ultra turrax.
Alat yang digunakan untuk pembuatan roti meliputi proofing box, oven, sendok,
tisu, dan plastik. Alat yang digunakan untuk analisis roti meliputi HPLC “Shimadzu
LC-20 AD, Kolom Shim-pack VP-ODS 250Lx4,6, kecepatan aliran 1,3 ml/menit,
deteKtor UV/VIS SPD-20A, fase mobile methanol:akuabides (95:5)”. GC-MS
“Shimadzu QP2010S, kolom AGILENT DB-1, panjang 30 m, gas pembawa helium,
pengion EI 70 EV, pressure 12.0 kPa, Column Flow 0,54 ml/min, linear velocity
26,6cm/sec”. Tensile strength, rotary vacuum evaporator, color reader, oven,
soxhlet, waterbath shaker, shaker, vortex, magnetic stirrer, reflux, muffle furnace,
28
lemari asam, timbangan analitik, statif, labu kjedahl, spektrofotometer, kompor listrik,
desikator, buret, kertas saring, kapas, dan tali kasur.
3.2.2 Bahan Penelitian
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah Distilat Asam Lemak
Minyak Sawit (DALMS) yang diperoleh dari industri pengolahan CPO PT. Salim
Ivomas Pratama Surabaya. Bahan kimia yang digunakan dalam proses saponifikasi
DALMS adalah etanol 96%, KOH, asam askorbat, heksana, akuades, dan gas
nitrogen. Bahan yang digunakan dalam pembuatan mikroemulsi antara lain Fraksi
Tidak Tersabunkan (FTT) dari proses saponifikasi DALMS, tween 80, dan aquades.
Bahan yang digunakan dalam pembuatan roti antara lain tepung terigu, gula,
ragi, garam, bread improver, susu bubuk, susu cair, air, Fraksi Tidak tersabunkan
(FTT) DALMS, dan margarin. Bahan yang digunakan untuk analisis roti antara lain
aquades, HCl, NaOH, indikator PP, gula, H2SO4, alkohol, petroleum eter, asam
borat, tablet kjedahl, indikator metil red, K2SO4, reagen nelson, arsenomolibdat,
etanol (pro analysis) “Merck”, methanol (HPLC grade) “MERCK”, akuabides, standar
tokofrol (α-tokoferol) “Santa Cruz Biotechnology”, standar tokotrienol (α, δ, γ-
tokotrienol) “Santa Cruz Biotechnology”, standar fitosterol (β-sitosterol, kampesterol,
stigmasterol) “Stigma-Aldrich”, n-methyl-n-trimethylsilyl-triflouroacetamide (MSTFA)
“Santa Cruz Biotechnology”, acetonitril, isopropanol, n-heksan, KOH, asam askorbat,
dan gas nitrogen.
3.3 Metode Penelitian
Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu
faktor yang terdiri dari lima level. Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali
sehingga diperoleh lima belas satuan percobaan.
Faktor: konsentrasi Fraksi Tidak Tersabunkan (FTT) (b/b)
F1 = 0%
F2 = 2%
F3 = 4%
F4 = 6%
F5 = 8%
29
3.4 Pelaksanaan Penelitian
Penelitian meliputi proses saponifikasi DALMS, proses pembuatan mikroemulsi,
proses pembuatan roti, dan dilanjutkan dengan pengamatan parameter fisik, kimia,
organoleptik, dan senyawa bioaktif produk roti dan analisis data.
3.4.1 Proses Saponifikasi DALMS (Modifikasi Ahmadi, 1997)
a. Penimbangan DALMS sebanyak 50 gram kemudian dimasukkan ke dalam
erlenmeyer 1000 ml yang telah ditutup aluminium foil.
b. Penambahan etanol sebanyak 441,5 ml, asam askorbat sebanyak 2,5 gram
dan KOH konsentrasi 50% sebanyak 60% (% v/b DALMS).
c. Pemanasan dalam shaker waterbath suhu 70°C selama 40 menit.
d. Pendinginan dalam suhu ruang.
e. Pemindahan larutan ke dalam corong pemisah dan ditambahkan heksana
sebanyak 375 ml dan akuades sebanyak 500 ml.
f. Pengocokan lambat dan pendiaman sampai terbentuk dua lapisan.
g. Pemisahan dalam corong pemisah. Fraksi tidak tersabunkan dalam air
(bagian bawah corong) dibuang sedangkan fraksi tidak tersabunkan dalam
heksana (bagian atas corong) disimpan.
h. Pemisahan fraksi tidak tersabunkan dalam heksana dengan rotary vacuum
evaporator dengan suhu 45°C tekanan 200 mbar dan penyemprotan dengan
gas N2 sehingga diperoleh fraksi tidak tersabunkan (FTT) bebas pelarut.
3.4.2 Proses Pembuatan Mikroemulsi (Modifikasi Imai et al., 2008)
a. Penimbangan pengemulsi tween 80 dengan konsentrasi 0,5% (% b/v
akuades) dimasukkan ke dalam gelas beaker 250 ml.
b. Pelarutan dengan akuades 50 ml.
c. Penambahan 10% fraksi tidak tersabunkan (FTT).
d. Penghomogenisasian dengan kecepatan 12000 rpm selama 20 menit.
3.4.3 Proses Pembuatan Roti
a. Penimbangan bahan-bahan terlebih dahulu sesuai formulasi yang telah
ditentukan.
30
b. Pencampuran awal yaitu tepung terigu, ragi, bread improver, gula, air, dan
telur ayam.
c. Pencampuran kedua yaitu mentega, garam, dan mikroemulsi FTT.
d. Setelah kalis dilakukan pemotongan adonan @ 18 g dengan timbangan.
e. Dilakukan pembentukan pada adonan.
f. Fermentasi selama 75 menit.
g. Pemanggangan pada suhu 200°C selama 10 menit.
3.5 Pengamatan dan Analisis Data
3.5.1 Pengamatan
1) Distilat Asam Lemak Minyak Sawit (DALMS)
a. Kadar asam lemak bebas (Mehlenbacher, 1960 dalam Sudarmadji dkk.,
2003).
b. Bilangan peroksida metode ferriklorida (Kim, 2005).
c. Bilangan anisidin (IUPAC, 1993).
d. Senyawa bioaktif meliputi:
- Kadar tokoferol dan tokotrienol dengan HPLC (Nielsen dan Hansen,
2008).
- Kadar fitosterol dengan HPLC (Nielsen dan Hansen, 2008).
- Kadar skualen dengan GC-MS (Mendez, dkk., 2003).
2) Fraksi Tidak Tersabunkan (FTT)
a. Kadar asam lemak bebas (Mehlenbacher, 1960 dalam Sudarmadji dkk,
2003).
b. Bilangan peroksida metode ferriklorida (Kim, 2005).
c. Bilangan anisidin (IUPAC, 1993).
d. Senyawa bioaktif meliputi:
- Kadar tokoferol dan tokotrienol dengan HPLC (Nielsen dan Hansen,
2008).
- Kadar fitosterol dengan HPLC (Nielsen dan Hansen, 2008).
- Kadar skualen dengan GC-MS (Mendez dkk, 2003).
3) Mikroemulsi
a. Senyawa bioaktif meliputi:
31
- Kadar tokoferol dan tokotrienol dengan HPLC (Nielsen dan Hansen,
2008).
- Kadar fitosterol dengan HPLC (Nielsen dan Hansen, 2008).
- Kadar skualen dengan GC-MS (Mendez dkk, 2003).
4) Roti
a. Analisis kadar air metode oven (AOAC, 1990).
b. Analisis kadar protein (AOAC, 1990).
c. Analisis kadar lemak (AOAC, 1990).
d. Analisis kadar serat kasar (AOAC, 1990).
e. Analisis kadar abu (AOAC, 1990).
f. Analisis tekstur (Tensile Strenght) (Yuwono dan Susanto, 1998).
g. Analisis daya kembang (Yuwono dan Susanto, 1998).
h. Analisis warna (Yuwono dan Susanto, 1998).
i. Analisis densitas kamba (Yuwono dan Susanto, 1998).
j. Analisis sifat sensorik metode hedonik untuk warna, bau, keempukan,
tekstur, rasa dan deskriptif untuk rasa, bau, warna, keempukan, after
taste (Rahayu, 2001).
k. Perlakuan terbaik (Zeleny, 1982).
l. Senyawa bioaktif roti manis perlakuan terbaik meliputi:
- Kadar tokoferol dan tokotrienol dengan HPLC (Nielsen dan Hansen,
2008).
- Kadar fitosterol dengan HPLC (Nielsen dan Hansen, 2008).
- Kadar skualen dengan GC-MS (Mendez dkk, 2003).
3.5.2 Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance
(ANOVA) menggunakan Software R. Apabila terdapat perngaruh nyata maka
dilanjutkan dengan uji beda nyata (BNT) atau Duncan Multiple Range Test (DMRT)
dengan taraf nyata 5%. Untuk analisis sensorik hedonic scale dengan metode
deskriptif meliputi uji skoring untuk keempukan, bau, warna, dan rasa (Rahayu,
2001). Sedangkan untuk analisis perlakuan terbaik roti menggunakan metode
Multiple Atribute (Zeleny, 1982)
32
3.6 Diagram Alir Penelitian
Pencampuran di dalam labu erlenmeyer 1000 ml
Pemanasan di dalam shaker waterbath pada suhu 70°C selama 40 menit
Pendinginan pada suhu ruang
Pemindahan ke dalam corong pemisah
Pengocokan lambat dan pendiaman sampai terbentuk 2 lapisan
Pemisahan di dalam corong pemisah
Evaporasi vakum (45°C, 200 mbar)
Gambar 3.1 Diagram Alir Saponifikasi DALMS (Modifikasi Ahmadi, 1997)
Fraksi tidak tersabunkan
bebas pelarut
Heksana
Fraksi tersabunkan dalam air (bawah) Fraksi tidak tersabunkan dalam heksana (atas)
Analisa:
- Rendemen - Kadar asam lemak bebas - Bilangan peroksida - Bilangan anisidin - Senyawa bioaktif:
Kadar tokoferol Kadar tokotrienol Kadar fitostreol Kadar skualen
50 g DALMS
441,5 mL Etanol
2,5 g Asam Askorbat
Analisa:
- Kadar asam lemak bebas - Bilangan peroksida - Bilangan anisidin - Senyawa bioaktif:
Kadar tokoferol Kadar tokotrienol Kadar fitostreol Kadar skualen
375 mL Heksana 500 mL Akuades
60% KOH 50%
33
Pelarutan dengan aquades hingga 50 ml
Homogenisasi dengan kecepatan 12.000 rpm (no.3) selama 20 menit
Gambar 3.2 Diagram Alir Pembuatan Mikroemulsi dari FTT DALMS (Modifikasi Imai
et al., 2008)
Analisis: - Senyawa bioaktif:
Kadar tokoferol Kadar tokotrienol Kadar fitostreol Kadar skualen
Tween 80 konsentrasi 0,5% (% b/v)
Mikroemulsi
FTT
Fraksi Tidak Tersabunkan (10%)
34
Pengadukan bahan kering hingga homogen
Pengadukan hingga homogen
Pengadukan semua bahan hingga kalis
Adonan
Penimbangan dengan timbangan @ 18 g dan pembentukan bulatan
Diletakkan di atas loyang
Fermentasi selama 75 menit dengan proofing box
Pemanggangan pada suhu 200°C selama 10 menit
Tepung Terigu 48 g
Bread Improver 0,3 g
Ragi 1 g
Gula Pasir 9,5 g
Susu Bubuk 2,4 g
Telur Ayam 9,5 g
Air Es (11,3; 9,3; 7,3; 5,3; 3,3) g
Susu Cair 8,3 g
Margarin 9,5 g Garam 0,3 g Mikroemulsi FTT (0, 2, 4, 6, 8 ) g
A
35
Gambar 3.3 Diagram Alir Pembuatan Roti Manis (Modifikasi Bahalwan, 2014)
Roti
Analisis Fisik: - Tekstur - Warna - Daya kembang - Densitas
kamba
Analisis Organoleptik hedonik dan mutu hedonic :
- Aroma - Rasa - Warna - Keempukan - Tekstur
A
Analisis Senyawa Bioaktif:
- Tokoferol - Tokotrienol - Skualen
Analisis Kimia:
- Kadar protein
- Kadar lemak - Kadar air - Kadar serat
kasar - Kadar abu
Roti Perlakuan
Terbaik
36
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Distilat Asam Lemak Minyak Sawit (DALMS)
4.1.1 Kadar Asam Lemak Bebas
Asam lemak bebas merupakan hasil perombakan yang terjadi pada asam lemak
yang disebabkan adanya reaksi kompleks pada minyak. Semakin tinggi kandungan
asam lemak bebas pada minyak, menandakan semakin menurunnya mutu dari
minyak tersebut (Muchtadi, 2009). Menurut Sudarmadji (1982), kadar asam lemak
bebas menunjukkan sejumlah asam lemak bebas yang dikandung oleh minyak yang
rusak, terutama karena adanya peristiwa oksidasi dan hidrolisis. Hasil analisa kadar
asam lemak bebas DALMS dapat dilihat pada Tabel 4.1
Tabel 4.1 Kadar Asam Lemak Bebas DALMS
Karakteristik Hasil Analisa Literatur
Asam Lemak Bebas (%) 70,74 95,75a
86,4b
87,96c
Sumber:a: Ahmadi dan Estiasih (2011) b: Bonnie dan Yusof (2009) c: Puspitasari (2013)
Hasil analisa asam lemak bebas DALMS adalah sebesar 70,74%, kadar ini lebih
kecil dibandingkan dengan literatur. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan jenis
bahan baku dan kondisi penyimpanan. DALMS pada penelitian ini disimpan di
freezer dan ditutup rapat sebelum proses saponifikasi. Hidrolisis minyak dan lemak
menghasilkan asam-asam lemak bebas yang dapat mempengaruhi cita rasa dan
bau pada bahan itu. Hidrolisis dapat disebabkan oleh adanya air dalam lemak atau
minyak atau karena adanya kegiatan enzim (Buckle dkk, 2010). Menurut Sutiah dkk
(2008) terjadinya kenaikan kadar asam lemak bebas juga disebabkan oleh kondisi
penyimpanan. Selama penyimpanan, minyak mengalami perubahan fisiko-kimia
yang terjadi karena adanya proses hidrolisis maupun oksidasi. Penyimpanan yang
salah dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan pecahnya ikatan trigliserida
pada minyak lalu membentuk gliserol dan asam lemak bebas.
37
4.1.2 Bilangan Peroksida
Indikator kerusakan pada minyak antara lain angka peroksida dan asam lemak
bebas. Angka peroksida menunjukan banyaknya kandungan peroksida di dalam
minyak akibat proses oksidasi dan polimerisasi (Sudarmadji, 1982). Proses oksidasi
dimulai dari pembentukan peroksida dan hidroperoksida, dan tingkat selanjutnya
adalah terurainya asam-asam lemak disertai dengan konversi hidroperoksida
menjadi aldehid dan keton serta asam-asam lemak bebas. Ketengikan terbentuk
oleh aldehid dan keton bukan oleh peroksida. Kenaikan bilangan peroksida hanya
indikator bahwa minyak sebentar lagi akan mengalami ketengikan (Ketaren, 1986).
Hasil analisa tingkat oksidasi pada DALMS dapat dilihat pada Tabel 4.2
Tabel 4.2 Tingkat Oksidasi DALMS
Karakteristik Hasil Analisa Literatur
Bilangan Peroksida (mek/kg) 4,24 0,27a
Bilangan p-anisidin 2,79 6,92b
Total Oksidasi` 11,27 -
Sumber: a. Ahmadi dan Estiasih (2011) b. Puspitasari (2013)
Hasil pengukuran bilangan peroksida dalam DALMS cukup tinggi yaitu sebesar
4,24 mek/kg lebih besar dari literatur 0,27 mek/kg. Tingginya bilangan peroksida
menandakan oksidasi yang berkelanjutan. Bilangan peroksida digunakan untuk
menentukan kualitas minyak setelah pengolahan dan penyimpanan. Peroksida akan
meningkat sampai pada tingkat tertentu selama penyimpanan sebelum penggunaan,
yang jumlahnya tergantung pada waktu, suhu dan kontaknya dengan cahaya dan
udara (Sinaga, 2010). Menurut Estiasih dkk (2013) DALMS yang berasal dari enam
industri pengolahan minyak sawit di Pulau Jawa memiliki bilangan peroksida yang
bervariasi yaitu antara 1,53 hingga 9,17 mek/kg.
Hasil pengukuran bilangan p-anisidin pada DALMS adalah sebesar 2,79. Hal ini
menunjukkan bahwa DALMS telah mengalami oksidasi sekunder. Menurut Aidos
dkk (2003) Nilai anisidin adalah oksidasi sekunder yang dikarakterisasi oleh
degradasi lemak yang diinisiasi oleh hidroperoksida, sehingga menghasilkan produk
sampingan karbonil yang bersifat volatil. Nilai p-anisidin dapat menentukan
38
keberadaan aldehid dalam minyak karena aldehid di dalam minyak dan reagen p-
anisidin bereaksi dalam kondisi asam dan ekspresi warna pada minyak sangat
tergantung pada jumlah aldehid dan strukturnya (O’Brien, 2009)
4.1.3 Senyawa Bioaktif
Distilat asam lemak minyak sawit merupakan hasil samping pemurnian minyak
sawit pada tahapan deodorisasi yang bertujuan untuk menghilangkan senyawa
volatil. Distilat asam lemak minyak sawit (DALMS) mengandung asam lemak dan
gliserida 96,1% dan senyawa bioaktif minor antara lain tokoferol dan tokotrienol
(0,48%), fitosterol (0,37%), squalene (0,76%) dan hidrokarbon lainnya (Estiasih,
2013). Hasil analisis senyawa bioaktif pada DALMS dapat dilihat pada Tabel 4.3
Tabel 4.3 Kadar Senyawa Bioaktif DALMS
Senyawa Bioaktif
Hasil Analisa Literatura
Literaturb
mg/100 g % relatif mg/100g %relatif mg/100g %relatif
Kadar Vitamin E 4.768,28 19,66 597,40
α-tokoferol 77,59 1,63 3,80 19,33 72,50 12,14
α-tokotrienol 1.079,68 22,64 3,60 18,31 128,60 21,53
δ-tokotrienol 190,89 4,00 0,46 2,32 115,60 19,35
γ-tokotrienol 3.420,13 71,73 11,80 60,67 280,70 46,98
Total Tokotrienol 4.690,7 98,37 15,86 80,67 524,9 87,86
Total Fitosterol 646,49 747,65 - -
β-sitosterol 195,21 30,19 391,34 52,34 - -
Stigmasterol 151,53 23,44 177,46 23,92 - -
Kampesterol 299,75 46,37 178,85 23,74 - -
Skualen 141,01 109,24 - -
Sumber: a. Puspitasari (2013)
b. Bonnie dan Yusof (2009)
Hasil analisa senyawa bioaktif DALMS pada Tabel 4.3 menunjukkan bahwa
DALMS mengandung kadar vitamin E yang tinggi yaitu 4.768,28 mg/100 g. Kadar ini
lebih tinggi daripada literatur yaitu sebesar 19,66 mg/100 g dan 597,40 mg/100g.
Perbedaan kadar vitamin E ini diduga karena perbedaan proses deodorisasi yang
39
menghasilkan DALMS tersebut. Menurut Zacchi, dkk (2006) Vitamin E merupakan
total dari delapan substansi dengan beragam aktivitas biologis. Substansi-substansi
ini disebut tocochromanols yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu tokoferol dan
tokotrienol. Setiap kelompok merupakan gabungan empat isomer α, ß, y, δ-tocos. α-
tokoferol memiliki aktivitas biologis dan karakteristik antioksidan tertinggi
dibandingkan dengan substansi tocochromanols lainnya. Tokoferol merupakan
antioksidan yang dapat mengeliminasi radikal bebas untuk pertahanan utama tubuh
kita.
Komposisi vitamin E dalam DALMS pada penelitian ini adalah adalah α-tokoferol
(1,63%), α-tokotrienol (22,64%), δ-tokotrienol (4,00%), γ-tokotrienol (71,73%).
Menurut Estiasih, dkk (2013) Komposisi vitamin E dalam minyak sawit adalah α
tokoferol (20%), α tokotrienol (22%), γ tokotrienol (46%) dan δ tokotrienol (12%).
Tokotrienol sangat penting dalam bidang farmasi, makanan, produk suplemen
karena aktivitasnya sebagai hipokolesterolemik, antioksidan, antiinflamasi,
antitrombotik, imunomodulator, dan hepaprotektor. Total tokotrienol DALMS pada
penelitian ini sebesar 4.690,7 mg/100g atau sekitar 98,37% lebih tinggi dari kadar
tokoferol. Menurut Maarasyid, dkk (2014) Buah sawit merupakan sumber terbesar
tokotrienol dibandingkan dengan semua minyak nabati. Hal ini juga dibenarkan oleh
Liu, dkk (2008) Minyak sawit berbeda dengan minyak nabati lainnya karena vitamin
E utama dalam CPO adalah tokotrienol (83%) dan sisanya adalah tokoferol (17%).
Total fitosterol DALMS pada penelitian ini adalah sebesar 646,49 mg/100g.
Jumlah ini lebih rendah dibandingkan dengan literatur yaitu sebesar 747,65 mg/100g
(Puspitasari, 2013). Komposisi fitosterol DALMS dalam penelitian ini antara lain
Komposisi fitosterol DALMS dalam penelitian ini meliputi β-sitosterol (195,21
mg/100g), stigmasterol (151,53 mg/100g), kampesterol (299,75 mg/100g). Menurut
Estiasih, dkk (2013) Komposisi senyawa fitosterol (β-sitosterol, kampesterol dan
stigmasterol) berbeda setiap distilat asam lemak minyak sawit. Menurut Loganathan,
dkk (2009) Fitosterol pada DALMS terdiri atas kampesterol (13%), β-sitosterol
(60%), dan stigmasterol (24%).
Senyawa skualen yang terdapat dalam DALMS pada penelitian ini adalah
sebesar 141,01mg/100g. Jumlah ini lebih tinggi dari literatur yaitu 109,24mg/100g
(Puspitasari, 2013). Kadar skualen yang tinggi telah dilaporkan bahwa DALMS
mengandung jumlah skualen yang tinggi hingga mencapai 1,03% (b/b) lebih dari
40
minyak nabati lainnya (Posada dkk, 2007). skualen memiliki titik beku yang sangat
rendah (-72°C), titik didih yang tinggi (430°C pada 760 mmHg), tahan panas dan
gesekan, juga diketahui telah digunakan untuk memproduksi minyak kualitas tinggi
dan pelumas untuk instrumen tertentu (Bhilwade dkk, 2010).
4.2 Karakteristik Fraksi Tidak Tersabunkan (FTT)
4.2.1 Asam Lemak Bebas
Asam lemak bebas dapat dihasilkan oleh proses hidrolisa akibat aktivitas
mikroba dan oksidasi yang sangat dipengaruhi oleh suhu, keberadaan air, sinar dan
kontak dengan udara (Ketaren, 2005). Reaksi hidrolisa yang terjadi pada minyak
akan mengakibatkan kerusakan minyak karena terdapat sejumlah air dalam minyak
tersebut dan menyebabkan terbentuknya asam lemak bebas dan beberapa gliserol
(Muchtadi, 2009). Hasil analisa kadar asam lemak bebas fraksi tidak tersabunkan
DALMS dapat dilihat pada Tabel 4.1
Tabel 4.4 Kadar Asam Lemak Bebas FTT
Karakteristik Hasil Analisa Literatur
Asam Lemak Bebas (%) 3,56 7,99a
Sumber: a. Ahmadi dan Estiasih (2011)
Asam lemak bebas memiliki stabilitas terhadap oksidasi yang lebih rendah
dibandingkan bentuk trigliserida sehingga keberadaannya dalam produk berlemak
biasa diukur. Peningkatan asam lemak bebas menyebabkan peningkatan
kerentanan terhadap oksidasi dan produk oksidasi yang terbentuk berpotensi
menimbulkan bau (Estiasih dkk, 2008). Kadar asam lemak bebas FTT pada
penelitian ini adalah 3,56% dan kadar ini lebih rendah dari literatur yaitu 7,99%.
Kadar asam lemak bebas FTT juga lebih rendah dari DALMS pada penelitian ini
yaitu sebesar 70,74%. Penurunan kadar asam lemak bebas ini disebabkan oleh
adanya proses saponifikasi dimana reaksi KOH dengan asam lemak bebas
menghasilkan sabun yang mudah dipisahkan dari fraksi tidak tersabunkan. (Ahmadi
dan Estiasih, 2011). Saponifikasi merupakan proses hidrolisis basa terhadap lemak
dan minyak, dan reaksi saponifikasi bukan merupakan reaksi kesetimbangan.
41
Produk yang terbentuk adalah sabun dari garam asam-asam lemak (Naomi dkk,
2013). Proses saponifikasi menghasilkan dua produk, yaitu sabun dan gliserin
(Prawira, 2010).
4.2.2 Bilangan Peroksida
Fraksi tidak tersabunkan (FTT) dilakukan uji tingkat oksidasi untuk mengetahui
adanya oksidasi yang terjadi selama tahap saponifikasi. Uji tingkat oksidasi yang
dilakukan pada FTT meliputi uji bilangan peroksida dan bilangan p-anisidin yang
mengindikasikan adanya oksidasi primer dan oksidasi sekunder. Hasil uji tingkat
oksidasi FTT pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.5
Tabel 4.5 Tingkat Oksidasi FTT
Karakteristik Hasil Analisa Literatur
Bilangan Peroksida (mek/kg) 2,81 0,22a
Bilangan p-anisidin 2,32 16,51b
Total Oksidasi 7,94 -
Sumber : a. Ahmadi dan Estiasih (2011) b. Puspitasari (2013)
Bilangan peroksida merupakan metode yang paling luas untuk menentukan
derajat degradasi minyak. Produk oksidasi primer dari minyak adalah
hidroperoksida. Nilai bilangan peroksida fraksi tidak tersabunkan adalah 2,81
mek/kg. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan literatur yaitu 0,22 mek/kg.
Pengukuran angka peroksida pada dasarnya adalah mengukur kadar peroksida dan
hidroperoksida yang terbentuk pada tahap awal reaksi oksidasi lemak. Minyak akan
mengalami kerusakan jika dilakukan pemanasan berulang kali, kontak dengan air,
udara dan logam. Minyak yang mengalami kerusakan akan membentuk senyawa-
senyawa yang tidak diinginkan seperti polimer, asam lemak bebas (ALB), dan
peroksida (Wulyoadi dan Kaseno, 2004). Nilai bilangan peroksida FTT lebih rendah
jika dibandingkan dengan nilai bilangan peroksida dari DALMS pada penelitian ini
yang sebesar 4,24 mek/kg. Hal ini terjadi karena adanya proses saponifikasi yang
akan menurunkan kadar asam lemak bebas. Menurut Rizqiyah (2015) terukurnya
bilangan peroksida pada FTT karena masih adanya kandungan asam lemak bebas.
Asam lemak bebas memiliki aktivitas prooksidan karena adanya gugus karboksil.
42
Minyak yang mengandung asam lemak bebas menghasilkan peroksida yang lebih
besar (Smouse, 1996).
Bilangan anisidin menghitung jumlah aldehid-aldehid penting. Aldehid merupakan
produk dari dekomposisi asam lemak yang berubah menjadi peroksida. Aldehid
dapat digunakan sebagai penanda untuk menentukan berapa banyak bahan-bahan
yang berubah menjadi peroksida telah dipecah (Blumethal, 1996; Krishnamurthy dan
Vernon, 1996). Hasil pengukuran nilai p-anisidin fraksi tidak tersabunkan adalah
sebesar 2,32 lebih rendah dibandingkan dengan literatur yaitu sebesar 16,51. Nilai
p-anisidin dapat menentukan keberadaan aldehid dalam minyak, karena menurut
O’Brien (2009) aldehid didalam minyak dan reagen p-anisidine bereaksi dalam
kondisi asam dan ekspresi warna pada minyak sangat tergantung kepada jumlah
aldehid dan strukturnya. Nilai bilangan anisidin pada FTT juga lebih rendah
dibandingkan dengan DALMS yang digunakan pada penelitian ini yaitu sebesar
2,32. Penurunan bilangan anisidin juga disebabkan adanya proses saponifikasi yang
menurunkan kadar asam lemak bebas sehingga keberadaan aldehid yang terukur
sebagai bilangan p-anisidin juga menurun.
4.2.3 Senyawa Bioaktif
Fraksi tidak tersabunkan diperoleh setelah proses saponifikasi DALMS dengan
alkali. Hasil uji kadar senyawa bioaktif FTT pada penelitian ini dapat dilihat pada
Tabel 4.6
Tabel 4.6 Kadar Senyawa Bioaktif Fraksi Tidak Tersabunkan (FTT) DALMS
Senyawa Bioaktif Hasil Analisa Literatura
Literaturb
mg/100 g mg/100 g mg/100 g
Kadar Vitamin E 34.237,58 796,80 1.960,00 α-tokoferol 749,38 64,41 314,58
α-tokotrienol 16.670,05 186,05 654,64 δ-tokotrienol 3.212,10 485,38 442,96 γ-tokotrienol 13.606.04 60,96 547,82
Total Tokotrienol 33.488,20 732,39 1.645,42 Total Fitosterol 8.837,80 9.184,63 550,00
β-sitosterol 1.212,67 8.193,26 416,79 Stigmasterol 525,46 985,18 0,00 Kampesterol 7.099,67 6,19 133,10
Skualen 2.101,86 526,41 32.300,00
Sumber: a. Puspitasari (2013) b. Fidyasari (2014)
43
Hasil analisa senyawa bioaktif fraksi tidak tersabunkan pada Tabel 4.6
menunjukkan bahwa FTT mengandung kadar tokoferol, total tokotrienol, total
fitosterol dan kadar skualen yang lebih tinggi dibandingkan DALMS. Hal ini terjadi
karena adanya proses saponifikasi yang menyebabkan asam lemak dan gliserida
tersabunkan. Komponen lain yang tidak tersabunkan adalah vitamin E, lilin,
hidrokarbon, dan sterol (Hodhson, 1995). Total vitamin E pada fraksi tidak
tersabunkan adalah sebesar 34.237,58 mg/100g. Nilai ini lebih tinggi dari literatur
yaitu sebesar 796,80 mg/100 g (Puspitasari, 2013) dan 1.960 mg/100 g (Fidyasari,
2014). Total vitamin E yang tinggi dalam fraksi tidak tersabunkan diduga
penggunaan suhu 70°C pada proses saponifikasi tidak sepenuhnya merusak
tokoferol dan tokotrienol.
Komposisi vitamin E fraksi tidak tersabunkan adalah α- tokoferol 749,38
mg/100g, α-tokotrienol 16.670,05 mg/100g, δ-tokotrienol 3.212,10 mg/100g dan, γ-
tokotrienol 13.606,04 mg/100g. Total fitosterol pada fraksi tidak tersabunkan adalah
sebesar 8.837,80 mg/100g. Jumlah tersebut lebih rendah dibandingkan dengan
literatur yaitu 9.184,63 mg/100g (Puspitasari, 2013). Namun hasil ini lebih tinggi
dibandingkan dengan Fidyasari (2014) yaitu 550 mg/100g. Komposisi fitosterol fraksi
tidak tersabunkan DALMS pada penelitian ini adalah berikut β-sitosterol 1.212,67
mg/100g, stigmasterol 525,46 mg/100g, dan kampesterol 7.099,67 mg/100g.
Fitosterol terdapat dalam DALMS dalam konsentrasi yang rendah. Fitosterol utama
yang terdpat dalam vegetable deodorizer distillate adalah kolesterol, ß sitosterol,
kampesterol, stigmasterol, dan isofukosterol. Komponen ini mencakup bagian besar
dari fraksi tidak tersabunkan dalam minyak (Dunford dan King, 2000).
Hasil uji skualen fraksi tidak tersabunkan DALMS adalah sebesar 2.101,86
mg/100g. Kadar ini lebih tinggi dari literatur yaitu 526,41 mg/100g (Puspitasari,
2013). Namun kadar ini lebih rendah dari hasil penelitian yang dilakukan Fidyasari
(2014) yaitu sebesar 32.300 mg/100g. Selama proses saponifikasi terdapat
beberapa senyawa fraksi tidak tersabunkan dalam jumlah kecil sekitar 2% dalam
minyak dan khususnya nabati seperti hidrokarbon yang terdiri dari skualen dan
sitosterol (Pitoyo, 1991). Menurut Das (2000) skualen menjadi terkenal karena
memiliki kemampuan yang baik dalam menerima atau mendonorkan elekron tanpa
mengalami perubahan molekul. Konfigurasi antioksidan yang stabil dan efektif
44
diberikan oleh enam unit isoprenoidnya. Skualen dapat memiliki dua bentuk berbeda
yaitu siklik dan non-siklik. Bentuk non-siklik seluruhnya bersifat tidak larut air.
4.3 Karakteristik Mikroemulsi
4.3.1 Senyawa Bioaktif Mikroemulsi
Mikroemulsi merupakan dispersi yang terdiri dari minyak, pengemulsi, dan fase
cair. Mikroemulsi memiliki beberapa sifat spesial seperti meningkatkan kelarutan,
stabilitas terhadap panas yang baik, dan mempermudah proses pengolahan (Anjali,
2010). Fraksi tidak tersabunkan yang mengandung senyawa bioaktif multikomponen
antara lain tokoferol, tokotrienol, fitosterol dan skualen digunakan sebagai fase
minyak pada pembuatan mikroemulsi. Mikroemulsi dalam penelitian ini dibuat
dengan menggunakan proses mekanik, dimana dilakukan homogenisasi
menggunakan ultra-thurrax dengan kecepatan 12.000 rpm selama 20 menit.
Pengemulsi yang digunakan dalam pembuatan mikroemulsi ini adalah tween 80.
Keuntungan penggunaan mikroemulsi adalah ketersediaan dari senyawa biaktif
yang bersifat larut lemak diharapkan lebih besar dibandingkan menggunakan sistem
emulsi biasa. Kadar senyawa bioaktif yang terkandung dalam mikroemulsi fraksi
tidak tersabunkan dapat dilihat pada Tabel 4.7
Tabel 4.7 Kadar Senyawa Bioaktif Mikroemulsi
Senyawa Bioaktif Kadar (mg/100g)
Kadar Vitamin E 7.147,42
α-tokoferol 24,31
α-tokotrienol 1.342,17
δ-tokotrienol 2.521,90
γ-tokotrienol 3.259,04
Total Tokotrienol 7.123,11
Total Fitosterol 8.322,02
β-sitosterol 796,89
Stigmasterol 412,58
Kampesterol 7.112,55
Skualen 250,45
Hasil analisis senyawa bioaktif pada mikroemulsi fraksi tidak tersabunkan
DALMS pada penelitian ini lebih rendah daripada kadar senyawa bioaktif yang
45
terdapat pada fraksi tidak tersabunkan. Hal ini sebabkan mikroemulsi tidak hanya
terdiri dari fase minyak yang mengandung senyawa bioaktif multikomponen, tetapi
juga mengandung fase cair. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa total vitamin E
adalah sebesar 7.147,42 mg/100g. Komposisi vitamin E adalah sebagai berikut, , α-
tokoferol 24,31 mg/100g, α-tokotrienol 1.342,17 mg/100g, δ-tokotrienol 2.521,90
mg/100g, γ-tokotrienol 3.259,04 mg/100g.
Vitamin E yang terdiri dari tokoferol dan tokotrienol merupakan contoh
antioksidan fenolik. Setiap molekul siap mendonasikan hydrogen dari gugus hidroksil
(-OH) pada struktur cincin ke radikal bebas yang kemudian menjadi tidak reaktif.
Dalam mendonasikan hidrogen tersebut, senyawa fenolik itu sendiri menjadi radikal
bebas yang relative tidak reaktif karena electron yang tidak berpasangan pada atom
oksigen biasanya berpindah ke struktur cincin aromatik dengan demikian akan
meningkatkan stabilitas (Scott, 1997).
Total fitosterol yang terdapat dalam mikroemulsi FTT DALMS pada penelitian ini
sebesar 8.322,02 mg/100g. Komposisi fitosterol adalah sebagai berikut β-sitosterol
796,89 mg/100g, stigmasterol 412,58 mg/100, kampesterol 7.112,55 mg/100g.
Fitosterol telah ditemukan dapat membantu melawan perkembangan kanker.
Fitosterol telah dilaporkan dapat membantu mencegah kanker ovarium, perut, dan
paru-paru (Wayengo, 2009). Hal ini terjadi karena fitosterol mencegah produksi sel
kanker, menghentikan pertumbuhan dan penyebaran sel yang telah ada dan
memungkinkan terjadinya kematian sel kanker. Tingginya tingkat anti-oksidan ini
dipercaya menjadi salah satu jalan fitosteol untuk membantu melawan kanker. Anti-
oksidan merupakan senyawa yang dapat melawan kerusakan radikal bebas, yang
mana memberikan efek negatif pada tubuh (Awad, 2000). Fitosterol sangat dikenal
dan telah dibuktikan secara ilmiah memiliki manfaat dalam membantu menurunkan
kolesterol. Fitosterol merupakan senyawa tanaman yang mirip dengan kolesterol.
Fitosterol sebenarnya bersaing dalam penyerapan dengan kolesterol di saluran
pencernaan (Ostlund, 2002). Selama fitosterol mencegah penyerapan kolesterol dari
makanan, fitosterol itu sendiri tidak mudah terserap, yang menghasilkan total
kolesterol yang rendah. Menurunnya kadar kolesterol menghasilkan berbagai
manfaat seperti menurunkan resiko penyakit hati, stroke, dan serangan jantung
(Anderson, 2000).
46
Kadar skualen yang terkandung dalam mikroemulsi FTT DALMS pada penelitian
ini adalah sebesar 250,45 mg/100g. Skualen secara luas digunakan dalam bentuk
emulsi. Walaupun emulsi skualen diproduksi untuk tujuan yang bermacam-macam,
tetapi biasanya digunakan untuk membawa vaksin maupun obat untuk masuk ke
dalam tubuh (Whittenton, 2007). Menurut (Gunes, 2013 ) Skualen telah dilaporkan
memiliki sifat pencegahan terhadap kanker, tinggi aktivitas anti-tumor, dan memiliki
efek yang baik terhadap kolesterol. Selain itu, skualen memiliki manfaat untuk
melindungi kulit melawan kerusakan radiasi UV karena sekresi dalam sebum.
Skualen juga dapat meningkatkan performa sistem imun.
4.4 Karakteristik Roti
Fraksi tidak tersabunkan yang mengandung senyawa bioaktif multi komponen
dijadikan fase minyak pada mikroemulsi. Mikroemulsi ini selanjutnya dilakukan
fortifikasi pada produk pangan roti manis.
4.4.1 Warna Roti
Pengukuran warna yang dilakukan terhadap roti manis pada penelitian ini
meliputi bagian crust (bagian luar) roti dan crumb (bagian dalam) roti. Menurut
Stanley (2006) roti dikenali oleh bagian luar roti (crust), yang merupakan lapisan tipis
kering yang melingkupi bagian yang halus dan memiliki struktur sel mirip spons
(crumb). Masing-masing bagian akan diuji nilai kecerahan (L), nilai kemerahan atau
kehijauan (a) dan nilai kekuningan (b).
a. Nilai L (Kecerahan) Crust
Nilai L (tingkat kecerahan) menyatakan tingkat gelap hingga cerah dengan
kisaran 0-100 (Pomeranz dan Meloand, 1994). Hasil pengamatan warna crust untuk
roti yang difortifikasi dengan mikroemulsi FTT dari DALMS berkisar antara 50,58 -
56,33. Pengaruh fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS dapat dilihat pada Gambar 4.1
47
Gambar 4.1 Nilai Kecerahan (L) Crust Roti Manis
Berdasarkan Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa roti tanpa fortifikasi mikroemulsi
FTT DALMS (0%) memiliki nilai kecerahan sebesar 50,58. Nilai ini lebih rendah
dibandingkan dengan roti yang difortifikasi dengan mikroemulsi FTT DALMS
sebanyak 2% yang menghasilkan roti dengan nilai kecerahan 53,03. Roti dengan
fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS sebanyak 4% menghasilkan nilai kecerahan
sebesar 53,44, dan fortifikasi dengan kadar 6% menghasilkan roti dengan nilai
kecerahan 53,94. Roti yang difortifikasi dengan FTT DALMS dalam kadar tertinggi
yaitu 8% menghasilkan nilai kecerahan sebesar 56,33.
Hasil analisa ragam menunjukkan fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS tidak
berpengaruh nyata pada nilai kecerahan crust. Penambahan mikroemulsi FTT
DALMS tidak berpengaruh karena warna crust pada roti dipengaruhi oleh beberapa
faktor yang ada selama proses pemanggangan akibat adanya reaksi Maillard.
Reaksi ini didasari oleh reaksi antara protein dengan gula yang terdapat di dalam
adonan. Reaksi ini bermula ketika suhu permukaan produk melebihi 115°. Hal ini
dapat terjadi ketika air dalam jumlah yang cukup menguap dari permukaan crust.
Pencapaian warna crust roti selama pemanggangan juga oleh pH adonan, dimana
semakin asam kondisinya, maka semakin gelap warna crust yang dihasilkan
(Manley, 2000).
50,58 ± 2,98 53,03 ±3,26 53,44 ± 3,54 53,94 ± 2,98 56,33± 2,07
0
10
20
30
40
50
60
70
0 2 4 6 8
Nila
i L
Konsentrasi Mikroemulsi (%)
48
b. Nilai Kemerahan (a+) Crust
Nilai a (tingkat kemerahan) menyatakan tingkat warna hijau sampai merah
dengan kisaran -100 hingga +100 (Pomeranz dan Meloand, 1994). Hasil analisa
warna pada bagian luar roti manis (Crust) menunjukkan warna kemerahan karena
menunjukkan nilai a+. Hasil pengamatan kemerahan crust roti manis dapat dilihat
pada Gambar 4.2
Gambar 4.2 Nilai Kemerahan Crust Roti Manis
Berdasarkan Gambar 4.2 dapat dilihat bahwa roti tanpa fortifikasi mikroemulsi
FTT DALMS (0%) memiliki nilai kemerahan bagian luar (crust) sebesar 16,73. Nilai
ini lebih rendah dibandingkan dengan roti yang difortifikasi dengan mikroemulsi FTT
DALMS sebanyak 2% yang menghasilkan roti dengan nilai kemerahan sebesar
20,03. Roti dengan fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS sebanyak 4% menghasilkan
nilai kemerahan sebesar 19,25 dan fortifikasi dengan kadar 6% menghasilkan roti
dengan nilai kemerahan 15,12. Roti yang difortifikasi dengan FTT DALMS dalam
kadar tertinggi yaitu 8% menghasilkan nilai kemerahan sebesar 20,51. Hasil analisa
ragam menunjukkan fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS tidak berpengaruh nyata
terhadap warna kemerahan bagian luar roti. Warna kemerahan yang terdeteksi pada
bagian luar roti manis merupakan hasil dari adanya reaksi Maillard yang terjadi
akibat proses pemanggangan roti.
16.73 ± 6,73
20.03 ± 3,57 19.26 ± 3,38
15.12 ± 4,85
20.51 ±0,72
0
5
10
15
20
25
0 2 4 6 8
Nila
i a+
Konsentrasi Mikroemulsi
49
c. Nilai Kekuningan (b+) Crust
Nilai b (tingkat kekuningan) menyatakan tingkat warna biru sampai kuning
dengan kisaran nilai antara -100 hingga +100 (Pomeranz dan Meloand, 1994). Hasil
pengamatan nilai kekuningan pada bagian luar roti (Crust) dengan adanya fortifikasi
mikroemulsi fraksi tidak tersabunkan dapat dilihat pada Gambar 4.3
Gambar 4.3 Nilai Kekuningan (b) Crust Roti Manis
Berdasarkan Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa roti tanpa fortifikasi mikroemulsi
FTT DALMS (0%) memiliki nilai kekuningan bagian luar (crust) sebesar 19,35. Nilai
ini lebih rendah dibandingkan dengan roti yang difortifikasi dengan mikroemulsi FTT
DALMS sebanyak 2% yang menghasilkan roti dengan nilai kekuningan sebesar
20,43. Roti dengan fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS sebanyak 4% menghasilkan
nilai kekuningan sebesar 20,96, dan fortifikasi dengan kadar 6% menghasilkan roti
dengan nilai kecerahan 21,54. Roti yang difortifikasi dengan FTT DALMS dalam
kadar tertinggi yaitu 8% menghasilkan nilai kecerahan sebesar 30,33.
Hasil analisa ragam menunjukkan fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS tidak
berpengaruh nyata terhadap warna bagian luar roti. Hasil ini disebabkan karena
warna dari crust roti ditentukan oleh adanya reaksi Maillard. Roti dikenali oleh bagian
luar roti (crust), yang merupakan lapisan tipis kering yang melingkupi bagian yang
halus, struktur sel mirip spons. Bagian crust roti biasanya memiliki warna coklat-
19,36 ± 0,45 20,43 ± 2,05 20,96 ± 8,52 21,54 ±0,40
30,33 ± 21,98
0
10
20
30
40
50
60
0 2 4 6 8
Nila
i Ke
kun
inga
n C
rust
Konsentrasi Mikroemulsi (%)
50
emas cerah. Bagian crust roti memiliki kandungan air yang rendah dibandingkan
dengan bagian crumb. Saat meminggalkan oven, atau beberapa saat setelah
didinginkan, kandungan air pada crust menurun dibandingkan dengan bagian dalam
(crumb) (Stanley dkk, 2006).
d. Derajat Hue Crust
Derajat hue pada roti manis dihitung menggunakan rumus arctg b2/a2, sehingga
diperoleh “hue” yang merupakan tingkat kecenderungan warna. Derajat Hue
menunjukkan warna dari suatu produk yang dihasilkan. Warna yang dihasilkan oleh
derajat Hue adalah penggabungan dari nilai a* dan b* (Hutching, 1996). Hasil
penelitian menunjukkan °Hue pada roti manis berkisar antara 46,13 hingga 65,43.
Pengaruh konsentrasi mikroemulsi terhadap °Hue roti manis dapat dilihat pada
Gambar 4.4
Gambar 4.4 Derajat Hue Crust Roti Manis
Berdasarkan Gambar 4.4 dapat dilihat bahwa roti tanpa fortifikasi mikroemulsi
(0%) memiliki derajat hue sebesar 52,23. Nilai tersebut menunjukkan bahwa bagian
Crust roti berwarna kuning. Roti dengan konsentrasi mikroemulsi 2% memperoleh
derajat hue terendah yaitu sebesar 46,13 dan menunjukkan bahwa bagian crust roti
manis berwarna kuning kemerahan. Roti dengan perlakuan ketiga yaitu dengan
53.23 ± 16.84
46.13 ± 4.77 49.7 ± 8.80
63.76 ± 3.10 65.42 ± 5.63
0
10
20
30
40
50
60
70
80
0 2 4 6 8
° H
ue
Konsentrasi Mikroemulsi (%)
51
konsentrasi mikroemulsi sebesar 4% memperoleh derajat hue sebesar 49,7 dan
dapat dikatakan bagian luar roti berwarna kuning kemerahan. Roti selanjutnya
adalah roti manis dengan konsentrasi mikroemulsi sebanyak 6% memperoleh
derajat hue sebesar 63,77 dan dapat dikatakan bahwa roti dengan konsentrasi
mikroemulsi 6% berwarna kuning. Roti terakhir merupakan roti dengan konsentrasi
mikroemulsi tertinggi yaitu 8% memperoleh derajat hue sebesar 65,43. Hasil ini
menyatakan bahwa roti dengan konsentrasi mikroemulsi 8% memiliki crust berwarna
kuning. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa roti manis dengan
fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS memiliki bagian luar (crust) yang berwarna
kuning hingga kuning kemerahan. Warna ini diperoleh karena adanya proses
pemanggangan roti manis yang menghasilkan adanya reaksi Maillard yang akan
membentuk warna pada bagian luar roti menjadi warna kuning hingga kuning
kemerahan.
e. Nilai Kecerahan (L) Crumb
Nilai kecerahan roti bagian dalam (crumb) juga memberikan masalah yang besar.
Untuk warna bagian dalam biasanya lebih menarik jika memiliki warna dengan
kisaran antara kuning hingga putih (Stanley, 2006). Hasil pengamatan nilai
kecerahan bagian dalam (crumb) untuk roti yang difortifikasi dengan mikroemulsi
FTT dari DALMS berkisar antara 71,92-73,89. Pengaruh fortifikasi mikroemulsi FTT
dari DALMS dapat dilihat pada Gambar 4.5
Gambar 4.5 Nilai Kecerahan (L) Crumb Roti Manis
71,92 ± 3,34 72,43 ± 0,95 72,73 ± 2,73 73,72 ± 1,85 73,89 ± 1,76
64
66
68
70
72
74
76
78
0 2 4 6 8
Nila
i L C
rum
b
Konsentrasi Mikroemulsi (%)
52
Berdasarkan Gambar 4.2 dapat dilihat bahwa roti tanpa fortifikasi mikroemulsi
FTT DALMS (0%) memiliki nilai kecerahan bagian dalam sebesar 71,92. Nilai ini
lebih rendah dibandingkan dengan roti yang difortifikasi dengan mikroemulsi FTT
DALMS sebanyak 2% yang menghasilkan roti dengan nilai kecerahan 72,43. Roti
dengan fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS sebanyak 4% menghasilkan nilai
kecerahan sebesar 72,73, dan fortifikasi dengan kadar 6% menghasilkan roti dengan
nilai kecerahan 73,72. Roti yang difortifikasi dengan FTT DALMS dalam kadar
tertinggi yaitu 8% menghasilkan nilai kecerahan sebesar 73,89.
Hasil analisa ragam menunjukkan fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS tidak
berpengaruh nyata terhadap warna bagian dalam roti. Hasil ini terjadi karena warna
crumb dipengaruhi oleh jaringan sel pada produk yang memiliki pengaruh langsung
dalam pengukuran warna yang disebabkan oleh bayangan yang diberikan oleh sel.
Pengukuran kecerahan crumb merupakan hal yang penting karena jika produk
tepung berwarna putih, nilai kecerahan crumb roti merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi konsumen dalam menentukan kualitas produk (Stanley dkk, 2006).
f. Nilai Kehijauan (a-) Crumb Roti Manis
Nilai a merupakan nilai warna antara warna kemerahan dengan kehijauan. Hasil
pengamatan roti manis yang difortifikasi dengan mikroemulsi FTT DALMS
menunjukkan warna kehijauan karena memperoleh nilai a- yang mengindikasikan
warna kehijauan. Hasil pengamatan pengaruh konsentrasi mikromulsi terhadap
warna kehijauan bagian dalam roti manis dapat dilihat pada Gambar 4.6
Gambar 4.6 Nilai Kehijauan (a-) Crumb Roti Manis
1.71 ± 0,41 1.61 ± 0.37 1.43 ± 0.55
1.61 ± 0.22 1.6 ± 0.26
0
0.5
1
1.5
2
2.5
0 2 4 6 8
Nila
i Ke
hija
uan
(a
-)
Konsentrasi Mikroemulsi (%)
53
Berdasarkan Gambar 4.6 dapat dilihat bahwa roti tanpa fortifikasi mikroemulsi
FTT DALMS (0%) memiliki nilai kehijauan bagian luar (crust) sebesar 1,17. Nilai ini
lebih tinggi dibandingkan dengan roti yang difortifikasi dengan mikroemulsi FTT
DALMS sebanyak 2% yang menghasilkan roti dengan nilai kehijauan sebesar 1,61.
Roti dengan fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS sebanyak 4% menghasilkan nilai
kehijauan sebesar 1,43 dan fortifikasi dengan kadar 6% menghasilkan roti dengan
nilai kehijauan 1,61. Roti yang difortifikasi dengan FTT DALMS dalam kadar tertinggi
yaitu 8% menghasilkan nilai kehijauan sebesar 1,61. Hasil analisa ragam
menunjukkan fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS tidak berpengaruh nyata terhadap
warna kehijauan bagian luar roti. Warna kehijauan yang terdeteksi pada bagian
dalam roti manis karena adanya penggunaan mikroemulsi yang difortifikasi pada roti
manis. Menurut Rizqiah (2015) mikroemulsi fraksi tidak tersabunkan DALMS
memiliki warna kehijauan yang rendah sehingga mendekati warna kemerahan.
g. Nilai Kekuningan (b+) Crumb
Bagian crumb pada roti and produk fermentasi lainnya berkontribusi dalam
pembentukan flavor produk yang dipanggang. Tidak hanya terdapat kontribusi
signifikan dari bahan-bahan yang digunakan, tetapi juga dari proses fermentasi itu
sendiri (Stanley dkk, 2006). Hasil nilai kekuningan pada bagian crumb roti dapat
dilihat pada Gambar 4.7
Gambar 4.7 Nilai Kekuningan (b) Crumb Roti Manis
23,25 ± 1,34 25,31 ± 1,74 25,89 ± 1,80
27,3 ± 1,76 28,23 ± 0,84
0
5
10
15
20
25
30
35
0 2 4 6 8
Nila
i Ke
kun
inga
n C
rum
b
Konsentrasi Mikroemulsi (%)
54
Berdasarkan hasil analisa kekuningan bagian dalam roti (crumb) diperoleh hasil
bahwa roti yang tidak difortifikasi dengan mikroemulsi FTT DALMS memiliki nilai
kekuningan sebesar 23,25. Selanjutnya roti yang difoortifikasi dengan mikroemulsi
FTT DALMS dengan kadar 2% memperoleh nilai 25,32. Nilai ini semakin meningkat
pada kadar fortifikasi 4% dengan nilai sebesar 25,89 dan kadar fortifikasi 6%
memperoleh nilai 27,3. Kadar fortifikasi tertinggi yaitu 8% memperoleh nilai
kekuningan yang tertinggi juga. Nilai kekuningan yang diperoleh sebesar 28,23.
Peningkatan nilai kekuningan (b+) ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi kadar
mikroemulsi FTT DALMS yang difortifikasi, maka semakin kuning pula warna crumb
roti yang dihasilkan.
Hasil analisa ragam menunjukkan fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS
berpengaruh nyata terhadap derajat kekuningan bagian dalam roti. Pengaruh
konsentrasi mikroemulsi para roti manis dapat dilihat pada Tabel 4.8
Tabel 4.8 Pengaruh Konsentrasi Mikroemulsi Terhadap Nilai Kekuningan Crumb
Konsentrasi Mikroemulsi (%) Nilai (b) Crumb DMRT 5%
0 23,25 ± 1,34 b 3,05
2 25,31 ± 1,74 ab 3,00
4 25,89 ± 1,80 ab 2,93
6 27,30 ± 1,76 a 2,80
8 28,23 ± 0,84 a
Keterangan: Nilai tersebut merupakan nilai rata-rata dari tiga kali ulangan
Berdasarkan Tabel 4.8 dapat dikatakan konsentrasi mikroemulsi memberikan
pengaruh nyata terhadap nilai kekuningan (b) crumb roti manis. Roti manis dengan
konsentrasi penambahan mikroemulsi 0% berbeda nyata dengan roti manis
konsentrasi mikroemulsi 6% dan 8%. Namun, roti manis dengan konsentrasi
mikroemulsi 2% dan 4% tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Hal ini
terjadi karena mikroemulsi yang difortifikasi ke dalam roti merupakan mikroemulsi
yang berasal dari FTT DALMS. Untuk mendapatkan FTT dari DALMS, dibutuhkan
proses saponifikasi menggunakan alkali dimana pada tahapan ini pigmen karotenoid
tidak terbuang dan terkandung dalam fraksi tidak tersabunkan. Menurut Pasaribu
55
(2004) proses pemurnian dengan penambahan alkali beberapa senyawa trigliserida
dapat dihilangkan, kecuali beberapa senyawa yang tidak tersabunkan seperti
karotenoid, likopen, xantophyl, tokoferol, tokotrienol, dan sterol. Berdasarkan alasan
tersebut FTT memiliki warna kuning jingga yang selanjutnya akan digunakan untuk
membuat mikroemulsi yang pada akhirnya akan difortifikasi pada roti.
h. Derajat Hue Crumb
Derajat hue pada roti manis penting untuk diketahui untuk menentukan
kecenderungan warna. Nilai derajat warna ini dihasilkan dari perhitungan derajat
Hue. Hasil analisa derajat Hue roti manis dengan fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS
berkisar antara 89,69 hingga 89,82. Hasil pengamatan pengaruh fortifikasi
mikroemulsi FTT DALMS terhadap derajat hue crumb roti manis dapat dilihat pada
Gambar 4.8
Gambar 4.8 Derajat Hue Crumb Roti Manis
Berdasarkan Gambar 4.8 dapat dilihat bahwa roti tanpa fortifikasi mikroemulsi
(0%) memiliki derajat hue sebesar 89,69. Nilai tersebut menunjukkan bahwa bagian
Crumb roti berwarna hijau kekuningan. Roti dengan konsentrasi mikroemulsi 2%
memperoleh derajat hue sebesar 89,77 dan menunjukkan bahwa bagian crumb roti
89.69 ± 0.11
89.77 ± 0.07
89.82 ± 0.10 89.8 ± 0.02
89.82 ± 0.04
89.4
89.5
89.6
89.7
89.8
89.9
90
0 2 4 6 8
°Hu
e
Konsentrasi Mikroemulsi (%)
56
manis berwarna hijau kekuningan. Roti dengan perlakuan ketiga yaitu dengan
konsentrasi mikroemulsi sebesar 4% memperoleh derajat hue sebesar 89,82 dan
dapat dikatakan bagian dalam roti berwarna hijau kekuningan. Roti selanjutnya
adalah roti manis dengan konsentrasi mikroemulsi sebanyak 6% memperoleh
derajat hue sebesar 89,8 dan dapat dikatakan bahwa roti dengan konsentrasi
mikroemulsi 6% berwarna hijau kekuningan. Roti terakhir merupakan roti dengan
konsentrasi mikroemulsi tertinggi yaitu 8% memperoleh derajat hue sebesar 89,82.
Hasil ini menyatakan bahwa roti dengan konsentrasi mikroemulsi 8% memiliki crumb
berwarna hijau kekuningan. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa
roti manis dengan fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS memiliki bagian dalam (crumb)
yang berwarna hijau kekuningan. Warna ini diperoleh karena adanya fortifikasi
menggunakan mikroemulsi FTT DALMS yang memiliki warna kehijauan dan
kekuningan (Rizqiah, 2015).
4.4.2 Tekstur Roti
Pengukuran tekstur produk pangan dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu
sensori dan mekanik. Uji tekstur roti pada penelitian ini menggunakan alat Tensile
Strength yang dapat menentukan seberapa empuk dan kerasnya roti. Hasil uji
tekstur pada roti yang difortifikasi dengan mikroemulsi FTT DALMS dapat dilihat
pada Gambar 4.9
Gambar 4.9 Nilai Tekstur Roti Manis
9,8 ± 6,67 12,12 ± 0,77
14,55 ± 9,38 14,77 ± 6,74 16,13 ± 9,32
0
5
10
15
20
25
30
0 2 4 6 8
Teks
tur
(N)
Konsentrasi Mikroemulsi (%)
57
Berdasarkan hasil uji tekstur roti menggunakan Tensile Strength dapat dilihat
bahwa tekstur roti berkisar antara 9.8-14.77 N. Roti yang tidak dilakukan fortifikasi
mempunyai nilai sebesar 9,8 N. Nilai ini menunjukkan roti yang tidak difortifikasi
bersifat empuk. Roti yang difortifikasi menggunakan mikroemulsi FTT DALMS
dengan kadar 2% memperoleh hasil 12,12 N. Hasil ini menandakan roti yang
difortifikasi dengan kadar 2% mengalami peningkatan nilai dan bersifat lebih keras
daripada roti control (0%). Roti yang difortifikasi 4% mempunyai nilai 14,55 N dan
roti yang difortifikasi dengan kadar 6% memperoleh nilai 14,55 N. Kadar fortifikasi
tertinggi memperoleh nilai tekstur tertinggi sebesar 16,13 N. Hal ini memandakan roti
yang diberi fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS semakin tinggi, maka akan
mendapatkan tekstur roti yang semakin keras.
Hasil analisa ragam menunjukkan fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS tidak
berpengaruh nyata terhadap tekstur pada roti. Hal ini disebabkan karena proporsi
penambahan tepung terigu dan ragi dengan jumlah yang sama di semua perlakuan
formulasi. Kemampuan memproduksi gas CO2 yang optimal menyebabkan adonan
roti manis mengembang sempurna sehingga roti manis yang dihasilkan empuk.
4.4.3 Daya Kembang
Pengukuran volume produk menghasilkan informasi yang penting mengenai
kualitas produk dan merupakan sarana yang sangat berharga untuk dapat membuat
perbandingan komposisi bahan dan efek dari proses. Hasil uji volume
pengembangan pada roti dapat dilihat pada Gambar 4.10
58
Gambar 4.10 Daya Kembang Roti Manis
Hasil pengamatan rerata volume pengembangan roti manis akibat perlakuan
konsentrasi fortifikasi mikroemulsi FTT berkisar antara 161,17% hingga 436,48%.
Hasil ini menunjukkan bahwa pada perlakuan konsentrasi mikroemulsi FTT dari
DALMS rerata volume pengembangan roti manis mengalami penurunan. Roti yang
tidak dilakukan fortifikasi
Berdasarkan hasil analisa ragam yang dilakukan diperoleh data bahwa perlakuan
konsentrasi mikroemulsi FTT dan DALMS tidak berpengaruh nyata. Hal ini
disebabkan karena proporsi penambahan tepung terigu dan ragi dengan jumlah
yang sama disemua perlakuan formulasi. Peran tepung terigu dan ragi sangat
berpengaruh terhadap tekstur roti manis karena ragi memproduksi gas CO2 dalam
bentuk gelembung yang akan ditahan oleh gluten sehingga adonan roti akan
mengembang. Menurut Stanley dkk (2006) Peranan penting protein tepung gandum
dalam pembentukan struktur gluten untuk pembuatan roti telah diketahui. Secara
umum, peningkatan kadar protein mempengaruhi peningkatan dalam sifat retensi
gas pada adonan dan oleh karena itu juga terjadi peningkatan volume roti. Hal ini
bergantung pada kemampuan protein gandum untuk membentuk jaringan gluten
dengan sifat reologi yang baik.
436,48 ± 92,80
422,22 ± 161,16
342, 18 ± 116,89
275,07 ± 91,67
161,17 ± 68,29
0
100
200
300
400
500
600
700
0 2 4 6 8
Day
a K
em
ban
g (%
)
Konsentrasi Mikroemulsi (%)
59
4.4.4 Densitas Kamba
Densitas kamba menunjukkan perbandingan antara berat suatu bahan terhadap
volumenya. Densitas kamba merupakan sifat fisik bahan pangan yang penting untuk
diketahui terutama dalam pengemasan dan penyimpanan. Hasil analisa densitas
kamba roti manis dengan fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS dapat dilihat pada
Gambar 4.11
Gambar 4.11 Densitas Kamba Roti Manis
Berdasarkan hasil analisa densitas kamba roti dapat dilihat jika secara umum
mengalami peningkatan. Roti yang tidak difortifikasi dengan mikroemulsi
memperoleh nilai densitas kamba sebesar 24,25. Nilai ini lebih rendah dibandingkan
dengan roti dengan konsentrasi mikroemulsi 2% dimana memperoleh nilai densitas
kamba sebesar 27,66. Hasil analisa untuk perlakuan fortifikasi mikroemulsi kadar 4%
mendapat nilai densitas kamba sebesar 29,92. Selanjutnya roti yang beri perlakuan
fortifikasi mikroemulsi dengan kadar 6% memperoleh nilai sebesar 32,99.
Peningkatan nilai densitas kamba juga masih mengalami peningkatan hingga
perlakuan terakhir yaitu fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS dengan kadar 8% yang
memperoleh nilai sebesar 39,82. Nilai ini merupakan nilai tertinggi yang
menunjukkan roti manis dengan konsentrasi mikroemulsi 8% memiliki karakteristik
densitas kamba yang paling buruk. Semakin tinggi nilai densitas kamba, maka
semakin buruk kualitas roti dalam hal densitas kamba karena nilai yang tinggi
24.25 ± 1.17 27.66 ± 0.32
29.92 ± 4.69 32.99 ± 1.65
39.82 ± 2.79
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
0 2 4 6 8
De
nsi
tas
Kam
ba
(g/m
l)
Konsentrasi Mikroemulsi (%)
60
menunjukkan bahwa roti manis memiliki volume yang paling kecil dan roti dapat
dikatakan bantat.
Analisa ragam menunjukkan fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS berpengaruh
nyata terhadap densitas kamba roti manis. Hasil analisa ragam pengaruh
konsentrasi mikroemulsi terhadap densitas kamba roti dapat dilihat pada Tabel 4.9
Tabel 4.9 Pengaruh Konsentrasi Mikroemulsi Terhadap Densitas Kamba
Konsentrasi Mikroemulsi (%) Densitas Kamba DMRT 5%
0 24,25 ± 1,18 d 5,16
2 29,92 ± 4,69 cd 4,96
4 27,66 ± 0,32 bc 5,08
6 32,99 ±1,65 b 4,75
8 39,82 ± 2,79 a
Keterangan: Nilai tersebut merupakan nilai rata-rata dari tiga kali ulangan Berdasarkan Tabel 4.9 dapat dikatakan bahwa konsentrasi mikroemulsi
memberikan pengaruh nyata terhadap densitas kamba roti manis. Roti manis
dengan konsentrasi mikroemulsi 0% berbeda nyata dengan roti manis dengan
konsentrasi mikroemulsi 4%, 6%, dan 8%, tetapi tidak berbeda nyata dengan roti
dengan konsentrasi mikroemulsi 2%. Roti dengan konsentrasi mikroemulsi 2%
berbeda nyata dengan roti dengan konsentrasi 6% dan 8%, tetapi tidak berbeda
nyata dengan roti konsentrasi mikroemulsi 0% dan 4%. Roti dengan konsentrasi
mikroemulsi 6% berbeda nyata dengan roti dengan konsentrasi mikroemulsi 0%, 2%
dan 8%, sedangkan roti dengan konsentrasi mikroemulsi 8% berbeda nyata dengan
roti lainnya. Hal ini terjadi karena jumlah air yang digunakan dalam pembuatan roti
berbeda-beda. Perbedaan jumlah air yang digunakan menghasilkan pembentukan
gluten yang berbeda-beda. Hal ini juga dibenarkan oleh Stanley dkk (2006)
komposisi, formulasi, dan faktor proses produksi menentukan densitas produk akhir.
Densitas produk secara langsung berhubungan dengan pengembangan adonan
selama proses fermentasi dan pemanggangan serta retensi gas dalam struktur
gluten. Perubahan fisik dan kimia yang terjadi sejak ketika tepung gandum terhidrasi
dan terjadi pengembangan struktur gluten sehingga mampu memerangkap gas
61
dalam matrix adonan. Adanya kontak air dengan tepung menghasilkan adanya
sebuah “ledakan” pada helai-helai protein yang keluar dari gumpalan tepung ke
cairan yang melingkupinya.
4.4.5 Sifat Sensoris Roti Manis
Uji sensoris dilakukan karena tujuan akhir dari suatu produk adalah konsumen.
Hal ini menyebabkan informasi tentang dapat diterimanya produk oleh konsumen
menjadi sangat penting. Pengujian dilakukan dengan menggunakan indera
pengecap, pembau, dan peraba saat bahan dikonsumsi. Uji sensoris yang
digunakan dalam penelitian ini adalah uji hedonik dan uji mutu hedonik. Hasil uji
hedonik dapat dilihat pada Tabel 4.10
Tabel 4.10 Karakteristik Sensori Roti Manis Metode Hedonik
Konsentrasi Mikroemulsi
(%)
Warna Bau Keempukan Tekstur Rasa
0 4,70 (agak suka)
4,55 (agak suka)
3,55 (agak tidak suka)
4,05 (agak suka)
4,90 (agak suka)
2 4,60 (agak suka)
3,95 (agak tidak suka)
3,85 (agak tidak suka)
3,80 (agak tidak suka)
2,90 (tidak suka)
4 4,15 (agak suka)
4,15 (tidak suka)
3,55 (agak tidak suka)
3,50 (agak tidak suka)
3,60 (agak tidak suka)
6 4,15 (agak suka)
4,15 (tidak suka)
3,55 (agak tidak suka)
3,50 (agak tidak suka)
3,60 (agak tidak suka)
8 3,75 (agak tidak suka)
3,55 (agak suka)
3,05 (agak tidak suka)
3,20 (agak tidak suka)
2,55 (tidak suka)
Berdasarkan hasil analisa sensori roti manis dapat dilihat jika fortifikasi
mikroemulsi FTT DALMS yang semakin tinggi cenderung akan menghasilkan nilai
kesukaan yang semakin menurun. Penilaian roti manis dari segi warna
menghasilkan nilai yang semakin menurun akibat meningkatkan konsentrasi
mikroemulsi yang difortifikasi. Roti dengan konsentrasi mikroemulsi 0%
mendapatkan nilai tertinggi dengan nilai 4,70 atau dapat dikatakan paling disukai
oleh panelis dalam segi warna. Setelah itu, dilanjutkan dengan roti dengan
konsentrasi mikroemulsi 2% yang memperoleh nilai 4,60 atau mendapatkan
peringkat kedua yang paling disukai oleh panelis. Roti dengan konsentrasi
62
mikroemulsi 4% dan 6% memperoleh nilai yang sama yaitu 4,15 dan menduduki
posisi ketiga yang paling disukai panelis. Roti manis yang mendapatkan peringkat
paling akhir adalah roti manis dengan konsentrasi mikroemulsi 8% yaitu mendapat
nilai 3,75 dan dapat dikatakan memiliki warna yang paling tidak disukai oleh panelis.
Parameter kedua yang dianalisa oleh panelis adalah bau pada roti manis.
Berdasarkan Tabel 4.8 dapat disimpulkan bahwa roti yang memiliki bau paling
disukai oleh panelis adalah roti manis dengan konsentrasi mikroemulsi 0% yang
memperoleh nilai 4,55 sedangkan roti manis yang paling tidak disukai oleh panelis
adalah roti manis dengan konsentrasi mikroemulsi 8% yang memperoleh nilai 3,55.
Selanjutnya roti manis dengan konsentrasi mikroemulsi 4% dan 6% memperoleh
nilai yang sama yaitu 4,15. Roti dengan konsentrasi mikroemulsi 2% memperoleh
nilai 3,95 dan mendudukin posisi ketiga. Hal ini disebabkan masih adanya bau
DALMS pada roti yang difortifikasi dengan mikroemulsi FTT DALMS. Peningkatan
konsentrasi mikroemulsi yang difortifikasi menyebabkan meningkatkan bau DALMS
yang dapat tercium oleh para panelis.
Parameter ketiga yang dianalisa sensori secara hedonik adalah keempukan.
Berdasarkan hasil uji oleh panelis untuk keempukan diperoleh hasil jika roti dengan
konsentrasi mikroemulsi 2% menduduki posisi pertama paling disukai panelis
dengan nilai 3,85 sedangkan roti manis dengan konsentrasi mikroemulsi 8%
menduduki posisi terendah atau paling tidak disukai oleh panelis dengan
memperoleh nilai 3,05. Selanjutnya roti manis dengan konsentrasi mikroemulsi 0%,
4%, dan 6% memiliki posisi yang sama dengan memperoleh hasil 3,55.
Parameter keempat yang diuji sensori adalah tekstur. Berdasarkan hasil analisa
dapat dikatakan bahwa roti manis dengan konsentrasi mikroemulsi 0% memperoleh
nilai tertinggi atau memiliki tekstur yang paling disukai oleh panelis dengan
memperoleh nilai 4,05, sedangkan roti manis yang menduduki peringkat terakhir
pada analisa sensori hedonik adalah roti manis dengan konsentrasi mikroemulsi 8%
yang memperoleh hasil 3,20. Roti dengan konsentrasi mikroemulsi 2% memperoleh
nilai 3,80. Selanjutnya roti dengan konsentrasi mikroemulsi 4% dan 6% memperoleh
nilai yang sama yaitu 3,50 dan menduduki posisi ketiga. Hasil analisa hedonik untuk
tekstur ini sesuai dengan uji fisik roti manis untuk tekstur yang menyatakan
peningkatan konsentrasi mikroemulsi DALMS yang difortifikasi pada roti manis akan
menghasilkan roti dengan tekstur yang semakin keras.
63
Parameter terakhir yang diuji dengan metode hedonik adalah rasa roti manis.
Berdasarkan Tabel 4.8 dapat dikatakan bahwa roti dengan konsentrasi mikroemulsi
0% paling disukai oleh panelis dan memperoleh nilai 4,90 sedangkan roti yang
paling tidak disukai oleh panelis adalah roti dengan konsentrasi mikroemulsi 8%
yang menduduki peringkat keempat dengan memperoleh nilai 2,55. Roti dengan
konsentrasi mikroemulsi 4% dan 6% menduduki peringkat yang sama yaitu kedua
dengan memperoleh nilai 3,60. Selanjutnya roti dengan konsentrasi mikroemulsi 2%
memperoleh peringkat ketiga dengan nilai 2,90.
Setelah itu, uji sensori dilanjutkan dengan uji mutu hedonik dengan parameter
yang beragam yaitu warna, bau, bau menyimpang, keempukan, rasa, rasa
menyimpang dan aftertaste. Hasil uji sensoris dalam bentuk Spider Chart dapat
dilihat pada Gambar 4.12
Gambar 4.12 Spider Chart Uji Sensori Mutu Hedonik
Hasil pengamatan rerata skor aroma atau rasa roti manis akibat perlakuan
fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS berkisar antara 2,3 (tidak enak) hingga 4 (enak).
Berdasarkan Gambar 4.8 dapat dilihat bahwa roti manis tanpa fortifikasi mikroemulsi
FTT DALMS memperoleh nilai tertinggi yaitu 4,05 (enak), sedangkan roti dengan
nilai rasa secara organoleptik paling rendah menurut panelis adalah roti dengan
fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS sebanyak 8% yaitu 2,3 (tidak enak). Selanjutnya,
roti dengan fortifikasi mikroemulsi dengan kadar 2%, 4%, dan 6% secara berturut-
turut adalah 2,65 (tidak enak), 3,05 (agak enak), dan 2,85 (tidak enak). Hasil uji
0
1
2
3
4
5warna
bau
bau menyimpang
keempukanrasa
rasa menyimpang
aftertasteF2
F5
F1
F4
F3
64
organoleptik untuk rasa menyimpang berkisar antara 2,45 (kuat) hingga 4,45 (tidak
kuat). Roti dengan nilai rasa menyimpang yang paling kuat adalah roti dengan
konsentrasi mikroemulsi 8% yang menghasilkan nilai sebesar 2,45 (kuat) dan roti
yang mendapat nilai rasa menyimpang paling tidak kuat adalah roti dengan
konsentrasi mikroemulsi 0% yang memperoleh nilai sebesar 4,45 (tidak kuat). Roti
dengan fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS dengan konsentrasi 2%, 4%, dan 6%
memperoleh nilai secara berturut-turut sebesar 3,2 (agak kuat), 3,8 (agak kuat), dan
3,45 (agak kuat).
Analisa ragam menunjukkan bahwa fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS
berpengaruh nyata terhadap rasa roti manis. Hasil analisa ragam pengaruh
konsentrasi mikroemulsi terhadap rasa roti manis dapat dilihat pada Tabel 4.11
Tabel 4.11 Pengaruh Konsentrasi Mikroemulsi Terhadap Rasa
Konsentrasi Mikroemulsi (%) Rasa DMRT 5%
0 4,05 ± 0,39 a (enak)
2 2,65 ± 0,67 bc (tidak enak) 0,48
4 3,05 ± 0,82 b (agak enak) 0,44
6 2,85 ± 0,81 b (tidak enak) 0,46
8 2,30 ± 0,73 c (tidak enak) 0,49
Keterangan: Nilai tersebut merupakan nilai rata-rata dari 20 panelis
Berdasarkan Tabel 4.11 dapat dilihat bahwa roti dengan konsentrasi mikroemulsi
0% berbeda nyata rasanya dengan roti dengan konsentrasi mikroemulsi 2%,4%,6%
dan 8%. Roti dengan konsentrasi mikroemulsi 2% berbeda nyata dengan roti
dengan konsentrasi mikroemulsi 0%, tetapi tidak berbeda nyata dengan roti yang
memiliki konsentrasi mikroemulsi 4%,6% dan 8%. Roti dengan konsentrasi
mikroemulsi 8% berbeda nyata dengan roti yang memiliki konsentrasi mikroemulsi
0%, 4%, dan 6%, tetapi tidak berbeda nyata dengan roti yang memiliki konsentrasi
mikroemulsi 2%. Selanjutnya analisa ragam menujukkan pengaruh fortifikasi
mikroemulsi FTT DALMS berbeda nyata terhadap rasa menyimpang pada roti
manis. Hasil analisa ragam dapat dilihat pada Tabel 4.12
65
Tabel 4.12 Pengaruh Konsentrasi Mikroemulsi Terhadap Rasa Menyimpang
Konsentrasi Mikroemulsi (%) Rasa Menyimpang DMRT 5%
0 4,45 ± 0,60 a (tidak kuat)
2 3,20 ± 1,10 b (agak kuat) 0,65
4 3,80 ± 0,95 b (agak kuat) 0,60
6 3,45 ± 0,99 b (agak kuat) 0,63
8 2,45 ± 1,05 c (kuat) 0,67
Keterangan: Nilai tersebut merupakan nilai rata-rata dari 20 panelis
Berdasarkan Tabel 4.12 dapat dilihat bahwa rasa menyimpang pada roti dengan
konsentrasi mikroemulsi 0% dirasa tidak kuat dan berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya. Rasa menyimpang roti dengan konsentrasi mikroemulsi 2% dirasa oleh
panelis agak kuat dan berbeda nyata dengan roti yang memiliki konsentrasi
mikroemulsi 0% yang tidak kuat dan 8% kuat, tetapi tidak berbeda nyata dengan roti
yang memiliki konsentrasi mikroemulsi 4% dan 6%. Rasa menyimpang roti dengan
konsentrasi mikroemulsi 8% dirasa kuat dan berbeda nyata dengan roti pada
perlakuan lainnya.
After taste merupakan sensasi rasa yang tertinggal setelah produk dimakan.
Indera yang berperan disini adalah indera pengecap dan indera pembau. Hasil uji
organoleptik untuk after taste pada roti memperoleh nilai dengan kisaran 3,2 (kuat)
hingga 4,8 (agak kuat). Roti yang memperoleh nilai after taste yang paling kuat
adalah roti dengan fortifikasi konsentrasi FTT DALMS sebesar 8% dengan nilai 3,2
(kuat), dan roti dengan nilai after taste paling tidak kuat adalah roti perlakuan F1
atau roti tanpa fortifikasi dengan nilai 4,8 (agak kuat). Nilai after taste roti dengan
fortifikasi mikroemulsi konsentrasi 2%, 4%, dan 6% secara berturut-turut adalah 3,85
(kuat), 4 (agak kuat), dan 3,9 (kuat). Hasil analisis ragam pengaruh fortifikasi
mikroemulsi FTT DALMS berbeda nyata terhadap after taste pada roti. Hasil analisa
ragam dapat dilihat pada Tabel 4.13
66
Tabel 4.13 Pengaruh Konsentrasi Mikroemulsi Terhadap After Taste
Konsentrasi Mikroemulsi (%) After Taste DMRT 5%
0 4,80 ± 0,41 a (agak kuat)
2 3,85 ± 1,18 b (kuat) 0,67
4 4,00 ± 1,02 b (agak kuat) 0,62
6 3,90 ± 1,02 b (kuat) 0,65
8 3,20 ± 1,10 c (kuat) 0,69
Keterangan: Nilai tersebut merupakan nilai rata-rata dari 20 panelis
Berdasarkan Tabel 4.12 dapat dilihat bahwa roti dengan konsentrasi mikroemulsi
0% berbeda nyata dalam segi after taste dengan roti perlakuan lainnya. Roti dengan
konsentrasi mikroemulsi 2% berbeda nyata dengan roti yang memiliki konsentrasi
mikroemulsi 0% dan 8%, tetapi tidak berbeda nyata dengan roti yang memiliki
konsentrasi mikroemulsi 4% dan 6%. Roti dengan konsentrasi mikroemulsi tertinggi
yaitu 8% berbeda nyata dengan roti perlakuan lainnya.
Hasil uji organoleptik untuk bau menurut panelis berkisar antara 3,3 (agak bau)
hingga 2,6 (bau) roti manis tanpa fortifikasi (0%) memiliki tingkat bau sebesar 3,3
(agak bau) yang merupakan roti dengan nilai bau yang terbaik dan roti dengan
fortifikasi kadar 8% memiliki nilai bau yang paling buruk dengan nilai sebesar 2,6
(bau). Nilai hasil organoleptik bau untuk konsentrasi mikroemulsi sebesar 2%, 4%,
dan 6% secara berturut-turut adalah 3,05 (agak bau), 3,2 (agak bau), dan 3,1 (agak
bau). Untuk hasil bau menyimpang pada roti manis dengan fortifikasi mikroemulsi
FTT DALMS berkisar antara 4,25 (tidak kuat) hingga 2,86 (kuat). Roti dengan nilai
bau menyimpang terbaik adalah roti manis dengan konsentrasi mikroemulsi 0%
dengan nilai 4,25 (tidak kuat) dan roti dengan nilai bau menyimpang terburuk adalah
roti manis dengan konsentrasi mikroemulsi 8% yaitu 2,85 (kuat). Roti dengan
perlakuan fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS dengan konsentrasi 2%, 4%, dan 6%
secara berturut-turut adalah 3,45 (agak kuat), 3,65 (agak kuat), 3,35 (agak kuat).
Proses saponifikasi menghasilkan FTT yang terdiri dari aldehid dan keton,
karotenoid, sterol, hidrokarbon, tokoferol dan tokotrienol. Keberadaan aldehid pada
FTT yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan mikroemulsi merupakan
penyebab bau pada roti (Rizqiyah, 2015). Hasil analisa ragam pengaruh fortifikasi
67
mikroemulsi FTT DALMS tidak berbeda nyata terhadap bau pada roti manis. Namun
analisa ragam pengaruh fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS berpengaruh nyata
terhadap bau menyimpang pada roti. Hasil analisa ragam dapat dilihat pada Tabel
4.14
Tabel 4.14 Pengaruh Konsentrasi Mikroemulsi Terhadap Bau Menyimpang
Konsentrasi Mikroemulsi (%) Bau Menyimpang DMRT 5%
0 4,25 ± 1,21 a (tidak kuat)
2 3,45 ± 0,94 bc (agak kuat) 0,77
4 3,65 ± 1,26 ab (agak kuat) 0,73
6 3,35 ± 1,22 bc (agak kuat) 0,79
8 2,85 ± 1,14 c (kuat) 0,81
Keterangan: Nilai tersebut merupakan nilai rata-rata dari 20 panelis
Berdasarkan analisa ragam pada Tabel 4.14 dapat dilihat bahwa bau
menyimpang roti manis dengan konsentrasi mikroemulsi 0% berbeda nyata dengan
roti yang memiliki konsentrasi mikroemulsi 2%, 6%, dan 8%, tetapi tidak berbeda
nyata dengan roti yang memiliki konsentrasi mikroemulsi 4%. Roti dengan
konsentrasi mikroemulsi 2% berbeda nyata dengan roti yang memiliki konsentrasi
mikroemulsi 0%, tetapi tidak berbeda nyata dengan roti lainnya. Roti dengan
konsentrasi mikroemulsi 8% memiliki bau menyimpang yang berbeda nyata dengan
roti yang mengandung mikroemulsi dengan konsentrasi 0% dan 4%, tetapi tidak
berbeda nyata dengan roti yang memiliki konsentrasi mikroemulsi 2% dan 6%. Hal
ini disebabkan masih adanya bau dari DALMS pada roti manis, sehingga dengan
konsentrasi yang tinggi bau dari DALMS akan tercium lebih menyengat pada
panelis.
Warna merupakan salah satu parameter penting dalam penilaian pemilihan
konsumen. Warna pada roti yang baik adalah kuning keemasan. Hasil pengamatan
organoleptik untuk warna roti manis yang memperoleh nilai terbaik adalah roti
dengan konsentrasi mikroemulsi 2% dengan nilai 4,05 (kuning), dan roti dengan nilai
terburuk dari segi warna adalah roti dengan konsentrasi mikroemulsi 8% yaitu 3,35
(agak kuning). Roti dengan fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS dengan konsentrasi
68
0%, 4%, dan 6% berturut-turut adalah 3,96 (agak kuning), 3,45 (agak kuning), dan
3,75 (agak kuning). Hasil analisis ragam pengaruh fortifikasi mikroemulsi FTT
DALMS berbeda nyata terhadap warna pada roti manis. Hasil analisa ragam dapat
dilihat pada Tabel 4.15
Tabel 4.15 Pengaruh Konsentrasi Mikroemulsi Terhadap Warna
Konsentrasi Mikroemulsi (%) Warna DMRT 5%
0 3,95 ± 0,68 ab (agak kuning) 0,48
2 4,05 ± 0,68 a (tidak kuning)
4 3,45 ± 0,82 bc (agak kuning) 0,53
6 3,75 ± 0,55 abc (agak kuning) 0,51
8 3,35 ± 1,03 c (agak kuning) 0,54
Keterangan: Nilai tersebut merupakan nilai rata-rata dari 20 panelis
Berdasarkan analisa ragam pada Tabel 4.15 dapat dilihat bahwa warna roti
manis dengan konsentrasi mikroemulsi 0% berbeda nyata dengan roti yang memiliki
konsentrasi mikroemulsi 8%, tetapi tidak berbeda nyata dengan roti yang memiliki
konsentrasi mikroemulsi 2%, 4%, 6%. Roti dengan konsentrasi mikroemulsi 2%
berbeda nyata dengan roti yang memiliki konsentrasi mikroemulsi 4%, dan 8%,
tetapi tidak berbeda nyata dengan roti lainnya. Roti dengan konsentrasi mikroemulsi
8% memiliki warna yang berbeda nyata dengan roti yang mengandung mikroemulsi
dengan konsentrasi 0% dan 2%, tetapi tidak berbeda nyata dengan roti yang
memiliki konsentrasi mikroemulsi 4% dan 6%. Penggunaan mikroemulsi
menyebabkan roti cenderung berwarna agak kuning. Warna tersebut diperoleh dari
mikroemulsi FTT DALMS yang secara visual juga memiliki warna kuning. Menurut
Rizqiyah (2015) warna merupakan salah satu atribut penampakan atau pengamatan
visual yang melekat pada suatu produk. Warna produk mikroemulsi yang dianalisa
secara visual berkisar antara kuning terang hingga kuning agak gelap.
Salah satu parameter organoleptik yang penting pada roti adalah tekstur, dalam
hal ini yang diuji adalah keempukan roti manis. Hasil uji keempukan roti manis
dengan fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS berkisar antara 2,45 (tidak empuk)
hingga 3,55 (agak empuk). Roti dengan nilai keempukan paling tinggi (paling empuk)
didapat oleh roti dengan fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS dengan konsentrasi 6%
69
dengan nilai 3,55 (agak empuk) dan roti dengan nilai keempukan terendah (paling
tidak empuk) adalah roti fortifikasi mikroemulsi dengan konsentrasi 8% (F5) dengan
nilai 2,45 (tidak empuk). Roti yang difortifikasi dengan mikroemulsi FTT DALMS
konsentrasi 0%, 2%, 4% secara berturut-turut memperoleh nilai 3,4 (agak empuk),
3,45 (agak empuk), 3 (agak empuk). Menurut Sanful (2011) tekstur merupakan
parameter mutu roti yang dapat ditentukan dengan cara disentuh, dengan skala
kasar, halus atau keras dan empuk. Analisa ragam menunjukkan pengaruh fortifikasi
mikroemulsi FTT DALMS tidak berbeda nyata terhadap keempukan roti manis. Tidak
berbeda nyata pada keempukan roti manis terjadi karena proporsi tepung terigu dan
ragi yang digunakan pada semua perlakuan memiliki jumlah yang sama. Hal ini juga
sesuai dengan uji fisik untuk tekstur yang dilakukan pada penelitian ini yang
memperoleh hasil bahwa konsentrasi mikroemulsi yang digunakan pada roti manis
tidak berbeda nyata terhadap tekstur roti manis.
4.4.6 Perlakuan Terbaik
Pemilihan perlakuan terbaik pengaruh fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS
terhadap mutu roti manis dihitung dengan metode Multiple Atribute (Zeleny, 1982)
dengan asumsi semua parameter sama. Perlakuan terbaik dipilih berdasarkan
tingkat kerapatannya. Perlakuan yang memiliki jarak kerapatan terkecil dinyatakan
sebagai perlakuan terbaik.
Hasil perhitungan analisa perlakuan terbaik menunjukkan bahwa fortifikasi
mikroemulsi FTT DALMS dengan konsentrasi 2% menghasilkan karakteristik roti
manis yang terbaik. Dengan nilai terbaik untuk masing-masing perlakuan dapat
dilihat pada Tabel 4.16. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 25
Tabel 4.16 Perlakuan Terbaik
Konsentrasi Mikroemulsi (%) Nilai Terbaik
0 0,1097* 2 0,3464** 4 0,3768 6 0,4167 8 0,6661
Keterangan: * Kontrol
** Perlakuan terbaik
70
Berdasarkan Tabel 4.16 diketahui bahwa roti manis perlakuan terbaik diperoleh
oleh roti manis perlakuan fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS dengan konsentrasi
2%. Perhitungan terbaik merupakan hasil penggabungan nilai berdasarkan sifat fisik
dan organoleptik. Roti manis perlakuan terbaik selanjutnya dianalisa sifat kimia dan
senyawa bioaktifnya. Hasil perlakuan menunjukkan bahwa roti manis dengan
konsentrasi mikroemulsi 2% memiliki keunggulan dibandingkan dengan roti manis
dengan konsentrasi mikroemulsi diatas 2% berdasarkan parameter fisik dan
organoleptik. Secara fisik roti manis 2% memiliki tekstur yang lebih empuk, daya
kembang yang lebih besar, densitas kamba lebih kecil, serta warna yang lebih baik.
Selain itu, secara organoleptik lebih disukai karena memiliki rasa, penampakan,
keempukan dan dan aroma yang lebih baik dibandingkan konsentrasi mikroemulsi
sebesar 4%, 6% dan 8%.
4.4.7 Karakteristik Kimia Roti Manis Perlakuan Terbaik
Analisa kimia dilakukan terhadap roti manis yang menjadi perlakuan terbaik yaitu
roti dengan perlakuan kedua (konsentrasi fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS
sebanyak 2%). Analisa kimia yang dilakukan mencakup analisa kadar air, kadar abu,
kadar lemak, kadar protein, kadar serat, dan karbohidrat menggunakan by different.
Hasil analisa kimia dari roti manis dapat dilihat pada Tabel 4.17
Tabel 4.17 Hasil Analisa Kimia Roti Manis
Kriteria Uji Hasil Analisa SNI (%) Literatur
Kadar (%) Kadar (%) Kadar (%)
Air 24,46 Maksimal 40 - Abu 1,46 Maksimal 3 -
Lemak 14,74 Maksimal 3 14,90 Protein 9,49 - 6,04 Serat 1,6 - 1
Karbohidrat 48,25 - -
Sumber: SNI 01-3840-1995 Odejedi, dkk (2014)
Berdasarkan Tabel 4.17 dapat dilihat bahwa roti manis dengan fortifikasi
mikroemulsi FTT DALMS sebanyak 2% memiliki kadar air sebesar 24,46%. Hal ini
berhubungan dengan kadar protein roti manis, dimana semakin tinggi kadar protein
71
maka semakin rendah kadar air. Menurut Saloko (1997) komponen protein memiliki
kemampuan menyerap air. Daya serap air pada komponen protein berkaitan dengan
kemampuan gugus polar seperti amina dan karboksil dalam berinteraksi atau
mengikat molekul air terutama pada bagian polar asam amino. Menurut SNI No. 01-
3840-1995, kadar air pada roti manis maksimal 40% b/b. Roti manis dengan
fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS menghasilkan kadar air yang sesuai dengan
ketentuan SNI. Menurut Cauvin dan Young (2000) Secara kimia, air merupakan
bahan paling sederhana yang digunakan pada roti, tetapi air memiliki peran yang
sangat penting dalam pemanggangan, yaitu kualitas produk akhir dan umur simpan
produk. Jumlah air yang digunakan dalam resep produk roti harus optimal untuk
menghasilkan sifat penanganan yang baik pada produk setengah jadi (adonan) dan
karakteristik produk akhir.
Hasil uji kadar abu pada roti manis dengan fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS
adalah sebesar 1,46%. Nilai ini masih sesuai dengan ketentuan SNI No. 01-3840-
1995 yang menyatakan kadar abu pada roti maksimal adalah 3% b/b. Kadar abu
yang tinggi akan menghasilkan produk dengan kualitas yang buruk. Roti manis
dengan kadar abu yang tinggi akan menyebabkan warna daging produk yang gelap,
tingkat kestabilan adonan pada waktu pengadukan dan fermentasi berkurang (Lubis,
2008). Menurut Suprapti (2002) Jumlah kadar abu menunjukkan jumlah mineral
yang terkandung dalam bahan.
Minyak dan lemak terdapat berlimpah di alam dan telah ditambahkan untuk
memodifikasi rasa dari produk pemanggangan sejak jaman pra-sejarah. Hasil uji
kadar lemak roti manis dengan fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS adalah sebesar
14,74%. Nilai ini lebih tinggi dari SNI No. 01-3840-1995 yang menyatakan kadar
lemak pada roti maksimal 3%. Hal ini terjadi karena roti dilakukan fortifikasi
mikroemulsi fraksi tidak tersabunkan dari DALMS yang mengandung fraksi minyak
yang menyebabkan kadar lemak terhitung lebih tinggi. Bila dibandingkan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Odejedi dkk (2014) kadar lemak pada roti adalah
14,90%, dimana nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan kadar lemak roti manis
yang difortifikasi mikroemulsi FTT DALMS sebanyak 2%. Peningkatan kadar lemak
pada roti memberikan efek peningkatan retensi gas pada adonan (Stanley dkk,
2006).
72
Hasil pengamatan kadar protein roti manis akibat perlakuan fortifikasi
mikroemulsi fraksi tidak tersabunkan DALMS adalah sebesar 9,49%. Bila
dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Odejedi dkk (2014) yang
menyatakan kadar protein roti manis sebesar 6,04% dapat dikatakan jika kadar
protein roti fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS lebih tinggi. Menurut Lopez dkk
(2001) roti yang baik seharusnya memiliki glikemik index yang rendah, dapat
menjadi sumber protein dan mengandung serat pangan, vitamin, magnesium, serta
antioksidan.
Kadar serat pada roti fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS adalah sebesar 1,6%.
Dibandingkan dengan hasil penelitian Odejedi dkk (2014) menyatakan bahwa kadar
serat pada roti adalah 1%. Nilai ini sedikit lebih rendah dibandingkan dengan kadar
serat pada roti yang difortifikasi mikroemulsi FTT DALMS. Kadar serat yang terdapat
pada roti berasal dari tepung terigu yang digunakan selama proses pembuatan.
Kadar serat dapat beragam tergantung dari tepung yang digunakan (putih, coklat,
ataupun gandum utuh) (Stanley dkk, 2006).
Kandungan karbohidrat pada roti manis ini dianalisa menggunakan by different,
yaitu perhitungan kadar karbohidrat dengan cara pengurangan terhadap kadar air,
abu, protein, lemak, dan serat kasar. Menurut Winarno (2002) karbohidrat memiliki
peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan seperti rasa,
warna dan tekstur. Hasil analisa karbohidrat pada roti manis yang difortifikasi
mikroemulsi FTT DALMS adalah sebesar 48,25%. Kadar tersebut didapat dari
perhitungan dibawah ini.
Kadar karbohidrat = 100% - (24,46 + 1,46 + 14,74 + 9,49 + 1,6)%
= 48,25%
Kalori merupakan satuan ukur yang menyatakan nilai energi. Kalori berkaitan
dengan konsumsi energi yang kita peroleh dari makanan atau minuman. Kalori juga
dapat berarti penggunaan energi pada aktivitas kerja (Ashtami, 2015). Nilai kalori
dihitung dari komposisi karbohidrat, lemak, dan protein pada bahan. Lemak
menghasilkan kalori yang tinggi karena lemak menyumbangkan 9 kkal/g, karbohidrat
dan protein menyumbangkan jumlah kalori yang sama yaitu 4 kkal/g. Roti manis
yang berada dipasaran memiliki kandungan kalori sebesar 240kkal. Angka ini lebih
rendah bila dibandingkan dengan roti manis perlakuan terbaik yang dilakukan
73
fortifikasi menggunakan mikroemulsi FTT DALMS yaitu sebesar 364 kkal. Kalori dari
roti yang difortifikasi mikroemulsi FTT DALMS lebih tinggi daripada roti manis
komersial karena tingginya kadar lemak yang terdapat pada roti manis dengan
fortifikasi mikroemulsi FTT DALMS perlakuan terbaik. Menurut Susanto dan
Widyaningsih (2004) kebutuhan energi laki-laki dewasa berkisar antara 2.380 hingga
3.200 kkal dan wanita dewasa berkisar antara 1.800 hingga 2.600 kkal. Berdasarkan
kebutuhan energi laki-laki dewasa, roti manis dengan fortifikasi mikroemulsi 2%
dapat memenuhi kebutuhan energi kurang lebih sekitar 12,13% dan untuk wanita
dewasa dapat memenuhi kebutuhan energi kurang lebih sekitar 16,54%.
4.4.8 Senyawa Bioaktif Roti Manis Perlakuan Terbaik
Roti manis yang dibuat pada penelitian ini difortifikasi dengan mikroemulsi fraksi
tidak tersabunkan dari destilat asam lemak minyak sawit. Mikroemulsi yang
digunakan pada dasarnya mengandung senyawa bioaktif multikomponen seperti
tokoferol, tokotrienol, fitostrerol dan skualen. Oleh karena itu, diduga roti manis juga
mengandung senyawa bioaktif multikomponen. Kadar senyawa bioaktif dalam roti
tersebut dapat dilihat dalam Tabel 4.18
Tabel 4.18 Senyawa Bioaktif Roti Manis
Senyawa Bioaktif Roti Manis (mg/100g)
Kadar Vitamin E 0,113 α-tokoferol t.d.
α-tokotrienol 0,0755 δ-tokotrienol 0,0379 γ-tokotrienol t.d
Total Tokotrienol 0,113 Total Fitosterol 3,930
β-sitosterol 0,370 Stigmasterol 2,40 Kampesterol 1,160
Skualen 2,262
Keterangan: t.d: tidak terdeteksi
Berdasarkan Tabel 4.18 dapat dilihat kandungan senyawa bioaktif pada roti
manis terdiri dari α-tokotrienol, δ-tokotrienol, fitosterol dan skualen. Hasil analisa
vitamin E memperoleh jumlah vitamin E sebesar 0,113 mg/100g. Jumlah ini
74
merupakan hasil dari α-tokotrienol sebesar 0,0755 mg/100g dan δ-tokotrienol
sebesar 0,0379 mg/100g. Namun, α-tokoferol dan γ-tokotrienol tidak terdeteksi.
Kandungan tokoferol dalam minyak sawit memang lebih rendah dibandingan
tokotrienol pada minyak sawit. Rendahnya kada vitamin E pada roti juga disebabkan
jumlah FTT yang digunakan selama pembuatan mikroemulsi sangat sedikit yaitu 2%.
Kadar vitamin E pada roti manis juga jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan
kadar vitamin E yang terdapat pada mikroemulsi. Proses pemanggangan dengan
menggunakan suhu 200°C diduga memberikan efek penurunan kadar vitamin E
yang terkandung pada roti manis. Menurut Almatsier (2003) Vitamin E mudah rusak
pada proses pemanasan dan oksidasi. Vitamin E juga tidak tahan pada asam, sinar
UV, minyak tengik, timah dan besi.
Total fitosterol yang terkandung dalam roti yang difortifikasi mikroemulsi FTT
DALMS adalah sebesar 0,113 mg/100g. Nilai tersebut merupakan jumlah dari
kandungan β-sitosterol sebesar 0,370 mg/100g, Stigmasterol sebesar 2,40 mg/100g,
dan kampesterol sebesar 1,160 mg/100g. Fitosterol relatif stabil terhadap
pemanasan dan cahaya dengan intensitas rendah. Turunnya total fitosterol diduga
karena tingginya suhu yang digunakan pada proses pemanggangan roti serta
penambahan FTT yang sangat sedikit pada fortifikasi roti manis ini. Fitosterol
berperan dalam fungsi sistem imun. Peneliti telah dapat membuktikan aktivitas
langsung bahwa fitosterol memiliki mekanisme melawan sel kanker. Fitosterol juga
telah digunakan sebagai terapi pendukung dalam kondisi kronis dimana respon
peradangan berperan besar dalam kondisi kardiovaskular dan kanker. selain itu
telah dilaporkan bahwa perempuan yang didiagnosa memiliki kanker payudara atau
endometrial memiliki asupan fitosterol lebih rendah dibandingkan perempuan yang
tidak memiliki kanker (Rafia, 2013).
Kadar skualen yang terkandung dalam roti manis adalah 2,262 mg/100g.
rendahnya kadar skulalen pada roti diduga karena tingginya suhu yang digunakan
selama proses pembuatan roti. Skualen dikenal baik memiliki kemampuan
antioksidan, bersama dengan kemampuannya melindungi kulit, memperbaiki sistem
imun, dan mengatur profil lemak, member protensial yang tinggi untuk substansi
alami ini, yang mana tersebar di struktur tubuh, terutama di jaringan epitel, dan di
kulit (Ronco dan Stefanie, 2013).
75
V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Mikroemulsi FTT DALMS difortifikasi pada roti manis dengan perlakuan
konsentrasi yang berbeda-beda yaitu 0%, 2%, 4%, 6%, dan 8% yang menghasilkan
roti manis perlakuan terbaik yaitu roti manis dengan konsentrasi mikroemulsi
sebanyak 2%. Roti manis perlakuan terbaik memiliki rata-rata nilai kecerahan crust
53,03, kecerahan crumb sebesar 72,43, nilai rata-rata kekuningan crust 20,43,
kekuningan crumb sebesar 25,31, tekstur roti 12,12 N, daya kembang sebesar
422,22%, densitas kamba sebesar 27,66. Roti manis secara sensoris memperoleh
nilai kesukaan untuk warna sebesar 4,60, bau 3,95, keempukan 3,85, tektur 3,80
dan rasa 2,90. Uji organoleptik mutu hedonik memperoleh hasil warna dengan nilai
4,05, bau 3,05, bau menyimpang 3,45, keempukan 3,45, rasa 2,65, rasa
menyimpang 3,2 dan aftertaste 3,85. Roti manis juga diuji secara kimia dan
mengandung kadar air sebesar 29%, kadar abu 1,46%, lemak sebesar 14,74%,
protein sebesar 9,49%, serat sebesar 1,6% dan karbohidrat sebesar 48,25%. Roti
manis juga mengandung senyawa bioaktif yang terdiri dari vitamin E sebesar 0,113
mg/100g, fitosterol sebesar 3,930 mg/100g dan skualen dengan kadar 2,262
mg/100g.
5.2 Saran
a) Perlu dilakukan penelitian mengenai metode untuk meminimalisasi bau dan
rasa yang menyimpang pada roti manis yang difortifikasi mikroemulsi FTT
DALMS
b) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektifitas roti manis yang
difortifikasi dengan mikroemulsi FTT dari DALMS terhadap kesehatan tubuh
manusia
76
DAFTAR PUSTAKA
Ade, B. I. O., Akinwande, B.A, Bolarinwa, I.F, Adebiyi. A.O . 2009. Evaluation of
Tigernut ( Cyperus esculentus )-Wheat Composite Flour and Bread. African Journal of Food Science. (2):087-091.
Adyas, C.R. 2015. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Industri Roti dan Kue untuk
Memiliki Sertifikat Halal. www.republika.co.id. Diakses 10 mei 2015 Ahmadi, K. G. S.1997. Aktivasi Zeolit Alam dan Penggunaannya untuk
Pemurnian Tokoferol dari Distilat Asam Lemak Minyak Sawit. Thesis. Program Pascasarjana. UGM. Yogyakarta.
Ahmadi, K.G.S dan Teti Estiasih. 2011. Optimasi Kondisi Kristalisasi pada
Pembuatan Fraksi Kaya Tokotrienol dari Distilat Asam Lemak Minyak Sawit. Agritech, Vol. 31, No. 3.
Aidos, I, Schelvus,S, Veldnan, M.B, Luten, A.V.D, Padt, R.M. 2003. Chemical and
sensory evaluation of crude oil extracted from Herring by-products from different processing operations.
Akhtar, F dan Berstrom,L. 2011. Colloidal Processing and Thermal Treatment of
Binderless Hierarchically Porous Zeolite 13x Monoliths for CO2. Journal of the American Ceramic Society 94 : 199-205.
Al-Darmaki. N.I.K. 2012. Extraction and Enrichment of Minor Lipid Component
of Palm Fatty Acid Distillate Using Supercritical Carbon Dioxide. Thesis of Chemical Engineering of The University of Birmingham. Birmingham.
Allen, L, Benoist, B.D, Dary, O, Hurrel, L. 2006. Guidelines on Food Fortification
with micronutrients. Switzerland. World Health Organization and Agriculture Organization of The United Nations.
Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Anderson JW, Allgood LD, Lawrence A. 2000. Cholesterol-Lowering Effects of
Psyllium Intake Adjunctive to Diet Therapy in Men and Women with Hypercholesterolemia: Meta-Analysis of 8 Controlled Trials. Am J Clin Nutr.b; 71:472-479.
Anjali C, Madhusmita D, N Chandrasekaran, Amitava M. 2010. Anti Bacterial
Activity of Sunflower Oil Microemulsion. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Science 2 suppl 1.
AOAC. 1990. Official Method of Analysis. Association of Official Analysis
Chemistry. Washington D. C.
77
Ashtami, N. 2015. Karakteristik Kimia, Fisik, Organoleptik, dan Nilai Gizi Protein Mi Instan Tersubstitusi Tepung Belalang Kayu (Melanoplus cinereus). Skripsi: Universitas Brawijaya
Astawan, M. 2006. Membuat Mie dan Bihun. Penebar Swadaya. Jakarta. Awad, A. and Fink, C. 2000. Phytosterols as Anticancer Dietary Components:
Evidence and Mechanism of Action. Journal of Nutrition. Ayustaningwarno, F. 2012. Proses Pengolahan dan Aplikasi Minyak Sawit Merah
pada Industri Pangan. Jurnal Teknologi Pangan dan Gizi 2, 1-11. Bahalwan, F. 2014. 35 Model Roti yang Mudah dan Cantik. Kompas Gramedia.
Jakarta. Basiron Y. 2005. Palm Oil. In: Shahidi F (editor). Bailey’s Industrial Oil and Fat
Products: Ed ke-6 Volume ke-2 Edibel Oil and Fat Products: Edibel Oil. Hoboken. John Wiley & Sons, Inc.
Berger, A, P.J.H. Jones dan S.S Abumweis. 2004. Plant Sterol: Factors Affecting
Their Efficiency and Safety as Functional Food Ingidient. Lipid Health Dis. 3:1-54.
Bhilwade, H.N. 2011. Squalene as Novel Food Factor. Current Pharmaceutical
Biotechnology. 11(8) : 875-880. Bonnie Tay Yen Ping and Mohtar Yusof. 2009. Characteristic and Properties Of
Fatty Acid Distillates from Palm Oil. Oil Palm Bulletin 59 p. 5-11. Buckle, K.A, R.A. Edwards, G.H. Fleet dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan.
Penerjemah H. Purnomo dan Adiono. UI Press. Jakarta. Cauvin,S.P dan Young, L.S. 2000. Bakery Food Manufacture and Quality: Water
Control and Effects. Blackwell Science. Oxford. Clifton, P. 2002. Plant Sterol and Stanol Comparison and Contrasts. Sterol
Versus Stanols in Cholesterol-Lowering: Is There a Different?. Atherosclerosis 3: 5-9.
Clifton, V.L, Hodyl, N.A, Fogarty, P.A, Torpy, D.J, Roberts, R, Nettelbeck, T, Ma, G,
Hetzel, B. 2013. The Impact of Iodine Supplementation and Bread Fortification on Urinary Iodine Concentration in a Midly Iodine Deficient Population of Pregnant Women in South Australia. Nutrition Journal 12:32
Codex Alimentarius Commission. 1994. Food Special Dietary Use (Including
Foods for Infant and Children. Rome.
78
Desrosier. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerjemah M. Muljahardjo. UI Press. Jakarta.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2014. Pertumbuhan Areal Kelapa Sawit
Meningkat. http://www.ditjenbun.pertanian.go.id. Diakses 16 maret 2015. Dunford, N.T dan J.W. King. 2000. Phytosterol Enrichment of Rice Bran Oil by a
Supercritical Carbon Dioxide Fractionation Technique. Journal of Food Science 68(8): 1395-1399.
Estiasih, T; Ahmadi, Kgs; Nisa, F.C. 2008. Karakteristik Mikrokapsul Minyak Kaya
Asam Lemak omega-3 dari Hasil Samping Penepungan Lemuru. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan vol xix no 2.
Estiasih, T, Kgs A, Tri D, Jaya M, Ahmad Z, Elok Z, Jhauharotul M, Risma P. 2013.
Bioactive Compounds of Palm Fatty Acid Distillate (PFAD) from Several Palm Oil Revenery. Advance Journal of Food Science and Technology 5(9) : 1153-1159.
Ethiopian Standards Agency. 2012. Animal and Vegetables Fats and Oil-
Determination of Unsaponifiable Matter- Method Using Hexane Extraction. Ethiopian Standards Agency.
Fauzi, Y, Yustina E.W, Iman S, Rudi H. 2005. Kelapa Sawit: Budidaya,
pemanfaatan Hasil dan Limbah, Analisis Usaha dan Pemasaran. Penebar Swadaya. Jakarta.
Fidyasari, A. 2014. Efek Laktogenik Fraksi Tidak Tersabunkan (FTT) Distilat
Asam Lemak Minyak Sawit (DALMS). Tesis. Universitas Brawijaya. Malang.
Gilbert, R, M.D. Thompson dan S.M. Gundy. 2005. History and Development of
Plant Sterol and Stanol Esters For Cholesterol-Lowering Purposes. J. Cardiol. 96: 3D-9D.
Gunes, F.E. 2013. Medical Use of Squalene as a Natural Antioxidant. Journal of
Marmara University Institute of Health Sciences Volume: 3, Number: 4. Habib Salam M., Ayed S. Amr, Imad M. Hamadneh. 2012. Nanoencapsulation of
Alpha-Linolenic Acid with Modified Emulsion Diffusion Method. J Am Oil Chem Soc 89: 695-703.
Hadiyanto, Y. 2010. Peran Lemak dalam Produk Bakery. IPB Press. Bogor. Halal Guide. 2008. Ragi/Yeast. http://www.halalguide.info.com. Diakses 9 februari
2015. Harusekwi, S.J, Nyamunda, B.C, Mutonhodza, B. 2014. Development of High
Protein Content Homemade Bread by Nutritional Yeast Fortification for
79
Disadventage Community. International Journal of Nutrition and Food Sciences 3(3): 194-198
Hebeda, R.E dan Zobel H.F. 2006. Baked Good Freshness. Marcel Dekker Inc.
New York. Hodgson, A.S. 1995. Refining and Bleaching. Dalam: Hui, Y.H. Bailey’s Industrial
Oil and Fat Products, hal 157-212. Fifth edn. John Wiley&Sons Inc. New York
Huang, Z.R, Lin, Y.K, Fang, J.Y. 2009. Biological and Pharmacological Activities
of Squalene and Related Compound: Potential Uses in Cosmetic Dermatology. Review Molecules 14: 540-554
Imai, H., Maeda, T. and Shima, M. 2008. Oxidation of Methyl Linoleate in Oil-in-
Water Micro and Nanoemulsion Systems. Journal American Oil Chemists’ Society 85:809-815.
Indyah. 2008. Memahami Proses Pengolahan Roti. http://www.foodreview.biz.
Diakses 9 Februari 2015. IUPAC. 1993. Standard Methods for the Analysis of Oils, Fats, and Derivates,
International Union of Pure and Applied Chemistry, Consorsium on Oils, Fats, and Derivates. Backwell Scientificts Publication. Oxford.
Jatmika, A. 1998. Aplikasi Enzim Lipase dalam Pengolahan Minyak Sawit dan
Minyak Inti Sawit Untuk Produk Pangan. Warta Pusat Penelitian Kelapa Sawit 6 (1): 31-37.
Jong, A, J. Plat dan R.P. Mensink. 2003. Metabolic Effects of Plant Sterol and
Stanols. J. Nutr. Biochem. 14: 362-369. Ketaren, S. 2005. Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press. Jakarta. Kim, O. S. 2005. Radical Scavenging Capacity and Antioxidant Activity of the E
Vitamer Fraction in Rice Bran. J. Food Sci. 70(3):208-213. Kritchevsky D, dan S.C. Chen. 2005. Phytostrerols Health Benefits and Potential
Concern: a Review. Nutr. Res. 25:4130428.
Levenspiel, O. 1972. Chemical Reaction Engineering 2nd
Edition. John Wiley & Sons Inc. New York.
Liu, D, J. Shi, L.R Posada, Y. Kakuda, S.J Xue. 2008. Separating Tocotrienol from
Palm Oil by Molecular Distillation. Food Rev. int., 24(4) : 376-391.
80
Loganathan, R., K.R. Selvaduray, A. Radhakrishnan and K. Nesaretnam, 2009. Palm Oil Rich in Health Promoting Phytonutrients. Palm Oil Develop., 50: 16-25.
Lopez, H.W., Adam, A., Leenhardt, F., Scalbert, A., Remesy, C., 2001. Control of
the Nutritional Value of Bread. Industries des Cereales 124, 15e20. Lubis, E. 2008. Yang Anda Perlu Tahu Seputar Roti.
http://titanbaking.multiplay.com. Diakses 12 Mei 2015. Mangoensoekarjo, S. dan Semangun. 2005. Manajemen Agobisnis Kelapa Sawit.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Manley, D. 2000. Technology of Biscuits, Crackers and Cookies. Woodhead
Publishing. Cambridge. Mendez, E., Mayra B., Abilio L., and Ezequiel G. 2003. Isolation and
Characterization of A Mixture of Higher Primary Aliphatic Alcohols of High Molecular Weight from Henequen (Agava furcroydes L.) Wax. Revista CENIC Ciencias Quimicas, Vol. 34, No.1.
Muchtadi, D. 2009. Pengantar Ilmu Gizi. Bandung, CV. Alfabeta.
Mudjajanto, E.S dan Yulianti, L.N. 2004. Membuat Aneka Roti. Penebar Swadaya.
Depok. Mulyadi, J. Tren Konsumsi Roti Sebagai Makanan Pokok Masyarakat Indonesia.
http://www.bataviase.co.id. Diakses 9 februari 2015. Myers, D. 2006. Surfactant Science and Technology. Third Edition. New Jersey:
John Willey and Sons Inc. Naomi, P, Anna M, M. Lumban, M. Yusuf. 2013. Pembuatan Sabun Lunak dari
Minyak Goreng Bekas Ditinjau dari Kinetika Reaksi Kimia. Jurnal Teknik Kimia 2 vol 19.
Nielsen, M. M. and A. Hansen. 2008. Rapid High-Performance Liquid
Chromatography Determination of Tocopherols and Tocotrienols in Cereals. Cereal Chemistry 85(2):248-251.
O’Brien, R.D. 2009. Fats and oils. Formulating and processing for applications,
3rd ed. CRC press . London Odedeji, J.O, Ojo, A, Arogundade, L.A, Oyeleke, G.O. 2014. Proximate
Compotition and Consumers Acceptability of Bread Produce from Blend of Soy-Cheese and Wheat Flour. Journal of Environmental Science, Toxicology and Food technology 8: 41-44
81
Ogawa, S, Eric A. Decker, and D. Julian McClements. 2004. Production and Characterization of O/W Emulsions Containing Droplets Stabilized by Lechitin-Chitosan-Pectin Mutilayered Membranes. Journal Agicultural and Food Chemistry 52; 3595-3600.
Ostlund, R.E. 2002. Annual Review of Nutrition Phytosterols in Human
Nutrition. Pahan, I. 2008. Kelapa Sawit. Penebar Swadaya. Jakarta. Pasaribu, N. 2004. Minyak Buah dan Kelapa Sawit. FMIPA USU Press. Medan. Pateh, U.U, Haruna A.K, Garba M, Illiya I, Sule I.M, Abubakar M.S, Ambi A.A. 2009.
Isolation of Stigmasterol, β-sitosterol and 2-hydroxyhexadecanoid Acid Methyl Ester from Rhizomes of Stylochiton Lancifolius. Journal Pharm.Sci. 8(1): 19-25.
Pichot, R. 2010. Stability and Characterisation of Emulsions in the presence of
Colloidal Particles and Surfactants. Thesis : University of Birmingham. Pomeranz, S. Y. and C. E. Meloand. 1994. Food Analysis, Theory and Practice.
The AVI Publishing Company Inc. Wesport Connecticut. Posada, L. R., Shi, J., Kakuda, Y. and Xue, S. J. 2007. Extraction of Tocotrienols
from Palm Fatty Acid Distillates Using Molecular Distillation. Journal of Separation and Purification Technology 57: 220-229.
Potter, N.N dan J.H. Hotchkiss. 1995. Food Sience 5th Edition. Chapman and Hall.
New York. Prawira. 2010. Reaksi Saponifikasi Pada Proses Pembuatan Sabun. Penebar
Swadaya. Jakarta. Puspitasari, R. 2013. Optimasi Saponifikasi Distilat Asam Lemak Minyak Sawit
(DALMS) pada Separasi Fraksi Tidak Tersabunkan Mengandung Senyawa Bioaktif Multi Komponen. Skripsi. Universitas Brawijaya, Malang.
Rafia, B. 2013. Phytosterols in Human Nutrition. International Journal of Scientific
Research and Reviews : 2(2) 01-10 Rahayu, W.P. 2001. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Jurusan
Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Rizqiyah, L.A. 2015. Mikro dan Nanoemulsifikasi Fraksi Tidak Tersabunkan dari
Distilat Asam Lemak Minyak Sawit yang Mengandung Senyawa Bioaktif Multikomponen. Skripsi: Universitas Brawijaya.
Ronco, A.L, Stefani, E.D. 2013. Squalene: a Multi-Task Link in the Crossroads of
Cancer and Aging. Functional Food in Health and Disease 3(12): 462-467.
82
Rowe, R.C, Sheskey, P.J dan Quinn M.E. 2009. Handbook of Pharmaceutical
Excipient. Lexi-Comp: American Pharmaceutical Association Inc 418-685. Rusono, N., A. Suanri, A. Chandradijaya, A.Muharam, I. Martino, Tejaningsih, P.U.
Hadi, S.H. Susilowati, M.Maulana. 2013. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bidang Pangan dan Pertanian 2015-2019. Direktorat Pangan dan Pertanian. Jakarta.
Saloko, S, Yasa, B, dan Handayani. 1997. Pemanfaatan Produk Biji-Bijian
Potensian Untuk Pembuatan Biskuit Protein Tinggi pada Wilayah Pertumbuhan di Kabupaten Lombok Barat. Prosiding Seminar Teknologi Pangan. Yogyakarta.
Sanful, R.E. 2011. Organoleptic and Nutritional Analysis of Taro and Wheat Flour
Composite Bread. World Journal of Dairy & Food Sciences 6 (2): 175-179. Scott, G. 1997. Antioxidant in Science, Technology, Medicine, and Nutrition.
Albion Publishing. Chicester. Setyo, E.M dan Yulianti, L.N. 2004. Membuat Aneka roti. Penebar Swadaya.
Jakarta. SNI (Standar Nasinal Indonesia). 1992. SNI 01-3840-1995 Tentang Mutu Roti.
Standar Nasional Indonesia. Jakarta. Soupas, L. 2006. Oxidative Stability of Phytosterols in Food Models and Foods.
Dissertation of Agriculture and Forestry of The University of Helsinki. Helsinki.
Spanova, M dan G. Daum. 2011. Squalene-Biochemistry, Molucular Biology,
Process Biotechnology, and Applications. European Journal of Lipid Science and Technology 113(11): 1299-1320.
Stanley,P, Cauvin, dan Young, L.S. 2006. Baked Product: Science, Technology,
and Practice. Blackwell Publishing. United Kingdom Sudarmadji, S., Bambang H., dan Suhardi. 2003. Prosedur Analisis untuk Bahan
Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta. Sufi, S.Y. 1999. Kreasi Roti. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sunaryo, E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. Fateta IPB. Bogor. Susanto, T dan Widyaningsih, T.D. 2004. Dasar-Dasar Ilmu Pangan dan Gizi.
Penerbit Akademika. Yogyakarta. Susanto, T dan Yuwono, S.S. 1998. Pengujian Fisik Pangan, Jurusan Teknologi
Hasil Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.
83
Sutiah, K., Firdausi, S dan Budi, W. S. 2008. Studi Kualitas Minyak Goreng
Dengan Parameter Viskositas Dan Indeks Bias. Berkala Fisika, 11, 53-58.
Syarief, R dan A. Irawati. 1988. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian.
Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. Tadros, T,F. 2009. Emulsion Science and Technology. Weinheim. Wiley-VCH
Verlag GmbH and Co. KGaA. Weinheim Tan, C.P dan Nakajima. 2005. β-Carotene Nanodispersions: Preparation,
Characterization and Stability Evaluation. Food Chem. 92,661-671. Tcholakova, S., Denkov, D., Ivanov, I. dan Campbell, B. 2006. Coalescence
Stability of Emulsions Containing Globular Milk Proteins. Advances in Colloid and Interface Science 259–293.
Wahyudi. 2003. Memproduksi Roti. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Wheat Associatees US. 1983. Pedoman Pembuatan Roti dan Kue. Djambatan.
Jakarta. Wijayanti, Y.R. 2007. Substitusi Tepung Gandum (Triticum aestivum) Dengan
Tepung Garut (Maranta arundinaceae L) Pada Pembuatan Roti Tawar. Skripsi: Universitas Gadjahmada.
Winarno, F.G. 1993. Pangan, Gizi, Teknologi, dan Konsumen. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta. Winarno, F.G. 1997. Kimia Gizi dan Pangan. Gramedia Karya Aksara. Jakarta. Winarno, F. G. 1997. Nutrifikasi Mikronutrien dan Peranan Industri. IPB. Bogor. Whittenton J, Harendra S, Pitchumani R, Mohanty K, Vipulanandan C, Thevananther
S. 2008. Evaluation of Asymmetric Liposomal Nanoparticles for Encapsulation of Polynucleotides. Langmuir. 24: 8533-8540.
Wulyoadi dan Kaseno. 2004. Pemurnian Minyak Goreng Bekas Dengan
Menggunakan Filter Membran. Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Kimia dan Proses 2004. ISSN : 1411-4216. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik. Universitas Diponegoro,Semarang: 1-7.
Zacchi, P. 2006. Extraction/Fractionation and Deacidification of Wheat Germ Oil
Using Supercritical Carbon Dioxide. Brazilian Journal of Chemical Engineering 23: 105-110.
Zeleny, M. 1982. Multiple Criteria Decision Making. Mc Graw Hill Book Company,
Inc. New York.
84
LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur Analisa
1. Analisis kadar asam lemak bebas (Mehlenbacher, 1960)
a. Pengadukan bahan hingga merata dan berada dalam keadaan cair pada
saat diambil.
b. Penimbangan sebanyak 28,2 ± 0,2 g sampel dalam erlenmeyer.
c. Penambahan 50 ml alkohol netral panas dan 2 ml indikator phenolphthalein
(PP) ke dalam erlenmeyer.
d. Titrasi dengan larutan 0,1 N NaOH yang telah distandarisasi sampaiwarna
merah jambu tercapai dan tidak hilang selama 30 detik.
e. Penghitungan kadar asam lemak bebas dengan rumus sebagai berikut.
% asam lemak bebas = ml NaOH x N x BM asam lemak x 100
berat x 1000
2. Analisis bilangan peroksida (metode ferriklorida) (Kim, 2005)
a. Persiapan bahan kimia
- Pembuatan larutan amonium tiosianat dengan cara melarutkan 30
mgamonium tiosianat dalam akuades hingga 100 ml.
- Pembuatan larutan ferro klorida dengan cara melarutkan 0,5 g
BaCl2dalam air deionisasi hingga volume 50 ml kemudian ditambah
ferrosulfat 0,4 g dan diaduk, kemudian ditambah HCl 37% sebanyak 2
ml. Penyaringan barium sulfat yang jernih dengan kertas saring
whatman nomor 1. Penyimpanan filtrat dalam botol gelap dan
pemakaian hanya dalam jangkawaktu 1 minggu.
b. Pembuatan kurva standar Fe
- Pelarutan FeCl3.6H2O sebanyak 0,25 g dalam 25 ml HCl 10 N dan
oksidasi dengan 2 ml H2O2. Penghilangan sisa H2O2
denganmendidihkan larutan.
- Pengenceran larutan menjadi 250 ml dalam HCl 10 N dan digunakan
sebagai stok larutan standar.
85
- Penambahan larutan standar sebanyak 0,5; 1,0; 2,0; 3,0; 4,0; dan 5,0
ml ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan larutan benzena-metanol
70:30 (v/v) sampai volume 10 ml. Penambahan 1 tetes larutan
ammonium tiosianat dan 1 tetes ferroklorida pada larutan.
- Penggojogan larutan dengan vortexselama 5 detik.
- Pembacaan absorbansi pada panjang gelombang 510 nm.
- Pembuatan kurva standar dengan absis absorbansi dan ordinat Fe (μg)
dan pembuatan persamaan regresi liniernya.
c. Persiapan sampel
- Penetesan satu tetes sampel pada tabung reaksi.
- Pelarutan dalam benzena:metanol 70:30 v/v sampai volume 10 ml.
- Penambahan 1 tetes ammonium tiosianat dan 1 tetes ferro klorida.
- Penggojogan dengan vortex selama 5 detik.
- Pemanasan 50°C selama 2 menit.
- Pendinginan pada suhu ruang.
- Pembacaan absorbansi pada panjang gelombang 510 nm.
- Penghitungan banyaknya Fe dalam 10 ml larutan dengan persamaan
regresi linier dari kurva standar.
- Penghitungan bilangan peroksida dalam miliekuivalen/kg minyak
denganpersamaan:
Bilangan peroksida = A x B
C x 55,85
Keterangan:
A = berat Fe per 10 ml (μg)
B = volume larutan awal (ml)
C = berat sampel minyak (g)
3. Analisis bilangan p-anisidin (IUPAC, 1993)
a. Penimbangan sampel seberat 0,5-4,0 g (0,001g)ke dalam labu takar 25 ml,
dilarutkan dan diencerkan sampai tanda tera dengan iso aseton.
b. Pengukuran absorbansi (Ab) larutan lemak tersebut pada panjang
gelombang350 nm dengan spektrofotometer, digunakan sebagai larutan
blanko.
86
c. Pipet secara tepat 5 ml larutan lemak/minyak dalam tabung reaksi dan 5 ml
pelarut pada tabung reaksi kedua. Pipet 1 ml reagen p-anisidin kemasing-
masing tabung dan gojog.
d. Setelah 10 menit ukur absorbansi (As) dari larutan pada tabung
reaksipertama pada 350 nm, gunakan larutan pada tabung reaksi
keduasebagai blanko.
e. Penghitungan bilangan p-anisidin menggunakan formula sebagai berikut.
Bilangan p-anisidin = 25 x (1,2 As - Ab)
m
Keterangan:
As = nilai absorbansi larutan lemak setelah bereaksi dengan reagen p-
anisidin
Ab = nilai absorbansi larutan lemak
m = berat sampel (g)
4. Analisis kadar tokoferol dan tokotrienol (HPLC) (Nielsen dan Hansen, 2008)
a. Penimbangan sampel sejumlah 5 mg.
b. Penambahan 1 ml etanol lalu disaring.
c. Pemasangan kolom sesuai dengan komponen yang akan dianalisis
d. Persiapan eluent (mobile phase) yang akan digunakan dalam botol(eluent
telah disaring dengan kertas saring 0,45 μm).
e. Pemasangan selang inlet dari unit HPLC ke dalam botol eluent
f. Pengaturan flowrate sesuai yang diinginkan dan hilangkan gelembungyang
terikut dalam selang.
g. Conditioning sampai diperoleh garis dasaryang lurus.
h. Penginjeksian sampel (yang sudah disaring dengan filter 0,45 μm).
i. Pendiaman beberapa saat sampai semua komponen yang akandiinginkan
keluar dalam kromatogram.
j. Pembandingan hasil yang didapat dengan standar yang diinjeksikandengan
volume yang sama dengan volume sampel.
5. Analisis kadar fitosterol (HPLC) (Nielsen dan Hansen, 2008)
a. Penimbangan sampel sejumlah 5 mg.
87
b. Penambahan 1 ml etanol lalu disaring.
c. Pemasangan kolom sesuai dengan komponen yang akan dianalisis
d. Persiapan eluent (mobile phase) yang akan digunakan dalam botol (eluent
telah disaring dengan kertas saring 0,45 μm).
e. Pemasangan selang inlet dari unit HPLC ke dalam botol eluent
f. Pengaturan flowrate sesuai yang diinginkan dan hilangkan gelembung yang
terikut dalam selang.
g. Conditioning sampai diperoleh garis dasar yang lurus.
h. Penginjeksian sampel (yang sudah disaring dengan filter 0,45 μm).
i. Pendiaman beberapa saat sampai semua komponen yang akan diinginkan
keluar dalam kromatogram.
j. Pembandingan hasil yang didapat dengan standar yang diinjeksikan dengan
volume yang sama dengan volume sampel.
6. Analisiskadar skualen (GC-MS) (Mendez et al., 2003)
a. Penimbangan sampel sejumlah 0,01 gram.
b. Penambahan 100 μl MSTFA.
c. Pemanasan campuran pada suhu 60°C selama 15 menit dalam shaker
waterbath.
d. Persiapan komponen GC-MS sesuai dengan kondisi yang diinginkan(suhu
detektor dan injektor 320°C, ruang ionisasi 250°C, penghubung40°C/menit,
kecepatan gas pembawa He 1 ml/menit dan energi ionisasisebesar 70 eV).
e. Derivatisasi sampel menggunakan MSTFA dan penginjeksian ke sistem GC-
MS.
f. Pendiaman beberapa saat sampai semua komponen yang diinginkankeluar
dalam kromatogram.
g. Pembandingan hasil yang didapat dengan standar yang diinjeksikan dengan
volume yang sama dengan volume sampel.
7. Analisis rendemen (Sudarmadji et al., 2003)
Analisis rendemen fraksi tidak tersabunkan bertujuan untuk mengetahui
seberapa besar persentase yang dihasilkan.
88
% rendemen = berat akhir x 100%
berat awal
8. Analisis warna (Yuwono dan Susanto, 1998)
a. Persiapan sampel dengan cara memasukkan sampel ke dalam plastik
transparan.
b. Hidupkan color reader.
c. Penentuantarget pembacaan L* a* b* color space atau L* c* h*.
d. Pengukuran warna.
Keterangan:
L untuk parameter kecerahan, a dan b untuk koordinat kromatisitas, c untuk
kroma, dan h untuk sudut hue (warna).
9. Analisis kadar air metode oven (AOAC, 1990)
a. Penimbangan 1-2 g sampel ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya.
b. Pengeringan sampel ke dalam oven bersuhu 105°C selama 3 jam.
c. Pendinginan dalam desikator, kemudian timbang.
d. Pengeringan diulangi hingga tercapai berat konstan.
e. Penghitungan kadar air menggunakan rumus:
% kadar air = (berat awal-berat setelah pengeringan) x 100%
berat awal
10. Analisis kadar protein (AOAC, 1990)
a. Penimbangan sampel 100 mg (50 ml akuades untuk blanko) dalam labu
kjedahl.
b. Penambahan 0,5 tablet kjedahl dan 15 ml H2SO4 pekat, destruksi dalam
lemari asam dengan suhu 200°-250°C selama 45 menit.
c. Penambahan akuades 4 ml dan 50 ml NaOH 40% ke dalam tablet kjedahl.
d. Penampungan destilat ke dalam erlenmeyer yang telah diisi 15 ml asam
borat 4% dan 3 tetes indikator methyl red.
e. Distilasi selama 3,5 menit dengan distilator.
f. Titrasi distilat dengan 0,02 N HCl sampai berubah warna dari hijau menjadi
ungu.
g. Penghitungan kadar protein dengan rumus berikut.
89
% N = (ml HCl t. sampel–ml HCl t. blanko) x 0,02 x 14,008 x 100%
berat sampel
% kadar protein = % N x faktor konversi (6,25)
11. Analisis kadar lemak (Sudarmadji dkk, 2003)
a. Penimbangan 5 g sampel yang telah dihaluskan.
b. Pembungkusan sampel dengan kertas saring.
c. Penimbangan berat awal labu soxhlet.
d. Pengisian tabung ekstraksi dengan petroleum eter secukupnya.
e. Pemasangan rangkaian alat distilasi soxhlet dan ekstraksi selama 5 jam.
f. Pengeringan labu soxhlet mengandung ekstrak lemak dan minyak dalam
oven suhu 105°C selama 1 jam.
g. Penimbangan berat akhir labu soxhlet.
h. Penghitungan kadar lemak dengan rumus:
% k. lemak = berat akhir labu soxhlet-berat awal labu soxhlet x 100%
berat sampel
12. Analisis kadar pati (Sudarmadji dkk, 2003)
a. Penimbangan sampel 2-5 g ke dalam erlenmeyer, tambahkan 50 ml
akuades.
b. Pengadukan selama 1 jam dengan shaker.
c. Penyaringan suspensi dengan kertas saring.
d. Pencucian dengan akuades sampai volume filtrat 250 ml.
e. Pencucian sebanyak 5 kali residu pada kertas saring dengan 10 ml eter
(untuk sampel yang mengandung lemak), biarkan menguap dan dilanjutkan
dengan pencucian menggunakan 150 ml alkohol.
f. Pencucian residu dari kertas saring dengan akuades 200 ml ke dalam
erlenmeyer.
g. Penambahan 20 ml HCl 25%, tutup dengan pendingin balik.
h. Pemanasan di atas penangas air mendidih selama 2,5 jam.
i. Penetralan setelah sampel dingin dengan larutan NaOH 45%.
j. Pengenceran hingga volume 500 ml, kemudian saring.
90
k. Penentuan glukosa dari filtrat yang diperoleh seperti pada penentuan gula
reduksi. Berat glukosa x 0,9 merupakan berat pati.
13. Analisis kadar serat kasar (Sudarmadji dkk, 2003)
a. Penimbangan sampel yang telah dihaluskan sebanyak 2 g dan ekstraksi
lemaknya.
b. Penambahan 200 ml larutan H2SO4 0,255 N mendidih pada sampel di
erlenmeyer, tutup dengan pendingin balik.
c. Pemanasan di atas penangas air mendidih selama 30 menit.
d. Penyaringan suspensi dengan kertas saring dan pencucian residu yang
tertinggal dengan akuades mendidih. Pencucian dengan akuades mendidih
terus dilakukan hingga tidak asam lagi (uji dengan kertas lakmus).
e. Pencucian residu dengan 200 ml larutan NaOH 0,313 N mendidih di
erlenmyer, tutup dengan pendingin balik.
f. Pemanasan di atas penangas air mendidih selama 30 menit.
g. Penyaringan dengan kertas saring yang telah diketahui beratnya sambil
pencucian dengan larutan K2SO4 10%.
h. Pencucian kembali dengan akuades mendidih dan 15 ml alkohol 95%.
i. Pengeringan kertas saring dalam oven suhu 105°C sampai berat konstan.
j. Pendinginan dalam desikator dan penimbangan kertas saring. Berat kertas
saring = berat serat kasar.
14. Analisis kadar abu (AOAC, 1990)
a. Penimbangan 2-3 g sampel ke dalam cawan porselin.
b. Pemijaran sampel di atas nyala pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi.
c. Pengabuan di dalam muffle furnace pada suhu maksimum 550°C selama 4-6
jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih.
d. Pendinginan dalam desikator, kemudian timbang.
e. Pengeringan diulangi hingga tercapai berat konstan.
f. Penghitungan kadar abu menggunakan rumus:
% abu = berat abu x 100%
berat sampel
91
15. Analisis tekstur (tensile strength) (Yuwon dan Susanto, 1998)
a. Persiapan sampel.
b. Pemasangan sampel pada alat tensile strength.
c. Pengoperasian mesin melalui komputer sehingga sampel tertekan.
d. Pembacaan nilai pada komputer.
16. Analisis daya kembang (Yuwono dan Susanto, 1998)
a. Penambahan gula pasir ke dalam wadah A hingga penuh.
b. Perataan gula pasir hingga rata dengan permukaan wadah.
c. Penuangan gula pasir ke wadah B hingga tersisa seperlimanya.
d. Peletakan sampel awal pada wadah A, isi dengan gula pasir dari wadah B.
e. Perataan gula pasir hingga rata dengan permukaan wadah.
f. Pencampuran sisa gula pasir dengan yang ada di wadah B.
g. Pengukuran volume gula pasir di wadah B dengan gelas ukur. Hal ini
merupakan volume awal dari sampel.
h. Pemanggangan sampel sesuai prosedur pembuatan sampel.
i. Pengukuran volume akhir sampel sesuai langkah a sampai g.
j. Penghitungan daya kembang dengan rumus:
Daya kembang = volume akhir – volume awal x 100%
volume awal
17. Analisis densitas kamba (Yuwono dan Susanto, 1998)
a. Penambahan gula pasir ke dalam wadah A hingga penuh.
b. Perataan gula pasir hingga rata dengan permukaan wadah.
c. Penuangan gula pasir ke wadah B hingga tersisa seperlimanya.
d. Peletakan sampel pada wadah A, isi dengan gula pasir dari wadah B.
e. Perataan gula pasir hingga rata dengan permukaan wadah.
f. Pencampuran sisa gula pasir dengan yang ada di wadah B.
g. Pengukuran volume gula pasir di wadah B dengan gelas ukur.
h. Penghitungan densitas kamba dengan rumus:
Densitas kamba = volume sampel (gula pasir di wadah B)
berat sampel
92
18. Penentuan Perlakuan Terbaik (Zeleny, 1982)
1. Penentuan nilai ideal pada masing
Nilai ideal adalah nilai yang sesuai dengan pengharapan, yaitu
maksimal atau minimal dari suatu parameter.Untuk parameter dengan
rerata semakin tinggisemakin baik, maka nilai terendah sebagai nilai
terburuk dan nilai tertinggisebagai nilai terbaik. Sebaliknya untuk parameter
dengan rerata semakin rendahsemakin baik, maka nilai tertinggi sebagai
nilai terburuk dan nilai terendahsebagai nilai terbaik.
2. Penghitungan derajat kerapatan (d*i)
Derajat kerapatan dihitungberdasarkan nilai ideal untuk masing-masing
parameter.
Jika nilai ideal (d*i) minimal, maka:
d*i = nilai kenyataan yang mendekati ideal
nilai ideal dari masing-masing alternatif
Jika nilai ideal (d*i) maksimal, maka:
d*i = nilai ideal dari masing-masing alternatif
nilai kenyataan yang mendekati ideal
3. Penghitungan jarak kerapatan (Lp)
Dengan asumsi semua parameter penting, jarak kerapatan dihitung
berdasarkan jumlah parameter = 1/jumlah parameter.
L1 adalah menjumlahkan derajat kerapatan dari semua parameter pada
masing-masingperlakuan. Hasil penjumlahan dikurangi 1.
n L1 = (λk) = 1 – ∑E (λL1 + d*i) i =1
L2 = (λk) = [∑i2(1 + d*i)2]
L∞ = maks [λi(1 – d*i)]
4. Pemilihan perlakuan terbaik
Perlakuan terbaik dipilih dari perlakuan ulang yang mempunyai nilai
L1,L2,dan L∞ minimal.
93
19. Lembar uji organoleptik
Lembar Uji Organoleptik Tahap 2
Uji Hedonik (Tingkat kesukaan)
Tanggal :
Nama :
Jenis Produk : Roti
Instruksi : Di hadapan anda terdapat produk roti, anda diminta untuk memberikan
penilaian terhadap parameter yang disediakan (warna, bau, keempukan,
dan rasa) sesuai dengan tingkat kesukaan anda. Pernyataan yang objektif
sangat membantu saya. Hasil penilaian anda dinyatakan dengan angka
dengan ketentuan sebagai berikut.
6: sangat menyukai 5: menyukai 4: agak menyukai
3: agak tidak menyukai 2: tidak menyukai 1: sangat tidak menyukai
Sampel Warna Bau Keempukan Rasa Tekstur
471
983
612
139
527
Komentar/Saran:
Saya ucapkan terima kasih atas bantuan anda
94
Lembar Kuisoner Uji Organoleptik Tahap 1
(Uji Mutu Hedonik)
Tanggal :
Nama :
Jenis Produk : Roti Manis
Instruksi : Cicipi sampel dari kiri ke kanan, kunyah dan diamkan 3-5 detik di mulut.
Gunakan selalu palate cleanser sebelum dan sesudah mencicipi antar
sampel. Nyatakan penilaian anda dengan tanda centang (√) pada
pernyataan yang sesuai dengan penilaian anda.
Warna
471
983
612
139
527
Sangat kuning
Kuning
Agak kuning
Tidak kuning
Sangat tidak kuning
Bau
471
983
612
139
527
Sangat tidak bau
Tidak bau
Agak bau
Bau
95
Sangat bau
Bau menyimpang
471
983
612
139
527
Sangat kuat
Kuat
Agak kuat
Tidak kuat
Tidak ada
Keempukan
471
983
612
139
527
Sangat empuk
Empuk
Agak empuk
Tidak empuk
Sangat tidak empuk
Rasa
471
983
612
139
527
Sangat enak
Enak
Agak enak
96
Tidak enak
Sangat tidak enak
Rasa Menyimpang
471
983
612
139
527
Sangat kuat
Kuat
Agak kuat
Tidak kuat
Tidak ada
After Taste
471
983
612
139
527
Sangat kuat
Kuat
Agak Kuat
Tidak Kuat
Tidak ada
97
Lampiran 2. Perhitungan Asam Lemak Bebas, Bilangan Peroksida, Bilangan
Anisidin DALMS dan FTT
1. Kadar Asam Lemak Bebas a. DALMS
Ulangan Berat Sampel
(g)
N NaOH BM
Minyak
Volume
NaOH (ml)
ALB
(%)
Rata-Rata
(%)
I 0,5083 0,1 256 16,1 81,09 70,74
II 0,5002 0,1 256 11,8 60,39
Ulangan I
% asam lemak bebas= 16,1 x 0,1 x 256 x 100%
0,5083 x 1000
= 81,09%
Ulangan II
% asam lemak bebas = 11,8 x 0,1 x 256 x 100%
0,5002 x 1000
= 60,39%
b. FTT
Ulangan Berat Sampel
(g)
N NaOH BM
Minyak
Volume
NaOH (ml)
ALB
(%)
Rata-Rata
(%)
I 0,5035 0,1 256 0,7 3,56 3,56
II 0,5028 0,1 256 0,7 3,56
Ulangan I
% asam lemak bebas = 0,7 x 0,1 x 256 x 100%
0,5035 x 1000
= 3,56%
Ulangan II
% asam lemak bebas = 0,7 x 0,1 x 256 x 100%
0,5028 x 1000
= 3,56%
98
2. Bilangan Peroksida
a. DALMS
Ulangan Berat
Sampel (g)
Absorbansi Berat
Fe (µg)
B. Peroksida
(mek/kg)
Rata-Rata
I 0,1053 0,886 6,22 5,29 4,24
II 0,1116 0,594 3,97 3,19
Ulangan I
Bilangan peroksida = 6,22 x 5
0,1053 x 55,85
= 5,29 mek/kg
Ulangan II
Bilangan peroksida = 3,97 x 5
0,1116 x 55,85
= 3,19 mek/kg
b. FTT
Ulangan Berat
Sampel (g)
Absorbansi Berat
Fe (ug)
B. Peroksida
(mek/kg)
Rata-Rata
I 0,12 0,437 2,27 2,06 2,81
II 0,1002 0,596 3,99 3,56
Ulangan I
Bilangan peroksida = 2,77 x 5
0,12 x 55,85
=2,06 mek/kg
Ulangan II
Bilangan peroksida = 3,99 x 5
0,1002 x 55,85
= 3,56 mek/kg
99
3. Bilangan P-Anisidin
a. DALMS
Ulangan Berat Sampel (g) Ab (nm) As (nm) B. P-Anisidin Rata-Rata (%)
I 0,1075 0,614 0,520 2,32 2,79
II 0,1074 0,592 0,506 3,26
Ulangan I
Bilangan p-anisidin = 25 x (1,2 x 0,520 – 0,614)
0,1075
= 2,32
Ulangan II
Bilangan p-anisidin = 25 x (1,2 x (0,505 – 0,592)
0,1074
= 3,26
b. FTT
Ulangan Berat Sampel (g) Ab (nm) As (nm) B. P-Anisidin Rata-Rata (%)
I 0,1055 0,598 0,506 2,18 2,32
II 0,1055 0,526 0,447 2,46
Ulangan I
Bilangan p-anisidin = 25 x (1,2 x (0,506 – 0,598)
0,1055
= 2,18
Ulangan II
Bilangan p-anisidin = 25 x (1,2 x 0,447 – 0,526)
0,1055
= 2,46
100
Lampiran 3. Analisis Ragam Nilai L (Kecerahan) Crust
Tabel Nilai L Crust
Perlakuan Ulangan Sub Sampling Rata-Rata
I II III
F1 1 43,8 49,3 67,3 53,46
2 41,4 47,4 66,2 51,66
3 40,6 40,0 59,0 46,63
Rata-Rata 50,58
F2 1 50,4 40,4 61,9 50,90
2 54,7 39,6 65,2 53,16
3 63,1 38,3 63,7 55,03
Rata-Rata 53,03
F3 1 50,7 43,1 56,3 50,03
2 63,3 38,7 64,6 55,53
3 63,7 41,1 59,5 54,76
Rata-Rata 53,44
F4 1 54,1 48,1 63,7 55,53
2 54,6 48,0 62,2 54,93
3 43,1 44,6 67,3 51,60
Rata-Rata 53,94
F5 1 51,8 43,2 66,0 53,66
2 48,3 54,1 63,7 53,36
3 60,9 47,6 71,4 59,96
Rata-Rata 56,33
## Analysis of Variance Table ## ## Response: L.Luar ## Df Sum Sq Mean Sq F value Pr(>F) ## Perlakuan 4 50.735 12.6838 1.5677 0.2567> 0,05 ## Residuals 10 80.908 8.0908
Tidak Beda
Nyata
101
Lampiran 4. Analisis Ragam Nilai L (Kecerahan) Crumb
Tabel Nilai L Crumb
Perlakuan Ulangan Sub Sampling Rata-Rata
I II III
F1 1 68,7 69,4 69,6 69.23
2 75,1 75,8 76,1 75.66
3 70,4 71,8 70,4 70.86
Rata-Rata 71,92
F2 1 72,1 70,6 71,9 71.53
2 71,6 71,9 73,5 72.33
3 71,9 73,4 75,0 73.43
Rata-Rata 72,43
F3 1 72,1 72,3 72,9 72.43
2 68,9 71,0 70,6 70.16
3 68,9 71,0 70,6 75.6
Rata-Rata 72,73
F4 1 75,4 75,2 76,2 75.6
2 74,0 72,8 74,2 73.66
3 72,6 71,7 71,4 71.9
Rata-Rata 73,72
F5 1 74,2 74,5 73,0 73.9
2 76,0 74,8 76,2 75.66
3 72,6 72,3 71,5 72.13
Rata-Rata 73,89
## Analysis of Variance Table ## ## Response: L.Dalam ## Df Sum Sq Mean Sq F value Pr(>F) ## Perlakuan 4 8.625 2.1563 0.4132 0.7955>0,05 ## Residuals 10 52.180 5.2180
Tidak Beda
Nyata
102
Lampiran 5. Analisis Ragam Nilai B (Kekuningan) Crust
Tabel Nilai B Crust
Perlakuan Ulangan Sub Sampling Rata-Rata
I II III
F1 1 22,6 13,7 25,8 20.7
2 23,0 14,6 23,4 20.3
3 11,2 15,4 24,6 17.06
Rata-Rata 19,36
F2 1 16,9 15,9 22,2 18.33
2 14,1 17,2 30,3 20.53
3 27,1 16,0 24,2 22.43
Rata-Rata 20,43
F3 1 29,4 10,0 22,0 20.46
2 29,7 4,8 29,5 21.2
3 29,3 9,5 24,5 21.1
Rata-Rata 20,92
F4 1 11,6 13,7 28,8 18.03
2 8,7 12,3 25,0 15.33
3 69,7 5,8 18,3 31.26
Rata-Rata 21,54
F5 1 15,5 8,1 27,3 16.96
2 24,0 2,9 28,1 18.33
3 25,3 3,0 27,4 55.7
Rata-Rata 30,33
## Analysis of Variance Table ## ## Response: b.Luar ## Df Sum Sq Mean Sq F value Pr(>F) ## Perlakuan 4 236.32 59.08 0.5235 0.7211>0,05 ## Residuals 10 1128.53 112.85
Tidak Beda
Nyata
103
Lampiran 6. Analisis Ragam Nilai B (Kekuningan) Crumb
Tabel Nilai B Crumb
Perlakuan Ulangan Sub Sampling Rata-Rata
I II III
F1 1 22,9 23,1 23,5 23,15
2 24,3 25,2 24,4 24,63
3 21,8 21,5 22,6 21,96
Rata-Rata 23,25
F2 1 24,9 23,4 23,5 23,93
2 23,4 24,8 26,0 24,73
3 28,3 26,9 26,6 27,26
Rata-Rata 25,31
F3 1 26,1 27,3 26,7 26,70
2 23,3 25,0 23,2 23,83
3 27,2 27,9 26,4 27,16
Rata-Rata 25,89
F4 1 25,3 25,3 27,4 26,0
2 27,4 25,7 26,7 26,6
3 30,2 29,0 28,7 29,3
Rata-Rata 27,3
F5 1 28,9 28,7 29,7 29,1
2 26,2 29,0 27,1 27,43
3 28,8 26,7 29,0 28,16
Rata-Rata 28,23
## Analysis of Variance Table ## ## Response: b.Dalam ## Df Sum Sq Mean Sq F value Pr(>F) ## Perlakuan 4 44.205 11.0513 4.6598 0.02208 * ## Residuals 10 23.716 2.3716 ## --- ## Signif. codes: 0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
104
## ## Study: nilaibd ~ "Perlakuan" ## ## Duncan's new multiple range test ## for b.Dalam ## ## Mean Square Error: 2.3716 ## ## Perlakuan, means ## ## b.Dalam std r Min Max ## F1 23.24667 1.3376223 3 21.96 24.63 ## F2 25.30667 1.7382846 3 23.93 27.26 ## F3 25.89667 1.8045036 3 23.83 27.16 ## F4 27.30000 1.7578396 3 26.00 29.30 ## F5 28.23000 0.8371977 3 27.43 29.10 ## ## alpha: 0.05 ; Df Error: 10 ## ## Critical Range ## 2 3 4 5 ## 2.801672 2.927722 3.001919 3.049381 ## ## Means with the same letter are not significantly different. ## ## Groups, Treatments and means ## a F5 28.23 ## a F4 27.3 ## ab F3 25.9 ## ab F2 25.31 ## b F1 23.25
105
Lampiran 7. Analisis Ragam Nilai Kemerahan (a+) Crust
Tabel Nilai A Crust
Perlakuan Ulangan Sub Sampling Rata-Rata
I II III
F1 1 18,6 26,0 28,9 24,50
2 14,1 15,8 6,5 12,13
3 9,6 8,9 22,2 13,56
Rata-Rata 16,73
F2 1 30,4 17,2 22,4 23,33
2 22,1 10,0 16,6 16,23
3 20,9 24,6 16,1 20,53
Rata-Rata 20,03
F3 1 24,6 29,8 13,9 22,76
2 13,6 20,4 23,1 19,03
3 19,4 11,9 16,4 16,00
Rata-Rata 19,26
F4 1 18,0 14,8 1,3 11,36
2 10,0 13,6 16,6 13,40
3 15,3 23,1 23,4 20,60
Rata-Rata 15,12
F5 1 23,3 25,3 23,6 20,73
2 24,4 19,3 19,9 21,10
3 19,4 17,1 22,6 19,70
Rata-Rata 20,51
## Analysis of Variance Table ## ## Response: a.Luar ## Df Sum Sq Mean Sq F value Pr(>F) ## Perlakuan 4 64.133 16.033 0.8516 0.5243 ## Residuals 10 188.271 18.827
106
Lampiran 8. Analisis Ragam Nilai Kehijauan (a-) Crumb
Tabel Nilai L Crumb
Perlakuan Ulangan Sub Sampling Rata-Rata
I II III
F1 1 1,7 1,7 1,7 1,70
2 1,1 1,3 1,5 1,30
3 2,2 2,2 2,0 2,13
Rata-Rata 1,71
F2 1 1,8 2,0 2,0 1,93
2 1,7 1,7 1,7 1,70
3 0,7 1,4 1,5 1,20
Rata-Rata 1,61
F3 1 2,1 1,8 1,7 1,86
2 2,1 0,2 2,6 1,63
3 0,7 1,0 0,7 0,80
Rata-Rata 1,43
F4 1 1,8 1,4 1,3 1,50
2 1,7 2,2 1,7 1,86
3 1,4 1,5 1,5 1,46
Rata-Rata 1,61
F5 1 1,7 1,7 1,7 1,70
2 1,2 1,0 1,7 1,30
3 1,9 1,9 1,6 1,80
Rata-Rata 1,60
## Analysis of Variance Table ## ## Response: a.Dalam ## Df Sum Sq Mean Sq F value Pr(>F) ## Perlakuan 4 0.12231 0.030577 0.2063 0.9291 ## Residuals 10 1.48207 0.148207
107
Lampiran 9. Perhitungan Derajat Hue Crust dan Crumb
Crust
Sampel a1 a2 a3 Rerata a b1 b2 b3 Rerata b b²/a² *H
F1 24.5 12.13 13.56 16.73 20.7 20.3 17.06 19.35 1.3382 53.2302
F2 23.33 16.23 20.53 20.03 18.33 20.53 22.43 20.43 1.04034 46.1326
F3 22.76 19.03 16 19.26 20.46 21.2 21.1 20.92 1.1794 49.7057
F4 11.36 13.4 20.6 15.12 18.03 15.33 31.26 21.54 2.02949 63.769
F5 20.73 21.1 19.7 20.51 16.96 18.33 55.7 30.33 2.18682 65.4261
Crumb Sampel a1 a2 a3 Rerata a b1 b2 b3 Rerata b b²/a² *H
F1 -1.7 -1.3 -2.13 -1.71 23.15 24.63 21.96 23.25 184.812 89.69
F2 -1.93 -1.7 -1.2 -1.61 23.93 24.73 27.26 25.31 247.069 89.7681
F3 -1.86 -1.63 -0.8 -1.43 26.7 23.83 27.16 25.90 327.956 89.8253
F4 -1.5 -1.86 -1.46 -1.61 26 26.6 29.3 27.30 288.718 89.8016
F5 -1.7 -1.3 -1.8 -1.60 29.1 27.43 28.16 28.23 311.302 89.8159
108
Lampiran 10. Analisis Ragam Daya Kembang
Tabel Daya Kembang
Perlakuan Ulangan Daya Kembang Rata-Rata
F1 1 445.45 436,48
2 340
3 525
F2 1 380 422,22
2 600
3 285,7
F3 1 660 342,18
2 212,9
3 154,54
F4 1 312,5 275,07
2 170,6
3 342,10
F5 1 123,5 167,17
2 240
3 120
## Analysis of Variance Table ## ## Response: Daya.Kembang ## Df Sum Sq Mean Sq F value Pr(>F) ## Perlakuan 4 146376 36594 1.3938 0.3044>0,05 ## Residuals 10 262544 26254
Tidak Beda
Nyata
109
Lampiran 11. Analisis Ragam Densitas Kamba
Tabel Densitas Kamba
Perlakuan Ulangan Densitas Kamba Rata-Rata
F1 1 24,42 24,25
2 25,34
3 23,00
F2 1 28,01 27,66
2 27,37
3 27,61
F3 1 25,75 29,92
2 29,02
3 35,00
F4 1 33,45 32,98
2 31,15
3 34,36
F5 1 36,92 39,82
2 40,05
3 42,49
## Analysis of Variance Table ## ## Response: Densitas.Kamba ## Df Sum Sq Mean Sq F value Pr(>F) ## Perlakuan 4 418.57 104.643 15.375 0.0002836 *** ## Residuals 10 68.06 6.806 ## --- ## Signif. codes: 0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
## ## Study: dka ~ "Perlakuan" ## ## Duncan's new multiple range test ## for Densitas.Kamba ## ## Mean Square Error: 6.805967 ##
110
## Perlakuan, means ## ## Densitas.Kamba std r Min Max ## F1 24.25333 1.1788695 3 23.00 25.34 ## F2 29.92333 4.6906965 3 25.75 35.00 ## F3 27.66333 0.3233162 3 27.37 28.01 ## F4 32.98667 1.6543982 3 31.15 34.36 ## F5 39.82000 2.7921139 3 36.92 42.49 ## ## alpha: 0.05 ; Df Error: 10 ## ## Critical Range ## 2 3 4 5 ## 4.746151 4.959684 5.085376 5.165780 ## ## Means with the same letter are not significantly different. ## ## Groups, Treatments and means ## a F5 39.82 ## b F4 32.99 ## bc F2 29.92 ## cd F3 27.66 ## d F1 24.25
111
Lampiran 12. Analisis Ragam Tekstur
Tabel Tekstur
Perlakuan Ulangan Sub Sampling (N) Rata-Rata (N)
I II
M1 1 7,1 5,1 6,1
2 11,0 24,0 17,5
3 5,9 5,7 5,8
Rata-Rata 9,8
M2 1 12,8 10,4 11,6
2 6,5 19,5 13,0
3 15,4 8,1 11,75
Rata-Rata 12,11
M3 1 24,2 21,2 22,6
2 14,2 19,4 16,8
3 4 4,5 4,25
Rata-Rata
M4 1 9,9 14,1 12,0
2 17,1 27,8 22,45
3 9,2 10,5 9,85
Rata-Rata 17,76
M5 1 7,1 10,1 8,6
2 12,9 13,6 13,25
3 26,4 26,7 26,55
Rata-Rata 16,13
## Analysis of Variance Table ## ## Response: Tekstur ## Df Sum Sq Mean Sq F value Pr(>F) ## Perlakuan 4 75.62 18.905 0.3562 0.8341>0,05 ## Residuals 10 530.67 53.067
Tidak Beda
Nyata
112
Lampiran 13. Analisis Ragam Warna Metode Hedonik
Tabel Warna Metode Hedonik
Panelis Perlakuan
F1 F2 F3 F4 F5
M. Ainul Yaqin 6 5 5 5 5
Firda Amrilia H 5 5 4 5 3
Pepy Suhartini 5 5 4 5 4
Khanza Jasmine 5 5 4 5 4
Ghani Rasyid N 5 5 5 5 5
Nur Kaifah A 5 5 5 5 5
Lanny Ariani 4 3 2 3 5
Sabrina Junianta 5 4 5 5 4
Yogan Surya Tirta 5 5 4 4 2
Yuwan Febi 4 5 3 4 2
Rifqi Prasetyo 4 4 5 3 3
Ainun Azizi 5 6 4 5 5
Firda Yunirma 2 5 3 2 3
Atiqa N. 4 5 2 3 3
Budi S. 3 2 3 3 2
Dita Pratiwi 5 5 5 5 5
Iffat Fairuz 5 4 4 4 3
Ani Nurina L. 5 4 4 5 4
Yosua 6 4 5 5 3
Khairunnisa 6 6 5 5 5
Jumlah 94 92 83 86 75
Rata-Rata 4,7 4,6 4,15 4,3 3,75
113
Skala Kesukaan
x Frekuensi ∑f ∑fx ∑f(x2)
P1 P2 P3 P4 P5
6 3 2 0 3 0 0 5 15 45
5 2 11 7 11 12 8 49 98 196
4 1 5 4 4 3 8 24 24 24
3 -1 1 6 1 4 3 15 -15 15
2 -2 1 3 1 1 1 7 -14 28
1 -3 0 0 0 0 0 0 0 0
total ∑ƒ 0 20 20 20 20 20 100
∑ƒx 32 12 34 23 21 122
∑ƒx2 308
rerata ∑ƒx/∑ƒ
1.60 0.60 1.70 1.15 1.05
ANALISA SIDIK RAGAM
SK DB JK KT F Hitung
F
Tabel Ket
. 5%
Perlakuan 4 15.86 3.97 2.63 2.47 bn
Galat 95 143.30 1.51
Total 99 159.16
## Study: hw ~ "Sampel" ## ## Duncan's new multiple range test ## for Hedonik.Warna## ## Mean Square Error: 0.9631579 ## ## Sampel, means ## ## Hedonik.Warna std r Min Max ## F1 4.70 0.9787210 20 2 6 ## F2 4.60 0.9403247 20 2 6 ## F3 4.15 0.8750940 20 2 5 ## F4 4.30 0.9787210 20 2 5 ## F5 3.75 1.1180340 20 2 5 ## ## alpha: 0.05 ; Df Error: 95 ## ## Critical Range ## 2 3 4 5 ## 0.6161184 0.6483603 0.6697573 0.6854236 ##
114
## Means with the same letter are not significantly different. ## ## Groups, Treatments and means ## a F1 4.7 ## a F2 4.6 ## ab F4 4.3 ## ab F3 4.15 ## b F5 3.75
115
Lampiran 14. Analisis Ragam Bau Metode Hedonik
Tabel Bau Metode Hedonik
Panelis Perlakuan
F1 F2 F3 F4 F5
M. Ainul Yaqin 6 6 6 6 6
Firda Amrilia H 4 4 4 3 3
Pepy Suhartini 5 4 4 5 4
Khanza Jasmine 4 3 3 3 3
Ghani Rasyid N 4 3 4 3 3
Nur Kaifah A 4 3 3 4 3
Lanny Ariani 3 4 5 4 6
Sabrina Junianta 4 3 4 3 2
Yogan Surya Tirta 4 5 4 5 3
Yuwan Febi 5 5 5 5 5
Rifqi Prasetyo 5 5 5 4 4
Ainun Azizi 5 3 5 5 3
Firda Yunirma 4 5 3 1 2
Atiqa N. 5 1 5 3 3
Budi S. 4 5 4 4 4
Dita Pratiwi 5 5 4 4 4
Iffat Fairuz 5 3 4 3 3
Ani Nurina L. 5 5 4 4 4
Yosua 5 2 3 4 4
Khairunnisa 5 5 4 5 2
Jumlah 91 79 83 78 71
Rata-Rata 4,55 3,95 4,15 3,9 3,55
116
Skala Kesukaan
x Frekuensi ∑f ∑fx ∑f(x2)
P2 P5 P1 P4 P3
6 3 1 2 1 1 1 6 18 54
5 2 8 1 10 5 5 29 58 116
4 1 3 6 8 7 10 34 34 34
3 -1 6 8 1 6 4 25 -25 25
2 -2 1 3 0 0 0 4 -8 16
1 -3 1 0 0 1 0 2 -6 18
total ∑ƒ 0 20 20 20 20 20 100
∑ƒx 16 6 30 14 19 85
∑ƒx2 263
rerata ∑ƒx/∑ƒ
0.80 0.30 1.50 0.70 0.95
ANALISA SIDIK RAGAM
SK DB JK KT F Hitung
F
Tabel Ket.
5%
Perlakuan 4 15.20 3.80 2.06 2.47 tbn
Galat 95 175.55 1.85
Total 99 190.75
117
Lampiran 15. Analisis Ragam Keempukan Metode Hedonik
Tabel Keempukan Metode Hedonik
Panelis Perlakuan
F1 F2 F3 F4 F5
M. Ainul Yaqin 5 4 5 4 5
Firda Amrilia H 3 4 1 2 2
Pepy Suhartini 4 2 3 5 2
Khanza Jasmine 2 3 2 3 3
Ghani Rasyid N 5 6 5 5 5
Nur Kaifah A 5 5 5 5 5
Lanny Ariani 1 6 4 5 3
Sabrina Junianta 4 4 4 4 4
Yogan Surya Tirta 3 3 2 4 1
Yuwan Febi 4 5 3 4 3
Rifqi Prasetyo 5 5 5 5 6
Ainun Azizi 4 4 4 5 3
Firda Yunirma 2 4 2 1 1
Atiqa N. 3 2 4 3 2
Budi S. 2 2 2 2 2
Dita Pratiwi 4 4 3 4 3
Iffat Fairuz 4 4 4 5 2
Ani Nurina L. 4 2 4 5 1
Yosua 2 4 5 2 4
Khairunnisa 5 4 4 5 4
Jumlah 71 77 71 78 61
Rata-Rata 3,55 3,85 3,55 3,9 3,05
118
Skala Kesukaan
x Frekuensi
∑f ∑fx ∑f(x2) P2 P5 P1 P4 P3
6 3 2 1 0 0 0 3 9 27
5 2 3 3 5 9 5 25 50 100
4 1 9 3 7 5 6 30 30 30
3 -1 2 5 3 2 3 15 -15 15
2 -2 4 5 4 3 4 20 -40 80
1 -3 0 3 1 1 1 6 -18 54
total ∑ƒ 0 20 20 20 20 19 99
∑ƒx 19 -2 11 18 10 56
∑ƒx2 306
rerata ∑ƒx/∑ƒ
0.95 -
0.10 0.55 0.90 0.53
ANALISA SIDIK RAGAM
SK DB JK KT F Hitung
F
Tabel Ket.
5%
Perlakuan 4 13.82 3.46 1.26 2.47 tbn
Galat 95 260.50 2.74
Total 99 274.32
119
Lampiran 16. Analisis Ragam Tekstur Metode Hedonik
Tabel Tekstur Metode Hedonik
Panelis Perlakuan
F1 F2 F3 F4 F5
M. Ainul Yaqin 6 3 4 4 5
Firda Amrilia H 4 4 4 4 2
Pepy Suhartini 4 2 3 5 1
Khanza Jasmine 3 3 2 2 3
Ghani Rasyid N 5 5 4 4 4
Nur Kaifah A 4 4 4 4 4
Lanny Ariani 3 3 1 5 6
Sabrina Junianta 4 4 4 4 4
Yogan Surya Tirta 3 4 2 4 2
Yuwan Febi 4 5 3 3 3
Rifqi Prasetyo 5 5 3 5 5
Ainun Azizi 5 4 6 6 5
Firda Yunirma 2 5 3 2 2
Atiqa N. 5 2 3 2 2
Budi S. 2 3 3 3 2
Dita Pratiwi 4 4 3 4 3
Iffat Fairuz 4 4 5 4 2
Ani Nurina L. 4 2 4 5 2
Yosua 5 5 5 5 3
Khairunnisa 5 5 4 4 4
Jumlah 81 76 70 79 64
Rata-Rata 4,05 3,8 3,5 3,95 3,2
120
Skala Kesukaan
x Frekuensi
∑f ∑fx ∑f(x2) F1 F2 F3 F4 F5
6 3 1 0 1 1 1 4 12 36
5 2 6 6 2 5 3 22 44 88
4 1 8 7 7 9 4 35 35 35
3 -1 3 4 7 2 4 20 -20 20
2 -2 2 3 2 3 7 17 -34 68
1 -3 0 0 1 0 1 2 -6 18
total ∑ƒ 0 20 20 20 20 20 100
∑ƒx 20 15 4 17 6 62
∑ƒx2 265
rerata ∑ƒx/∑ƒ
1.00 0.75 0.20 0.85 0.30
ANALISA SIDIK RAGAM
SK DB JK KT F Hitung
F
Tabel Ket.
5%
Perlakuan 4 9.86 2.47 1.08 2.47 tbn
Galat 95 216.70 2.28
Total 99 226.56
121
Lampiran 17. Analisis Ragam Rasa Metode Hedonik
Tabel Rasa Metode Hedonik
Panelis Perlakuan
F1 F2 F3 F4 F5
M. Ainul Yaqin 6 2 3 3 2
Firda Amrilia H 5 3 4 3 1
Pepy Suhartini 4 3 4 5 2
Khanza Jasmine 4 4 2 3 4
Ghani Rasyid N 4 2 3 2 2
Nur Kaifah A 5 1 1 4 2
Lanny Ariani 4 2 4 5 2
Sabrina Junianta 5 2 4 3 2
Yogan Surya Tirta 5 6 4 5 3
Yuwan Febi 5 5 4 4 3
Rifqi Prasetyo 5 2 4 3 2
Ainun Azizi 5 4 6 5 5
Firda Yunirma 5 3 3 2 2
Atiqa N. 6 2 5 4 3
Budi S. 5 1 4 3 1
Dita Pratiwi 5 4 4 4 3
Iffat Fairuz 5 3 4 4 2
Ani Nurina L. 5 3 3 3 2
Yosua 6 3 3 4 5
Khairunnisa 4 3 3 3 3
Jumlah 98 58 72 72 51
Rata-Rata 4,9 2,9 3,6 3,6 2,55
122
Skala Kesukaan
x Frekuensi
∑f ∑fx ∑f(x2) F1 F2 F3 F4 F5
6 3 3 1 1 0 0 5 15 45
5 2 12 1 1 4 2 20 40 80
4 1 5 3 10 6 1 25 25 25
3 -1 0 7 6 8 5 26 -26 26
2 -2 0 6 1 2 10 19 -38 76
1 -3 0 2 1 0 2 5 -15 45
total ∑ƒ 0 20 20 20 20 20 100
∑ƒx 38 -5 6 3 -6 36
∑ƒx2 297
rerata ∑ƒx/∑ƒ
1.90 -0.25 0.30 0.15 -
0.30
ANALISA SIDIK RAGAM
SK DB JK KT F Hitung
F
Tabel Ket.
5%
Perlakuan 4 64.54 16.14 6.98 2.47 bn
Galat 95 219.50 2.31
Total 99 284.04
## Study: hr ~ "Sampel” ## ## Duncan's new multiple range test ## for Hedonik.Rasa ## ## Mean Square Error: 1.033158 ## ## Sampel, means ## ## Hedonik.Rasa std r Min Max ## F1 4.90 0.6407233 20 4 6 ## F2 2.90 1.2523662 20 1 6 ## F3 3.60 1.0462967 20 1 6 ## F4 3.60 0.9403247 20 2 5 ## F5 2.55 1.0990426 20 1 5 ## ## alpha: 0.05 ; Df Error: 95 ## ## Critical Range ## 2 3 4 5
123
## 0.6381147 0.6715077 0.6936687 0.7098942 ## ## Means with the same letter are not significantly different. ## ## Groups, Treatments and means ## a F1 4.9 ## b F3 3.6 ## b F4 3.6 ## c F2 2.9 ## c F5 2.55
124
Lampiran 18. Analisis Ragam Warna Mutu Hedonik
Tabel Warna MutuHedonik
Panelis Perlakuan
F1 F2 F3 F4 F5
M. Ainul Yaqin 5 5 5 5 5
Firda Amrilia H 4 3 3 3 3
Pepy Suhartini 4 4 4 4 3
Khanza Jasmine 4 4 3 4 4
Ghani Rasyid N 4 4 4 4 4
Nur Kaifah A 4 4 4 4 4
Lanny Ariani 3 3 3 4 5
Sabrina Junianta 4 4 3 3 4
Yogan Surya Tirta 4 5 3 3 1
Yuwan Febi 3 5 3 4 2
Rifqi Prasetyo 4 4 4 3 4
Ainun Azizi 4 5 4 4 4
Firda Yunirma 2 4 1 3 2
Atiqa N. 5 4 3 3 3
Budi S. 4 4 4 4 3
Dita Pratiwi 4 4 4 4 4
Iffat Fairuz 4 3 4 4 3
Ani Nurina L. 4 3 4 4 3
Yosua 4 4 4 3 2
Khairunnisa 5 5 2 4 4
Jumlah 79 81 69 75 67
Rata-Rata 3,95 4,05 3,45 3,75 3,35
125
Skala Kesukaan
x Frekuensi
∑f ∑fx ∑f(x2) F1 F2 F3 F4 F5
5 2 3 5 1 1 2 12 24 48
4 1 14 11 10 12 8 55 55 55
3 0 2 4 7 7 6 26 0 0
2 -1 1 0 1 0 3 5 -5 5
1 -2 0 0 1 0 1 2 -4 8
total ∑ƒ 0 20 20 20 20 20 100 0 0
∑ƒx 20 21 10 12 10 73
∑ƒx2 116
rerata ∑ƒx/∑ƒ
1.00 1.05 0.50 0.60 0.50
ANALISA SIDIK RAGAM
SK DB JK KT F Hitung
F
Tabel Ket.
5%
Perlakuan 4 5.96 1.49 2.49 2.47 bn
Galat 95 56.75 0.60
Total 99 62.71
## Study: dw ~ "Sampel" ## ## Duncan's new multiple range test ## for Warna ## ## Mean Square Error: 0.6015789 ## ## Sampel, means ## ## Warna std r Min Max ## F1 3.95 0.6863327 20 2 5 ## F2 4.05 0.6863327 20 3 5 ## F3 3.45 0.8255779 20 1 5 ## F4 3.75 0.5501196 20 3 5 ## F5 3.35 1.0399899 20 1 5 ## ## alpha: 0.05 ; Df Error: 95 ## ## Critical Range ## 2 3 4 5 ## 0.4869246 0.5124057 0.5293160 0.5416972
126
## ## Means with the same letter are not significantly different. ## ## Groups, Treatments and means ## a F2 4.05 ## ab F1 3.95 ## abc F4 3.75 ## bc F3 3.45 ## c F5 3.35
127
Lampiran 19. Analisis Ragam Bau Mutu Hedonik
Tabel Bau Mutu Hedonik
Panelis Perlakuan
F1 F2 F3 F4 F5
M. Ainul Yaqin 5 5 5 5 5
Firda Amrilia H 3 3 3 3 2
Pepy Suhartini 2 3 2 2 3
Khanza Jasmine 2 3 3 3 3
Ghani Rasyid N 3 3 3 2 2
Nur Kaifah A 4 3 4 4 3
Lanny Ariani 2 2 2 2 2
Sabrina Junianta 4 4 4 3 3
Yogan Surya Tirta 2 4 3 3 2
Yuwan Febi 2 2 3 4 3
Rifqi Prasetyo 2 2 2 2 2
Ainun Azizi 4 3 4 4 3
Firda Yunirma 4 2 3 2 1
Atiqa N. 3 3 2 3 2
Budi S. 4 3 4 3 3
Dita Pratiwi 4 3 3 3 3
Iffat Fairuz 4 3 3 3 2
Ani Nurina L. 4 3 3 4 2
Yosua 4 3 4 3 2
Khairunnisa 4 4 4 4 4
Jumlah 66 61 64 62 52
Rata-Rata 3,3 3,05 3,2 3,1 2,6
128
Skala Kesukaan
x Frekuensi
∑f ∑fx ∑f(x2) F1 F2 F3 F4 F5
5 2 1 1 1 1 1 5 10 20
4 1 10 3 6 5 1 25 25 25
3 0 3 12 9 9 8 41 0 0
2 -1 6 4 4 5 9 28 -28 28
1 -2 0 0 0 0 1 1 -2 4
total ∑ƒ 0 20 20 20 20 20 100
∑ƒx 12 5 8 7 1 33
∑ƒx2 77
rerata ∑ƒx/∑ƒ
0.60 0.25 0.40 0.35 0.05
ANALISA SIDIK RAGAM
SK DB JK KT F Hitung
F
Tabel Ket.
5%
Perlakuan 4 3.26 0.82 1.23 2.47 tbn
Galat 95 62.85 0.66
Total 99 66.11
129
Lampiran 20. Analisis Ragam Bau Menyimpang Mutu Hedonik
Tabel Bau Menyimpang Mutu Hedonik
Panelis Perlakuan
F1 F2 F3 F4 F5
M. Ainul Yaqin 5 5 5 5 5
Firda Amrilia H 1 2 1 1 3
Pepy Suhartini 4 4 4 4 4
Khanza Jasmine 4 4 3 3 3
Ghani Rasyid N 5 4 4 2 3
Nur Kaifah A 1 3 1 1 2
Lanny Ariani 4 2 3 2 1
Sabrina Junianta 4 2 2 3 2
Yogan Surya Tirta 4 4 4 4 1
Yuwan Febi 5 5 5 5 4
Rifqi Prasetyo 5 4 5 3 3
Ainun Azizi 4 2 5 5 4
Firda Yunirma 5 4 3 3 2
Atiqa N. 5 3 4 3 3
Budi S. 5 3 5 5 5
Dita Pratiwi 5 4 3 3 2
Iffat Fairuz 5 3 4 3 2
Ani Nurina L. 5 4 4 4 3
Yosua 4 3 3 4 2
Khairunnisa 5 4 3 4 3
Jumlah 85 69 73 67 57
Rata-Rata 4,25 3,45 3,65 3,35 2,85
130
Skala Kesukaan
x Frekuensi
∑f ∑fx ∑f(x2) F1 F2 F3 F4 F5
5 2 11 2 5 4 2 24 48 96
4 1 7 9 6 5 3 30 30 30
3 0 0 5 6 7 7 25 0 0
2 -1 0 4 1 2 6 13 -13 13
1 -2 2 0 2 2 2 8 -16 32
total ∑ƒ 0 20 20 20 20 20 100
∑ƒx 29 13 12 9 3 66
∑ƒx2 171
rerata ∑ƒx/∑ƒ
1.45 0.65 0.60 0.45 0.15
ANALISA SIDIK RAGAM
SK DB JK KT F Hitung
F
Tabel Ket.
5%
Perlakuan 4 18.64 4.66 4.07 2.47 bn
Galat 95 108.80 1.15
Total 99 127.44
## Study: dbm ~ "Sampel" ## ## Duncan's new multiple range test ## for Bau.Menyimpang ## ## Mean Square Error: 1.351053 ## ## Sampel, means ## ## Bau.Menyimpang std r Min Max ## F1 4.25 1.2085224 20 1 5 ## F2 3.45 0.9445132 20 2 5 ## F3 3.65 1.2680279 20 1 5 ## F4 3.35 1.2258187 20 1 5 ## F5 2.85 1.1367081 20 1 5 ## ## alpha: 0.05 ; Df Error: 95 ## ## Critical Range
131
## 2 3 4 5 ## 0.7297121 0.7678985 0.7932405 0.8117951 ## ## Means with the same letter are not significantly different. ## ## Groups, Treatments and means ## a F1 4.25 ## ab F3 3.65 ## bc F2 3.45 ## bc F4 3.35 ## c F5 2.85
132
Lampiran 21. Analisis Ragam Keempukan Mutu Hedonik
Tabel Keempukan Mutu Hedonik
Panelis Perlakuan
F1 F2 F3 F4 F5
M. Ainul Yaqin 5 4 4 4 4
Firda Amrilia H 3 3 2 3 1
Pepy Suhartini 4 3 4 5 2
Khanza Jasmine 2 2 2 2 2
Ghani Rasyid N 3 4 3 3 3
Nur Kaifah A 4 4 3 3 4
Lanny Ariani 3 4 3 5 2
Sabrina Junianta 4 4 3 3 4
Yogan Surya Tirta 3 4 2 2 1
Yuwan Febi 3 4 4 5 2
Rifqi Prasetyo 4 5 4 4 4
Ainun Azizi 4 4 4 4 3
Firda Yunirma 2 4 1 3 1
Atiqa N. 3 3 2 3 2
Budi S. 3 2 3 3 2
Dita Pratiwi 3 3 2 3 2
Iffat Fairuz 4 3 4 4 2
Ani Nurina L. 3 1 3 4 1
Yosua 4 4 4 4 4
Khairunnisa 4 4 3 4 3
Jumlah 68 69 60 71 49
Rata-Rata 3,4 3,45 3 3,55 2,45
133
Skala Kesukaan
x Frekuensi
∑f ∑fx ∑f(x2) F1 F2 F3 F4 F5
5 2 1 1 0 3 0 5 10 20
4 1 8 11 7 7 5 38 38 38
3 0 9 5 7 8 3 32 0 0
2 -1 2 2 5 2 8 19 -19 19
1 -2 0 1 1 0 4 6 -12 24
total ∑ƒ 0 20 20 20 20 20 100
∑ƒx 10 11 5 11 -3 34
∑ƒx2 101
rerata ∑ƒx/∑ƒ
0.50 0.55 0.25 0.55 -
0.15
ANALISA SIDIK RAGAM
SK DB JK KT F Hitung
F
Tabel Ket.
5%
Perlakuan 4 7.24 1.81 2.09 2.47 tbn
Galat 95 82.20 0.87
Total 99 89.44
134
Lampiran 22. Analisis Ragam Rasa Mutu Hedonik
Tabel Rasa Mutu Hedonik
Panelis Perlakuan
F1 F2 F3 F4 F5
M. Ainul Yaqin 5 2 2 2 2
Firda Amrilia H 4 3 3 3 2
Pepy Suhartini 4 3 3 4 2
Khanza Jasmine 4 3 3 3 3
Ghani Rasyid N 4 2 3 2 2
Nur Kaifah A 4 2 2 4 3
Lanny Ariani 4 2 4 3 2
Sabrina Junianta 4 2 2 3 2
Yogan Surya Tirta 4 4 3 3 3
Yuwan Febi 3 4 4 4 2
Rifqi Prasetyo 4 2 3 2 2
Ainun Azizi 4 3 5 4 4
Firda Yunirma 4 3 2 1 1
Atiqa N. 5 3 4 3 3
Budi S. 4 2 3 3 2
Dita Pratiwi 4 3 3 3 3
Iffat Fairuz 4 2 3 3 2
Ani Nurina L. 4 3 3 2 2
Yosua 4 2 4 3 3
Khairunnisa 4 3 2 2 1
Jumlah 81 53 61 57 46
Rata-Rata 4,05 2,65 3,05 2,85 2,3
135
Skala Kesukaan
x Frekuensi
∑f ∑fx ∑f(x2) F1 F2 F3 F4 F5
5 2 2 0 1 0 0 3 6 12
4 1 17 2 4 4 1 28 28 28
3 0 1 9 10 10 6 36 0 0
2 -1 0 9 5 5 11 30 -30 30
1 -2 0 0 0 1 2 3 -6 12
total ∑ƒ 0 20 20 20 20 20 100
∑ƒx 21 2 6 4 -3 30
∑ƒx2 82
rerata ∑ƒx/∑ƒ
1.05 0.10 0.30 0.20 -0.15
ANALISA SIDIK RAGAM
SK DB JK KT F Hitung
F
Tabel Ket.
5%
Perlakuan 4 16.30 4.08 6.83 2.47 tbn
Galat 95 56.70 0.60
Total 99 73.00
## Study: dr ~ "Sampel" ## ## Duncan's new multiple range test ## for Rasa ## ## Mean Square Error: 0.4968421 ## ## Sampel, means ## ## Rasa std r Min Max ## F1 4.05 0.3940345 20 3 5 ## F2 2.65 0.6708204 20 2 4 ## F3 3.05 0.8255779 20 2 5 ## F4 2.85 0.8127277 20 1 4 ## F5 2.30 0.7326951 20 1 4 ## ## alpha: 0.05 ; Df Error: 95 ## ## Critical Range
136
## 2 3 4 5 ## 0.4425116 0.4656685 0.4810364 0.4922883 ## ## Means with the same letter are not significantly different. ## ## Groups, Treatments and means ## a F1 4.05 ## b F3 3.05 ## b F4 2.85 ## bc F2 2.65 ## c F5 2.3
137
Lampiran 23. Analisis Ragam Rasa Menyimpang Mutu Hedonik
Tabel Rasa Menyimpang Mutu Hedonik
Panelis Perlakuan
F1 F2 F3 F4 F5
M. Ainul Yaqin 5 5 5 5 5
Firda Amrilia H 5 4 4 4 2
Pepy Suhartini 4 4 4 4 4
Khanza Jasmine 4 4 3 3 3
Ghani Rasyid N 5 2 4 3 2
Nur Kaifah A 3 2 2 3 3
Lanny Ariani 4 2 4 3 1
Sabrina Junianta 4 3 2 3 2
Yogan Surya Tirta 4 5 4 3 2
Yuwan Febi 5 5 5 5 4
Rifqi Prasetyo 5 2 3 3 1
Ainun Azizi 4 2 5 4 2
Firda Yunirma 5 4 3 1 1
Atiqa N. 5 2 5 4 3
Budi S. 4 3 4 4 3
Dita Pratiwi 5 3 3 3 2
Iffat Fairuz 4 3 4 4 2
Ani Nurina L. 5 2 4 2 2
Yosua 5 3 5 5 3
Khairunnisa 4 4 3 3 2
Jumlah 89 64 76 69 49
Rata-Rata 4,45 3,2 3,8 3,45 2,45
138
Skala Kesukaan
x Frekuensi
∑f ∑fx ∑f(x2) F1 F2 F3 F4 F5
5 2 10 3 5 3 1 22 44 88
4 1 9 5 8 6 2 30 30 30
3 0 1 5 5 9 5 25 0 0
2 -1 0 7 2 1 9 19 -19 19
1 -2 0 0 0 1 3 4 -8 16
total ∑ƒ 0 20 20 20 20 20 100
∑ƒx 29 11 18 12 -2 68
∑ƒx2 153
rerata ∑ƒx/∑ƒ
1.45 0.55 0.90 0.60 -
0.10
ANALISA SIDIK RAGAM
SK DB JK KT F Hitung
F
Tabel Ket.
5%
Perlakuan 4 25.46 6.37 7.44 2.47 bn
Galat 95 81.30 0.86
Total 99 106.76
## Study: drm ~ "Sampel" ## ## Duncan's new multiple range test ## for Rasa.Menyimpang ## ## Mean Square Error: 0.9184211 ## ## Sampel, means ## ## Rasa.Menyimpang std r Min Max ## F1 4.45 0.6048053 20 3 5 ## F2 3.20 1.1050125 20 2 5 ## F3 3.80 0.9514532 20 2 5 ## F4 3.45 0.9986833 20 1 5 ## F5 2.45 1.0500627 20 1 5 ## ## alpha: 0.05 ; Df Error: 95 ## ## Critical Range ## 2 3 4 5 ## 0.6016395 0.6331237 0.6540179 0.6693160
139
## ## Means with the same letter are not significantly different. ## ## Groups, Treatments and means ## a F1 4.45 ## b F3 3.8 ## b F4 3.45 ## b F2 3.2 ## c F5 2.45
140
Lampiran 24. Analisis Ragam After Taste Mutu Hedonik
Tabel After Taste Mutu Hedonik
Panelis Perlakuan
F1 F2 F3 F4 F5
M. Ainul Yaqin 5 5 5 5 5
Firda Amrilia H 5 4 4 4 2
Pepy Suhartini 4 4 4 4 4
Khanza Jasmine 5 5 4 4 5
Ghani Rasyid N 5 3 4 3 4
Nur Kaifah A 4 3 1 3 3
Lanny Ariani 4 4 4 4 3
Sabrina Junianta 4 5 4 5 3
Yogan Surya Tirta 5 4 5 3 3
Yuwan Febi 5 5 5 5 4
Rifqi Prasetyo 5 1 4 3 1
Ainun Azizi 5 1 5 5 2
Firda Yunirma 5 4 2 1 2
Atiqa N. 5 5 5 5 5
Budi S. 5 4 4 4 3
Dita Pratiwi 5 5 3 3 3
Iffat Fairuz 5 3 4 4 2
Ani Nurina L. 5 4 4 4 4
Yosua 5 4 5 5 3
Khairunnisa 5 4 4 4 3
Jumlah 96 77 80 78 64
Rata-Rata 4,8 3,85 4,0 3,9 3,2
141
Skala Kesukaan
x Frekuensi
∑f ∑fx ∑f(x2) F1 F2 F3 F4 F5
5 2 16 6 6 6 3 37 74 148
4 1 4 9 11 8 4 36 36 36
3 0 0 3 1 5 8 17 0 0
2 -1 0 0 1 0 4 5 -5 5
1 -2 0 2 1 1 1 5 -10 20
total ∑ƒ 0 20 20 20 20 20 100
∑ƒx 36 17 21 18 8 100
∑ƒx2 209
rerata ∑ƒx/∑ƒ
1.80 0.85 1.05 0.90 0.40
ANALISA SIDIK RAGAM
SK DB JK KT F Hitung
F
Tabel Ket.
5%
Perlakuan 4 20.70 5.18 5.57 2.47 bn
Galat 95 88.30 0.93
Total 99 109.00
## Study: da ~ "Sampel" ## ## Duncan's new multiple range test ## for After.Taste ## ## Mean Square Error: 0.9763158 ## ## Sampel, means ## ## After.Taste std r Min Max ## F1 4.80 0.4103913 20 4 5 ## F2 3.85 1.1821034 20 1 5 ## F3 4.00 1.0259784 20 1 5 ## F4 3.90 1.0208356 20 1 5 ## F5 3.20 1.1050125 20 1 5 ## ## alpha: 0.05 ; Df Error: 95 ## ## Critical Range
142
## 2 3 4 5 ## 0.6203126 0.6527740 0.6743167 0.6900896 ## ## Means with the same letter are not significantly different. ## ## Groups, Treatments and means ## a F1 4.8 ## b F3 4 ## b F4 3.9 ## b F2 3.85 ## c F5 3.2
143
Lampiran 25. Perlakuan Terbaik
Perlakuan T DK L (L) L (D) B (L) B (D) DEK W B BM K R RM AT
F1 9,8 436,48 50,58 71,92 19,34 23,25 24,25 70,0 70,0 81,0 70,0 92,5 85,5 84,5
F2 12,12 422,22 53,03 72,43 20,43 25,31 27,66 70,0 60,0 60,0 70,5 49,0 53,5 58,5
F3 14,55 342,18 53,44 72,73 20,96 25,89 29,92 51,0 66,5 63,0 51,5 64,5 67,0 60,5
F4 14,77 275,07 53,94 73.72 21,54 27,30 32,99 61,0 61,5 56,0 70,5 56,5 61,0 57,0
F5 16,13 161,17 56,33 73,89 30,33 28,23 39,82 48,0 42,0 40,0 37,5 37,5 33,0 39,5
Perlakuan T DK L (L) L (D) B (L) B (D) DEK W B BM K R RM AT
F1 1,000 1,000 0,898 0,973 0,638 0,832 1,000 1,000 1,000 1,000 0,993 1,000 1,000 1,000
F2 0,809 0,967 0,941 0,980 0,674 0,896 0,877 1,000 0,857 0,741 1,000 0,530 0,626 0,692
F3 0,674 0,784 0,949 0,984 0,691 0,917 0,811 0,729 0,950 0,778 0,730 0,697 0,784 0,716
F4 0,664 0,630 0,958 0,998 0,710 0,967 0,735 0,871 0,879 0,691 1,000 0,611 0,713 0,675
F5 0,608 0,369 1,000 1,000 1,000 1,000 0,609 0,686 0,600 0,494 0,532 0,405 0,386 0,467
Perlakuan T DK L (L) L (D) B (L) B (D) DEK W B BM K R RM AT
F1 0,000 0,000 0,102 0,027 0,362 0,177 0,000 0,000 0,000 0,000 0,007 0,000 0,000 0,000
F2 0,191 0,033 0,059 0,020 0,326 0,104 0,123 0,000 0,143 0,259 0,000 0,470 0,374 0,308
F3 0,326 0,216 0,051 0,016 0,309 0,083 0,189 0,271 0,050 0,222 0,270 0,303 0,216 0,284
F4 0,336 0,370 0,042 0,002 0,290 0,033 0,265 0,129 0,121 0,309 0,000 0,389 0,287 0,325
F5 0,392 0,631 0,000 0,000 0,000 0,000 0,391 0,314 0,400 0,506 0,468 0,595 0,614 0,533
144
Perlakuan T DK L (L) L (D) B (L) B (D) DEK W B BM K R RM AT
F1 0,000 0,000 0,010 0,0007 0,131 0,0313 0,000 0,000 0,000 0,000 5E-05 0,000 0,000 0,000
F2 0,036 0,001 0,003 0,0004 0,106 0,0108 0,015 0,000 0,020 0,067 0,000 0,221 0,139 0,095
F3 0,106 0,046 0,002 0,0003 0,095 0,0069 0,035 0,073 0,002 0,049 0,073 0,092 0,046 0,080
F4 0,112 0,136 0,0018 4E-06 0,084 0,0011 0,070 0,016 0,014 0,095 0,000 0,151 0,082 0,105
F5 0,153 0,398 0,000 0,000 0,00 0,000 0,153 0,098 0,160 0,256 0,219 0,354 0,377 0,284
Perlakuan T DK L (L) L (D) B (L) B (D) DEK W B BM K R RM AT
F1 0,071 0,071 0,064 0,069 0,045 0,058 0,071 0,071 0,071 0,071 0,070 0,071 0,071 0,0714
F2 0,057 0,069 0,067 0,0700 0,048 0,064 0,062 0,071 0,061 0,053 0,071 0,037 0,044 0,0494
F3 0,048 0,056 0,068 0,0703 0,049 0,065 0,058 0,052 0,067 0,055 0,052 0,049 0,056 0,0511
F4 0,047 0,045 0,068 0,0713 0,050 0,069 0,052 0,062 0,062 0,049 0,071 0,043 0,051 0,0482
F5 0,043 0,026 0,071 0,0714 0,071 0,071 0,043 0,049 0,042 0,035 0,038 0,029 0,027 0,0333
145
Perlakuan T DK L (L) L (D) B (L) B (D) DEK W B BM K R RM AT
F1 0 0 5E-05 4E-06 0,0007 0,0002 0 0 0 0 2E-07 0 0 0
F2 0,0002 6E-06 0 2E-06 0,0005 6E-05 6E-05 0 8E-05 0,0003 0 0,0009 0,0005 0,0004
F3 0,0005 0,0002 1E-05 1E-06 0,0005 4E-05 0,0001 0,0003 1E-05 0,0002 0,0003 0,0004 0,0002 0,0003
F4 0,0006 0,0007 9E-06 2E-08 0,0004 6E-06 0,0003 6E-05 6E-05 0,0004 0 0,0006 0,0003 0,0004
F5 0,0008 0,002 0 0 0 0 0,0006 0,0004 0,0006 0,001 0,0009 0,0014 0,0015 0,0011
Perlakuan T DK L (L) L (D) B (L) B (D) DEK W B BM K R RM AT
F1 0 0 0,0073 0,0019 0,0258 0,0126 0 0 0 0 0,0005 0 0 0
F2 0,0136 0,0024 0,0042 0,0014 0,0233 0,0074 0,0088 0 0,0102 0,0185 0 0,0336 0,0267 0,022
F3 0,0233 0,0154 0,0036 0,0011 0,0221 0,0059 0,0135 0,0193 0,0036 0,0159 0,0193 0,0216 0,0154 0,0203
F4 0,024 0,0264 0,003 0,0001 0,0207 0,0024 0,0189 0,0092 0,0086 0,0221 0 0,0278 0,0205 0,0232
F5 0,028 0,0451 0 0 0 0 0,0279 0,0224 0,0286 0,0361 0,0334 0,0425 0,0438 0,0381
Perlakuan L1 L2 L Max Terbaik
F1 0,0486 0,0009 0,0602 0,1097
F2 0,1725 0,003 0,1709 0,3464
F3 0,0031 0,0031 0,172 0,3758
F4 0,0038 0,0038 02056 0,4167
F5 0,3463 0,0102 0,3096 0,6661
Keterangan:
T: Tekstur BM: Bau Menyimpang
DK: Daya Kembang K: Keempulam
L(L): Nilai L Crust R: Rasa
L(D): Nilai L Crumb RM: Rasa Menyimpang
B(L): Nilai B Crust AT: After Test
B(D): Nilai B Crumb
DEK: Densitas Kamba
W: Warna
B: Bau
146
Lampiran 26 Perhitungan uji Kimia Roti Manis
1. Kadar Air
Ulangan Berat Awal
(g)
Berat Akhir
(g)
Kadar Air
(BB) (%)
Kadar Air
(BK) (%)
Rata-rata
BB BK
I 3.0286 2.3736 21.63 27.6 22.465 29
II 3.0369 2.329 23.3 30.4
Ulangan I
Kadar Air (BK) = 3,0286 - 2,3736 X 100%
2,3736
= 27,6%
Kadar Air (BB) = 3,0286 - 2,3736 X 100%
3,0286
= 21,63%
Ulangan II
Kadar Air (BK) = 3,0369 – 2,329 X 100%
2,329
= 30,4%
Kadar Air (BB) = 3,0286 - 2,3736 X 100%
3,0286
= 23,3%
147
2. Kadar abu
Ulangan Berat Cawan +
Sampel Awal (g)
Berat Cawan +
Sampel Akhir (g)
Berat
Sampel (g)
Kadar Abu (%)
Rata-rata
I 12.9729 12.997 2,0331 1.19 1.46
II 22,1228 22.1582 2.0506 1.73
Ulangan I
Kadar Abu = 12,9729 – 12,997 X 100%
2,0331
= 1,19%
Ulangan II
Kadar Abu = 22,1228 – 22,1582 X 100%
2,0506
= 1,73%
3. Kadar Lemak
Ulangan Labu Awal (g) Labu Akhir (g) Berat Sampel (g) Kadar Lemak (%)
Rata-
rata
I 33,7607 34,4992 5,0992 14,48 14,71
II 33,7609 34,5542 5,3116 14,94
Ulangan I
Kadar Lemak = 33,7607-34,4992 X 100%
5,0992
= 14,48%
Ulangan II
Kadar Lemak = 33,7609 – 34,5542 X 100%
5,3116
= 14,94%
148
4. Kadar Serat Kasar
Ulangan Kertas Saring
Awal (g)
Kertas Saring
Akhir (g)
Berat
Sampel (g)
Kadar Serat Kasar (%)
Rata-rata
I 0,9407 0,9849 2,0583 2,15 1,56905
II 0,9503 1,0759 2,0506 0,9881
Ulangan I
Kadar Serat = 0,9849 – 0,9407 X 100%
2,0583
= 2,15 %
Ulangan II
Kadar Serat = 22,1228 – 22,1582 X 100%
2,0506
= 0,9881%
149
Lampiran 27. Kromatogram Penelitian
1. Kromatogram Standar Tokoferol dan Tokotrienol
a. α-tokoferol
b. α-tokotrienol
150
a. δ-tokotrienol
c. γ-tokotrienol
151
2. Kromatogram Standar Fitosterol
a. β-sitosterol
152
b. Stigmasterol
153
c. Kampesterol
154
3. Kromatogram Standar Skualen
4. Kromatogram DALMS
a. Kromatogram Tokoferol dan Tokotrienol
155
b. Kromatogram Fitosterol
156
c. Kromatogram Skualen
157
5. Kromatogram FTT dari DALMS
a. Kromatogram Tokoferol dan Tokotrienol
158
b. Kromatogram Fitosterol
159
c. Kromatogram Skualen
6. Kromatogram Mikroemulsi FTT dari DALMS
a. Kromatogram Tokoferol dan Tokotrienol
160
b. Kromatogram Fitosterol
161
a. Kromatogram Skualen
162
Lampiran 28. Dokumentasi Penelitian
DALMS Proses Saponifikasi DALMS
FTT (Bagian Atas) Sebelum Evaporasi FTT Setelah Evaporasi
Pembuatan Mikroemulsi HPLC