forester-tabam-baik
TRANSCRIPT
HAMAH SAGRIM
MENYELAMATKAN HUTAN ADAT PAPUA SEBAGAI
SUPLAI OKSIGEN TERBESAR DUNIA
Merupakan Tinjauan Komunal Terhadap Cara Pengelolaan dan Pemanfaatan Lahan Hutan Oleh Masyarakat Tradisional
Papua, dan Tinjauan Global Tentang Global Warming
MENYELAMATKAN HUTAN ADAT PAPUA
SEBAGAI SUPLAI OKSIGEN TERBESAR
DUNIA
Merupakan Tinjauan Komunal Terhadap Cara Pengelolaan dan
Pemanfaatan Lahan Hutan Oleh Masyarakat Tradisional
Papua, dan Tinjauan Global Tentang Global Warming
HAMAH SAGRIM
HUTAN SEBAGAI CIKAL BAKAL SEJARAH PENEMUAN PULAU PAPUA
OLEH BANGSA PORTUGIS DAN SPANYOL PADA ABAD KE-16
ari sekian tatanan sumber daya hutan adat Papua, salah satu sumber
penghasilannya adalah sebagai penghasil rempah-rempah yang cukup
terkenal pada 1521 yang merupakan cikal bakal penemuan pulau Papua
oleh maritim Spanyol dan Portugis, yaitu rempah-rempah yang disebut
dengan nama ‘Buah Pala’ dan juga bulu burung sebagai hiasan yang diperoleh dari
burung Cenderawasih.
DSejarah penemuan
pulau Papua sebenarnya
tercatat sebagai bagian dari
wilayah perburuan rempah-
rempah yang dilakukan oleh
bangsa Spanyol dan
Portugis. Sebagaimana yang
dicatat adalah bahwa pada
awal abad ke-16 negara-
negara Eropa mulai dalam
bidang penemuan maritim
semakin relatif. Spanyol juga terlibat dalam sebuah pergerakan kebangkitan, terutama
bidang maritim dan mengetahui banyak tempat-tempat harta karun, termasuk Pulau
Papua. Portugis telah mengibarkan benderanya di Papua dengan penjelajahan
menggunakan kapal layar yang sering disebut-sebut sebagai Portuguese fleet.
Pada abad ini, bangsa Spanyol sudah terlalu jauh terlibat dalam sebuah
pergerakan kebangkitan maritim dan telah berhasil berlayar mengelilingi samudra raya
dan mengetahui banyak tempat-tempat penghasil banyak harta kekayaan seperti juga
pulau Papua sebagai salah satu kepulauan penghasil rempah-rempah dan bulu burung
yang diperoleh dari hutan adat. Pada abad ini, Inggris belum meluncurkan angkatan
lautnya, sementara itu, Belanda juga belum mendirikan armada angkatan lautnya,
Gambar: Kapal layar Portugis “Portuguese Fleet” abad-16
sedangkan Portugis sudah lama melakukan perjalanan maritim dan telah menguburkan
Raja mereka – Cucu besar Edward III di Inggris – melalui sebuah perusahaan yang telah
mengangkat nama “Henry sebagai sang Navigator”.
Perjalanan berlayar yang dilakukan oleh maritim Spanyol pada mulanya mereka
secara perlahan-lahan berlayar dengan menggunakan kapal layar dan mereka menyusuri
pantai barat Afrika, sedikit
demi sedikit satu kapten telah
melanggar jarak ketentuan
batas yang dilalui oleh
pendahulunya, sampai
akhirnya pada tahun 1497,
mereka berhasil mengelilingi
Cape wilayah Afrika selatan
benua tersebut itu. Selanjutnya
Portugal secara berani dan
terang-terangan melewati batasan yang lebih jauh dari ribuan mil dan menapaki bentang
luas perairan di wilayah timur, dan mulai menancapkan bendera di berbagai pelabuhan
di samudera Hindia, sebagaimana dilukiskan dalam peta ‘desliens’. [Lihat peta dunia
‘Desliens’- 1566]. Karena Portugis merasa mampu menjelajahi dan telah menancapkan
benderanya di berbagai benua sehingga hal itu mendorong keinginan mereka untuk
berlayar lebih jauh ke Timur untuk mencari kepulauan rempah-rempah. Mereka lalu
menemukan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Timor-Timor, Seram, Kepulauan
Aru, dan Gilolo (Papua), mereka lalu mencapai maluku yang telah didambakan, terkenal
dan banyak memiliki rempah-rempah atau disebut dengan julukan ‘Spice Island’ dan
akhirnya Portugis bekerja dan membangun benteng dan mendirikan stasiun
perdagangan dengan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh Inggris di Afrika
selatan dan ditempat lainnya.1
1 Dalam grafik dari Kepulauan India Timur, mungkin diambil selama pelayaran pertama Portugis ke Kepulauan Rempah (1511-1513), pulau Gilolo disebut Papoia. Banyak pulau-pulau yang terletak di pantai barat dan utara-barat dari New Guinea telah di ketahui oleh Portugis pada tanggal awal, dan diberi nama OS PAPUAS kolektif. Nama itu kemudian diberikan kepada bagian barat New Guinea. Menezes, seorang navigator Portugis, dikatakan telah terhempas oleh pukulan ombak dan badai dan terdampar di beberapa pulau, di mana ia tetap menunggu perubahan cuaca,menunggu cuaca mulai membaik untuk kembali berlayar.
Gambar : Peta dunia ‘Desliens’ – 1566
Sementara itu, setelah penemuan benua Amerika
oleh Christopher Colombus, orang-orang Spanyol mulai
mencari pelabuhan atau navigasi baru bagi mereka
dengan mengekspansi ke arah barat dengan sasaran
utama pada objek pencarian yang sama, namun mereka
menjadi sadar bahwa mereka telah berlayar begitu jauh
dari sasaran utama mereka disekitar Amerika dan
akhirnya dipisahkan oleh samudera yang luas dengan
pulau-pulau yang telah ditemukan oleh Portugis.
Magellan kemudian ditetapkan dan ditunjuk dalam misi untuk pencarian
rempah-rempah ke bagian barat, Magellan kemudian tiba di daerah-daerah dimana
Portugis telah mendirikan armadanya di daratan, sehingga timbullah sengketa mengenai
batas-batas Portugis dan Spanyol. Namun kemudian Paus Alexsander VI dari Portugis,
lalu bermurah hati menganugerahkan satu setengah dari dunia yang belum ditemukan
oleh Portugis kepada Spanyol, dan setengah lainnya milik Portugis.
Sebagai bukti sejarah memang ini sangat penting dan menarik, namun secara
hakiki, kita mesti melihat kembali pada pulau-pulau tersebut dan siapa penghuninya dan
hak-hak penghuni pulau tersebut sebagai hak utama mereka ketika mereka telah mampu
dan mengerti, maka dengan sendirinya wilayah teritory mereka akan dikelolanya
sebagai surga dalam hidupnya.
Pentingnya mengetahuia batas-batas dalam hak ulayat adat sangat penting,
walaupun itu hanya
ditentukan secara komunal.
Persoalan batas inilah yang
membuat Portugis dan
Spanyol bersengketa. Ini
diakibatkan karena ukuran
bumi yang sebenarnya tidak
diketahui pada saat itu, dan
pembagian bumi oleh Paus
Alexander ini di ukur dari
sisi lain menurut wawasannya, sehingga mengakibatkan tumpang tindih dan duplikasi
Gambar: Magellan (seorang maritim spanyol)
The Spice Islands, dari Ribero Peta Resmi Dunia – 1529
memetakan batas-batas Portugis dan Spanyol di longitudes dari Spices Island (lihat peta
ribero), karena tumpang tindih inilah maka tak diragukan lagi jikalau terjadi
persengketaan antara kedua pihak terutama untuk memenuhi keinginan masing-masing
pihak dalam bersaing untuk menyertakan “The Spice Islands” dalam belahan bumi
tersendiri, terutama dimuat dalam sketsa daerah kekuasaan masing-masing.
Sebelum tahun 1529, ketika peta Ribero dibuat, Spanyol telah berlayar
sepanjang 250 mil dari pantai utara pulau Papua. Orang-orang Spanyol menemukan
jejak emas di sepanjang bagian negeri Papua, selain itu Saavendra (Kapten dari
Santiago) juga menamakan negeri Papua dengan sebutan negeri emas hijau green gold
karena hutannya begitu indah dan elok hijau membentangi sepanjang garis pantai pulau
Papua. Setelah itu, Saavendra memberikan nama pulau Papua dengan sebutan “Isla Del
Oro” atau Pulau Emas. Namun digantikan dengan sebutan nama Nova Guinea, atau
New Guinea, karena masyarakat asli yang ditemukan berkulit hitam, dengan rambut
criped pendek atau wol, mirib dengan masyarakat di pantai Guinea di Afrika sehingga
namanya diganti dengan Nova Guinea, setelah itu oleh
a. Peta Papua “New Guinea” Pertama
Pada tahun 1545 Inigo Ortiz de
Retez memerintahkan San Juan
untuk berlayar ke New Guinea
(Papua). Mereka berlayar dari
Tidore di Maluku, pada awal tahun
dan membuat penemuan yang luas
di pantai utara Os Papuas, atau
Papua New Guinea.
Kemudian Bangsa Portugis dan Bangsa Spanyol menggambar peta NEW GUINEA
(peta Papua) untuk pertama kalinya
sehingga dikembangkan secara
sempurna oleh Hindia Belanda,
Amerika dan Jepang lebih
menyempurnakannya seperti yang
kita ketahui sekarang ini. Pada
awalnya, Portugis dan Spanyol
Gambar: Kapal layar Bangsa Spanyol
Gambar: Peta Pulau Papua pertama, di sketsa oleh bangsa Portugis dan Spanyol pada abad ke-15
menggambarkannya sebagai unggas
Guinea, Cenderawasih, sebagaimana
pada gambar. Peta Guinea Nova ini
bahwa ide atau wawasan mereka
tentang bentuknya Pulau itu belum
sempurna namun sudah tergolong
benar. Pada waktu itu ada gagasan
asli tentang bentuk suatu negara
Papua namun belum sesuai. Namun
demikian, beberapa fitur utama penemuan dari Bangsa Portugis dan Bangsa Spanyol di
Papua dan New Guinea sampai dengan tahun 1545, hingga sekarang masih rabun bagi
sebagian sejarawan.
Sekarang kita akan melihat bersama bahwa gilolo (Papua) ditempatkan pada posisi
yang sebenarnya, dua puluh derajat kebarat dimana ia ditempatkan sebelum dipeta
“Ribero’s”. Sekarang peta-peta yang didalam lingkup Portugis itu dimulai dari mana
seharusnya titik awal digambarkan? Penemuan New Guinea oleh Bangsa Portugis
sebenarnya digambar sebagai kepala dan leher unggas. Mereka datang atas nama OS
PAPUAS, dan pulau-pulau Menezes yang dikatakan oleh Lewi – HIC Hibernavit Georg
de Menezes – pada tahun 1526.
Ada tiga pulau besar tanpa nama, antara Os Papuas dan Nova Guinea yang
diwakilinya dan ini dibenarkan karena setelah dibandingkan maka pulau itulah yang
disebut dengan kepulauan Misory dan Jobe dari data peta moderen.
Pada waktu itu, kepulauan Aru juga dipetakan oleh bangsa Portugis dan Spanyol
dan tanimbar (tenimber) atau Kepulauan Timur juga dicantumkan dalam peta (meskipun
tidak diberi nama) sebagai pemukiman Martin Alfonso de Melo. 2
2 Dokumen-dokumen asli Portugis dan Spanyol yang digunakan dalam penyusunan peta ini telah hilang,Peta-peta diatas disalin dari dokumen-dokumen yang berasal dari tahun 1600.
Martin Alfonso de melo, adalah Seorang navigator Portugis , yang namanya belum dinyatakan atau belum dicatat dalam sejarah maritim portugis, sejauh yang saya tahu, dalam sejarah penemuan maritim di daerah Papua.
Gambar: Nova Guinea – Peta Pertama New Guinea
– Tahun 1600
Ada beberapa kontroversi sekitar sejarah penemuan pulau New Guinea dan
Australia, oleh Eropa. Namun dari berbagai ahli sejarah berpendapat bahwa ini adalah
campuran seni dengan sejarah Untuk perspektif lain tentang sejarah tersebut. Pembaca
disarankan untuk mempertimbangkan teks yang lebih baru serta yang lain dari periode
yang sudah online seperti Sejarah Singkat Australia oleh Ernst Scott (tersedia melalui
Perpustakaan Nalanda di Institut Teknologi Nasional Kalkuta, Negara Kerala, India).
Pola hunian masyarakat adat New Guinea abad-15 sebagaimana yang telah di sketsa
oleh maritim Portugis dan Spanyol adalah mereka berkelompok dan membentuk pola
hunian dengan mendirikan
perumahan diatas panggung
berjejer sepanjang tepi sungai
dan lereng perbukitan. Pola
hunian mereka berdasar atas
keluarga inti dan kerabat dekat
yang mana garis kekerabatannya
didasarkan atas keturunan
patirilineal dan kerabat dari
garis keturunan matrilineal. Demikian bahwa pola hunian demikian sebagaimana pada
gambar. Ada ceritera tua yang mengatakan bahwa sistem perkumpulan semacam ini
telah ada semenjak masyarakat adat Papua New Guinea menyadari akan
kebergantungan hidup antar satu dengan yang lain.
b. Pendidikan Zaman Pendudukan Asing Di Tanah Papua
1. Kedatangan Orang Portugis dan Spanyol di Tanah Papua
Setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, bangsa Portugis dan Spanyol terus
menelusuri laut Maluku dan terus ke Timur hingga Papua pada tahun 1521, untuk
mencari sumber rempah-rempah, hingga akhirnya menemukan pulau Maluku yang di
idam-idamkan dan diberi julukan Spice Island. Penelusuran ini akhirnya mereka
menguasai pulau-pulau Maluku seperti Ternate, Tidore, Ambon, Bacan, hingga
akhirnya Gilolo atau Papua di kuasainya. Tujuan utama daripada penguasaan kepulauan
ini tidak lain adalah dalam misi mencari rempah-rempah. Selain pencarian rempah-
rempah, mereka selalu di ikuti oleh misionaris Roma Katolik. Setelah mereka
menemukan daerah baru, yang mereka kerjakan adalah menjadikan masyarakat
Gambar: Pola Hunian masyarakat adat New Guinea
setempat untuk memeluk agama Roma Katolik. Setelah mereka di baptiskan, langkah
selanjutnya adalah kepada mereka (penduduk) diberi pendidikan agar agama yang baru
dianut itu dapat dipertahankan dan terus berkembang.
Agama Kristen Katolik pertama kali di kembangkan di kepulauan Maluku. Yang
pertama-tama mengembangkan agama Kriaten Katolik di Maluku adalah dari Ordo
Franciskan, namun kemudia mereka terdesak oleh Ordo Yezuit di bawah pimpinan
Franciscus Xaverius, dimana ia menjadi peletak dasar katolicisme di wilayah Maluku.
Untuk mengembangkan agama Kristen Katolik itu, penguasa Portugis di Maluku
Antonio Galvano pada tahun 1536 mendirikan sekolah seminary (seminary school).
Mungkin inilah lembaga pendidikan pertama yang dibentuk sebagai sekolah di Maluku
dan Indonesia. Di seminary itu, diajarkan agama Kristen Katolik dan baca tulis huruf
latin, dan juga diajarkan bahasa latin, karena pada abad itu, bahasa latin sebagai bahasa
ilmiah yang populer di dunia.
Pendudukan Portugis dan Spanyol di Maluku dan Papua tidak bertahan lama, karena
pada akhirnya Belanda dapat mengusir mereka, dan kemudian mengambil alih harta
kekayaan Gereja Katolik, termasuk lembaga pendidikannya dan diserahkan kepada
Zending Protestan. Akhirnya pada tahun 1855 dua penginjil kristen Protestan dari
Jerman Otow dan Geisler tiba di Mansinam Manokwari Kowawi Papua, dan
mengucapkan doa kepada Tuhan: Dengan Nama Tuhan Kami Menginjak Tanah Ini.
Selain itu, Otow dan Geisler membuat suatu pesan dalam batu nizan di pulau Mansinam
Kowawi, bahwa: Di atas Batu ini saya meletakkan peradaban bangsa ini, walaupun
bangsa lain berkembang dan bangkit memimpin bangsa lain namun bangsa ini akan
bangkit memimpin dirinya sendiri. Otow dan Geisler sebagai orang Pertama yang
memberitakan pengajaran injil kristen melalui Kristen Protestan, selain itu juga mereka
berdua melakukan pendidikan atau mengajar masyarakat setempat dengan tujuan agar
pengajaran Kristen Protestan dapat di ajarkan kepada seluruh orang Papua. Akhirnya
apa yang diperjuangkan Otow dan Geisler dapat tercapai. Awalnya mereka menangkap
seorang anak muda dan membawanya dan mendidiknya bahasa Jerman dan akhirnya
anak tersebut dapat mengerti bahasa Jerman selanjutnya ia di ajari alkitab dengan tujuan
agar injil kristan dapat disampaikannya kepada keluarga, masyarakat dan berkembang
hingga keseluruhan orang Papua. Otow dan Geisler dianggap sebagai bapak pencerahan
bagi orang Papua pada abad 18, selain itu, mereka sebagai Bapak Peradaban orang
Papua.
2. Zaman VOC
Pada tahun 1596 Belanda pertama kali mendarat di terluk Banten di bawah
pimpinan Cornelius de Houtman. Kemudian mereka menelusuri ke daerah timur banten,
sehingga sampai di Jayakarta, dirubah namanya menjadi Batavia (Jakarta), dan pada
tahun 1602 di dirikanlah suatu perkumpulan dengan Vereenigde Oost-Indische
Compagnie, yang lebih dikenal dengan singkatan VOC. Selanjutnya keluarga Belanda
membutuhkan pendidikan, baik pendidikan umum (Pengetahuan umum maksudnya)
maupun pengetahuan khusus, dan sebagai perkumpulan dagang VOC membutuhkan
tenaga pembantu dari bumi putra, maka mereka mendirikan lebaga-lembaga pendidikan.
1) Dasar dan Tujuan Pendidikan Belanda
Sebagai perusahaan dagang, wajarlah VOC memiliki tujuan komersial, yaitu
mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi kepentingan Belanda pada umumnya dan
pemegang saham pada khususnya. Pada abad 17 dan 18 di Negeri Belanda segala
kegiatan yang menyangkut pendidikan dilaksanakan oleh lembaga keagamaan.
Pemerintah tidak iktu campur dalam penyelenggaraannya, sehingga Gereja memiliki
kebebasan untuk menyelenggarakan pendidikan. Namun di Papua, VOC tidak
menginginkan Gereja (lembaga keagamaan) memiliki wewenang besar dalam mengatur
masyarakat di daerah-daerah yang mereka kuasai. Sehingga kegiatan Gereja merupakan
bagian dari kegiatan VOC. Jadi perluasan agama Kristen Protestan dilaksanakan oleh
VOC sendiri, sesuai dengan instruksi tahun 1617 kepada semua Bustir di Papua dan
Raad Van Indie diantaranya supaya VOC memperkembangkan agama Kristen dan
mendirikan sekolah-sekolah untuk membendung agama Katolik. Sekolah-sekolah
tersebut di biayai oleh VOC untuk dijadikan Persemaian agama Kristen Protestan.
Karena pendidikan dilaksanakan oleh kalangan Gereja, walaupun mereka sebagai
pegawai VOC, yang menjadi dasar pendidikan adalah agama Kristen Protestan,
akhirnya selain sekolah-sekolah Pendidikan Katolik atau (YPPK). Protestan mendirikan
sekolah Pendidikan Protestan (YPK). Adapun yang menjadi tujuan pendidikan adalah:
a) Untuk mengembangkan ajaran Kristen Protestan
b) Pendidikan yang diberikan kepada orang Papua untuk mendapatkan tenaga
pembantu yang murah, dan dapat dipekerjakan di VOC.
Gambar : Orang Papua dengan Busana dan kelengkapan
tarian tradisional
PEMBAHASAN UMUM SUKU BANGSA DI PAPUA –
studi etnografis
apua terdiri dari kurang
lebih 270-an suku
bangsa atau etnis yang
mana memiliki
keanekaragaman adat istiadat serta
kebudayaan, dimana setiap suku
bangsa mempunyai ciri khas
tersendiri. Ciri khas tersebut dapat
membedakan kebudayaan suatu
kelompok etnis yang satu dengan
etnis yang lain. Untuk membedakan
ciri khas budaya pada setiap etnis
yang ada, maka perlu kita
mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan kebudayaan.
P
a. Kebudayaan atau adat istiadat menurut seorang Antropolog yang bernama E.B. Taylor
mengatakan kebudayaan adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan,
kepercayaan, seni, kesusasteraan, hukum, adat istiadat serta kesanggupan dan kebiasaan
lainnya yang dipeljari oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat.
b. Selanjutnya juga menurut Ralp Linton bahwa kebudayaan adalah keseluruhan dari
pengetahuan, sikap, dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang di miliki dan
diwariskan oleh anggota suatu masyarakat tertentu.
Pada umumnya semua kebudayaan dari setiap suku bangsa diatas muka bumi ini terdapat 7
(tujuh) unsur universal yaitu :
1. Bahasa
2. Sistim pengetahuan
3. Organisasi sosial dan kekerabatan
4. Sistim Teknologi
5. Sistim mata pencaharian hidup
6. Sistim Religi
7. Kesenian.
A. Pengertian Etnografi Papua
Etnografi Papua yaitu suatu studi deskriptif mengenai masyarakat-masyarakat
sederhana di Papua (masyarakat adat), Atau suatu gambaran tentang kebudayaan-kebudayaan
suku bangsa yang hidup di Papua, serta Etnografi adalah ilmu yang melukiskan tentang suku-
suku bangsa yang tersebar di muka bumi ini dan secara khusus di Papua.
A.1. Tujuan
Tujuan daripada Sub Judul ini adalah Agar supaya pembaca dapat mendeskripsikan,
melukiskan atau menggambarkan kondisi sosial budaya adat istiadat dan juga kondisi alam di
Papua.
A.2. Kondisi Lingkungan Alam Papua
1. Letak, Luas dan Batas Wilayah.
2. Pulau Papua yang tampak berbentuk seekor burung raksasa yang mirib seekor dinosaurus
yaitu binatang dari kala mezoikum yang kini telah punah.
3. Sekitar 47 % bagian dari wilayah pulau ini yang berada di sebelah barat merupakan bagian
kepala, tengkuk, punggung, leher, dada dan perut dinosaurus dan merupakan wilayah Papua
dan 53 % sisanya adalah wilayah Negara tetangga kita, Papua new Guinea.
- Pulau Papua memiliki luas wilayah sebesar kurang lebih 416.800 Km2 yang batas
wilayahnya sebagai berikut :
a. Sebelah utara berbatasan dengan lautan teduh dan laut Halmahera
b. Sebelah Timur berbatasan langsung dengan Negara tetangga Papua New Guinea
c. Sebelah selatan berbatasan dengan laut Arafura dan benua Australia
d. Sebelah Barat berbatasan dengan laut Seram, laut Banda atau propinsi Maluku.
e. Bagian utara pulau Papua terdapat banyak pulau yaitu antara lain ; pulau Yapen, Pulau
Numfor,Supiori, Padaido, dan pulau Roon yang berada di teluk Cenderawasih. Selain
itu dibagian utara kepala burung terdapat pulau Batanta, Salawati, Doom Waigeo, dan
pulau Misol. Sedangkan dibagian Selatan terdapat pulau-pulau, seperti; pulau Adi,
pulau Aiduma, Naurio, Yosudarso (Kimam) dan pulau Komoran.
f. Selain Pulau-pulau di Papua juga terdapat beberapa teluk dan sungai yang cukup besar
dan mempunyai potensi sumber daya alam (SDA). Teluk-teluk tersebut terdapat di
bagian utara, diantaranya ; Teluk Yosudarso, teluk Cenderawasih, teluk Wandamen,
teluk Berau/Bintuni, dan di bagian selatan terdapat diantaranya teluk Arguni, teluk
Triton dll. Sedangkan sungai-sungai yang terdapat di Papua antara lain; Sungai
Membramo, sungai grime, sungai Tami, dan sungai-sungai di pantai selatan pulau
papua antara lain; sungai Kais, sungai Kamundan, sungai Balim, sungai Digul dan lain-
lainnya yang bermuara ke laut Arafura.
g. Sedangkan daerah pegunungan di Papua antara lain; pegunungan Tamrau, Arfak,
Sudirman, Nasauw, Jayawijaya dengan puncak-puncaknya yang tertinggi yaitu; Puncak
Jaya (5.030 m), puncak Trikora( 4.750 m), puncak Yamin. Puncak Jaya memiliki
keajaiban sendiri di dunia karena walaupun terletak di daerah tropis namun, puncak
tersebut diselimuti salju abadi sepanjang tahun.
h. Pulau Papua berada di dekat khatulistiwa dan beriklim tropic. Suhu udara pada
ketinggian permukaan air laut hampir seragam bagi seluruh propinsi yaitu rata-rata 26
derajat Celsius. Variasi suhu terjadi karena ketinggian daerah yang berbeda-beda.
Setiap ketinggian 100 meter terjadi penurunan suhu sebanyak kurang lebih 0.6 derajat
Celsius. Karena itu tanah pegunungan yang mencapai ketinggian lebih dari 4,400 meter
senantiasa tertutup salju abadi. Kecuali oleh ketinggian suatu daerah, suhu juga
ditentukan oleh factor-faktor lain, seperti banyak angina naik menyebabkan penurunan
suhu dan banyak angina turun menyebabkan kenaikan suhu.
i. Curah hujan bagi sebagian besar pulau Papua cukup tinggi rata-rata 2,000-3000
milimeter tiap tahun, dibeberapa tempat di pegunungan tengah curah hujan kadang-
kadang melebihi 4000 milimeter setahun.
j. Adapun perbedaan antara musim-musim pada umumnya tidak terlalu besar kecuali di
daerah dataran rendah utara, tempat hujan selama bulan juli hingga September
mencapai 200 milimeter tiap bulan. Pada umumnya tidak terdapat musim-musim yang
terlampau kering.
- Ada 4 (empat) zone ekologis utama, yaitu :
1. Zone rawa, pantai dan sepanjang aliran sungai, meliputi daerah Asmat, Jagai, Awyu,
Yagai Citak, Marind Anim,Mimika/Kamoro dan Waropen
2. Zone dataran tinggi, meliputi orang Dani, Yali, Ngalum, Amungme, Nduga, Damal,
Moni dan orang Ekari/ Mee
3. Zone Kaki gunung dan lembah-lembah kecil, meliputi daerah Sentani, Nimboran,
Ayamaru dan orang Muyu
4. Zone dataran rendah dan pesisir, meliputi Sorong samapai Nabire, Biak dan Yapen.
A.3. Menelusuri Asal Usul Nama Papua.
a. Pada abad ke-15, bangsa Eropa menyebut Papua dengan nama Gilolo, setelah itu disebut
Green Gold oleh Saavendra kapten dari Spanyol.
b. Orang Belanda meyebut pulau Irian atau Papua sekarang yaitu Niew Guinea mengikuti
nama yang disebut oleh seorang pelaut Spanyol yakni Ynigo Ortiz de Retes (1545) yang
menyebut “Neuva Guinea” ( Guinea Baru).
c. Sebutan lain juga adalah “Papua” yang mula-mula dipakai oleh pelaut Portugis Antonio d’
Arbreu yang mengunjungi pantai Papua pada tahun 1551. Nama itu sebelumnya dipakai
oleh Antonio Pigafetta pada waktu berada di laut Maluku pada tahun 1521. kata Papua
berasal dari kata “ Pua-pua” yang berarti keriting.( Stirling, 1943;4, dalam Koentjaraningrat,
1993).
d. Dalam konferensi Malino 1964 nama “Iryan” diusulkan oleh F. Kaisepo, Kata itu berasal
dari bahasa Biak yang artinya “ Sinar matahari yang menghalau kabut dilaut, sehingga ada
harapan bagi para nelayan Biak untuk mencapai tanah daratan Irian”. Pengertian lain dari
kata ini juga pada orang Biak, bahwa Irian itu berasal dari dua kata yaitu “iri” dan Ryan” Iri
berarti “dia” ( dia yang dimaksud disini adalah Tanah) dan Ryan berarti “panas”. Jadi arti
dari kata Irian ini adalah Tanah yang Panas. Lain juga masyarakat Marind-anim di pantai
selatan mengatakan kata Irian berarti Iri berarti Tanah dan An berarti air jadi Irian artinya
“tanah air”.
e. Akhirnya Presiden Soekarno mempopulerkan kata Irian sebagai kata yang pertama dari
singkatan Ikut Republik Indonesia Anti Nederland.(Koentjaraningrat, 1993).
A.4. Pemetaan Suku-Suku Bangsa Di Papua
1. Dalam uraian ini akan membahas kategori-kategori kebudayaan adatistiadat Papua yang
pernah dibuat oleh ahli-ahli Antropologi dan Linguistik. Menurut SIL ( Sumer Institute
of language) bahwa kebudayaan Papua, jika dikategori berdasarkan bahasa maka di
Papua terdapat 251 bahasa (Peter J.Zilzer & H.H Clouse, 1991).
2. Menurut Koentjaraningrat (1994) kebudayaan di Papua menunjukkan corak yang
beraneka ragam yang disebut sebagai kebhinekaan masyarakat tradisional Papua.
3. Menurut Tim peneliti Uncen (1991) telah diidentifikasi adanya 44 suku bangsa yang
masing-masing merupakan satuan masyarakat, kebudayaan dan bahasa yang berdiri
sendiri. Sebagian besar dari 44 suku bangsa itu terpecah lagi menjadi 177 suku.
4. Menurut Held (1951,1953) dan Van Bal (1954), ciri-ciri yang mencolok dari Papua
adalah keanekaragaman kebudayaannya, namun dibalik keanekaragaman tersebut
terdapat kesamaan ciri-ciri kebudayaan mereka.
5. Menurut kami, ciri utama yang menunjukkan perbedaan antara satu suku dengan suku
lain di Papua adalah bahasa yang mana bunyi, dialektika, dan langgamnya sebagai
ukuran utama dalam membedakan suku yang satu dengan suku-suku lain. Atau disebut
juga bahwa suku-suku di Papua membedakan diri mereka berdasarkan bahasa melalui
bunyi, dialektika, dan langgam.
A.5. Ciri dan Identitas Orang Papua
Orang Papua tidak pernah diteliti oleh para ahli mengenai cri-ciri ras. Hanya beberapa orang
dokter dan ahli antropologi ragawi saja yang telah melakukan pengukuran tinggi badan dan
indeks ukuran tengkorak pada beberapa individu dibeberapa tempat yang terpencar. Bahan-
bahan itu belum cukup untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh tentang ciri-ciri fisik
masyarakat di Papua. Menurut H.J.T. Bijlmer (1923: 335-488; 1926:2390-2396, dalam
Koentjaraningrat, 1993).
1. Ada kecenderungan bahwa orang Papua makin jauh dari pantai makin pendek tubuhnya,
demikian pula bentuk tengkorak penduduk pantai umumnya lonjong dan makin kearah
pedalaman bentuknya menjadi sedang. Indeks ukuran bagian-bagian muka pada beberapa
penduduk pantai ada yang lebar, namun tidak jarang pula ada orang pantai yang panjang
bentuk mukanya, dan didaerah pedalaman keadaannyapun sama (Bijlmer, 1956, lihat
Koentjaraningrat, 1993).
2. Kebhinekaan ciri-ciri ras pada berbagai penduduk asli Papua lebih jelas terlihat melalui ciri-
ciri ras fenotip mereka, yaitu warna dan bentuk rambut, walaupun dalam hal ini tidak ada
keseragaman. Warna rambut orang Papua hampir semuanya hitam tetapi tidak semuanya
keriting. Penduduk yang tinggal di sepanjang sungai Mamberamo, rambutnya banyak yang
berombak dan bahkan ada pula yang lurus (Moszkowski, 1911: 317-318), sedang ada pula
yang lurus dan kejur (Neuhauss, 1911:280,dalam Koentjaraningrat, 1993).
A.6. Persebaran Orang Papua
Uraian yang menggambarkan bagaimana sebaran dan komposisi penduduk Papua secara
umum, dimana termasuk didalamnya penduduk dari luar yang berada di Papua berdasarkan
sebaran suku bangsa melalui sensus belum dapat dilakukan secara terperinci, sehingga jumlah
yang pasti tentang berapa banyaknya orang Papua (penduduk asli) tidak dapat disajikan secara
lengkap.
Namun untuk dapat mengetahui sebaran orang Papua berdasarkan suku bangsa, di Papua
khususnya orang asli dapatlah disajikan berdasarkan Kabupaten dan sebaran kelompok suku
bangsanya. Untuk itu data sementara yang masih perlu dilengkapi lagi melalui suatu kajian
lapangan (penelitian) antropologi, sehingga dapat dijabarkan secara lengkap sebaran suku
bangsa- suku bangsa berdasarkan daerah kebudayaannya.
NOKABUPATEN - KECAMATAN SUKU BANGSA SUB SUKU BANGSA
1 Jayapura Teluk Humbolt, Teluk ImbiEnjros, Tobati, Injerau, Metu, Debi
Jayapura Selatan Yos SudarsoMeterau, Kayu Injau, Kayu Batu
Jayapura Utara Teluk ImbiNafri, Skou (Jambe, Sai, Mambo)
Abepura Teluk ImbiAbrab, Manem, Merep, Awi (Beibwo)
Arso Taiget/KeeromOrmu, Tabla/Tepra, Munggei
Depapre Tanah MerahBonggo, Yarsum, Betaf, Bgu (Bgufinti,
Kaptiau, Tarfia) Pulau-pulau (Wakde,
Masi-masi, Jamna, Podena, Anus, Jarsum)
Bonggo Pantai Timur Namblong, Kwanzu Nimboran Nimboran/Nambling Kemtuk, Gresi
Kemtuk, Gresi Kemtuk, GresiSifari (Tarfia, Sou, Ambora, Muris Kecil,
Muris Besar, Yauhapsa); Yakari (Bukisi,
Meukisi, Kamtumilena, Soroyena, Demoi)
Kaureh LerehKaureh, Sause, Kasu, Takana
Tor Atas Tor
Foya, Mandes, Subar, Bonerif, Biyu, Daranto,
Segar, Bora-bora, Waf, Berik, Kwersupen
Sarmi Sarmi
Airoran, Samarokena, Kwerba, Sabori, Sobei
Senggi SenggiFind, Warlef, Waina, Molof
Waris WalsaWalsa, Mii (Fermanggam)
Web Ubrub
Dra, Dubu, Emum, Nemnenda, Jibela, Yafanda
Unurum Unurum Guay Unurum, Guay Mamberamo Hilir Bauzi Warembori, Pauwe,
Warewek Mamberamo Tengah Bauzi Bauzi, Nopuk Mamberamo Hulu Dabra Nisa, Karama
Pantai Barat Pantai Barat
Kwesten, (Keder, Dabe, Mengke, Takar);
Mawes, (Maweswares, Mawesdai)
Foya Foya Uta Uta
2 Yapen Selatan/Barat/Timur Yapen
Woriasi, Ambai, Serui Laut, Busamui, Ansus,
Waropen atas/Bawah Waropen
Pom, Woi, Munggui, Marau, Pupui, Tamakuri,
Kurudu
Kerema, Sarobi, Siromi, Baudi, Kai, Taru, Demisa
Serui, Kurudu3 Biak Numfor Biak Numfor Biak Numbfor
4 Paniai Ekari (Mee)
Windesi, Mor, Yaur, Mer, Yeretuar, Dou, Eguay,
Nabire Napan Timorini
Mogopia, Iyatuma, Wodatuma, Makituma, Moi,
Aradide, Homeyo, Kamu, Mapia,
Kiri-kiri, Turu, Taori-key, Fayu
Paniai Barat/Timur, Tigu, Uwapa,
Sugapa, Beoga
5 ManokwariArfak, Amberbaken, Mansubaber
Mantion, Hatam, Meyah, Sough, Amberbaken,
Warmare, Anggi, Orans Bari, Wandamen, Bintuni/Wamesan
Saukorem, Karon Pantai, Tanah Merah, Babo,
Ransiki, Merdey,
Arandai, Kemberano, Meninggo, Kaburi, Roon,
Manokwari, Kebar, Amberbaken
Mioswar, Rumberpon, Wandamen, Kuri
Babo, Windesi, Bintuni, Wasior
6 Sorong Moi
Arfak, Moi-Dial (Seget), Moi-Klasen, Moi-Kalabra
Moi, Morait, As
Maya, Amber, Kawe, Batol, Fiawat,
Mocu, Suruan, Sautrop, Biser, Matbat, Gebe, Sopen
7 Sorong Selatan Teminabuan
Tehit, Matbat, Gemna, Ogit, Syaifi, Sawiat, Bira,
Inanwatan
Metemani, Kokoda/Ogit, Yahadian
8 Maybrat Maybrat Ayamaru, Karon, Yeden
Ayamaru (ra Maru), Aifat (Rae Brat), Aitinyo (Ra te)
Aifat, Aitinyo, Ayamaru,
Mare (Ra Mare), Sawiat (Na Sawiat), Sufari (Tarfia,
Ayamaru Utara
Sou, Amboras, Muris). Karon Pantai, Karondori,
Marei, Madik, Meyah, Hatam, Arfak.
9 Fak fak Fak fak
Onon, Iha, Karas, Baham, Buruwai, Kamberau,
Fak fak, Kokas, Teluk Arguni, Arguni, Kaimana,
Irarutu, Mairasi, Semini, Koiwai, Panuku, Guenora
Kaimana, Teluk Etna Kaimana 10 Mimika Kamoro Kamoro
Mimika Amungme Amungme Agimuga
11 Merauke Asmat
Kayagar, Kaugat, Sawi, Airo, Sumaghage, Bapian,
Sawermas, Pantai Kasuari, Citak,
Awyu/Yagi, Kimam, Marind-Anim Pisa, Tamnin,
Mitak, Asgon Mandobo, Mandup, Wambon, Awyu, Yagai, Yah'ray, (Kakero, Wadaghang),
Edera, Nabiaomen, Bapai Muyu
Riantama, Koneraw, Kimaghama, Ndom, Moembun,
Kimam
Yab-Anim, Bian-Anim, Jee-Marind, Maklew-Anim,
Merauke, Okaba, Muting
Kanum-Anim, Wambon, Anyum, Kaitumbdik,
Jair, Mandobo, Kouh Genemtak, Lagailuk,
Mandup (Okopari), Kamindip,
Waroko, Mindiptanah
Kakaip, Janggom, Are, Kataut, Kapom (Okpari),
Kamindip, Kakaip, Janggom, Are, Katut, Kapom,
Okpari
12 Jayawijaya Dani/Lani
Dani Induk, Dani Wodo, Dani Kimam, Dani Wosi,
Wamena, Aslogaima, Bokondini, Mek
Dani Bele, Dani Aikhe, Dani Jurang
Karubaga, Kelila, Kurulu, Makki, Ngalum
Kosarek, Bime, Epomek, Nalcan, Endoman, Tanime,
Tiom, Kurima
Una, (Langda, Bomela, Sontamon), Ketengban,
Kiwirok, Okbibab
Kupla, Morop, Kusumkim, Walapkubun, Oktawat,
Oksibil
Oksibil, Dabolding (Mabilabon), Yapimakot,
BulangkopSumber :
Walker Malcon dkk 1987. Region development planing for irian jaya Anthropology sector report
A.7. Bahasa Dan Sistem Pengetahuan
Kebhinekaan sukubangsa tercermin dalam berbagai unsur budaya seperti bahasa, struktur
organisasi sosial, sistem kepemimpinan, agama, dan sistem mata pencaharian hidup
berdasarakan ekologi daerah tersebut. Masyarakat yang bersifat plural societies yang multi
etnik, multi kultural, multi kedaerahan, dan multi keagamaan itu membawa implikasi beragam
dan spesifiknya institusi menyebabkan hubungan dan jaringan sosial kelompok-kelompok
masyarakat lebih banyak bersifat homophily dibanding heterophily. Penduduknya diklasifikasi
sesuai spesifikasi geografis, ekologi, kewilayahan, sosial, budaya, dan ekonomi.
Apakah bahasa itu ? Bahasa adalah suatu sistem bunyi, yang kalau digabungkan menurut
aturan tertentu menimbulkan arti, yang dapat ditangkap oleh semua orang yang berbicara dalam
bahasa itu. Meskipun manusia pertama-tama bersandar pada bahasa untuk saling
berkomunikasi satu sama lain, tetapi bahasa bukanlah satu-satunya sarana komunikasi. Sarana-
sarana lain itu adalah para bahasa (para language) yaitu suatu sistem bunyi yang menyertai
bahasa, dan kinesika (kinesics) yaitu sistem gerakan tubuh yang digunakan untuk
menyampaikan pesan (Haviland, 1988: 359). Kalau dilihat dari konsep tersebut di atas, maka
orang Papua juga mempunyai suatu sistem bunyi yang dapat menimbulkan arti berdasarakan
kebudayaan mereka masing-masing.
Orang Papua secara umum dibagi kedalam dua kelompok besar menurut pembagian bahasa
yang digunakan. Kedua bahasa tersebut adalah bahasa Austronesia dan bahasa Non
Austronesia. Adapun bahasa-bahasa yang masuk dalam kelompok Austronesia disebut dengan
nama bahasa-bahasa Papua. Dua bahasa ini merupakan bahasa induk yang kedalamnya
tergolong bahasa-bahasa lokal yang kurang lebih 251 buah bahasa (Silzer, 1986; Penelitian
Program Bahasa, Uncen, 2001) Bahasa sebagai wahana berkomunikasi antara warga, maka tiap
kelompok etnik mengujar bahasa tertentu selalu membedakan diri mereka dari kelompok
pengujar bahasa lain. Ini berarti dari segi kebahasaan terdapat kurang lebih 251 kelompok etnik
yang masing-masing merasa dirinya berbeda dari kelompok-kelompok lainnya.
A.8. Sistem Pengetahuan
Nilai budaya yang bermanifestasi dalam bentuk etika, norma, peraturan, hukum dan aturan-
aturan khusus yang menjadi pedoman bagi manusia itu berbeda dari satu masyarakat
kebudayaan dengan masyarakat kebudayaan lainnya. Apa yang dianggap bernilai tinggi oleh
masyarakat kebudayaan A belum tentu dianggap baik oleh masyarakat kebudayaan B. Apa yang
dianggap patut dipatuhi oleh masyarakat kebudayaan C belum tentu dianggap penting untuk
dipatuhi oleh masyarakat kebudayaan D. Demikian seterusnya.
a. Kluckhohn dan Stodbeck (1961), secara universal bersumber dari konsepsi yang berbeda
terhadap lima hal atau prinsip dasar. Kelima hal atau prinsip dasar itu adalah:
- Konsepsi terhadap hakekat hidup (MH). Semua kebudayaan di dunia ini, niscaya memiliki
konsep tentang apa yang disebut hidup. Apa arti hidup ini, apa tujuannya dan bagaimana
menjalankannya. Biasanya agama-agama memberikan tuntunan terhadap seseorang
sehingga terbentuk persepsinya terhadap hakekat hidup itu. Terhadap hakekat hidup
terdapat bermacam-macam tanggapan, ada yang memandang dan menanggapi hidup itu
sebagai kesengsaraan yang harus diterima sebagai ketentuan yang tak dapat dihindari:
sebagai hidup untuk menebus suatu dosa; sebagai kesempatan untuk menggembirakan diri;
menerima sebagaimana adanya; dan berbagai tanggapan lainnya.
- Konsepsi terhadap karya manusia (MK). Tanggapan tentang arti karya terdapat banyak
variasi yang ditampilkan oleh berbagai kebudayaan. Ada yang memandang karya atau
bekerja itu sebagai sesuatu yang memberikan suatu kedudukan yang terhormat dalam
masyarakat atau mempunyai arti bagi kehidupan; bekerja itu adalah pernyataan tentang
kehidupan; bekerja adalah intensifikasi dari kehidupan untuk menghasilkan lebih banyak
kerja lagi; dan berbagai macam konsepsi lainnya yang menunjukkan bagaimana manusia
hidup dalam kebudayaan tertentu memandang dan menghargai karya itu.
- Konsepsi terhadap alam (MA). Bagaimana manusia harus menghadapi alam, juga terdapat
persepsi yang berbeda-beda menurut tiap-tiap kebudayaan. Ada yang memandang alam ini
sebagai sesuatu yang potensial dapat memberikan kehidupan yang bahagia bagi manusia
dengan mengolahnya; ada yang memandang alam ini sebagai sesuatu yang harus dipelihara
keseimbangannya sehingga harus diikuti saja hukum-hukumnya; ada yang memandang
alam ini sebagai sesuatu yang sakral dan maha dahsyat sehingga manusia itu pada
hakekatnya hanya bisa bersifat menyerah saja dan orang harus menerima sebagaimana
adanya tanpa berbuat banyak untuk mengolah alam; dan berbagai tanggapan lainnya.
- Tanggapan terhadap waktu (MW). Ada berbagai tanggapan tentang soal waktu menurut
masing-masing kebudayaan. Ada tanggapan bahwa yang sebaik-baiknya adalah masa lalu
yang memberikan pedoman kebijaksanaan dalam hidupnya; ada yang beranggapan bahwa
orientasi ke masa depan itulah yang terbaik untuk kehidupan ini. Dalam kebudayaan serupa
itu perencanaan hidup menjadi suatu hal yang amat penting. Sebaliknya ada pula
kebudayaan-kebudayaan yang hanya mempunyai suatu pandangan waktu yang sempit,
mereka memandang waktu sekarang adalah waktu yang terpenting. Warga dari kebudayaan
serupa itu tidak akan memusingkan diri dengan memikirkan zaman yang lampau maupun
masa akan datang. Mereka hidup menurut keadaan yang ada pada masa sekarang ini.
- Tanggapan terhadap sesama manusia (MM). Ada kebudayaan-kebudayaan yang
menanamkan pada warga masyarakatnya pandangan-pandangan terhadap sesama manusia
bahwa hubungan vertikal antara manusia dengan sesamanya adalah amat penting. Dalam
pola kelakuannya, manusia yang hidup dalam kebudayaan serupa itu akan berpedoman
kepada tokoh-tokoh pemimpin dan orang-orang senior, sehingga orang atasan selalu
dijadikan panutan bagi warganya. Ada yang menanamkan pandangan bahwa hubungan
horizontal antara manusia dengan sesamanya sebagai yang terbaik. Orang dalam suatu
kebudayaan serupa itu akan merasa amat tergantung kepada sesamanya, dan usaha untuk
memelihara hubungan baik dengan tetangganya dan sesama kaum kerabat dianggap amat
penting dalam hidup. Sebaliknya ada kebudayaan yang berorientasi bahwa menggantungkan
diri pada orang lain adalah bukan hal yang baik. Dalam kebudayaan serupa itu
individualisme amat dipentingkan dan sangat menghargai orang yang mencapai banyak
tujuan dalam hidupnya dengan hanya sedikit bantuan dari orang lain.
Koentjaraningrat mencatat bahwa nilai budaya yang dianggap penting karena merupakan
asset budaya yang dapat dipakai untuk menunjang pembangunan adalah: (1) nilai budaya yang
berorientasi ke masa depan; (2) nilai budaya yang berhasrat untuk mengeksplorasi lingkungan
alam; (3) nilai budaya yang menilai tinggi hasil dari karya manusia; (4) nilai budaya tentang
pandangan terhadap sesama manusia (Koentjaraningrat, 1974:38-42).
A.9. Sistem Mata Pencaharian Hidup dan Sistem Kepemimpinan Tradisional Papua
1. Sistem Mata Pencaharian Hidup
Pulau Papua yang luasnya kurang lebih 3,5 kali pulau Jawa secara ekologis itu terdiri atas
empat zona yang masing-masing menunjukkan diversifikasi terhadap sistem mata pencaharian
mereka berdasarkan kebudayaan dan sebaran suku bangsa-suku bangsanya. Menurut Malcoln
dan Mansoben(1987; 1990), kelompok etnik yang beraneka ragam di Papua tersebar pada
empat zona ekologi yaitu: (1) Zona Ekologi Rawa atau Swampy Areas, Daerah Pantai dan
Muara Sungai atau Coastal & Riverine, (2) Zona Ekologi Daerah Pantai atau Coastal Lowland
Areas, (3) Zona Ekologi Kaki-Kaki Gunung serta Lembah-Lembah Kecil atau Foothills and
Small Valleys, dan (4) Zona Ekologi Pegunungan Tinggi atau Highlands. Orang-orang Papua
yang hidup pada mitakat atau zona ekologi yang berbeda-beda ini mewujudkan pola-pola
kehidupan yang bervariasi sampai kepada berbeda satu sama lainnya.
Penduduk yang hidup di wilayah zona ekologi rawa, daerah pantai dan muara sungai
sebagaimana terdapat di:
1. Jayapura ( teluk Humboldt: Skou, Yotefa, Imbi; Tanah Merah: Ormu, Tabla, Demta; Pantai
Utara: Bonggo, Podena, Yarsum, Betaf; Tor: Mander, Berik, Kwersupen; Sarmi:Kwerba,
Isirawa, Sobei, Samarokena, Masep; Mamberamo:Warembori, Pauwe, Warewek, Bauzi,
Nopuk; Sentani: Sentani, Dosai, Maribu), Kelompok suku bangsa-suku bangsa ini
semuanya mempunyai mata pencaharian utama sebagai peramu sagu dan sebagai
pendamping kebun kecil, menangkap ikan (sungai dan laut).
2. Yapen Waropen (Mamberamo Barat: Karema, Nita; Waropen: Sauri, Waropen, Kofei,
Tefaro, Siromi, Baropasi, Bonefa; kelompok suku bangsa ini semua mempunyai mata
pencaharian sebagai peramu sagu, kebun kecil, menangkap ikan di sungai dan laut. Krudu:
Krudu; Yapen: Woriasi, Ambai, Serui Laut, Yawe, Busami, Ansus, Pom, Woi, Munggui,
Marau, Pupui; kelompok suku bangsa-suku bangsa ini mempunyai mata pencaharian utama
sebagai peramu sagu, ditambah dengan kebun kecil, menangkap ikan di sungai dan laut
sebagai pendamping.
3. Biak Numfor; dengan mata pencaharian sebagai peramu sagu, ladang berpindah dan
menangkap ikan di laut dan sungai sebagai pendamping.
4. Paniai; Nabire: Windesi, Mor, Yaur, Mer, Yeretuar, kelompok ini bermata pencaharian
utama ladang berpindah dengan pendamping meramu sagu, menangkap ikan di sungai dan
laut.
5. Manokwari; Wandamen: Roon, Mioswar, Rumberpon, Wandamen; Arfak: Mantion, Hatam,
Borai; Amberbaken, kelompok ini bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah,
dan pendamping menangkap ikan di sungai dan laut. Sedangkan Bintuni: Tanah Merah,
Babo, Arandai, Kemberano, Meninggo, Kaburi, kelompok ini bermata pencaharian utama
meramu sagu, ladang berpindah, menangkap ikan di laut dan sungai sebagai pendamping.
6. Sorong: Karon bermata pencaharian utama ladang berpindah, menangkap ikan di sungai dan
laut sebagai pendamping; Moi: bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah,
meramu sagu dan menangkap ikan di sungai sebagai pendamping. Raja Ampat: Kawe,
bermata pencaharian utama meramu sagu dan menangkap ikan di laut dan sungai serta
kebun kecil sebagai pendamping. Sedangkan orang Maya, Beser/Biak, Matbat bermata
pencaharian utama meramu sagu, ladang berpindah-pindah serta menangkap ikan di laut
dan sungai sebagai pendamping. Seget; Teminabuan: Kalabra, Tehit, Kon, Yahadian, Kais;
Inanwatan: Suabau, Puragi, Kokoda, kelompok ini bermata pencaharian utama meramu
sagu, kebun kecil serta menangkap ikan di sungai dan laut sebagai pendamping.
7. Fakfak: Onin, Iha, Karas, Baham, Buruwai; Kaimana: Mairasi, Semini, Koiwai bermata
pencaharian utama ladang berpindah-pindah, meramu sagu, menangkap ikan di sungai dan
laut sebagai pendamping; Arguni: Kamberau, Irarutu, Mairasi bermata pencaharian utama
meramu sagu, berkebun kecil serta menangkap ikan di laut dan sungai sebagai pendamping.
Mimika: Kamoro bermata pencaharian utama, meramu sagu, berkebun kecil, menangkap
ikan di laut dan sungai sebagai pendamping.
8. Merauke; Asmat, Awyu, Yagai Citak bermata pencaharian utama meramu sagu dan
berkebun kecil serta menangkap ikan di laut dan sungai sebagai pendamping. Kimaam:
Riantana, Kimaghama, Koneraw; Marind-anim: Yab-anim, Maklew-anim, Kanum-anim,
Bian-anim bermata pencaharian utama meramu sagu dan kebun kecil, serta menangkap ikan
di sungai dan laut sebagai pendamping.
9. Adapun wilayah yang masuk dalam zona kaki gunung dan lembah-lembah kecil di (1)
Jayapura, Nimboran: Genyem, Nimboran, Kemtuk Gresi; Arso; Waris,; Foya dan Uta
bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah serta menangkap ikan di sungai dan
berburu sebagai pendamping. (2) Paniai dengan suku bangsa Timorini: Dou, Kiri-kiri,
Turu, Taori-Kei Fayu bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah serta
menangkap ikan di sungai dan berburu sebagai pendamping. (3) Manokwari dengan suku
bangsanya Arfak: Hatam, Meyah, Mantion/Sough; Amberbaken bermata pencaharian utama
ladang berpindah-pindah serta menangkap ikan di sungai dan berburu serta beternak babi
sebagai pendamping. (4) Sorong dengan suku bangsa Karon, Madik, Maibrat, Moraid
bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah serta ternak babi, menangkap ikan di
sungai dan berburu sebagai pendamping. (5) Fakfak dengan suku bangsa Fakfak: Baham,
Irarutu, Amungme, bermata pencaharian utama berladang berpindah, beternak babi dan
menangkap ikan di sungai serta berburu sebagai pendamping. (6) Merauke dengan suku
bangsa Muyu, Mandobo bermata pencaharian utama berladang berpindah, beternak babi
dan berburu serta menangkap ikan di sungai sebagai pendamping. Adapun wilayah yang
penduduknya berada pada zona daerah pantai umumnya bermata pencaharian utama
meramu sagu dan menangkap ikan di laut serta berkebun kecil dan berburu sebagai
pendamping. Disamping itu pula ada upaya lain berupa berdagang.
2. Sistem Politik Tradisional
Dalam setiap komunitas selalu dijumpai dengan berbagai proses “politik”, di mana ada
orang yang memimpin, menyusun organisasi, memperoleh dan menggunakan kekuasaan. Dalam
masyarakat sebagai suatu sistem kita melihat adanya berbagai permasalahan tertentu yang harus
dipecahkan melalui organisasi politik formal tertentu, misalnya memelihara ketertiban interen,
mengalokasikan kekuasaan dalam membuat keputusan tentang kegiatan kelompok. Jadi
dapatlah dikatakan bahwa organisasi politik suatu masyarakat adalah peraturan-peraturan dan
tugas-tugas apa saja yang digunakan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut, tanpa
memperhatikan apakah ada organisasi pemerintahan yang formal atau tidak (Keesing, 1992:38-
39).
Orang Papua mengenal sistem yang mengatur hubungan atau relasi antar warga dalam
berbagai aktivitas hidupnya sehari-hari berdasarkan kebudayaan mereka masing-masing. Orang
Papua mengenal sistem politik atau sistem kepemimpinan politik tradisional – Big Man.
Menurut Sahlins(1963) dan Mansoben(1995) terdapat empat sistem atau tipe politik di Papua
yaitu:
a. Sistem Big man atau pria wibawa: diperoleh melalui pencapaian. Sumber
kekuasaan terletak pada kemampuan individual, kekayaan material, kepandaian
berdiplomasi/pidato, keberanian memimpin perang, fisik tubuh yang besar, sifat bermurah
hati (Sahlins, 1963; Koentjaraningrat, 1970; Mansoben, 1995). Pelaksanaan
kekuasaan biasanya dijalankan oleh satu orang. Adapun etnik yang menganut sistem ini
adalah orang Dani, Asmat, Mee, Maybrat, Muyu. (Mansoben, 1995).
b. Sistem Politik Kerajaan: sistem ini adalah pewarisan berdasarkan senioritas kelahiran dan
klen. Weber (1972:126) mengatakan sebagai birokrasi patrimonial atau birokrasi
tradisional . Birokrasi tradisional terdapat pada cara merekrut orang untuk duduk dalam
birokrasi. Biasanya mereka yang direkrut mempunyai hubungan tertentu dengan penguasa,
misalnya hubungan keluarga atau hubungan pertemanan. Di sini terdapat pembagian
kewenangan tugas yang jelas, pusat orientasi adalah perdagangan. Tipe ini terdapat di Raja
Ampat, Semenanjung Onin, Teluk MacCluer (teluk Beraur) dan Kaimana. (Mansoben,
1995: 48).
c. Sistem Politik Ondoafi: sistem ini merupakan pewarisan kedudukan dan birokrasi
tradisional. Wilayah/teritorial kekuasaan seseorang pemimpin hanya terbatas pada satu
kampung dan kesatuan sosialnya terdiri dari golongan atau sub golongan etnik saja dan
pusat orientasi adalah religi. Terdapat di bagian timur Papua; Nimboran, Teluk Humboldt,
Tabla, Yaona, Skou, Arso, Waris (Mansoben, 1995: 201-220).
d. Sistem Kepemimpinan Campuran. Menurut Mansoben (1985) terdapat juga sistem lain
yang menampakkan ciri pencapaian dan pewarisan yang disebut sistem campuran.
Sedangkan menurut Sahlins, sistem kepemimpinan yang berciri pewarisan (chief)
dibedakan atas dua tipe yaitu sistem kerajaan dan sistem ondoafi. Perbedaan pokok kedua
sistem politik tersebut terletak pada unsur luas jangkauan kekuasaan dan orientasi
politiknya. Sistem Kepemimpinan Campuran, kedudukan pemimpin diperoleh melalui
pewarisan dan pencapaian atau berdasarkan kemampuan individualnya (prestasi dan
keturunan). Tipe ini terdapat pada penduduk teluk Cenderawasih, Biak, Wandamen,
Waropen, Yawa, dan Maya (Mansoben, 1995:263-307).
Menurut kami, ada satu tambahan sistem kepemimpinan tradisional yang perlu dimasukkan
adalah
- Sistem kepemimpinan Gerontokrasi, yang mana didasarkan atas garis keturunan bobot,
sistem ini tidak serta merta kekal seperti sistem kepemimpinan Raja, karena ketika
keturunan berikut tidak mempertahankan kebesaran orang tuanya maka dengan sendirinya
sistem kepemimpinan gerontokrasi ini akan hilang dengan sendirinya.
3. Organisasi Sosial dan Sistem Kekerabatan di Papua
Bila berbicara tentang “struktur sosial” atau “organisasi sosial” suatu masyarakat ini berarti
bahwa kita menganggap suatu sistem sosial terdiri dari berbagai kelompok, memandang
hubungan sosial berdasarkan posisi dan peranan yang saling berkaitan.
Untuk memudahkan pemahaman struktur sosial, kita harus mulai dengan hubungan sosial,
yaitu cara mereka berinteraksi, hal-hal yang mereka katakan dan lakukan dalam hubungan
mereka satu sama lain. Tetapi terdapat juga gagasan mereka tentang hubungan mereka, konsepsi
masing-masing tentang pihak yang lain, pemahaman dan strategi serta pengharapan yang
menuntun perilaku mereka. Baik pola perilaku maupun sistem konseptual mempunyai struktur,
dalam arti tidak kacau balau atau sembarangan, tetapi kedua hal tersebut merupakan struktur
yang berbeda jenis (Keesing, 1989:208-209).
Pouwer (1966) berdasarkan studi antropologinya, menunjukkan bahwa dalam
pengelompokan orang Papua paling sedikit dapat dibagi kedalam empat golongan berdasarkan
sistem kekerabatan:
a. Kelompok kekerabatan menurut tipe Iroquois. Sistem ini mengklasifikasikan anggota
kerabat saudara sepupu paralel dengan istilah yang sama dengan saudara kandung. Juga
untuk menyebut istilah yang sama untuk ayah maupun sesama saudara laki ayah dan
saudara laki ibu. Adapun kelompok etnik papua yang tergolong dalam tipe ini adalah:
orang Biak, Iha, Waropen, Senggi, Marind-anim, Teluk Humboldt, dan orang Mee.
b. Kelompok kekerabatan menurut tipe Hawaian. Sistem pengelompokkan yang
menggunakan istilah yang sama untuk menyebut saudara-saudara sekandung dan semua
saudara-saudara sepupu silang dan paralel. Adapun kelompok etnik yang tergolong tipe ini
adalah: orang Hatam-Manikion, Mairsai, Mimika, Asmat, dan Pantai Timur Sarmi.
c. Kelompok kekerabatan menurut tipe Omaha. Sistem ini mengklasifikasikan saudara-
saudara sepupu silang matrilateral dan patrilateral dengan istilah yang berbeda dan untuk
saudara sepupu silang dipengaruhi oleh tingkat generasi dan bersifat tidak simetris. Sebutan
untuk anak laki-laki saudara laki ibu (MBS) adalah sama dengan saudara laki-laki ibu
(MB). Istilah untuk anak laki-laki saudara perempuan ayah (FZS) adalah sama untuk anak
laki-laki saudara perempuan (ZS). Adapun etnik yang tergolong dalam kelompok ini adalah
orang Awyu, Dani, Maybrat, Mek dipegunungan Bintang, dan Muyu.
d. Kelompok kekerabatan menurut tipe Iroquois-Hawaian. Tipe ini adalah tipe campuran.
Kelompok yang tergolong dalam tipe ini adalah orang Bintuni, Tor, dan Pantai Barat Sarmi.
Kecuali penggolongan berdasarkan istilah kekerabatan. Orang Papua juga dibedakan
berdasarkan prinsip pewarisan. Ada dua prinsip pewarisan keturunan yaitu: (a) melalui garis
keturunan ayah atau patrilineal, dan terdapat pada orang Maybrat, Mee, Dani, Biak,
Waropen, Wandamen, Sentani, Marind-anim dan Nimboran). (b) melalui prinsip bilateral
yaitu melalui garis keturunan ayah dan ibu, terdapat pada orang dipedalaman Sarmi. (c)
masyarakat berdasarkan struktur ambilateral atau ambilineal, dimana kadang-kadang diatur
menurut garis keturunan pihak ibu atau ayah. Terdapat pada orang Yagai, Manikion,
Mimika (De Brijn, 1959:11 of van der Leeden, 1954, Pouwer, 1966). Orang Papua juga
mengenal pembagian masyarakat kedalam phratry atau moiety yang terbagi atas dua paroh
masyarakat. Terdapat pada orang Asmat (aipmu-aipem), Dani (Waita-Waya), Waropen
(buriworai-buriferai) dalam (Mansoben, 1974, 1995; Held, 1947; Kamma, 1972; Schoorl,
1957; Heider, 1979-1980).
e. Sistem Kekerabatan
Diagram Kekerabatan Tanda-Tanda yang digunakan untuk diagram kekerabatan:
Untuk Laki-laki Untuk Perempuan
Untuk Individu yang jenis kelaminnya tidak ditentukan
Untuk Perkawinan Untuk Perceraian
Untuk Meninggal
Untuk keturunan
Untuk Saudara Kembar
Untuk Garis Keturunan bersilangan Ayah
Untuk Garis keturunan Bersilangan Ibu
Untuk perkawinan diluar nikah
Contoh Menggunakan Tanda-tanda Dalam Diagram Kekerabatan :
Contoh 1
Dalam diagram 1, laki-laki A mengawini perempuan B yang tidak ada hubungan
kekerabatan denganya, sebagai istri ke-2 ia mengawini perempuan C, yaitu janda saudara laki-
laki ibunya, sebagai istri ke-3 ia kawin dengan perempuan D, yaitu anak saudara laki-laki isteri
pertamanya. Keturunan dari ketiga perkawinan ini yaitu saudara kandung tiri diletakkan pada
level yang sama. Hubungan saudara kandung dapat ditelusuri dengan mengikuti garis-garis
keturunan vertikal ke pasangan perkawinan dari orang tua mereka.
Akronim Kekerabatan
Dalam bahasa Inggris : Dalam bahasa Indonesia :
E = Ego E Ego
F = Father Ay Ayah
M = Mother Ib Ibu
Z = Zister Sdr.Pr. Saudara Perempuan
B = Brother Sdr.Lk. Saudara Laki-laki
S = Son An.Lk Anak Laki-laki
D = Daughter An.Pr. Anak Perempuan
H = Husband Su. Suami
W = Wife Is. Isteri
P = Parent Or.Tu. Orang Tua
SI = Sibling Sdr.Kn. Saudara Kandung
C = Child An. Anak
Sp = Spouse Ps.Su.Is Pasangan Suami Isteri
La = In Laws Sn.Sdr.Is atau Su Sanak Saudara Isteri atau Suami
sF = step Father Ay.Tr Ayah Tiri
sM = step Mother Ib.Tr Ibu Tiri
eB = elder Brother Kk.Lk. Kakak Laki-laki
eZ = elder Sister Kk.Pr. Kakak Perampuan
yB = younger Brother Ad.Lk Adik Laki-laki
yZ = younger Sister Ad.Pr. Adik Perempuan
CC = Cross Cousin Sdr.Spp.Sil Saudara Sepupu Silang
PC = Parallel Cousin Sdr.Spp.Sej Saudara Sepupu Sejajar
Ne = Nephew Ke.Lk Kemenakan Laki-laki
Ni = Niece Ke.Pr Kemenakan Perempuan
GP = Grand Parent Kek.Nek Kakek Nenek
GF = Grand Father Kek Kakek
GM = Grand Mother Nek Nenek
GS = Grand Son Cu.Lk. Cucu Laki-laki
GD = Grand Daughter Cu.Pr. Cucu Perempuan
PPC = Patrilateral Sdr.Spp.Sej.Ay Saudara Sepupu Parallel Cousin
Sejajar dari pihak Ayah
PCC = Patrilateral Cross Sdr.Spp.Sej.Ib. Saudara Sepupu Cousin sejajar dari
Pihak Ibu
MPC = Matrilateral Sdr.Spp.Sil.Ay Saudara Sepupu Parallel Cousin Silang
Dari Pihak Ayah
MCC = Matrilateral Sdr.Spp.Sil.Ib Saudara Sepupu Cross Cousin Silang
dari Pihak ibu
U = Unknown;individu T .D. Individu Tidak Diketahui Namanya
. yang tidak diketahui
Contoh Penggunaan Akronim Kekerabatan Dalam Diagram.
A. Keluarga inti. Keluarga inti adalah kelompok kekerabatan yang terkecil yang terdiri dari
orang tua (suami istri) dan anak-anak mereka yang belum kawin. Keluarga inti ada dua
macam, yaitu keluarga inti prokreasi dan orientasi. Dalam keluarga prokreasi, ego sebagai
orang tua yang menghasilkan anak, sedangkan dalam keluarga orientasi, Ego sebagai anak
yang beroreintasi kepada orang tua.
B. Keluarga Luas. Keluarga luas adalah kelompok kekerabatan yang terdiri dari lebih dari satu
keluarga inti, yang merupakan suatu kesatuan sosial yang amat erat biasanya hidup disuatu
tempat.
C. Ada tiga macam keluarga luas, yaitu : Keluarga luas utrolokal terdiri dari keluarga inti
senior dan keluarga inti dari anak laki-laki dan anak perempuan, Keluarga luas virilokal,
terdiri dari keluarga senior dan keluarga inti dari anak-anak, Keluarga uxorilokal , terdiri
dari keluarga inti senior dan keluarga inti dari anak perempuan.
Pedoman untuk pembuatan diagram kekerabatan.
Diagram kekerabatan dibuat dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Generasi.
– Individu-individu yang segenerasi harus dicantumkan sejajar.
– Generasi ego adalah generasi nol, ditulis denganakronim G 0.
– Generasi F dan M adalah generasi plus 1, ditulis dengan akronim G+1.
– Generasi FF dan MM adalah generasi plus 2, ditulis dengan akronim G+2 dan
seterusnya.
– Generasi S dan D adalah generasi minus 1, ditulis dengan akronim G-1.
– Generasi SS dan DD adalah generasi minus 2, ditulis dengan akronim G-2 dan
seterusnya.
2. Penomoran.
• Setiap individu dalam diagram harus di nomori. Penomoran dimaksudkan untuk
membedakan individu yang satu dengan individu yang lainnya. Penomoran dimulai dari
generasi tertua dan diakhiri pada generasi termuda. Dengan demikian penomoran dimulai
pada generasi tertua pada individu yang terletak paling kiri dan diakhiri pada generasi
termuda yang terletak paling kanan.
3. Kerabat ayah dan kerabat ibu.
• Semua kerabat ayah diletakkan disebelah kiri ayah. Semua kerabat ibu diletakkan disebelah
kanan ibu. Dalam diagram ayah diletakkan disebelah kiri Ego dan ibu diletakkan disebelah
kanan ego.
D. Umur
Individu-individu yang bersaudara di deretkan dari individu tertua ke individu termuda.
Individu yang lebih tua diletakkan disebelah kiri dari individu yang lebih muda.
E. Ego
Huruf kapital E dicantumkan untuk menandai individu Ego Individu-individu dalam diagram
FZ-27 :
F. G+2 G+1 G 0 G-1 G-2
G. 1. FF 3. FZ 7. FZS 12. FZSS 20. FZSSS
H. 2. FM 4. FZH 8. FZSW 13. FZSSW 21. FZSSD
• 5. F9. FZD 14. FZSD 22. FZSDS
• 6. M 10 .FZDH 15. FZSDH 23. FZSDD
• 11. E 16. FZDS 24. FZDSS
• 17. FZDSW25. FZDSD
• 18. FZDD 26. FZDDS
• 19. FZDDH27. FZDDD
f. Sistem Religi Dan kesenian
1. Sistem Religi
Kita harus memperhatikan sistem kepercayaan dari sudut pandang, mengapa manusia
mendiami alam semesta dengan keberadaan dan kekuatan yang terlihat, mendongeng tentang
kejadian-kejadian dahulu kala dan kejadian-kejadian menakjubkan, menciptakan ritus yang rinci
dan harus benar, agar kehidupan manusia itu berhasil baik.
Taylor, satu abad yang lalu telah mendefenisikan agama sebagai satu kepercayaan dalam
bentuk spiritual. Sejumlah ahli antropologi sosial moderen sudah kembali ke suatu perluasan
defenisi agama dalam pengembangan kehidupan sosial masyarakat terhadap manusia biasa atau
kekuatannya. Ahli lainnya mengakui Durkheim, telah berusaha menemukan beberapa nilai
khusus tentang kesucian yang membatasi agama dan kepercayaan duniawi.
Agama sangat bervariasi dalam peranannya di alam semesta ini dan cara-cara manusia
berhubungan dengan agama tersebut. Dalam hal ini bisa terjadi kelompok-kelompok dewa-
dewi, satu dewa atau sama sekali tidak ada, roh atau bahkan mahluk dan kekuatan yang
berlebihan. Kelompok ini secara konstan dapat menghalangi kegiatan manusia atau tanpa
terlihat dan jauh. Kelompok ini bersifat hukum atau bersifat positif. Berhubungan dengan ini
maka manusia dapat merasa kagum/hormat atau dapat merasa takut; tetapi juga mereka dapat
membangkitkan kekuatan gaib atau berusaha memperdayakannya. Agama kepercayaan juga
dapat mengatur moral manusia melakukan atau melanggar moral, jadi agama memberikan
keterangan; memberikan pengesahan; menambah kemampuan manusia untuk mengahadapi
kelemahan kehidupannya-kematian, penyakit kelaparan, banjir, dan kegagalan.
(Keesing,1992:92-94)
Bagaimana sistem kepercayaan dan agama pada suku bangsa Papua? Sebelum agama-
agama besar Kristen, Islam masuk di Papua, tiap suku bangsa mempunyai sistem kepercayaan
tradisi. Masing-masing suku bangsa mempunyai kepercayaan tradisi yang percaya akan adanya
satu dewa atau tuhan yang berkuasa diatas dewa-dewa. Misalnya pada orang Biak Numfor,
dewa tertingginya “Manseren Nanggi”; orang Moi menyebut “Fun Nah”; orang Seget
menyebut “Naninggi”; orang Wandamen menyebut “Syen Allah”. Orang Marind-anim
menyebut “Dema”; orang Asmat menyebut “Mbiwiripitsy” dan orang Maybrat menyebutnya
“Wiyon”. Orang Sawiat-Imian menyebutnya “Wofle” orang Mee menyebutnya “Ugatame”.
Semua dewa atau Tuhan diakui dan dihormati karena dianggap dewa pencipta yang mempunyai
kekuasaan mutlak atas nasib kehidupan manusia, mahluk yang tidak nampak, juga dalam unsur
alam tertentu (angin, hujan, petir, pohon besar, sungai, pusaran air, dasar laut, tanjung tertentu).
2. Kesenian
Kesenian merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayaan. Setiap suku bangsa yang
mendiami muka bumi ini memiliki unsur tersebut, namun unsur kesenian bagi setiap suku
bangsa tidak ( satu suku berbeda dengan lainnya). Haviland mengemukakan Seni adalah
penggunaan kreatif imajinasi manusia manusia untuk menerangkan, memahami, dan menikmati
kehidupan. Dalam beberapa kebudayaan suku bangsa Seni di gunakan untuk keperluan yang
dianggap penting dan praktis.
Kesenian itu sendiri terdiri dari beberapa sub, yaitu antara lain : seni rupa (seni lukis, seni
pahat, seni bangunan (artistektur), seni suara/seni musik, seni tari, seni sastra dan
drmatik. Semuanya ini selalu menonjolkan sifat dan ciri khas kebudayaan suatu etnik /suku
bangsa atau suatu negara.
Kesenian di Papua dapat dibedakan berdasarkan fungsi dan coraknya. Yang dimaksud adala
dipendensi (ketergantungan) dari fakta bahwa perwatakan atau karakter menampakkan sebuah
lingkungan (Guepin, 1973)
Fungsi kesenian bagi kelompok etnik ini adala sebagai media komunikasi dan media
ekspresi kehidupan yang dihayati dengan kolektif (sosialisasi) seperti nampak diwujudkan
dalam upacara-upacara magis, pemujaan, penciptaan, bahkan nampak pada kehidupan
keseharian seperti makan, minum, tidur, bernapas, bersin, terantuk dan sebagainya. Dalam
melahirkan produk estetis melalui media dan dimensi sperti menggubah lagu, merancang tari,
melukis, mengukir, membuat serta memainkan alat musik, dan tindak artistik lainya, sekali lagi
bukanlah intherentitas (seniman) dalam kerja serta produk material yang dihasilkan melainkan
kompleksitas kesepakatan (konvensi) itulah.
Gambar: Diagram Individu
SELAMATKAN HUTAN ADAT DI PULAU PAPUA SEBAGAI SUPLAI
OKSIGEN TERBESAR DUNIA
enyelamatkan Hutan Adat Papua, merupakan suatu hal pokok dalam
kehidupan komunual masyarakat adat Papua sejak turun temurun,
tentang pentingnya hutan adat mereka yang secara filosofis
merupakan ladang kehidupan yang mana juga secara mitologi
dipercaya bahwa didalam hutan adat mereka banyak menyimpan berbagai macam farian
alam yang berkaitan dengan alam fisikal dan alam ghaib, yang hingga saat ini masih
menggema dalam kesadaran masyarakat adat Papua untuk melestarikan hutan adat
mereka sebagai ekologis.
MPada tataran global, kesadaran ekologis ini muncul dari kawasan negara-negara
industrialis yang mengeksploitasi energi bumi secara habis-habisan, sehingga
sekelompok ilmuwan dunia yang menamakan dirinya the Club of Rome sejak dasawarsa
1970-an memberikan rambu-rambu tegas yang memperingatkan manusia tentang
pengerusakan hutan yang menguras energi bumi yang takterhingga ini. Bersama dengan
gejala ini, negara-negara penghasil minyak, termasuk Indonesia, bergabung dalam
OPEC untuk mengontrol jumlah produksi minyak bumi dan harga jualnya. Semenjak
dasawarsa 1980-an di kawasan negara-negara Eropa telah bermunculan kelompok-
kelompok pecinta lingkungan hidup, seperti nama yang hingga kini terkenal dengan
Green Peace. Aktivitas kelompok Green Peace ini telah memberikan kesadaran kepada
manusia sebagai mahluk mulia penghuni bumi tentang pentingnya pelestarian
lingkungan hidup agar generasi mendatang juga bisa hidup dengan layak. Pergantian
cuaca, misalnya lewat gejala El Nino, dan bumi makin panas akibat lubang ozon di
atmosfir, membuat para pecinta lingkungan hidup untuk duduk bersama pada tingkat
dunia. Pada tahun 1972 di Stockholm, Swedia, dan Pada tahun 1992 di Rio de Janiero,
Brasilia yang terakhir ini dijuluki KTT bumi atau the Earth Summit. Justru sejak
konferensi Rio de Janiero, perhatian dunia terhadap hutan semakin menjadi tinggi dan
banyak universitas membuka satu cabang ilmu yang disebut ilmu ekologi, bahkan
ditataran masyarakat cendikia pun mendirikan Lembaga-Lembaga yang bergerak
dibidang pengkajian dan perlindungan ekologi. Kini hutan mendapat makna yang baru,
yaitu sebagai paru-paru dunia, yang mana Papua sebagai Pulau dengan pensuplai
oksigen terbesar kedua untuk kategori kepulauan. Bila dilihat dari tataran negara, maka
Indonesia sebagai negara pensuplai oksigen terbesar ketiga dunia termasuk didalamnya
pulau Papua berperan penting bersama dengan Kalimantan sebagai Pulau yang
menyumbang oksigen terbesar di Indonesia. Sejak KTT Bumi tahun 2002 di
Johanesburg, Afrika Selatan, Perhatian terhadap air minum bumi lewat konservasi hutan
semakin nyaring dikumandangkan. Di Indonesia sendiri kita semakin menyadari bahwa
air minum kemasan sudah lebih mahal dari bensin premium untuk kendaraan. Pada
tanggal 5 Juni 2003, perhatian akan air minum ini menjadi tema utama dalam Hari
peringatan Lingkungan Hidup Internasional. Pada 10 Feberuari – 27 Oktober 2010, di
Capetown, Indonesia, dan Burkina Faso, kaum cendekia Asia dan Afrika yang
bergabung dalam International Working Group (IWG) for Asian African to
Globalization telah membahas persoalan ekologi dan global warming yang diangkat
dalam peringatan Konferensi Asia Afrika yang ke-55 dengan tema utamanya RASIAL
DIVERSITY yang membahas multi dimensi Persoalan dunia. Didalam dimensi
pembahasan persoalan, salahsatu subdimensi yang dibahas adalah persoalan Global
warming. Beberapa pertanyaan penting sebagai pekerjaan rumah benua Afrika dan Asia
adalah bisakah kedua benua ini menjawab persoalan Global Warming sebagaimana
telah dibahas dalam Comemoration Asian African 55 itu.
Dalam konteks global, kesadaran akan lingkungan hidup inilah maka kami
mencoba menuangkan tulisan ini sebagai kampanye pribadi untuk masyarakat
(masyarakat adat Papua) akan pentingnya hutan (khusus hutan adat Papua) sebagai
suplai oksigen terbesar dunia bagi hidup manusia. Kemungkinan dalam jejeran referensi
buku ekologis, sepertinya belum ada yang fokus mengulas tentang konservasi hutan
adat Papua, sehingga kami ingin memunculkan buku ini dengan mengambil fokus untuk
hutan adat Papua yang kelihatannya terlupakan, sehingga kami mencoba mengkajinya
dari teritori komunual dan global. Justru hutan pada pulau Papua memainkan peranan
yang paling penting untuk suplai oksigen terbesar dunia dan konservasi air minum.
Inilah ciri khas pulau Papua yang berpenghuni baik di kawasan Oceania. Sepertinya
belum banyak perhatian yang ditujukan pada kondisi hutan adat Papua sebagai ulasan
dan diskusi tentang lingkungan hidup dan sebagai suplai oksigen terbesar dunia,
walaupun sudah banyak ahli yang mencermati tentang relasi masyarakat lokal atau adat
istiadat di Papua namun belum ada yang mencoba mengkaji tentang konservasi hutan
adat Papua dengan pelestarian lingkungan hidup yang tertuang dalam cabang ilmu
pengetahuan, misalnya tentang ilmu etnoekologi sebagaimana yang dikatakan oleh
beberapa peneliti didaerah lainnya, (lihat, Lahajar: Etnoekologi Perladangan Orang
Dayak Tunjung Linggang, 2001).
Pulau Papua yang luasnya kurang lebih 3,5 kali pulau Jawa dan tertutup oleh
hutan lebat atau potensinya besar secara ekologis itu terdiri atas empat zona yang
masing-masing menunjukkan diversifikasi terhadap sistem mata pencaharian penduduk
asli pribumi berdasarkan kebudayaan dan sebaran suku bangsa-suku bangsanya secara
komunal. Menurut Malcoln dan Mansoben(1987; 1990), kelompok etnik suku yang
beraneka ragam di Papua tersebar pada empat zona ekologi yaitu: (1) Zona Ekologi
Rawa atau Swampy Areas, Daerah Pantai dan Muara Sungai atau Coastal & Riverine,
(2) Zona Ekologi Daerah Pantai atau Coastal Lowland Areas, (3) Zona Ekologi Kaki-
Kaki Gunung serta Lembah-Lembah Kecil atau Foothills and Small Valleys, dan (4)
Zona Ekologi Pegunungan Tinggi atau Highlands. Orang-orang Papua yang hidup pada
mitakat atau zona ekologi yang berbeda-beda ini mewujudkan pola-pola kehidupan
yang bervariasi sampai kepada berbeda satu sama lainnya dengan mempertahankan
hutan adat mereka sebagai hak ulayat atau ahli waris tanah masing-masing dan
menamakan diri mereka sebagai orang adat/anak adat bahkan wilayah mereka pun
disebut sebagai tanah adat atau tanah milik leluhur mereka. Penduduk yang hidup di
wilayah zona ekologi rawa, daerah pantai dan muara sungai sebagaimana terdapat di:
1. Jayapura ( teluk Humboldt: Skou, Yotefa, Imbi; Tanah Merah: Ormu, Tabla, Demta;
Pantai Utara: Bonggo, Podena, Yarsum, Betaf; Tor: Mander, Berik, Kwersupen;
Sarmi:Kwerba, Isirawa, Sobei, Samarokena, Masep; Mamberamo:Warembori,
Pauwe, Warewek, Bauzi, Nopuk; Sentani: Sentani, Dosai, Maribu), Kelompok suku
bangsa-suku bangsa ini semuanya mempunyai mata pencaharian utama sebagai
peramu sagu dan sebagai pendamping kebun kecil, menangkap ikan (sungai dan
laut). Yapen Waropen (Mamberamo Barat: Karema, Nita; Waropen: Sauri,
Waropen, Kofei, Tefaro, Siromi, Baropasi, Bonefa; kelompok suku bangsa ini
semua mempunyai mata pencaharian sebagai peramu sagu, kebun kecil, menangkap
ikan di sungai dan laut. Krudu: Krudu; Yapen: Woriasi, Ambai, Serui Laut, Yawe,
Busami, Ansus, Pom, Woi, Munggui, Marau, Pupui; kelompok suku bangsa-suku
bangsa ini mempunyai mata pencaharian utama sebagai peramu sagu, ditambah
dengan kebun kecil, menangkap ikan di sungai dan laut sebagai pendamping.
2. Biak Numfor; dengan mata pencaharian sebagai peramu sagu, ladang berpindah dan
menangkap ikan di laut dan sungai sebagai pendamping.
3. Paniai; Nabire: Windesi, Mor, Yaur, Mer, Yeretuar, kelompok ini bermata
pencaharian utama ladang berpindah dengan pendamping meramu sagu, menangkap
ikan di sungai dan laut.
4. Manokwari; Wandamen: Roon, Mioswar, Rumberpon, Wandamen; Arfak: Mantion,
Hatam, Borai; Amberbaken, kelompok ini bermata pencaharian utama ladang
berpindah-pindah, dan pendamping menangkap ikan di sungai dan laut. Sedangkan
Bintuni: Tanah Merah, Babo, Arandai, Kemberano, Meninggo, Kaburi, kelompok
ini bermata pencaharian utama meramu sagu, ladang berpindah, menangkap ikan di
laut dan sungai sebagai pendamping.
5. Sorong: Karon bermata pencaharian utama ladang berpindah, menangkap ikan di
sungai dan laut sebagai pendamping; Moi: bermata pencaharian utama ladang
berpindah-pindah, meramu sagu dan menangkap ikan di sungai sebagai
pendamping. Raja Ampat: Kawe, bermata pencaharian utama meramu sagu dan
menangkap ikan di laut dan sungai serta kebun kecil sebagai pendamping.
Sedangkan orang Maya, Beser/Biak, Matbat bermata pencaharian utama meramu
sagu, ladang berpindah-pindah serta menangkap ikan di laut dan sungai sebagai
pendamping. Seget; Teminabuan: Kalabra, Tehit, Kon, Yahadian, Kais; Inanwatan:
Suabau, Puragi, Kokoda, kelompok ini bermata pencaharian utama meramu sagu,
kebun kecil serta menangkap ikan di sungai dan laut sebagai pendamping.
6. Fakfak: Onin, Iha, Karas, Baham, Buruwai; Kaimana: Mairasi, Semini, Koiwai
bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah, meramu sagu, menangkap
ikan di sungai dan laut sebagai pendamping; Arguni: Kamberau, Irarutu, Mairasi
bermata pencaharian utama meramu sagu, berkebun kecil serta menangkap ikan di
laut dan sungai sebagai pendamping. Mimika: Kamoro bermata pencaharian utama,
meramu sagu, berkebun kecil, menangkap ikan di laut dan sungai sebagai
pendamping.
7. Merauke; Asmat, Awyu, Yagai Citak bermata pencaharian utama meramu sagu dan
berkebun kecil serta menangkap ikan di laut dan sungai sebagai pendamping.
Kimaam: Riantana, Kimaghama, Koneraw; Marind-anim: Yab-anim, Maklew-anim,
Kanum-anim, Bian-anim bermata pencaharian utama meramu sagu dan kebun kecil,
serta menangkap ikan di sungai dan laut sebagai pendamping.
Adapun wilayah yang masuk dalam zona kaki gunung dan lembah-lembah kecil di
1. Jayapura, Nimboran: Genyem, Nimboran, Kemtuk Gresi; Arso; Waris,; Foya dan
Uta bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah serta menangkap ikan di
sungai dan berburu sebagai pendamping.
2. Paniai dengan suku bangsa Timorini: Dou, Kiri-kiri, Turu, Taori-Kei Fayu bermata
pencaharian utama ladang berpindah-pindah serta menangkap ikan di sungai dan
berburu sebagai pendamping.
3. Manokwari dengan suku bangsanya Arfak: Hatam, Meyah, Mantion/Sough;
Amberbaken bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah serta menangkap
ikan di sungai dan berburu serta beternak babi sebagai pendamping.
4. Sorong dengan suku bangsa Karon, Madik, Maibrat, Moraid bermata pencaharian
utama ladang berpindah-pindah serta ternak babi, menangkap ikan di sungai dan
berburu sebagai pendamping.
5. Fakfak dengan suku bangsa Fakfak: Baham, Irarutu, Amungme, bermata
pencaharian utama berladang berpindah, beternak babi dan menangkap ikan di
sungai serta berburu sebagai pendamping.
6. Merauke dengan suku bangsa Muyu, Mandobo bermata pencaharian utama
berladang berpindah, beternak babi dan berburu serta menangkap ikan di sungai
sebagai pendamping.
Adapun wilayah yang penduduknya berada pada zona daerah pantai umumnya
bermata pencaharian utama meramu sagu dan menangkap ikan di laut serta
berkebun kecil dan berburu sebagai pendamping. Disamping itu pula ada upaya lain
berupa berdagang.
Dengan demikian maka, dapat kita simpulkan bahwa secara tradisi, masyarakat
pribumi pulau Papua selama berabad tahun telah melakukan pelestarian hutan adat
mereka secara teratur dalam tatanan wilayah hutan adat mereka masing-masing dengan
sistem berproduksi dengan pola perladangnan berpindah-pindah disekeliling wilayah
adat mereka masing-masing tanpa harus mencuri hak ulayat komunal tetangga lain atau
dalam istilah antropologi disebut swidden, atau slash, and burn cultivation. Menghargai
batas-batas hak ulayat komunal masing-masing adalah merupakan suatu hal normatif
yang telah diterapkan secara beradab dalam tradisi bahkan sudah dianggap sebagai
hukum adat yang berlaku, karena didalamnya terdapat butir-butir yang mengatur dan
memberikan sangsi-sangsi keras terhadap orang yang melanggar dengan memasuki
serta membongkar atau menebang hutan diwilayah komunal tetangga lain. Pola
pertanian ladang seperti itu mampu mendukung keseimbangan iklim, karena pola
pengembangannya secara tradisional dan tidak sertamerta merusak hutan secara
menyeluruh, walaupaun melakukannya secara berpindah-pindah, tetapi lokasi yang
ditinggalkan sebagai bekas perladangan akan dibiarkan selama puluhan tahun setelah
ditutupi pepohonan barulah dibuka lahan perladangan. Sistem perladangan ini terjadi
secara turun temurun hingga kini masih ditemukan pada masyarakat kampung. Adanya
perindustrian dengan pelbagai fungsinya menjurus pada bagaimana pengerusakan hutan
adat Papua dan pengabaian sistem pelestarian alam. Hal ini dirasa meresahkan bagi
pribumi yang tadinya dapat mengorganisir bumi kedamaian mereka secara adat demi
kelangsungan hidup mereka (bahkan kelangsungan hidup manusia) berbenturan dengan
pola perindustrian.
Paparan etnoekologis Pulau Papua ini menyuarakan keprihatinan, dalam
kecermatan kami dengan ancaman riil terhadap masyarakat adat Papua masa kini dan
masa yang akan datang, karena kawasan hutan adat yang sudah menjamin kelangsungan
hidup leluhur pribumi Papua kini makin menyempit karena eksploitasi serta
pengerusakan besar-besaran terjadi akibat dari kepentingan industri. Tentusaja ketidak
tahuan masyarakat pribumi mengenai pengaruh pengerusakan hutan hingga
berakibatkan semakin menipisnya ozon. Sebenarnya LSM dan pemerintah Papua telah
gagal dalam penyuluhan tentang pentingnya mempertahankan hutan adat mereka bukan
hanya sebagai hak ulayat mereka semata, akan tetapi sebagai penyumbang oksigen
terbesar dunia. Kami merasa bahwa LSM dan Pemerintah setempat kurang jeli dalam
memperjuangkan hak-hak adat masyarakat pribumi Papua, dan salah satu sasaran yang
perlu dilakukan adalah masyarakat adat Papua harus diberi jaminan kebutuhan hidup
agar hutan adat mereka jangan dibongkar secara terpaksa dengan tujuan produksi
perladangan untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Kekhawatiran yang sama
bahwa perubahan ekologis pada daratan pulau Papua terjadi karena kepentingan pihak
tertentu yang terus melakukan pengeksploitasian Sumber Daya Alam di pulau Papua.
Kekhawatiran akan terjadinya pengerusakan habitat ekologis inilah sehingga perlu
adalanya kampanye penyelamatan hutan adat Papua sebagai penyumbang oksigen
terbesar dunia.
Agak berbeda dengan pengalaman masyarakat industrialis yang mendapat
kecaman dari kelompok pecinta lingkungan hidup, khususnya Green Peace, perubahan
ekologis yang dialami masyarakat adat pulau Papua Barat sangat dipengaruhi oleh
perubahan industrialis dalam kegiatan ekonomi penduduk sejak 1969 lewat
penandatanganan kontrak kerja perusahaan asing pertama yang beroperasi di Pulau
Papua PT. Freeport beserta ideologi pembangunan yang dicanangkan pemerintah Orde
Baru pada tahun 1970-an. Sebelum era pembangunan ini, masyarakat petani tradisional
yang selalu melakukan perladangan pindah-pindah di Papua sudah mampu mandiri dan
mencukupi diri sendiri lewat hasil olahan ladangnya. Secara tradisi, orientasi produksi
mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan yang diperoleh melalui uang kontan atau
tanpa adanya koperasi masyarakat yang menampung hasil produksi mereka. Makanan
tradisional seperti singkong, sagu, Kacang Tanah, Kacang Hijau, Jagung dan umbi-
umbian digantikan dengan beras yang diproduksi oleh petani transmigrasi yang
kebanyakan berasal dari luar Papua seperti Jawa. Walaupun telah dibuka ladang padi di
beberapa daerah Papua seperti Kabupaten Sorong, Nabire Paniai, Merauke, namun
kebanyakan hasilnya menjadi konsumsi bergengsi dikalangan pegawai negeri.
Pekerjaan pemberi jasa sebagai pegawai negeri sipil menjadi idola bahkan kini
membuat animo masyarakat Papua mulai mengejar hal itu dengan mempromosikan diri
mereka lewat bangku pendidikan yang bercorak umum dan tidak memperdulikan
kegiatan pertanian dan nelayan tradisional. Dengan demikian terciptalah ketergantungan
massa terhadap pelbagai tawaran dari luar yang digapai dengan uang kontan yang
melimpah. Penduduk asli Papua tidak mampu memperoleh uang kontan melalui hasil
produksi ladang dan ikan tangkapannya, justru kayu seperti Gaharu, dan rotan dan kayu
hasil hutan yang selalu menjadi jalan keluar untuk memenuhi kebutuhan tinggi akan
konsumsi barang dan jasa yang ditawarkan dari luar. Hingga saat ini, belum diperoleh
suatu format yang baik dan bersahabat dengan alam lingkungan yang sekaligus bisa
menjawab kebutuhan hidup ekonomis penduduk pribumi yang notabene digolongkan
sebagai kaum miskin ini. Disinilah letak tantangan besar untuk generasi muda Papua
untuk memperjuangkan nasib hidup mereka menuju masa depan Papua baru yang lebih
cerah.
Hutan sebenarnya sudah diatur secara adat oleh masing-masing suku bangsa
sesuai dengan pola hidupnya masing-masing dan hutan itu ada untuk manusia dan
bukan sebaliknya manusia untuk hutan. Tetapi hutan dan alam lingkungan ini masih
tetap dalam kondisi berhingga, dan yang disebut “manusia” disini bukanlah hanya
individualis masa kini belaka, melainkan manusia dalam pengertian kolektif yaitu
sesama warga penghuni bumi baik yang masih hidup sekarang maupun generasi akan
datang. Selamatkanlah Hutan Adat Papua sebagai suplai oksigen terbesar dunia demi
hidup manusia bersama. Bila leluhur masyarakat adat Papua telah berhasil menggalang
hidup bersama selama berabad tahun hingga turun temurun mereka sekarang ini, maka
tantangan dan panggilan bagi generasi muda Papua (Pace dan Mace) di era Globalisasi
ini untuk mencari jalan keluar yang baru demi kesejahteraan hidup bersama selanjutnya
di tanah Papua dan Bumi. Ajakan yang sama pula, kami mengajak semua civitas LSM,
Pemerintah, Negara-Negara atau kelompok pencinta alam dan individu pemerhati alam
agar mau bergabung dan ikut menyuarakan tentang pelestarian lingkungan hutan adat
Papua secara khusus dan dunia umumnya.
BERGESERNYA TRADISI NORMATIF MASYARAKAT ADAT PAPUA
onflik sumberdaya alam hutan adat Papua sepertinya belum dikaji secara
mendalam di dunia akademisi dan peneliti Indonesia, terutama pada
tingkatan pengembangan ilmu-ilmu Kehutanan (Natural science). Dalam
hemat kami, bahwa peneliti yang lebih dulu melakukan kajian terlengkap
yang pernah dilakukan di pulau Papua adalah para ahli-ahli Antropologi seperti Salhins,
Mansoben, Prof. Koentjaraningrat, Drs. Paul Yaam dkk pada tahun 1982 dalam buku
mereka Etnografi Papua 1982, d.y.l. Ilmu Antropologi merupakan ilmu yang selama ini
dianggap terdepan dalam rumpun ilmu-ilmu sosial yang mempunyai perhatian dalam
pengembangan teori hubungan alam dan manusia sebagaimana yang dilakukan di
Papua. Hal tersebut senada dengan yang dilakukan oleh antropolog Amerika ‘Julian H.
Steward’ yang telah memulainya dengan teori yang berkaitan dengan ekologi hutan
“cultural ecology”. Steward dalam bukunya “Evolution and Ecology” (1977) yang
mengatakan bahwa lingkungan itu sangat ditentukan oleh bagaimana pelaksanaan
organisasi produksi masyarakat dalam mengolah hutan. Artinya bahwa tindakan sosial
ekonomi masyarakat tradisional (masyarakat adat Papua) terhadap sumberdaya alam
(hutan adat mereka) sangat ditentukan dengan bagaimana pola-pola konsumsi dan
kebutuhan akan barang dan jasa oleh masyarakat tersebut. Masyarakat adat Papua,
secara tradisi melakukan aktivitas perladangan semata-mata hanya untuk pemenuhan
kebutuhan pangan, begitupun bagi para nelayan tanpa menggunakan teknologi moderen
seperti mesin penebang pohon chaisaw bagi para petani dan jaring pukat bagi para
nelayan, melainkan menggunakan alat-alat tradisional seperti parang dan kapak bagi
petani dan kail sebagai alat memancing bagi para nelayan. Secara sederhana, dapat kita
katakan bahwa masyarakat tradisional Papua mendapatkan inspirasi dari hutan untuk
petani, dan nelayan mendapatkan inspirasi dari laut. Hutan dan laut sebagai areal
penyedia pangan sehingga masyarakat adat Papua kelihatannya menggantungkan hidup
pada kedua areal itu dengan berpegang kepada adat istiadat mereka yang normatif.
K
Dalam konteks organisasi produksi semacam itu sering berakibat konflik, baik
konflik antar warga pemilik hak ulayat dengan tetangga yang membongkar hutan
adatnya karena dianggap melanggar hukum adat dan ia akan mendapat sangksi yang
setimpal. Seiring dengan itu, konflik yang sekarang terjadi justru masyarakat pemilik
hak ulayat adat diperhadapkan dengan suatu konflik baru yang boleh disebut dengan
konflik antar pelaku industrialis dalam memanfaatkan sumberdaya alam hutan sebagai
bahan baku. Jika ditelusuri lebih mendalam, konflik seperti ini ternyata tidak
sesederhana yang dibayangkan oleh banyak orang, dimana konflik semacam ini hanya
seputar pemilik hak adat tanah ulayat yang selalu tidak mengizinkan hutan adatnya
untuk dikelola dengan pihak industrialis karena dianggap tidak normatif dan
dikhawatirkan akan terjadi pengerusakan hutan adat mereka secara liar. Ini diakibatkan
karena lemahnya penegakan hukum terhadap perusak sumberdaya hutan, tetapi
sesungguhnya konflik semacam itu ada kaitannya juga dengan nilai-nilai sejarah politik
ekonomi sejak zaman penjajahan sampai pada korporatisme negara atas sumberdaya
hutan pasca kemerdekaan. Korporatisme negara tersebut tercermin dari lahirnya
peraturan perundang-undangan yang sifatnya sentralistik, hegemonistik, anti-pluralistik,
yang dikemas dalam kerangka berpikir yang sangat positifis. Konflik sumberdaya hutan
tersebut pasti akan bermuara pada konflik kepentingan antar aktor pemain dan
pemanfaat sumberdaya hutan. Ini mengingatkan kita kembali pada pertanyaan Mark
Poffenberger dalam bukunya i keepers of the forest (1990), siapa sesungguhnya yang
mempunyai hak penuh menjaga hutan? Para birokrat pemertintah, Pengusaha Hutan,
pengawas hutan yang selalu membawa senjata, para pendatang di dalam hutan yang
jumlahnya semakin bertambah, yang mana mereka adalah para konsumen hasil hutan
tingkat dunia, atau masyarakat adat yang secara turun temurun hidup dari hasil hutan
adat mereka?
Pertanyaan ambigu yang diucapkan oleh Poffenberger tersebut mengisyaratkan
kita semua bahwa konteks pemanfaatan sumberdaya hutan bukanlah konteks yang
hanya dapat dianalisis dalam perspektif mikro saja, tetapi sesungguhnya ada hubungan
antara mikro-makro yang mana keduanya saling terkait, saling bergantung dan sinergis.
Dalam relasinya dengan permasalahan masyarakat adat Papua di pulau Papua,
khususnya dengan kerusakan sumberdaya hutan adat di daerah Papua yang ditengarai
diakibatkan oleh faktor perindustrian dan penebangan kayu. Tampaknya jangan dilihat
terlalu sempit hanya sebatas pengerusakan hutan, tetapi hal ini berakibatkan akan
berkurangnya suplai oksigen terbesar yang di harapkan.
Pranata sosial budaya masyarakat adat Papua, dapat kita temukan beberapa
model kategori penggunaan lahan perladangan secara tradisi dan penggunaan hutan
secara industrialis, baik dalam perspektif normative culturali maupun realitas-realitas
yang ada sebagai akibat dari bergesernya sistem nilai budaya tradisional yang kini
sebagian besar masyarakat adat sudah tidak lagi mengembangkannya karena dianggap
ketinggalan dengan berorientasi pada model-model ekonomi untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarga. Ini dilihat sebagai model yang membuat bergesernya tradisi
normatif masyarakat adat Papua. Satu model pernyataan baru lagi bahwa sistem
perladangan tradisional tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga petani
peladang, ini merupakan pernyataan yang menginspirasikan para petani trdisional untuk
mencari alternatif sumber ekonomi keluarganya dengan meninggalkan berladang
menjadi penebang kayu di hutan-hutan adat mereka yang tadinya menjadi bagian dari
kultur mereka dan juga ada yang tidak segan menjual tanah adatnya kepada pelaku
industrialis dengan keinginan memperoleh uang kontan sebagai imbalan untuk
digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan. Faktor ekonomi memaksa masyarakat adat
harus melepaskan tanah adatnya kepada pemodal untuk keperluan usahanya dengan
syarat memberikan uang sebagai imbalan ganti rugi secara kontan. Inilah salah satu inti
permasalahan mengapa kebanyakan tanah adat di Papua telah dimiliki oleh orang bukan
asli pribumi Papua, sehingga terjadilah pergeseran tradisi normatif masyarakat Papua
itu. Pergeseran ini justru membawa petaka bagi sumberdaya hutan, karena kontrol yang
lemah dari sistem adat dan faktor ekonomi juga ikut berperan sebagai pemicu hilangnya
hak tanah adat dan semakin cepat terjadinya kemunduran kualitas alam di pulau Papua
tersebut. Sebenarnya dari instansi kehutanan juga sebagai pemicu daripada kemunduran
kualitas alam di pulau Papua, karena sampai seberapa jauh penanganan sistem tanah
adat di Papua masih tetap mampu melindungi hutan adat jikalau tidak didukung oleh
Hukum Negara guna menjaga kelestarian sumberdaya hutan adat Papua?
Kasus penggunaan sumberdaya hutan yang terjadi di masyarakat adat Papua ini,
secara diametral dihadapkan antara sektor tradisional dan sektor moderen, artinya
tatacara komunal diperhadapkan dengan model-model eksploitasi Sumber Daya Alam,
seperti eksploitasi kayu, ini terjadi di beberapa kepulauan di Indonesia saat ini. Para
kepala kampung dan kepala distrik saat ini ikut bermain dengan cara berkolaborasi
dengan masyarakat pribumi sebagai pemilik hutan adat. Tingkah laku pemimpin seperti
ini sering menimbulkan konflik horizontal antara warga masyarakat yang pada akhirnya
menimbulkan perselisihan sangat tajam antar pihak kerabat dalam kampung, maupun
perselisihan antar kampung dengan kampung maupun suku. Ada pemikiran fulgar
dimasyarakat saat ini mengatakan bahwa, siapa cepat maka ia dapat dan siapa yang
punya uang maka ialah yang akan menjadi penguasa atas tanah-tanah baru di kampung.
Akan tetapi pada saat yang sama, akan muncul warga yang tidak menerima hal ini
sehingga akan terjadi pertikaian dan konflik segitiga antar pemilik hak tanah adat, tuan
tanah baru (pembeli/pendatang) dan keluarga/kerabat pemilik hak tanah adat.
MASYARAKAT TRADISIONAL dan HUTAN ADAT VS KEPENTINGAN
alam beberapa tahun terakhir ini, kehidupan masyarakat tradisional
(masyarakat adat Papua) yang selama ini dan telah ratusan tahun hidup
berdampingan dengan hutan adat mereka, selalu dipersalahkan dan
diperlakukan secara tidak adil oleh kebijakan-kebijakan pemerintah,
khususnya jika dikaitkan dengan polecy pemerintah yang memberikan konsesi
pengelolaan hutan kepada Hak Pengusaha Hutan (HPH) dan kaum industrialis. Namun
sebaliknya, dukungan terhadap keberadaan dan kehidupan masyarakat tradisional juga
kian menjadi panas diperjuangkan oleh berbagai kalangan, khususnya mereka yang
peduli terhadap kehidupan masyarakat tradisional.
DDalam pandangan berbagai kalangan, sesungguhnya kehidupan masyarakat
tradisional (masyarakat adat) misalnya tentang sistem perladangan berpindah-pindah,
sistem tatanan hutan adat, ini sangat menguntungkan bila ditinjau dari segi ekologis,
karena proses yang mereka lakukan memberikan masa bera yang cukup panjang,
sehingga memberi kesempatan kepada tanaman-tanaman untuk dapat tumbuh kembali
dengan baik apalagi dengan sistem ketahanan hutan secara komunal dikelola oleh
masing-masing yang memiliki hak ulayat tanpa mengganggu ulayat tetangga lain
sebagaimana diatur secara komunal dalam tradisi adat istiadat mereka. Kelihatannya
pola pengelolaan lahan hutan secara tradisi ini berpengaruh pada pertumbuhan
pepohonan baru yang mampu mensuplai oksigen terbesar bagi bumi. Justru yang sering
merusak hutan (hutan adat Papua) adalah para pemegang HPH yang selama ini tidak
menebang berdasarkan asas tebang pilih, tetapi menebang secara serampangan, dan
pihak lain yang dianggap sering merusak hutan adalah perindustrian dan pertambangan
yang melakukan eksploitasi SDA dengan merusak atau membuka lahan tutupan hutan.
Salah satu contoh kasus adalah PT. Freeport yang hingga sekarang ini belum digugat
dengan persoalan pembuangan limbah tambang yang berakibat ekologi disekitarnya
mati bahkan telah menghancurkan hutan sekitar areal pertambangan di Mimika hingga
terjadinya pencemaran air sungai sekitar dan berakibat pada kematian hewan air sungai
dan sampai sekarang ini air sungai disekitar tidak dikonsumsi oleh penduduk setempat.
Sepertinya persoalan ini ditutup mati oleh PT. Freeport dan pihak-pihak terkait
termasuk pemerintah dan militer bermain didalamnya, hal ini tampak dengan tidak
mengizinkan siapapun peneliti atau pengamat yang mengunjungi areal tersebut, bahkan
diperketat dengan penjagaan TNI yang dilengkapi dengan persenjataan seperti pasukan
siap tempur.
Masyarakat tradisional (masyarakat adat) Papua khususnya dan Indonesia
umumnya maupun masyarakat tradisional di bagian bumi lainnya, sering dijadikan
sebagai tersangka utama atas terjadinya perusakan lahan (hutan adat) akibat sistem
perladangan yang mereka lakukan. Namun jika diperhatikan secara seksama,
sesungguhnya sistem perladangan masyarakat tradisional di Papua ini tidak berpengaruh
besar terhadap kerusakan hutan. Karena dalam kehidupan masyarakat tradisional Papua,
terdapat juga aturan-aturan adat yang mengatur tentang sistem pengelolaan dan
pemanfaatan lahan (hutan adat) mereka. Didalam aturan komunal itu, tersirat juga mitos
yang mempercayai bahwa hutan adat mereka juga merupakan tempat berdiam
makhluk/roh halus sebagai alam ghaib (hutan pamali/tempat pamali), dan mereka
menganggap bahwa leluhur mereka berasal dari alam hutan adat itu atau dengan
pengertian lain bahwa hutan adat sebagai yang bercikal bakal adanya manusia.
Sebagaimana yang telah terjadi di pulau Papua adalah konflik kepentingan atas
hutan adat, tanah adat, dan berikut hasil-hasil yang terkandung didalamnya yang terjadi
antara penduduk asli Papua atau terhormat bagi mereka bila dipanggil dengan sebutan
orang adat atau masyarakat adat seperti (Ondo Afi atau Ondo Ame dalam bahasa
Sentani, Ra Tabam dalam bahasa Maybrat d.y.l) dengan pemerintah daerah dan
perusahaan (perkayuan, kehutanan, perkebunan, industri, dan pertambangan) serta
penduduk pendatang (transmigrasi). Kenyataan sosial budaya ini barangkali boleh
dikatakan sebagai konflik kepentingan antara tatanan budaya lokal dan pembangunan
dalam bentuk penetrasian modal melalui industrialisasi yang berkembang pesat dalam
beberapa dasawarsa terakhir di Papua Barat yang mana seiring dengan diperlakukannya
Otonomi Khusus yang dianggap gagal oleh masyarakat adat Papua.
Dalam konteks ini, dikatakan bahwa tanah milik pribumi Papua (tanah adat
Papua) sebagai penduduk lokal seringkali dikorbankan untuk kepentingan yang bersifat
ekstraktif atau kepentingan orang-orang yang datang dari luar daerah (pendatang).
Dengan demikian, kepentingan masyarakat adat Papua yang berhubungan dengan hutan
adat dan tanah adat mereka, cenderung diabaikan baik oleh pemerintah daerah maupun
pemerintah pusat. Realitas sosial, budaya, ekonomi dan politik, sedangkan yang kedua
adalah perbedaan pandangan, persepsi, dan pemaknaan mengenai sistem perladangan
berpindah-pindah secara tradisional masyarakat adat Papua berkaitan dengan tuduhan
pemerintah bahwa salah satu sistem itu sebagai satu faktor yang merusak lingkungan.
Sistem perladangan berpindah-pindah tebas bakar bagi pemerintah dianggap sebagai
sumber terjadinya kebakaran hutan di Papua.
Sebenarnya sistem perladangan masyarakat adat Papua justru turut
meningkatkan kesuburan tanah. Kerusakan hutan di Papua bukan disebabkan oleh
sistem perladangan berpindah masyarakat pribumi Papua, tetapi karena kebijakan
penertiban sistem pertanian yang keliru. Kekeliruan kebijakan ini diakibatkan oleh
dangkalnya pengetahuan daerah mengenai sistem perladangan berpindah masyarakat
pribumi Papua di Pulau tersebut.
Mencermati akan contoh-contoh konflik mengenai penguasaan tanah, hutan dan
hasil ikutan seperti yang terjadi dalam kehidupan Masyarakat Pribumi Papua,
menunjukkan disatu sisi bahwa masyarakat pribumi Papua memandang sistem
perladangan yang selama ini mereka lakukan tidak merusak lingkungan hidup,
sementara disisi yang lain pemerintah daerah dan pengusaha menuduh sebaliknya. Pada
posisi seperti ini, para ilmuwan, peneliti, dan LSM serta media massa berpihak dan
berada di belakang Masyarakat adat Papua.
Apa yang terjadi pada komunitas lokal masyarakat adat Papua pada dasarnya
juga terjadi pada wilayah-wilayah adat lain di Indonesia maupun di belahan dunia
lainnya. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan hutan adat yang selama ini dipraktekkan
oleh masyarakat tradisional di berbagai belahan muka bumi ini selalu dilakukan
berdasarkan konsep nilai-nilai budaya lokal yang dimilikinya. Sehingga segala sesuatu
yang dirasakan tidak mendukung cara dan gaya mereka dalam memanfaatkan
lingkungannya itu. Itu dianggap sebagai sebuah pelanggaran adat atau melanggar aturan
komunal hutan adat.
Kehidupan masyarakat tradisional ini mencerminkan bahwa budaya itu
mengandung hakekat akan keperluan memenuhi kehendak dasar, yakni agar manusia
dapat dan mampu terus hidup, mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, menata
serta memanfaatkannya demi kelanjutan generasinya. Manusia dengan segala
pemenuhan keperluan organiknya secara tidak langsung menggunakan teknologi
sebagai pengubah pembawaan anatomi dalam kaitannya dengan lingkungan mereka.
Organisasi manusia yang dibentuknya mengandung aturan, teknik, atau cara dan
kekayaan tradisi yang dapat ditransformasikan dari satu kelompok ke kelompok lain.
Penentuan nilai-nilai semacam ini merupakan motif manusia teratur, yang dengan
pedoman itu mendorong manusia bekerja sama, memenuhi dan memelihara tradisi
dengan kepercayaan dan memenuhi emosi. Cara dan kekayaan tradisi yang demikian,
dimiliki oleh setiap masyarakat tradisional di dunia ini tanpa terkecuali, terutama
masyarakat adat suku bangsa Papua.
Masyarakat tradisional Papua adalah Masyarakat adat yang mana terdiri dari
270-an suku bangsa yang menghuni Pulau Papua, yang berada di Nusantara maupun
Asia dan Dunia ini, juga memiliki beberapa tradisi adat-istiadat, dan tatanan nilai
budaya lokal yang dijadikan sebagai penuntun dan patokan dalam kegiatan hidup
sehari-hari mereka. Salah satu tata cara yang terkait dengan kearifan lingkungan adalah
cara mereka dalam mengelola dan memanfaatkan hutan lahan adat (hutan, air, dan
tanah) dan segala kandungan yang terdapat dipermukaan bumi. Tata cara pengelolaan
dan pemanfaatan lahan seperti ini bukan didasarkan pada sistem pengetahuan moderen
yang masuk, tetapi didasarkan pada sistem pengetahuan lokal masyarakat adat Papua itu
sendiri, yakni berdasarkan adat-istiadat dan budaya lokal yang mereka miliki.
Pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat adat Papua boleh dikatakan
merupakan pengetahuan warisan turun temurun, dimana walaupun sifatnya sederhana
dengan peralatan dan teknologi apa adanya sesuai dengan kemampuan mereka, akan
tetapi toh mereka telah dapat mengembangkan pengetahuan dan cara-cara yang efektif
untuk mempertahankan wilayah hutan adat mereka, dengan mengelola sumberdaya
alamnya dan mengelola lingkungannya secara arif berdasarkan pengetahuan mereka
yang sederhana itu.
Salah satu sistem yang dibangun berdasarkan konsep adat istiadat orang Papua
adalah tata cara mereka membagi beberapa kawasan adat dalam lingkungannya sesuai
dengan unsur dan kandungan yang terdapat didalamnya serta bagaimana memanfaatkan
dan mengelola sumberdaya tersebut sesuai dengan tujuannya. Pembagian kawasan lahan
adat yang dimaksud disini adalah hutan adat yang menjadi topik utama konsep
pembahasan dalam kajian ini. Pembagian kawasan hutan adat dalam konsep adat orang
Papua ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan ekosistem sebagai plasma nutfah
yang nantinya mensuplai oksigen dunia, karena hutan dengan segala isinya merupakan
bagian-bagian penting yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat adat Papua
itu sendiri. Bagi masyarakat adat Papua, menganggap hutan bukan sekedar sebagai
tempat mereka mencari makan atau sebagai tempat memenuhi kebutuhan sehari-hari,
melainkan hutan adat mereka juga merupakan faktor penentu keseimbangan hidup
mereka dengan lingkungan adat sekitar mereka yang hubungannya dengan hal-hal ikwal
kausal. Pembagian kawasan hutan adat seperti yang dilakukan oleh masyarakat adat
Papua tersebut dimaksudkan supaya ikut melestarikan sumberdaya-sumberdaya yang
ada tanpa terkecuali sehingga diharapkan mampu memberi suplai oksigen bagi dunia.
Hutan adat Papua sebagai salah satu bagian yang termasuk dalam pembagian kawasan
menurut adat istiadat masyarakat pribumi Papua yang dijadikan sebagai unsur paling
pokok yang perlu dijaga, dirawat, dan dilestarikan demi anak cucu mereka kelak di
kemudian hari.
Sayangnya, bahwa cara pengelolaan dan pemanfaatan lahan seperti itu harus
bersaing dengan tata cara pengelolaan moderen yang masuk kedalam lingkungan orang
Papua melalui pendidikan formal, agama dan sistem pengetahuan moderen yang
berkembang pesat saat ini. Seiring dengan semakin berkembangnya manusia dalam
menggunakan teknologi moderen, dan pemenuhan kebutuhan hidup yang terus
berkembang dari hari perhari, menyebabkan berbagai cara dan upaya telah dilakukan
guna memenuhi kebutuhan tersebut. Salah satu cara yang masih dilakukan oleh
masyarakat adat Papua adalah memanfaatkan lahan hutan adat mereka yang ada, yakni
kayu dan hasil ikutannya. Karena di pulau Papua terdapat beberapa jenis kayu tertentu
yang dianggap memiliki nilai ekonomis yang tinggi, seperti kayu besi, kayu linggua,
kayu matoa. Dalam beberapa tahun terakhir ini, jenis-jenis kayu tersebut telah
memberikan kontribusi ekonomi yang cukup signifikan kepada sebagian warga yang
sering memanfaatkannya, yakni sebagai sumber penghasil devia khususnya uang tunai
untuk keberlanjutan hidup mereka.
Berdasarkan kondisi dan kenyataan riil seperti itu, diduga bahwa penyebab
utama kerusakan hutan adat Papua yang menyusut adalah diakibatkan oleh semakin
meluasnya lahan-lahan kritis, pengambilan kayu secara terus menerus untuk dijual dan
alih fungsi lahan dari pola perladangan yang takberkelanjutan (unrewable) menjadi
lahan persawahan yang berkelanjutan (rewables). Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa kondisi hutan yang ada saat ini di Pulau Papua mengalami tingkat penyusutan
yang cukup besar dari hari ke hari, sedang pada bagian-bagian lain telah terjadi
peningkatan luasan lahan-lahan kritis. Laju penebangan kayu dalam wilayah Pulau
Papua menunjukkan volume dan tingkatan yang terus meningkat. Begitupun dengan
praktek perladangan berpindah terus dilakukan oleh penduduk sebagai imbas atas
kondisi kesuburan tanah yang kian menurun serta masa istirahat (bera) yang pendek
sehingga hutan terus saja dibuka untuk dijadikan lahan-lahan baru bagi perladangan.
Pada sisi yang lain, dengan masuknya teknologi moderen, sistem pengetahuan dan
perkembangan baru dari luar membuat sistem nilai adat yang mengatur tentang cara
pengelolaan dan pemanfaatan lahan (hutan adat) yang selama ini dijadikan pegangan
oleh asyarakat adat Papua sepertinya mulai semakin kurang diperhatikan, bahkan
ditinggalkan dan tidak digunakan lagi oleh masyarakat adat Papua.
Merujuk pada hal-hal diatas, kita akan berupaya mengungkapkan beberapa hal
yang berkaitan dengan pengelolaan pemanfaatan lahan (hutan adat) yang dilakukan oleh
masyarakat tradisional Papua di wilayah Pulau Papua. Sorotan utama adalah dititik
beratkan pada hal-hal yang ada antara lain: Kondisi lingkungan masyarakat adat Papua,
Pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan lahan hutan adat, Pembagian kawasan menurut
adat dan implikasinya terhadap pengelolaan lahan hutan dan kegagalan pelestarian
hutan, issu global tentang global warming dan pelestarian hutan sebagai alternatif
pembatasannya.
Pada bagian kondisi lingkungan orang Papua, akan bahas tentang bagaimana
masyarakat adat Papua memandang dan melihat lingkungan alam sekitarnya yang
berhubungan erat dengan mereka. Bagaimana mereka membagi kawasan hutan adat
mereka yang ada dengan tatanan nilai-nilai budaya lokal mereka, serta implikasinya
terhadap cara pengelolaan dan pemanfaatan lahan hutan adat mereka. Beberapa sorotan
juga yang menyoroti kegagalan pemerintah daerah maupun beberapa pranata-pranata
adat istiadat setempat dalam melestarikan hutan adat mereka di Papua.
Secara komunal konsep berpikir masyarakat adat Papua menganggap bahwa
hubungan timbal balik antara manusia dengan alam lingkungan hidup dapat
dimanifestasikan dalam berbagai bentuk dan jenis. Adanya suatu proses interaksi dan
interelasi orang Papua dengan alam sekitarnya, Ini terjadi karena mereka merasa perlu
untuk melangsungkan hidupnya sehingga melakukan berbagai upaya untuk
memanfaatkan berbagai unsur yang ada dalam lingkungan hidup mereka. Setiap
aktivitas yang dilakukan oleh manusia dalam rangka kelangsungan hidupnya, akan
selalu menimbulkan dampak pada lingkungan hidup dalam bentuk dan skala yang
berbeda-beda.
Salah satu lingkungan sumberdaya yang selalu menjadi andalan bagi
peningkatan ekonomi manusia adalah hutan. Masyarakat adat Papua secara turun
termurun mengembangkan hidup mereka dengan mendapat dukungan dari lingkungan
hutan mereka. Pola hidup, Karakter, dan sistem tatanan Masyarakat adat Papua secara
komunal juga dibentuk oleh lingkungan alam dimana mereka hidup. Hutan sebagai
bagian dari sumberdaya alam, mempunyai berbagai macam fungsi serta manfaat yang
sangat besar bagi manusia maupun makhluk hidup didalamnya maupun untuk
mengembani faktor iklim global warming. Fungsinya selain sebagai hutan lindung,
hutan produksi, hutan suaka alam dan hutan wisata, juga mampu menyediakan lapangan
pekerjaan bagi masyarakat yang tinggal disekitarnya, bahkan lebih penting lagi sebagai
penyedia dan pensuplai oksigen. Manfaat hutan bagi kehidupan manusia pun sangat
besar, yakni sebagai penghasil Oksigen, kayu, rotan dan hasil ikutan lainnya yang dapat
menunjang perekonomian sebuah negara. Dalam memanfaatkan hutan dengan hasil-
hasilnya, sering melahirkan berbagai pandangan yang berbeda-beda baik yang bersifat
positif maupun negatif. Pandangan Masyarakat adat Papua secara komunal terhadap
lingkungan hutan adat mereka adalah sebagai lahan produksi, sebagai tempat hidup
hewan, sebagai tempat kediaman alam roh ghaib, sebagai lahan berburu, sebagai
tempat-tempat berziarah. Pandangan yang berbeda-beda ini sangat dipengaruhi oleh
tingkah laku manusia itu sendiri dalam melihat fungsi dan manfaat hutan yang ada.
Perbedaan dalam cara memandang hutan tersebut tidak terjadi pada masyarakat
adat Papua saja, melainkan terjadi pada setiap masyarakat adat di belahan dunia lainnya.
Cara memandang hutan bahwa hutan akan menghasilkan dampak dalam cara
pemanfaatan dan pengelolaan hutan yang berbeda pula. Mungkin pengelolaan dan
pemanfaatan lahan hutan yang ada disatu sisi tidak merusak, namun di sisi yang lain
justru bisa merusak, atau secara tradisi masyarakat adat Papua mempercayai bahwa
didalam hutan mistic (hutan pamali) akan mengakibatkan malapetaka, atau
mendatangkan bahaya kepada setiap orang yang dengan sengaja mengganggu atau
masuk ke wilayah hutan magic/hutan pamali itu. Apalagi dalam pemanfaatannya
dilakukan tanpa memprhatikan azas kelestarian yang ditetapkan secara komunal bahkan
yang telah diketahui sebagai tata aturan hutan adat. Secara komunal masyarakat adat
Papua membagi hutan dalam beberapa bagian antara lain: Hutan produksi ladang, hutan
buruan dan hutan mistic.
Dalam kehidupan masyarakat tradisional Papua, sistem dan tata cara
pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan sumberdaya alam (hutan adat) sangat
dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya lokal yang mereka miliki. Nilai-nilai budaya dan
kearifan lokal atau local wisdom pada masyarakat tradisional Papua ini tumbuh dan
berkembang menurut tradisi budaya lokal mereka. Tradisi budaya lokal di Papua
berfariatif sebanyak jumlah sebaran suku yang ada, dimana dalam tradisi tersebut,
terdapat beberapa aturan-aturan yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan adat untuk
melindungi lingkungan dari kerusakan. Tradisi dan budaya lokal tersebut telah menjadi
semacam prasyarat mutlak (conditio sine quo non) bagi masyarakat adat Papua sesuai
adat mereka untuk tetap menghargai tradisi-tradisi tersebut. Namun pada satu sisi,
tradisi lokal seperti itu kadangkala juga dilupakan oleh masyarakat yang memiliki
tradisi itu sendiri. Akibatnya secara lambat laun tradisi tersebut mulai tergeser akibat
kemajuan teknologi, yang menuntut semua cara pengelolaan dan pemanfaatan hutan
harus bersifat moderen.
Terdapat kurang lebih 251 kelompok suku bangsa yang hidup dan mendiami
pulau Papua. Kelompok masyarakat ini tergabung dalam sebuah komunitas etnis/suku
yang diklasifikasikan menjadi 251 suku. Kelompok masyarakat ini telah menetap dan
berkumpul dalam suatu komunitas yang dinamakan kampung/desa. Kegiatan pertanian
utama mereka adalah bertani (ladang), nelayan dan memburu. Kegiatan pertanian
mereka ini sifatnya subsisten, hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-
hari. Sistem perladangan mereka yang cukup dikenal adalah perladangan Umbi-umbian
(kasbi), ketala (keladi), dan ketala rambat (petatas), yang telah melalui beberapa
modifikasi dalam cara pengolahannya sehingga untuk saat ini hasilnya sudah dapat
dijual untuk mendapatkan uang tunai. Dalam hal tradisi, boleh dikatakan bahwa
masyarakat adat Papua adalah pemegang teguh tradisi dan budaya lokal mereka. Hal ini
dapat dilihat dari tata cara pergaulan atau sistem kekerabatan, sistem perkawinan, sistem
perekonomian dan lain sebagainya.
Salah satu bagian dari tradisi budaya lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat
Papua adalah bahwa mereka telah membagi kawasan darat (lahan-lahan) pada
lingkungan dimana mereka tinggal dan tempati berdasarkan kandungan sumberdaya
alam yang terdapat di dalamnya serta tujuan pemanfaatan sumberdaya tersebut.
Tentunya tradisi itu tumbuh dan berkembang melalui sebuah proses yang telah
berlangsung lama sesuai dengan hasil kreasi mereka terhadap alam lingkungan dimana
mereka tempati. Tradisi tersebut dilestarikan bukan hanya untuk dimanfaatkan demi
ketahanan hidup mereka hingga saat ini, tetapi demi anak cucu mereka di kemudian
hari. Tradisi ini berbasis pada pengalaman, kearifan serta keteraturan hukum adat yang
membagi hutan wilayah adat mereka masing-masing sesuai pengetahuan lokal mereka
masing-masing.
Dalam perkembangan akhir-akhir ini, tradisi lokal khususnya yang berkaitan
dengan pembagian wilayah kawasan hutan adat, telah mengalami pergeseran makna,
nilai dan penerapannya dalam bingkai pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang telah
diatur menurut adat istiadat suku-suku masyarakat adat masing-masing. Kondisi ini bisa
dimungkinkan karena munculnya aksi penebangan kayu di hutan yang sekarang ini
sedang marak-maraknya. Juga oleh sistem perladangan berpindah yang terus
diupayakan oleh penduduk dari hari kehari, bahkan juga alih fungsi ruang dari
fungsinya sebagai areal ladang menjadi areal persawahan, areal perkebunan kelapa
sawit, yaitu dari sistem pertanian tidak menetap menjadi sistem pertanian menetap.
Faktor-faktor inilah yang diduga mengakibatkan meluasnya lahan-lahan kritis di pulau
Papua.
Faktor lain yang diduga turut berperan dalam kegagalan pelestarian hutan adalah
peran nyata pemerintah daerah dan pranata adat istiadat setempat dalam mensiasati
persoalan yang ada terlihat begitu sangat kurang. Jika kedua unsur ini berperan secara
aktif, maka kondisi hutan adat Papua yang ada tidaklah seperti saat ini yang mengalami
penyusutan cukup besar. Salah satu tugas utama yang diembani oleh pemerintah daerah
khususnya dinas dan jawatan terkait adalah penyuluhan kepada masyarakat adat
setempat dengan penanaman kembali hutan yang rusak dan dibatasinya dengan sistem
perladangan berpindah dan pengambilan kayu secara serampangan oleh Penduduk atau
industri tertentu. Inilah produk dan upaya yang perlu dilakukan dalam usaha melindungi
dan melestarikan hutan adat Papua yang ada sekarang untuk menghindari kerusakan
hutan adat yang lebih parah. Dengan melestarikan hutan adat menjadi hutan yang subur
maka sudah pasti sebagai penyumbang oksigen yang baik.
PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT ADAT PAPUA
alam kehidupan tradisional, masyarakat adat Papua, tidak dapat
melepaskan diri mereka dari lingkungan hidup mereka. Masyarakat adat
Papua selalu bergantung dan berinteraksi dengan lingkungan alam
sekitar hutan adatnya secara terus menerus. dari hubungan timbal balik
ini, Masyarakat adat Papua memperoleh pengalaman-pengalaman sehingga mereka
mendapatkan gambaran atau ciri lingkungan hidup mereka sehingga menjadi
lingkungan hutan adat.
DSalah satu hubungan atau interaksi komunal masyarakat adat Papua, dengan
lingkungan hutan adat mereka bisa tampak dalam apa yang terjadi dalam hidup mereka
dengan hutan adat mereka. Masyarakat adat selalu mendapatkan inspirasi dan pengaruh
besar dari hutan adat mereka. Hal ini terjadi karena hutan adat mereka dapat berfungsi
sebagai pelindung fauna, flora, tanah dan tata air, serta suplai oksigen. Masyarakat adat
Papua mempunyai tradisi yang mengharuskan mereka untuk selalu menjaga hutan adat
mereka, karena menurut mereka hutan adat mereka jikalau tidak dijaga atau dirawat
dengan baik maka air, tanah, hewan, serta tumbuhan kecil lainnya yang hidup di sekitar
wilayah hutan adat mereka akan mengalami kerusakan, terutama hal yang sangat dijaga
adalah berkaitan dengan mitologi alam ghaib. Pada tataran tradisional semacam ini,
masyarakat adat Papua tidak pernah memikirkan manfaat hutan untuk suplai oksigen,
namun secara komunal bahwa mereka telah memiliki aturan hidup yang mengatur
tentang ketahanan tata hutan adat, maka secara sadar dapat dikatakan mereka telah ikut
memberikan kontribusi besar bagi kehidupan dunia secara global dengan adanya
pelestarian hutan adat mereka yang utuh maka sudah pasti sebagai penyumbang
oksigen.
Masyarakat adat Papua selalu berdisiplin terhadap hutan adat mereka, terutama
terhadap pengerusakan hutan secara tak beraturan, karena akan mempengaruhi
ekosistem terutama tempat-tempat ritus mereka akan tidak berguna karena penghuninya
akan pergi atau berpindah ketempat lain karena merasa lingkungannya sudah tidak
layak baginya. Secara harfiah, dikatakan bahwa jika hutan mengalami kerusakan maka
akan berakibat pada gundulnya hutan dan mengakibatkan turunnya debit air, serta
berpindahnya penghunia lingkungan hutan. Hutan bagi masyarakat adat Papua sebagai
areal produksi, mistik, dan hunian makhluk ghaib. Secara universal hutan dianggap
memiliki nilai ekonomis, dimana hasil hutan seperti kayu dapat diambil untuk dijual
guna memenuhi kebutuhan hidup manusia. Sebenarnya orang Papua tidak pernah
berpikir tentang menebang pohon untuk dijual sebagai penghasil ekonomi. Ini menurut
mereka adalah sesuatu hal yang baru, dan kemungkinan masyarakat adat Papua mulai
mengenal fungsi kayu sebagai nilai ekonomis ketika masuknya industri. Industri ketika
masuk ke jantung kehidupan orang Papua, juga yang bersama-sama dengannya adalah
teknologi. Secara tidak sadar bahwa suatu teknologi akan dikenal pada wilayah terpencil
karena disana memiliki hasil tertentu yang mengharuskan adanya alat-alat teknologi
tertentu. Hutan juga mempunyai manfaat yang dikenal secara komunal oleh orang
Papua dengan hasilnya seperti madu, rotan, buah, burung, tikus, rusa dan hewan-hewan
yang bisa dimakan lainnya. Selain itu hutan juga menarik minat orang untuk
mengunjunginya karena memiliki nilai keindahan yang disebut sebagai hutan wisata.
Masyarakat adat Papua menganggap hutan sebagai tempat persembunyian mereka dari
musuh, hutan sebagai tempat yang memberikan inspirasi dan semangat hidup bagi
mereka.
a. Hutan Dalam Berbagai Pandangan
Society of American Foresters memberikan definisi tentang hutan sebagai
berikut: A Plant association predominationly of foresst or other woody vegetation,
occupyng an extensive area of land. Yang didefinisikan sebagai berikut bahwa hutan
merupakan sebuah ekosistem yang terdiri atas komponen yang hidup maupun yang
tidak hidup.
Hutan menurut Rimbauwan adalah sesuatu yang terdiri dari susunan jenis, umur
dan bentuk yang sama. Hutan dibagi atas hutan alam dan hutan buatan. Secara ekologii
hutan merupakan sukesi, yaitu proses pergantian vegetasi karena perubahan habitatnya.
Sedangkan menurut simon, hutan adalah suatu asosiasi masyarakat tumbuh-tumbuhan
dan binatan yang didominasi oleh pohon dan vegetasi berkayu yang mempunyai luasan
tertentu sehiingga dapat membentuk iklim makro dan kondisi ekologi yang spesifik.
Dalam perkembangannya, hutan menyediakan berbagai macam barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti kayu bakar, kayu pertukangan, pangan, air,
dan kebutuhan lainnya yang sangat diperlukan oleh manusia.
Menurut kami, hutan merupakan rumah hunian hewan liar, payung pelindung
bagi penghuni alam, ekosistem, air, hewan, hutan juga menurut kami sebagai pabrik
alami yang menyediakan, dan memberi nafkah kehidupan baik secara materil maupun
imaterial seperti tempat ritus dan tempat-tempat ghaib, serta oksigen.
Hutan menurut Leuherry (1989) hutan merupakan sumberdaya alam yang
mempunyai berbagai fungsi antara lain sebagai hutan lindung, hutan produk, hutan
suaka alam dan hutan wisata. Disamping itu hutan juga dapat menyediakan lapangan
pekerjaan bagi mereka yang berada di sekitar hutan produksi. Masyarakat disekitar
kawasan hutan juga mendapat manfaat darinya seperti kayu, hasil hutan ikutan dan jasa
hutan, misalnya hutan wisata.
Hutan sebagai bagian dari sumberdaya alam nasional memiliki arti dan peranan
penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup.
Telah diterima sebagai kesepakatan internasional bahwa hutan yang berfungsi penting
bagi kehidupan dunia haru dibina dan dilindungi dari berbagai tindakan yang akan
berakibat merusak ekosistem dunia.
Berbagai tulisan dan dokumen etnografi tentang indonesia menyatakan bahwa
hutan hujan tropis indonesia seringkali dilukiskan seperti emas hijau (green gold) dan
mungkin yang pantas disebut green gold di Indonesia adalah Papua dan Kalimantan
sebagai rangkaian permata hijau yang melingkari negeri khatulistiwa. Potret keindahan
dan kekayaan wilayah yang tercermin dari keberadaan sumberdaya hutannya tersebut
oleh para penulis dan peneliti barat seringkali dilukiskan tiada ternilai sekaligus tiada
terbayangkan keindahannya.
Secara holistik, masyarakat adat Papua menganggap hutan adat mereka sebagai
alam yang mengandung mitos dan legenda yang berbeda-beda sesuai dengan ceritera
masing-masing masyarakat setempat sesuai dengan tahapan perkembangan sistem dan
tata nilai sosial budaya mereka. Masyarakat adat Papua meyakini bahwa hutan
merupakan sebuah kawasan yang menakutkan karena terdiri dari belantara yang lebat
yang dihuni oleh berbagai jenis binatang buas. Dalam perkembangannya, orang Papua
menganggap hutan secara arif yakni sebagai sebuah ekosistem yang tidak terpisahkan
dari kehidupan sosial, ekonomi, budaya bahkan religiusitas mereka. Berbagai jenis
tumbuh-tumbuhan baik berupa kayu maupun berupa getah, akar, daun, serta kulit kayu
telah lama dimanfaatkan oleh nenek moyang kelompok masyarakat adat Papua secara
tradisi guna memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sementara di era pembangunan
ekonomi sebagian kelompok masyarakat justru memandang makna hutan hanya dari
sudut pandang sempit, yaitu seolah-oleh hanya sebagai penghasil kayu semata.
Sumberdaya hutan secara global dipandang sebagai sumberdaya penghasil oksigen
terbesar dunia yang mempunyai pengaruh sangat besar terhadap kehidupan umat
manusia dan keseimbangan planet bumi. Secara komunal, masyarakat adat Papua
menganggap hutan sebagai kekuatan, sosial budaya, religi dan ekonomi dalam
kehidupan mereka. Fungsi dan peran hutan sebagai penyeimbang ekosistem, baik tanah,
air maupun udara. Fungsi lainnya adalah sebagai penghasil devisa bagi negara atau
wilayah dimana hutan itu berada. Hasil-hasil hutan yang sering dimanfaatkan adalah
kayu, rotan, dan tumbuhan untuk obat-obatan.
Fungsi dan peran hutan selama ini seringkali dilihat hanya dari segi ekonomi,
sebagai penghasil kayu dan hasil hutan lainnya seperti rotan, damar, dan lain-lain.
Padahal selain bernilai ekonomi, hutan memiliki fungsi politis, sosial budaya dan
ekologis yang tidak terpisahkan. Secara tradisi, masyarakat tradisional Papua membagi
hutan adat mereka secara politik, sosial, budaya, religi dan ekonomi, sebagaimana telah
secara komunal di tetapkan dalam hukum adat mereka. Selama ini belum muncul
kesadaran yang berubah pada sebuah kebijaksanaan bahwa secara ekologis hutan
berfungsi sebagai penjaga siklus hara tanah, reservasi air, serta penahan erosi, juga
sebagai tempat untuk mempertahankan keaneka ragaman hayati. Secara global, hutan
juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi situasi global, salah satu
pengaruhnya terkait global warming. Salah satu eksistensi dari hutan adalah memainkan
peranan yang begitu besar dalam proses pembersihan udara aneka polusi, akibat
kemajuan industri dan memberi keseimbangan pada iklim dunia.
Kebijakan pengembangan hutan menurut Simon (1994) tertuju kepada empat
sasaran, yaitu pertama, membina hubungan yang selaras antara manusia dengan
lingkungan. Artinya bahwa bagian dari tujuan pembangunan adalah untuk membina
manusia seutuhnya yang memiliki ciri-ciri keselarasan antara lain, 1) manusia dengan
masyarakat, 2). Manusia dengan lingkungan, 3). Manusia dengan Tuhan penciptanya.
Kedua, melestarikan sumber-sumber alam agar dimanfaatkan terus menerus oleh
generasi demi generasi. Ketiga, mencegah kemerosotan mutu dan meningkatkan mutu
lingkungan sehingga meningkatkan kualitas hidup manusia. Keempat, membimbing
manusia dari posisi “perusak lingkungan” menjadi “pembina lingkungan”.
Dalam perkembangannya, hutan juga mengalami kerusakan, baik yang
diakibatkan karena ulah dan kegiatan manusia maupun karena kondisi alam seperti
panas bumi dan gejala alam lainnya. Namun yang menjadi faktor utama kerusakan
hutan yang selama ini terjadi adalah karena ulah dari aktivitas manusia itu sendiri.
Pencurian dan pengambilan kayu dan perambahan hasil hutan lainnya merupakan
faktor-faktor penting yang menyembabkan hutan mengalami kerusakan. Motivasi paling
menonjol mengapa masyarakat adat Papua mengeksploitasi sumberdaya hutan adat
mereka adalah faktor ekonomi sehari-hari atau kita sebut saja dengan proses
perekonomian terbatas melengkapi kebutuhan pokok (pangan dan papan) tidak secara
komersial sebagai industri sehingga menjadi ukuran utama mengapa sangat tegas dalam
hukum adat, mereka melarang adanya pengambilan hasil hutan yang terkandung dalam
hutan adat mereka oleh orang bukan keluarga inti ahli waris hutan adat. Secara luas
setiap manusia atau suku bangsa melakukan aktivitas yang sama, sehingga dapat
dikatakan bahwa motivasi paling menonjol mengapa manusia mengeksploitasi
sumberdaya hutan adalah faktor ekonomi, sehingga proses pengolahan lahan (hutan)
seringkali tidak diperhatikan dan dalam pemanfaatannya cenderung tidak terkendali,
dan tidak lagi memperhatikan asas kelestariannya, selain itu juga karena ekonomi suatu
negara mengakibatkan pengabaian terhadap asas hukum adat yang mengatur hutan
secara tradisional.
Secara historis, sejak awal peradaban manusia (Manusia Papua) antara manusia
dengan hutan telah memiliki kaitan yang berdimensi sosial budaya. Dalam masyarakat
tradisional Papua, jalinan hubungan tersebut tampak dalam perilaku sosial, ekonomi,
dan budaya mereka secara tradisi semenjak nenek moyang mereka secara turun
temurun. Hakekat masyarakat adat Papua yang selalu mencari keselarasan dengan alam
sekitar ditandai dengan pemahaman bahwa mereka (manusia) merupakan salah satu
unsur dalam ekosistem yang menduduki tempat terpenting, dengan akal yang dimiliki
oleh mereka (manusia) dalam memenuhi kebutuhan hidup harus senantiasa
menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Ini merupakan salah satu tata aturan
dalam sistem pengolahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat adat Papua sepanjang
kehidupan mereka secara tradisi.
Dalam setiap pembangunan, selalu saja ada kecenderungan manusia untuk
merubah lingkungannya, sementara pada sisi yang lain, suatu lingkungan akan
mempengaruhi kehidupan manusia, baik itu menguntungkan atau merugikan. Dalam
posisi yang demikian, kadangkala pembangunan telah melampaui ukuran perencanaan,
dan akibatnya sering terjadi efek lingkungan yang tidak diperkirakan sebelumnya.
Sebagai akibatnya, suatu upaya merubah lingkungan tersebut akan membawa efek
negatif terhadap kesejahteraan makhluk hidup termasuk manusia.
Manusia bukan hanya sebagai objek semata, melainkan juga sebagai subjek
yang berperan aktif dalam pembangunan yang dalam upaya pembangunan itu harus
selalu memperhatikan kondisi sosial ekonomi warga setempat sebagai konsekwensi dari
pendekatan bahwa sumber segala perubahan yang terjadi berasal dari manusia, maka
muncul dua pandangan dalam melihat unsur manusia dalam konteks perubahan
lingkungan, yaitu pertama, bersifat manipulatif, kedua, berlandaskan pada potensi
manusia guna mengembangkan pemecahan dan pengelolaan suatu lingkungan. Ini
mungkin suatu konsep pembangunan moderen, berbeda dengan apa yang telah
berlangsung secara tradisional dalam kehidupan masyarakat adat dahulu dan kini pada
daerah-daerah terisolir, mereka selalu melakukan hal-hal yang sama sekali tidak
berpotensi merusak hutan secara terstruktur seperti menjadikan suatu lokasi hunian,
industri, atau persawahan yang dikelola secara berkelanjutan.
Pendekatan yang menekankan pentingnya unsur manusia dalam pengelolaan
suatu lingkungan memiliki dasar argumentasi dan sekaligus konsekwensi yang berbeda.
Pada pendekatan pertama, terkandung konsep ‘rekayasa sosial’, dalam hal ini suatu
pengelolaan lingkungan dipandang sebagai upaya mengelola segala kegiatan manusia
agar dapat mencapai batas toleransi lingkungan. Pendekatan ini bersifat dari atas ke
bawah (top-down), sehingga kurang memberikan peluang kreativitas kepada warga
masyarakat. Pendekatan seperti ini sering dipraktekkan oleh pemerintah baik di pusat
maupun daerah.
Kreativitas warga masyarakat dalam pengelolaan dan pengembangan lingkungan
dimungkinkan dapat dilakukan melalui cara pendekatan yang kedua. Dalam konteks
tersebut, kreativitas dalam pengelolaan dan pengembangan lingkungan yang berasal dari
warga masyarakat, lebih dipandang sebagai suatu proses belajar (menurut pandangan
moderen) namun sebagai suatu pekerjaan profesional dalam pandangan tradisional. Ini
berarti pendekatan tersebut dapat diartikan sebagai upaya masyarakat dalam
menserasikan pengelolaan dan pengembangan lingkungan yang top-down. Dengan kata
lain, melalui pendekatan ini berbagai kepentingan yang berasal dari atas dan bawah
dapat dipertemukan melalui suatu proses profesional atau belajar menurut pandangan
moderen. Namun dalam perkembangannya, hutan juga mengalami perubahan bahkan
kerusakan yang sangat parah akibat dari ulah manusia itu sendiri, baik secara tradisi
maupun moderen. Perkembangan ilmu pengetahuan pada satu sisi ikut memberikan
andil yang sangat besar bagi kelestarian maupun kerusakan hutan.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin maju dan moderen telah
menjadi pemicu lahirnya pola kebiasaan baru yang menyebabkan status sosial,
hubungan-hubungan dalam keluarga dan sistem politik ikut berubah. Proses perubahan
kebudayaan mengacu pada mekanisme sosial yang aktual dan faktual dimana perubahan
itu muncul. Dasar perubahan pada kebudayaan orang Papua terletak pada perubahan
sikap dan tingkah laku individu masyarakat adat Papua sebagai masyarakat yang ingin
bergerak dan berubah. Di sisi yang lain perubahan hak-hak mendasar dalam lingkungan
adat Papua terletak pada kebijakan Pemerintah, seperti perubahan lahan dari sistem
pertanian ladang yang sifatnya tebas bakar, menjadi sistem persawahan yang sifatnya
tidak memberikan kesempatan kepada ekosistem untuk bertumbuh.
b. Masyarakat Adat Papua dan Perubahan Sosial Budaya
Secara gamlang, para ahli antropologi membagi sistem pengetahuan masyarakat
adat Papua dalam 7 unsur adat budaya (Etnografi Papua, 1982 - Koenjaraningrat, dkk).
Dari ketujuh unsur budaya tersebut diantaranya adalah pengetahuan tentang alam
sekitarnya dan alam flora di daerah tempat tinggal tanah adat mereka. Pengetahuan
masyarakat adat Papua tentang alam sekitarnya sangat tepat, misalnya tentang musim,
sifat atau gejala alam dan sebagainya. Pengetahuan tersebut biasanya muncul dari
kebututhan praktis yang berhubungan dengan mata pencaharian hidup mereka, seperti
bertani, dan berburu. Selain itu, pengetahuan tentang alam flora kiranya juga cukup
penting bagi kehidupan mereka. Khususnya yang bermata pencaharian pokok sebagai
petani dan pemburu. Dalam tradisi masyarakat adat Papua, mereka harus bisa
mengetahui tentang alam secara utuh, gejala-gejala alam, jenis tumbuh-tumbuhan,
fungsi tumbuh-tumbuhan, alam mistik, hutan produksi, yang ada disekitar mereka.
Inilah yang menjadi ukuran bagi masyarakat adat Papua sehingga terbentuklah tatanan
peraturan yang mengatur tentang hutan yang disebut hutan adat. Hutan adat itu sendiri
dalam kehidupan masyarakat adat Papua dimaknai sebagai sumber kehidupan, sumber
penghidupan, tempat hunian hewan, tempat tinggal nenek moyang, tempat asal usul
masyarakat adat itu sendiri, tempat mistik. Ada mitologi yang berkembang dalam
kehidupan masyarakat adat Papua yang mengatakan bahwa setiap masyarakat adat telah
lahir atau diciptakan dari tanah adatnya masing-masing sehingga mereka mengenalnya
secara arif tentang tanah atau hutan adatnya serta dihargai sebagai ibu mereka yang
harus dilestarikan dan dirawat, dijaga. Dengan demikian masyarakat adat Papua
mengatakan bahwa tanah adat mereka adalah yang bercikal bakal.
Lebih lanjut, bahwa didalam setiap kelompok masyarakat adat Papua, terdapat
sejumlah nilai budaya yang telah diatur, dimana diantaranya nilai budaya dari
masyarakat adat yang satu dengan masyarakat adat yang lain saling berkaitan sehingga
membentuk sistem tatanan adat yang dapat digunakan oleh kelompok masyarakat adat
itu sendiri dalam melakukan segala sesuatu, termasuk didalamnya tatanan adat dalam
usaha melestarikan hutan adat mereka. Masyarakat adat Papua itu sendiri dibedakan
berdasarkan marga/keret/fam yang diurutkan sesuai dengan garis keturunan laki-laki
(Patrilineal), dan yang termasuk dalam pemilik tanah adat adalah marga/keret/fam lain
yang diangkat, dipelihara, dibesarkan oleh marga/keret/fam pemilik tanah adat.
Misalnya Marga/keret/fam, Sagrim Hamah, di wilayah Maybrat, Papua, adalah
marga/keret/fam yang mempunyai hak ulayat tanah adat Hamah, Sehenti, dan mereka
telah mengangkat, mengasuh, memelihara, marga/keret/fam Safkaur, marga/keret/fam
Duwit, sehingga kedua marga/keret/fam ini menjadi bagian daripada keluarga Sagrim
Hamah, yang diberi kebebasan untuk berladang, dan berburu di hutan adat keluarga
Sagrim Hamah. Selain daripada mereka yang dianggap sebagai keluarga, tidak
diperbolehkan untuk berladang, dan berburu di sekitar areal hutan adat marga/keret/fam
Sagrim Hamah, ini merupakan tatanan adat istiadat yang ditetapkan secara komunal.
Kumpulan berbagai nilai budaya yang hidup dalam masyarakat adat Papua merupakan
pendoman dari konsep ideal dalam kebudayaan sebagai pendorong terhadap arah
kehidupan masyarakat adat Papua terhadap objek tertentu, dalam hal ini lingkungan
hidup hutan adat mereka. Dengan demikian nilai budaya menentukan sikap setiap
warga masyarakat adat Papua tehadap objek seperti manusia, hewan, atau benda yang
dihadapinya. Setiap bangsa didunia, baik yang hidup di negara maju, dengan
kebudayaannya yang kompleks, maupun bangsa atau suku bangsa yang masih hidup
dengan budaya sederhana, semuanya mempunyai sistem pengetahuan yang didalamnya
termasuk sistem pengetahuan tentang pelestarian hutan.
Budaya atau kebudayaan masyarakat adat Papua itu terkait dengan pengetahuan
yang diperoleh melalui pengalaman hidup yang mana datang melalui proses dan hasil
pencapaian pemikiran mereka, perilaku serta tindakan mereka yang makin bertambah
bagi generasi selanjutnya sebagai warisan bersama. Sebenarnya budaya adat dalam
masyarakat adat Papua mengandung hakekat akan keperluan dalam memenuhi
kehendak mereka yang mendasar, yaitu agar masyarakat adat Papua sebagai manusia
yang mampu bertahan hidup, menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupa (alam hutan
adat mereka) dan menata serta memanfaatkan lingkungan hutan adat mereka guna
keberlanjutan generasi mereka. Secara tradisi, masyarakat adat Papua memenuhi segala
keperluan organik mereka secara baik, seperti menggunakan teknologi, kemudian telah
mengubah pembawaan anatomi dalam kaitannya dengan lingkungan hutan adat mereka.
Perubahan sosial budaya masyarakat telah diuraikan secara global pada masa
lampau. Jauh sebelum terbitnya buku the Origin of Species (1859) dari Charles Darwin,
terdapat tiga pandangan di kalangan orang Eropa dalam melihat masyarakat dan
kebudayaan manusia. Pertama, ada pendapat yang mengatakan bahwa pada dasarnya
manusia memang diciptakan beraneka ragam. Kedua, ada yang meyakini bahwa
sebenarnya makhluk manusia itu hanya pernah diciptakan sekali saja (monogenesis),
yakni dari satu makhluk induk, dan bahwa semua manusia merupakan keturunan Adam.
Ketiga, ada pendapat yang mengatakan bahwa sebenarnya manusia dan kebudayaan
tidak mengalami proses pergeseran degenerasi. Tetapi jika pada masa kini terdapat
perbedaan, hal itu lebih disebabkan karena tingkat kemajuan mereka yang berbeda.
Sebenarnya catatan tertua mengenai perubahan sosial budaya manusia sudah ditulis
lebih dulu oleh kitab injil sebelum ilmu lainya memuat dalam konsep pengetahuan.
Secara teoritis global, perubahan yang terjadi dari sisi budaya dapat dilihat dari
bangkitnya studi kesusastraan dan ilmu pengetahuan Yunani dan Romawi yang terjadi
pada abad XVI di Eropa atau yang dikenal dengan nama masa Renaisance, telah
menimbulkan munculnya aliran rasionalisme sebagai awal kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi di Eropa. Pada masa itu Eropa mengalami zaman ‘pencerahan’. Berbagai
bidang kajian banyak dilakukan, termasuk upaya untuk meneliti tentang
keanekaragaman manusia dan kebudayaan di berbagai tempat di muka bumi.
Agaknya pola pikir para cenekiawan masa ‘pencerahan’ yang memandang
masyarakat dan kebudayaan sebagai suatu kesatuan yang mana bagian-bagian dan
unsur-unsurnya saling terkait antara satu dengan yang lainnya sebagai suatu sistem yang
bulat sampai sekarang ini masih tetap relevan dalam kajian-kajian antropologi, terutama
yang mengacu pada metode pendekatan holistik. Sedangkan pada masyarakat adat
Papua dan perubahan sosial budaya mereka disebabkan pada sejarah masyarakat adat
masing-masing suku adat di Papua, dan juga kebudayaan masyarakat adat Papua telah
menerima pengaruh dari lingkungan alam hutan adat mereka dan struktur interen
lingkungan hutan adat yang memberikan inspirasi hidup sebagai suatu nuansa dalam
membentuk sistem tatanan budaya adat istiadat mereka. Oleh karena unsur dan adat
istiadat dalam kebudayaan mereka inilah yang membuat perubahan sosial budaya
masyarakat adat Papua tidak hanya dinilai dari kebudayaan lain. Perubahan sosial
budaya pada masyarakat adat Papua dipengaruhi oleh empat unsur utama yaitu;
pertama, Gereja, kedua, Pemerintah, ketiga, Ilmu pengetahuan, keempat, Teknologi dan
Industri. Keempat unsur ini yang menjadi ukuran utama perubahan sosial budaya
masyarakat adat Papua. Perubahan sosial budaya masyarakat adat Papua yang
dipengaruhi oleh Gereja adalah tampak dalam pola hidup mereka yang awalnya sangat
lekat dengan nuansa spiritualitas yang mana selalu melakukan hubungan timbal balik
antar alam hutan adat dengan manusia telah dihapuskan dengan pandangan baru yang
disubtitusikan dengan injil sebagai jaminan ketenteraman manusia dengan alam.
Sedangkan perubahan sosial budaya masyarakat adat Papua yang dipengaruhi oleh
Pemerintah adalah pada tatanan hutan yang dilakukan secara tradisi telah disabotase dan
digantikan dengan sistem penanganan baru yang keseluruhannya diatur oleh Pemerintah
dengan memberikan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) kepada kelompok tertentu yang
mengelolanya dengan sistem pengetahuan moderen sehingga memaksa pola penanganan
dan pengolahan tradisional yang tadinya secara adat disusun secara komunal
tergantikan. Sedangkan perubahan sosial budaya masyarakat adat Papua yang
dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan adalah dimana ketika masyarakat adat yang tadinya
dengan pengetahuan sebatas ilmu pengetahuan sederhana yang mereka tau untuk
mereka lakukan, kini telah mengalami suatu benturan dan juga tergantikan oleh sistem
pengetahuan moderen dengan pola perilaku yang moderen. Ilmu pengetahuan
merupakan suatu faktor yang membawa perubahan besar bagi kehidupan sosial budaya
masyarakat adat Papua. Sedangkan yang berikut adalah perubahan sosial budaya
masyarakat adat Papua karena pengaruh teknologi dan industri. Ini diakibatkan karena
pengolahan hutan adat dan hasil tambang sudah tidak lagi secara sederhana, akan tetapi
telah dilakukan suatu sistem moderen yaitu teknologi yang dilakukan secara saksama
sebagai alat kerja industri. Teknologi dan industri telah membuat nuansa lokal sosial
budaya masyarakat adat Papua berubah, dan masyarakat adat mau tidak mau harus
menerimanya sebagai konsekwensi perkembangan baru dalam kehidupan mereka.
Karena masyarakat adat Papua dengan unsur kebudayaan dalam kehidupan mereka
maka terbentuklah sistem sosial kebudayaan adat dengan sistem nilai tersendiri yang
ada dalam adat istiadat mereka sendiri. Atas dasar itulah kebudayaan masyarakat adat
Papua berkembang melalui tingkatan evolusi kehidupan mereka. Perkembangan
kebudayaan masyarakat adat Papua terdiri atas tiga jenis evolusi terpenting dalam
sejarah perkembangan kebudayaan mereka, yaitu perkembangan kebudayaan
masyarakat adat Papua yang cukup pesat, atau yang selalu disebut sebagai evolusi
pertama dalam revolusi kebudayaan manusia yaitu dimana manusia (masyarakat adat
Papua) mulai mengenal cara bercocok tanam. Sebagaimana catatan sejarah mengatakan
bahwa semenjak munculnya manusia yang termasuk Homo Sapiens pada sekitar 80.000
tahun yang lalu, manusia masih hidup dari berburu dan meramu. Kepandaian bercocok
tanam baru muncul sekitar 10.000 tahun yang lalu berawal dari sekitar sungai Tigris
dan Eufrat atau di lembah Mesopotamia. Dimana setelah ia (manusia) mengenal sistem
permukiman kota, artinya ia mulai juga bertempat tinggal di kota-kota pada enam ribu
tahun yang lalu di Pulau Kereta (crete) Yunani, terjadilah suatu revolusi kebudayaan
kedua dalam sejarah perkembangan revolusi kebudayaan manusia di dunia. Masyarakat
adat Papua sendiri masuk dalam perubahan kebudayaan kedua semenjak abad-18,
artinya mereka mulai hidup bersatu membentuk komunitas dalam satu kawasan yang
disebut kampung. Masyarakat adat Papua masuk dalam perubahan kebudayaan ketiga
pada abad-19, artinya mereka mulai mengenal teknik memproduksi barang secara
massal, karena tenaga manusia digantikan dengan tenaga mesin. Sejak itulah,
kebudayaan masyarakat adat Papua semakin tumbuh dan berkembang dengan pesat.
Kini seolah-olah mereka mualai melepaskan diri dari proses revolusi organik atau
evolusi biologis manusia.
Perubahan-perubahan budaya yang demikian, juga tercermin pada cara
pengelolaan dan pemanfaatan lahan secara tradisional di daerah lain, yang tampaknya
cenderung berubah dari tahun ke tahun. Juga terjadi perubahan dalam cara berpikir yang
didorong oleh perkembangan pengetahuan serta pengaruh lainnya yang berasal dari
lingkungan luarnya. Seperti yang terjadi pada masyarakat adat Papua yang cenederung
berubah, hal ini seiring dengan adanya perubahan dan pergeseran alam sistem
stratifikasi sosial komunitas masyarakat adat Papua yang cenderung berlomba-lomba
mengetahui hal-hal baru yang cenderung dari luar. Selain itu, sistem perladangan
berpindah pada masyarakat adat Papua juga berubah, yang ditandai dengan tidak
diizinkannya pola hunian sendiri-sendiri pada lingkungan hutan adat masing-masing,
yang mana ketika itu pemerintahan Hindia Belanda melakukan operasi pengusiran dan
pembongkaran rumah-rumah di setiap wilayah hutan adat dan menangkap orang-orang
adat yang berada dan dibawa ke suatu lokasi yang telah disiapkan sebagai areal hunian
bersama (kampung-camp), ini terjadi pada abad-19 yang mana dilakukan secara
serempak di wilayah kepala burung, (Sorong, Maybrat, Teminabuan, Sorong, Misol,
Sausapor, Mega) wilayah bagian tengah (Serui, Biak, Ansus, Waropen), dan bagian
ekor (Jayapura, Engros, Keerom, Merauke, Mimika). Menurut kami, dengan runtuhnya
organisasi sosial adat ini, maka sistem pertanian tradisional pun mulai berubah.
Sistem perladangan masyarakat adat Papua sudah sepantasnya ditinjau kembali.
Secara teoritis dan dalam konteks ekologi mikro, sistem perladangan ini dapat
dibenarkan, namun secara praktis dan dalam konteks ekologi mikro mungkin tidak
seluruhnya benar, karena justru sistem perladangan masyarakat Papua sudah tidak
adaptif atau cenderung gagal beradaptasi dengan lingkungan alamnya yang dalam hal
ini hutan dan tanah. Karena itu, sistem peladangan seperti ini berpotensi kuat untuk
merusak lingkungan alam hutan adat Papua itu sendiri.
Sistem perladangan masyarakat adat Papua cepat atau lambat pasti akan
berubah, karena disebabkan oleh faktor-faktor berikut: (1) adanya tekanan penduduk
disekitarnya, (2) semakin berkurangnya tenaga kerja ladang karena memilih menekuni
pola baru, (3) perkembangan mekanisme teknologi pertanian semakin berkembang dan
tergantikan dengan pola baru (4) adanya gangguan dalam daur ulang unsur hara alami
(ekologis, ekosistem ladang) dan (5) etnoekologi perladangan yang tidak lagi berfungsi
sebagai pedoman perilaku dalam pengolahan perladangan mereka (masyarakat adat
Papua).
Dalam sistem kepemilikan hutan, sebagaimana diperintahkan oleh hukum
nasional merupakan hal yang relatif baru. Sampai beberapa puluh tahun terakhir ini,
sebagian besar lahan hutan adat Papua yang digunakan atau dihuni oleh penduduk asli
(pribumi) atau sangat arif bagi mereka kalau disebut masyarakat adat yang diatur
menurut kewenangan dan hukum adat disabotase oleh pemerintah dengan memberikan
Hak Pengolahan Hutan (HPH) kepada oknum budaya masyarakat adat setempat –
(Abdurrahman, 1984; Sudiyat, 1981 dalam Barber Charles, dkk, 1999 : 32). Di tengah
kehidupan orang Papua, adat istiadat masih dipegang teguh sebagai kewenangan yang
mengalir bukan dari negara melainkan dari masyarakat adat itu sendiri. Secara tradisi,
tatanan adat masyarakat Papua, menganggap bahwa cara adat mereka sebagai aturan
yang lebih sah, lebih sehat secara ekologis, dan lebih adil, dan telah mampu berjalan
dan seimbang dalam penerapan hidup mereka.
Beberapa paham atas hak milik tanah adat menurut adat istiadat masyarakat
Papua yang berbeda dan agaknya bertentangan dengan peraturan yang ditetapkan secara
mengandaikan oleh Negara, dimana menurut adat istiadat bahwa:
1. Tanah adat mereka memiliki makna sosio-religius, dan tanah adat itu sangat erat
kaitannya dengan jati diri masyarakat adat sebagai kelompok pemilik tanah adat
tersebut. Masalah-masalah yang menyangkut tanah adat mereka, tidak dapat
dipisahkan dari masalah-masalah kekerabatan, kekuasaan dan kepemimpinan, cara-
cara menyambung hidup dan upacara.
2. Secara komunal, diwilayah masing-masing, tanah adat dan sumber-sumbernya
mendukung serangkaian luas kegiatan yang digelar menurut sistem adat istiadat
mereka. Pertanian yang bergulir berpindah-pindah, berburu, menangkap ikan, dan
mengumpulkan produk hutan lazimnya lebih penting daripada pertanian intensif.
3. Adanya hak perseorangan dan kelompok atas tanah yang diwariskan sebagai
warisan adat, walaupun kebanyakan ‘hak atas tanah’ secara perorangan itu entah
merupakan hak pemanfaatan yang lebih rendah daripada hak kelompok yang lebih
unggul atau hak-hak terhadap sumberdaya tertentu. Hak warisan adat semacam
tanah adat dan lainnya secara turun temurun diturunkan menurut garis keturunan
laki-laki (patrilineal), walaupun ada sedikit menurut garis keturunan permpuan
(matrilineal), mungkin karena ada sebab akibat sehingga alur pewarisan menurut
garis keturunan perempuan (matrilineal) itu terjadi.
4. Lahan-lahan tidur, atau disebut juga daerah kosong tak terkunjungi, sama-sama
mempunyai hak pemilik seperti halnya masing-masing pembagian tanah adat yang
mempunyai ahli warisnya. Dalam kehidupan masyarakat adat Papua, tanah-tanah
mereka jarang dianggap ‘kosong’, atau semuanya ada pemilik hak adat.
5. Hak adat atas tanah dan sumberdaya dalam masyarakat adat Papua jarang dicatat
dalam peta-peta atau dengan rekaman tertulis, dengan pengecualian tanda hak milik
yang ditaruh di pohon, atau tanda hak yang ditanam berupa tumbuhan tertentu, atau
gua (lubang batu), atau teluk, atau pulau, atau juga kumpulan bebatuan, dan sumber-
sumber tertentu lainnya yang dimiliki secara pribadi sebagai tanda. Bahkan juga
batas-batas ditentukan berdasarkan bentuk alam, menurut kesepakatan bersama. Ini
merupakan suatu bentuk perjanjian adat yang disepakati sebagai tatanan hidup
masyarakat dalam menghuni dan meramu hutan adat mereka.
Kelestarian hutan adat Papua sangat berkaitan erat dengan adanya kepercayaan
dan tata nilai adat isitiadat yang dimiliki oleh masyarakat adat Papua. Sistem nilai adat
istiadat yang dimiliki oleh masyarakat adat Papua sangat besar pengaruhnya terhadap
usaha pelestarian lingkungan (hutan adat) mereka. Kecenderungan terhadap peran nilai
budaya yang begitu besar, membuat masyarakat adat disekitarnya mengolah dan
memanfaatkan hutan adat mereka, dengan selalu memandang dari sisi nilai adat istiadat
budaya mereka terutama sistem adat yang berkaitan dengan hutan tanah adat mereka.
Hal itu sebagai tatanan utama sehingga usaha pelestarian lingkungan hutan adat
khususnya hutan adat Papua cukup baik. Dengan demikian maka hubungan antara
masyarakat adat Papua (manusia) dengan alam lingkungan hutan adatnya sangat besar
pula dipengaruh oleh nilai-nilai dan pola-pola kebudayaan adat istiadat yang dimiliki
oleh masyarakat adat Papua itu sendiri.
Ekologi kebudayaan adat istiadat masyarakat adat Papua pada intinya
memahami hubungan antara masyarakat, subsistensi, dan lingkungannya. Penekanannya
dalam ekologi kebudayaan adat istiadat masyarakat adat Papua adalah merupakan
aktivitas subsistensi, dimana yang diperhatikan adalah hubungan antara manusia dengan
lingkungan adat mereka secara fisik, teknologi dan organisasi sosial mereka.
IMPLIKASI KERUSAKAN EKOSISTEM HUTAN ADAT PAPUA SEBAGAI
KERUSAKAN GLOBAL
A. Implikasi kerusakan hutan Papua
ertumbuhan penduduk di pulau Papua apabila tidak diseimbangkan dengan
persediaan tanah adat mereka, makan pertumbuhannya akan semakin cepat
dan memadati lingkungan tanah dan hutan adat Papua sehingga
ekosistemnya akan menurun. Selain pertambahan penduduk, pada sisi yang
lain untuk menanggulangi hidup, manusia memerlukan bahan pangan. Semakin banyak
penduduk maka semakin sedikit lahan penghasil pangan. Oleh karena itu, menurut kami
hutan adat Papua itu akan menurun jika laju pertumbuhan penduduk selalu meningkat.
Untuk persoalan ini, memiliki hubungan yang sangat erat, yaitu antara manusia, alam
dan hidup. Dapat kita gambarkan dalam skema keterkaitan hubungan hidup manusia
dan hutan sebagai berikut.
P
Gambar skema keterkaitan hubungan hidup
manusia dan hutan digambarkan dengan pola siklus
melingkar karena selalu berkelanjutan dengan pola yang
sama. Tak ada satupun manusia di dunia yang bisa
mengatakan bahwa ia dapat melanjutkan hidupnya
tanpa mendapat suplai dari tanah dan hutan. Manusia
ataupun hewan pasti mengatakan hal yang sama bahwa
untuk melanjutkan hidup mereka, pasti ada
ketergantungannya dengan hutan alam sekitar mereka
sebagai areal penghasil kebutuhan pangan sehari-hari. Selain pangan, tak lupa juga kita
membutuhkan udara yang segar, maka hutan juga mempunyai peran penting dalam
mereduksi panas dan menyeimbangkan panas dengan mensuplai oksigen yang baik bagi
makhluk lainnya.
Terjadinya penurunan hutan dan pangan karena pertumbuhan penduduk sangat
pesat sehingga menyebabkan meningkatnya kebutuhan dasar sehingga trerjadi
Manusia
hutan, alam,
sebagai suplai
pangan
Hidup
Gambar: Skema Hubungan manusia dan
alam
pengekploitasian terhadap hasil hutan dan yang terutama terjadi pengerusakan hutan
sebagai lahan bercocok tanam. Hal semacam ini kebanyakan dilakukan pada masyarakat
pedesaan yang dikenal selalu berhubungan langsung dengan lingkungan hutan adat
mereka yang mana terpaksa harus dimanfaatkan hutan besar-besaran sehingga terjadi
kerusakan yang semakin meningkat.
Dari sisi politis, seringkali hutan adat Papua menjadi persengketaan antara
warga masyarakat adat atas dasar haknya pada hutan adat mereka yang tidak diberikan
bagian oleh para pengelola baru yang diberi Hak Pengelola Hutan (HPH) dan
Perusahaan Penambangan sebagaimana yang seringkali terjadi di wilayah Mimika
antara suku adat Kamoro dan suk adat Amungme sebagai pemilik tanah adat penghasil
emas yang dikelola oleh PT.Freeport. Bukan hanya pemegang HPH dan Pengusaha
pertambangan, tetapi juga pejabat-pejabat publik yang menduduki jabatan politis pada
beberapa instansi baik di pusat maupun daerah.
Hutan adat Papua merupakan ekosistem yang sangat beragam dan mampu
menunjang kehidupan jutaan spesies, mensuplai oksigen dan menyediakan berbagai
sumberdaya lainnya. Hutan lebat diseluruh dunia memiliki luas 29 juta kilometer
persegi, dari 29 juta kilometer persegi hutan yang masih lebat, ini diantaranya 32
persenya adalah hutan sub artik, 26 persen hutan daerah beriklim sedang dan 42 persen
hutan tropis. Sedangkan hutan adat Papua berkisar antara 3.16.100 kilometer dari
perbandingan luas wilayah pulau Papua yaitu 4.16.800 kilometer dibagi areal hunian
penduduk (kota dan pedesaan) yang masing-masing ukuran jarak hunian penduduk per
KK 15 meter dari letak suatu bangunan ke bangunan yang lain, ditambahlagi dengan
areal industrial dan persawahan serta perkebunan dan ladang. Perkembangan hutan
dunia akhir ini mengalami penyusutan dan perusakan yang cukup parah. Hampir 15
persen hutan penghasil kayu di 17 negara Eropa telah menderita kerusakan, mulai dari
yang sedang hingga yang pling parah, akibat pencemaran udara. Di Amerika Latin,
penyebab utama penggundulan hutan adalah peternakan dengan sistem ranch, spekulasi
tanah, pemukiman tak berencana menyusul pembangunan jalan dan perladangan
berpindah yang tidak berkelanjutan. Di Asia dan Afrika, yang umum menjadi penyebab
utama adalah sistem perladangan berpindah yang tak berkelanjutan (sustensi), konversi
untuk pertanian komersial dan daerah kering, penebangan tanahnya tanpa istirahat
merupakan penyebab terbesar hilangnya hutan di daerah tropis. Sehingga setiap tahun
sekurangnya 180.000 km² (2%) hutan tropis terus digunduli untuk perladangan
berpindah yang tak berkelanjutan, untuk permukiman, untuk padang penggembalaan
dan kegiatan pertanian lainnya (IUCN, 1993: 144). Di Papua, yang menjadi penyebab
terjadinya kerusakan hutan adat Papua adalah terjadinya kebakaran akibat gesekan
antara benda pada waktu kemarau, ini kebanyakan terjadi pada tanah adat Papua yang
kering (zona tinggi hiik zone dan zona kaki gunung food zone), menyusul perladangan
berpindah-pindah, dan permukiman, dan pengolahan pertanian besar seperti kelapa
sawit, dan menyusul penggundulan untuk pengolahan tambang.
Green (1992) dalam Hadiwiyono Nur (1998) mengatakan bahwa Asia
mengalami laju kerusakan hutan paling cepat, yaitu 2,1% per tahun, sementara Amerika
Latin 0,9% per tahun, dan Afrika 0,8% per tahun. Negara-negara yang kehilangan lebih
dari setengah juta hektar hutan per tahun antara tahun 1981-1985 terbanyak adalah
Brasil, Colombia, Indonesia, Mexico dan Sudan. Indonesia memiliki areal hutan seluas
kurang lebih 144 juta hektar atau kira-kira 75 persen dari total luas tanah di Indonesia.
Menurut penggunaannya, hutan di Indonesia dibagi ke dalam empat peruntukan, yaitu:
hutan konservasi alam dan sumber plasma nuthfa termasuk riset dan rekreasi (18,89 juta
ha), hutan lindung yang diperuntukan untuk pengawetan tanah dan air (30,30 juta ha),
hutan produksi untuk produksi kayu dan non-kayu (64,40 juta ha), dan hutan konservasi
yang dapat dialihkan peruntukannya menjadi kawasan pertanian dan penggunaan tanah
lainnya (30,50 juta ha), [Prakosa M, 1996; 19].
Demikian besarnya luas hutan adat Papua yang disebut sebagai green Gold telah
kini mengalami kerusakan yang kian lama semakin menancap tajam. Secara umum,
hutan di Indonesia mengalami kerusakan sekitar 2 juta ha, setiap tahun. Perhitungan
semacam ini diambil dari laju kerusakan hutan Jawa sebagai ukuran utama kerusakan
hutan Indonesia. Dengan kerusakan demikian, sehingga adanya usaha pembangunan
kembali hutan untuk reboisasi atau penghijauan kembali hutan gundul di pulau Jawa,
yang diusahakan melalui berbagaimacam proses namun kualitasnya tidak mampu
mengimbangi laju kerusakan hutan yang terjadi di Jawa. Di Papua, laju kerusakan hutan
adat sangat lamban dibandingkan dengan daerah Jawa karena disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu (1) faktor Geografis, (2) faktor masyarakat dan sistem tata aturan (3) faktor
transportasi dan isolasi. Oleh karena itu dikhawatirkan dengan adanya rencana
pengembangan trans Papua dari sorong sampai samarai, akan menjadi suatu ancaman
pengerusakan hutan adat Papua yang diberi julukan nama green gold oleh bangsa
Spanyol itu. Di Papua, kerusakan hutan adat mula-mula banyak terjadi karena
disebabkan oleh adanya sistem perladangan berpindah-pindah dengan pembalakan
hutan yang salah dan pembukaan hutan untuk areal pertanian yang cenderung
berpindah-pindah. Pola perladangan ini cenderung merusak hutan adat dan ekosistem
yang ada lebih cepat ketimbang pertumbuhan rehabilitasi ekosistem di lokasi
perladangan lama yang ditinggalkan.
Hasil temuan kami dalam kajian ini menunjukkan bahwa penyebab kerusakan
hutan adat Papua terdiri atas lima bagian, yaitu: Pertama, Konversi hutan menjadi lahan
pertanian, termasuk perladangan berpindah; Kedua, Pembangunan proyek-proyek
pemerintah termasuk pertambangan, Ketiga, loging, Keempat, Pembakaran atau
kebakaran, kelima, Pemekaran wilayah Perkampungan dan kota.
Hasil temuan bank Dunia 1990, menunjukkan bahwa penyebab kerusakan hutan
di Indonesia dapat dikelomokkan menjadi empat, yaitu: Pertama, konversi hutan
menjadi lahan pertanian, termasuk perladangan berpindah-pindah; kedua, pembangunan
proyek-proyek pemerintah; ketiga, loging, keempat, Pembakaran. Dari keempat faktor
tersebut, selama periode 1982-1989, konversi hutan menjadi lahan pertanian
mempunyai peran terbesar dalam kerusakan hutan Indonesia. Di Papua, faktor utama
yang membuat kerusakan hutan adat Papua adalah konversi hutan sebagai ladang
berpindah-pindah dan terjadinya kebakaran hutan ulah manusia maupun terjadi gesekan
akibat kekeringan.
Secara global, kerusakan hutan terjadi akibat alih fungsi hutan menjadi areal
permukiman, terutama terjadi pada kota-kota besar (grand city), selain itu terjadinya
penghancuran pada ozon akibat daripada terbentuknya kota serta kebanyakan aktifitas
pengembangan kota serta mobilitas kerja dalam kota menggunakan mesin sebagai alat
utama pengganti tenaga manusia yang berpotensi menghasilkan emisi terbesar
sepanjang sejarah penghancuran ozon. Dalam temuan green Peace 2003, Kota
Surabaya, Jawa Timur Indonesia, merupakan kota dengan penghasil emisi terbesar di
Asia dan sangat memprihatinkan, sedangkan di Jakarta, Indonesia, merupakan kota
dengan beban terbesar yang siap tenggelam bila terjadi pergeseran pada patahan
lempeng disekitarnya.
Kerusakan hutan di daerah Kais hingga Kamundang Kabupaten Sorong Selatan
dan Kabupaten Maybrat, diakibatkan pencurian kayu yang selama ± 4 tahun dilakukan
secara ilegal di wilayah tersebut, hingga akhirnya terungkap kasusnya yang
mengakibatkan perusahaan kayu lapis play wood “ARAR” di Kabupaten Sorong gulung
tikar akibat suplai bahan baku yang terbatasi hingga akhirnya tutup total. Didaerah
Papua lainnya juga terjadi pengerusakan hutan sehingga mengakibatkan degradasi hutan
adat Papua semakin mengkhawatirkan, karena dengan adanya perkembangan penduduk
serta industri serta pembukaan lahan-lahan perkebunan baru seperti perkebunan kelapa
sawit di daerah Merauke Kabupaten Merauke, lahan kelapa sawit di Keerom Kabupaten
Keerom, dan pembukaan perkebunan coklat di daerah Moswaren Kabupaten Sorong
Selatan, pembukaan lokasi hutan dari hutan tutupan menjadi alih fungsi sebagai areal
hunian transmigrasi di wilayah Aimas Sorong, SP Moswaren Sorong Selatan, SP di
Manokwari, SP di Nabire, SP di Merauke, dan beberapa kota lainnya, merupakan
potensi besar yang ikut merusak hutan adat Papua.
Eksploitasi hutan secara berlebihan akan menimbulkan kerusakan hutan yang
berlebihan. Keadaan air dan tanah di Papua disekitar areal hutan adat yang tadinya baik
menjadi rusak. Misalnya air sungai di daerah hutan adat Papua, semasa saya, langsung
di minum dari sumbernya tanpa harus melalui proses pengolahan. Inilah yang harus di
jaga agar kadar air ph-nya jangan menurun. Suatu apresiasi yang baik karena
pemerintah telah berusaha untuk melindungai sumberdaya alam dengan mengeluarkan
kebijakan berupa Undang-Undang No. 4 tahun 1982 yang memuat ketentuan pokok
tentang cara pengelolaan hutan lingkungan yang sesuai dengan kepentingan
masyarakat, terutama masyarakat adat Papua. Oleh karen itu, diharapkan agar dalam
perencanaan pembangunan sektor kehutanan, dua prinsip yang selalu dipakai sebagai
pedoman yaitu distribusi manfaat hutan adat antar generasi dan kelestarian sumberdaya
hutan. Prinsip ini menekankan pada pemanfaatan yang berkesinambungan dan hak
generasi sekarang dan generasi yang akan datang untuk mendapat manfaat dari
sumberdaya hutan. Sumberdaya yang dimaksudkan disinia adalah suberdaya berupa
material maupun imaterial, yang terutama menyangkut penghasil oksigen sebagai
penyeimbang iklim global.
Kasus yang selama ini terjadi secara umum adalah terjadinya proses penebangan
hutan secara liar yang telah merusak hutan serta ekosiste lain yang hidup di dalamnya.
Penjarahan, penghancuran, penebangan liar terhadap hutan, seperti di beberapa daerah
Papua, Jambi, Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan yang kini masih terus
berlangsung bahkan semakin dahsyat dan mengerikan. Kasus-kasus pencurian kini tidak
hanya terjadi di areal HPH, tetapi juga pada areal hutan lindung, suaka alam dan ataman
nasional. Pencurian tersebut banyak terjadi karena alasan ekonomi akibat adanya krisis
ekonomi dan moneter yang menghantam Indonesia beberapa tahun lalu.
Barangkali inilah implementasi dari pola eksploitasi hutan yang paling jahat di
duni pada umumnya dan khususnya bagi hutan adat Papua. Dalam retorika politik,
pandangan pemerintah menganggap hutan adat di Papua sebagai rumah persembunyian
orang-orang pergerakan Papua Merdeka “OPM” atau sering dimunculkan secara masive
sebagai GPK sehingga direncanakan trans Papua. Sebenarnya pembangunan kehutanan
lebih diarahkan pada konsep sustainable forest management. Konsep ini mengharuskan
luas hutan tumbuh sebesar lima persen dari keadaan awal dalam rentang waktu tertentu,
misalnya 40 tahun. Secara tradisi, masyarakat adat Papua telah secara turun temurun
melakukan pemanfaatan hutan adat mereka dengan pola tatanan manajemen proteksi,
rehabilitasi, konservasi dan eksploitasi yang teratur dalam tatacara mereka sehari-hari.
Sebenarnya tatacara tersebut harus dipertahankan serta dikembangkan oleh pemerintah
guna keberlanjutan ketahanan hutan yang berkelanjutan.
Akibat dari kesalahan manajemen eksploitasi itu, kini selain hutan adat Papua
semakin surut, hijau hutan Papua yang pernah diberi nama sebagai green gold mulai
redup dan berbagai fungsi hutan adat lainnya mulai hilang sama sekali. Secara nasional,
menurut catatan Departemen Kehutanan, setiap menit hutan di Indonesia menyusut
seluas lapangan sepakbola. Deforestasi semakin runyam setelah terjadinya penebangan-
penebangan pohon pada kawasan-kawasan yang secara spesifik membutuhkan adanya
tegakan hutan untuk melindungi air (hutan lindung). Demikian juga pada hutan suaka
alam atau Taman Nasional Kutai, Gunung Leuser di Aceh Sumatera Utara, Taman
Nasional Kerinci Seblat di Sumatera Bagian Selatan, Meru-Betiri di Jawa Timur,
Gunung Meja di Manokwari-Papua bagian barat, Bahari Laut Raja Ampat Papua Barat,
serta perusakan miniatur hutan tropis dunia di Pulau Laut, Kalimantan Selatan.
Penebangan dan pembakaran hutan untuk ladang berpindah-pindah sebagaimana
secara tradisional dilakukan sepanjang dekade keturunan masyarakat adat Papua,
praktek sistem pertanian yang tidak mempertahankan konsep dan usaha pengawetan
(konservasi) tanah dan alih fungsi hutan tutupan, serta kebakaran hutan adalah faktor
utama yang menyebabkan hutan adat Papua akan terus menjadi rusak sehingga
mengakibatkan lahan kritis.
Sebagaimana juga apa yang terjadi di daerah Kais dan Kamundang Kabupaten
Sorong Selatan dan Kabupaten Maybrat, bahwa proses pengambilan kayu yang secara
terus menerus dilakukan oleh para pemegang HPH telah mengakibatkan hak-hak
masyarakat adat atas hutan adat mereka menjadi hilang. Akibatnya karena tidak terjalin
pengertian antara pemegang HPH dan masyarakat adat setempat, sehingga terjadi
bentrokan antara warga masyarakat adat dengan para pemegang HPH yang
mengakibatkan cacat dan luka beberapa orang.
Dibalik ceritera kegagalan anak negeri Papua (masyarakat adat) yang terdidik
secara formal dalam mengelola lahan hutan adat, para pemegang HPH dan para
akademisi yang selalu memberikan ide-ide untuk pengelolaan hutan yang baik, adapula
ceritera sukses masyarakat tradisional Papua dalam pengelolaan hutan adat mereka.
Keberhasilan masyarakat adat Papua itu didasari oleh kesadaran akan adanya saling
ketergantungan antara manusia dengan sumberdaya alam serta adanya mitos tentang
cikal bakal hutan sebagai ibu dari mereka. Sehingga secara sadar, mereka
memperlakukan hutan adat mereka beserta sumberdayanya dengan baik serta penuh
keteraturan, agar kelak dapat menjadi sumber kehidupan bagi mereka dan keturunan
mereka. Bagi masyarakat adat Papua, hutan adat mereka bukan hanya sebagai penghasil
barang tetapi juga jasa, karena juga diperuntukkan untuk melindungi sumber-sumber
air, dan selain itu perlu dimasukkan juga bahwa sebagai produk oksigen.
B. Implikasi Kerusakan Dalam Pandangan Global
Abad ke-21 telah diproyeksikan sebagai 'Era Bencana Ekologis' Kelompok
Lingkungan EKOLOGI. Tantangan ini realitas malang sebagaimana yang dibahas
dalam Peringatan Konferensi Asia Afrika yang ke-55 di Cape Town Afrika Selatan –
Yogyakarta Indonesia 2010.
"Keanekaragaman Kelompok Lingkungan Hidup 'dalam fokus pembahasan ini
adalah" Keanekaragaman Hayati,' berarti jumlah dan kelimpahan spesies yang sangat
relatif berbeda di suatu daerah/habitat termasuk Planet Bumi. Berbagai spesies
(tanaman, hewan, mikro-organisme, dll), melalui interaksi antara mereka sendiri dan
dengan lingkungan abiotik mereka, terdiri dari berbagai tingkat ekosistem, di antaranya
yang terbesar adalah biosfer. Ekosistem membuat habitat Bumi kita dengan
menyediakan layanan seperti oksigen untuk bernapas, air bersih untuk minum, tanah di
mana tumbuh tanaman, dan dikelola dan diatur pola iklim. Namun, Keanekaragaman
Hayati dalam status belum pernah terjadi sebelumnya seperti yang dilaporkan akhir-
akhir ini: "dunia kini di tengah-tengah kepunahan massal spesies yang paling tercepat
hidup dalam sejarah 4,5-miliar-tahun planet" Tidak mengherankan., Ini penurunan
planet tercepat pada sistem kehidupan yang telah membuat sehingga para ahli
memberikan suatu peringatan bahwa adanya suatu penurunan yang cepat dari
Keberlanjutan ekosfer dan penderitaan dramatis dari spesies manusia, dengan beratusan
juta jiwa, dan sebagian besar di benua Afrika dan Asia, yang diproyeksikan untuk
mengalami kehausan, kelaparan, dan kematian prematur dalam waktu dekat .
faktor A pusat untuk bencana ekologis ini telah menjadi-laba yang beragam, dan
ledakan fenomena yang disebut 'Globalisasi' Meskipun ada banyak definisi sengketa.,
para sarjana mengakui bahwa Globalisasi mencakup beberapa hal yaitu; 1) ekspansi
spasial arus melampaui bangsa-negara dan benua, 2) intensifikasi seperti antar-koneksi,
3) percepatan transformasi kecepatan sistem, 4) memperdalam konsekuensi sosial yang
sering tidak sama/tidak adil, dll Globalisasi adalah variabel penjelas kunci
Keanekaragaman Hayati menghilang dengan cepat terutama melalui empat proses yang
disebut 'Hippo' : Habitat kerusakan (hutan, terumbu karang), spesies invasif (dari luar
negeri), Pencemaran (atmosfer, laut, tanah), manusia Penduduk ledakan, dan over-panen
(oleh budidaya yang berlebihan, eksploitasi air, berburu/memancing). Oleh karena itu,
kebangkitan Globalisasi, mengakibatkan penurunan Keanekaragaman Hayati dan
Keberlanjutan ekologi, dan proyeksi penderitaan manusia (di Asia dan Afrika) yang
melibatkan semua fenomena kausal semakin urgent.
Sementara ilmu pengetahuan sulit mencari informasi terbaru dari ',' kelompok
Lingkungan juga menjajaki 'Paradigma', atau "model memayungi dunia yang
membentuk pandangan dunia kita dan membimbing interpretasi kita tentang bagaimana
hal-hal yang" Dilaporkan., Lebih dari 99% dari generasi manusia bertahan dengan
Paradigma holistik-dan-seimbang sebagai pengumpul dan pemburu, yang tidak secara
radikal memisahkan 1) materi vs spiritual, 2) vs masa depan sekarang, 3) manusia vs
non-manusia, 4) vs perempuan laki-laki, dll. Namun, ribuan tahun terakhir, terlihat
bahwa munculnya Paradigma dualistik di mana Material, Present, Manusia, dll, telah
dibuat dalam suatu oposisi, dan ditempatkan di atas rekan-rekan mereka. Sejauh yang
muncul dari Globalisasi, aspek materialistis tempo-sentris, antroposentris, dan maskulin
Paradigma Barat modern, mungkin penting untuk dicounter.
Jadi kelompok Lingkungan hidup mengeksplorasi peningkatan eksplorasi materi
tentang Keanekaragaman Hayati dan Globalisasi ke dalam, sosio-politik psiko-budaya,
domain religio-filosofis dalam pencarian untuk Agribisnis ekologis dan kesejahteraan
manusia. Kontribusi ditarik dari Afrika-Asia terutama didorong, bukan hanya karena
subjudul "Peran Afrika dan Asia," tetapi karena daerah ini kaya akan Keanekaragaman
Hayati, diproyeksikan untuk menjadi korban utama dari penurunan tersebut, dan
berkualitas baik untuk menyediakan alternatif Paradigma yang berlaku Globalisasi.
Globalisasi artinya lebih kurang tanpa batas. Ini memungkinkan Negara-negara
maju untuk melakukan investasi di negara ketiga terutama Negara-negara di Asia Afrika
untuk memenuhi kebutuhan raw material mereka seperti kayu, tambang, kertas,
makanan dan lain-lain yang sulit didapatkan didaerah mereka.
Dengan kondisi seperti ini, memungkinkan terjadi pengrusakan kawasan secara
besar-besaran untuk ditambang. Otomatis kawasan yang dirusak akan melepaskan
karbon yang cukup besar sehingga berpengaruh pada climate, dan kawasan tersebut
menjadi labil sehingga memunkginkan terjadi longsor, banjir di hilir dan sebagainya.
Juga penggunaan bahan kimia akan meracuni sungai-sungai dan sebagainya.
Raw material yang tadi diproduksi di asia atau afrika kemudian harus dibawa
kenegara maju untuk diolah lebih lanjut. Otomatis transportasi yang digunakan akan
menyumbang pada emisi global. Sampai saat ini, rata-rata makanan di amerika
menyumbang 2000 kg karbon untuk setiap 1 kg makanannya. Ini terjadi karena
perpindahan makanan dari satu tempat ke tempat yang lain. Sama halnya ketika anda
mencoba makan indomie atau pizza. Bahan baku keduanya berasal dari gandum yang
asalnya dari amerika. Ada perjalanan panjang gandum itu ke indonesia. pake
transportasi yang menyumbang pada iklim dunia. Globalisasi akan memudahkan proses
perpindahan ini.
Berkurangnya lapisan ozon di bumi juga membuat oksigen di bumi kurang baik
terutama untuk dihirup. apalagi hidup di kota-kota besar mendapat kesegaran alami itu
susah dan panas tidak hujan,mungkin hujan hanya sewaktu-waktu saja.
SELAMATKAN HUTAN ADAT PAPUA
DALAM DIMENSI KULTURAL DAN GLOBAL
SEBAGAI SUPLAI OKSIGEN DUNIA
ANUSIA, hidup dari lingkungannya. Demikian halnya bahwa
masyarakat adat Papua mengandalkan hutan adat mereka sebagai
pusat kehidupan mereka secara turun temurun sebagaimana diatur
dalam sistem tatanan hidup mereka sepanjang sejarah kehidupan
mereka hingga sekarang. Masyarakat adat Papua menganggap lingkungan hutan adat
mereka sebagai sumberdaya baik yang berkaitan dengan kausal maupun biasa. Mereka
mendapatkan air, udara, oksigen yang baik, makanan, serta kebutuhan spiritualitas, dan
lain sebaginya dari hutan adat mereka tersebut.
MA. Hutan Dalam Konteks Cultural
Sejarah kehidupan makhluk, tidak terlepas dari hutan alam mereka dan selalu
memerlukan hutan, atau juga dikatakan bahwa Tiada Hidup Tanpa Hutan alam mereka.
Ini merupakan suatu aksioma alam raya dalam kehidupan yang tak mungkin
dibantahkan tentang fungsinya dalam ruang dan waktu yang ada. Semenjak penjadian
manusia untuk hidup dalam dunia ini, mereka membutuhkan hutan alam sebagai areal
memperpanjang hidup mereka. Karena didalam hutan alam terdapat persediaan
makanan dan minum serta oksigen. Siapa yang hidup tidak membutuhkan makan dan
minum? Sebagaimana dalam konsep Alkitab, bahwa; Allah ketika merencanakan
kehidupan kepada manusia pertama Adam dan Efa, Ia terlebih dahulu menyediakan
persediaan makanan bagi mereka, dan menyediakan hutan alam bagi mereka yaitu
menciptakan sebuah taman di Eden. Taman di Eden sebagai Hutan adat manusia
Pertama. Oleh karena itu, arti penting hutan alam ini telah disadari oleh Manusia
semenjak Adam dan Efa di alam Taman di Eden, dan sebelumnya Allah sudah
memikirkan hal ini sebelum manusia pertama itu menikmatinya. Hutan alam juga telah
disadari oleh manusia sejak awal peradaban dimulai. Hal ini terbukti bahwa dalam
kontek kultural sejak zaman dahulu kala, hutan telah mempunyai posisi sentral yaitu
dengan adanya predikat hutan, aturan dan tata hutan, mitologi hutan, konsep penamaan,
Pemali, alegori, prosesi tradisional dan juga ritus kepercayaan, yang mana diuraikan
sebagai berikut:
1. Predikat Hutan
Berbagai suku Bangsa di dunia menempatkan hutan alam pada posisi yang
sangat tinggi dan prestisius, hal ini dapat dilihat dari cara pemredikatan mereka
terhadap hutan. Dalam bahasa Latin, mengatakan bahwa setiap air yang mengalir
ditengah hutan alam sebagai sumber kehidupan atau yang disebut fons vitaé “air
kehidupan”, Bangsa Yunani menyebut air dari hutan dengan Nectar dan ambrosia
“minuman dan makanan Dewa”. Orang Inggris menyebutnya The elixir of life dan
orang Jerman menyebut Lebens elixer “sesuatu yang mutlak diperlukan untuk
hidup”. Orang Perancis menyebutnya dengan la source de vie, Orang Belanda
menyebutnya Levens Water orang Arab menyebutnya Maul Khayat dan orang
Maybrat di Papua menamakan Aya mamos yang semuanya berarti sumber
kehidupan dan orang Maybrat Papua menyebutnya juga aya marak tanik bo beta
mhai yang maksudnya tiada air semuanya akan mati. Hutan sebagai ekosistem
penyedia air dan makan sekaligus penyeimbang kehidupan.
2. Aturan dan Tata Hutan
Sejak dahulu kala diberbagai daerah terutama di Papua, secara turun temurun
menempatkan hutan sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan mereka. Secara
tradisional, masyarakat adat Papua telah menetapkan tata aturan dalam
memperlakukan hutan adat mereka.
Dalam aktivitas produksi perladangan, masyarakat Papua biasanya
menggunakan hutan tertentu yang sudah dinilai sebagai ladang yang tepat untuk
produksi. Adanya suatu indikasi tata aturan yang berkembang ditengah kehidupan
masyarakat adat Papua, bahwa hanya lokasi tempat yang pernah dijadikan sebagai
perladangan oleh nenek moyang saja yang boleh di lanjutkan sebagai ladang
mereka. Selain daripada hutan tidak diperbolehkan untuk di rusak. Itu merupakan
suatu tata aturan yang baku dalam kehidupan tradisional masyarakat adat Papua
yang harus diperhatikan dan jaga hingga era apapun secara turun temurun.
3. Konsep Penamaan Hutan Adat Papua
Papua merupakan salah satu Pulau dengan 270-an suku bangsa dan mempunyai
kemiriban seperti suku bangsa lainnya di dunia ini, yaitu mereka sejak zaman
dahulu kala telah menciptakan budaya penghargaan maupun pengharapan terhadap
hutan adat mereka. Hal ini dapat dilihat dari proses pembentukkan kata atau
ethimological process menjadi hutan, lahan, dan wilayah adat. Orang Papua
terutama suku bangsa Maybrat menamakan hutan dengan sebutan safom yang
artinya hijau, tabam, yang artinya tanah atau dunia, rabin, yang artinya negeri atau
wilayah, atau dusun, remo, yang artinya negeri besar, tanah besar. Konsep ini dapat
dipahami mengingat pada era peradaban dimulai, dengan menempatkan hutan
sebagai sumber mata pencaharian baik agraris maupun pertanian, yang
konsentrasinya pada bidang pertanian dan perikanan maka hutan merupakan
kebutuhan mutlak yang bukan saja memberi hidup secara langsung terhadap
manusia namun juga berfungsi dalam penyediaan oksigen bagi sarana hidup
manusia secara global.
4. Hutan Pamali
Di berbagai daerah di dunia ini terdapat bermacam hutan pamali yaitu hutan
tersebut dipercaya dan diyakini akan mengakibatkan suatu petaka atau manusia yang
menyentuhnya akan mendapat bencana baginya karena tidak mengindahkan hutan
pamali (hutan ghaib). Sebagai contoh, suku bangsa Maybrat, melihat suatu tempat
Pamali yang relevan dengan masalah hutan, karena dianggap sebagai sesuatu yang
tabu bila merusak hutan Pamali atau hutan ritus, walau telah menemukan suatu hasil
di sekitar hutan pamali itu sudah memang tidak boleh masuk dalam hutan pamali
tersebut, sebab diyakini akan mendapatkan celaka bila hal tersebut dilakukan.
Secara saintifik dianalisis sebagai suatu upaya penyelamatan hutan agar tetap eksist,
hingga sebagai pemasok oksigen. Konsep ini merupakan suatu dasar penyelamatan
hutan adat di Papua semenjak dahulu.
5. Alegori Hutan adat Papua
Nama, secara filosofis dapat diartikan dalam konotasi negatif atau positif yang
berarti buruk atau baik. Di bidang konservasi hutan adat dalam konsep Papua, telah
tercipta pula alegori atau kiasan hutan untuk mendidik “memberitahukan”.
Penamaan hutan adat Papua dibedakan berdasarkan isi, fungsi dan situasi. Misalnya
di wilayah adat Maybrat, mengatakan ketiga hal itu dengan ỏ mkeir, (tempat pamali)
atau sebagai tempat yang ditakuti, disegani, tidak disentuh manusia secara kauran.
Atau ỏ sebagai kata umum menyebut tempat atau daerah.
Bila diselidiki secara saksama disetiap hutan adat Papua, maka akan kita dapati
nama-nama hutan adat yang diberi oleh pemiliknya berdasarkan filosofis, mitologi,
religi, dan klen atau keret-marga. Setiap alegori filosofi hutan adat mengandung
makna yang menjelaskan hutan tersebut masing-masing. Misalnya di daerah hutan
adat pada suku Maybrat, di wilayah Ayamaru, diberi nama Ayamaru yang
diterjemahkan sebagai berikut; aya yang berarti air, dan maru artinya danau. Secara
sadar, masyarakat adat Ayamaru, menamakan tempat mereka demikian karena
disana terdapat sebuah danau. Tak jauh dari itu, bahwa setiap hutan adat Papua
memiliki nama-nama yang mengandung arti tertentu. Begitupun disetiap hutan adat
Papua memiliki nama sendiri-sendiri berdasarkan religi tentang hutan, mitologi,
kandungan dan Marga, keret, klen-fam.
6. Prosesi tradisi adat istiadat
Tradisi pelibatan alam sebagai syarat upacara penting dengan maksud menjaga
kelestarian alam itu sendiri agar menjadi eksis sejalan dengan peradaban itu.
Sebagai elaborasi, tentang pemberi kehidupan, dan tempat perlindungan terhadap
kekuatan supranatural. Suatu contoh dalam kehidupan tradisional masyarakat
Maybrat, Imian, Sawiat, dan Tehit, ketika melakukan upacara-upacara tradisional
selalu melibatkan hutan dan alam raya sebagai sumber kekuatan. Misalnya ketika
melakukan suatu janji atau pembicaraan dengan arwah tertentu (maut hdan, shafla,
tgif bo), mereka selalu menggunakan tanah dan air sebagai media utama yang
menghubungkan mereka dengan roh. Tanah dan air disini melambangkan kunci atau
syarat mutlak untuk melakukan pembicaraan degan roh nenek moyang, dan ini
dianggap sangat penting, karena tanpa air dan tanah, doa mereka tidak berfalidasi.
7. Ritual Keagamaan
Hampir semua agama menggunakan alam sebagai media dalam prosesi
ritualnya. Sebagai suatu contoh, umat kristen menggunakan roti dan cawan (anggur)
sebagai lambang tubuh dan darah daripada Yesus Kristus, yang dilakukan dengan
doa pengurapan Rohul kudus. Juga sebagai syarat pembersihan kotoran atau dosa
menjadi suci diri agar berkomunikasi vertikal antara manusia dengan Allah Bapa
tidak terhambat karena dosa. Selain itu, dalam ekaristi umat Kristen Katolik,
sebelum misa suci dimulai, imam berjalan berkeliling memercikkan air kudus
kepada umat dan disambut bersama dengan nyanyian asperges me (perciki daku)
yang maknanya adalah mohon percikan air suci agar bersih putih bagai salju.
Penganut agama Islam mengambil air wudhu dengan tujuan membersihkan diri dari
segala kotoran pada raga maupun jiwa sebagai syarat suci diri sebelum
berkomunikasi vertikal dengan Allah SWT. Pemeluk agama Hindu selalu
menggunakan percikan air diakhir proses sembahyang sebagai air suci atau tirta
amerta yang semuanya bertujuan untuk keselamatan dan kesejahteraan umat.
Demikian juga proses pemberkataan dalam agama Budha, diakhiri dengan
memercikkan air dengan maksud kebaikan, keselamatan dan kesejahteraan. Ini
berarti Tuhan sendiri telah mengingatkan secara implikasi bahwa alam raya hutan
adalah merupakan elemen penting bagi kehidupan yang harus dijaga keberadaannya
yaitu dengan dijadikannya media-media sebagai syarat yang cukup sebagai suatu
proses religia.
TRADISI PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN LAHAN HUTAN OLEH
MASYARAKAT ADAT PAPUA
ada hakekatnya, ketika manusia memasuki pentas ekologi ini, selalu
bersama-sama dengan makhluk hidup lainnya. Namun kelebihan
manusia dalam sistem ekologi adalah bahwa manusia itu dibekali dengan
kelebihan vital yakni budaya sebagai manifestasi dari hasil karya
otaknya. Demikian sebagaimana orientasi dalam hidup masyarakat adat Papua, yang
mampu melakukan hal-hal yang membawa keberhasilan mereka mengarungi
lingkungan alam fisik hutan adat disekitarnya. Ini dimungkinkan karena kebudayaan
mereka. Karena dengan kemampuan, sehingga manusia (masyarakat adat Papua) dapat
melakukan dan menciptakan berbagai sarana untuk dapat beradaptasi dengan baik
terhadap lingkungan dimana ia tinggal.
P
Dalam setiap aktivitas yang dilakukan oleh manusia dalam rangka kelangsungan
hidupnya, selalu menimbulkan dampak pada lingkungan dimana ia tinggal dan tempati.
Dampak yang ditimbulkan tidak saja bersifat positif, tetapi juga bersifat negatif.
Dampak dari aktivitas manusia dapat terjadi pada komponen lingkungan hidup alami,
seperti kerusakan hutan, tanah longsor, kepunahan satwa liar, serta penghancuran rumah
kaca yang berakibatkan efek pada penipisan lapisan ozon, maupun dampak yang terjadi
pada lingkungan hidup binaan seperti pencemaran udara, air dan lahan.
Permasalahan lingkungan hidup yang terjadi dalam berbagai bentuk pencemaran
dan kerusakan lingkungan hidup sudah dirasakan sejak awal peradaban manusia.
Penurunan kualitas lingkungan hidup itu bisa juga terjadi secara alami maupun bisa
disebabkan karena aktivitas manusia itu sendiri. Meski pada kenyataannya, kerusakan
yang ditimbulkan oleh manusia justru lebih dominan daripada yang diakibatkan oleh
alam.
Dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan, masyarakat adat Papua mengenal
pemanfaatan hutan atas empat bagian yaitu; pertama, Pemanfaatan Lahan hutan adat
untuk Perladangan. Kedua, pemanfaatan lahan hutan adat sebagai areal panen dan
buruan (pangkur sagu, panen hasil buah-buahan dan memburu hewan dan ikan). Ketiga,
hutan Religi, yaitu Pemanfaatan hutan adat sebagai areal pemujaan. Keempat, hutan
sebagai tempat persembunyian. Keempat sistem pemanfaatan hutan tersebut dapat kita
uraikan sebagai berikut:
1. Pemanfaatan Lahan Hutan Adat Untuk Perladangan
Pandangan sosial budaya masyarakat adat Papua menunjukkan bahwa, sistem
perladangan berpindah-pindah secara umum dianggap sebagai satu-satunya sistem
pertanian yang sesuai dengan sistem pengetahuan masyarakat adat Papua dan hal itu
sesuai dengan ekosistem hutan tropis. Ciri perladangan berpindah-pindah dalam sistem
meninggalkan tempat itu terlebih dahulu ia akan memberi tanda (saraf dalam tradisi
perladangan orang Maybrat, Imian, Sawiat) atau felif pada lokasi tersebut. Setelah
kembali, orang tersebut selanjutnya menghubungi keluarga, khususnya kepada
marganya, selanjutnya mereka akan melakukan doa di lokasi yang akan dibersihkan
sebagai ladang dengan tujuan meminta izin, memohon berkat agar kelak menghasilkan
hasil ladang yang baik dan sehat serta sebagai berkat.
Dalam memilih lokasi ladang (tein ‘dalam sebutan bahasa suku Maybrat’),
masyarakat adat Papua selalu mempertimbangkan beberapa faktor serta tempat yang
baik dan potensial untuk dijadikan sebagai lokasi tempat berladang. Masyarakat adat
Papua selalu memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut kondisi tempat serta hak
milik atas tempat yang akan diolah tersebut. Mengenai hak milik, walaupun lahan itu
berada pada tanah adat suatu keluarga yang terdiri atas banyak orang pada satu marga
tersebut, mereka tidak mungkin sewenangnya membongkar ladang punya Bapak lain,
walaupun satu marga/keret/fam. Akan tetapi mereka bisa mengambil lahan tersebut
dengan cara meminta persetujuan dari Bapak yang lain sebagai pemilik. Bapak lain
yang dikatakan sebagai pemilik adalah dia yang pertama membuka lahan yang tadinya
tidak sebagai lahan perladangan, sehingga ia dihargai sebagai pemilik lahan tersebut.
Kepemilikan atas ladang potensial tertentu selalu berada menurut lokasi ladangnya, ada
yang berada di pinggir kampung (desa), dan ada yang berada pada kawasan daur ulang
dan terutama berada pada kawasan produksi tetap (tein, dalam sebutan bahasa suku
Maybrat).
Tradisi masyarakat adat Papua, sebelum memilih ladang yang potensial, yang
terutama diperhatikan adalah lokasi/tempat atau ladang tersebut harus berada di wilayah
adat mereka. Ini merupakan hal yang sangat penting dan terutama, karena jikalau berada
pada wilayah adat marga/klen/fam/keret lain maka sudah pasti akan terjadi
persengketaan. Yang berikut daripada itu adalah lokasinya tidak terletak diatas bukit
atau gunung karena banyak bebatuan. Kebanyakan lokasi perladangan masyarakat adat
Papua berada di lereng perbukitan yang tidak mengandung bebatuan, khususnya pada
kawasan daur ulang sebagai lahan produksi tetap. Selain karena pertimbangan tanahnya
subur juga karena tidak mengandung bebatuan. Mereka biasanya menginap di ladang
untuk menjaga ladang mereka dan juga menginap untuk melanjutkan pekerjaan yang
masih sisa. Selain itu, bila dilakukan suatu acak balik pada kehidupan mula-mula, maka
akan kita temukan bahwa masyarakat adat Papua mula-mula menghuni di hutan adat
mereka masing-masing dan ditemukan di lokasi perladangan mereka. Selanjutnya lalu
mereka mengenal pola permukiman dusun dan kampung pada abad ke-18 dan hunian
komersial perkampungan di perkenalkan semenjak pemerintahan Kolonial Belanda.
a. Ukuran Ladang yang Ditandai (saraf)
Pada umunya, ukuran ladang yang dibuka dan diolah oleh masyarakat adat
Papua bervariasi, dan kebanyakan disesuaikan dengan ukuran lahan yang mana
batas-batasnya dibentangi oleh gunung, tebing, sungai dan bukit-bukit berbatuan.
Jika ukuran lahannya luas, maka melibatkan banyak orang kerabat yang berladang
dan juga melibatkan banyak orang untuk bekerja.
Ada dua aspek rujukan pada luas tanah yang akan diolah menjadi ladang
pertanian oleh masyarakat adat Papua. Pertama, luas ladang, kedua, setiap lahan
adat mereka yang ditebas setiap tahun. Ukuran ladang yang diolahpun bervariasi
sesuai dengan kebutuhan peladang. Selain lokasi ladang tetap yang di garap secara
turun temurun, juga adanya pembukaan lahan baru pada hutan primer. Biasanya
ladang yang dibuka oleh masyarakat adat Papua pada kawasan hutan primer
didasarkan atas beberapa kriteria, yaitu; tidak mengandung bebatuan, memiliki
tanah yang tebal dan subur. Pada lahan primer dibutuhkan penggarapan dan
penanganan sebagai olahan yang intensif agar menghasilkan suatu hasil yang
memuaskan ketika panen.
Ukuran ladang masyarakat adat Papua juga dipengaruhi oleh efisiensi kerja
maupun tenaga kerja. Ini berkaitan dengan ukuran lahan yang luas, sehingga
membutuhkan banyak tenaga kerja. Selain daripada itu, tenaga kerja yang banyak
juga dibutuhkan untuk membuka lahan di areal hutan primer. Dibutuhkan banyak
tenaga kerja karena areal tersebut masih homogen dan banyak pohon besar serta
hutannya lebat, maka dibutuhkan banyak tenaga kerja untuk menebas dan menebang
agar pekerjaannya dapat terselesaikan dengan cepat dengan waktu yang dibutuhkan
relatif efisien. Pada kenyataannya bahwa di kawasan hutan primer Papua pada
umumnya kuat dan keras. Sedangkan pembukaan di kawasan hutan sekunder
tenaganya lebih sedikit karena kondisi kayu dan tumbuhan yang ada pada umumnya
lunak dan kecil.
b. Menebas (mhais)
Salah satu pekerjaan utama perladangan masyarakat adat Papua adalah tahapan
siklus kerja perladangan, yaitu dengan cara menebas (pemiri, mhais). Menebas
hutan dimaksudkan untuk mematikan tumbuh-tumbuhan dan semak lalu dibiarkan
beberapa waktu hingga mengering agar mudah dibakar. Hal ini dianggap penting
dan merupakan alur kerja perladangan yang dikembangkan oleh masyarakat adat
Papua secara membudaya. Sistem tebas ini penting bagi masyarakat adat Papua
karena tumbuh-tumbuhan yang ditebas nantinya akan ikut membantu pembakaran
pohon-pohon besar yang sulit dikeringkan dan dibakar. Tujuan lain adalah untuk
mempersiapkan tempat terbuka dan bebas dari semak belukar sehingga mereka bisa
menebang dengan mudah dan bebas serta terhindar dari ancaman robohnya pohon
sewaktu ditebang. Dalam proses menebang ini, masyarakat adat Papua biasanya
menggunakan parang sebagai alat tebas utama, kemudian disusul dengan
menggunakan kapak sebagai alat menebang pohon besar yang tidak bisa ditebang
dengan parang.
Selama tahapan siklus berladang, biasanya dibagi dalam beberapa tahapan kerja
yaitu; waktu tebas, waktu menebang pohon besar, waktu pengeringan, waktu
membakar, waktu istirahat, waktu menanam.
Setelah hutan ditebas maka dibiarkan beberapa waktu, dengan tujuan agar semak
yang ditebas mengering. Pekerjaan ini melibatkan tenaga kerja laki-laki, perempuan
dan anak.
c. Menebang (mfat)
Tahap penebangan di sesuaikan dengan tahap menebas, yaitu ketika semak yang
ditebas sudah mengering, maka selanjutnya tahap berikut adalah tahap penebangan
pohon-pohon besar. Tahap kerja ini hanya dilakukan oleh tenaga kerja laki-laki
(ayah dan anak laki-laki) karena alat yang digunakan adalah kapak. Cara
penebangan biasanya serampangan dan harus semua pohon yang ada pada ladang
ditebang. Setelah ditebang, selanjutnya dibiarkan dalam beberapa waktu dengan
tujuan agar kering. Sebenarnya tidak sampai begitu mengering, namun tetapi
setidaknya pada daun dan dahan-dahan kecil sudah bisa mengering. Selain waktu
pengeringan, waktu tersebut ini juga di manfaatkan oleh pemilik ladang untuk
mengumpul bahan sembako sebagai persiapan untuk pemberian upah kepada
pekerja pada tahap pembakaran.
d. Membakar (mkah)
Setelah proses menebas dan menebang, selanjutnya dibakar. Dalam prosesi ini,
melibatkan tenaga kerja laki-laki dan perempuan termasuk anak-anak. Dalam
bekerja, sudah secara tradisi bahwa tenaga kerja laki-laki yang memotong kayu dan
wanita yang mengumpulkannya, sedangkan untuk kayu yang berukuran besar
biasanya di kumpulkan dan diangkat oleh tenaga kerja laki-laki untuk dibakar.
Setelah proses pembakaran, selanjutnya dibiarkan beberapa waktu dengan
maksud bahwa tanah yang baru saja dibakar masih menyimpan unsur panas dari api,
jadi tidak boleh ditanami bibit-bibit yang dipersiapkan karena akan mati.
e. Menanam (myim, maso)
Ladang yang di biarkan beberapa waktu dengan maksud untuk menstabilkan
unsur hara ketika dibakar dan menyimpan panas, selanjutnya akan ditanam bibit
tanaman yang telah disiapkan oleh pemilik ladang. Dalam proses ini, kebanyakan
dilakukan oleh tenaga kerja perempuan dan anak perempuan.
Selain permpuan menanam, tenaga kerja laki-laki mengumpulkan kayu untuk
membuat pagar sebagai suatu usaha menjaga tanaman dari hewan liar seperti babi
dan rusa.
f. Panen (matu)
Setelah semuanya dilakukan, maka akhirnya ladang tersebut dipanen.
Kebanyakan yang melakukan panen adalah tenaga kerja perempuan. Sedangkan
tenaga kerja laki-laki berburu untuk mencari lauk.
Untuk lebih jelasnya lihat siklus kerja pemanfaatan lahan hutan adat oleh
masyarakat adat Papua berikut:
Lahan
Gambar : Skema Kerja Perladangan Masyarakat adat Papua (hasil analisis peneliti)
2. Pemanfaatan Hutan Adat Sebagai Areal Panen dan Areal Perburuan
Sebagaimana pemanfaatan hutan adat sebagai areal perladangan, masyarakat adat
Papua juga menggunakan hutan adat mereka sebagai areal panen dan areal perburuan.
Areal panen yang kami maksudkan adalah bahwa masyarakat adat Papua selalu
menikmati hasil hutan adat mereka dengan langsung memanen hasil yang ada. Hasil-
hasil yang dipanen tersebut secara alami terdapat di hutan adat mereka. Hasil-hasil
tersebut seperti Sago, Ikan, Buah-Buahan, dan hewan liar (rusa, burung, tikus, babi dll).
Hutan bagi masyarakat adat Papua dianggap sebagai gudang penyedia makan,
tinggal bagaimana mengambilnya. Pada tataran hutan adat Papua, kebanyakan
ditumbuhi oleh Sago yang merupakan makanan pokok mereka. Sago merupakan
tumbuhan liar yang selalu di panen sebagai bahan makanan pokok. Sago tidak ditanam
atau dibudidaya, ia tumbuh sebagai habitasi alam. Selain itu, terdapat buah-buahan
sebagai makanan seperti buah merah, buah matoa, buah pala, dan masih banyak jenis
buah-buahan yang di ambil dari hasil hutan sebagai penyedia kepada masyarakat adat
Papua. Selain itu hutan adat sebagai penyedia pauk, seperti ikan, burung, tikus, babi,
rusa dll. Yaitu masyarakat Papua hanya dengan masuk hutan kawasan adat mereka,
maka sudah pasti mendapat hewan-hewan ini sebagai lauk.
Ukuran Ladang yang
ditandai (saraf)
Menebas
Menebang
Membakar Menanam
Panen
Inilah mengapa masyarakat adat Papua menganggap hutan adat mereka sebagai
jantung hidup mereka. Hutan dianggap sebagai areal produksi, sehingga setiap marga
menjaga dengan ketat hak ulayat tanah adat mereka tanpa diganggu oleh siapapun
kerabat lain. Setiap konflik yang terjadi antar kerabat di suatu kampung diakibatkan
karena kerabat yang satu mencari hasil hutan di hutan adat kerabat lain sehingga terjadi
konflik atas hak hasil hutan adat mereka. Pada bagian ini, tidak ada siklus kerja, karena
pemilik tanah adat bekerja sebagai penikmat tanpa melakukan budi daya.
3. Hutan Religi (Pemanfaatan Hutan Adat Sebagai Tempat Pemujaan)
Tradisi masyarakat adat Papua mengatakan bahwa hutan adat sebagai tempat
pemujaan kepada yang ilahi. Dalam hutan adat mereka, selain terdapat areal
perladangan, dan sebagai areal panen, ada juga tempat-tempat tertentu yang dijadikan
sebagai tempat kudus atau tempat sakral (pamali) yang mana tempat tersebut hanya
disentuh ketika mengadakan upacara pemujaan kepada sang realitas tertinggi (Tuhan).
Ada mitos yang kental dalam tradisi masyarakat adat Papua bahwa, bila mana
bersentuhan dengan daerah-daerah sakral (tempat pamali), kita akan kena sangsi yang
berakibat fatal sehingga berakibatkan hilang nyawa, atau cacat tubuh. Bersyukur jikalau
ketika itu kita hanya cacat, karena bisa di sembuhkan oleh ketua ritual setempat.
Masyarakat adat Papua menganggap hutan adat mereka sebagai cikal bakal hidup
dan juga asal mu asal manusia (terutama pemilik tanah adat) lahir atau diciptakan atau
keluar dari tanah adat mereka masing-masing. Selain itu, hutan adat dianggap sebagai
tempat berdiamnya arwah nenek moyang mereka, sehingga ketika melakukan ritual-
ritual, mereka selalu percaya bahwa nenek moyang mereka sedang berkumpul dan
mendengar permintaan mereka.
4. Pemanfaatan Hutan Adat Sebagai Tempat Persembunyian
Sejarah kehidupan masyarakat adat Papua mengiktiarkan bahwa ketika terjadi
peperangan suku dimana ketika itu mereka masih hidup sebagai manusia masive, sering
terjadi peperangan antar suku.
Kebanyakan masyarakat adat Papua melakukan persembunyian dengan
memanfaatkan hutan adat mereka sebagai tempat persembunyian. Selain sebagai tempat
persembunyian untuk menyelamatkan diri, hutan adat mereka juga sebagai tempat
jebakan terhadap musuh seperti membuat ranjau atau semacam perangkap untuk
membunuh musuh mereka. Tempat-tempat persembunyian seperti gua, gunung yang
sisi-sisinya terdapat tebing terjal, dan tempat atau daerah yang jauh semak belukar atau
dalam istilah suku Maybrat disebut snek.
Sebagai mana fungsi pemanfaatan hutan menurut masyarakat adat Papua sehingga
ada filosofi hutan yang kental disebut-sebut oleh masyarakat adat Papua, sebagaimana
yang dikatakan oleh masyarakat adat di wilayah Maybrat, Imian, Sawiat, Tehit adalah
“ỏ, yo sawro yo remo roji to tamos roji to, tkar roji ro mkah bofi boit. Ra ro twok yno
bo kbik-kbak mam remo roji to reto mfibo ait twok yktan tkar oh meto” dapat
diterjemahkan demikian bahwa, hutanku adalah jantung pertahanan hidup saya. jikalau
ada yang merusak hutan adat saya itu sama halnya dengan dia telah masuk dan
menyobek jantung saya.
Inilah hal-hal yang membuat sehingga mengapa masyarakat adat Papau selalu
bersengketa dan terjadinya persengketaan ini tidak lain diakibatkan karena saling
mempertahankan hutan adat mereka masing-masing. Hingga sekarang ini, hal itu masih
kental dipertahankan. Kebanyakan terjadi pemalangan atau ada masyarakat adat yang
sering mengejar orang yang melakukan penggusuran hutan adat mereka dengan tombak
dan pana atau jubi. Ini tidak lain karena didasarkan atas hak kepemilikan hutan adat
mereka dengan tujuan agar jangan ada yang mengganggu ketenteraman hutan adat
mereka sebagaimana yang digariskan dalam filosofi hutan sebagai jantung kehidupan
mereka.
Dalam uraian empat poin pemanfaatan hutan yang dilakukan secara tradisi oleh
masyarakat adat Papua ini dapat kita simpulkan bahwa pada poin ke satu yaitu
pemanfaatan hutan sebagai areal perladangan yang lebih dominan sebagai pola
pengerusakan hutan, disusul poin kedua, yaitu pemanfaatan hutan sebagai hutan panen,
yang mana ketika itu mereka melakukan penebangan terhadap phon sago, dan juga ada
pula beberapa pohon yang berbuah namun susah dipanjat sehingga mereka menebang.
Sedangkan poin ke tiga dan keempat, merupakan hutan yang tidak bisa di bongkar, dan
itu tidak diperbolehkan.
Melalui kesimpulan ini maka dapat kita berikan apresiasi kepada masyarakat adat
Papua, karena mereka tidak semena-mena membongkar hutan adat mereka, namun hal
itu akan dilakukan hanya karena mereka membutuhkannya. Secara tidak sadar bahwa
mereka telah membantu memberikan suatu sumbangsih terbesar kepada dunia dengan
memelihara habitat ekosistem maka mereka telah menyumbah oksigen yang besar bagi
kehidupan manusia di dunia. Ini harus ada suatu penghargaa yang diberikan oleh dunia
kepada masyarakat adat Papua, karena selain mereka memanfaatkan hutan adat mereka
sebagai areal perladangan, seringkali juga mereka melakukan penanaman pohon pada
bekas pohon besar yang ditebang, apabila pohon itu dianggap sebagai tempat
bersemayam roh, maka sudah pasti ada upacara penebangan pohon dan selain upacara
penebangan harus ada anakan pohon yang ditanam sebagai pengganti ketika dilakukan
upacara.
Mencermati tata cara pemanfaatan hutan adat yang di praktekkan oleh masyarakat
adat Papua sepeti dikemukakan diatas, menunjukkan bahwa masyarakat adat Papua
sebelum membuka ladang atau memanfaatkan hutan adat mereka, harus terlebih dahulu
memulainya dengan mengikuti rangkaian-rangkaian atau proses seperti disebut diatas.
Ini menunjukkan bahwa hal-hal yang menyangkut tanah adat, sebagai hak ulayat adat
kepemilikan hutan-tanah, kecocokan tempat, adalah merupakan sebuah pandangan yang
merujuk pada perspektif tata ruang kosmologis dan waktu secara ekologis yang
mentradisi menurut sistem pengetahuan mereka atas dasar norma pemanfaatan hutan
dalam tata aturan adat mereka. Sistem pemanfaatan hutan adat seperti ini merupakan
bagian dari contoh kebudayaan lokal dan merupakan pola strategi adaptasi masyarakat
adat Papua terhadap ekosistem lingkungan alam hutan adat mereka untuk memperoleh
makanan dan juga untuk mendapat perlindungan hidup. Dalam memandang hutan adat
mereka tersebut, masyarakat adat Papua juga membuat sistem klasifikasi jenis hutan
adat mereka sebagaimana yang dipraktekkan oleh mereka, sebagaimana pada tabel
berikut dibawah ini:
Tabel: klasifikasi jenis hutan adat Papua berdasarkan klasifikasinya
No Klasifikasi Hutan adat Dasar Klasifikasi1 Semak Belukar lokasi atau Umur Lokasi bekas ladang dan
2bekas PerladanganHutan Sekunder
ukuran besar kecilnya pohonUmur dan Besar Pohon
3 Hutan Primer Umur dan Besar Pohon4 Hutan Produksi Kandungan hasil5 Hutan Religi Tempat sakral (hutan pamali)6 Gunung Perbukitan Ketinggian, mengandung Batu
dan Tumbuhan yang hidup di dalamnya
7 Hutan Persembunyian Lokasi dan Tumbuhan yang Hidup
8 RawaTanah dan tumbuhan yang Hidup di dalamnya
Suber: Hasil analisis Peneliti.
PEMBAGIAN KAWASAN HUTAN ADAT MENURUT ADATISTIADAT
PAPUA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMELIHARAAN HUTAN
ADAT MEREKA
ebagian besar pakar antropologi bersepakat, bahwa kebudayaan sebagai
sesuatu yang bercikal bakal dalam pembentukkan watak dan perilaku
manusia dan bukan alam. Walaupun alam sebagai lingkungan yang
memaksa manusia harus menyesuaikan diri. Keberhasilan manusia
dalam menaklukkan alam sekitarnya adalah bukti keberhasilan manusia
dalam mencapai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi. Manusia selalu berusaha
menyesuaikan diri dengan lingkungan alam sekitarnya sehingga melahirkan suatu pola
tingkah laku yang baru.
SPerubahan suatu lingkungan dapat pula mengakibatkan terjadinya perubahan
kebudayaan dan perubahan kebudayaan dapat pula terjadi karena adanya penemuan
baru, difusi dan akulturasi. Pergerakan manusia dari satu ruang ke ruang yang lain
menyebabkan terjadinya persebaran kebudayaan dari satu tempat ke tempat lain.
Nilai-nilai dasar kemanusiaan berlaku dan bersifat universal, artinya setiap
masyarakat memilikinya sebagai acuan dalam tatanan kehidupan mereka. Nilai-nilai
kemanusiaan yang menghidupkan asas perikemanusiaan tersimpan cukup banyak dalam
khasanah budaya lokal dan regional. Budaya mengandung hakekat akan keperluan guna
memenuhi kehendak mendasar, yakni agar manusia dapat dan mampu terus hidup,
menyesuaikan diri dengan lingkungan, menata serta memanfaatkannya dalam
melanjutkan generasinya. Manusia dengan memenuhi segala keperluan organik secara
tidak langsung, seperti menggunakan teknologi, kemudian telah mengubah pembawaan
anatomi dalam kaitannya dengan lingkungan alam hutan mereka.
Organisasi manusia yang dibentuknya itu mengandung aturan, teknik atau cara, dan
kekayaan tradisi yang dapat ditransformasikan dari satu kelompok ke kelompok lain.
Penentuan nilai-nilai adat motif manusia yang teratur yang dengan pedoman itu
mendorong manusia bekerja sama, memenuhi dan memelihara tradisi dan kepercayaan
dengan penuh emosi. Dengan kebudayaan yang dimilikinya, suatu masyarakat akan
mengatur perilaku mereka dalam hubungannya dengan lingkungan hutan alam
sekitarnya, demikian pula dalam interaksi dan interelasi sosial maupun dengan dunia
supranatural mereka.
Perubahan sosial dan kebudayaan ini dapat berakibatkan hal yang menguntungkan
atau sebaliknya merugikan. Suatu perubahan yang terjadi mengharuskan perlunya
memodifikasi pola tingkah laku. Dalam menghadapi lingkungan fisik, maka manusia
selalu dan cenderung mendekatkan diri mereka dengan lingkungan alam dan hutan
mereka melalui budaya yang dimilikinya, yaitu melalui sibol, makanan, tata
penggunaan, dan sisitem nilai.
Dalam hubungan dengan upaya untuk memenuhi kebutuhan dan agar mampu terus
hidup, menyesuaikan diri dengan lingkungan, menata serta memanfaatkannya dalam
melanjutkan generasinya, maka dalam kehidupan masyarakat adat Papua pun terdapat
beberapa cara dan praktek pengelolaan kawasan hutan adat mereka khususnya hutan
menurut adat istiadat dan budaya yang dimiliki mereka masing-masing.
a. Pembagian Kawasan menurut adat Papua
Pola dasar pembagian kawasan atau hutan adat oleh masyarakat adat Papua pada
dasarnya dibagi dalam beberapa kawasan dan diberi nama sesuai kandungan
sumberdaya alam yang terdapat didalamnya serta tujuan pemanfaatan sumberdaya
tersebut. Pembagian lahan hutan adat oleh masyarakat adat Papua sebenarnya
merupakan salah satu pola pengaturan tata ruang yang dimaksudkan untuk menjaga
hutan, tanah dan air agar tetap lestari serta untuk menjaga agar dalam ruang tersebut
tidak terjadi konflik terutama dalam hal pemanfaatannya.
Pembagian kawasan hutan adat oleh nenek moyang/leluhur masyarakat adat Papua
ini merupakan salah satu konsep dasat tata ruang yang dibangun berdasarkan pemikiran
lokal (local think), namun tetap memiliki artikulasi yang sangat besar dalam
pemanfaatan ruang (lahan) hutan adat mereka yang ada. Karena sebelum masyarakat
moderen yang dibekali dengan pengetahuan dan teknologi menyusun konsep tata ruang
ditengah masyarakat adat Papua, ini juga terjadi pada masyarakat adat atau masyarakat
tradisional di daerah lain. Kelihatannya masyarakat adat Papua sudah terlebih dahulu
memperkenalkan sebuah sistem tata ruang berdasarkan pola pikir dan tradisi adat
istiadat yang mereka miliki.
Pembagian ini dimaksudkan agar supaya jangan sampai terjadi overlap antara
berbagai kepentingan dalam kehidupan masyarakat adat Papua di kemudian hari,
mengingat tata aturan dan kegunaan hutan sebagai hal yang diproposisikan sebagai hal
yang menduduki predikat kehidupan utama.
Dalam sistem pengelolaan dan pemanfaatan lahan hutan adat ini, salah satu bagian
yang tidak terpisahkan dalam tata aturan hutan adat Papua adalah sistem kepemilikan.
Sistem kepemilikan hutan adat ini menurut masyarakat adat Papua merupakan
kepemilikan komunal.
Dasar hak milik di kalangan masyarakat adat Papua terletak pada hutan-hutan dan
batas-batas keret/fam/marga yang secara turun temurun di jaga dan dilestarikan oleh
nenek moyang sehingga merupakan hak milik dan hak pakai mereka hingga kapanpun.
Inilah yang disebut sebagai hak adat atau hak komunal, yaitu wilayah, hutan-hutan yang
harus dijaga dan dilestarikan sesuai dengan tata aturan hutan yang telah mereka
terapkan sepanjang hidup mereka.
Sistem kepemilikan tanah adat menurut masyarakat adat Papua ini sudah diatur
berdasarkan kesepakatan-kesepakatan adat yang sudah diterapkan secara bersama-sama.
Pembagian sistem kepemilikan tanah adat ini didasarkan kepada hak penguasa tanah
adat yang sudah diwariskan turun-temurun. Pembagian ini berdasarkan silsilah asal mu
asal marga tersebut yang mana sering mengatakan bahwa mereka keluar atau diciptakan
dari tanah adat mereka dan mereka hidup di wilayah adat mereka. Sistem pembagian
hutan adat ini tidak diatur secara formal, berupa pembuatan akte tanah, tetapi cukup
berdasarkan kesepakatan bersama yang sudah diatur dari nenek moyang.
Secara teknis, garis tapal batas tanah adat Papua antara pemilik tanah biasanya
ditarik melalui titik tertentu dengan menggunakan tanda-tanda alam, seperti pohon
besar, aliran sungai, puncak bukit, jejeran tebing, tumpukan batu berupa pagar, tanaman
bunga dan lain sebagainya, yang disepakati bersama atau yang menurut legenda
masyarakat adat Papua masing-masing diyakini kebenarannya oleh semua warga
masyarakat adat setempat. Pola dasar tata guna lahan adat di Papua terbagi dalam
beberapa kawasan yang berbeda dan diberi nama sesuai dengan kandungan sumberdaya
alam yang terdapat di dalamnya serta fungsi dan tujuan dan pemanfaatan sumberdaya
tersebut. Batas setiap kawasan hutan adat Papua ditentukan dengan dibuatnya tanda-
tanda khusus atau dibatasi oleh tanda-tanda alam seperti sungai, pohon besar, batu
besar, bukit, tebing berjejer dan lain sebagainya.
Pandangan masyarakat adat Papua mengenai hutan adat mereka dapat dilihat pada
pengelompokan atau kategorisasi tentang hutan-hutan adat mereka sebagaimana adanya.
Terdapat beberapa kategori yang didasarkan pada fungsi lahan hutan adat itu sendiri.
Didalam kategori ini juga terdapat hutan adat sebagai bagian penting dalam praktek
pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang ada. Masyarakat adat Papua memandang
bahwa setiap hutan adat mereka harus dilihat secara intensif hingga maknanya dalam
kehidupan mereka sehari-hari. Olehkarena itu, dalam mengelola dan memanfaatkan
hutan adat, masyarakat adat Papua selalu memperhatikan aturan-aturan adat yang sudah
ditetapkan untuk menjadi pijakan bagi pelaksanaan pengelolaan kawasan tersebut.
Karena itu terciptalah pokok-pokok pandangan hidup masyarakat adat Papua mengenai
lingkungan hutan adat mereka dengan sumberdaya alamnya selalu terangkum dalam
filosofi-filosofi tertentu, misalnya seperti yang diungkapkan oleh masyarakat adat Papua
dari suku Maybrat sebagai beriktu;
Anu bhou mam remo wanu to bhou bit bo tna bta aya mbam tabam reto
Anu bhou mam remo wanu bmat sas bawya ro wanu ro mhou mweto
Anu krek safo tabam wanu mkah vito beta
Anu bhou bmat sas remo wanu kaket tna bno bo ro mkah riof tna bhaha anya afo kbe o,
tabam, remo wanu mkah bombra beta msiwian weya k’anu
Artinya:
Kita mendiami tempat dimana kita hidup dan makan dari tanahnya
Kita menempati tempat kita dan tetap menjaga apa yang menjadi bagian hak kita
Kita memikul semua kepentingan tanah adat kita dengan hukum-hukum adat
Kita hidup dengan menghargai hutan adat kita dengan melakukan hal-hal yang jujur
penuh hormat agar tanah adat leluhur memberikan kita kebahagiaan dan berkat
Makna dari filosofi di atas adalah bahwa sesungguhnya masyarakat adat Papua
mempunyai suatu pandangan dan sikap yang arif terhadap tata lingkungan dan
sumberdaya alam disekitarnya sebagai sumber kehidupan yang tidak hanya sekedar
diambil hasilnya untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka, tetapi juga menjadi sebuah
keharusan dan wajib untuk dipelihara dan dihormati sebagai sesama makhluk ciptaan
Tuhan yang mendiami planet ini.
Masyarakat adat Papua juga mengenal adanya hutan keramat atau hutan pamali.
Hutan pamali ini selalu dihubungkan dengan kehidupan nenek moyang mereka yang
hidup dalam dunia atau dimensi alam lain diluar kehidupan moral umat manusia.
Masyarakat adat Papua meyakini bahwa nenek moyang mereka menempati daerah
tertentu di sekitar hutan adat mereka. Karena itu tempat tersebut tidak boleh diolah,
disentuh, diganggu ataupun dijamah oleh siapapun, karena akan terjadi petaka jika
dilanggar.
Jalinan tradisi adat istiadat masyarakat adat Papua dalam tata kelola hutan adat
mereka, selalu mengikuti tata aturan dan fungsi areal hutan yang sudah ditentukan oleh
keturunan terdahulu. Misalnya hutan pamali, selalu dijadikan sebagai tempat dimana
mereka menghubungkan diri mereka dengan Yang Maha Kuasa, yang mempunyai dan
menciptakan dunia ini. Masyarakat adat Papua percaya bahwa didalam dunia ini ada
yang memiliki kuasa melebihi kuasa manusia, karena itu manusia perlu menyembah dan
memohon segala sesuatu hanya kepada-Nya. Selain kepada Yang Maha Kuasa,
masyarakat adat Papua juga menyadari bahwa kehidupan mereka juga sangat tergantung
kepada lingkungan dimana mereka tinggal. Karena itu, lingkungan hutan adat mereka
itu selalu dan perlu dijaga, dirawat dan dilestarikan berdasarkan aturan-aturan adat yang
dimilikinya. Lingkungan hutan adat mereka memberikan mereka makan, tempat tinggal,
tempat bertapa, tempat mereka hidup sebagai bagian dari ciptaan Yang Maha Kuasa.
Lihat gambar relasi hubungan sibernitas antar manusia dengan Tuhan, manusia dengan
manusia, manusia dengan alam lingkungan hutan adat, manusia dan leluhur, berikut ini:
Gambar: Sibernitas relasi antar manusia dengan Tuhan, dengan sesama, dengan lingkungan dan
dengan Leluhur menurut masyarakat adat Papua. (sumber hasil analisis peneliti)
Tuhan
Manusia
Leluhur
Hutan adat lingkungan hidup
AKUMULASI AKIBAT KERUSAKAN EKOSISTEM HUTAN DAN
EFEKNYA MENURUT BEBERAPA PANDANGAN
ebagian ilmuwan telah memprediksikan bahwa dunia ini akan tiba pada
ambang kehancuran, itu disebabkan karena tidak adanya keseimbangan
lingkungan alam sebagai pengatur utama yang memberikan kekebalan pada
kulit ozon planet bumi sehingga terjadi ancaman penghancuran rumah kaca
yang terkenal dengan kejadian elnino. Selain dari pada itu, marilah kita mencoba
membuat suatu acak pandangan dari beberapa perspektif tentang kerusakan lingkungan
alam dan efeknya.
Sa. Menurut Alkitab.
Sebagaimana yang di kampanyekan oleh umat kristiani bahwa, mengasihi,
memelihara, melindungi dan melayani adalah merupakan hukum terbesar sepanjang
sejarah perjalanan keimanan umat kristiani.
Dalam catatan biblikal mengatakan bahwa dunia akan tiba pada titik kehancuran
bukan karena umurnya, melainkan karena ulah manusia itu.
Sebagaimana tersirat dalam kitab Yesaya 24: 3-6 yang bunyinya sebagai berikut:
(3) Bumi akan ditanduskan setandus-tandusnya, dan akan dijarah sehabis-habisnya,
sebab TUHANlah yang mengucapkan firman ini. (4) Bumi berkabung dan layu, ya,
dunia merana dan layu, langit dan bumi merana bersama. (5) Bumi cemar karena
penduduknya, sebab mereka melanggar undang-undang, mengubah ketetapan dan
mengingkari perjanjian abadi. (6) sebab itu sumpah serapah akan memakan bumi, dan
penduduknya akan mendapat hukuman; sebab itu penduduk bumi akan hangus lenyap,
dan manusia akan tinggal sedikit. Secara keimanan Kristen, telah tercatat secara jelas
bahwa Tuhan akan membuat perhidungan dengan manusia sebagai penghuni planet
bumi. Sepertinya Ia akan menyiksa manusia karena melanggar aturan dan janji Allah
tentang alam ciptaan-Nya.
b. Menurut Pandangan Global
Sebagaimana sains mengukurnya bahwa, dunia semakin panas karena batas
kekuatan dan kekebalan kulit bumi yang bergantung pada keseimbangan dan suplai
oksigen yang baik, namun akhirnya mulai terganggu dan mengakibatkan terjadinya
panas global. Lihat uraian rincinya berikut:
- Pemanasan Global
Pemanasan global atau Global
Warming adalah adanya proses
peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut,
dan daratan Bumi. Suhu rata-rata global
pada permukaan Bumi telah meningkat
0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama
seratus tahun terakhir. Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC)
menyimpulkan bahwa, "sebagian besar
peningkatan suhu rata-rata global sejak
pertengahan abad ke-20 kemungkinan
besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas
manusia melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh
setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari
negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju
dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.
Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu
permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun
1990 dan 2100. Perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan skenario-
skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa mendatang, serta model-
model sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus
pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air lautdiperkirakan akan
terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca
telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.
Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-
perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas
Anomali temperatur permukaan rata-rata selama periode 1995 sampai 2004 dengan dibandingkan pada
temperatur rata-rata dari 1940 sampai 1980
fenomena cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-
akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya
gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan.
Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah mengenai jumlah
pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana pemanasan
serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke
daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia
mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau
membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap konsekuensi-
konsekuensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah
menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan
emisi gas-gas rumah kaca.
- Penyebab Pemanasan Global
1) Efek Rumah Kaca
Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian
besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak.
Ketika energi ini tiba permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang
menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan
memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah
gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di
atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon
dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini
menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan
akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus
menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.
Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan semakin
meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang
terperangkap di bawahnya.
Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di
bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-
rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F)dari
temperaturnya semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 °C sehingga
es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi sebaliknya, apabila gas-gas
tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan mengakibatkan pemanasan global.
2) Efek Umpan Balik
Analisis penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses
umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus
pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada
awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena
uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan
menambah jumlah uap air di udara sampai tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi
uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat
gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di
udara, kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena
udara menjadi menghangat). Umpan balik ini hanya berdampak secara perlahan-lahan
karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer.
Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat
ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan kembali radiasi infra merah ke
permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari
atas, awan tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke
angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya
menghasilkan pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail
tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit
direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila
dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar
125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke
Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila
dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan)
dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat.
Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan
cahaya (albedo) oleh es. Ketika temperatur global meningkat, es yang berada di dekat
kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya
es tersebut, daratan atau air di bawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air
memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es,
dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah
pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus
yang berkelanjutan.
Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah
beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan.
Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan
balik positif.
Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia
menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic
sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan
penyerap karbon yang rendah.
3) Variasi Matahari
Variasi Matahari selama 30 tahun
terakhir. Artikel utama untuk bagian ini
adalah: Variasi Matahari Terdapat
hipotesa yang menyatakan bahwa variasi
dari Matahari, dengan kemungkinan
diperkuat oleh umpan balik dari awan,
dapat memberi kontribusi dalam
pemanasan saat ini. Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek
rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer
sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer
bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960, yang tidak akan terjadi bila
aktivitas Matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan
ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi
mulai akhir tahun 1970-an.) Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan
aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-
industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.
Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi Matahari
mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke University
mengestimasikan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50%
peningkatan temperatur rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35%
antara tahun 1980 dan 2000. Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim
yang dijadikan pedoman saat ini membuat estimasi berlebihan terhadap efek gas-gas
rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh Matahari; mereka juga mengemukakan
bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang
remeh. Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan
meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar
pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah
kaca.
Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss
menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan"
dari Matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi
peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun
terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan global. Sebuah
penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara
pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari
output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis.
4) Mengukur Pemanasan Global
Hasil pengukuran konsentrasi CO2
di Mauna Loa. Pada awal 1896, para
ilmuan beranggapan bahwa membakar
bahan bakar fosil akan mengubah
komposisi atmosfer dan dapat
meningkatkan temperatur rata-rata global.
Hipotesis ini dikonfirmasi tahun 1957
ketika para peneliti yang bekerja pada
program penelitian global yaitu International Geophysical Year, mengambil sampel
atmosfer dari puncak gunung Mauna Loa di Hawai.
Hasil pengukurannya menunjukkan terjadi peningkatan konsentrasi karbon
dioksida di atmosfer. Setelah itu, komposisi dari atmosfer terus diukur dengan cermat.
Data-data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa memang terjadi peningkatan
konsentrasi dari gas-gas rumah kaca di atmosfer.
Para ilmuan juga telah lama menduga bahwa iklim global semakin menghangat,
tetapi mereka tidak mampu memberikan bukti-bukti yang tepat. Temperatur terus
bervariasi dari waktu ke waktu dan dari lokasi yang satu ke lokasi lainnya. Perlu
bertahun-tahun pengamatan iklim untuk memperoleh data-data yang menunjukkan suatu
kecenderungan (trend) yang jelas. Catatan pada akhir 1980-an agak memperlihatkan
kecenderungan penghangatan ini, akan tetapi data statistik ini hanya sedikit dan tidak
dapat dipercaya.
Stasiun cuaca pada awalnya, terletak dekat dengan daerah perkotaan sehingga
pengukuran temperatur akan dipengaruhi oleh panas yang dipancarkan oleh bangunan
dan kendaraan dan juga panas yang disimpan oleh material bangunan dan jalan. Sejak
1957, data-data diperoleh dari stasiun cuaca yang terpercaya (terletak jauh dari
perkotaan), serta dari satelit. Data-data ini memberikan pengukuran yang lebih akurat,
terutama pada 70 persen permukaan planet yang tertutup lautan. Data-data yang lebih
akurat ini menunjukkan bahwa kecenderungan menghangatnya permukaan Bumi benar-
benar terjadi. Jika dilihat pada akhir abad ke-20, tercatat bahwa sepuluh tahun terhangat
selama seratus tahun terakhir terjadi setelah tahun 1980, dan tiga tahun terpanas terjadi
setelah tahun 1990, dengan 1998 menjadi yang paling panas.
Dalam laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel on
Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa temperatur udara global telah meningkat
0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit) sejak 1861. Panel setuju bahwa pemanasan
tersebut terutama disebabkan oleh aktivitas manusia yang menambah gas-gas rumah
kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi peningkatan temperatur rata-rata global akan
meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.
IPCC panel juga memperingatkan, bahwa meskipun konsentrasi gas di atmosfer
tidak bertambah lagi sejak tahun 2100, iklim tetap terus menghangat selama periode
tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan sebelumnya. karbon dioksida akan tetap
berada di atmosfer selama seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu menyerapnya
kembali.
Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, para ahli memprediksi, konsentrasi
karbondioksioda di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali lipat pada awal abad ke-
22 bila dibandingkan masa sebelum era industri. Akibatnya, akan terjadi perubahan
iklim secara dramatis. Walaupun sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi
beberapa kali sepanjang sejarah Bumi, manusia akan menghadapi masalah ini dengan
risiko populasi yang sangat besar.
5) Model Iklim
Prakiraan peningkatan temperature
terhadap beberapa skenario kestabilan
(pita berwarna) berdasarkan Laporan
Pandangan IPCC ke Empat. Garis hitam
menunjukkan prakiraan terbaik; garis
merah dan biru menunjukkan batas-batas
kemungkinan yang dapat terjadi.
Perhitungan pemanasan global pada tahun 2001 dari beberapa model iklim
berdasarkan scenario SRES A2, yang mengasumsikan tidak ada tindakan yang
dilakukan untuk mengurangi emisi.
Artikel utama untuk bagian ini
adalah: Model iklim global Para ilmuan
telah mempelajari pemanasan global
berdasarkan model-model computer
berdasarkan prinsip-prinsip dasar
dinamikan fluida, transfer radiasi, dan
proses-proses lainya, dengan beberapa penyederhanaan disebabkan keterbatasan
kemampuan komputer. Model-model ini memprediksikan bahwa penambahan gas-gas
rumah kaca berefek pada iklim yang lebih hangat. Walaupun digunakan asumsi-asumsi
yang sama terhadap konsentrasi gas rumah kaca di masa depan, sensitivitas iklimnya
masih akan berada pada suatu rentang tertentu.
Dengan memasukkan unsur-unsur ketidakpastian terhadap konsentrasi gas
rumah kaca dan pemodelan iklim, IPCC memperkirakan pemanasan sekitar 1.1 °C
hingga 6.4 °C (2.0 °F hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100. Model-model iklim
juga digunakan untuk menyelidiki penyebab-penyebab perubahan iklim yang terjadi
saat ini dengan membandingkan perubahan yang teramati dengan hasil prediksi model
terhadap berbagai penyebab, baik alami maupun aktivitas manusia.
Model iklim saat ini menghasilkan kemiripan yang cukup baik dengan
perubahan temperature global hasil pengamatan selama seratus tahun terakhir, tetapi
tidak mensimulasi semua aspek dari iklim. Model-model ini tidak secara pasti
menyatakan bahwa pemanasan yang terjadi antara tahun 1910 hingga 1945 disebabkan
oleh proses alami atau aktivitas manusia; akan tetapi; mereka menunjukkan bahwa
pemanasan sejak tahun 1975 didominasi oleh emisi gas-gas yang dihasilkan manusia.
Sebagian besar model-model iklim, ketika menghitung iklim di masa depan, dilakukan
berdasarkan skenario-skenario gas rumah kaca, biasanya dari Laporan Khusus terhadap
Skenario Emisi (Special Report on Emissions Scenarios / SRES) IPCC. Yang jarang
dilakukan, model menghitung dengan menambahkan simulasi terhadap siklus karbon;
yang biasanya menghasilkan umpan balik yang positif, walaupun responnya masih
belum pasti (untuk skenario A2 SRES, respon bervariasi antara penambahan 20 dan
200 ppm CO2). Beberapa studi-studi juga menunjukkan beberapa umpan balik positif.
Pengaruh awan juga merupakan salah satu sumber yang menimbulkan
ketidakpastian terhadap model-model yang dihasilkan saat ini, walaupun sekarang telah
ada kemajuan dalam menyelesaikan masalah ini. Saat ini juga terjadi diskusi-diskusi
yang masih berlanjut mengenai apakah model-model iklim mengesampingkan efek-efek
umpan balik dan tak langsung dari variasi Matahari.
6) Dampak Pemanasan Global
Para ilmuan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi, dan
sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut,
para ilmuan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global
terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan
kesehatan manusia.
7) Iklim Mulai Tidak Stabil
Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian
Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari
daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan
akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-
daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya
lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin
sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa
area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.
Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang
menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut
malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini
disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan
meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga
akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya
matahari kembali ke angkasa luar, dimana hal ini akan menurunkan proses pemanasan
(lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-
rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di
seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini). Badai
akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah.
Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan
bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane)
yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar.
Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin
mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim.
8) Peningkatan Permukaan Laut
Perubahan tinggi rata-rata muka laut
diukur dari daerah dengan lingkungan yang
stabil secara geologi.
Ketika atmosfer menghangat, lapisan
permukaan lautan juga akan menghangat,
sehingga volumenya akan membesar dan
menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan
juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih
memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat
10 – 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi
peningkatan lebih lanjut 9 – 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21.
Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah
pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda,
17,5 persen daerah Bangladesh, pulau Jakarta Indonesia, sebagian bagian Surabaya dan
banyak pulau-pulau di dunia yang akan tenggelam. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit
pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air
pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang
sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin
mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai.
Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi ekosistem
pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai
di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan
dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar
dari Florida Everglades.
9) Suhu Global Cenderung Meningkat
Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih
banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa
tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan
dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan
pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh.
Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh
dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai
reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman
pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.
10) Gangguan Ekologis
Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek
pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan
global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan.
Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat
lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi
perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi
oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies
yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.
11) Dampak Utama
Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-
penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang
panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan
malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat
mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan
dengan bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma.
Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-
tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi
mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.
Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit
melalui air (Waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-
borne diseases). Seperti meningkatnya kejadian Demam Berdarah karena munculnya
ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan adanya perubahan
iklim ini maka ada beberapa spesies vektor penyakit (eq Aedes Agipty), Virus, bakteri,
plasmodium menjadi lebih resisten terhadap obat tertentu yang targetnya adalah
organisme tersebut. Selain itu bisa diprediksikan bahwa ada beberapa spesies yang
secara alamiah akan terseleksi ataupun punah dikarenakan perbuhan ekosistem yang
ekstreem ini. hal ini juga akan berdampak perubahan iklim (Climat change) yang bisa
berdampak kepada peningkatan kasus penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau
panjang/kebakaran hutan, demam berdarah, ini berkaitan dengan musim hujan tidak
menentu).
Gradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga
berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula
dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol selanjutnya akan
berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran pernafasan seperti asma, alergi,
coccidiodomycosis, penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain.
12) Perdebatan Tentang Pemanasan Global
Tidak semua ilmuwan setuju tentang keadaan dan akibat dari pemanasan global.
Beberapa pengamat masih mempertanyakan apakah temperatur benar-benar meningkat.
Yang lainnya mengakui perubahan yang telah terjadi tetapi tetap membantah bahwa
masih terlalu dini untuk membuat prediksi tentang keadaan di masa depan. Kritikan
seperti ini juga dapat membantah bukti-bukti yang menunjukkan kontribusi manusia
terhadap pemanasan global dengan berargumen bahwa siklus alami dapat juga
meningkatkan temperatur. Mereka juga menunjukkan fakta-fakta bahwa pemanasan
berkelanjutan dapat menguntungkan di beberapa daerah.
Para ilmuwan yang mempertanyakan pemanasan global cenderung menunjukkan
tiga perbedaan yang masih dipertanyakan antara prediksi model pemanasan global
dengan perilaku sebenarnya yang terjadi pada iklim. Pertama, pemanasan cenderung
berhenti selama tiga dekade pada pertengahan abad ke-20; bahkan ada masa
pendinginan sebelum naik kembali pada tahun 1970-an. Kedua, jumlah total pemanasan
selama abad ke-20 hanya separuh dari yang diprediksi oleh model. Ketiga, troposfer,
lapisan atmosfer terendah, tidak memanas secepat prediksi model. Akan tetapi,
pendukung adanya pemanasan global yakin dapat menjawab dua dari tiga pertanyaan
tersebut.
Kurangnya pemanasan pada pertengahan abad disebabkan oleh besarnya polusi
udara yang menyebarkan partikulat-partikulat, terutama sulfat, ke atmosfer. Partikulat
ini, juga dikenal sebagai aerosol, memantulkan sebagian sinar matahari kembali ke
angkasa luar. Pemanasan berkelanjutan akhirnya mengatasi efek ini, sebagian lagi
karena adanya kontrol terhadap polusi yang menyebabkan udara menjadi lebih bersih.
Keadaan pemanasan global sejak 1900 yang ternyata tidak seperti yang diprediksi
disebabkan penyerapan panas secara besar oleh lautan. Para ilmuan telah lama
memprediksi hal ini tetapi tidak memiliki cukup data untuk membuktikannya. Pada
tahun 2000, U.S. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA)
memberikan hasil analisa baru tentang temperatur air yang diukur oleh para pengamat di
seluruh dunia selama 50 tahun terakhir. Hasil pengukuran tersebut memperlihatkan
adanya kecenderungan pemanasan: temperatur laut dunia pada tahun 1998 lebih tinggi
0,2 derajat Celsius (0,3 derajat Fahrenheit) daripada temperatur rata-rata 50 tahun
terakhir, ada sedikit perubahan tetapi cukup berarti.
Pertanyaan ketiga masih membingungkan. Satelit mendeteksi lebih sedikit
pemanasan di troposfer dibandingkan prediksi model. Menurut beberapa kritikus,
pembacaan atmosfer tersebut benar, sedangkan pengukuran atmosfer dari permukaan
Bumi tidak dapat dipercaya. Pada bulan Januari 2000, sebuah panel yang ditunjuk oleh
National Academy of Sciences untuk membahas masalah ini mengakui bahwa
pemanasan permukaan Bumi tidak dapat diragukan lagi. Akan tetapi, pengukuran
troposfer yang lebih rendah dari prediksi model tidak dapat dijelaskan secara jelas.
13) Pengendalian Pemanasan Global
Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun.
Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang
dapat mencegah pemanasan global di masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah
mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah
semakin berubahnya iklim di masa depan.
Kerusakan yang parah dapat di atasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat
dilindungi dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara
lainnya, pemerintah dapat membantu populasi di pantai untuk pindah ke daerah yang
lebih tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan
dan hewan dengan tetap menjaga koridor (jalur) habitatnya, mengosongkan tanah yang
belum dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies dapat secara perlahan-lahan
berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat yang lebih dingin.
Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas
rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan
menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut
carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah
kaca.
14) Menghilangkan Karbon
Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbon dioksida di udara adalah
dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama
yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbon dioksida yang sangat banyak,
memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh
dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di
banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan
kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian
atau pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan
penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas
rumah kaca.
Gas karbon dioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan
menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong
agar minyak bumi keluar ke permukaan (lihat Enhanced Oil Recovery). Injeksi juga bisa
dilakukan untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak,
lapisan batubara atau aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran
lepas pantai Norwegia, dimana karbon dioksida yang terbawa ke permukaan bersama
gas alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali
ke permukaan.
Salah satu sumber penyumbang karbon dioksida adalah pembakaran bahan
bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi industri
pada abad ke-18. Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi dominan untuk
kemudian digantikan oleh minyak bumi pada pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20,
energi gas mulai biasa digunakan di dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren
penggunaan bahan bakar fosil ini sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi
jumlah karbon dioksida yang dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbon dioksida
lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan
batubara. Walaupun demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih
mengurangi pelepasan karbon dioksida ke udara. Energi nuklir, walaupun kontroversial
karena alasan keselamatan dan limbahnya yang berbahaya, bahkan tidak melepas
karbon dioksida sama sekali.
15) Persetujuan Internasional
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Protokol Kyoto Kerjasama
internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Di
tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk
menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini
dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara
merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto.
Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38 negara-
negara industri yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas
rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5 persen di bawah emisi tahun
1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. Pada mulanya,
Amerika Serikat mengajukan diri untuk melakukan pemotongan yang lebih ambisius,
menjanjikan pengurangan emisi hingga 7 persen di bawah tingkat 1990; Uni Eropa,
yang menginginkan perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 persen; dan Jepang 6
persen. Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar negara berkembang, tidak diminta untuk
berkomitmen dalam pengurangan emisi gas.
Akan tetapi, pada tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih,
George W. Bush mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan karbon dioksida
tersebut menelan biaya yang sangat besar. Ia juga menyangkal dengan menyatakan
bahwa negara-negara berkembang tidak dibebani dengan persyaratan pengurangan
karbon dioksida ini. Kyoto Protokol tidak berpengaruh apa-apa bila negara-negara
industri yang bertanggung jawab menyumbang 55 persen dari emisi gas rumah kaca
pada tahun 1990 tidak meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi ketika tahun
2004, Presiden Rusia Vladimir Putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan
untuk berlakunya perjanjian ini mulai 16 Februari 2005.
Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian
ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi
gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang keras akan diperlukan nanti,
terutama karena negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan
menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol ini
memiliki posisi yang sangat kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat
terutama dikemukakan oleh industri minyak, industri batubara dan perusahaan-
perusahaan lainnya yang produksinya tergantung pada bahan bakar fosil. Para
penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan
Protokol Kyoto dapat mencapai 300 milyar dollar AS, terutama disebabkan oleh biaya
energi. Sebaliknya pendukung Protokol Kyoto percaya bahwa biaya yang diperlukan
hanya sebesar 88 milyar dollar AS dan dapat lebih kurang lagi serta dikembalikan
dalam bentuk penghematan uang setelah mengubah ke peralatan, kendaraan, dan proses
industri yang lebih effisien.
Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat
terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi
emisi karbon dioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai contoh, Belanda, negara
industrialis besar yang juga pelopor lingkungan, telah berhasil mengatasi berbagai
macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi targetnya dalam mengurangi produksi
karbon dioksida.
Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto
bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum terselesaikan seperti
peraturan, metode dan pinalti yang wajib diterapkan pada setiap negara untuk
memperlambat emisi gas rumah kaca. Para negoisator merancang sistem dimana suatu
negara yang memiliki program pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan
dengan menjual hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain. Sistem ini disebut
perdagangan karbon. Sebagai contoh, negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya,
seperti Belanda, dapat membeli kredit polusi di pasar, yang dapat diperoleh dengan
biaya yang lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila
sistem ini diterapkan. Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas
rumah kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil memotong emisinya
lebih dari 5 persen di bawah tingkat 1990, ia berada dalam posisi untuk menjual kredit
emisi ke negara-negara industri lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa.
USULAN KONSEP DAN REKOMENDASI
PENANGANAN LINGKUNGAN HIDUP
SEBAGAI PENGENDALIAN PEMANASAN GLOBAL
Telah banyak kita ulas tentang sistem tata lingkungan dan pola perladangan
tradisional yang dikembangkan oleh masyarakat adat Papua dan secara global telah
diuraikan pengaruh kerusakan ekosistem lingkungan hidup dan pengaruhnya secara
global, maka di usulkan beberapa konsep dan rekomendasi penanganan lingkungan
hidup secara komunal dan global sebagai berikut:
1. Sistem komunal menyangkut, tata laksana pelestarian lingkungan hidup alam
sekitar yang diterapkan secara turun temurun oleh masyarakat adat Papua,
harus mendapt perhatian dan perlu adanya dukungan global, karena terancam
disubtitusikan dengan pola pemberian Hak Pengelolaan Hutan (HPH) oleh
Pemerintah kepada pihak tertentu, (bukan masyarakat adat) sehingga proses
kerusakan hutan semakin cepat. Karena yang dilakukan oleh HPH adalah
eksploitasi, bukan pelestarian.
Ini merupakan usulan dan rekomendasi konsep penanganan lingkungan
hidup hutan adat di Papua yang secara komunal sudah fasih diterapkan oleh
masyarakat adat Papua sehingga hutan adat lingkungan hidup mereka tetap
utuh. Boleh dijadikan sebagai suatu rujukan global dalam pola penanganan
lingkungan hidup secara global dari komunal.
2. Di usulkan agar Konsep penanganan tata lestari lingkungan hidup dan
ekosistem ditangani secara sistem adat atau pola komunal. Karena secara
sistem adat, masyarakat adat di lingkungan adat mereka sangat mengerti dan
begitu memahami tentang betapa berharga dan betapa pentingnya hubungan
hidup mereka dengan lingkungan alam hutan adat mereka (terutama yang
berhubungan dengan hutan leluhur mereka). Ini merupakan usulan dan
rekomendasi.
3. Diharapkan agar isi pasal dan ayat dalam perjanjian protokol Kyoto, supaya
memasukkan konsep penanganan tata laksana pelestarian lingkungan hidup
dengan pola komunal, sebagai strategi penanganan resmi. Selain itu, konsep
penanganan secara komunal ini terutama diterapkan pada negara-negara yang
masih kental dengan budaya adat istiadat komunal dalam penanganan tata
laksana pelestarian lingkungan hutan alam mereka secara turun temurun.
4. Diusulkan agar supaya selain negara-negara industri bertanggung jawab
menyumbang beberapa persen dari emisi gas rumah kaca, dan membeli kredit
polusi di pasar saja, akan tetapi juga adanya kompensasi langsung yang
diberikan tersendiri kepada daerah atau kepulauan tertentu yang secara
komunal menjaga pelestarian lingkungan alam mereka secara baik. Misalnya
seperi pulau Kalimantan dan pulau Papua, di Indonesia. Kompensasi selain
diberikan kepada Pemerintah, juga ada yang diberikan khusus kepada kedua
pulau tersebut.
Konsep usulan ini sebagai salah satu motifasi agar supaya masyarakat
setempat semakin bersemangat dalam menangani dan melestarikan
lingkungan alam mereka. Pemberian kompensasi ini diberikan langsung
terutama kepada masyarakat yang berada dan bersentuhan langsung dengan
lingkungan alam sekitarnya.
Mengapa harus diberikan kompensasi? Konsep ini menurut kami sebagai
syarat utama untuk menjawab kebutuhan ekonomi masyarakat setempat, yang
diharapkan sebagai pemutus mata rantai ketergantungan mereka terhadap
lingkungan alam sebagai pensuplai utama hasil ekonomi mereka. Karena
disadari bahwa, kerusakan lingkungan alam di akibatkan oleh adanya tekanan
ekonomi yang memaksa masyarakat adat sehingga terpaksa lingkungan alam
disekitarnya menjadi fokus sasaran yang harus di eksploitasi sebagai alternatif
pemenuhan ekonomi mereka.
Semoga konsep ini bisa menjadi alternatif baik dan juga sebagai suatu berkat
yang luar biasa bagi keberlanjutan hidup manusia.
Akhir kata saya titip beban pikiran pribadi saya kepada kawan seperjuangan
yang lain, yaitu ingatlah bahwa: “ semua berhak untuk
diselamatkan ”. Dengan menyelamatkan alam merupakan proses
menyelamatkan hidup kita.