fokus politik & ham e-ktp di zaman - ftp.unpad.ac.id filedidapat di dewan perwakilan rakyat...

1
MEGAPROYEK kartu tanda penduduk elektronik atau e- KTP yang digarap Kementerian Dalam Negeri saat ini ternyata bukan yang pertama kali. Pada 2004, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah merintisnya mela- lui program bernama Pendaf- taran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B). Untuk mengetahui secara ter- perinci program P4B, berikut ini petikan wawancara wartawan Media Indonesia Maria Sindy Jeanindya, dengan mantan anggota KPU Chusnul Mari- yah, di Jakarta, pekan lalu. Mengapa data jumlah pen- duduk ini menjadi krusial? Di daerah, jumlah penduduk itu menentukan besaran ang- garan pendapatan dan belanja negara (APBN) yang diberikan kepada mereka melalui dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK). Jumlah penduduk juga akan menen- tukan berapa kursi yang bisa didapat di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Karena itu, daerah yang penduduknya sedikit sering kali berupaya memanipulasi jumlah pen- duduknya agar bisa mendapat APBN lebih besar, atau kursi lebih banyak di DPRD. Kabu- paten Poso, di Sulawesi Tengah, misalnya, mempertahankan angka jumlah penduduknya agar jumlah anggota DPRD itu bisa naik, atau setidaknya tetap. Apa latar belakang program P4B? Saat KPU mempersiapkan logistik Pemilihan Umum 2004, saya menemukan bahwa KPU memiliki lima sumber data penduduk yang berbeda dan signifikan antara satu dan yang lain. Alat pendataan berbeda- beda. Seperti BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) yang men- dasarkan pada akseptor KB, se- dangkan Depdagri berdasarkan KTP. Pa- dahal secara ilmu demografi, penduduk adalah seseorang yang ting- gal di satu daerah selama enam bulan. Jadi, bukan berda- sarkan kartu keluar- ga (KK). Oleh karena itu, KPU membuat program P4B dengan 12 variabel ter- masuk variabel penyandang cacat. Semua database diperoleh pada Desember 2003. Berapa anggaran yang dike- luarkan untuk program ini? Dari sama sekali tidak ada data hingga KPU memiliki semua data menggunakan anggaran Rp427 miliar. Pro- gram ini dilaksanakan Badan Pusat Statistik. Namun, KPU tetap menentukan data apa saja yang diperlukan untuk database tersebut. Mengapa P4B tidak dilan- jutkan? Pada 8 Desember 2004, KPU menyerahkan database itu ke- pada Departemen Dalam Ne- geri (Depdagri). Gratis. Alasan- nya, karena pada 2005 akan ada pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada). Itu pun sudah menjadi janji KPU di awal, bahwa database ini akan digunakan untuk kepentingan pembangunan, salah satunya e-government. Namun, regu- lasi selanjutnya dalam pemilu kada, data pemilih menjadi tanggung jawab Depdagri. Melalui Instruksi Presiden No 7 tentang Pemutakhiran Data Penduduk kepada Mendagri, PP No 6 Tahun 2005, yang merupakan turunan dari UU No 32 Tahun 2004, kewajiban menyediakan data pemilih menjadi ranah pemerintah, bu- kan KPU. Akhirnya Depdagri mengubah program P4B, de- ngan menggunakan data dari KPU tadi, menjadi program Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4). Apakah program DP4 mem- bawa perubahan lebih baik? APBN mengalokasikan dana Rp3,8 triliun untuk program DP4. Selain itu, daerah masih mengeluarkan anggaran untuk pemutakhiran data. Saya per- nah tanya langsung ke petugas di Sampang, Jatim, berapa dana yang mereka keluarkan untuk memutakhirkan data. Petugas itu menjawab Rp750 juta. Padahal Depdagri punya anggaran Rp3,8 triliun, dan tinggal memperbarui database dari KPU yang diberikan secara gratis. Sebelum program P4B, Depdagri juga punya program Sistem Komunikasi Dalam Ne- geri yang anggarannya Rp300 miliar. Dia beli komputer dan sebagainya, tapi tidak ada ha- silnya. Gagal total. Lantas apa bedanya dengan proyek e-KTP yang sedang dikerjakan Kemendagri? Selain hasil database, dulu kita juga memberikan komputer untuk IT (teknologi informasi), dan kabel data telepon di 4.167 kecamatan. Komputer tentu saja sudah usang karena sudah 6 tahun. Tapi, hubungan telepon de- ngan kabel data baik yang Telkom maupun yang telepon satelit tentunya masih bisa dilacak. Itu bisa juga dipakai kan sama Kemendagri? Jadi, jangan lagi bikin proyek un- tuk pengadaan ini-itu. Karena perangkat di kecamatan itu bisa digunakan untuk apa saja, termasuk e-KTP. Bagaimana soal akurasi data? Apakah bisa mengu- rangi nomor induk kepen- dudukan (NIK) ganda? KPU melakukan pendataan berdasarkan definisi penduduk dari teori demografi tadi. Se- mentara Depdagri melalui DP4 melakukan pemutakhiran data menggunakan KK. Contohnya saya sendiri. Saya sudah punya NIK di Jakarta, dan saya ter- daftar di KK Lamongan, Jatim. NIK saya dobel. Sampai saat ini saya punya dua kartu pemilih. Satu yang berdasar KK, satu berdasar kependudukan. Maksud KPU, jangan membuat data baru. Bila ada yang salah, kesalahan itu saja yang diperbaiki. Apa- kah membuat yang baru pasti benar? Karena isinya sama saja. Nama, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, alamat. (P-4) INDONESIA memang harus mem- benahi masalah kependudukan yang tidak sederhana, yang kom- pleks, ini secara komprehensif. Bagaimana institusi terkait antara BPS, Kemendagri, dan nanti daerah- daerah juga diadakan koordinasi bagaimana sistem e-KTP ini. Karena sistem ini kan untuk long term (jangka panjang). Sebab, kalau sudah dielektronikkan, berarti kan long term, akan seperti itu terus. Namun, saya melihat penga- wasannya masih kurang. Yang masalah kan pendataan penduduk. Kemendagri ini kan di Jakarta. Tapi, di daerah seperti apa? Contoh lain, pembuatan KTP baru di Jakarta yang sudah menerapkan NIK dan mengharuskan warga difoto di kelurahan. Seperti pembuatan paspor, pembuat paspor difoto langsung di Imigrasi. Sayangnya, banyak petugas di kelurahan yang melaku- kan pelayanan seperti setengah hati. Jadi, sistemnya sudah bagus, tetapi pelayanan belum. (Tup/P-4) data,” terang Elvius Dailami, Sekretaris Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri, akhir pekan lalu. Diakuinya, sebenarnya Kemendagri punya data ha- sil Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berke- lanjutan (P4B) yang pernah dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 2004 lalu untuk persiapan Pemilu 2004 saat itu. Namun data hasil pendataan yang memakan biaya hingga Rp407 miliar itu enggan diper- barui oleh Kemendagri dengan dalih masih kurang akurat. “Kalau ada data ganda yang tidak terdeteksi di tingkat provinsi, akan terdeteksi di tingkat nasional. Setelah data dibersihkan dan tidak ada yang ganda, terbitlah nomor induk kependudukan (NIK) tunggal,” ucapnya. Cara ini, lanjutnya, selain meminimalisasi data pendu- duk ganda, juga bisa mendata seluruh penduduk Indonesia, termasuk mereka yang tidak memiliki tempat tinggal tetap. Badan Pengkajian dan Pene- rapan Teknologi (BPPT) yang digandeng oleh Kemendagri untuk menyiapkan mega- proyek itu juga sudah me- nyiapkan 11 fitur keamanan dalam pencetakan setiap e-KTP. “Misalnya anticopy, keamanan pencetakan, dan lain-lain,” kata Husni Fahmi, peneliti BPPT, yang terlibat langsung dalam pengerjaan e-KTP. Ia memaparkan, proses pem- buatan KTP elektronik tersebut dimulai dengan pengambilan atau perekaman data yang meliputi biodata penduduk, pengambilan foto secara lang- sung, dan pengambilan sepu- luh sidik jari tangan. Menurut Husni, dibutuhkan waktu rata- rata 5 menit dalam mengum- pulkan data untuk satu orang. Pada tahun ini Kemendagri akan menerbitkan NIK bagi 329 kabupaten/kota yang tersebar di 33 provinsi. Sementara si- sanya, yaitu 168 kabupaten/ kota, akan mendapat NIK pada 2011. Namun hingga awal pekan Desember 2010, pusat data baru menerima data dari 230 daerah. Rawan penyimpangan Besarnya anggaran, menu- rut Elvius, tak dapat dihin- dari mengingat banyaknya infrastruktur yang serbamahal yang harus disiapkan. “Un- tuk pengadaan komputer di pusat data saja kita perlu 200 komputer. Belum untuk pusat data recovery (pemulihan data) yang rencananya diletakkan di Jatinangor (Jabar) dan Batam (Kepulauan Riau).” Ia menyadari, dana program yang besar itu akan sangat raw- an penyelewengan. Terlebih, masalah dana di program ini telah menyeret Direktur Direk- torat Pendaftaran Penduduk ke meja penyidikan polisi. Proyek senilai Rp6,7 triliun memang cukup menggiurkan. Proyek yang pembiayaannya secara multiyears itu rencana- nya dibagi dalam tiga tahap. Tahap pertama, pada 2010 akan menghabiskan Rp598 mi- liar untuk pemutakhiran data dan pemberian NIK kepada penduduk di 497 daerah, serta penerapan e-KTP di enam daer- ah yang merupakan lanjutan penerapan e-KTP pada 2009. Kemudian pada 2011 sebesar Rp2,065 triliun untuk pene- rapan e-KTP di 191 kabupaten/ kota. Dan terakhir pada 2012 sebesar Rp3,953 triliun untuk penerapan e-KTP di 300 kabu- paten/kota. Rawannya penyelewengan dana di megaproyek itu sempat terendus oleh Komisi Pembe- rantasan Korupsi (KPK). Pada 6 November 2009, saat proyek akan dimulai, KPK telah me- nyurati Menteri Dalam Negeri soal berbagai kelemahan yang akan mengiringi pelaksanaan proyek itu. Di antaranya soal grand de- sign pembangunan Sistem Informasi Administrasi Kepen- dudukan (SIAK) yang akan menjadi pusat data nasional. Kelemahan grand design itu adalah terlalu muluk, dan tidak selaras dengan kesia- pan penunjangnya seperti ter- batasnya jaringan, rendahnya kompetensi sumber daya ma- nusia, dan ketidakakuratan pusat data. Wakil Ketua KPK M Jasin mengingatkan, proyek NIK dan penerapan e-KTP harus menyertakan data biometrik dan sidik jari. “Hal ini untuk menghindari adanya data gan- da dan menghindari adanya pemborosan anggaran.” Namun, hasil pantauan tim KPK selama Desember 2009 sampai Januari 2010 menun- jukkan hal yang sebaliknya. Pelaksanaan uji petik NIK dan penerapan e-KTP di beberapa wilayah ternyata tidak dilaku- kan secara terintegrasi. Di beberapa daerah, pereka- man sidik jari dilakukan setelah pengambilan foto dan pencata- tan data diri, dengan rentang waktu 1-2 bulan. Lebih parah lagi, data hasil rekaman tidak terkunci di sis- tem pusat data nasional. Hal itu bisa menimbulkan kesa- lahan dan duplikasi pencatatan data. KPK khawatir akan terjadi penggunaan dana triliunan rupiah yang mubazir akibat ti- dak terencananya megaproyek itu dengan baik. KPK bahkan sudah merekomendasikan agar rencana penggunaan anggaran implementasi NIK dan pene- rapan KTP berbasis NIK secara nasional pada 2010-2012 dikaji ulang karena berpotensi mem- boroskan keuangan negara. Sebagai contoh, alokasi Rp598 miliar pada 2010 untuk pemutakhiran data dan pembe- rian NIK kepada penduduk di 497 kabupaten/kota, serta pe- nerapan e-KTP di enam kabu- paten/kota terancam mubazir. (Wta/P-2) [email protected] IDEALNYA, keberadaan e -KTP akan mempermudah pengurusan paspor. Namun, sampai sekarang kita belum mengatur ke situ ka- rena kita sendiri belum tahu persis seperti apa e-KTP dan data apa saja yang ada di dalamnya. Kalau dalam koordinasinya bisa berjalan dengan baik, tentu akan bisa saling membantu bahkan kalau bisa, ada saling interface. Jadi kalau tidak terkoneksi secara online, barangkali ada seperti inter- face (salah satu media yang diguna- kan komputer untuk berkomunikasi dengan manusia). Mungkin butuh peran Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk bisa mengoneksikan program-program e-government seperti itu. Ditjen Imigrasi, pada awal 2011, juga akan meluncurkan e- paspor. Di salah satu halaman e-paspor akan ditanamkan cip yang menyimpan data yang tidak bisa dilihat secara kasatmata. Kelebihan lain e-paspor ialah akurasi data yang ada di paspor. Masyarakat diperbolehkan untuk memilih, apakah akan memakai e-paspor atau paspor biasa. Jadi tidak ada keharusan untuk pakai e-paspor. (Ide/P-4) PEMERINTAH selalu menemui kesulitan untuk menuntaskan pen- dataan kependudukan. Setidaknya ada empat permasalahan pokok, yakni ketersediaan infrastruktur penunjang, sumber daya manusia, kondisi masyarakat, dan aksesibili- tas daerah yang beragam. Pemerintah memang dapat meng- andalkan program pendataan pen- duduk yang sudah ada. Selama ini pendataan kependudukan di- lakukan berdasar UU Adminis- trasi Kependudukan. Namun, proses pengakurasian data perlu dilakukan mengingat pelaksanaan administrasi kependudukan masih memiliki banyak kekurangan. Per- pindahan penduduk tidak terdata dengan baik. Hal ini mempe- ngaruhi pendataan yang sudah dilakukan pemerintah. Padahal, e- KTP bertujuan untuk menata pendataan kependudukan ganda. Selain itu, program e-KTP yang sedang berjalan di delapan kota/ kabupaten masih lemah, mengingat e-KTP akan menghubungkan data kependudukan beberapa daerah. Padahal, fasilitas infrastruk- tur di tiap-tiap daerah tidak sama. Jalan menuju penataan kepen- dudukan masih panjang. (AO/P-4) SENIN, 6 DESEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA | 23 Politik & HAM DI ZAMAN MASIH PURBA Jangan lagi Bikin Proyek untuk Ini-Itu masa depan yang ambisius, mahal, dan m itu bisa beroperasi dengan mulus? Kalau ada data ganda yang tidak terdeteksi di tingkat provinsi, akan terdeteksi di tingkat nasional.” Elvius Dailami Sekretaris Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri DOK PRIBADI MJ Baringbing Kabag Humas Imigrasi Nafsu Besar, Pengawasan Kurang Chusnul Mariyah Mantan Anggota KPU DOK PAFISIPOL UGM Erwan Agus Purwanto Dosen Fisipol UGM MI/SUSANTO Siti Zuhro Pengamat politik LIPI MI/AGUS MULYAWAN PEMBUATAN dokumen secara elektronik sejatinya menjadi pintu efisiensi. Bukan hanya bagi pengguna, tapi juga pemerintah. Begitu juga dengan rencana penerapan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) berbasis nomor induk kependudukan (NIK). Benarkah demikian? Berikut ini pandangan sejumlah pihak mengenai proyek yang diperkirakan menelan biaya triliunan rupiah itu. GALERI PENDAPAT FOKUS NUSANTARA BACA RABU! Tema: Memasarkan Keindahan Laut Nusantara ke Mancanegara GRAFIS/EBET

Upload: hoangthu

Post on 22-Mar-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

MEGAPROYEK kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP yang digarap Kementerian Dalam Negeri saat ini ternyata bukan yang pertama kali. Pada 2004, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah merintisnya mela-lui program bernama Pendaf-taran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B). Untuk mengetahui secara ter-perinci program P4B, berikut ini petikan wawancara wartawan Media Indonesia Maria Sindy Jeanindya, dengan mantan anggota KPU Chusnul Mari-yah, di Jakarta, pekan lalu.

Mengapa data jumlah pen-duduk ini menjadi krusial?

Di daerah, jumlah penduduk itu menentukan besaran ang-garan pendapatan dan belanja negara (APBN) yang diberikan kepada mereka melalui dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK). Jumlah penduduk juga akan menen-tukan berapa kursi yang bisa

didapat di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Karena itu, daerah yang penduduknya sedikit sering kali berupaya memanipulasi jumlah pen-duduknya agar bisa mendapat APBN lebih besar, atau kursi lebih banyak di DPRD. Kabu-paten Poso, di Sulawesi Tengah, misalnya, mempertahankan angka jumlah penduduknya agar jumlah anggota DPRD itu bisa naik, atau setidaknya tetap.

Apa latar belakang program P4B?

Saat KPU mempersiapkan logistik Pemilihan Umum 2004, saya menemukan bahwa KPU memiliki lima sumber data penduduk yang berbeda dan signifikan antara satu dan yang lain. Alat pendataan berbeda-beda. Seperti BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) yang men-dasarkan pada akseptor KB, se-dangkan Depdagri berdasarkan

KTP. Pa-dahal secara

ilmu demografi, penduduk adalah

seseorang yang ting-gal di satu daerah selama enam bulan. Jadi, bukan berda-sarkan kartu keluar-ga (KK). Oleh karena

itu, KPU membuat program P4B dengan 12 variabel ter-masuk variabel penyandang cacat. Semua database diperoleh pada Desember 2003.

Berapa anggaran yang dike-luarkan untuk program ini?

Dari sama sekali tidak ada data hingga KPU memiliki semua data menggunakan anggaran Rp427 miliar. Pro-gram ini dilaksanakan Badan Pusat Statistik. Namun, KPU tetap menentukan data apa saja yang diperlukan untuk database tersebut.

Mengapa P4B tidak dilan-jutkan?

Pada 8 Desember 2004, KPU menyerahkan database itu ke-pada Departemen Dalam Ne-geri (Depdagri). Gratis. Alasan-nya, karena pada 2005 akan ada pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada). Itu pun sudah menjadi janji KPU di awal, bahwa database ini akan

digunakan untuk kepentingan pembangunan, salah satunya e-government. Namun, regu-lasi selanjutnya dalam pemilu kada, data pemilih menjadi tanggung jawab Depdagri.

Melalui Instruksi Presiden No 7 tentang Pemutakhiran Data Penduduk kepada Mendagri, PP No 6 Tahun 2005, yang merupakan turunan dari UU No 32 Tahun 2004, kewajiban menyediakan data pemilih menjadi ranah pemerintah, bu-kan KPU. Akhirnya Depdagri mengubah program P4B, de-ngan menggunakan data dari KPU tadi, menjadi program Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4).

Apakah program DP4 mem-bawa perubahan lebih baik?

APBN mengalokasikan dana Rp3,8 triliun untuk program DP4. Selain itu, daerah masih mengeluarkan anggaran untuk pemutakhiran data. Saya per-nah tanya langsung ke petugas di Sampang, Jatim, berapa dana yang mereka keluarkan untuk memutakhirkan data. Petugas itu menjawab Rp750 juta.

Padahal Depdagri punya anggaran Rp3,8 triliun, dan tinggal memperbarui database dari KPU yang diberikan secara gratis. Sebelum program P4B, Depdagri juga punya program Sistem Komunikasi Dalam Ne-geri yang anggarannya Rp300 miliar. Dia beli komputer dan sebagainya, tapi tidak ada ha-silnya. Gagal total.

Lantas apa bedanya dengan

proyek e-KTP yang sedang dikerjakan Kemendagri?

Selain hasil database, dulu kita juga memberikan komputer untuk IT (teknologi informasi), dan kabel data telepon di 4.167 kecamatan. Komputer tentu saja sudah usang karena sudah 6 tahun.

Tapi, hubungan telepon de-ngan kabel data baik yang Telkom maupun yang telepon satelit tentunya masih bisa dilacak. Itu bisa juga dipakai kan sama Kemendagri? Jadi, jangan lagi bikin proyek un-tuk pengadaan ini-itu. Karena perangkat di kecamatan itu bisa digunakan untuk apa saja, termasuk e-KTP.

Bagaimana soal akurasi data? Apakah bisa mengu-rangi nomor induk kepen-dudukan (NIK) ganda?

KPU melakukan pendataan berdasarkan definisi penduduk dari teori demografi tadi. Se-mentara Depdagri melalui DP4 melakukan pemutakhiran data menggunakan KK. Contohnya saya sendiri. Saya sudah punya NIK di Jakarta, dan saya ter-daftar di KK Lamongan, Jatim. NIK saya dobel.

Sampai saat ini saya punya dua kartu pemilih. Satu yang berdasar KK, satu berdasar kependudukan. Maksud KPU, jangan membuat data baru. Bila ada yang salah, kesalahan itu saja yang diperbaiki. Apa-kah membuat yang baru pasti benar? Karena isinya sama saja. Nama, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, alamat. (P-4)

INDONESIA memang harus mem-benahi masalah kependudukan yang tidak sederhana, yang kom-pleks, ini secara komprehensif. Bagaimana institusi terkait antara BPS, Kemendagri, dan nanti daerah-daerah juga diadakan koordinasi bagaimana sistem e-KTP ini.

Karena sistem ini kan untuk long term (jangka panjang). Sebab, kalau sudah dielektronikkan, berarti kan long term, akan seperti itu terus.

Namun, saya melihat penga-wasannya masih kurang. Yang masalah kan pendataan penduduk. Kemendagri ini kan di Jakarta. Tapi, di daerah seperti apa? Contoh lain, pembuatan KTP baru di Jakarta yang sudah menerapkan NIK dan mengharuskan warga difoto di kelurahan.

Seperti pembuatan paspor, pembuat paspor difoto langsung di Imigrasi. Sayangnya, banyak petugas di kelurahan yang melaku-kan pelayanan seperti setengah hati. Jadi, sistemnya sudah bagus, tetapi pelayanan belum. (Tup/P-4)

data,” terang Elvius Dailami, Sekretaris Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri, akhir pekan lalu.

Diakuinya, sebenarnya Kemendagri punya data ha-sil Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berke-lanjutan (P4B) yang pernah dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 2004 lalu untuk persiapan Pemilu 2004 saat itu.

Namun data hasil pendataan yang memakan biaya hingga Rp407 miliar itu enggan diper-barui oleh Kemendagri dengan dalih masih kurang akurat.

“Kalau ada data ganda yang tidak terdeteksi di tingkat provinsi, akan terdeteksi di tingkat nasional. Setelah data dibersihkan dan tidak ada yang ganda, terbitlah nomor induk kependudukan (NIK) tunggal,” ucapnya.

Cara ini, lanjutnya, selain meminimalisasi data pendu-duk ganda, juga bisa mendata seluruh penduduk Indonesia, termasuk mereka yang tidak memiliki tempat tinggal tetap.

Badan Pengkajian dan Pene-rapan Teknologi (BPPT) yang digandeng oleh Kemendagri untuk menyiapkan mega-proyek itu juga sudah me-nyiapkan 11 fitur keamanan dalam pencetakan setiap e-KTP. “Misalnya anticopy, keamanan pencetakan, dan lain-lain,” kata Husni Fahmi, peneliti BPPT, yang terlibat langsung dalam pengerjaan e-KTP.

Ia memaparkan, proses pem-buatan KTP elektronik tersebut dimulai dengan pengambilan atau perekaman data yang meliputi biodata penduduk, pengambilan foto secara lang-sung, dan pengambilan sepu-luh sidik jari tangan. Menurut Husni, dibutuhkan waktu rata-rata 5 menit dalam mengum-pulkan data untuk satu orang.

Pada tahun ini Kemendagri akan menerbitkan NIK bagi 329 kabupaten/kota yang tersebar di 33 provinsi. Sementara si-sanya, yaitu 168 kabupaten/kota, akan mendapat NIK pada 2011. Namun hingga awal pekan Desember 2010, pusat data baru menerima data dari 230 daerah.

Rawan penyimpanganBesarnya anggaran, menu-

rut Elvius, tak dapat dihin-dari mengingat banyaknya infrastruktur yang serbamahal yang harus disiapkan. “Un-tuk pengadaan komputer di pusat data saja kita perlu 200 komputer. Belum untuk pusat data recovery (pemulihan data) yang rencananya diletakkan di Jatinangor (Jabar) dan Batam (Kepulauan Riau).”

Ia menyadari, dana program yang besar itu akan sangat raw-an penyelewengan. Terlebih,

masalah dana di program ini telah menyeret Direktur Direk-torat Pendaftaran Penduduk ke meja penyidikan polisi.

Proyek senilai Rp6,7 triliun memang cukup menggiurkan. Proyek yang pembiayaannya secara multiyears itu rencana-nya dibagi dalam tiga tahap.

Tahap pertama, pada 2010 akan menghabiskan Rp598 mi-liar untuk pemutakhiran data dan pemberian NIK kepada penduduk di 497 daerah, serta penerapan e-KTP di enam daer-ah yang merupakan lanjutan penerapan e-KTP pada 2009.

Kemudian pada 2011 sebesar Rp2,065 triliun untuk pene-rapan e-KTP di 191 kabupaten/kota. Dan terakhir pada 2012 sebesar Rp3,953 triliun untuk penerapan e-KTP di 300 kabu-paten/kota.

Rawannya penyelewengan dana di megaproyek itu sempat terendus oleh Komisi Pembe-rantasan Korupsi (KPK). Pada 6 November 2009, saat proyek akan dimulai, KPK telah me-nyurati Menteri Dalam Negeri soal berbagai kelemahan yang akan mengiringi pelaksanaan proyek itu.

Di antaranya soal grand de-sign pembangunan Sistem Informasi Administrasi Kepen-dudukan (SIAK) yang akan menjadi pusat data nasional. Kelemahan grand design itu adalah terlalu muluk, dan tidak selaras dengan kesia-pan penunjangnya seperti ter-batasnya jaringan, rendahnya kompetensi sumber daya ma-nusia, dan ketidakakuratan pusat data.

Wakil Ketua KPK M Jasin mengingatkan, proyek NIK dan penerapan e-KTP harus

menyertakan data biometrik dan sidik jari. “Hal ini untuk menghindari adanya data gan-da dan menghindari adanya pemborosan anggaran.”

Namun, hasil pantauan tim KPK selama Desember 2009 sampai Januari 2010 menun-jukkan hal yang sebaliknya. Pelaksanaan uji petik NIK dan penerapan e-KTP di beberapa wilayah ternyata tidak dilaku-kan secara terintegrasi.

Di beberapa daerah, pereka-man sidik jari dilakukan setelah pengambilan foto dan pencata-tan data diri, dengan rentang waktu 1-2 bulan.

Lebih parah lagi, data hasil rekaman tidak terkunci di sis-tem pusat data nasional. Hal itu bisa menimbulkan kesa-lahan dan duplikasi pencatatan

data. KPK khawatir akan terjadi

penggunaan dana triliunan rupiah yang mubazir akibat ti-dak terencananya megaproyek itu dengan baik. KPK bahkan sudah merekomendasikan agar rencana penggunaan anggaran implementasi NIK dan pene-rapan KTP berbasis NIK secara nasional pada 2010-2012 dikaji ulang karena berpotensi mem-boroskan keuangan negara.

Sebagai contoh, alokasi Rp598 miliar pada 2010 untuk pemutakhiran data dan pembe-rian NIK kepada penduduk di 497 kabupaten/kota, serta pe-nerapan e-KTP di enam kabu-paten/kota terancam mubazir. (Wta/P-2)

[email protected]

IDEALNYA, keberadaan e-KTP akan mempermudah pengurusan paspor. Namun, sampai sekarang kita belum mengatur ke situ ka-rena kita sendiri belum tahu persis seperti apa e-KTP dan data apa saja yang ada di dalamnya. Kalau dalam koordinasinya bisa berjalan dengan baik, tentu akan bisa saling membantu bahkan kalau bisa, ada saling interface.

Jadi kalau tidak terkoneksi secara online, barangkali ada seperti inter-face (salah satu media yang diguna-kan komputer untuk berkomunikasi dengan manusia). Mungkin butuh peran Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk bisa mengoneksikan program-program e-government seperti itu.

Ditjen Imigrasi, pada awal 2011, juga akan meluncurkan e-paspor. Di salah satu halaman e-paspor akan ditanamkan cip yang menyimpan data yang tidak bisa dilihat secara kasatmata. Kelebihan lain e-paspor ialah akurasi data yang ada di paspor. Masyarakat diperbolehkan untuk memilih, apakah akan memakai e-paspor atau paspor biasa. Jadi tidak ada keharusan untuk pakai e-paspor. (Ide/P-4)

PEMERINTAH selalu menemui kesulitan untuk menuntaskan pen-dataan kependudukan. Setidaknya ada empat permasalahan pokok, yakni ketersediaan infrastruktur penunjang, sumber daya manusia, kondisi masyarakat, dan aksesibili-tas daerah yang beragam.

Pemerintah memang dapat meng-andalkan program pendataan pen-duduk yang sudah ada. Selama ini pendataan kependuduk an di-lakukan berdasar UU Adminis-trasi Kependudukan. Namun, proses pengakurasian data perlu dilakukan mengingat pelaksanaan administrasi kependudukan masih memiliki banyak kekurangan. Per-

pindahan penduduk tidak terdata dengan baik. Hal ini mempe-ngaruhi pendataan yang sudah dilakukan pemerintah. Padahal, e-KTP bertujuan untuk menata pendataan kependudukan ganda.

Selain itu, program e-KTP yang sedang berjalan di delapan kota/kabupaten masih lemah, mengingat e-KTP akan menghubungkan data kependudukan beberapa daerah. Padahal, fasilitas infrastruk-tur di tiap-tiap daerah tidak sama. Jalan menuju penataan kepen-dudukan masih panjang. (AO/P-4)

SENIN, 6 DESEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA | 23Fokus Politik & HAM

E-KTP di Zaman yang masih Purba

Jangan lagi Bikin Proyek untuk Ini-Itu

Sedianya e-KTP merupakan proyek masa depan yang ambisius, mahal, dan berteknologi tinggi. Apakah program itu bisa beroperasi dengan mulus?

Kalau ada data ganda yang tidak terdeteksi di tingkat provinsi, akan terdeteksi di tingkat nasional.”

Elvius DailamiSekretaris Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri

DOK PRIbaDI

MJ BaringbingKabag Humas Imigrasi

Nafsu Besar, Pengawasan

Kurang

Chusnul MariyahMantan Anggota KPU

DOK PafIsIPOl ugm

Erwan Agus PurwantoDosen Fisipol UGM

mI/susantO

Siti ZuhroPengamat politik LIPI

mI/agus mulyawan

PEMBUATAN dokumen secara elektronik sejatinya menjadi pintu efisiensi. Bukan hanya bagi pengguna, tapi juga pemerintah. Begitu juga dengan rencana penerapan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) berbasis nomor induk kependudukan (NIK).

Benarkah demikian? Berikut ini pandangan sejumlah pihak mengenai proyek yang diperkirakan menelan biaya triliunan rupiah itu.

GALERI PENDAPAT

FOKUSNUSANTARA

BACA RABU!

Tema:

Memasarkan KeindahanLaut Nusantara ke Mancanegara

gRafIs/EbEt