fix makalah sle

Upload: denata-prabhasiwi

Post on 04-Apr-2018

245 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/29/2019 Fix Makalah Sle

    1/28

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit multisistem yang disebabkan oleh

    kerusakan jaringan akibat deposisi immune complex . Terdapat spektrum manifestasi klinis yang

    luas dengan remisi dan eksaserbasi. Respons imun patogenik mungkin berasal dari pencetus

    lingkungan serta adanya gen tertentu yang rentan. Dari berbagai penelitian epidemiologik terlihat

    bahwa angka kejadian penyakit ini semakin meningkat dengan nyata, sebagian mungkin karena

    bertambah baiknya pemahaman dokter mengenai cara-cara mengdiagnosis SLE. Meskipun

    harapan hidup penderita SLE di negara-negara barat semakin baik, tetapi di negara berkembang

    termasuk Indonesia, ternyata masih belum memuaskan

    Patogenesis SLE sampai sekarang belum dipahami secara tuntas, meski jelas hal ini

    berhubungan dengan hilangnya toleransi diri (self tolerance), yang mengakibatkan terbentuknya

    autoantibody dan selanjutnya menyebabkan kerusakan jaringan. Lebih jauh lagi diketahui bahwa

    kerusakan jaringan itu tidak hanya diperantai oleh immune complex, tetapi juga oleh sel T,

    sitokin, kemokin serta molekul radikal oxygen teraktivasi dan produk-produk dari aktivasi

    komplemen. Penatalaksanaan SLE tetap merupakan masalah karena sampai saat ini belum ada

    penamganan yang menghasilkan penyembuhan secara total, dapat terjadieksaserbasi setelah

    masa stabil beberapa bulan dan juga efek samping pengobatan.

    BAB II

    1

  • 7/29/2019 Fix Makalah Sle

    2/28

    LAPORAN KASUS

    Mulan, wanita 25 tahun, belum menikah, dating berobat kepada seoramg GP dua tahun

    yang lalu dengan keluhan utama nyeri sendi pada kedua pergelangan tangan, jari-jari tangan dan

    kedua pegelangan kaki.

    Pemeriksaan saat itu mneunjukan semua tanda vital dalam batas normal. Nampak bercak

    kemerahan di kedua pipi dan lebih jelas di daerah sekitar hidung. Dalam anamnesis bercak

    merah tersebut muncul lebih hebat setelah terkena panas matahari antara 1 sampai 2 jam. Sendi-

    sendi pergelangan tangan dan jari-jari tangan nampak bengkak dan nyeri tekan. Pemeriksaan

    fisik lain dalam batas normal. Pada pemeriksaan laboratorium: Ht 35%, leukosit 9800/mm3,

    hitung jenis leukosit normal. LED 40 mm/jam, ANA positif 1:256.

    Tiga bulan kemudan Mulan merasakan lesu dan lelah sepanjang hari. Ia berpikirr

    mengalami flu syndrome. Dalam 1 minggu terakhir ini dia mengalami bengkak kedua kaki

    sampai di pergelangannya.pada pemeriksaan di dapati pitting oedema kaki. Pada pemeriksaan

    abdomen ditemukan shifting dullness pada perkusi.

    Pemeriksaan laboratorium memperlihatkan ANA positif masih dengan titer 1:256, LED

    120mm/jam albumin serum 0,8 g/dl. Serum komplemen C3 42 mg/dl (normal: 80-180) dan C4

    5mg/dl (normal: 15-45). Urinalisis: proteinuria 4+, hematuria, pyuria, dan ditemukan silinde

    bergranula. Urin 24 jam mengandung 4g protein.

    BAB III

    2

  • 7/29/2019 Fix Makalah Sle

    3/28

    PEMBAHASAN

    Setelah melihat dari laporan kasus diatas, pasien datang dengan keluhan utama nyeri

    sendi pada kedua pergelangan tangan, jari jari tangan, dan kedua pergelangan kaki sejak 2

    tahun yang lalu. Berikut merupakan masalah yang terdapat pada pasien, yaitu :

    1. Jenis kelamin wanita

    2. Umur 25 tahun

    3. Sejak 2 tahun lalu, pasien datang ke GP, berikut merupakan masalah yang

    terdapat pada pasien :

    - Nyeri sendi pada kedua pergelangan tangan, jari jari tangan, dan kedua

    pergelangan kaki.

    - Bercak kemerahan di kedua pipi dan lebih jelas di sekitar hidung, Dalam

    anamnesis, bercak merah tersebut muncul lebih hebat setelah terkena panas

    matahri antara 1 2 jam.

    - Sendi sendi pergelangan tangan dan jari jari tangan nampak bengkak dan

    nyeri tekan.

    - Pada pemeriksaan laboratorium, kadar tidak normal ditemukan pada LED : 40

    mm/jam, dan ANA positif 1:256.4. Tiga bulan kemudian, pasien merasakan lesu dan lelah sepanjang hari, ia berpikir mengalami

    flu like syndrome.

    5. Dalam 1 minggu terakhir ini, berikut merupakan masalah pasien :

    - Bengkak di kedua kaki sampai di pergelangannya.

    - Pitting oedema.

    - Shifting dullness.

    - Pada pemeriksaan laboratorium, kadar tidak normal ditemukan pada ANA

    positif masih dengan titer 1:256, LED : 120 mm/jam, albumin serum : 0,8

    g/dl, serum komplemen C3 42 mg/dl, C4 : 5 mg/dl.

    - Pada urinanalisis antara lain adalah proteinuria +4, hematuria, pyuria, silinder

    bergranula, dan urin 24 jam mengandung 4 g protein.

    3

  • 7/29/2019 Fix Makalah Sle

    4/28

    Hipotesis

    1. Lupus Eritematosus Sistemik.

    2. Rematoid Arthritis.

    Interpretasi masalah

    Perbedaan antara Lupus Eritematosus Sistemik dengan Rematoid Arthritis dilihat dari

    kriteria diagnosis yang di tentukan oleh American College Of Rhematology ( ACR ). Berikut

    merupakan gejala yang ada pada pasien :

    1. Lupus Eritematosus Sistemik : Ruam malar, fotosensitifitas, arthritis, kelainan ginjal

    yaitu proteinuria persisten > 0,5 gr/hari, atau adanya silinder seluler, Antibodi antinuklear

    ( ANA ) positif.

    2. Rematoid Arthritis : Arthritis sendi - sendi jari - jari tangan, arthritis yang simetris.

    Penyakit autoimun memang lebih banyak menyerang wanita daripada laki laki dilihat

    dari epidemiologi penyakit tersebut. Sembilan puluh persen pasien LES adalah wanita usia

    produktif. Puncak insidensinya usia antara 15- 40 tahun, dengan perbandingan pria dan wanita 6-

    10:1. Namun untuk onset dapat bervariasi mulai dari bayi sampai dengan usia lanjut, dan pada

    kelompok usia ini perbandingan antara pria dan wanita adalah 2:1. Pada wanita, hormon

    esterogen yang salah satu fungsi penting yang berkaitan dengan penyakit ini adalah

    memperpanjang masa aktivasi dari limfosit T, dimana pada penyakit SLE terjadi hipereaktivitas

    dan hipersensitivitas pada sel limfosit T dan sel limfosit B, sehingga wanita lebih sering

    mengalaminya.

    Ruam dan hipersensitivitas terhadap cahaya ( photosensitivity) pada pasien yang muncul

    lebih hebat setelah terkena panas matahri antara 1 2 jam. C a h a y a m a t a h ar i m e m il i k i

    s i n a r u l t r a v i o l e t ( U V ) , s i n a r U V m e r u s a k s e l d a r i k u l i t (keratino sit) da n

    menyebabkan sel menjadi mati.

    Pada orang sehat tanpa lupus, sel yang mati ini akan dibuang dengan cepat dan inflamasi

    yang diinduksi oleh matahari akan menginduksi kerusakan kulit dengan cepat (sun burn), dimana

    pada pasien lupus, sel kuli t le bih sensi ti f terhadap su nburn dan dengan adanya

    peningkat an kejadian ya ng menye babkan kematian sel (apoptosi s) yang tid ak

    4

  • 7/29/2019 Fix Makalah Sle

    5/28

    dibersihkan secara efisien akibatnya isi dari sel yang mati dapat dilepaskan dan

    menyebabkan inf lama si. Selain itu sel tersebut memiliki DNA dan molekul- molekul

    termasuk Ro yang secara normal tidak terpapar pada sel imun sehingga menyeb abkan

    reaksi imu n.Akibatnya orangyang menderita lupus akan mengalami ruam fotosensitivitas

    yang disebut ruam malar.

    Limfosit B synovial memproduksi IgG ab norma l, IgM yang dibentuk dari tubuh

    berikatan dengan IgG abnormal memproduksi faktor rheumatoid dan kemudian terjadilah

    pembentukan kompleks imun pada sinovial dan atau kartilago.

    Pembentukan kompleks imunmengaktivasi komplemen jalur klasik dan alternatifdan terjadilah

    respon inflamasi yang menyebabkan arthritis. Proses tersebut menyebabkan pasien merasakan

    nyeri dan bengkak pada sendi sendinya.

    Pitting edema dapat ditunjukan dengan menggunakan tekanan pada area yang

    membengkak dengan menekan kulit dengan jari tangan. Jika tekanan menyebabkan lekukan ang

    bertahan untuk beberapa waktu setelah pelepasan dari tekanan, edema dirujuk sebagai pitting

    edema. Edema terbentuk pada pasien-pasien dengan penyakit ginjal untuk dua sebab-sebab yaitu

    kehilangan protein yang berat dalam urin, atau fungsi ginjal (renal) yang terganggu. Karena

    albumin membantu mempertahankan volume darah pada pembuluh-pembuluh darah,pengurangan cairan pada pembuluh-pembuluh darah terjadi. Ginjal-ginjal kemudian mencatat

    bahwa ada penipisan atau pengurangan volume darah dan, oleh karenanya, mencoba untuk

    menahan garam. Dengan konsekuensi, cairan bergerak kedalam ruang-ruang interstitial, dengan

    demikian menyebabkan pitting edema. Sedangkan shifting dullness pada pasien menunjukkan

    ascites yang positif pada pemeriksaan.

    Anamnesis

    1. Apakah merasakan kekakuan sendi pada pagi hari?

    2. Apakah ada gejala penyerta?

    3. Apakah sedang haid?

    4. Bagaimana dengan gaya hidup pasien (seperti merokok)?

    5

  • 7/29/2019 Fix Makalah Sle

    6/28

    5. Pernah mengonsumsi obat apa saja?

    6. Apakah keluarga juga ada yang menderita penyakit yang sama?

    Pemeriksaan Fisik

    Pemeriksaan fisik pada pasien SLE tidak jauh berbeda dari pemeriksaan pasien pada umumnya,

    tetapi lebih dispesifikan pada tanda-tanda/kriteria dari SLE untuk mendukung diagnosis.

    1. Cek Keadaan umum pasien

    Kesadaran, berat badan dan tinggi badan, warna kulit, dan konjunctiva.

    2. Tanda Vital pasien

    Suhu, tekanan darah, denyut nadi, respiratory rate.

    3. Inspeksi

    Perhatikan bercak kemerahan (malar rash) pada kulit pasien dan bagian tubuh

    lainnya, perhatikan juga keadaan mulut pasien, apakah ada ulkus oral, dan

    pembengkakan pada ekstremitas pasien ini.

    4. PalpasiPalpasi pada abdomen untuk mengetahui apakah ada pembesaran hati (hepatomegali)

    karena lupus memungkinkan untuk terjadinya hepatomegali. Dan periksa juga pada

    tempat sendi yang sakit, apakah terasa hangat.

    5. Perkusi

    Adanya pekak alih pada abdomen menunjukan adanya acsites.

    6. Auskultasi

    6

  • 7/29/2019 Fix Makalah Sle

    7/28

    Mendengarkan bunyi jantung apakah ada bunyi jantung abnormal (heart murmur)

    karena salah satu tanda dari SLE adalah adanya pericarditis, dan pericarditis ditandai

    dengan adanya suara gesekan dari lapisan jantung. Juga perhatikan suara paru

    abnormal yang menunjukan adanya pleuritis.

    Pemeriksaan Laboratorium

    Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan :

    1. Sejak 2 tahun yang lalu :

    o Ht 35% (Normal : 36% - 44%)

    o Leukosit 9800/mm3 (Normal : 5.000 10.000/mm3)

    o Hitung jenis leukosit normal (Normal)

    o LED 40 mm/jam (Normal : 0 15 mm/jam)

    o ANA positif 1:256

    2. Sejak 1 minggu terakhir :

    o ANA positif masih dengan titer 1:256

    o LED 120mm/jam (Normal : 0 15 mm/jam)

    o Albumin serum 0,8 g/dl (Normal : 3,2 5 g/dl)

    o Serum komplemen C3 42 mg/dl (normal: 80-180) dan C4 5mg/dl

    (normal: 15-45)

    o Urinalisis :

    Proteinuria +4

    Hematuria

    Pyuria

    Silinder bergranula

    Urin 24 jam mengandung 4 g protein

    Interpretasi hasil laboratorium

    7

  • 7/29/2019 Fix Makalah Sle

    8/28

    Hasil yang tidak normal ditunjukkan pada LED yang sangat meningkat, pemeriksaan

    Anti Nuclear Antibody (ANA) yang positif, penurunan serum komplemen C3 dan C4,

    hipoalbuminemia, dan pada urinanalisis menunjukkan proteinuria +4, hematuria, pyuria, silinder

    bergranula, dan urin 24 jam mengandung 4 gram protein. LED yang meningkat menunjukkan

    adanya inflamasi yang kronis mengingat keluhan sudah ditimbulkan sejak 2 tahun yang lalu.

    Titer normal dari ANA adalah 1:40. Titer yang lebih tinggi menandakan sebuah penyakit

    otoimun. Adanya ANA mengindikasikan lupus erythematosus (terdapat pada 80-90% dari

    kasus). Hal serupa juga timbul pada 60% kasus sindrom Sjorgen, Rhematoid Arthritis, hepatitis

    autoimun, skleroderma, polimiositis, dermatositis dan berbagai kondisi non-rheumatologis yang

    berhubungan dengan kerusakan jaringan. Defisiensi komplemen C3 akan menyebabkan

    kepekaan terhadap infeksi meningkat, keadaan ini merupakan predisposisi untuk timbulnya

    penyakit kompleks imun. Penyakit kompleks imun selain disebabkan karena defisiensi C3, juga

    dapat disebabkan karena defisiensi komplemen C2 dan C4 yang terletak pada MHC kelas II yang

    bertugas mengawasi interaksi sel-sel imunokompeten yaitu sel Th dan sel B. Komplemen

    berperan dalam sistem pertahanan tubuh, antara lain melalui proses opsonisasi, untuk

    memudahkan eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau makrofag. Kompleks imun akan

    diikat oleh reseptor komplemen (Complement receptor= C-R) yang terdapat pada permukaan sel

    karier atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen, eliminasi kompleks imun terhambat,

    sehingga jumlah kompleks imun menjadi berlebihan dan berada dalam sirkulasi lebih lama.

    Hipoalbuminemia pada kasus diatas diduga berhubungan dengan kebocoran pada

    glomerulus yang menyebabkan protein tidak tersaring sehingga terjadi penurunan kadar albumin

    dalam darah. Urinanalisis juga menunjukkan gejala glomerulonephritis yang ditandari dengan

    proteinuria, hematuria, pyuria, silinder bergranula, dan urin 24 jam yang mengandung 4 gram

    protein.

    Glomerulus yang seharusnya dapat menyaring protein dan darah, tidak dapat melakukan

    fungsinya dengan baik akibat defek dari penyakit SLE sehingga mengalami kebocoran.

    Kompleks imun yang kemungkinan mengendap pada glomerulus menyebabkan berbagai defek

    seperti yang telah disebutkan diatas. Kelaian pada ginjal termasuk dalam kriteria diagnosis SLE

    menurutAmerican College of Rheumatology (ACR) dimana proteinuria menetap > 0.5 g/hari atau

    8

    http://id.wikipedia.org/wiki/Lupus_erythematosushttp://id.wikipedia.org/wiki/Lupus_erythematosus
  • 7/29/2019 Fix Makalah Sle

    9/28

    pemeriksaan proteinuria urin sewaktu > 3+ dan juga Celular cast dapat berupa sel eritrosit,

    hemoglobin, granular, tubular atau campuran.

    Pemeriksaan Penunjang

    Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain adalah foto Ro dimana tujuannya adalah

    melihat kemungkinan adanya kelainan pada organ organ pada mediastinum akibat defek dari

    SLE.

    Diagnosis

    Lupus Eritematosis Sistemik (LES) dengan glomerulonefritis.

    Diagnosis Banding

    Rhematoid Arthritis.

    Penatalaksanaan

    A. Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien antara lain :

    1. Pada semua penderita yang diduga menderita nefritis lupus harus dilakukan

    biopsy ginjal bila tidak ada kontra indikasi, karena hal ini akan menentukan

    strategi penatalaksanaan lebih lanjut.

    2. Kurangi asupan protein dikarenakan terdapat gangguan pada fungsi ginjal.

    3. Berikan loop diuretics untuk mengatasi udem.

    4. Hindari penggunaan salisilat dan obat anti inflamasi non steroid.5. Hindari kehamilan karena penderita nefritis lupus yang hamil akan beresiko tinggi

    untuk mengalami gagal ginjal.

    6. Pemantauan berkala aktifitas penyakit dan fungsi ginjal yang meliputi tekanan

    darah, sedimen urin, kreatinin, serum, albumin serum, protein 24 jam, komplemen

    C3, dan anti DNA.

    9

  • 7/29/2019 Fix Makalah Sle

    10/28

    B. Berdasarkan hasil biopsi ginjal, maka diberikan terapi spesifik untuk pasien ini, yaitu :

    1. Kelas I . Tidak diperlukan terapi spesifik

    2. Kelas II. Beberapa penderita dengan lesi mesangial, tidak memerlukan terapi

    spesifik. Penderita kelas IIb dengan proteinuria >1 gram/hari, titer anti ds-DNA

    yang tinggi dan C3 yang rendah, harus diberikan prednison 20mg/hari selama 6

    minggu sampai 3 bulan, kemudian dosisnya diturunkan bertahap, tergantung

    aktifikasi penyakit

    3. Kelas III dan IV. Pada keadaan ini, resiko untuk terjadinya gagal ginjal dalam 10

    tahun lebih dari 50%, sehingga harus diberikan terapi agresif. Diberikan

    prednison 1mg/kgBB/hari minimal selama 6 minggu tergantung respons

    kliniknya, kemudian dosisnya diturunkan secara bertahap dan dipertahankan pada

    dosis 10-15 mg/hari selama 2 tahun. Bila repsons terhadap glukokortikoid tidak

    dapat dicapai, berikan siklofosfamid 500-1000 mg/m2 setiap bulan selama 6 bulan

    kemudian 3 bulan sekali selama 2 tahun. Bila setelah dicapai perbaikan kemudian

    timbul perburukan lagi, dosis siklofosfamid bulanan dapat diulang kembali atau

    diberikan tambahan bolus metilprednisolon tiap bulan. Bila terjadi perburukan

    fungsi ginjal, dapat dipertimbangkan pemberian bolus metilprednison atau

    afaresis. Sebagai gantinya siklofosfamid, dapat juga diberikan azatioprin, tetapi

    efektifitasnya lebih rendah daripada siklofosfamid.

    4. Kelas V. Diberikan prenison 1 mg/kg BB/hari selama 6-12 minggu, kemudian

    dosis diturunkan secara bertahap sampai mencapai 10 ng/hari dan dipertahankan

    sampai 1-2 tahun.

    Obat sitotoksik jarang diperlukan, kecuali bila ada komponen proliferatif. Lesi

    membranosa murni sangat jarang ditemukan, dan bila ditemukan dapat

    dipertimbangkan pemberian siklosporin-A.

    5. Penderita denga kadar kreatinin serum lebih dari 3 mg/dl untuk jangka panjang,

    tidak dianjurkan pemberian obat sitotoksik. Penderita ini memerlukan dialisis atau

    transplantasi ginjal. Untuk mengontrol manifestasi ekstrarenal, dapat diberikan

    prednison dosis pemeliharaan 5-10 mg/hari. Restriksi protein dan garam juga

    harus diperhatikan, demikian juga tekanan darahnya.

    10

  • 7/29/2019 Fix Makalah Sle

    11/28

    C. Penatalaksanaan non farmakologis untuk pasien antara lain :

    a. Edukasi

    b. Dukungan sosial dan psikologis

    c. Istirahat

    d. Tabir surya

    e. Monitor ketat

    Komplikasi

    Komplikasi yang terjadi pada pasien Lupus Eritematosus Sistemik antara lain :

    1. Gagal ginjal adalah penyebab tersering kematian pada penderita SLE.Gagal ginjal dapat

    terjadi akibat deposit kompleks antibody-antigen padaglomerulus disertai pengaktifankomplemen resultan yang menyebabkancedera sel, suatu contoh reaksi hipersensitivitas

    tipe III.

    2. Dapat terjadi perikarditis (peradangan kantong perikardium yang mengelilingi jantung).

    3. Peradangan membran pleura yang mengelilingi paru dapat membatasi pernafasan.sering terjadi

    bronkitis.

    4. Dapat terjadi vaskulitis disemua pembulu serebrum dan perifer.

    5. Komplikasi susunan saraf pusat termasuk stroke dan kejang. Perubahankepribadian, termasuk

    psikosis dan depresi dapat terjadi. Perubahankepribadian mungkin berkaitan dengan terapi obat

    atau penyakitnya.

    Prognosis

    11

  • 7/29/2019 Fix Makalah Sle

    12/28

    1. Ad vitam : Ad Malam

    2. Ad functionam : Dubia Ad Malam

    3. Ad sanationam : Dubia Ad Malam

    Tinjauan Pustaka

    Lupus Eritematosus Sistemik (selanjutnya disingkat sebagai LES) merupakan penyakit

    autoimun multisistem yang berat, dimana tubuh membentuk berbagai jenis antibodi, termasuk

    antibodi terhadap antigen nuklear (ANAs), sehingga menyebabkan kerusakan berbagai organ.

    Manifestasi klinisnya tergantung organ mana yang terkena. Dengan demikian tampilan klinis

    LES sangat bervariasi baik berat-ringannnya maupun gejala dan tandanya.

    Hal ini tentu saja menyulitkan dokter untuk mendiagnosis secara dini. Jika pasien terdiagnosis

    dalam keadaan sudah jelas semua tanda dan gejalanya timbul, biasanya penyakitnya sudah berat,

    penatalaksaannya lebih sulit, butuh obat-obatan yang lebih mahal dan prognosisnyapun lebih

    buruk.

    Epidemiologi LES

    Sembilan puluh persen pasien LES adalah wanita usia produktif. puncak insidensinya

    usia antara 15- 40, dengan perbandingan pria dan wanita 6-10:1. Namun untuk onset dapat

    bervariasi mulai dari bayi sampai dengan usia lanjut, dan pada kelompok usia ini perbandingan

    antara pria dan wanita adalah 2:1.

    Patogenesis LES

    Memahami patogenesis LES sangat penting agar dapat menentukan terapi yang paling

    efektif. LES ditandai dengan adanya produksi autoantibodi, terbentuknya kompleks imun, dan

    12

  • 7/29/2019 Fix Makalah Sle

    13/28

    episode aktivasi komplemen yang tidak terkendali. LES disebabkan oleh interaksi antara gen

    yang dicurigai berperan pada LES dan faktor lingkungan yang menghasilkan respon imun

    abnormal. Respon tersebut terdiri dari hiperaktivitas sel T helper sehingga terjadi hiperaktivitas

    sel B juga. Terjadi gangguan mekanisme downregulating yang menimbulkan respon imun

    abnormal antara lain produksi autoantibodi yang beberapa diantaranya membentuk kompleks

    imun, dan depositnya dijaringan menimbulkan kerusakan.

    Etiologi LES

    Etiologi lupus secara pasti masih belum jelas. Menurut anggapan sekarang penyakit LES

    dapat ditimbulkan karena gangguan sistem imun pada sel B dan sel T, atau pada interaksi antara

    kedua sel tersebut. Hal tersebut akan menyebabkan aktivasi sel-sel B poliklonal, akibatnya

    terjadi pembentukan autoantibodi secara berlebihan. Autoantibodi adalah antibodi patologik

    yang terbentuk akibat sistem imun tubuh tidak dapat membedakan antara self dan nonself .

    Selain itu banyak faktor lain yang berperan terhadap timbulnya penyakit LES, antara lain faktor

    genetik, defisiensi komplemen, hormon, lingkungan, stress, obat-obatan dan faktor-faktor lain :

    1. Genetik

    Beberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LES dengan gen Human

    Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major Histocompatibility Complex (MHC)

    kelas II.

    Individu dengan gen HLA DR2 dan DR3 mempunyai risiko relatif menderita penyakit LES 2-

    3 kali lebih besar daripada yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA DR5. Peneliti lain

    menemukan bahwa penderita penyakit LES yang mempunyai epitop antigen HLA-DR2

    cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA, sedangkan penderita yang mempunyai

    epitop HLA-DR3 cenderung membentuk autoantibodi anti-Ro/SS-A dan anti-La/SS-B.

    Penderita penyakit LES dengan epitop-epitop HLA-DR4 dan HLA-DR5 memproduksi

    autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP.

    2. Defisiensi komplemen

    13

  • 7/29/2019 Fix Makalah Sle

    14/28

    Pada penderita penyakit LES sering ditemukan defisiensi komplemen C3 dan atau C4, yaitu

    pada penderita penyakit LES dengan manifestasi ginjal. Defisiensi komplemen C3 dan atau

    C4 jarang ditemukan pada penderita penyakit LES dengan manifestasi pada kulit dan susunan

    saraf pusat. Individu yang mengalami defek pada komponen-komponen komplemennya,

    seperti Clq, Clr, Cls mempunyai predisposisi menderita penyakit LES dan nefritis lupus.

    3. Hormon

    Pada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imuns sedangkan estrogen

    memperkuat sistem imun. Predominan lupus pada wanita dibandingkan pria memperlihatkan

    adanya pengaruh hormon seks dalam patogenesis lupus. Pada percobaan di tikus dengan

    pemberian testosteron mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian estrogen memperberat

    penyakit.

    4. Lingkungan

    Pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi (bakteri, virus, protozoa), dan obat-obatan dapat

    mencetuskan atau memperberat penyakit autoimun. Mekanismenya dapat melalui aktivasi sel

    B poliklonal atau dengan meningkatkan ekspresi MHC kelas I atau II.

    5. Obat-obatan

    Beberapa macam obat telah diketahui menyebabkan timbulnya gejala klinik yang menyerupai

    penyakit LES ini. Obat-obatan yang telah disepakati berhubungan erat dengan kejadian lupus

    ini diantaranya : Carbamazepine, Chlorpromazine, Diphenylhydantoin, Ethosuximide,Hydralazine, Isoniazid, Methyldopa, Penicillamine, Procainamide, Quinidine, dan

    Sulfasalazine. Obat-obat tersebut diduga dapat bereaksi dengan antigen DNA atau histon dan

    menyebabkan antigen-antigen tersebut menjadi lebih imunogenik.

    6. Stres

    14

  • 7/29/2019 Fix Makalah Sle

    15/28

    Stres mempengaruhi respon imun dan sistem saraf pusat. Sistem imun seperti halnya sistem

    yang mempertahankan homeostasis tubuh lainnya, terintegrasi dalam proses-proses fisiologis

    lain dan dimodifikasi oleh otak. Faktor-faktor lain seperti usia, neoplasia, gizi dapat

    berpengaruh terhadap penyakit autoimun. Diduga faktor-faktor tersebut dapat menimbulkan

    aktivasi poliklonal sel B.

    Diagnosis LES

    Diagnosis LES dibuat dengan kombinasi data-data temuan klinis, patologi dan laboratorium,

    berdasarkan kriteria dariAmerican College of Rheumatology (ACR). Kriteria ini semula disusun

    untuk kriteria inklusi clinical trials dan studi populasi bukan untuk diagnosis. Kriteria ini

    mempunyai sensitivitas 90% dan spesifisitas 99% untuk dapat membedakan dengan artritis

    reumatoid dan penyakit lainnya.

    A. Lupus Eritematosus Sistemik

    Ruam malar

    Ruam diskoid

    Fotosensitifitas

    Ulserasi di mulut atau nasofaring

    Arthritis

    Serositis, yaitu pleuritis atau perikarditis

    Kelainan ginjal, yaitu proteinuria persisten > 0,5 gr/hari, atau adanya silinder

    seluler

    Kelainan neurologik, yaitu kejang-kejang atau psikosis

    Kelainan hematologik, yaitu anemia hemolitik, leukopenia, limfopenia, atau

    trobositopenia

    Kelainan imunologik, yaitu sel-sel lupus eritematosus ( LE ) positif, anti DNA,

    anti-Sm atau suatu uji serologik positif palsu untuk sifilis

    Antibodi antinuklear ( ANA ) positif

    15

  • 7/29/2019 Fix Makalah Sle

    16/28

    B. Rematoid Arthritis

    Kekakuan pagi hari

    Arthritis pada tiga atau lebih sendi

    Arthritis sendi - sendi jari - jari tangan

    Arthritis yang simetris

    Nodul reumatoid

    Faktor reumatoid dalam serum

    Perubahan-perubahan radiologik ( erosi atau dekalsifikasi tulang )

    Penatalaksanaan LES

    Non Farmakologis

    1. Edukasi

    Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan penyakit yang

    kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang berbagai macam manifestasi

    klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit yang berbeda-beda sehingga penderita

    dapat memahami dan mengurangi rasa cemas yang berlebihan.

    2. Dukungan sosial dan psikologis.

    Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut sertakan peer group atau

    support group sesama penderita lupus. Di Indonesia ada 2 organisasi pasien Lupus, yakni

    care for Lupus SD di Bandung dan Yayasan Lupus Indonesia di Jakarta. Mereka bekerjasama

    melaksanakan kegiatan edukasi pasien dan masyarakat mengenai lupus. Selain itu merekapun

    memberikan advokasi dan bantuan finansial untulk pasienyang kurang mampu dalam

    pengobatan.

    3. Istirahat

    16

  • 7/29/2019 Fix Makalah Sle

    17/28

    Penderita SLE sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup, selain perlu

    dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi.

    4. Tabir surya

    Pada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar matahari,

    sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang berlebihan dan

    menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit sebelum terpapar, diulang tiap

    4-6 jam.

    5. Monitor ketat

    Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat demamyang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat sejalan dengan pemberian obat

    immunosupresi dan kortikosteroid. Risiko kejadian penyakit kejadian kardiovaskuler,

    osteoporosis dan keganasan juga meningkat pada penderita SLE, sehingga perlu

    pengendalian faktor risiko seperi merokok, obesitas, dislipidemia dan hipertensi.

    Farmakologis

    Terapi Imunomodulator

    1. Siklofosfamid

    Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat, terutama nefropati lupus.

    Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1 gram/m 2) lebih efektif

    dibanding hanya kortikosteroid saja, dalam pencegahan sequele ginjal, mempertahankan

    fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal. Manifestasi non renal yang efektif dengan

    siklofosfamid adalah sitopenia, kelainan sistem saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis.

    17

  • 7/29/2019 Fix Makalah Sle

    18/28

    Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai 2,5-3 mg/kgBB

    dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit > 3500/mm3. Monitoring jumlah leukosit

    dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi intravena dengan dosis 0,5-1 gram/m2 setiap 1-3 bulan.

    2. Mycophenolate mofetil (MMF)

    MMF merupakan inhibitor reversibel inosine monophosphate dehydrogenase, yaitu suatu

    enzim yang penting untuk sintesis purin. MMF akan mencegah proliferasi sel B dan T serta

    mengurangi ekspresi molekul adhesi. MMF secara efektif mengurangi proteinuria dan

    memperbaiki kreatinin serum pada penderita SLE dan nefritis yang resisten terhadap

    siklofosfamid. Efek samping yang terjadi umumnya adalah leukopenia, nausea dan diare.

    Kombinasi MMF dan Prednison sama efektifnya dengan pemberian siklosfosfamid oral dan

    prednison yang dilanjutkan dengan azathioprine dan prednisone.

    MMF diberikan dengan dosis 500-1000 mg dua kali sehari sampai adanya respons terapi dan

    dosis obat disesuaikan dengan respons tersebut. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus

    yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.

    3. Azathioprine

    Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan

    mempengaruhi fungsi imun seluler dan humoral.

    Pada SLE obat ini digunakan sebagai alternatif siklofosfamid untuk pengobatan lupus

    nefritis atau sebagaisteroid sparing agentuntuk manifestasi non renal seperti miositis dan

    sinovitis yang refrakter. Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dapat

    dinaikkan dengan interval waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3 mg/kgBB/hari dengan syarat

    jumlah leukosit > 3500/mm3 dan metrofil > 1000.

    4. Leflunomide (Arava)

    Leflunomide merupakan suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin yang disetujui pada

    pengobatan rheumatoid arthritis. Beberapa penelitian telah melaporkan keuntungan pada

    18

  • 7/29/2019 Fix Makalah Sle

    19/28

    pasien SLE yang pada mulanya diberikan karena ketergantungan steroid. Pemberian dimulai

    dengan loading dosis 100 mg/hari untuk 3 hari kemudian diikuti dengan 20 mg/hari.

    5. Methotrexate

    Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali seminggu, dan terbukti

    efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang biasa terjadi adalah

    peningkatan serum transaminase, gangguan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer, sehingga

    perlu dimonitor ketat fungsi hati dan ginjal. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang

    mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.

    6. Siklosporin

    Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi dan

    menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter imunologi

    (C3, C4, anti-ds DNA) dan aktifitas penyakit.

    Agen Biologis

    1. Aktivasi sel T, interaksi sel T dan sel B, deplesi sel B

    Perkembangan terapi terakhir telah memusatkan perhatian terhadap fungsi sel B dalammengambil autoAg dan mempresentasikannya melalui immunoglobulin spesifik terhadap

    sel T di permukaan sel, selanjutnya mempengaruhi respons imun dependen sel T. Anti

    CD 20 adalah suatu antibodi monoklonal yang melawan reseptor CD 20 yang

    dipresentasikan limfosit B.

    19

  • 7/29/2019 Fix Makalah Sle

    20/28

    2. Anti CD 20

    Anti CD 20 (Rituximab; Rituxan) memiliki pontensi terapi untuk SLE yang refrakter.

    Beberapa penelitian memberikan keberhasilan terapi pada manifestasi lupus refrakter

    seperti sistem saraf pusat, vaskulitis dan gangguan hematologi.

    3. LJP 394

    LJP 394 (Abetimus sodium; Riquent) telah didisain untuk mencegah rekurensi flare renal

    pada pasien nefritis dengan cara mengurangi antibody terhadap ds-DNA melalui toleransi

    spesifik antigen secara selektif. Substansi ini merupakan suatu senyawa sintetik yang

    terdiri dari rangkaian deoksiribonukleotida yang terikat pada rantai trietilen glikol.

    4. Anti B lymphocyte stimulator

    Stimulator limfosit B (BlyS) merupakan bagian dari sitokin TNF (tumor necrosis factor),

    yang mempresentasikan sel B. LymphoStatB merupakan antibod monoklonal terhadap

    BlyS.

    5. Sitokin inhibitor

    Meskipun telah ada penelitian yang menunjukkan penurunan sekresi TNF alfa dan

    meliorasi leukopenia, proteinuria dan deposisi imun kompleks pada binatang percobaan,

    namun tidak ada studi klinis agen anti TNF yang diberikan pada penderita SLE.

    6. Anti malaria

    Obat anti malaria yang digunakan pada SLE adalah hidroksiklorokuin, klorokuin, dan

    quinakrin. Digunakan untuk keluhan konstitusional, manifestasi di kulit, musculoskeletal

    dan serositis.

    Hormon Seks

    Bromokriptin yang secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi prolaktin

    terbukti bermanfaat mengurangi aktifitas penyakit SLE. Dehidroepiandrosteron (DHEA)

    20

  • 7/29/2019 Fix Makalah Sle

    21/28

    bermanfaat untuk SLE dengan aktifitas ringan sampai sedang. Danazole (sintetik steroid) dengan

    dosis 400-1200 mg/hari bermanfaatuntuk mengontrol sitopenia autoimun terutama

    trombositopeni dan anemia hemolitik. Estrogen replacement therapy (ERT) dapat

    dipertimbangkan pada pasien-pasien SLE yang mengalami menopause, namun masih terdapat

    perdebatan mengenai kemampuan kontraseptif oral atau ERT dalam menimbulkan flare SLE.

    Untuk itu terapi ini harus ditunda pada pasien dengan riwayat trombosis.

    Kortikosteroid

    Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis SLE. Sediaan topikal

    atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intra artikular digunakan untuk artritis,

    sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan sistemik. Pemberian per oral dosisnya

    bervariasi dari 5-30 mg prednison (metilprednisolon) per hari secara tunggal atau dosis terbagi,

    efektif untuk mengobati keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis dan serositis.

    NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug)

    NSAID digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri muskuloskeletal, pleuritis, perikarditis dan

    sakit kepala. Efek samping NSAID pada ginjal, hati, sistem saraf pusat harus dibedakan dengan

    aktifitas lupus yang menghebat. Adanya proteinuria yang baru timbul atau perburukan fungsi

    ginjal dapat disebabkan oleh aktifitas SLE atau efek NSAID.

    NSAID juga dapat menyebabkan meningitis aseptik, sakit kepala, psikosis dan gangguan

    kognitif, meningkatkan serum transaminase secara reversibel. Gangguan gastrointestinal

    merupakan efek samping paling sering ditimbulkan oleh inhibitor COX non-selektif. Inhibitor

    COX-2 selektif lebih sedikit efek sampingnya pada gastrointestinal. Pada penderita SLE dengan

    nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan karena

    dapat mengakibatkan kelainan kongenital dan dieksresikan dalam air susu.

    Plasmaferesis

    21

  • 7/29/2019 Fix Makalah Sle

    22/28

    Peranan plasmaferesis pada nefropati lupus masih kontroversi. Indikasinya adalah kasus lupus

    disertai krioglobulinemia, sindroma hiperviskositas dan TTP (Thrombotyc Thrombocytopenic

    Purpura).

    Immunoglobulin Intravena

    Immunoglobulin intravena (IV Ig) adalah imunomodulator dengan mekanisme kerja yang luas,

    meliputi blokade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti immunosupresan, IV

    Ig tidak mempunyai efek meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Dosis 400 mg/kgBB/hari

    selama 5 hari berturut-turut memberikan perbaikan pada trombositopeni, artritis, nefritis, demam,

    manifestasi kulit dan parameter immunologis. Efek samping yang terjadi adalah demam, mialgia,

    sakit kepala dan artralgia, serta kadang meningitis aseptik. Kontraindikasi diberikan pada

    penderita SLE dengan defisiensi IgA.

    Nefritis Lupus

    Pada lupus, gangguan ginjal merupakan salah satu gejala klinis penting yang nampak

    dengan gagal ginjal sebagai penyebab kematian paling umum. Lesi bisa terjadi baik pada

    glomerulus, interstitial maupun tubulus. 3Nefritis lupus ditemukan pada 90% pasien lupus

    eritematosus sistemik. Kelainan yang muncul pada urnalisis dapat berupa hanya

    proteinuria/hematuria ringan sampai gambaran berat berupa sindrom nefrotik atau

    glomerulonefritis yang disertai penurunan fungsi ginjal progresif.Nefritis lupus maupun LES

    umumnya ditemukan pada anak perempuan. Selain itu, penelitian di Amerika menyatakan

    penderita lupus terbanyak berturut-turut adalah dari ras oriental (asia), kulit hitam, keturunan

    Spanyol dan kulit putih. Perbedaan tersebut diperkirakan karena perbedaan genetik dan ekspresi

    hormonal terhadap sistem imun. Gambaran klinis NL sangat bervariasi. Karena frekuensi NLpada LES sangat tinggi, maka pada pasien yang tidak atau belum ditemukan kelainan urinalisis

    maka disebut silent NL. Manifestasi klinis yang muncul berupa hipertensi, hematuria dan

    proteinuria asimptomatik, hematuria nyata, sindrom nefrotik, glomerulonefritis akut atau

    progresif cepat, gagal ginjal akut atau kronik, nefritis interstitial, dan asidosis tubularn ginjal.

    22

  • 7/29/2019 Fix Makalah Sle

    23/28

    Kelainan patologi anatomi pada NL dapat mengenai berbagai struktur parenkim ginjal yaitu

    glomerulus (paling sering), tubulus, dan pembuluh darah.

    Patogenesis semua bentuk glomerulonefritis pada SLE melibatkan deposisi kompleks

    DNA/anti-DNA di dalam glomerulus. Hal tersebut membangkitkan respon yang mungkin

    menyebabkan proliferasi endotelial, mesangial, dan sel epitel serta pada kasus yang berat bisa

    terjadi nekrosis glomerulus. Meskipun ginjal nampak normal pada pemeriksaan menggunakan

    mikroskop cahaya (25-30% kasus), hampir semua SLE menunjukan beberapa keabnormalitasan

    ginjal jika diperiksa menggunakan immunofluorescence dan mikroskop elektron. Menurut

    WHO, ada 5 pola klasifikasi berdasarkan morfologi yaitu :

    1. Glomerulus normal (kelas I) merupakan keadaann saat hanya ada sedikit penambahan

    matriks dan sel mesangial pada pemeriksaan menggunakan mikroskop cahaya. Pada tipe

    I, bila dilakukan pemeriksaan imunofluoresensi akan ditemukan deposit granular IgG,

    C3, C4, Clq, kadar IgA dan IgM mesangium. Juga, pada mikroskop elektron dapat

    ditemukan deposit elektron dense pada mesangium. Gambaran ini ditemukan pada 6%.

    2. Mesangial lupus glomerulonefritis (kelas II) tampak pada 20% kasus dikaitkan dengan

    gejala klinis yang ringan. Kompleks imun terdeposit pada mesangial dengan sedikit

    peningkatan matriks dan sel mesangial. Pada pemeriksaan mikroskop cahaya, ditemukan

    penambahan

    3. Focal proliferative glomerulonefitis (kelas III), muncul pada 25% kasus. Secara khas,

    satu atau dua foci di dalam glomerulus yang masih normal menunjukan pembengkakan

    dan proliferasi sel endotel dan mesangial, inflitrasi netrofil dan atau deposit fibrinoid

    dengan kapiler thrombi. Focal glomerulonefritis biasanya berkaitan dengan hematuria

    dan proteinuria mikroskopik yang ringan. Jika bertransisi menjadi lebih difus, hal

    tersebut menunjukan dengan kelainan ginjal yang lebih berat.

    23

  • 7/29/2019 Fix Makalah Sle

    24/28

    4. Diffuse proliferative glomerulonefritis (kelas IV), merupakan lesi ginjal paling serius

    pada SLE serta sering terjadi, yaitu pada sekitar setengah pasien. Kebanyakan glomerulus

    menunjukan proliferasi en sekitar setengah pasien. Kebanyakan glomerulus menunjukan

    proliferasi endotelial dan mesangial yang mempengaruhi seluruh glomerulus. Oleh

    karena itu, terjadi hiperselularitas difus glomerulus, yang pada beberapa kasus bisa

    menunjukan epithelial crescentyang mengisi ruang bowman. Imun kompleks bisa dilihat

    menggunakan pewarnaan dengan antibodi fluorescent yang diarahkan langsung pada

    immunoglobulin atau komplemen. Nantinya akan nampak pola pewarnaan fluorescent

    yang bergranular. Saat semakin ekstensif, kompleks imun membuat penebalan

    menyeluruh pada dinding kapiler, membentuk rigid wire loops pada pemeriksaanmenggunakan mikroskop cahaya. Jika menggunakan mikroskop elektron akan nampak

    electrondense subendothelial immune complexes, yaitu di antara endotelium dan

    membran basal. Karena itulah, cedera pada glomerulus bisa memunculkan terjadinya

    glomerulosclerosis. Pasien yang mengalami ini akan mengalami gejala yang jelas,

    kebanyakan berupa hematuria dengan proteinuria, hipertensi dan insufisiensi ginjal baik

    yang menengah maupun berat.

    5. Membranous glomerulonefritis (kelas V), terjadi pada 15% kasus dan ditandai dengan

    penyebaran penebalan dinding kapiler. Membranous glomerulonefritis berkaitan dengan

    SLE mirip seperti idiopathic mebranous glomerulophaty. Penebalan pada dinding kapiler

    terjadi dengan peningkatan deposisi membran basal seperti material sebagaimana terjadi

    akumulasi kompleks imun.

    Pengobatan

    24

  • 7/29/2019 Fix Makalah Sle

    25/28

    Pengobatan untuk LES utama berupa pemberian kortikosteroid atau sitostatik. Gejala ekstrarenal

    akan cepat menghilang pada pemberian kortikosteroid. Pada pasien dengan gejala ekstrarenal

    yang ringan tanpa ada gejala renal, cukup diberikan obat salisilat, anti malaria (hidroksi

    kloroquin) atau NSAIDs.

    Kortikosteroid

    Meskipun efek samping jangka panjang kortikosteroid banyak, obat ini dianggap terbaik untuk

    NL dan LES pada umumnya. Pada NL dengan gambaran PA ginjal normal atau mesengial,

    biasanya tidak perlu diberikan kortikosteroid. Namun, pengawasan pada pasien tetap perlu

    dilakukan karena dapat terjadi transformasi NL ke arah yang lebih berat.

    Pada NL membranosa (tipe V), dapat dilakukan pemberian kortikosteroid dosis penuh atau

    hanya selang sehari 60 mg/m2/hari dosis tunggal pada pagi hari. Ada pula yang hanya

    memberikan pengobatan apabila terdapat proteinuria masif atau penurunan fungsi ginjal dan

    hasilnya menunjukan pengurangan proteinuria tetapi efek baik baik steroid terhadap fungsi ginjal

    masih dipertanyakan.

    Kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison dengan dosis awal 60 mg/m 2/hari atau

    2mg/kgbb/hari (maksimum 80) dan diturunkan secara bertahap. Pada NL yang berat dengan

    adanya penurunan fungsi ginjal progresif dianjurkan pemberian terapi pulse dengan metil

    prednisolon intravena dengan dosis 15 mg/kgbb secara infus dalam 50-100 ml glukosa 5%

    selama 30-60 menit. Pemberian terapi dapat diulang setiap hari atau selang sehari selama 3-6

    hari, dilanjutkan dengan pemberian prednison.

    Obat sitostatik

    Pengobatan sitostatik dipakai dalam kombinasi dengan kortikosteroid. Obat yang sering

    digunakan adalah siklofosfamid dan azatioprin. Indikasi pemberian obat sitostatik adalah:

    25

  • 7/29/2019 Fix Makalah Sle

    26/28

    1. Bila dengan pemberian kortikosteroid tidak didapat hasil memuaskan

    2. Bila timbul efek samping penggunaan kortikosteroid seperti hipertensi

    3. Pada NL berat yaitu NL proliferatif difus sejak awal diberikan kombinasi kortikosteroid

    dan sitostatik.

    Pemberian sitostatik biasanya melalui jalur oral meskipun bisa juga diberikan melalui jalur

    parenteral.

    BAB IV

    KESIMPULAN

    26

  • 7/29/2019 Fix Makalah Sle

    27/28

    Setelah melihat dari anamnesa dan hasil pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan urologi

    dan pemeriksaan penunjang kelompok, kami menyimpulkan pasien tersebut menderita penyakit

    SLE. Gejala gejala SLE dapat kita lihat dari riwayat penyakit sekarang yaitu adanya lesu,

    edema di kedua kaki samapai pergelangan tangan, kemudian waktu pemeriksaan fisik

    ditemukan adanya pitting edema dan waktu perkusi ditemukan hasil shifting dullness. Selain itu

    dari status urologi ditemukan endapan membranosa di ren, kemudian yang makin menunjukan

    bahwa pasien ini menderita SLE adalahditemukan hasilpemeriksaan ANA positif.

    Dari semua keterangan tersebut, pasien ini kemungkinan besar menderita SLE, tetapi

    butuh observasi lebih lanjut. Karena penyakit tersebut meliputi sistemik yang ada di tubuh

    manusia. Dan hasil pemeriksaan ANA pun tidak bias menujukan diagnosis pasti dari SLE karena

    sifat pemeriksaan ANA tidak spesifik. Mungkin kita bisa melihat dari status urologi yang

    ditemukan seperti proteinuria, hematuria, dan adanya glomerulus yang telah rusak. Oleh karena

    itu penatalksanaan pasien ini harus dilakukan dengan baik, yang terdiri dari dari sejumlah unsur

    yang berbeda, meliputi medikamentosa, konseling diri, saran saran makanan bergizi,

    sertatentusajadukungandari orang sekitar pasien, salah satunhya keluarga pasien tersebut.

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Roman MJ, Shanker BA, Davis A, Lockshin MD, Sammaritano L, Simantov R, et

    al. Prevalence and correlates of accelerated atherosclerosis in systemic lupus

    erythematosus. N Engl J Med. Dec 18 2003;349(25):2399-406. [Medline].

    27

  • 7/29/2019 Fix Makalah Sle

    28/28

    2. Ruiz-Irastorza G, Khamashta MA, Castellino G, Hughes GR. Systemic lupus

    erythematosus. Lancet. Mar 31 2001;357(9261):1027-32. [Medline].

    3. Hahn BV. Management of Systemic Lupus Erythematosus. Systemic Lupus

    Erythematosus and Related Syndromes. In Ruddy S, Harris ED, Sledge CB, Budd RC,

    and Sergent JS. Kelleys Textbook of Rheumatology. 6 th ed. Volume 2. W.B. Saunders

    Company; 2001. p.1125-1144.

    4. Wachyudi RG, Pramudiyo R. Diagnosis dan Terapi Lupus. Pusat Informasi Ilmiah

    Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD / RS Dr. Hasan Sadikin

    Bandung. 2006.

    5. Balow JE. Clinical Presentation and Monitoring of Lupus Nephritis. Lupus Journal,

    2005; 14: 25-30.

    6. Wachyudi RG, Dewi S. R Pramudyo: Diagnosis dan Terapi Penyakit Reumatik. Edisi 1

    tahun 2006. Sagung Seto. Jakarta.

    7. Sidiropoulos PI, Kritikos HD, Boumpas DT. Lupus Nephritis Flares. Lupus Journal,

    2005; 14 : 49-52.

    28