fina (pantai).pdf

77
STUDI DAMPAK KENAIKAN PARAS LAUT DENGAN MEMANFAATKAN DATA ASTER/ GDEM ASTER DAN TOPEX POSEIDON/JASON 1 FINA MARIANY SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

Upload: ddprayoedha

Post on 14-Dec-2015

41 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

STUDI DAMPAK KENAIKAN PARAS LAUT DENGAN MEMANFAATKAN DATA ASTER/ GDEM ASTER

DAN TOPEX POSEIDON/JASON 1

FINA MARIANY

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

FINA MARIANY. Studi Dampak Kenaikan Paras Laut dengan Memanfaatkan Data Aster/GDEM Aster dan Topex Poseidon/Jason 1. Dibimbing oleh JONSON LUMBAN GAOL DAN I WAYAN NURJA YA.

Kenaikan paras laut global merupakan salah satu isu yang aktual saat ini sebagai salah satu efek dari pemanasan global. Kenaikan paras laut dapat memberikan dampak negatif langsung pada wilayah pesisir seperti banjir permanen dan kerusakan infrastruktur di daerah pesisir pantai, oleh karena itu diperlukan langkah-langkah adanya mitigasi terhadap kenaikan paras laut.

Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis laju kenaikan paras laut dari data citra satelit dalam kurun waktu 16 tahun dan mempelajari dampaknya terhadap wilayah genangan pesisir pantai.

Penelitian ini dilakukan di wilayah pesisir Cirebon pada bulan Mei 2010 sampai Mei 2011 dengan survei lapang pada Bulan Oktober 2010. Dalam penelitian ini dilakukan pengolahan citra satelit dan survei lapang untuk validasi. Bahan penelitian yang digunakan adalah citra satelit The Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER) dan citra satelit Landsat, Global Digital Elevation Model (GDEM) Aster kenaikan muka laut, tinggi gelombang, pasang surut, dan data angin.

Citra Aster menghasilkan garis pantai, data GDEM Aster menghasilkan peta ketinggian, dan data Landsat untuk menghasilkan peta perubahan garis pantai. Data GDEM Aster dan nilai trend kenaikan paras laut diolah dengan perangkat lunak global mapper. Daerah genangan ditentukan dengan melakukan tumpang-tindih (overlay) antara data ketinggian dari data GDEM Aster dan simulasi data tinggi paras laut 5, 10 dan 15 tahun kedepan, kemudian diubah kedalam bentuk .shp file yang selanjutnya di-intersect dengan data garis pantai yang telah didigitasi dari citra Aster 2009.

Laju kenaikan muka laut yang terjadi selama 16 tahun sebesar 4,3 mm/tahun. Dengan asumsi bahwa kondisi oseanografi dan lingkungan lainnya tetap seperti sekarang maka dapat diprediksi untuk 5, 10 dan 15 tahun mendatang masing-masing akan mengalami kenaikan paras lautnya sebesar 21,53 mm, 43,06 mm, dan 64,60 mm, serta luasan genangannya sebesar 3790,3 ha, 3772,4 ha, 3762,6 ha. Wilayah genangan dimana terjadi abrasi dan akresi didaerah Kecamatan Astanajapura dan Kecamatan Kapetakan, masing-masing luasan sebesar 10,4 ha dan 12,8 ha

STUDI DAMPAK KENAIKAN PARAS LAUT DENGAN MEMANFAATKAN DATA ASTER/ GDEM ASTER

DAN TOPEX POSEIDON/JASON 1

FINA MARIANY

SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Perikanan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul : STUDI DAMPAK KENAIKAN PARAS LAUT DENGAN MEMANFAATKAN DATA ASTER/GDEM ASTER DAN TOPEX POSEIDON/JASSON 1 adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini. Bogor, 18 Agustus 2011 FINA MARIANY C54052026

© Hak cipta milik Fina Mariany, tahun 2011 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam

bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya

SKRIPSI Judul Penelitian : STUDI DAMPAK KENAIKAN PARAS LAUT DENGAN MEMANFAATKAN DATA ASTER/ GDEM ASTER DAN TOPEX POSEIDON/JASON 1

Nama Mahasiswa : Fina Mariany NRP : C54052026 Program Studi : Ilmu dan Teknologi Kelautan

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Utama Anggota

Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, Msi Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M. Sc 19660721 199103 1 009 19640801 198903 1 001

Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

Prof. Dr. Ir. H. Setyo Budi Susilo, M. Sc. NIP. 19580909 198303 1 003 Tanggal Lulus : 22 Juli 2011

iii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas

rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Studi

dampak kenaikan paras laut dengan memanfaatkan data Aster/ GDEM Aster dan

Topex Poseidon/Jason 1. Skripsi merupakan salah satu syarat untuk memperoleh

gelar sarjana di Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan, dukungan,

dan do’a dari berbagai pihak. Ucapan terima kasih dengan tulus penulis

sampaikan terutama kepada :

1. Keluarga tercinta ayah, ibu, kakak dan adik atas dukungan, doa, materi dan

kasih sayang.

2. Bapak Dr. Ir. Jonson L. Gaol, M.Si dan Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc selaku

pembimbing yang telah memberikan pengetahuan, arahan serta bimbingan

selama penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Dr. I Nyoman M.Natih, M.Si selaku dosen penguji yang memberikan

masukan dan arahan demi kesempurnaan skripsi.

4. Dr. Ir. Henry M. Manik, MT selaku komisi pendidikan yang memberikan

masukan dan arahan demi kesempurnaan skripsi.

5. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang telah memberikan izin

penggunaan data.

6. Rekan-rekan di Lab Processing data Oseanografi (Bang Santos, Olivier, Erwin

Maulana, Asyari Adi Saputra) atas bantuan pengolahan data.

iv

7. Mba Valent atas bantuan saat pengambilan survey data lapang, dukungan dan

semangat bagi penulis

8. Iqbal S. Gultom, Dwito Indrawan, Darmawan Irsha P, Fadhilah R, Adil

M.Firdaus, Aditya Bramandito dan Andreas Anindityo atas dukungan dan

bantuan dalam penyusunan skripsi

9. Warga ITK khususnya ITK 42 atas semangat dan dorongannya dalam

penyusunan skripsi.

10. Gian Wilo Harlan, Lidya Elisabeth, Oktora Trianggana, Irvan Fajar dan Klimo

Nabara selaku teman seperjuangan penulis yang tiada henti memberikan

dukungan, nasihat, hiburan dan semangat satu sama lain untuk menyelesaikan

skripsi ini.

11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu.

dan memberikan bimbingan dalam pengolahan data dan penyusunan skripsi.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,

dikarenakan keterbatasan yang dimiliki. Oleh karena itu, penulis senantiasa

mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat

bermanfaat memberikan informasi dan wawasan bagi yang memerlukan,

khususnya mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB.

Bogor, Agustus 2011

Fina Mariany

v

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ......................................................................... iii

DAFTAR ISI ....................................................................................... v

DAFTAR GAMBAR ........................................................................... vii

DAFTAR TABEL ............................................................................... ix

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................... x

1. PENDAHULUAN .......................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ........................................................................ 1 1.2. Tujuan ..................................................................................... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 3 2.1. Kondisi Umum Cirebon ........................................................... 3 2.2. Pasang Surut ............................................................................ 4 2.3. Gelombang .............................................................................. 5 2.4. Citra Aster ................................................................................ 6 2.4.1 Aplikasi Citra ASTER .................................................... 7

2.5. Citra Landsat 7 ETM + ............................................................ 10 2.6. Sistem Informasi Geografis ..................................................... 12

2.7. Penginderaan Jarak Jauh .......................................................... 13

3. BAHAN DAN METODE ................................................................ 15 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................... 15 3.2. Alat dan Bahan Penelitian ....................................................... 16 3.3. Metode .................................................................................... 16 3.3.1 Pengumpulan dan pengolahan data .............................. 17 3.3.1.1. Data Kenaikan Paras Laut ................................ 17 3.3.1.2. Data GDEM Aster ........................................... 17 3.3.1.3. Data Citra Landsat 7 ETM+ ............................. 18 3.3.1.4. Pengolahan Data Kenaikan Paras Laut dan Simulasi Genanangan ................................ 18 3.3.1.5. Data Pasang Surut ........................................... 19 3.3.1.6. Koreksi Pasang Surut Terhadap Citra .............. 19 3.3.1.7. Data Gelombang .............................................. 22 3.3.1.8. Data Angin ...................................................... 23 3.3.2 Survei Lapang .............................................................. 23

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... 25

4.1. Penggunaan Lahan ................................................................... 24

vi

4.2. Ketinggian .............................................................................. 26 4.3. Kenaikan Paras Air Laut .......................................................... 28 4.4. Simulasi Daerah Genangan ...................................................... 28 4.5. Perubahan Garis Pantai ............................................................ 33 4.6. Tinggi Gelombang Signifikan .................................................. 35 4.7. Pasang Surut ............................................................................ 40

KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 42 5.1. Kesimpulan .................................................................................... 42 5.2. Saran .............................................................................................. 42

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 43

LAMPIRAN ........................................................................................ 46

vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Perbandingan resolusi citra TERRA/ASTER dengan satelit pendahulunya ............................................................................... 6

2. Desain Satelit Landsat 7 ETM+ .................................................... 11

3. Peta lokasi penelitian .................................................................... 15

4. Diagram alir penelitian ................................................................. 16

5. Grafik pasang surut saat perekaman citra ...................................... 20

6. Koreksi pasang surut terhadap citra a) Sebelum dikoreksi .............. 20 b) Setelah dikoreksi ................................................................... 21

7. Daerah data gelombang yang mewakili pesisir Cirebon ................ 22

8. Daerah data angin ......................................................................... 24

9. Peta penggunaan lahan wilayah pesisir Kabupaten Cirebon .......... 25

10. Peta ketinggian wilayah pesisir Cirebon ........................................ 27

11. Fluktuasi paras laut ....................................................................... 28

12. Peta simulasi genangan wilayah pesisir Cirebon 15 tahun sumber data pengolahan Topex dan Jason ................................................. 30

13. Peta penggunaan lahan wilayah pesisir Cirebon 15 tahun kedepan akibat kenaikan paras laut ............................................................. 30

14. Peta wilayah prediksi genangan a) Wilayah 1 dan b) Wilayah 2 dalam 15 tahun kedepan ............................................................... 31

15. Peta prediksi genangan a) Wilayah 3, b) Wilayah 4 dan c) Wilayah 5 dalam 15 tahun kedepan .......................................... 32

16. Peta perubahan garis pantai pesisir Cirebon (Kecamatan Asatanajapura) Tahun 2003 dan 2009 ........................................... 34

17. Peta perubahan garis pantai pesisir Cirebon (Kecamatan Astanajapura) tahun 2003 dan 2009 .............................................. 34

18. Arah dan kecepatan angin a)14 Agustus 2003 b)15 Agustus 2003 dan c)16 Agustus 2003 ................................................... 37

vii

viii

19. Arah dan kecepatan angin a)23 Maret 2009 b) 24 Maret 2009 dan 25 Maret 2009 .............................................................................. 38

20. Grafik rata-rata tinggi gelombang signifikan di pesisir Cirebon tahun 1992-2009 ........................................................................... 39

21. Grafik pasang surut ...................................................................... 41

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Karakteristik pada mayor ASTER ................................................... 6

2. Karakteristik DEM yang dibuat dengan cara perolehan data yang berbeda ........................................................................................... 9

3. Akurasi dari ASTER dan PRISM DEM ........................................... 10

4. Karakteristik citra satelit Landsat 7 ETM + ..................................... 13

5. Luas penggunaan lahan di wilayah pesisir Kabupaten Cirebon ........ 26

6. Luas genangan prediksi 5, 10 dan 15 tahun akibar Sea Level Rise .... 29

7. Luas daerah yang terkena abrasi dan akresi ..................................... 33

8. Kisaran tinggi gelombang signifikan (m) periode 1993-2008 ........... 40

ix

x

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Peta prediksi genangan pesisir Cirebon 5 dan 10 tahun kedepan sumber data pengolahan Topex dan Jason ........................................ 47

2. Peta prediksi genangan pesisir Cirebon 5 dan 10 tahun kedepan ....... 48

3. Peta prediksi wilayah pesisir Kabupaten Cirebon (Kecamatan Kapetakan) 5 dan 10 tahun kedepan ................................................. 49

4. Peta prediksi wilayah pesisir Kabupaten Cirebon (Kecamatan Cirebon Utara) 5, 10 dan 15 tahun kedepan ...................................... 50

5. Peta prediksi wilayah pesisir Kabupaten Cirebon (Kecamatan Lemah Wungkuk) 5, 10 dan 15 tahun kedepan ................................. 51

6. Peta prediksi wilayah pesisir Kabupaten Cirebon (Kecamatan Astanajapura) 5, 10 dan 15 tahun kedepan ....................................... 52

7. Peta prediksi wilayah pesisir Kabupaten Cirebon (Kecamatan Babakan) 5, 10 dan 15 tahun ke depan ............................................. 53

8. Tinggi dan arah gelombang perbulan tahun 1992-2009 .................... 54

9. Arah angin perbulan pada tahun 1992-2009 ..................................... 56

10. Arah dan kecepatan angin rata-rata 3 hari (14-16 Agustus 2003) ...... 60

11. Arah dan kecepatan angin rata-rata 3 hari (23-25 Maret 2009) ......... 61

12. Foto pesisir Cirebon ......................................................................... 62

x

1

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kenaikan paras laut secara global merupakan salah satu isu yang aktual

dalam studi saat ini. Kenaikan paras laut (sea level rise) merupakan salah satu

efek dari pemanasan global (global warming). Fenomena kenaikan paras laut

dapat memberikan dampak negatif langsung pada wilayah pesisir seperti erosi

garis pantai, penggenangan wilayah daratan dekat pantai, dan meningkatnya

resiko banjir.

Wilayah pesisir merupakan salah satu zona yang banyak dimanfaatkan

untuk perekonomian masyarakat. Kenaikan paras laut dapat menyebabkan banjir

permanen dan kerusakan infrastruktur di daerah pesisir pantai, maka diperlukan

langkah-langkah nyata untuk menghadapi kenaikan paras laut tersebut. Salah satu

hal yang penting dilakukan adalah pemetaan daerah rawan genangan akibat

dampak kenaikan muka laut. Bila trend kenaikan paras laut dalam beberapa tahun

mendatang bias diketahui, maka dampak yang akan ditimbulkan dapat

diperkirakan. Diantara dampak tersebut adalah genangan air di wilayah pantai

yang mengakibatkan rusaknya lahan, sarana dan prasarana kegiatan di wilayah

tersebut.

Salah satu metode untuk memperoleh informasi potensi sumber daya

wilayah pesisir dan lautan adalah metode penginderaan jauh dan Sistem Informasi

Geografis (SIG). Pada penginderaan jauh dan SIG ini didapatkan informasi

mengenai obyek yang terdapat pada suatu lokasi dipermukaan bumi melalui

perekaman data menggunakan sensor satelit. Saat ini telah banyak diluncurkan

satelit sumber daya alam dengan berbagai jenis sensor dan peruntukan salah satu

2

diantaranya adalah citra The Advanced Spaceborne Thermal Emission and

Reflection Radiometer (ASTER) yang memiliki resolusi spasial 15 m. Satelit ini

mampu mengindera tempat yang sama pada dua posisi yang berbeda searah jalur

orbit, sehingga dapat dibentuk model stereoskopis dan dihasilkan data ketinggian.

Data ASTER untuk pemetaan topografi daerah pantai cukup potensial.

Kemampuan data stereo ASTER untuk menghasilkan Digital Elevation

Mode (DEM) dengan resolusi spasial tinggi (15 m) merupakan informasi sangat

penting untuk pengelolaan wilayah pantai dalam beberapa hasil penelitian, seperti

Trisakti dan Carolita (2005), Goncalves and Oliveira (2004), Tsakiri-Strati et. al.

(2004) Pantelis et. al. (2004) dan Ulrich et. al. (2003). Menunjukkan bahwa

ketelitian vertikal dari data DEM ASTER mendekati 25-27 meter untuk daerah

pegunungan dengan tutupan lahan yang rapat (Trisakti dan Carolita, 2005), tetapi

untuk daerah dengan sedikit tutupan vegetasi dapat mencapai 9 – 11 meter

(Goncalves and Oliveira, 2004 dalam Trisakti, 2005).

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian adalah menganalisis trend kenaikan paras laut dari data

citra satelit dalam kurun waktu 16 tahun, dan mempelajari dampaknya terhadap

wilayah genangan pesisir pantai.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Umum Cirebon

Cirebon terletak di daerah Pantai Utara propinsi Jawa Barat bagian timur.

Secara geografis, Kotamadya Cirebon terletak pada 1080 40’-1080 bujur timur dan

60 30’ – 70 00’ lintang selatan. Bentang alamnya merupakan dataran rendah

daerah pantai, dengan luas wilayah administrasi ± 3.735,82 hektar dan dominasi

penggunaan lahan untuk perumahan (32%) dan tanah pertanian (38%). Cirebon

merupakan dataran rendah dengan ketinggian bervariasi antara 0-150 meter di atas

permukaan laut. Berdasarkan persentase kemiringan, wilayah kota Cirebon dapat

diklasifikasikan sebagai berikut : kemiringan 0-3% tersebar di sebagian wilayah

kota Cirebon kecuali sebagian Kecamatan Harjamukti, kemiringan 3-8% tersebar

di sebagian besar wilayah Kelurahan Kalijaga, sebagian kecil Kelurahan

Harjamukti, Kecamatan Harjamukti, kemiringan 8-15% tersebar di sebagian

wilayah Kelurahan Argasurya, kecamatan Harjamukti, kemiringan 15-25%

tersebar di wilayah Kelurahan Argasurya, kecamatan Harjamukti.

Kota Cirebon terletak pada lokasi yang strategis dan menjadi simpul

pergerakan transportasi antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Letaknya yang

berada di wilayah pantai menjadikan Kota Cirebon memiliki wilayah dataran yang

lebih luas dibandingkan dengan wilayah perbukitannya.

Suhu udara rata-rata di Cirebon adalah 28°C. Kelembaban udara berkisar

antara ± 48-93% dengan kelembaban udara tertinggi terjadi pada bulan Januari-

Maret dan angka terendah terjadi pada bulan Juni-Agustus. Rata-rata curah hujan

tahunan di daerah Cirebon ± 2260 mm/tahun dengan jumlah hari hujan ± 155 hari.

(www.cirebonkab.go.id) [Diakses pada tanggal 5 Juli 2009].

3

4

2.2 Pasang surut

Pasang surut (pasut) adalah naik turunnya muka laut secara berkala akibat

adanya gaya tarik benda-benda angkasa terutama matahari dan bulan terhadap

massa air di bumi (Pariwono, 1989). Sepanjang sejarah bumi paras laut rata-rata

tidak pernah berada dalam keadaan konstan (National Research Council, 1990).

Perubahan tinggi paras laut merupakan hasil dari beberapa proses yang

saling mempengaruhi. Perubahan terjadi dalam skala waktu dan ruang, dari yang

bersifat lokal sampai global, dan kurun waktu beberapa detik sampai beberapa

ribu tahun (National Research Council, 1990). Proses-proses yang menyebabkan

perubahan tinggi paras laut diantaranya (Prihatini, 2004):

1. Penaikan daratan baik secara lokal maupun global.

2. Angin, arus laut dan perubahan tekanan atmosfir.

3. Perubahan jumlah massa air lautan disebabkan karena pencairan es di kutub

atau penambahan massa air laut dari pelepasan sumber air daratan.

4. Perubahan volume air lautan tanpa mengeluh jumlah massa air laut yang

merupakan respon dari perubahan suhu dan salinitas.

5. Perubahan volume lautan dunia yang disebakan gaya-gaya tektonik seperti

seafloor spreading, plate convergence dan pengangkatan dasar lautan serta

proses sedimentasi dasar laut.

Dampak naiknya air laut berekspansi ke daratan yang menyebabkan banjir

rob di beberapa wilayah di Semarang (Wirasatriya et al., 2006). Dampak

kenaikan paras laut terhadap pesisir terdapat dalam laporan Bappedal/KMNLH

tahun 1999 menyebutkan bahwa kenaikan paras air laut akibat pemanasan global

diprediksi sebesar 5-10 mm/tahun atau rata-rata 6 mm/tahun. Kenaikan air laut

5

dapat menyebabkan abrasi pantai, intrusi air asin ke dalam estuaria dan akuifer,

meningkatkan risiko banjir, hilangnya struktur pantai alami maupun buatan dan

terganggunya ekologi pantai. Kerusakan ekologi dapat meliputi kerusakan batu

karang, berkurangnya keanekaragaman hayati, rusaknya hutan mangrove, serta

perubahan sifat biofisik dan biokimia zona pesisir (Harmoni, 2005).

Dampak dari kenaikan paras muka air laut di kawasan pantai semarang

yang paling terkena dampak adalah infrastruktur dan jumlah penduduk. Selain

itu, daerah pemukiman dan jasa pelayanan juga terkena dampak yang cukup besar

(Diposaptono et al., 2009). Dampak yang terjadi di Makasar dari meningkatnya

paras air laut adalah berubahnya garis pantai yang semakin mengarah ke darat,

kawasan pantai yang semakin berkurang, hilangnya sebagian kawasan hutan

bakau serta terjadinya abrasi dan sedimentasi (Kurdi, 2010).

2.3 Gelombang

Gelombang adalah fenomena naik turunya permukaan laut (Pond and

Pickard, 1983 dalam Rahayu, 2000). Gelombang adalah faktor penting yang

sangat menentukan dalam proses dinamika pantai, baik berupa abrasi (erosi atau

pengikisan pantai) maupun akresi (sedimentasi atau penambahan pantai).

Gelombang dapat menimbulkan arus dan transport sedimen dalam arah tegak

lurus dan sepanjang pantai yang akhirnya akan mempengaruhi bentuk pantai

(Rahardjo, 2004).

Gelombang yang terbentuk di permukaan laut pada umumnya karena

adanya proses alih energi dari angin ke permukaan laut. Gelombang merambat ke

segala arah membawa energi yang kemudian dilepaskan ke pantai dalam bentuk

hempasan ombak. Rambatan gelombang ini dapat menempuh jarak ribuan

6

kilometer sebelum mencapai suatu pantai. Gelombang yang mendekati pantai

akan mengalami pembiasan (refraction), dan akan memusat (convergence) jika

mendekati semenanjung, atau menyebar (divergence) jika menemui cekungan

(Pariwono, 1992).

2.4 Citra Aster

ASTER adalah suatu sensor multispektral yang diluncurkan oleh NASA

pada bulan Desember 1999. ASTER merupakan salah satu sensor dari satelit

Terra. ASTER memiliki 14 Band yang terbagi dalam kanal visible, kanal infra

merah dan kanal thermal infra merah. Seluruh band spectral dari Aster terbagi

kedalam tiga radiometer yaitu VNIR, SWIR and TIR (ERSDAC, 2003 dalam

Trisakti, 2006). Resolusi spasial kanal visible Visible and Near Infrared

Radiometer (VNIR) adalah 15 m lebih baik dari data LANDSAT-TM yang

resolusi spasialnya 30 m. Kanal inframerah Short Wave Infrared Radiometer

(SWIR) sama dengan LANDSAT-TM adalah 30 m dan kanal inframerahnya

Thermal Infrared Radiometer (TIR) memiliki resolusi 90 m. Rincian spektral per

kanal untuk data ASTER disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1.Karakteristik Sensor ASTER

Sumber: ERSDAC (2003)

Radiometer Band Panjang

Gelombang (µm) Resolusi Spasial

Bilangan kuantum

VNIR

1 0.52-060

15 m 8 bit

2 0.63-0.69 3N 0.78-0.86 3B 0.78-0.86

SWIR

4 1.600-1.700

30 m 8 bit

5 2.145-2.185 6 2.185-2.225 7 2.295-2.365 8 2.295-2.365 9 2.360-2.430

TIR

10 8.125-8.475

90 m 12 bit

11 8.475-8.825 12 8.925-9.275 13 10.25-10.95 14 10.95-11.65

7

Salah satu kelebihan dari citra TERRA/ASTER adalah resolusi spasial

yang lebih tinggi dibandingkan dengan citra satelit pendahulu dan sekelasnya

(JERS-1 dan Landsat). Sebagai contoh perbandingan resolusi citra

TERA/ASTER dengan satelit pendahulunya disajikan pada Gambar 1.

TERRA/ASTER

JERS-1 OPS

Landsat TM

Gambar 1. Perbandingan resolusi citra TERRA/ASTER dengan satelit pendahulunya (sumber : www.Aster-indonesia.com)

2.4.1 Aplikasi Citra ASTER

Beberapa contoh penerapan citra TERRA/ASTER untuk monitoring

permukaan bumi antara lain karakteristik spektral terhadap mineral dan batuan,

klasifikasi jenis tanah, monitoring aktifitas gunung berapi, pemetaan tumbuhan di

daerah kering dan basah, monitoring suhu permukaan laut, monitoring hutan

bakau (mangrove), produk ASTER ortho dan DEM-Z, monitoring kebakaran

8

hutan, monitoring suhu permukaan tanah dan korelasi DEM

(http://aster.indomicrowave.com).

DEM dapat diperoleh mengaplikasikan data ini yang diturunkan dari citra

TERRA/ASTER (Level 1) dapat diperoleh informasi kontur permukaan bumi,

dimana informasi ini dapat diterapkan untuk berbagai macam bidang, misalnya

pertambangan, pembangkit listrik, perencanaan dam atau bendungan,

penanggulangan banjir dan lain-lain. Selain itu sumber data DEM dapat diperoleh

dengan FU stereo, data pengukuran lapangan (dengan menggunakan GPS,

theodolith, EDM, Total Station, Echosounder), peta topografi, dan linear array

image. Karakteristik DEM yang dibuat dengan cara perolehan data yang berbeda

disajikan pada Tabel 2.

DEM adalah sumber data untuk menghasilkan informasi kondisi topografi

lahan. DEM dapat menggunakan beberapa metode, salah satunya berdasarkan

gambar satelit stereoscopic (Stereoscopic Parallax Of Optic and SAR). PRISM

sensor (Panchromatic Remote-Sensing Instrument for Stereo Mapping) dari

Satelit ALOS dan sensor ASTER dari satelit TERA adalah sensor satelit yang

berasal dari Jepang yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan gambar

streoscopic (Trisakti, 2009).

9

Tabel 2. Karakteristik DEM yang dibuat dengan cara perolehan data yang berbeda.

Metode Pengumpulan data ketinggian digital Sistem Pengumpulan data

RMS Sensor/Teknik Akurasi Ketinggian

Pengukuran lapangan DGPS x,y,z Teodolit

DGPS Geodetik

Laser Beacon DGPS

Hingga 2 cm

10-5 cm

Fotogrametri konvensional Dari peta topografi (ketinggian dari kontur, survey lapangan, hipsografi) Pengamatan stereoskopis

USGS 7,5

Kamera film konvensional

7-15 cm, Maks 50 cm

Penginderaan Jauh Sistem pasif Citra foto Stereopairs(digital)

Citra satelit Stereopair antar jalur terbang Stereopair sepanjang jalur terbang Sistem Aktif LiDAR Sisitem gelombang mikro

SAR(Synthethic Apherture RADAR) antar jalur terbang yang berurutan

Interferometris INSAR(two-passes interferometry)

INSAR, IFSAR (single pass)

Ortofoto B&W

SPOT, IRS

JERS, ASTER

Lasser canner

Radarsat,ERS1/2 (stereopair)

ERS1/2-JERS Radarsat Strid

IFSAR star 3i, Topstar,SRTM

0,5-2,5 m

~20-50 m

~25m atau kurang

0,3 m-1m

10-50 m

5-10 m

0,5, 1, 2, 3 m, bervariasi

Sumber : (www.taufik.staff.ugm.ac.id)

10

VNIR (Visible Near Infrared) memiliki 2 band infra red yang mempunyai

panjang gelombang hampir sama keduanya, yaitu 3N( Nadir view) dan 3B

(Backward view). Band 3B digunakan untuk mengambil pandangan dari

belakang, dengan sudut kemiringan diantara backward view dan nadir view

dengan sudut kemiringan 27,60 (Ersdac, 2002 dalam Trisakti, 2006). Pandangan

nadir dan backward digunakan untuk mendapatkan citra secara stereoscopic untuk

menghasilkan DEM.

Beberapa peneliti memiliki laporan akurasi dari ASTER dan PRISM DEM

seperti yang disajikan pada Tabel 3. Akurasi dari stereo ASTER DEM bervariasi

dari 7 m sampai 50 m tergantung metode, kondisi topografi, dan observasi

penutupan lahan (Trisakti, 2009).

Tabel 3. Akurasi dari ASTER dan PRISM DEM

Sensor satelit Referensi Akurasi (m) Aster Lang &Welch(1999) 10-50 m Aster Toutin & Cheng (2001) 7,9 m Aster Hirano et al. (2002) 7-15 m

Aster Goncalves & Oliveira (2004)

9-11 m Less Vegetat

Prism ALOS Chen T. et al. (2004) <3 m (93%) SRTM X-band Gesch D (2005) Ion 3-5 m SRTM X and C-band Yastikh et al. (2006) 5-6-9,6 m Prism ALOS JAXA (2006) <6,5 m

Prism ALOS Bignone & Umakawa (2008) 2-5 m

Prism ALOS Scneider et al. (2008) 4 m (Sumber : Trisakti, 2009)

2.5 Citra Landsat 7 ETM+ Citra landsat 7 ETM+ yang digunakan pada penelitian ini adalah rekaman

pada tanggal 15 Agustus 2003 dan 24 Maret 2009. Satelit Landsat 7 ETM+

11

merupakan radiometer pemindai multispektral yang memiliki posisi tetap,

pengamatan nadir dan kemampuan menyediakan citra beresolusi tinggi berisi

informasi permukaan bumi, baik dalam wilayah spektrum sinar tampak maupun

infra merah. Landsat 7 ETM+ diluncurkan pada tanggal 15 April 1999, berada

pada ketinggian 705 km dengan periode edar 99 menit, dan orbit polar sun-

synchronous yang memotong garis khatulistiwa ke arah selatan setiap pukul

10.00 waktu setempat dengan waktu inklinasi 300. Landsat 7 ETM+ mempunyai

cakupan seluas 185 km melewati daerah yang sama setiap 16 hari. Karakteristik

sensor satelit landsat 7 ETM+ mempunyai 8 kanal spektral dengan pengaturan

gain tinggi, dan rendah secara terpisah (Lapan, 2000 dalam Putra, 2007).

Tampilan desain satelit Landsat 7 ETM+ yang diluncurkan pada tanggal 15 April

1999 ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Desain Satelit Landsat 7 ETM+ (NASA, 2005)

12

Citra landsat 7 ETM+ mempunyai resolusi spasial 30 x 30 m pada saluran

multispektral yang relatif cukup untuk digunakan pada berbagai kajian tematik.

Karakteristik satelit Landsat 7 ETM+ selengkapnya diperlihatkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Karakteristik Citra satelit Landsat 7 ETM

Sensor Resolusi spektral Resolusi spasial

Biru 0,450-0,515 30

Hijau 0,525-0,605 30

Merah 0,630-0,690 30

Infra merah dekat 0,750-0,900 30

Infra merah tengah

1,550-1,750 30

Infra merah Thermal

10,400-12,500 30

Infra merah Jauh 2,090-2,350 30

Panchromatik Hitam dan putih 0,520-0,900 15

Lebar sapuan 185 km

Resolusi Temporal 16 hari(233 orbit)

Ketinggian 705 km

Resolusi radiometrik Best 8 of 9 bits

Inklinasi Sun-synchronous,98,2 degrees

Sumber : (http//glovis.usgs.edu)

2.6 Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem informasi yang

dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat

geografi. SIG dapat diasosiasikan sebagai peta yang berorde tinggi yang juga

mengoperasikan dan menyimpan data non spasial (Star dan Estes, 1990 dalam

13

Barus dan Wiradisastra, 2000). SIG telah terbukti kehandalannya untuk

mengumpulkan, menyimpan, mengelola, menganalisa dan menampilkan data

spasial baik biofisik maupun sosial ekonomi. Secara umum SIG menyediakan

fasilitas-fasilitas untuk mengambil, mengelola, memanipulasi dan manganalisa

data serta menyediakan hasil baik dalam bentuk grafik maupun dalam bentuk

tabel, namun demikian fungsi utamanya adalah untuk mengelola data spasial.(Star

dan Estes, 1990 dalam Barus dan Wiradisastra, 2000).

Keuntungan SIG adalah kemampuan untuk menyertakan data dari sumber

berbeda untuk aplikasi deteksi perubahan. Walaupun penggabungan sumber data

dengan perbedaan akurasi sering mempengaruhi hasil deteksi perubahan, SIG

telah menjadi alat yang penting untuk tata ruang dan analisis modeling untuk

masalah zona pantai. Multimedia berbasis SIG modeling dapat menghasilkan

output spasial visualisai. Alat bantu visualisasi banjir telah dikembangkan di

daerah Lakes Entrance, Victoria, Australia, dimana visualisasi ini berpotensi dan

diterapkan untuk mendukung masa depan manajemen zona pesisir terpadu

(Wheler et. al., 2008). Kegiatan penelitian yang menggunakan aplikasi SIG untuk

perubahan garis pantai diantaranya yaitu yang dilakukan oleh Wiguna (2007),

Kalay (2008), Putra(2007), Sutrisno (2005), dan Tarigan (2007).

2.7 Penginderaan Jarak Jauh

Penginderaan jauh didefinisikan sebagai ilmu teknologi dan seni untuk

mendeteksi dan atau mengukur objek atau fenomena di bumi tanpa menyentuh

objek itu sendiri (Lillesend dan Ralph, 1990). Secara umum sistem penginderaan

jauh yaitu pancaran dan pantulan energi dari benda-benda di permukaan bumi

ditangkap oleh sisitem sensor pada satelit, kemudian diubah menjadi sinyal-sinyal

14

yang selanjutnya dikirimkan ke stasiun bumi untuk seterusnya disimpan dalam

bentuk data analog atau digital. Untuk pemanfaatan suatu bidang tertentu dapat

dilakukan penginderaan atau sensor pada wahana penginderaan jauh dengan

memanfaatkan energi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan atau

dipantulkan oleh suatu objek di permukaan bumi, dimana tiap-tiap objek

dipermukaan bumi memiliki karakteristik reflektansi yang berbeda-beda

(Kushardono, 2003)

Untuk memantau dan melihat perubahan lingkungan pesisir yang

diakibatkan gempa, tsunami, badai, banjir, El-Nino, dan pemanasan global, citra

inderaja (penginderaan jarak jauh) adalah suatu alternatif yang baik dipergunakan

selain survei langsung ke lokasi. Aplikasi inderaja untuk melihat genangan antara

lain seperti penelitian yang dilakukan oleh Suciati (2010) dan Idris (2009).

15

3. BAHAN DAN METODE

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah pesisir Cirebon, wilayah ini didominasi

oleh wilayah permukiman masyarakat pesisir dan tambak. Lokasi penelitian

terletak antara 108040’ - 108048’ BT dan 6030’- 7000’ LS (Gambar 3).

Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian

Penelitian ini meliputi pengolahan data citra yang dilakukan pada Bulan

Mei 2010 sampai Bulan Mei 2011, dan survey lapang yang dilakukan pada Bulan

Oktober 2010. Pengolahan data citra dilakukan di LIPI, Laboratorium Processing

data Oseanografi dan Laboratorium Penginderaan Jauh, Departemen Ilmu dan

Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian

Bogor.

16

3.2. Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat lunak image

processing dan GIS, seperti Er Mapper 6.4, Surfer 8.0, Ocean Data View (ODV),

dan Global Mapper 8.0, sedangkan untuk pengolahan data spasial menggunakan

Arc Gis. Global Positioning System (GPS) dan kamera digital digunakan sebagai

perlengkapan survei lapangan. Bahan penelitian berupa citra satelit Aster, citra

satelit Landsat, data GDEM Aster, data kenaikan paras laut, data tinggi

gelombang, data pasang surut, peta penggunaan lahan dan data angin

3.3. Metode Penelitian

Dalam peneitian ini dilakukan pengolahan citra satelit dan survei lapang

untuk validasi. Diagram alir penelitian ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Diagram Alir Penelitian

Data Angin

Data Penggunaan Lahan

Overlayyy

Data Aster 2009

GDEM ASTER

Data Paras Laut

Data Landsat 2003 dan 2009

Data Gelombang

Data Pasut

Garis Pantai Kontur

Daerah Genangan

Peta Perubahan Garis Pantai

Generate Sesuai simulasi (GlobalMapper)

Intersect

Peta Prediksi Daerah Genangan

17

3.3.1 Pengumpulan dan pengolahan data

Data citra satelit ASTER dan data penggunaan lahan diperoleh dari

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), data GDEM ASTER, citra landsat 7

ETM, data kenaikan muka laut, data tinggi gelombang, data pasang surut dan arah

kecepatan angin didapatkan dengan cara mengunduhnya dari internet.

3.3.1.1 Data Kenaikan Paras Laut

Data kenaikan paras laut daerah Cirebon didapatkan melalui satelit

altimeter TOPEX dan JASON 1 yang dapat diunduh melalui situs

http://rads.tudelft.nl/rads/data/authentication.cgi.

Data kenaikan paras laut yang diunduh tersebut terdiri dari file-file

berformat ASCII yang telah dibentuk menjadi data "zip", terdiri dari passes atau

lintasan satelit di bumi dan cycle atau putaran satelit pada lintasan yang sama.

Selanjutnya data kenaikan paras laut yang digunakan memiliki interval waktu 10

hari selama 16 tahun (1993-2008) diolah menggunakan Microsoft Excel untuk

memperoleh trendline atau rata-rata kenaikan paras laut tiap tahun di daerah

pesisir Cirebon.

3.3.1.2 Data GDEM Aster

Data Global Digital Elevation Model (GDEM) diluncurkan kepada

masyarakat pada Bulan Juni 2009. Program GDEM ini merupakan hasil

kerjasama antara NASA dengan Jepang yang dalam hal ini diwakili oleh

Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang (METI). Data ASTER

bisa didapatkan melalui situs www.gdem.aster.ersdac.or.jp. Data GDEM ini

18

divalidasi oleh NASA, METI, dan US Geological Survey dan dengan dukungan

dari US National Geospatial-Intelligence Agency.

Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer

(ASTER) sendiri adalah salah satu dari lima instrumen pengamat bumi yang

diluncurkan oleh Terra pada Desember 1999. Data yang dihasilkan berformat Tag

Image Format (TIF), yang dapat dibuka pada software Global Mapper.

Selanjutnya diolah dengan software ArcView. Data GDEM menggunakan sistem

grid berukuran 1° x 1° atau 111,2 km x 111,2 km memilki ketelitian sebesar 30

meter. Area yang tercakup meliputi 83° LU hingga 83° LS atau berarti hampir

99% permukaan bumi tercakup pada data GDEM ini.

3.3.1.3 Data Citra Landsat 7 ETM +

Data Citra Landsat dapat diunduh di http://glovis.usgs.gov/. Citra yang

digunakan Citra landsat TM path 121 row 65 yang direkam pada tanggal 24 Maret

2009 dan Citra landsat TM path 121 row 65 yang direkam pada tanggal 15

Agustus 2003. Analisis data secara digital dilakukan dengan menggunakan

perangkat lunak Er mapper. Untuk mendeteksi perubahan garis pantai kemudian

menggunakan band 4 sebagai gray scale. Penggunaan band 4 secara langsung

akan memisahkan komponen laut dan darat. Kedua hasil klasifikasi di export .shp

kemudian ditumpang-tindihkan agar terlihat perbedaan garis pantai.

3.3.1.4 Pengolahan Data Kenaikan Paras Laut dan Simulasi Genangan

Data GDEM Aster dan nilai kenaikan paras laut diolah menggunakan

perangkat lunak global mapper. Untuk mengetahui trend paras laut maka data

tinggi paras laut rata-rata selama 16 tahun diplot secara linier dalam trend paras

19

laut dan dari persaman yang dihasilkan akan diperoleh laju tinggi paras laut,

selanjutnya berdasarkan trend paras laut dibuat simulasi genangan mulai dari 5,

10 dan 15 tahun kedepan. Untuk simulasi 5, 10 dan 15 tahun maka isi countour

interval pada Global Mapper nilai laju kenaikan tersebut dikalikan sesuai tahun

simuilasi. Setelah data GDEM Aster dan niai kenaikan paras laut diolah di Global

Mapper kemudian di export .shp selanjutnya di intersect dengan data garis pantai

yang telah di digitasi dari citra Aster 2009.

3.3.1.5 Data Pasang Surut

National Astronomical Observatory (NAO TIDE) adalah sebuah program

untuk memprediksi pasang surut yang berdasarkan waktu dan lokasi laut. Model

ini dikembangkan oleh pasang asimilasi TOPEX / data POSEIDON altimeter

yang digunakan dengan software fotran. NAO TIDE adalah program untuk

prediksi pasang surut laut di daerah Jepang menggunakan model regional dengan

resolusi tinggi. Data pasut dapat diunduh dari website :

http://www.miz.nao.ac.jp/staffs/nao99/README_NAOTIDE_En.html.

Data pasang surut yang digunakan dalam studi ini merupakan data prediksi

yang dikeluarkan oleh Dishidros dan dimasukkan nilai amplitudo dan fase tiap

anak pasang (M2, S2, N2, K1, O1, M4, MS4, K2, P1 k) kedalam program pasut

(tides application programme) yang dikeluarkan oleh Badan Pengkajian dan

Penerapan Teknologi (BPPT).

3.3.1.6 Koreksi Pasang Surut Terhadap Citra

Koreksi pasang surut perlu dilakukan agar dapat memperkecil kesalahan

dalam menganalisis perubahan garis pantai. Gambar 5 menunjukkan grafik

pasang surut saat perekaman citra, t

berbeda ketinggiannya, karena waktu pengambilan citra yang berbeda.

surut ketika citra diambil ternyata tidak

pasang surut perekaman dengan MSL hanya berbeda

akan mempengaruhi ketelitian pada citra.

Gambar 5

0

20

40

60

80

1000

:00

1:0

02

:00

Tin

gg

i P

asu

t (c

m)

pasang surut saat perekaman citra, tinggi pasang surut kemungkinan besar

, karena waktu pengambilan citra yang berbeda.

surut ketika citra diambil ternyata tidak jauh berbeda (Gambar 6), selisih antara

pasang surut perekaman dengan MSL hanya berbeda 4,5 cm. Perbedaan ini tidak

mempengaruhi ketelitian pada citra.

Gambar 5. Grafik pasang surut saat perekaman citra

a)

2:0

03

:00

4:0

05

:00

6:0

07

:00

8:0

09

:00

10

:00

11

:00

12

:00

13

:00

14

:00

15

:00

16

:00

17

:00

18

:00

19

:00

20

:00

21

:00

22

:00

23

:00

waktu

20

inggi pasang surut kemungkinan besar

Pasang

, selisih antara

erbedaan ini tidak

21

b)

Gambar 6. Koreksi pasang surut terhadap citra a) Sebelum dikoreksi dan b) Setelah dikoreksi

3.3.1.7 Data gelombang

Data nilai rata-rata tinggi gelombang signifikan daerah Pesisir Cirebon

didapat dari European Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF)

dengan menggunakan metode pemrosesan data reanalisis, pemodelan dan

asimilasi (numerical weather prediction) dari data satelit serta data insitu. Data

ini dapat diunduh dari http://data-portal.ecmwf.int/data/d/interim_daily/.

Data tinggi gelombang yang diunduh dari internet berformat netcdf

(network common data form) yang dapat dibaca dan diolah dengan menggunakan

Ocean Data View (ODV). Data yang disediakan memiliki resolusi spasial

berukuran 1,5° x 1,5° atau sekitar 166,8 km x 166,8 km dengan cakupan area

global. Secara temporal tersedia selama 20 tahun yakni dari Januari 1989 sampai

Maret 2010 dalam penelitian ini data yang digunakan selama 20 tahun (1990-

2009) dengan interval 6 jam, yaitu : Pukul 00:00, 06:00, 12:00, dan 18:00.

22

Gambar 7. Diagram alir pengolahan data gelombang signifikan

Pengolahan data rata-rata tinggi gelombang signifikan ditunjukkan pada

Gambar 7. Pengolahan data diawali dengan mengekstrak data berformat netcdf

(*.nc) dengan menggunakan ODV menjadi data berformat teks (*.txt) pada

stasiun yang berada di pesisir Cirebon, yaitu stasiun yang berkoordinat 6o LS dan

109,5o BT. Data dengan interval setiap 6 jam tersebut dirata-ratakan tiap tahun

sehingga diperoleh hasil berupa rata-rata tinggi gelombang signifikan per bulan

selama 17 tahun (1992-2009) yang mewakili daerah pesisir Cirebon (Gambar 2).

3.3.1.7 Data Angin

Perolehan data arah dan kecepatan angin didapat dari mengunduh data dari

situs European Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF)

http://ecmwf.int/ dengan selang waktu dari tahun 1992 sampai 2009 mengekstrak

data berformat netcdf (*.nc) dengan menggunakan ODV menjadi data berformat

teks (*.txt) selanjutnya diplotkan di surfer. Koordinat data angin terdiri dari 12

stasiun yaitu : (1) 6˚LS dan 106,5˚BT (2) 6˚ LS dan 108˚ BT (3) 6˚LS dan 109,5˚

BT (4) 6˚LS dan 111˚BT (5) 7,5˚LS dan 108˚ BT (6)7,5˚LS dan 111˚BT (7)7,5˚LS

Data *nc

Open ODV Export spreadsheet

Open Excell

Data Gelombang Perbulan

23

dan 106,5˚BT (8)7,5˚LS dan 109,5˚BT (9) 4,5˚LS dan 106,5˚BT (10) 4,5˚LS dan

108˚BT. (11) 4,5˚LS dan 109,5˚BT (12) 4,5˚LS dan 111˚BT.

3.3.2 Survei Lapang

Pengamatan lapangan dilakukan di sepanjang pantai wilayah pesisir

Cirebon pada 6 Oktober 2010. Untuk mengamati kondisi dan lokasi-lokasi di

wilayah pesisir dengan menggunakan GPS untuk menentukan posisi wilayah yang

diamati (Lampiran 12). Pada kegiatan penelitian ini juga dilakukan wawancara

dengan penduduk sekitar untuk mendapatkan informasi mengenai perubahan

penutupan/penggunaan lahan dan pasang surut daerah tersebut.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penggunan lahan

Penggunaan lahan yang terdapat di wilayah pesisir Kabupaten Cirebon

menurut survei LIPI (2009) terdiri dari bekas tambak/lahan kosong, kebun

campuran, mangrove, pemukiman lahan terbangun, sawah tadah hujan,

sawah/lahan kosong, tambak, tambak bandeng, tambak garam dan tubuh air

(Gambar 9). Di daerah Kecamatan Kapetakan penggunan lahan meliputi tambak

dan sawah irigasi. Daerah Krangkeng dan Gegesik merupakan pemukiman/lahan

terbangun. Di Cirebon Utara terdapat sawah tadah hujan dan pemukiman/lahan

dan di Cirebon Barat terdapat sawah tadah hujan. Di daerah Kejaksaan terdapat

semak/lahan kosong dan pemukiman/lahan terbangun. Untuk daerah Lemah

Wungkuk terdapat permukiman/lahan terbangun dan lahan kosong dan kebun

campuran. Di daerah Kesambi hanya terdapat terdapat sawah hujan. Pada daerah

Mundu terdapat semak/lahan kosong, sawah tadah hujan, tambak bandeng, kebun

campuran dan pemukiman lahan terbangun.

Berbeda halnya pada daerah Astanajapura dimana terdapat tambak

bandeng dan tambak garam yang mendominasi di daerah tersebut serta terdapat

juga sawah tadah hujan, pemukiman lahan terbangun dan kebun campuran. Di

daerah Babakan terdapat sawah tadah hujan, tambak bandeng, tambak garam dan

mangrove.

24

Gambar 9. Peta penggunaan lahan wilayah pesisir Kabupaten Cirebon (Rositasari., et al 2011).

Berdasarkan Gambar 9, luasan dari masing-masing penggunaan lahan

disajikan pada Tabel 5. Disamping itu tipe penggunaan lahan di wilayah

Kabupaten Cirebon didominasi oleh tambak termasuk tambak garam dan

bandeng, permukiman, kebun campuran, dan mangrove. Secara keseluruhan

penggunaan lahan yang paling luas di wilayah penelitian secara berturut-turut

adalah permukiman/lahan terbangun, sawah tadah hujan, kebun campuran,

mangrove dan tambak bandeng.

Tabel 5. Luas Penggunaan Lahan di Wilayah Pesisir Kabupaten Cirebon

4.2 Ketinggian

Berdasarkan data GDEM yang tertera pada Gambar 10 diketahui bahwa

secara umum wilayah pesisir Cirebon merupakan daerah dataran rendah dengan

ketinggian kurang dari 5 meter yang meliputi daerah Kapetakan, Cirebon Utara,

Gegesik, Krankeng, Cirebon Barat, Lemah Wungkuk, Mundu, Astanajapura.

Daerah Kecamatan Kepetakan, Gegesik dan Cirebon Utara merupakan dataran

dengan ketinggian 0- 2 meter, sedangkan di daerah Astanajapura, Mundu, Lemah

Wungkuk memilki ketinggian wilayah sebesar 2 – 5 meter.

No Penggunaan Lahan Luas (ha) 1 Sawah Irigasi 18.878,7 2 Permukiman/Lahan Terbangun 20.893,4 3 Sawah Tadah Hujan 20.840,6 4 Kebun Campuran 19.666,4 5 Mangrove 19.323,8 6 Tambak Garam 3.051,3 7 Tambak Bandeng 18.564,5 9 Tambak 14.071,1 10 Bekas Tambak/Lahan Kosong 9.575,7 11 Lahan Kosong 16.803,7 12 Tubuh air 15.817,8

26

Gambar 10. Peta ketinggian wilayah pesisir Cirebon

27

4.3 Kenaikan Paras Air Laut

Salah satu faktor fis

naiknya paras laut. Trend

hingga 2008 di pesisir Cirebon diplotkan

bahwa tinggi paras cenderung

2008 dengan laju sebesar 4,

paras laut di pesisir Cirebon mengikuti pola linier dengan persamaan Y= 2,578 X

+ 27,66. Berdasarkan laju kenaikan paras laut

laut selama 5, 10 dan 15

mm, 43,06 mm dan 64,60 mm.

Gambar 11

4.4 Simulasi Daerah Genangan

Berdasarkan laju kenaikan tinggi paras laut

akan terjadi genangan di wilayah pantai

yang tertera pada Gambar

lampiran 1 dan 2. Warna merah pada peta merupakan area

tergenang akibat peningkatan

Air Laut

Salah satu faktor fisik yang dapat mempengaruhi kerentanan pantai adalah

Trend tinggi paras laut selama 16 tahun mulai dari tahun 1993

Cirebon diplotkan pada Gambar 11. Secara umum

inggi paras cenderung mengalami kenaikan dari tahun 1993 hingga tahun

ebesar 4,3 mm/tahun. Nilai laju didapatkan dari trend

paras laut di pesisir Cirebon mengikuti pola linier dengan persamaan Y= 2,578 X

Berdasarkan laju kenaikan paras laut dapat diprediksi kenaikan paras

an 15 tahun kedepan yakni berturut-turut adalah sebesar

60 mm.

Gambar 11. Fluktuasi paras laut (1993-2008)

Daerah Genangan

laju kenaikan tinggi paras laut sebesar 4,3 mm/tahun maka

akan terjadi genangan di wilayah pantai Cirebon selama 15 tahun kedepan

tertera pada Gambar 12 dan 13. Untuk 5 dan 10 tahun kedepan tertera pada

arna merah pada peta merupakan area pesisir yang

kibat peningkatan paras air laut.

28

antai adalah

tahun 1993

Secara umum terlihat

hingga tahun

trend kenaikan

paras laut di pesisir Cirebon mengikuti pola linier dengan persamaan Y= 2,578 X

rediksi kenaikan paras

sebesar 21,53

4,3 mm/tahun maka

epan seperti

Untuk 5 dan 10 tahun kedepan tertera pada

akan

29

Gambar 12 merupakan hasil overlay (tumpang-tindihkan) daerah genangan

dengan peta tata guna lahan menunjukkan adanya lahan tambak yang akan

tergenang di daerah Kecamatan Cirebon Utara dan Kecamatan kapetakan, di

Kecamatan Lemah Wungkuk ada daerah lahan kosong yang akan tergenang, di

Kecamatan Astanajapura tambak bandeng dan tambak garam akan tergenang

sedangkan di Kecamatan Babakan akan tergenang tambak bandeng.

Untuk memperjelas daerah genangan maka pada Gambar 14, 15 dan

tertera pada lampiran 3, 4, 5, 6 dan 7 wilayah pesisir Cirebon dibagi kedalam 5

wilayah dan terlihat bahwa Kecamatan Cirebon yang lebih dominan akan

mengalami genangan. Daerah pesisir Cirebon yang terkena dampak kenaikan

paras laut adalah Kapetakan, Cirebon Utara, Kejaksan, Lembah Wungkuk,

Wundu, Astanajapura dan Babakan. Simulasi luasan genangan pada 5, 10 hingga

15 tahun mendatang menunjukkan peningkatan luas genangan seiring dengan

bertambahnya waktu seperti pada Tabel 6.

Tabel 6. Luas Genangan dan Kenaikan Paras Laut Prediksi 5,10 dan 15 tahun yang akan datang

Wilayah pesisir pantai Cirebon dicirikan dengan topografinya yang landai

seperti yang ditunjukan pada Gambar 5. Menurut Arifin et. al., (2009), wilayah

pesisir Pantai Utara Jawa dicirikan dengan kedalaman perairan yang dangkal (50

m) dan topografi yang landai. Kenaikan paras laut dapat menyebabkan proses

abrasi (pengurangan) dan akresi (penambahan) wilayah pesisir. Terjadinya

pengurangan luas atau perubahan penggunaan (landuse) yang lebih cepat di

Tahun ke- Luas Genangan (ha) Kenaikan Muka Laut (mm)

5 3762,6 21,53 10 3772,4 43,06 15 3790,3 64, 60

30

Cirebon dapat disebabkan oleh tipe penggunaan lahan yang umumnya adalah

tambak, mangrove ataupun sawah. Lahan-lahan tersebut akan mudah tergenang

oleh kenaikan beberapa cm permukaan laut.

Gambar 12. Peta simulasi genangan wilayah pesisir Cirebon 15 tahun kedepan berdasarkan laju kenaikan tinggi paras laut.

Gambar 13. Peta penggunaan lahan yang tergenang wilayah pesisir Cirebon 15 tahun kedepan akibat kenaikan paras laut.

31

a)

b) Gambar 14. Peta prediksi genangan a) Wilayah 1 dan b) Wilayah 2 dalam

15 tahun kedepan.

32

a)

b)

c)

Gambar 15. Peta prediksi genangan a) Wilayah 3, b) Wilayah 4 dan c) Wilayah 5 dalam 15 tahun kedepan.

33

4.5 Perubahan Garis pantai

Hasil analisis perubahan garis pantai Cirebon berdasarkan data Landsat

tahun 2003 dan tahun 2009 menunjukkan terjadinya perubahan garis pantai

seperti tertera pada Gambar 16 dan Gambar 17. Pada Gambar 16 terlihat bahwa

di bagian timur Kecamatan Astanajapura garis pantai pada tahun 2009 mengalami

kemunduran dibandingkan dengan tahun 2003. Kemunduran ini disebabkan

terjadinya proses abrasi (pengikisan). Di bagian utara Kecamatan Astanajapura

garis pantai tahun 2009 mengalami penambahan atau maju dibandingkan dengan

garis pantai tahun 2003. Hal ini menunjukkan bahwa di bagian utara terjadi

akresi. Tabel 7 menunjukan besarnya luasan daerah yang terkena abrasi dan akresi

pada Kecamatan Astanajapura dan Kecamatan Kapetakan, besar yang terjadi

akibat abrasi dan akesi adalah seluas 10,4 ha dan 12,8 ha.

Tabel 7. Luasan daerah yang terkena abrasi dan akresi

Daerah Luasan (ha) Keterangan Kecamatan Astanajapura 10,4 Terjadi abrasi Kecamatan Kapetakan 12., 8 Terjadi akresi

Perubahan garis pantai dapat disebabkan berbagai faktor mulai dari faktor

alam maupun faktor manusia. Fakor alam misalnya angin, arus, pasang surut

kenaikan paras laut serta terjadinya bencana tsunami sedangkan faktor manusia

misalnya penggalian, pengerukan, penanaman hutan pantai, pembuatan lahan

pertanian dan tambak merupakan faktor yang bisa merubah garis pantai. Pesisir

Cirebon sangat didominasi oleh lahan tambak dan juga hutan mangrove.

Menurut Arifin et al. (2009), dalam 10 tahun terakhir pantai Cirebon mengalami

perkembangan dalam pemanfaatan lahan dan terjadi perubahan akibat proses

alam seperti abrasi dan akresi.

34

Gambar 16. Peta perubahan garis pantai pesisir Cirebon

(Kecamatan Kapetakan) tahun 2003 dan 2009

Gambar 17. Peta perubahan garis pantai pesisir Cirebon

(Kecamatan Astanajapura) tahun 2003 dan 2009.

35

4.6 Tinggi Gelombang Signifikan

Teori pembangkit gelombang oleh angin menurut Franklin (1979) dalam

Open University Course Team (1983) mengatakan bahwa “Udara yang bergerak,

yaitu angin melewati permukaan halus, akan mengganggu permukaan dan

menjadikan permukaan tersebut bergelombang, jika bertiup terus maka menjadi

elemen gelombang”. Hal ini senada dengan teori Philip (1957) dalam Holthuijsen

(2007) yang menyatakan bahwa saat permukaan air datar, maka keberadaan angin

akan menyebabkan tekanan turbulen pada permukaan air.

Faktor alam yang mempengaruhi perubahan garis pantai diantaranya

adalah angin dan gelombang. Arah angin mempunyai kesesuaian dengan arah

gelombang. Kekuatan gelombang tergantung dari kekuatan angin yang

membangkitkannya. Semakin besar energi angin yang bertiup diatas permukaan

laut maka semakin besar gelombang yang ditimbulkan.

Data arah angin disajikan dalam data bulanan mulai dari tahun 1992

sampai 2009 (Lampiran 9). Arah angin saat musim timur dan musim peralihan II

berasal dari arah timur atau arah tenggara menuju arah barat atau barat laut.

Sedangkan saat musim barat arah angin berasal dari barat menuju ke timur. Arah

angin yang bertiup tahun 1992-2009 lebih dominan berasal dari timur atau arah

tenggara menuju ke arah barat atau barat laut.

Pada Gambar 18 dan 19 berturut-turut menunjukkan arah dan kecepatan

angin pada tanggal 14, 15 dan 16 Agustus 2003 yang merupakan bagian dari

puncak musim timur dan pada tanggal 23, 24 dan 25 Maret 2009 merupakan

bagian dari musim peralihan I. Pada periode musim timur arah angin dari

tenggara menuju barat laut dan kecepatan angin berkisar 2-6,9 m/s. Pada periode

36

musim peralihan I arah angin tidak menentu dan kekuatan angin pada umumnya

lemah dibandingkan saat musim timur yang berkisar 0,2-4,8 m/s.

Arah angin yang dominan dari timur ke barat dipesisir timur Astanajapura

(Gambar 17) mengakibatkan pengikisan garis pantai didaerah tersebut.

Sedangkan di bagian barat Astanajapura akan mengalami penambahan garis

pantai.

37

a)

b)

c) Gambar 18. Arah dan kecepatan angin a) 14 Agustus 2003, b) 15 Agustus 2003,

dan c) 16 Agustus 2003.

38

a)

b)

c)

Gambar 19. Arah dan kecepatan angin a) 23 Maret 2009, b) 24 Maret 2009, dan c) 25 Maret 2009.

39

Gambar 20 dan Tabel 8 menunjukan hasil pengolahan data Tinggi

Gelombang yang bersumber dari ECMWF. Tinggi gelombang signifikan

merupakan rata-rata tinggi gelombang dari sepertiga gelombang laut tertinggi.

Gambar tersebut menunjukan rata-rata tinggi gelombang signifikan di Pesisir

Cirebon dalam kurun waktu 17 tahun. Data tinggi dan arah gelombang disajikan

dalam data bulanan mulai dari tahun 1992 sampai 2009 (Lampiran 8). Nilai

gelombang signifikan rata-rata terbesar terjadi pada tahun 2008 dan terendah pada

tahun 2000.

Gambar 20. Grafik rata-rata tinggi Gelombang Signifikan di Pesisir Cirebon tahun 1992-2009.

Tabel 8 menunjukan rata-rata nilai tinggi gelombang signifikan di Pesisir

Cirebon. Tinggi gelombang signifikan pada pesisir Cirebon pada tahun 1993

sampai 2008 berkisar antara 0,388 m sampai 0,566 m. Nilai maksimum tinggi

gelombang pada tahun 1996 sebesar 1.83583 dan nilai minimum sebesar 0.06672

pada tahun 2000.

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

Jan

-92

De

c-9

2

No

v-9

3

Oct

-94

Se

p-9

5

Au

g-9

6

Jul-

97

Jun

-98

Ma

y-9

9

Ap

r-0

0

Ma

r-0

1

Fe

b-0

2

Jan

-03

De

c-0

3

No

v-0

4

Oct

-05

Se

p-0

6

Au

g-0

7

Jul-

08

Jun

-09

Tin

gg

i G

elo

mb

an

g (

m)

Bulan-Tahun

40

Tabel 8. Kisaran tinggi gelombang signifikan (m) periode 1993-2008 di pesisir Cirebon

Tahun Maks Min Rata-Rata (m) 1993 1.71 0.06 0.45 1994 1.38 0.06 0.43 1995 1.54 0.09 0.52 1996 1.83 0.07 0.48 1997 1.54 0.08 0.53 1998 1.23 0.09 0.38 1999 2.09 0.08 0.50 2000 1.46 0.06 0.45 2001 2.09 0.07 0.44 2002 1.45 0.09 0.44 2003 1.24 0.10 0.48 2004 1.34 0.09 0.50 2005 1.16 0.07 0.48 2006 1.75 0.08 0.51 2007 1.83 0.07 0.51 2008 1.72 0.10 0.56

Sumber:ECMWF

4.7 Pasang Surut

Gambar 21 panel atas fluktuasi muka laut yang diplotkan selama 1 bulan

(Maret 2009), pada panel bawah menunjukan pasang surut saat perekaman citra

yang terjadi di Pesisir Cirebon. Tipe pasut di daerah ini campuran dominan ganda

(mix semi diurnal tide). Tidal range sebesar 0,89 m dan nilai MSL 0,5 m. Tipe

pasut yang terjadi pada saat itu yang digambarkan oleh Wyrtki (1961) dan

Pariwono dalam Ongkosongo dan Suyarso (1989). Berdasarkan data prakiraan

dari dua stasiun (Tanjung Priok dan Cirebon), tipe pasut di wilayah pantai Jawa

Barat bagian utara termasuk kategori campuran mengarah ke semidiurnal.

Pada saat pasang tertinggi

pada gambar peta ketinggian

m, daerah tersebut akan terendam

secara umum dilapangan teramati bahwa daerah

kegiatan tambak.

00.10.20.30.40.50.60.70.80.9

1

0:0

01

2:0

00

:00

12

:00

0:0

01

2:0

00

:00

12

:00

0:0

01

2:0

00

:00

12

:00

0:0

01

2:0

0

Tin

gg

i P

asu

t (m

)

00.20.40.60.8

1

Gambar 21.Grafik pasang surut

saat pasang tertinggi, daerah dengan topografi yang rendah

pada gambar peta ketinggian (Gambar 10), daerah yang memiliki ketinggian 0

daerah tersebut akan terendam air laut yang disebabkan oleh pasang surut,

secara umum dilapangan teramati bahwa daerah-daerah ini digunakan untuk

0:0

01

2:0

00

:00

12

:00

0:0

01

2:0

00

:00

12

:00

0:0

01

2:0

00

:00

12

:00

0:0

01

2:0

00

:00

12

:00

0:0

01

2:0

00

:00

12

:00

0:0

01

2:0

00

:00

12

:00

0:0

01

2:0

00

:00

12

:00

0:0

01

2:0

00

:00

12

:00

0:0

01

2:0

00

:00

12

:00

0:0

01

2:0

00

:00

12

:00

Waktu

41

topografi yang rendah seperti

ki ketinggian 0-2

ng surut,

digunakan untuk

0:0

01

2:0

00

:00

12

:00

0:0

01

2:0

00

:00

12

:00

0:0

01

2:0

00

:00

12

:00

42

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dengan asumsi bahwa kondisi oseanografi dan lingkungan lainnya tetap

seperti sekarang maka diprediksi laju kenaikan paras laut sebesar 4.3 mm/tahun.

Simulasi laju kenaikan paras laut pada 5,10 dan 15 tahun mendatang masing-

masing sebesar 21,53 mm, 43,06 mm 64,60 mm dan luasan genangan daerah

pesisir berturut- turut sebesar 3762,6 ha, 3772,4 ha, dan 3790,3 ha.

Daerah-daerah yang dominan rawan genangan pada 5, 10 dan 15 tahun

mendatang meliputi lahan tambak (di daerah Kecamatan Cirebon Utara dan

Kecamatan Kapetakan), lahan kosong (di Kecamatan Lemah Wungkuk), tambak

bandeng dan tambak garam (di Kecamatan Astanajapura), sedangkan di

Kecamatan Babakan adalah tambak bandeng.

Wilayah genangan dimana terjadi abrasi dan akresi didaerah Kecamatan

Astanajapura dan Kecamatan Kapetakan, masing-masing luasan sebesar 10,4 ha

dan 12,8 ha.

5.2 . Saran

Diperlukan studi tingkat kerentanan pantai terhadap kenaikan paras air

laut.

42

43

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Z., R. Rositasari, R., Hadikusumah, Suyarso, Helfinalis, S. Tarigan, W. B. Setiawan, Y. Witasari, Afdal, B. Prayuda, Suratno, A. Bayu, Y. I. Ulumuddin dan A. S. Budiman. 2008. Kajian perubahan iklim terhadap ekosistem. pesisir. Laporan tahunan, Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI. Jakarta

ASTER GDEM (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Global

Digital Elevation Model). http://gdem.aster.ersdac.or.jp. [2 Mei 2010]. Barus, B., dan U.S. Wiradisastra, 2000. Sistem Informasi Geografi, Laboratorium

Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB, Bogor.

Bapeda. 2008 . http://bappeda.cirebonkab.go.id/. [5 Juli 2009]. Diposaptono, S., Budiman, F. Agung. 2009. Menyiasati Perubahan Iklim di

wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil. PT.Sarana Komunikasi Utama. Bogor.

European Centre for Medium-Range Weather forecasts (ECMWF). http://data-portal.ecmwf.int/data/d/interim_daily/. [8 Maret 2011]. Harmoni, A. 2005. Dampak Sosial Ekonomi Perubahan Iklim. Proceeding.

Seminar Nasional PESAT 2005. Hal:62-68.

Kalay, D. E. 2008. Perubahan Garis Pantai Di Sepanjang Pesisir Pantai Indramayu. Thesis. Sekolah Pacsa Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Kurdi, S., Z. Wahyu S.Y., Vita M. D. 2001. Indikasi kenaikan muka air laut pada kota pantai Di kotamadya Makassar. Proceeding. Studi Dampak Timbal Balik Antar Pembangunan Kota dan Perumahan di Indonesia dan Lingkungan Global. Hal:90-114.

Kushardono, D. 2003. Teknologi Penginderaan Jauh dalam Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Lautan. LAPAN. Jakarta. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). 2006. Berita Inderaja.

Deputi Bidang Penginderaan Jauh.

Lillesand, T. M. dan Ralph. W. K. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Alih bahasa: R. Dulbahri. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

43

44

Mastra, R. R. 2003. Penggunaan Citra Untuk Memantau Perubahan dan Kerusakan Kawasan Pantai. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Pariwono, J. I. 1989. Gaya penggerak Pasang Surut. O. S. R. Ongkosongko dan Suryarso (ed). Pasang Surut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi (P3O-LIPI). Jakarta.

. 1992. Proses-Proses Fisik Di Wilayah Perairan Pantai. Modul Kursus Pelatihan Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan Holistik. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Prihatini, D. 2004. Fluktuasi Periode Panjang Dari arus Di Perairan Cilacap dan Selat Makasar Serta Paras Laut di Selat Lombok Pada Tahun 1997. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor.

Putra, A. 2007. Aplikasi Citra Landsat 7 ETM+ Untuk Kajian Perubahan Garis Pantai dan Penutupan Lahan di Selatan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Pra dan Pasca Tsunami Tahun 2006. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor.

Radar Altimeter Database System (RADS). 2010. http://rads.tudelft.nl/rads/ data/authentication.cgi. [10 Mei 2010].

Rahardjo, S. 2004. Seri Oseanografi Umum.Gelombang.Ed I. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Rahayu, F. 2000. Kondisi Gelombang dan Pengaruhnya Terhadap Pergerakan Sedimen Di Perairan Pantai Yogyakarta-Cilacap Pada Bulan April-Mei 1999. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor.

Rositasari, R., W. B. Setiawan, I. H. Supriadi, Hasanuddin dan Bayu Prayuda.

2011. Kajian Dan Prediksi Kerentanan Pesisir Terhadap Perubahan Iklim: Studi Kasus Di Pesisir Cirebon. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 3(1) : 52-64.

Sutrisno, D. 2005. Perbandingan Perubahan Garis Pantai Hasil Pemodelan Pemunduran Garis Pantai (Shoreline Retreat Model) Dan Hasil Pemodelan Penginderaan Jauh. Proceeding. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV “Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa”. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya. Hal:280-286.

National Research Council (NRC). 1990. Sea Level Change.National Academy

Press.Washington D.C.

45

Tarigan, S. M. 2007. Perubahan Garis Pantai Di Wilayah Pesisir Perairan

Cisadane, Provinsi Banten. Makara XI (1) : 49-55. Trisakti, B. 2005. Orthorektifikasi Data Citra Resolusi Tinggi (Aster dan Spot)

Menggunakan Aster DEM. Proceeding. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV “Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa”. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya. Hal:35-41.

Trisakti, B. 2006. Pemanfaatan Dem Data Stereo Sensor Aster Untuk

Pengembangan Model Updating Topografi. Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderan Jauh Lembaga Penerbangan Dan Antariksa Nasional (LAPAN). Jakarta.

Trisakti, B. 2009. DEM From Prism-Alos and Aster Stereoscopic Data.

International JournaI of Remote Sensing and Earth Sciences. 6:29-38. Wirasatriya, A, A. Hartok, Suripin. 2006. Kajian Kenaikan Muka Laut Sebagai

Landasan Penanggulangan Rob Di Pesisir Kota Semarang. Jurnal Pasir Laut. 1(2) : 31-42.

Wheeler, P. J., M. L. F. Coller., J. Kunapo J.A., P. M. Mc Mahon. 2008.

Facilitating Coastal Zone Inundation Awareness Using Gis-Based scenario modelling and multimedia visualization. Centre for GIS, School of Geography and Environmental Science, Monash University, Victoria, Australia.Faculty of Information Technology, Monash University, Victoria, Australia.

Wyrtki, K. 1961. Physical Oceanography of The Southeast Asian Water. NAGA Report Vol 2. Scripps Inst. Oceanography. The University of California La Jolla, California.

USGS. 2010. Landsat Mission. http://landsat.usgs.gov. [1 April 2010].

46

47

Lampiran 1. Peta Prediksi Genangan Pesisir Cirebon a) 5 tahun kedepan dan b) 10 tahun kedepan

a)

b)

48

Lampiran 2. Peta prediksi genangan pesisir Cirebon a) 5 tahun kedepan dan b)10 tahun kedepan

a)

b)

49

Lampiran 3. Peta Prediksi genangan pesisir Kabupaten Cirebon (Kecamatan Kapetakan) a)5 tahun kedepan dan b)10 tahun kedepan.

a)

b)

50

Lampiran 4. Peta prediksi genangan pesisir Kabupaten Cirebon (Kecamatan Cirebon Utara) a) 5tahun kedepan dan b) 10 tahun kedepan.

a)

b)

51

Lampiran 5. Peta prediksi genangan pesisir Kabupaten Cirebon (Kecamatan Lemah Wungkuk) a) 5tahun kedepan dan b) 10 tahun kedepan.

a)

b)

52

Lampiran 6. Peta Prediksi wilayah pesisir Kabupaten Cirebon (Kecamatan Astanajapura) a) 5 tahun kedepan dan b) 10 tahun kedepan.

a)

b)

53

Lampiran 7. Peta Prediksi genangan pesisir Kabupaten Cirebon (Kecamatan Babakan) a) 5 tahun kedepan dan b) 10 tahun ke depan.

a)

b)

54

Lampiran 8. Tinggi dan Arah Gelombang Perbulan tahun 1992-2009

55

56

Lampiran 9. Arah dan kecepatan Angin Perbulan tahun1992-2009

57

58

59

60

Lampiran 10. Arah dan Kecepatan Angin rata-rata 3 hari (14-16 Agustus 2003)

61

Lampiran 11. Arah dan Kecepatan Angin rata-rata 3 hari (23-25 Maret 2009)

62

Lampiran 12. Foto dan Peta Survey Lapang

(1) Pelabuhan (2) Tambak Garam (5) Sawah

Pesisir Pantai Cirebon

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta tanggal 12 Juli 1987

dari pasangan Bapak M.Mansyur Cholid dan Ibu Een

Nur Erajat. Penulis merupakan anak ke empat dari lima

bersaudara.

Pada tahun 2005 penulis menyelesaikan

pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri 61 (SMAN 61) Jakarta Timur. Pada

tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor,

melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Selama mahasiswa penulis aktif dalam berbagai kegiatan organisasi antara

lain Anggota UKM Music Agriculture Expression (MAX). Anggota Departemen

Hubungan Luar Komunikasi, HIMITEKA periode 2007-2009 dan keanggotaan

kepanitian yang lainnya. Penulis sebagai asisten mata kuliah dasar-dasar

penginderaan jauh.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, penulis menyelesaikan skripsi

dengan judul ” studi dampak kenaikan paras laut dengan memanfaatkan data

ASTER/ GDEM ASTER dan Topex Poseidon/Jason 1”.