filsafat1 handout umum
DESCRIPTION
materi semester 1disusun oleh (Alm) Dr. Kabul BudionoTRANSCRIPT
1
HANDOUT
Filsafat 1 Umum
Oleh
DR. H. Kabul Budiyono, M.Si
2
PENGANTAR
3
BERPIKIR DALAM PEMECAHAN MASALAH
3
PEMECAHAN
MASALAH
PERLU
BERPIKIR
ILMIAH
BERPIKIR
LOGIS
- METODE INDUKTIF
FAKTA
DATA EMPIRIS/PSYKOLOGIS
ILMU PASTI
PENGETAHUAN EMPIRIK
DATA
METODE ILMIAH
LOGIKA DEDUKTIF
LOGIKA INDUKTIF
PENALARAN ILMIAH
- METODE DEDUKTIF
4
LOGIKA INDUKTIF
LOGIKA INDUKTIF
4
MENGOLAH DATA EMPIRIS/DATA PSIKOLOGIS YANG DIPEROLEH MELALUI PROSES PENGAMATAN INDERAWI
BERUSAHA MENEMUKAN SIFAT DAN HUKUM ALAM (EMPIRIS)
MENGOLAH DATA EMPIRIS/DATA PSIKOLOGIS YANG DIPEROLEH MELALUI PROSES PENGAMATAN INDERAWI
55
AKTIVITAS MANUSIA
PENGERTIAN BERSIFAT ABSTRAK
PROSES PEMBENTUKA
N PENGERTIAN
PENGALAMAN EMPIRIK
AKTIVITAS AKAL BUDI
PERENUNGAN
PEMIKIRAN
AKTIVITAS INDERAWI
AKTIVITAS MANUSIA
DATA PSIKOLOGIS
DATA EMPIRIK
66
PENGERTIAN DENGAN LAMBANG BAHASA =
KATA (WORD)
KATA SEBAGAI FUNGSI DARI PENGERTIAN
DISEBUT TERM
RANGKAIAN PENGERTIAN & TERM =
PROPOSISI / PERNYATAAN
PROPOSISI TERBENTUK MELALUI :
- Pengertian menerangkan pengertian- Pengertian mengingkari pengertian- Pengertian mengakui pengertian
PENYIMPULAN :
- Generalisasi
- Analogi
PENALARAN
7
BAB I
PENGETAHUAN
88
PENGERTIANPENGETAHUAN :
• Pengetahuan adalah suatu sistem gagasan yang bersesuaian dengan sistem benda dan dihubungkan oleh keyakinan
Tiga hal yang harus dipenuhi oleh pengetahuan :
1. Adanya suatu sistem gagasan dalam pikiran;
2. Gagasan ini sesuai dengan benda-benda yang sebenarnya ada
3. Harus ada suatu keyakinan tentang adanya persesuaian
• Salah satu dari tiga unsur hilang, pengetahuan tidak akan terjadi.
Jadi kalaupun ada gagasan dan ada pula benda-benda yang sesuai gagasan tetapi tidak ada keyakinan tentang persesuaiannya, maka tidak akan terjadi pengetahuan
99
SUMBER PENGETAHUAN
TIGA SUMBER PENGETAHUAN :
Pengetahuan yang diperoleh dari pengamatan langsung
1. Pengetahuan yang diperoleh dari suatu konklusi
2. Pengetahuan yang diperoleh dari kesaksian dan authority
PENGETAHUAN LANGSUNG :
Diperoleh dari dua sumber yaitu Persepsi Ekstern dan Persepsi Intern
- Persepsi Ekstern : secara langsung dapat diketahui adanya suatu benda dalam dunia luar melalui indera, seperti mata, telinga, hidung, dsb
- Persepsi Intern/Introspeksi, secara langsung dapat diketahui keadaan dalam diri kita sendiri
Misal : Kesenangan dan Kesedihan
10
PENGETAHUAN HASIL KONKLUSI :
- Menarik sesuatu yang belum diketahui, dengan pertolongan
materi atau data yang ada. Materi atau data yang ada diperoleh
dari pengetahuan langsung
- Misal : melihat asap, dari asap dapat diketahui ada api (konklusi)
- Pengetahuan tentang api diperoleh dengan menarik konklusi dari
adanya asap, yang dengan alat indera.
10
1111
KESAKSIAN DAN AUTHORITY :
- Kesaksian adalah keterangan yang diperoleh dari seseorang yang dapat dipercaya
- Lapangan untuk memperluas pengetahuan manusia melalui pengetahuan langsung sangat terbatas
- Kebutuhan sehari-hari menghendaki perluasan pengetahuan yang dapat diraih oleh setiap individu
- Maka orang mencari cara lain untuk mendapatkan pengetahuan dan keluar dari batas-batas pengetahuan langsung, salah satu cari melalui kesaksian orang lain yang dapat dipercaya
- Authority dengan kekuatannya mempengaruhi pendapat orang lain dan menanamkan kepercayaannya
- Pengetahuan yang diperoleh dengan authority harus diuji terlebih dahulu agar tidak menyesatkan disebabkan oleh pengaruh perasaan terhadap individu, benda dan lembaga
12
BENTUK-BENTUK PENGETAHUAN
Pengetahuan langsung diperoleh melalui persepsi langsung, yaitu persepsi ekstern dan persepsi intern- Pengetahuan tak langsung diperoleh dengan cara : konklusi, kesaksian, dan authority- Konklusi adalah cara memperoleh pengetahuan secara tidak langsung, dengan perantaraan sesuatu yang lain yang telah diketahui terlebih dahulu.
Contoh : Diketahui adanya api karena melalui adanya asap- Kesaksian dan authority, adalah cara memperoleh pengetahuan secara tak langsung, karena diperoleh tidak melalui persepsi langsung, tetapi melalui perantaraan orang atau lembaga lain- Logika hanya berhubungan dengan pengetahuan tidak langsung, alasannya karena logika berhubungan dengan pembuktian tentang kebenaran dan tidak benar•Kebutuhan akan pembuktian kebenaran sesuatu hanya timbul apabila pengetahuan itu hasil konklusi dan authority, karena disini terdapat kemungkinan ketidakbenaran
12
1313
CARA MEMBEDAKAN ANTARA PENGETAHUAN
YANG
SATU DENGAN PENGETAHUAN LAINNYA
1. Apa yang dikaji oleh pengetahuan itu (Ontologi)?
2. Bagaimana caranya mendapatkan pengetahuan
tersebut (Epistemologi)
3. Untuk apa pengetahuan tersebut digunakan
(Aksiologi)
1414
MANUSIA DALAM MENYUSUN PENGETAHUAN ALAM DAN ISINYA
1. Tidak lagi menggunakan metode yang bersifat normatif dan deduktif, melainkan kombinasi antara deduktif dan induktif, melalui jembatan hipotesis yang dikenal dengan “LOGICO – HYPOTHETICO – VERIFIKATIF”
2. Tiap ilmu dimulai dengan Filsafat dan diakhiri dengan Seni (Durant, 1933:2), muncul dalam Hipotesis dan berkembang ke keberhasilan
1515
TIGA TINGKAT PERKEMBANGAN PENGETAHUAN
Menurut Auguste Comte (1798 – 1857) : Tahap Religius, Metafisik dan Positif
1. Tahap Pertama : Azas Religi yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran dari ajaran Religi
2. Tahap Kedua, orang mulai berspekulasi tentang metafisika (kebenaran) wujud yang menjadi objek penelaahan yang bebas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar Postulat Metafisik
3. Tahap Ketiga : Tahap pengetahuan ilmiah, (ilmu) dimana azas-azas yang digunakan diuji secara positif dalam proses verifikasi yang obyektif
16
BAB II
ILMU / SAINS
17
1.Pengertian
Ilmu adalah hasil proses berpikir lebih lanjut tentang pengetahuan, yang dilakukan secara sistematis dan terukur
18
KARAKTERISTIK SAINS
Beberapa karakteristik sains, membawa manusia pada kemajuan dalam pengetahuannya :
1. RANDALL dan BUCHKER (1942) mengemukakan ciri-ciri umum sains di antaranya :a. HASIL SAINS bersifat akumulatif dan merupakan milik bersama. Artinya, hasil sains yang lalu dapat digunakan untuk penyelidikan dan penemuan hal-hal baru, dan tidak menjadi monopoli bagi yang menemukannya saja. Setiap orang dapat menggunakan dan memanfaatkan hasil penemuan orang lainb. HASIL SAINS kebenarannya tidak mutlak, dan bisa terjadi
kekeliruan karena yang menyelidikinya adalam manusia. Tetapi perlu disadari bahwa kesalahan bukan karena metode, melainkan terletak pada manusia yang menggunakan metode tersebutc. SAINS bersifat objektif, artinya prosedur kerja atau cara penggunaan metode sains tidak tergantung kepada yang menggunakan, tidak tergantung pada pemahaman secara pribadi
19
RALPH ROSS dan ERNEST VAN DEN HAAQ (Harsojo, 1977), mengemukakan ciri-ciri sains :
1.Bersifat Rasional : hasil berpikir dengan menggunakan rasio/akal
2.Bersifat Empiris : karena diperoleh dari perngalaman panca indera
3.Bersifat Umum : karena hasil sains dapat digunakan oleh semua manusia
4.Bersifat Akumulatif : karena hasil sains dapat digunakan untuk obyek penelitian berikutnya
20
KELEBIHAN SAINS
Dengan Sains dan Teknologi memungkinkan manusia dapat bergerak atau bertindak dengan cermat dan cepat, karena sains dan teknologi merupakan hasil kerja pengalaman, observasi, eksperimen dan verifikasi
21
KEKURANGAN SAINS
Kekurangan secara konseptual dan esensial dapat dianggap berbahaya bagi kehidupan manusia, karena :1. SAINS bersifat objektif, menyampingkan penilaian yang
bersifat subjektif. Sains mengesampingkan tujuan hidup, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai pembimbing bagi manusia dalam menjalani hidup ini (Hocking, 1942)
2. Manusia hidup dalam kurun waktu yang panjang. Bila ia terbenam dalam dunia fisik, maka akan hampa dari makna dalam hidup yang penuh arti ini. Oleh karena itu, Sains membutuhkan pendampingan dalam operasinya,elain filsafat untuk memberikan nilai-nilai hidup, yang paling penting adalah agama yang memiliki kebenaran dan nilai-niai hidup yang mutlak.Menurut ALBERT EINSTEIN “Science without religion is lame, religion without science is blind” (Sains tanpa agama lumpuh dan agama tanpa Sains adalah buta)
22
BAB III
FILSAFAT
23
PENGERTIAN FILSAFAT
Kata “filsafat” berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu dari kata “philos” dan “sophia”. Philos artinya cinta yang sangat mendalam, dan sophia artinya kearifan atau kebijakan. Jadi, arti filsafat secara harafiah adalah cinta yang sangat mendalam terhadap kearifan atau kebijakan. Istilah filsafat sering dipergunakan secara populer dalam kehidupan sehari-hari, baik secara sadar maupun tidak sadar.
24
Dalam penggunaan secara populer, filsafat dapat diartikan sebagai suatu pendirian hidup (individu), dan dapat juga disebut pandangan hidup (masyarakat). Secara populer misalnya kita sering mendengar : “Saya tidak suka terhadap filsafat Anda tentang bisnis”, Pancasila merupakan satu-satunya falsafah hidup bangsa Indonesia”. Henderson (1959:16) mengemukakan : “Popularly, philosophy means one’s general view of life of men, of ideals, and of values, in the sense everyone has a philosophy of life”.
25
Di Jerman dibedakan antara filsafat dengan pandangan hidup (weltanschaung). Filsafat diartikan sebagai pandangan kritis yang sangat mendalam sampai ke akar-akarnya. Dalam pengertian lain, filsafat diartikan sebagai interpretasi atau evaluasi terhadap apa yang penting atau apa yang berarti dalam kehidupan. Di pihak lain ada yang beranggapan bahwa filsafat sebagai cara berpikir yang kompleks, suatu pandangan yang tidak memiliki pandangan praktis.
26
Ada pula yang beranggapan, bahwa para filosof telah bertanggungjawab terhadap cita-cita dan kultur masyarakat tertentu. Seperti halnya Karl Marx dan Frederick Engels telash menciptakan komunisme. Thomas Jefferson dan John Stuart Mill telah mengembangkan suatu teori yang dianut dalam masyarakat demokratis. John Dewey adalah peletak dasar kehidupan pragmatis di Amerika.
27
Filsafat dapat dipelajari secara akademis, diartikan sebagai suatu pandangan kritis yang sangat mendalam sampai ke akar-akarnya (radix) mengenai segala sesuatu yang ada (wujud). “Philosophy means the attempt to conceive and present inclusive and systematic view of universe and man’s in it”. (Henderson, 1959:16). Demikian Henderson mengatakan. Filsafat mencoba mengajukan suatu konsep tentang alam semesta secara sistematis dan inklusif dimana manusia berada di dalamnya. Oleh karena itu, filosof lebih sering menggunakan intelegensi yang tinggi dibandingkan dengan ahli sains dalam memecahkan masalah-masalah hidupnya.
28
Filsafat dapat diartikan juga sebagai “Berpikir reflektif dan kritis” (reflective and critical thinking). Namun Randall dan Buchler (1942) memberikan kritik terhadap pengertian tersebut, dengan mengemukakan bahwa definisi tersebut tidak memuaskan karena beberapa alasan, yaitu : 1) tidak menunjukkan kartakteristik yang berbeda antara berpikir filosofi dengan fungsi-fungsi kebudayaan dan sejarah, 2) para ilmuwan juga berpikir reflektif dan kritis, padahal antara sains dan fislafat berbeda, 3) ahli hukum, ahli ekonomi, juga ibu rumah tangga sewaktu-waktu berpikir reflekrif dan kritis, padahal mereka bukan filosof atau ilmuwan.
29
Dalam Al-Quran dan budaya Arab terdapat istilah “hikmat” yang berarti arif atau bijak. Filsafat itu sendiri bukan hikmat, melainkan cinta yang sangat mendalam terhadap hikmat. Dengan pengertian tersebut, maka filosof ialah orang yang mencintai dan mencari hikmat dan berusaha mendapatkannya. Menurut Al-Syaibany (1979), hikmat mengandung kematangan pandangan dan pikiran yang jauh, pemahaman dan pengamatan yang tidak dapat dicapai oleh pengetahuan saja. Dengan hikmat filosof akan mengetahui pelaksanaan pengetahuan dan dapat melaksanakannya.
30
Selanjutnya Al-Syaibany mengemukakan bahwa hikmat yang dicintai oleh filosof dan selalu berusaha mencapainya mengandung lima unsur, yaitu universal, pandangan yang luas, cerdik, pandangan perenungan (meditatif, spekulatif), dan mengetahui pelaksanaan pengetahuan tersebut atau pengetahuan yang disertai dengan tindakan yang baik. Jadi, filosof atau orang arif memiliki pandangan yang serba sebatas kemampuannya.
31
Oleh sebab itu, ia memperhitungkan segala pandangan yang mungkin. Ia tidak akan puas dengan satu aspek atau satu pengalaman saja. Filosof akan memperhatikan semua aspek pengalaman manusia. Ia memiliki keistimewaan. Pandangannya luas sehingga memungkinkan ia melihat segala sesuatu secara menyeluruh, memperhitungkan tujuan yang seharusnya. Ia akan melampaui batas-batas yang sempit dari perhatian yang khusus dan kepentingan individual.
32
Harold Titus (1959) mengemukakan pengertian filsafat dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Dalam arti sempit filsafat diartikan sebagai sains yang berkaitan dengan metodologi atau analisis bahasa secara logis dan analisis makna-makna. Filsafat diartikan sebagai “science of science”, dimana tugas utamanya memberi analisis secara kritis terhadap asumsi-asumsi dan konsep-konsep sains, mengadakan sistematisasi atau pengorganisasian pengetahuan. Dalam pengertian yang lebih luas, filsafat mencoba mengintegrasikan pengetahuan manusia yang berbeda-beda dan menjadikan suatu pandangan yang komprehensif tentang alam semesta, hidup, dan makna hidup.
33
Pada bagian lain Harold Titus mengemukakan makna filsafat, yaitu :
(1) Filsafat adalah suatu sikap tentang hidup dan alam semesta
(2) Filsafat adalah suatu metode berpikir reflektif, penelitian dan penalaran.
(3) Filsafat adalah suatu perangkat masalah-masalah
(4) Filsafat adalah seperangkat teori dan sistem berpikir
34
Berfilsafat merupakan salah satu kegiatan manusia memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan dan menemukan eksistensinya. Dalam kegiatan ini manusia akan berusaha untuk mencapai kearifan dan kebajikan. Kearifan merupakan buah yang dihasilkan filsafat dari usaha mencapai hubungan-hubungan antara berbagai pengetahuan, dan menentukan implikasinya baik yang tersurat maupun yang tersirat dalam kehidupan.
35
Berfilsafat berarti berpikir, tetapi tidak semua berpikir dapat dikategorikan berfilsafat. Berpikir yang dikategorikan berfilsafat adalah apabila berpikir tersebut mengandung tiga ciri, radikal, sistematis dan universal. Seperti dijelaskan oleh Sidi Gazalba (1973:43) :
36
Berpikir radikal, berpikir sampai ke akar-akarnya, tidak tanggung-tanggung, sampai pada konsekuensi yang terakhir. Berpikir tidak separuh-separuh, tidak berhenti di jalan, tetapi terus sampai keujungnya. Berpikir sistematis ialah berpikir logis yang bergerak selangkah demi selangkah dengan penuh kesadaran dengan urutan yang bertanggungjawab dan saling hubungan yang teratur. Berpikir universal tidak berpikir khusus, yang hanya terbatas kepada bagian-bagian tertentu, melainkan mencakup keseluruhan.
37
Berfilsafat adalah berpikir dengan sadar, yang mengandung pengertian secara teliti dan teratur, sesuai dengan aturan dan hukum-hukum berpikir yang berlaku. Berpikir filosofi harus dapat menyerap secara keseluruhan apa yang ada pada alam semesta, tidak sepotong-sepotong.
Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa berfilsafat merupakan kegiatan berpikir manusia yang berusaha untuk mencapai kebijakan dan kearifan. Filsafat berusaha merenungkan dan membuat garis besar dari masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang pelik dari pengalaman umat manusia. Dengan kata lain filsafat sampai kepada merangkum (sinopsis) tentang pokok-pokok yang ditelaahnya.
38
FILSAFAT UMUM DAN KHUSUS
Dilihat dari karakteristik obyeknya filsafat dibedakan menjadi :
1. Filsafat Umum/Murni dan
2. Filsafat Khusus/Terapan
39
OBYEK FILSAFAT UMUM
1.Hakikat kenyataan Segala Sesuatu/Metafisika, meliputi :
a. Hakikat Kenyataan secara Keseluruhan/Ontologi
b. Hakikat Kenyataan tentang Alam atau Kosmos / Kosmologi
c. Hakikat Kenyataan tentang Manusia / Humanologi
d. Hakikat Kenyataan tentang Tuhan (Teologi)
40
2.Hakikat Mengetahui Kenyataan / Epistemologi
3.Hakikat Menyusun Kesimpulan Pengetahuan tentang Kenyataan/Logika
4.Hakikat Menilai Kenyataan/Aksiologi antara lain tentang Hakikat Nilai yang Berhubungan dengan Baik dan Jahat/Etika serta Nilai yang Berhubungan dengan Keindahan dan Keburukan/Estetika
41
OBYEK FILSAFAT KHUSUS
- Kenyataan tentang Salah Satu Aspek Manusia yang penting (Misal : Hukum, Sejarah, Seni, Ilmu, Pendidikan, dsb.)
CABANG-CABANG FILSAFAT KHUSUS
- Filsafat Hukum, Filsafat Sejarah, Filsafat Seni, Fisafat Moral, Filsafat Sosial (Politik & Ekonomi), Filsafat Olahraga, Filsafat Religi, Filsafat Logika, Filsafat Ilmu dan Filsafat Pendidikan
42
SKEMA FILSAFAT
Metafisika
Epistemologi
Logika
AksiologiFilsafat HukumFilsafat SejarahFilsafat SeniFilsafat MoralFilsafat SosialFilsafat ReligiFilsafat OlahragaFilsafat LogikaFilsafat IlmuFilsafat Pendidikan
FILSAFAT UMUM
FILSAFATKHUSUS
FILSAFAT
Etika
Estetika
Induksi
Deduksi
OntologiKosmologiHumanologiTeologi
43
MODEL-MODEL FILSAFAT
Filsafat sebagai metode berpikir, maupun sebagai hasil berpikir radikal, sistematis, dan universal tentang segala sesuatu yang ada yang mungkin ada, dapat dibedakan menjadi tiga model, yaitu filsafat spekulatif, filsafat preskriptif dan filsafat analitik.
44
FILSAFAT SPEKULATIF
Filsafat spekulatif adalah cara berpikir sistematis tentang segala yang ada. Mengapa mereka menggunakan cara berpikir yang demikian? Mengapa mereka tidak mencari kandungan yang tersurat, seperti halnya ahli sains mempelajari aspek khusus realita? Jawabannya adalah bahwa jiwa manusia ingin melihat segala sesuatu sebagai suatu keseluruhan. Mereka ingin memahami bagaimana menemukan totalitas yang bermakna dari realitas yang berbeda dan beranekaragam.
45
Filsafat spekulatif tergolong filsafat tradisional. Dalam hal ini filsafat dianggap sebagai suatu bangunan pengetahuan (body of knowledge). Filsafat Yunani kuno, seperti filsafat Socrates, Plato, Aristoteles, dan filsafat yang lainnya, dapat dijadikan paradigma bagi seluruh filsafat spekulatif.
46
Filsafat spekulatif merenungkan secara rasional spekulatif seluruh persoalan manusia dalam hubungannya dengan segala yang ada pada jagat raya ini. Filsafat berusaha untuk menjawab seluruh pertanyaan yang berkaitan dengan manusia : eksistensinya, fitrahnya di alam semesta ini, dan hubungannya dengan kekuatan-kekuatan supranatural.
47
Filsafat spekulatif memiliki rasa kebebasan untuk membicarakan apa saja yang ia suaki. Mereka berasumsi bahwa manusia memiliki kekuatan intelektual yang sangat tinggi, sehingga Aristoteles sendiri mengemukakan bahwa manusia merupakan : animal rationale. Dengan penalaran intelektualnya, mereka berusaha membangun suatu pemikiran tentang manusia dan masyarakat.
48
Plato sebagai pelopor filsafat idealisme klasik membahas semua persoalan yang berkaitan dengan manusia, masyarakat, dan eksistensi manusia dalam alam ini. Ia berbicara tentang susunan masyarakat, politik (pemerintahan), nilai/moral, pengetahuan dan kebenaran, dan juga sampai pembicaraan kekuatan supranatural.
49
Aristoteles sebagai pelopor realisme klasik membicarakan politik, biologi, fisika, nilai abadi, badan, dan jiwa. Jihn Dewey membangun filsafat pragmatisme, berbicara tentang manusia, jagat raya yang bersifat fisik dan natural, berbicara tentang pengetahuan empiris dan teruji oleh pengalaman, dan juga berbicara tentang nilai. Tetapi, filsafat Dewey tidak sampai pada pembicaraan supernatural. Pada dasarnya, Dewey berpikir spekulatif, walaupun pada akhirnya ia berpandangan eksperimental.
50
Filsafat spekulatif mencari keteraturan dan keseluruhan yang diterapkan, bukan pada suatu item pengalaman khusus, melainkan kepada semua pengalaman dan pengetahuan. Singkatnya, filsafat spekulatif adalah suatu upaya mencari dan menemukan hubungan dalam keseluruhan alam berpikir dan keseluruhan pengalaman.
51
FILSAFAT PRESKRIPTIF
Filsafat preskriptif berusaha untuk menghasilkan suatu ukuran (standard) penilaian tentang nilai-nilai, penilaian tentang perbuatan manusia, dan penilaian tentang seni. Filsafat preskriptif menguji apa yang disebut baik dan jahat, bagus dan jelek. Ia menyatakan bahwa nilai dari suatu benda pada dasarnya inheren dalam dirinya, atau hanya merupakan suatu gambaran dari pikiran manusia.
52
Bagi ahli psikologi eksperimental, keanekaragaman perbuatan manusia secara moral bukan baik dan bukan juga jahat, melainkan merupakan suatu bentuk sederhana dari tingkah laku yang dipelajari secara empiris. Bagi pendidik dan ahli filsafat preskriptif, menilai suatu perilaku ada yang bermanfaat dan ada yang tidak bermanfaat. Ahli filsafat prekriptif berusaha menemukan dan mengajarkan prinsip-prinsip perbuatan yang bermanfaat, dan mengapa harus demikian. Jadi, filsafat preskriptif, memberi resep tentang perbuatan atau perilaku manusia yang bermanfaat.
53
FILSAFAT ANALITIK
Model analitik terdapat dua golongan, yaitu analitik linguistik dan analitik postivistik logis. Model analitik linguistik mengandung arti bahwa filsafat sebagai analisis logis tentang bahasa dan penjelasan makna istilah. Para filosof memakai metoda analitik linguistik untuk menjelaskan arti suatu istilah dan pemakaian bahasa. Beberap filsuf mengatakan bahwa analisis tentang arti bahasa merupakan tugas pokok filsafat dan tugas analisis konsep sebagai satu-satunya fungsi filsafat.
54
Para filsuf analitik seperti G.E. Moore, Bertrand Russell, G. Ryle, dan yang lainnya berpendapat bahwa tujuan filsafat adalah menyingkirkan kekaburan-kekaburan dengan cara menjelaskan arti istilah atau ungkapan yang dipakai dalam ilmu pengetahuan dan kehidupan sehari-hari. Mereka berpendirian bahwa bahasa merupakan laboratorium para filsuf, yaitu tempat menyemai dan mengembangkan ide-ide. Menurut Wittgenstein tanpa penggunaan logika bahsa, pernyataan-pernyataan akan tidak bermakna.
55
ANALITIK LINGUISTIK
Pendekatan analitik linguistik memusatkan perhatiannya pada analisis bahasa, kata-kata, istilah-istilah, dan pengertian-pengertian dalam bahasa. Dengan pendekatan analitik akan menguji suatu ide atau gagasan, seperti : istilah/ide kebebasan akademik, hak asasi manusia, demokrasi, potensi anak dan sebagainya.
56
Menurut pendekatan analitik linguistik gagasan/ide tersebut memiliki makna yang berbeda dalam konteks yang berlainan. Pendekatan ini lebih bertujuan mengklarifikasi bahsa dan pemikiran yang ada, dari pada membuat pendapat-pendapat yang baru tentang hakikat kenyataan.
Pendekatan analitik linguistik dakan menjelaskan pernyataan-pernyataan spekulatif dan preskriptif. Misalnya menguji rasionalitas yang berkaitan dengan ide-ide atau gagasan-gagasan pendidikan, dan menguji bagaimana konsistensinya dengan gagasan lain. Misalnya kita memperkenalkan konsep “cara belajar siswa aktif”.
57
Dengan menggunakan tatabahasa dan logika kita kaji konsep tersebut dengan cara menganalisis dari sudut pandang Pancasila. Pendekatan analitik linguistik menguji secara logis konsep-konsep pendidikan, seperti “manusia seutuhnya” sebagai tujuan pendidikan, “pendidikan seumur hidup”, “pendidikan akademik”, “kedewasaan”, “kewibawaan, dan sebagainya.
58
Filsafat analitik linguistik bukan merupakan suatu bangunan pengetahuan, melainkan merupakan suatu aktivitas yang bertujuan menjernihkan istilah-istilah yang dipergunakan. Di antara filosof-filosof analitik akan muncul perbedaan-perbedaan, tetapi mereka masih memiliki tujuan yang sama, yakni pemakaian bahasa yang jelas dan jernih.
59
Ahli filsafat analitik cenderung skeptis, berhati-hati, dan cenderung tidak berkeinginan untuk membangun suatu mazhab dalam sistem berpikir. Dewasa ini pendekatan analitik mendominasi filsafat di Amerika dan Inggris. Di daratan Eropa pada umumnya masih berlaku pendekatan spekulatif.
60
ANALITIK POSITIVISTIK LOGIS
Model analitik positivistik logis dikenal dengan neo positivisme dikembangkan oleh Bertrand Russel yang berakar pada dan meneruskan filsafat positivisme dari Comte yang merupakan peletak dasar pendekatan kuantitatif dalam pengembangan ilmu (science), dengan meletakkan matematika sebagai dasar bagi semua cabang ilmu. Di atas matematika secara berurutan ia tunjukkan astronomi, fisika, kimia, biologi, dan fisika sosial atau sosiologi.
61
Klasifikasi ala Comte tersebut dewasa ini mencakup sikap pandang yang meyakini bahwa masyarakat industri sebagai tolak ukur bagi tercapainya modernisasi harus disiapkan melalui penguasaan basic science yaitu matematika, kimia, fisika, dan biologi dengan penyediaan dana dan fasilitas dalam skala prioritas utama.
Menurut Kunto Wibisono (1997) Positivisme merupakan suatu model dalam pengembangan ilmu pengetahuan (knowledge) yang didalam langkah kerjanya menempuh jalan melalui observasi, eksperimentasi, dan komparasi sebagaimana diterpkan dalam ilmu kealaman, dan model ini dikembangkan dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial.
62
Positivisme menggunakan presisi, verifiabilitas, konfirmasi, dan eksperimentasi dengan derajat optimal, dengan maksud agar sejauh mungkin dapat melakukan prediksi dengan derajat ketepatan yang optimal pula. Dengan demikian keberhasilan dan kebenaran ilmiah diukur secara positivistik, dalam arti yang benar dan yang nyata haruslah konkrit, eksak, akurat, dan memberi kemanfaatan.
63
Positivisme memiliki pengaruh yang kuat pada metode Ilmiah. Konsep-konsep positivisme yang menyumbangkan pendekatan baru dalam penemuan kebenaran ilmiah yang melahirkan revolusi paradigma. Prinsip dan prosedur dalam ilmu alam dan ilmu sosial, yang berasal dari asumsi John Stuart Mill (1843), terus hidup sampai sekarang sebagai paradigma metodologis. Mill tidak membedakan metodologi ilmu sosial dan ilmu kealaman.
64
Paradigma Positivisme menunjukkan lima aksioma (Moleong : dalam Hadi Sutarmanto, 1997) :
Aksioma 1 : Hakikat kenyataan (Ontologi)
Terdapat kenyataan yang sifatnya tunggal, nyata, terbagi dalam variabel bebas, dan proses yang dapat diteliti secara terpisah dari yang lainnya. Inkuiri ini dapat di konvergensikan sehingga kenyataan pada akhirnya dapat diramalkan.
65
Aksioma 2 : Hubungan antar pencari tahu dan yang tahu
Pencari tahu dan obyek inkuiri adalah bebas; pencair tahu yang kemudian membentuk dualisme yang pilah.
Aksioma 3 : Kemungkinan Menggeneralisasi
Tujuan penelitian adalah mengembangkan tubuh pengetahuan (body of knowledge) yang nomotetik dalam bentuk generalisasi, yaitu pernyataan benar yang bebas dari waktu dan konteks.
66
Aksioma 4 : Kemungkinan hubungan kausalitas
Setiap tindakan dapat diterangkan sebagai hasil atau akibat dari sautu sebab sesungguhnya yang mendahului akibat tersebut secara sementara.
Aksioma 5 : Peranan nilai dalam inkuiri (aksiologi)
Penelitian adalah bebas nilai dan dapat dijamin demikian oleh kebaikan pelaksanaan metode obyektif.
67
Aksioma di atas menunjukkan bahwa paradigma positivistik bersifat atomistik, dapat mencapai generalisasi yang digunakan untuk meramalkan/memprediksi, dan juga sifatnya deterministik yaitu untuk menuju kepada kebenaran dan menguji hipotesis.
68
Implikasi dalam pengembangan ilmu pendidikan, bagi positivisme tidak mengenal ilmu pendidikan (satu ilmu yang utuh), namun yang ada adalah ilmu-ilmu pendidikan, seperti psikologi pendidikan, sosiologi pendidikan, antropologi pendidikan, administrasi pendidikan, pengukuran pendidkkan, dan sebagainya. Ilmu-ilmu tersebut merupakan aplikasi dari ilmu-ilmu murini sebagai ilmu dasarnya.
69
Positivisme merupakan model pendekatan ilmiah kuantitatif dalam keilmuan, para penganutnya menyebut dirinya berparadigma ilmiah (science paradigm). Hal ini ditunjukkan dari beberapa hal (Moleong : dalam Hadi Sutarmanto, 1997), yaitu :
- Teknik yang digunakan kuantitatif yang mendasarkan diri pada matematika-statistika
- Kriteria kualitasnya bersifat “rigor” (kaku) yaitu harus memenuhi prinsip validitas eksternal-internal,
reliabilitas, dan obyektivitas. Berdasar kriteria kualitas ini, membawa konsekuensi pada penyusunan desain yang bagus untuk suatu eskperimen.
70
- Persoalan kualitasnya menunjuk “dapatkah X menyebabkan Y?
- Lebih pada pengetahuan proporsional yaitu dalam bentuk hipotesis
- Pendiriannya adalah reduksionis, yaitu menyempitkan penelitian pada fokus yang relatif kecil dengan formulasi hipotesis dan hipotesis ini diuji secara empirik
- Maksudnya untuk menemukan pengetahuan melalaui verifikasi hipotesis yang dispesifikasikan secara apriori.
71
Kritik terhadap Positivisme disampaikan oleh Lincoln dan Guba (1985) :
1) Positivisme menghasilkan penelitian dengan responden manusia, namun kurang mengindahkan kemanusiaan. Hal ini dapat dikatakan bahwa pendekatan positivisme tidak memiliki implikasi etis.
2) Positivisme kurang berhasil menggarap formulasi empiris dan konseptual dari berbagai bidang ilmu (terutama ilmu sosial dan humaniora)
72
3) Positivisme bermuara paling sedikit pada lima asumsi yang sulit untuk dipertahankan :
a) Asumsi ontologis tentang terjadinya realitas tunggal yang dapat dipecah-pecah dan dapat diselidiki secara terpisah.
b) Asumsi epistemologis tentang kemungkinan terpisahnya pengamat dari yang diamati
c) Asumsi tentang keterpisahan observasi secara temporal dan kontekstual, sehingga yang benar pada suatu waktu dan tempat, benar juga pada waktu dan
tempat yang lain.
73
d) Asumsi hubungan kausal yang linier, yang satu merupakan sebab dan yang merupakan akibat
e) Asumsi aksiologis tentang bebas nilai, yakni metodologi menjamin bahwa hasil-hasil suatu penelitian secara esensial bebas dari pengaruh
sistem nilai
74
Model apapun dalam pendekatan filosofis semuanya penting. Kebanyakan ahli pikir sepakat bahwa semua model di atas bermanfaat dalam mengkaji segala sesuatu. Spekulatif tanpa analitik hanya merupakan cita-cita yang muluk (utopis), tidak relevan dengan dunia realitas. Sebaliknya analitik tanpa spekulatif akan kecil, kerdil, steril tidak akan memiliki makna yang hakiki. Spekulatif dan analitik tanpa preskriptif akan kering dari nilai, yang merupakan inti dalam kehidupan manusia.
75
MISI FILSAFAT
Para filosof berusaha memecahkan masalah-masalah yang penting bagi manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Melalui pengujian yang kritis, filosof mencoba mengevaluasi informasi-informasi dan kepercayaan-kepercayaan yang kita miliki tentang alam semesta serta kesibukan dunia manusia. Filosof mencoba membuat generalisasi, sistematisasi, dan gambaran-gambaran yang konsisten tentang semua hal yang ia ketahui dan ia pikirkan.
76
Kalau kita mencoba mempelajari latar belakang kehidupan filosof, kita dapat melihat bahwa mereka berasal dari beranekeragam keahlian dan latar belakang sosial yang berbeda. Di antaranya ada filosof yang menjadi pemimpin/imam gereja, seperti St. Agustinus, Berkeley, yang mencoba untuk memberikan penjelasan filsafatnya dari sudut pandang agama.
77
Beberapa filosof ada yang sebagai ilmuwan (ahli sains), seperti Rene Descartes, yang mencoba menafsirkan arti pentingnya berbagai teori dan penemuan ilmiah. Demikian juga John Locke, Thomas Hobbes, Karl Marx, dan yang lainnya. Mereka berfilsafat dengan maksud untuk mempengaruhi perubahan tertentu dalam organisasi politik dan kehidupan masyatakat. Begitu pula pemikiran filosof Djamaludin Al-Afghany dan Mohammad Iqbal membawa perubahan-perubahan besar dalam sistem pemikiran Islam. Pemikiran Iqbal banyak memberikan andil dalam pembentukan Negara Pakistan yang memisahkan diri dari India.
78
Dari sudut pekerjaannya, kita dapat melihat bahwa di antara mereka ada yang menjadi guru (guru besar), seperti Thomas Aquino pada Zaman Scholastik. John Dewey seorang guru besar di Universitas Colombia. Al-Ghazali sebagai guru besar di Nizamiyah Bagdad. Ada yang menjadi tabib (dokter medis) seperti Ibnu Sina, seorang filosof Muslim yang telah mendapat pengukuhan sebagai Bapak Kedokteran Dunia oleh UNESCO.
79
Kemudian ada yang sebagai penulis di surat kabar, seperti John Stuart Mill. Ia pernah menjadi anggota parlemen. Sedangkan filosof-filosof terkemuka banyak berprofesi sebagai ilmuwan atau ahli matematika, seperti Immanuel Kant, Bertrand Russel, Einstein. Ada juga filosof sebagai seorang sastrawan, seperti Mohammad Iqbal dari Pakistan.
Tanpa melihat tujuan, pekerjaan, dan latar belakang sosialnya, para filosof telah menyumbangkan suatu keyakinan mengenai pentingnya pengujian dan analisis yang kritis terhadap pandangan-pandangan manusia, baik yang bersumber dari pengalaman sehari-hari, berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah, maupun yang Berasal dari kepercayaan ajaran agama.
80
Para filosof ingin menelusuri lebih mendalam, apakah dapat dibuktikan kebenaran pandangan dan kepercayaan manusia itu? Filosof ingin menemukan ide dasar atau konsep apa yang kita miliki? Apa dasar pengetahuan kita? Ukuran apa yang dipakai untuk membuat pertimbangan yang baik? Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, filosof merasa bahwa ia dapat mencapai pemahaman yang lebih bermakna tentang alam semesta, dunia dan manusia.
81
Titus (1959) mengemukakan bahwa terdapat tiga tugas utama filsafat, yaitu :
a) Mendapatkan pandangan yang menyeluruh;
b) Menemukan makna dan nilai-nilai dari segala sesuatu;
c) Menganalisis dan memadukan kritik terhadap konsep-konsep.
82
Filsafat mencoba memadukan hasil-hasil dari berbagai sains yang berbeda ke dalam suatu pandangan dunia yang konsisten. Filosof cenderung untuk tidak menjadi spesialis, seperti ilmuwan. Ia menganalisis benda-benda atau masalah-masalah dengan suatu pandangan yang menyeluruh.
83
Filsafat tertarik terhadap aspek-aspek kualitatif segala sesuatu, terutama berkaitan dengan makna dan nilai-nilainya. Filsafat menolak untuk mengabaikan setiap aspek yang otentik dari pengalaman manusia. Hidup mendorong kita untuk menentukan pilihan dan bertindak berdasarkan skala nilai. Filsafat berusaha memformulasikan makna dan nilai dalam cara yang paling dapat diterima akal. Filsafat mencoba mencari dan menentukan kebenaran dengan pengujian secara kritis (critical) terhadap asumsi-asumsi, konsep-konsep, dan semua lapangan sains.
84
LAPANGAN FILSAFAT
Seperti dikemukakan terdahulu, bahwa filsafat adalah berpikir radikal, sistematis, dan universal tetang segala sesuatu. Jadi, yang menjadi obyek pemikiran filsafat adalah segala sesuatu yang ada. Segala yang ada merupakan bahan pemikiran filsafat. Karena filsafat merupakan usaha berpikir manusia secara sistematis. Di sini kita perlu mensistematisasikan segala sesuatu yang ada. Kita perlu mengklasifikasikan segala sesuatu yang ada.
85
Al-Syaibany (1979) mendefinisikan filsafat sebagai usaha mencari yang hak dan mengenai kebenaran, atau usaha untuk mengetahui sesuatu yang berwujud, atau usaha untuk mengetahuai tentang nilai segala sesuatu yang mengelilingi manusia dalam alam semesta ini. Kehidupan, manusia dan pencipta alam semesta, sifat-sifat dan nilai-nilai kemanusiaan. Filsafat membahas tiga persoalan pokok, yaitu masalah wujud, masalah pengetahuan dan masalah nilai.
86
Immanuel Kant mengajukan empat pokok pertanyaan yang harus dijawab oleh filsafat, yaitu :
Was darf ich hoffen? : apa yang boleh saya harapkan?
Was kann ich wissen? : apa yang dapat saya ketahui?
Was soll ich tun? : apa yang harus saya perbuat?
Was ist der mench? : apakah manusia itu?
87
Menurut Kant, pertanyaan pertama dapat dijawab oleh metafisika, pertanyaan kedua dijawab oleh epistemologi, pertanyaan ketiga oleh etika, dan pertanyaan keempat dijawab oleh filsafat antropologi.
88
Sidi Gazalba (1973) mengemukakan bidang permasalahan filsafat yang terdiri atas :
1. Metafisika, dengan pokok-pokok masalah : filsafat hakikat atau ontologi, filsafat alam atau kosmologi, filsafat manusia, dan filsafat ketuhanan atau teodyce.
2. Teori pengetahuan, yang mempersoalkan : hakikat pengetahuan, dari mana asal atau sumber pengetahuan, bagaimana membentuk pengetahuan yang tepat dan yang benar, apa yang dikatakan pengetahuan yang benar, mungkinkah manusia mencapai pengetahuan yang benar dan apakah dapat diketahui manusia, serta sampai di mana batas pengetahuan manusia.
89
3. Filsafat nilai, yang membicarakan : hakikat nilai, dimana letak nilai, apakah pada bendanya, atau pada
perbuatannya, atau pada manusia yang menilainya, mengapa terjadi perbedaan nilai antara seseorang dengan orang lain, siapakah yang menentukan nilai, mengapa perbedaan ruang dan waktu membawa perbedaan penilaian.
90
Selanjutnya Butler (1957) mengemukakan beberapa persoalan yang dibahas dalam filsafat, yaitu :
1. Metafisika, membahas : teologi, kosmologi, dan antropologi
2. Epistemologi, membahas : hakikat pengetahuan, sumber pengetahuan dan metode pengetahuan
3. Aksiologi, membahas : etika dan estetika
91
Alat-alat yang digunakan dalam merumuskan dan mengklarifikasikan filsafat pendidikan, adalah berkaitan dengan lapangan filsafat yang menjadi perhatian sentral bagi guru : metafisika, epistemologi, aksiologi, etika, estetika, dan logika. Masing-masing dari bidang ini memfokuskan pada salah satu pertanyaan yang berhubungan dengan para filosof dunia terbesar selama berabad-abad.
92
Apakah hakikat dari realitas? Apakah hakikat dari pengetahuan dan apakah kebenaran dapat dicapai? Menurut nilai-nilai apakah seharusnya seseorang itu tinggal dalam kehidupan? Apakah yang baik dan apakah yang buruk? Apakah hakikat dari kecantikan dan pengalaman? Dan akhirnya apakah proses-proses nalar memberikan hasil-hasil yang valid secara konsisten?
93
Selanjutnya uraian berikut ini akan menjelaskan ketiga persoalan yang menjadi lapangan kajian filsafat.
1. METAFISIKA
Secara etimologi, metafisika berasal dari bahasa Yunani Kuno yang terdiri dari dua kata, “meta” dan “fisika”.
Meta berarti sesudah, di belakang, atau melampaui, dan fisika berarti alam nyata. Metafisika merupakan cabang filsafat yang mempersoalkan tentang hakikat yang tersimpul di belakang dunia fenomena. Metafisika melampaui pengalaman obyeknya di luar hal yang dapat ditangkap pancaindera.
94
Metafisika berhubungan dengan penjelasan hakikat dari realitas se-rasional dan se-komprehensif mungkin. Apakah realitas? Siapa Tuhan? Apakah Takdir? Siapa Manusia? Terbuat dari apakah dunia? Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan metafisika. Metafisika juga berhubungan dengan hakikat dari makhluk dan mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan seperti, apakah yang dimaksud dengan ada? Apakah tempat manusia dalam skema benda-benda?
95
Pertanyaan-pertanyaan metafisika seperti ini adalah jantung dari filsafat pendidikan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh seorang filosof pendidikan, “tidak ada yang merupakan permasalahan tetap filosof pendidikan selain kemungkinan kepekaan yang paling penuh terhadap tempat manusia di kosmos ini” (Bertocci 1956, 158). Atau, seperti yang diungkapkan yang lain, “keasyikan akhir dalam teori pendidikan adalah pada yang peling pokok dari semua permasalahan filsafat : metafisika, studi tentang realitas” (Morris dan Pai 1976, 28)
96
Metafisika dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu : 1) ontologi dan 2) metafisika khusus. Ontologi mempersoalkan tentang esensi dari yangbada, hakikat dari segala wujud yang ada. “Ontologi is the theory of being qua being” (Runes, 1963 : 219). Sedangkan, metafisika khusus mempersoalkan teologi, dan antropologi. Teologi mempersoalkan pertanyaan sekitar Tuhan dan hubungan dengan dunia realitas sebagai hasil ciptaanNya.
97
Kosmologi mempersoalkan hakikat kosmos, asal, struktur alam semesta. Sedangkan antropologi mempersoalkan hakikat manusia. Siapakah sebenarnya manusia? Bagaimana hubungannya satu dengan yang lainnya? Bagaimana kedudukan manusia di dalam kosmos ini? Bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan?
98
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa metafisika membicarakan manusia, tetapi pembahasannya berbeda dengan sains, seperti dengan sosiologi, psikologi, biologi. Sosiologi mempelajari manusia dalam bentuk kelompok serta interaksinya, yang dapat ditangkap dan dapat teramati oleh indera. Begitu pula psikologi mempelajari perilaku individu manusia dalam interaksinya dengan lingkungannya sepanjang yang dapat diamati oleh indera manusia. Biologi mempelajari mansia dari segi kehiduan fisiknya.
99
Metafisika mempelajari manusia melampaui ata di luar fisiknya dan di luar gejala-gejala yang dialami manusia. Metafisika mencoba untuk mengkaji secara mendalam : siapa manusia, darimana asal manusia, apa yang dituju manusia, dan untuk apa hidup di dunia ini.
100
1. EPISTEMOLOGI
Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani Kuno, dengan asal kata “episteme” yang berarti pengetahuan, dan “logos” yang berarti teori. Secara etimologi,
epistemologi berarti taori pengetahuan. Epistemologi merupakan cabang filsafat yang membahas atau mengkaji tentang asal, struktur, metode, serta keabsahan pengetahuan “Epistemologi is the branch of philosophy which investigates the origin, structure, method, and validity of knowledge” (Runes, 1963 : 94)
101
Menurut Langeveld (1961), epistemologi membicarakan hakikat pengetahuan, unsur-unsur dan susunan berbagai jenis pengetahuan, pangkal tumpuannya yang fundamental, metode-metode dan batasan-batasannya.
102
Epistemologi membahas persoalan pengetahuan. Mungkinkah pengetahuan diperoleh atau tidak? Dapatkah kita memiliki pengetahuan dengan benar? Kita mengharapkan pengetahuan yang benar, bukan pengetahuan yang Khilaf, yang mendasarkan pada khayalan belaka. Dalam epistemologi, yang paling pokok perlu didiskusikan, adalah apa yang menjadi sumber ilmu pengetahuan, bagaimana struktur pengetahuan. Hal ini akan berkaitan dengan macam atau jenis pengetahuan, dan bagaimana kita dapat memperoleh pengetahuan tersebut.
103
A. JENIS-JENIS PENGETAHUANManusia berusaha mencari pengetahuan dan kebenaran, yang dapat diperolehnya dengan melalui beberapa
sumber :1) Pengetahuan wahyu (revealed knowledge)
Manusia memperoleh pengetahuan dan kebenaran atas dasar wahyu yang diberikan Tuhan kepada manusia. Tuhan telah memberi pengetahuan dan kebenaran kepada manusia pilihannya, yang
dapat dijadikan petunjuk bagi manusia dalam kehidupannya. Wahyu merupakan firman
Tuhan. Kebenarannya adalah mutlak dan abadi. Pengetahuan wahyu bersifat eksternal,
artinya pengetahuan tersebut berasal dari luar manusia.
104
2) Pengetahuan intuitif (intuitive knowledge)
Pengetahuan intuitif diperoleh manusia dari dalam dirinya sendiri, pada saat ia menghayati sesuatu. Pengetahuan intiuitif muncul secara tiba-tiba dalam kesadaran manusia. Mengenai proses kerjanya, manusia itu sendiri tidak menyadarinya. Pengetahuan ini sebagai hasil penghayatan pribadi, sebagai hasil ekspresi dari keunikan dan individualitas seseorang, sehingga validitas pengetahuan ini sangat bersifat pribadi.
105
Pengetahuan intuitif disusun dan diterima dengan kekuatan visi imaginatif dalam pengalaman pribadi seseorang. Kebenaran yang muncul/tampak dalam karya seni merupakan bentuk pengetahuan intuitif, seperti karya penulis besar Shakespeare, Mohammad Iqbal, Al-Gazali, dan yang lainnya, yang berbicara tentang kebenaran nurani manusia, merupakan hasil kerja intuisi.
106
Kebenaran tersebut tidak akan dapat diuji dengan observasi, perhitungan, atau eksperimen, karena kebenaran intuitif tidak hipotesis. Tulisan-tulisan mistik, autobiografi, dan karya seni merupakan refleksi dari pengetahuan intuitif.
107
Dalam pengertian secara umum, intuisi merupakan metode untuk memperoleh pengetahuan tidak berdasarkan penalaran rasio, pengalaman, dan pengamatan indera. Dalam filsafat ada paham yang disebut intuisionisme. Intuisionisme merupakan paham yang menganggap bahwa dengan intuisi manusia dapat memperoleh kebenaran yang hakiki.
108
Kaum intuisionis berpendapat bahwa manusia memiliki kemampuan khusus, yaitu cara khusus untuk mengetahui yang tidak terikat pada indera maupun penalaran intelektual. Pengetahuan yang diperoleh dengan intuisi bukan pengetahuan yang berasal dari luar diri kita yang bersifat dangkal, melainkan berasal dari dalam diri kita sendiri.
109
Menurut kaum intuisionis, dengan intuisi kita akan mengetahui dan menyadari diri kita sendiri, mengetahui karakter perasaan dan motif orang lain, kita mengetahui dan memahami hakikat yang sebenarnya tentang waktu, gerak, dan aspek-aspek fundamental di alam jagat raya ini. Dengan intuisi kita dapat menangkap kenyataan yang konkrit.
110
Pengetahuan intuitif sulit dikembangkan karena validitasnya yang sangat pribadi, dan memiliki watak yang tidak komunikatif. Khusus untuk diri sendiri, subyektif, tidak terlukiskan, sehingga sulit untuk mengetahuai apakah seseorang memilikinya atau tidak.
111
3) Pengetahuan rasional (rational knowledge)
Pengetahuan rasional merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan latihan rasio/akal semata, tidak disertai dengan observasi terhadap peristiwa-peristiwa faktual. Prinsip logika formal dan matematika murni merupakan paradigma pengetahuan rasional, dimana kebenarannya dapat ditunjukkan dengan pemikiran abstrak. Prinsip pengetahuan rasional dapat diterapkan pada pengalaman indera, tetapi tidak disimpulkan dari pengalaman indera.
112
Rasionalisme adalah aliran dalam filsafat yang mengutamakan rasio untuk memperoleh pengetahuan dan keberanan. Rasionalisme berpandangan bahwa akal merupakan faktor fundamental dalam pengetahuan. Akal manusia memiliki kemampuan untuk mengetahui kebenaran alam semesta, yang tidak mungkin dapat diketahui melaui observasi. Menurut rasionalisme, pengalaman tidak mungkin dapat menguji kebenaran hukum “sebab-akibat”, karena peristiwa yang tidak terhingga dalam kejadian alam ini tidak mungkin dapat diobservasi.
113
Rasionalisme memberikan kritik terhadap empirisme, bahwa :
a) Metode empiris tidak memberi kepastian, tetapi hanya sampai pada probabilitas yang tinggi;
b) Metode empiris, baik dalam sains maupun dalam kehidupan sehari-hari, biasanya bersifat sepotong-sepotong (piece meal)
114
Menurut pengakuan kaum rasionalis, mereka mencari kepastian dan kesempurnaan yang sistematis. Penelitian mereka dalam matematika, khusus geometri, mencoba tidak mempercayai pengalaman, melainkan hanya berdasarkan pada suatu penalaran.
115
Menurut mereka, penalaran memadai untuk menyusun aksioma-aksioma dasar yang universal memungkinkan kita dapat mengambil kesimpulan khusus dari aksioma tersebut. Aksioma merupakan “self evident” dan dapat dipercaya, bebas dari pengalaman. Oleh karena itu, pengalaman tidak akan dapat membuktikan bahwa aksioma itu salah. Aksioma akan memberikan dasar bagi semua pengetahuan dan kepercayaan. Kesimpulannya bersifat mandiri, yaitu suatu kesatuan yang bersistem.
116
4) Pengetahuan empiris (empirical knowledge)
Pengetahuan empiris diperoleh atas bukti penginderaan, dengan penglihatan, pendengaran, dan sentuhan
indera-indera lainnya, sehingga kita memiliki konsep dunia di sekitar kita. Paradigma pengetahuan empiris adalah sains, dimana hipotesis-hipotesis sains diuji dengan observasi atau dengan eksperimen.
117
Aliran yang menjadikan empiri (pengalaman) sebagai sumber pengetahuan disebut empirisme. Empirisme merupakan aliran dalam filsafat yang membicarakan pengetahuan. Empirisme beranggapan bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman, dengan jalan observasi, atau penginderaan.
118
Pengalaman merupakan faktor fundamental dalam pengetahuan, sehingga merupakan sumber dari pengetahuan manusia. Apa yang kita ketahui berasal dari segala apa yang kita dapatkan melalui alat indera. Pengalaman merupakan proses interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Pengalaman tidak hanya sekedar dunia fakta, melainkan termasuk pula dunia penelitian, dimana dalam pengertian ini termasuk dunia sains.
119
Pengalaman bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan akal, melainkan melibatkan akal sebagai bagian integral dari pengalaman. Dalam sains modern, tidak semata-mata pada persepsi indera secara umum dari pengalaman-pengalaman. Kesimpulan yang diperoleh dari pengalaman akan selalu bersifat sementara, dan dimulai dari bentuk hipotesis. Oleh karena itulah, teori atau hukum-hukum yang diperoleh melalui pengalaman setiap saat dapat berubah dan dapat diubah, sesuai dengan hasil temuan baru yang berdasarkan pengalaman pula.
120
5) Pengetahuan otoritas (authoritative knowledge)
Kita menerima suatu pengetahuan itu benar bukan karena telah menceknya di luar didi kita, melainkan telah dijamin oleh otoritas (suatu sumber yang berwibawa, memiliki wewenang, berhak) di lapangan. Kita menerima pendapat orang lain, karena ia adalah seorang pakar dalam bidangnya.
121
Misalnya kita menerima petuah agama dari seorang kyai, karena beliau merupakan orang yang sangat ahli dan menguasai sumber ajaran agama Islam, tanpa harus kita mencek dari sumber salinya (Al-Quran dan Sunnah). Kita sering mengutamakan pandangan kita dengan mengutip dari ensiklopedia atau hasil karya tulis pada pakar yang terkenal. Pada zaman kerajaan, sabda raja merupakan petuah yang dianggap benar, tidak salah, karena raja merupakan manusia yang paling berkuasa.
122
B. TEORI PENGETAHUAN
Ada beberapa teori yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan apakah pengetahuan itu benar atau salah, yaitu : 1) teori korespondensi; 2) teori koherensi; dan 3) teori pragmatisme.
1) Teori korespondensi (correspondence theory)
Menurut teori korespondensi, kebenaran merupakan persesuaian antara fakta dan situasi nyata. Kebenaran merupakan persesuaian antara pernyataan dalam pikiran dengan situasi lingkungannya. Teori ini paling luas diakui oleh realis.
123
Saya sependapat bahwa Pulau Jawa merupakan pulau terpadat penduduknya di Indonesia. Pendapat saya itu benar bukan karena bersesuaian dengan pendapat orang lain sebelumnya, atau karena diterima oleh banyak orang, melainkan karena bersesuian dengan kenyataan yang sebenarnya. Ii merupakan ciri dari ilmuwan yang selalu mencek atau mengontrol pikiran-pikirannya dengan data-data atau penemuan-penemuan.
124
2) Teori koherensi (coherence theory)
Menurut teori koherensi, kebenaran bukan persesuaian antara pikiran denan kenyataan, melainkan kesesuaian secara harmonis antara pendapat/pikiran kita dengan
pengetahuan kita yang telah dimiliki. Teori ini pada umumnya diakui oleh golongan idealis.
125
Pengertian persesuaian dalam teori ini berarti terdapat konsistensi (ketetapan, sehingga teori ini disebut juga teori konsistensi) yang merupakan ciri logis hubungan antara pikiran-pikiran (ide-ide) yang telah kita miliki satu dengan yang lain. Kalau kita menerima pengetahuan baru, karena pengetahuan tersebut sesuai dengan pengetahuan yang kita miliki, atau apabila kita melepaskan pendapat lama, karena pendapat baru tersebut lebih bertautan secara harmonis dengan keseluruhan pengalaman dan pengetahuan kita.
126
Bentuk yang paling sederhana dari teori koherensi adalah menuntut adanya konsistensi formal dalam sistem. Misalnya dari rumus-rumus dalam matematika orang dapat membangun suatu sistem dalam geometri. Sistem ini dapat diakui sebagai suatu sistem yang benar, jika yang menjadi dasar kebenaran dalam sistem adalah adanya konsistensi dengan hukum-hukum berpikir formal tertentu.
127
Golongan idealis cenderung untuk memperluas sistem konsistensi ini dengan memasukkan semua pengalaman yang bersifat konsisten dalam dirinya. Plato, Hegel, Brandley, dan Royce, memperluas prinsip-prinsil konsistensi ini dengan memasukkan sistem jagat raya, sehingga setiap pikiran yang benar dan setiap bagian-bagian sistem kebenaran berkaitan dengan kenyataan secara keseluruhan dalam jagat raya dan memperoleh makna/arti dalam keseluruhan tersebut. Berdasarkan prinsip-prinsip ini, kebenaran merupakan sistem dalil-dalil yang konsisten secara timbal balik, dan setiap dalil memperoleh kebenarannya dalam keseluruhan sistem.
128
Beberapa kritik diberikan pada teori ini, di antaranya : Pertama, kita tidak dapat membangun sistem keterpaduan (coherent system) yang salah. Teori ini tidak dapat membedakan antara kebenaran yang konsisten dengan kekeliruan yang konsisten.
129
Para pengkritik menunjukkan bahwa banyak sistem pada masa lampau secara logis konsisten, tetapi secara fakta ternyata kemudian salah (contohnya pertentangan antara sistem geometris dengan sistem heliosentris telah menimbulkan korban ilmuwan besar, yaitu Galileo). Kedua, teori ini bersifat rasionalistis dan intelektualistis, dan hanya mementingkan hubungan-hubungan logis antara dalil-dalil. Sebagai akibatnya, teori ini gagal memperlengkapi tes/pengujian yang memadai terhadap pikiran dari pengalaman sehari-hari. Teori ini hanya cocok untuk matematika murni. Teori ini tidak cocok untuk menguji kebenaran berdasarkan fakta.
130
3) Teori pragmatisme (pragmatism theory)
Menurut teori pragmatisme, kebenaran tidak bisa bersesuaian dengan kenyataan, sebab kita hanya bisa mengetahui dari pengalaman kita saja. Di lain pihak, menurut pragmatisme, teori koherensi adalah formal dan rasional. Pragmatisme berpendirian bahwa mereka tidak mengetahui apapun (agnostik) tentang wujud, esensi, intelektualitas, rasionalitas.
131
Oleh karena itu, pragmatisme menentang otoritarianisme, intelektualisme, dan rasionalisme. Penganut pragmatisme merupakan penganut empirisme yang fanatik untuk memberikan interpretasi terhadap pengalaman. Menurut pragmatisme, tidak ada kebenaran yang mutlak dan abadi. Kebenaran itu dibuat dalam proses penyesuaian manusia.
132
Schiller, pengikut pragmatisme di Inggris, mengemukakan bahwa keberanan merupakan suatu bentuk nilai, artinya apabila kita menyatakan benar terhadap sesuatu, berarti kita memberikan penilaian terhadapnya. Istilah benar adalah suaut pernyataan yang berguna, sedangkan istilah salah merupakan pernyataan yang tidak berguna. Seseorang menyatakan bahwa pendapatnya benar, karena telah memenuhi kepentingannya.
133
Dapat terjadi seseorang menyatakan benar, tetapi suatu saat ia menyatakan pendapatnya itu salah, karena pendapatnya itu sudah tidak berguna, tetapi hanya dapat memenuhi kepentingannya. Tetapi, dalam hal ini tidak berarti bahwa benar dan salah merupakan hal yang bersifat individual. Kebenaran merupakan hasil sosial, artinya sebagai hasil hubungan sosial. Kebenaran individual dikontrol atau dikoreksi di bawah oleh pengaruh sosial, sampai akhirnya kebenaran itu diterima secara umum.
134
Menurut pragmatisme, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak. Artinya, pernyataan itu dikatakan benar kalau memiliki kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Suatu teori, pendapat, atau hipotesis dikatakan benar apabila menghasilkan jalan keluar dalam praktik, atau membuahkan hasil-hasil yang memuaskan.
135
Menurut pendukung, pragmatisme, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak. Apabila pernyataan itu dikatakan benar kalau memiliki kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Suatu teori, pendapat, atau hipotesis dikatakan benar apabila menghasilkan jalan keluar dalam praktik, atau membuahkan hasil-hasil yang memuaskan.
136
Para pendukung pragmatisme cenderung memberikan tekanan pada tiga pendekatan, yaitu :
a) Bahwa sesuatu itu dikatakan benar apabila memuaskan atau memenuhi keinginan-keinginan atau tujuan-tujuan manusia. Kepercayaan akan kebenaran bukan hanya
memberikan kepuasan selama jangka waktu tertentu.
137
b) Bahwa sesuatu itu benar apabila dapat dikaji kebenarannya secara eksperimen. Pengujian kebenaran ini selaras dengan semangat dan praktik sains modern, baik dalam laboratorium maupun dalam kehidupan sehari-hari. Begitu suatu kebenaran atau ketidak benaran muncul, maka kita hendaknya mencoba dan mengadakan pembuktiannya.
c) Bahwa sesuatu itu benar apabila membantu dalam perjuangan hidup bagi eksistensi manusia. Instrumentalisme Dewey menekankan fungsi bagi kehidupan dari ajaran serta ide-idenya.
138
Untuk mencari kebenaran, kaum pragmatis berpaling pada metode sains (ilmiah). Sebab, metode ini dianggapnya berfungsi dan berguna dalam menafsirkan gejala-gejala alam. Kriteria pragmatisme banyak digunakan oleh ilmuwan untuk menentukan kebenaran ilmiah dalam jangka waktu tertentu, karena seperti yang telah dikemukakan di atas, bagi pragmatisme tidak ada kebenaran mutlak dan abadi.
139
3. AKSIOLOGI
Secara etimologis, istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani Kuno, terdiri dari kata “aksios” yang berarti nilai dan kata “logos” yang berarti teori. Jadi, aksiologi
merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai. Secara singkat, aksiologi adalah teori nilai. Dagobert Runes (1963 : 32) mengemukakan beberapa persoalan yang berkaitan dengan nilai yang mencakup : a) hakikat nilai, b) tipe nilai, c) kriteria nilai, dan d) status metafisika nilai.
140
Mengenai hakikat nilai, banyak teori yang dikemukakannya, di antaranya teori voluntarisme. Teori voluntarisme mengatakan nilai adalah suatu pemuasan terhadap keinginan atau kemauan. Kaum hedonisme menyatakan, bahwa hakikat nilai adalah “pleasure” atau kesenangan. Semua kegiatan manusia terarah pada pencapaian kesenangan. Menurut formalisme, nilai adalah kemauan yang bijaksana yang didasarkan pada akal rasional. Menurut pragmatisme, nilai itu baik apabila memenuhi kebutuhan dan memiliki nilai instrumental, yaitu sebagai alat untuk mencapai tujuan.
141
Tipe nilai dapat dibedakan antara nilai intrinsik dan nilai instrumental. Nilai intrinsik merupakan nilai akhir yang menjadi tujuan, sedangkan nilai instrumental adalah sebagai alat untuk mencapai nilai intrinsik. Nilai intrinsik adalah sesuatu yang memiliki harkat atau harga dalam dirinya, dan merupakan tujuan sendiri. Sebagai contoh, nilai keindahan yang dipancarkan oleh suatu lukisan adalah nilai intrinsik.
142
Dimanapun dan kapanpun lukisan itu berada akan selalu indah. Salat lima waktu yang dilakukan setiap Muslim memiliki nilai instrinsik dan sekaligus memiliki nilai instrumental. Nilai instrinsiknya bahwa salat merupakan suatu perbuatan yang sangat luhur dan sangat terpuji sebagai salah satu pengabdian kepada Allah yang menjadi Rab seluruh alat jagat raya.
143
Nilai instrumentalnya adalah bahwa dengan melakukan salat yang ikhlas sebagai pengabdian kepada Allah, orang yang melaksanakan salat tersebut bisa mencegah perbuatan jahat dan perbuatan yang dilarang oleh Allah, yang pada gilirannya manusia akan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, yang merupakan nilai akhir dari kehidupan manusia.
144
Yang dimaksud dengan kriteria nilai adalah sesuatu yang menjadi ukuran dari nilai tersebut, bagaimana yang dikatakan nilai yang baik, dan bagaimana yang dikatakan nilai yang tidak baik. Kaum hedonisme menemukan ukuran nilai dalam sejumlah “kesenangan” (pleasure) yang dapat dicapai oleh individu atau masyarakat. Bagi kaum pragmatis, yang menjadi kriteria nilai adalah “kegunaannya” dalam kehidupan, baik bagi individu maupun masyarakat.
145
Yang dimaksud dengan status metafisik nilai adalah bagaimana hubungan nilai-nilai tersebut dengan realitas. Dalam hal ini Dagobert Runes (1963 : 33) mengemukakan tiga jawaban :
1. Subjectivisme : value is entirely dependent on and relative to human experience of it;
2. Logical objectivisme, value are logical assences or subsistences, independent of their being known, yet not excistensial status of action in reality;
3. Metaphysical objectivisme, values or norms or ideas are integral, objective, an active constituents of the
metaphysical real.
146
Menurut obyektivisme, nilai itu berdiri sendiri, namun bergantung dan berhubungan dengan pengalaman manusia. Pertimbangan terhadap nilai berbeda antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Menurut objektivisme logis, nilai ini suatu wujud, suatu kehidupan yang logis tidak terkait pada kehidupan yang dikenalnya, namun tidak memiliki status dan gerak di dalam kenyataan. Menurut objektivisme metafisik, nilai adalah suatu yang lengkap, objektif, dan merupakan bagian aktif dari realitas metafisik.
147
A. KARAKTERISTIK NILAI
Ada beberapa karakteristik yang berkaitan dengan teori nilai, yaitu :
1) Nilai objektif atau subjektif
Nilai ini objektif jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai; sebaliknya nilai itu “subjektif” jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya terganung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisik.
148
Suatu nilai dikatakan obyektif apabila nilai tersebut memiliki kebenarannya tanpa memperhatikan pemilihan dan penilaian manusia. Nilai-nilai baik, benar, cantik, merupakan realitas alam, yang merupakan bagian dari sifat-sifat yang dimiliki oleh benda atau tindakan tersebut. Benda-benda tersebut secara obyektif bagus, tindakan tertentu secara inheren adalah baik. Suatu benda adalah indah, karena memang keindahan barang tersebut dimilikinya. Pendidikan memiliki nilai obyektif, karena tanpa dinilai oleh manusiapun, pendidikan secara inheren adalah baik, siapapun akan mengakui bahwa pendidikan adalah berharga. Hal tersebut sesuai dengan yang telah diuraikan di atas yaitu dengan nilai intrinsik.
149
Nilai itu subyektif apabila nilai tersebut memiliki preferensi pribadi, dikatakan baik karena dinilai oleh seseorang. Apapun baik atau berharga bukan karena dalam dirinya, melainkan karena manusia telah menilainya. Pendidikan berharga sebagai hasil penilaian manusia, atau karena manusia menilainya berharga.
150
2) Nilai absolut atau berubah
Suatu nilai dikatakan absolur atau abadi, apabila nilai yang berlaku sekarang sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku serta absah sepanjang masa, serta akan berlaku bagi siapapun tanpa memperhatikan ras, maupun kelas sosial. Misalnya nilai kasih sayang dan kemurahan hati adalah untuk semua manusia dimanapun dan kapanpun manusia hidup. Allah Maha Pengampun, Maha Pemberi Rezeki, merupakan nilai absolut yang dimiliki-Nya. Karena siapapun tanpa melihar ras, apakah ia Muslim atau bukan Muslim, dimanapun berada manusia akan menerimanya.
151
Di pihak lain ada yang beranggapan bahwa semua nilai relatif sesuai dengan harapan atau keinginan manusia. Sebagaimana harapan dan keinginan manusia yang selalu berubah, maka nilai itupun mengungkapkan perubahan-perubahan tersebut. Nilai berubah dalam merespon kondisi baru, ajaran baru, agama baru, penemuan-penemuan baru dalam sains dan teknologi, kemajuan dalam pendidikan, dan lain-lainnya. Oleh karena itu, nilai dapat berasal dari pengalaman dalam kehidupan masyarakat. Mungkin juga sebagai hasil dari suatu kreasi akal rasional, dan mungkin juga sebagai hasil dari suatu kepercayaan yang kuat.
152
B. TINGKATAN (HIERARKI) NILAI
Terdapat beberapa pandangan yang berkaitan dengan hierarki nilai, yaitu :
Pertama, kaum idealis berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana nilai spiritual lebih tinggi daripada nilai non spiritual (nilai material). Mereka menempatkan nilai religi pada tingkat yang tinggi, karena nilai religi membantu dalam menemukan tujuan akhir hidupnya, dan merupakan kesatuan dengan nilai spiritual.
153
Kedua, kaum realis juga berpandangan bahwa terdapat tingkatan nilai, dimana mereka menempatkan nilai rasional dan empiris pada tingkatan atas, sebab membantu manusia menemukan realitas obyektif, hukum-hukum alam, dan aturan-aturan berpikir logis.
Ketiga, kaum pragmatis menolak tingkatan nilai secara pasti. Menurut mereka, suatu aktivitas dikatakan baik seperti yang lainnya, apabila memuaskan kebutuhan yang penting, dan memiliki nilai instrumental.
154
Mereka sangat sensitif terhadap nilai-nilai yang menghargai masyarakat, tetapi mereka berkeyakinan akan pentingnya pengujian nilai secara empiris daripada merenungkannya secara rasional. Nilai-nilai partikuler (khusus) hanyalah merupakan alat (instrumen) untuk mencapai nilai yang lebih baik.
155
C. JENIS-JENIS NILAI
Aksiologi sebagai cabang filsafat dapat kita bedakan menjadi : 1) etika dan 2) estetika
1) Etika
Istilah etika berasal dari kata “ethos” (Yunani), yang berarti adat kebiasaan. Dalam istilah lain, para
ahli yang bergerak dalam bidang etika menyebutkan dengan “moral”, berasal dari bahasa Yunani, juga berarti kebiasaan.
156
Walaupun antara etika dan moral terdapat perbedaan, tetapi para ahli tidak membedakannya dengan tegas, bahkan secara praktis cenderung untuk memberi arti yang sama. Etika merupakan teori tentang nilai, pembahasan secara teoritis tentang nilai, ilmu kesusilaan yang memuat dasar-dasar untuk berbuat susila. Sedangkan moral menunjukkan pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari.
157
Beberapa pengertian etika yang perlu kita ketahui antara lain :
a) Menurut Langeveld (1961), etika adalah teori perbuatan manusia, yang ditimbang menurut baik dan buruknya.
b) Dagobert Runes (1963 : 98) mengemukakan bahwa “Ethics is that study or discipline which concerns itselh with judgement of approval or disapproval, judgement as to rightness or wrongness, goodness or badness, veitue or vice, desirability or wisdom of action, ends or objects, or state of affairs”.
158
c) Menurut Encyclopedia Britanica, “Ethics is the systematic study of the nature of values concept, good, bad, ought, right, wrong, etc, and of the general principles with justify us in apllying them to anything : also called moral philosophy”.
159
d) Dalam bahasa Arab istilah etika sama dengan istilah ilmu. Akhlak seperti dikemukakan oleh Ahmad Amin, yang dikutip oleh Rachmat Djatnika (1985 : 29) adalah “Ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang harus dilaksanakan oleh sebagian manusia terhadap sebagiannya, menjelaskan tujuan yang hendaknya dicapai oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan yang diperbuat.
160
Jadi, etika merupakan cabang filsafat atau filsafat moral yang membicarakan perbuatan manusia. Cara memandangnya dari sudut baik dan tidak baik. Etika merupakan filsafat tentang perilaku manusia.
Seperti dikemukakan di atas, bahwa etika mempelajari dan mempersoalkan perilaku manusia, namun berbeda dengan psikologi, sosiologi, dan antropologi (budaya), yang juga semuanya membicarakan dan mempelajari perilaku manusia. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari masalahnya dan dari fungsinya.
161
Dilihat dari masalahnya, psikologi, sosiologi, dan antropologi memberikan kepda kita fakta-fakta dan hukum-hukum tentang perilaku manusia, baik individu maupun masyarakat. Dilihat dari fungsinya, ilmu-ilmu tersebut menjelaskan kepada kita bagaimana manusia berperilaku dan mengapa mereka berperilaku demikian.
162
Etika tidak berhubungan dengan deskripsi dan penjelasan perilaku manusia beserta latar belakangnya, melainkan untuk menilai perilaku tersebut. Etika tidak bermaksud untuk mengganti sains-sains tersebut, sebaliknya etika akan mengambil manfaat dari sains-sains tersebut dalam usaha untuk dapat melakukan tugasnya dengan lebih teliti, lebih tepat, dan lebih bijaksana. Pemahaman tentang nilai etis akan meningkat apabila kita mengetahui banyak tentang manusia melalui sains-sains tersebut.
163
Oleh karena tugas etika adalah menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa nilai obyek formal etika adalah norma-norma kesusilaan atau nilai-nilai kesusilaan manusia. Etika mempelajari perilaku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma. Menurut Randall (1942), yang dimaksud kondisi normatif adalah “conditions of moral conduct”, yaitu perilaku yang memiliki motif disadari dan mempengaruhi arah atau tujuan kehidupan sendiri atau orang lain.
164
2) Estetika
Estetika merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi seni dengan pengalaman-pengalaman kita yang berhubungan dengan seni. Kadang-kadang estetika diartikan sebagai filsafat seni, tetapi kadang-kadang pula prinsip-prinsip yang berhubungan dengan estetika dinyatakan sebagai hakikat keindahan. Namun, sesungguhnya konsep keindahan hanya salah satu dari sejumlah konsep-konsep dalam filsafat seni.
165
Randall dan Buchler (1942) mengemukakan bahwa ada tiga interpretasi tentang hakikat seni, yaitu :
Pertama, seni sebagai penembusan (penetrasi) terhadap realitas, selain pengalaman. Dengan merespon terhadap hasil karya seni, kita dapat menembus terhadap apa yang kekal dan tidak berubah. Bentuk interpretasi macam pertama ini, misalnya yang dikemukakan oleh Schoupenhaur, dan Plato sebagai tokoh idealisme.
166
Mereka sepakat bahwa ada suatu bentuk atau cita-cita absolut dari keindahan dengan sifat-sifat tertentu. Setiap benda yang disebut indah harus memiliki sifat-sifat tertentu yang absolut. Keindahan absolut adalah abadi, kekal, dan tidak berubah, sedangkan benda-benda indah dalam alam ini adalah fana sifatnya.
167
Kedua, seni sebagai alat untuk kesenangan. Seni tidak berhubungan dengan manipulasi alam untuk kepentingan kesenangan kita. Seni tidak hanya kekurangan nilai kognitif, tambahan juga kekurangan nilai praktis. Seni tidak memiliki nilai apapun, kecuali demi kesenangan. Interpretasi tentang seni seperti ini menekankan pada hedonisme (hedonisme estetis), yang dinyatakan dalam berbagai bentuk. Salah satu di antaranya yang dikemukakan Tolstoy. Menurut Tolstoy, seni adalah penyebaran atau penularan emosi oleh seniman. Makin luas emosi dan makin besar jumlah sentimen moral di dalamnya, akan semakin besar seni tersebut.
168
Ketiga, seni sebagai ekspresi yang sebenarnya tentang pengalaman. Pandangan ini menganggap seni sebagai berakar dalam ikatan pengalaman. Pandangan ini dikekukakan oleh Santayana dan John Dewey. Seni adalah pengalaman, yaitu pengalaman yang ditransformasikan secara sadar. Karya seni dihasilkan dari kontribusi seniman dalam hal kepribadiannya, pengetahuannya, daya ingatan dan imaginasinya, serta kontribusi lingkungan dalam hal materi. Seni adalah pengalaman, mencerminkan pengalaman, dan menambah pengalaman.
169
BAB IV
FILSAFAT DAN SAINS
170
FILSAFAT DAN SAINS
Pada bab pertama telah diuraikan pendekatan sains dalam mengadakan studi pendidikan. Pada bagian ini penulis uraikan apa yang dimaksud dengan sains, bagaimana persamaan dan perbedaan antara filsafat dan sains.
171
1. Pengertian Sains
Istilah sains merupakan alih bahasa dari “science”, yang berasal dari bahasa Latin, “scire”, artinya “to know”.
Dalam arti sempit, sains diartikan ilmu pengetahuan alam, yang sifatnya kuantitatif dan obyektif. Dalam bahasa Indonesia sehari-hari orang salah kaprah menterjemahkan kata science menjadi “ilmu”. Mengapa dikatakan salah kaprah?
172
Karena arti “ilmu” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud : 1988) memiliki dua pengertian. Pertama, ilmu diartikan sebagai suatu pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerapkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut, seperti ilmu hukum, ilmu pendidikan, ilmu ekonomi, ilmu kimia, dan sebagainya.
173
Kedua, ilmu diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian, tentang soal duniawi, akhirat, lahir, batin, dan sebagainya, seperti ilmu akhirat, ilmu akhlak, ilmu tauhid, ilmu batin, ilmu lahir, ilmu sihir, dan sebagainya.
174
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud : 1988), ditemukan juga kata “sains”, yang berarti (1) ilmu teratur (sistematis) yang dapat diuji atau dibuktikan kebenarannya; (2) ilmu yang berdasarkan kebenaran atau kenyataan semata (fisika, kimia, biologi).
175
Jadi, mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kita tidak dapat mengalihbahasakan kata “science” dengan kata “ilmu”, karena ilmu membahas dan membicarakan segala macam pengetahuan yang dapat dimiliki manusia, baik pengetahuan lahir maupun pengetahuan batin, termasuk masalah-masalah yang transdental dan metafisik.
176
Sedangkan sains hanya membicarakan segala sesuatu yang nyata yang dapat disentuh oleh pancaindera. Sains sama sekali tidak berurusan dengan hal-hal yang transendental dan metafisik. Oleh karena itu, kata “science” lebih tepat dialihbahasakan dengan kata “sains”, walaupun kata sains yang tertulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut seolah-olah hanya berkaitan dengan sains fisik. Padahal terdapat juga sains sosial seperti sosiologi, psikologi, antropologi, psikologi sosial, dan seterusnya.
177
Menurut Titus (1959), sains artinya sebagai common sense yang diatur dan diorganisasikan, mengadakan pendekatan terhadap benda-benda atau peristiwa-peristiwa dengan menggunakan metode observasi yang teliti dan kritis. Menurut Ashley Montagu (Anshari, 1979), sains merupakan pengetahuan yang disusun, yang berasal dari pengamatan, studi, dan pengalaman untuk menentukan hakikat dan prinsip tentang hal yang sedang dipelajari.
178
Prof. Harsoyo (1977) mengemukakan pengertian tentang sains, yaitu ;
(1) Merupakan akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan atau kesatuan pengetahuan yang terorganisasikan.
(2) Suatu pendekatan atau suatu metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris, yaitu dunia terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh pancaindra manusia.
179
Selanjutnya sikun pribadi (1972 : 1-2) mengemukakan pengertian sains (ia menyebutkannya ilmu pengetahuan) sebagai berikut :
“Objek ilmu pengetahuan ialah dunia fenomental, dan metode pendekatannya berdasarkan pengalaman (experience) dengan menggunakan berbagai cara seperti observasi, eksperimen, survey, studi kasus, dan sebagainya. Pengalaman-pengalaman itu diolah oleh pikiran atas hukum logika yang tertib.
180
Data yang dikumpulkan diolah dengan cara analitis, induktif, kemudian ditentukan relasi-relasi antara data-data, di antaranya relasi kausalitas. Konsepsi-konsepsi dan relasi-relasi disusun menurut suatu sistem tertentu yang merupakan suatu keseluruhan yang terintegratif. Keseluruhan integratif ini kita disebut ilmu pengetahuan.”
181
Dari beberapa pengertian sains tersebut, dapat diperoleh gambaran apa yang dimaksud dengan sains. Sains pada prinsipnya mensistematisasikan “common sense“ suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, dan dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode yang biasa dilakukan dalam penelitian ilmiah (observasi, eksperimen, survey, studi kasus dan lain-lain).
182
Istilah “common sense” sering dianalogikan dengan “good sense”, karena seseorang dapat menerima sesuatu dengan baik. Semua orang mengatakan bahwa sesuatu merah karena memang merah adanya, suatu benda panas karena memang dirasakan panas, dan sebagainya. Dengan common sense semua orang sampai pada keyakinan secara umum tentang sesuatu, dimana mereka akan berpendapat sama semuanya. Common sense diperoleh dari pengalam sehari-sehari, seperti air dapat menghilangkan rasa dahaga, makanan dapat memuaskan rasa lapar, musim kemarau akan mengeringkan sawah tadah hujan dan sebagainya.
183
Titus (1959) mengemukakan beberapa ciri khusus common sense sebagai berikut :
1) Common sense cenderung menjadi biasa dan tetap, atau bersifat peniruan, serta pewarisan dari masa lampau (ingat volkways pada masyarakat tradisional).
2) Common sense sering memiliki pengertian yang kabur atau samar dan memiliki arti ganda;
3) Common sense merupakan suatu kebenaran atau kepercayaan yang teruji, atau tidak pernah diuji kebenarannya.
184
Jadi, kaitannya dengan sains, seperti dikemukakan oleh Titus, bahwa sains beranjak dari common sense, dari peristiwa sehari-hari yang dialami manusia, namun terus dilanjutkan dengan suatu pemikiran yang logis dan teruji.
185
Sains dapat juga merupakan suatu metode berfikir secara objektif, tujuannya untuk menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia faktual. Pengetahuan yang diperoleh dengan sains, diperolehnya dengan melalui observasi, eksperimen, klasifikasi, dan analisis
186
Sains bersifat objektif dan menyampingkan unsur pribadi, pemikiran logika diutamakan, netral dalam arti tidak dipengaruhi oleh sesuatu. Sains merupakan milik manusia secara universal, dalam arti bahwa hasil penemuan sains dapat dimanfaatkan oleh seluruh umat manusia, tidak hanya oleh sebagian manusia.
187
Sains merupakan lukisan dan keterangan yang lengkap dan konsisten mengenai hal-hal yang dipelajarinya dalam ruang dan waktu sejauh jangkauan logika, dan dapat diamati pancaindera manusia. Sains juga bersifat relatif, dalam arti bahwa suatu kebenaran sains dapat diuji kembali oleh pengalaman berikutnya, kemungkinan diperbaharui, bahkan dapat saja ditolak kalau memang hasil temuan baru tersebut harus ditolak.
188
2. Karakteristik Sains
Sejarah membuktikan bahwa dengan metode sains telah membawa manusia pada kemajuan dalam
pengetahuannya. Kemajuan dalam pengetahuan yang dihasilkan oleh sains itu memungkinkan, karena beberapa karakteristik yang dimiliki sains. Dalam hal ini Randall dan Buchler (1942) mengemukakan beberapa hal ciri umum sains di antaranya :
189
a) Hasil sains bersifat akumulatif dan merupakan milik bersama. Artinya, hasil sains yang lalu dapat dipergunakan untuk penyelidikan dan penemuan hal-hal baru, dan tidak menjadi monopoli bagi yang menemukannya saja. Setiap orang dapat menggunakan atau memanfaatkan hasil penemuan orang lain.
b) Hasil sains kebenarannya tidak mutlak, dan bisa terjadi kekeliruan, karena yang menyelidikinya adalah manusia. Tetapi perlu disadari bahwa kesalahan-kesalahan bukan karena metode, melainkan terletak pada manusia yang menggunakan metode tersebut.
190
c) Sains merupakan objektif, artinya prosedur kerja atau cara penggunaan metode sains itu tergantung kepada yang menggunakan, tidak tergantung pada pemahaman secara pribadi.
Selanjutnya Ralph Ross dan Ernest van den Haag (Harsojo, 1977), mengemukakan ciri-ciri sains, yaitu : 1) bersifat rasional, 2) bersifat empiris, 3) bersifat umum, 4) bersifat akumulatif. Sains dikatakan rasional, karena hasil dari proses berpikir dengan menggunakan akal (rasio).
191
Sains bersifat empiris, karena sains diperoleh dari dan sekitar pengalaman oleh pancaindera. Sains bersifat umum, artinya bahwa hasil sains dapat dipergunakan oleh semua manusia tanpa kecuali. Sains bersifat akumulatif, artinya seperti yang dikemukakan oleh Randall, bahwa hasil sains dapat dipergunakan untuk dijadikan objek penelitian berikutnya.
192
3. Perbedaan Filsafat dan Sains
Terdapat perbedaan yang hakiki antara filsafat dan sains, di antaranya :
a) Sains bersifat analisis dan hanya menggarap salah satu pengetahuan sebagai objek formalnya. Filsafat
bersifat pengetahuan sinopsis, artinya melihat segala sesuatu dengan menekankan secara keseluruhan, karena keseluruhan memiliki sifat tersendiri yang tidak ada pada bagian-bagiannya.
193
b) Sains bersifat deskriptif tentang objeknya agar dapat menemukan fakta-fakta, netral dalam arti tidak memihak pada etik tertentu. Filsafat tidak hanya menggambarkan sesuatu, melainkan membantu Manusia untuk mengambil putusan-putusan tentang tujuan, nilai-nilai dan tentang apa-apa yang harus diperbuat manusia. Filsafat tidak netral, karena faktor-faktor subuejtif memegang peranan yang penting dalam berfilsafat.
194
c) Sains mengawali kerjanya dengan bertolak dari suatu asumsi yang tidak perlu diuji, sudah diakui dan diyakini kebenarannya. Filsafat bisa nerenungkan kembali asumsi-asumsi yang telah ada untuk dikaji ulang tentang kebenaran asumsi yang ada, dimana oleh sains telah diyakini kebenarannya.
195
d) Sains menggunakan eksperimentasi terkontrol sebagai metode yang khas. Verifikasi terhadap teori dilakukan dengan jalan menguji dalam praktik berdasarkan
metode-metode sains yang empiris. Selain menghasilkan suatu konsep atau teori, filsafat dapat juga menggunakan akal pikiran yang didasarkan pada semua pengalaman insani, sehingga dengan demikian, filsafat dapat menelaah yang tidak dicarikan penyelesaiannya oleh sains.
196
Selanjutnya Sikun Pribadi (1972 : 9) mengemukakan perbedaan antara filsafat dengan sains, yaitu :
Jelaslah, bahwa perbedaan antara filsafat dan ilmu pengetahuan (sains) bertolak dari dunia fakta (bersifat ontis) sedangkan filsafat bertolak dari dunia nilai, artinya selalu menghubungkan masalah dengan makna keseluruhan hidup (bersifat deontis), walaupun kedua bidang aktivitas manusia itu sifatnya kognitif”
197
Jadi, sains berhubungan dan mempersoalkan fakta-fakta yang faktual, diperoleh dengan mengadakan eksperimen, observasi, dan verifikasi, hanya berhubungan dengan sebagian dari aspek kehidupan atau peristiwa di dunia ini. Sedangkan filsafat mencoba berhubungan dengan seluruh pengalaman, untuk memperoleh suatu pandangan yang lebih komprehensif dan bermakna tentang sesuatu.
198
4. Titik Temu Filsafat dan Sains
Selain terdapat beberapa perbedaan antara filsafat dan sains, terdapat pula beberapa titik temu antara keduanya, yaitu :
a) Banyak ahli filsafat yang termashur telah memberikan sumbangannya terhadap perkembangan sains modern, seperti Leibniz yang menemukan “kalkulus diferensial”, Whitehead dan Bartrand Russel dengan teori maatematikanya yang terkenal, Ibnu Sina (980-1037), seorang filosof Muslim telah banyak memberikan sumbangannya terhadap perkembangan ilmu kedokteran, Ibnu Khaldun (1333-1408) seorang filosof Muslim telah berjasa dalam mempelopori pengembangan ilmu sejarah dan sosiologi, mendahului August Comte (1798-1857) yang oleh Barat dianggap sebagai Bapak Sosiologi.
199
b) Filsafat dan sains keduanya menggunakan metode berpikir reflektif (reflective thinking) dalam menghadapi fakta-fakta dunia dan hidup.
c) Filsafat dan sains keduanya menunjukkan sikap kritis dan terbuka, dan memberikan perhatian yang tidak berat sebelah terhadap kebenaran.
d) Filsafat sains keduanya tertarik terhadap pengetahuan yang terorganisir dan tersusun secara sistematis.
200
e) Sains membantu filsafat dalam mengembangkan sejumlah bahan-bahan deskriptif dan faktual serta esensial bagi pemikiran filsafat.
f) Sains mengoreksi filsafat dengan jalan menghilangkan sejumlah ide-ide yang bertentangan dengan
pengetahuan ilmiah.
g) Filsafat merangkum pengetahuan yang terpotong-potong, yang menjadikan beraneka macam sains dan yang berbeda serta menyusun bahan-bahan tersebut ke dalam suatu pandangan tentang hidup dan dunia yang lebih menyeluruh dan terpadu.
201
5. Kelebihan dan Kekurangan Sains
Sains dalam perkembangannya telah menghasilkan teknologi. Tidak bisa disangkal bahwa sains telah banyak memberikan sumbangannya terhadap kehidupan umat manusia, misalnya dalam perkembangan sains dan teknologi kedokteran, sains dan teknologi komunikasi dan informasi. Dengan sains dan teknologi memungkinkan manusia dapat bergerak atau bertindak dengan cermat dan tepat, efektif dan efisien, karena sains dan teknologi merupakan hasil kerja pengalaman, observasi, eksperimen dan verifikasi.
202
Selain sains memiliki kelebihan, terdapat pula beberapa kekurangan secara konseptual dan esensial, mungkin dianggap berbahaya, karena :
a) Sains bersifat objektif, menyampingkan penilaian yang sifatnya subyektif. Sains menyampingkan tujuan hidup, sehingga dengan demikian sains dan teknologi tidak
bisa dijadikan pembimbing bagi manusia dalam menjalani hidup ini (Hocking, 1942).
203
Manusia hidup dalam kurun waktu yang panjang. Jika ia terbenam dalam dunia fisik, maka akan hampa dari makna dalam hidup yang penuh arti ini. Oleh karena itu, sains membutuhkan pendamping dalam operasinya, selain filsafat untuk memberikan nilai-nilai hidup, yang paling penting adalah agama yang memiliki kebenaran dan nilai-nilai hidup yang mutlak. Menurut Albert Einstein, “sains tanpa agama lumpuh, dan agama tanpa sains adalah buta (Science without religion is lame, religion without science is blind)”.
204
BAB V
FILSAFAT DAN AGAMA
205
1. Pengertian Agama
Tidak mudah bagi kita untuk menentukan pengertian agama, karena sikap terhadap agama bersifat bathiniah, subyektif, dan individualistis, walaupun nilai-nilai yang dimiliki oleh agama bersifat universal. Kalau kita membicarakan agama, maka kita akan dipengaruhi oleh pandangan agama yang kita anut sendiri.
206
Istilah agama, memiliki pengertian yang sama dengan istilah “religion” dalam bahasa Inggris Bozman (Anshari, 1979) mengemukakan bahwa agama dalam arti luas merupakan suatu penerimaan terhadap aturan-aturan dari suatu kekuatan yang lebih tinggi, dengan jalan melakukan hubungan yang harmonis dengan realitas yang lebih agung dari dirinya sendiri, yang memerintahkan untuk mengadakan kebaktian, pengabdian, dan pelayanan yang setia.
207
Agama bertolak dari adanya suatu kepercayaan terhadap sesuatu yang lebih berkuasa, lebih agung, lebih mulia dari manusia, dan dianggap sebagai pencipta manusia dan jagat raya ini. Agama berhubungan dengan masalah ketuhanan, dimana manusia yang mempercayainya harus menyerahkan diri kepada-Nya, mengabdikan diri sepenuhnya, karena manusia mempercayai keabadian dalam hidup ini.
208
Randall dan Buchler (1942) mengemukakan bahwa ada dua bentuk agama, yaitu : 1) Religion identified with belief in the supernatural, dan 2) Religion indentified with faith.
Pertama, agama diidentifikasikan dengan kepercayaan terhadap supernatural. Secara populer agama diartikan sebagai kepercayaan terhadap Tuhan, yaitu suatu kehidupan yang supernatural.
209
Menurut Randall dan Buchler, definisi tersebut tidak cukup memadai, karena beberapa alasan antara lain : 1) suatu fakta bahwa agama Hindu dan Budha adalah bukan teistis dan tidak supernatural, kecuali dalam pengertian mitologi, mereka memasukkan asumsi tentang supernatural, 2) banyak dari mereka yang beragama secara eksplisit bukan supernatural, namun secara umum dikenal sebagai agama, contoh Spinoza.
210
Kedua, agama diidentifikasikan dengan kepercayaan atau keyakinan. Keyakinan agama mencerminkan keyakinan atau kepercayaan yang berlangsung di luar apa yang telah kita alami pada masa silam atau yang akan kita alami pada masa yang akan datang. Defisini ini dibuat untuk memasukkan ke dalam lingkup agama, hal-hal yang menyangkut “agama tentang pengetahuan”, “agama tentang komunikasi”, metode ilmiah dan cita-cita politik dengan kepercayaan yang mendominasi kehidupan intelektual. Namun, definisi ini tidak menyangkut prinsip-prinsip pokok dalam agama, yaitu pemujaan dan pengabdian terhadap yang lebih agung sebagai pencipta.
211
Dalam agama-agama yang besar yang terorganisasi (Islam, Yahudi, Nasrani, Hindu, dan Budha), dapat dibedakan dua aspek pokok, yaitu aspek dogmatis dan aspek ritual. Dogma meruoakan susunan prinsip-prinsip kebenaran yang sudah pasti dianggap sebagai kepercayaan tanpa alternatif (Randall, et. al. 1942).
212
Aspek ritual meliputi proses atau prosedur ritual (upacara keagamaan) yang biasa dilakukan oleh para penganut agama. Dogma dan ritual melengkapi dalam agama-agama yang terorganisasi. Perbuatan ritual merupakan manifestasi dari kepercayaan dalam dogma, sedangkan kepercayaan dalam dogma memberi arti atau makna terhadap perbuatan ritual.
Dalam kepercayaan agama, ada yang disebut panteisme. Pandangan ini bertentangan dengan supernatural, karena panteisme meyakini bahwa Tuhan sebagai hal yang tidak berbeda dengan alam semesta atau proses alam semesta.
213
Kekuatan dan kekuasaan yang mahabesar itu bukan merupakan sesuatu yang transeden (sesuatu yang berada di luar alam semesta), melainkan imanen (sesuatu berada di alam semesta, menyatu dengan alam semesta). Tuhan berada dalam diri manusia, sehingga pengikut panteisme akan sampai pada suatu keyakinan bahwa “aku Tuhan”.
214
2. Ciri-ciri Agama
Dalam agama sekurang-kurangnya terdapat empat ciri antara lain:
a) Adanya kepercayaan terhadap yang mahagaib, mahasuci, mahaagung, sebagai pencipta alam semesta.
b) Melakukan hubungan dengan hal-hal di atas, dengan berbagai cara. Seperti misalnya dengan mengadakan upacara-upacara ritual, pemujaan, pengbadian, dan sebagainya. Dalam Islam melakukan hubungan dengan Maka Pencipta (Rab), dengan mengucapkan dua kalimah syahadat sebagai awal pengakuan bahwa Allah sebagai Rab dan Muhammad sebagai Rasul-Nya, melaksanakan salat lima waktu, melaksanakan puasa, membayar zakat bagi yang sudah nisab, melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu.
215
c) Adanya suatu ajaran (doktrin) yang harus dijalankan oleh setiap penganutnya. Dalam Islam doktrin itu sendiri dari tiga aspek yaitu iman, islam dan ihsan.
d) Menurut pandangan Islam, bahwa ajaran atau doktrin tersebut diturunkan oleh Rab tidak langsung pada setiap manusia, melainkan melalui Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul-Nya sebagai orang-orang suci. Maka menurut pandangan Islam, adanya Rasul dan Kitab Suci merupakan syarat mutlak adanya agama.
216
Seperti halnya sains dan filsafat, agama tidak hanya untuk agama, melainkan untuk diterapkan dalam kehidupan dengan segala aspeknya. Pengetahuan dan kebenaran agama dapat dijadikan sumber untuk menyusun teori-teori dalam setiap aspek kehidupan. Pengetahuan dan kebenaran agama yang berisikan kepercayaan dan nilai-nilai kehidupan, dapat dijadikan sumber dalam menentukan tujuan dan pandangan hidup manusia, serta sampai pada perilaku manusia sendiri.
217
Pengalaman agama bukanlah suatu pengalaman yang bersifat teoritis, melainkan merupakan penghayatan yang mendalam tentang manusia dengan Tuhannya, serta pengalaman semua yang telah digariskan oleh/dalam agama tersebut.
218
3. Manfaat Agama bagi Manusia
Terlepas dari pemikiran bagaimana bentuk dan tipe agama, apakah agama wahyu ataupun hasil renungan dan penghayatan manusia, kenyataan manusia di dunia ini akan menjadi penganut atau pengikutnya yang setia. Manusia menjadi penganutnya yang setia terhadap agama, karena menurut keyakinannya agama telah memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi hidupnya, yang tidak mungkin dapat diuji dengan pengalaman maupun oleh akal seperti halnya menguji kebenaran sains dan filsafat karena agama lebih banyak menyangkut perasaan dan keyakinan.
219
Menurut Hocking (1946), agama merupakan obat dari kesulitan dan kekhawatiran yang dihadapi manusia, sekurang-kurangnya meringankan manusia dari kesulitan. Agama merupakan pernyataan pengharapan manusia dalam dunia yang besar (jagat raya), karena ada jalan hidup yang benar yang perlu ditemukan. Agama menjadi suatu lembaga yang bersemangat untuk memperoleh kehidupan yang baik, dan merenungkannya sebagai suatu tuntutan kosmis.
220
Betapapun agama yang dianut oleh masyarakat pada zaman prasejarah, yang berisi kepercayaan tajhyul, yang bisa kita sebut agama animisme, samanisme, telah memberikan nilai yang berharga bagi manusia. Menurut Ghalab (1965), agama-agama animisme pun telah memberikan manfaatnya bagi kehidupan manusia, di antaranya : 1) mengurangi kejahatan, 2) mengurangi tindak pidana, 3) mengurangi atau menumpulkan syahwat kemanusiaannya, dan 4) membahagiakan dan menyenangkan manusia. Kesemuanya itu karena manusia mempercayai adanya kekuasaan yang lebih besar daripada dirinya, dan percaya adanya kehidupan yang abadi setelah kehidupan dunia ini.
221
Menurut Ghalab (1965), agama wahyu akan memiliki kesempurnaan yang mutlak, karena nilai keagamaan yang terkandung di dalamnya, berasal dari Rab. Rab telah mewahyukan bahwa akal dan penginderaan manusia terbats, sehingga akal dan penginderaan manusia membutuhkan bimbingan yang tinggi, untuk menunjukkan pada jalan yang membawanya ke kebahagiaan, dan kesempurnaan hidup yang abadi tidak hanya kehidupan di dunia ini, melainkan kehidupan di akhirat yang abadi segalanya.
222
Nilai-nilai keagamaan tidak hanya menunjukkan hubungan manusia dengan Rabnya, melainkan menunjukkan juga hubungan dengan sesama manusia. Nilai-nilai keagamaan menunjukkan bahwa tidak dikatakan sempurna penghayatan serta keimanan seseorang di hadapan Rabnya, sebelum manusia mencintai sesamanya, seperti dia mencintai terhadap dirinya sendiri. Jadi, nilai keagamaan yang didasarkan atas cinta terhadap Rab, akan menghubungkan jiwa serta perasaan pemeluknya dimanapun mereka berada di jagat raya ini.
223
Agama dapat menjadi petujuk, pegangan serta pedoman hidup bagi manusia dalam menempuh hiduonya dengan harapan penuh keamanan, kedamaian, dan kesejahteraan. Manakala manusia menghadapi masalah yang rumit dan berat, maka timbullah kesadarannya, bahwa manusia merupakan makhluk yang tidak berdaya untuk mengatasinya, dan timbulnya kepercayaan dan keyakinan, bahwa yang dapat menolong dan menenangkan hidupnya hanya Rab Yang Maha Kuasa, Yang Maha Agung, pencipta seru sekalian alam. Dengan agama manusia sampai pada suatu pengukuran bahwa semua makhluk yang berada di jagat raya yang maha luas ini dimana manusia tidak akan mampu mengukurnya secara pasti, berasal dari-Nya dan pasti akan kembali kepada-Nya.