filsafat positivisme erwin

28
FILSAFAT POSITIVISME (Tinjauan Aspek Ontologis, Epistemologis, Aksiologis) Oleh Erwin Dwi Edi Wibowo PENDAHULUAN Positivisme pertama kali digagas oleh seorang berkebangsaan Perancis yang bernama Augus Comte yang hidup pada tahun 1798 – 1857. Comte melihat satu hukum universal dalam semua ilmu pengetahuan yang kemudian ia sebut sebagai 'hukum tiga fase'. Melalui hukumnya ia mulai dikenal di seluruh wilayah berbahasa Inggris (English-speaking world); menurutnya, masyarakat berkembang melalui tiga fase: Teologi, Metafisika, dan tahap positif (atau sering juga disebut tahap ilmiah). Ia kemudian dikenal sebagai orang pertama yang mengaplikasikan metoda ilmiah dalam ilmu sosial. Untuk memahami pemikiran Auguste Comte, kita harus mengkaitkan dia dengan faktor lingkungan kebudayaan dan lingkungan intelektual Perancis. Comte hidup pada masa revolusi Perancis yang telah menimbulkan perubahan yang sangat besar pada semua aspek kehidupan masyarakat Perancis. Revolusi ini telah melahirkan dua sikap yang

Upload: erwinwibowo

Post on 27-Jun-2015

1.997 views

Category:

Documents


29 download

TRANSCRIPT

Page 1: filsafat positivisme Erwin

FILSAFAT POSITIVISME

(Tinjauan Aspek Ontologis, Epistemologis, Aksiologis)

Oleh Erwin Dwi Edi Wibowo

PENDAHULUAN

Positivisme pertama kali digagas oleh seorang berkebangsaan Perancis

yang bernama Augus Comte yang hidup pada tahun 1798 – 1857. Comte melihat

satu hukum universal dalam semua ilmu pengetahuan yang kemudian ia sebut

sebagai 'hukum tiga fase'. Melalui hukumnya ia mulai dikenal di seluruh wilayah

berbahasa Inggris (English-speaking world); menurutnya, masyarakat berkembang

melalui tiga fase: Teologi, Metafisika, dan tahap positif (atau sering juga disebut

tahap ilmiah). Ia kemudian dikenal sebagai orang pertama yang mengaplikasikan

metoda ilmiah dalam ilmu sosial.

Untuk memahami pemikiran Auguste Comte, kita harus mengkaitkan dia

dengan faktor lingkungan kebudayaan dan lingkungan intelektual Perancis. Comte

hidup pada masa revolusi Perancis yang telah menimbulkan perubahan yang

sangat besar pada semua aspek kehidupan masyarakat Perancis. Revolusi ini telah

melahirkan dua sikap yang saling berlawanan yaitu sikap optimis akan masa

depan yang lebih baik dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan

sebaliknya sikap konservatif atau skeptis terhadap perubahan yang menimbulkan

anarki dan sikap individualis. Lingkungan intelektual Perancis diwarnai oleh dua

kelompok intelektual yaitu para peminat filsafat sejarah yang memberi bentuk

pada gagasan tentang kemajuan dan para penulis yang lebih berminat kepada

masalah-masalah penataan masyarakat. Para peminat filsafat sejarah menaruh

perhatian besar pada pertanyaan-pertanyaan mengenai apakah sejarah memiliki

tujuan, apakah dalam proses historis diungkapkan suatu rencana yang dapat

Page 2: filsafat positivisme Erwin

diketahui berkat wahyu atau akal pikiran manusia, apakah sejarah memiliki makna

atau hanyalah merupakan serangkaian kejadian yang kebetulan

Dalam karya besarnya, Comte mengklaim bahwa dari hasil studi tentang

perkembangan intelektual manusia sepanjang sejarah kita bisa menemukan hukum

yang mendasarinya. Hukum ini, yang kemudian dikenal sebagai Law of Three

Stages, yang setiap konsepsi dan pengetahuan manusiawi pasti melewatinya,

secara berurutan adalah kondisi teologi yang bercorak fiktif, kondisi metafisis

yang bercorak abstrak, dan saintifik atau positive. Bagi Comte, pikiran manusia

berkembang dengan melewati tiga tahap filsafati, yang berbeda dan berlawanan.

Dari tiga tahap pemikiran manusia ini, yang pertama mestilah menjadi titik awal

pemahaman manusia dalam memahami dunia. Tahap kedua hanyalah menjadi

tahap transisi saja. Sedangkan tahap ketiga adalah tahap akhir dan definitif dari

intelektualitas manusia. Pengaruh terhadap pemikiran Comte tentang Hukum Tiga

Tahap bisa dilacak pada iklim intelektual abad delapan belas dimana banyak

ilmuan sampai pada simpulan tentang tahapan-tahapan sejarah. Beberapa diantara

pemikir yang berpengaruh adalah Turgot, Quesnay, Condorcet, dan Robertson

yang berpandangan tentang multi-tahap perkembangan ekonomi dalam sejarah

manusia. Menjelang penemuan Hukum Tiga Tahap, Comte telah akrab dengan

skema yang mirip yang diadopsi oleh Condorcet dari karya Turgot Second

Discourse on Universal History, dan oleh Saint-Simon dari Condorcet.

Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa

satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman

aktual-fisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan

teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis

dihindari. Positivisme, dalam pengertian diatas dan sebagai pendekatan telah

dikenal sejak Yunani Kuno dan juga digunakan oleh Ibn al-Haytham dalam

karyanya Kitab al-Manazhir. Sekalipun demikian, konseptualisasi positivisme

sebagai sebuah filsafat pertama kali dilakukan Comte di abad kesembilanbelas.

Page 3: filsafat positivisme Erwin

Sebenarnya kata positive tidak hanya digunakan oleh Comte. Kata ini

telah umum digunakan pada abad delapan belas, khususnya pada paruh kedua.

Namun Comte adalah orang yang bertanggung jawab atas penerapan positivisme

pada filsafat. Filsafat positivistik ini dibangun berdasarkan dua hal, yaitu filsafat

kuno dan sains modern. Dari filsafat kuno, Comte meminjam pengertian

Aristoteles tentang filsafat, yaitu konsep-konsep teoritis yang saling berkaitan satu

sama lain dan teratur. Dari sains modern, Comte menggunakan ide positivistik a la

Newton, yakni metode filsafati yang terbentuk dari serangkaian teori yang

memiliki tujuan mengorganisasikan realitas yang tampak. Sebagaimana diakui

Comte sendiri, ada kemiripan antara antara filsafat positivistik (philosophie

positive) dan filsafat alam (natural philosophy) di Inggris. Pemilihan terhadap

filsafat positivistik sebagai nama bagi sistem pemikiran yang dibangunnya karena

filsafat positivistik hanya mencoba untuk menganalisis efek dari sebab-sebab

sebuah fenomena dan menghubungkannya satu sama lain.

PEMBAHASAN

Positivisme sebagai aliran filsafat

Positivisme adalah paham atau aliran filsafat ilmu pengetahuan modern

yang memicu pesatnya perkembangan sains di satu sisi dan menandai krisis

pengetahuan dan kemanusiaan Barat di sisi lain. Positivisme adalah suatu aliran

filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan

yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Paham ini

memandang bahwa paradigma positivisme adalah satu-satunya paradigma yang

diterapkan untuk menyatakan kesahihan ilmu pengetahuan. Maka dari itu segala

sesuatu yang dinyatakan oleh para ilmuwan dapat dikatakan sebagai ilmu

pengetahuan jika mengikuti paradigma tersebut. Suatu pernyataan dapat dikatakan

ilmu pengetahuan apabila kebenarannya dapat dibuktikan secara empiris. Tidak

mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya

aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk

Page 4: filsafat positivisme Erwin

memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya

idealisme Jerman Klasik). Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-

segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja

merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada

spekulasi dapat menjadi pengetahuan.

Aliran positivisme walaupun dalam beberapa segi mengandung beberapa

kebaruan namun sebenarnya ia tidak benar-benar baru, karena sebelumnya telah

berkembang paham empirisme yang dalam beberapa segi memiliki kesamaan dengannya

dimana keduanya sama-sama memberikan tekanan pada pengalaman. Hanya saja paham

positivisme membatasi pengalaman pada hal-hal objektif saja sementara paham

empirisme menerima pengalaman subjektif atau batiniah. Aliran ini ditandai oleh

penilaiannya yang sangat positif terhadap ilmu pengetahuan dan peran nilai-nilai

humanism dalam pengembangan masyarakat dan kebudayaan yang diidamkan. fakta

positivis adalah adalah fakta real atau fakta nyata. Hal positif adalah sesuatu yang dapat

dibenarkan oleh setiap orang yang mau membuktikannya.

Tujuan utama yang ingin dicapai oleh positivisme adalah membebaskan

ilmu dari kekangan filsafat (metafisika). Menurut aliran ini ilmu hendaknya

dijauhkan dari tafisran-tafsiran metafisis yang merusak obyektifitas. Dengan

menjauhkan tafsiran-tafisran metafisis dari ilmu, para ilmuwan hanya akan

menjadikan fakta yang dapat ditangkap dengan indera untuk menghukumi segala

sesuatu. Hal ini sangat erat kaitannya dengan tugas filsafat. Menurut positivisme,

tugas filsafat bukanlah menafsirkan segala sesuatu yang ada di alam. Tugas

filsafat adalah memberi penjelasan logis terhadap pemikiran. Oleh karena itu

filsafat bukanlah teori. Filsafat adalah aktifitas. Filsafat tidak menghasil proposisi-

proposisi filosofis, tapi yang dihasilkan oleh filsafat adalah penjelasan terhadap

proposisi-proposisi.

Alasan yang digunakan oleh positivisme dalam membatasi tugas filsafat di

atas adalah karena filsafat bukanlah ilmu. Kata filsafat hendaklah diartikan

sebagai sesuatu yang lebih tinggi atau lebih rendah dari ilmu-ilmu eksakta.

Penjelasan dari hal ini adalah bahwa tugas utama dari ilmu adalah memberi

tafsiran terhadap materi yang menjadi obyek ilmu tersebut. Tugas dari ilmu-ilmu

eksakta adalah memberi tafsiran terhadap segala sesuatu yang terjadi di alam dan

Page 5: filsafat positivisme Erwin

sebab-sebab terjadinya. Sementara tugas ilmu-ilmu sosial adalah memberi tafsiran

terhadap segala sesuatu yang terjadi pada manusia, baik sebagai individu maupun

masyarakat. Dan karena semua obyek pengetahuan baik yang berhubungan

dengan alam maupun yang berhubungan dengan manusia sudah ditafsirkan oleh

masing-masing ilmu yang berhubungan dengannya, maka tidak ada lagi obyek

yang perlu ditafsirkan oleh filsafat. Oleh karena itulah dapat disimpulkan bahwa

filsafat bukanlah ilmu.

Positivisme yang memegang teguh bahwa strategi pembaharuan termasuk

dalam masyarakat itu dipercaya dapat dilakukan berdasarkan hukum alam.

Masyarakat positivus percaya bahwa hukum-hukum alam yang mengendalikan

manusia dan gejala sosial dapat digunakan sebagai dasar untuk mengadakan

pembaharuan-pembaharuan sosial dan politik untuk menyelaraskan institusi-

institusi masyarakat dengan hukum-hukum itu. Positivisme juga melihat bahwa

masyarakat sebagai suatu keseluruhan organis yang kenyataannya lebih dari

sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung. Dan untuk mengerti

kenyataan ini harus dilakukan suatu metode penelitian empiris, yang dapat

meyakinkan kita bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari alam seperti

halnya gejala fisik. Terdapat 3 metode penelitian empiris yang biasa juga

digunakan oleh bidang-bidang fisika dan biologi, yaitu :

1. Pengamatan, dimana dalam metode ini peneliti mengadakan suatu

pengamatan fakta dan mencatatnya dan tentunya tidak semua fakta dicatat,

hanya yang dianggap penting saja.

2. Eksperimen, metode ini bisa dilakukan secara terlibat atau pun tidak dan

metode ini memang sulit untuk dilakukan.

3. Perbandingan, tentunya metode ini memperbandingkan satu keadaan

dengan keadaan yang lainnya.

Dengan menggunakan metode-metode diatas menurut Augus Comte

positivisme berusaha merumuskan perkembangan masyarakat yang bersifat

evolusioner menjadi 3 kelompok yaitu :

Page 6: filsafat positivisme Erwin

1. Tahap Teologis, Pada tahap ini manusia mencari sebab pertama dan tujuan

akhir dari segala sesuatu. Dalam semua peristiwa alam diyakini bahwa ada

kekeuatan supernatural yang mengatur dan menyebabkan semua gejala alam.

Semua permasalahan dan jawaban terhadap fenomena alam dikembalikan

kepada kepercayaan teologis. Tahap ini merupakan periode paling lama

dalam sejarah manusia, dan dalam periode ini dibagi lagi ke dalam 3 sub-

periode, yaitu :

a. Fetisisme, yaitu bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat

primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki

kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri.

b. Politheisme, muncul adanya anggapan bahwa ada kekuatan-kekuatan

yang mengatur kehidupannya atau gejala alam.

c. Monotheisme, yaitu kepercayaan dewa mulai digantikan dengan yang

tunggal, dan puncaknya ditunjukkan adanya Khatolisisme.

2. Tahap Metafisik, Pada tahap ini manusia merumuskan jawaban atas

fenomena alam dengan mencari sebab-sebab pertama dan tujuan akhir.

Penjelasan rasional berupa abstraksi adalah metode yang diandalkan

untuk menemukan hakekat dari segala sesuatu yang metafisis itu. Tahap

ini kehidupan manusia sudah mengalami kemajuan disbanding pada tahap

sebelumnya. Tahap ini merupakan tahap transisi antara tahap teologis ke

tahap positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-

hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dalam akal budi.

3. Tahap Positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber

pengetahuan terakhir, tetapi sekali lagi pengetahuan itu sifatnya sementara

dan tidak mutlak, disini menunjukkan bahwa semangat positivisme yang

selalu terbuka secara terus menerus terhadap data baru yang terus

mengalami pembaharuan dan menunjukkan dinamika yang tinggi. Analisa

rasional mengenai data empiris akhirnya akan memungkinkan manusia

untuk memperoleh hukum-hukum yang bersifat uniformitas. Tahap ini

merupakan tahap berfikir real, faktual dan nyata sebagai dasar pengetahuan,

yang menurut Comte merupakan puncak dari perkembangan pemikiran manusia.

Page 7: filsafat positivisme Erwin

Disetiap tahapan tentunya akan selalu terjadi suatu konsensus yang

mengarah pada keteraturan sosial, dimana dalam konsensus itu terjadi suatu

kesepakatan pandangan dan kepercayaan bersama, dengan kata lain sutau

masyarakat dikatakan telah melampaui suatu tahap perkembangan diatas apabila

seluruh anggotanya telah melakukan hal yang sama sesuai dengan kesepakatan

yang ada, ada suatu kekuatan yang dominan yang menguasai masyarakat yang

mengarahkan masyarakat untuk melakukan konsensus demi tercapainya suatu

keteraturan sosial.

Pada tahap teologis, keluarga merupakan satuan sosial yang dominan,

dalam tahap metafisik kekuatan negara-bangsa (yang memunculkan rasa

nasionalisme/ kebangsaan) menjadi suatu organisasi yang dominan. Dalam tahap

positif muncul keteraturan sosial ditandai dengan munculnya masyarakat industri

dimana yang dipentingkan disini adalah sisi kemanusiaan. (Pada kesempatan lain

Comte mengusulkan adanya Agama Humanitas untuk menjamin terwujudnya

suatu keteraturan sosial dalam masyarakat positif ini). Sifat dasar dari suatu

organisasi sosial suatu masyarakat sangat tergantung pada pola-pola berfikir yang

dominan serta gaya intelektual masyarakat itu. Dalam perspektif positivisme

struktur sosial sangat mencerminkan epistemologi yang dominan, dan kaum

positivis percaya bahwa begitu intelektual dan pengetahuan kita tumbuh maka

masyarakat secara otomatis akan ikut bertumbuh pula.

Diantara ajaran dasar positivisme adalah berikut ini :

a).   Di dalam alam terdapat hukum-hukum yang dapat diketahui

b).   Penyebab adanya benda-benda dalam alam tidak diketahui

c).   Setiap pernyataan yang secara prinsip tidak dapat dikembalikan pada fakta

tidak mempunyai arti nyata dan tidak masuk akal

d)  Hanya hubungan fakta-fakta saja yang dapat diketahui

e)  Perkembangan intelektual merupakan sebab utama perubahan sosial.

Dari kelima prinsip dasar di atas dapat dipahami bahwa segala sesuatu yang dapat

dilihat oleh indra manusia memungkinkan untuk  dipelajari dan dikaji menjadi

Page 8: filsafat positivisme Erwin

sebuah ilmu pengetahuan dengan menggunakan metode ilmiah yang disepakati

oleh para ilmuwan sehingga menghasilkan hukum-hukum yang memberikan

kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia. Hukum-hukum yang dihasilkan oleh

para intelektual melalui pengkajian-pengkajian terhadap gejala-gejala alam yang

terlihat oleh indra manusia itulah yang menjadi sebab utama adanya perubahan-

perubahan yang terjadi pada manusia.

Perkembangan masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dan

perkembangan yang lainnya selalu mengikuti hukum alam yang empiris sifatnya

dimana Augus Comte merumuskan ke dalam 3 tahapan yaitu tahap Teologis,

Metafisik dan Positif. Dimana dalam tahap teologis pengetahuan absolut

mengandaikan bahwa semua gejala dihasilkan dari tindakan langsung dari hal-hal

supranatural. Tahap metafisik mulai ada perubahan bukan kekuatan supranatural

yang menentukan tetapi kekuatan abstrak, hal yang nyata melekat pada semua

benda. Dan fase positif, sudah meninggalkan apa-apa yang dipikirkan dalam dua

tahap sebelumnya dan lebih memusatkan perhatiannya pada hukum-hukum alam.

Jika ditilik dari penjelasan diatas maka bentuk dari perkembnagan sejarah

positivisme sulit untuk dipastikan apak mengikuti alur linier atau mengikuti alur

spiral tetapi yang jelas positivisme tidak terlalu murni menggunakan kedua alur

tersebut, yang pasti ia mengarah pada progresifitas dimana masyarakat positif

merupakan cita-cita akhirnya yang sebelum nya harus melalui 2 tahapan

dibawahnya, yaitu tahap Teologis dan Metafisik.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kemajuan manusia menurut

paham positivisme disebabkan oleh kepercayaan manusia terhadap akal budi

dengan kemampuan berpikirnya secara real dan factual serta meninggalkan

dogma-dogma teologi agama yang bersifat abstrak bahkan fiktif yang

kebenarannya tidak dapat diuji oleh bukti-bukti empiris. Melalui pemahaman

tersebut di atas maka manusia terutama kaum intelektual berupaya melakukan

eksploitasi terhadap alam sebagai objek penelitian dan pengkajian sehingga pada

tahap tertentu hal itu dapat merugikan manusia itu sendiri sebagai subjek. Dalam

arti di satu sisi manusia mengalami kemajuan di bidang sains dan teknologi

Page 9: filsafat positivisme Erwin

namun di sisi lain terjadi kegersangan rohani mentalitas manusia bahkan berani

meninggalkan keyakinan adanya Tuhan yang maha pencipta, seolah-olah akal

budi manusia lah yang menjadikan segala-galanya.

Perkembangan positivisme

Ada tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:

1. Tahap pertama dalam positivisme diberikan pada Sosiologi, walaupun

perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan

oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-

tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.

2. Tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada

tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius.

Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata

obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme,

masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme

ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.

3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran

Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan

lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan

tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua

kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis,

positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap

ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur

penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

Dalam perkembangannya positivisme mengalami perombakan pada

beberapa sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis.

Istilah lain untuk Positivisme logis adalah empirisme logis, empirisme rasional,

dan juga neo-positivisme. Positivisme logis adalah sebuah filsafat yang berasal

dari lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Dimana ia berpendapat bahwa filsafat

Page 10: filsafat positivisme Erwin

harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat

memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan

adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali. Positivisme logis

merupakan aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada

segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan. Tujuan akhir dari penelitian

yang dilakukan pada positivisme logis adalah untuk mengorganisasikan kembali

pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu”

yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang

terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.

Istilah positivism logis muncul dari diskusi-diskusi sekelompok filsuf dan

ilmuwan radikal yang menamakan kelompoknya dengan Der wiener kreis atau

lingkaran wina. Buku Language, Truth and logic yang dikarang oleh Alfred Jules

Ayer seorang filsuf kelahiran London adalah salah satu yang menjadi dasar bagi

keyakinan positivistic lingkaran Wina. Beberapa arah pemikiran yang memberi

pengaruh terhadap lahirnya positivism logis adalah :

1. Empirisme dan positivisme

2. Metode ilmu-ilmu empiris

3. Perkembangan logika simbolik dan analisa bahasa

Empirisme yang menjadi salah satu dasar positivism logis adalah bahwa obsevasi

dijadikan sebagai satu-satunya sumber yang terpercaya bagi ilmu pengetahuan.

Hanya ada satu bentuk pengetahuan, yaitu yang didasarkan kepada pengalaman

dan dapat ditemukan dalam bahasa logis dan matematis.

Salah satu teori Positivisme Logis yang paling populer antara lain teori

tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan

dapat disebut sebagai bermakna jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara

empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah semua bentuk diskursus yang tidak

dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah

keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang

metafisika. Ada beberapa pokok pemikiran positivisme khususnya mengenai

bahasa ideal, diantaranya sebagai berikut:

Page 11: filsafat positivisme Erwin

a. Filsafat merupakan analisis logis terhadap konsep dan pernyataan ilmu

pengetahuan.

b. Pemikiran seseorang dapat diuji melalui bahasa, selama pemikiran itu

diungkapakan memalui bahasa. Hanya bahasa yang sempurna , bersifat

universal dan logislah yang disebut sebagai bahasa ilmiah.

c. Bahasa sehari-hari menyesatkan, karena itu bahasa sehari-hari harus

direduksi (diterjemahkan) ke dalam bahasa atifisial atau bahasa

ideal/formal.

d. Tugas utama filsafat adalah memeperbaiki bahasa dengan menjadikan

bentuk gramatika dan sintaksisnya sesuai dengan fungsi logika aktualnya.

e. Metafisika didasarkan pada kepercayaan entitas non empiris dan relasi

internal ditolak (tidak dapat diverifikasi). Realitas yang dapat diterima

adalah realitas dan relasi eksternal, dapat diobservasi dan/atau merupakan

entitas logis.

f. Definisi haruslah bersifat operasional.

Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi

pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada

analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi

metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari

pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan

ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris. Beberapa asumsi yang terkandung

dalam positivisme logis, diantaranya:

1. Naturalisme, artinya positivis komit pada kesamaan fenomena alam;

karena metode ilmu alama dapat diterapkan pada ilmu social buadaya.

Maka implikasinya adalah ilmu hanya bertolak dari tingkah laku, dan

institusi masyarakat yang teramati. Dalam cara yang sama manusia dapat

diteliti sebagai proses kimia atau biologi. Ilmu alam menjadi model untuk

penelitian social budaya.

2. Fenomenalisme,,artinya Ilmu pengetahuan hanya bersumber dari

fenomena yang dapat diamati, hal yang abstrak dan metafisik di luar ilmu

Page 12: filsafat positivisme Erwin

pengetahuan. Maka implikasinya adalah relaitas dibatasi pada yang dapat

dilihat, diraba, ddisentuh, didengar dan dicium saja. Kesadaran, motivasi,

tujuan hidup/kebahagiaan adalah hal yang subjektif 9ada dalam pikiran

saja).

3. Nominalisme adalah konsep universal sebagai gambaran murni sulit

diterima karena hanya didasarkan pada fakta individual. Konsep adalah

suatu nama/sebutan kebahasaa yang disepakati. Maka implikasinya adalah

semua konsep dan ide yang tidak didasarkan atas pengamatan langsung

tidak bernakna. Konsep: kesadaran, keadilan, jiwa, makna/tujuan hidup

dinyatakan tidak bermakna.

4. Atomisme adalah pendekatan khusus untuk mendefinisikan objek studi.

Objek yang diteliti dapat dipecah dalam bagian-bagian kecil. Objek

merupakan jumlah total dari komponen atomiknya. Maka implikasinya

adalah unit terkecil yang dapat diobservasi menjadi fokus riset. Dalam

penelitian sosiologi ia bertolak dari individu; masyarakat dipandang tidak

lain dari kumpulan individu-individu.

5. Tujuan ilmu pengetahuan adalah menemukan hukum-hukum  ilmiah.

Bertolak dari observasi terhadap fenomena alam dicari “empirical-

regularity”. Hukum ilmiah adalah pernyataan umum yang dapat

menjelaskan keberaturan pengalaman pada tempat dan waktu yang

berbeda. Maka implikasinya adalah pencarian hukum ilmiah diadopsi oleh

ilmuwan social  dengan asumsi keteraturan empiris, misalnya: merokok

menyebabkan kanker paru-paru. Biasanya dirumuskan: jika p maka q.

6. Fakta dan nilai dilihat sebagai dua hal yang berbeda/terpisah. Fakta dapat

diobservasi, diukur dan diverifikasi. Nilai-nilai termasuk penilaian

subjektif, tuntutan tentang apa yang seharusnya tidak boleh masuk dalam

wilayah ilmu pengetahuan. Maka implikasinya adalah para ilmu social

budaya yang menerima asumsi ini menyatakan bahwa proposisi ilmiah

bebas dari nilai

Kajian Filsafati Positivisme

Page 13: filsafat positivisme Erwin

A. Kajian Ontologis

Di dalam filsafat, positivisme sangatlah dekat dengan empirisme,

yakni paham yang berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan

manusia adalah pengalaman inderawi. Artinya, manusia tidak bisa

mengetahui sesuatu apapun, jika ia tidak mengalaminya terlebih dahulu

secara inderawi. Yang menjadi ciri khas dari positivisme adalah, peran

penting metodologi di dalam mencapai pengetahuan. Di dalam

positivisme, valid tidaknya suatu pengetahuan dilihat dari validitas

metodenya. Dengan demikian, pengetahuan manusia, dan juga mungkin

kebenaran itu sendiri, diganti posisinya oleh metodologi yang berbasiskan

data yang juga diklaim obyektif murni dan universal. Dan, satu-satunya

metodologi yang diakui oleh para pemikir positivisme adalah metode

ilmu-ilmu alam yang mengklaim mampu mencapai obyektifitas murni dan

bersifat universal. Metode-metode lain di luar metode ilmu-ilmu alam ini

pun dianggap tidak memadai.

Jika berbicara tentang kajian ontologis, maka yang ingin dibahas

adalah mengenai hal-hal apa saja yang dikaji oleh suatu ilmu, dengan kata

lain, apa yang menjadi objek dari ilmu tersebut dan apa saja ruang

lingkupnya. Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang

mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis. Sehingga untuk

mengkaji positivisme dari aspek ontologis maka harus dilakukan

diprioritaskan pada obyek dan ruang lingkup positivisme itu sendiri.

Bila dipandang dari aspek obyek dan ruang lingkupnya, maka

positivisme akan dapat menghasilkan asumsi-asumsi sebagai berikut :

a. Di dalam pandangan positivisme segala sesuatu adalah riil (real) atau

nyata, sehingga di dalam fenomena/gejala sosial segala sesuatu yang

tidak nyata dianggap bukan fenomena/gejala sosial.

b. Positivisme memandang benda-benda yang ada disekitar kita

merupakan sebuah obyek, sedangkan yang hanya ada di dalam pikiran

kita bukanlah obyek.

Page 14: filsafat positivisme Erwin

c. Menurut pandangan positivisme, segala sesuatu memiliki pola yang

bersifat Universal.

Ada realitas yang. nyata yang diatur oleh kaidah-kaidah tertentu

yang berlaku universal. Kebenaran tentang ini hanya dapat dicapai dengan

asas probabilistik. Oleh sebab itu di dalam penelitian kuantitatif yang

mengedepankan rsionalistik dan berasaskan positivisme, semua yang

diteliti (obyek penelitian) dijelaskan dalam angka dan jumlah, bukan dari

kata-kata dan bahasa sehingga apa yang diteliti tersebut mendapatkan

bukti yang otentik bahwa obyek tersebut adalah nyata dan dapat diukur

melalui angka. Bila tidak dapat diukur melalui angka, maka dalam

penelitian kuantitatif obyek tersebut dinyatakan tidak ada atau tidak real.

Mengingat hasil penelitian kuantitatif berupa angka atau jumlah maka

hasil tersebut dapat digeneralisasikan.

Positivisme memandang ilmu adalah satu-satunya pengetahuan

yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi obyek

pengetahuan. Sehingga obyek positivisme adalah ilmu pengetahuan.

Sedangkan ruang lingkup positivisme menyangkut esensi dari ilmu

pengetahuan itu sendiri.

B. Kajian Epistemologis.

Epistemologi merupakan bagian ilmu filsafat yang membahas

masalah-masalah yang bersifat menyeluruh dan mendasar mengenai

pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Obyek material filsafat ilmu adalah

pengetahuan dan obyek formal atau sisi tinjauannya adalah menangkap,

menemukan ciri-ciri umum pengetahuan, dan bagaimana proses manusia

dapat memperoleh pengetahuan serta bagaimana kebenaran pengetahuan

manusia dapat diuji dan dipertanggungjawabkan. Dengan kalimat

Page 15: filsafat positivisme Erwin

sederhana epistemologi dapat diartikan sebagai bagaimana membangun

suatu pemikiran.

Melalui kajian epistemologis terhadap positivisme dengan

mengaitkannya ke dalam pendekatan kuantitatif, maka dapat dikemukakan

beberapa asumsi berikut :

a. Dalam pendekatan positivisme, individu adalah seseorang yang bebas

nilai. Individu tidak dipengaruhi oleh nilai-nilai yang melekat pada

individu lain. Oleh karena individu bebas nilai, maka individu tersebut

dapat melihat fenomena atau gejala secara obyektif dengan

menggunakan kreteria-kreteria universal.

b. Positivisme memandang ilmu pengetahuan adalah cara terbaik yang

dimiliki manusia untuk memperoleh pengatahuan, dan karena konsep

ilmu pengetahuan dilandasi oleh adanya fakta atas fenomena yang

terjadi maka dengan demikian dapat dikatakan bahwa ilmu

pengetahuan dapat menggantikan akal sehat.

c. Pendekatan kuantitatif yang merupakan cerminan positivisme

mengaganggap bahwa segala sesuatu adalah nyata dan bisa dipelajari,

karenanya dalam penelitian kuantitatif obyek yang akan diteliti harus

bisa dikatakan dengan jumlah dan angka, maka untuk memperoleh

obyek yang dapat dihitung maka obyek tersebut harus nyata (real).

Selain itu pendekatan kuantitatif juaga bersifat universal, sehingga

pendekatan ini menggunakan pola universal yang ketat agar hasil

penelitian dapat diakui secara universal.

d. Pola pendekatan kuantitatif bersifat baku, linier, dan bertahap. Dalam

hal ini penelitian kuantutatif mamandang bahwa hasil penelitian yang

telah dilakukan bersifat baku atau obyektif bukan subyektif.

Page 16: filsafat positivisme Erwin

e. Proses penelitian kuantitatif bersifat deduktif, yaitu berangkat dari

sebuah konsep yang bersifat umum ke hal-hal yang khusus, dan

menerapkan prinsip nomotik yaitu hanya mengambil gejala inti saja,

dengan mengabaikan gajala yang lainnya.

Dari tinjauan aspek epistemologis terhadap positivisme, dijumpai

adanya realitas obyektif sebagai suatu realitas yang eksternal di luar

peneliti. Peneliti harus sejauh mungkin membuat jarak dengan obyek

penelitiannya. Sejumlah pemikiran tersebut diatas kemudian digunakan

untuk membangun konsep positivisme yang mengedepankan realitas dan

mengandalkan logika.

C. Kajian Aksiologis Positivisme

Aksiologi merupakan bagian filsafat ilmu yang mempertanyakan

bagaimana manusia menggunakan ilmunya, sehingga dengan bahasa

sederhana dapat diartikan bahwa aspek aksiologi mengarah kepada

kemanfaatan suatu ilmu pengetahuan. Dalam kajian aksiologis terhadap

positivisme, dapat dikemukakan asumsi bahwa pendekatan positivisme

selalu mencari penjelasan mengapa sebuah fenomena atau gejala terjadi di

dalam pola-pola yang sudah ada. Apabila pola dari kejadian yang sudah

ada itu bisa dijelaskan, maka pola tersebut semakin meyakinkan dan tak

terbantahkan. Sebaliknya bila pola yang sudah ada tidak dapat digunakan

untuk menjelaskan gejala yang sudah ada, maka dicari pola baru yang

lebih universal, sehingga bisa dipakai untuk menjelaskan gejala tersebut.

Inilah yang imaksud dengan manfaat dari sebuah pengetahuan.

KESIMPULAN

Positivisme merupakan salah satu aliran filsafat ilmu pengetahuan yang

memandang bahwa suatu pernyataan seorang ilmuwan dapat dikatakan sebagai

Page 17: filsafat positivisme Erwin

ilmu pengetahuan apabila dapat dibuktikan secara empiris. Tokohnya yang paling

popular adalah Augus Comte (1798-1857)

Ajaran utama dari positivisme diantaranya:

a. Di dalam alam terdapat hukum-hukum yang dapat diketahui,

b. Penyebab adanya benda-benda dalam alam tidak diketahui,

c. setiap pernyataan yang secara prinsip tidak dapat dikembalikan pada

fakta tidak mempunyai arti nyata dan tidak masuk akal,

d. hanya hubungan fakta-fakta saja yang dapat diketahui,

e .perkembangan intelektual merupakan sebab utama perubahan sosial.

Dalam perkembangannya positivisme mengalami perombakan pada beberapa sisi,

hingga munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis. Istilah lain

untuk Positivisme logis adalah empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-

positivisme.

Paradigma positivisme banyak mempengaruhi dunia ilmu pengetahuan

yang di satu sisi paham ini memicu kemajuan industri dan teknologi namun di sisi

lain ia memiliki kelemahan-kelemahan dan mendapatkan kritikan dari para filsuf

dan ilmuwan baru.

DAFTAR PUSTAKA

Ankersmit, F.R., 1997, Refleksi Tentang Sejarah : Pendapat-pendaat Modern tentang Filsafat Sejarah, Cet.3, Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

Angel, Richard B, 1964, Reasoning and Logic, Century Crafts, New York, diterjemahkan oleh J. Drost. PT Gramedia Pustaka, Jakarta, 2003

Hardiman, F Budi, 2007, Filsafat Modern, dari Machiavelli sampai Nietzsche, cetakan 2, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Jujun S. Suriasumantri (ed.). 2003. Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer. Penerbit Sinar Harapan. Jakarta.

Page 18: filsafat positivisme Erwin

Mill, John Stuart, 1866, Auguste Comte and Positivism, Reprinted from The Westminster Review, Second edition-rebised, N Trubner & Co, London

Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas, Positivisme, http//www.wikipedia.org/wiki/positivisme