filsafat joged mataram
TRANSCRIPT
FILSAFAT JOGED MATARAM
SATU KM1AN TENTANG KONSEP ESTETIS TARI JAWA
Bambang Pudjasworo
Satu konsep yang barangkali saja sudah begitu sering disinggung dalam setiap
pembicaraan tentang tari Jawa terutama tari gaya Yogyakarta, adalah filsafat
joged Mataram. Secara harafiah istilah tersebut bisa diartikan sebagai suatu
konsep dasar pemikiran dalam tari Jawa. Semula, konsep ini -- yang sering pula
disebut dengan nama lain yakni ilmu joged Mataram -merupakan suatu dasar
pemikiran yang sangat rahasia dan dikenalkan oleh para guru tari kepada
siswa-siswinya secara turun-temurun melalui ajaran secara lesan dan langsung
pada penghayatan tarinya. Oleh karena itu, selama lebih dari seratus lima puluh
tahun, konsep ini menjadi begitu tertutup dari segala kemungkinan untuk bisa
disentuh oleh setiap orang. Bahkan tidak setiap guru tari ataupun para penari gaya
Yogyakarta berhasil memahami makna yang terkandung dalam fisafat joged
Mataram. Dari data historis yang ada tampaknya juga sulit untuk bisa didapatkan
suatu penjelasan atau penjabaran secara lebih rinci tentang konsep dasar tersebut.
Baru kemudian, untuk pertama kalinya konsep ini diperkenalkan secara lebih
terbuka olch Gusti Bandara Pangeran Harya Soeryobrongto, salah seorang putera
Sri Sultan Hamengku Buwana VIII yang sekaligus juga merupakan scorang pakar
tari klasik gaya Yogyakarta, melalui ceramahnya di Akademi Seni Rupa Indonesia
Yogyakarta pada tahun 1968. Dan semenjak itu, semenjak joged Mataram tidak
lagi sekedar dijunjung sebagai nilai yang hanya pantas untuk diletakkan di atas
kepala dan disimpan sebagai sebuah rahasia, melainkan disadari sebagai bagian
dari realitas kehidupan tari itu sendiri yang harus senantiasa dipahami baik oleh
setiap penari maupun penata tari, maka berbagai diskusi tentang filsafat joged
Mataram pun segera dimulai. Beberapa tulisan yang sampai saat ini senantiasa
dipandang pantas untuk diacu bagi setiap pembicaraan tentang filsafat joged
Mataram, juga hadir mewarnai perbincangan tersebut.
Tampaknya sampai saat ini hal yang masih begitu menarik pada setiap kali
perbincangan tentang filsafat joged Mataram adalah usaha untuk menjelaskannya
sebagai dasar kejiwaan dalam tari Jawa gaya Yogyakarta. Artinya aspek kualitatif
filsafat joged Mataram lebih banyak dipermasalahkan dalam kaitannya dengan
aspek batiniah dari tari gaya Yogyakarta. Sementara itu bagaimana penjabaran
konsep dasar tersebut ke dalam setiap perilaku menari (anjoged) dan menata tari
(angripta joged) tampaknya masih memerlukan penjelasan tersendiri.
Sungguhpun antara menari dan menata tari adalah dua hal yang berbeda, namun
pada dasarnya kedua perilaku tersebut tidak bisa untuk begitu saja dilepaskan dari
kaitannya dengan filsafat joged Mataram sebagai konsep dasar pemikiran dalam
tari Jawa. Secara teknis, menari (anjoged) barangkali lebih dipahami sebagai
bentuk pelampiasan rasa penari di dalam merasakan kegembiraan dan kenikmatan
bergerak dengan penuh keterampilan. Sedangkan menata tari (angripta joged)
akan lebih dipahami sebagai bentuk upaya penata tari di dalam menciptakan tari
sebagai suatu karya seni. Perhatian penata tari tidaklah terbatas pada sekedar
kesenangan akan gerak tubuh, melainkan dengan formulasi keseluruhan dari
sesuatu yang terstruktur. Dalam konotasi ini, maka bagi seorang penata tari
masalah tata hubungan, pertalian, pemilahan ataupun penetapan bagian-bagian
akan menjadi terasa lebih menarik dan sangat penting. Penjelasan tersebut
menunjukkan bahwa ada kebutuhan dan tujuan yang berbeda di antara keduanya,
akan tetapi terarah pada keberhasilan satu aspek yang sama, yaitu tari. Oleh
karena itu kini sudah saatnya bagi kita untuk memeriksa sejauh mana masalah
filsafat joged Mataram sebagai konsep dasar pernikiran dalam tari Jawa tersebut
harus diorientasikan. Setidaknya, pengkajian terhadap urgensi dan kontribusi
filsafat joged Mataram terhadap peningkatan kemampuan menari dan menata tari,
serta daya dukungnya terhadap peningkatan kualitas artistik suatu karya tari, akan
sangat berarti bagi usaha penggalian konsep-konsep dasar tari dan konsep-konsep
dasar keilmuan tentang tari yang berasal dari khasanah budaya Jawa (baca:
Indonesia). Sudah barang tentu ini merupakan kerja besar yang selain
membutuhkan waktu lebih panjang dan ruang pembabasan yang lebih luas, juga
membutuhkan dana yang lebih besar. Oleh karena itu - menyadari segala
keterbatasannya -tulisan singkat ini akan lebih difokuskan pada salah satu topik
pembicaraan, yaitu tentang filasafat joged Mataram dalam hubungannnya dengan
dasar-dasar perilaku menari (anjoged).
Prinsip Dasar Filsafat Joged Mataram:
Secara konsepsional, filsafat joged Mataram, ini tersusun dalam empat macam
prinsip dasar, yaitu:
1. Sawiji, yang berarti konsentrasi secara total (total concentration) akan
tetapi tanpa harus menimbulkan ketegangan atau kekacauan dalam jiwa
(without mental disorder).
2. Greged adalah dinamika atau semangat jiwa (inner dynamic), yang
sering Gbaratkan seperti api yang membara di dalam jiwa sescorang.
tetapi greged hartis dilakukan dengan suatu pengendalian diri untuk
tidak mengarah pada kekasaran (without being coarse).
3. Sengguh, yang berarti percaya diri (self-confidence), akan tetapi tanpa
harus mengarah pada kesombongan atau arogansi (without being
arrogant).
4. Ora mingkuh, yang berarti memiliki kemauan keras, penuh tanggung
jawab dan pantang mundur (no-retreat) akan tetapi harus disertai
dengan usaha untuk membangun disiplin diri (self-disciplin).
Berdasarkan uraian di atas, maka minimal ada dua pengertian dasar yang harus
dipahami oleh setiap orang yang bermaksud mendalami filsafat joged Mataram.
Pertama, adalah pengertian bahwa masing-masing prinsip dasar tersebut pada
hakekatnya merupakan prinsip yang dibangun berdasarkan unsur-unsur yang
bersifat paradoks. Di satu sisi dikandung unsur "kebebasan" sementara di sisi
yang lain dikandung unsur "keterbatasan". Akan tetapi pada hakekatnya,
keduanya berada pada prinsip yang satu dan tunggal. Kedua, adalah pengertian
bahwa keempat macam prinsip dasar tersebut juga harus dipahami sebagai satu
kesatuan tunggal yang tidak terpisahkan satu sama lain. Prinsip sawiji tidak akan
pernah bisa tercapai tanpa didasari oleh ketiga prinsip yang lain. Demikian pula
sebaliknya, masing-masing prinsip tersebut juga tidak akan pernah bisa tercapai
tanpa didasari oleh ketiga prinsip yang lain. Demikian pula sebaliknya,
masing-masing prinsip tersebut juga tidak akan pernah bisa direalisasi tanpa
keterlibatan dari masing-masing prinsip lain. Dengan demikian filsafat joged
Mataram hanya mungkin untuk dibangun berdasarkan pada hubungan struktural
dari masing-masing prinsip dasarnya.
Secara khusus pengertian masing-masing prinsip dasar tersebut bisa dijelaskan
sebagai berikut. Prinsip sawiji adalah prinsip yang harus dibangun oleh seorang
penari dengan suatu konsentrasi total, terhadap tari dan peran yang dibawakannya.
Bahkan boleh jadi akan mengarah pada peleburan penuh antara diri si penari
dengan tari dan peran yang sedang dibawakannya. Dengan prinsip greged,
seorang penari diharuskan untuk menyalurkan (mengekspresikan) inner
dynamic-nya berdasarkan pengembangan intensitas perasaan ke dalam berbagai
kemungkinan gerak tubuh dengan sekaligus disertai usaha pengendalian diri
(self-control) yang sempurna untuk menghindari over acting. Prinsip sengguh
mengandung pengertian bahwa seorang penari harus tampil dengan penuh percaya
diri pada kemampuannya, akan tetapi sejauh mungkin harus menghindari sifat
yang penuh kesombongan atau arogansi. Sedangkan prinsip ora mingkuh
mewajibkan para penari untuk melakukan kewajibannya dengan penuh disiplin
disertai dengan dedikasi dan loyalitas yang tinggi. Tanpa dedikasi dan loyalitas
yang tinggi tersebut niscaya tidak akan pernah bisa dicapai suatu kemampuan
menari yang baik. Semuanya itu menunjukkan bahwa pada dasarnya seorang
penari harus mampu tamyil menyatu dengan tari yang dibawakannya sebagai
sebuah fenomena yang lengkap.
Menurut Pengeran Suryobrongto, manifestasi proses kristalisasi joged Mataram
tersebut ada dua macam, yaitu: self-control, yang artinya penguasaan lahir dan
batin, dan kepanjingan (ecstasy). Dalam hal ini self-control menggambarkan
adanya ungur keterbatasan, sedangkan ecstasy menggambarkan adanya unsur
kebebasan. Bebas tetapi terbatas adalah gambaran dari sifat paradoks dalam
filsafat joged Mataram. Ben Suharto, dalam diagram sastra wirasa munggeng
joged Mataram, menjelaskan tentang sifat paradoks tersebut sebagai suatu
manifestasi dari pergeseran tingkat kesadaran penari di dalam usahanya untuk
mewujudkan kesatuan harmonis antara simbol dan makna dalam tari. Oleh karena
itu penjabaran masing-masing prinsip dasar tersebut dalam perilaku menari harus
diletakkan pada kemampuan penguasaan penari terhadap prinsip keseimbangan
antara ecstasy di satu sisi dengan self control di sisi lain. Artinya agar menari
(anjoged) tetap bisa tampil di dalam tingkat kewajaran dari tari (joged) itu sendiri,
maka di dalam diri penari unsur-unsur pembentuk ecstasy atau kepanjingan
(yaitu: fokus, dinamika, percaya diri, dan pantang mundur) harus diletakkan
secara seimbang (atau bahkan manunggal) dengan unsur-unsur pembentuk
self-control (yaitu: kondisi tanpa ketegangan jiwa, tanpa kekasaran, tanpa
kesombongan, dan penuh kedisiplinan).10 Dengan kata lain ecstasy dan
self-control secara simultan harus dikuasai oleh scorang penari pada saat ia
mclaksanakan kewajibannya. Tingkat kewajaran dari scorang penari ketika ia
harus membawakan peran ataupun ketika ia harus menarikan tarian tertentu, akan
sangat tergantung pada kernampuan dari penari tersebut di dalarn usahanya untuk
mennerjemahkan (menjabarkan) tingkat penguasaan ecstasy dan self-control
selaras dengan tuntutan watak dasar peran ataupun tari yang sedang
dibawakannya. Di dalam hal ini, maka penerapan sawij4 greged, sengguh, dan
ora mingkuh akan hadir dalam tingkatan yang berbeda-beda sesuai dengan peran
atau tarinya. Barangkali sekelumit contoh penjelasan tentang penerapan prinsip
dasar greged akan bisa lebih memberikan gambaran yang jelas.
Penerapan prinsip greged dalam setiap perilaku menari bisa diibaratkan dengan
usaha manusia untuk senantiasa menunjukkan semangat hidup di dalam dirinya.
Semangat hidup ini akan menjadi jiwa dari setiap langkahnya. Schingga semangat
hidup, yang di dalam tari biasa disebut dengan istilah greged, akan merupakan inti
kemanusiaannya. Oleh karena itu pada setiap perilaku menari greged ini dipakai
untuk memahami ketepatan semangat dalam usaha bagaimana seorang penari
pada tingkat kesadaran yang penuh dapat mencapai titik tengah pada suatu
rentangan antara ecstasy dan self-control. Ketika prinsip ini harus diterapkan oleh
scorang penari, maka kesadaran terhadap penguasaan unsur paradoksnya --
kcbebasan (ecstasy) dan keterbatasan (self-control) – harus diterapkan selaras
dengan watak dasar peran dan tari yang dibawakannya. Sebagai suatu misal ketika
scorang penari membawakan peran sebagai Prabu Rahwana, ia harus sadar bahwa
meskipun secara teknis pola dasar gerak tarinya ditetapkan memakai gerak Kalang
Kinantang gagah -- seperti haInya Prabu Baladewa -- akan tetapi karena watak
dasar peran Prabu Rahwana lebih didominasi olch watak raksasa yang penuh
nafsu angkara murka, maka kewajaran dalam penerapan greged-nya akan sangat
berbeda dengan kewaiaran penerapan greged untuk Prabu Baladewa. Sudah
barang tentu scorang penari yang memerankan Prabu Baladewa tetapi dengan
greged Rahwana tentu akan terasa over acting. Demikianlah ternyata bahwa
karakter joged (tari) ternyata tidak sepenuhnya mampu mencerminkan konsep
karakter peran secara utuh. Olch karena itu membayangkan penerapan greged
untuk tad Bedhaya dan Srimpi sama dengan tari Golek atau tari Gambyong adalah
mustahil.
Pada akhirnya gambaran di atas akan menunjukkan bahwa di dalam menctapkan
bagaimana sescorang itu menari dengan baik atau sebaliknya, maka tolok ukur
tidaklah harus ditetapkan berdasarkan pada kemampuan penguasaan teknis dari
tingkat kelembutan seseorang di dalam menari. Artinya bila hal itu (tinght
kelembutan) harus dipakai sebagai tolok ukur, maka perlu untuk terlebih dahulu
dipadukan dengan tingkat kelembutan atau sebaliknya dari karakter yang
dibawakan.
Sementara itu, peneapaian tingkat ecstasy (kepanjingan) hanya mungkin terjadi di
dalam tingkat penguasaan prinsip dasar sawiji, di mana kesadaran
ditransformasikan ke dalam tingkat peleburan secara penuh dengan tari dan peran
yang dibawakannya. Akan tetapi agar tingkat kepanjingan ini tidak mengarall
pada trance (ndadi) seperti apa yang biasa dilakukan oleh para penari Jathilan
atau Kuda Kepang, maka jiwa-raganya secara penuh harus tetap berada di bawah
kontrol kesadarannya, karena konsentrasi tersebut tidak mengarah pada
ketegangan antara jasmani dan rohani.
Penari dan Koreografi
Pada dasarnya seorang penari ketika ia sedang melaksanakan kewajibannya
haruslah tidak terikat pada perasaan-perasaan yang aktual. la harus bebas dari
setiap kesadaran objektif yang aktual dan praktikal seperti halnya perbuatan
sehari-hari. Maka kewajiban seorang penari di sini bukanlah untuk
mengekspresikan dirinya sendiri, melainkan lebih dimaksudkan untuk
mengkomunikasikan bentuk-bentuk perasaan lewat penyajian simbolis. Oleh
karena itu tidaklah mengherankan apabila pada taraf tertentu seorang penari
mampu mencapai tingkat kepanjingan. Sungguhpun demikian, seberapa besar
kemampuan seorang penari di dalam penguasaan filsafat joget Mataram tentu
tidak akan mungkin untuk diukur hanya berdasarkan pada pemahaman
intelektualitasnya terhadap berbagai prinsip dasar filsafat joged Mataram tersebut.
Bagaimanapun juga kemampuan penguasaan penari terhadap keempat macam
prinsip dasar tersebut harus diukur secara teknis lewat kamampuan penguasaan
keseimbangan antara penguasaan wiraga (keterampilan gerak tari) - wirama
(irama gendhing, irama gerak, dan irama tari) dan wirasa (karakter joged dan
karakter peran). Tentulah mustahil untuk bisa menerapkan prinsip-prinsip sawiji,
greged, sengguh, dan ora mingkuh tanpa harus dituntut untuk memiliki
kemampuan penguasaan teknik gerak dan irama. Dengan demikian prinsip-prinsip
dalam filsafat joged Mataram dan prinsip-prinsip dasar gerak dan irama dalam tari
haruslah saling melengkapi satu sama lain dan merupakan simbiosa yang saling
menguntungkan bagi keberhasilan suatu penampilan tari. Secara khusus, dalam
hubungannya dengan konsep bentuk dan isi, sering dinyatakan bahwa tari gaya
Yogyakarta merupakan tekniknya (bentuk wadag) sedangkan filsafat joged
Mataram adalah isi atau jiwanya.
Dari berbagai penjelasan di atas, bisa ditarik pengertian bahwa filsafat joged
Mataram memiliki suatu kontribusi yang besar bagi peningkatan kemampuan
penari, baik secara teknis maupun dalam kemampuan penghayatan tarinya. Dan
barangkali suatu hal yang menarik apabila dipertanyakan mengapa secara
konsepsional (khususnya bagi tari Jawa) perlu mendapatkan tekanan pada usaha
pembentukan penari yang baik?
Kebutuhan sebuah tari adalah kebutuhan yang sangat kompleks. Kehadirannya
sering dirasa kurang lengkap apabila tidak ditunjang oleh berbagai kelengkapan
lain. Tetapi yang jelas tentu tidak akan mungkin untuk meniadakan unsur
penunjang yang paling pokok, yaitu penari. Tiada tari tanpa penari, itu jelas.
Namun ternyata tidak setiap penari mampu memenuhi setiap kebutuhan dan
tuntutan tari. Artinya bahwa tuntutan sebuah tari terhadap penari akan sangat
tergantung dari kernampuan penari di dalam memberikan daya dukung terhadap
tingkat kesulitan suatu koreografi. Kebutuhan daya dukung penari untuk
koreografi beksan Lawung tentu sangat berbeda dengan Wayang Wong. Secara
struktural jalinan-jalinan gerak yang terorganisasi dalam koreografi beksan
Lawung akan tampak lebih rumit bila dibandingkan dengan struktur koreografi
Wayang Wong. Demikian pula di dalam sistem jalinan komunikasi dan koordinasi
antar penari. Secara teknis kerumitan di dalam koreografi beksan Lawung perlu
diantisipasi dengan usaha memenuhi kebutuhan daya dukung penari yang
berkualitas tinggi, baik dalam arti kemampuan penguasaan teknik gerak dan
irama, penguasaan prinsip-prinsip dasar filsafat joged Mataram, maupun
kemampuan di dalam menjalin kerjasama yang baik di atas pentas serta kesamaan
kualitas gaya dari masing-masing penarinya. Oleh karena itu, secara teknis
koreografis, seorang penari akan merasa lebih berat untuk mampu memenuhi
kebutuhan koreografi dalam beksan Lawung. Sementara itu, bagi koreografi
Wayang Wong, tuntutan secara teknis koreografisnya barangkali tidak akan
sekompleks koreografi beksan Lawung. Pada banyak adegan dalam Wayang
Wong gaya Yogyakarta (kecuali pada bagian enjeran dan perang) tidak terlalu
jelas adanya jalinan koordinatif yang memungkinkan seorang penari atau peran
mengkomunikasikan dirinya lewat gerak dengan penari lain atau peran lain,
kecuali lewat pengucapan atau dialog. Adegan kelompok di dalam koreografi
Wayang Wong tidak secara jelas menampilkan keterikatan kelompok yang
menyatu dan dialektis. Hal yang barangkali sulit untuk diterapkan di dalam
beksan Lawung. Satu hal yang tampaknya cukup sulit untuk bisa dilakukan olch
para penari dalam penyajian Wayang Wong adalah masalah penghayatan terhadap
peran yang sedang dibawakannya. Walaupun pola gerak dalam Wayang Wong
pada umumnya tidak begitu rumit, akan tetapi aspek penghayatan terhadap peran
ternyata cukup berat dan menuntut konsentrasi yang total. Bukan hanya
keluluhannya (nyawiji) dengan karakter peran, tetapi juga dituntut adanya sikap
menari yang konsisten sesuai dengan peran dan karakterisasi gerak (joged)
sepanjang penyajian tari tersebut. Maka salah satu keberhasilan penyajian
Wayang Wong gaya Yogyakarta terletak pada kemampuan para penarinya di
dalam mengekspresikan karakter-karakter yang diperankan, baik secara jiwani
maupun dalam penghayatan bentuk geraknya.
Demikian telah dijelaskan, bahwa pada dasarnya tidak setiap koreografi
memerlukan dukungan penari yang betul-betul baik. Akan tetapi juga tidak setiap
penari akan mampu memenuhi kebutuhan (tuntutan) bagi setiap koreografi.
Sungguhpun demikian, ternyata hampir sebagian besar tarian istana (di Jawa)
secara kualitatif senantiasa memerlukan daya dukung penari-penari yang
berkemampuan tinggi.
Filsafat Joged Mataram sebagai Paradigma
Rupa-rupanya filsafat joged Mataram telah dijadikan suatu paradigma bagi upaya
pencapaian kemampuan untuk menjadi penari yang berkualitas tinggi. Tentu saja
pencapaian kemampuan ini tidak begitu saja mudah untuk dilakukan tanpa upaya
yang sungguh-sungguh dan menempa diri di dalam laku yang berat, sebab tidak
mudah bagi scorang penari untuk mencapai tingkat penguasaan ecstasy dan
self-control. Akan tetapi yang barangkali perlu juga untuk direnungkan adalah
apakah filsafat joged Mataram tersebut hanya mampu untuk dipakai sebagai
paradigma bagi tari gaya Yogyakarta saja ataukah bisa diterapkan secara lebih
universal.
Barangkali kalau direnungkan, akan bisa ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya
konsepsi semacam filsafat joged Mataram ini bukanlah merupakan konsepsi yang
secara spesifik menjadi milik tari gaya Yogyakarta saja. Konsepsi ini adalah
konsepsi yang bersifat universal, yang bisa berlaku pada hampir semua bentuk
tari. Di dalam suatu penyajian tari, setiap penari harus sentiasa dituntut untuk
meluluhkan diri ke dalam peran dan tari yang sedang dibawakannya. la harus
berada dalam keadaan kepanjingan pada saat menyajikan tarinya. Setiap penari
yang baik harus berupaya diri untuk menguasai sawiji, greged, sengguh, dan ora
mingkuh. Kemampuan penguasaan teknis gerak tari dan kemampuan penghayatan
(penjiwaan tari) harus terpadu menjadi suatu kesatuan yang terintegrasi ke dalarn
diri si penari. Di sini intensitas penampilan seorang penari akan Semakin tampak
di dalam jalinan keselarasan antara presentasi teknis dan penjiwaan. Dalam situasi
dan kondisi semacam ini, penari akan masuk dalam suasana yang serba indah,
untuk melampiaskan rasa dan kenikmatan bergerak dengan penuh keterampilan.
Demikianlah, secara formal penari dan penata tari sama-sama harus memikul
tanggung jawab buat keberhasilan suatu karya tari. Seorang penari, harus pula
meningkatkan disiplin teknik tarinya untuk memungkinkan tubuh melakukan
berbagai kemungkinan gerak tanpa kesukaran. Sementara penata tari hendaknya
memandang tari bukan sekedar sebagai akumulasi berbagai macam gerak,
melainkan perlu pula memperhatikan kaidah-kaidah estetis suatu bentuk tari, yang
antara lain -- menurut Elizabeth R. Hayes -- meliputi aspek: unity, variety,
repetition, contrast, transition, sequence, climacs, proportion, balance, dan
harmony. Dan untuk lebih menjamin keutuhan kualitas garapan, maka kebutuhan
akan penari harus betul-betul dipertimbangkan dalam keselarasan atau
keseirnbangannya dengan tingkat kesulitan koreografinya.
Sebagai suatu kesimpulan, bisa dinyatakan bahwa secara teknis joged Mataram
adalah konsepsi yang sesungguhnya kita butuhkan. Setidak-tidaknya sebagai
paradigma untuk meningkatkan kemampuan penjiwaan tari yang baik. Tetapi
untuk mewujudkan cita-cita tersebut, masih banyak dibutuhkan upaya yang lebih
serius lagi, antara lain adalah kebutuhan akan penjabaran yang lebih rinci dan
lebih sisternatis dari konsepsi tersebut, terutama untuk menghindari kerancuan
dalam menafsirkan prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya. Sampai saat ini,
hal tersebut merupakan salah satu kekurangan yang cukup tampak dalam setiap
penjelasan mengenai joged Mataram.
Situasi dan kondisi kehidupan tari saat ini, semakin menuntut tampilnya
penari-penari yang berkualitas tinggi untuk mampu memberikan keseimbangan
dalam memenuhi berbagai kebutuhan dan tuntutan pengembangan koreografi.
Untuk itu, semakin dirasakan kebutuhan akan lahirnya konsep-konsep untuk
membentuk penari yang baik. Dan seharusnya, joged Mataram mempunyai
banyak kemungkinan untuk hisa dikembangkan ke arah itu.