filosofi pend. sulsel

17
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Orang Bugis-Makassar memiliki berbagai ciri yang sangat menarik. Mereka adalah contoh yang jarang terdapat di wilayah nusantara. Mereka mampu mendirikan kerajaan-kerajaan yang sama sekali tidak mengandung pengaruh India. Dan tanpa mendirikan kota sebagai pusat aktivitas mereka. Orang Bugi-Makassar juga memiliki kesastraan baik itu lisan maupun tulisan. Berbagai sastra tulis berkembang seiring dengan tradisi sastra lisan, hingga kini masih tetap dibaca dan disalin ulang. Perpaduan antara tradisi sastra lisan dan tulis itu kemudian menghasilkan salah satu Epos Sastra Terbesar didunia Yakni La Galigo yang naskahnya lebih panjang dari Epos Mahabharata. Jika merilik masa lalu, Sulawesi Selatan adalah wilayah yang sangat maju, kemajuan itu tidak terlepas dari terdapatnya orang intelektual. Tokoh-tokoh intelektual dari Sulawesi Selatan memiliki pemikiran-pemikiran yang didalamnya terdapat sejumlah nilai-nilai budaya yang mencerminkan kepribadian masyarakat Sulawesi Selatan. Pemikiran tersebut tidak melampaui batas-batas ruang waktu, nilai-nilai dan pemikiran itu memerlukan interprestasi dan reintrerpretasi sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih besar dalam konteks kehidupan manusia masa kini dan masa-masa mendatang.

Upload: muhajirin-hajir

Post on 23-Oct-2015

33 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

Page 1: Filosofi Pend. Sulsel

BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Orang Bugis-Makassar memiliki berbagai ciri yang sangat menarik. Mereka adalah contoh

yang jarang terdapat di wilayah nusantara. Mereka mampu mendirikan kerajaan-kerajaan yang

sama sekali tidak mengandung pengaruh India. Dan tanpa mendirikan kota sebagai pusat

aktivitas mereka.

Orang Bugi-Makassar juga memiliki kesastraan baik itu lisan maupun tulisan. Berbagai

sastra tulis berkembang seiring dengan tradisi sastra lisan, hingga kini masih tetap dibaca dan

disalin ulang. Perpaduan antara tradisi sastra lisan dan tulis itu kemudian menghasilkan salah

satu Epos Sastra Terbesar didunia Yakni La Galigo yang naskahnya lebih panjang dari Epos

Mahabharata.

Jika merilik masa lalu, Sulawesi Selatan adalah wilayah yang sangat maju, kemajuan itu

tidak terlepas dari terdapatnya orang intelektual. Tokoh-tokoh intelektual dari Sulawesi Selatan

memiliki pemikiran-pemikiran yang didalamnya terdapat sejumlah nilai-nilai budaya yang

mencerminkan kepribadian masyarakat Sulawesi Selatan. Pemikiran tersebut tidak melampaui

batas-batas ruang waktu, nilai-nilai dan pemikiran itu memerlukan interprestasi dan

reintrerpretasi sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih besar dalam konteks kehidupan

manusia masa kini dan masa-masa mendatang.

Maka dari itu, untuk lebih mengetahui tokoh-tokoh pemikir Sulawesi Selatan. Selanjutnya

akan dibahas dalam makalah ini yaitu beberapa tokoh cendikiawan / pemikir Sulawesi Selatan

yang sangat berpengaruh di zaman terdahulu hingga buah pikiran dan tindakannya masih

berguna sampai sekarang. Seperti Nene Mallomo, Kajao Lalido, Syek yusuf, Sultan Hasanuddin,

Sultan Alauddin, Amanagappa., Pongtiku dan Puang ri Magalatu

B.     RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini, yakni :-          Jelaskan beberapa tokoh cendikiawan atau pemikir Sulawesi Selatan terdahulu, yang jasa-jasa

masih dipakai sampai sekarang ?

BAB II

Page 2: Filosofi Pend. Sulsel

PEMBAHASAN

A.     NENE MALLOMO

Nene’ Mallomo merupakan salah satu tokoh cendekiawan terkemuka di Sidenreng Rappang

(Sidrap) Sulawesi Selatan dan telah menjadi simbol yang melegenda di daerah Bugis tersebut.

Nama asli Nene’ Mallomo adalah La Pagala, namun ada juga yang mengatakan bahwa nama asli

Nene’ Mallomoadalah La Makkarau. Nene’ mallomo hidup di masa Kerajaan Sidenreng sekitar

abad ke-16 M, pada masa pemerintahan La Patiroi, Addatuang Sidenreng. Beberapa referensi

sejarah juga menyebutkan bahwa Nene’ Mallomo lahir sebelum masa pemerintahan Raja La

Patiroi, yaitu pada masa Raja La Pateddungi. Nene’ Mallomo wafat pada tahun 1654 M di

Allakuang, Sidrap dengan mewariskan salah satu slogannya yang terkenal dan menjadi pedoman

hidup orang Bugis yakni “Resopa Temmangingngi Namalomo Naletei Pammase Dewata”.

Nene’ Mallomo hanyalah sebuah gelar bagi seseorang, dimana dalam bahasa Bugis Sidrap,

kata Mallomo berarti mudah, yang maksudnya bahwa Nene’ Mallomo mudah memecahkan suatu

permasalahan yang timbul. Nene’ Mallomomerupakan seorang laki-laki, walaupun kata Nene’

menunjuk pada istilah wanita yang telah lanjut usia (tua). Dalam budaya Bugis dahulu, kata

Nene’ digunakan untuk pria/wanita yang telah lanjut usia.

Nene’ Mallomo dikenal sebagai seorang intelektual yang mempunyai kapasitas dalam hukum

dan pemerintahan serta berwatak jujur dan adil kepada seluruh masyarakatnya. Dalam konteks

masalah hukum, Nene’ Mallomo mempunyai prinsip yaitu “Ade Temmakkeana

Temmakkeappo”, yang berarti bahwa hukum tidak mengenal anak dan cucu. Hal ini

menunjukkan sisi keadilan dan ketegasan dari seorang Nene’ Mallomo, yang juga merupakan

salah seorang penyebar agama Islam di daerah Sidrap.

Salah satu petuah dari Nene’ Mallomo mengatakan bahwa orang Sidrap harus mempunyai

sifat Macca (pintar), Malempu (jujur), Magetteng (konsisten), Warani (berani), Mapato (rajin),

Temmapasilengeng (adil) serta Deceng Kapang (menghormati orang lain).

Nene’ Mallomo juga merupakan penggagas falsafah hidup masyarakat Bugis Sidrap, yang

terkenal yaitu ;

-          Massappa (mencari rezeki yang halal),

-          Mabbola (membangun rumah dari rezeki yang halal),

-          Mappabotting (mempererat silaturrahmi dengan ikatan pernikahan),

Page 3: Filosofi Pend. Sulsel

-          Mappatarakka Hajji (menunaikan ibadah haji), dan

-          Mattaro Sengareng (merendahkan diri dan keikhlasan).

Salah satu pappaseng (pesan) Nene’ Mallomo bagi aparat kerajaan adalah “Tellu tau

kupaseng : Arung Mangkau’e, pabbicara e, suro e. Aja’ pura mucapa’i lempu e o arung

mangkau’. Malempuko mumadeceng bicara, mumagetteng, apa’ riasengnge malempu,

madeceng bicara e lamperi sunge’. Apa’ teammate lempu e, temmaruttung lappa e, teppettu

malompennge, teppolo masselomo e”,  (Aku berpesan kepada tiga golongan: Maharaja, Juru

Bicara dan Utusan. Jangan sekali-kali engkau meremehkan kejujuran itu, hai maharaja. Berlaku

jujurlah serta peliharalah tutur katamu, engkau harus tegas. Sebab yang disebut kejujuran, tutur

kata yang baik itu memanjangkan usia. Oleh karena takkan mati kejujuran itu, takkan runtuh

yang datar, takkan putus yang kendur, takkan patah yang lentur).

Oleh karena kearifan serta kebijaksanaannya, Nene’ Mallomo sampai saat ini telah menjadi

ikon dari Kabupaten Sidenreng Rappang, yaitu Bumi Nene’ Mallomo. 

B.     KAJAO LALIDDO

Kajao Laliddong pada masa kecil bernama La Méllong. Lahir pada tahun 1507 di masa

pemerintahan Raja Bone IV Wé Benrigau (1470-1510), dan wafat pada masa pemerinatahan

Raja Bone VIII La Inca Matinroé ri Addénénna. Masa kecil hingga remajanya diperkirakan pada

masa pemerintahan La Tenri Sukki Mappayungngé. Dikenal sebagai seorang cendikiawan,

negarawan, dan diplomat ulung yang buah pikirannya menjadi konsep pangadereng yang

kemudian bermetamorposis menjadi pola dasar pemerintahan kerajaan di negeri-negeri Bugis

dan Makassar pada umumnya, khususnya Kerajaan Bone. Pangadereng ini pula menjadi prinsip

hidup masyarakat Bugis-Makassar dalam menjalani kehidupan sehari-hari. La Méllong juga

dianggap sebagai seorang negarawan yang mempunyai pemikiran jauh ke depan.

Kajao, sebutan bagi seorang cendekiawan di Kerajaan Bone, bukan sebuah nama yang

karena kebetulan saja dia orang tua, seperti pemahaman sekarang ini. Kajao, seperti juga Boto

bagi Kerajaan Gowa dan To Acca di Kerajaan Luwu, adalah pemberian gelar karena kelebihan-

kelebihan yang melebihi kebanyakan orang tua lainnya. Di Kerajaan Bone, justru merupakan

posisi istimewa, buktinya tidak ada lagi sebutan Kajao sesudah Kajao Laliddong.

Salah satu ajaran Kajao Laliddong tentang politik dan pemerintahan adalah : “ Luka taro

arung telluka taro ade Luka taro ade telluka taro anang,” yang artinya secara bebas bahwa,

Page 4: Filosofi Pend. Sulsel

keputusan raja dapat dibatalkan oleh kehendak dewan adat, namun ketetapan dewan adat dapat

dianulir oleh kesepekatan rakyat banyak.

Makna ajaran tentang demokrasi Bugis yang diamanahkan oleh Kajao Laliddo dengan

menempatkan rakyat sebagai kunci keputusan dalam suatu pemerintahan, menunjukkan arti

demokrasi yang sesungguhnya, padahal Kajao Laliddo bukanlah orang yang pernah mengecap

pendidikan formal apalagi pendidikan barat. Makna, ajaran ini justru sekarang

diimplementasikan dalam proses demokrasi melalui perwakilan rakyat ( MPR, DPR, DPRD).

Ajaran-ajaran Kajao Laliddo termuat dalam berbagai lontara, diantaranya LATOA seperti

yang dikutif di bawah ini:

Dalam dialog Kajao Laliddong dengan Arungponé; “aga tanranna namaraja tanaé” (apa

tandanya apabila negara itu menanjak kejayaannya)?”

Berkata Kajao Laliddong; “dua tanranna namaraja tanaé Arungponé, seuwani malempu

namacca Arung Mangkaué, maduanna tessisala-salaé.” (Dua tanda negara menjadi jaya

Arungpone, pertama raja yang memerintah memiliki sifat jujur lagi pintar, kedua tidak bercerai-

berai/bersatu). “Naiya tulaé pattaungeng Arungpone, sewwani narekko matanré cinnai Arung

Mangkaué, maduanna naterini warangparang tomabbicaé, matellunna nakko sisala-salani taué

ilalengpanua, tanranna toparo narekko maeloni baiccu tanamarajaé.” (adapun yang

menyebabkan , apabila raja yang memerintah memiliki selera/keinginan yang tinggi melebihi

kemampuannya,kedua apabila pejabat pemerintah menerima sogok, dan ketiga apabila apabila

terjadi perselisihan di dalam negeri, tanda itu pula lah negara besar menjadi kecil.

C.     SYEKH YUSUF

Syekh Yusuf merupakan putera asli Makassar, lahir di Kerajaan Gowa pada tahun 1626 M.

Dari asal usulnya, beliau merupakan keturunan bangsawan di kalangan suku bangsa Makassar

dan mempunyai pertalian kerabat dengan raja-raja Banten, Gowa dan Bone. Ayahnya, Abdullah,

bukan bangsawan, tetapi ibunya, Aminah, keluarga Sultan Ala al-Din. Dia dididik menurut

tradisi Islam, diajari bahasa Arab, fikih, tauhid. Pada usia 15 tahun dia belajar di Cikoang pada

seorang sufi, ahli tasawuf, mistik, guru agama, dan dai yang berkelana.

Dari segi ketokohannya, ia bukan hanya ulama syariat, tapi juga sufi, pemimpin tarikat,

pengarang, pejuang, dan musuh besar kompeni Belanda. Oleh pemerintah kompeni di Hindia

Timur (Indonesia), Syekh Yusuf dianggap duri dalam daging, hingga ia diasingkan ke Ceylon

Page 5: Filosofi Pend. Sulsel

(Srilangka), kemudian dipindahkan ke Afrika Selatan dan wafat di pengasingannya, Cape Town,

pada tahun 1699 M.

Pada zamannya (abad ke 17), Syekh Yusuf dikenal hingga empat negeri, yakni: Makkah,

Banten, Sulawesi Selatan, Ceylon dan Afrika Selatan. Beliaulah peletak dasar kehadiran

komunitas Muslim di Afrika Selatan dan Ceylon bahkan dianggap bapak bangsa rakyat Afrika

Selatan, karena perjuangannya mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk menentang

penindasan dan perbedaan warna kulit. Bayangkan, sejak usia 18 tahun (abad ke 17) Syekh

Yusuf telah mengembara selama 20 tahun untuk mencari ilmu dari Makassar ke Banten, Aceh,

Yaman, Makkah, Madinah dan Damaskus, mendalami tasawuf dan mengajar di Masjidil Haram

pada usia 38 tahun.

D.    SULTAN HASANUDDIN

I Mallombasi Matatawang Sultan Muhammad Baqir Karaeng Bonto Mangngape, atau lebih

tersohor dengan gelar Sultan Hasanuddin adalah Raja Gowa XVI, (1653-1669). Yang terkenal

keberaniannya menantang penjajah Belanda dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa. Ia

terkenal dengan julukan Ayam Jantan dari Benua Timur.

I Mallombasi Daeng Mattawang dinobatkan menjadi Raja Gowa ke-16 dengan gelar Sultan

Hasanuddin pada bulan Nopember 1653 menggantikan ayahnya pada saat beliau berusia 22

tahun. Dua tahun setelah dinobatkan Sultan Hasanuddin kemudian menikahi I Bate Daeng

Tommi atau I lo'mo Tombong Karaeng Pabineang dan menjadi permaisurinya. I Bate Daeng

Tommi adalah putri Mangngada' Cinna Daeng Sitaba, Karaeng Pattingaloang mangkubumi

Kerajaan Gowa.

Begitu berani, kesatria dan bijaksana dalam tiap tindakannya, sehingga Sultan Hasanuddin

dihormati dan disegani oleh pihak lawan dan kawan. Oleh sebab itu, dari pihak Belanda sendiri

Sultan Hasanuddin itu dinamainya : ,,Haante van het Oosten” (Ayam Jantan Benua Timur), dan

V.O.C sendiri mengakui hal tersebut.

Sultan Hasanuddin adalah seorang raja yang sangat cakap dalam ilmu pengetahuan

maupun pemerintahan . tidak heran ketika masa pemerintahan ayahandanya dia ernah dipercaya

memegang tiga portofolio pemerintahan yaitu Urusan Dalam Negeri , Luar Negeri, dan

Pertahanan Negara. Selain itu, ia juga diserahi tugas dan jabatan berpangkat yang disebut

“Karaeng Tumakkajannangang”, yang mengurus pertahanan Negara dengan menggebleng putra-

putra raja dan gellarang agar berjiwa ksatria dan berbudi luhur.

Page 6: Filosofi Pend. Sulsel

Keperkasaan Sultan Hasanuddin sebagai panglima perang, yang berhasil mengantar

Gowa sebagai kekuatan maritime yang hebat dalam setiap pertempuran melawan Belanda

sehingga Hasanuddin dan pasukannya digelari “Ayam-ayam Jantan dari Benua Timur” oleh

Belanda.

Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha

menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain pihak,

setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan

kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni. Pertempuran terus berlangsung,

Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin

lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan Perdamaian Bungaya di

Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi.

Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke Batavia. Pertempuran kembali pecah di

berbagai tempat. Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar

menambah kekuatan pasukan Kompeni, hingga akhirnya Kompeni berhasil menerobos benteng

terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian

mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670.Wafat di

Katangka ,Makassar dan dimakamkan di Kompleks makam raja-raja Gowa, termasuk di dalam

pemakaman itu sebuah batu yang digunakan sebagai tempat pelantikan bagi raja-raja Gowa, dan

sebuah mesjid kuno.

E.     Sultan Alauddin

Nama asli dari Sultan Alauddin adalah I Mangarangi Daeng Manrabia, yang merupakan raja

gowa XIV yang pertama-tama memeluk agama islam. Pembawa agama islam di kerajaan gowa

tersebut adalah tiga Dato dari negeri Minangkabau, masing-masing Dato ri Bandang, Dato

Petimang dan Dato Tiro.

Sebelum Islam masuk, para raja Sulawesi selatan sudah pernah membuat perjanjian yang

isinya : siapa yang menemukan suatu jalan yang lebih baik, berjanji untuk memberitahukan

tentang jalan itu kepada raja-raja lainnya. Islam dianggap sebagai jalan terbaik, maka tugas

Sultan Alauddin adalaha menyampaikannya kepada raja-raja lainnya.

Page 7: Filosofi Pend. Sulsel

Namun perjanjian itu telah banyak disepelekan oleh sebagian raja-raja Sul-sel. Sultan

Alauddin yang menjadikan Gowa sebaga pusat penyebaran agama islam di wilayah timur

nusantara ini, terus mengembangkan Islam baik secara damai maupun perang.

Beberapa kerajaan di daerah Bugis, seperti Bone, Wajo, Soppeng, Sidenreng dan lainnya

menolak keras ajakan Raja Gowa. Akibat dari penolakan itu, raja gowa terpaksa angkat senjata

dan mengirim bala tentaranya ke daerah itu. Tahun 1608 beberapa pasukan gabungan kerajaan

Bugis mengalahkan Gowa, namun pada tahun berikutnya, semuanya berhasil ditundukkan dan

bersedia menerima Islam sebagai agama kerajaannya. Sidenreng dan Soppeng pada tahun 1609,

Wajo tahun 1610, Bone tahun 1611. Perang Islam di tanah Bugis saat itu disebut Musu

Assellengeng (Perang Islam).

Setelah sekian lama memerintah, Sultan Alauddin wafat pada 15 Juni 1639 setelah 45 tahun

lamanya mengendalikan pemerintahan. Beliau mendapat gelar Tumenangi ri Gaukanna (Yang

mangkat dalam kebesaaran kekuasaannya).

F.     Amannagappa

Amannagappa sebagai salah satu matoa (pemimpin komunitas) di masa itu, berhasil

meletakkan dasar-dasar pemerintahan dan perdagangan. "Negeri Wajo" adalah sebuah komunitas

yang berhasil mempertahankan aturannya secara independen sampai sekitar dua setengah abad,

yang membuat aturannya dari tumpukan pengalaman dan pengetahuan warganya, bahkan

mampu meluaskan pengaruh dan efektifitasnya lewat intelektualitas. Berikut rangkuman riset

tentang Negeri Wajo di Makassar. Pengangkatan Amanna Gappa sebagai pemimpin dagang

seluruh Makassar, dan detil ongkos muatan.

Delapan bulan setelah Amanna Gappa menjadi matoa, dia dipanggil oleh gubernur di Fort

Rotterdam dan diangkat menjadi kepala seluruh pedagang di Makassar. Detil ongkos angkutan

barang menjelaskan tentang berapa yang harus dibayarkan jika muatan seorang pedagang akan

diantar dari Makassar ke beberapa pelabuhan di kawasan Nusantara. Kota-kota itu antara lain,

Johor, Aceh, Sulu, Kutai, Banjar, Pasir, Sukadana, Palembang, Bangka, Belitung, Manggarai,

Bali, dan tentu saja Batavia. Sayang sekali ade allopi-loping yang memuat detil jalur, ongkos dan

aturan dagang, tidak termaktub dalam naskah yang khusus bicara tentang matoa dan masa

pemerintahannya ini.

Amanna Gappa, seorang peletak dasar Tentang hukum Maritim Internasional. lontarak

Amanna Gappa Dikenal dalam bahasa bugis sebagai ade alloping-loping Bicarana pabalue. Kata

Page 8: Filosofi Pend. Sulsel

ini berasal dari bahasa bugis yang jika diartikan secara harfiah berarti Aturan pelayaran dan

perdagangan.

Amanna Gappa adalah seorang Ketua Komunitas wajo atau lebih dijenal dengan istilah

matoa komunitas wajo di Makaassar. Amanna Gappa kemudian diangkat menjadi Kepala

perniagaan di makassar pada abad ke-17 di Kota maritim Makassar. disinilah Amanna gappa

kemudian membuat semacam undang-undang pelayaran dan perdagangan. Kelak Dasar daru UU

Amanna gappa ini kemudian diadopsi di Eropa dan sampai saat ini dipakai sebagai Hukum

maritim Internasional.

G.    Pongtiku

Potingku atau Ne’ Baso dilahirkan di Pangala, Toraja. Sebagai seorang anak pemimpin adat

yang mempunyai pengaruh besar di Pangala dan daerah di sekitarnya. Pong Tiku sering diajak

sang ayah untuk menghadiri pertemuan dengan para pemimpin adat lainnya. Maksud pertemuan

tersebut adalah untuk membahas segala hal yang berhubungan dengan masalah kemasyarakatan.

Karena seringkali mendampingi sang ayah ketika menjalankan perannya sebagai pemimpin

adat, kemampuan kepemimpinan Pong Tiku pun semakin terlihat. Saat terjadi konflik bersenjata

yang melibatkan Pangala dan daerah Baruppu, ia mengambil alih kepemimpinan pasukan dari

ayahnya yang sudah memasuki usia senja.

Selanjutnya pada tahun 1898, ia terlibat dalam "Perang Kopi". Dinamakan perang kopi

karena Toraja sebagai penghasil kopi yang bermutu tinggi menjadi rebutan para penguasa daerah

di sekitarnya. Dalam peperangan itu, Pong Tiku berhadapan dengan pasukan Bone. Namun pada

akhirnya peperangan antara Pangala dan Bone dapat diselesaikan dengan damai.

Berkaca dari pengalamannya ketika terlibat dalam Perang Kopi, Pong Tiku kemudian

mulai menyadari bahwa ia harus memperkuat pertahanan daerahnya. Ia memanfaatkan kopi

sebagai alat barter untuk memperoleh senjata. Benteng-benteng pun mulai dibangunnya di

tempat yang dianggapnya strategis, yakni di atas bukit-bukit karang yang terjal sehingga sulit

dicapai oleh pihak lawan. Salah satu benteng yang kuat itu bernama benteng Buntubatu.

Selain memperkuat pertahanan daerahnya dengan memperbanyak persenjataan dan

membangun benteng, ia juga menjalin persahabatan dengan para penguasa lain di Toraja.

Persiapan yang telah dilakukan itu memang sangat berguna di kemudian hari ketika harus

Page 9: Filosofi Pend. Sulsel

menghadapi gempuran Belanda. Seperti pada saat Belanda melancarkan ekspedisi militer guna

menaklukan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan yang tidak mau mengakui kekuasaan mereka.

Ekspedisi militer tersebut terjadi pada tahun 1905. Saat itu sejumlah kerajaan berhasil

ditaklukkan, seperti Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa. Masih di tahun yang sama di bulan

September, menyusul Datu Luwu yang terpaksa mengakui kekuasaan Belanda. Kemudian

komandan militer Belanda di Palopo, yang merupakan ibu kota Luwu mengirim surat kepada

Pong Tiku yang meminta agar Pong Tiku melaporkan diri di Rantepao dan menyerahkan semua

senjatanya kepada Belanda.

Karena tekad Pong Tiku sudah bulat untuk terus memperjuangkan kemerdekaan bagi

rakyatnya, tentu saja permintaan tersebut ditolaknya. Akibat penolakan itu, pecahlah perang

antara Belanda dan Pong Tiku. Pada tanggal 12 Mei 1906, Belanda mulai melancarkan serangan

pertamanya ke Pangala, namun serangan itu gagal. Masih di tahun yang sama, tepatnya di awal

Juni 1906, kegagalan kembali diterima Belanda ketika melakukan penyerangan terhadap benteng

Buntuasu.

Dua kegagalan itu membuat Belanda menambah jumlah pasukan dan persenjataannya.

Blokade pun dilakukan untuk mencegah masuknya logistik terutama air ke dalam benteng-

benteng Pong Tiku. Untuk menahan serangan Belanda, kondisi alam di daerah Toraja yang

berbukit-bukit pun ikut dimanfaatkan pasukan Pong Tiku. Batu-batu berukuran besar

digelindingkan bila pasukan Belanda berusaha memanjat bukit-bukit karang menuju benteng.

Air cabaipun digunakan untuk menghalau pasukan Belanda yang berhasil mendekati dinding

benteng. Akan tetapi, Belanda yang berbekal peralatan perang yang jauh lebih lengkap

menyebabkan peperangan tak seimbang. Pasukan Pong Tiku pun lebih banyak menderita

kerugian, gempuran meriam yang secara bertubi-tubi merusak bangunan benteng. Pong Tiku pun

terpaksa mengosongkan beberapa benteng. Akan tetapi, benteng Buntubatu yang merupakan

benteng utama sekaligus markas Pong Tiku belum berhasil dikuasai Belanda sampai bulan

Oktober 1906.

Belanda kemudian menawarkan perdamaian kepada Pong Tiku. Namun tawaran itu

ditolaknya dan ia hanya bersedia mengadakan gencatan senjata. Hal itu bertujuan agar ia dapat

menghadiri upacara pemakaman jenazah orang tuanya secara adat. Oleh karena itu, ia pun

Page 10: Filosofi Pend. Sulsel

meninggalkan benteng Buntubatu. Kesempatan itu langsung digunakan pihak Belanda untuk

memasuki benteng tersebut meskipun masa gencatan senjata belum berakhir.

Seusai menghadiri pemakaman jenazah orang tuanya, Pong Tiku kemudian menuju benteng

Alla. Di sana telah berkumpul para pejuang dari berbagai daerah di

Sulawesi Selatan. Benteng Alla pun diserang Belanda pada tanggal 12 Maret 1907. Akibat

serangan itu puluhan pejuang gugur dan ditawan. Namun, Pong Tiku berhasil menyelamatkan

diri. Dalam pelariannya dari satu tempat ke tempat lain, ia terus berusaha mengobarkan semangat

perjuangan melawan Belanda.

Belanda masih terus melakukan pengejaran hingga akhirnya ia berhasil ditangkap di Lilikan

pada awal bulan Juli 1907. Setelah berhasil ditangkap, ia kemudian dipaksa untuk

menandatangani surat pernyataan yang isinya mengakui kekuasaan Belanda. Namun, meskipun

berada dalam tekanan, Pong Tiku tetap menolak menandatangani surat tersebut.

Karena terus-menerus melawan dan menolak bekerjasama, Pong Tiku pun ditembak mati

Belanda di tepi Sungai Sa'dan. Kematian Pong Tiku sekaligus menandai berakhirnya perlawanan

terhadap Belanda di Toraja. Toraja merupakan daerah terakhir di Sulawesi Selatan yang jatuh ke

tangan Belanda

H.    Puang ri maggalatu

Salah seorang Arung Matoa yang terkenal karena jujur dan adilnya terhadap rakyatnya, ialah

La Tanampare’ Puang ri Magalatu, Arung Matoa ke-IV dari Wajo yang mulai memerintah kira-

kkira pada akhir abad ke-15. Nama ayahnya ialah La Tompawanua, yang kawin ke Palakka

dengan We Tenrinai. Dari perkawinan itu lahirlah La Tanampare’ Puang ri Magalatung.

Pada masa pemerintahan inilah selama sepuluh tahun disempurnakan segala peraturan hukum

adat, pemerintahan dan peradilan, dan mengajarkan etika pemerintahan, merealisasikan

demokrasi dan hak-hak azasi manusia, konsep negara sebagai abdi rakyat (public servent) dan

konsep Rule of Law (hukum yang dipertuan bukan raja).

Salah satu Ade Amaradekangengna yang dimuat secara terpencar dalam Lontarak

Sukkuna Wajo, yang selanjutnya menjadi motto pada Lambang Daerah Kabupaten Wajo

(walaupun disingkatkan), antara lain berbunyai :

Page 11: Filosofi Pend. Sulsel

”Maradeka towajoe najajian alena maradeka, tanaemmi ata, naiyya tomakketanae maradeka

maneng, ade assama turusennami napopuang”.

Artinya:

Orang-orang Wajo, adalah orang merdeka, mereka merdeka sejak dilahirkan, hanya negeri

mereka yang abdi, sedangkan si pemilik negeri (rakyat) merdeka semua dan hanya hukum adat

yang disetuji bersama yang mereka pertuan.

Falsafah orang Bugis yang pada gilirannya menjadi pandangan hidup dan pola perilaku,

seperti ditemukan melalui Lontarak Pammulanna Wajo yang memuat petuah-petuah Puang ri

Maggalatung. Tentang etos kerja orang Bugis disinyalir merupakan bagian makna siri’ dalam

implementasinya.

Pentingnya aplikasi makna siri’‘ terhadap para penguasa (raja-raja) Wajo, tertera dalam

pesan Puang ri Maggalatung: Padecengiwi bicara-e, Parakai ampe-ampe malebbi-e, Gau-gau

lalo’ tennga-e, Pari tengngai bicara ri tennga-e. Pesan ini bermakna “perbaiki cara bicara jika

berbicara, perbaiki tingkah laku mulia dan terhormat, gerak langkah sederhana atau tidak angkuh

dan tidak sombong, tempatkan di tengah untuk pembicaraan di tengah, tidak melebihi, tidak

memihak sebelum mengetahui posisi kebenarannya”.

Uupps mf bukan ini \

Maaf bukan ini