fertigasi pada budidaya tanaman sayuran dalam greenhouse

27
Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam Greenhouse Bahan Ajar Dasar-dasar Hortikultura AGH 342 Anas D. Susila, Ph.D Bagian Produksi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultutra,Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Kampus IPB Darmaga, Bogor, Telp : 62-251-8629353, Fax:62-251-8628060,e-mail:[email protected] ©Januari 2009

Upload: ivan-ara

Post on 15-Jun-2015

4.482 views

Category:

Documents


28 download

TRANSCRIPT

Page 1: Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

FFeerrttiiggaassii ppaaddaa BBuuddiiddaayyaa TTaannaammaann SSaayyuurraann ddaallaamm GGrreeeennhhoouussee

Bahan Ajar Dasar-dasar Hortikultura AGH 342

Anas D. Susila, Ph.D

Bagian Produksi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultutra,Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Kampus IPB Darmaga, Bogor, Telp : 62-251-8629353,

Fax:62-251-8628060,e-mail:[email protected]

©Januari 2009

Page 2: Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Anas D. Susila, Ph.D

Bagian Produksi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultutra,Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor. Kampus IPB Darmaga, Bogor, Telp : 62-251-8629353, Fax: 62-251-8628060, e-mail:[email protected]

Pada budidaya tanaman dengan sistem hidroponik pemberian air dan pupuk

memungkinkan dilaksanakan secara bersamaan. Oleh karena itu, manajemen pemupukan

(fertilization) dapat dilaksanakan secara terintegrasi dengan manajemen irigasi (irrigation)

yang selanjutnya disebut fertigasi (fertilization and irrigation) . Dalam sistem hidroponik,

pengelolaan air dan hara difokuskan terhadap cara pemberian yang optimal sesuai dengan

kebutuhan tanaman, umur tanaman dan kondisi lingkungan sehingga tercapai hasil yang

maximum.

Hidroponik Hidroponik, budidaya tanaman tanpa tanah, telah berkembang sejak pertama kali

dilakukan penelitian-penelitian yang berhubungan dengan penemuan unsur-unsur hara

esensial yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman. Penelitian tentang unsur-unsur

penyusun tanaman ini telah dimulai pada tahun 1600-an. Akan tetapi budidaya tanaman

tanpa tanah ini telah dipraktekkan lebih awal dari tahun tersebut, terbukti dengan adanya

taman gantung (Hanging Gardens) di Babylon, taman terapung (Floating Gardens) dari

suku Aztecs, Mexico dan Cina (Resh, 1998)

Istilah hidroponik yang berasal dari bahasa Latin yang berarti hydro (air) dan ponos

(kerja). Istilah hidroponik pertama kali dikemukakan oleh W.F. Gericke dari University of

California pada awal tahun 1930-an, yang melakukan percobaan hara tanaman dalam skala

komersial yang selanjutnya disebut nutrikultur atau hydroponics. Selanjutnya hidroponik

didefinisikan secara ilmiah sebagai suatu cara budidaya tanaman tanpa menggunakan

tanah, akan tetapi menggunakan media inert seperti gravel, pasir, peat, vermikulit, pumice

atau sawdust, yang diberikan larutan hara yang mengandung semua elemen esensial yang

diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan normal tanaman (Resh, 1998).

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 2

Page 3: Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Budidaya tanaman secara hidroponik memiliki beberapa keuntungan dibandingkan

dengan budidaya secara konvensional, yaitu pertumbuhan tanaman dapat di kontrol,

tanaman dapat berproduksi dengan kualitas dan kuantitas yang tinggi, tanaman jarang

terserang hama penyakit karena terlindungi, pemberian air irirgasi dan larutan hara lebih

efisien dan efektif, dapat diusahakan terus menerus tanpa tergantung oleh musim, dan dapat

diterapkan pada lahan yang sempit. (Harris, 1988).

Hidroponik, menurut Savage (1985), berdasarkan sistem irigasisnya

dikelompokkan menjadi (1) Sistem terbuka dimana larutan hara tidak digunakan kembali,

misalnya pada hidroponik dengan penggunaan drip irrigation atau trickle irrigation, (2)

Sistem tertutup dimana larutan hara dimanfaatkan kembali dengan cara resirkulasi.

Sedangkan berdasarkan penggunaan media atau substrat dapat dikelompokkan menjadi (1)

Substrate System, dimana digunakan media untuk membantu pertumbuhan tanaman

seperti: Sand culture, gravel culture, Rockwool, dan Bag culture, dan (2) BareRoot System,

dimana tanpa digunakan media untuk pertumbuhan akar sehingga akar terekspos di dalam

larutan hara seperti: Deep Flowing System, Aeroponics, Nutrient Film Tehnique (NFT), dan

Ein-Gedi System (EGS).

Irigasi Tetes Irigasi tetes (Drip irrrigation) adalah sistem irigasi pemberian air irigasi dengan

cara diteteskan langsung di zona perakaran. Irigasi tetes sering digunakan dalam

hidroponik dengan sistem substrat. Akhir-akhir ini, di Indonesia telah banyak diusahakan

teknologi hidroponik sistem terbuka dengan menggunakan substrat untuk produksi sayuran

secara komersial. Sistem ini sangat tergantung terhadap ketersediaan energi listrik untuk

menjalankan pompa karena adanya sirkulasi dan distribusi hara tanaman. Beberapa

produksi sayuran secara hidroponik dengan sistem irigasi tetes telah diusahakan di PT

Saung Mirwan (Purwadi, 1994; Supardiono, 1992; Winarti, 1991), di Taman Buah

Mekarsari (Hananto, 1995), serta di PT Dieng Jaya (Anggraeni, 1992).

Fertigasi yang merupakan cara pemberian air irigasi bersamaan dengan

pemupukan melalui emiter yang diletakkan dekat dengan perakaran tanaman. Drip atau

trickle irigasi adalah tipe mikro-irigasi dimana air dan hara diberikan melalui pipa plastik

dengan drip-emiter yang diletakkan di dekat barisan tanaman (Hochmuth dan Smajstrla,

1997).

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 3

Page 4: Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Irigasi tetes mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya merupakan hal yang

sangat penting dalam budidaya tanaman bila dikaitkan dengan isu lingkungan.

Keuntungan utama irigasi tetes adalah kemampuannya menghemat penggunaan air dan

pupuk dibandingkan dengan overhead sprinkler dan sub irigasi. Data penelitian

menunjukkan bahwa penghematan air dengan irigasi tetes sebesar 80% dibanding

subirigasi, dan 50% dibanding irigasi overhead sprinkler (Locascio et al., 1981; Elmstorm

et al., 1981; Locascio et al., 1985).

Irigasi tetes juga dapat menekan serangan penyakit pada daun dibandingkan

dengan overhead sprinkler irigasi. Air tidak diaplikasikan lewat daun sehingga dapat

mempertahankan daun dalam kondisi kering yang mengakibatakan dapat menekan

kerentanan tanaman terhadap serangan penyakit. Hal ini juga dapat mengakibatkan

menekan penggunaan fungisida. Kualitas buah tomat dapat ditingkatkan ketika N dan K

diaplikasikan lewat irigasi tetes dibanding dengan aplikasi secara preplant (di tebar saat

tanam) (Dangler dan Locascio, 1990b).

Irigasi tetes dapat meningkatkan presisi saat dan cara aplikasi pupuk pada produksi

sayuran. Pupuk dapat diformulasikan sesuai dengan kebutuhan tanaman dan diaplikasikan

pada saat tanaman memerlukan. Kemampuan irigasi tetes untuk meningkatkan efisiensi

aplikasi pupuk dapat menekan kebutuhan pupuk untuk produksi sayuran. Efisiensi ini

dapat dicapai dengan pemberian pupuk dalam jumlah kecil merata sepanjang musim

dibanding dengan pemberian sekaligus pada saat tanam (Locascio dan Smajstrla, 1989;

Locascio et al., 1989; Dangler dan Locascio, 1990a). Aplikasi yang terkontrol tidak hanya

dapat menghemat pupuk akan tetapi dapat pula menekan potensi polusi air tanah oleh

pencucian pupuk pada saat hujan besar atau irigasi yang berlebihan.

Irigasi tetes lebih baik daripada sub irigasi dalam sistem produksi tanaman yang

memanfaatkan air yang berkualitas rendah dengan salinitas yang tinggi untuk irigasi. Hal

ini disebabkan karena dengan irigasi tetes dapat melarutkan garam-garam menjauh dari

dripper, daripada menumpuk garam-garam dekat dengan perakaran tanaman (Hochmuth

dan Smajstrla, 1997).

Walaupun irigasi tetes memiliki banyak keuntungan yang sangat penting dalam

produksi sayuran secara modern, namun banyak tantangan yang dihadapi dalam

pelaksanaan teknologi ini. Irigasi tetes harus didisain dan di install secara tepat supaya

dapat dioperasikan dengan efisiensi yang tinggi. Irigasi tetes memerlukan biaya investasi

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 4

Page 5: Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

awal yang mahal karena harus di install oleh tenaga ahli yang berpengalaman dan

memerlukan ketersediaan energi listrik untuk mengoperasikan. Untuk mengoperasikan

teknologi ini juga diperlukan tenaga kerja yang terlatih sehingga dapat dicapai efisiensi

yang diharapkan (Hochmuth dan Smajstrla, 1997).

Kultur Air Diantara budidaya tanaman tanpa tanah, kultur air adalah budidya tanaman yang

menurut definisi merupakan sistem hidroponik yang sebenarnya. Kultur air juga sering

disebut true hydroponics, nutri culture, atau bare root system. Di dalam kultur air, akar

tanaman terendam dalam media cair yang merupakan larutan hara tanaman, sementara

bagian atas tanaman ditunjang adanya lapisan medium inert tipis yang memungkinkan

tanaman dapat tumbuh tegak (Resh, 1998).

Dalam sejarah perkembangan hidroponik, penelitian-penelitian pertama tentang

hidroponik tercatat menggunakan sistem kultur air tanpa adanya substrat atau media tanam

(Woodward, 1699). Teknik-teknik dasar kultur air modern telah dikembangkan oleh Sach

dan Knopp pada tahun1860 (Hewitt dan Smith, 1975) dari beberapa hasil penemuan

sebelumnya oleh Senebier tahun 1791 yang menyatakan bahwa akar tanaman akan mati

bila terendam dalam air. Pada tahun 1804, De Sausser juga menyatakan bahwa disamping

mengandung udara air juga mengandung CO2, campuran gas mengandung 20% O2 (Hewit,

1966; Hewitt dan Smith, 1975).

Aerasi adalah suatu hal yang esensial untuk aktivitas perakaran walaupun hal ini

sangat beragam antar spesies tanaman. Pengambilan unsur mineral akan terjadi ketidak

seimbangan bila kondisi oksigen di perakaran menurun, sebaliknya akan terangsang bila

konsentrasi oksigen di zone perakaran meningkat. Akumulasi karbondioksida (CO2) di

dalam larutan hara akan menghambat absorbsi sebagian besar unsur hara tanaman dan hara,

sedangkan kekurangan oksigen (O2) walaupun tidak akan menekan absorbsi air (dalam

periode tertentu) akan tetapi tetap menekan pengambilan unsur hara dari larutan hara

(Soffer, 1985).

Selama lebih dari 300 tahun kultur air merupakan suatu sistem yang paling sesuai

untuk penelitian-penelitian hara dan metabolisme tanaman hingga saat ini. Beberapa hal

yang menyebabkan hal di atas adalah sistem kultur air memiliki larutan hara yang

homogen, adanya keseragaman seluruh sistem dalam mempengaruhi sistem perakaran,

serta kemungkinan pengaturan kandungan unsur hara yang tepat. Kultur air

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 5

Page 6: Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

dikelompokkan ke dalam: (1) Aeroponik, (2) Nutrient Film Tehnique (NFT), dan (3) Deep

Flow Technique (DFT) yang semuanya memiliki tanaman dengan akar yang terbuka (bare

root plant) (Vestergaard, 1984).

Keberhasilan sistem kultur air dipengaruhi oleh beberapa faktor yang langsung

berhubungan dengan perakaran tanaman diantaranya adalah (1) aerasi di zone perakaran (2)

kondisi perakaran, dan (3) sistem penopang tanaman yang memungkinkan tanaman

tumbuh tegak. Manipulasi aerasi di zone perakaran pada sistem kultur air menurut Resh

(1998) dapat dilakukan dengan pemberian udara ke dalam larutan hara tanaman

menggunakan pompa atau kompresor. Disamping itu peningkatan aerasi di zone perakaran

dapat pula dilakukan dengan sirkulasi larutan hara antara bak tanam dengan reservoar hara.

Untuk memenuhi kebutuhan oksigen bagi perakaran menurut Hochmuth (1991) di dalam

kultur air (NFT) paling sedikit 1/3 – 1/2 sistem perakaran seharusnya tidak terendam

larutan hara. Hal ini merupakan kunci perakitan teknologi hidroponik sistem terapung

dimana tidak lagi diperlukan adanya energi listrik untuk menjalankan pompa ataupun

kompresor guna meresirkulasi ataupun meningkatkan aerasi larutan hara.

Pengusahaan kultur air secara komersial untuk produksi tanaman sayuran telah

dilakukan di beberapa negara antara lain Canada (Ingratta et al., 1985), Jepang (Takakura,

1985), Israel (Soffer, 1985), United Kingdom (Hurd, 1985), dan USA (Carpenter, 1985).

Pengusahaan kultur air secara komersial di Jepang mencapai kurang lebih 2000

greenhouse atau sekitar 300 hektar. Unit kultur air sistem Jepang terdiri dari beberapa seri

bak yang terbuat dari plastik yang berukuran lebar 0.8 m dan panjang 3 m dengan

kedalaman 6-8 cm. Tanaman diselipkan dalam lubang pada styrofoam. Larutan hara

dipompakan ke dalam bak selam 10 menit setiap jam, yang bertujuan untuk memelihara

aerasi. Bak selalu penuh dengan larutan hara dimana akar tanaman terendam didalamnya.

Pipa aerasi dapat dipasang pada bak tanam untuk meningkatkan aerasi. Pipa aerasi ini

mempunyai lubang berdiameter 2 mm pada setiap 4 cm panjang pipa (Resh 1998).

Modifikasi kultur air sistem Jepang telah dilakukan oleh Dr. Merle Jensen dari

Environmental Research Laboratory (ERL), Universitas Arizona, Tucson, USA dengan

pengembangan prototipe Raceway, Raft atau Floating System untuk produksi selada antara

tahun 1981-1982 . Dalam percobaan ini dapat dihasilkan 4.5 juta head selada per hektar per

tahun (Jensen dan Collins, 1985). Sistem kultur air ini terdiri dari bak tanam yang relatif

lebih dalam 15-20 cm, dengan lebar 60 cm dan panjang 30 m. Volume larutan hara kurang

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 6

Page 7: Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

lebih 3.5 m kubik atau setara dengan 3 600 liter. Hara didalam bak relatif statik dengan

pergerakan hanya 2-3 liter per menit. Dalam penelitian ini juga telah diuji efektivitas

penggunaan alat sterilisasi larutan hara dengan UV-sterilizer terhadap fungi patogenik

maupun non patogenik yang berasosiasi dengan tanaman di dalam greenhouse.

Produksi komersial sayuran daun untuk salad dalam sistem terapung (floating raft

system) telah digunakan di Florida sejak awal tahun 1980-an. (Resh, 1998). Sepuluh

sampai 12 kali panen tanaman selada terutama bibb lettuce dihasilkan dalam greenhouse

yang berpendingin. Dengan jarak tanaman yang rapat sistem ini dapat menghasilkan 1 juta

per acre per tahun tanaman selada yang dapat dipasarkan. Masalah utama dari sistem

komersial ini adalah tingginya modal awal untuk membangun sistem ini, dan biaya teknisi

yang diperlukan untuk mengoperasikan sistem ini. Hal ini menyebabkan sistem terapung

ini sulit diaplikasikan diberbagai tingkat petani. Teknologi hidroponik pasif, low-tech, dan

non recirculating system telah dipelajari di Asian Vegetable Research Center (AVRDC) di

Taiwan dan di Universitas Hawaii (Kratky et al., 1988; Kratky, 1993, 1996). Penelitian

hidroponik terapung untuk produksi tanaman sayuran didalam greenhouse di Florida

menunjukkan hasil yang positif (Fedunak dan Tyson, 1997; Tyson et.al, 1998). Lima dari

tujuh varietas komersial selada berhasil dibudidayakan menggunakan passive floating

hydroponics di luar greenhouse, serta memenuhi persyaratan kualitas untuk dipasarkan

(Tyson et al., 1999).

Teknologi Hidroponik Sistem Terapung (THST) merupakan sistem hidroponik

tanpa substrat yang dikembangkan dari sistem kultur air. Teknologi ini dapat dioperasikan

tanpa tergantung adanya energi listrik karena tidak memerlukan pompa untuk re-sirkulasi

larutan hara. Hal ini menyebabkan THSTmenjadi lebih sederhana, mudah dioperasikan,

dan murah, sehingga berpotensi untuk dikembangkan pada tingkat petani kecil. Studi

pengembangan THST dilakukan untuk mengetahui jenis tanaman, disain panel, jenis dan

volume media, umur bibit, sumber dan konsentrasi larutan hara, pupuk daun dan naungan,

serta pemanfaatan kembali larutan hara yang optimal. Hasil studi menunjukkan bahwa jenis

tanaman yang dapat dibudidayakan dengan THST adalah Caisim (Tosakan), Pakchoy

(White tropical type), Kailan (BBT 35) Kangkung (Bangkok LP1), Selada

(Panorama,Grand Rapids, Red Lettuce, Minetto), dan Seledri (Amigo). Komposisi larutan

hara yang digunakan adalah (ppm) Ca++177, Mg++ 24, K+ 210, NH4+ 25, NO3

- 233 , SO4=

113, dan PO4= 60 serta Fe 2.14, B 1.2, Zn 0.26, Cu 0.048, Mn 0.18, dan Mo 0.046.

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 7

Page 8: Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Electrical conductivity (EC) larutan hara optimum berkisar antara 515 - 550 µScm-1.

Namun demikian beberapa tanaman masih dapat tumbuh baik sampai EC 1550 µScm-1.

Jenis media tanam yang dapat digunakan adalah rockwool dan busa sintetik dengan volume

media 20 cm3. Pemanfaatan kembali larutan hara sampai 3 musim tanam masih dapat

mendukung pertumbuhan dan hasil Selada (Panorama, Minetto) dan Kangkung, akan

tetapi kurang baik untuk sayuran daun lain. Aplikasi pupuk daun dan naungan 55% yang

diharapkan dapat memperbaiki kualitas dan kuantitas hasil ternyata tidak dapat

meningkatkan pertumbuhan dan hasil Kailan, Selada, maupun Seledri. (Susila, 2003)

Kualitas Air Kualitas air merupakan faktor utama yang perlu dipertimbangakan dalam budidaya

tanaman secara hidroponik. Tanaman terdiri atas 80 – 90% air (Salisbury and Ross 1978)

sehingga ketersediaan air yang berkualitas sangat penting untuk mendukung keberhasilan

proses budidayanya (Portree 1996, Styer and Koranski 1997). Kualitas air dapat di tentukan

dari apa yang terkandung di dalam sumbernya (sumur atau sungai), juga tingkat

kemasamannya. Air adalah pelarut yang dapat mengandung jumlah tertentu garam-garam

terlarut. Salah satu garam terlarut tersebut adalah pupuk. Untuk menyediakan sumber hara

yang cukup bagi tanaman pupuk perlu dilarutkan di dalam air.

Kualitas air dapat ditentukan dengan dengan keberadaan partikel fisik (pasir,

limestone, bahan organik), jumlah bahan terlarut (hara dan bahan kimia non hara), dan pH

air. Beberpa hal yang berhubungan dengan kualitas air yang perlu di chek di laboratorium

adalah electrical conduktivity (EC), pH, konsentrasi sulfate (SO4), sodium (Na), besi (Fe),

dan bikarbonat (HCO3). Kesadahan air berhubungan juga dengan kandungan Ca dan Mg

yang juga perlu diperhitungkan juga dalam penghitungan pupuk (Hochmuth, 1991).

Air dengan nilai EC lebih besar dari 1.5 dS.m-1 (1.5 mmhos per cm), termasuk

kategori kurang baik untuk budidaya tanaman dalam greenhouse. Bila kandungan N, P, K

dalam air masing-masing lebih besar daripada 5 ppm, terindikasi bahwa air tersebut

terkontaminasi akan tetapi hal ini tidak menjadi masalah bila untuk pertumbuhan tanaman.

Kandungan Ca, Mg, dan bikarbonat yang tinggi pada air irrigasi dapat menyebabkan

pengendapan berupa magnesium dan calsiun carbonat. Demikian juga bila kandungan Fe

lebih besar dari 0.5 ppm. Konsentrasi S yang tinggi sebenarnya tidak membahayakan

tanaman, akan tetapi kandungan S yang tinggi ini dapat menyebabkan tingginya populasi

bakteri sulfur yang akhirnya dapat menyumbat emiter. Konsentrasi bikarbonat yang

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 8

Page 9: Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

melebihi 60 ppm dikategorikan tinggi dan dapat meningkatkan pH larutan (Hochmuth,

1991)

Sebelum menggunakan air dari berbagai sumber untuk budidaya tanaman

pertanian sebaiknya dilakukan analisis dahulu. Analisis kualitas air biasanya terkait dengan

berbagai garam terlarut yang terkandung di dalamnya. Maksimum konsentrasi yang

diperkenankan dalam part per millions (ppm) garam-garam terlarut untuk budidaya

tanaman di dalam greenhouse disajikan pada Tabel 1. Parts per million (ppm) adalah satu

satuan pengukuran jumlah ion terlarut, atau garam terlarut, dan biasanya digunakan untuk

mengukur konsentrasi garam-garam pupuk di dalam larutan hara. Tingkat konsentrasi ion

terlarut dapat juga dinyatakan dalam milligrams/Liter larutan. Terdapat hubungan antara

milligrams/Liter (mg/L) dan ppm, dimana 1 mg/L = 1 ppm.

Uji kualitas air juga meliputi pH atau tingkat kemasaman air. Sekalipun suatu

sumber air telah ditetapkan sebagai sebagai sumber air yang baik untuk produksi tanaman

di dalam greenhouse , namun harus tetap dimonitor secara rutin untuk memastikan bahwa

terjadinya fluktuasi kualitas air tidak mempengaruhi produksi tanaman.

Electrical Conductivity (EC) Hasil analisis air juga dilakukan terhadap Electrical Conductivity atau E.C air.

Kemampuan air sebagai penghantar listrik dipengaruhi oleh jumlah ion atau garam yang

terlarut di dalam air. Semakin banyak garam yang terlarut semakin tinggi daya hantar

listrik yang terjadi. EC merupakan pengukuran tidak langsung terhadap konsentrasi garam

yang dapat digunakan untuk menentukan secara umum kesesuaian air untuk budidaya

tanaman dan untuk memonitor konsentrasi larutan hara. Pengukuran EC dapat digunakan

untuk mempertahankan target konsentrasi hara di zone perakaran yang merupakan alat

untuk menentukan pemberian larutan hara kepada tanaman.

Satuan pengukuran EC adalah millimhos per centimeter (mmhos/cm),

millisiemens per centimeter (mS/cm) atau micro-siemens per centimeter. Air yang

sesuai untuk budidaya tanaman di dalam greenhouse sebaiknya mempunyai E.C. yang

tidak melebihi1.0 mmhos/cm. (EC=1).

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 9

Page 10: Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Tabel 1. Konsentrasi maksimum ion garam terlarut dalam air untuk budidaya tanaman di dalam Greenhouse (ppm).

Elemen Kosentrasi Maksimum

(ppm) Nitrogen (NO3 - N) 5 Phosphor (H2PO4 - P) 5 Potassium (K+) 5 Calsium (Ca++) 120 Magnesium (Mg++) 25 Chlorida (Cl-) 100 Sulphat (SO4

--) 200 Bicarbonat (HCO3

-) 60 Sodium (Na++) 30 Iron (Fe+++) 5 Boron (B) 0.5 Zinc (Zn++) 0.5 Manganese (Mn++) 1.0 Copper (Cu++) 0.2 Molybdenum (Mo) 0.02 Fluoride (F-) 1 pH 75 E.C. 1

Kemasaman (pH) Air

Kemasaman dan kebasaan dari air dinyatakan dalam pH (Styer and Koranski

1997), dan diukur dalam skala 0 sampai 14. Angka yang semakin rendah menunjukkan

kondisi larutan yang semakin masam, sebaliknya semakin tinggi pH semakin alkalin

(Boikess and Edelson 1981). Skala pH adalah logaritmik, artinya peningkatan 1 angka,

misalnya 4 ke 5 menunjukkan 10 kali meningkat alkalinitasnya, demikian juga sebaliknya.

Pada lokasi tertentu pH air cukup alkalin dengan pH 7.0 sampai 7.5. Alkalinitas air

ini meningkat dengan meningkatnya konsentrasi Bicarbonat (HCO3-). Pengukuran pH

mencerminkan reaksi kimia air dan larutan hara. Kondisi pH larutan hara sangat

menentukan tingkat kelarutan unsur hara, dan ketersediaan hara bagi tanaman (Portree

1996, Styer dan Kornaski 1997).

Kondisi pH optimum larutan hara, yang mencerminkan ketersediaan hara bagi

tanaman berkisar dari 5.5 - 6.0 (Portree 1996). Pengaturan pH larutan dapat dilakukan

dengan menggunakan larutan asam : asam phosphat, asam nitrat. Ketika bahan-bahan

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 10

Page 11: Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

tersebut digunakan kandungan N, P yang terikut harus diperhitungkan dalam pemberian

hara.

Jumlah asam yang diperlukan untuk mengatur pH biasanya tergantung konsentrasi

bicarbonate (HCO3-) di dalam air. Jumlah ini diketahui dari analisis air yang dinyatakan

dalam ppm. Target pH larutan hara biasanya 5.8 atau setara dengan 60 ppm konsentrasi

bicarbonate. Bila kandungan air yang digunakan untuk melarutkan hara mempunyai pH 8.1

dan bicarbonat 207 ppm, maka 200 ppm - 60 ppm = 140 ppm bicarbonat yang perlu

dinetralkan untuk mengurangi pH dari 8.1 menjadi 5.8.

Untuk menetralkan 61 ppm atau 1 miliequivalen bicarbonate memerlukan kurang

lebih 70 ml asam phosphat 85%, atau 84 ml asam nitrat 67% per 1000 liter air. Sehingga

untuk menetralkan 140 bicarbonat diperlukan , sebagai berikut:

Menggunakan Asam phosphat 85%

140/61 =2.3 milliequivalen bicarbonate yang harus dinetralkan 2.3 milliequivalen x 70 ml

asam phosphat 85% untuk setiap miliequivalen quivalent = 2.3 x 70 ml = 161 ml asam

phosphat 85% untuk setiap 1000 liter air.

Menggunakan Asam Nitrat 67% 2.3 milliequivalen bicarbonate yang harus dinetralkan. 2.3 milliequivalen x 76 ml per

milliequivalen = 2.3 x 76 ml = 175 ml Asam Nitrat 67% untuk setiap 100 liter air

Penghitungan tersebut harus dilakukan untuk setiap sumber air sesuai dengan hasil analisis

kandungan bicarbonat. Asam mempunyai sifat yang korosif sehingga harus ditangani

secara hati-hati.

Unsur Hara Tanaman Pertumbuhan dan hasil tanaman yang optimum dapat dicapai dengan pemberian

larutan hara sesuai dengan kebutuhan tanaman. Meskipun unsur hara tanaman sangat

kompleks, namun demikian kebutuhan dasar terhadap hara dalam budidaya tanaman

secara hidroponik telah diketahui. Terdapat 13 unsur hara essensial untuk pertumbuhan

tanaman. Air (H2O) dan karbon dioksida (CO2) juga essensial untuk tanaman. Hidrogen,

Carbon dan Oksigen juga diperlukan untuk pertumbuhan tanaman mengakibatkan total

hara essensial sebanyak 16 elemen (Salisbury and Ross 1978).

Kriteria hara esensial adalah apabila tanaman tidak dapat melengkapi siklus

hidupnya tanpa adanya hara tersebut (Salisbury and Ross 1978). Beberapa unsur Na, Cl,

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 11

Page 12: Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

dan Si tidak tergolong essensial namun mempengaruhi pertumbuhan tanaman atau juga

unsur esensial bagi tanaman tertentu (Wilson and Loomis 1967, Salisbury and Ross 1978,

Styer and Koranski 1997).

. Unsur hara essensial dapat dikelompokkan menjadi hara makro dan hara mikro.

Hara makro diperlukan dalam jumlah yang lebih banyak untuk pertumbuhan tanaman dari

pada hara mikro (Salisbury and Ross 1978). Hara esensial untuk pertumbuhan tanbaman

disjikan pada Tbel 2. Pengelompokan lain berdasarkan mobilitas unsur hara di dalam

tanaman . Hara mobil adalah hara yang ditranslokasikan dari daun tua ke daun muda

contohnya nitrogen (Salisbury and Ross 1978). Calsium adalah contoh unsur hara yang

tidak mobil, dimana bila sudah ditranlokasikan di suatu bagian tanaman Ca tidak bisa di re-

translokasikan di dalam phloem ke tempat lain. (Salisbury and Ross 1978).

Table 2. Hara Esensial untuk Pertumbuhan Tanaman

Element Simbol Tipe Mobilitas Gejala Defisiensi Nitrogen N makro mobil Tanaman hijau muda, daun

tua menguning Phosphorus P makro Mobil Tanaman hijau tua berubah

keunguan Potassium K makro Mobil Tepi daun tua hijau

kekuningan Magnesium Mg makro Mobil Interveinal chlorosis,

Chlorosis mulai dari daun tua berubah ke nekrosis,

Calcium Ca makro Imobil Die back daun muda (tip burn) Blossom end rot of fruit (tomat and paprika).

Sulfur S makro Immobil Warna daun hijau muda. Iron Fe mikro Immobil Interveinal chlorosis,

dengan “netted pattern”. Manganese Mn mikro immobil Interveinal chlorosis, dengan

“netted pattern”. Boron B mikro Immobil Pucuk terminal menjadi

hijau muda, dan mati. Copper Cu mikro Immobil Daun muda rontok, dan

kelihatan layu. Zinc Zn mikro Immobil interveinal chlorosis daun

tua Molybdenum Mo mikro Immobil Daun bagian bawah pucat

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 12

Page 13: Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Air merupakan komponen penting dalam penyerapan ion oleh tanaman, dan hara

hanya terjadi bila dalam larutan. Dalam kondisi padat ion-ion hara berada dalam bentuk

garam (Boikess and Edelson 1981). Bila tidak ada air ion hara yang bermuatan berlawanan

akan bergabung membentuk garam yang padat yang stabil. Contohnya, anion nitrate

(NO3-) pada umumnya bergabung dengan calsium kation (Ca+2) atau potassium (K+)

membentuk garam calsium nitrat Ca(NO3)2 dan potassium nitrat (KNO3). Ketika garam-

garam ditambahkan ke dalam air ia akan larut dan berdisosiasi menjadi kation dan anion.

Dalam keadaan terlarut inilah hara akan tersedia bagi tanaman. Beberapa hal penting yang

perlu diingat adalah bahwa garam-garam mempunyai tingkat kelarutan yang berbeda..

Calcium sulfate (CaSO4) relatif tidak mudah larut sehingga kurang baik untuk pupuk, sebab

hanya sedikit sekali kation Calsium (Ca++) yang tersedia bagi tanaman. Bentuk unsur hara

mineral yang tersedia bagi tanaman disajian pada Tabel 3.

Tabel 3. Bentuk Unsur Hara Mineral yang Tersedia bagi Tanaman

Unsur Simbol Bentuk tersedia Simbol Macronutrients Nitrogen N Nitrate ion

Ammonium ion NO3

- NH4

+

Phosphor P Monovalent phosphate ion Divalent phosphate ion

H2PO4-

HPO4-2

Potassium K Potassium K+

Calcium Ca Calcium ion Ca+2

Magnesium Mg Magnesium ion Mg+2

Sulfur S Divalent sulfate ion SO4-2

Chlorine Cl Chloride ion Cl-

Micronutrients Iron/Besi Fe Ferrous ion

Ferric ion Fe-2 Fe-3

Manganese Mn Manganous ion Mn+2

Boron B Boric acid H3BO4Copper Cu Cupric ion chelate

Cuprous ion chelate Cu+2 Cu+

Zinc Zn Zinc ion Zn+2

Molybdenum Mo Molybdate ion MoO4-

Beberapa unsur mikro disamping dalam bentuk garam, biasanya juga dalam

bentuk Chelat; Besi, Zinc, Mangan and Copper. Chelate adalah bahan yang mudah larut

yang terbentuk ketika atom tertentu bereaksi dengan molekul organik tertentu. Garam-

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 13

Page 14: Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

garam sulfat dari Fe, Zn, Mn, dan Cu biasanya kelarutannya rendah, dan dalam bentuk

chelate unsur tersebut akan mudah tersedia bagi tanaman (Boikess and Edelson 1981).

Program Pemupukan Larutan hara untuk pemupukan tanaman hidroponik di formulasikan sesuai dengan

kebutuhan tanaman menggunakan kombinasi garam-garam pupuk. Jumlah yang diberikan

disesuaikan dengan kebutuhan optimal tanaman. Program pemupukan tanaman melaui

hidroponik walaupun kelihatannya sama untuk berbagai jenis tanaman sayuran, akan tetapi

terdapat perbedaan kebutuhan setiap tanaman terhadap hara. Pupuk yang dapat digunakan

dalam sistem hidroponik harus mempunyai tingkat kelarutan yang tinggi .

Larutan Hara

Dua ringkasan tulisan terbaik tentang perkembangan budidaya tanaman secara

hidroponik telah ditulis oleh Cooper (1979) untuk sistem komersial dan ditulis oleh Jones

(1982) untuk tujuan akademik. Dalam tulisan ini dikemukakan bahwa telah banyak

diformulasikan berbagai macam hara untuk hidroponik, akan tetapi pada dasarnya

penggunaan hara standar untuk tujuan komersial saat ini tidak berubah banyak dari

komposisi hara tanaman yang didiskripsikan para ahli pada tahun 1800-an.

Sebagian besar tanaman hijau memerlukan total 16 elemen kimia untuk

mempertahankan hidupnya. Dari total elemen ini hanya 13 yang dapat diberikan sebagai

pupuk lewat perakaran tanaman, sedangkan 3 yang lain (Okisgen, Karbon dan Hidrogen)

dapat diambil dari udara dan air (Mengel dan Kirkby, 1987). Dalam budidaya tanaman

terkendali yang menggunakan tanah sebagai media, hanya sebagian kecil dari 13 unsur hara

yang perlu menjadi perhatian. Sebab unsur yang diperlukan dalam jumlah kecil (hara

mikro) dapat disuplai oleh tanah. Sehingga sebagian besar budidaya tanaman dalam

greenhouse yang secara tradisional menggunakan tanah sebagai media hanya diberikan

unsur makro N,P,K saja untuk pemupukannya.

Budidaya tanaman secara hidroponik memungkinkan petani mengontrol

pertumbuhan tanaman, akan tetapi juga memerlukan kemampuan manajemen yang tepat

untuk mencapai keberhasilan. Petani hidroponik tidak hanya harus memberikan 6 hara

makro ( N, P, K, Ca, Mg, S) saja, akan tetapi harus juga memberikan 7 hara mikro (Fe, Mn,

Cu, Zn, Mo, B) untuk mendukung pertumbuhan tanaman (Gerber, 1985).

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 14

Page 15: Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Konsentrasi Hara

Menurut Hewitt (1966) terdapat kurang lebigh160 hara berdasar bentuk garam dan

kandungan individual elemennya. Sedangkan menurut Resh (1998) terdapat hanya sekitar

30 komposisi hara tanaman. Namun demikian masih saja hal ini membingung bagi calon

pengguna untuk memilih hara tanaman yang cocok untuk budidaya tanaman tertentu.

Beberapa larutan hara untuk budidaya tanaman tanpa tanah yang populer sampai saat ini

adalah seperti terlihat pada Tabel 4.

Table 4. Konsentrasi Hara (ppm) Beberapa Larutan Standar untuk Budidaya Tanaman Tanpa Tanah

Nutrient Hoagland and Arnon

Cooper Modified Steiner

Wilcox 1 Wilcox 2

N 210 200 171 132 162

P 31 60 48 58 58

K 234 300 304 200 284

Ca 200 170 180 136 136

Mg 48 50 48 47 47

Fe 5 12 3 4 4

Mn 0.5 2 1 0.5 0.5

B 0.5 1.5 0.3 1.5 1.5

Zn 0.05 0.1 0.4 0.3 0.3

Cu 0.02 0.1 0.2 0.1 0.1

Mo 0.01 0.2 0.1 0.1 0.1

Sumber: Gerber (1985)

Larutan hara Hoagland dan Arnon pertama kali dikembangkan untuk tanaman

tomat akan tetapi digunakan juga sebagai larutan standar untuk berbagai penelitian pada

kultur air. Larutan Cooper adalah larutan hara ideal untuk budidaya tanaman secara NFT.

Larutan Wilcox-1 adalah dirancang untuk persemaian tanaman selada dan tomat. Pada saat

tanaman tomat berkembang dari fase vegetatif menuju fase generatif pada larutan Wilcox-2

unsur N dan P ditingkatkan. Akan tetapi peningkatan unsur K lebih tinggi dibanding unsur

K untuk mendukung pertumbuhan buah (Gerber, 1985).

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 15

Page 16: Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Pengelolaan Larutan Hara

Penghitungan jumlah pupuk yang dilakukan secara tepat dan akurat, sehingga

didapatkan konsentrasi akhir individual unsur yang dikehendaki, merupakan hal yang

sangat kritis dalam keberhasilan program pemupukan. Dalam hampir semua sistem

produkasi tanaman secara hidroponik, paling sedikit diperlukan 2 tangki larutan stok untuk

pencampuran hara. Hal ini dilakukan karena terdapat beberapa jenis sumber pupuk yang

mengalami reaksi pengendapan bila dicampur dalam keadaan konsentrasi tinggi. Pada

umumnya endapan calsium phosphat terbentuk bila calsium nitrat dicampur dengan

beberapa sumber phosphat. Juga endapan calsium sulfat akan terbentuk bila terjadi

pencampuran calsium nitrate dengan magnesium sulfat. Pengelompokan stok hara dapat

dibuat sebagai berikut: Stok A yang berisi potasium nitrat, calsium nitrat, Fe EDTA, dan

Stok B yang berisi sumber phospor, magnesium sulfate, hara-mikro, potasium chlorida,

juga potassium nitrat (Hochmuth, 1991).

Status larutan hara harus selalu dimonitor dan dikontrol secara kontinyu. Pada saat

ini penggunaan kontrol elemen secara individual belum banyak diterapkan pada sistem

hidroponik untuk tujuan komersial. Biasanya larutan hara dikontol dengan mengukur total

konsentrasi garamnya, dan dibaca dalam satuan electrical conductivity (EC). Sebagaian

besar tanaman dapat tumbuh baik dalam larutan hara yang mempunyai level EC antara 1.8

– 3.5, dan hal inipun tergantung dari jenis tanaman, radiasi matahari, suhu, dan kualitas air.

Didalam sistem resirkulasi biasanya sering terjadi kesalahan pembacaan karena terjadinya

perubahan kandungan unsur secara individual selama proses pertumbuhan tanaman

(Gerber, 1985)

Di dalam budidaya tanaman tanpa tanah, kondisi pH di zone perakaran tanaman

biasanya meningkat dengan berjalannya waktu. Penambahan larutan asam biasanya

diperlukan untuk mempertahankan pH larutan antara 5.5-6.5. Pada umumnya asam nitrat

atau phosphat dapat digunakan untuk penurunan pH. Bila diperlukan untuk penigkatan pH

larutan yang bisa digunakan adalah potasium hidroksida. Bila sumber air ber pH tinggi

karena adanya bikarbonant, pH seharusnya diturunkan sebelum pupuk dilarutkan untuk

menjaga terjadinya pengendapan (Cooper, 1979).

Kebutuhan konsentrasi berbagai macam hara biasanya dinyatakan dalam parts per

million (ppm). Rekomendasi konsentrasi hara untuk budidaya paprika di dalam

Greenhouse secara hidroponik disajikan dalam Tabel 5. Target konsentrasi semua unsur

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 16

Page 17: Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

hara disajikan kecuali Sulfur dan Chloride. Hal ini dilakukan karena S sudah terbawa

dalam K-sulfat, atau Mg-Sulfat. Chloride biasanaya ditemukan dalam jumlah yang cukup

dalam pupuk sebagai bahan bawaan. Apabila kebutuhan hara sudah diketahui maka

formulasi kebutuhan pupuk dapat ditentukan.

Beberapa informasi dasar diperlukan dalam memformulasikan pupuk adalah:

1. Volume larutan stok dan volume akhir yang diperlukan.

2. Jenis pupuk yang diperlukan serta kandungan hara di dalam pupuk tersebut.

Table 5. Traget konsentrasi larutan hara untuk budidaya paprika di dalam Greenhouse. Hara

Resh (ppm) Agrotisari (ppm)

PT Joro (ppm)

Target (ppm)

Nitrogen 142 99.1 218 (NO3), 10.1 (NH4)

200

Phosphorus 24 58 97.9 55 Potassium 152 214 346 318 Calcium 114 64.4 174.2 200 Magnesium 22 38.8 59.6 55 Sulfur 34 52 139 - Iron 1 1.6 0.78 3.00 Manganese 0.3 0.44 0.3 0.50 Copper 0.04 0.4 0.05 0.12 Molybdenum 0.03 0.3 0.065 0.12 Zinc 0.3 0.54 3.5 0.20 Boron 0.3 0.24 0.28 0.90

Target Pemupukan dan Keseimbangan Fase Tumbuh Tanaman Pemberian hara meningkat jumlahnya sesuai dengan tingkat pertumbuhan

tanaman. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan EC larutan hara mulai dari EC 2.5

pada stadia vegetatif menjadi EC 3.0 mmhos pada fase generatif.

Peningkatan EC meningkatkan konsentrasi total garam terlarut, akan tetapi tidak

merubah rasio unsur hara yang terkandung di dalamnya. Peningkatan konsentrasi hara di

zone perakaran akan memnyebabkan tanaman mengalami stress karena kesulitan

menyerap air dari media. Respon tanaman dalam mengatasi stress tersebut adalah dengan

merubah kecenderungan pertumbuhan ke fase generatif (bunga dan buah). Salah satu

tantangan dalam memproduski tanaman adalah bagaimana menghasilkan tanaman dengan

pertumbuhan vegetatif yang bagus dan dilanjutkan dengan pembentukan buah yang

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 17

Page 18: Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

optimum sepanjang musim tanam. Beberapa pengaruran keseimbangan fase

vegetative/generative dapat dilakukan dengan pengaturan rasio hara khususnya Nitrogen –

Potasium. Target nilai absolute dan relative rasion antara N, P, K dan Ca dalam

budidaya sayuran disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Target nilai absolute dan relative rasion antara N, P, K dan Ca dalam budidaya sayuran (E.C. of 2.5 mmhos)

Tanaman Target Hara(ppm) Rasio Hara N K Ca N K Ca Mentimun 200 300 173 1.00 1.51 0.86

Paprika 214 318 200 1.00 1.48 0.93

N:K rasio yang disajikan pada Tabel 6 adalah 1:1.5. Peningkatan level K akan

meningkatkan rasio menjadi 1:1.7 dan mengarahkan tanaman untuk mengalami

pertumbuhan generatif. Hal ini disebabkan karena N mendorong pertumbuhan vegetative,

sedangkan K mendorong pertumbuhan generative dan pematangan buah. Calsium juag

penting untuk mendorong pertumbuhan jaringan, buah dan pematangan buah. Calsium

biasanya mempunyai perbandingan yang seimbang dengan nitrogen. Rario N:Ca = 1:1,

cocok untuk paprika dan tomat, sementara itu rasio N:Ca= 1:0.85 cocok untuk tanaman

mentimun.

Formulasi pupuk untuk Hidroponik Penghitungan pupuk untuk budidaya tanaman secara hidroponik biasanya

cukup rumit, karena menyangkut berbagai macam unsur yang berasal dari

berbagai macam sumber pupuk. Beberapa garam pupuk tersebut ada yang

berbentuk tungal maupun majemuk. Program computer “IFF SYSTEM” telah

dikembangkan untuk memperudah penghitungan hara untuk budidaya sayuran

secara hidroponik berdasar kebutuhan hara tanaman dan kandungan analisis

air (Susila, 2001). Beberapa sumber pupuk yang dapat dipergunakan dalam

formulasi pupuk hidroponi disajikan dalam Tabel 7.

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 18

Page 19: Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Tabel 7. beberapa jenis pupuk untuk formulasi hara tanaman pada program budidaya tanaman sayuran secara hidroponik

Hara Pupuk Hara

Hara Makro Calcium nitrate 15.5-0-0

15.5% nitrogen (NO3-N) 19% calcium

Potassium nitrate 13-0-44

13% nitrogen (NO3-N) 37% potassium

Nitrogen

Ammonium nitrate 34-0-0

17% nitrogen (NO3-N) 17% nitrogen (NH4-N)

Phosphorus Monopotassium phosphate0-53-44

23% phosphorus 29% potassium

Potassium nitrate 13-0-44

37%potassium 13% nitrogen (NO3-N)

Potassium sulfate 0-0-50

41.5% potassium 17% sulfur

Monopotassium phosphate0-53-44

23% phosphorus 29% potassium

Potassium

Potassium chloride 0-0-60

49% potassium 26% chlorine

Calcium nitrate 15.5-0-0

19% calcium 15.5% (NO3-N)

Calcium

Calcium chloride CaCl2-2H2O

27% calcium 48% chlorine

Magnesium sulfate MgSO4-7H2O

10% magnesium 13% sulfur

Magnesium

Magnesium nitrate Mg(NO3)2-6H2

10% magnesium 11% nitrogen (NO3-N)

Magnesium sulfate MgSO4-7H2O

10% magnesium 13% sulfur

Sulfur

Potassium sulfate 0-0-50

41.5% potassium 17% sulfur

Calcium chloride CaCl2-2H2O

27% calcium 48% chlorine

Chlorine

Potassium chloride 0-0-60

49% potassium 26% chlorine

Hara Mikro Iron Iron chelate 13% iron Manganese Manganese chelate 13% manganese Copper Copper chelate 14% copper Molybdenum Sodium molybdate 39% molybdenum Boron Borax 15% boron

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 19

Page 20: Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Pedoman Pencampuran Pupuk Hidroponik Volume larutan hara yang dibutuhkan setiap hari sangatlah besar, sangatlah tidak

praktis apabila mencampur larutan hara setiap hari. Oleh karena itu pencampuran larutan hara

biasasanya dilakukan dengan membuat konsentrasi tinggi (100 sampai 200 kali) sebagai

larutan stok. Hal ini juga dilakukan untuk memudahkan penyimpanan dalam volume stok

yang tidak terlalu besar. Selanjutnya pada saat aplikasi dilakukan kembali pengencerean

larutan stok tersebut. Setelah jumlah dan jenis berbagai pupuk telah diketahui selanjutnya dilakukan

pencampuran hara. Sebagian besar produksi sayuran dalam greenhouse secara komersial

menggunakan 2 tangki larutan stok, meskipun beberapa menggunakan tangki ketiga untuk

larutan asam. Beberapa Tips pencampuran larutan hara:

1. Pililah sumber pupuk yang mempunyai kualitas yang baik dan kelarutan yang

tinggi.

2. Ketika bekerja dengan larutan berkonsentrasi tinggi janganlah mencampur

pupuk yang mengandun Calsium (contoh calsium nitrat) dengan pupuk lain

yang mendandung phosphat (contoh. monopotassium phosphate) atau sulfat

(contoh. potassium sulfat, magnesium sulfat). Ketika pupuk yang mengandung

calsium, phosphate, sulfat dicampur dalam konsentrasi tinggi akan terjadi

pengendapan dalam calsium phosphat and calsium sulfat. Endapan ini akan

menggumpal di dasar tangki dan dapat menyumbat emitter pada jaringan irigasi

tetes.

3. Gunakanlah air panas untuk mencapur pupuk di masing-masing Tangki. Akan

tetapi masukkanlah hara mikro pada saat air sudah menjadi hangat, dan tidak

panas.

4. Aduklah terus pada saat pupuk ditambahkan ke tangki larutan hara.

Bila menggunakan pupuk tambahan pastikan bahwa calsium tidak tercampur

dengan phosphate atau sulfate. Pada umumnya sumber pupuk nitrat dapat ditambahkan ke

Tangki A, sedangkan yang lain di Tangki B. Besi (Fe) selalu tambahkan ke Tanggki A

untuk menghidari reaksi dengan phosphate yang dapat mengakibatkan pengendapan yang

mengakibatkan tanaman dapat kekurangan besi (Wieler and Sailus 1996), apabila

menggunakan asam untuk koreksi pH dapat ditambahkan di Tangki A atau B, atau dapat

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 20

Page 21: Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

ditambahkan di tangki C. Apabila menggunakan potassium bicarbonate diperlukan untuk

menaikkan pH buatlah di Tangki C. Isi masing larutan stock disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Isi Masing-masing Tangki Stok Larutan Hara A dan B

Tangki A Tangki B

Calcium nitrate Potassium nitrate (Setengah jumlah total)

Potassium nitrate (Sengah jumlah total) Magnesium sulfate

Iron chelate Monopotassium phosphate

Potassium sulfate

Manganese chelate

Zinc chelate

Copper chelate

Sodium molybdate

Boric acid

Aplikasi Pupuk dan Air (Fertigasi)

Air dan pupuk diberikan secara bersamaan sebgai larutan hara. Jumlah air dan hara

akan selalu berubah sesuai dengan umur dan pertumbuhan tanaman. Kebutuhan

tananaman terhadap hara dan terus meningkat sejak persemaian sampai tanaman

menghasilkan . Secara umum pengaruh frekuensi penyiraman berpengaruh terhadap hasil

tanaman paprika yang dibudidayakan secara hidroponik disajikan pada Tabel 9 dan Tabel

10. Penyiraman sebanyak 250 ml 4 atau 5 kali sehari sesui dengan jadwal memberikan

hasil terbaik bagi tanaman paprika.

Tabel 9. Jadwal Fertigasi pada Budidaya Paprika secara Hidroponik

Fekuensi Penyiraman (250 ml)

Waktu Penyiraman

3x 7.30 11.00 14.30 4x 7.30 9.30 13.30 16.30 5x 7.30 9.30 11.00 13.30 16.30 6x 7.30 9.30 11.00 13.30 14.30 16.30

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 21

Page 22: Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Tabel 10. Pengaruh Frekuensi Penyiraman terhadap hasil buah Paprika

Frekuensi Penyiraman (250 ml larutan hara) Peubah Varietas 3X 4X 5X 6X

Spartacus 105 108 111 103 Bobot per Buah (g) GoldFrame 108 110 113 105

Spartacus 634 785 625 559 Bobot buah/tanaman (g)

GoldFrame 603 661 742 616

Spartacus 6 7.3 5.6 5.4 Jumlah buah/tanaman GoldFrame 5.6 6.1 6.6 5.9

Spartacus 55.6 5.6 5.5 5.2 Ketebaln daging buah (mm)

GoldFrame 5.0 5.1 5.2 5.2

Secara umum lebih baik meningkatkan frekuensi penyiraman daripada

meningkatkan jumlah air yang diberikan pada tanaman yang mendekati masa panen.

Frekuensi pemberian air juga dapat untuk mengatur keseimbngan fase vegetative/generatif

tanaman. Pada jumlah volume yang tetap semakin banyak frekuansi penyiraman tanaman

akan cenderung mengalami pertumbuhan vegetative, sebaliknya semakin jarang frekuensi

cenderung mendorong pertumbuhan generative.

Gambar 1. Skema Umum Monitoring Larutan Hara

Jadwal fertigasi untuk budidaya tanaman sayuran di dalam greeenhouse secara

hidroponik serta kirsan pH masuk dan pH keluar disajikan pada Tabel 11. Pengukuran EC

larutan hara dapat dipakai sebagai ukuran tingkat pemberian hara bagi tanaman. EC larutan

hara yang memiliki target nitrogen 200 ppm kira-kira sebesar 2.5 mmhos. Tentu saja

jumlah hara yang lain secara proporsional mengikuti jumlah nitrogen. Monitoring EC dan

pH dapat dilakukan pada EC masuk (sebelum melewat media tanam) dan EC keluar

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 22

Page 23: Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

(setelah melewati media tanam). Hal ini dapat memantau kecukupan hara selama

pertumbuhan tanaman. Tingkat pH optimum adalah 5.8, aktivitas perakaran biasanya

dapat menurunkan pH sekitar perakaran untuk mengatasi hal tersebut perlu digunakan

pupuk yang tidak bersifat masam. Tidak direkomendasikan menggunakan pupuk masam

pada pH larutan 5.5. Penggunaan ammonium nitrat at 2 to 5 ppm of ammonium nitrogen

(NH4 - N) akan menurunkan pH perakaran akera pengaruh asam dari pupuk tersebut

Tabel 11. Jadwal Fertigasi unuk Budidaya Tanaman Sayuran secara Hidroponik

Waktu pemberian (WIB) EC (mS/cm) Umur tanaman Suhu<30,RH

>50% Suhu >30, RH <50%

Vol. (ml/ta

n) Masuk Keluar

07.00 07.00 100 1.6-1.7 1.3-1.8 09.00 09.00 100 1.6-1.7 1.3-1.8 11.00 10.30 100 1.6-1.7 1.3-1.8 13.00 12.00 100 1.6-1.7 1.3-1.8 15.00 13.30 100 1.6-1.7 1.3-1.8

Fase Veg. I (1-6 MST)

15.00 100 1.6-1.7 1.3-1.8 07.00 07.00 150 1.8-1.9 2.0-2.1 09.00 09.00 150 1.8-1.9 2.0-2.1 11.00 10.30 150 1.8-1.9 2.0-2.1 13.00 12.00 150 1.8-1.9 2.0-2.1 15.00 13.30 150 1.8-1.9 2.0-2.1

Fase Veg II (6-8 MST), Berbunga dan mulai berbuah

15.00 150 1.8-1.9 2.0-2.1 07.00 07.00 250 2.0-2.1 2.1-2.2 09.00 09.00 250 2.0-2.1 2.1-2.2 11.00 10.30 250 2.0-2.1 2.1-2.2 13.00 12.00 250 2.0-2.1 2.1-2.2 15.00 13.30 250 2.0-2.1 2.1-2.2

Fase Gen. (>8 MST) Pematangan buah

15.00 250 2.0-2.1 2.1-2.2

Penyiraman pada malam hari dapat meningkatkan perkembangan buah, akan tetapi

biasanya berasosiasi dengan resiko pecah buah bila aplikasi terlalu banyak. Sehingga

penyiraman pada malam hari perlu dikalibrasikan dengan kondisi agroklimat setempat.

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 23

Page 24: Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Manajemen fertigasi merupakan cara yang fleksible dalam pemberian pupuk untuk

memenuhi kebutuhan tanaman. Dengan pengalamanya, petani dapat dengan mudah

menyesuaikan jumlah dan jenis pupuk untuk memenuhi kebutuhan tanaman berdasarkan

tingkat perkembangannya. Pemberian hara yang tepat sesuai dengan kebutuhan

tanaman adalah salah satu “keyword” dalam budidaya tanaman secara hidroponik,

sehingga kesuksesan dalam manjemen larutan hara merupakan juga kesuksesan dalam

berbisnis tanaman secara hidroponik.

DAFTAR PUSTAKA Aziz, S.A. 2003. Pengaruh umur bibit dan konsentrasi hara terhadap

pertumbuhan dan produksi selada (Lactuca sativa L.) dalam teknologi hidroponik sistem terapung (THST) tanaman selada. Skripsi. Departemen BDP, Faperta IPB

Damayanti, M. 1999. Budi Daya melon varietas ’Sky Rocket’ secara hidroponik di Taman Buah Mekarsari. Laporan Ketrampilan Profesi. Jurusan Budi Daya Pertanian Faperta IPB. Bogor. 42 hal.

Dangler, J.M. and S.J. Locascio. 1990a. Yield of tricklr-irrigated tomatoes as affected by time of N and K application. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 115:585-589.

Dangler, J.M. and S.J. Locascio. 1990b. External and internal blotchy ripening and fruit elemental content of trickle-irrigated tomatoes as affected by N and K application time. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 115:547-549.

[DEPTAN] Departemen Pertanian. 2006. Produksi, Luas Areal dan Produktivitas Sayuran di Indonesia. http://www.deptan.go.id [3 Februari 2007].

Drew, M. C.& L. H. Stolzy. 1991. Growth Under Oxygen Stress. p. 331-342. In : Y. Waisel. A. Eshel and U. Kafkafi (Eds.) Plant Roots The Hidden Half. Marcel Dekker. Inc. New York

Ecih. 1998. Tanaman melon (Cucumis melo L.) di PT Hortitek Tropikasari Kec. Semplak Kab. Bogor. Laporan Ketrampilan Profesi. Jurusan Budi Daya Pertanian Faperta IPB. Bogor. 66 hal.

Elmstorm, G.W., S.J. Locascio, and J.M. Myers. 1981. Watermelon response to drip and sprikler irrigation. Proc. Fla. State Hort. Soc. 94:161-163.

Febriana, M. 1997. Budi Daya tanaman tomat secara hidroponik di PT Saung Mirwan. Laporan Ketrampilan Profesi. Jurusan Budi Daya PertanianFaperta IPB. Bogor. 64 hal

Hikmah, Z.M. 2005. Pengaruh naungan dan pupuk daun terhadap pertumbuhan dan produksi kailan (Brassica oleracea L.var alboglabra) dalam teknologi hidroponik sistem terapung (THST). Skripsi. Departemen BDP, Faperta IPB.

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 24

Page 25: Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Hochmuth, G.J. and A.G. Smajstrla. 1997. Fertilizer application and management for micro (drip)-irrigated vegetable in Florida. Fla.Coop. Ext. Circ, 1181.

Ismail. 1992. Rumah plastik untuk Budi Daya Selada di Kem Farms. Laporan Ketrampilan Profesi. Jurusan Budi Daya Pertanian Faperta IPB. Bogor. 89hal.

Kusumainderawati, E.P. 1998. Peranan pemupukan dan penggunaan mulsa terhadap produktivitas cabai di luar musim. Prosiding seminar nasional dan pertemuan tahunan Komisariat Daerah Himpunan Ilmu Tanah Indonesia Tahun 1998 (buku 2). di Malang. Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI), hal. 167-172.

Locascio, S.J, and A.G. Smajstrla. 1989. Drip irrigated tomato as affected by water quantity and N and K application timing. Proc. Fla. State. Hort. Soc. 102:307-309.

Locascio, S.J., and J.M. Myers. 1974. Tomato response to plug-mix, mulch and irrigation methods. Proc. Fla. State. Hort. Soc. 87:126-130

Locascio, S.J., J.M. Myers, and S.R. Kostewicz. 1981. Quantity and rate of water application for drip irrigated tomatoes. Proc. Fla. State Hort. Soc. 91:163-166.

Locascio, S.J., G.J. Hochmuth, S.M. Olson, R.C Hochmuth, A.A. Csizinszky, and K.D. Shuler. 1997a. Potassium source and rate for polyethylene-mulched tomatoes. HortSci. 21(7):1204-1207.

Locascio, S.J., G.J. Hochmuth, F.M. Rhoads, S.M. Olson, A.G. Smajstrla, and E.A. Hanlon. 1997b. Nitrogen and potassium application scheduling effects on drip-irrigated tomato yield and leaf tissue analysis. HortSci. 32:230-235.

Locascio, S.J., S.M. Olson, F.M. Rhoads, C.D. Stanley, and A.A. Csizinszky. 1985. Water and fertilizer timing for trickle-irrigated tomatoes. Proc. Fla, State Hort. Soc. 102:307-309.

Locascio, S.J., S.M. Olson, F.M. Rhoads. 1989. Water quantity and time of N and K application for trickle-irrigated tomatoes. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 114:265-268.

Morard, P. & J. Silvestre. 1996. Plant injury due to oxygen deficiency in the root environment of soilless culture: a review. Plant and Soil 184:243-254.

Morgan, L. 2000. Are your plants suffocating? The importance of oxygen in hydroponics. The Growing Edge 12(6):50-54.

Muchtadi, T.R. 2006. Peningkatan Daya Saing Buah Melalui Riset dan Pengembangan Teknologi. Prosiding Lokakarya Nasional Manajemen Riset Buah-buahan. Kerjasama Ristek, Puslitbanghort dan PKBT, IPB. Bogor.

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 25

Page 26: Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Napitupulu, L . 2003. Pengaruh aplikasi pupuk daun dan sumber larutan hara terhadap pertumbuhan dan produksi selada (Lactuca sativa L.) dalam teknologi hidroponik sistem terapung (THST) tanaman selada. Skripsi. Departemen BDP, Faperta IPB

Nurfinayati. 2004. Pemanfaatan berulang larutan hara pada budidaya selada (Lactuca sativa) dalam teknologi hidroponik sistem terapung (THST). Skripsi. Departemen BDP, Faperta IPB

Pamujiningtyas, B.K. 2005. Pengaruh naungan dan pupuk daun terhadap pertumbuhan dan produksi selada (Lactuca sativa L. var. Minetto) dalam teknologi hidroponik sistem terapung (THST). Skripsi. Departemen BDP, Faperta IPB.

Phaisal, R. 2005. Pengaruh naungan dan pupuk daun terhadap pertumbuhan dan produksi seledri (Apium graveolens) dalam teknologi hidroponik sistem terapung (THST). Skripsi. Departemen BDP, Faperta IPB.

Pitss, D.J., and G.A. Clark. 1991. Comparison of drip irrigation to sub irrigation for tomato production in southwest Florida. Applied Eng. Agr. 7(2):177-184

Putri, U.T. 2004. Pemanfaatan berulang larutan hara pada budidaya beberapa sayuran daun dalam teknologi hidroponik sistem terapung (THST). Skripsi Departemen BDP, Faperta IPB

Resh, H. M. 1998. Hydroponic Food Production. Woodbridge Press Publ. Co. Santa Barbara. 527p.

Savage, A.D. 1985. Overview:Background, current situation, and future prospect, p.6 – 11. In: A.J. Savage (ed.). Hydroponics worldwide: State of the art in soiless crop production. Intl. Ctr. Special. Studies Inc. Honolulu, Hawaii.

Sesmininggar, A. 2006. Optimasi Konsentrasi Larutan Hara pada Budidaya Pakchoi (Brassica rapa L. cv. group Pak Choi) dengan Teknologi Hidroponik Sistem Terapung. Skripsi. Departemen BDP, Faperta IPB.

Susila, A.D. and S.J. Locascio. 2001. Sulfur Fertilization for Polyethylene-mulched Cabbage. Proc.Fla.State Hort. Soc. 114:318-322

Susila, A.D. 2003. Pengembangan teknologi hidroponik sistem terapung (THST) untuk menghasilkan sayuran daun berkualitas. Laporan Hibah Penelitian. Project DUE-like Batch III. Program Studi Hortikultura, Faperta, IPB.

Susila, A.D. dan Y. Koerniawati. 2005. Pengaruh volume dan jenis media tanam pada pertumbuhan dan hasil tanaman selada (Lactuca sativa L.) dalam teknologi hidroponik sistem terapung (THST). Buletin Agronomi. XXXII (3):16-21

Vos, J.G.M. , N. Sunarmi, S.U. Tinny, and R. Sutarya. 1991. Mulch trial with hor pepper in Subang (West Java) and Kramat (Central Java). ATA Project Report

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 26

Page 27: Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Wulan, E.R. 2006. Optimasi Konsentrasi Larutan Hara pada Budidaya Selada (Lactuca Sativa L. Var. Grand Rapid) dengan Teknologi Hidroponik Sistem Terapung. Skripsi. Departemen BDP, Faperta IPB.

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 27