fenomena sastra cyber: sebuah kemajuan atau … file3 fenomena sastra cyber di indonesia agaknya...

15
1 FENOMENA SASTRA CYBER: SEBUAH KEMAJUAN ATAU KEMUNDURAN? (PHENOMENON OF CYBER LITERATURE: A PROGRESS OR REGRESS?) 1 Hilda Septriani Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran E-mail: [email protected] Abstrak Tulisan ini ingin menyajikan perkembangan karya sastra yang dapat dianalisis dari berbagai aspek, salah satunya melalui medium penyebarannya. Karya sastra dikenal sebagai sebagai produk budaya yang telah melewati setiap zaman perkembangan umat manusia, dari zaman lisan (ketika cerita dan mitos disampaikan dari mulut ke mulut), zaman tulisan, tradisi cetak, dan saat ini di era informasi berbasis teknologi digital. Kemajuan teknologi yang begitu pesat memengaruhi perkembangan sastra untuk ikut menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat yang bergerak ke arah yang lebih modern. Kemunculan sastra cyber (ada juga yang menyebutnya sastra siber) di tahun 1990-an mampu membawa angin segar karena memungkinkan terbukanya informasi secara luas dan bebas. Sebagai media publikasi dan sarana berkreasi para penggiat sastra, keberadaan sastra cyber juga dianggap bersifat demokratis, ada yang menilainya sebagai kemajuan, namun juga tidak sedikit yang menganggapnya kemunduran. Adapun penelitian ini akan menggunakan studi kualitatif dengan menerapkan metode analisis deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan sastra cyber tidak terlepas dari refleksi dan cerminan dinamika sosial yang terjadi di masyarakat. Kata kunci : sastra cyber, teknologi, kemajuan, kemunduran Abstract This writing would like to present the development of literature that can be analyzed from various aspects, one of them through the medium of dissemination. Work of literature is known as a cultural product that has passed through every era of human development, from the time of spoken (when the stories and myths 1 Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional Sosiologi Sastra di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia pada tanggal 10-11 Oktober 2016.

Upload: nguyenquynh

Post on 22-Aug-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: FENOMENA SASTRA CYBER: SEBUAH KEMAJUAN ATAU … file3 Fenomena sastra cyber di Indonesia agaknya membutuhkan perhatian yang lebih besar lagi karena dipercaya dapat berkontribusi bagi

1

FENOMENA SASTRA CYBER: SEBUAH KEMAJUAN ATAU

KEMUNDURAN?

(PHENOMENON OF CYBER LITERATURE:

A PROGRESS OR REGRESS?)1

Hilda Septriani

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran

E-mail: [email protected]

Abstrak

Tulisan ini ingin menyajikan perkembangan karya sastra yang dapat dianalisis

dari berbagai aspek, salah satunya melalui medium penyebarannya. Karya sastra

dikenal sebagai sebagai produk budaya yang telah melewati setiap zaman

perkembangan umat manusia, dari zaman lisan (ketika cerita dan mitos

disampaikan dari mulut ke mulut), zaman tulisan, tradisi cetak, dan saat ini di era

informasi berbasis teknologi digital. Kemajuan teknologi yang begitu pesat

memengaruhi perkembangan sastra untuk ikut menyesuaikan diri dengan

perubahan masyarakat yang bergerak ke arah yang lebih modern. Kemunculan

sastra cyber (ada juga yang menyebutnya sastra siber) di tahun 1990-an mampu

membawa angin segar karena memungkinkan terbukanya informasi secara luas

dan bebas. Sebagai media publikasi dan sarana berkreasi para penggiat sastra,

keberadaan sastra cyber juga dianggap bersifat demokratis, ada yang menilainya

sebagai kemajuan, namun juga tidak sedikit yang menganggapnya kemunduran.

Adapun penelitian ini akan menggunakan studi kualitatif dengan menerapkan

metode analisis deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan

sastra cyber tidak terlepas dari refleksi dan cerminan dinamika sosial yang terjadi

di masyarakat.

Kata kunci : sastra cyber, teknologi, kemajuan, kemunduran

Abstract

This writing would like to present the development of literature that can be

analyzed from various aspects, one of them through the medium of dissemination.

Work of literature is known as a cultural product that has passed through every

era of human development, from the time of spoken (when the stories and myths

1 Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional Sosiologi Sastra di Fakultas Ilmu

Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia pada tanggal 10-11 Oktober 2016.

Page 2: FENOMENA SASTRA CYBER: SEBUAH KEMAJUAN ATAU … file3 Fenomena sastra cyber di Indonesia agaknya membutuhkan perhatian yang lebih besar lagi karena dipercaya dapat berkontribusi bagi

2

passed from mouth to mouth), the time of writing, printing, and now in the era of

information based digital technology. Rapid technological advances that affect

the development of literature to adjust the changes in society that are moving

towards a modern one. The appearance of cyber literature (some people called

Siber Literature) in the 1990s were able to bring fresh air because it allows

accessible information widely and freely. As a media for publications and place

for literary scholars, the existence of cyber literature is also considered to be

democratic, there is a vote as progress, but also not a few who consider it as a

regress. This study will use a qualitative study applying the method of descriptive

analysis. These results indicate that the presence of cyber literature can not be

separated from the reflection and it represents social dynamics that occur in the

society.

Keywords: cyber literature, technology, progress, regress

Pendahuluan

Karya sastra mengandung esensi dasar komunikasi yaitu penyampaian pesan (dari

sender ke receiver). Secara garis besar komunikasi tersebut dilakukan melalui: a)

interaksi sosial, b) aktivitas bahasa (lisan dan tulisan), dan c) mekanisme

teknologi (Ratna, 2007). Selain itu, karya sastra juga memungkinkan terjadinya

dialog kultural yang merupakan persemaian dari munculnya bentuk-bentuk

kebudayaan baru. Karya sastra sebagai sebuah seni (bermedium bahasa)

mempunyai kapasitas untuk menerobos tembok pemisah antarmanusia dan karya

sastra sebagai seni komunikasi yang memiliki kapasitas lebih besar untuk

memengaruhi manusia dan kebudayaannya.

Karya sastra berkaitan dengan kedudukannya sebagai produk kebudayaan

juga telah melewati setiap zaman perkembangan umat manusia, dari zaman lisan

(ketika cerita dan mitos disampaikan dari mulut ke mulut), zaman tulisan, tradisi

cetak, dan saat ini di era informasi berbasis teknologi digital yang sudah sangat

maju. Teknologi digital pun erat kaitannya dengan penyebaran laju internet yang

semakin berkembang pesat. Searah dengan perkembangan teknologi tersebut,

penulisan karya sastra pun mulai merambah ke dunia maya di mana ruang batas

teks menjadi bias karena sulit untuk dilacak lagi permulaannya.

Page 3: FENOMENA SASTRA CYBER: SEBUAH KEMAJUAN ATAU … file3 Fenomena sastra cyber di Indonesia agaknya membutuhkan perhatian yang lebih besar lagi karena dipercaya dapat berkontribusi bagi

3

Fenomena sastra cyber di Indonesia agaknya membutuhkan perhatian yang

lebih besar lagi karena dipercaya dapat berkontribusi bagi perkembangan

kesusastraan di Indonesia. Tidak hanya itu, keberadaan sastra cyber sendiri

dipercaya sebagai refleksi realitas dinamika masyarakat yang ada saat ini.

Masyarakat yang senantiasa bergerak ke arah yang lebih modern ikut memberikan

kontribusi bagi kemunculan sastra cyber dengan mengikuti pesatnya

perkembangan teknologi komputer dan internet yang ada. Namun yang perlu

digaris bawahi ialah ternyata tidak dapat dipungkiri keberadaan sastra cyber di

Indonesia menimbulkan polemik tersendiri yang cukup kompleks untuk dapat

dipertimbangkan bagi semua elemen masyarakat.

PEMBAHASAN

Istilah sastra cyber mulai populer memang baru beberapa dekade terakhir. Lebih

tepatnya pada saat budaya internet tumbuh berkecamuk di Indonesia. Endraswara

(2013: 182-183) memaparkan definisi sastra cyber bermula dari kata cybersastra

yang dapat dirunut dari asal katanya yakni cyber, yang dalam bahasa Inggris tidak

bisa berdiri sendiri, melainkan terjalin dengan kata lain seperti cyberspace,

cybernate dan cybernetics. Cyberspace berarti ruang (berkomputer) yang saling

terjalin membentuk budaya di kalangan mereka. Cybernate berarti pengendalian

proses menggunakan komputer. Cybernetics yakni mengacu pada sistem kendali

otomatis, baik dalam sistem komputer (elektronik) maupun jaringan syaraf. Dari

pengertian ini, dapat dikemukakan bahwa cybersastra atau sastra cyber adalah

aktivitas sastra yang memanfaatkan komputer atau internet.

Neuage dalam bukunya yang berjudul Influence of the World Wide Web on

Literature (1997) menyebutkan bahwa sastra cyber diperkirakan lahir untuk

pertama kalinya pada tahun 1990, namun baru semenjak tahun 1998 mulai

mencapai popularitasnya. Setelah itu, komunitas-komunitas sastra cyber banyak

bermunculan dengan memanfaatkan teknologi seperti situs, mailing list (milis),

forum, dan kini juga blog. Tidak hanya itu, berbagai macam situs dan fitur

jejaring sosial yang menawarkan publik mengembangkan kreativitas juga

memfasilitasinya melalui Wattpad, FanFiction, Twitlonger (perkembangan dari

Page 4: FENOMENA SASTRA CYBER: SEBUAH KEMAJUAN ATAU … file3 Fenomena sastra cyber di Indonesia agaknya membutuhkan perhatian yang lebih besar lagi karena dipercaya dapat berkontribusi bagi

4

Twitter), fitur catatan di Facebook, dan sebagainya. Internet seolah memberikan

iklim kebebasan yang hakiki, tanpa sensor. Semua boleh memajang karyanya dan

semua orang juga boleh mengapresiasinya dari berbagai penjuru di dunia.

Kebutuhan besar para penggiat sastra untuk berkarya dan memublikasikan

karyanya menemukan titik terang dengan adanya internet sebagai ruang sosialisasi

tanpa batas.

Selanjutnya perkembangan sastra cyber di Indonesia mulai dikenal oleh

khalayak di akhir tahun 1990-an dan ditandai dengan peluncuran buku antologi

puisi cyber berjudul Graffiti Gratitude pada tanggal 9 Mei 2001 di Puri Jaya,

Hotel Sahid, Jakarta yang digawangi oleh Sutan Ikwan Soekri Munaf, Nanang

Suryadi, Nunuk Suraja, Tulus Widjarnako, Cunong, dan Medy Loekito. Mereka

tergabung dalam satu yayasan yaitu Yayasan Multimedia Sastra (YMS).

Kemunculan buku tersebut menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat yang

bergelut di bidang sastra, bahkan peluncuran antologi ini sempat mengundang

kritikan, baik terhadap wujud bukunya maupun terhadap kualitas puisinya.

Namun hal itu tidak membuat Usman K.J Suharjo (2001) urung mengusulkan agar

hari peluncuran buku antologi puisi cyber tersebut diperingati sebagai hari Sastra

Cyber Indonesia.

Sebenarnya selain rilisnya buku tersebut, telah terbit pula Cyber Graffiti

(2001) yakni kumpulan esai dari para kritikus sastra yang direvisi menjadi Cyber

Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk (2004), kumpulan cerita pendek Graffiti Imaji

(2002). Kemudian ada juga menerbitkan dalam format CD Antologi Puisi Digital

Cyberpuitika (2002). Antologi Puisi Digital Cyberpuitika ini merupakan terbitan

Yayasan Multimedia Sastra juga yang diluncurkan pertama kali pada tanggal 3

Agustus 2002 di Lembaga Indoonesia-Perancis, Yogyakarta yang berisi 169 puisi

dari 55 penyair. Penerbitan antologi puisi dalam bentuk CD ditujukan sebagai

tanggapan atas protes penerbitan buku, demo alternatif media sastra, untuk

pengembangan sastra Indonesia dan pemersatu berbagai bidang seni dan seniman.

Page 5: FENOMENA SASTRA CYBER: SEBUAH KEMAJUAN ATAU … file3 Fenomena sastra cyber di Indonesia agaknya membutuhkan perhatian yang lebih besar lagi karena dipercaya dapat berkontribusi bagi

5

Alasan Penulis Tertarik pada Sastra Cyber

Sejak munculnya keberagaman bentuk-bentuk sastra cyber yang semakin

menjamur, anggapan sastra cyber dalam kancah kesusastraan Indonesia pun

ditanggapi dan diapresiasi secara berbeda-beda. Ada yang menanggapi secara

positif, namun juga tidak jarang yang melontarkan pendapat negatif. Selain

paparan yang telah disebutkan di atas, sejatinya ada beberapa alasan lain yang

membuat para penulis tertarik untuk terjun ke dunia sastra cyber. Pertama,

disinyalir penulis-penulis ingin mencari model baru kreativitas dan ingin

meninggalkan tradisi lama yang menjenuhkan. Mereka menganggap bahwa sastra

cyber adalah ladang baru yang menjanjikan. Kedua, di antara penulis tersebut ada

yang segera ingin mencari popularitas. Lewat dunia sastra cyber yang terbatas

komunitasnya, sebaliknya diri pengarang dapat mudah tersebar ke seluruh penjuru

dunia, nama mereka tak perlu harus melewati wisuda khusus karena dapat

terangkat dan segera terkenal ke seluruh jaringan cyber.

Ketiga, ada di antara mereka yang sekadar iseng bermain internet dan

ingin meloloskan diri dari penjara sastra koran. Mereka beranggapan bahwa sastra

koran dan buku terlalu hegemonik. Masing-masing penerbit memiliki strategi, ada

model KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) di dalamnya sehingga tak semua

karya penulis pemula bisa dimuat. Berangkat dari alasan tersebutlah, maka dunia

sastra cyber menjadi tawaran yang menarik (Endraswara, 2013: 183). Keempat,

latar belakang yang mendorong maraknya sastra cyber juga disebabkan sulitnya

menerobos dunia penerbitan di tengah persaingan ketat yang memenjarakan ide

kreatif para penulis pemula. Dengan menayangkan karya-karya tulis ke sebuah

situs sastra atau jejaring sosial, para penulis tersebut berharap mendapatkan

tanggapan positif dari masyarakat tanpa menunggu keputusan editor yang terlalu

lama. Selain itu pemanfaatan kemajuan teknologi juga menjadi faktor pendorong

tersendiri. Oleh karenanya, jika ditilik lebih jauh lagi, perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi dan implikasinya terhadap sastra cyber sebenarnya

juga turut berkontribusi dalam merefleksikan perubahan kondisi sosial yang

terjadi di masyarakat ke arah yang lebih modern dari sebelumnya.

Page 6: FENOMENA SASTRA CYBER: SEBUAH KEMAJUAN ATAU … file3 Fenomena sastra cyber di Indonesia agaknya membutuhkan perhatian yang lebih besar lagi karena dipercaya dapat berkontribusi bagi

6

Kendati begitu, tidak sedikit pula pandangan dan komentar yang

dilontarkan para pemerhati sastra terhadap kehadiran sastra cyber di Indonesia

kala itu. Seperti yang dikatakan oleh Ahmadun Yosi Herfanda (redaktur koran

Republika) dalam salah satu artikel yang dimuat dalam Republika dengan judul

”Puisi Cyber, Genre atau Tong Sampah”. Dalam artikel tersebut, Ahmadun

mengatakan bahwa sastra yang dituangkan melalui media cyber cenderung

hanyalah sebagai ”tong sampah.” Dikatakan demikian, karena menurutnya sastra

cyber merupakan karya-karya yang tidak tertampung atau ditolak oleh media

sastra cetak (Situmorang, 2001). Padahal sebenarnya lolos tidaknya sebuah karya

sastra dari tangan editor tidak menjamin bahwa sebuah karya memang berkualitas

dan sukses. Dan sebaliknya, tidak lolosnya sebuah karya bukan berarti karya itu

tidak berkualitas. Hal ini sudah dibuktikan oleh suksesnya buku Chicken Soup for

the Soul (CSFTS). Naskah buku CSFTS pernah ditolak oleh lebih dari 40 penerbit

besar, yang artinya juga lebih dari 40 editor menilai naskah itu tidak layak terbit.

Nyatanya, buku CSFTS menjadi international bestseller justru setelah diterbitkan

oleh penerbit kecil. Kisah tersebut menunjukkan bahwa karya yang tidak lolos

dari editor media cetak, bukan berarti bahwa karya itu hanya pantas masuk tong

sampah. Ihwal ini membuktikan bahwa yang membuat sebuah buku menjadi

karya sastra adalah pembacanya, bukan kritikus, editor atau profesor. Lalu siapa

yang membuat seorang penulis menjadi sastrawan? Jawabannya adalah pembaca.

Selama karya sastra penulis masih dinikmati, dibaca, didiskusikan dari waktu ke

waktu, maka karya sastra itu telah menjadi karya sastra dan penulisnya menjadi

sastrawan. Yang perlu disadari adalah bahwa karya sastra yang diciptakan oleh

sastrawan sejatinya berasal dari proses interaksi sosial antara pegiat sastra dengan

orang-orang yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, keberadaan sastra cyber juga

akan melibatkan konstruksi masyarakat yang tengah terjadi beserta isu

permasalahan yang melengkapinya.

Pendapat lain mengenai sastra cyber juga pernah dikemukakan oleh Asep

Sambodja (Situmorang, 2004: 239) yang menyatakan bahwa meskipun sastra

cyber dicap sebagai ”Anak Haram”, ataupun ”Tong Sampah” dalam sastra

Indonesia, sastra cyber tetap memiliki hak hidup yang sama dengan sastra lainnya.

Page 7: FENOMENA SASTRA CYBER: SEBUAH KEMAJUAN ATAU … file3 Fenomena sastra cyber di Indonesia agaknya membutuhkan perhatian yang lebih besar lagi karena dipercaya dapat berkontribusi bagi

7

Seperti kata pepatah “without parents, a child can grow up”. Dikatakan demikian

karena kehidupan sastra Indonesia nyatanya masih terbelenggu dalam kanonisasi,

masih tergantung pada kata pemegang otoritas. Pemegang otoritas sastra

Indonesia pertama di Indonesia adalah pemerintah kolonial Belanda yang pada

awalnya membentuk Komisi Bacaan Rakyat yang kemudian diubah namanya

menjadi Balai Pustaka. Balai Pustaka sebagai milik Belanda dan sebagai

pemegang otoritas berjalan dalam kurun yang cukup lama yaitu hampir satu abad

sejak tahun 1900. Beliau juga mengatakan bahwa apa yang terjadi pada masa

Balai Pustaka kini dialami oleh sastrawan generasi cyber. Karya-karya mereka

yang dimuat melalui internet hanya dianggap sebagai karya yang instan.

Perdebatan-perdebatan seperti itu memang tidak dapat dipungkiri karena

kehadiran sastra cyber yang seperti dua sisi mata pisau yang bergantung dari

perspektif mana kita akan menilainya.

Meskipun seperti itu, peran sastra cyber dalam khasanah kesusastraan

Indonesia tidak dapat dipandang sebelah mata yakni sebagai media publikasi dan

sarana berkreasi untuk mampu melahirkan karya sesuai dengan perubahan

masyarakat pada saat itu, bahkan terkadang peranan ini menjadi karakteristik

tersendiri yang tidak dimiliki oleh sastra dalam bentuk media cetak. Dinamika

sosial yang berkembang di masyarakat disinyalir memengaruhi laju sastra cyber

dengan cukup pesat. Walaupun begitu tidak dapat diingkari perbandingan–

perbandingan antara sastra cyber dengan sastra yang diterbitkan melalui media

cetak juga mendapat sorotan yang cukup signifikan. Sastra yang diterbitkan

melalui media cetak (sastra koran/majalah) dikatakan lebih bermutu daripada

sastra yang diterbitkan melalui media elektronik (sastra cyber). Hal ini disebabkan

sastra koran hadir di hadapan pembaca melalui prosedur dan seleksi yang ketat,

sedangkan sastra cyber sebaliknya. Sastra cyber hadir tanpa prosedur yang ketat.

Oleh karena itu, siapa pun dapat memublikasikan karya-karyanya secara leluasa

untuk dinikmati oleh siapa saja dari belahan dunia mana pun tanpa memandang

apakah dia seorang yang sudah dikenal atau seseorang yang namanya belum

dikenal. Kondisi ini tentu saja menimbulkan kegeraman bagi sebagian sastrawan

yang sudah senior dan mapan, namun sebenarnya kegeraman mereka tidak perlu

Page 8: FENOMENA SASTRA CYBER: SEBUAH KEMAJUAN ATAU … file3 Fenomena sastra cyber di Indonesia agaknya membutuhkan perhatian yang lebih besar lagi karena dipercaya dapat berkontribusi bagi

8

terjadi jika mereka bisa bersikap bijaksana dan merangkul para penulis sastra

cyber. Hal ini disebabkan karena perkembangan teknologi pun tidak bisa

dihindari, begitu juga sastra cyber yang lahir melaluinya. Ia sudah terlanjur lahir,

meskipun kelahirannya tidak disambut gembira oleh sebagian pelaku dan

pemerhati sastra.

Namun, sastra cyber juga memiliki kekhasan tersendiri di sisi lain yakni

reproduksi teks sastra di internet yang tidak dapat dikendalikan oleh kekuasaan

manapun. Tidak pula dihegemoni oleh kepentingan-kepentingan ekonomis

maupun politis yang ditetapkan oleh pihak penerbit yang menetapkan kriteria-

kriteria suatu karya yang layak cetak. Model sastra cyber juga sudah menjebol

sistem hegemoni “penguasa sastra koran” sehingga patut diperhitungkan

keberadaannya. Selain itu, karya sastra cyber tidak lagi menghadapi kendala

seperti jurang pemisah antara penulis dengan pembacanya yang dikuasai oleh

pihak penerbit sudah tidak ada lagi. Penulis dan pembaca hanya dipisahkan per

mouse click oleh layar komputer. Pembaca juga dapat secara langsung

mengomentari karya tersebut dan penulis mendapatkan masukan saat itu juga.

Tidak hanya itu, keunggulan sastra cyber dibandingkan dengan media lain juga

sebenarnya sudah disadari oleh beberapa peneliti sastra, seperti Melani Budianta,

dkk (2002: 24) yang menyatakan bahwa semua pihak yang terkait dengan

reproduksi dan produksi sastra akan sangat menentukan perkembangan sastra.

Terutama, jika lembaga penerbit sastra cetak yang mengayomi sastra akan

berpengaruh terhadap kondisi kesastraan. Pihak-pihak seperti penerbit, jelas dapat

membuat hambatan untuk mengekang atau menyensor karya sastra yang dianggap

kurang bagus dan tidak sesuai dengan norma yang dianut masyarakat tertentu

(ideologi). Atas dasar ini, dunia sastra cyber sangat mungkin menjadi sebuah

terobosan baru bagi para penulis agar tidak terbebani oleh sistem dalam berkarya.

Hal ini berdasar karena karya sastra pada hakikatnya bukan saja milik individu

penciptanya, akan tetapi juga milik masyarakat yang menjadi refleksi di

dalamnya.

Dilihat dari sisi lain, persaingan ketat dalam dunia cyber sebenarnya juga

tidak dapat terelakkan. Semakin banyak publik yang menikmati teknologi dan

Page 9: FENOMENA SASTRA CYBER: SEBUAH KEMAJUAN ATAU … file3 Fenomena sastra cyber di Indonesia agaknya membutuhkan perhatian yang lebih besar lagi karena dipercaya dapat berkontribusi bagi

9

internet, semakin banyak pula peminat sastra cyber. Seperti di media lain, dalam

dunia cyber juga terdapat seleksi alam di mana hanya karya berkualitas yang

dapat bertahan lama, sementara sisanya akan terbuang ke jurang. Perkelahian

yang teramat anggun di dunia cyber itu tidak mudah karena setiap saat orang bisa

memuji maupun memaki. Bila pada media cetak sebuah karya disaring oleh

seorang redaktur, maka pada dunia cyber pembaca dari berbagai pelosok dunia

akan menjadi redaktur yang menilai kualitas sebuah karya tersebut.

Dari sudut logika maupun estetika, sastra cyber sebenarnya sungguh

berbeda dengan sastra di media lain. Contohnya di media cetak, sebuah karya

dinilai terlebih dulu baru sampai ke pembaca, sementara pada media cyber karya

sampai dulu ke pembaca baru kemudian dinilai. Logika dalam dunia cyber

menciptakan keleluasaan lebih bagi para pembaca. Jika di media cetak, selera

pembaca ditentukan oleh redaktur (karena redaktur yang memutuskan karya apa

yang akan dimuat), maka pada media cyber pembaca bebas menentukan

seleranya. Di dunia cyber pembaca dari seluruh pelosok negeri benar-benar

memiliki kekuatan dan kebebasan mutlak untuk memilih dan menilai suatu karya

sastra yang ada di dunia cyber kapanpun dan di manapun.

Tidak hanya kebebasan, dunia cyber juga menawarkan kelebihan berupa

jangkauan yang sangat luas sehingga dapat ikut membantu memperkenalkan

sastra Indonesia ke seluruh penjuru dunia. Jika melalui koran, sebuah karya hanya

bisa diakses sampai negara tetangga atau negara yang terdapat kedutaan

Indonesia, maka untuk media cyber jarak tidak lagi menjadi hambatan dan

rintangan. Oleh karena itu, proses komunikasi dan interaksi sosial yang terjalin

juga semakin luas. Kondisi suatu masyarakat di tempat tertentu yang

direpresentasikan dalam karya sastra dapat diketahui oleh individu-individu lain

meskipun terbentang jarak sangat jauh.

Tak dapat dipungkiri kelebihan-kelebihan tersebut yang kemudian

memikat para penggiat sastra untuk memanfaatkan dunia cyber sebagai media

ekspresif. Akan tetapi, sastra cyber juga mempunyai sisi kekurangan tersendiri

jika dibandingkan dengan laju perkembangan dunia cyber di negara lain seperti

Amerika yang sudah mengalami kemajuan dengan pesat. Dunia cyber di

Page 10: FENOMENA SASTRA CYBER: SEBUAH KEMAJUAN ATAU … file3 Fenomena sastra cyber di Indonesia agaknya membutuhkan perhatian yang lebih besar lagi karena dipercaya dapat berkontribusi bagi

10

Indonesia, khususnya sastra memang tertinggal cukup jauh. Ketertinggalan itu tak

lepas dari faktor penguasaan teknologi di Indonesia yang masih rendah. Jaringan

internet belum menjangkau seluruh pelosok negeri, bahkan komputer pun menjadi

peranti yang belum dikuasai oleh semua elemen masyarakat sehingga ada pula

keterbatasan dari sisi penggunanya untuk mengakses kemajuan teknologi yang

sudah sangat berkembang seperti sekarang ini. Berkaca dari hal tersebut, bentuk

sastra apapun medianya selayaknya perlu mendapat perlakuan yang sama dari

pemerhati dan kritikus sastra. Tidak perlu lagi ada ”penganaktirian” terhadap

karya sastra karena hal ini hanya akan menimbulkan polemik yang

berkepanjangan. Tindakan yang perlu dilakukan saat ini adalah sejatinya

memperlakukan jenis karya sastra apapun secara adil. Hal ini didasari karena

setiap karya sastra memiliki penikmat yang mempunyai selera berbeda-beda.

Kolaborasi menjadi sesuatu yang tampaknya tidak dapat dihindari di era

digital seperti sekarang ini, termasuk mengombinasikan sastra konvensional

dengan teknologi sehingga muncul varian sastra yang baru seperti sastra cyber

saat ini. Kemudian akan dipaparkan secara garis besar mengenai apa yang

dianggap kelemahan dan kelebihan yang selama ini melekat pada sastra cyber itu

sendiri.

Yang Dianggap Lemah

Kehadiran sastra cyber di Indonesia memang dapat dikatakan tergolong

muda, hal ini tentu saja dipengaruhi oleh maraknya penggunaan teknologi internet

yang saat itu tengah menjamur. Fenomena itu pun terkait juga dengan beberapa

faktor pemantik yang mendasarinya seperti sulitnya mendapatkan pengakuan

sebagai seorang penulis jika karyanya belum pernah terbit di koran atau bahkan

belum pernah menulis sebuah buku yang dilirik oleh penerbit manapun. Faruk

(2001) dalam esainya yang berjudul Cybersastra: Penjelajahan Awal terhadap

Sastra di Internet menyatakan terdapat semacam anggapan bahwa sastra di

internet dapat disebut sebagai sastra yang masih prematur, belum selesai, belum

final dan belum menjadi satu kesatuan. Eksistensinya baru final, sempurna dan

Page 11: FENOMENA SASTRA CYBER: SEBUAH KEMAJUAN ATAU … file3 Fenomena sastra cyber di Indonesia agaknya membutuhkan perhatian yang lebih besar lagi karena dipercaya dapat berkontribusi bagi

11

utuh setelah terbentuk menjadi buku: kumpulan puisi, kumpulan cerpen,

kumpulan episode dalam cerita bersambung dan sebagainya. Selain itu, ada juga

dugaan yang menggeneralisasikan bahwa seorang penulis harus menulis di media

cetak (koran), padahal dominasi sastra koran menimbulkan suatu permasalahan

tersendiri karena dikuasai oleh redaktur, kritikus dan sastrawan senior. Sastrawan

konvensional seolah tak mau berbagi singgasananya di media cetak dengan para

penulis baru karena dianggap tidak sebanding dengan mereka dan menganggap

sastra cyber adalah pelariannya.

Sutardji Calzoum Bachri adalah orang yang cukup keras mengkritik

kemunculan sastra cyber dengan mempertanyakan mutu sastra cyber dan

legitimasi sastrawan cyber karena belum jelas produktivitas mereka. Kualitas

karya sastrawan cyber menjadi pertanyaan karena tidak adanya sistem seleksi

ketat di internet, sebagaimana dilakukan oleh para editor sastra di media cetak

sehingga seolah-olah dunia cyber hanya menjadi semacam “tong sampah” (istilah

Ahmadun Y Herfanda). Selain itu, ada juga kekhwatiran akan anarkisme puitik

sastra internet sebab karya dari yang paling sufi hingga yang paling vulgar

sekalipun bisa hadir dengan bebas. Padahal jika saja sastrawan yang sibuk

mengeksistensikan dirinya tersebut menyadari bahwa di media cyber, sastrawan

mengomunikasikan karyanya langsung kepada pembaca dan pembaca diberi

kepercayaan penuh untuk menilai tanpa perantara. Apakah pembaca lebih tertarik

untuk membaca sebuah karya sastra yang sufi atau vulgar sekalipun adalah

haknya untuk menilai dan memutuskan mana yang layak ia baca atau ia ingin

lewati. Hal ini merupakan implikasi dalam menikmati sebuah karya sastra adalah

sesuatu yang bersifat personal, tidak bisa diwakili oleh seorang redaktur atau

bahkan seorang kritikus sastra. Hak pembaca ini telah lama direbut oleh redaktur

sastra konvensional (media cetak). Padahal kehidupan yang terus bergerak ke arah

yang lebih maju akan mengonstruksikan pemikiran manusianya untuk semakin

kritis dalam memilih bahan bacaannya masing-masing.

Selain itu, anggapan sisi kelemahan lain yang dimiliki oleh sastra cyber

yaitu karena karya sastra Indonesia nantinya akan semakin menjamur sehingga

karya sastra semakin miskin kritik. Pada akhirnya karya sastra Indonesia hanya

Page 12: FENOMENA SASTRA CYBER: SEBUAH KEMAJUAN ATAU … file3 Fenomena sastra cyber di Indonesia agaknya membutuhkan perhatian yang lebih besar lagi karena dipercaya dapat berkontribusi bagi

12

untuk diciptakan, tetapi sulit untuk menunjukkan capaian-capaiannya sebagai

representasi dari realitas sosial. Hal ini telah mengarah pada indikasi

ketidakjelasan pertanggungjawaban sastrawan. Perihal dugaan kelemahan lain

yang juga terdengar adalah seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Al-

Fayyadi (2001: 170) bahwa penulis yang berkecimpung dalam sastra cyber adalah

penulis yang sedang main-main dan coba-coba dan menjadikan sastra cyber

sebagai modus operandi karena sulitnya menghalau tembok sastra koran atau

penerbitan. Ia juga berpendapat keberadaan sastra cyber hanya mereduksi sastra

sebatas pada hiburan dan entertainment belaka. Padahal sastra dipandang sebagai

hidden message yang membawa sekaligus menyiratkan pesan substansi untuk

memajukan peradaban umat manusia. Selain itu, permasalahan mengenai “hak

cipta” dan “massalisasi” juga memudahkan lahirnya plagiator dengan sistem

copy-paste yang bukan hanya pengikut atau terpengaruh paham tertentu.

Sastra cyber di sisi lain juga sebenarnya tidak bebas dari keterbatasan

sebagai akibat ketergantungannya pada jasa internet dan tersedianya komputer.

Bagi sebagian masyarakat Indonesia, internet dan komputer masih merupakan

barang mewah karena tidak semua daerah dapat mengaksesnya dengan leluasa.

Kondisi ini yang menyebabkan sastra cyber dapat menjadi elitis, yang mungkin

akan membatasi perkembangan sastra cyber di Indonesia. Tidak semua orang

yang berasal dari daerah-daerah di pedalaman mampu mengaksesnya dengan

mudah. Perkembangan sastra cyber juga harus mengalami keterbatasan karena

tidak meratanya kemajuan teknologi dan kemampuan individu yang bersangkutan

dalam suatu kumpulan masyarakat tertentu. Pada akhirnya, keadaan sosial dan

tolak ukur kemajuan masyarakat dapat juga memengaruhi laju sastra cyber secara

signifikan.

Yang Dianggap Lebih

Dengan keberadaan sastra cyber, rasa pesimis dan putus asa yang

menyelimuti diri para penulis yang namanya belum dikokohkan dalam buku sastra

terbitan manapun lambat laun memudar sebab dunia maya mampu menjadi wadah

Page 13: FENOMENA SASTRA CYBER: SEBUAH KEMAJUAN ATAU … file3 Fenomena sastra cyber di Indonesia agaknya membutuhkan perhatian yang lebih besar lagi karena dipercaya dapat berkontribusi bagi

13

untuk terus menghasilkan karya yang merupakan hasil dari kreativitas para

penggiat sastra seperti mereka. Hal-hal serupa nyatanya membuat keberadaan

sastra cyber semakin diakui dan tidak dipandang sebelah mata lagi jika

disandingkan dengan sastra cetak karena sebenarnya keduanya adalah medium

yang berbeda. Terkait dengan medianya, sastra cyber sejatinya memiliki

keunggulan yang tidak dimiliki oleh sastra cetak.

Pertama, dalam sastra cyber, sebuah karya dapat menyebar ke berbagai

penjuru dunia hanya dalam hitungan detik dan sastra cyber menjadi ajang

publikasi yang murah dan mudah. Biaya yang dikeluarkan juga relatif terjangkau.

Kedua, seorang penulis yang memiliki homepage pribadi dapat memajang

karyanya kapan saja ia kehendaki, tanpa menunggu persetujuan editor

sebagaimana dialami sastra cetak. Oleh karenanya, sastra cyber bersifat

demokratis dan secara tidak langsung, sastra cyber juga telah berperan melahirkan

penulis-penulis baru. Ketiga, media cyber membuka ruang yang luas bagi

tumbuhnya sastra alternatif yang ”memberontak” terhadap kemapanan – terhadap

estetika yang lazim—dan bukan hanya menjadi media duplikasi dari tradisi sastra

cetak. Sebab di sanalah tempat bagi semangat dan kebebasan kreativitas, bahkan

yang selama ini tidak mendapat tempat selayaknya di media sastra cetak, baik di

rubrik sastra koran, majalah sastra, maupun antologi sastra karena keterbatasan

waktu dan ruang yang dimiliki oleh media cetak.

Keempat, selain menyediakan ruang terbuka bagi kebebasan estetik dan

tematik, media cyber juga membuka berbagai alternatif penyajian karya sastra.

Misalnya, tayangan puisi yang dapat diiringi oleh latar suara, musik dan grafis

yang indah. Hal ini akan membuat karya sastra dapat tersaji secara menarik,

atraktif dan sensasional yang disertai dengan kesediaan untuk memberi ruang

bebas bagi kreativitas dan dapat menjadi langkah awal bagi perkembangan tradisi

sastra cyber tersebut.

Kelima, kemunculan sastra cyber juga ikut menunjang pelestarian

lingkungan hidup. Membaca karangan sastra dari media cetak, berarti ikut

mengonsumsi kertas. Hadirnya kertas itu adalah hasil penebangan kayu dari

hutan. Makin banyak kertas dikonsumsi, makin banyak kayu ditebangi dari hutan

Page 14: FENOMENA SASTRA CYBER: SEBUAH KEMAJUAN ATAU … file3 Fenomena sastra cyber di Indonesia agaknya membutuhkan perhatian yang lebih besar lagi karena dipercaya dapat berkontribusi bagi

14

dan semakin gundul pula hutan tersebut. Lain halnya dengan media yang

dimanfaatkan oleh sastra cyber yakni komputer, hard disk, flash disk, email dan

sebagainya. Semuanya itu dalam bentuk elektronik sehingga dapat menekan

drastis penggunaan kertas. Keenam, sastra cyber dipercaya akan tumbuh menjadi

industri raksasa sebagaimana sastra cetak saat ini. Sebab, bisnis sastra cyber

menguntungkan semua pihak yang terlibat yakni mulai dari penulis, pembaca dan

penyandang dana (penerbit) yang semuanya mendapatkan kemudahan.

SIMPULAN

Kehadiran sastra cyber memang membawa keunikan tersendiri dalam khazanah

kesusastraan Indonesia maupun dunia karena melalui mediumnya yang dianggap

baru, ia tumbuh sebagai implikasi dari perkembangan zaman yang semakin

modern. Selain itu, sastra cyber juga dianggap menjadi jalan untuk merespons

dinamika kehidupan sosial yang terjadi di masyarakat dengan segenap isu dan

permasalahan yang melingkupinya. Kemunculan sastra cyber di tengah-tengah

perkembangan dunia sastra memang menimbulkan pendapat yang tidak homogen

karena pada realitasnya ada beragam penilaian yang menanggapi fenomena sastra

cyber tersebut. Namun sebenarnya tidak dapat dipungkiri bahwa dengan adanya

sastra cyber, para penulis pemula dan tentu saja pembaca diberikan kebebasan

yang seluas-luasnya untuk menulis dan membaca karya sastra yang mereka sukai.

Oleh karena itu, perselisihan antara sastrawan senior yang mempertanyakan mutu

sastra cyber seharusnya dapat dijawab dengan kemauan untuk merangkul dan

mengayomi para penggiat sastra cyber tersebut secara adil dan bijaksana.

Page 15: FENOMENA SASTRA CYBER: SEBUAH KEMAJUAN ATAU … file3 Fenomena sastra cyber di Indonesia agaknya membutuhkan perhatian yang lebih besar lagi karena dipercaya dapat berkontribusi bagi

15

DAFTAR PUSTAKA

Budianta, Melani, dkk. 2002. Membaca Sastra; Pengantar Memahami Sastra

untuk Perguruan Tinggi. Magelang: Tera.

Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra, Epistemologi, Model,

Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: CAPS (Center for Academic Publishing

Service).

Herfanda, Ahmadun Yosi. 2004. “Puisi Cyber, Genre atau Tong Sampah” dalam

Situmorang, Saut (Ed) Cyber Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk, Edisi

Revisi. Yogyakarta: Jendela.

Loekito, Medy. 2004. “”Cyber Puitika” dan sekitarnya” dalam Situmorang, Saut

(Ed). Cyber Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk, Edisi Revisi. Yogyakarta:

Jendela.

Neuage, Terrel. 1997. Influence of the World Wide Web on literature. Victoria:

Deakin University Press.

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sambodja, Asep. 2004. “Orang Tua sebagai Sisyphus: Kasus Pelecehan terhadap

Sastrawan Generasi Cyber” dalam Situmorang, Saut (Ed) Cyber Graffiti:

Polemik Sastra Cyberpunk, Edisi Revisi. Yogyakarta: Jendela.

Situmorang, Saut (Ed.). 2001. Cyber Graffiti (Kumpulan Esei). Bandung: Penerbit

Angkasa Bandung.