fenomena kato nan ampek

3
FENOMENA KATO NAN AMPEK Oleh: Toni Kurniawan (UPBM 2014) Dalam budaya Minangkabau dikenal yang namanya kato nan ampek. Kato nan ampek adalah, tata cara berbicara menurut segmentasi umur yang disertai dengan rasa saling menghargai dan menghormati satu sama lain, baik kepada orang yang lebih tua, orang yang lebih kecil, maupun kepada orang yang sebaya. Dimana, kita berbicara tergantung pada siapa, dan dalam kondisi yang bagaimana.. Kato nan ampek terdiri dari, kato mandaki, kato mandata, kato malereng, dan kato manurun. Kato mandaki dipakai oleh seseorang untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tua. Kato mandata dipakai oleh seseorang untuk berkomunikasi dengan orang yang seumuran/ sebaya. Kato malereng dipakai untuk berkomunikasi dari sumando ke mamak rumah dan sebaliknya sedangkan kato manurun digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih kecil. Kato nan ampek bukanlah sekedar budaya, namun juga sebuah filasafat atau pandangan hidup masyarakat Minangkabau dalam tata aturan berbicara, dan bertutur kata dalam kehidupan sehari-hari. Kato nan ampek tidak hanya diterapkan pada saat kita berkomunikasi dengan orang lain, tetapi juga harus kita terapkan dalam bertingkah laku dan juga di laksanakan dalam perbuatan yang baik. Seiring dengan perkembangan zaman, kato nan ampek mulai mengalami pergeseran, perubahan, bahkan budaya tersebut juga bisa memudar/ luntur, dan biasa di gantikan oleh kebudayaan lain yang belum tentu sesuai dengan filsafah dan pandangan hidup masyarakat Minangkabau dalam tata aturan berbicara atau berkomunikasi dengan orang lain. Penyebab lunturnya budaya kato nan ampek adalah disebabkan oleh, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan ilmu pengetahuan tersebut membuat orang-orang dengan sangat mudah mendapatkan informasi,

Upload: syaiful-yazan

Post on 21-Sep-2015

242 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

diskusi kato nan ampek

TRANSCRIPT

  • FENOMENA KATO NAN AMPEK

    Oleh: Toni Kurniawan (UPBM 2014)

    Dalam budaya Minangkabau dikenal yang namanya kato nan ampek. Kato

    nan ampek adalah, tata cara berbicara menurut segmentasi umur yang disertai

    dengan rasa saling menghargai dan menghormati satu sama lain, baik kepada

    orang yang lebih tua, orang yang lebih kecil, maupun kepada orang yang sebaya.

    Dimana, kita berbicara tergantung pada siapa, dan dalam kondisi yang

    bagaimana..

    Kato nan ampek terdiri dari, kato mandaki, kato mandata, kato malereng,

    dan kato manurun. Kato mandaki dipakai oleh seseorang untuk berkomunikasi

    dengan orang yang lebih tua. Kato mandata dipakai oleh seseorang untuk

    berkomunikasi dengan orang yang seumuran/ sebaya. Kato malereng dipakai

    untuk berkomunikasi dari sumando ke mamak rumah dan sebaliknya sedangkan

    kato manurun digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih kecil.

    Kato nan ampek bukanlah sekedar budaya, namun juga sebuah filasafat

    atau pandangan hidup masyarakat Minangkabau dalam tata aturan berbicara, dan

    bertutur kata dalam kehidupan sehari-hari. Kato nan ampek tidak hanya

    diterapkan pada saat kita berkomunikasi dengan orang lain, tetapi juga harus kita

    terapkan dalam bertingkah laku dan juga di laksanakan dalam perbuatan yang

    baik.

    Seiring dengan perkembangan zaman, kato nan ampek mulai mengalami

    pergeseran, perubahan, bahkan budaya tersebut juga bisa memudar/ luntur, dan

    biasa di gantikan oleh kebudayaan lain yang belum tentu sesuai dengan filsafah

    dan pandangan hidup masyarakat Minangkabau dalam tata aturan berbicara atau

    berkomunikasi dengan orang lain.

    Penyebab lunturnya budaya kato nan ampek adalah disebabkan oleh,

    perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan ilmu pengetahuan

    tersebut membuat orang-orang dengan sangat mudah mendapatkan informasi,

  • baik dari dalam maupun dari luar Negeri. Dengan kemudahan informasi tersebut,

    orang-orang terutama generasi muda dengan sangat gampang menyerap berbagai

    informasi, ilmu pengetahuan dan kebudayaan masyarakat luar.

    Kemudahaan akses informasi membuat orang-orang dapat melihat,

    mendengar, dan merasakan apa yang ada di dunia luar. Secara sadar maupun tidak

    sadar orang tersebut secara otomatis meniru apa yang ia lihat dan apa yang ia

    rasakan sehingga orang akan mempelajari budaya asing dan meninggalkan

    budayanya sendiri dan menggantinya dengan kebudayaan lain. Lebih tepatnya

    yaitu imitasi/ peniruan dalam bentuk-bentuk kebudayaan asing. Contohnya

    seperti, seseorang meninggalkan budaya kato nan ampek dan menggantikannya

    dengan budaya barat yang cara berkomunikasinya kepada orang lain hanya

    memanggil nama, berbeda dengan budaya minang yang berkomunikasi dengan

    memanggil orang yang lebih tua dengan sebutan uda, uni, bapak dan sebagainya.

    Dilihat dari pengertiannya sendiri, menurut Koentjaraningrat, guru besar

    Antropologi di Universistas Indonesia: Kebudayaan adalah keseluruhan sistem,

    gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat

    yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar. Dilihat dari pengertian

    tersebut, dapat kita simpulkan bahwa perubahan cara berfikir/ belajarnya manusia

    dapat membuat budaya tersebut berubah seiring berkembangnya nalar manusia,

    dan juga tidak dapat dipungkiri bahwa kebudayaan itu selalu berubah mengikuti

    perubahan lingkungan di sekelilingnya.

    Selain itu, hal lain yang menyebabkan lunturnya budaya kato nan ampek

    adalah karena tidak adanya aturan yang mengikat bagi orang yang melakukan

    pelanggaran terhadap kato nan ampek tersebut. Biasanya, pelanggaran terhadap

    kato nan ampek hanya diberikan teguran bagi si pelaku yang sifatnya tidak

    mengikat. Apabila tidak ada aturan yang mengikat maka, pelanggaran terhadap

    tata aturan tersebut sangat mudah terjadi.

    Dari uraian di atas kita memerlukan solusi supaya budaya kato nan ampek

    tetap bertahan. Karena, budaya kato nan ampek bukan hanya budaya tetapi, juga

  • merupakan sebuah filsafah atau pandangan hidup masyarakat Minangkabau dan

    merupakan warisan leluhur yang harus kita jaga dan harus kita lestarikan.

    Salah satu caranya dimulai dari diri sendiri yaitu, rasa bangga memiliki

    budaya kato nan ampek dan juga bangga terhadap budaya alam Minangkabau.

    Apabila seseorang telah memiliki rasa bangga terhadap kebudayaannya maka,

    orang tersebut akan menerapkan budaya kato nan ampek tersebut dalam

    kehidupan sehari-hari dan akan melahirkan rasa cinta dan kasih sayang terhadap

    budaya tersebut. Sehingga, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

    teknologi karena Globalisasi serta perkembangan zaman budaya kato nan ampek

    dan budaya alam minangkabau dapat bertahan dan tetap lestari.

    Rasa bangga dan cinta terhadap kebudayaan sendiri bukan berarti

    menganggap budaya kita yang paling baik di antara sekian banyak budaya yang

    ada di Indonesia atau yang di sebut dengan sikap etnosentrisme. Karena, sikap

    menganggap budaya sendiri lebih baik dari budaya lain ( sikap etnosentrisme )

    akan menimulkan konflik di tengah-tengah masyarakat Indonesia sebagai

    masyarakat multikultural yang memiliki ragam budaya, suku bangsa, dan agama.

    Karena, sikap etnosentrisme tersebut dilandasi dengan silap ego yang tinggi.