farmakodinamik dan interaksi obat

5
DK II Pemicu 2 / Modul Biologi Molekular 2010 – LTM: Farmakodinamik dan Respons Tubuh terhadap Obat 1 Farmakodinamik dan Respons Tubuh terhadap Obat untuk Diskusi Kelompok II Pemicu II: Kamis, 1 April 2010 oleh Evan Regar, 0906508024 Pengantar Farmakodinamik Farmakodinamik ialah salah satu subdisiplin farmakologi yang mempelajari tentang efek biokimiawi dan fisiologi obat, serta mekanisme kerjanya. 1 Dengan memahami farmakologi diharapkan diketahui bagaimana interaksi obat dengan sel dan bagaimana efek dan respons yang terjadi. Mekanisme Kerja Obat Mekanisme kerja obat pada umumnya melalui interaksi dengan reseptor pada sel organisme. Reseptor obat pada umumnya merupakan suatu makromolekul fungsional, yang pada umumnya juga bekerja sebagai suatu reseptor fisiologis bagi ligan-ligan endogen (semisal: hormon dan neurtransmiter). Interaksi obat dengan reseptor pada tubuh dapat mengubah kecepatan kegiatan fisiologis, namun tidak dapat menimbulkan fungsi faali yang baru. Terdapat bermacam-macam reseptor dalam tubuh kita, misalnya reseptor hormon, faktor pertumbuhan, faktor transkripsi, neurotransmitter, enzim metabolik dan regulator (seperti dihidrofolat reduktase, asetilkolinesterase). Namun demikian, reseptor untuk obat pada umumnya merupakan reseptor yang berfungsi bagi ligan endogen (hormon dan neurotransmitter). 2 Reseptor bagi ligan endogen seperti ini pada umumnya sangat spesifik (hanya mengenali satu struktur tertentu sebagai ligan). Obat-obatan yang berinteraksi dengan reseptor fisiologis dan melakukan efek regulator seperti sinyal endogen ini dinamakan agonis Ada obat yang juga berikatan dengan reseptor fisioloigs namun tanpa menghasilkan efek regulator dan menghambat kerja agonis (terjadi persaingan untuk menduduki situs agonis) disebut dengan istilah antagonis, atau disebut juga dengan bloker. Obat yang berikatan dengan reseptor dan hanya menimbulkan efek agonis sebagian tanpa memedulikan jumlah dan konsentrasi substrat disebut agonis parsial. Obat agonis-parsial bermanfaat untuk mengurangi efek maksimal agonis penuh, oleh karena itu disebut pula dengan istilah antagonis parsial Sebaliknya, obat yang menempel dengan reseptor fisiologik dan justru menghasilkan efek berlawanan dengan agonis disebut agonis negatif. Pembagian reseptor fisiologik adalah 1,2 : i. Reseptor enzim – mengandung protein permukaan kinase yang memfosforilasi protein efektor di membran plasma. Fosforilasi mengubah aktivitas biokimia protein tersebut. Selain kinase, siklase juga dapat mengubah aktivitas biokimia efektor. Tirosin kinase, tirosin fosfatase, serin/treonin kinase, dan guanil siklase berfungsi sebagai situs katalitik, dan berperan layaknya suatu enzim. Contoh ligan untuk reseptor ini: insulin, epidergmal growth factor (EGF), platelet-derived growth factor (PDGF), atrial natriuretic factor (ANF), transforming growth factor-beta (TGF-β), dan sitokin. ii. Reseptor kanal ion – reseptor bagi beberapa neurotransmitter, sering disebut dengan istilah ligand- gated ion channels atau receptor operated channels. Sinyal mengubah potensial membran sel dan komposisi ionik instraselular dan ekstraselular sekitar. Contoh ligan untuk reseptor ini: nikotinik, γ-aminobutirat tipe A (GABA A ), glutamat, aspartat, dan glisin. iii. Reseptor tekait Protein G – Protein G merupakan suatu protein regulator pengikatan GTP berbentuk heterotrimer. Protein G adalah penghantar sinyal dari reseptor di permukaan sel ke protein efektor. Protein efektor Protein G antara lain adenilat siklase, fosfolipase C dan A 2 , fosfodiesterase, dan kanal ion yang terletak di membran plasma yang selektif untuk ion Ca 2+ dan K + . Obat selain antibiotik pada umumnya bekerja dengan mekanisme ini. Contoh ligan untuk reseptor ini: amina biogenik, eikosanoid, dan hormon-hormon peptida lain.

Upload: evanregar

Post on 19-Jun-2015

8.145 views

Category:

Documents


21 download

DESCRIPTION

Prinsip dasar farmakodinamik dan interaksi obat

TRANSCRIPT

Page 1: Farmakodinamik Dan Interaksi Obat

DK II Pemicu 2 / Modul Biologi Molekular 2010 – LTM: Farmakodinamik dan Respons Tubuh terhadap Obat 1

Farmakodinamik dan Respons Tubuh terhadap Obat

untuk Diskusi Kelompok II Pemicu II: Kamis, 1 April 2010

oleh Evan Regar, 0906508024

Pengantar Farmakodinamik

Farmakodinamik ialah salah satu subdisiplin farmakologi yang mempelajari tentang efek biokimiawi

dan fisiologi obat, serta mekanisme kerjanya.1 Dengan memahami farmakologi diharapkan diketahui bagaimana

interaksi obat dengan sel dan bagaimana efek dan respons yang terjadi.

Mekanisme Kerja Obat

Mekanisme kerja obat pada umumnya melalui interaksi dengan reseptor pada sel organisme. Reseptor obat pada

umumnya merupakan suatu makromolekul fungsional, yang pada umumnya juga bekerja sebagai suatu reseptor

fisiologis bagi ligan-ligan endogen (semisal: hormon dan neurtransmiter). Interaksi obat dengan reseptor pada

tubuh dapat mengubah kecepatan kegiatan fisiologis, namun tidak dapat menimbulkan fungsi faali yang baru.

Terdapat bermacam-macam reseptor dalam tubuh kita, misalnya reseptor hormon, faktor pertumbuhan,

faktor transkripsi, neurotransmitter, enzim metabolik dan regulator (seperti dihidrofolat reduktase,

asetilkolinesterase). Namun demikian, reseptor untuk obat pada umumnya merupakan reseptor yang berfungsi

bagi ligan endogen (hormon dan neurotransmitter).2 Reseptor bagi ligan endogen seperti ini pada umumnya

sangat spesifik (hanya mengenali satu struktur tertentu sebagai ligan). Obat-obatan yang berinteraksi dengan

reseptor fisiologis dan melakukan efek regulator seperti sinyal endogen ini dinamakan agonis Ada obat yang

juga berikatan dengan reseptor fisioloigs namun tanpa menghasilkan efek regulator dan menghambat kerja

agonis (terjadi persaingan untuk menduduki situs agonis) disebut dengan istilah antagonis, atau disebut juga

dengan bloker. Obat yang berikatan dengan reseptor dan hanya menimbulkan efek agonis sebagian tanpa

memedulikan jumlah dan konsentrasi substrat disebut agonis parsial. Obat agonis-parsial bermanfaat untuk

mengurangi efek maksimal agonis penuh, oleh karena itu disebut pula dengan istilah antagonis parsial

Sebaliknya, obat yang menempel dengan reseptor fisiologik dan justru menghasilkan efek berlawanan dengan

agonis disebut agonis negatif.

Pembagian reseptor fisiologik adalah1,2

:

i. Reseptor enzim – mengandung protein permukaan kinase yang memfosforilasi protein efektor di

membran plasma. Fosforilasi mengubah aktivitas biokimia protein tersebut. Selain kinase, siklase juga

dapat mengubah aktivitas biokimia efektor. Tirosin kinase, tirosin fosfatase, serin/treonin kinase, dan

guanil siklase berfungsi sebagai situs katalitik, dan berperan layaknya suatu enzim.

Contoh ligan untuk reseptor ini: insulin, epidergmal growth factor (EGF), platelet-derived growth

factor (PDGF), atrial natriuretic factor (ANF), transforming growth factor-beta (TGF-β), dan sitokin.

ii. Reseptor kanal ion – reseptor bagi beberapa neurotransmitter, sering disebut dengan istilah ligand-

gated ion channels atau receptor operated channels. Sinyal mengubah potensial membran sel dan

komposisi ionik instraselular dan ekstraselular sekitar.

Contoh ligan untuk reseptor ini: nikotinik, γ-aminobutirat tipe A (GABAA), glutamat, aspartat, dan

glisin.

iii. Reseptor tekait Protein G – Protein G merupakan suatu protein regulator pengikatan GTP berbentuk

heterotrimer. Protein G adalah penghantar sinyal dari reseptor di permukaan sel ke protein efektor.

Protein efektor Protein G antara lain adenilat siklase, fosfolipase C dan A2, fosfodiesterase, dan kanal

ion yang terletak di membran plasma yang selektif untuk ion Ca2+

dan K+. Obat selain antibiotik pada

umumnya bekerja dengan mekanisme ini.

Contoh ligan untuk reseptor ini: amina biogenik, eikosanoid, dan hormon-hormon peptida lain.

Page 2: Farmakodinamik Dan Interaksi Obat

DK II Pemicu 2 / Modul Biologi Molekular 2010

iv. Reseptor faktor transkripsi

DNA (DNA binding domain

mengaktifkan atau menghambat transkripsi.

Contoh ligan: hormon steroid, hormon tiroid, vitamin D, dan retinoid

v. Second Messenger pada sitoplasma

kedua (second messenger) yang bertindak sebagai sinyal lanjutan untuk jalur transduksin sinyal.

(NO). Ciri khas cara kedua adalah produksinya yang sangat cepat dengan konsentrasi yang r

Setelah sinyal utama (first messenger) tidak ada, caraka kedua akan disingkarkan melalui proses daur

ulang.

Contoh: AMP, siklik GMP, siklik ADP

Selain daripada reseptor, obat juga dapat bekerja tanpa melalui reseptor, misalnya obat yang mengikat molekul

atau ion dalam tubuh. Contohnya penggunaan antasida sebagai penetral keasaman lambung yang berlebihan.

merkaptoetana sulfonat (mesna) meniadakan

sebagai analog struktur normal tubuh yang bisa “bergabung” ke dalam sel sehingga mengganggu fungsi sel dan

tubuh. Misalnya analog purin dan pirimidin yang dapat diinsersei ke dalam asam nukleat

antivirus dan kemoterapi untuk kanker.

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Respons Tubuh terhadap Obat

Tubuh setiap orang berbeda-beda dalam hal menghasilkan respons untuk pemberian obat dengan dosis

tertentu. Pemberian obat biasanya telah

rata-rata) yang cocok untuk sebagian besar

beberapa orang. Sebaliknya dosis rata-rata juga dapat menimbulkan efek yang tidak

Gambar di bawah ni menunjukkan bagaimana perjalanan suatu obat hingga menimbulkan efek

farmakologik (respons pasien terhadap obat tertentu).

Kepatuhan pasien menentukan jumlah obat yang diminum.

yang diserap dengan bioavailabilitas obat itu. Sementara itu bioavailabilitas ditentukan oleh mutu obat. Faktor

Dosis yang

diberikan (resep)

Dosis yang

diminum

•Kondisi fisiologik, kondisi patologik, faktor genetik, interaksi obat, dan toleransi

faktor yang memengaruhi farmakokinetik dan farmakodinamik obat tertentu

•Faktor farmakokinetik seperti absorpsi, distribusi, biotransformasi, dan ekskresi

•Faktor farmakodinamik seperti interaksi obat

Efek

Farmakologik

DK II Pemicu 2 / Modul Biologi Molekular 2010 – LTM: Farmakodinamik dan Respons Tubuh terhadap Obat

– mengatur transkripsi gen tertentu.. Terdapat daerah pengikatan dengan

DNA binding domain) yang berinteraski secara spesifik pada genom tertentu untuk

mengaktifkan atau menghambat transkripsi.

Contoh ligan: hormon steroid, hormon tiroid, vitamin D, dan retinoid.

sitoplasma – dalam transduksi sinyal memungkinkan terbentuknya caraka

) yang bertindak sebagai sinyal lanjutan untuk jalur transduksin sinyal.

. Ciri khas cara kedua adalah produksinya yang sangat cepat dengan konsentrasi yang r

Setelah sinyal utama (first messenger) tidak ada, caraka kedua akan disingkarkan melalui proses daur

Contoh: AMP, siklik GMP, siklik ADP-ribosa, ion Ca2+

, inositol fosfat, diasilgliserol, dan nitrit oksida

Selain daripada reseptor, obat juga dapat bekerja tanpa melalui reseptor, misalnya obat yang mengikat molekul

atau ion dalam tubuh. Contohnya penggunaan antasida sebagai penetral keasaman lambung yang berlebihan.

) meniadakan radikal bebas di saluran perkemihan. Obat lain juga berfungsi

sebagai analog struktur normal tubuh yang bisa “bergabung” ke dalam sel sehingga mengganggu fungsi sel dan

tubuh. Misalnya analog purin dan pirimidin yang dapat diinsersei ke dalam asam nukleat, mampu menjuadi obat

antivirus dan kemoterapi untuk kanker.

Faktor yang Memengaruhi Respons Tubuh terhadap Obat

beda dalam hal menghasilkan respons untuk pemberian obat dengan dosis

tertentu. Pemberian obat biasanya telah disepakati secara bersama oleh farmakolog dalam dosis biasa (

sebagian besar pasien. Dosis rata-rata ini dapat menimbulkan efek toksik untuk

rata juga dapat menimbulkan efek yang tidak terapeutik.

Gambar di bawah ni menunjukkan bagaimana perjalanan suatu obat hingga menimbulkan efek

farmakologik (respons pasien terhadap obat tertentu).1

Kepatuhan pasien menentukan jumlah obat yang diminum. Pemberian obat per oral mengaitkan jumlah obat

yang diserap dengan bioavailabilitas obat itu. Sementara itu bioavailabilitas ditentukan oleh mutu obat. Faktor

•Kepatuhan pasien (Patient's complience)

•Kesalahan medikasi

•Mutu obat

Kondisi fisiologik, kondisi patologik, faktor genetik, interaksi obat, dan toleransi

faktor yang memengaruhi farmakokinetik dan farmakodinamik obat tertentu

Faktor farmakokinetik seperti absorpsi, distribusi, biotransformasi, dan ekskresi

Faktor farmakodinamik seperti interaksi obat-reseptor, keadaan fungsional jaringan, dan

mekaisme homeostatik

•Respons pasien terhadap obat tertentu

LTM: Farmakodinamik dan Respons Tubuh terhadap Obat 2

Terdapat daerah pengikatan dengan

) yang berinteraski secara spesifik pada genom tertentu untuk

dalam transduksi sinyal memungkinkan terbentuknya caraka

) yang bertindak sebagai sinyal lanjutan untuk jalur transduksin sinyal.

. Ciri khas cara kedua adalah produksinya yang sangat cepat dengan konsentrasi yang rendah.

Setelah sinyal utama (first messenger) tidak ada, caraka kedua akan disingkarkan melalui proses daur

, inositol fosfat, diasilgliserol, dan nitrit oksida

Selain daripada reseptor, obat juga dapat bekerja tanpa melalui reseptor, misalnya obat yang mengikat molekul

atau ion dalam tubuh. Contohnya penggunaan antasida sebagai penetral keasaman lambung yang berlebihan. 2-

Obat lain juga berfungsi

sebagai analog struktur normal tubuh yang bisa “bergabung” ke dalam sel sehingga mengganggu fungsi sel dan

, mampu menjuadi obat

beda dalam hal menghasilkan respons untuk pemberian obat dengan dosis

disepakati secara bersama oleh farmakolog dalam dosis biasa (dosis

rata ini dapat menimbulkan efek toksik untuk

Gambar di bawah ni menunjukkan bagaimana perjalanan suatu obat hingga menimbulkan efek

Pemberian obat per oral mengaitkan jumlah obat

yang diserap dengan bioavailabilitas obat itu. Sementara itu bioavailabilitas ditentukan oleh mutu obat. Faktor

Kondisi fisiologik, kondisi patologik, faktor genetik, interaksi obat, dan toleransi - faktor-

faktor yang memengaruhi farmakokinetik dan farmakodinamik obat tertentu

Faktor farmakokinetik seperti absorpsi, distribusi, biotransformasi, dan ekskresi

reseptor, keadaan fungsional jaringan, dan

Page 3: Farmakodinamik Dan Interaksi Obat

DK II Pemicu 2 / Modul Biologi Molekular 2010 – LTM: Farmakodinamik dan Respons Tubuh terhadap Obat 3

farmakokinetik menentukan berapa dari jumlah obat yang diminum dapat mencapai tempat kerja obat untuk

bereaksi dengan reseptor. Sementara faktor farmakodinamik menentukan intensitas efek farmakologik yang

ditimbulkan oleh kadar obat. 1 Faktor-faktor eksternal, yakni kepatuhan pasien, kesalahan medikasi, dan mutu

obat, tidak dibahas lebih lanjut di sini. Faktor internal akan dibahas lebih lanjut. Oleh karena itu perbedaan

respons obat dalam tubuh dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan (environmental influences).

Kondisi Fisiologik

Kondisi fisiologik ditentukan oleh usia, berat badan, laus permukaan tubuh, atau kombinasi faktor-

faktor ini.

Usia dapat menyebabkan perubahan efek farmakologik ekstrem dibandingkan dengan golongan usia

lain. Semisal, pada neonatus dan bayi prematur fungsi farmakokinetik tubuh belum berlangsung dengan baik

(misalnya b iotransfrmasi hati, eksrekgi ginjal, ikatan protein plasma, dan sawar darah-otak dan sawar kulit).

Hal ini menyebabkan peningkatan kadar obat dalam darah dan jaringan. Pemberian obat heksaklorofen topikal

pada neonatus, misalnya, menyebabkan respons neourotoksisitas akibat belum terbentuknya sawar kulit secara

sempurna. Kloramfenikol dapat menyebabkan sindrom bayi abu-abu akibat metabolism obat oleh hepar masih

rendah (glukuronidasi) serta filtrasi obat oleh glomerulus ginjal belum berlangsung dengan sempurna.

Pada usia lanjut efek ini juga terjadi. Fungsi ginjal yang melemah merupakan penyebab perubahan

farmakokinetik yang terbesar. Peningkatan sensitivitas reseptor (terutama di otak) juga menjadi andil dalam

konteks ini. Contohnya adalah penggunaan isoniazid yang dapat menyebabkan hepatotoksisitas akibat

melemahnya metabolism oleh hepar. Demikian juga penggunaan antikolinergik dapat menimbulkan respons

konstipasi akibat melemahnya kontraktilitas otot polos.

Kondisi Patologik

Terjadinya kondisi patologik terutama pada organ-organ yang banyak melakukan efek farmakokinetik

terhadap obat, misalnya penyakit saluran cerna, hepar, ren, dan kardiovaskuler, mengubah respons tubuh

terhadap obat. Penyakit saluran cerna dapat mengurangi kecepatan absorbsi obat, khususnya pada pemberian per

oral. Penyakit kardiovaskular mengurangi distribusi obat dan aliran darah ke hepar dan ginjal yang akan

mengeliminasi obat. Penyakit hepar melemahkan metabolime obat di hati. Gangguan ginjal mengurangi

eksreksi obat aktif maujpun metabolitnya melalui ginjal.

Contohnya, diare atau gastroenteritis menurunkan respons tubuh terhadap obat digoksin, kontrasepsi

oral, fenitoin, dan sediaan salut enterik. Ini diakbiatkan waktu transit dalam saluran cerna yang memendek

akibat terjadinya motilitas tinggi (akibat diare), sehingga jumlah obat yang diabsorbsi menjadi berkurang.

Faktor Genetik1,3

Efek farmakologis yang berbeda-beda, yang diakibatkan oleh adanya kaitan faktor genetik dipelajari

secara khusus melalui farmakogenetik. Farmakogenetik adalah studi tentang variasi respons obat akibat faktor

genetik. Farmakogenetik perlu dibedakan dari overdosis, reaksi alergi, dan inborn error of metabolism. Inborn

error of metabolism adalah kelainan genetik yang mengakibatnya kelainan pengolahan zat tertentu sehingga

terjadi akumulasi dalam sel. Sementara itu, farmakogenetik mempelajari tentang adanya perbedaan respons

individu terhadap suatu obat.

Dari aspek farmakokinetik, farmakogenetik banyak memengaruhi sisi biotransformasi (metabolisme)

obat. Selain biotransformasi (metabolisme), farmakokinetik juga melibatkan proses absorpsi, distribusi, dan

ekskresi. Metabolisme obat terutama terjadi di sel-sel hati (mikrosom = retikulum endoplasma hati), serta di

sitosol. Selain hati, dinding usus, ginjal, paru, darah, otak, dan kulit juga menjadi tempat biotransformasi obat.

Page 4: Farmakodinamik Dan Interaksi Obat

DK II Pemicu 2 / Modul Biologi Molekular 2010 – LTM: Farmakodinamik dan Respons Tubuh terhadap Obat 4

Metabolisme memiliki tujuan untuk mengubah obat yang nonpolar (larut dalam lemak) menjadi polar (larut

dalam air) agar dapat dieksresi melalui ginja.. Pada umumnya perubaha ini menyebabkan obat menjadi inaktif,

namun ada juga yang justru menjadi lebih aktif, atau bahkan toksik.

Metabolisme obat dibagi menjadi 2 fase, yakni fase I yang merupakan fase reduksi, oksidasi, dan

hidrolisis; dan fase II yang merupakan reaksi konjugasi dengan substrat lain, misalnya asam glukoronat, asam

sulfat, asam asetat, dan asam-asam amino. Reaksi fase I dilakkan oleh enzim sitorkrom P450 (CYP) sebagai

enzim pengoksidasi, dan merupakan enzim yang terpenting dalam reaksi ini. Enzim ini memiliki isoenzim

sekitar 50 macam. Reaki fase II, terutama reaksi glukuronidasi (oleh enzim UDP-glukuroniltransferase / UGT),

dan reaksi asetilasi oleh enzim N-asetiltransferase 2(NAT2).

Polimorfisme genetik dapat ditemukanj pada enzim CYP2D6, CYP2D9, CYP2C19, serta NAT2. Oleh

karena itu, populasi terbagi menjadi 2 golongan. Untuk enzim-enzim CYP (sebagai enzim dalam reaksi oksidasi

fase I), populasi terbagi menjadi golongan extensive metabolizer (EM) dan poor metabolizer (PM). Sementara

untuk enzim NAT2 yang berperan dan asetilasi fase II, terbagi menjadi rapid acetylator (RA) dan slow

acetlyator (SA).

Bagi orang-orang dalam golongan slow acetylator, penggunaan obat INH (isoniazid) misalnya dalam

terapi tuberkolosis dapat menyebabkan toksisitas, dan memicu penyakit-penyakit lain. Ini diakibatkan kadar

obat yang tinggi akibat mengalami metabolisme secara lambat. Demikian juga untuk metabolisme menggunakan

CYP. Orang dengan keadaan poor metabolizer akan mengalami peningkatan kadar obat akibat obat

dimetabolisme secara kurang baik. Adanya polimorfisme genetik dalam konteks farmakologi ini menyebabkan

diperlukan dosis-dosis tertentu untuk orang-orang dengan golongan tertentu. Misalkan pengobatan dengan INH

bagi penderita tuberkolosis harus dengan penurunan dosis INH untuk menghindari terjadinya akumulasi INH

yang lambat dimetabolisme oleh enzim NAT2.

Faktor genetik dapat juga dikatakan sebagai faktor lingkungan, mengingat kecenderungan untuk

ditemukannya satu golongan tertentu (misalnya, golongan RA / rapid acetylator) di masyarakat yang tinggal

daerah tertentu.

Faktor Toleransi

Toleransi merupakan penurunan efek farmakologik akibat pemberian yang berulang. Toleransi ini

terbagi menjadi toleransi farmakokinetik, yang terjadi akibat obat meningkatkan metabolismenya sendiri

(dikarenakan obat merupakan self inducer bagi proses metabolism dirinya sendiri); dan toleransi

farmakodinamik, akibat terjadi adaptasi sel dan reseptor terhadap ligan (obat) yang terus menerus berada di

sekitar sel tersebut berada. Sensitifitas reseptor-reseptor ini umumnya menurun di tengah kelimpahan ligan.

Jumlah ligan yang berikatan tidak berkurang, namun sensitiiftas reseptor berkurang sehingga efek farmakologis

yang ditimbulkan juga berkurang.

Faktor Interaksi Obat

Obat dapat berinteraksi dengan zat=zat makanan, zat kimia, bahkan dengan obat lain. Oleh karena itu

perlu diperhatikan adanya efek (yang mungkin menguntungkan, atau malah merugikan) akibat interaksi ini.

Interaksi yang menguntungkan misalnya penggunaan kombinasi obat antihipertensi, antiasma, dan antidiabetik

yang dapat meningkatkan efektivitas dan mengurangi efek samping; kombinasi obat anti-HIV dan anti-kanker.

Interaksi yang merugikan akan mendapatkan bahasan yang lebih mendalam.

Interaksi yang dapat terjadi adalah:

Page 5: Farmakodinamik Dan Interaksi Obat

DK II Pemicu 2 / Modul Biologi Molekular 2010 – LTM: Farmakodinamik dan Respons Tubuh terhadap Obat 5

1. Interaksi farmakokinetik – jika salah satu obat memengaruhi absorpsi, distribusi, biotransformasi

(metabolisme), dan ekskresi obat yang lain. Ini dapat mengakibatkan kadar plasma obat lain menurun

atau justru meningkat. Akibatnya, toksisitas dapat terjadi, atau mungkin penurunan efektivitas obat

tersebut.

Interaksi absorpsi: penggunaan obat antasida dapat mengubah pH, sehingga mengakibatkan kelarutan

obat-obat asam (seperti aspirin) menjadi menigkat, sehingga meninkatkan absorpsi obat-obat ini.

Interaksi distrbusi: banyak obat yang memerlukan protein plasma sebagai sarana transport obat

tersebut. Adanya obat lain mengakibatkan terjadinya “kompetisi” untuk memperebutkan protein

plasma.

Interaksi metabolisme: sebagai contoh obat-obat yang merupakan substrat enzim sitokrom dapat

mengalami gangguan metabolisme apabila terdapat enzim yang mencegah kerja enzim sitokrom

(contohnya: untuk enzim CYP3A4, sakuinavir, obat yang digunakan dalam terapi penderita HIV,

seharusnya dimetabolisme oleh enzim ini, namun keberadaan ritonavir secara bersama-sama

menghambat kerja enzim ini sehingga terjadi peningkatan kadar sakuinavir, sehingga dosis untuk

sakuinavir harus diturunkan untuk mencegah penumpukan sakuinavir).

Interaksi ekskresi: terdapat berbagai golongan obat yang bisa menyebabkan kerusakan ginjal

(misalnya: aminoglikosida merusak ginjal, menyebabkan peningkatan kadar digoksin yang toksik);

adanya kompetisi untuk sekresi aktif di tubulus ginjal; atau adanya perubahan pH urin (misal: obat

yang dapat mengasamkan urin meningkatkan ionisasi obat lain yang bersifat basa, dan meningkatkan

ekskresi obat yang bersifat basa ini).

2. Interaksi farmakodinamik – merupakan suatu interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor,

tempat kerja, atau sistem fisiologik yang sama. Interaksi ini bisa menimbuolkan efek yang sinergistik,

atau antagonistik. Interaksi farmakodinamik ini biasanya dapat diramalkan (misalnya: pengelompokan

obat antihipertensi yang dapat saling sinergik menurunkan tekanan darah).

Interaksi pada reseptor: misalnya asetilkolin yang bekerja pada reseptor kolinergik (muskarinik)

sebagai agonis; sementara adanya atropine, kuinidin, dan antihistamin H1 sebagai antagonis untuk

reseptor yang sama.

Interaksi fisiologik: merupakan interaksi pada sistem fisiologik yang sama, sehingga dapat

mengakibatkan peningkatan atau penurunan respons. Misalnya penggunaan antidiabetes (bekerja pada

sistem endokrin) dengan tiazid atau kortikosteroid (juga bekerja pada sistem endokrin) dapat

menurunkan efek antidiabetik. Demikian juga penggunaan obat β-bloker dengan verapamil dapat

menyebabkan gagal jantung dan bradikardia.

Terima kasih / Thank you / Danke schön / 谢谢谢谢谢谢谢谢 / ありがとうありがとうありがとうありがとう / Gracias / Grazie / Dank u /

Salamat /감사합니다감사합니다감사합니다감사합니다 / / / / شـــكرا / Cпасибо / คุณขอบคุณ / Cảm ơn bạn / Děkuji / תודה / σας ευχαριστώ /

Matur nuhun / Hatur nuhun / Sukesma / Muliate / Saohagolo / Sakalangkong / Makasih ye..

Referensi

1. Gunawan, SG. Setiabudy R. Nafrialdi, Elysabeth (editor). Farmakologi dan Terapi. 5th

ed. Jakarta:

Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.

2. Brunton LL. Lazo JS. Parker KL (editor). Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of

Therapeutics. 11th

ed. New York: McGraw-Hill; 2006.

3. Katzung BG, ed. Basic and Clinical Pharmacology. 7th ed. London: Prentice Hall Int; 1998.