faktor yang mempengaruhi anak bekerja

14
197 6 Faktor yang Mempengaruhi Anak Bekerja The Influential Factors of Children to Work Ikawati Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS). Jl. Kesejahteraan Sosial No 1 Nitipuran Yogyakarta. Nomor telpon: (0274) 377265. Email: <[email protected]>. Diterima 16 Februari 2015, direvisi 16 Maret 2015, disetujui 15 April 2015. Abstract This research is to analysis the influential factors children to work and its impact on their physical, psychical, and social condition, and its contribution on economic and social, including family, community, and government efforts on stemming the number of working children. This research is qualitative descriptive, research location determined purposively in West Java, East Java, West Nusa Tenggara. Research subjects are children working abroad that happen having vacation in their villages. Based on purposive determination, it is found 30 children as samples. Data gathered through interview, focus group discussion, observation, and documentary analysis. Data are analyzed through qualitative-descriptive technique. The research finds that the causal factors of children to work are the condition of parent education and their low income, and the number of many family members that should be held, and family in harmony. The impact of children working is delaying their growth, physically, psychologically, and socially. The contribution of children work is increasing the social and economy of the family, such as income and schooling members of the family, and increasing members of the family in social activity. Some family, community, and government efforts to stem the number of working children are sending the children until primary school, diffusing information on the important of children education, monitoring on learning time, forming learning group, looking for reference on school grant, making data on children drop out, giving work skills, giving entrepreneur capital for family with vulnerable economy, monitoring on identity card faking, and limiting working letter to children under age. Some of the government effort to stem the number of working children are, nine-year schooling obligation program, electronic identification card, issuing regulation on the protection of working children and law measurement on children traffickers. It is recommended for the Ministry of Social Affairs through the Directorate of Violent Victims of Migrant Workers on poor family empowerment program, that in sending migrants workers areas based on local potential, children committing in work should be prevented. Keywords: Working Children; Causal Factors Abstrak Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi anak bekerja, dampaknya terhadap kondisi fisik, psikis, sosial anak, dan kontribusinya terhadap ekonomi dan sosial, serta upaya keluarga, masyarakat dan pemerintah dalam menekan jumlah anak bekerja. Tipe penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, lokasi penelitian ditentukan secara purposif di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. Subyek penelitian adalah anak yang bekerja di luar negeri dan secara kebetulan sedang berada atau libur di desanya, berdasarkan teknik purposif ditemukan 30 anak. Pengumpulan data menggunakan wawancara, FGD, observasi dan telaah dokumen. Analisis data dilakukan dengan teknik deskriptif kualitatif. Temuan dilapangan menunjukkan bahwa faktor-faktor penyebab anak bekerja adalah kondisi tingkat pendidikan orangtua dan penghasilan yang rendah serta jumlah tanggungan orangtua yang banyak dan adanya ketidakharmonisan keluarga. Dampak anak bekerja dapat menghambat tumbuh kembang mereka, baik secara fisik, psikis dan sosial. Kontribusi anak bekerja adalah meningkatkan kondisi ekonomi dan sosial keluarganya, seperti peningkatan penghasilan, dapat menyekolahkan anggota keluarga, dan meningkatnya keterlibatan anggota keluarga dalam kegiatan sosial. Upaya keluarga, masyarakat dan pemerintah dalam menekan jumlah anak bekerja antara lain keluarga telah menyekolahkan anak (tamat SD), mengadakan penyuluhan tentang pentingnya tumbuh kembang anak, pemantauan jam belajar anak, membentuk kelompok belajar, mencarikan rujukan bea siswa, pendataan anak putus sekolah, memberikan keterampilan kerja, modal usaha kepada keluarga rawan sosial ekonomi, memantau terjadinya pemalsuan KTP, dan membatasi memberikan surat keterangan bekerja bagi anak yang masih di bawah usia. Upaya pemerintah dalam menekan jumlah anak yang bekerja antara lain, wajib belajar sembilan tahun, kartu penduduk sistem elektronik, penerbitan peraturan tentang perlindungan anak yang bekerja dan penindakan hukum bagi pelaku trafficking. Rekomendasi yang diajukan pada Kementrian Sosial RI melalui Direktorat Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran dalam program pemberdayaan keluarga miskin di daerah asal pekerja migran (PM) berbasis potensi local, agar dapat tercegah keterlibatan anak yang bekerja. Kata kunci: Masalah-Anak-Bekerja

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Faktor yang Mempengaruhi Anak Bekerja

197

6Faktor yang Mempengaruhi Anak BekerjaThe Influential Factors of Children to Work

IkawatiBalai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS).

Jl. Kesejahteraan Sosial No 1 Nitipuran Yogyakarta. Nomor telpon: (0274) 377265. Email: <[email protected]>. Diterima 16 Februari 2015, direvisi 16 Maret 2015, disetujui 15 April 2015.

AbstractThisresearchistoanalysistheinfluentialfactorschildrentoworkanditsimpactontheirphysical,psychical,andsocial

condition, and its contribution on economic and social, including family, community, and government efforts on stemming the number of working children. This research is qualitative descriptive, research location determined purposively in West Java, East Java, West Nusa Tenggara. Research subjects are children working abroad that happen having vacation in their villages. Based on purposive determination, it is found 30 children as samples. Data gathered through interview, focus group discussion, observation, and documentary analysis. Data are analyzed through qualitative-descriptive technique. Theresearchfindsthatthecausalfactorsofchildrentoworkaretheconditionofparenteducationandtheirlowincome,and the number of many family members that should be held, and family in harmony. The impact of children working is delaying their growth, physically, psychologically, and socially. The contribution of children work is increasing the social and economy of the family, such as income and schooling members of the family, and increasing members of the family in social activity. Some family, community, and government efforts to stem the number of working children are sending the children until primary school, diffusing information on the important of children education, monitoring on learning time, forming learning group, looking for reference on school grant, making data on children drop out, giving work skills, giving entrepreneur capital for family with vulnerable economy, monitoring on identity card faking, and limiting working letter to children under age. Some of the government effort to stem the number of working children are, nine-year schoolingobligationprogram,electronicidentificationcard,issuingregulationontheprotectionofworkingchildrenandlawmeasurementonchildrentraffickers.ItisrecommendedfortheMinistryofSocialAffairsthroughtheDirectorateofViolent Victims of Migrant Workers on poor family empowerment program, that in sending migrants workers areas based on local potential, children committing in work should be prevented.

Keywords: Working Children; Causal Factors

Abstrak

Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi anak bekerja, dampaknya terhadap kondisi fisik, psikis, sosial anak, dan kontribusinya terhadap ekonomi dan sosial, serta upaya keluarga, masyarakat dan pemerintah dalam menekan jumlah anak bekerja. Tipe penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, lokasi penelitian ditentukan secara purposif di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. Subyek penelitian adalah anak yang bekerja di luar negeri dan secara kebetulan sedang berada atau libur di desanya, berdasarkan teknik purposif ditemukan 30 anak. Pengumpulan data menggunakan wawancara, FGD, observasi dan telaah dokumen. Analisis data dilakukan dengan teknik deskriptif kualitatif. Temuan dilapangan menunjukkan bahwa faktor-faktor penyebab anak bekerja adalah kondisi tingkat pendidikan orangtua dan penghasilan yang rendah serta jumlah tanggungan orangtua yang banyak dan adanya ketidakharmonisan keluarga. Dampak anak bekerja dapat menghambat tumbuh kembang mereka, baik secara fisik, psikis dan sosial. Kontribusi anak bekerja adalah meningkatkan kondisi ekonomi dan sosial keluarganya, seperti peningkatan penghasilan, dapat menyekolahkan anggota keluarga, dan meningkatnya keterlibatan anggota keluarga dalam kegiatan sosial. Upaya keluarga, masyarakat dan pemerintah dalam menekan jumlah anak bekerja antara lain keluarga telah menyekolahkan anak (tamat SD), mengadakan penyuluhan tentang pentingnya tumbuh kembang anak, pemantauan jam belajar anak, membentuk kelompok belajar, mencarikan rujukan bea siswa, pendataan anak putus sekolah, memberikan keterampilan kerja, modal usaha kepada keluarga rawan sosial ekonomi, memantau terjadinya pemalsuan KTP, dan membatasi memberikan surat keterangan bekerja bagi anak yang masih di bawah usia. Upaya pemerintah dalam menekan jumlah anak yang bekerja antara lain, wajib belajar sembilan tahun, kartu penduduk sistem elektronik, penerbitan peraturan tentang perlindungan anak yang bekerja dan penindakan hukum bagi pelakutrafficking.Rekomendasi yang diajukan pada Kementrian Sosial RI melalui Direktorat Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran dalam program pemberdayaan keluarga miskin di daerah asal pekerja migran (PM) berbasis potensi local, agar dapat tercegah keterlibatan anak yang bekerja.

Kata kunci: Masalah-Anak-Bekerja

Page 2: Faktor yang Mempengaruhi Anak Bekerja

198

A. PendahuluanAnak seharusnya dapat menikmati masa

kanak-kanak dan remaja dengan bersekolah, ber-main dan mengembangkan potensi yang dimi-likinya dalam naungan kasih sayang keluarga. Namun kenyataannya tidak sedikit kita jumpai anak-anak yang tidak memiliki kesempatan sama sekali untuk menikmati masa kanak-kanak dan remaja dengan bahagia, bahkan tercerabut dari lingkungan keluarga yang disebabkan dorongan ekonomi maupun kekerasan dalam keluarga-nya.

Banyaknya anak putus sekolah berkaitan erat dengan kemampuan ekonomi dan pema-haman orangtua tentang perlunya pendidikan bagi masa depan anak (St. Sularto, 2000). Kesulitan finansial keluarga terutama keluarga miskin mengakibatkan meningkatnya jumlah anak putus sekolah secara signifikan meningkat juga jumlah anak yang harus bekerja, kesulitan diatas juga dapat mengakibatkan menurunnya status gizi dan kesehatan. Kondisi ini juga dapat mengakibatkan meningkatnya jumlah prosti-tusi yang dilakukan anak, karena mereka belum siap berkompetitif dalam dunia kerja, yang disebabkan kurang pengalaman, pengetahuan, keahlian dan ketrampilan yang dimiliki anak, sehingga mereka harus bekerja menjadi pekerja seks komersial yang tidak memperlukan per-syaratan tertentu. Ledakan pengangguran yang berpendidikan menengah kebawah (SMP-SD) merupakan makanan empuk bagi para majikan di sektor ekonomi, karena mampu menekan pasar tenaga kerja dengan upah murah. Kondisi tersebut dikarenakan rendahnya pendidikan, ter-batasnya kemampuan dan ketrampilan sehingga gaji yang didapatpun juga rendah. Krastawan (1992) mengatakan bahwa wujud keterlibatan anak dalam dunia kerja formal maupun infor-mal terjadi hampir pada semua kasus ekonomi dan pemerintah harus mengakui bahwa anak bekerja merupakan akibat dari “pembangunan” itu sendiri, sehingga standar upah minimal yang diterapkan di Indonesia masih di bawah standar, hal ini membuktikan bahwa problem kemiskin-

an di masyarakat lapisan paling bawah belum terpecahkan.

Masyarakat miskin pada awalnya ingin mem-perbaiki ekonomi, atas dasar motivasi tersebut, maka mereka terdorong untuk mengadu nasib ke kota-kota besar bahkan ke luar negeri, dengan dalih mendapatkan pekerjaan yang menjanji-kan masa depan yang lebih cerah. Ironisnya banyak kasus orangtua atau kerabat menyerah-kan anaknya kepada para calo atau agen yang berkeliling desa , karena dijanjikan akan dibayar hutang-hutangnya yang melilit keluarganya, apabila anaknya mau dicarikan kerja dan juga “diiming-imingi gaji besar”.

Lilitan utang pada keluaraga miskin biasanya diciptakan oleh agen/calo tenaga kerja, mucikari dan lain-lain terhadap anak dan keluarganya. Sistem ini sengaja diciptakan guna menjerat si anak untuk tetap bekerja secara paksa, akibatnya anak tersebut semakin sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaannya baik sebagai pelacur, pelayan toko, perawat bayi, perawat lanjut usia, pembantu rumahtangga baik yang bekerja dida-lam negeri maupun luarnegeri.

Pengiriman pekerja migran ke luar negeri merupakan salah satu alternatif penyelesaian masalah pengangguran dan kemiskinan di tanah air, sehinga dapat merubah tingkat kesejahtera-an keluarganya melalui remitansi dan sumber devisa negara. Namun demikian ada problem yang mendasar yang dihadapi oleh para pekerja migran kita di luar negeri. Perundang-undangan kita belum mampu memberikan jaminan per-lindungan hukum bagi para pekerja migran diluar negeri agar bisa nyaman bekerja dan mendapat perlindungan hukum. Menurut Galuh Endar dkk (Ikawati,2008) dalam penelitiannya menemukan penyebab banyaknya masyarakat menjadi tenaga kerja wanita antara lain desa-kan ekonomi, kurangnya lapangan pekerjaan di Indonesia, keinginan untuk mendapat honor yang lebih tinggi dan dorongan dari pihak luar yang sudah berhasil . Dibalik pengiriman pekerja tersebut keluar negeri selain dapat memecah-kan masalah diatas, banyak masalah-masalah

Jurnal PKS Vol 14 No 2 Juni 2015; 197 - 210

Page 3: Faktor yang Mempengaruhi Anak Bekerja

199

Faktor yang Mempengaruhi Anak Bekerja (Ikawati)

yang dihadapi mereka didaerah tujuan seperti gaji tidak dibayarkan, dipenjara, disiksa, bunuh diri karena tidak tahan terhadap permasalahan yang dialaminya. Kondisi tersebut dapat terjadi dikarenakan pengiriman tenaga kerja mempu-nyai sumber daya manusia yang rendah, se-hingga hanya dapat mengisi sektor informal yang berisiko sangat tinggi (Depnakertrans,2007). Menurut Nina Karinina dan Sri utami (2005) mengatakan bahwa ada beberapa faktor holistik yang berkaitan dengan pengiriman tenaga kerja atau pekerja migran salah satunya yang mendasar faktor ekonomi, yaitu kondisi ekonomi yang rendah menjadi pendorong mencari peluang untuk meningkatkan kondisi ekonomi dengan cara bekerja keluar negeri.

Aktivitas mobilitas penduduk yang berlang-sung memunculkan dampak nyata, terutama pada kehidupan migran, keluarga migran dan masyarakat di sekitarnya. Pada skala mikro berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan ke-luarga, berubahnya perilaku konsumtif keluarga , terjadinya mobilitas sosial melalui perubahan status sosial ekonomi keluarga migran yang ditujukan dari pemilikan rumah dan benda-benda berharga lainnya merupakan salah satu hal nyata yang mudah dilihat. Pada skala yang lebih luas, aktivitas mobilitas penduduk juga secara tidak langsung ikut mempengaruhi terjadinya perubahan-perubahan perilaku masyarakat yang ditandai dengan perubahan perilaku konsumtif dan berkembangnya kehidupan ekonomi di sekitar daerah migran. Perubahan-perubahan fisik juga tidak dapat dilepaskan dari remitan yang dihasilkan.

Aktivitas migrasi yang dilakukan juga mem-butuhkan biaya sosial yang sangat tinggi seperti terjadi disintegrasi keluarga dan ketidakharmo-nisan hubungan antar generasi. Disintegrasi keluarga yang ditandai dengan banyaknya kasus perceraian dan keretakan di dalam keluarga. Mobilitas penduduk mengakibatkan munculnya berbagai dampak positif maupun negatif oleh karena itu dampak positif perlu dipertahankan atau bahkan ditingkatkan dan dampak negatif da-pat dikurangi atau dihilangkan. Khusus dengan

dampak ekonomi perlu dipikirkan kebijakan penggunaan remitan yang tidak selalu ke aspek konsumtif, tetapi ke aspek ekonomi produktif sekalipun mulai dengan skala usaha yang kecil. Dari yang kecil diharapkan dapat berkembang sehingga menjadi diversifikasi usaha, atau me-nambah kesempatan kerja, atau mengurangi pengangguran yang muaranya meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan.

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, rumusan masalah yaitu apa faktor yang mempengaruhui anak bekerja? Tujuan penelitian adalah menganalisis faktor-faktor penyebab anak bekerja, dampaknya terhadap kondisi fisik, psikis dan sosial anak dan kontribusinya terhadap ekonomi dan sosial keluarganya, serta mengetahui upaya keluarga, masyarakat dan pemerintah dalam menekan jumlah anak bekerja. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat ke-pada Kementerian Sosial RI melalui Direktorat Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran dalam program pemberdayaan keluarga miskin di daerah asal pekerja migran (PM).

B. Penggunaan Metode PenelitianTipe penelitian ini adalah deskriptif-kuali-

tatif, bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang ada di lapangan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta, sifat, fenomena yang diselidiki (Arikunto, 2002). Pendekatan kuanti-tatif, karena penelitian ini akan memberi pemak-naan tentang fakta yang ditemukan di lapangan melalui prosentase dan kemudian pemaknaan tersebut akan disimpulkan untuk dipakai sebagai bahan penyusunan saran dan tindakan (Nawawi dan Martini,1996). Lokasi penelitian ditentukan secara purposif, berdasarkan daerah yang banyak menyumbangkan pekerja migran ke luar negeri. Pertama, Provinsi Jawa Barat, yaitu di desa Bon-gas kecamatan Bongas, kabupaten Indramayu dan di desa Tugu, kecamatan Sliyeg, kabupaten Indramayu dan di desa Cipurut, kecamatan Cire-ungas, kabupaten Sukabumi; Kedua, Provinsi Jawa Timur, yaitu di Desa Jenangan, Kecama-tan Jenangan, Kabupaten Ponorogo dan Desa Arjowilangun, Kecamatan Kalipare ,kabupaten

Page 4: Faktor yang Mempengaruhi Anak Bekerja

200

Malang; Ketiga, Provinsi Nusa Tenggara Barat yaitu di kelurahan Praya, kecamatan Praya, kabu-paten Lombok Tengah dan Kelurahan Gerunung, Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah.

Data primer diperoleh dari informan yaitu orang yang dipandang dapat memberikan kete-rangan tentang obyek yang akan diteliti (Mo-leong, 2000), dalam penelitian ini yakni anak yang bekerja di luar negeri dan secara kebetulan sedang berada atau libur di desa dijadikan sam-pel. Teknik penentuan sampel adalah purposif jumlahnya 30 orang. Sasaran obyek penelitian adalah faktor-faktor penyebab anak bekerja, dampaknya terhadap kondisi fisik, psikis dan sosial anak dan kontribusinya terhadap ekonomi dan sosial keluarga.

Teknik Pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam terhadap sampel, untuk menghindari tidak terjawabnya suatu pertanyaan dan biasanya digunakan untuk sampel yang ting-kat pendidikannya rendah. Observasi digunakan untuk mengumpulkan data yang berkaitan de-ngan perilaku manusia, proses kerja, gejala alam dan digunakan apabila sampel yang diamati tidak terlalu besar jumlahnya. Pelaksanaan observasi dalam penelitian ini adalah non-partisipan yaitu peneliti tidak ikut terlibat tetapi hanya sebagai pengamat independen, dengan cara mencatat, menganalisis dan selanjutnya dapat dibuat kes-impulan tentang apa yang diamati. Good, dkk. (Sutrisno Hadi, 2000) mengemukakan, bahwa teknik ini dipilih agar peneliti mampu membuat kesimpulan tentang apa yang diamatinya dan juga untuk mengecek kebenaran data yang di-kumpulkan.Telaah dokumen digunakan untuk mengumpulkan data yang bersifat dokumentatif sebagai sumber data yang nantinya dapat untuk menguji, menafsirkan bahkan meramalkan (Moleong, 2000). Telaah dokumen dapat me-lengkapi teknik wawancara dan observasi (Sud-jono, 1998). Diskusi kelompok dipergunakan untuk memperoleh data primer melalui diskusi dengan LSM yang peduli terhadap penanganan anak bekerja yang rawan menjadi korban traf-ficking, instansi terkait dan melalui forum ini didapatkan masukkan yang komprehensif yang

berkaitan dengan masalah anak bekerja yang rawan terjadinya trafficking.

Data dianalisis dengan mempergunakan des-kriptif-kualitatif dan interpretatif (persentase) yaitu penggambaran tentang obyek yang diteliti, kemudian dikaitkan dengan tujuan penelitian untuk dipakai mendapatkan kesimpulan yang nantinya sebagai rekomendasi atau tindakan (Nawawi dan Martini, 1996)

C. Hasil dan Pembahasan Faktor Penyebab Anak Bekerja)

1. Faktor-Faktor Penyebab Anak Bekerja Salah satu tujuan penelitian adalah meng-

analisis faktor-faktor penyebab anak bekerja, berdasarkan temuan di lapangan maka faktor-faktor penyebab tersebut adalah kondisi tingkat pendidikan ayah dan ibu yang rendah (<SMP yaitu 83 persen -100 persen). Pendidikan orang-tua yang rendah menyebabkan mereka mem-punyai keterbatasan dalam mendapat peluang kerja ada sekitar 26-47 persen yang mengalami hal tersebut. Temuan di atas didukung oleh temuan dari Musni Umar (2011) bahwa pencari kerja yang tidak memiliki kepakaran, keahlian, ketrampilan dan tingkat pendidikan yang tidak memadai, maka akan kesulitan dalam menda-patkan pekerjaan. Pekerjaan yang didapat hanya terbatas, maka akan berpengaruh terhadap be-sarnya penghasilan orangtua yaitu kurang dari 300 ribu ada sebanyak 67-83 persen, penghasilan yang terbatas akan semakin terasa berat, apa-bila jumlah tanggungan orangtua juga banyak, tampak dalam penelitian ini ditemukan jumlah tanggungan orangtua yang lebih dari 3 orang 80 persen. Data tersebut didukung hasil penelitian dari Hugo (Abdul Haris, 2002) bahwa penyebab seseorang mobilitas untuk mencari kerja di luar daerah asal dikarenakan kondisi ekonomi. Perbedaan kondisi ekonomi yang ada di daerah asal dan daerah tujuan (Goma, 1993). Dengan kata lain migrasi terjadi apabila dua wilayah mempunyai perbedaan kefaedahan yaitu daerah asal dan daerah tujuan (Mantra, 1999). Sedang-kan menurut Utama (1994) faktor penyebab seseorang, mobilitas besar-besaran, karena ada

Jurnal PKS Vol 14 No 2 Juni 2015; 197 - 210

Page 5: Faktor yang Mempengaruhi Anak Bekerja

201

ketimpangan dalam faktor ekonomi yang bersi-fat selektif seperti perbedaan upah yang sangat menyolok.

Keterbatasan ekonomi dalam keluarga ber-dampak terhadap kesejahteraan keluarganya, se-perti terjadi ketidakharmonisan seperti pertenga-karan kadang-kadang sering terjadi (70 persen), terjadi kekerasan fisik orangtua kepada anak (73 persen) dan terjadinya hubungan yang tidak baik antara anak dan orangtua (70 persen). Menurut Suyanto (2003) kenyataan di masyarakat tidak semua orangtua dapat melakukan kewajiban-nya, seperti hubungan yang ada tidak serasi dalam keluarga, disharmoni, ketegangan, keke-rasan. Surya Mulandar (1996) juga menemukan bahwa kekurang-harmonisan dalam hubungan keluarga, kondisi orangtua seperti di atas yang menyebabkan anak harus terjun ke dunia kerja. Selain kondisi orangtua tersebut yang dapat menyebabkan anak bekerja adalah kondisi anak sendiri antara lain keterbatasan ekonomi kelu-arga menyebabkan anak harus putus sekolah, artinya anak mempunyai tingkat pendidikan yang terbatas (tidak tamat SD sampai dengan tidak tamat SMP ada sebanyak 50 persen) dan yang 50 persen adalah tidak tamat SLTA sampai dengan tamat SLTA. Kurangnya pemahaman keluarga akan pentingnya pendidikan bagi masa depan anak dan ada suatu anggapan bahwa anak merupakan aset ekonomi keluarga serta peluang untuk bekerja atau tenaga anak guna membantu mencari nafkah untuk keluarganya. Effendi Tadjuddin Noer (1992), bahwa anak-anak yang bekerja dikarenakan kemiskinan orangtuanya, kondisi ini bila berlarut-larut maka banyak anak yang menjadi korban trafficking.Hasil tersebut juga diperkuat dengan hasil temuan Mariana Amiruddin (2008) bahwa feminisasi kemiskinan, pengangguran kronis dan kurangnya kesempatan ekonomi adalah beberapa faktor yang mempe-ngaruhi perdagangan anak dan perempuan.

Dalam penelitian ditemukan usia anak pada waktu bekerja dibawah 18 tahun ada sebanyak 90 persen. Bekerja diusia muda tentu saja kepemi-likan ketrampilan kerja juga terbatas, dari 30 responden ditemukan yang tidak mempunyai

ketrampilan kerja ada sebanyak 70 persen, maka pekerjaan anakpun yang didapat juga terbatas biasanya ada di sektor informal seperti pem-bantu rumah tangga, pelayan restoran, perawat lansia atau anak dan buruh pabrik. Jenis-jenis pekerjaan yang didapat tersebut yang rawan, berbahaya, merendahkan dan kotor, dikarena-kan tidak adanya keahlian atau ketrampilan, sehingga para calo tenaga kerja mengincar melalui penipuan atau sesuatu pembayaran yang disepakati (Amiruddin, 2008). Nuryana (2005) di dalam hasil penelitiannya menemukan bahwa permasalahan yang dihadapi tenaga kerja perem-puan antara lain minimnya keterampilan teknis sebagai persyaratan tentang ketentuan pokok pemerintah. Kondisi yang menyebabkan anak harus bekerja antara lain agar orangtua tidak merasa terbebani anak, maka anak dinikahkan pada usia muda dengan harapan dapat membantu adik-adiknya, hampir semua responden dinikah-kah pada usia kurang dari 18 tahun (100 persen). Selain dinikahkan di usia muda, agar orangtua tidak terbebani, persyaratan kerja ke luar negeri biasanya seseorang yang sudah menikah, se-hingga anak dipaksa menikah guna kepentingan mencari kerja. Perkawinan yang tidak dilandasi cinta dan ketidaksiapan secara mandiri tentunya dapat berakibat buruk bagi anak antara lain ter-jadi perceraian (55 persen), Hubungan kurang sampai dengan tidak baik antara suami-istri (70 persen) dan terjadi kekerasan dalam rumah tangga kadang-kadang sampai dengan sering ada sebanyak 80 persen. Data tersebut diatas diper-kuat temuan yang dilakukan oleh Musni Umar (2011) bahwa perempuan yang sudah berkelu-arga dan harus meninggalkan rumahtangganya dengan waktu yang lama, maka akan rawan terjadi ketidakharmonisan. Kondisi orangtua dan kondisi anak diatas yang menyebabkan orangtua memperkerjakan anak atau anak terjun ke dunia kerja.

2. Dampak Anak Bekerja terhadap Kondisi Fisik Psikis dan SosialHasil temuan pada penelitian ini adalah

diketahuinya dampak anak bekerja terhadap

Faktor yang Mempengaruhi Anak Bekerja (Ikawati)

Page 6: Faktor yang Mempengaruhi Anak Bekerja

202

kondisi fisik, psikis dan sosialnya, berdasarkan hasil temuan di lapangan maka dapat disimpul-kan bahwa anak yang bekerja pada usia muda, maka anak tersebut ada pada posisi rentan dan apabila anak harus bekerja, maka akan dapat menghambat perkembangan kepribadiannya dan pada akhirnya dapat menghambat tumbuh kembangnya (Sumadi Suryabrata, 1982; Asril Aini, 1982). Menurut Brechendrige dan Vincent (Ikawati 2003), mengatakan “Apabila seorang anak harus bekerja berat, maka kondisinya pada umumnya akan lemah, karena pekerjaan yang ringanpun bila dikerjakan terus-menerus dalam waktu yang lama, maka akan berpengaruh ter-hadap pertumbuhan tubuh dan psikososialnya.” Dampak tersebut dapat terlihat apabila anak bekerja dalam waktu yang lama, ternyata anak bekerja lebih dari sembilan jam sehari, dari 30 responden yang mengalami hal tersebut ada 70 persen.

Anak sangat membutuhkan istirahat, bermain dengan teman sebaya, memperoleh pendidikan, semua itu harus dipenuhi oleh anak, apabila ka-rena bekerja sehingga kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, akibatnya anak terhambat tumbuh-kembangnya. Anak bekerja pada usia muda, maka keterbatasan pendidikan, wawasan dan keterampilan kerja juga terbatas, sehingga anak dalam melakukan pekerjaan banyak melakukan kesalahan. Kondisi ini yang memicu kejengkelan majikan yang pada akhirnya anak kadang-kadang sampai dengan sering mendapatkan perlakuan kasar dan tindak kekerasan di tempat kerja (100 persen). Bentuk tindak-tindak kekerasan tersebut bersifat fisik, psikis dan sosial. Menurut Suyanto (2003), anak bekerja merupakan fenomena ter-jadinya trafficking karena telah terjadi terabai-kannya hak-hak anak untuk dapat tumbuh dan berkembang secara wajar dan optimal.

Anak yang bekerja sangat lemah dan rentan terhadap kondisi kesehatannya, dalam penelitian ini dapat dilihat frekuensi sakit anak dalam satu bulan ternyata, dari 30 responden ada lebih lima kali ke dokter (67 persen). Sakitnya bervariasi yaitu pusing kepala, maag, sakit perut, asam urat, flu dan bahkan ada yang terkena penyakit

kelamin. Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 10 tahun 1987 bahwa jam kerja bagi anak yaitu empat jam dalam sehari, apabila lebih dari itu dan melebihi ambang batas yang dapat di-tolerir, maka dapat berdampak pada kondisi fisik, psikis dan sosialnya (Irwanto, dkk 1999), sedang-kan Sumadi Suryabrata (1982) mengemukakan bahwa apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut, berdampak pada terhambatnya perkembangan kepribadiannya. Usia anak bekerja sangat rentan terhadap berbagai hal yang negatif seperti terje-rumus dalam penyalahgunaan narkoba.

Pada penelitian ini ditemukan bahwa mereka kadang-kadang sampai sering ditawari narkoba (63 persen), Irwanto, dkk (1999) menemukan bahwa seorang anak yang terpaksa bekerja rawan terhadap ekspoitasi. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa yang mengeksploitasi adalah orangtuanya sendiri (100 persen) yaitu melalui jerat hutang dari agen pencari kerja, orangtua rawan terhadap eksploitasi, salah-satunya ter-hadap terjerumusnya dalam penyalahgunaan narkoba yang mendapatkan uang muka dari agen, nanti anaknya yang membayar dengan bekerja. Jeratan hutang tersebut dari agen kepada orangtuanya dan biasanya dipergunakan untuk membeli tanah, memperbaiki atau beli rumah, kendaraan.

Anak bekerja, menerima uang dan ada pemo-tongan upah yang katanya untuk biaya orangtua di daerah asal (70 persen), tidak digaji beberapa bulan alasan untuk biaya keberangkatan (18 persen), tidak diberi kebebasan berhubungan dengan orang lain, teman dan keluarga (70 persen) dan pekerjaan yang dijanjikan tidak se-suai dengan kenyataan (57 persen). Kondisi ini sangat memprihatinkan, kadang orangtua tidak tahu perlakuan yang didapat anak di tempat kerja, tetapi orangtua selalu menuntut anak un-tuk selalu mengirim hasil kerjanya, baik melalui kiriman langsung maupun mealui jeratan hutang dari agen pencari kerja. Semua yang dirasakan anak ditempat kerja tidak dihiraukannya, asal ke-luarganya bahagia dan sejahtera. Kondisi di atas menurut Debora Imelda, dkk (2004) menemukan persamaam dan perbedaan dengan sistem ijon

Jurnal PKS Vol 14 No 2 Juni 2015; 197 - 210

Page 7: Faktor yang Mempengaruhi Anak Bekerja

203

di bidang pertanian dan di perdagangan orang atau manusia atau trafficking antara lain melalui jeratan hutang kepada keluarga calon yang akan diperkerjakan. Dalam krisis ekonomi keluarga, tidak ada salahnya memanfaatkan anak untuk bekerja (Mohamad Farid, 1999).

3. Kontribusi Anak Bekerja terhadap Eko-nomi dan Sosial KeluarganyaSalah satu tujuan penelitian ini untuk menge-

tahui kontribusi anak bekerja terhadap kondisi ekonomi dan sosial keluarganya, berdasarkan data di lapangan maka temuan dalam penelitian bahwa kontribusi anak bekerja terhadap keluar-ganya baik secara ekonomi maupun sosial tidak dapat dipungkiri, hal ini dapat dilihat tumbuh-nya sektor-sektor ekonomi lainnya di daerah asal, sehingga menyebabkan perputaran uang menjadi lebih cepat mendorong pertumbuhan perekonomian masyarakat disekitarnya (multi-player effect economy). Kegiatan ekonomi yang ditimbulkan membawa dampak positif terhadap pertumbuhan perekonomian daerah. Selain itu, yang lebih penting adalah kontribusi terhadap kondisi ekonomi dan sosial keluarganya. Da-lam penelitian ini ditemukan kondisi ekonomi keluarga seperti peningkatan penghasilan yang dulunya kecil bahkan tidak punya penghasilan, setelah anaknya bekerja ke luar negeri penghasi-lannya dapat mencukupi keluarganya. Hal terse-but di lapangan dapat dilihat dalam peningkatan penghasilan yaitu yang dulunya kurang dari 300 ribu per bulan kemudian lebih dari satu juta (80 persen dari 30 responden). Kondisi tersebut dapat diartikan bahwa pekerja migran anak mampu membawa perubahan terutama ekonomi dengan berbagai konsekuensi negatif dan positif (Sunit ATC, dkk, 2010). Hasil anak bekerja juga dapat menabung secara rutin (70 persen), dari peng-hasilannya tersebut dapat mempunyai roda dua (100 persen), kendaraan roda empat (40 persen), untuk beli rumah (60 persen), tanah (33 persen) dan perhiasan (80 persen). Penghasilan yang didapat responden juga dapat memberikan modal untuk keluarganya (40 persen), untuk modal suami (30 persen) dan untuk modal anaknya (20

persen). Semua kebutuhan sehari-hari keluarg-anya juga dapat dipenuhi (80 persen).

Kontribusi sosial dampak anak bekerja dalam penelitian ini ditemukan, responden bisa me-nyekolahkan anak (33 persen), menyekolahkan kakaknya (17 persen) dan adiknya (20 persen). Dengan penghasilan responden ternyata mampu memberikan kontribusi pada keluarganya yaitu ikut terlibat dalam kegiatan sosial (100 persen), yang dulunya tidak pernah dilakukannya dikare-nakan waktunya habis untuk mencari nafkah. Kegiatan sosial lainnya seperti menengok ke-luarga dan tetangga yang sakit dan membantu keluarga dan tetangga yang membutuhkan. Data yang ditemukan di lapangan ini juga didukung penelitian Ikawati, dkk (2009) yang menemukan bahwa sebelum pekerja migran anak bekerja ke luar negeri akses keluarga untuk melakukan kegiatan sosial kurang dimiliki, tetapi setelah bekerja dengan kontribusi secara ekonomi mela-lui remitan kepada keluarganya , maka keluarga dapat melakukan fungsi sosialdi masyarakat.

4. Upaya Keluarga, Masyarakat dan Pemer-intah dalam Menekan Jumlah Pekerja Anak

a. Upaya Keluarga dalam Menekan Anak Terjun ke Dunia KerjaKemiskinan telah memaksa banyak kelu-

arga melakukan imigrasi, dengan harapan dapat mencari pekerjaan yang lebih baik, sehingga dapat membayar hutang dan mendapatkan ke-hidupan yang lebih layak atau baik. Informasi tentang bekerja baik di dalam atau luar negeri dengan upah atau gaji yang tinggi mendorong mereka untuk berimigrasi dengan perhitungan yang matang, akibatnya mereka terperangkap para calo atau penipu tenaga kerja (trafficker) yang menjadikan sebagai korban trafficking. Perdagangan manusia bukan suatu hal yang baru di muka bumi ini dengan makin beradabnya ma-nusia, perbudakan tidak kemudian berhenti atau hilang, tetapi beralih menjadi perdagangan pada jenis manusia yang dilemahkan yaitu perempuan dan anak.

Faktor yang Mempengaruhi Anak Bekerja (Ikawati)

Page 8: Faktor yang Mempengaruhi Anak Bekerja

204

Kondisi keluarga yang miskin mendesak dan memaksa anaknya untuk tidak melanjutkan sekolah dikarenakan tidak ada biaya, akibatnya anak terpaksa bekerja dengan bekal tingkat pendidikan yang rendah, walaupun demikian keluarga telah menunjukkan upaya dalam me-nekan jumlah anak bekerja, antara lain melalui pemberian pendidikan di bangku sekolah. Hal tersebut dapat dilihat dari kepemilikan tingkat pendidikan responden (SD tamat,13 persen), sedangkan yang mengatakan SLTP tidak tamat 5 orang (17 persen), SLTP tamat 6 orang (20 persen), SLTA tidak tamat 8 orang (27 persen) dan SLTA tamat 7 orang (23 persen). Kondisi tersebut dapat dimaknai bahwa orangtua sudah berupaya agar anak mendapat bekal pendidikan walaupun sebatas kemampuan mereka yaitu nampak terlihat yang tidak tamat SD tidak ada dan rata-rata pernah mengenyam bangku sekolah walupun hanya sampai SLTA. Data di atas diklarifikasikan pada orangtua responden ternyata ada beberapa statemen yang mendukung data tersebut antara lain: “Saya menyekolahkan anak cukup bisa baca dan tulis saja sudah cukup, minimal anak saya sekolahkan hingga tamat SD sudah cukup.” “Saya punya banyak anak, agar semua dapat sekolah, ya, gantian dengan adik-adiknya cukup lulus SD minimal.” “ Saya membekali anak sekolah minimal SMP, biar gantian dengan adik-adiknya yang penting anak saya tidak bodoh.” “Saya sekolahkan anak saya sampai SLTA, agar mudah dapat cari kerjanya.” “Saya hanya mampu menyekolahkan anak sam-pai dengan lulus SMP saja.”

Menurut Aswarni Sudjud (1999), masa anak merupakan masa strategis sekaligus kritis. Stra-tegis, karena masa ini merupakan masa peka un-tuk memperoleh stimulan dan pembelajaran yang memungkinkan anak dikondisikan memperoleh keberhasilan di dalam kelompoknya. Kritis, apabila terjadi salah asuh dapat menyebabkan gangguan perkembangan atau pembelajaran yang pada akhirnya terganggu perkembangan selanjutnya. Pada kaitan di atas keluarga telah berupaya menyekolahkan anak dan tampak tidak ada yang tidak sekolah.

b. Upaya Masyarakat dalam Menekan Anak BekerjaPenyuluhan Sosial tentang Pentingnya

Memberi Pendidikan Anak: Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan me-lindungi anak berserta hak-haknya, agar mereka dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berparti-sipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari penelantaran, kekerasan dan diskriminasi. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga,masyarakat dan pemerintah atau negara (Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak). Berdasarkan hal tersebut, masyarakat wajib melakukan kegiatan dalam rangka perlindungan anak antara lain telah di-lakukan dalam bentuk penyuluhan tentang pentingnya memberi pendidikan anak, dengan maksud orangtua dapat memahami pentingnya anak bersekolah, sehingga dapat mencegah tidak terjadi pemaksaan anak bekerja demi membantu ekonomi keluarga. Dari 30 responden yang me-ngatakan rutin mendatangi penyuluhan tersebut, ada 10 orang (33 persen), yang mengatakan apa-bila perlu saja mendatangi penyuluhan, 9 orang (30 persen) dan responden yang mengatakan tidak pernah mendatangi 11 orang (67 persen). Data tersebut dapat dimaknai bahwa masyarakat telah berupaya melakukan agar jumlah anak yang bekerja dapat dicegah, untuk dapat meli-hat manfaat penyuluhan tersebut bagi orangtua responden dapat diklarifikasikan pada statemen sebagai berikut.

“Saya setelah dapat pengetahuan melalui pertemuan di RW tentang anak harus diseko-lahkan, maka saya berusaha anak disekolahkan walaupun hanya sampai SD.” “Saya berusaha menyekolahkan anak sampai SLTA, agar anak punya bekal nantinya di masyarakat.” “Saya tahu bahwa anak harus sekolah di balai desa, saat itu saya sekolahkan anak-anak saya , walaupun hanya sampai SLTP.”

Pemantauan Jam Belajar: Upaya masya-rakat dalam menekan jumlah anak bekerja telah dilakukan melalui pemantauan jam belajar anak

Jurnal PKS Vol 14 No 2 Juni 2015; 197 - 210

Page 9: Faktor yang Mempengaruhi Anak Bekerja

205

yaitu antara jam 18.00–21.00 , tujuan diadakan pemantauan tersebut antara lain agar anak bisa konsentrasi belajar sehingga tidak bermasalah dalam proses belajar, anak tidak terpengaruh perilaku yang tidak baik di sekitarnya, anak dapat lancar sekolahnya (naik kelas) serta me-motivasi anak lain untuk melakukan kegiatan belajar. Data tersebut dapat digambarkan, 30 responden yang mengatakan ada pemantauan, 12 orang (40 persen), yang mengatakan kadang ada pemantauan 8 orang (27 persen) dan yang mengatakan tidak pernah dipantau 10 orang (33 persen). Data tersebut dapat dimaknai bahwa masyarakat telah mengupayakan penekanan jumlah anak bekerja melalui pemantauan jam belajar, diharapkan anak-anak tidak terhambat proses belajar dan dapat memotivasi anak terus bersekolah. Data tersebut diklarifikasikan pada respoden yang mendukung temuan di atas antara lain: “Saya merasa ada yang memperhatikan be-lajar bila ada pemantauan.” Saya tidak enak bila jam belajar, saya tidak belajar.” “Saya merasa terdorong untuk belajar selama ada aturan waktu belajar.” “Mau tidak mau saya harus membiasa-kan bahwa pada waktu jam belajar tidak pergi dan harus belajar.” “terdorong untuk belajar se-lama ada aturan waktu belajar.” “Mau tidak mau saya harus membiasakan bahwa pada waktu jam belajar tidak pergi dan harus belajar.”

Mencarikan kepada Instansi Terkait un-tuk Beasiswa: Masyarakat yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, terutama dalam mencegah jumlah anak yang bekerja tentunya dapat melihat apa yang telah terjadi di sekitar atau lingkungannya seperti telah ter-jadi banyaknya anak yang dipaksa orangtuanya bekerja. Hasil penelitian menemukan bahwa masyarakat telah berupaya mencegah timbulnya anak yang karena sesuatu hal harus bekerja, dari 30 orang yang mengatakan sering mencarikan rujukan apabila ada anak yang tidak bersekolah, 3 orang (10 persen), yang mengatakan kadang-kadang melakukan rujukan 6 orang (20 persen) dan yang mengatakan belum pernah rujukan 21 orang (70 persen). Data tersebut setelah diklari-

fikasikan dengan responden (masyarakat, tokoh masyarakat, kader, tokoh ulama, tokoh adat), ada beberapa yang mendukung data tersebut antara lain: “Rujukan biasa dilakukan ke instansi terkait apabila ada warga atau orangtua yang menel-antarkan anaknya tidak diperbolehkan sekolah, dan harus bekerja.” “Rujukan dilakukan bila lingkungan sudah tidak bisa mengatasi, maka dimintakan bantuan ke instanisi terkait.” “saya membantu mencarikan rujukan apabila anak memamg memerlukan, agar anak dapat sekolah dengan tenang biaya gratis.” “selama lingkungan sekitar dapat membantu permasalahan anak, maka kami tidak merujuk ke instansi lain, karena masalah dapat diselesaikan antar RT/RW dengan swasembada.”

Melakukan Pendataan kepada Anak Pu-tus Sekolah: Efektivitas dalam memecahkan permasalahan anak terutama dalam menekan jumlah anak yang bekerja dilakukan pendataan kepada anak-anak yang putus sekolah, kemu-dian ditindaklanjuti dengan suatu aksi agar anak tercegah dalam dunia kerja. Gambaran ini dapat dilihat dalam temuan di lapangan, 30 orang yang mengatakan ada pendataan 10 orang (33 persen), setelah diklarifikasikan dengan salah satu re-sponden ada yang mengatakan “Biasanya saya melakukan pendataan kepada anak-anak putus sekolah yang dikarenakan keterbatasan ekonomi saja.” yang mengatakan tidak ada pendataan 20 orang (66,67 persen), salah satu responden yang mendukung data yang ditemukan tersebut dengan statemen berikut. “Saya tidak melakukan pendataan, karena bila perlu saja atau mendesak bila ada permasalahan anak putus sekolah.”

Memberi Ketrampilan Kerja dan Modal Usaha bagi Keluarga Rawan Sosial Ekonomi: Keterbatasan ekonomi keluarga, menyebabkan orangtua harus memaksa anak tidak lagi sekolah karena harus membantu ekonomi keluarganya. Masyarakat berupaya membantu melalui ke-luarga atau orangtuanya dengan pemberian ketrampilan kerja dan modal usaha pada ke-luarga rawan sosial ekonomi, dengan harapan pemberian keterampilan mampu meningkatkan

Faktor yang Mempengaruhi Anak Bekerja (Ikawati)

Page 10: Faktor yang Mempengaruhi Anak Bekerja

206

penghasilan keluarga yang pada akhirnya dapat membiayai sekolah anak-anaknya. Data tersebut dapat digambarkan dalam bagan di bawah ini, dari 30 responden yang mengatakan diberikan secara rutin 5 orang(17 persen), yang menga-takan tidak rutin 6 orang (20 persen) dan yang mengatakan tidak pernah ada kegiatan pem-berian keterampilan dan modal usaha kepada keluarga rawan sosial ekonomi 19 orang (63 persen). Data tersebut setelah diklarifikasikan pada responden ada beberapa yang menyatakan: “Keterampilan bengkel yang pernah diberikan kepada saya cukup membantu ekonomi keluarga saya.” “Saya pernah menanyakan kepada Pak Lurah, kenapa saya tidak pernah diikutkan dalam pelatihan, tetapi jawabannya nunggu giliran atau bertahap.”

Memantau Pemalsuan Kartu Tanda Pen-duduk (KTP): Pemalsuan KTP sebelum ada KTP elektronik sangat marak terjadi, biasanya dibuat untuk memalsukan usia anak (< 18 tahun) menjadi usia kerja (>18 tahun) atau sesuai per-mintaan perusahaan yang akan ditempati kerja. Pembuatan KTP melalui elektronik salah satunya berlaku on line artinya terdata di seluruh Indo-nesia dan apabila ada kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja akan terpantau

c. Upaya Pemerintah dalam Menekan Anak Terjun ke Dunia KerjaWajib Belajar Sembilan Tahun: Upaya

pemerintah melalui wajib belajar (pembebasan uang SPP) yang telah dilakukan untuk me-ngurangi adanya siswa putus sekolah (drop out), tetapi kenyataannya masih tetap banyak yang tidak sekolah. Kondisi tersebut menurut pengamatan peneliti dikarenakan kemiskinan, sehingga keluarga miskin sangat sulit menyeko-lahkan anak, walaupun ada pembebasan uang SPP, tetapi mereka juga tetap harus menge-luarkan uang untuk membeli buku, uang saku, uang transpot bila jarak sekolah dengan rumah jauh. Selain hal tersebut masih ada anggapan masyarakat bahwa anak adalah potensi keluarga untuk dapat membantu mencari nafkah keluar-ganya, maka anak tidak bisa menolak harus patuh

terhadap orangtuanya sehingga anak harus terjun kedunia kerja. Apabila wajib belajar sembilan tahun dapat dilaksanakan dengan baik dan be-nar, maka angkatan kerja usia 10 -14 tahun akan berangsur-angsur berkurang, karena proporsi yang melanjutkan sekolah akan semakin besar sehingga akan berdampak pada pengurangan angkatan kerja pada usia tersebut.

Wajib belajar sembilan tahun diselengga-rakan agar anak di keluarga miskin atau tidak mampu mempunyai akses terhadap pendidikan, apabila perlu wajib belajar ditentukan tanpa biaya artinya mereka dibebaskan dari semua pengeluaran pendidikan. Wajib belajar diperkuat dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 9 ayat 1 tentang setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pri-badinya dan tingkat kecerdasannya sesuai minat dan bakatnya. Pertama, Kartu Tanda Penduduk (KTP) Melalui Sistem Elektronik (EKTP). Sistem elektronik salah satunya bertujuan untuk mencegah seseorang mempunyai KTP dibeber-apa tempat dan mencegah anak dibawah umur melakukan pekerjaan buruk serta mencegah aparat dapat melakukan pemalsuan identitas terutama usia, status perkawinan dan alamat.

Kedua, Peraturan Perundang-undangan: Banyaknya anak terjun ke dunia kerja salah satunya telah terjadi pemalsuan usia, agar anak bisa diterima kerja, karena apabila tidak dipalsukan akan terkena sanksi yang tertulis dalam undang-undang yang mengatakan bahwa seseorang yang masih berusia kurang dari 18 tahun tidak boleh melakukan pekerjaan yaitu dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2002, Undang-undang ketenagakerjaan tahun 2003 dan Undang-undang nomor 20 tahun 1999 tentang pengesahan ILO Convention nomor 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja) dan Undang-undang nomor 1 tahun 2000 tentang pengesahan konvensi ILO nomor 189 mengenai pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

Jurnal PKS Vol 14 No 2 Juni 2015; 197 - 210

Page 11: Faktor yang Mempengaruhi Anak Bekerja

207

Dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2002 pasal 11 bahwa setiap anak berhak untuk beris-tirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berkreasi sesuai dengan minat , bakat dan tingkat kecerdasannya dalam pengembangan diri. Dengan peraturan perundang-undangan tersebut, pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak harus dilakukan.

Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga, karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak meru-pakan peraturan perundang-perundangan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan ber-partisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Berdasarkan hal tersebut maka undang-undang tentang perlindungan anak harus berazaskan non diskriminasi, kepentingan yang terbaik untuk anak, hak anak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan serta penghargaan terhadap pendapat anak. Azas dalam undang-undang tersebut telah dijabarkan dalam undang-undang nomor 23 tahun 2002 pasal 14 tentang setiap anak berhak untuk diasuh oleh orangtuanya sendiri, kecuali jika ada alasan aturan hukum syah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.

Dalam undang-undang tentang perlindungan anak menyatakan bahwa kewajiban kita semua dalam melaksanakan perlindungan anak. Pasal 26 ayat 1 mengatakan bahwa kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orangtua da-lam perlindungan anak antara lain mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemapuan bakat dan minat serta mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak. Dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2002 juga menjabar perlindungan anak melalui kewajiban

tanggungjawab masyarakat yaitu melalui keg-iatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak (pasal 25).

Kewajiban tanggung jawab negara dan pe-merintah dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2002 dijabarkan dalam pasal 20, 21, 22, 23 dan pasal 24 tentang pengawasan menjamin penyelenggaraan perlindungan anak. Selanjutnya pasal 13 ayat 1 dan ayat 2 dalam undang-undang tersebut menjelaskan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orangtua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pen-gasuhan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah dan lain-lain. Pada ayat 1 dan ayat 2, apabila orangtua, wali atau pengasuhan anak melakukan segala bentuk perlakuan (ayat 1 diatas), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman. Perundang-undangan Ketenagaker-jaan menurut Menaker RI, SE-12/M/BM tahun 1997 tentang larangan anak bekerja lebih dari 4 jam, apalagi di sektor yang berbahaya. Undang-undang nomor 13 tahun 2003 memperkuat larangan tersebut yaitu anak yang berusia 13-15 tahun diperbolehkan melakukan pekerjaan yang ringan apabila ada izin tertulis orangtua atau wali, waktu kerja maksimal tiga jam dan dilakukan di siang hari serta tidak mengganggu sekolah, menjamin keselamatan dan kesehatan kerja dan adanya hubungan yang jelas peneri-maan upah.

Upaya yang dilakukan masyarakat guna menekan jumlah anak bekerja antara lain mem-berikan penyuluhan tentang pentingnya pen-didikan bagi anak kepada keluarga yang rawan memperkerjakan anak, ternyata masyarakat sangat peduli terhadap permasalahan pekerja anak terlihat dalam temuan di lapangan dari 30 responden, rutin mendatangi penyuluhan ada 33 persen dan masih ada 67 persen yang kadang-kadang- tidak pernah mendatangi Upaya masyarakat juga melakukan pemantauan jam belajar anak, agar anak dapat konsentrasi dan lancar sekolahnya sehingga anak termotivasi un-

Faktor yang Mempengaruhi Anak Bekerja (Ikawati)

Page 12: Faktor yang Mempengaruhi Anak Bekerja

208

tuk sekolah dari pada bekerja dari 30 responden ada 40 persen, sedangkan masih ada 60 persen yang mengatakan kadang-kadang- tidak pernah memantau jam belajar anak.

Masyarakat juga membentuk kelompok belajar secara rutin 30 persen dari 30 responden yang melakukan hal tersebut, sedangkan masih ada 70 persen yang tidak membentuk kelompok belajar. Upaya masyarakat dalam rangka mene-kan jumlah anak bekerja antara lain mencarikan rujukan seperti bea siswa dari 30 persen 10 persen dari 30 responden, masyarakat juga telah melakukan pendataan kepada anak-anak yang putus sekolah ada sebanyak 33 persen dari 30 responden dan upaya masyarakat juga mem-berikan ketrampilan kerja, baik secara rutin (17 persen) maupun tidak rutin (20 persen) dari 30 responden dan masyarpemberian modal usaha kepada keluarga yang rawan sosial ekonomi (63 persen), masyarakat juga memantau terjadinya pemalsuan KTP (26 persen) dari 30 responden dan masyarakat juga membatasi memberikan surat keterangan untuk bekerja bagi anak usia di bawah 18 tahun. Upaya yang dilakukan pemerin-tah/instansi terkait dalam menekan jumlah anak yang bekerja antara lain wajib belajar sembilan tahun, kartu penduduk sistem elektronik, pener-bitan perundang-undangan tentang perlindunga anak yang bekerja dan penindakan hukum bagi orang-orang pelakutrafficking

D. PenutupKesimpulan: ditemukan faktor-faktor pe-

nyebab anak bekerja adalah kondisi tingkat pendidikan orangtua, penghasilan yang rendah serta jumlah tanggungan orangtua yang banyak, dan adanya ketidakharmonisan dalam keluarga. Dampak anak bekerja dapat menghambat tum-buh kembangnya baik secara fisik, psikis dan sosial. Kontribusi anak bekerja yaitu meningkat-kan kondisi ekonomi dan sosial keluarga, seperti peningkatan penghasilan, dapat menyekolahkan anggota keluarga, dan meningkatnya keterlibatan anggota keluarga dalam kegiatan sosial. Upaya keluarga, masyarakat dan pemerintah dalam

menekan jumlah anak bekerja antara lain, ke-luarga telah menyekolahkan anak (tamat SD), masyarakat melalui kegiatan penyuluhan tentang pentingnya pendidikan anak, pemantauan jam belajar anak, membentuk kelompok belajar, mencari rujukan bea siswa, pendataan anak pu-tus sekolah, memberi ketrampilan kerja, modal usaha kepada keluarga rawan sosial ekonomi, memantau terjadinya pemalsuan KTP dan mem-batasi memberikan surat keterangan bekerja bagi anak di bawah usia. Upaya pemerintah dalam menekan jumlah anak bekerja, antara lain wajib belajar sembilan tahun, kartu penduduk sistem elektronik, penerbitan perundang-undangan tentang perlindungan anak yang bekerja dan penindakan hukum bagi pelakutrafficking.

Rekomendasi: Berdasarkan temuan hasil penelitian direkomendasikan kepada Kemen-terian Sosial RI melalui Direktorat Korban Tindak-Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran dalam program pemberdayaan keluarga miskin di daerah asal pekerja migran (PM) berbasis potensi lokal agar dapat tercegah keterlibatan anak yang bekerja, melalui program-program dengan pendekatan holistik komprehensif kepada anak yang terpaksa bekerja melalui pendidikan formal yaitu program wajib belajar yang telah dicanangkan pemerintah, sehingga dapat member waktu anak agar dapat belajar dan sedikit bekerja. Pendidikan non-formal perlu dilakukan untuk kemampuan keterampilan dan kreatifitas anak yang nantinya dapat untuk bekal masa depannya. Keluarga yang rawan memper-kerjakan anak perlu adanya pemberdayaan baik dalam peningkatan pengetahuan, keterampilan dan pemberdayaan ekonomi, sehingga keluarga mendapat penghasilan yang pada akhirnya anak dapat tercegah tidak terlibat dalam dunia kerja. Masyarakat dapat sebagai mediator dalam pe-nyampaian informasi tentang pentingnya hak anak dan perlindungannya, sehingga masyarakat juga peduli dan ikut berpartisipasi dalam pence-gahan terjadinya keterlibatan anak dalam dunia kerja

Jurnal PKS Vol 14 No 2 Juni 2015; 197 - 210

Page 13: Faktor yang Mempengaruhi Anak Bekerja

209

Pustaka AcuanAsril Aini. (1982). Anak Yang Terpaksa Bekerja dan

Masalahnya. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM dan BP3K Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Aswarni Sujud. (1999). Beberapa Aspek Perkembangan Anak dan PAUD. Yogyakarta: PSW, UII.

Arikunto, S. (2002). Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta

Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dep-nakertrans). (2007). Pekerja Migran dalam Perspektif Hukum Indonesia – Malaysia. Surakarta: Fakultas Hukum UNS.

Effendi, Tadjuddin Noer. (1992). Buruh Anak Phenomena di Kota dan Pedesaan. Seminar Nasional. Jakarta Indonesia: Kerjasama Pusat Pembinaan SDM (PPSM) Yayasan Tenaga Kerja Indonesia dan Friedrich Ebert-stifing.

Farid, M. (1999). Kekerasan Seksual, Eksploitasi Seksual dan Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak. Jakarta.

.............. (1999). Anak Yang Dilacurkan di Indonesia. Semarang

Goma, Johana Naomi. (1993). Mobilitas Tenaga Kerja Flores Timur ke Sabah Malaysia dan Pengaruhnya terhadap Daerah Asal : Studi Kasus Desa Neleren, Kecamatan Adonaru, Kabupaten Flores Timur. Yogyakarta: UGM.

Haris, Abdul. (2002). Memburu Ringgit Membagi Kemis-kinan: Fakta Dibalik Migrasi Orang Sasak Ke Ma-laysia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Nawawi, H dan Martini, M. (1996). Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ikawati dkk. (2003). Uji coba Pola Pencegahan Hilangnya Masa Perkembangan pada Pekerja Anak. Yogyakarta: B2P3KS.

—————. (2008). Pekerja Migran dan Permasalahan Suatu Studi Kasus di Lombok Tengah NTB. Yogya-karta: Jurnal penelitian Kesejahteraan sosial Vol.VII, Nomor 25 september 2008.

—————. (2009). Penanganan Eks Tenaga Kerja Indo-nesia di Daerah Asal. Yogyakarta: Citra Media.

Irwanto, dkk. (1999). Anak yang Memerlukan Perlind-ungan Khusus di Indonesia. Analisis Situasi kerja-sama PKPM Unika Atmajaya. Jakarta: Depsos RI UNICEF.

Johana Debora Imelda, dkk. (2004). Utang Selilit Ping-gang: Sistem Ijon dalam Perdagangan Anak dan Perempuan. Yogyakarta: Ford Foundation dengan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.

Krastawan,W. (1992). Buruh Anak pada Sektor Tradisi-onal. Seminar Nasional. Kerjasama Pusat Pembinaan SDM (PPSM) dan Yayasan TKI dan Friedrich Ebert. Stifing (FES). Jakarta.

Mantra, Ida Bagoes dkk. (1999). Mobilitas Tenaga Kerja Indonesia ke Malaysia: Studi Kasus Flores Timur, Lombok Tengah dan Pulau Bawean. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM.

Mantra, Ida Bagoes, (1999). Mobilitas Penduduk Sirkuler dari Desa ke Kota. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM.

Mariana Amirudin. (2008). Wilayah Tertinggal Migrasi dan Perdagangan Manusia. Jurnal Perempuan nomor 59. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Moleong, Lexy, J. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: PT Rosdakarya.

Nuryana, Mukman. (2005). Permasalahan Sosial Tenaga Kerja Wanita Indonesia Perjalanan Pekerja Migran Indonesia dari Desa Hingga Negara Tujuan. Jakarta: Litbangkesos, Departemen Sosial.

Karinina, N dan Sri Utami. (2005). Permasalahan So-sial Tenaga Kerja Wanita Indonesia: Permasalahan Pekerja Migran Perempuan di Sulawesi Tenggara. Jakarta: Pusat Penelitian Kesejahteraan Sosial, De-partemen Sosial.

Sudjana, (1998). Statistik. Bandung: Tarsito.Sularto, St. (2000). Seandainya Aku Bukan Anakmu. Ja-

karta : Kompas.Sumadi, Suryabrata.(1982). Hubungan antara Perkem-

bangan Pribadi dan Keterlantaran. Yogyakarta: Fakultas Psikologi dan BP3K Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sunit, ATC dkk. (2010). Perubahan Sosial dalam Struktur Keluarga Migran Domistik dan Lintas Negara pada Penduduk Miskin di Pedesaan. Yogyakarta: B2P3KS PRESS.

Surya Mulandar. (1996). Dehumanisasi Anak Marjinal. Bandung: Yayasan Akatiga 4 Gugus Analisis.

Sutrisnohadi. (2000). Metodologi Research. Jilid 2. Yog-yakarta: Andi Offfset.

Suyanto, Bagong. (2003). Pekerja Anak dan Kelangsungan Pendidikannya. Surabaya: Litfansah

Suyanto, Bagong. (2003). Perdagangan dan Eksploitasi Seksual Komersial anak Perempuan. Jurnal Perem-puan nomor 29. Edisi Mei 2003. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Utama Bey Sapta. (1994). Migrasi dan Pembangunan Daerah di Indonesia. Dalam Warta Demografi, tahun ke 24 nomor 3.

Faktor yang Mempengaruhi Anak Bekerja (Ikawati)

Page 14: Faktor yang Mempengaruhi Anak Bekerja

210

Jurnal PKS Vol 14 No 2 Juni 2015; 197 - 210