faktor yang berhubungan dengan keberadaan jentik aedes aegypti
DESCRIPTION
skripsi untuk memperoleh gelar sarjana kesehatan masyarakat, tujuan skripsi ini untuk mengetahui hubungan jenis TPA, kondisi TPA, kondisi rumah, menguras TPA, dan jenis jentik terhadap keberadaan jentik aedes aegypti di kelurahan paccerakkang kota makassar tahun 2012TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam Berdarah (DB) atau Demam Berdarah Dengue (DBD)
adalah penyakit demam akut yang ditemukan di daerah tropis dengan
penyebaran geografis yang mirip dengan malaria. Demam berdarah
disebarkan kepada manusia oleh nyamuk Aedes aegypti
(Kalyanamitra, 2012). Sekitar 2,5 milyar orang (2/5 penduduk)
mempunyai resiko untuk terkena infeksi virus dengue. Lebih dari 100
negara tropis dan subtropis pernah mengalami letusan dengue dan
demam berdarah dengue, lebih kurang 50.000 kasus setiap tahun
dirawat di rumah sakit dengan ribuan orang diantaranya meninggal
dunia. Nyamuk Aedes aegypti yang merupakan vektor yang berperan
dalam penularan penyakit DBD ini hidup di dalam rumah, di kloset, di
tempat-tempat yang gelap, dan di luar rumah (Misnadiarly, 2009).
Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan
pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu,
terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health
Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara
dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara (Pusat Data dan
Surveilans Epidemiologi Kemenkes RI, 2010).
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan
salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia.
2
Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah
seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. Di
Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan di kota Surabaya
pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang
diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK) : 41,3 %). Sejak
saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia (Pusat Data
dan Surveilans Epidemiologi Kemenkes RI, 2010).
Tahun-tahun berikutnya kasus demam berdarah berfluktuasi
jumlahnya setiap tahun dan cenderung meningkat. Demikian pula
wilayah yang terjangkit bertambah luas. Menurut Suroso dan Umar
penyebab meningkatnya jumlah kasus dan semakin menyebar luasnya
penyakit demam berdarah itu antara lain karena semakin
meningkatnya arus transportasi (mobilitas) penduduk dari satu daerah
ke daerah lain. Sedangkan nyamuk penularnya masih tersebar dan
banyak terdapat baik di rumah, sekolah maupun tempat umum lainnya
(Hadinegoro dan Satari, 2002).
Hampir setiap tahun terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) di
beberapa daerah yang biasanya terjadi pada musim penghujan,
namun sejak awal tahun 2011 ini sampai bulan Agustus 2011 tercatat
jumlah kasus relatif menurun. Program pencegahan dan
pemberantasan DBD telah berlangsung lebih kurang 43 tahun dan
berhasil menurunkan angka kematian dari 41,3% pada tahun 1968
menjadi 0,87 % pada tahun 2010, tetapi belum berhasil menurunkan
3
angka kesakitan. Jumlah penderita cenderung meningkat,
penyebarannya semakin luas, menyerang tidak hanya anak-anak
tetapi juga golongan umur yang lebih tua. Pada tahun 2011 sampai
bulan Agustus tercatat 24.362 kasus dengan 196 kematian (CFR: 0,80
%) (Ditjen PP & PL Depkes RI, 2011).
Penyakit Demam Berdarah Dengue di Sulawesi Selatan juga
merupakan jenis penyakit yang banyak menimbulkan kematian. Hal ini
dapat dilihat bahwa pada tahun 2009 jumlah penderita DBD sebanyak
3553 penyakit dengan jumlah kematian 24 orang, pada tahun 2010
jumlah penyakit DBD sebanyak 3999 penderita dengan jumlah
kematian 28 orang (Dinkes Prov. Sulsel, 2010).
Sekitar 30 daerah yang rawan penyebaran penyakit DBD di
Makassar. Kelurahan yang rawan penyebaran DBD di antaranya
Kelurahan Sudiang Raya, Daya, Tamalanrea Jaya, Tamalanrea Indah,
Parangloe, Tamalanrea, Mariso, Lette, Barombong, Pattingaloang
Baru, dan Pattingaloang. Daerah rawan penyebaran penyakit DBD
tersebut tersebar di 10 Kecamatan. Identifikasi daerah penyebaran
DBD terbanyak ditemukan di Kecamatan Biringkanaya, Tamalanrea,
Wajo, Ujung Pandang, Mamajang, Panakkukang, Ujung Tanah,
Makassar, Mariso dan Tamalate. Kerawanan suatu daerah terhadap
penyebaran penyakit DBD diukur berdasarkan angka bebas jentik.
Suatu daerah dikatakan rawan terjangkit penyakit DBD bila angka
bebas jentik masih < 75%. Padahal agar penularan DBD dapat
4
dicegah Depkes RI menargetkan angka bebas jentik di setiap daerah
mencapai minimal 95%. Nilai ABJ yang relatif rendah (kurang dari 95%
memperbesar peluang terjadinya transmisi virus DBD (Fajar, 2011).
Banyak faktor yang mengakibatkan tingginya keberadaan
larva nyamuk Aedes aegypti. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Damyanti (2009) di Magetan dan Triwinasis (2010) di Yogyakarta
yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara praktek menguras
tempat penampungan air dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes
aegypti.
Dalam penelitian Sulistyawati (2011) menjelaskan bahwa ada
hubungan antara jenis dan kondisi Tempat Penampungan Air (TPA)
dengan kepadatan larva Aedes aegypti di Kelurahan Rappocini Kota
Makassar. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Yudhastuti dan Vidiyani (2005) yang menunjukkan ada hubungan yang
bermakna antara jenis container dengan keberadaan jentik nyamuk
Aedes aegypti di Kelurahan Wonokusumo. Karakteristik TPA dapat
mempengaruhi tingginya kepadatan jentik . Bahan, warna, jenis, dan
letak tempat penampungan air dapat mempengaruhi nyamuk Aedes
aegypti betina dalam memilih tempat bertelur (Sari, et. al., 2012).
Monitoring kepadatan larva Aedes aegypti sangat penting
untuk membantu dalam mengadakan evaluasi adanya ancaman infeksi
virus dengue agar tindakan pemberantasan nyamuk dapat
ditingkatkan. Untuk menentukan investasi Aedes aegypti di suatu
5
daerah sebaiknya diadakan survey terhadap semua sarang atau
tempat perindukan dan wadah yang berisi air bersih yang diduga
sebagai tempat bersarangnya nyamuk pada sejumlah rumah di suatu
daerah (Sulistyawati, 2011).
Wilayah kerja Puskesmas Sudiang Raya yang terletak di
Kelurahan Sudiang Raya merupakan salah satu daerah yang rawan
dengan kejadian DBD. Berdasarkan data Puskesmas Sudiang Raya,
tersangka DBD pada tahun 2011 sebanyak 394 orang. Sementara
data mulai Januari sampai September tahun 2012, tersangka DBD
meningkat menjadi 403 orang. Adapun data tentang pemantauan jentik
di salah satu wilayah kerja Puskesmas Sudiang Raya yaitu Kelurahan
Paccerakkang yang dilaksanakan pada bulan Mei tahun 2011 yaitu
ABJ 80%. Sementara data pemantauan jentik yang dilaksanakan pada
bulan November tahun 2011 yaitu ABJ menurun menjadi 62%
(Puskesmas Sudiang Raya, 2012). Dari data pematauan jentik dapat
disimpulkan bahwa ABJ di Kelurahan Paccerakkang masih < 75 %. Hal
ini merupakan salah satu faktor yang mempermudah transmisi virus
dengue.
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk meneliti faktor
yang berhubungan dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di
Kelurahan Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar
Tahun 2012.
6
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hubungan antara karakteristik Tempat Penampungan
Air (TPA) dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan
Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar tahun
2012?
2. Bagaimana hubungan antara menguras Tempat Penampungan Air
(TPA) dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan
Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar tahun
2012?
3. Bagaimana hubungan antara kondisi Tempat Penampungan Air
(TPA) dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan
Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar tahun
2012?
4. Bagaimana hubungan antara kondisi rumah dengan keberadaan
jentik Aedes aegypti di Kelurahan Paccerakkang Kecamatan
Biringkanaya Kota Makassar tahun 2012?
5. Bagaimana hubungan antara jenis jentik dengan keberadaan jentik
Aedes aegypti di Kelurahan Paccerakkang Kecamatan
Biringkanaya Kota Makassar tahun 2012?
7
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan
keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan Paccerakkang
Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar tahun 2012.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui hubungan antara karakteristik Tempat
Penampungan Air (TPA) dengan keberadaan jentik Aedes
aegypti di Kelurahan Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya
Kota Makassar tahun 2012.
b. Untuk mengetahui hubungan antara menguras Tempat
Penampungan Air (TPA) dengan keberadaan jentik Aedes
aegypti di Kelurahan Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya
Kota Makassar tahun 2012.
c. Untuk mengetahui hubungan antara kondisi Tempat
Penampungan Air (TPA) dengan keberadaan jentik Aedes
aegypti di Kelurahan Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya
Kota Makassar tahun 2012.
d. Untuk mengetahui hubungan antara kondisi rumah dengan
keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan Paccerakkang
Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar tahun 2012.
8
e. Untuk mengetahui hubungan antara jenis jentik dengan
keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan Paccerakkang
Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar tahun 2012.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Instansi Puskesmas dan Dinas Kesehatan
Dapat dijadikan landasan dalam intervensi dan pemecahan
masalah kesehatan yang terjadi di masyarakat agar ABJ semakin
meningkat sehingga kasus DBD tidak terjadi lagi.
2. Bagi Masyarakat
Membantu memecahkan masalah yang ada di masyarakat,
terutama untuk meningkatkan ABJ dan mencegah penularan DBD.
3. Bagi Penulis
Menambah dan memperluas pengetahuan penulis mengenai
beberapa faktor yang berhubungan dengan keberadaan jentik
Aedes aegypti dan rendahnya ABJ di wilayah kerja Puskesmas
Sudiang Raya khususnya Kelurahan Paccerakkang Kota Makassar
Tahun 2012.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang DBD (Demam Berdarah Dengue)
1. Pengertian DBD
Demam berdarah (DB) atau demam berdarah dengue
(DBD) adalah penyakit demam akut yang ditemukan di daerah
tropis, dengan penyebaran geografis yang mirip dengan malaria.
Demam berdarah disebarkan kepada manusia oleh nyamuk Aedes
aegypti (Kalyanamitra, 2012).
Menurut Suroso dan Umar penyakit demam berdarah
dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus
dengue dan ditularkan melalui nyamuk Aedes aegypti. Penyakit ini
dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian
terutama pada anak, serta sering menimbulkan kejadian luar biasa
atau wabah (Hadinegoro dan Satari, 2002).
Vektor DBD atau penyebar/pembawa penyakit atau
pembawa virus penyebab DBD adalah nyamuk Aedes aegypti,
sedangkan penyebab DBD adalah virus dengue. Mengenai
penularan penyakit DBD dapat dijelaskan bahwa penyakit demam
berdarah dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk tersebut.
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular
berbahaya yan disebabkan oleh virus Dengue, menyebabkan
10
gangguan pada pembuluh darah kapiler dan sistem pembekuan
darah sehingga mengakibatkan pendarahan, dapat menimbulkan
kematian (Misnadiarly, 2009)
Darah penderita sudah mengandung virus, yaitu sekitar 1-2
hari sebelum terserang demam. Virus berada dalam darah selama
5-8 hari. Jika daya tahan tubuh tidak cukup kuat melawan virus,
maka orang tersebut mengalami berbagai jenis gejala DBD (Satari
dalam Nugroho, 2009).
Demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic
fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri
sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia
dan diathesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma
yang ditandai oleh peningkatan hemtokrit atau penumpukan cairan
di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue adalah demam berdarah
dengue yang ditandai oleh renjatan/syok (Sudoyo, et al., 2006).
Penyakit ini disebabkan oleh virus Dengue dari genus
Flavivirus, famili Flaviviridae. DBD ditularkan ke manusia melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypti yang terinfeksi virus Dengue. Virus
Dengue penyebab Demam Dengue (DD), Demam Berdarah
Dengue (DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS) termasuk
dalam kelompok B Arthropod Virus (Arbovirosis) yang sekarang
dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviride, dan mempunyai
11
4 jenis serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den-4 (Pusat Data dan
Surveilans Epidemiologi Kemenkes RI, 2010).
2. Tanda dan Gejala DBD
Gejala Klinik utama pada DBD adalah demam dan
manifestasi pendarahan baik yang timbul secara spontan maupun
setelah uji torniquest. WHO (dalam Soegijanto, 2004) menentukan
beberapa patokan untuk menegakkan diagnosis klinik DBD yaitu:
a) Demam tinggi mendadak yang berlangsung selama 2-7 hari
b) Manifestasi pendarahan:
1) Uji torniquest positif
2) Pendarahan spontan berbentuk peteki (pendarahan pada
kulit), purpura (pendarahan kecil di dalam kulit), ekimosis,
epistakis (pendarahan hidung), pendarahan gusi,
hematemesis (muntah darah), melena (BAB darah).
3) Hepatomegali (pembesaran hati)
4) Renjatan, nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (<
20 mmHg) atau nadi tak teraba, kulit dingin, dan anak
gelisah.
Banyak penderita atau keluarga penderita mengalami
kondisi fatal karena menganggap ringan gejala-gejala tersebut.
Sesudah masa tunas/inkubasi selama 3 - 15 hari orang yang
tertular dapat mengalami/menderita penyakit ini dalam salah
12
satu dari 4 bentuk. Empat bentuk tersebut yaitu (dalam
Kalyanamitra, 2012):
1) Bentuk abortif, penderita tidak merasakan suatu gejala
apapun.
2) Dengue klasik, penderita mengalami demam tinggi selama
4-7 hari, nyeri-nyeri pada tulang, diikuti dengan munculnya
bintik-bintik atau bercak-bercak perdarahan di bawah kulit.
3) Dengue Haemorrhagic Fever (Demam berdarah
dengue/DBD) gejalanya sama dengan dengue klasik
ditambah dengan perdarahan dari hidung (mimisan), mulut,
dubur, dsb.
4) Dengue Syok Sindrom, gejalanya sama dengan DBD
ditambah dengan syok / presyok. Bentuk ini sering berujung
pada kematian. Lama demam berdarah pada umumnya
sekitar enam atau tujuh hari dengan puncak demam yang
lebih kecil terjadi pada akhir masa demam. Secara klinis,
jumlah trombosit akan jatuh hingga pasien dianggap afebril.
Menurut WHO (dalam Misnadiarly, 2009), derajat
beratnya DBD dibagi menjadi empat tingkatan:
1) Derajat I: demam yang disertai gejala klinis tidak khas,
satu-satunya gejala pendarahan adalah hasil uji torniquest
yang positif.
13
2) Derajat II: gejala yang timbul pada DBD derajat 1 ditambah
pendarahan spontan biasanya dalam bentuk pendarahan
kulit dan atau bentuk pendarahan lainnya.
3) Derajat III: kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan
denyut nadi yang cepat dan lemah, menyempitnya tekanan
nadi 20 mmHg atau kurang atau hipotensi ditandai dengan
kulit dingin dan lembab serta pasien menjadi gelisah.
4) Derajat IV: syok berat dengan tidak terabanyan denyut
nadi maupun tekanan darah.
3. Penularan Penyakit DBD
Penyakit ini ditularkan orang yang dalam darahnya
terdapat virus dengue. Orang ini biasa menunjukkan gejala sakit,
tetapi biasa juga tidak sakit, yaitu jika mempunyai kekebalan yang
cukup terhadap virus dengue. Jika orang digigit nyamuk Aedes
aegypti maka virus dengue masuk bersama daerah yang diisapnya.
Di dalam tubuh nyamuk itu, virus dengue akan berkembang biak
dengan cara membelah diri dan menyebar di seluruh bagian tubuh
nyamuk. Sebagian besar virus itu berada dalam kelenjar liur
nyamuk. Dalam tempo 1 minggu jumlahnya dapat mencapai
puluhan atau bahkan ratusan ribu sehingga siap untuk
ditularkan/dipindahkan kepada orang lain. Selanjutnya pada waktu
nyamuk itu menggigit orang lain, maka setelah alat tusuk nyamuk
(probosis) menemukan kapiler darah, sebelum darah orang itu
14
diisap, terlebih dahulu dikeluarkan air liur dari kelenjar liurnya agar
darah yang diisap tidak membeku (Hadinegoro dan Satari, 2002).
Bersama dengan liur nyamuk inilah, virus dengue
dipindahkan kepada orang lain. Tidak semua orang yang digigit
nyamuk Aedes aegypti yang membawa virus dengue itu, akan
terserang penyakit demam berdarah. Orang yang mempunyai
kekebalan yang cukup tehadap virus dengue, tidak akan terserang
penyakit ini, meskipun dalam darahnya terdapat virus itu.
Sebaliknya pada orang yang tidak mempunyai kekebalan yang
cukup terhadap virus dengue, dia akan sakit demam ringan atau
bahkan sakit berat, yaitu demam tinggi disertai pendarahan bahkan
syok, tergantung dari tingkat kekebalan tubuh yang dimilikinya
(Hadinegoro dan Satari, 2002).
Di dalam proses memenuhi kebutuhan protein untuk
proses pematangan telurnya ditentukan oleh frekuensi kontak
antara vektor dengan inang. Frekuensi kontak tersebut dapat
dipengaruhi oleh jenis dan kepadatan inang. Ada perbedaan
perilaku makan darah antara imago yang belum dan sudah
terinfeksi virus DBD. Perbedaan itu berimpilkasi terhadap frekuensi
kontak nyamuk dengan inang. Imago betina terinfeksi lebih sering
kontak dengan inang untuk mendapatkan cairan darah untuk
produksi dan proses pematangan telurnya. Kejadian itu
15
meningkatkan frekuensi kontaknya dengan inang sehingga peluang
penularan virus DBD semakin cepat dan singkat (Supartha, 2008).
B. Tinjauan Umum Tentang Nyamuk Aedes aegypti
Menurut riwayatnya nyamuk penular penyakit demam
berdarah yang disebut nyamuk Aedes aegypti itu, pada awal mulanya
berasal dari Mesir yang kemudian menyebar ke seluruh dunia, melalui
kapal laut dan udara. Nyamuk hidup dengan subur di belahan dunia
yang mempunyai iklim tropis dan subtropis seperti Asia, Afrika,
Australia dan Amerika. Penyakit demam berdarah dengue mengenai
seseorang melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk yang
menularkan penyakit adalah nyamuk betina dewasa. Nyamuk betina
memerlukan darah manusia atau binatang untuk hidup dan
berkembang biak (Misnadiarly, 2009).
1. Ciri-ciri Nyamuk Aedes aegypti
Nyamuk Aedes aegypti betina suka bertelu di atas
permukaan vertikal bagian dalam tempat-tempat yang berisi sedikit
air. Air harus jernih dan terlindung dari cahay matahari. Tempat air
yang dipilih ialah tempat air di dalam dan dekat rumah. Ae. Aegypti
dewasa berukuran kecil dengan warna dasar hitam. Probosis
bersisik hitam, palpi pendek dengan ujung hitam bersisik putih
perak. Oksiput bersisik lebar, berwarna putih terletak memanjang.
Femur bersisik putih pada permukaan posterior dan setengah
basal, anterior dan tengan bersisik putih memanjang. Tibia
16
semuanya hitam. Tarsi belakang berlingkaran putih pada segmen
basal kesatu sampai keempat dan segmen kelima berwarna putih.
Sayap berukuran 2,5-3,0 mm, bersisik hitam (Soedarmo, 2005).
2. Bionomik Nyamuk Aedes aegypti
a. Kebiasaan Mengigit
Aedes aegypti bersifat antropofilik (senang sekali
kepada manusia) dan hanya nyamuk betina yang menggigit.
Nyamuk betina biasanya menggigit di dalam rumah, kadang-
kadang di luar rumah, di tempat yang agak gelap (Soedarmo,
2005).
Nyamuk jantan tertarik juga pada manusia bila
melakukan perkawinan, tetapi tidak menggigit. Setelah kawin,
nyamuk betina memerlukan darah untuk bertelur. Nyamuk
betina menghisap darah manusia setiap 2–3 hari sekali.
Menghisap darah pada pagi hari sampai sore hari, dan lebih
suka pada jam 08.00–12.00 dan jam 15.00–17.00. Untuk
mendapatkan darah yang cukup, nyamuk betina sering
menggigit lebih dari satu orang. Jarak terbang nyamuk sekitar
100 meter. Umur nyamuk betina dapat mencapai sekitar 1 bulan
(Ditjen P2M & PL Depkes RI, 2004).
Nyamuk ini mempunyai kebiasaan mengigit berulang
(multiple bitters), yaitu menggigit beberapa orang secara
bergantian dalam waktu singkat. Hal ini disebabkan karena
17
nyamuk Aedes aegypti sangat sensitive dan mudah terganggu.
Keadaan ini sangat membantu Aedes aegypti dalam
memindahkan virus ke beberapa orang sekaligus sehingga
dilaporkan adanya beberapa penderita demam dengue atau
DHF di satu rumah (Soedarmo, 2005).
b. Kebiasaan Beristirahat
Pada malam hari nyamuk beristirahat dalam rumah
pada benda-benda yang digantung, seperti pakaian, kelambu,
pada dinding dan di bawah rumah dekat tempat berbiaknya,
biasanya di tempat yang gelap. Nyamuk Aedes aegypti yang
merupakan vektor yang berperan dalam penularan penyakit
DBD ini hidup di dalam rumah, di kloset, di tempat-tempat yang
gelap, dan di luar rumah. Nyamuk tersebut hidup di tempat
lembab dan terlindung dari matahari (Misnadiarly, 2009).
Tempat istirahat yang disukainya adalah benda-benda
yang tergantung yang ada dalam di dalam rumah, seperti
gordyn, kelambu dan baju/pakaian di kamar yang gelap dan
lembab. Kepadatan nyamuk ini akan meningkat pada waktu
musim hujan, dimana terdapat banyak genangan air bersih yang
dapat menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk Aedes
aegypti (Hadinegoro dan Satari, 2002).
18
c. Jangkauan Terbang
Di Indonesia nyamumuk Aedes aegypti tersebar luas di
di seluruh pelosok tanah air, baik di kota-kota maupun di desa-
desa, kecuali di wilayah yang ketinggiannya lebih dari 1000
meter di atas permukaan laut. Kemampuan terbangnya berkisar
antara 40-100 m dari tempat perekembang-biakannya.
Pergerakan nyamuk ditentukan oleh kemampuan terbang
nyamuk. Pada waktu terbang, nyamuk memerlukan oksigen
lebih banyak sehingga penguapan dalam tubuhnya menjadi
lebih besar. Akibatnya, jarak terbang nyamuk terbatas sehingga
penyebarannya tidak akan jauh dari tempat perindukan, tempat
mencari mangsa dan tempat istirahat, terutama di daerah yang
padat penduduknya. Jarak terbang rata-rata nyamuk Aedes
aegypti 200 meter (Sulistyawati, 2011).
d. Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti
Perkembangan hidup nyamuk Aedes aegypti dari telur
hingga dewasa memerlukan waktu sekitar 10-12 hari. Hanya
nyamuk betina yang menggigit dan menghisap darah serta
memilih darah manusia untuk mematangkan telurnya.
Sedangkan nyamuk jantan tidak bias menggigit/menghisap
darah, melainkan hidup dari sari-sari bunga tumbuhan.
19
Umur nyamuk Aedes aegypti betina berkisar antara 2
minggu sampai 3 bulan atau rata-rata 1½ bulan, tergantung dari
suhu kelembaban udara disekelilingnya.
1) Telur
Nyamuk betina bertelur di dalam air yang tergenang
di dalam dan sekitar rumah dan daerah pemukiman lainnya.
Telur-telur berkembang menjadi larva dan kemudian
berubah manjadi bentuk dewasa dalam waktu 10 hari. Telur
tidak berpelampung. Sekali bertelur nyamuk betina
menghasilkan 100 butir. Telur kering dapat tahan 6 bulan.
Telur akan menjadi jentik setelah sekitar 2 hari (Ditjen P2M
& PL Depkes RI, 2004). Karakteristik telur Aedes adalah
berbentuk bulat pancung yang mula-mula berwarna putih
kemudian berubah menjadi hitam. Telur tersebut diletakkan
secara terpisah di permukaan air untuk memudahkannya
menyebar dan berkembang menjadi larva di dalam media
air. Media air yang dipilih untuk tempat peneluran itu adalah
air bersih yang stagnan (tidak mengalir) dan tidak berisi
spesies lain sebelumnya (Mortimer dalam Supartha 2008).
Telur Aedes aegypti berwarna hitam seperti sarang
tawon, diletakkan satu demi satu di permukaan atau sedikit
di bawah permukaan air dalam jarak ± 2½ cm dari dinding
tempat perindukan. Telur dapat bertahan berbulan-bulan
20
pada suhu –20C sampai 420C. Namun bila kelembaban
terlampau rendah, maka telur akan menetas dalam waktu 4
hari. Dalam keadaan optimal, perkembangan telur sampai
menjadi nyamuk dewasa berlangsung selama sekurang-
kurangnya 9 hari (Soedarmo, 2005).
2) Larva/jentik
Larva Aedes aegypti memiliki siphon besar dan
pendek dengan satu kumpulan rambut yang terletak pada
ujung bawah abdomen. Toraks larva lebih besar dari kepala
dan memiliki duri yang panjang dengan bentuk kurva.
Kepala memiliki antena dan mata majemuk serta sikat mulut
yang menonjol. Abdomen terdiri dari 10 ruas dan hanya 9
ruas yang menonjol serta terdapat comb scale. Pada waktu
istirahat membentuk sudut dengan permukaan air dan 6–8
hari menjadi pupa (Ditjen P2M & PL Depkes RI, 2004).
Larva nyamuk semuanya hidup di air yang
stadianya terdiri atas empat instar. Keempat instar itu dapat
diselesaikan dalam waktu 4 hari–2 minggu tergantung
keadaan lingkungan seperti suhu air persediaan makanan.
Pada air yang agak dingin perkembangan larva lebih lambat,
demikian juga keterbatasan persediaan makanan juga
menghambat perkembangan larva. Setelah melewati
stadium instar keempat larva berubah menjadi pupa. Ada
21
empat tingkat (instar) jentik sesuai dengan pertumbuhan
larva Aedes aegypti tersebut, yaitu:
a) Instar I: berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm
b) Instar II: 2,5-3,8 mm
c) Instar III: lebih besar sedikit dari larva instar II
d) Instar IV: berukuran paling besar 5 mm.
3) Pupa
Sebagian kecil tubuhnya kontak dengan permukaan
air. Bentuk terompet panjang dan ramping dan 1–2 hari
menjadi nyamuk Aedes aegypti. Sebagaimana larva, pupa
juga membutuhkan lingkungan akuatik (air). Pupa adalah
fase inaktif yang tidak membutuhkan makan, namun tetap
membutuhkan oksigen untuk bernafas. Untuk keperluan
pernafasannya pupa berada di dekat permukaan air. Lama
fase pupa tergantung dengan suhu air dan spesies nyamuk
yang lamanya dapat berkisar antara satu hari sampai
beberapa minggu (Supartha, 2008).
4) Nyamuk Dewasa
Panjang 3–4 mm. Bintik hitam dan putih pada badan
dan kepala, dan punya ring putih di kakinya (Ditjen P2M &
PL Depkes RI, 2004). Nyamuk betina dewasa yang mulai
menghisap darah manusia, 3 hari sesudahnya sanggup
bertelur sebanyak 100 butir. Dua puluh empat jam kemudian
22
nyamuk itu sanggup bertelur sebanyak 100 butir. Dua puluh
empat jam kemudian nyamuk itu menghisap darah lagi,
selanjutnya kembali bertelur (Soedarmo, 2005).
Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti dapat dilihat pada
gambar di bawah ini (dalam Ditjen P2M & PL Depkes RI,
2004):
1)Telur
4)Nyamuk Dewasa 2)Larva/jentik
3)Pupa
Gambar 2.1. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti
23
C. Tinjauan Umum Tentang Keberadaan Jentik
Menurut Sodarmo (2005), Populasi nyamuk diukur dengan
cara melakukan pemeriksaan terhadap semua tempat air di dalam dan
di luar rumah akan larva Ades aegypti dengan memeriksa 100 rumah
di suatu daerah.
1. Survey Jentik
Menurut Depkes RI (2005) (dalam Nugroho, 2009), survey jentik
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti diperiksa (dengan
mata telanjang) untuk mengetahui ada tidaknya jentik.
b. Untuk memeriksa TPA yang berukuran besar, seperti: bak
mandi, tempayan, drum, dan bak penampungan air lainnya. Jika
pada pandangan (penglihatan) pertama tidak menemukan
jentik, tunggu kira-kira 1 menit unutk memastikan bahwa benar
jentik tidak ada.
c. Untuk memeriksa tempat-tempat perkembangbiakan yang kecil,
seperti: vas bunga atau pot tanaman air atau botol yang airnya
keruh, seringkali airnya perlu dipindahkan ke tempat lain.
d. Untuk memeriksa jentik di tempat yang agak gelap, atau airnya
keruh, biasanya digunakan senter.
24
2. Metode Survey Jentik
Metode survey jentik dapat dilakukan dengan cara (dalam
Widiyanto, 2007):
a. Metode singgle larva: Survai ini dilakukan dengan mengambil
satu jentik disetiap tempat genangan air yang ditemukan ada
jentiknya untuk dilakukan identifikasi lebih lanjut jenis jentiknya.
b. Metode visual: Survai ini dilakukan dengan melihat ada atau
tidaknya jentik di setiap tempat genangan air tanpa mengambil
jentiknya. Dalam program pemberantasan penyakit demam
berdarah dengue, survai jentik yang biasa digunakan adalah
cara visual. Ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan
jentik yaitu :
1) Angka Bebas Jentik (ABJ)
Jumlahrumah/bangunan yang tidak ditemukan jentikJumlahrumah/bangunan yang diperiksa x100%
2) Indeks rumah (HI) : persentase rumah ditemukannya larva
Aedes aegypti
Jumlahrumah /bangunandengan jentikJumlahrumah /bangunan yangdiperiksa x 100%
3) Indeks container (CI): persentase container yang positif
dengan larva Aedes aegypti
jumlahcontainer dengan jentikjumlah container yangdiperiksa
x100 %
4) Indeks breteau (BI): jumlah container yang positif dengan
larva Aedes aegypti dalam 1 rumah.
25
jumlah container dengan jentikjumlah rumahdiperiksa
x100 %
Angka bebas jentik dan house indeks lebih
menggambarkan luasnya penyebaran nyamuk di suatu wilayah.
Tidak ada teori yang pasti berupa angka bebas jentik dan house
indeks yang dipakai standart, hanya berdasarkan kesepakatan,
disepakati house indeks minimal 5 % yang berarti persentase
rumah yang diperiksa jentiknya positif tidak boleh melebihi 5 %
atau 95 % rumah yang diperiksa jentiknya harus negatif.
Pengukuran Breteau Indeks merupakan indikator yang
baik untuk menyatakan kepadatan nyamuk sedangkan House
Indeks menunjukkan luas penyebaran nyamuk dalam suatu
wilayah. Melalui hasil pengukuran kepadatan Aedes aegypti
dapat digunakan untuk mengetahui angka ambang kritis yang
merupakan suatu indikator adanya ancaman wabah penyakit
demam berdarah. Oleh para ahli WHO telah menetapkan
bahwa Breteau Indeks diatas 50 pada suatu daerah, besar
kemungkinan terjadinya transmisi penyakir demam berdarah
(Soedarmo, 2005).
Kepadatan populasi nyamuk (Density Figure) diperoleh
dari gabungan dari HI, CI dan BI dengan kategori kepadatan
jentik penetuannya adalah sebagai berikut:
a) DF= 1 = kepadatan rendah
26
b) DF= 2-5 = kepadatan sedang
c) DF= 6-9 = kepadatan tinggi
Tingkat kepadatan larva Aedes menurut WHO (1972) dalam
Santoso (2008) dapat dilihat pada table dibawah ini:
Tabel 2.1Tingkat Kepadatan Larva Aedes Berdasarkan Beberapa
IndikatorDensity Figure
HI CI BI
1 1-3 1-3 1-42 4-7 4-5 5-93 8-17 6-9 10-194 18-28 10-14 20-345 29-37 15-20 35-496 38-49 21-27 50-747 50-59 28-31 75-998 60-76 32-40 100-1999 77+ 41+ 200+
Sumber: WHO 1972
D. Faktor Yang Berhubungan Dengan Keberadaan Jentik
1. Tinjauan Umum Tentang Menguras Tempat Penampungan Air
(TPA)
Cara fisik Pemberantasan terhadap jentik nyamuk Aedes
aegypti yang dikenal dengan istilah Pemberantasan Sarang
Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) dilakukan dengan
kegiatan 3-M yaitu menguras bak mandi, bak wc, dan lain-lain.
Menutup tempat penampungan air rumah tangga (tempayan, drum,
dan lain-lain). Mengubur, menyingkirkan atau memusnahkan
barang-barang bekas (seperti kaleng, ban, dan lain-lain) (Nugroho,
2009). Namun yang akan dibahas pada penelitian ini adalah
27
menguras bak mandi, bak wc, dan lain-lain yang meliputi cara dan
frekuensi pengurasan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Damyanti (2009) di Magetan dan Triwinasis (2010) di Yogyakarta
yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara praktek menguras
tempat penampungan air dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes
aegypti.
Pengurasan tempat-tempat penampungan air perlu
dilakukan secara teratur sekurang-kurangnya seminggu sekali agar
nyamuk tidak dapat berkembangbiak di tempat itu. Pada saat ini
telah dikenal pula istilah ”3M” plus, yaitu kegiatan 3M yang
diperluas. Bila PSN DBD dilaksanakan oleh seluruh masyarakat,
maka populasi nyamuk Aedes aegypti dapat ditekan serendah-
rendahnya, sehingga penularan DBD tidak terjadi lagi (Depkes RI,
2004).
Kemauan dan tingkat kedisiplinan untuk menguras
kontainer pada masyarakat memang perlu ditingkatkan, mengingat
bahwa kebersihan air selain untuk kesehatan manusia juga untuk
menciptakan kondisi bersih lingkungan. Dengan kebersihan
lingkungan diharapkan dapat menekan terjadinya berbagai penyakit
yang timbul akibat dari lingkungan yang tidak bersih.Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Wati (2009) menunjukkan bahwa
Ada hubungan antara frekuensi pengurasan kontainer dengan
28
kejadian DBD di Kelurahan Ploso Kecamatan Pacitan Tahun 2009
(Wati, 2009).
2. Tinjauan Umum Tentang Kondisi Tempat Penampungan Air
(TPA)
Larva Aedes aegypti umumnya ditemukan di drum,
tempayan, gentong atau bak mandi di rumah keluarga Indonesia
yang kurang diperhatikan kebersihannya. Di daerah yang sumurnya
berair asin atau persediaan air minumnya tidak terdapat secara
teratur, seperti di daerah pantai, penduduk biasanya menyimpan air
hujan dalam drum berkapasitas 200 liter. Besarnya kontainer dan
lamanya air disimpan di dalamnya mengakibatkan banyak nyamuk
yang dapat berasal dari drum itu. Tempat air yang tertutup longgar
lebih disukai oleh nyamuk betina sebagai tempat bertelur,
dibandingkan dengan tempat air yang terbuka. Karena tutupnya
jarang dipasang secara baik dan sering dibuka mengakibatkan
ruang didalamnya relatif lebih gelap dibandingkan dengan tempat
air yang terbuka (Soedarmo, 2005)
Hasyimi, et. al menyatakan bahwa penggunaan TPA di
daerah pemukiman dimana keperluan air sehari-hari dikelola PAM,
sering menimbulkan masalah bagi perindukan vektor disebabkan
penduduk banyak menampung air di suatu tempat (TPA). Dengan
alasan ini maka tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti
29
cenderung menjadi banyak sehingga memperluas terjadinya
transmisi virus dengue (Salim et. al, 2009).
Para dokter & ahli kesehatan telah sepakat bahwa,
menutup wadah (tempat) makanan & minuman merupakan salah
satu upaya menjaga kesehatan, sekaligus sarana pencegahan
penyakit yang mudah untuk dilaksanakan. Makanan ataupun
minuman yang tersimpan dalam wadah tertutup rapat dan rapi, tak
mudah dihinggapi kuman penyebab penyakit.
Sejak berabad-abad yang lalu, Rasulullah telah
memberikan banyak petunjuk berkaitan dengan upaya preventif
dalam pencegahan penyakit. Ini sudah berjalan jauh sebelum para
dokter menemukan mikroba dan kuman penyebab penyakit dengan
berbagai macam jenisnya. Dibalik itu semua, ada sisi lain yang tak
dapat diketahui oleh dokter manapun di dunia ini, sehingga, sudah
seyogyanya sebagai seorang muslim memperhatikan dan
mengamalkan tuntunan ini karena aplikasi dari Sunnah Nabi, pasti
mendatangkan banyak kemaslahatan bagi kita.
Hadits dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhu dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:
30
�ق�و�ا غ�ل وأ اب الب ط�ف�ؤ�ا
وأ اج ر الس� �ن� فإ �طان ي الش� ح�ل� ي ال قاء# س� ول ح� ف�ت ي ا
اء �ن اإل �و�ا و�ك وأ قاء الس�
و �ر� ذ�ك ي م اس� . الله� د� ج� ي �م� حد�ك أ � �ال إ ن�
أ ض على �ه� ئ �نا إ ع�و� # اء#غط�و�ا دا �ن إ �ن� فإ م� ل
#ا اب ب ول �ش�ف� ك ي
غط�و�ا ء �نا اإل و� وأ �و�ا ك قاء الس� �ن� فإ ف�ي ة� ن الس� ة< �ل ي ل نـز� ي ل� �ها رواية: ف�ي
ف�عل� �ي فل وفي
�س . ي ل �ه� ي عل غ�طاء< و� أ Eاءق س� �س ي ل �ه� ي عل اء< و�ك � �ال إ ل ز ن �ه� في م�ن� �ك ذل اء� �وب ال
اء< وب ل م�ر� ي Eء �نا �إ ب
(HR. Muslim)
Terjemahan: “Tutuplah bejana, ikatlah kantung air, kuncilah pintu, &
padamkanlah lampu. Sesungguhnya setan tak bisa membuka kantung air, tak bisa membuka pintu, & tak pula bisa membuka bejana. Jika salah seorang dari kalian tak mendapatkan (penutup) kecuali hanya dgn membentangkan sebatang ranting pohon kemudian ia menyebut nama Allah, hendaklah ia lakukan itu”.
ABJ yang rendah dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dalam
penelitian Sulistyawati (2011) menjelaskan bahwa ada hubungan
antara kondisi tempat penampungan air dengan keberadaan larva
Aedes aegypti di Kelurahan Rappocini Kota Makassar.
3. Tinjauan Umum Tentang Karakteristik Tempat Penampungan
Air (TPA)
Telur, larva, dan pupa nyamuk Aedes aegypti tumbuh dan
berkembang di dalam air. Genangan yang disukai sebagai tempat
perindukan nyamuk ini berupa genangan air yang tertampung di
31
suatu wadah yang disebut kontainer atau tempat penampungan air
(TPA) bukan genangan air di tanah. Terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi peletakan telur nyamuk Aedes sp antara lain jenis
TPA, warna TPA, bahan dasar TPA, letak TPA, air, suhu,
kelembaban, dan kondisi lingkungan setempat. Identifikasi TPA
dapat digunakan untuk keperluan pemberantasan penyakit DBD
(Sari, et al., 2005). Namun yang akan dibahas dalam penelitian ini
adalah jenis TPA, warna TPA, dan bahan dasar TPA.
Jenis-jenis tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes
aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Tempat penampungan air (TPA), untuk keperluan sehari-hari,
seperti: drum, tangki reservoir, tempayan, bak mandi/WC,
ember dan lain-lain.
b. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari
seperti tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut dan
barang-barang bekas (ban, kaleng, botol, plastic dan lain-lain).
c. Tempat penampungan air alamiah seperti: lubang pohon,
lubang batu, pelepah daaun, tempurun kelapa, pelepah pisang,
potongan bambu dan lain-lain.
Penelitian yang dilakukan Sari (2005) menunjukkan
persentase positif jentik tertinggi ditemukan pada TPA dengan
bahan dasar semen (44,8%). Banyak sedikitnya larva Aedes
aegypti yang ditemukan kemungkinan ada hubungannya dengan
32
makanan larva yang tersedia, karena kesediaan makanan ada
hubungannya dengan bahan dasar TPA. Hal ini terjadi, mungkin
disebabkan mikroorganisme yang menjadi makanan larva lebih
mudah tumbuh pada dinding TPA yang kasar seperti semen. Selain
itu, pada kontainer yang berdinding kasar, nyamuk betina lebih
mudah mengatur posisi tubuh waktu meletakan telur, dimana telur
diletakan secara teratur di atas permukaan air (Sari, et al., 2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Novelani (2007)
menunjukkan bahwa wadah yang positif larva lebih banyak
dijumpai pada wadah berwarna biru (41,7%). Kondisi yang lembab
dan warna TPA yang gelap memberikan rasa aman dan tenang
bagi nyamuk untuk bertelur, sehingga telur yang diletakkan lebih
banyak dan jumlah larva yang terbentuk lebih banyak pula. Selain
itu suasana gelap menyebabkan larva menjadi tidak terlihat
sehingga tidak bisa diciduk atau dibersihkan (Salim dan Febriyanto,
2005).
Keberadaan kontainer atau TPA sangat berperan dalam
keberadaan vektor nyamuk Aedes, karena semakin banyak
kontainer akan semakin banyak tempat perindukan dan akan
semakin padat populasi nyamuk Aedes. Semakin padat populasi
nyamuk Aedes, maka semakin tinggi pula risiko terinfeksi virus
DBD dengan waktu penyebaran lebih cepat sehingga jumlah kasus
33
penyakit DBD cepat meningkat yang pada akhirnya mengakibatkan
terjadinya KLB penyakit DBD (Fathi, et al., 2005).
Menurut Focks dan Cladee (1997) jenis-jenis tempat
penampungan air yang paling sering ditemukan larva yakni
tempayan, drum dan bak mandi dalam memfasilitasi perolehan
larva Aedes. Ketiganya termasuk tempat penampungan air
berukuran besar yang sulit untuk mengganti airnya, sehingga
keberhasilan perkembangbiakan nyamuk Aedes didukung oleh
ukuran tempat penampungan air yang cukup besar dan air yang
berada didalamnya cukup lama. Kemampuan jenis-jenis tempat
penampungan air sebagai tempat tersedianya organisme air dapat
bertindak sebagai sumber makanan, kompetitor, predator dan
parasit yang di prediksi akan mempengaruhi perkembangan larva
menjadi dewasa, baik dalam kualitas maupun kuantitasnya
(Novelani, 2007).
Masing-masing masyarakat di wilayah tertentu mempunyai
kesenangan akan tempat penampungan air yang berbeda-beda
baik dalam jenis, bahan dasar dan warna yang digunakan. Di
perkirakan dapat mempengaruhi prosentase perolehan larva pada
setiap wilayah tersebut.
4. Tinjauan Umum Tentang Kondisi Rumah
Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia
yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana
34
pembinaan keluarga. Jenis rumah, pencahayaan, dan bentuk
rumah secara tidak langsung akan mempengaruhi
perkembangbiakan jentik Aedes aegypti dan penularan DBD.
Kualitas pemukiman yang jelek akan mempengaruhi terutama bila
banyak benda-benda yang bisa menjadi tempat perindukan
nyamuk seperti kaleng, botol, ban dan semua yang dapat menjadi
tempat nyamuk bersarang (Arman, 2008).
Rumah yang sehat menurut Winslow dan APHA harus
memenuhi syarat salah satunya adalah memenuhi kebutuhan
fisiologis meliputi sistem penghawaan (ventilasi), pencahayaan,
dan suhu ruangan. Namun kondisi rumah yang akan dibahas dalam
penelitian ini adalah pencahayaan, ventilasi, dan kebiasaan
menggantung pakaian.
Pencahayaan berguna untuk menerangi ruangan,
mengurangi kelembaban, mengusir serangga dan dapat
membunuh benih/kuman penyakit menular. Lingkungan biologi
yang mempengaruhi kehidupan nyamuk Aedes aeypti adalah
banyaknya tanaman hias dan tanaman pekarangan, karena dapat
mempengaruhi pencahayaan dan kelembaban di dalam rumah.
Kelembaban yang tinggi dan pencahayaan yang kurang di dalam
rumah merupakan tempat yang disukai nyamuk untuk hinggap dan
beristirahat .
35
Pencahayaan alami adalah penerangan dengan
memanfaatkan cahaya matahari. Tiga faktor yang mempengaruhi
jumlah cahaya siang masuk ke dalam ruangan, yaitu: cahaya
langsung melalui lubang cahaya, cahaya yang dipantulkan oleh
permukaan benda di dalam ruangan. Kesehatan ruangan dapat
tercapai bila intensitas cahaya yang masuk ruangan minimal 50 lux
bila diukur dari bidang datar setinggi 84 cm dari atas lantai.
Intensitas pencahayaan merupakan faktor linkungan fisik yang
berpengaruh terhadap Aedes aegypti. Habitat Aedes aegypti baik
yang dewasa maupun larvanya adalah tempat-tempat yang tidak
terkena cahaya matahari langsung. Pencahayaan alami dalam
rumah diukur dengan menggunakan luxmeter. Mengacu pada
Permenkes No: 829/Menkes/VII/1999 batasan pencahayaan alam
di dalam ruangan yang memenuhi syarat kesehatan apabila ≥ 60
lux sedangkan yang tidak memenuhi syarat kesehatan apabila < 60
lux (Muslim, 2004).
Pakaian yang manggantung dalam ruangan merupakan
tempat yang disenangi nyamuk aedes aegypti untuk beristirahat
setelah menghisap darah manusia. Setelah beristirahat pada
saatnya akan menghisap darah manusia kembali sampai nyamuk
tersebut cukup darah untuk pematangan sel telurnya. Jika nyamuk
yang beristirahat pada pakaian menggantung tersebut menghisap
darah penderita demam berdarah dan selanjutnya pindah dan
36
menghisap darah orang yang sehat maka dapat tertular virus
demam berdarah dengue. Penelitian yang dilakukan oleh
Sukowinarsih dan Cahyati (2010) menunjukkan bahwa besar resiko
kejadian DBD 4,405 kali lebih besar pada rumah yang terdapat
pakaian yang menggantung dalam ruang kamar di banding rumah
yang tidak terdapat pakaian menggantung dalam ruang kamar.
E. Cara Pemberantasan Jentik Aedes aegypti
Program pemberantasan penyakit DBD di berbagai negara
pada umumnya belum berhasil karena masih tergantung pada
penyemprotan dengan insektisida untuk membunuh nyamuk dewasa.
Penyemprotan membutuhkan pengoperasian yang khusus dan biaya
yang tinggi. Untuk mencapai kelestarian program pemberantasan
vektor DBD sangat penting untuk memusatkan pada pembersihan
sarang larva dengan dilaksanakan secara bersama-sama antara
pemerintah dan masyarakat. Untuk itu perlu diterapkan pendekatan
terpadu dalarn pengendalian nyamuk dengan menggunakan semua
metode yang tepat baik secara pengelolaan lingkungan, biologi dan
kimiawi (Sukamto, 2007).
Pemberantasan terhadap jentik nyamuk Aedes aegypti
dikenal dengan istilah Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam
Berdarah Dengue (PSN DBD) dilakukan dengan cara:
1. Fisik
37
Cara ini dikenal dengan kegiatan ”3M”, yaitu: Menguras
(dan menyikat) bak mandi, bak WC, dan lain-lain; Menutup tempat
penampungan air rumah tangga (tempayan, drum, dan lain-lain);
dan Mengubur barang-barang bekas (seperti kaleng, ban, dan lain-
lain). Pengurasan tempat-tempat penampungan air perlu dilakukan
secara teratur sekurang-kurangnya seminggu sekali agar nyamuk
tidak dapat berkembangbiak di tempat itu. Pada saat ini telah
dikenal pula istilah ”3M” plus, yaitu kegiatan 3M yang diperluas. Bila
PSN DBD dilaksanakan oleh seluruh masyarakat, maka populasi
nyamuk Aedes aegypti dapat ditekan serendah-rendahnya,
sehingga penularan DBD tidak terjadi lagi. Untuk itu upaya
penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat harus dilakukan
secara terus-menerus dan berkesinambungan, karena keberadaan
jentik nyamuk berkaitan erat dengan perilaku masyarakat.
2. Kimia
Cara memberantas jentik Aedes aegypti dengan
menggunakan insektisida pembasmi jentik (larvasida) ini antara lain
dikenal dengan istilah larvasidasi. Larvasida yang biasa digunakan
antara lain adalahtemephos. Formulasi temephos yang digunakan
adalah granules (sand granules). Dosis yang digunakan 1 ppm atau
10 gram (±1 sendok makan rata) untuk tiap 100 liter air. Larvasida
dengan temephos ini mempunyai efek residu 3 bulan.
3. Biologi
38
Pemberantasan jentik nyamuk Aedes aegypti secara
biologi dapat dilakukan dengan memelihara ikan pemakan jentik
(ikan kepala timah, ikan gupi, ikan cupang atau tempalo, dan lain-
lain). Dapat juga digunakan Bacillus thuringiensis var israeliensis
(BTI).
BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Dasar Pemikir Variabel Penelitian
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit
menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui
nyamuk Aedes aegypti. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan
secara teoritis pada dasar teori, maka dapat diidentifikasi beberapa
variabel yang terlibat secara langsung terhadap keberadaan jentik
Aedes aegypti. Selain itu juga telah diidentifikasi hubungan antara
variabel yang terlibat berupa variabel dependen yaitu keberadaan
jentik Aedes aegypti maupun variabel independen yaitu karakteristik
TPA, menguras TPA, kondisi TPA, kondisi rumah dan jenis jentik.
Untuk dapat memberantas nyamuk Aedes aegypti secara
efektif diperlukan pengetahuan tentang pola perilaku nyamuk tersebut
yaitu perilaku mencari darah, istirahat dan berkembang biak, sehingga
diharapkan akan dicapai Pemberantasan Sarang Nyamuk dan jentik
Nyamuk Aedes aegypti yang tepat. Namun dalam penelitian ini
difokuskan pada perkembangbiakan jentik nyamuk Aedes aegypti
39
sehingga diharapkan dapat memutus mata rantai penyakit Demam
Berdarah Dengue.
Hubungan antara variabel dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Keberadaan jentik Aedes aegypti
Keberadaan larva (jentik) nyamuk Aedes aegypti
diobservasi pada rumah dan penampungan air dengan memakai
semua tempat atau wadah yang dapat mejadi tempat
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti diperiksa (dengan mata
telanjang) dengan menggunakan senter untuk mengetahui ada
atau tidaknya larva, untuk memeriksa tempat penampungan air
yang berukuran besar seperti: bak mandi, tempayan, drum, jika
pandangan (penglihatan) pertama tidak menemukan larva tunggu
kira-kira ½ – 1 menit untuk memastikan bahwa benar larva tidak
ada. Menurut Depkes bahwa larva Aedes aegypti dalam air dapat
dikenali dengan ciri-ciri antara lain: berukuran 0,5-1 cm dan selalu
bergerak aktif dalam air. Gerakan berulang-ulang dari bawah ke
atas permukaan air dimaksudkan untuk bernafas. Pada waktu
istirahat, posisinya hamper tegak lurus dengan permukaan air.
2. Karakteristik Tempat Penampungan Air (TPA)
40
Karakteristik TPA meliputi jenis, bahan dan warna TPA.
Identifikasi TPA dapat digunakan untuk keperluan pemberantasan
penyakit DBD. Banyak sedikitnya larva Aedes aegypti yang
ditemukan kemungkinan ada hubungannya dengan makanan larva
yang tersedia, karena kesediaan makanan ada hubungannya
dengan bahan dasar TPA. Hal ini terjadi, mungkin disebabkan
mikroorganisme yang menjadi makanan larva lebih mudah tumbuh
pada dinding TPA yang kasar seperti semen.
Kondisi yang lembab dan warna TPA yang gelap
memberikan rasa aman dan tenang bagi nyamuk untuk bertelur,
sehingga telur yang diletakkan lebih banyak dan jumlah larva yang
terbentuk lebih banyak pula. Selain itu suasana gelap
menyebabkan larva menjadi tidak terlihat sehingga tidak bisa
diciduk atau dibersihkan. Masing-masing masyarakat di wilayah
tertentu mempunyai kesenangan akan tempat penampungan air
yang berbeda-beda baik dalam jenis, bahan dasar dan warna yang
digunakan. Diperkirakan dapat mempengaruhi prosentase
perolehan larva pada setiap wilayah tersebut.
3. Menguras Tempat Penampungan Air (TPA)
Menguras TPA meliputi cara dan frekuensi pengurasan
TPA. Kegiatan ini merupakan salah satu upaya fisik PSN DBD. TPA
yang jarang dibersihkan merupakan salah satu faktor yang
mendukung perkembangbiakan jentik Aedes aegypti. Berdasarkan
41
penelitian yang dilakukan oleh Damyanti (2009) di Magetan dan
Triwinasis (2010) di Yogyakarta yang menunjukkan bahwa ada
hubungan antara praktek menguras tempat penampungan air
dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti.
4. Kondisi Tempat Penampungan Air (TPA)
Kondisi tempat penampungan air yang tertutup tidak rapat
lebih disenangi nyamuk betina sebagai tempat bertelur
dibandingkan dengan tempat penampungan air yang terbuka,
karena tutupnya yang jarang dirapatkan dengan baik sering dibuka
membuat ruang didalamnya lebih gelap dibandingkan tempat air
yang terbuka. Ini menunjukkan sangat pentingnya menilai kondisi
tempat penampungan air baik di dalam keadaan tertutup atau
terbuka dan berpengaruh terhadap keberadaan jentik Aedes
aegypti.
5. Kondisi Rumah
Secara umum rumah dikatakan sehat apabila memenuhi
beberapa kriteria, diantaranya adalah bebas jentik nyamuk. Bebas
jentik nyamuk terutama bebas jentik nyamuk aedes aegypti yang
merupakan vektor penyakit demam berdarah dengue. Kebiasaan
menggantung pakaian, pencahayaan, dan ventilasi yang tidak
42
berkasa secara tidak langsung akan mempengaruhi
perkembangbiakan jentik Aedes aegypti dan penularan DBD.
6. Jenis Jentik
Pemeriksaan jentik dalam penelitian ini sangat diperlukan
dalam menentukan jenis jentik yang ada di rumah warga sehingga
dapat diketahui rumah yang positip jentik Aedes aegypti.
B. Gambaran Variabel yang Diteliti
Berdasarkan konsep pemikiran variabel seperti yang diuraikan
di atas, maka dibuatlah gambaran variabel yang akan diteliti sebagai
berikut:
Keterangan:
Kondisi TPA
Keberadaan jentik Aedes aegypti
Kondisi Rumah
Jenis Jentik
Karakteristik TPA
Menguras TPA
43
= Variabel Independen
= Variabel Dependen
Gambar 3.1. Faktor yang berhubungan dengan keberadaan jentik
Aedes aegypti
C. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
1. Keberadaan jentik Aedes aegypti adalah keberadaan jentik Aedes
aegypti yang ditemukan pada setiap jenis wadah penampungan air
bersih yang menjadi sampel penelitian. Kepadatan larva Aedes
aegypti dapat diukur dengan rumus Container Indeks (CI), House
Indeks (HI), Breteau Indeks (BI).
CI = Jumlahcontainer yang positif Aedes aegypti
Jumlahcontainer yang diperiksax 100 %
HI = Jumlahrumah/bangunandengan AedesaegyptiJumlahrumah/bangunan yangdiperiksa x 100%
BI = jumlah container dengan Aedes aegypti
jumlahrumahdiperiksa x100 %
Kepadatan Aedes aegypti dikategorikan (WHO)
a. Kepadatan rendah = JIka Density figure yang diperoleh 1
b. Kepadatan sedang = JIka Density figure yang diperoleh 2-5
c. Kepadatan tinggi = JIka Density figure yang diperoleh 6-9
Kriteria Objektif :
44
Positif : Jika ditemukan jentik Aedes aegypti di tempat
penampungan air.
Negatif : Jika tidak ditemukan jentik Aedes aegypti di tempat
penampungan air.
2. Karakteristik Tempat Penampungan Air (TPA) dalam penelitian ini
meliputi jenis, bahan dasar, dan warna TPA.
a. Jenis TPA adalah jenis tempat penampungan air yang
digunakan oleh setiap rumah tangga dalam keperluan sehari-
hari.
Kriteria Objektif:
TPA Sehari-hari: Tempat penampungan air yang
digunakan untuk keperluan sehari-hari
seperti drum, bak mandi, bak WC,
gentong.
Non TPA sehari-hari: Tempat penampungan air yang bukan
untuk keperluan sehari-hari seperti vas
bunga, ban bekas, tempat minum hewan
peliharaan, tempat sampah.
b. Bahan dasar TPA adalah bahan dasar dari tempat
penampungan air sehari-hari untuk kepentingan rumah tangga
di sekitar rumah responden.
45
c. Warna TPA adalah warna dari tempat penampungan air sehari-
hari untuk kepentingan rumah tangga di sekitar rumah
responden.
3. Menguras Tempat Penampungan Air (TPA) yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah TPA yang dikuras dengan menggunakan sikat
dan atau alat pembersih lainnya serta frekuensi pengurasan yang
dilakukan minimal 1 kali seminggu.
Kriteria objektif
Memenuhi syarat: Tempat penampungan air yang dikuras dengan
menggunakan sikat dan atau alat pembersih
lainnya yang dilakukan minimal 1 kali
seminggu.
Tidak memenuhi syarat: Tempat penampungan air yang tidak
dikuras minimal 1 kali seminggu.
4. Kondisi Tempat Penampungan Air (TPA) adalah kondisi tempat
penyimpanan air bersih dalam keadaan tertutup rapat dan terbuka.
Kriteria Objektif
Tertutup: Tempat penampungan air yang memiliki penutup atau
tertutup rapat.
Terbuka: Tempat penampungan air yang terkena udara langsung,
tidak tertutup rapat.
46
5. Kondisi rumah adalah kondisi rumah responden seperti
pencahayaan, ventilasi, dan kebiasaan menggantung pakaian.
Kriteria objektif:
Memenuhi syarat: jika rumah memiliki penutup ventilasi pada
ventilasi rumah dan pencahayaan ≥ 60 lux serta tidak
ditemukan pakaian yang menggantung di dalam rumah
(bukan di dalam almari).
Tidak memenuhi syarat: jika rumah tidak memiliki penutup ventilasi
pada ventilasi rumah dan pencahayaan < 60 lux serta
ditemukan pakaian yang menggantung di dalam rumah
(bukan di dalam almari) atau jika salah satu syarat tidak
terpenuhi.
6. Jenis jentik adalah pemeriksaan jentik yang dilakukan di
laboratorium untuk menentukan jenis jentik yang ditemukan di
rumah warga.
D. Hipotesis
1. Hipotesis Nol (Ho):
a. Tidak ada hubungan antara karakteristik Tempat Penampungan
Air (TPA) dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan
Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar tahun
2012.
b. Tidak ada hubungan antara menguras Tempat Penampungan
Air (TPA) dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan
47
Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar tahun
2012.
c. Tidak ada hubungan antara kondisi Tempat Penampungan Air
(TPA) dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan
Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar tahun
2012.
d. Tidak ada hubungan antara kondisi rumah dengan keberadaan
jentik Aedes aegypti di Kelurahan Paccerakkang Kecamatan
Biringkanaya Kota Makassar tahun 2012.
e. Tidak ada hubungan antara jenis jentik dengan keberadaan
jentik Aedes aegypti di Kelurahan Paccerakkang Kecamatan
Biringkanaya Kota Makassar tahun 2012.
2. Hipotesis Alternatif (Ha)
a. Ada hubungan antara karakteristik Tempat Penampungan Air
(TPA) dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan
Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar tahun
2012.
b. Ada hubungan antara meguras tempat penampungan air
dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan
Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar tahun
2012.
c. Ada hubungan antara kondisi Tempat Penampungan Air (TPA)
dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan
48
Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar tahun
2012.
d. Ada hubungan antara kondisi rumah dengan keberadaan jentik
Aedes aegypti di Kelurahan Paccerakkang Kecamatan
Biringkanaya Kota Makassar tahun 2012.
e. Ada hubungan antara jenis jentik dengan keberadaan jentik
Aedes aegypti di Kelurahan Paccerakkang Kecamatan
Biringkanaya Kota Makassar tahun 2012.
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah metode observasional
dengan jenis penelitian cross sectional study melalui pendekatan untuk
melihat hubungan antara pengurasan TPA, kondisi TPA, karakteristik
TPA, kondisi rumah, dan jenis jentik dengan keberadaan jentik Aedes
aegypti. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan survei langsung
ke lapangan, melakukan observasi dan wawancara dengan
menggunakan lembar observasi.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilaksanakan di Kelurahan
Paccerakkang. Penetuan lokasi tersebut berdasarkan data dari
49
Puskesmas Sudiang Raya bahwa Kelurahan Paccerakkang salah
satu daerah yang memiliki ABJ < 75%. Batas Kelurahan
Paccerakkang sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan
Sudiang/Pai, sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan
Mandai/Maros, sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan
Tamalanrea, dan sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Bira.
Kelurahan Paccerakkang dengan luas wilayah 780 Ha
terdiri dari 21 Rukun Warga (RW) dan 119 Rukun Tetangga (RT)
yang memiliki 14.672 KK.
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilaksanakan pada 15 Desember sampai 25
Desember tahun 2012.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh rumah yang
berada di wilayah kerja Puskesmas Sudiang Raya Kecamatan
Biringkanayya Kota Makassar yaitu sebanyak 31.203 KK.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah RW VII RT B sebanyak
88 KK. Penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan metode
purposive sampel. Purposive sampel yaitu pengambilan sampel
dilakukan hanya atas dasar pertimbangan penelitinya saja yang
menganggap unsur-unsur yang dikehendaki telah ada dalam
50
anggota sampel yang diambil (Nasution, 2003). Penentuan sampel
ini dengan melihat beberapa kriteria sebagai berikut:
a. ABJ yang paling rendah di wilayah kerja Puskesmas Sudiang
Raya yaitu Kelurahan Paccerakkang RW VII RT B yaitu
sebanyak 88 KK. Berdasarkan hasil pemantauan jentik yang
dilakukan oleh petugas Puskesmas Sudiang Raya menunjukkan
bahwa dari 40 rumah yang dijadikan sampel terdapat 39 rumah
yang positip jentik.
b. Beberapa rumah menyimpan barang bekasnya di depan rumah
yang berpotensi untuk menjadi tempat perkembangbiakan
nyamuk Aedes aegypti dan sebagian rumah memiliki pot bunga
di pekarangan yang juga dapat menjadi tempat
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti.
c. Apabila responden bersedia rumahnya diobservasi.
D. Sumber Data
1. Data Primer
Untuk mendapatkan data primer dilakukan dengan metode
wawancara dengan menggunakan kuesioner dan melakukan
observasi atau pengamatan langsung untuk melihat keberadaan
jentik Aedes aegypti pada Tempat Penampungan Air (TPA) di
rumah responden.
2. Data Sekunder
51
Data sekunder diperoleh melalui penulusuran literatur dan
semua data yang diperoleh dari instansi terkait seperti Kantor Dinas
Kesehatan Kota Makassar, Puskesmas Sudiang Raya yaitu jumlah
penduduk dan penulusuran literatur-literatur.
E. Pengolahan Data dan Analisis Data
1. Pengolahan Data
Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan komputer melalui program (SPSS 17,0) yang sesuai.
Analisis dilakukan dengan menguji hipotesis Nol (Ho). Uji statistik
yang digunakan adalah Chi Square (x2) atau dengan menggunakan
α 0,05 dengan tabel 2 x 2. Untuk uji hipotesis rumus yang
digunakan:
X2 = n(|ad−bc|−n ²
2 )(a+b)(c+d )(a+c)(b+d)
2. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini yaitu analisis univariat dan
bivariat.
a. Analisis univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran
umum dengan cara mendeskripsikan setiap variabel yang
digunakan dalam penelitian yaitu dengan melihat gambaran
distribusi frekuensi yaitu dalam bentuk tabel. Data yang
dianalisis adalah hubungan kondisi temperatur, kelembaban
udara, kondisi tempat penampungan air, abatisasi dengan
52
keberadaan jentik Aedes egypti di wilayah kerja Puskesmas
Sudiang Raya Kota Makassar.
b. Analisis bivariat dilakukan untuk melihat adanya hubungan
pengurasan tempat penampungan air, kondisi tempat
penampungan air, karakteristik tempat penampungan air,
kondisi rumah, dan jenis jentik dengan keberadaan jentik Aedes
egypti di wilayah kerja Puskesmas Sudiang Raya Kota
Makassar. Analisis ini digunakan dengan pengujian statistik dan
uji Chi Square (x2) atau dengan menggunakan α = 0,05 dengan
tabel 2 x 2. Untuk uji hipotesis rumus yang digunakan adalah:
1) Jika data berbentuk nominal dan sampelnya besar, jika tidak
ada nilai harapan kurang dari 5 digunakan Chi Square
dengan Yate’s correction,
menggunakan tabel kontingensi 2 x 2 dengan rumus:
X2 = n(|ad−bc|−n ²
2 )(a+b)(c+d )(a+c)(b+d)
Keterangan:
X² = Nilai Chi Square
n = Besar Sampel
2) Jika terdapat nilai harapan kurang dari 5 digunakan Fisher
Exact
p = (a−b ) !(c−d)!(b−d) !
n !a !b !c !d !
Adapun interpensi dari kedua rumus di atas adalah:
53
a) Ho ditolak atau ada hubungan yang bermakna apabila X2
hasil perhitungan > X2 tabel atau p value < 0,05.
b) Ho diterima atau tidak ada hubungan yang bermakna
apabila X2 hasil perhitungan < X2 tabel atau p value ≥ 0,05.
F. Pengolahan dan Penyajian Data
1. Pengolahan Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini akan diolah dengan
menggunakan komputer melalui program SPSS.Tahap-tahap
pengelolahan data adalah sebagai berikut:
a. Editing, yaitu memeriksa data yang telah dikumpulkan untuk
diteliti kelengkapan, kejelasan makna jawaban, konsistensi
maupun kesalahan antar jawaban pada kuesioner.
b. Coding, yaitu memberikan kode-kode untuk memudahkan
proses pengolahan data.
c. Entry, yaitu memasukkan data untuk diolah menggunakan
komputer.
2. Penyajian Data
Data yang telah diolah akan disajikan dalam bentuk tabel
distribusi frekuensi dan crosstab yang disertai dengan penjelasan-
penjelasannya masing-masing.
54
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Paccerakkang Kota
Makassar, tepatnya di Perumahan Mangga Tiga RW VII RT B yang
dilaksanakan sejak tanggal 15 Desember 2012 sampai dengan 25
Desember 2012. Rumah tangga yang dijadikan sampel sebanyak 88
KK, namun terdapat 11 KK yang rumahnya tidak dapat diobservasi,
dengan beberapa alasan yaitu beberapa responden tidak menetap di
rumah tersebut atau rumah dalam keadaan kosong dan ada juga
responden tidak berkenan rumahnya diobservasi. Jadi sampel yang
berhasil diobservasi sebanyak 77 KK dengan jumlah kontainer
penampungan air yang diperiksa sebanyak 624 buah.
1. Keadaan Geografi
Kelurahan Paccerakkang dengan luas wilayah 780 Ha
terletak di Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar. Batas
55
Kelurahan Paccerakkang yaitu sebelah utara berbatasan dengan
Kelurahan Sudiang/Pai, sebelah timur berbatasan dengan
Kelurahan Mandai/Maros, sebelah selatan berbatasan dengan
Kelurahan Tamalanrea, dan sebelah barat berbatasan dengan
Kelurahan Bira.
2. Keadaan Demografi
Kelurahan Paccerakkang terdiri dari 21 Rukun Warga (RW)
dan 119 Rukun Tetangga (RT) yang memiliki 14.672 KK.
3. Angka Bebas Jentik (ABJ) Kelurahan Paccerakkang
Kelurahan Paccerakkang merupakan wilayah kerja
Puskesmas Suding Raya. Berdasarkan data Puskesmas Sudiang
Raya, data pemantauan jentik yang dilaksanakan pada bulan Mei
2011 yaitu ABJ 80%. Sementara data pemantauan jentik yang
dilaksanakan pada bulan November 2011 yaitu ABJ menurun
menjadi 62%. Berdasarkan data tersebut ABJ Kelurahan
Paccerakkang < 75%.
B. Hasil Penelitian
Pengambilan data dilakukan dengan wawancara dan
observasi langsung kepada responden yang ditemui di lokasi
penelitian dengan menggunakan kuesioner dan lembar observasi
untuk mengetahui keberadaan jentik. Data yang diperoleh kemudian
56
diolah dengan menggunakan computer program SPSS dan disajikan
dalam bentuk frekuensi. Hasil analisis data kemudian ditampilkan
dalam bentuk tabel disertai narasi. Adapun hasil penelitian yang
diperoleh sebagai berikut:
1. Analisis Univariat Variabel Penelitian
Analisis univariat hasil penelitian ini disajikan dalam bentuk
tabel distribusi frekuensi variabel independen dan variabel
dependen yang disertai dengan tabel. Pada penelitian ini untuk
mengetahui besarnya variabel independen dan variabel dependen.
Variabel independen meliputi karakteristik TPA, menguras TPA,
kondisi TPA, kondisi rumah dan jenis jentik. Adapun variabel
dependen dalam penelitian ini adalah keberadaan jentik Aedes
aegypti. Berikut ini analisis univariat variabel yang diteliti:
a. Distribusi Responden Berdasarkan Sumber Air Bersih
Distribusi responden berdasarkan sumber air bersih
dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 5.1Distribusi Frekuensi Sumber Air Bersih di Kelurahan
Paccerakkang Kecamatan BiringkanayaKota Makassar Tahun 2012
Sumber Air Bersih n (%)Sumur Bor 77 100PDAM 0 0Total 77 100
57
Sumber: Data Primer
Tabel 5.1 menunjukkan sumber air bersih yang
digunakan dalam keperluan sehari-hari di daerah tersebut
adalah sumur bor sebesar 77 KK (100%).
b. Distribusi Responden Berdasarkan Kualitas Air Bersih
Kualiatas air bersih dapat dilihat secara fisik yaitu
memenuhi syarat (jernih, tidak berbau, dan tidak berasa) dan
tidak memenuhi syarat (keruh, berbau, dan berasa). Distribusi
responden berdasarkan kualitas air bersih dapat dilihat pada
tabel berikut ini:
Tabel 5.2Distribusi Frekuensi Kualitas Air Bersih Secara Fisik di
Kelurahan Paccerakkang Kecamatan BiringkanayaKota Makassar Tahun 2012
Kualitas Air Bersih Secara Fisik
N (%)
Jernih, tidak berbau, dan tidak berasa
77 100
Keruh, berbau, dan berasa
0 0
Total 77 100Sumber: Data Primer
Tabel 5.2 menunjukkan di Kelurahan Paccerakkang
ditemukan seluruh KK memiliki kualitas air bersih yang jernih,
tidak berbau, dan tidak berasa yaitu sebanyak 77 KK (100%).
c. Karakteristik Tempat Penampungan Air (TPA)
Karakteristik tempat penampungan air meliputi jenis,
bahan dasar, dan warna TPA. Distribusi frekuensi karakterisktik
58
tempat penampungan air di Kelurahan Paccerakkang dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.3Distribusi Frekuensi Karakteristik Tempat Penampungan Air
di Kelurahan Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar Tahun 2012
Karakteristik TPA n %Jenis TPA TPA sehari-hari:
a. Emberb. Baskomc. Gentongd. Dispensere. Bak Mandif. Panci
1821273635341
29,220,35,85,65,40,2
415 66,5Non TPA sehari-haria. Pot Bungab. Tpt Minum Hewan
2081
33,30,2
209 33,5Jumlah 624 100
Bahan Dasar TPA Plastik 378 91,1Semen 36 8,7Aluminium 1 0,2
Jumlah 415 100
Warna TPA
Putih 90 21,7Biru 61 14,7Hijau 82 19,7Hitam 81 19,5Merah 62 14,9Kuning 17 4,2Merah muda 7 1,7
59
Abu-abu 11 2,6Ungu 2 0,5Cokelat 2 0,5
Jumlah 415 100
Sumber: Data Primer
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa jenis TPA sehari-hari
yang paling banyak digunakan adalah ember sebanyak 182
buah (29,2%), sedangkan untuk Non TPA sehari-hari yang
paling banyak ditemukan adalah pot bunga sebanyak 208 buah
(33,3%). Untuk bahan dasar tempat penampungan air yang
paling banyak adalah plastik sebanyak 378 TPA (91,1%).
Sedangkan bahan dasar tempat penampungan air dari
aluminium hanya 1 TPA (0,2%). Sementara warna tempat
penampungan air yang paling banyak digunakan adalah putih
sebanyak 90 TPA (21,7%). Sedangkan tempat penampungan
air yang berwarna ungu dan cokelat hanya 2 TPA (0,5%).
d. Pengurasan Tempat Penampungan Air (TPA)
Distribusi frekuensi pengurasan tempat penampungan
air di Kelurahan Paccerakkang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.4Distribusi Frekuensi Pengurasan Tempat Penampungan Air
di Kelurahan Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar Tahun 2012
Pengurasan TPA n (%)Memenuhi syarat 365 87,9Tidak memenuhi syarat 50 12,1Total 415 100
Sumber: Data Primer
60
Tabel 5.4 di Kelurahan Paccerakkang menunjukkan
bahwa dari 77 KK dengan 415 TPA terdapat 365 TPA (87,9%)
yang pengurasannya memenuhi syarat, sedangkan 50 TPA
(12,1%) yang pengurasannya tidak memenuhi syarat.
e. Kondisi Tempat Penampungan Air (TPA)
Distribusi frekuensi kondisi TPA di Kelurahan
Paccerakkang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.5Distribusi Frekuensi Kondisi Tempat Penampungan Air di
Kelurahan Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar Tahun 2012
Kondisi TPA N (%)Terbuka 355 85,5Tertutup 60 14,5Total 415 100
Sumber: Data Primer
Tabel 5.5 menunjukkan bahwa dari 415 TPA terdapat
355 TPA (85,5%) dalam kondisi terbuka, sedangkan 60 TPA
(14,5%) dalam kondisi tertutup.
f. Kondisi Rumah
Distribusi frekuensi kondisi rumah di Kelurahan
Paccerakkang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.6Distribusi Frekuensi Kondisi Rumah di Kelurahan
Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar Tahun 2012
Kondisi Rumah n (%)Memenuhi syarat 9 11,7
61
Tidak memenuhi syarat 68 88,3Total 77 100
Sumber: Data Primer
Tabel 5.6 menunjukkan bahwa dari 77 KK terdapat 68
rumah (88,3%) yang kondisi rumahnya tidak memenuhi syarat,
sedangkan terdapat 9 rumah (11,7%) yang kondisi rumahnya
memenuhi syarat.
g. Jenis Jentik
Pemeriksaan jentik nyamuk Aedes aegypti dilakukan
dengan metode single larva pada perindukan baik yang ada di
dalam rumah maupun di luar rumah. Hasil penelitian jenis jentik
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.7Distribusi Frekuensi Jenis Jentik Aedes sp. Berdasarkan
Rumah di Kelurahan Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar Tahun 2012
Jenis Jentik Aedes sp. n (%)Aedes aegypti 35 45,4Aedes albopictus 4 5,2Aedes aegypti dan Aedes albopictus
5 6,5
Tidak ada jentik 33 42,9Total 77 100
Sumber: Data Primer
Tabel 5.7 menunjukkan bahwa dari 77 KK terdapat 44
rumah yang positif jentik yaitu 35 rumah (45,4%) yang positif
Aedes aegypti, 4 rumah (5,2%) yang postif Aedes albopictus,
62
dan 5 rumah (6,5%) yang positif Aedes aegypti dan Aedes
albopictus. Sedangkan 33 rumah (42,9%) tidak ada jentik.
Tabel 5.8Distribusi Frekuensi Jenis Jentik Aedes sp. Berdasarkan
Kontainer di Kelurahan Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar Tahun 2012Jenis Jentik N (%)
Aedes aegypti 48 7,7Aedes albopictus 9 1,4Tidak ada jentik 567 90,9Total 624 100
Sumber: Data Primer
Tabel 5.8 menunjukkan bahwa dari 624 kontainer
terdapat 57 kontainer yang postif jentik yaitu 48 kontainer
(84,2%) yang positif jentik Aedes aegypti dan 9 kontainer yang
positif Aedes albopictus. Sementara 567 kontainer (90,9%) tidak
ada jentik.
h. Keberadaan Jentik Aedes aegypti
Distribusi frekuensi jentik Aedes aegypti di Kelurahan
Paccerakkang dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 5.9Distribusi Frekuensi Keberadaan Jentik Aedes aegypti
Berdasarkan Rumah dan Kontainer di Kelurahan Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya
Kota Makassar Tahun 2012
VariabelKeberadaan Jentik Jumlah
Positif Negatifn % n % N %
Kontainer 48 7,7 576
92,3 624 100
Rumah 40 51,9 37 48,1 77 100Sumber: Data Primer
63
Tabel 5.9 menunjukkan bahwa dari 624 kontainer yang
diperiksa terdapat 48 kontainer (7,7%) yang positif Aedes
aegypti dan dari 77 rumah yang diobservasi terdapat 40 rumah
(51,9%) yang positif jentik Aedes aegypti, maka kepadatan
jentik Aedes aegypti dapat dihitung dengan menggunakan
rumus HI, CI, dan BI sebagai berikut:
1) House Index (HI) =
jumlahrumah/bangunandengan jentikjumlahrumah /bangunan yang diperiksa
x100 %
= 4077
x 100%
= 51,9%
2) Container Index (CI) = jumlahkontainer dengan jentikjumlah kontainer yangdiperiksa
x 100%
= 48
624 x 100%
= 7,7 %
3) Breteau Index (BI) = jumlah container dengan jentikjumlah rumahdiperiksa
x100 %
= 4877
x 100%
= 62,3%
64
Kepadatan jentik Aedes aegypti yang diperoleh dari hasil
perhitungan angka indeks dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 5.10Kepadatan Jentik Aedes aegypti di Kelurahan
Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar Tahun 2012
Kepadatan Jentik % Density Figure
House Index (HI) 51,9 7Container Index (CI) 7,7 3Breteau Index (BI) 62,3 6
Sumber: Data Primer
Tabel 5.10 menunjukkan hasil perhitungan angka
indeks yang diperoleh, berdasarkan tabel diketahui CI berada
pada kategori 6-9% dengan DF= 3 menunjukkan kepadatan
jentik masuk dalam kategori kepadatan sedang sementara HI
berada pada kategori 50-59% dengan DF= 7 dan BI berada
pada kategori 50-74% dengan DF= 6 masuk dalam kategori
kepadatan tinggi.
Menurut WHO, dikatakan memiliki kepadatan larva
yang tinggi dan berisiko tinggi untuk penularan DBD jika HI dan
CI ≥ 5% serta nilai BI ≥ 20%. Tingginya kepadatan populasi
akan mempengaruhi distribusi penyebaran penyakit DBD. Hal
ini karena ada asumsi bahwa kurang dari 5% dari suatu
populasi nyamuk yang ada pada musim penularanakan menjadi
vektor. Disamping itu, kepadatan nyamuk akan berpengaruh
terhadap ketahanan hidupnya terutama hubungannya dengan
ancaman musuh/predator.
65
Dari ketiga indeks larva tersebut diatas breteau indeks
merupakan prioritas terbaik yang digunakan untuk
memperkirakan densitas karena sudah mengkombinasikan
keduanya baik rumah dan wadah, jadi kepadatan jentik Aedes
aegypti di Kelurahan Paccerakkang masuk dalam kategori
padat sehingga mempunyai resiko transmisi nyamuk yang
cukup tinggi untuk terjadi penularan penyakit DBD.
2. Analisis Bivariat Variabel Independen dengan Variabel
Dependen
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara
variabel independen dengan variabel dependen. Variabel
independen yaitu karakteristik TPA, menguras TPA, kondisi TPA,
kondisi rumah, dan jenis jentik dengan variabel dependen yaitu
keberadaan jentik Aedes aegypti.
Uji bivariat dilakukan dengan menggunakan uji Chi Square
dengan p=0,05 atau tingkat kepercayaan 95%. Hubungan
dinyatakan bermakna apabila p value hasil uji menunjukkan nilai
kurang dari 0,05. Hasil analisis variabel dependen dengan masing-
masing variabel dependen sebagai berikut:
66
a. Hubungan Karakteristik Tempat Penampungan Air dengan
Keberadaan Jentik Aedes aegypti
Karakteristik tempat penampungan air pada penelitian
ini meliputi jenis TPA, bahan dasar TPA, dan warna TPA.
Analisis hubungan karakteristik tempat penampungan air
dengan keberadaan jentik Aedes aegypti disajikan dalam
bentuk tabulasi silang dengan persentase baris.
Tabel 5.11Hubungan Karakteristik Tempat Penampungan Air dengan
Keberadaan Jentik Aedes aegypti di Kelurahan Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya
Kota Makassar Tahun 2012Karakteristik TPA Keberadaan Jentik Total
pPositif Negatif
n % n % n %1. Jenis
TPATPA sehari-hari:a. Emberb. Baskomc. Bak Mandid. Gentong e. Dispenserf. Panci
62
158
170
12,54,231,316,735,3
0
1761251928181
30,621,73,34,93,10,2
1821273436351
29,220,45,45,85,60,2
0,000Non TPA sehari-hari:a. Pot bungab. Tempat minum
hewan
0
0
0
0
208
1
36,2
0,2
208
1
33,3
0,2Jumlah 48 100 576 100 624 100
2. Bahan dasar TPA
Plastik 31 64,6 347 94,6 378 91,1
0,000Semen 17 35,4 19 5,2 36 8,7Aluminium 0 0 1 0,2 1 0,2
67
Jumlah 48 100 367 100 415 100
3. Warna TPA
Putih 10 20,8 80 21,8 90 21,7
0,058
Biru 15 31,3 46 12,5 61 14,7Hijau 3 6,3 79 21,5 82 19,8Hitam 9 18,8 72 19,6 81 19,5Merah 8 16,7 54 14,7 62 14,9Kuning 1 2,1 16 4,4 17 4,1Merah muda 1 2,1 6 1,6 7 1,7Abu-abu 1 2,1 10 2,7 11 2,7Ungu 0 0 2 0,5 2 0,5Cokelat 0 0 2 0,5 2 0,5Jumlah 48 100 367 100 415 100
Sumber: Data Primer
Tabel 5.11 menunjukkan bahwa TPA jenis TPA yang
positif jentik Aedes aegypti adalah TPA sehari-hari sebanyak
48 TPA. Jenis tempat penampungan air sehari-hari yang
positif jentik Aedes aegypti yang paling banyak adalah
dispenser sebanyak 17 TPA (35,4%) dan bak mandi sebanyak
15 TPA (31,3%), sedangkan non TPA sehari-hari tidak
ditemukan jentik Aedes aegypti. Hasil uji statistik menunjukkan
dengan menggunakan uji chi square diperoleh p = 0,000. Hal
ini berarti p < α (0,05). Dengan demikian, Ho ditolak yang
berarti bahwa terdapat hubungan antara jenis tempat
penampungan air dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di
Kelurahan Paccerakkang.
Untuk bahan dasar TPA menunjukkan bahwa dari
48 TPA yang positif jentik Aedes aegypti terdapat 31 TPA
(64,6%) yang memiliki bahan dasar plastik dan 17 TPA
(35,4%) yang berasal dari bahan semen sedangkan yang
68
berasal dari bahan dasar aluminium tidak ditemukan jentik.
Hasil uji statistik menunjukkan dengan menggunakan uji chi
square p = 0,000. Hal ini berarti p < α (0,05). Dengan
demikian, Ho ditolak yang berarti bahwa terdapat hubungan
antara bahan dasar tempat penampungan air dengan
keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan
Paccerakkang.
Sementara untuk warna TPA menunjukkan bahwa
dari 48 TPA, TPA berwarna gelap yang positif jentik yaitu 15
TPA (31,3%) berwarna biru, 9 TPA (18,8%) berwarna hitam,
dan 1 TPA (2,1%) berwarna abu-abu. Sementara TPA
berwarna terang yang positif jentik Aedes aegypti yaitu 10
TPA (20,8%) berwarna putih, 8 TPA (16,7%) berwarna
merah, 3 TPA (6,3%) berwarna hijau, dan masing-masing 1
TPA (2,1%) berwarna merah muda dan kuning. Hasil uji
statistik menunjukkan dengan menggunakan uji chi square p
= 0,058. Hal ini berarti p < α (0,05). Dengan demikian, Ho
ditolak yang berarti bahwa terdapat hubungan antara warna
tempat penampungan air dengan keberadaan jentik Aedes
aegypti di Kelurahan Paccerakkang.
Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa
ada hubungan antara karakteristik tempat penampungan air
dengan keberadaan jentik Aedes aegypti.
69
b. Hubungan Menguras Tempat Penampungan Air (TPA)
dengan Keberadaan Jentik Aedes aegypti
Hubungan antara menguras TPA dengan
keberadaan jentik Aedes aegypti dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 5.12Hubungan Menguras Tempat Penampungan Air dengan
Keberadaan Jentik Aedes aegypti di Kelurahan Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya
Kota Makassar Tahun 2012
Menguras TPAKeberadaan Jentik Total
pPositif Negatifn % n % n %
Tidak memenuhi syarat 47 97,9 3 0,8 50 12Memenuhi syarat 1 2,1 364 99,2 365 88 0,000
Jumlah 48 100 367 100 415 100Sumber: Data Primer
Tabel 5.12 menunjukkan bahwa dari 48 TPA terdapat
47 TPA (97,9%) yang pengurasannya tidak memenuhi syarat
positif jentik Aedes aegypti, sedangkan terdapat 1 TPA (2,1%)
yang pengurasannya memenuhi syarat namun positif jentik
Aedes aegypti. Hasil uji statistik menunjukkan dengan
menggunakan uji chi square diperoleh p = 0,000. Hal ini berarti
p < α (0,05). Dengan demikian, Ho ditolak yang berarti bahwa
terdapat hubungan antara menguras tempat penampungan air
dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan
Paccerakkang.
c. Hubungan Kondisi Tempat Penampungan Air (TPA)
dengan Keberadaan Jentik Aedes aegypti
70
Hubungan antara kondisi TPA dengan keberadaan
jentik Aedes aegypti dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.13Hubungan Kondisi Tempat Penampungan Air dengan
Keberadaan Jentik Aedes aegypti di Kelurahan Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya
Kota Makassar Tahun 2012
Kondisi TPA
Keberadaan Jentik Total pPositif Negatif
n % n % N %Terbuka 48 100 307 83,7 355 85,5Tertutup 0 0 60 16,3 60 14,5 0,000Jumlah 48 100 367 100 415 100
Sumber: Data Primer
Tabel 5.13 menunjukkan bahwa terdapat 48 TPA
(100%) yang positif jentik Aedes aegypti dalam kondisi terbuka,
sementara TPA yang kondisi tertutup tidak ditemukan jentik.
Hasil uji statistik menunjukkan dengan menggunakan uji chi
square diperoleh p = 0,000. Hal ini berarti p < α (0,05). Dengan
demikian, Ho ditolak yang berarti bahwa terdapat hubungan
antara kondisi tempat penampungan air dengan keberadaan
jentik Aedes aegypti di Kelurahan Paccerakkang.
d. Hubungan Kondisi Rumah dengan Keberadaan Jentik
Aedes aegypti
Hubungan antara kondisi rumah dengan keberadaan
jentik Aedes aegypti dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5.14Hubungan Kondisi Rumah dengan Keberadaan Jentik
Aedes aegypti di Kelurahan Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar
Tahun 2012
71
Kondisi RumahKeberadaan Jentik Total
pPositif NegatifN % n % n %
Tidak memenuhi syarat 36 90 32 86,5 68 83,3Memenuhi syarat 4 10 5 13,5 9 11,7 0,731
Jumlah 40 100 37 100 77 100Sumber: Data Primer
Tabel 5.14 menunjukkan bahwa dari rumah yang
diobservasi terdapat 36 rumah (90%) yang positif jentik Aedes
aegypti memiliki kondisi rumah yang tidak memenuhi syarat,
sementara terdapat 4 rumah (10%) yang memenuhi syarat
positif jentik Aedes aegypti. Hasil uji statistik menunjukkan
dengan menggunakan uji statistik fisher exact diperoleh p =
0,731. Hal ini berarti p > α (0,05). Dengan demikian, Ho
diterima yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan antara
kondisi rumah dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di
Kelurahan Paccerakkang.
e. Hubungan Jenis Jentik dengan Keberadaan Jentik Aedes
aegypti
Hubungan antara jenis jentik dengan keberadaan
jentik Aedes aegypti dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.15Hubungan Jenis Jentik dengan Keberadaan Jentik Aedes
aegypti di Kelurahan Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar Tahun 2012
Jenis jentikKeberadaan Jentik Total
pPositif Negatifn % n % n %
Aedes aegypti 48 84,2 0 0 48 7,7Aedes albopictus 9 15,8 0 0 9 1,4 0,000Tidak ada jentik 0 0 567 100 567 90,9
72
Jumlah 57 100 567 100 624 100Sumber: Data Primer
Tabel 5.15 menunjukkan bahwa dari 624 kontainer yang
diobservasi terdapat 48 kontainer (84,2%) yang positif jentik Aedes
aegypti dan 9 kontainer (15,8%) yang positif jentik Aedes
albopictus. Hasil uji statistik menunjukkan dengan menggunakan uji
chi square diperoleh p = 0,000. Hal ini berarti p < α (0,05). Dengan
demikian, Ho ditolak yang berarti bahwa terdapat hubungan antara
jenis jentik dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan
Paccerakkang.
C. Pembahasan
Pembahasan hasil penelitian ini didasarkan pada landasan
teoritis yang digunakan didalam penyusunan kerangka konsep
peneltian sebelumnya.
1. Hubungan Karakteristik Tempat Penampungan Air (TPA)
dengan Keberadaan Jentik Aedes aegypti
Karakteristik tempat penampungan air dalam penelitian ini
meliputi jenis, bahan dasar, dan warna TPA.
a) Jenis TPA
Tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti umumnya
berupa tempat-tempat teduh di mana air tergenang. Air tempat
73
nyamuk bertelur harus jernih, bukan air kotor, atau air yang
langsung bersentuhan dengan tanah, melainkan air jernih yang
berada dalam wadah dan tergenang tenang tak terusik.
Keberadaan tempat perindukan sangat berperan dalam
kepadatan vektor nyamuk Aedes aegypti, karena semakin
banyak tempat perindukan maka akan semakin padat populasi
nyamuk Aedes aegypti.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis TPA yang
positif jentik Aedes aegypti adalah TPA sehari-hari sebanyak 48
TPA. Jenis tempat penampungan air sehari-hari yang positif
jentik Aedes aegypti yang paling banyak adalah dispenser
sebanyak 17 (48,6%) dan bak mandi sebanyak 15 (44,1%),
sementara non TPA sehari-hari tidak ditemukan jentik Aedes
aegypti. Hal ini disebabkan karena non TPA sehari-hari
ditemukan di luar rumah dan digenangi oleh air kotor,
sementara breeding place Aedes aegypti kebanyakan di dalam
rumah dan lebih suka berekmbang biar digenangan air yang
bersih.
Hasil uji statistik menunjukkan dengan menggunakan
uji chi square diperoleh p = 0,000. Hal ini berarti p < α (0,05).
Dengan demikian, Ho ditolak yang berarti bahwa terdapat
hubungan antara jenis tempat penampungan air dengan
keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan Paccerakkang.
74
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Badrah
(2010) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara jenis TPA lainnya dengan keberadaan jentik di
kelurahan Penajam Kecamatan Penajam Tahun 2010.
Berdasarkan hasil penelitian jenis TPA sehari-hari yang
paling banyak ditemukan postif jentik Aedes aegypti adalah
dispenser dan bak mandi. Pada bagian bawah dispenser
terdapat wadah untuk menampung air yang tumpah dari gelas.
Wadah penampungan ini memiliki celah bagi nyamuk untuk
beristirahat. Kurangnya perhatian terhadap air yang tergenang
dalam wadah ini yang menyebabkan wadah tersebut menjadi
tempat yang baik bagi perkembangbiakan jentik. Membuang air
dalam wadah dispenser secara berkala akan membuat wadah
tersebut bebas dari jentik nyamuk. Sementara bak mandi
merupakan tempat yang potensial untuk perkembangan nyamuk
Aedes aegypti karena ukuran wadah yang besar dan air yang
jarang digunakan dan dibersihkan. Hal ini menjadi lebih buruk
lagi dengan perilaku responden yang tidak menutup tempat-
tempat penampungan air.
Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Novelani (2007) yang menyatakan bahwa
perolehan larva tertinggi pada jenis bak mandi sebesar (50%).
Penelitian yang dilakukan oleh Yudhastuti (2005) di Kelurahan
75
Wonokusumo, dari 252 kontainer ditemukan TPA sehari-hari
yang positif larva sebanyak 82 kontainer. Dari 82 kontainer
terdapat 38 bak mandi yang positif larva Aedes aegypti.
Perbedaan hasil penentuan jenis wadah yang
memfasilitasi larva Aedes aegypti tertinggi pada lokasi
penelitian dan pembanding, disebabkan masing-masing wilayah
tertentu mempunyai kesenangan akan pemilihan jenis tempat
penampungan air yang digunakan. Tetapi dari pengamatan di
lokasi penelitian dan pembanding dari angka-angka yang
diperoleh jenis wadah yang paling banyak ditemukan larva
adalah bak mandi yang merupakan jenis wadah dengan volume
air yang besar (Novelani, 2007).
b) Bahan Dasar TPA
Banyak sedikitnya larva Aedes aegypti yang ditemukan
kemungkinan ada hubungannya dengan makanan larva yang
tersedia, karena kesediaan makanan ada hubungannya dengan
bahan dasar TPA. Hal ini terjadi, mungkin disebabkan
mikroorganisme yang menjadi makanan larva lebih mudah
tumbuh pada dinding TPA yang kasar seperti semen. Selain itu,
pada kontainer yang berdinding kasar, nyamuk betina lebih
mudah mengatur posisi tubuh waktu meletakan telur, dimana
telur diletakan secara teratur di atas permukaan air.
76
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 48 kontainer
yang positif jentik Aedes aegypti terdapat 31 kontainer (64,6%)
yang memiliki bahan dasar plastik dan 17 kontainer (35,4%)
yang berasal dari bahan semen.
Berdasarkan hasil penelitian bahan dasar TPA yang
positif jentik Aedes aegypti adalah plastik dan semen. Hal ini
dikarenakan TPA yang paling banyak digunakan oleh warga di
lokasi penelitian adalah ember, baskom, dispenser dan bak
mandi yang kebanyakan terbuat dari plastik dan semen.
Banyaknya TPA berbahan dasar plastik yang ditemukan
dikarenakan saat ini banyak alat-alat untuk kebutuhan sehari-
hari yang terbuat dari plastik. Bahan dasar tersebut merupakan
bahan dasar yang paling banyak dan mudah ditemukan di
pasar, harganya yang cenderung lebih murah juga menjadi
pertimbangan dalam memilih TPA berbahan dasar plastik.
Selain itu kebanyakan TPA berbahan dara plastik kurang
diperhatikan kebersihannya sehingga member peluang untuk
Aedes aegypti berkembang biak.
Hasil uji statistik menunjukkan dengan menggunakan
uji chi square diperoleh p = 0,000. Hal ini berarti p < α (0,05).
Dengan demikian, Ho ditolak yang berarti bahwa terdapat
hubungan antara bahan dasar tempat penampungan air dengan
keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan Paccerakkang.
77
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Salim (2005), dari 36 TPA yang postif jentik
Aedes aegypti terdapat 19 TPA yang memiliki bahan dasar
plastik, 12 TPA dari semen, dan 5 TPA dari keramik. Sementara
hasil penelitian yang dilakukan oleh Novelani (2007) di
Kelurahan Utan Kayu Jakarta menyatakan bahwa sebagian
besar di lokasi penelitian ditemukan larva pada wadah yang
terbuat dari bahan dasar plastik (55,6%), keramik (25,0%) dan
paling sedikit pada bahan dasar semen (19,4%). Di lokasi
penelitian tersebut sebagian besar masyarakat menggunakan
wadah dengan bahan dasar plastik untuk bak, tempayan, drum
dan ember sehingga perolehan larva dengan bahan dasar ini
lebih tinggi dari pada yang lainnya.
Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Sari (2012) yang menyatakan bahwa dominan TPA yang
banyak ditemukan berasal dari bahan dasar plastik namun TPA
yang positif jentik Aedes aegypti lebih banyak ditemukan pada
TPA yang berasal dari bahan dasar semen (44,8%). Hal ini
terjadi, mungkin disebabkan mikroorganisme yang menjadi
makanan larva lebih mudah tumbuh pada dinding TPA yang
kasar seperti semen. Sementara pada kontainer berbahan
dasar plastik (sebagian besar adalah ember dan dispenser),
banyaknya jentik yang terdapat pada kontainer tersebut lebih
78
dikarenakan kondisi sekitar kontainer yang gelap, lembab dan
jarang dibuang airnya serta warna kontainer yang menunjang
perkembangan jentik.
c) Warna TPA
Kondisi yang lembab dan warna TPA yang gelap
memberikan rasa aman dan tenang bagi nyamuk untuk bertelur,
sehingga telur yang diletakkan lebih banyak dan jumlah larva
yang terbentuk lebih banyak pula. Selain itu suasana gelap
menyebabkan larva menjadi tidak terlihat sehingga tidak bisa
diciduk atau dibersihkan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 48 TPA, TPA
berwarna gelap yang positif jentik yaitu 15 TPA (31,3%)
berwarna biru, 9 TPA (18,8%) berwarna hitam, dan 1 TPA
(2,1%) berwarna abu-abu. Sementara TPA berwarna terang
yang positif jentik Aedes aegypti yaitu 10 TPA (20,8%) berwarna
putih, 8 TPA (16,7%) berwarna merah, 3 TPA (6,3%) berwarna
hijau, dan masing-masing 1 TPA (2,1%) berwarna merah muda
dan kuning.
Berdasarkan hasil penelitian warna TPA yang paling
banyak positif jentik Aedes aegypti adalah warna biru.
Kepadatan larva Aedes aegypti dalam suatu TPA juga
dipengaruhi oleh warna TPA. TPA yang berwarna gelap
memberikan rasa aman dan tenang pada waktu bertelur
79
sehingga telur yang diletakkan lebih banyak dan jumlah larva
yang terbentuk juga lebih banyak. Sebaliknya pada TPA yang
berwarna terang jumlah telur yang diletakkan lebih sedikit.
Selain itu, TPA yang berwarna gelap kebanyakan dalam kondisi
terbuka dan kurang dijaga kebersihannya sehingga memberi
peluang terhadap nyamuk Aedes aegypti berkembang biak.
Hasil uji statistik menunjukkan dengan menggunakan
uji chi square p = 0,058. Hal ini berarti p < α (0,05). Dengan
demikian, Ho ditolak yang berarti bahwa terdapat hubungan
antara warna tempat penampungan air dengan keberadaan
jentik Aedes aegypti di Kelurahan Paccerakkang.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Novelani (2007) yang menyatakan bahwa
ternyata wadah yang positif larva lebih banyak dijumpai pada
wadah berwarna biru (41,7%). Namun berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Sari (2012) yang menyatakan
bahwa tempat penampungan air yang berwarna biru merupakan
TPA yang paling banyak ditemukan di lokasi penelitian yaitu
sebanyak 222 buah (28,2%) tetapi tempat penampungan air
dengan warna merah muda memiliki persentase paling besar
(38,8%) positif jentik.
Penelitian lain di Buenos Aires, Argentina menemukan
tempat penampungan air dari bahan dasar plastik berwarna
80
hitam banyak mengandung larva Aedes aegypti 82,1% (Vezzani
et al.dalam Novelani, 2007). Perbedaan hasil perolehan antara
peneliti dan pembanding karena masing-masing masyarakat di
wilayah tertentu mempunyai kesenangan akan tempat
penampungan air yang berbeda-beda baik dalam jenis, bahan
dasar dan warna yang digunakan. Di perkirakan dapat
mempengaruhi prosentase perolehan larva pada setiap wilayah
tersebut.
2. Hubungan Menguras Tempat Penampungan Air dengan
Keberadaan Jentik Aedes aegypti
Menguras tempat penampungan air dalam penelitian ini
meliputi cara dan frekuensi pengurasan TPA. Pengurasan tempat-
tempat penampungan air perlu dilakukan secara teratur sekurang-
kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat
berkembangbiak di tempat itu. Pada saat ini telah dikenal pula
istilah ”3M” plus, yaitu kegiatan 3M yang diperluas. Bila PSN DBD
dilaksanakan oleh seluruh masyarakat, maka populasi nyamuk
Aedes aegypti dapat ditekan serendah-rendahnya, sehingga
penularan DBD tidak terjadi lagi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 48 kontainer
terdapat 47 TPA (97,9%) yang positif jentik Aedes aegypti karena
tidak memenuhi syarat dalam menguras TPA. Sementara 3 TPA
(0,8%) yang pengurasannya tidak memenuhi syarat namun tidak
81
ditemukan jentik di dalamnya dikarenakan air dalam TPA cepat
habis dan tidak memungkinkan nyamuk Aedes betina untuk
meletakkan telurnya di TPA tersebut. Sedangkan dari 365 TPA
yang pengurasannya memenuhi syarat terdapat 1 TPA (2,1%) yang
postif jentik Aedes aegypti karena kondisi TPA dalam keadaan
kondisi tidak tertutup rapat sehingga tidak menutup kemungkinan
nyamuk betina untuk bertelur di wadah tersebut.
Kebersihan TPA berkaitan dengan kegiatan pengurasan
yang dilakukan minimal seminggu sekali. Pengurasan dimaksud
adalah membersihkan TPA dengan cara menyikat bak dan TPA
yang lain dan mengganti air didalamnya dengan air yang bersih.
Menyikat dinding tempat penampungan air dimaksudkan untuk
menghilangkan telur-telur nyamuk jika ada menempel pada dinding
TPA. Pengurasan tempat penampungan air dengan mengosongkan
dan mengganti dengan air yang baru saja tidak cukup karena tidak
dapat membersihkan dinding dari kotoran yang menempel,
termasuk telur nyamuk yang kemungkinan besar masih menempel
di dinding TPA. Telur yang masih menempel tersebut nantinya
akan dapat berkembang menjadi jentik dan nyamuk dewasa.
Sehingga menguras tempat penampungan air dengan menyikat
dinding TPA dapat memperkecil kesempatan telur nyamuk untuk
berkembang menjadi nyamuk dewasa.
82
Hasil uji statistik menunjukkan dengan menggunakan uji
chi square diperoleh, p = 0,000. Hal ini berarti p < α (0,05). Dengan
demikian, Ho ditolak yang berarti bahwa terdapat hubungan antara
menguras tempat penampungan air dengan keberadaan jentik
Aedes aegypti di Kelurahan Paccerakkang.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Badrah (2011) yang menyatakan bahwa ada
hubungan antara kebersihan TPA dengan keberadaan jentik
dengan p=0.045 (p<0,05). Penelitian yang dilakukan oleh Wati
(2009) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara frekuensi
pengurasan kontainer dengan kejadian DBD di Kelurahan Ploso
Kecamatan Pacitan Tahun 2009.
Penelitian yang dilakukan oleh Sari (2012) menyatakan
bahwa ada hubungan antara praktik PSN dengan kejadian DBD
pada sekolah tingkat dasar di Kota Semarang (p value = 0,005).
Salah satu praktik PSN adalah menguras tempat penampungan air.
Salah satu tempat yang paling potensial sebagai tempat
perindukan nyamuk Aedes sp adalah tempat penampungan air.
Kebiasaan menguras tempat penampungan air lebih dari seminggu
sekali dapat memberikan kesempatan telur Aedes sp menjadi
nyamuk dewasa mengingat pertumbuhan telur menjadi nyamuk
dewasa berkisar antara 7-14 hari.
83
3. Hubungan Kondisi Tempat Penampungan Air dengan
Keberadaan Jentik Aedes aegypti
Wadah penyimpanan air sebaliknya menggunakan
penutup rapat serta mudah dibersihkan. Dengan menggunakan
tutup yang rapat pada setiap penampungan air akan mencegah
nyamuk untuk bersarang dan bertelur. Wadah yang terbuka akan
memungkinkan nyamuk berkembang biak dengan mudah.
Penyimpanan air bersih dirumah, umumnya menggunakan
gentong dan ember plastik. Gentong dan ember plastik harus
mempunyai tutup yang rapat dan wadah paling sedikit dua kali
seminggu harus dibersihkan / dikuras. Gentong dan ember plastik
diletakkan ditempat yang tidak mudah dicemari, lebih tinggi dari
lantai, jauh dari tempat sampah dan selalu tutup rapat.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
48 kontainer (100%) yang positif jentik Aedes aegypti dalam kondisi
terbuka atau tidak tertutup rapat dan terkena udara langsung.
Sementara terdapat 307 TPA dalam keadaan terbuka, namun tidak
terdapat jentik di dalamnya. Hal ini dapat terjadi karena responden
membersihkan TPA secara rutin (1 minggu sekali) atau TPA
berukuran kecil, sehingga air dalam TPA cepat habis dan tidak
memungkinkan nyamuk Aedes betina untuk meletakkan telurnya di
TPA tersebut.
84
Hasil uji statistik menunjukkan dengan menggunakan uji
chi square diperoleh p = 0,000. Hal ini berarti p < α (0,05). Dengan
demikian, Ho ditolak yang berarti bahwa terdapat hubungan antara
kondisi tempat penampungan air dengan keberadaan jentik Aedes
aegypti di Kelurahan Paccerakkang.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Badrah (2011) yang menyatakan bahwa ada
hubungan antara kondisi TPA dengan keberadaan jentik dengan
p=0.000 (p<0.05). Penelitian yang dilakukan oleh Sulistyawati
(2011) juga menyatakan bahwa ada hubungan kondisi tempat
penampungan air dengan kepadatan jentik Aedes aegypti di
Kelurahan Rappocini.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Salim
(2007) yang menyatakan dari hasil survei kontainer dengan
penutup justru lebih banyak dibandingkan dengan yang tidak
berpenutup. Ini disebabkan karena kontainer/TPA tanpa penutup
lebih sering digunakan penduduk sehingga arus air di dalam
kontainer menjadi tidak kondusif bagi perkembangan jentik.
Sementara kontainer yang berpenutup digunakan penduduk
sebagai tampungan air cadangan yang jarang digunakan sehingga
jarang dibersihkan. Bisa juga disebabkan penutupnya tidak rapat
atau ada bagian yang berlubang pada penutup kontainer tersebut.
Oleh sebab itu, dalam penggunaan air dianjurkan untuk sesegera
85
mungkin menutup kembali TPA setelah digunakan. Hal ini
dilakukan untuk meminimalisir kesempatan nyamuk Aedes Aegypti
betina dalam metetakkan telurnya pada TPA.
4. Hubungan Kondisi Rumah dengan Keberadaan Jentik Aedes
aegypti
Faktor yang dapat mempengaruhi indeks jentik DBD yang
berkaitan dengan kondisi perumahan adalah sistem ventilasi,
pencahayaan, dan kebiasaan menggantung pakaian (bukan dalam
almari). Ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan antara lain
ventilasi yang berkasa atau penutup ventilasi lainnya karena selain
tetap berfungsi sebagai tempat keluar masuknya udara dan tetap
mendapatkan udara yang segar. Dengan menggunakan ventilasi
berkasa berarti telah mengurangi jalan masuk bagi nyamuk Aedes
aegypti ke dalam rumah sehingga dapat mengurangi terjadinya
kontak antara nyamuk dan manusia.
Intensitas cahaya merupakan faktor utama yang
mempengaruhi biomonik nyamuk aedes aegypti yang merupakan
penular demam berdarah yaitu dalam perilaku nyamuk di suatu
tempat. Intensitas cahaya yang rendah (< 60 lux ) merupakan
kondisi yang baik bagi nyamuk. Dengan demikian faktor
pencahayaan yang kurang di dalam rumah–rumah sangat
mendukung kelangsungan siklus hidup nyamuk aedes aegypti
sebagai penular demam berdarah sehingga memungkinkan
86
terjadinya KLB demam berdarah. Pengukuran cahaya dalam
penelitian ini adalah pengukuran cahaya kamar mandi.
Pakaian yang manggantung dalam ruangan merupakan
tempat yang disenangi nyamuk Aedes aegypti untuk beristirahat
setelah menghisap darah manusia. Setelah beristirahat pada
saatnya akan menghisap darah manusia kembali sampai nyamuk
tersebut cukup darah untuk pematangan sel telurnya. Jika nyamuk
yang beristirahat pada pakaian menggantung tersebut menghisap
darah penderita demam berdarah dan selanjutnya pindah dan
menghisap darah orang yang sehat maka dapat tertular virus
demam berdarah dengue.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 77
rumah yang diobservasi terdapat 36 rumah (90%) yang positif jentik
Aedes aegypti memiliki kondisi rumah yang tidak memenuhi syarat.
Sementara 32 rumah (86,5%) yang kondisi rumahnya tidak
memenuhi syarat tidak ditemukan jentik karena menjaga
kebersihan TPA nya dan bisa juga karena kondisi TPA yang
tetutup. Selain itu jenis TPA yang paling banyak digunakan adalah
ember yang menampung air dalam jumlah kecil sehingga setiap air
habis langsung diisi lagi dengan air baru yang bersih. Hal ini
memperkecil peluang Aedes aegypti untuke bertelur, sedangkan
dari 9 rumah yang kondisi rumahnya memenuhi syarat terdapat 4
rumah yang postif jentik dikarenakan tidak menjaga kebersihan
87
TPA nya dan kemungkinan penyebab lainnya adalah kondisi TPA
dalam keadaan terbuka sehingga tidak menutup kemungkinan
nyamuk Aedes aegypti dapat berkembang biak dalam TPA
tersebut.
Hasil uji statistik menunjukkan dengan menggunakan uji
chi square diperoleh p = 0,731. Hal ini berarti p > α (0,05). Dengan
demikian, Ha ditolak yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan
antara kondisi rumah dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di
Kelurahan Paccerakkang. Hal ini mungkin disebabkan karena
kurang menjaga kebersihan TPA dan juga dari segi kondisi TPA
yang terbuka sehingga member peluang untuk nyamuk Aedes
agypti berkembang biak.
Hasil penelitian sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Sukowinarsih (2011) yang menyatakan bahwa Tidak ada
hubungan antara intensitas pencahayaan dengan kejadian DBD
pada penelitian yang dilakukannya, sehingga intensitas
pencahayaan bukan merupakan faktor risiko kejadian DBD di
wilayah kerja Puskesmas Sekaran.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Dardjito (2008) menyatakan bahwa dari hasil uji Chi
Square untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan gantung
pakaian dengan kejadian DBD di Kecamatan Purwokerto Timur
diperoleh p value sebesar 0,295. Hal ini dapat diartikan bahwa tidak
88
ada hubungan antara kebiasaan menggantung pakaian dengan
kejadian DBD di Kecamatan Purwokerto Timur.
Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wati
(2009) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
kebiasaan menggatung pakaian dengan kejadian DBD di
Kelurahan Ploso Kecamatan Pacitan Tahun 2009.
Sementara hasil penelitian penelitian yang dilakukan oleh
Intang (2008) yang menyatakan sebagian besar memiliki kondisi
rumah yang memenuhi syarat yaitu 88 rumah dari 85 rumah yang
tidak memenuhi syarat. Dari sejumlah rumah yang memenuhi
syarat ditemukan hanya 12 rumah yang positif terdapat jentik
Aedes aegypti, sedangkan dari sejumlah rumah yang tidak
memenuhi syarat ditemukan 47 rumah yang positif jentik Aedes
aegypti, juga tidak mempunyai ventilasi yang berkasa sehingga
nyamuk bisa keluar masuk.
Hasil penelitian yang berbeda dengan skripsi pembanding
disebabkan karena adanya faktor-faktor lain seperti menjaga
kebersihan TPA dan kondisi TPA yang dalam keadaan tertutup
serta jenis TPA yang paling banyak digunakan di lokasi penelitian.
5. Hubungan Jenis Jentik dengan Keberadaan Jentik Aedes
aegypti
Pemeriksaan jentik dalam penelitian ini sangat diperlukan
dalam menentukan jenis jentik yang ada di rumah warga sehingga
89
dapat diketahui rumah yang positip jentik Aedes aegypti. Nyamuk
Aedes aegypti merupakan vektor utama (primer) dalam penularan
penyakit DBD karena tempat hidupnya yang biasanya berada di
dalam ataupun dekat lingkungan rumah sedangkan nyamuk Aedes
albopictus merupakan vektor sekunder dikarenakan habitat aslinya
biasanya berada di kebun-kebun.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari kontainer yang
diobservasi terdapat 48 kontainer (84,2%) yang positif jentik Aedes
aegypti. Sementara 9 kontainer (15,6%) positif Aedes albopictus.
Berdasarkan hasil penelitian jenis jentik yang paling banyak
ditemukan adalah Aedes aegypti. Hal ini dikarenakan tempat
perindukan Aedes aegypti lebih banyak di dalam rumah dan lebih
suka dengan genangan air yang bersih, sedangkan kontainer yang
postif Aedes albopictus ditemukan di luar rumah dan digenangi air
yang keruh.
Hasil uji statistik menunjukkan dengan menggunakan uji
chi square diperoleh p = 0,000. Hal ini berarti p < α (0,05). Dengan
demikian, Ho ditolak yang berarti bahwa terdapat hubungan antara
jenis jentik dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan
Paccerakkang.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian survei jentik
yang dilakukan oleh Salim (2005) yang menyatakan bahwa
90
prosentase jentik Aedes aegypti yang ditemukan sebesar 94,45%
sedangkan jentik Aedes albopictus sebesar 5,55%.
Penelitian yang dilakukan oleh Novelani (2007)
menyatakan bahwa jentik Aedes aegypti lebih banyak ditemukan di
sekitar rumah, sedangkan Aedes albopictus lebih banyak
ditemukan di sekitar sekolah. Sebagian besar Aedes aegypti
bersifat endofagik atau menghisap darah di dalam rumah,
sedangkan Aedes albopictus bersifat eksofagik atau menghisap
darah diluar.
6. Keberadaan Jentik Aedes aegypti
Jumlah rumah yang diperiksa pada penelitian ini sebanyak
77 rumah dan kontainer yang diperiksa sebanyak 624 buah. Dari
77 rumah yang diperiksa terdapat 40 rumah yang positif jentik
Aedes aegypti sedangkan dari 624 kontainer yang diperiksa
sebanyak 48 kontainer yang positif jentik Aedes aegypti. Dengan
diketahuinya jumlah rumah dan kontainer yang positif jentik maka
kepadatan jentik dapat dihitung.
Perhitungan kepadatan jentik dapat dilakukan dengan
menghitung House Index (HI), Container Index (CI), dan Breteau
Index (BI). Selanjutnya indeks tersebut dikorelasikan dengan angka
Density Figure (DF) yang telah ditetapkan oleh WHO. Hasil
perhitungan jentik menunjukkan bahwa HI pada Kelurahan
Paccerakkang sebesar 51,9% dengan Density Figure 7 (kepadatan
91
tinggi), CI pada Kelurahan Paccerakkang sebesar 7,7% dengan
Density Figure 3 (kepadatan sedang), BI pada Kelurahan
Paccerakkang sebesar 62,3% dengan Density Figure 6 (kepadatan
tinggi). Angka CI yang merupakan angka keberadaan jentik
nyamuk dibandingkan terhadap jumlah seluruh wadah yang
diperiksa yang ada dalam rumah responden, namun angka BI
merupakan pengukuran terbaik yang digunakan untuk
memperkirakan densitas jentik, karena sudah mengkombinasikan
keduanya baik rumah maupun wadah. Angka BI pada penelitian ini
masuk dalam kategori kepadatan tinggi.
D. Keterbatasan Peneliti
1. Beberapa rumah responden tidak dapat diobseravasi karena tidak
menetap di rumah tersebut atau rumah dalam keadaan kosong.
2. Beberapa responden tidak berkenan rumahnya diobservasi karena
rumahnya sedang direnovasi.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Ada hubungan antara karakteristik tempat penampungan air (p =
0,000, p < 0,05) dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di
Kelurahan Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar
Tahun 2012.
92
2. Ada hubungan antara menguras tempat penampungan air (p =
0,000, p < 0,05) dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di
Kelurahan Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar
Tahun 2012.
3. Ada hubungan antara kondisi tempat penampungan air (p = 0,000,
p < 0,05) dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan
Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar Tahun
2012.
4. Tidak ada hubungan antara kondisi rumah (p = 0,731, p > 0,05)
dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan
Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar Tahun
2012.
5. Ada hubungan antara jenis jentik (p = 0,000, p < 0,05) dengan
keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan Paccerakkang
Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar Tahun 2012.
B. Saran
1. Perlu adanya survei jentik dilakukan sekali dalam 3 bulan secara
rutin di wilayah Kelurahan Paccerakkang untuk mengetahui tingkat
kepadatan jentik Aedes aegypti sehingga dapat dilakukan upaya
pemberantasan dengan cepat.
93
2. Sebaiknya masyarakat mengetahui karakateristik tempat
penampungan air yang disenangi oleh jentik Aedes aegypti
sehingga dapat mengurangi tempat perindukan jentik.
3. Sebaiknya masyarakat setempat meningkatkan kedisiplinan dalam
membersihkan tempat penampungan air. Pengurasan TPA harus
dilakukan minimal 1 minggu sekali secara terus-menerus.
4. Diharapkan agar setiap tempat penampungan air disediakan
penutup untuk dapat meminimalisir jentik.
5. Sebaiknya masyarakat mengurangi tempat peristirahatan nyamuk
Aedes aegypti di dalam rumah seperti menghilangkan kebiasaan
menggantung pakaian (bukan dalam almari), pencahayaan kamar
mandi sebaiknya > 60 lux, dan memberi kasa pada ventilasi rumah
agar nyamuk tidak gampang masuk ke dalam rumah.
DAFTAR PUSTAKA
Arman. 2008. Analisis Faktor–faktor Yang Berhubungan Dengan Kontainer Indeks Jentik Nyamuk Aedes aegypti Di Kota Makassar. Jurnal Kesehatan Masyarakat Madani, ISSN.1979-228X,Vol.01 No.02, Tahun 2008. (online) (http://journal.umi.ac.id/pdf, Diakses 1 November 2012)
94
Badrah & Hidayah. 2011. Hubungan Antara Tempat Perindukan Nyamuk Aedes Aegypti Dengan Kasus Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Penajam Kecamatan Penajam Kabupaten Penajam Paser Utara. J. Trop. Pharm. Chem. (Indonesia), 2011. Vol 1. No. 2. (online) (http://isjd.lipi.go.id/admin/jurnal/1211153160_2087-7099.pdf, Daikses 12 November 2012).
Damyanti, R. 2009. Hubungan Pengetahuan, Sikap Dan Praktek 3M Dengan Keberadaan Jentik Aedes aegypti Pada Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue Di Kelurahan Kepolorejo Kecamatan Magetan Kabupaten Magetan. Skripsi Dipublikasikan. Semarang SI Kesehatan Masyarakat. Universitas Diponegoro.
Dardjito, et. al. 2008. Beberapa Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kabupaten Banyumas. Media Litbang Kesehatan Volume XVIII Nomor 3 Tahun 2008. (online) (http://ejournal.litbang.depkes.go.id, Diakses 12 November 2012).
Departemen Kesehatan RI. 2004. Bulletin Harian (Newsletter) Tim Penanggulangan DBD Departemen Kesehatan R.I., (online) (www.depkes.go.id, Diakses 6 Oktober 2012).
Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan. 2010. Warga Suspect Demam Berdarah. (online) (http://www.dinkes-sulsel.go.id/index.php, Diakses 12 November 2012).
Ditjen P2M & PL Depkes RI. 2004. Perilaku Dan Siklus Hidup Nyamuk Aedes Aegypti Sangat Penting Diketahui Dalam Melakukan Kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk Termasuk Pemantauan Jentik Berkala. (online) (ww.depkes.go.id, Diakses 6 Oktober 2012)
Ditjen PP dan PL Depkes RI. 2011. Informasi Umum Demam Berdarah Dengue, (online) (www.pppl.depkes.go.id/_.../INFORMASI_UMUM_DBD_2011.pdf, Diakses 6 Oktober 2012).
Fajar Harian. 2011. Waspadai Kasus DBD, Januari Tertinggi. (online) (http://www.fajar.co.id/read-20111209224415-waspadai-kasus-dbd-januari-tertinggi, Diakses 30 September 2012)
95
Fakultas Kesehatan Masyarkat UMI. 2004. Pedoman Penulisan Skripsi. Makassar.
Fathi, et. al. 2005. Peran Faktor Lingkungan Dan Perilaku Terhadap Penularan Demam Berdarah Dengue Di Kota Mataram. Jurnal Kesehatan Lingkungan, vol. 2, no. 1, juli 2005 : 1 – 10. (online) (http://210.57.222.46/index.php/JKL/article/view/689, Diakses 12 November 2012).
Gama, T.A. & Betty, R.F. 2010. Analisis Faktor Risiko Kejadian Demam Berdarah Dengue Di Desa Mojosongo Kabupaten Boyolali. Eksplanasi, Volume 5, Nomor 2, (Online) (http://Faizah Betty, A Gama - Eksplanasi, 2012 - kopertis6.or.id, Diakses 6 Oktober 2012).
Hadi, et al. 2006. SebaranJentik Nyamuk Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) di Desa Cikarawang, Kabupaten Bogor (Online) (http://ejournal.litbang.depkes.go.id, Diakses 13 Oktober 2012).
Hadinegoro & Satari. 2002. Demam Berdarah Dengue. Balai Penerbit FK UI: Jakarta.
Kalyanamitra, 2012. Demam Berdarah, Gejala, Pencegahan, dan Pengobatannya. Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan, (online) (http://www.kalyanamitra.or.id/wp-content, Diakses 13 Oktober 2012).
Misnadiarly. 2009. Demam Berdarah Dengue. Pustaka Populer Obor: Jakarta.
Muslim. 2004. Faktor Lingkungan Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Infesi Virus Dengue. Tesis Dipublikasikan. Semarang Magister Epidemiologi. Universitas Diponegoro.
Nasution R. 2003. Teknik Sampling, (online) (http://www.google.co.id/url, Diakses 6 November 2012).
Novelani. 2007. Studi Habitat Dan Perilaku Menggigit Nyamuk Aedes Serta Kaitannya Dengan Kasus Demam Berdarah Di Kelurahan Utan Kayu Utara Jakarta Timur. Tesis Dipublikasikan. Bogor Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
96
Nugroho, S.F. 2009. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keberadaan Jentik Aedes Aegypti Di RW IV Desa Ketitang Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali. Skripsi Dipublikasikan. Surakarta SI Kesehatan Masyarakat. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Oktaviani, N. 2008. Faktor - Faktor yang Berpengaruh Terhadap Keberadaan Larva Nyamuk Aedes aegypti di Kota Pekalongan, (online) (http://N Oktaviani - Pena Medika Jurnal Kesehatan, 2010 - journal.unikal.ac.id, Diakses 6 Oktober 2012).
Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI. 2010. Demam Berdarah Dengue. Buletin Jendela Epidemiologi, Volume 2, (Online) (www.depkes.go.id/downloads/.../buletin/BULETIN%20DBD.pdf, Diakses 6 Oktober 2012).
Puskesmas Sudiang Raya. 2012. Profil Puskesmas Sudiang Raya. Makassar.
Puskesmas Sudiang Raya. 2011. Pemantauan Jentik Puskesmas Sudiang Raya. Makassar.
Puskesmas Sudiang Raya. 2012. Data Kejadian Demam Beradarah Dengue Puskesmas Sudiang Raya. Makassar.
Riyadi, et al. 2007. Hubungan Kondisi Sanitasi Lingkungan Rumah Tangga Dengan Keberadaan Jentik Vektor Dengue (Aedes aegypti Dan Aedes albopictus) Di Daerah Rawan Demam Berdarah Dengue Kota Libuklinggau Tahun 2006. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 6 No. 2, Agustus 2007: 594-601. (online) (http://isjd.pdii.lipi.go.id, Diakses 12 November 2012).
Salim, M. 2007. Survey Jentik Aedes aegypti Di Desa Saung Naga Kab. Oku Tahun 2005. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 6 No. 2, Agustus 2007: 602-607. (online) (http://ejournal.litbang.depkes.go.id, Diakses 12 November 2012).
Salim, et al. 2011. Efektivitas Malathion Dalam Pengendalian Vektor DBD Dan Uji Kerentanan Larva Aedes Aegypti Terhadap Temephos Di Kota Palembang. Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 39, No 1: 10
97
– 21, (Online) (http://ejournal.litbang.depkes.go.id, Diakses 13 Oktober 2012).
Salim dan Febriyanto Survei Jentik Aedes aegypti Di Desa Saung Naga Kab. Oku. Jurnal Ekologi Kesehatan, Vol. 6, No 2: 602-607, (Online) (http://ejournal.litbang.depkes.go.id, Diakses 13 Oktober 2012).
Santoso, et al. 2008. Hubungan Pengetahuan Sikap Dan Perilaku (PSP) Masyarakat Terhadap Vektor DBD di Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan. Jurnal Ekologi Kesehatan, Vol 7, No 2: 732 – 739, (Online) (http://eprints.undip.ac.id/16497/, Diakses 20 Oktober 2012).
Sari, et. al. 2012. Hubungan Kepadatan Jentik Aedes sp Dan Praktik PSN Dengan Kejadian DBD Di Sekolah Tingkat Dasar Di Kota Semarang. JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 413 – 422. (online) (http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm, Diakses 12 November 2012).
Soedarmo. 2005. Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak. Penerbit Universitas Indonesia: Jakarta.
Soegijanto, S. 2004. Demam Berdarah Dengue. Penerbit Universitas Airlangga: Surabaya.
Sudoyo, et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid III. Pusat Penerbit Dep. Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
Sukamto. 2007. Studi Karakteristik Wilayah Dengan Kejadian DBD Di Kecamatan Cilacap Selatan Kabupaten Cilacap. Tesis Dipublikasikan. Semarang Magister Kesehatan Lingkungan. Universitas Diponegoro.
Sukowinarsih & Cahyati. 2011. Hubungan Sanitasi Rumah Dengan Angka Bebas Jentik Aedes aegypti. KEMAS 6 (1) (2011) 30-35. (online) (http://journal.unnes.ac.id/index.php/kemas, Diakses 12 November 2012).
Sulistyawati, I.H. 2011. Hubungan Letak, Jenis, Dan Kondisi Tempat Penampungan Air (TPA) Dengan Kepadatan Larva Aedes Aegypti Di Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar.
98
Skripsi tidak dipublikasikan. Makassar SI Kesehatan Masyarakat. Ubiversitas Hasanuddin.
Supartha. 2008. Pengendalian Terpadu Vektor Virus Demam Berdarah Dengue, Aedes aegypti (Linn.) dan Aedes albopictus (Skuse)(Diptera: Culicidae), (online) (http://dies.unud.ac.id/wp-content/uploads/2008/09/makalah-supartha-baru.pdf, Diakses 13 Oktober 2012).
Triwinasis, S. 2010. Hubungan Antara Praktik Pemberantasan Sarang Nyamuk Dengan Keberadaan Jentik Aedes aegypti Pada Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue. Di Kelurahan Keparakan Kecamatan Mergangsan Kota Yogyakarta. Skripsi Dipublikasikan. Semarang SI Kesehatan Masyarakat. Universitas Diponegoro.
Wati, E.W. 2009. Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kelurahan Ploso Kecamatan Pacitan Tahun 2009. Skripsi Dipublikasikan. Surakarta SI Kesehatan Masyarakat. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Widiyanto, T. 2007. Kajian Manajemen Lingkungan Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Purwokerto Jawa –Tengah. Tesis Dipublikasikan. Semarang Magister Kesehatan Lingkungan. Universitas Diponegoro.
Yudhastuti & Vidiyani. 2005. Hubungan Kondisi Lingkungan, Kontainer, Dan Perilaku Masyarakat Dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes aegypti Di Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue Surabaya. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.1, No.2. (online) (http://210.57.222.46/index.php, Diakses 12 November 2012).
99
LAMPIRAN
1. Lampiran Kuesioner
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEBERADAAN JENTIK
Aedes aegypti DI KELURAHAN PACCERAKKANG KECAMATAN
BIRINGKANAYA KOTA MAKASSAR
100
TAHUN 2012
No. Responden:
Hari/Tanggal:
A. Identitas Responden
1. Nama :
2. Alamat :
3. RW/RT :
4. Pendidikan:
B. Cara Penyimpanan Air Bersih
1. Sumber air bersih:
a. PDAM
b. Sumur gali
2. Kualitas air bersih yang diperoleh (dilihat secara fisik):
a. Jernih, tidak berbau, tidak berasa
b. Keruh, berbau, dan berasa
3. Kebiasaan masyarakat dalam penyimpanan air bersih:
a. Tidak menyimpan
b. Menyimpan
4. Lama penyimpanan air bersih
a. 1 hari
b. 3 hari
c. 1 minggu
d. Lainnya………………………
101
C. Lembar Observasi Keberadaan Larva Aedes aegypti
No Karakteristik TPA Pengurasan TPA Kondisi TPA
Kondisi Rumah Jenis jentik
Positif
Jenis Warna Bhn dasar
Cara Frekuensi
ventilasi
Pencahayaan
Kebiasaan gantung pakaian
102
2. Lampiran Dokumentasi Penelitian
Gambar 1 Pemeriksaan Jentik Gambar 2 Pengambilan Jentik
Gambar 3. Wawancara Responden Gambar 4 Pemeriksaan Pencahayaan
Gambar 5 Kebiasaan Menggantung Pakaian
SUMBER AIR BERSIH
77 100.0 100.0 100.0SUMUR BORValidFrequency Percent Valid Percent
Cumulat ivePercent
KUALI TAS AI R BERSI H SECARA FI SI K
77 100. 0 100. 0 100. 0MEMENUHI SYARATValidFrequency Percent Valid Percent
Cumulat ivePercent
KONDI SI RUMAH
68 88. 3 88. 3 88. 3
9 11. 7 11. 7 100. 0
77 100. 0 100. 0
TDK MEMENUHI SYARAT
MEMENUHI SYARAT
Tot al
ValidFrequency Percent Valid Percent
Cumulat ivePercent
J ENIS T PA
4 1 5 6 6 .5 6 6 .5 6 6 .5
2 0 9 3 3 .5 3 3 .5 1 0 0 .0
6 2 4 1 0 0 .0 1 0 0 .0
T PA
NON T PA
T o ta l
Va l i dF re q u e n c y Pe rc e n t Va l i d Pe rc e n t
Cu mu l a t i v ePe rc e n t
NAMA TPA
182 29. 2 29. 2 29. 2
1 . 2 . 2 29. 3
127 20. 4 20. 4 49. 7
34 5. 4 5. 4 55. 1
208 33. 3 33. 3 88. 5
36 5. 8 5. 8 94. 2
35 5. 6 5. 6 99. 8
1 . 2 . 2 100. 0
624 100. 0 100. 0
EMBER
TEMPAT MI NUM HEWAN
BASKO M
BAK MANDI
PO T BUNG A
G ENTO NG
DI SPENSER
PANCI
Tot al
ValidFrequency Percent Valid Percent
Cumulat ivePercent
103
3. Lampiran Frequency Table
KEBERADAAN J ENT IK OL BOPICT US
9 1 .4 1 .4 1 .4
6 1 5 9 8 .6 9 8 .6 1 0 0 .0
6 2 4 1 0 0 .0 1 0 0 .0
POSIT IF
NEGAT IF
T o ta l
Va l i dF re q u e n c y Pe rc e n t Va l i d Pe rc e n t
Cu mu l a t i v ePe rc e n t
JENI S JENTI K
35 45. 5 45. 5 45. 5
4 5. 2 5. 2 50. 6
5 6. 5 6. 5 57. 1
33 42. 9 42. 9 100. 0
77 100. 0 100. 0
AEDES AEGYPTI
ALBOPI CTUS
AEDES AEGYPTI &ALBOPI CTUS
TI DAK ADA JENTI K
Tot al
ValidFrequency Percent Valid Percent
Cumulat ivePercent
WARNA TPA
90 14. 4 21. 7 21. 7
61 9. 8 14. 7 36. 4
82 13. 1 19. 8 56. 1
81 13. 0 19. 5 75. 7
62 9. 9 14. 9 90. 6
17 2. 7 4. 1 94. 7
7 1. 1 1. 7 96. 4
11 1. 8 2. 7 99. 0
2 . 3 . 5 99. 5
2 . 3 . 5 100. 0
415 66. 5 100. 0
209 33. 5
624 100. 0
PUTI H
BI RU
HI JAU
HI TAM
MERAH
KUNI NG
MERAH JAMBU
ABU-ABU
UNGU
COKELAT
Tot al
Valid
Syst emMissing
Tot al
Frequency Percent Valid PercentCumulat ivePercent
PENG URASAN TPA
50 8. 0 12. 0 12. 0
365 58. 5 88. 0 100. 0
415 66. 5 100. 0
209 33. 5
624 100. 0
TDK MEMENUHI SYARAT
MEMENUHI SYARAT
Tot al
Valid
Syst emMissing
Tot al
Fr equency Percent Valid PercentCumulat ivePercent
KONDISI TPA
355 56.9 85.5 85.5
60 9.6 14.5 100.0
415 66.5 100.0
209 33.5
624 100.0
TERBUKA
TERTUTUP
Total
Valid
SystemMissing
Total
Frequency Percent Valid PercentCumulat ivePercent
BAHAN DASAR T PA
3 7 8 6 0 .6 9 1 .1 9 1 .1
3 6 5 .8 8 .7 9 9 .8
1 .2 .2 1 0 0 .0
4 1 5 6 6 .5 1 0 0 .0
2 0 9 3 3 .5
6 2 4 1 0 0 .0
PL AST IK
SEMEN
BESI
T o ta l
Va l i d
Sy s te mMi s s i n g
T o ta l
F re q u e n c y Pe rc e n tVa l i d Pe rc e n tCu mu l a t i v e
Pe rc e n t
104
JENI S JENTIK
48 7. 7 7. 7 7. 7
9 1. 4 1. 4 9. 1
567 90.9 90.9 100. 0
624 100. 0 100. 0
AEDES AEGYPTI
ALBOPICTUS
TDK ADA JENTI K
Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
Cumulat ivePercent
KEBERADAAN J ENT IK AEDES AEGYPT I
4 8 7 .7 7 .7 7 .7
5 7 6 9 2 .3 9 2 .3 1 0 0 .0
6 2 4 1 0 0 .0 1 0 0 .0
POSIT IF
NEGAT IF
T o ta l
Va l i dF re q u e n c y Pe rc e n t Va l i d Pe rc e n t
Cu mu l a t i v ePe rc e n t
Crosst ab
36 32 68
35. 3 32. 7 68. 0
52. 9% 47. 1% 100. 0%
90. 0% 86. 5% 88. 3%
4 5 9
4. 7 4. 3 9. 0
44. 4% 55. 6% 100. 0%
10. 0% 13. 5% 11. 7%
40 37 77
40. 0 37. 0 77. 0
51. 9% 48. 1% 100. 0%
100. 0% 100. 0% 100. 0%
Count
Expect ed Count
% wit hin KO NDI SIRUM AH
% wit hin KEBERADAANJENTI K ATAU LARVAAEDES AEG YPTI
Count
Expect ed Count
% wit hin KO NDI SIRUM AH
% wit hin KEBERADAANJENTI K ATAU LARVAAEDES AEG YPTI
Count
Expect ed Count
% wit hin KO NDI SIRUM AH
% wit hin KEBERADAANJENTI K ATAU LARVAAEDES AEG YPTI
TDK M EM ENUHI SYARAT
M EM ENUHI SYARAT
KO NDI SIRUM AH
Tot al
PO SI TI F NEG ATI F
KEBERADAAN JENTI KATAU LARVA AEDES
AEG YPTI
Tot al
Chi -Square Tests
. 230b 1 . 632
. 015 1 . 901
. 230 1 . 632
. 731 . 449
. 227 1 . 634
77
Pearson Chi-Square
Cont inuit y Cor rect ion a
Likelihood Rat io
Fisher 's Exact Test
Linear-by-LinearAssociat ion
N of Valid Cases
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)Exact Sig.(2-sided)
Exact Sig.(1-sided)
Comput ed only f or a 2x2 t ablea.
2 cells (50. 0%) have expect ed count less t han 5. The minimum expect ed count is4. 32.
b.
105
CROSSTAB KONDISI RUMAH * KEBERADAAN JENTIK ATAU LARVA AEDES AEGYPTI
Crosst ab
40 0 40
22. 9 17. 1 40. 0
100. 0% . 0% 100. 0%
90. 9% . 0% 51. 9%
4 33 37
21. 1 15. 9 37. 0
10. 8% 89. 2% 100. 0%
9. 1% 100. 0% 48. 1%
44 33 77
44. 0 33. 0 77. 0
57. 1% 42. 9% 100. 0%
100. 0% 100. 0% 100. 0%
Count
Expect ed Count
% wit hin KEBERADAANJENTI K ATAU LARVAAEDES AEG YPTI
% wit hin KEBERADAANLARVA/ JENTI K
Count
Expect ed Count
% wit hin KEBERADAANJENTI K ATAU LARVAAEDES AEG YPTI
% wit hin KEBERADAANLARVA/ JENTI K
Count
Expect ed Count
% wit hin KEBERADAANJENTI K ATAU LARVAAEDES AEG YPTI
% wit hin KEBERADAANLARVA/ JENTI K
PO SI TI F
NEG ATI F
KEBERADAANJENTI K ATAU LARVAAEDES AEG YPTI
Tot al
PO SI TI F NEG ATI F
KEBERADAANLARVA/ JENTI K
Tot al
Chi -Square Tests
62. 432b 1 . 000
58. 844 1 . 000
79. 820 1 . 000
. 000 . 000
61. 622 1 . 000
77
Pearson Chi-Square
Cont inuit y Cor rect ion a
Likelihood Rat io
Fisher 's Exact Test
Linear-by-LinearAssociat ion
N of Valid Cases
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)Exact Sig.(2-sided)
Exact Sig.(1-sided)
Comput ed only f or a 2x2 t ablea.
0 cells ( . 0%) have expect ed count less t han 5. The minimum expect ed count is15. 86.
b.
106
KEBERADAAN JENTIK ATAU LARVA AEDES AEGYPTI * KEBERADAAN LARVA/JENTIK
JENIS JENTIK * KEBERADAAN LARVA
Crosst ab
48 0 48
4. 4 43. 6 48. 0
100. 0% . 0% 100. 0%
84. 2% . 0% 7. 7%
9 0 9
. 8 8. 2 9. 0
100. 0% . 0% 100. 0%
15. 8% . 0% 1. 4%
0 567 567
51. 8 515. 2 567. 0
. 0% 100. 0% 100. 0%
. 0% 100. 0% 90. 9%
57 567 624
57. 0 567. 0 624. 0
9. 1% 90. 9% 100. 0%
100. 0% 100. 0% 100. 0%
Count
Expect ed Count
% wit hin JENI S JENTI K
% wit hinKEBERADAAN LARVA
Count
Expect ed Count
% wit hin JENI S JENTI K
% wit hinKEBERADAAN LARVA
Count
Expect ed Count
% wit hin JENI S JENTI K
% wit hinKEBERADAAN LARVA
Count
Expect ed Count
% wit hin JENI S JENTI K
% wit hinKEBERADAAN LARVA
AEDES AEG YPTI
ALBO PI CTUS
TDK ADA JENTI K
JENI SJENTI K
Tot al
PO SI TI F NEG ATI F
KEBERADAAN LARVA
Tot al
107
Chi-Square Tests
624.000a 2 .000
381.440 2 .000
611.915 1 .000
624
Pears on Chi-Square
Lik el ihood Ratio
Linear-by -LinearAs s oc iation
N of Val id Cas es
Value dfAs y mp. Sig.
(2-s ided)
2 c el ls (33.3%) hav e expec ted c ount les s than 5. Theminimum ex pec ted c ount is .82.
a.
NAMA TPA * KEBERADAAN JENTIK AEDES AEGYPTI
Crosst ab
6 176 182
14. 0 168. 0 182. 0
3. 3% 96. 7% 100. 0%
12. 5% 30. 6% 29. 2%
0 1 1
. 1 . 9 1. 0
. 0% 100. 0% 100. 0%
. 0% . 2% . 2%
2 125 127
9. 8 117. 2 127. 0
1. 6% 98. 4% 100. 0%
4. 2% 21. 7% 20. 4%
15 19 34
2. 6 31. 4 34. 0
44. 1% 55. 9% 100. 0%
31. 3% 3. 3% 5. 4%
0 208 208
16. 0 192. 0 208. 0
. 0% 100. 0% 100. 0%
. 0% 36. 1% 33. 3%
8 28 36
2. 8 33. 2 36. 0
22. 2% 77. 8% 100. 0%
16. 7% 4. 9% 5. 8%
17 18 35
2. 7 32. 3 35. 0
48. 6% 51. 4% 100. 0%
35. 4% 3. 1% 5. 6%
0 1 1
. 1 . 9 1. 0
. 0% 100. 0% 100. 0%
. 0% . 2% . 2%
48 576 624
48. 0 576. 0 624. 0
7. 7% 92. 3% 100. 0%
100. 0% 100. 0% 100. 0%
Count
Expect ed Count
% wit hin NAM A TPA
% wit hin KEBERADAANJENTI K AEDES AEG YPTI
Count
Expect ed Count
% wit hin NAM A TPA
% wit hin KEBERADAANJENTI K AEDES AEG YPTI
Count
Expect ed Count
% wit hin NAM A TPA
% wit hin KEBERADAANJENTI K AEDES AEG YPTI
Count
Expect ed Count
% wit hin NAM A TPA
% wit hin KEBERADAANJENTI K AEDES AEG YPTI
Count
Expect ed Count
% wit hin NAM A TPA
% wit hin KEBERADAANJENTI K AEDES AEG YPTI
Count
Expect ed Count
% wit hin NAM A TPA
% wit hin KEBERADAANJENTI K AEDES AEG YPTI
Count
Expect ed Count
% wit hin NAM A TPA
% wit hin KEBERADAANJENTI K AEDES AEG YPTI
Count
Expect ed Count
% wit hin NAM A TPA
% wit hin KEBERADAANJENTI K AEDES AEG YPTI
Count
Expect ed Count
% wit hin NAM A TPA
% wit hin KEBERADAANJENTI K AEDES AEG YPTI
EM BER
TEM PAT M I NUM HEWAN
BASKO M
BAK M ANDI
PO T BUNG A
G ENTO NG
DI SPENSER
PANCI
NAM ATPA
Tot al
PO SI TI F NEG ATI F
KEBERADAAN JENTI KAEDES AEG YPTI
Tot al
108
Chi-Square Tests
185.753a 7 .000
131.832 7 .000
28.843 1 .000
624
Pearson Chi-Square
Likel ihood Ratio
Linear-by -LinearAssoc iation
N of Val id Cases
Value dfAsymp. Sig.
(2-s ided)
7 cel ls (43.8%) have expec ted count less than 5. Theminimum expec ted count is .08.
a.
WARNA TPA * KEBERADAAN JENTIK AEDES AEGYPTI
Crosst ab
10 80 90
10. 4 79. 6 90. 0
11. 1% 88. 9% 100. 0%
20. 8% 21. 8% 21. 7%
15 46 61
7. 1 53. 9 61. 0
24. 6% 75. 4% 100. 0%
31. 3% 12. 5% 14. 7%
3 79 82
9. 5 72. 5 82. 0
3. 7% 96. 3% 100. 0%
6. 3% 21. 5% 19. 8%
9 72 81
9. 4 71. 6 81. 0
11. 1% 88. 9% 100. 0%
18. 8% 19. 6% 19. 5%
8 54 62
7. 2 54. 8 62. 0
12. 9% 87. 1% 100. 0%
16. 7% 14. 7% 14. 9%
1 16 17
2. 0 15. 0 17. 0
5. 9% 94. 1% 100. 0%
2. 1% 4. 4% 4. 1%
1 6 7
. 8 6. 2 7. 0
14. 3% 85. 7% 100. 0%
2. 1% 1. 6% 1. 7%
1 10 11
1. 3 9. 7 11. 0
9. 1% 90. 9% 100. 0%
2. 1% 2. 7% 2. 7%
0 2 2
. 2 1. 8 2. 0
. 0% 100. 0% 100. 0%
. 0% . 5% . 5%
0 2 2
. 2 1. 8 2. 0
. 0% 100. 0% 100. 0%
. 0% . 5% . 5%
48 367 415
48. 0 367. 0 415. 0
11. 6% 88. 4% 100. 0%
100. 0% 100. 0% 100. 0%
Count
Expect ed Count
% wit hin WARNA TPA
% wit hin KEBERADAANJENTI K AEDES AEG YPTI
Count
Expect ed Count
% wit hin WARNA TPA
% wit hin KEBERADAANJENTI K AEDES AEG YPTI
Count
Expect ed Count
% wit hin WARNA TPA
% wit hin KEBERADAANJENTI K AEDES AEG YPTI
Count
Expect ed Count
% wit hin WARNA TPA
% wit hin KEBERADAANJENTI K AEDES AEG YPTI
Count
Expect ed Count
% wit hin WARNA TPA
% wit hin KEBERADAANJENTI K AEDES AEG YPTI
Count
Expect ed Count
% wit hin WARNA TPA
% wit hin KEBERADAANJENTI K AEDES AEG YPTI
Count
Expect ed Count
% wit hin WARNA TPA
% wit hin KEBERADAANJENTI K AEDES AEG YPTI
Count
Expect ed Count
% wit hin WARNA TPA
% wit hin KEBERADAANJENTI K AEDES AEG YPTI
Count
Expect ed Count
% wit hin WARNA TPA
% wit hin KEBERADAANJENTI K AEDES AEG YPTI
Count
Expect ed Count
% wit hin WARNA TPA
% wit hin KEBERADAANJENTI K AEDES AEG YPTI
Count
Expect ed Count
% wit hin WARNA TPA
% wit hin KEBERADAANJENTI K AEDES AEG YPTI
PUTI H
BI RU
HI JAU
HI TAM
MERAH
KUNI NG
MERAH JAMBU
ABU- ABU
UNG U
CO KELAT
WARNATPA
Tot al
PO SI TI F NEG ATI F
KEBERADAAN JENTI KAEDES AEG YPTI
Tot al
109
Chi-Square Tests
16.449a 9 .058
16.479 9 .058
1.044 1 .307
415
Pears on Chi-Square
Lik el ihood Ratio
Linear-by -LinearAs s oc iation
N of Val id Cas es
Value dfAs y mp. Sig.
(2-s ided)
7 c el ls (35.0%) hav e expec ted c ount les s than 5. Theminimum ex pec ted c ount is .23.
a.
BAHAN DASAR TPA * KEBERADAAN JENTIK AEDES AEGYPTI
Crosstab
31 347 378
43. 7 334. 3 378. 0
8. 2% 91. 8% 100. 0%
64. 6% 94. 6% 91. 1%
17 19 36
4. 2 31. 8 36. 0
47. 2% 52. 8% 100. 0%
35. 4% 5. 2% 8. 7%
0 1 1
. 1 . 9 1. 0
. 0% 100. 0% 100. 0%
. 0% . 3% . 2%
48 367 415
48. 0 367. 0 415. 0
11. 6% 88. 4% 100. 0%
100. 0% 100. 0% 100. 0%
Count
Expect ed Count
% wit hin BAHAN DASARTPA
% wit hin KEBERADAANJENTI K AEDES AEGYPTI
Count
Expect ed Count
% wit hin BAHAN DASARTPA
% wit hin KEBERADAANJENTI K AEDES AEGYPTI
Count
Expect ed Count
% wit hin BAHAN DASARTPA
% wit hin KEBERADAANJENTI K AEDES AEGYPTI
Count
Expect ed Count
% wit hin BAHAN DASARTPA
% wit hin KEBERADAANJENTI K AEDES AEGYPTI
PLASTI K
SEMEN
BESI
BAHANDASARTPA
Tot al
POSI TI F NEGATI F
KEBERADAAN JENTI KAEDES AEGYPTI
Tot al
Chi-Square Tests
49.062a 2 .000
33.063 2 .000
42.430 1 .000
415
Pears on Chi-Square
Lik el ihood Ratio
Linear-by -LinearAs s oc iation
N of Val id Cas es
Value dfAs y mp. Sig.
(2-s ided)
3 c el ls (50.0%) hav e expec ted c ount les s than 5. Theminimum ex pec ted c ount is .12.
a.
Chi -Square Tests
377. 680b 1 . 000
368. 572 1 . 000
260. 806 1 . 000
. 000 . 000
376. 770 1 . 000
415
Pearson Chi-Square
Cont inuit y Cor rect ion a
Likelihood Rat io
Fisher 's Exact Test
Linear-by-LinearAssociat ion
N of Valid Cases
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)Exact Sig.(2-sided)
Exact Sig.(1-sided)
Comput ed only f or a 2x2 t ablea.
0 cells ( . 0%) have expect ed count less t han 5. The minimum expect ed count is5. 78.
b.
110
PENGURASAN TPA * KEBERADAAN JENTIK AEDES AEGYPTI
Cr osst ab
47 3 50
5. 8 44. 2 50. 0
94. 0% 6. 0% 100. 0%
97. 9% . 8% 12. 0%
1 364 365
42. 2 322. 8 365. 0
. 3% 99. 7% 100. 0%
2. 1% 99. 2% 88. 0%
48 367 415
48. 0 367. 0 415. 0
11. 6% 88. 4% 100. 0%
100. 0% 100. 0% 100. 0%
Count
Expect ed Count
% wit hin PENG URASANTPA
% wit hin KEBERADAANJENTI K AEDES AEG YPTI
Count
Expect ed Count
% wit hin PENG URASANTPA
% wit hin KEBERADAANJENTI K AEDES AEG YPTI
Count
Expect ed Count
% wit hin PENG URASANTPA
% wit hin KEBERADAANJENTI K AEDES AEG YPTI
TDK M EM ENUHI SYARAT
M EM ENUHI SYARAT
PENG URASANTPA
Tot al
PO SI TI F NEG ATI F
KEBERADAAN JENTI KAEDES AEG YPTI
Tot al
111
KONDISI TPA * KEBERADAAN JENTIK AEDES AEGYPTICrosstab
48 307 355
41. 1 313. 9 355. 0
13. 5% 86. 5% 100. 0%
100. 0% 83. 7% 85. 5%
0 60 60
6. 9 53. 1 60. 0
. 0% 100. 0% 100. 0%
. 0% 16. 3% 14. 5%
48 367 415
48. 0 367. 0 415. 0
11. 6% 88. 4% 100. 0%
100. 0% 100. 0% 100. 0%
Count
Expect ed Count
% wit hin KONDI SI TPA
% wit hin KEBERADAANJENTI K AEDES AEGYPTI
Count
Expect ed Count
% wit hin KONDI SI TPA
% wit hin KEBERADAANJENTI K AEDES AEGYPTI
Count
Expect ed Count
% wit hin KONDI SI TPA
% wit hin KEBERADAANJENTI K AEDES AEGYPTI
TERBUKA
TERTUTUP
KONDI SITPA
Tot al
POSI TI F NEGATI F
KEBERADAAN JENTI KAEDES AEGYPTI
Tot al
Chi -Square Tests
9. 174b 1 . 002
7. 899 1 . 005
16. 016 1 . 000
. 001 . 000
9. 152 1 . 002
415
Pearson Chi-Square
Cont inuit y Cor rect ion a
Likelihood Rat io
Fisher 's Exact Test
Linear-by-LinearAssociat ion
N of Valid Cases
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)Exact Sig.(2-sided)
Exact Sig.(1-sided)
Comput ed only f or a 2x2 t ablea.
0 cells ( . 0%) have expect ed count less t han 5. The minimum expect ed count is6. 94.
b.
=
112
4. Lampiran Macam- macam Jentik
Jentik Aedes aegypti Jentik Aedes albopictus
Jenis Jentik
113
5. Lampiran Mapping Lokasi Penelitian
JL. PACCERAKKANG
DAYA
RS. DAYA
PASARDAYA
KANTOR LURAH
LAPANGAN
RW VII
114
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Andi Merliani Syahrir
Tempat/Tanggal Lahir : Ujung Pandang, 7 Januari 1992
Jenis kelamin : Perempuan
Suku/Bangsa : Bugis / Indonesia
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum menikah
Jumlah Bersaudara : 4 Orang
Alamat Rumah : Jl. Tinumbu Lr. 165 C No. 36
Riwayat Pendidikan
Tahun 1996 – 1997 : TK Kemala Bahayangkari Pa’baeng-baeng
Tahun 1997 – 2001 : SD Inpres Pa’baeng-baeng
Tahun 2001 – 2003 : SD Neg. 02 Terang-terang Kab. Bulukumba
Tahun 2003 – 2006 : SMPN 07 Makassar
Tahun 2006 – 2009 : SMA Islam Athirah
Tahun 2009 – 2013 : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Muslim Indonesia
115
116