faktor resiko terjadinya thromboemboli pada penumpang pesawat udara
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Deep vein thrombosis (DVT) adalah suatu kondisi di mana bekuan darah
berkembang di vena dalam, paling sering terjadi di ekstremitas bawah. Sebuah
bagian dari bekuan dapat pecah dan berjalan menuju ke paru-paru, menyebabkan
embolisme paru (PE), yang dapat mengancam kehidupan (Reyes, N. et al, 2013).
Sekitar 25% dari vena pada betis yang mengalami DVT, jika tidak
ditangani akan memanjang hingga melibatkan vena proksimal ekstremitas bawah
(poplitea, femoralis, atau vena iliaka) sementara DVT proksimal ekstremitas
bawah itu sendiri jika tidak ditangan memiliki sekitar risiko 50% mengarah ke PE.
Tromboemboli vena (VTE) adalah istilah yang meliputi DVT dan PE.
Banyak kasus tidak menunjukkan gejala dan sembuh secara spontan. VTE sering
berulang, dan memiliki komplikasi jangka panjang seperti sindrom
pascatrombosis setelah DVT atau hipertensi pulmonal tromboembolik kronis
setelah PE (Reyes, N. et al, 2013).
Lebih dari 300 juta orang melakukan perjalanan pada penerbangan jarak
jauh setiap tahun. Hubungan antara VTE dan perjalanan udara pertama kali
dilaporkan pada awal 1950-an. Sejak saat itu perjalanan jarak jauh udara telah
menjadi lebih umum, yang mengarah kepada meningkatnya kekhawatiran
terjadinya VTE yang berhubungan dengan perjalanan (Reyes, N. et al, 2013).
Setiap tahun diperkirakan 600.000 orang Amerika akan menderita DVT
dan PE. Di Amerika Serikat, lebih banyak orang meninggal setiap tahun akibat PE
2
dibandingkan dengan jumlah orang meninggal akibat kecelakaan kendaraan
bermotor, kanker payudara, ataupun AIDS. Menurut sebuah survei yang
dilakukan oleh American Association Public Health, 74 persen orang Amerika
tidak menyadari mengalami DVT.
Perjalanan jarak jauh udara dapat meningkatkan risiko VTE sebanyak 2
sampai 4 kali lipat. Peningkatan risiko yang sama juga terlihat dengan metode
perjalanan darat seperti mobil, bus, atau kereta api. Ini menyiratkan bahwa
peningkatan risiko ini disebabkan terutama oleh mobilitas terbatas
berkepanjangan bukan oleh lingkungan kabin. Risikonya adalah sama untuk kelas
ekonomi dan perjalanan kelas bisnis. Risiko meningkat dengan meningkatnya
durasi perjalanan dan dengan faktor risiko yang sudah ada sebelumnya. Risiko
berkurang dengan waktu setelah perjalanan udara; sebagian udara yang
berhubungan dengan perjalanan VTE terjadi dalam 1-2 minggu pertama setelah
penerbangan dan kembali ke dasar dengan 8 minggu (Reyes, N. et al, 2013).
Banyak sekali yang dapat menjadi faktor risiko dari terjadinya DVT
tersebut pada penumpang pesawat terbang. Diantaranya adalah usia ≥40 tahun,
baru mengalami kecelakaan, operasi, ataupun trauma, penyakit arteri koroner,
merokok, kehamilan, obesitas, varises, memiliki riwayat masalah pembekuan
darah di dalam keluarga, keganasan, dan lain-lain. Faktor-faktor risiko inilah yang
harusnya kita waspadai agar mencegah terjadinya DVT pada penumpang pesawat
terbang (Sajid, M. et al, 2006).
3
1.2 Tujuan Penelitian
1.2.1 Tujuan Umum
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor risiko
terjadinya tromboemboli yang terjadi pada penumpang pesawat terbang.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Untuk menjelaskan bagaimana mekanisme dan proses terjadinya
tromboemboli dan apa saja gejala klinis tromboemboli yang dapat
terjadi pada penumpang pesawat terbang.
2. Untuk memaparkan cara pencegahan pembentukan tromboemboli pada
penumpang pesawat terbang.
1.3 Manfaat Penulisan
1. Bagi penulis untuk menambah wawasan pengetahuan dan
pemahaaman mengenai penyakit tromboemboli yang terjadi pada
penumpang pesawat terbang.
2. Bagi Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I sebagai sumber kepustakaan
sekaligus masukan untuk melaksanakan perannya dalam upaya
pengendalian penyakit tromboemboli untuk para pelaku perjalanan.
3. Bagi pembaca sebagai informasi untuk menambah wawasan mengenai
penyakit tromboemboli dan peran KKP dalam pencegahannya.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Tromboemboli
Tromboemboli adalah tersumbatnya pembuluh darah oleh emboli (= suatu
partikel yang terlepas) yang berasal dari trombus (= bekuan darah) yang terlepas
dari tempat asal pembentukannya.DVT (DeepVein Thrombosis) adalah trombosis
vena dalam yang terjadi akibat adanya aktivasi proses koagulasi pada aliran vena
yang stasis (Ketut Suega,2011).
Tromboemboli adalah : pembentukan clot (pembekuan) pada pembuluh
darah yang kemudian pecah dan terbawa aliran darah sehingga menyubat
pembuluh darah lain. Clot memungkinkan untuk penyumbatan pembulu darah di
paru disebut emboli paru,pada otak di sebut dengan stroke,pada saluran
cerna,ginjal dan kaki. Tromboemboli adalah penyebab penting dari suatu penyakit
dan kematian,terutama pada orang dewasa dengan ini. Pengobatan kemungkinan
termasuk antikoagulan,aspirin atau vasodilator (obat yang melemahkan dan
melebarkan pembuluh darah) (Davis,2013).
2.2. Epidemiologi
DVT menyerang jutaan orang di seluruh dunia dan menyebabkan beberapa
ratus ribu kematian setiap tahun di Amerika Serikat.Insiden DVT di Amerika
Serikat adalah 159 per 100 ribu atau sekitar 398 ribu per tahun. Tingkat fatalitas
kasus deep vein thrombosis, terutama karena kasus pulmonary embolism yang
5
fatal, berkisar dari 1% pada pasien-pasien muda sampai 10% pada pasien yang
lebih tua, dan tertinggi pada mereka dengan penyakit keganasan (Geerts, 2004)
Tanpa tromboprofilaksis, insidensi DVT yang diperoleh di rumah sakit
secara objektif adalah 10-40% pada seluruh pasien medikal dan surgikal dan 40-
60% pada operasi ortopedik mayor. Dari sekitar 7 juta pasien yang selesai dirawat
di 944 rumah sakit di Amerika, tromboemboli vena adalah komplikasi medis
kedua terbanyak, penyebab peningkatan lama rawatan, dan penyebab kematian
ketiga terbanyak. Oleh karena itulah strategi pencegahan DVT harus direncanakan
sejak awal dan didukung penuh mengingat risiko yang mungkin terjadi (Heits,
2000).
2.3. Anatomi dan Fisiologi Vena
Sistem vena pada tungkai terdiri dari komponen vena superfisialis vena
profunda, dan vena perforantes (penghubung). Walaupun vena menyerupai arteri
tetapi dindingnya lebih tipis lapisan otot bagian tengah lebih lemah, jaringan
elastis lebih sedikit serta terdapat katup semilunar. Katup vena merupakan struktur
penting dari sistem aliran vena, karena berfungsi mencegah refluks aliran darah
vena tungkai. Katup vena bersama dengan kontraksi otot betis akan mengalirkan
darah dari vena superfisialis ke profunda menuju jantung dengan melawan gaya
gravitasi. Pompa otot betis secara normal membawa 85-90% darah dari aliran
vena tungkai, sedangkan komponen superfisialis membawa 10-15% darah.
(Adriana, 2012)
Vena-vena superfisialis dapat dilihat di bawah permukaan kulit, terletak di
dalam lemak subkutan, tepatnya pada fasia otot dan merupakan tempat
6
berkumpulnya darah dari kulit setelah melalui cabang kecil. Vena superfisialis
yang utama adalah vena safena magna (VSM) dan vena safena parva (VSP).
Kedua vena ini berhubungan di beberapa tempat melalui vena-vena kecil. Istilah
safena berasal dari bahasa Yunani safes, artinya mudah terlihat atau jelas, sesuai
dengan keadaannya di tubuh. (Adriana, 2012)
Vena safena magna merupakan vena terpanjang di tubuh, mulai dari kaki
sampai ke fossa ovalis dan mengalirkan darah dari bagian medial kaki serta kulit
sisi medial tungkai. Di tungkai bawah VSM berdampingan dengan n. Safena,
suatu saraf kulit cabang n. Femoralis yang mensarafi permukaan medial tungkai
bawah. (Adriana, 2012)
Vena safena parva terletak di antara tendon Achilles dan maleolus
lateralis. Pada pertengahan betis menembus fasia, kemudian bermuara ke v.
poplitea beberapa sentimeter di bawah lutut.Vena ini mengalirkan darah dari
bagian lateral kaki. Mulai dari maleolus lateralis sampai proksimal betis VSP
terletak sangat berdekatan dengan n. Suralis, yaitu saraf sensorik yang mensarafi
kulit sisi lateral kaki. (Adriana, 2012)
Vena perforantes (penghubung) adalah vena yang menghubungkan vena
superfisial ke vena profunda, yaitu dengan cara langsung menembus fasia (direct
communicating vein). Vena ini mempunyai katup yang mengarahkan aliran darah
dari vena superfisial ke vena profunda. Bila katup ini tidak berfungsi (mengalami
kegagalan) maka aliran darah akan terbalik sehingga tekanan vena superfisial
makin tinggi dan varises dengan mudah akan terbentuk. (Adriana, 2012)
7
Vena-vena profunda pada betis adalah v.komitans dari a. tibialis anterior
dan a. tibialis posterior yang melanjutkan sebagai v.poplitea dan v.femoralis.
Vena profunda ini membentuk jaringan luas dalam kompartemen posterior betis
pleksus soleal dimana darah dibantu mengalir ke atas melawan gaya gravitasi oleh
otot misalnya saat olahraga. (Adriana, 2012)
Selama kontraksi otot betis, katup-katup v. perforantes dan vena
superfisialis menutup, sehingga darah akan mengalir kearah proksimal melalui
sistem vena profunda. Pada waktu relaksasi, vena profunda mengalami dilatasi
yang menimbulkan tekanan negatif. Tekanan negatif ini akan menarik darah dari
sistem vena superfisialis ke dalam sistem profunda melalui v. perforantes.
Penderita dengan insufisiensi vena, darah mengalir dari sistem vena profunda ke
dalam vena superfisialis. Sedangkan pada orang sehat katup-katup dalam v.
perforantes mencegah hal ini. (Adriana, 2012).
8
Gambar. Anatomi Vena Tungkai Bawah
2.4. Faktor Resiko
Banyak faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya thrombosis vena
dalam (DVT), dan semakin banyak factor resiko yang dimiliki, semakin besar
risiko terkena thrombosis vena dalam. Faktor risiko DVT meliputi (Setiabudy,
2009) :
1. Memilik keturunan dalam penyakit gangguan pembekuan darah. Beberapa
orang mewarisi keturunan gangguan yang membuat gumpalan darah
mereka dapat lebih mudah terbentuk. Kondisi genetik ini tidak dapat
menyebabkan masalah kecuali dikombinasikan dengan satu atau lebih
faktor risiko lainnya.
2. Istirahat tidur yang berkepanjangan, seperti selama tinggal di rumah sakit
dalam jangka waktu yang lama, atau kelumpuhan. Ketika kaki tidak dalam
waktu yang lama, otot betis tidak berkontraksi untuk membantu darah
beredar, yang dapat meningkatkan risiko pembekuan darah.
3. Cedera atau pembedahan. Cedera pembuluh darah atau operasi dapat
meningkatkan risiko pembekuan darah.
4. Kehamilan. Kehamilan meningkatkan tekanan pada pembuluh darah di
panggul dan kaki. Wanita yang memiliki gangguan pembekuan, sangatlah
beresiko. Risiko pembekuan darah dari kehamilan dapat berlanjut sampai
9
enam minggu setelah proses persalinan.
5. Pil KB atau terapi sulih hormon. Pil KB (kontrasepsi oral) dan terapi
penggantian hormon baik dapat meningkatkan kemampuan darah untuk
menggumpal.
6. Kelebihan berat badan atau obesitas. Kelebihan berat badan meningkatkan
tekanan pada pembuluh darah di panggul dan kaki
7. Merokok. Merokok mempengaruhi pembekuan darah dan sirkulasi, yang
dapat meningkatkan risiko DVT.
8. Kanker. Beberapa jenis kanker meningkatkan jumlah zat dalam darah
Anda yang menyebabkan darah untuk membeku.Beberapa bentuk
pengobatan kanker juga meningkatkan risiko penggumpalan darah.
9. Gagal jantung.Orang dengan gagal jantung memiliki risiko lebih besar dari
DVT dan emboli paru.Karena orang-orang dengan gagal jantung yang
sudah memiliki fungsi jantung yang terbatas dan fungsi paru-paru yang
terbatas, gejala yang disebabkan oleh emboli paru tidak terlalu jelas
terlihat.
10. Radang usus/penyakit usus, seperti penyakit Crohn atau kolitis ulserativa,
meningkatkan risiko DVT.
11. Mempunyai riwayat pribadi atau riwayat keluarga yang mengalami
trombosis vena dalam atau emboli paru (PE).
12. Usia. Pada usialebih dari 60 tahun, akan meningkatkan risiko DVT,
meskipun dapat terjadi pada semua usia.
13. Duduk untuk jangka waktu yang lama, seperti ketika mengemudi atau
10
terbang. Ketika kaki tetap diam selama berjam-jam, otot betis tidak
berkontraksi, yang biasanya membantu darah beredar. Gumpalan darah
dapat terbentuk di betis kaki jika otot betis tidak bergerak untuk waktu
yang lama.
Berikut merupakan penyebab terjadinya atheroma. Pembentukan ateroma
dimulai degan adanya kerusakan endotel pembuluh darah, hal ini dipengaruhi oleh
adanya faktor genetik, juga disebabkan karena adanya faktor lain seperti adanya
hipertensi, merokok, dan hiperkholesterolemia. Gangguan genetik yang
menyebabkan kolesterol serum meningkat dimana terjadi defek genetik pada
reseptor LDL, sehingga LDL yang terdapat di dalam sirkulasi tidak dapat
dihilangkan secara efisien, sehingga terbentuk proses aterosklerosis yang
prematur.
Selain daripada itu masih banyak faktor lain yang memungkinkan
terbentuknya ateroma pada pembuluh darah seseorang. Faktor tersebut dapat
dibagi menjadi (Goitom, 2008);
A. Faktor Definitif
Usia
Usia merupakan faktor utama pembentukan ateroma, sehingga merupakan
faktor utama terjadinya stroke. Pembentukan ateroma terjadi seiring
bertambahnya usia, dimana stroke paling sering terjadi pada usia lebih dari
65 tahun, tetapi jarang terjadi pada usia dibawah 40 tahun. Dikatakan
11
bahwa proses pembentukan ateroma tersebut dapat terjadi 20- 30 tahun
tanpa menimbulkan gejala.
Jenis kelamin Pria
Stroke lebih sering terjadi pada pria. Diperkirakan bahwa insidensi stroke
pada wanita lebih rendah dibandingkan pria, akibat adanya estrogen yang
berfungsi sebagai proteksi pada proses aterosklerosis. Di lain pihak
pemakaian hormon setrogen dosis tinggi menyebabkan kematian akibat
penyakit kardiovaskuler pada pria. Oleh karena itu faktor ini sebenarnya
masih diperdebatkan.
Tekanan darah tinggi
Merupakan faktor yang penting pada pathogenesa terjadinya stroke
iskemia dan perdarahan. Biasanya berhubungan dengan tingginya tekanan
diastolik. Mekanismenya belum diketahui secara pasti, tetapi pada
percobaan binatang (anjing) didapatkan bahwa adanya tekanan darah yang
tinggi menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah dan meningkatkan
permeabilitas dinding pembuluh darah terhadap lipoprotein. Di
Framingham, resiko relatif terjadinya stroke pada setiap peningkatan 10
mmHg tekanan darah sistolik adalah 1,9 pada pria dan 1,7 pada wanita
dimana faktor-faktor lain telah diatasi.
Merokok
Merokok merupakan faktor resiko yang independen. Mekanisme
12
terjadinya ateroma tersebut belum diketahui secara pasti, tetapi
kemungkinan akibat:
Stimulasi sistim saraf simpatis oleh nikoton dan ikatan O2 dengan
hemoglobin akan digantikan dengan Karbonmonoksida
Reaksi imunologi direk pada dinding pembuluh darah
Peningkatan agregasi trombosit
Peningkatan permeabilitas endotel terhadap lipid akibat zat-zat
yang terdapat di dalam rokok.
Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus sindroma klinis heterogen yang ditandai oleh peninggian
kadar glukosa darah kronis. Salah satu penyulit vaskuler pada penderita ini
adalah penyakit pembuluh darah serbral. Penderita ini mempunyai resiko
terjadinya stroke 1,5-3 kali lebih sering jika dibandingkan dengan populasi
normal. Pada penelitian di Surabaya tahun 1993 ditemukan 4,2% penderita
DM mendapat penyulit gangguan pembuluh darah serbral (stroke).
Hipertensi yang terjadi pada penderita DM, merupakan salah satu faktor
terjadinya stroke. Hiperlikemi kronis akan menimbulkan glikolisasi
protein-protein dalam tubuh. Bila hal ini berlangsung hingga berminggu-
mingu, akan terjadi AGES (advanced glycosylate end products) yang
toksik untuk semua protein. AGE protein yang terjadi diantaranya terdapat
pada receptor makrofag dan reseptor endotel. AGE reseptor dimakrofag
akan meningkatkan produksi TNF (tumor necrosis factors), ILI
13
(interleukine-I), IGF-I (Insuline like growth factors-I_. Produk ini akan
memudahkan prolipelisasi sel dan matriks pembuluh darah. AGE Reseptor
yang terjadi di endotel menaikkan produksi faktor jaringan endotelin-I
yang dapat menyebabkan kontriksi pembuluh darah dan kerusakan
pembuluh darah.
Peningkatan fibrinogen plasma
Fibrinogen berhubungan dengan pembentukan aterogenesis dan
pembentukan trombus arteri. Pada penelitan di Bramingham, angka
kejadian penyakit Kardiovasculer meningkat sesuai dengan peningkatan
kadar vibrinogen plasma.
Profil lipid darah
Produk kolesterol didalan darah yang terbanyak adalah Low Density
Lipoprotein (LDL), LDL ini meningkat dengan adanya proses
aterosklerosis. Sedangkan High Density Lipoprotein (HDL) merupakan
proteksi terhadap terbentuknya aterosklerosis akibat fasilitas pembuangan
(disposal) partikel kolestrol.
Kolesterol serum, tingginya intake alkohol dan konsumsu makanan
tradisional Asia yang rendah lemak dan protein yang berasal dari hewan
berhubungan dengan rendahnya penyakit jantung koroner tetapi
menyababkan tingginya kejadian stroke.
B. Posibel
Aktifitas fisik yang rendah .Pada pekerja dengan aktifitas fisik yang berat
menimbulkan penurunan angka kejadian penyakit kardiovaskuler. Hal ini
14
disebabkan karena, pada oekerja berat, akan terjadi penurunan tekanan
darah akibat kehilangan berat badan, dan menyebabkan penurunan denyut
nadi, peningkatan kolesterol HDL, penurunan kolesterol LDL,
memperbaiki toleransi glukosa, perubahan kebiasaan buruk seperti
merokok.
Peningkatan hematocrit, Biasanya akibat peningkatan sel darah merah
dengan peningkatan fibrinogen darah yang menyababkan peningkatan
viskositas darah. Hal ini menyebabkan kelainan patologis yang akan
menyebabkan penyempitan arteri penetrasi yang berukuran kecil, dan
arteri serebri yang besar mengalami stenosis yang berat.
Obesitas. Obesitas menjadi faktor resiko biasanya berhubungan dengan
tingginya tekanan darah, gula darah, dan lipid serum.
Diet. Pada makanan yang paling menentukan angka kejadian penyakit
kardiovaskuler adalah konsumsi garam yang berhubungan dengan
peningkatan tekanan darah. Jika pada penderita kelainan vaskuler akibat
konsumsi minuman yang mengandung kafein, hal ini disebabkan karena
adanya efek hiperlipidemia pada minuman kopi, atau karena pada
peminum kopi sering disertai dengan adanya kebiasaan merokok.
Alkohol. Alkohol dapat menyebabkan terhambatnya proses fibrinolisis,
biasanya terjadi pada penderita dengan hipertensi dan diabetes mellitus.
Ada yang mengatakan bahwa alkohol masih merupakan faktor resiko yang
kontroversial. Walaupun behitu angka kejadian stroke meningkat pada
15
peminum alkohol sedang hingga berat dibandingkan dengan seseorang
yang bukan peminum alkohol.
Ras. Prevelansi yang berbeda terjadi pada orang dengan kulit putih, hitam
dan Asia, bukan hanya akibat faktor genetik. Hal ini akibat rendahnya
kolesterol serum, tingginya intake alkohol dan konsumsu makanan
tradisional Asia yang rendah lemak dan protein yang berasal dari hewan
berhubungan dengan rendahnya penyakit jantung koroner tetapi
menyababkan tingginya kejadian stroke.
Status Sosial. Pocock dan kawan-kawan(1980), menyatakan bahwa status
sosial berhubungan dengan peningkatan kematian akibat penyakit stroke.
Hal ini disebabkan karena tingginya kejadian stroke pada penduduk yang
tidak bekerja dan yang berpenghasilan rendah, karena tingginya stress
pada penderita tersebut, diet yang rendah, status sosial yang rendah
maupun nutrisi dan kesehatan yang rendah sewaktu dalam kendungan dan
masa bayi.
Faktor risiko terjadinya tromboemboli vena dapat dibagi menjadi 3
kelompok risiko, yaitu faktor tindakan bedah, faktor medikal dan faktor
herediter/pasien (Levitan,1999).
Faktor pasien :
1) Usia>40 thn
2) Immobilisasi
16
3) Obesitas
4) Riwayat menderita DVT/PE
5) Kehamilan
6) Masa nifas
7) Terapi estrogen dosis tinggi
8) Varises vena
Faktor Medikal/Surgikal :
1) Tindakan bedah mayor
2) Malignansi (khususnya pelvik, abdominal, metastasis)
3) Infark miokard
4) Stroke
5) Gagal nafas akut
6) Gagal jantung kongestif
7) Inflammatory Bowel Disease
8) Sindroma Nefrotik
9) Penggunaan pacemaker
17
Faktor Hiperkoagulasi :
1) Antibodi Anti fosfolipid, Lupus Anti koagulan
2) Homocysteinemia
3) Disfibrinogenemia
4) Gangguan Myeloproliferatif
5) DefisiensiAntithrombin
6) Defisiensi protein C
7) Defisiensi protein S
8) Sindroma hiperviskositas
9) Mutasi gen protrombin 20210A
Faktor risiko terjadinya DVT di ICU dari yang paling tinggi angka
kejadiannya adalah sebagai berikut: associated medical condition, post delivery,
operasi mayor, keganasan, umur 50 tahun ke atas, kehamilan, post trauma, vena
varicose dan riwayat DVT sebelumnya (Silverstein, 1998).
2.6. Patofisiologi
2.6.1. Deep Vein Thrombosis
18
Dalam keadaan normal, darah yang bersirkulasi berada dalam keadaan
cair, tetapi akan membentuk bekuan jika teraktivasi atau terpapar dengan suatu
permukaan. Pada abad ke-18 Hunter mengajukan hipotesis bahwa trombosis vena
disebabkan oleh penyumbatan vena oleh bekuan darah, dan pada paruh kedua
abad ke 19,
Virchow mengungkapkan suatu triad yang merupakan dasar terbentuknya
thrombus, yang dikenal sebagai Triad Virchow. Triad ini terdiri dari:
1. Gangguan pada aliran darah yang mengakibatkan stasis vena (venous
stasis)
2. Gangguan pada keseimbangan antara prokoagulan dan antikoagulan yang
menyebabkan aktivasi faktor pembekuan (hypercoagulable states)
3. Gangguan pada dinding pembuluh darah (endotel) yang menyebabkan
prokoagulan (injury to the venous wall) (Sukirman,Lugyanti, 2006).
Stasis atau lambatnya aliran darah merupakan predisposisi untuk terjadinya
trombosis, yang menjadi faktor pendukung terjadinya stasis adalah adanya
imobilisasi lama yakni kondisi anggota gerak yang tidak aktif digerakkan dalam
jangka waktu yang lama. Imobilisasi lama seperti masa perioperasi atau akibat
paralisis, dapat menghilangkan pengaruh dari pompa vena perifer, meningkatkan
stagnasi hingga terjadi pengumpulan darah di ekstremitas bawah. Terjadinya
stasis darah yang berada di belakang katup vena menjadi faktor predisposisi
timbulnya deposisi trombosit dan fibrin sehingga mencetuskan terjadinya
trombosis vena dalam (Agnelli G,Caprini, 2007).
Cedera endotel meski diketahui dapat mengawali pembentukan trombus,
19
namun tidak selalu dapat ditunjukkan adanya lesi yang nyata, pada kondisi
semacam ini nampaknya disebabkan adanya perubahan endotel yang samar seperti
akibat terjadinya perubahan kimiawi, iskemia atau anoksia, atau peradangan.
Penyebab kerusakan endotel yang jelas adalah adanya trauma langsung pada
pembuluh darah, seperti akibat fraktur dan cedera pada jaringan lunak,tindakan
infus intravena atau substansi yang mengiritasi seperti Kalium Klorida,
kemoterapi ataupun antibiotic dosis tinggi (Heit JA, 1999).
Hiperkoagulabilitas darah tergantung pada interaksi kompleks antara
berbagai variabel termasuk endotel pembuluh darah, faktor-faktor pembekuan dan
trombosit, komposisi dan sifat-sifat aliran darah, sistem fibrininolitik intrinsik
pada sistem pembekuan darah. Keadaan hiperkoagulasi bisa terjadi jika terjadi
perubahan pada salah satu dari variabel-variabel tersebut. (Heit JA, 1999)
Trombosis vena, apapun rangsangan yang mendasarinya, akan meningkatkan
resistensi aliran vena dari ekstremitas bawah. Dengan meningkatnya resistensi,
pengosongan vena akan terganggu, menyebabkan peningkatan volume dan
tekanan darah vena. Trombosis bisa melibatkan kantong katup hingga merusak
fungsi katup. Katup yang tidak berfungsi atau yang inkompeten mempermudah
terjadinya stasis dan penimbunan darah di ekstremitas .(Heit JA, 1999)
Dalam perjalanan waktu dengan semakin matangnya trombus akan
menjadi semakin terorganisir dan melekat pada dinding pembuluh darah. Sebagai
akibatnya, resiko embolisasi menjadi lebih besar pada fase-fase awal trombosis,
namun demikian ujung bekuan tetap dapat terlepas dan menjadi emboli sewaktu
fase organisasi. Selain itu perluasan trombus dapat membentuk ujung yang
20
panjang dan bebas selanjutnya dapat terlepas menjadi emboli yang menuju
sirkulasi paru-paru. Perluasan progresif juga meningkatkan derajat obstruksi vena
dan melibatkan daerah-daerah tambahan dari sistem vena. Pada akhirnya, patensi
lumen mungkin dapat distabilkan dalam derajat tertentu atau direkanalisasi
dengan retraksi bekuan dan lisis melalui sistem fibrinolitik endogen. Tetapi
beberapa kerusakan residual tetap bertahan.
Trombosis terjadi jika keseimbangan antara faktor trombogenik dan
mekanisme protektif terganggu. Faktor trombogenik meliputi:
(Sukirman,Lugyanti, 2006)
1) Gangguan sel endotel
2) Terpaparnyasubendotelakibathilangnyaselendotel
3) Aktivasi trombosit atau interaksinya dengan kolagen subendotel atau
faktor von Willebrand
4) Aktivasikoagulasi
5) Terganggunyafibrinolisis
6) Stasis
Mekanisme protektif terdiri dari:
1) Faktor antitrombotik yang dilepaskan oleh sel endotel yang utuh
2) Netralisasi faktor pembekuan yang aktif oleh komponen sel endotel
3) Hambatan faktor pebekuan yang aktif oleh inhibitor
4) Pemecahan faktor pembekuan oleh protease
5) Pengenceranfaktorpembekuanyangaktifdantrombosityangberagragasi
oleh aliran darah
21
6) Lisisnya trombus oleh system fibrinolisis
Trombus terdiri dari fibrin dan sel-sel darah. Trombus vena terutama
terbentuk di daerah stasis dan terdiri dari eritrosit dengan fibrin dalam jumlah
yang besar , sedikit trombosit dan komponen leukosit yang terikat pada fibrin.
Kelainan biasanya dimulai dengan proses trombosis yang murni, baru kemudian
dilanjutkan dengan inflamasi sebagai reaksi sekunder. DVT biasanya terbentuk
pada daerah dengan aliran darah lambat atau terganggu di sinus vena besar dan
kantung ujung katub vena dalam tungkai bawah atau segmen vena yang terpapar
oleh trauma langsung. Pembentukan, perkembangan dan disolusi trombus
menggambarkan keseimbangan antara efek rangsangan trombogenik dan berbagai
mekanisme protektif (Sukirman, Lugyanti, 2006).
2.5.2. Nitrogen Bubble
Pembentukan gelembung gas disebabkan oleh pengeluaran gas terlarut
dari jaringan akibat adanya penurunan tekanan sekitar. Pada umumnya, gas yang
terlibat adalah nitrogen, dan terkadang karbon dioksida. Apabila gas nitrogen
diinhalasi, maka nitrogen akan larut dalam tubuh dan mencapai keseimbangan
diantara darah dan jaringan. (Brown, 1998)
Patofisiologi penyakit dekompresi berasal dari terbentuknya gelembung
gas (mungkin nitrogen) di berbagai jaringan tubuh. Masalah penyakit dekompresi
berasal dari penurunan tekanan udara pada ketinggian tertentu. Pada ketinggian
permukaan laut, kita menghirup udara yang terdiri dari 80% nitrogen. Nitrogen
adalah gas mulia, dan tidak dapat dimetabolisme dalam tubuh manusia. Nitrogen
yang kita hirup dibawa ke paru-paru pada tekanan 608 mmHg (80% dari total
22
tekanan atmosfer yaitu 760 mm Hg). Nitrogen tersebut kemudian didistribusikan
ke seluruh tubuh, melalui sistem peredaran darah, dan disimpan pada tekanan
sekitar 608 mmHg. Selama kita tetap di permukaan laut, tekanan nitrogen di
dalam tubuh dan di luar tubuh berada dalam keseimbangan. Tetapi ketika tekanan
atmosfer berkurang, seperti dalam penerbangan, terjadi perubahan keseimbangan
tersebut. Hal ini akan menyebabkan nitrogen terurai di dalam tubuh. Jika
perbedaan tekanan tidak terlalu besar, dan, proses perubahan ketinggian cukup
lambat, maka nitrogen akan terurai dan keluar dari tubuh sebagai gas yang kita
keluarkan saat bernapas. Tetapi jika gas terurai terlalu cepat, maka jaringan akan
menjadi sangat jenuh terhadap nitrogen, sehingga akan terbentuk gelembung.
(Brown, 1998)
Menurut Hukum Henry, bila tekanan gas menurun, jumlah gas terlarut
dalam cairan juga akan menurun . Salah satu contoh praktis dalam
mendemonstrasikan hukum ini adalah dengan membuka minuman bersoda.
Ketika tutup botol dibuka, akan terdengar gas keluar, dan gelembung dapat
terlihat terbentuk di soda, ini adalah gas karbon dioksida yang keluar dari larutan
sebagai akibat dari penurunan mendadak tekanan udara. Sama seperti hal tersebut,
nitrogen adalah gas yang biasanya disimpan di seluruh tubuh manusia. Ketika
tubuh terpapar penurunan tekanan barometrik (seperti dalam penerbangan di
pesawat yang tidak dilengkapi dengan pengatur tekanan untuk ketinggian),
nitrogen yang terlarut dalam tubuh akan terurai. Jika nitrogen terurai dari larutan
terlalu cepat, akan terbentuk gelembung di jaringan tubuh yang akan
menyebabkan berbagai tanda dan gejala. (Brown, 1998)
23
2.6. Manifestasi Klinis
Trombosis vena terutama mengenai vena-vena di daerah tungkai antara
lain vena tungkai superfisialis, vena dalam di daerah betis atau lebih proksimal
seperti v. poplitea, v. femoralis dan v. iliaca. Sedangkan vena-vena di bagian
tubuh yang lain relatif jarang terkena. (Eka, 2001)
Trombosis vena superfisialis pada tungkai, biasanya terjadi varikositis dan
gejala klinisnya ringan dan bisa sembuh sendiri. Kadang-kadang trombosis vena
tungkai superfisialis ini menyebar ke vena dalam dan dapat menimbulkan emboli
paru yang tidak jarng menimbulkan kematian. (Eka, 2001)
Manifestasi klinik trombosis vena dalam tidak selalu jelas, kelainan yang
timbul tidak selalu dapat diramalkan secara tepat lokasi / tempat terjadinya
trombosis. (Eka, 2001)
Trombosis di daerah betis mempunyai gejala klinis yang ringan karena
trombosis yang terbentuk umumnya kecil dan tidak menimbulkan komplikasi
yang hebat.
Sebagian besar trombosis di daerah betis adalah asimtomatis, akan tetapi
dapat menjadi serius apabila trombus tersebut meluas atau menyebar ke lebih
proksimal. (Eka, 2001)
Trombosis vena dalam akan mempunyai keluhan dan gejala apabila
menimbulkan :
- bendungan aliran vena.
- peradangan dinding vena dan jaringan perivaskuler.
- emboli pada sirkulasi pulmoner.
24
Keluhan dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa: (Eka, 2001)
1. Nyeri
Intensitas nyeri tidak tergantung kepada besar dan luas trombosis. Trombosis
vena di daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar ke
bagian medial dan anterior paha.
Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku
dan intensitasnya mulai dari yang enteng sampai hebat. Nyeri akan berkurang
kalau penderita istirahat di tempat tidur, terutama posisi tungkai ditinggikan.
2. Pembengkakan
Pembengkakan disebabkan karena adanya edema. Timbulnya edema
disebabkan oleh sumbatan vena di bagian proksimal dan peradangan jaringan
perivaskuler.
Apabila pembengkakan ditimbulkan oleh sumbatan maka lokasi bengkak
adalah di bawah sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan apabila disebabkan oleh
peradangan perivaskuler maka bengkak timbul pada daerah trombosis dan
biasanya di sertai nyeri. Pembengkakan bertambah kalau penderita berjalan dan
akan berkurang kalau istirahat di tempat tidur dengan posisi kaki agak
ditinggikan.
3. Perubahan warna kulit
Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada
trombosis vena dalam dibandingkan trombosis arteri.
Pada trombosis vena perubahan warna kulit di temukan hanya 17% - 20%
kasus. Perubahan warna kulit bisa berubah pucat dan kadang-kadang berwarna
25
ungu. Perubahan warna kaki menjadi pucat dan pada perubahan lunah dan dingin,
merupakan tanda-tanda adanya sumbatan cena yang besar yang bersamaan dengan
adanya spasme arteri, keadaan ini di sebut flegmasia alba dolens.
4. Sindroma post-trombosis.
Penyebab terjadinya sindroma ini adalah peningkatan tekanan vena
sebagai konsekuensi dari adanya sumbatan dan rekanalisasi dari vena besar.
Keadaan ini mengakibatkan meningkatnya tekanan pada dinding vena dalam di
daerah betis sehingga terjadi imkompeten katup vena dan perforasi vena dalam.
Semua keadaan di atas akan mengkibatkan aliran darah vena dalam akan
membalik ke daerah superfisilalis apabila otot berkontraksi, sehingga terjadi
edema, kerusakan jaringan subkutan, pada keadaan berat bisa terjadi ulkus pada
daerah vena yang di kenai.
Manifestasi klinis sindroma post-trombotik yang lain adalah nyeri pada
daerah betis yang timbul / bertambah waktu penderitanya berkuat (venous
claudicatio), nyeri berkurang waktu istirahat dan posisi kaki ditinggikan, timbul
pigmentasi dan indurasi pada sekitar lutut dan kaki sepertiga bawah. (Eka, 2001)
2.8. Penatalaksanaan dan Pencegahan
A. Penatalaksanaan
- Terapi Inisial
Tujuan terapi jangka pendek DVT adalah mencegah pembentukan trombus
yang makin luas dan emboli paru. Tujuan jangka panjangnya adalah mencegah
kekambuhan dan terjadinya sindrom post trombotik. Kombinasi heparin dan
antikoagulan oral merupakan terapi inisial dan drug of choice DVT (Key, 2010;
26
Scarvelis , 2006; Ramzi, 2004; Bates, 2004).
-Unfractionated Heparin (UFH)
Unfractionated heparin (UFH) memiliki waktu mula kerja yang cepat tapi
harus diberikan secara intravena. UFH berikatan dengan antitrombin dan
meningkatkan kemampuannya untuk menginaktivasi faktor Xa dan trombin
(Mackman, 2010; Deitcher, 2009). Dosis Unfractionated heparin berdasarkan
berat badan dan dititrasi sesuai kadar activated partial-thromboplastin time
(APTT). Dosis heparin yang disesuaikan berdasarkan berat badan dan APTT
dapat dilihat pada tabel-2. Target APTT yang diinginkan adalah antara 1,5 sampai
2,3 kali kontrol. Respon antikoagulan dari UFH berbeda pada tiap-tiap individu
karena obat ini berikatan secara nonspesifik dengan plasma dan protein sel. Efek
samping meliputi perdarahan dan trombositopeni. Pada terapi inisial resiko
terjadinya perdarahan kurang lebih 7%, hal ini tergantung pada dosis, usia,
penggunaan bersama dengan antitrombotik atau trombolitik. Trombositopeni
transien terjadi pada 10-20% pasien. Pemberian heparin dapat dihentikan 4-5 hari
setelah penggunaanya bersama warfarin jika target International Normalized
Ratio (INR) dari prothrombin clotting time lebih dari 2,0 (Ramzi, 2004; Bates,
2004).
-Low Molecular Weight heparin (LMWH)
Low Molecular Weight Heparin (LMWH) bekerja dengan cara
menghambat faktor Xa melalui ikatan dengan antitrombin (Mackman, 2011).
LMWH merupakan antikoagulan yang memiliki beberapa keuntungan dibanding
27
UFH antara lain respon antikoagulan yang lebih dapat diprediksi, waktu paruh
yang lebih panjang, dapat diberikan sub kutan satu sampai dua kali sehari, dosis
yang tetap, tidak memerlukan monitoring laboratorium. LMWH banyak
menggantikan peranan UFH sebagai antikoagulan (Deitcher, 2009; Hirsh, 2002).
Tabel-2. Dosis heparin berdasarkan berat badan dan APT (Ramzi, 2004).
Efek samping trombositopeni dan osteoporosis LMWH lebih jarang terjadi
dibanding penggunaan UFH. Kontraindikasi terapi antikoagulan antara lain
kelainan darah, riwayat stroke perdarahan, metastase ke central nervous system
(CNS), kehamilan peripartum, operasi abdomen atau ortopedi dalam tujuh hari
dan perdarahan gastrointestinal. Penggunaan LMWH pada pasien rawat jalan
aman dan efektif terutama jika pasien edukatif serta ada sarana untuk memonitor.
Penggunaan LMWH pada pasien rawat jalan sebaiknya tidak dilakukan pada
pasien dengan trombosis masif, memiliki kecenderungan perdarahan yang tinggi
seperti usia tua, baru saja menjalani pembedahan, riwayat penyakit ginjal dan
liver serta memiliki penyakit penyerta yang berat (Hirsh, 2002; Bates, 2004;
28
Ramzi, 2004). LMWH diekskresikan melalui ginjal, oleh karena itu pada
penderita ganguan fungsi ginjal perannya dapat digantikan oleh UFH.
Terapi Jangka Panjang
Setelah terapi inisial dengan UFH atau LMWH, terapi antikoagulan
dilanjutkan dengan pemberian derivat kumarin sebagai profilaksis sekunder untuk
mencegah kekambuhan (Bates, 2004). Warfarin adalah obat yang paling sering
diberikan. Warfarin adalah antagonis vitamin K yang menghambat vitamin K-
dependent clotting factor (faktor II, VII, IX, X) melalui hambatan terhadap enzim
vitamin K epoxide reductase (Dietrich, 2009). Dosis awal yang diberikan adalah 5
mg pada hari pertama sampai hari keempat, dosis dititrasi tiap 3 sampai 7 hari
dengan target kadar INR berkisar 2,0 sampai 3,0. Dosis yang lebih kecil (2-4 mg)
diberikan pada usia tua, BB rendah dan kondisi malnutrisi (Bates, 2004; Hirsh,
2002).
Warfarin sebagai terapi jangka panjang DVT memiliki banyak kelemahan
antara lain onset of action yang lambat, dosis yang bervariasi antar individu,
interaksi dengan banyak jenis obat dan makanan, therapeutic window yang sempit
sehingga membutuhkan monitoring ketat. Oleh karenanya dibutuhkan agen
antikoagulan oral yang baru dan lebih baik untuk menggantikannya.
Durasi Penggunan Antikoagulan
Durasi penggunaan antikoagulan tergantung pada resiko terjadinya
perdarahan dan rekurensi dari trombosis. Resiko perdarahan selama terapi inisial
dengan UFH atau LMWH kurang lebih 2-5%, sedangkan pada penggunaan
29
warfarin kurang lebih 3% pertahun. Annual case fatality rate pada penggunaan
antikoagulan adalah 0,6%. Case fatality rate rekurensi DVT kurang lebih 5%
(Hirsh, 2002). Banyak studi membandingkan keuntungan dan kekurangan
pemberian oral vitamin K antagonis jangka panjang (>3 bulan) karena adanya
fakta bahwa kejadian DVT sebenarnya merupakan kasus kronik dengan angka
rekurensi jangka panjang yang cukup signifikan (<50% setelah 10 tahun
penghentian antikoagulan) (Key, 2010; Zhu, 2009). Terapi antikoagulan yang
inadekuat dapat meningkatkan resiko terjadinya rekurensi dan sindroma post
trombotik (Zhu, 2009).
Secara umum antikoagulan diberikan selama minimal 3 bulan. Pasien
dengan faktor resiko reversibel memiliki resiko rekurensi yang rendah setelah
terapi antikoagulan selama 3 bulan, sebaliknya pada pasien DVT
idiopatik/unprovoked yang hanya diterapi selama 3 bulan memiliki resiko
rekurensi sekitar 10-27%. Berdasarkan hasil penelitian prospektif dan ekstrapolasi
dari penelitian terhadap resiko rekurensi setelah episode awal trombosis, pasien
dapat diklasifikasikan menjadi kelompok resiko rendah, sedang, tinggi dan sangat
tinggi (Bates, 2004; Hirsh, 2002)
Terapi Trombolitik
Trombolitik memecah bekuan darah yang baru terbentuk dan
mengembalikan patensi vena lebih cepat daripada antikoagulan (Bates, 2004).
Trombolitik dapat diberikan secara sistemik atau lokal dengan catheter-directed
thrombolysis (CDT). Terapi trombolitik pada episode akut DVT dapat
30
menurunkan resiko terjadinya rekurensi dan post thrombotic syndrome (PTS)
(Key, 2010; Kahn, 2009). Serine protease inhibitor endogen seperti urokinase dan
rekombinan tissue plasminogen activator (r-TPA) menggantikan fungsi
streptokinase sebagai obat pilihan pada terapi trombolitik sistemik dengan efek
samping yang lebih minimal, akan tetapi banyak pusat-pusat kesehatan lebih
memilih menggunakan alteplase (Patterson, 2010). Trombolitik sistemik dapat
menghancurkan bekuan secara cepat tapi resiko perdarahan juga tinggi.
Penggunaan trombolitik dengan CDT akan menghasilkan konsentrasi lokal yang
lebih tinggi daripada secara sistemik dan secara teori seharusnya dapat
meningkatkan efikasinya dan menurunkan resiko perdarahan (Patterson, 2010;
Scarvelis, 2006; Bates, 2004).
Terapi Non Farmakologis
Terapi non farmakologis/physical therapy hanya sedikit evidence based
nya. Latihan dan compression dapat mengurangi pembengkakan, nyeri serta
mengurangi insiden terjadinya post thrombotic syndrome (PTS). Penggunaan
compression stockings selama kurang lebih 2 tahun dimulai 2-3 minggu ketika
diagnosa DVT ditegakkan menurunkan resiko timbulnya PTS. Peranan
compression stockings atau intermitten pneumatic compression (IPC) dalam
mencegah PTS belum sepenuhnya dimengerti, namun penggunaannya telah
digunakan secara luas. Compression stockings sebaiknya digunakan pada pasien
dengan gejala berat dan mereka yang memiliki fungsi vena yang jelek (JCS
Guidelines, 2011; Kahn, 2009; Bates, 2004).
31
Trombektomi
Indikasi open surgical thrombectomy antara lain DVT iliofemoral akut
tetapi terdapat kontraindikasi trombolitik atau gagal dengan trombolitik maupun
mechanical thrombectomy, lesi yang tidak dapat diakses oleh kateter, lesi dimana
trombus sukar dipecah dan pasien yang dikontraindikasikan untuk penggunaan
antikoagulan. Trombus divena iliaka komunis dipecah dengan kateter
embolektomi fogarty dengan anestesi lokal. Trombus pada daerah perifer harus
dihilangkan dengan cara antegrade menggunakan teknik milking dan esmarch
bandage. Kompresi vena iliaka harus diatasi dengan dilatasi balon dan atau
stenting. Setelah tindakan pembedahan, heparin diberikan selama 5 hari dan
pemberian warfarin harus dimulai 1 hari setelah operasi dan dilanjutkan selama 6
bulan setelah pembedahan. Untuk hasil yang maksimal tindakan pembedahan
sebaiknya dilakukan kurang dari 7 hari setelah onset DVT. Pasien dengan
phlegmasia cerulea dolens harus difasiotomi untuk tujuan dekompresi
kompartemen dan perbaikan sirkulasi (JCS Guidelines, 2011).
Postthrombotic syndrome (PTS)
Postthrombotic syndrome adalah komplikasi kronik dari DVT. Kurang
lebih sepertiga dari pasien DVT akan timbul komplikasi PTS, 5-10% menjadi PTS
berat dengan gejala ulserasi vena (Kahn, 2009). Diagnosis PTS merupakan
diagnosis klinis yang didasarkan pada timbulnya gejala berupa kelemahan
tungkai, nyeri, edema, gatal, kram, parestesi pada tungkai bawah, memberat pada
aktivitas, berdiri, berjalan dan membaik dengan istirahat. Gejala ini disebabkan
32
karena hipertensi vena yang persisten (karena obstruksi intravena residual) atau
insufisiensi valvular vena (Key 2010; Kahn, 2009). Pada pemeriksaan fisik
didapatkan edema, teleangiektasi peri-malleolar, ektasis vena, hiperpigmentasi,
kemerahan, sianosis, ulkus.
Penatalaksanaan PTS meliputi penggunaan elastic compression stockings
(ECS) untuk mengurangi edema dan keluhan, intermitten pneumatic compression
efektif untuk PTS simptomatik berat, agen venoaktif seperti aescin atau rutosides
memberikan perbaikan gejala jangka pendek. Peran trombolisis pada pencegahan
PTS belum diketahui secara jelas. Peranan CDT dalam rangka prevensi PTS juga
membutuhkan evaluasi lebih lanjut (Kahn, 2009).
B. Pencegahan
Metode profilaksis tromboemboli harus aman, efektif, ekonomis, dan
dapat diterima penggunaannya. Strategi pencegahan yang ada sekarang ini adalah
ambulasi dini, graduated compression stockings, pneumatic compression devices
dan antikoagulan seperti warfarin, UFH subkutan, dan LMWH. (Sulistia Gan
Gunawan, 2007)
Pencegahan DVT secara farmakologis mencakup antagonis vitamin K
(warfarin), UFH, dan LMWH. LMWH diperkenalkan sebagai profilaksis dengan
beberapa kelebihan seperti pemberian hanya 1 kali sehari dan keuntungan teoritis
berkurangnya risiko perdarahan. Terapi antikoagulan dengan UFH dan LMWH
mempunyai risiko utama yaitu : perdarahan, osteoporosis (terapi UFH
berkepanjangan) dan heparin induced trombocytopenia. Risiko perdarahan
33
dengan UFH tampaknya lebih tinggi dan respon individu yang bervariasi. (Sulistia
Gan Gunawan, 2007)
Terapi inisial menunjukkan bahwa 50% kasus DVT mulai terbentuk pada
saat operasi dan 25% terjadi dalam kurun waktu 72 jam setelah operasi. Pemilihan
metode profilaksis bergantung pada penilaian risiko tromboemboli, apakah risiko
ringan, sedang ataupun risiko tinggi. Namun, beberapa praktik mungkin
ditemukan untuk menjadi bermanfaat: (Sulistia Gan Gunawan, 2007)
Meningkatkan aktivitas otot kaki selama periode panjang duduk
meningkatkan aliran darah di kaki. Ini mungkin termasuk berkeliling kabin
atau berolahraga kaki dan pergelangan kaki sementara duduk Anda lebih
rendah.
Minum banyak air, dan menghindari minum apa pun dengan alkohol atau
kafein dalam itu.
Mengenakan pakaian longgar.
Beberapa merekomendasikan mengambil singkat tidur siang, bukannya
yang panjang, untuk menghindari berkepanjangan tidak aktif.
Berolahraga secara teratur, menjaga berat badan yang sehat, dan tidak
merokok.
Jika Anda memiliki salah satu faktor risiko untuk DVT, konsultasikan
dengan dokter Anda sebelum perjalanan panjang. Jika ditunjukkan oleh seorang
dokter, dukungan khusus kaus kaki atau stoking dapat mengurangi darah
penggabungan di kaki dan obat-obatan yang mulai menipis darah mungkin
diresepkan.
34
2.9. Komplikasi dan Prognosis
Menurut penelitian Mary pada tahun 2001, Meskipun dengan terapi yang
adekuat beberapa pasien DVT akan mengalami komplikasi jangka panjang seperti
DVT berulang, emboli paru dan post-thrombotyc syndrome.
Risiko terjadinya recurrent DVT tergantung dari penyebab DVT
tersebut.Trombus yang berasal dari pembedahan atau trauma jarang menyebabkan
terjadinya recurrent DVT. Individu dengan spontaneus DVT tanpa faktor resiko
akan mengalami resiko ulangan sebesar 30 % dalam 10 tahun. Semakin banyak
faktor resiko semakin tinggi resiko terjadinya kekambuhan.Komplikasi yang
berhubungan dengan penyumbatan pembuluh darah adalah salah satunya emboli
paru (Hedi, 2003).
1. Emboli paru
Sebuah emboli paru terjadi ketika pembuluh darah di paru-paru tersumbat
oleh gumpalan darah (thrombus) yang melakukan perjalanan ke paru-paru dari
bagian lain dari tubuh, biasanya berasal dari kaki.
Sebuah emboli paru bisa berakibat fatal.Jadi, sangat penting untuk waspada untuk
tanda-tanda dan gejala emboli paru dan mencari perhatian medis jika
terjadi.Pulmonary Embolism (PE) atau emboli paru muncul jika terjadi pelepasan
fragmen trombus ke sirkulasi darah dan mencapai jantung dan kemudian
menyumbat arteri pulmonalis.Emboli paru merupakan komplikasi fatal yang
memerlukan penanganan cepat.Gejala emboli paru biasanya sesak nafas, nyeri
dada, batuk tiba-tiba, sinkop dan hemoptisis.Dari pemeriksaan fisik bisa
35
ditemukan takipnea, takikardi, tanda-tanda DVT, sianosis, demam serta
hipotensi.Pada pasien yang dicurigai mengalami PE harus dilakukan penilaian
probabilitas klinis dengan menggunakan Revised Geneva Score atau Wells Score
yang membagi kemungkinan PE menjadi tiga kategori yaitu risiko rendah,
moderate dan berat. Kategori risiko berat atau pasien mengalami hipotensi atau
syok harus segera dilakukan CT scan dada jika tersedia atau ekokardiografi. Jika
positif, maka pasien diterapi dengan trombolitik atau embolektomi.Pada pasien
yang kategori risiko tidak berat, maka dilakukan tes D-dimer terlebih dahulu yang
bila hasilnya positif dilanjutkan pemeriksaan CT multidetektor.Jika hasil CT
multidetektor positif, maka diberikan terapi antikoagulan seperti pada DVT.Tanda
dan gejala emboli paru termasuk:
• Sesak napas yang bersifat tiba-tiba yang tidak dapat dijelaskan
• Nyeri dada atau ketidaknyamanan yang memburuk ketika mengambil
napas dalam atau ketika batuk
• Merasa pusing, atau bahkan pingsan
• Batuk darah
2. Sindrom pascaflebitis (Hedi, 2003)
Komplikasi umum yang dapat terjadi setelah thrombosis vena dalam
adalah suatu kondisi yang dikenal sebagai sindrom pascaflebitis, juga disebut
sindrom pascatrombosis. Sindrom pascaflebitis sering juga disebut sebagai Post
thrombotyc syndrome( PTS ) merupakan komplikasi kronik dari DVT. Kurang
36
lebih sepertiga pasien DVT akan mengalami PTS. 5- 10% menjadi PTS berat
dengan gejala ulserasi vena. Pada pasien DVT simptomatik proksimal diatas lutut,
80 % akan terjadi komplikasi PTS. PTS yang berat dilaporkan pada 50 % kasus
dan ulserasi lutut muncul pada 10 % pasien. Kondisi ini akan menurunkan
disabilitas dan kualitas dari hidup. PTS rata-rata mengenai pasien berumur 56
tahun dan 50 % mengenai pasien usia kerja, hal ini akan menurunkan kualitas
sosial pasien. PTS disebabkan oleh hipertensi vena kronik yang sekunder
disebabkan oleh reflux vena, obstruksi vena dan disfungsi katup vena.Gejala dari
PTS ini adalah kelemahan tungkai, nyeri, gatal, bengkak, kaki terasa berat dan
klaudikasio vena.Pada pemeriksaan fisik didapatkan edema, teleangiektasi
perimalleolar, ektasis vena, hiperpigmentasi, kemerahan, sianosis. Pada kondisi
yang berat dan tahap akhir akan menyebabkan ulserasi vena. The Subcommittee
on Control of Anticoagulation of the Scientific and Standardization Committee of
the International Society on Thrombosis and Hemostasis merekomendasikan
penggunaan skala villalta untuk diagnosis PTS. Compression Ultrasonography
dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis pada pasien dengan kecurigaan
PTS tanpa ada riwayat DVT sebelumnya. Penatalaksanaan PTS meliputi
penggunaan elastic compression stockings (ECS) untuk mengurangi edema dan
keluhan, intermitten pneumatic compression efektif untuk PTS simptomatik
berat, agen venoaktif seperti aescin atau rutosides memberikan perbaikan gejala
jangka pendek. Compression therapy, perawatan kulit dan topical dressings
digunakan untuk ulkus vena. PTS dapat dicegah dengan penggunaan
tromboprofilaksis pada pasien risiko tinggi, rekurensi trombus ipsilateral dicegah
37
dengan pemberian antikoagulan yang tepat dosis dan durasi, menggunakan elastic
compression stocking selama kurang lebih 2 tahun setelah diagnosis DVT
ditegakkan. Sindrom ini digunakan untuk menggambarkan kumpulan tanda dan
gejala, termasuk:
• Pembengkakan kaki (edema)
• Nyeri kaki
• Perubahan warna kulit
• luka pada kulit
Sindrom ini disebabkan oleh kerusakan pembuluh darah akibat dari
bekuan darah.Kerusakan ini mengurangi aliran darah di daerah yang
tersumbat.Gejala sindrom pascaflebitis mungkin tidak terjadi sampai beberapa
tahun setelah DVT tersebut.
Sebagian besar kasus DVT dapat hilang tanpa adanya masalah apapun,
namun penyakit ini dapat kambuh. Beberapa orang dapat mengalami nyeri dan
bengkak berkepanjangan pada salah satu kakinya yang dikenal sebagai post
phlebitic syndrome. Hal ini dapat dicegah atau dikurangi kemungkinan terjadinya
dengan penggunaan compression stocking saat dan sesudah episode DVT
terjadi. Pada pasien dengan riwayat terjaid emboli paru, maka pengawasan harus
dilakukan secara lebih ketat dan teratur.Semua pasien dengan trombosis vena
dalam pada masa yang lama mempunyai resiko terjadinya insufisiensi vena
kronik.Kira-kira 20% pasien dengan DVT yang tidak ditangani dapat berkembang
38
menjadi emboli paru, dan 10-20% dapat menyebabkan kematian.Dengan
antikoagulan terapi angka kematian dapat menurun hingga 5 sampai 10 kali
(Joyce, 1996).
BAB III
39
PEMBAHASAN
3.1. Kriteria Penumpang Layak Terbang
Kantor Kesehatan Pelabuhan mempunyai tugas melaksanakan pencegahan
masuk dan keluarnya penyakit, penyakit potensial wabah, surveilans
epidemiologi, kekarantinaan, pengendalian dampak kesehatan lingkungan,
pelayanan kesehatan, pengawasan OMKABA serta pengamanan terhadap
penyakit baru dan penyakit yang muncul kembali, bioterorisme, unsur biologi,
kimia dan pengamanan radiasi di wilayah kerja bandara, pelabuhan, dan lintas
batas darat negara (Pasal 2 PERATURAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 356/MENKES/PER/IV/2008 TENTANG
ORGANISASI DAN TATA KERJA KANTOR KESEHATAN PELABUHAN).
Departemen kesehatan penerbangan bertanggung jawab menentukan kelayakan
terbang seorang penumpang, berkaitan dengan kesehatan penumpang saat itu,
dimana dipastikan kesehatan penumpang tidak akan mengganggu selama
perjalanan.
Di Indonesia untuk menentukan kriteria layak terbang mengacu pada dua hal yaitu
1) International Air Transportation Association (Lampiran 1)
2) UU No 2 Tahun 1962 (Lampiran 2)
3.2. Perjalanan Penyakit
Trombosis adalah pembentukan gumpalan-gumpalan darah di dalam
pembuluh. Darah biasanya tidak menggumpal di dalam pembuluh dan
40
pembentukan gumpalan seperti itu dapat menimbulkan masalah. Trombosis dapat
terjadi pada pembuluh darah mana pun dan dapat menimbulkan risiko yang fatal
jika menghambat aliran darah menuju organ vital. Dalam konteks perjalanan
udara, kita perlu mewaspadai terjadinya trombosis pada pembuluh vena dalam di
tungkai bawah.
Pembuluh vena dalam pada tungkai bawah terletak di dalam otot-otot
betis. Kontraksi otot yang menekan pembuluh darah menghasilkan efek pompa
(pompa otot) untuk membantu darah mengalir kembali ke jantung. Jika pompa
otot terhenti (misalnya karena tidak bergerak), aliran darah pada pembuluh dapat
menurun (disebut stasis vena) hingga membentuk gumpalan-gumpalan kecil.
Umumnya gumpalan-gumpalan tersebut terlalu kecil untuk menimbulkan
masalah. Akan tetapi, kadang kala beberapa gumpalan dapat mencapai ukuran
yang signifikan atau bergabung untuk membentuk sebuah sumbatan trombus yang
besar.
Keadaan tidak bergerak dalam posisi duduk adalah penyebab Deep Vein
Thrombosis (DVT) karena dapat menekan pembuluh darah di tungkai dan
menimbulkan stasis. DVT sering dialami oleh penumpang yang menempuh
perjalanan jarak jauh melalui darat, rel kereta, mau pun udara. Kesamaan faktor
pada semua kasus ini lebih pada keadaan tidak bergerak daripada pengaruh
lingkungan. Kabin bertekanan dan ketinggian pesawat tidak berpengaruh terhadap
risiko munculnya DVT.
Ketinggian sekitar 8.000 kaki atau ±2.400 m yang sesuai dengan tekanan dalam
kabin sebesar 75kPa akan mengakibatkan perubahan saturasi oksigen dalam
41
hemoglobin orang normal menjadi 90% setelah 30 menit terbang. Kondisi
hipobarik maupun hipoksia relatif dalam kabin akan mengakibatkan penumpang
dalam status hiperkoagulasi (kondisi lebih mudah membeku).
3.3. Faktor Risiko
1) Faktor Resiko Pada Penerbangan:
Duduk untuk waktu yang lama
Didapati bahwa perjalanan yang setidaknya berlangsung> 4 jam, merupakan
faktor risiko untuk terjadinya trombosis vena dalam. Dalam penelitian ini,
kejadian trombosis vena dalam post perjalanan relatif tinggi dibandingkan
dengan laporan sebelumnya (Federal Aviation Administration,2014).
Virchow mengamati bahwa stasis vena adalah predisposisi trombosis vena
dalam. Pada awal 1950-an, Wright dan Osborn menggunakan injeksi NaCl
radioaktif di pembuluh darah kaki, menunjukkan bahwa kecepatan aliran
darah vena di tungkai bawah berkurang setengahnya dalam posisi berdiri dan
berkurang 2/3 dalam posisi duduk. Diduga karena itu wisatawan yang duduk
untuk waktu yang lama akan rentan terhadap trombosis vena dalam. Stasis
meningkat lebih lanjut oleh tekanan dari tepi kursi di bagian belakang betis
atau duduk untuk waktu yang lama dengan kaki disilangkan. Suatu penelitian
membandingkan tingkat trombin dalam penumpang pesawat udara
dibandingkan dengan individu yang menonton film selama 8 jam dan tidak
bergerak. Trombin adalah produk dari reaksi awal dalam kaskade pembekuan
dan mengaktifkan fibrinogen untuk membentuk fibrin ( meshwork dari
42
bekuan). Mereka menemukan kenaikan 223 % pada penumpang pesawat dan
kenaikan 46 % akibat imobilitas. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme
selain imobilitas menyebabkan wisatawan berada pada risiko trombotik
meningkat (Kos, 2014).
Penumpang yang tidak bergerak untuk waktu yang lama mengakibatkan
berkurangnya aktivitas otot dan aliran darah vena , merupakan salah satu
penyebab meningkatnya stasis vena . Masalah risiko pembentukan bekuan
vena selama perjalanan udara telah dibahas secara luas. Sangat mungkin
bahwa beberapa faktor yang berkontribusi terhadap risiko ini (Ferrari, 2006).
Penurunan Oksigen di Dalam Kabin Pesawat
Faktor lain yang dapat menyebabkan pembentukan gumpalan vena selama
perjalanan udara adalah penurunan endotel fibrinolisis spontan ketika
ambient oksigen menurun. Fenomena ini telah dijelaskan pada vena
saphena, bahwa hal ini dapat menjadi faktor signifikan untuk terjadinya
pembentukan bekuan vena selama perjalanan udara. Ketinggian kabin
8.000 kaki ( 2.400 m ) setara dengan tekanan ambien kabin 75 kPa.
Saturasi oksigen hemoglobin pada orang sehat pada tekanan ini dilaporkan
menjadi 90 % setelah 30 menit , dengan variasi antarindividu yang cukup
besar dalam menanggapi penurunan tekanan parsial oksigen (Ferrari,
2006).
Kondisi dehidrasi
43
Penurunan urine output selama penerbangan dapat terjadi karena
peningkatan osmolaritas urin. Hemokonsentrasi ini dapat menjadi faktor
pencetus terbentuk klot.
Suatu penelitian menunjukkan penumpang yang menjalani penerbangan
selama 8 jam dengan ketinggian 8.000 kaki dan dengan kelembapan 8-
10% meningkatkan osmolaritas urin yang mengindikasikan dehidrasi. Hal
ini terjadi meskipun intake cairan yang tinggi (2 liter) (Ferrari, 2006).
2) Faktor Risiko Tromboemboli Secara Umum:
Memiliki keturunan gangguan pembekuan darah
Penderita yang memiliki gangguan pembekuan darah memiliki faktor
resiko tromboemboli lebih tinggi. hal ini tidak menjadi masalah kecuali
jika orang tersebut memiliki satu atau lebih faktor resiko lain.
Tirah baring yang berkepanjangan
Seperti selama tinggal di rumah sakit lama, atau kelumpuhan. Ketika kaki
berada dalam posisi statis untuk waktu yang lama, otot betis tidak
berkontraksi untuk membantu darah beredar sehingga hal ini dapat
meningkatkan risiko pembekuan darah.
Cedera atau pembedahan.
Cedera pembuluh darah atau operasi dapat meningkatkan risiko
pembekuan darah.
Kehamilan.
Kehamilan meningkatkan tekanan pada pembuluh darah di panggul dan
kaki. Wanita dengan keturunan gangguan pembekuan darah sangat
44
beresiko. Risiko pembekuan darah pada kehamilan dapat berlanjut sampai
enam minggu setelah melahirkan.
Pil KB atau terapi pengganti hormon.
Pil KB (kontrasepsi oral) dan terapi penggantian hormon dapat
meningkatkan kemampuan darah untuk menggumpal.
Kelebihan berat badan atau obesitas.
Kelebihan berat badan meningkatkan tekanan pada pembuluh darah di
panggul dan kaki.
Merokok.
Merokok mempengaruhi pembekuan darah dan sirkulasi, yang dapat
meningkatkan risiko DVT.
Kanker.
Beberapa jenis kanker meningkatkan jumlah zat dalam darah yang
menyebabkan darah untuk membeku. Beberapa bentuk pengobatan kanker
juga meningkatkan risiko penggumpalan darah.
Gagal jantung
Orang dengan gagal jantung memiliki risiko lebih besar terkena trombosis
vena dan emboli paru. Karena orang-orang dengan gagal jantung yang
sudah memiliki fungsi paru-paru yang terganggu, gejala yang disebabkan
oleh bahkan emboli paru kecil lebih terlihat.
Riwayat pribadi atau riwayat keluarga terkena trombosis vena dalam atau
emboli paru.
45
Jika seseorang dalam keluarga terkena trombosis vena atau emboli paru
sebelumnya, maka resiko terkena trombosis vena lebih besar.
Usia.
Orang dengan usia diatas 60 tahun memiliki faktor resiko trombosis vena lebih
besar, meskipun trombosis vena dapat terkena pada semua usia (Mayo
Clinic,2014).
3.4. Gejala yang Timbul
Umumnya gejala klinis tidak khas, atau beberapa orang tidak mengalami
gejala yang spesifik. Gejala klinis yang umum terjadi adalah pembengkakan pada
kaki, terutama betis, juga timbul rasa nyeri dan kaki menjadi hangat. Pada bagian
permukaan kaki kulit akan menegang, licin serta mengkilat. Perubahan tersebut
akan mudah diamati apabila dibandingkan pada sisi kontralateral yang tidak sakit.
Hal tersebut menyebabkan kaki menjadi kaku dan sulit untuk digerakkan. Sensasi
lain yang mungkin dirasakan adalah kaki kebas, kram dan kesemutan. Gejala lain
yang mungkin terjadi seperti distensi vena yang menyebabkan gambaran vena
muncul ke permukaan kulit.
3.5. Pencegahan
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya tromboemboli vena
dalam penerbangan, antara lain :
1. Melakukan aktivitas fisik ringan selama penerbangan, seperti :
a. Berjalan-jalan di kabin jika memungkinkan
46
b. Melakukan peregangan otot-otot tubuh seperti tungkai dan betis
selama duduk untuk melancarkan aliran darah balik.
2. Memakai pakaian yang longgar dan nyaman
3. Dianjurkan memakai kaus kaki penerbangan (compression stocking)
4. Minumbanyak air
5. Membatasi minuman berkalkohol
6. Hindari minum obat tidur
47
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Pada penumpang pesawat udara dapat meningkatkan risiko terjadinya
DVT, diantaranya Coach Position yaitu posisi duduk yang sempit,
imobilitas, dehidrasi, kelembaban udara yang rendah, hipoksia relatif
dan terjadinya penurunan tekanan udara. Selain itu, faktor risiko yang
berhubungan dengan pasien diantaranya adalah kelebihan berat
badan, penyakit Jantung Kronik, konsumsi pengobatan dengan
hormone dan penyakit-penyakit kronik. Penumpang hanya dapat
menaiki pesawat terbang jika memenuhi kriteria yang telah
ditetapkan oleh IATA.
Perjalanan penyakit tromboemboli pada penumpang pesawat udara
terjadi karena adanya pembentukan DVT karena adanya faktor risiko
48
yang dimiliki penumpang. Selain itu dapat juga terjadi karena
terbentuknya emboli udara akibat berkurangnya kelarutan gas
Nitrogen sehingga terbentuk gelembung udara di dalam darah.
Pencegahan terjadinya tromboemboli pada penumpang pesawat udara
antara lain gerakan-gerakan kaki ditempat, bila memungkinkan
sekali-sekali berdiri, berjalan-jalan jika mungkin, tinggalkan tempat
duduk beberapa saat, jika memungkinkan, hindari menggunakan obat
tidur atau terlalu banyak alcohol dan hindari menggunakan pakaian
ketat selama perjalanan.
4.2. Saran
Pada para penumpang pesawat yang berisiko tinggi agar
mengkonsultasi ke dokter terlebih dahulu sebelum melakukan
perjalanan udara untuk mendapat penjelasan tentang kesehatannya
sehingga angka kejadian tromboemboli dapat ditekan.
Bagi kru kabin pesawat agar diberikan pelatihan dan edukasi tatacara
untuk mencegah terjadinya tromboemboli pada kru kabin sendiri dan
juga pada penumpang pesawat.
Mengedukasi masyarakat agar lebih waspada dan mengetahui faktor
– faktor risiko yang dapat menimbulkan tromboemboli sehingga
dapat mempersiapkan diri ketika akan melakukan perjalanan udara.
Bagi petugas KKP Medan agar memperbanyak penyuluhan yang
berkaitan dengan kesehatan penerbangan dan faktor risiko
tromboemboli sehingga kemampuan menentukan kriteria pasien yang
49
layak terbang bisa lebih baik lagi dan kejadian tromboemboli dapat
diminimalisasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Reyes, N., et al. Deep Vein Thrombosis and Pulmonary Embolism. 2013.
Centers for Disease Control and Prevention. Available
from http://wwwnc.cdc.gov/travel/yellowbook/2014/chapter-2-the-pre-
travel-consultation/deep-vein-thrombosis-and-pulmonary-embolism [Acce
sed 24 Februari 2015]
2. International Civil Aviation Organization, 2012. Manual of Civil Aviation
Medicine. Edisi 3. Kanada : International Civil Aviation Organization.
3. Sajid, M., et al. Literature Review of Deep Vein Thrombosis in Air
Travellers. 2006. The Internet Journal of Surgery. Available
from https://ispub.com/IJS/10/1/3971 [Accesed 25 Februari 2015]
4. Suega, K. 2013 . DEEP VEIN THROMBOSIS SEBAGAI MANIFESTASI
SINDROMA PARANEOPLASTIK DAR KANKER PARU diunduh dari :
http://www.repository.usu.ac.id [ di akses pada : 25 Februari 2015 ]
50
5. Davis, 2013 Definitiion Of Thromboembolism diunduh dari
http://www.medicinenet.com [diakses pada 25 Februari 2015].
6. Sulistia Gan Gunawan, dkk. Farmakologi dan Terapi. Edisi Ke 5. Jakarta:
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. 2007.
7. Rahajuningsih DS. Patofisiologi trombosis. Dalam: Hemostasis dan
trombosis. Ed.3. Jakarta. 2007; p.39-40, 76-82.
8. Lisyani BS. D-Dimer sebagai parameter tambahan untuk trombosis,
fibrinolisis dan jantung. Dalam : Seminar Petanda Penyakit
Kardiovaskular sebagai Point of Care Test di Semarang 25-27 Agustus
2006. Semarang; Bagian Patologi Klinik Universitas Diponegoro. 2006;
p.31-41.
9. Bachmann F. Plasminogen-plasmin enzyme system. In: Colman RW,
Hirsh J, Marder VJ, eds. Hemostasis and thrombosis: basic principles and
clinical practice. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2001;
p.275–320.
10. Geerts WH, Pineo GF, Heit JA, Bergqvist D, Lassen MR, Colwell CW, et
al. Prevention of venous thromboembolism: the Seventh ACCP
Conference on Antithrombotic and Thrombolytic Therapy. Chest 2004
(Sep);126(3 Suppl):338S–400S.
11. Venous Thrombosis: The Role of Genes, Environment, and Behavior,
ASH Education Book January 1, 2005 vol. 2005 no. 11-12.
51
12. Heit JA, Silverstein MD. Risk factors for deep vein thrombosis and
pulmonary embolism: a population-based case-control study. Arch Intern
Med. 2000 (Mar 27); 160(6):809–15.
13. Levitan N, Dowlati A, Remick SC, Tahsildar HI, Sivinski LD, Beyth R, et
al. Rates of initial and recurrent thromboembolic disease among patients
with malignancy versus those without malignancy. Risk analysis using
Medicare claims data. Medicine (Baltimore). 1999 (Sep);78(5):285–91.
14. Silverstein MD, Heit JA, Mohr DN, et al. Trends in the incidence of deep
vein thrombosis and pulmonary embolism: A 25-year population-based
study. Arch Intern Med. 1998; 158:585-593.
15. Goitom Hagos, M.D. Lower Extremity Deep Vein Thrombosis among
Intensive Care Patients in Orotta, National Referral Hospital, Asmara,
Eritrea, JEMA; 2008.
16. Mary J. Mycek et al. Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi 2. Jakarta:
Widya Medika. 2001; 20: 200-201.
17. R. Hedi R, Vincent H.S. Gan. Antikoagulan, Antitrombosit, Trombolitik,
dan Hemostatik. Farmakologi dan Terapi Edisi 4 FK UI. Jakarta: FK UI;
2003:747-761.
18. Joyce L.Kee, Evelyn R. Hayes. Obat-obat untuk gangguan sirkulasi.
Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. EGC; 1996: 490-497.
19. Setiabudy R D. Hemostasis dan Trombosis. Ed 4. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2009.
52
20. Brown, J.R ., Antunano, M.J. 1998. Altitude Decompression Sickness:
Tiny Bubbles, Big Trouble. FAA Civil Aeromedical Institute
21. Rizki, Eka. 2001. Trombosis Vena Dalam. Majalah Kedokteran
Andalas No.2. Vol.25. Juli – Desember 2001.
22. Adriana, Carina. 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Terjadinya Varises Vena Tungkai Bawah pada Wanita Usia Produktif.
Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
23. Ferrari, E. 2006. Travel as a Risk Factor for Venous Thromboembolic
Disease. CHEST Journal Vol 115 No. 2 Diunduh
dari:http://journal.publications.chestnet.org/article.aspx?
articleid=1076903&issueno=2&ijkey=1db4bb5fbab722cb947757f242414c
0ce8ca9b14&keytype2=tf_ipsecsha&linkType=ABST&journalCode=chest
&resid=115/2/440#Discussion Diakses [26 Februari 2015]
24. Federal Aviation Administration,2014. Deep Vein Thrombosis and Travel.
Diunduh dari:
http://www.faa.gov/pilots/safety/pilotsafetybrochures/media/DVT_071820
05.pdf Diakses [26 Februari 2015]
25. Kos,C.A., 2014. Air Travel and Deep Vein Thrombosis. Diunduh dari:
http://www.stoptheclot.org/learn_more/air_travel_and_thrombosis.htm
Diakses [26 Februari 2015]
26. Mayo Clinic, 2014. Deep Vein Thrombosis. Diunduh dari:
http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/deep-vein-thrombosis/
basics/risk-factors/con-20031922 Diakses [26 Februari 2015]