faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga dan

93
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Dramaga merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor yang diresmikan pada tanggal 12 Februari 1992 berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 1992 yang posisinya di sebelah selatan ibukota Kabupaten Bogor (Laporan Kinerja Tahunan Kecamatan Dramaga tahun 2009). Wilayah Kecamatan Dramaga berada pada ketinggian 500 meter di atas permukaan laut, merupakan kawasan yang berbukit dengan suhu rata-rata 25 0 C hingga 30 0 C. Jarak ibukota Kecamatan Dramaga dengan ibukota Kabupaten Bogor sekitar 30 km. Adapun batas administratif Kecamatan Dramaga di sebelah utara adalah berbatasan dengan Kecamatan Rancabungur, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Kota Bogor Barat, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Ciampea dan di sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Ciomas dan Tamansari. Secara administratif, Kecamatan Dramaga terbagi dalam sepuluh desa dengan total penduduk sebanyak 91.874 jiwa. Dari sepuluh desa yang ada di Kecamatan Dramaga, tiga terbesar jumlah penduduknya adalah Desa Petir, Desa Ciherang, dan Desa Dramaga (Tabel 16). Tabel 16 Sebaran desa-desa dan jumlah penduduk di Kecamatan Dramaga No Nama Desa Jumlah Penduduk 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Sukawening Petir Purwasari Neglasari Ciherang Cikarawang Dramaga Babakan Sinarsari Sukadamai 7.399 12.289 6.355 8.601 12.238 7.953 11.420 10.742 7.386 7.491 JUMLAH 91.874 Sumber : Laporan Kinerja Tahunan Kecamatan Dramaga tahun 2009 Jumlah penduduk Kecamatan Dramaga per 31 Desember 2008 sebanyak 91.874 jiwa. Adapun keadaan penduduk di Kecamatan Dramaga berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 17. Persentase terbesar penduduk Kecamatan Dramaga adalah berprofesi sebagai petani/peternak (37,4%), pengusaha/wiraswasta (31,6%), dan buruh (23,5%).

Upload: vuongtu

Post on 13-Jan-2017

243 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

77

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi PenelitianKecamatan Dramaga merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten

Bogor yang diresmikan pada tanggal 12 Februari 1992 berdasarkan Surat

Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 1992 yang posisinya di sebelah selatan

ibukota Kabupaten Bogor (Laporan Kinerja Tahunan Kecamatan Dramaga tahun

2009). Wilayah Kecamatan Dramaga berada pada ketinggian 500 meter di atas

permukaan laut, merupakan kawasan yang berbukit dengan suhu rata-rata 250C

hingga 300C. Jarak ibukota Kecamatan Dramaga dengan ibukota Kabupaten

Bogor sekitar 30 km. Adapun batas administratif Kecamatan Dramaga di sebelah

utara adalah berbatasan dengan Kecamatan Rancabungur, sebelah selatan

berbatasan dengan Kecamatan Kota Bogor Barat, sebelah barat berbatasan

dengan Kecamatan Ciampea dan di sebelah timur berbatasan dengan

Kecamatan Ciomas dan Tamansari.

Secara administratif, Kecamatan Dramaga terbagi dalam sepuluh desa

dengan total penduduk sebanyak 91.874 jiwa. Dari sepuluh desa yang ada di

Kecamatan Dramaga, tiga terbesar jumlah penduduknya adalah Desa Petir,

Desa Ciherang, dan Desa Dramaga (Tabel 16).

Tabel 16 Sebaran desa-desa dan jumlah penduduk di Kecamatan Dramaga

No Nama Desa Jumlah Penduduk1.2.3.4.5.6.7.8.9.10.

SukaweningPetirPurwasariNeglasariCiherangCikarawangDramagaBabakanSinarsariSukadamai

7.39912.289

6.3558.601

12.2387.953

11.42010.742

7.3867.491

JUMLAH 91.874Sumber : Laporan Kinerja Tahunan Kecamatan Dramaga tahun 2009

Jumlah penduduk Kecamatan Dramaga per 31 Desember 2008 sebanyak

91.874 jiwa. Adapun keadaan penduduk di Kecamatan Dramaga berdasarkan

mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 17. Persentase terbesar penduduk

Kecamatan Dramaga adalah berprofesi sebagai petani/peternak (37,4%),

pengusaha/wiraswasta (31,6%), dan buruh (23,5%).

Page 2: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

78

Tabel 17 Sebaran penduduk Kecamatan Dramaga menurut mata pencaharian

No Mata Pencaharian Jumlah (n) Persentase (%)1. Karyawan Swasta 209 1,32. PNS 947 5,83. TNI/POLRI 64 0,44. Pengusaha/Wiraswasta 5.167 31,65. Petani/Peternak 6.113 37,46. Buruh 3.832 23,5

Jumlah 16.332 100,0Sumber : Laporan Kinerja Tahunan Kecamatan Dramaga tahun 2009

Peningkatan kesejahteraan masyarakat sangat tergantung kepada upaya

peningkatan pendidikan masyarakat, peningkatan derajat kesehatan masyarakat,

pengetahuan kesehatan dan kehidupan sosial budaya. Di Kecamatan Dramaga

kesempatan memperoleh pendidikan dapat ditempuh melalui lembaga

pendidikan formal yang ditunjang dengan sarana dan prasarana pendidikan

(Tabel 18).

Tabel 18 Data jumlah sekolah di Kecamatan Dramaga

No Nama sekolah Jumlah sekolah (buah)1.2.3.4.5.6.7.8.

PAUDTaman Kanak-kanakSekolah Dasar NegeriSMP NegeriSMP SwastaSMA NegeriSMA/K SwastaPerguruan Tinggi

10103427131

Sumber : Laporan Kinerja Tahunan Kecamatan Dramaga tahun 2009

Denyut nadi perekonomian di Kecamatan Dramaga didukung oleh sarana

dan prasarana wilayah yang ada. Jaringan transportasi di Kecamatan Dramaga

cukup baik, kondisi jalan relatif baik, sebagian besar telah beraspal dan seluruh

desa yang ada di Kecamatan Dramaga dapat dilalui oleh kendaraan roda empat

sepanjang tahun. Jalan kabupaten 75 km dan jalan desa 35 km, kondisi jalan

aspal 79 km, jalan diperkeras 8 km dan jalan tanah 19 km. Sementara itu,

prasarana perekonomian yang ada adalah empat buah KUD Mandiri, dan jumlah

keseluruhan toko/kios sebanyak 724 buah. Realisasi penyaluran raskin untuk

wilayah Kecamatan Dramaga disajikan pada Tabel 19, Desa Petir menjadi desa

paling banyak Rumahtangga Miskin (RTM) yang mendapat raskin.

Page 3: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

79

Tabel 19 Realisasi penyaluran Raskin di Kecamatan Dramaga tahun 2008

No Desa Rumahtangga Miskin(Keluarga)

1. Ciherang 6682. Sukadamai 7363. Sukawening 8004. Petir 9605. Neglasari 8006. Sinarsari 5857. Purwasari 5108. Dramaga 7369. Babakan 53510. Cikarawang 940

JUMLAH 7.270Sumber : Laporan Kinerja Tahunan Kecamatan Dramaga tahun 2009

Implementasi Program Keluarga Harapandi Kecamatan Damaga

Wawancara secara mendalam dan telaah panduan PKH dilakukan untuk

menggali pelaksanaan program PKH di Kecamatan Dramaga dengan sasaran

pihak sekolah, pihak aparat desa, pendamping dan ketua kelompok PKH. Berikut

diuraikan gambaran implementasi program ini sejak mulai diluncurkan tahun

2007.

Penentuan Sasaran PKHPenentuan keluarga penerima program dilakukan oleh BPS dengan

menggunakan tiga tahapan, yakni keluarga diidentifikasi berdasarkan

serangkaian karakteristik bagi keluarga sangat miskin yang berasal dari survei

rumahtangga dan kondisi yang memenuhi syarat seperti adanya anak atau ibu

hamil. Validasi terhadap calon penerima PKH dilakukan di lapang, daftar

penerima disebarkan oleh UPPKH pusat, serta biasanya dengan berkonsultasi

terlebih dahulu dengan tim teknis PKH pusat dan provinsi serta tim koordinasi

PKH setempat. Informasi tentang rumahtangga penerima PKH dimasukkan ke

dalam master data base sehingga menjadi daftar resmi rumahtangga penerima

PKH. Namun untuk tahap awal (pilot proyek), modifikasi dilakukan dimana data

awal calon penerima PKH diambil dari rumahtangga penerima BLT tahun 2005.

Metode penentuan target yang dilakukan secara langsung ini menimbulkan

persepsi pada pemerintah setempat (kecamatan, kelurahan hingga RT/RW) dan

pihak sekolah bahwa program tidak transparan dan kadang-kadang salah

Page 4: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

80

sasaran. Pihak-pihak ini merasa tidak dilibatkan dan tidak diberikan informasi

oleh pihak pusat.

Verifikasi Kriteria Rumahtangga Miskin. Hasil verifikasi untuk

mengetahui apakah keluarga penerima PKH tepat sasaran menunjukkan dari 14

indikator kemiskinan terdapat empat indikator yang persentasenya di atas 90

persen,yakni pendidikan tertinggi kepala rumahtangga tidak sekolah/tidak tamat

SD/hanya SD (98,0%), hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun

(98,7%), tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal

Rp500 000 (94,7%) dan hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam

seminggu (93,3%) (Lampiran 4).

Kisaran indikator yang dipenuhi oleh keluarga contoh adalah antara 4

sampai 14, dengan rata-rata keluarga memenuhi 10 indikator. Selanjutnya

dengan menggunakan kategori BPS (2005) sebuah keluarga dinyatakan layak

memperoleh dana PKH jika memenuhi minimal 9 kriteria, ternyata sebanyak

sepertiga keluarga contoh tidak layak mendapat dana PKH (Tabel 20). Hal ini

mengindikasikan terjadinya salah sasaran yang menyebabkan sepertiga keluarga

yang seharusnya tidak layak menerima PKH.

Tabel 20 Sebaran kelayakan contoh mendapat dana PKH berdasarkan indikatorverifikasi kriteria rumahtangga miskin BPS (2005) dan persepsi contohtentang ketepatan sasaran PKH

No Verifikasi dan Ketepatan Sasaran Jumlah (n) Persentase (%)

Kelayakan rumahtangga miskin1. Layak 113 75,02. Tidak Layak 38 25,0

Persepsi Ketepatan Sasaran Penerima PKH1. Tidak Tepat 8 5,02. Kurang tepat 11 7,03. Tepat 132 88,0Ket : Layak jika memenuhi > 9 kriteria BPS (2005)

Tidak layak jika hanya memenuhi < 9 kriteria BPS (2005)

Temuan dari penelitian ini jika dibandingkan dengan temuan Puspitawati,

Herawati dan Sarma (2006) dimana sekitar setengah dari jumlah rumahtangga

miskin dinyatakan salah sasaran atau tidak layak mendapatkan dana SLT adalah

lebih rendah. Padahal menurut Rawlings dan Rubio (2003), penetapan target

miskin atau rawan adalah kritis bagi tiap Program CCT. Kebanyakan tergantung

pada geografi dan level rumahtangga target, dengan mekanisme penentuan

Page 5: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

81

target yang digunakan tergantung terutama semata pada jenis data yang

tersedia. Di beberapa negara, eligibility dari beneficiaries ditinjau secara periodik.

Di Mexico dan Jamaica, status kemiskinan rumahtangga dire-evaluasi setiap tiga

tahun untuk menentukan keberlanjutan keluarga dalam program. Di Nicaragua,

RPS dirancang hanya untuk tiga tahun dalam komunitas penerima, setelah itu

transfer tunai dihapus secara bertahap.

Persepsi Ketepatan Sasaran Penerima PKH. Berdasarkan penilaian

tentang ketepatan sasaran penerima PKH, sebagian besar (88,0%) contoh

menyatakan bahwa penerima PKH adalah tepat sasaran (Tabel 20), namun

demikian, masih terdapat 7,3 persen contoh menyatakan kurang tepat dan 4,7

persen bahkan menyatakan tidak tepat. Jika dibandingkan dengan temuan pada

program Subsidi Langsung Tunai yang dilakukan oleh Hastuti et al. (2006)

dilaporkan bahwa dalam penargetan, ditemui adanya kesalahan sasaran

(mistargeting) meskipun dalam tingkat yang relatif rendah. Hal ini terindikasi dari

adanya rumahtangga tidak miskin yang menjadi penerima SLT (leakage) dan

rumahtangga miskin yang belum menjadi penerima (undercoverage).

Beberapa faktor yang diperkirakan melatarbelakangi kesalahan sasaran

adalah: 1) Tidak meratanya kapasitas pencacah dan tidak ditunjang oleh

pelatihan dan bimbingan yang memadai; 2) Cukup tingginya subjektivitas

pencacah; 3) Prosedur penyaringan rumahtangga miskin tidak dilakukan secara

seksama; 4) Pencacah tidak selalu mendatangi rumahtangga yang dicacah; 5)

Terdapat indikasi adanya penjatahan jumlah rumahtangga target sampai di

tingkat RT; 6) Indikator kemiskinan yang digunakan kurang sensitif dalam

menangkap kondisi sosial ekonomi rumahtangga secara utuh; 7) Terdapat pilihan

jawaban yang tidak lengkap; dan 8) Konsep keluarga dan rumahtangga sebagai

unit penerima SLT tidak ditetapkan secara tegas. Jika dilihat kembali penentuan

calon penerima PKH adalah bersumber dari data penerima BLT tahun 2005 yang

dianggap sudah tidak up to date, maka kemungkinan kesalahan yang sama

terjadi pada penetapan sasaran PKH.

Sosialisasi Program PKHPemerintah selayaknya melakukan sosialisasi tentang PKH sehingga baik

penerima maupun masyarakat secara luas memahami konsep program ini dan

perbedaannya dengan program-program lainnya. Sosialisasi merupakan tahapan

penting dalam pelaksanaan program pembangunan yang ditujukan kepada

rakyat banyak, termasuk program penanggulangan kemiskinan. Tanpa

Page 6: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

82

sosialisasi yang baik dan menyeluruh, besar kemungkinan timbul masalah dalam

pelaksanaan program seperti salah sasaran dan kecemburuan sosial yang dapat

memicu ketegangan sosial.

Berbagai permasalahan tentang penargetan dan penyaluran muncul

terkait dengan lemahnya sosialisasi program. Lemahnya sosialisasi terjadi di

semua tahap pelaksanaan mulai dari proses pendataan hingga mekanisme

pengaduan. Sosialisasi kepada masyarakat dapat dikatakan tidak dilakukan. Hal

ini diindikasikan oleh kenyataan bahwa keluarga penerima PKH tidak mengetahui

persyaratan yang harus dipenuhi oleh penerima PKH. Hal ini menjadi indikasi

masih kurangnya sosialisasi mengenai PKH yang dilakukan oleh pendamping.

Program sosialisasi seharusnya dilakukan bekerjasama dengan

pemerintah setempat (pihak desa) untuk pendataan. Kurangnya sosialisasi

tentang PKH dirasakan sekali oleh para contoh yang diwawancarai. Salah satu

jawaban contoh ketika ditanyakan apakah contoh mengetahui apa PKH itu dan

mengapa mendapat PKH adalah sebagai berikut :

”Apa ya PKH? Saya tidak tahu PKH, maklum neng, saya tidaksekolah”.

”Mungkin saya orang yang tidak mampu, tidak punya, sudah terpilih,bekerja sebagai buruh”.

Permasalahan kurangnya sosialisasi juga ditemukan pada program

bantuan langsung tunai sebagaimana dinyatakan oleh Hastuti et al. (2006)

Problem lemahnya sosialisasi Program SLT terjadi hampir di semua daerah dan

pada semua tahapan pelaksanaan, yaitu mulai dari proses pendataan, pencairan

dana, hingga mekanisme pengaduan. Baik jajaran pemerintah daerah maupun

masyarakat luas mengaku tidak memperoleh informasi yang memadai tentang

Program SLT. Bahkan sosialisasi kepada masyarakat bisa dikatakan tidak

dilakukan. Sosialisasi hanya diberikan kepada rumahtangga penerima saat

pembagian kartu PKH, itupun terbatas tentang tempat dan waktu pengambilan

dana.

Distribusi Dana PKHHasil penilaian contoh penerima PKH tentang distribusi PKH di

Kecamatan Dramaga menunjukkan bahwa sebagian besar (90,0%) penilaian

contoh terhadap distribusi dana PKH melalui kantor pos adalah baik (Tabel 21).

Sisanya menyatakan distribusi PKH masih kurang (8,0%) dan buruk (2,0%).

Selanjutnya hasil wawancara dengan contoh terkait dengan adanya konflik

Page 7: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

83

dengan adanya, ternyata sekitar 43 persen contoh menyatakan adanya masalah

atau konflik antar warga. Berdasarkan hasil wawancara dengan contoh berbagai

masalah yang timbul terkait dengan pendistribusian PKH adalah ada yang demo

pada awal PKH berjalan karena ada yang merasa layak dapat tapi tidak diberi

PKH, kecemburuan dari tetangga yang tidak mendapat PKH, ada yang merasa

seharusnya mendapat bantuan tapi tidak dapat, banyak orang yang belum

mengetahui tentang PKH, demonstrasi masyarakat ke kampus/kantor pos,

disindir oleh warga lain, harus membagi ke warga, dan tetangga merasa

distribusi tidak merata.

Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan penilaian distribusi dan konflik alirandana PKH

No Penilaian distribusi dan konflik dana PKH Jumlah (n) Persentase (%)Penilaian distribusi dana PKH melalui kantor pos (n=150)

1. Baik 135 90,02. Kurang 12 8,03. Buruk 3 2,0

Masalah/konflik antar warga dengan adanya PKH (n=150)1. Ada 65 43,32. Tidak Ada 83 55,33. Tidak Tahu 2 1,3

Hasil wawancara mendalam dengan aparat desa, ternyata sama sekali

tidak ada koordinasi antara pihak pendamping ataupun ketua kelompok PKH

mengenai penerima maupun hal-hal yang terkait dengan PKH, termasuk dalam

penentuan sasaran. Aparat desa merasa meskipun tidak dilibatkan, sebagai

penguasa setempat seharusnya ada koordinasi antara pendamping dengan

pihak desa. Seperti yang dialami di Desa Sukadamai, masyarakat melakukan

demonstrasi kepada pihak desa karena tidak mendapat dana PKH, namun

seharusnya layak mendapat dana PKH. Pihak desa menyatakan ketika terjadi

kericuhan di masyarakat, maka yang menjadi sasaran adalah pihak desa. Daftar

nama penerima PKH juga tidak ditemukan di kantor kepala desa maupun kantor

camat. Pemantauan tidak dapat dilakukan, karena ketua kelompok langsung

berkonsolidasi dengan pendamping kecamatan.

Koordinasi dilakukan secara langsung dari pendamping dengan ketua-

ketua kelompok tanpa melakukan koordinasi dengan kepala desa maupun ketua

RT/RW sehingga pemerintah desa merasa dilangkahi di wilayah kekuasaannya.

Padahal banyak anggota masyarakat yang tidak menerima PKH menuntut

Page 8: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

84

kepada pihak desa yang tidak mengetahui tentang PKH. Berdasarkan hasil

wawancara dengan kepala desa dan kepala sekolah di beberapa SD, harus ada

koordinasi dengan pemerintah maupun pihak sekolah ketika menentukan

sasaran dan dalam pelaksanaan PKH. Pihak sekolah mengeluhkan prestasi anak

penerima PKH yang rendah dan seringkali bolos. Selain itu, pendamping PKH

juga jarang sekali melakukan koordinasi dengan pihak sekolah.

Berdasarkan hasil wawancara diatas, terlihat pemerintah pusat tidak

belajar dari program pemberdayaan sebelumnya, yakni Subsidi Langsung Tunai

(SLT) yang secara kelembagaan dinilai lemah koordinasi dan komunikasi dalam

pelaksanaan SLT merupakan masalah utama yang dihadapi aparat di tingkat

kabupaten/kota (Hastuti et al. 2006). Pemerintah daerah merasa tidak dilibatkan

secara resmi dalam Program SLT sejak awal. Kegiatan pendataan rumahtangga/

keluarga miskin oleh BPS, menurut banyak pejabat di daerah, dilakukan tanpa

koordinasi dengan pemda. Hal ini diduga karena petugas BPS menganggap

pendataan ini sebagai kegiatan rutin saja. Proses tersebut menimbulkan kesan di

daerah bahwa program SLT bersifat sentralistik dan dilaksanakan oleh institusi

yang juga sentralistik (BPS dan PT. Pos Indonesia). Di satu pihak, pemda

mendukung usaha pemerintah pusat melakukan penanggulangan kemiskinan

didaerahnya. Di pihak lain, pemda mempertanyakan komitmen pemerintah pusat

atas pelaksanaan politik desentralisasi dan otonomi daerah. Pengorganisasian

pendataan dan penetapan rumahtangga/keluarga miskin oleh BPS sebagai

instansi pusat yang cenderung bersifat tertutup menambah kentalnya nuansa

sentralistik dalam pengelolaan Program SLT.

Di lain pihak, birokrasi yang relatif sederhana dari program PKH yang

diadopsi dari program SLT yang diserahkan kepada BPS dan kantor pos

cenderung lebih disenangi oleh masyarakat yang membuat program ini lebih

efisien. Penyaluran dana kepada rumahtangga penerima dilakukan oleh kantor

pos. Penunjukan kantor pos sebagai pelaksana pencairan dana PKH dinilai tepat

oleh banyak pihak. Kantor pos telah berpengalaman dalam melayani transfer

dana masyarakat. Selain itu, jumlah cabang kantor pos relatif banyak dan

tersebar hingga ke tingkat kecamatan. Kemungkinan terjadinya kebocoran dana

juga relatif kecil karena masyarakat secara langsung mengambilnya dan kantor

pos dinilai relatif bersih dari kasus penyelewengan. Beberapa kendala yang

ditemukan dalam penyaluran dana PKH adalah: 1) Minimnya jumlah petugas di

setiap kantor pos, 2) Penerima yang tinggal jauh harus mengeluarkan biaya

Page 9: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

85

transpor yang cukup memberatkan, 3) Kecenderungan penerima mengambil

dana pada hari pertama pencairan menyebabkan antrean panjang, dan 4) Tidak

jelasnya dana operasional menjadi alasan tidak dilakukannya pelayanan keliling

atau penyediaan pos pelayanan tambahan di beberapa daerah.

Timbulnya konflik di tengah-tengah masyarakat sebenarnya selalu

menyertai program pengentasan kemiskinan, salah satu contohnya adalah pada

Program Subsidi Langsung Tunai. Hasil kajian Hastuti et al. (2006) menyatakan

adanya mistargetting yang diperparah dengan sosialisasi yang tidak memadai,

khususnya tentang kriteria target dan tujuan program, telah memicu munculnya

ketidakpuasan masyarakat. Ketidakpuasan masyarakat diungkapkan dalam

berbagai bentuk, mulai dari keluhan, protes atau demonstrasi, melakukan

ancaman, hingga pengrusakan. Pengaduan yang berbentuk aksi protes dan

ancaman biasanya ditangani oleh kepala desa/lurah dibantu oleh aparat

keamanan/kepolisian. Di beberapa daerah aparat pemda kabupaten/kota dan

kecamatan serta BPS juga ikut turun tangan. Aksi protes dan ancaman dapat

diredam dengan: 1) Dibukanya pendaftaran susulan bagi masyarakat yang

merasa berhak; 2) Adanya kesediaan penerima SLT untuk membagi sebagian

dana kepada rumahtangga miskin lainnya; dan 3) Ada pejabat yang menjanjikan

bahwa pendaftar susulan akan menerima SLT pada tahap berikutnya. Sementara

itu, hasil studi Hall (2006) menunjukkan beberapa kendala yang dialami oleh

CCT Bolsa Famı´lia di Brazil adalah rendahnya ketepatan sasaran penerima,

rendahnya koordinasi antar kementerian, monitoring yang tidak memadai,

clientelism, akuntabilitas yang lemah dan dugaan bias politik.

Pihak sekolah merasa tidak dilibatkan dalam menentukan anak yang

mendapat dana PKH. Terdapat beberapa nama yang pada saat sekolah

didatangi oleh pihak kantor pos tidak dikenali karena nama anak adalah nama

panggilan yang tidak dikenal disekolah. Terdapat pula anak yang sudah drop out

namun namanya masih dinyatakan sekolah di SD tersebut. Dalam penelitian ini

untuk memperoleh data prestasi dan absensi siswa ditemukan kendala dalam

mencocokkan nama anak dengan nama anak di sekolah. Secara umum, para

guru mengeluhkan anak yang mendapat PKH seringkali absen dan ada yang

tinggal kelas. Bahkan ada anak yang sebenarnya tinggal kelas atau sudah DO

namun dinyatakan oleh orangtua masih sekolah. Para guru di sekolah

menyatakan kemungkinan peruntukan yang salah dari dana PKH yang diterima

Page 10: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

86

bukan untuk kebutuhan sekolah anak. Ada beberapa anak yang bersekolah

bukan tinggal dengan orangtua kandung tetapi dengan nenek atau di kota lain.

Alasan Mendapat Dana PKHAlasan keluarga mendapat dana PKH bukan hanya karena adanya anak

usia sekolah saja, namun keberadaan balita, ibu menyusui, ibu hamil ataupun

anak usia SMP/MTs. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya perbedaan jumlah

dana PKH yang diterima oleh setiap keluarga contoh. Berdasarkan data

penelitian, diperoleh pemetaan alasan keluarga mendapat dana PKH, yakni satu

alasan (ada anak usia SMP/MTs) 56 persen, kombinasi dua alasan sebanyak

30,7 persen dan kombinasi tiga alasan sebanyak 13,4 persen (Tabel 22).

Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan alasan keluarga mendapat PKH(jawaban dapat lebih dari satu)

No Alasan Mendapat PKH (n=150) Jumlah (n) Persentase (%)A* B* C* D* E*1. V 84 56,02. V V 33 22,03. V V 4 2,74. V V 9 6,05. V V V 8 5,36. V V V 1 0,77. V V V 10 6,78. V V V V 1 0,7

Keterangan :*A. Ada Anak Balita; B. Ada Ibu Menyusui; C. Ada Ibu Hamil; D. Ada anak usia SD/MI dan E. Adaanak usia SMP/MTs

Besaran dana PKH uang diterima keluarga yang memiliki anak usia

sekolah akan bervariasi tergantung pada tingkat pendidikan anak dan jumlah

anak yang bersekolah pada tingkat tersebut. Hasil penelitian juga menunjukkan

bahwa jumlah anak penerima dana PKH dalam keluarga berkisar antara satu

hingga tiga orang. Persentase keluarga dengan satu anak sebagai penerima

dana PKH adalah 48 persen, dua anak 40,7 persen dan sisanya dengan tiga

anak, yakni 11,3 persen.

Besar Dana PKH yang DiterimaSejak PKH mulai diluncurkan di Kecamatan Dramaga, keluarga penerima

telah memperoleh pencairan dana sebanyak enam kali. Pengambilan dana PKH

telah dilakukan pada tanggal 7 Maret 2008 (Tahap I), 17 Maret 2008 (Tahap II),

Page 11: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

87

18 Juni 2008 (Tahap III), 25 November 2008 (Tahap IV), 19 Desember 2008

(Tahap V), dan 10 April 2009 (Tahap VI). Pembayaran bantuan dilakukan oleh

PT. POS setiap tiga bulan (triwulan) pada tanggal yang ditentukan oleh masing-

masing kantor pos untuk masing-masing desa/kelurahan. Setiap ibu membawa

Kartu PKH yang tercantum nama ibu/wanita yang mengurus anak. Dalam

kenyataannya keterlambatan pencairan dana seringkali terjadi, seperti pencairan

tahap pertama seharusnya dilakukan pada bulan Desember 2007 diundur hingga

awal Maret 2008. Dari enam kali pencairan dana PKH, rata-rata jumlah yang

diterima oleh keluarga bervariasi dengan rata-rata jumlah terbesar dana PKH

adalah pada pengambilan kedua (Rp1 094 406,7), sedangkan rata-rata penca-

iran dana terendah adalah pada tahap keenam (Rp491 086,7) (Tabel 23). Rata-

rata lama waktu bagi keluarga contoh penerima PKH untuk menghabiskan dana

PKH yang diterima adalah sekitar dua minggu. Bahkan berdasarkan pernyataan

contoh dana yang diperoleh dapat habis dalam waktu satu hari, yang biasanya

digunakan untuk membayar hutang. Dana PKH dihabiskan oleh keluarga contoh

dengan kisaran waktu antara 1 hari hingga 60 atau 90 hari.

Tabel 23 Rata-rata besar dana PKH yang diterima oleh keluarga contoh danlama habis berdasarkan tahapan pencairan

Tahapan Tanggal Pencairan Rata-Rata±SD (n=150) Rata-rata lamahabis dana PKH (hari)

I 07 Maret 2008 492 086,7±186 943,9 12,7II 17 Maret 2008 1 094 406,7±424 663,4 14,7III 18 Juni 2008 512 253,3±169 862,9 12,9IV 25 November 2008 497 940,0± 166 561,7 12,8V 19 Desember 2008 495 706,7± 170 979,7 13,0VI 10 April 2009 491 086,7± 174 011,4 13,5

Rata-rata 597 247,7±185 699,1 13,3

Rata-rata dana yang diterima contoh selama enam kali pencairan adalah

Rp597 247,7. Penerimaan terendah dana PKH oleh keluarga contoh adalah

Rp60 000 yakni pada pencairan kelima dan keenam. Jumlah dana PKH tertinggi

yang diterima oleh keluarga contoh adalah sebesar Rp1 867 000 yakni pada

pencairan kedua. Secara total, dari enam kali pengambilan dana PKH, dana

yang telah diserap oleh keluarga penerima PKH, rata-rata adalah Rp3 583 480

dengan nilai terendah adalah Rp1 200 000 dan nilai tertinggi adalah Rp6 020

000. Berdasarkan panduan PKH, rata-rata bantuan per RTSM adalah Rp1 390

000 dengan besar bantuan minimum per RTSM sebesar Rp600 000 dan bantuan

Page 12: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

88

maksimum per RTSM adalah Rp2 200 000. Selanjutnya diketahui bahwa sekitar

30 keluarga memperoleh dana maksimum dan sekitar 12 keluarga memperoleh

dana minimum.

Penerimaan dana PKH hampir semua dilakukan oleh ibu, hanya 1,4

persen dilakukan oleh nenek. Hal ini ditujukan agar pemenuhan syarat PKH

efektif, sehingga bantuan harus diterima oleh ibu atau wanita dewasa yang

mengurus anak pada rumahtangga yang bersangkutan (dapat nenek, tante/bibi,

atau kakak perempuan). Pada kartu kepesertaan PKH akan tercantum nama

ibu/wanita yang mengurus anak, bukan kepala rumahtangga. Pengecualian dari

ketentuan di atas dapat dilakukan pada kondisi tertentu dengan mengisi formulir

pengecualian di UPPKH kecamatan yang harus diverifikasi oleh ketua RT

setempat dan pendamping PKH.

Pertimbangan ibu atau wanita dewasa menjadi penerima bantuan adalah

karena umumnya ibu bertanggungjawab atas kesehatan, nutrisi dan pendidikan

anak-anaknya. Banyak temuan penelitian yang menunjukkan bahwa ibu adalah

pihak yang sangat peduli terhadap keluarganya dibandingkan ayah. Misalnya,

suatu studi di Republic of Guinea, menunjukkan bahwa insiden kemiskinan

konsumsi di keluarga dengan kepala keluarga perempuan justru lebih kecil

dibandingkan insiden kemiskinan di keluarga dengan kepala keluarga laki-laki

(Cagatay, "Gender" 10-11 dalam Smeru News 2005). Gejala yang sama juga

terlihat dari data kemiskinan konsumsi di Indonesia, di mana angka kemiskinan di

rumahtangga dengan kepala keluarga perempuan lebih kecil dibanding

rumahtangga dengan kepala keluarga laki-laki.

Contoh selanjutnya adalah hasil studi Suryahadi dan Sumarto (2001),

tingkat kemiskinan rumahtangga yang dikepalai laki-laki (27,6%) sedikit lebih

tinggi daripada yang dikepalai perempuan (25,8%). Hasil studi Widyanti et al.

(2009) juga melaporkan komposisi rumahtangga ibu tunggal tanpa anak

mempunyai peluang terendah mengalami kemiskinan kronis atau kerawanan,

sedangkan keluarga dengan ayah tunggal dengan atau tanpa anak memiliki

peluang terbesar mengalami kerawanan.

Dari enam kali pengambilan dana PKH yang telah dilakukan, berdasarkan

pengakuan contoh terlihat kecenderungan persentase yang semakin meningkat

dari contoh yang menyatakan ada bagian yang diserahkan kepada suami (Tabel

24). Persentase contoh yang memberikan sebagian dana PKH kepada suami

meningkat dari 18 persen pada pengambilan pertama hingga 51,3 persen pada

Page 13: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

89

pengambilan keenam dengan rata-rata keseluruhan tahapan adalah 43,7 persen.

Persentase bagian dana yang diserahkan kepada suami berkisar antara 2,6

hingga 4,7 persen, dengan rata-rata 4,0 persen. Umumnya contoh menyatakan

penggunaan dana PKH yang diserahkan kepada suami adalah untuk membeli

rokok dengan rata-rata bagian dana yang diberikan adalah Rp22 368,33.

Tabel 24 Rata-rata dan persentase bagian dana PKH yang diserahkan kepadasuami

TahapanPersentase yang

menyerahkan sebagian danakepada suami (%)

Persentase danayang diterima

suami (%)

Rata-rata jumlah yangdiserahkan kepada

suami (Rp)I 18,0 4,2 20 660,0II 32,7 2,6 28 143,3III 42,7 4,7 23 960,0IV 56,0 4,4 21 793,3V 61,3 4,1 20 326,7VI 51,3 3,9 19 326,7

Rata-Rata 43,7 4,0 22 368,33

Tabungan Dana PKHBiasanya individu dan keluarga berpendapatan rendah mempunyai

orientasi untuk masa sekarang saja daripada orientasi untuk masa depannya

dalam perspektif waktu. Hal ini tentunya tergantung dari situasi yang ada

(Guhardja et al. 1992). Menabung termasuk ke dalam strategi penghematan

dimasa kini, tetapi juga merupakan strategi penambahan di masa yang akan

datang, dimana keluarga menginvestasikan keuangannya untuk masa yang akan

datang. Menabung merupakan aktifitas manajerial yang mengakibatkan

ketersediaan sumberdaya keluarga bertambah.

Data yang disajikan pada Tabel 25 menunjukkan bahwa kurang dari

sepertiga contoh menyisihkan sebagian dari dana yang diterima untuk ditabung.

Rata-rata jumlah yang ditabung berbeda-beda antara tahapan pencairan dengan

rata-rata terkecil adalah Rp19 395,5 (pengambilan tahap I) hingga Rp57 499,6

(pengambilan tahap II), dengan rata-rata keseluruhan Rp28 721,30. Jumlah yang

ditabung berkisar dari nol hingga Rp500 000. Jika dibandingkan dengan rata-rata

jumlah dana PKH yang diterima keluarga contoh, maka persentase yang

ditabung adalah antara 3,9 hingga 5,3 persen atau rata-rata keseluruhan 4,7

persen. Tabungan dikelola oleh ketua kelompok, dimana pengambilan tabungan

dapat dilakukan kapan saja.

Page 14: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

90

Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan rata-rata dan persentase bagian danaPKH yang ditabung

TahapanPersentase yang

menabungdana PKH (%)

Rata-rata jumlahyang ditabung

(Rp)

Persentase danayang ditabung

(%)

Kisaranmin-max

(Rp)I 28,0 20 787,8 4,2 0-150 000,0II 28,0 57 499,6 5,3 0-500 000,0III 30,0 26 795,7 5,2 0-100 000,0IV 24,0 25 837,0 5,2 0-100 000,0V 24,0 22 012,2 4,4 0-110 000,0VI 24,7 19 395,5 3,9 0-100 000,0

Rata-Rata 26,5 28 721,30 4,7 0-500 000,0

Sebanyak 42,7 persen contoh menyatakan menabung secara rutin pada

kelompok PKH dan dengan persentase yang sama menyatakan kadang-kadang

saja menabung. Terdapat 9,3 persen yang menyatakan tidak pernah menabung

dengan alasan uang yang diterima sudah ada peruntukannya. Dari 128 contoh

yang menabung, sebanyak 97,7 persen langsung menyetorkan tabungannya

kepada ketua kelompok segera saat mendapat dana PKH, sementara sisanya

menyetorkan sebagian dari dana yang diterima 1 atau dua hari sesudahnya

ataupun 2 atau 3 minggu sesudahnya. Rata-rata besar tabungan contoh adalah

Rp81 366,67 dengan persentase terbanyak (49,2%) berada pada kisaran antara

Rp50 000 hingga Rp100 000 (Tabel 26).

Tabel 26 Sebaran dan statistik kegiatan menabung contoh dalam kegiatanmenabung di kelompok PKH

No Kegiatan Menabung pada Kelompok PKH Jumlah (n) Persentase (%)Keterlibatan Ibu (n=150)

1. Kadang-Kadang 64 42,72. Selalu 64 42,73. Tidak Pernah 14 9,34. Tidak Ada Kegiatan Menabung 8 5,3

Waktu penyetoran (n=128)1. Langsung, setelah menerima dana PKH 125 97,72. Tidak langsung 3 2,3

Besar tabungan PKH (n=128)1. < Rp50 000 30 23,42. Rp50 000-Rp100 000 63 49,23. > Rp100 000 35 27,3

Rata-rata ± SD (Rp) 81 366,67 ± 75 471,44Kisaran (min-max) 0 – 410 000

Page 15: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

91

Manfaat PKHLebih dari setengah contoh menyatakan besar uang PKH yang diterima

sudah memadai (Tabel 27). Sisanya (40,7%) contoh menyatakan uang PKH

masih kurang. Hal ini tercermin dari pernyataan salah satu contoh :

“Saya merasa senang karena mendapatkan uang PKH, tapiuangnya masih kurang”

Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan manfaat uang PKH yang diterimakeluarga

No Manfaat Dana PKH Jumlah (n) Persentase (%)Uang yang diterima memadai (n=150)

1. Ya 89 59,32. Tidak 61 40,7

Keluarga merasakan manfaat PKH (n=150)1. Ya 147 98,02. Tidak 3 2,0

PKH dapat mengurangi angka kemiskinan di Indonesia (n=150)1. Ya 112 74,72. Tidak 16 10,73. Tidak Tahu 22 14,7

Sebagian besar (98,0%) contoh menyatakan merasakan manfaat PKH.

Sekitar 75 persen contoh menyatakan PKH akan dapat mengurangi angka

kemiskinan di Indonesia. Berbagai penelitian tentang dampak Cash Conditional

Transfer di berbagai negara juga telah membuktikan bahwa program ini mampu

mengurangi angka kemiskinan (Rawlings & Rubio 2003).

Dari 15 pertanyaan terkait dengan kondisi keluarga saat mendapatkan

dana PKH, beberapa item mengalami kenaikan, yakni kualitas pendidikan anak

(83,3%), jumlah tabungan keluarga (76,7%), pendapatan total keluarga (76,0%)

(Tabel 28). Sementara itu, lebih dari 75 persen contoh menyatakan jumlah

penguasaan aset (jual, gadai), modal untuk usaha, kemampuan memberikan

pinjaman untuk kerabat, kualitas pekerjaan, kualitas hubungan dalam keluarga,

hubungan sosial dengan tetangga, konflik/pertengkaran dalam keluarga, dan

kekerasan dalam rumahtangga tidak mengalami perubahan saat keluarga

mendapatkan dana PKH. Manfaat yang tinggi dirasakan oleh keluarga contoh

saat mendapat dana PKH diantaranya adalah dapat membeli peralatan sekolah

anak, dapat membayar sekolah anak, serta memberikan kebahagiaan dan

motivasi hidup. Selanjutnya berdasarkan pengakuan contoh, manfaat dana PKH

Page 16: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

92

untuk menjadi modal usaha, membantu keuangan kerabat lain, menurunkan

konflik keluarga dan untuk membayar hutang kurang atau tidak memberi

kontribusi besar.

Tabel 28 Sebaran manfaat yang dirasakan keluarga saat mendapat dana PKHdibandingkan dengan pra-PKH

No Kondisi KeluargaKondisi keluarga saat-PKH

(n=150)Turun Tetap Naik

1. Pendapatan total keluarga 2,7 21,3 76,02. Pengeluaran pangan keluarga 0,7 50,0 49,33. Pengeluaran non pangan keluarga 1,3 42,0 56,74. Jumlah penguasaan aset (jual, gadai) 2,7 86,7 10,75. Modal untuk usaha 1,3 84,7 14,06. Jumlah makanan keluarga 1,3 44,7 54,07. Jumlah tabungan keluarga 1,3 22,0 76,78. Kemampuan memberikan pinjaman untuk

kerabat 4,0 75,3 20,79. Kualitas pendidikan anak 2,7 14,0 83,310. Kualitas kesehatan keluarga 5,3 55,3 39,311. Kualitas pekerjaan 2,7 90,7 6,712. Kualitas hubungan dalam keluarga 3,3 81,3 15,313. Hubungan sosial dengan tetangga 1,3 92,7 6,014. Konflik/pertengkaran dalam keluarga 16,7 82,7 0,715. Kekerasan dalam rumahtangga 3,3 96,0 0,7

Manfaat yang dirasakan keluarga saat mendapat dana PKH terlihat pada

kategori skor yang sebagian besar (81%) termasuk dalam kategori cukup

bermanfaat dengan rata-rata skor sebesar 66,55 (Tabel 29). Hal ini disebabkan

sebagian besar item manfaat yang dirasakan keluarga adalah termasuk tetap

atau tidak mengalami perubahan saat keluarga mendapat dana PKH.

Tabel 29 Sebaran dan statistik manfaat dana PKH

No Kategori manfaat PKH Jumlah (n) Persentase (%)1. Kurang Bermanfaat (skor < 60) 26 17,32. Cukup Bermanfaat (skor 60 - 80) 121 80,73. Bermanfaat (skor > 80) 3 2,0

Total 150 100,0Rata-Rata±SD 66,55±8,71Kisaran (min-max) 43,30-93,30

Page 17: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

93

Hasil wawancara mendalam dengan beberapa orang contoh terungkap

bahwa dana PKH yang diterima sangat membantu biaya pendidikan anak-anak

keluarga penerima. Dana yang diterima bukan hanya dialokasikan untuk dana

pendidikan semua anak yang sedang menempuh pendidikan saja, namun juga

dialokasikan untuk kebutuhan sehari-hari. Berikut adalah pernyataan salah satu

contoh yang diwawancarai secara mendalam terkait dengan perubahan yang

dirasakan setelah mendapat dana PKH:

“Tadinya kakaknya tidak dapat melanjutkan sekolah, sekarang adik-adiknya bisa melanjutkan sekolah”.

Harapan masyarakat terhadap keberlangsungan PKH adalah lebih

banyak keluarga yang mendapatkan PKH dan dana yang diterima juga lebih

banyak serta dapat berlanjut sampai anak SMA. Berikut adalah pernyataan salah

satu contoh terkait dengan mencukupi tidaknya dana PKH yang diterima :

“Sudah dibilang cukup, ya cukup; dibilang kurang, ya kurang”.

Peran Pendamping PKHDi dalam panduan PKH dinyatakan bahwa ketua kelompok berfungsi

sebagai perantara pendamping dan ibu yang menjadi peserta PKH, sehingga

informasi yang ada di tingkat penerima manfaat dapat diterima oleh pendamping

(ataupun sebaliknya) dan ditindaklanjuti dengan segera. Secara rutin sebulan

sekali ketua kelompok ini akan berkumpul dan berdiskusi bersama dengan

pendamping mengenai pelaksanaan program, kendala dan masukan yang

diperoleh dari lapangan maupun penyuluhan yang berkaitan dengan kegiatan

PKH.

Terkait dengan peran pendamping PKH, ternyata hanya 26,7 persen

contoh yang menyatakan pernah dikunjungi oleh pendamping PKH. Berkaitan

dengan 40 orang yang menyatakan pernah dikunjungi oleh pendamping PKH,

persentase terbesar adalah dikunjungi satu kali. Sebagian besar (93,3%) contoh

mengetahui dana PKH akan turun adalah dari informasi ketua kelompok, sisanya

mendapat informasi dari tetangga, pendamping dan ketua RT (Tabel 30).

Kendala yang dihadapi oleh pendamping adalah cakupan keluarga yang terlalu

banyak. Kendala lainnya adalah penerima PKH yang antara satu dengan yang

lainnya tinggal berjauhan. Upaya ke depan yang dapat dilakukan adalah jumlah

cakupan keluarga mempertimbangkan faktor geografis serta menambah jumlah

dan peran pendamping untuk pemberdayaan keluarga dan masyarakat. Jika

Page 18: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

94

hanya peran ketua kelompok yang dikedepankan, dikhawatirkan banyak terjadi

bias, apalagi ketua kelompok juga berasal dari keluarga penerima PKH.

Tabel 30 Sebaran contoh berdasarkan kunjungan pendamping PKH dan sumberinformasi turunnya dana PKH

No Kunjungan Pendamping Jumlah (n) Persentase (%)Kunjungan Pendamping PKH (n=150)

1. Pernah 40 26,72. Tidak Pernah 110 73,3

Frekuensi kunjungan (kali) (n=150)1. 0 110 73,32. 1-3 35 23,33. 4-10 5 3,4

Sumber informasi dana PKH akan turun (n=150)1. Ketua Kelompok 140 93,32. Tetangga 3 2,03. Pendamping 7 4,7

Kegiatan Kelompok PKHKelompok PKH sebagai wadah bagi ibu-ibu penerima PKH

beranggotakan sekitar 6 hingga 26 orang. Sebanyak 56 persen contoh

menyatakan kelompok PKH-nya mempunyai kegiatan seperti arisan, usaha

tanaman hias, kegiatan insidentil (menjenguk orang sakit atau menghadiri

undangan) ataupun rapat (Tabel 31).

Tabel 31 Sebaran contoh berdasarkan kegiatan kelompok PKH

No Kegiatan kelompok PKH Jumlah (n) Persentase (%)Ada kegiatan kelompok PKH (n=150)

1. Ada 84 56,02. Tidak Ada 64 42,73. Tidak Tahu 2 1,3

Keterlibatan dalam kegiatan kelompok PKH (n=84)1. Kadang-Kadang 9 10,72. Selalu 72 85,73. Tidak Pernah 3 3,6

Keaktifan dalam arisan PKH (n=71)1. Kadang-Kadang 4 5,62. Selalu 61 85,93. Tidak Pernah 6 8,5

Page 19: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

95

Pada Tabel 31 terdapat 42,7 persen contoh menyatakan tidak ada

kegiatan yang dilakukan oleh kelompok PKH tempat contoh bernaung.

Keterlibatan dari 84 ibu yang menyatakan ada kegiatan kelompok PKH,

menunjukkan sebanyak 85,7 persen ibu selalu ikut aktif dalam setiap kegiatan

kelompok. Salah satu kegiatan yang paling sering dilaksanakan oleh kelompok

PKH adalah arisan, dimana sebagian besar ibu menyatakan selalu mengikuti

kegiatan arisan tersebut.

Karakteristik Demografi KeluargaBesar dan Struktur Keluarga

Besar keluarga contoh dalam penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi

tiga seperti yang disajikan pada Tabel 32. Mengacu pada penetapan BKKBN,

yang disebut keluarga kecil adalah yang memiliki anggota keluarga kurang dari

dan sama dengan 4 orang, lainnya disebut keluarga sedang (5-6 orang), dan

keluarga besar (>6 orang). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 22,0 persen

termasuk keluarga kecil, 58,0 persen termasuk keluarga sedang dan 20,0 persen

termasuk keluarga besar.

Tabel 32 Sebaran dan statistik besar dan struktur keluarga

No Kategori Besar dan Struktur Keluarga Jumlah (n) Persentase (%)Kategori Besar Keluarga (n=150)

1. ≤ 4 orang 33 22,02. 5-7 orang 87 58,03. > 7 orang 30 20,0

Rata-Rata±SD 6,03±1,87Kisaran (min-max) 3-13Struktur Keluarga (n=150)

1. Keluarga Inti 126 84,02. Keluarga Luas 24 16,0

Jika dikaitkan dengan hasil studi Widyanti et al. (2009) ada indikasi bahwa

semakin besar keluarga, maka semakin besar peluang keluarga mengalami

kemiskinan kronis. Tidak dapat dipungkiri bahwa beban keluarga yang semakin

besar mengharuskan keluarga memiliki sumberdaya yang semakin besar pula,

padahal dalam keluarga penerima PKH yang terkategori miskin sumberdaya

tersebut sangat minim. Jika dilihat berdasarkan struktur keluarga, maka sebagian

besar (84,0%) keluarga contoh termasuk ke dalam keluarga inti, artinya keluarga

terdiri dari ayah, ibu dan anak. Sisanya adalah keluarga luas dimana didalam

Page 20: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

96

keluarga contoh tinggal pula nenek, keponakan atau kerabat keluarga luas

lainnya.

Usia Ayah dan IbuSecara keseluruhan usia ayah dan ibu pada penelitian ini paling banyak

terdapat pada kisaran antara 30 sampai 49 tahun yang bila didasarkan pada

kelompok usia produktif, yaitu mulai usia 15 tahun sampai dengan usia 64 tahun,

maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar contoh berada pada kelompok usia

produktif (Tabel 33). Rata-rata usia ayah adalah 44,59 tahun, sedangkan usia ibu

rata-rata 38,41 tahun dengan perbedaan yang nyata (p=0,000) antara keduanya.

Kategori usia tersebut masih termasuk produktif sehingga potensi untuk

melakukan aktivitas ekonomi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan

keluarga masih relatif tinggi.

Tabel 33 Sebaran dan statistik usia ayah dan ibu

No Kategori Usia Ayah (n=133)1 Ibu (n=149)2

n % n %1. < 25 tahun 1 0,8 1 0,72. 25-29 tahun 3 2,3 15 10,13. 30-39 tahun 47 35,3 71 47,74. 40-49 tahun 46 34,6 43 28,95. 50-59 tahun 23 17,3 19 12,86. >60 tahun 13 9,8 0 0,0

Rata-Rata ± SD 44,59± 10,21 38,41 ± 8,11Kisaran (min-max) 24-85 18 – 58Uji Beda Berpasangan (sig) 0,000**

Ket : 1Meninggal/Pisah sebanyak 17 orang (ayah); 2 ibu pisah sebanyak 1 orang** Nyata pada p<0,01

Berdasarkan sebaran usia, dapat digambarkan bahwa sebagian besar

keluarga contoh adalah keluarga dengan anak usia sekolah yang sedang tumbuh

dan berkembang, dalam artian bahwa kebutuhan keluarga pada saat ini cukup

besar dan keluarga-keluarga ini memerlukan pengelolaan sumberdaya keluarga

yang tepat untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang semakin bertambah. Hal

ini cukup didukung oleh usia suami yang sebagian besar sudah mencapai usia

yang matang berkaitan dengan pengalaman hidup maupun di bidang pekerjaan.

Begitu pula dengan sebaran usia istri yang cukup mendukung untuk melakukan

kegiatan produktif karena pada dasarnya usia produktif bagi seorang perempuan

berada pada usia 25-55 tahun. Semakin bertambah usia perempuan semakin

Page 21: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

97

berkurang jumlah tenaga yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan produktif

sesuai dengan semakin lemahnya kondisi fisik.

Karakteristik Sosial KeluargaTingkat Pendidikan Ayah dan Ibu

Tingkat pendidikan ayah dan ibu baik secara formal maupun non formal

akan berpengaruh terhadap cara dan pola pikir untuk dapat memenuhi

kebutuhan hidup dengan kondisi sosial ekonomi yang tidak memungkinkan.

Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2008), tingkat pendidikan orangtua baik secara

langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi komunikasi antara

orangtua dan anak di dalam lingkungan keluarga. Data hasil penelitian yang

dapat dilihat pada Tabel 34 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan formal yang

pernah ditempuh mayoritas ayah adalah tamat SD, dengan persentase sebesar

48,1 persen. Di lain pihak, ibu bahkan mempunyai tingkat pendidikan yang lebih

rendah dari ayah, yakni lebih dari separuhnya (59,1%) adalah tidak tamat SD.

Jika dikategorikan berdasarkan lamanya pendidikan yang ditempuh oleh ayah

dan ibu, maka sebagian besar (88,0%) ayah dan hampir semua (98,7%) ibu

adalah berpendidikan ≤ 9 tahun, sedangkan sisanya adalah berpendidikan lebih

dari sembilan tahun. Hasil analisis uji beda secara statistik ditemukan perbedaan

yang nyata (p=0,000) antara pendidikan ayah dan ibu, dengan lamanya

pendidikan ayah lebih tinggi daripada pendidikan ibu.

Tabel 34 Sebaran dan statistik tingkat pendidikan ayah dan ibu

No Tingkat Pendidikan Ayah (n=133)1 Ibu (n=149)2

n % n %1. Tidak Tamat SD 51 38,3 88 59,12. Tamat SD 64 48,1 39 26,23. Tamat SMP 8 6,0 3 2,04. Tamat SLTA 1 0,8 1 0,75. Tidak Pernah Sekolah 9 6,8 18 12,1

Rata-Rata ± SD (tahun) 4,83 ± 2,26 3,76 ± 2,26Kisaran (min-max) (tahun) 0 –12 0 – 12Uji Beda Berpasangan (sig) 0,000**

Ket : 1Meninggal/Pisah sebanyak 17 orang (ayah); 2 ibu pisah sebanyak 1 orang** Nyata pada p<0,01

Temuan pendidikan ayah dan ibu contoh penelitian ini sejalan dengan

data pada Website Resmi Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak RI dimana data tahun 2007 saja menunjukkan bahwa rata-

Page 22: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

98

rata lama sekolah di Kabupaten Bogor untuk tahun 2007 untuk laki-laki adalah

8,0 tahun, sedangkan perempuan hanya 6,8 tahun. Rendahnya tingkat

pendidikan masyarakat dapat mengakibatkan rendahnya tingkat kesejahteraan.

Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan yang tinggi adalah merupakan sarana

untuk menggapai hidup yang lebih berkualitas. Pendidikan yang tinggi akan

memudahkan seseorang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan

memberikan penghasilan yang memadai.

Berdasarkan data pada Tabel 34 dapat pula disimpulkan bahwa

pendidikan ayah lebih tinggi dibandingkan pendidikan ibu, hal ini tidak berbeda

dengan yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya. Hal ini berkaitan dengan

sarana pendidikan yang tersedia, di mana biasanya orangtua enggan bila anak

perempuannya sekolah ke tempat yang jauh. Pendidikan akan menentukan jenis

pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang. Pendidikan berpengaruh terhadap

tingkat pendapatan serta daya beli keluarga. Tingkat pendidikan seseorang juga

akan mempengaruhi nilai-nilai yang dianutnya, cara berpikir, cara pandang,

bahkan persepsinya terhadap suatu masalah. Bahkan hasil studi Widyanti et al.

(2009) menunjukkan bahwa proporsi anggota keluarga berpendidikan SMA ke

atas yang lebih tinggi akan menurunkan secara signifikan peluang keluarga

menjadi miskin kronis atau rawan.

Kemampuan Baca Tulis Aksara LatinJika dilihat dari melek aksara baik dari membaca maupun menulis aksara

latin ternyata lebih dari 85 persen ayah maupun ibu termasuk mampu dalam

kedua ketrampilan tersebut (Tabel 35). Namun yang memprihatinkan adalah

kemampuan membaca dan menulis aksara latin ibu yang relatif lebih rendah

dibandingkan ayah. Hal ini terlihat dari lebih dua kali lipat ibu dibandingkan ayah

yang tidak dapat membaca dan menulis aksara latin. Orangtua khususnya ibu

yang tidak mampu membaca dan menulis aksara latin merupakan faktor

penghambat dalam menerapkan pola asuh belajar yang baik kepada anak.

Tabel 35 Sebaran contoh berdasarkan kemampuan baca dan tulis aksara latinayah dan ibu (persentase)

No Kemampuan Baca TulisAksara Latin

Ayah (n=133)1 Ibu (n=149)2

Baca Tulis Baca Tulis1. Melek Aksara 91,7 91,7 84,6 83,32. Buta Aksara 8,3 8,3 15,4 16,8Ket : 1Meninggal/Pisah sebanyak 17 orang (ayah); 2 ibu pisah sebanyak 1 orang

Page 23: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

99

Penyebab buta huruf dapat diakibatkan faktor internal dan atau faktor

eksternal individu yang bersangkutan. Faktor internal dapat disebabkan antara

lain karena rendahnya motivasi yang bersangkutan maupun dukungan dari

keluarganya untuk mengikuti pendidikan disamping kemampuan ekonomi

keluarga yang tidak memadai. Sementara itu, faktor eksternal disebabkan antara

lain karena penyebaran penduduk di daerah terpencil yang tidak merata,

terisolasinya daerah terpencil dari informasi dan rendahnya aksesibilitas yang

dibangun, serta belum optimalnya fungsi kelembagaan masyarakat dalam bidang

pendidikan, karena kelembagaannya sendiri belum eksis selain terbatasnya

jumlah dan distribusi tutor, kesulitan untuk mengakses sarana pendidikan

disamping masyarakat yang kurang mampu secara finansial. Dampak yang

ditimbulkan oleh buta huruf antara lain akses untuk mendapatkan informasi

pekerjaan menjadi sulit sehingga sulit pula untuk memperoleh pekerjaan. Bila

memperoleh pekerjaan pun terbatas pada pekerjaan yang sifatnya fisik dengan

upah yang rendah, dengan kata lain daya tawar masyarakat tersebut untuk

memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak menjadi rendah. Hal ini

berpengaruh terhadap kemampuan daya beli masyarakat.

Bantuan yang Diterima di Luar PKHSelain dana PKH, keluarga contoh juga memperoleh bantuan berupa

Beras Miskin (Raskin), Askeskin (Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat

Miskin)/Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) atau BLT (Bantuan

Langsung Tunai) (Tabel 36). Persentase keluarga yang mendapat raskin antara

pra dan saat-PKH adalah sama, yakni 98,7 persen. Persentase keluarga yang

mendapat Askeskin/Jamkesmas dan BLT mengalami penurunan, yakni dari

masing-masing 60,7 persen dan 90,7 persen pra-PKH menjadi 55,3 persen dan

88,0 persen saat-PKH.

Tabel 36 Sebaran contoh berdasarkan bantuan yang pernah diterima keluargapra dan saat PKH

No Bantuan yang Diterima Pra-PKH (n=150) Saat-PKH (n=150)Ya Tidak Ya Tidak

1. Raskin 98,7 1,3 98,7 1,32. Askeskin/Jamkesmas 60,7 39,3 55,3 44,73. BLT 90,7 9,3 88,0 12,0

Page 24: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

100

Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah bantuan kepada rumahtangga

miskin sebesar Rp100 000 per bulan yang diberikan tiga bulan sekali melalui PT.

Pos Indonesia, dimana pola ini diadopsi oleh PKH dalam penentuan target dan

cara penyalurannya. Askeskin/Jamkesmas merupakan program pelayanan

kesehatan gratis bagi masyarakat miskin. Untuk penyakit-penyakit ringan

biasanya masyarakat berobat di puskesmas yang tarifnya sangat murah

(Rp3 000 per sekali kunjungan) atau bidan/petugas kesehatan di desa yang juga

tidak terlalu mahal. Namun, untuk penyakit-penyakit berat masyarakat harus

berobat di rumah sakit yang biayanya mahal dan tidak terjangkau orang miskin.

Keberadaan program Askeskin sangat membantu keluarga miskin untuk

mengakses pelayanan kesehatan yang diperlukan.

Raskin merupakan pembagian beras bagi keluarga miskin dengan alokasi

15 kg/RTS (Rumahtangga Sasaran) per bulan. Dalam implementasinya, keluarga

contoh dapat secara bersamaan memperoleh ketiga program tersebut ditambah

dengan dana PKH. Hal ini dimungkinkan karena PKH bukan merupakan

kelanjutan program Subsidi Langsung Tunai yang diberikan dalam rangka

membantu rumahtangga miskin mempertahankan daya belinya pada saat

pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM. Program Bantuan Langsung

Tunai (BLT) dihentikan tahun 2010 setelah berjalan selama lima tahun. Hasil

wawancara mendalam dengan contoh mengindikasikan bahwa PKH lebih disukai

dibandingkan program lainnya karena jumlah dana yang diterima lebih besar.

Karakteristik Ekonomi KeluargaPekerjaan Ayah dan Ibu

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pra-PKH ayah yang

mempunyai pekerjaan utama adalah 96,0 persen, yang mengalami penurunan

menjadi 94,2 persen saat keluarga mendapat dana PKH. Namun untuk pekerjaan

tambahan, mengalami peningkatan dari 10,8 persen pra-PKH menjadi 12,8

persen saat mendapat dana PKH. Selanjutnya terdapat 4,3 persen ayah yang

tidak bekerja pra-PKH, bahkan saat PKH persentasenya meningkat menjadi 6,1

persen. Jenis pekerjaan utama terbanyak ditekuni oleh ayah adalah sebagai

buruh, baik buruh non tani dan buruh tani yang sifatnya sporadis (Tabel 37).

Jenis pekerjaan ayah terkait dengan rendahnya tingkat pendidikan rendah yang

menimbulkan kesulitan mengakses pekerjaan-pekerjaan yang menuntut

ketrampilan atau pengetahuan.

Page 25: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

101

Tabel 37 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan utama dan tambahan ayah(persentase) pra dan saat PKH

No Jenis Pekerjaan AyahPekerjaan Utama Pekerjaan Tambahan

Pra-PKH(n=139)1

Saat-PKH(n=133)2

Pra-PKH(n=139)1

Saat-PKH(n=133)2

1. Buruh Non-Tani 43,9 43,6 3,6 3,72. Buruh Tani 31,0 31,6 3,6 4,53. Dagang 9,4 9,0 1,4 2,34. Becak 0,8 0,8 0,0 0,05. Guru Les/Mengaji/Menjaga Mesjid 0,8 0,8 1,4 1,56. Karyawan Swasta 0,8 0,8 0,0 0,07. Pemulung 1,4 0,8 0,8 0,88. Penceramah 0,8 0,0 0,0 0,09. Supir 5,7 5,3 0,0 0,010. Tidak Bekerja 4,3 6,1 89,2 87,311. Wiraswasta 1,4 1,5 0,0 0,0Ket : 1Meninggal/Pisah sebanyak 11 orang; 2 Meninggal/Pisah sebanyak 17 orang

Jenis pekerjaan sebagai buruh tergolong tidak tetap, sehingga kadang-

kadang pada saat ayah tidak bekerja, keluarga tidak memiliki penghasilan,

sehingga untuk memenuhi kebutuhan keluarga, contoh terpaksa berhutang ke

warung. Tidak ada ayah yang bekerja sebagai petani, hanya menjadi buruh tani

saja diakibatkan minimnya atau tidak adanya lahan pertanian untuk digarap.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kondisi pra-PKH, ibu yang

mempunyai pekerjaan utama adalah 45,6 persen yang mengalami peningkatan

menjadi 47,0 persen saat keluarga mendapat dana PKH. Demikian pula untuk

pekerjaan tambahan mengalami peningkatan dari 2,7 persen pra-PKH menjadi

4,7 persen saat keluarga mendapat dana PKH. Jenis pekerjaan utama terbanyak

ditekuni oleh ibu adalah sebagai buruh yang termasuk pekerjaan sporadis

apakah menjadi buruh tani, pembantu rumahtangga ataupun buruh tani (Tabel

38).

Saat mendapatkan dana PKH, secara umum sebagian besar (92,5%)

ayah tetap dengan pekerjaan utama yang sama dengan pra-PKH, demikian pula

dengan pekerjaan tambahan dimana 86,5 persen ayah tetap tidak mempunyai

pekerjaan tambahan saat mendapat dana PKH (Tabel 38). Terdapat 3,8 persen

ayah yang tidak bekerja baik sebelum maupun saat mendapat dana PKH. Di lain

pihak, sebanyak 48,3 persen ibu tetap tidak bekerja saat mendapat dana PKH

dan 40,9 persen tetap dengan pekerjaan yang sama. Peran ibu dalam

mendukung kepala keluarga memberikan tambahan pendapatan sejalan dengan

Page 26: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

102

studi Widyanti et al. (2009) yang menyatakan bahwa bertambahnya orang

dewasa yang bekerja dalam rumahtangga akan sangat berpengaruh positif

terhadap kapasitas dan kondisi ekonomi melalui penambahan pendapatan

rumahtangga.

Tabel 38 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan utama dan tambahan ibu(persentase) pra dan saat PKH

No Jenis Pekerjaan IbuPekerjaan Utama Pekerjaan Tambahan

Pra-PKH(n=149)1

Saat-PKH(n=149)1

Pra-PKH(n=149)1

Saat-PKH(n=149)1

1. Buruh Tani 19,4 19,4 0,7 0,72. Buruh Non-Tani 7,3 10,1 1,3 2,03. Dagang 4,7 4,0 0,7 1,34. Karyawan Swasta 0,7 0,7 0,0 0,05. Maro Kambing 0,7 1,3 0,0 0,76. Pemulung 0,0 0,7 0,0 0,07. Penyanyi 0,7 0,7 0,0 0,08. Pembantu RT 12,1 10,1 0,0 0,09. Tidak Bekerja 54,4 53,0 97,2 95,3Ket : 1Pisah sebanyak 1 orang

Menurut Ferro dan Nicollela (2007), secara teori, program CCT dapat

mempengaruhi keputusan alokasi waktu untuk seluruh anggota keluarga, karena

orangtua sekarang memperoleh uang untuk membeli barang dan mendapat

pelayanan untuk keluarga. Aspek lain dari keputusan bekerja dan program

transfer tunai adalah bahwa ketika status ekonomi keluarga meningkat dengan

alasan apapun dapat mengakibatkan keluarga tidak memenuhi syarat lagi untuk

menerima CCT. Secara khusus, jika anggota keluarga bekerja lebih banyak,

akan diperoleh cukup uang yang dapat mempengaruhi eligibilitasnya dalam

program. Dalam menghadapi kemungkinan ini, orangtua dapat memilih untuk

mengurangi pekerjaan sehingga akan terus memperoleh uang transfer. Jika

dikaitkan pernyataan tersebut dengan penelitian ini, orangtua yang memperoleh

PKH dapat saja menjadi tidak bekerja karena telah adanya dana PKH. Jika dilihat

pada Tabel 39, persentase ayah yang dari bekerja menjadi tidak bekerja adalah

relatif kecil yakni 2,3 persen. Sebanyak 4,7 persen ibu berubah dari bekerja

menjadi tidak bekerja. Sayangnya, dalam pengambilan data tidak ditanyakan

lebih jauh apakah tidak bekerjanya ibu adalah karena telah mendapat dana PKH.

Page 27: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

103

Tabel 39 Sebaran contoh berdasarkan perubahan pekerjaan utama dantambahan ayah dan ibu saat-PKH

No Perubahan Kerja Ayah dan Ibu Pekerjaan Utama Pekerjaan Tambahann % n %

Perubahan Kerja Ayah (n=133)1

1. Tetap bekerja 123 92,5 14 10,52. Bekerja menjadi tidak bekerja 3 2,3 1 0,83. Tidak bekerja menjadi bekerja 2 1,5 3 2,34. Tetap tidak bekerja 5 3,8 115 86,5

Perubahan Kerja Ibu (n-149)2

1. Tetap bekerja 61 40,9 3 2,02. Bekerja menjadi tidak bekerja 7 4,7 1 0,73. Tidak bekerja menjadi bekerja 9 6,0 4 2,74. Tetap tidak bekerja 72 48,3 141 94,6Ket : 1Meninggal/Pisah sebanyak 17 orang (ayah); 2 ibu pisah sebanyak 1 orang

Masyarakat miskin umumnya menghadapi permasalahan terbatasnya

kesempatan kerja dan berusaha, terbatasnya peluang mengembangkan usaha,

lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta

lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan

seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga. Keterbatasan

modal, kurangnya keterampilan, dan pengetahuan, menyebabkan masyarakat

miskin hanya memiliki sedikit pilihan pekerjaan yang layak dan peluang yang

sempit untuk mengembangkan usaha. Terbatasnya lapangan pekerjaan yang

tersedia saat ini seringkali menyebabkan keluarga terpaksa melakukan pekerjaan

yang beresiko tinggi dengan imbalan yang kurang memadai dan tidak ada

kepastian akan keberlanjutannya. Etos kerja keras yang kurang juga dapat

menjadi penyebab rendahnya pendapatan keluarga miskin, yang tergambar pula

dari sebagian besar ayah tidak memiliki pekerjaan sampingan.

Penerimaan Total KeluargaPenerimaan total keluarga (revenue) merupakan semua pemasukan uang

yang diterima oleh keluarga baik yang berasal dari pendapatan (diperoleh dari

pekerjaan yang dilakukan untuk mencari nafkah) anggota keluarga maupun

sumber-sumber lain seperti pinjaman, dan bantuan dari kerabat atau pemerintah,

termasuk dana PKH. Hasil pada Tabel 40 menunjukkan bahwa rata-rata

penerimaan total keluarga contoh per bulan per kapita adalah Rp89 594,01 pra-

PKH dan Rp118 044,96 saat-PKH. Hal ini berarti penerimaan keluarga

mengalami peningkatan saat keluarga mendapat dana PKH. Analisis statistik uji

beda berpasangan antara penerimaan pra-PKH dan saat-PKH dapat disimpulkan

bahwa terdapat perbedaan yang nyata (p=0,000) antara keduanya. Hal ini

Page 28: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

104

berarti, terjadi peningkatan yang cukup signifikan dalam penerimaan total

keluarga contoh saat keluarga mendapat dana PKH. Dengan adanya

penambahan penerimaan keluarga dari PKH, maka diperoleh rata-rata

penerimaan per kapita sebesar 1,3 kali lipat dari penerimaan pra-PKH. Program

CCT mampu meningkatkan pendapatan keluarga miskin dalam waktu singkat

dan meningkatkan kapabilitas manusia dalam jangka medium dan panjang (Son

2008).

Tabel 40 Sebaran dan statistik penerimaan total keluarga (Rp/kapita/bulan) pradan saat PKH

No Kategori Penerimaan TotalKeluarga (Rp)ab

Pra-PKH (n=150) Saat-PKH (n=150)n % n %

1. Miskin 124 82,7 125 83,32. Hampir Miskin 15 10,0 14 9,33. Hampir Tidak Miskin 8 5,3 7 4,74. Tidak Miskin 3 2,0 4 2,7

Rata-Rata+SD 89 594,01±55 982,34 118 044,96±60 567,63Kisaran (min-max) 10 000,00-345 000,00 22 229,00-365 833,00Uji Beda Berpasangan (sig) 0,000**

Ket : a Untuk Pra-PKH digunakan Garis Kemiskinan (GK) wilayah pedesaan Jawa Barat tahun 2007 sebesarRp144 204, sedangkan untuk saat-PKH digunakan garis kemiskinan wilayah pedesaan Jawa Barat tahun2009 sebesar Rp175 193b Menggunakan kriteria dari Berita Resmi Statistik No. 47 / IX / 1 September 2006 (Miskin : < GK (GarisKemiskinan), Hampir Miskin : 1,00-1,25 GK, Hampir Tidak Miskin : 1,25-1,50 GK dan Tidak Miskin :>1,50 GK)

Hasil kategorisasi penerimaan total keluarga dengan menggunakan

standar garis kemiskinan terlihat bahwa sebagian besar keluarga contoh

termasuk dalam kategori kurang dari garis kemiskinan (Rp144 204 pra-PKH dan

Rp175 193 saat-PKH) atau terkategori miskin. Hampir tidak ada perubahan

kategori kemiskinan keluarga penerima PKH saat mendapat PKH. Persentase

keluarga contoh yang miskin pra-PKH adalah 82,7 persen, sedangkan saat-PKH

sedikit meningkat menjadi 83,3 persen. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

program PKH belum mampu menurunkan proporsi keluarga miskin setelah

berjalan satu tahun dengan pencairan pertama bulan Maret 2008 hingga

pencairan 10 April 2009. Temuan penelitian ini masih jauh dari capaian program

sejenis di Kolombia yang mampu menurunkan angka kemiskinan hingga enam

persen. Dampak CCT terhadap kemiskinan bervariasi oleh program, dengan

Progresa memberikan hasil yang paling signifikan. Bourguignon et al.

menemukan dampak yang sangat kecil terhadap kemiskinan dan

ketidaksetaraan untuk Bolsa Escola karena jumlah transfer yang kecil

(Bourguignon, Ferreira, & Leite 2002). Zepeda (2006) juga menyimpulkan bahwa

Page 29: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

105

Program CCT memberikan perbedaan besar pada pendapatan rumahtangga

miskin, namun tidak mengurangi kemiskinan secara signifikan.

Temuan ini sejalan dengan hasil survey Bappenas (2008) yang

mengindikasikan bahwa Program Keluarga Harapan dianggap berpengaruh

positif terhadap sensitivitas rumahtangga miskin untuk tumbuh dengan

meningkatkan pendapatan dan meningkatkan peluang penghasilan. Dalam

jangka panjang, inisiatif pendidikan dan kesehatan akan berdampak pada

generasi berikutnya. Untuk jangka pendek, PKH dapat mendorong keluarga

untuk berinvestasi paling tidak dari sebagian uang yang diterimanya pada

aktivitas yang produktif, sehingga PKH akan mampu meningkatkan penerimaan

total keluarga.

Kriteria miskin kedua yang digunakan adalah Bank Dunia yang

mengkategorikan tingkat kemiskinan berdasarkan pendapatan per kapita per

hari. Ada dua ukuran yang digunakan, yaitu :1) US $ 1 per kapita per hari; dan 2)

US $ 2 per kapita per hari. Dengan menggunakan nilai kurs dari Bank Indonesia

per tanggal 10 Agustus 2009, yakni sebesar Rp9 920,00 untuk US $ 1, maka

garis kemiskinan Bank Dunia adalah Rp297 600,00 dan untuk US $ 2 maka

garis kemiskinan Bank Dunia adalah Rp595 200,00. Menurut garis kemiskinan

Bank Dunia US $ 1 per kapita per hari, persentase keluarga contoh yang

tergolong miskin adalah 99,3 persen pra-PKH dan 98,7 persen saat-PKH,

sedangkan menurut garis kemiskinan Bank Dunia US $ 2 per kapita per hari, baik

pra maupun saat-PKH semua keluarga contoh adalah termasuk miskin.

Kemiskinan yang dialami oleh keluarga contoh secara umum menurut

Sumodiningrat, Santosa, dan Maiwan (1999) dapat dikelompokkan dalam

kemiskinan kultural yang lebih berakar pada faktor-faktor budaya setempat (lokal)

dan golongan masyarakat tertentu. Sifat kemiskinan kultural lebih banyak

diwarnai oleh sikap dan cara pandang individu serta kelompok masyarakat

tertentu terhadap kehidupan. Sikap–sikap itu antara lain tercermin dalam watak

yang cenderung fatalistik, “nrimo” dan kurang berorientasi ekonomi. Kegiatan

ekonomi lebih dipandang sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan subsistensi

saja dan bukan untuk memupuk kapital. Tidak jarang kegiatan ekonomi

dipandang sebagai bagian dari “keserakahan hidup”. Dengan cara pandang yang

semacam itu, maka secara turun temurun mewariskan kemiskinan kultur pada

generasi berikutnya, sehingga “lingkaran kemiskinan” terus membelit karena

justru lebih merasa “adjusted” dengan lingkungan (budaya) semacam itu

Page 30: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

106

sehingga agak sulit atau memerlukan waktu cukup lama untuk mengubahnya,

baik itu lewat pendidikan maupun proses pembangunan yang secara nyata

dalam jangka panjang kelak akan membawa dampak perubahan visi.

Kontribusi Anggota Keluarga terhadapPenerimaan Total Keluarga

Hasil penelitian mengindikasikan bahwa ayah sebagai kepala keluarga

mempunyai kontribusi terbesar (68,3% pra-PKH; 51,1% saat-PKH) terhadap

penerimaan total keluarga (Tabel 41), baik pra maupun saat-PKH, serta secara

statistik adalah berbeda nyata (p=0,008). Kontribusi penerimaan total keluarga

selanjutnya adalah dari istri yang menyumbang 18,7 persen pra-PKH dan 14,5

persen saat-PKH.

Tabel 41 Kontribusi anggota keluarga dan pemasukan lainnya terhadap rata-rata penerimaan total keluarga (Rp/bulan) pra dan saat PKH

No Kontributor Pra-PKH (n=150) Saat-PKH (n=150) Uji beda(t-test)Rata-Rata % Rata-Rata %

1. Ayah 302 741,33 68,3 301 744,67 51,1 0,008**2. Ibu 82 873,33 18,7 85 536,00 14,5 0,1573. Anak 46 930,00 10,6 58 363,33 9,9 0,3234. Pemasukan lainnya 10 939,60 2,5 12 684,56 2,1 0,3135. Dana PKH - 132 207,78 22,46. Penerimaan Total 443 484,26 590 536,34 100,0** nyata pada p<0,01

Anggota keluarga lain yang menyumbang terhadap penerimaan keluarga

adalah anak (10,6% pra-PKH; 9,9% saat-PKH) dan pemasukan lain (2,5% pra-

PKH; 2,1% saat-PKH). Baik kontribusi ibu, anak maupun anggota keluarga lain

tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara pra dan saat-PKH. Kontribusi

dana PKH terhadap penerimaan total keluarga adalah sebesar 22,4 persen,

sehingga kontribusi anggota keluarga menjadi berkurang dari pra-PKH. Hal ini

sejalan dengan skenario bantuan PKH yang diperkirakan menyumbang antara

15-25 persen terhadap pendapatan rata-rata RTSM per tahun.

Pengeluaran Total KeluargaPengeluaran rata-rata per kapita per bulan adalah biaya yang dikeluarkan

untuk semua anggota rumahtangga selama sebulan dibagi dengan banyaknya

anggota rumahtangga. Berdasarkan pengelompokan item pengeluaran,

persentase terbesar (62,0%) pengeluaran keluarga adalah untuk makanan,

diikuti untuk pendidikan (11,7%), serta pengeluaran ketiga terbesar adalah untuk

Page 31: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

107

rokok (8,4%). Persentase terkecil pengeluaran keluarga dialokasikan untuk

tabungan (0,4%) (Tabel 42). Pengeluaran untuk pendidikan yang relatif kecil atau

seperlima dari pengeluaran untuk makanan merupakan indikator kurangnya

perhatian keluarga terhadap pentingnya kualitas pendidikan anak. Hal inilah yang

sering menjadi penyebab anak dari keluarga miskin hanya mampu

menyelesaikan pendidikan dasar saja atau bahkan tidak tamat. Namun kecilnya

pengeluaran pendidikan ini juga dapat dimungkinkan oleh adanya SPP gratis dan

pembebasan BP3 dengan adanya dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Temuan penelitian ini agak bertolak belakang dengan data Susenas (2003),

biaya pendidikan adalah salah satu pengeluaran rumahtangga terbesar. Untuk

20 persen pengeluaran terendah rumahtangga, biaya pendidikan per anak

adalah 10 persen dari total pengeluaran untuk anak SD, 18,5 persen untuk anak

SLTP dan 28,4 persen untuk anak SLTA.

Tabel 42 Rata-rata dan persentase pengeluaran contoh berdasarkan kelompokpengeluaran (Rp/kapita/bulan)

No Kelompok Pengeluaran Jumlah(Rp/Kapita/bulan)

Persentase(%)

1. Makanan 124 928,57 62,02. Pendidikan 23 668,54 11,73. Rokok 16 963,59 8,44. Perumahan & Fasilitas RT 11 203,58 5,65. Sanitary 9 206,87 4,66. Lainnya (transportasi, sumbangan) 7 480,95 3,77. Keperluan pesta dan upacara 4 351,51 2,28. Kesehatan 2 945,78 1,59. Tabung 815,36 0,4

Total 201 564,75 100,0

Jika dibandingkan dengan penelitian Rambe, Hartoyo dan Karsin (2008)

dan Kaban (2000), pengeluaran untuk rokok yang ditunjukkan penelitian ini lebih

tinggi, dimana pengeluaran untuk tembakau dan sirih adalah komponen

pengeluaran kedua terbesar pada rumahtangga miskin. Pengeluaran untuk rokok

ini disoroti karena dikhawatirkan dana PKH diberikan kepada ayah dan

digunakan untuk pembelian rokok (akan dilihat pula pada alokasi pengeluaran

dana PKH).

Tabel 43 menunjukkan bahwa pengeluaran rata-rata per bulan keluarga

contoh mempunyai persentase terbesar untuk pengeluaran pangan per bulan

(70,1%) yang jauh lebih besar daripada rata-rata pengeluaran non pangan per

Page 32: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

108

bulan (29,9%). Hal ini sejalan dengan Soekirman (1991) yang menyatakan

bahwa keluarga berpendapatan rendah di Indonesia membelanjakan sekitar 60,0

hingga 80,0 persen dari pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan pangan. Hal

ini juga senada dengan Suhardjo (1989) bahwa golongan miskin menggunakan

bagian terbesar dari pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan makanan.

Tabel 43 Statistik dan rata-rata pengeluaran keluarga (Rp/kapita/bulan)berdasarkan kategori kemiskinan penerimaan total keluarga

NoKategori Kemiskinan

Penerimaan TotalKeluarga ab

Pangan Non Pangan Pengeluaran Total

1. Miskin 135 676,22 56 726,00 192 402,22

2. Hampir Miskin 189 623,97 70 862,82 260 486,79

3. Hampir Tidak Miskin 148 286,19 91 143,81 239 430,00

4. Tidak Miskin 157 889,58 85 012,92 242 902,50

5. Total 141 892,16 60 405,91 202 298,08

Rata-Rata 141 892,16 60 405,91 202 298,08

Standar Deviasi 59 011,50 34 490,82 76 891,27

Nilai Minimum 40 111,11 12 666,67- 70 166,67

Nilai Maksimum 466 750,00 203 202,78 627 250,00% terhadappengeluaran total 70,1 29,9 100,00

Ket : a Digunakan Garis Kemiskinan (GK) wilayah pedesaan Jawa Barat tahun 2009 sebesar Rp175 193b Menggunakan kriteria dari Berita Resmi Statistik No. 47 / IX / 1 September 2006 (Miskin : < GK (Garis

Kemiskinan), Hampir Miskin : 1,00-1,25 GK, Hampir Tidak Miskin : 1,25-1,50 GK dan Tidak Miskin :>1,50 GK)

Keluarga contoh rata-rata mengalokasikan pengeluaran untuk pangan per

kapita per bulan sebesar Rp141 892,16 dan alokasi pengeluaran untuk non

pangan rata-rata sebesar Rp60 405,91 per kapita per bulan. Berarti total

pengeluaran yang dialokasikan untuk pangan adalah sekitar 2,3 kali lebih besar

dibandingkan untuk pengeluaran non pangan.Teori Ernst Engel juga mendukung

hasil temuan penelitian, yakni proporsi pengeluaran total untuk makanan

menurun dengan meningkatnya pendapatan. Pola pengeluaran rumahtangga

dapat mencerminkan tingkat kehidupan suatu masyarakat. Indikator yang dipakai

untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk adalah komposisi pengeluaran

untuk makanan dan non makanan. Kesejahteraan dikatakan makin baik bila

persentase pengeluaran untuk makanan semakin kecil.

Rata-rata pengeluaran per kapita/bulan keluarga sebesar Rp202 298,08,

yang berkisar antara Rp70 166,67 hingga Rp627 250,00. Jika dibandingkan

dengan penerimaan total keluarga, maka pengeluaran keluarga hampir tiga kali

lipat lebih besar. Hal ini dapat terjadi karena bertambahnya penerimaan keluarga

Page 33: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

109

dari dana PKH. Hall (2006) menyatakan bahwa bukti dari program CCT di

Amerika Latin menunjukkan hasil positif yang dapat dicapai terkait dengan

pemenuhan kebutuhan mendesak dari keluarga miskin.

Alokasi Dana PKHDalam Pedoman Umum PKH yang dikeluarkan oleh UPPKH Pusat tahun

2007 dinyatakan bahwa tidak ada pembatasan pengalokasian dana PKH yang

diperoleh, namun sebagai upaya untuk memaksimalkan penggunaan dana untuk

kebutuhan keluarga, maka penerima dana disyaratkan adalah ibu atau wanita

dewasa dalam rumahtangga. Peserta dapat menggunakan bantuan PKH untuk

keperluan apa saja asal memenuhi syarat pendidikan dan kesehatan.

Penggunaan uang bantuan tidak akan dimonitor oleh program.

Data alokasi pengeluaran dana PKH yang diambil dalam penelitian ini

adalah untuk semua anak dan anggota keluarga, karena sulitnya untuk mendata

alokasi pengeluaran untuk anak yang menjadi contoh saja. Jumlah pengeluaran

dengan alokasi dana yang diterima pada penerimaan tahap enam dengan total

pengeluaran tidak sama karena keterbatasan contoh dalam mengingat. Alokasi

pengeluaran dana PKH pada pencairan terakhir yang diterima keluarga contoh

disajikan pada Tabel 44. Alokasi dana PKH untuk pendidikan anak adalah

sebesar 55,3 persen yang dialokasikan untuk kebutuhan seperti tas dan sepatu

sekolah (17,1%) dan biaya seragam merah putih, pramuka dan olahraga

(16,7%). Tingginya biaya pendidikan berarti akses masyarakat miskin terhadap

pendidikan akan terbatas. Meskipun pemerintah secara resmi telah

menghapuskan SPP (Sumbangan Penunjang Pendidikan), namun faktanya

masyarakat masih harus membayar berbagai item seperti buku, peralatan tulis,

seragam, sepatu, biaya transport ke sekolah dan uang saku. Biaya-biaya

tersebut menjadi hambatan bagi masyarakat miskin ketika menyekolahkan

anaknya. Selain itu, ketika anak baru masuk sekolah pada tingkatan atau di

sekolah manapun masyarakat harus membayar uang pangkal atau uang

bangunan yang jumlahnya tergantung sekolah (Strategi Nasional

Penanggulangan Kemiskinan 2005).

Dana PKH yang dialokasikan untuk non-pendidikan seperti kebutuhan

makanan/kebutuhan dapur (15,5%), membayar utang (8,5%), tabungan (4,0%),

membayar listrik (3,5%), dan modal usaha (3,5%). Temuan ini sejalan dengan

Kajian Cepat Pelaksanaan Subsidi Langsung Tunai tahun 2005 di Indonesia:

studi kasus di DKI Jakarta dan lima kabupaten/kota lainnya, penerima umumnya

Page 34: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

110

menggunakan dana untuk keperluan konsumsi, hanya sebagian kecil yang

menggunakan untuk membayar hutang, biaya berobat, keperluan anak sekolah,

tambahan modal, atau disimpan (Hastuti et al. 2006).

Tabel 44 Alokasi pengeluaran dana PKH pada pencairan terakhir yang diterimakeluarga contoh

No Jenis Pengeluaran Rata-Rata(Rupiah)

StandarDeviasi

% terhadapTotal Dana

PKH

Jumlah(n)

Pendidikan1. Biaya Transport 606,67 3 249,98 0,2 82. Biaya Jajan 15 100,00 36 757,82 3,6 503. Biaya BP3 dan

Pembangunan6 006.67 49 437.69 1,4 10

4. Biaya Sekolah (SPP) 8 073,33 31 865,72 1,9 155. Biaya Les 4 220,00 35 106,52 1,0 66. Buku Tulis & Alat Tulis 29 386,66 30 714,43 7,1 1507. Buku Pelajaran 5 100,00 17 105,67 1,2 238. Tas dan Sepatu 71 046,67 61 403,86 17,1 1169. Ekstra Kurikuler dan Komite

Sekolah1 713,33 - 0,4 6

10. Lembar Kerja Siswa (LKS) 4 233,33 163,30 1,0 3411. Biaya Seragam Merah Putih,

Pramuka & Olahraga69 553,34 61 958,41 16,7 142

12. Perpisahan/Acara Sekolah 15 230,00 16 804,34 3,7 23TOTAL PENDIDIKAN 230 270,00 150 308,88 55,3Non-pendidikan

1. Makanan/Kebutuhan Dapur 65 070,00 78 383,37 15,5 1502. Bayar Utang 35 228,00 61 194,83 8,5 663. Bayar Listrik 14 724,67 21 172,34 3,5 644. Tabungan (PKH dan non

PKH)16 666,67 21 772,67 4,0 76

5. Modal Usaha 14 413,33 57 654,51 3,5 136. Potongan Ketua Kelompok

dan RT13 973,34 37 887,67 3,4 85

7. Transportasi PKH (Ke KantorPos)

7 246,67 36 103,49 1,7 26

8. Pakaian 1 246,67 9 208,21 0,3 610. Diberikan kepada suami 350,00 3 051,98 0,1 211. Sumbangan/Shodaqoh/Hajat

an/Arisan/diberi kepadaorangtua

8 053,33 61 316,67 2,0 11

12. Memperbaiki Rumah/PerabotRT

4 933,33 43 706,12 1,2 4

13. Keperluan Kesehatan 2 266,67 16 174,25 0,5 414. Membeli Emas 2 366,67 21 672,49 0,6 2

TOTAL NON-PENDIDIKAN 186 539,35 145 582,07 44,8TOTAL DANA PKH 416 809,35 198 749,56 100

Setelah dana diterima oleh ibu, sebagian dana ditabung baik secara

langsung setelah dana diterima ataupun beberapa hari setelah itu. Satu

Page 35: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

111

persepuluh bagian dana yang diterima diserahkan kepada suami, yang umumnya

digunakan untuk konsumsi rokok. Bagian dana PKH yang untuk pendidikan

dimanfaatkan semua anak yang masih sekolah dalam keluarga contoh, jadi

bukan hanya untuk anak penerima PKH saja. Jika alokasi dana PKH didekati

dengan pengelompokan untuk investasi manusia, kegiatan produktif dan

konsumtif, maka terlihat bahwa persentase terbesar masih digunakan untuk

investasi manusia adalah sekitar 55,3 persen. Sementara itu, untuk kegiatan

produktif 3,5 persen, sedangkan untuk kegiatan konsumtif sebesar 33,9 persen,

sisanya adalah untuk potongan dan ditabung. Dengan demikian, contoh masih

mengalokasikan dana PKH yang diterima dalam kegiatan yang sejalan dengan

misi PKH yang untuk peningkatan kualitas pendidikan anaknya.

Jika temuan penelitian ini dibandingkan dengan studi Puspitawati,

Herawati dan Sarma (2006) tentang dampak Subsidi Langsung Tunai (SLT) pada

kesejahteraan keluarga miskin di Bogor terlihat bahwa ”flow of resources to and

from the household”, sekitar setengah dari jumlah dana SLT (Rp300 000)

diprioritaskan untuk kebutuhan pangan pokok (sesuai dengan hirarki kebutuhan

Maslow). Selanjutnya, kurang dari sepertiganya dialokasikan untuk kebutuhan

non-pangan, seperti perumahan, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan rokok.

Bahkan sebagian lagi dialokasikan untuk membayar hutang atau untuk modal

usaha. Sayangnya, dana SLT yang diperuntukkan untuk modal usaha adalah

sangat kecil, yaitu kurang dari lima persen. Sepertinya keluarga contoh memang

sangat terbatas sumberdaya keuangannya, sehingga dana SLT ini langsung

dialokasikan untuk kebutuhan pokok saja. Hal ini juga terbukti apabila dilihat dari

jangka waktu lamanya dana SLT habis, yaitu kurang dari seminggu. Dengan

demikian, jika ditelaah lebih mendalam, antara program tunai bersyarat

(conditional cash transfer) dalam hal ini PKH dan tunai tidak bersyarat

(unconditional cash transfer) dalam hal ini SLT, maka pemanfaatan dana

bantuan berbanding terbalik. Pada PKH lebih dari separuh dana digunakan untuk

pendidikan anak, sedangkan pada SLT sekitar separuh dana digunakan untuk

konsumsi.

Kepemilikan AsetRumah merupakan salah satu kebutuhan penting bagi setiap keluarga.

Lebih dari tiga perlima (66,7%) kepemilikan rumah keluarga contoh adalah rumah

sendiri (Tabel 45), diikuti oleh rumah milik orangtua/keluarga (32,7%) dan

kontrak/sewa (0,7%).

Page 36: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

112

Tabel 45 Sebaran dan statistik status kepemilikan rumah dan luas rumah

No Status Kepemilikan dan Luas Rumah Jumlah (n) Persentase (%)Status kepemilikan rumah (n=150)

1. Sendiri 100 66,72. Kontrak/Sewa 1 0,73. Milik Orangtua/Keluarga 49 32,7

Kategori luas rumah per kapita (n=150)1. < 8 m2 91 60,72. > 8 m2 59 39,3

Rata-Rata±SD 7,69±5,25Kisaran (min-max) 1,00-33,33

Rata-rata luas rumah per kapita keluarga adalah 7,69 m2 dengan

persentase keluarga yang memiliki rumah dengan luas kurang dari 8 m2 adalah

sebanyak 60,7 persen serta berkisar antara 1 m2 hingga 33,33 m2 per kapita.

Data ini menunjukkan masih kurang sehatnya rumah yang dihuni karena tidak

sesuai dengan batas yang disebut rumah sehat, dan selain itu rumah yang

sempit juga memunculkan ketidaknyamanan penghuninya. Rumah dengan luas

yang cukup merupakan prasyarat penting untuk menunjang kehidupan yang

sejahtera. Rumah sehat menurut World Health Organization adalah rumah yang

memiliki luas lantai minimal 10 m2 per kapita. Menurut Departemen Kesehatan

(BKKBN 2001) luas lantai rumah merupakan indikator kesejahteraan ekonomi

yang dapat dilihat secara fisik dengan kriteria miskin jika luas lantai kurang atau

sama dengan 8 m2 per kapita dan tidak miskin jika lebih dari 8 m2 per kapita.

Aset adalah salah satu bentuk sumberdaya materi yang dimiliki keluarga

yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang diharapkan oleh keluarga

tersebut (Raines 1964). Secara umum aset keluarga dalam penelitian ini

dikelompokkan menjadi lima, yaitu kendaraan, ternak, alat elektronik, alat RT,

dan kepemilikan mebel (Tabel 46). Kepemilikan kendaraan berupa motor atau

sepeda sangat sedikit ditemukan pada keluarga contoh, motor hanya dimiliki oleh

2 persen keluarga contoh. Secara umum, kepemilikan ternak pada keluarga

contoh mengalami peningkatan, meskipun tidak terlalu besar, namun sebagian

besar keluarga contoh tidak memiliki ternak. Alat elektronik yang terbanyak

dimiliki oleh sekitar setengah keluarga contoh adalah televisi. Terdapat beberapa

alat elektronik yang persentase kepemilikannya meningkat saat mendapat dana

PKH, seperti video/CD dari 9,3 persen pra-PKH menjadi 12,0 persen saat-PKH,

HP dari 5,3 persen pra-PKH menjadi 13,3 persen saat-PKH, televisi dari 49,3

Page 37: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

113

persen pra-PKH menjadi 50,7 persen saat-PKH, kulkas dari 1,3 persen pra-PKH

menjadi 2,7 persen saat-PKH, dispenser dari 2,0 persen pra-PKH menjadi 6,0

persen saat-PKH, serta rice cooker dari 6,7 persen pra-PKH menjadi 10,7 persen

saat-PKH.

Tabel 46 Sebaran contoh berdasarkan kepemilikan aset pra dan saat PKH(persentase)

No Jenis Aset Pra-PKH(n=150)

Saat-PKH(n=150) Delta

Kepemilikan Kendaraan1. Motor 2,0 2,0 0,02. Sepeda 12,0 12,7 0,7

Kepemilikan Ternak1. Kambing/domba (induk/anak) 12,0 12,0 0,02. Ayam 24,7 30,7 6,03. Itik 3,3 4,7 1,44. Kelinci 0,0 1,3 1,35. Ikan 1,3 3,3 2,06. Angsa 0,0 0,7 0,77. Bebek 1,3 2,0 0,7

Kepemilikan Alat Elektronik1. Radio/Tape 22,0 21,3 -0,72. Video/CD 9,3 12,0 2,73. Kipas angin 5,3 4,7 -0,64. HP 5,3 13,3 8,05. Televisi 49,3 50,7 1,46. Setrika listrik 35,3 20,7 -14,67. Kulkas 1,3 2,7 1,48. Dispenser 2,0 6,0 4,09. Rice Cooker 6,7 10,7 4,0

Kepemilikan Alat RT1. Lemari makan 7,3 6,7 -0,62. Oven 2,7 2,7 0,03. Mesin jahit 2,0 2,7 0,74. Kompor gas 10,0 70,7 60,75. Kompor minyak 48,0 32,0 -16,0

Kepemilikan Mebel1. Kursi tamu (set) 14,0 12,7 -1,32. Meja makan (set) 6,0 5,3 -0,73. Tempat tidur 72,7 70,3 -2,44. Lemari pakaian 72,0 71,3 -0,75. Lemari hias 2,0 2,0 0,06. Lemari buku 2,0 2,0 0,0

Page 38: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

114

Kepemilikan alat RT hanya meningkat secara signifikan pada kompor gas,

yakni dari 10,0 persen pra-PKH menjadi 70,7 persen saat-PKH. Hal ini lebih

diakibatkan oleh adanya program konversi minyak tanah menjadi gas yang

dicanangkan oleh pemerintah dan dibagikan secara gratis kepada masyarakat.

Berbanding terbalik dengan kompor gas, kepemilikan kompor minyak justru

mengalami penurunan karena semakin banyaknya masyarakat yang melakukan

konversi kepada kompor gas.

Kepemilikan mebel secara umum tidak mengalami perubahan pra dan

saat mendapat dana PKH. Dengan demikian, secara umum, peningkatan

kepemilikan aset saat keluarga mendapat dana PKH lebih kepada pembelian

beberapa alat elektronika. Hal ini menjadi indikasi pola hidup yang konsumtif

yang telah menjadi budaya yang melekat pada masyarakat miskin. Contoh

sederhana adalah kepemilikan handphone (HP), yang saat ini telah beralih

menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat dari semua kalangan. Padahal bukan

hanya handphonenya saja yang harus dibeli, namun kebutuhan pulsa juga akan

memberatkan pengeluaran keluarga. Temuan penelitian ini sejalan dengan

pernyataan De Janvry dan Sadoulet (2005) berdasarkan program CCT di

Meksiko dan Brazil bahwa jika dibandingkan dengan program bantuan langsung

tunai, maka melalui pendekatan bantuan tunai bersyarat (CCT) dapat dicapai

tujuan pendapatan untuk meningkatkan aset dan pendekatan ini sangat efektif.

Rasio Hutang dan AsetHal menarik yang perlu dicermati dari data penelitian adalah sebanyak

47,3 persen keluarga contoh mengaku memiliki hutang sebelum mendapat dana

PKH, yang ternyata mengalami peningkatan menjadi hampir dua kali lipat

(82,7%) saat mendapat dana PKH (Tabel 47). Hal ini disebabkan adanya pola

pikir di kalangan keluarga contoh, nantinya akan mendapat dana PKH sehingga

berhutang atau meminjam uang sebelum dana PKH turun. Apalagi turunnya

dana PKH sering mengalami keterlambatan dari informasi tanggal yang sudah

direncanakan, sehingga contoh memilih berhutang dahulu terutama untuk

menutupi kebutuhan sehari-hari.

Untuk memperoleh data rasio hutang terhadap aset, dalam penelitian ini

aset juga dilihat berdasarkan perkiraan nilainya yakni Rp376 880,00 (Rp67

378,32) pra-PKH dan Rp517 386,67 (Rp95 816,14) saat-PKH. Perkiraan nilai

aset yang dimiliki keluarga contoh dilakukan dengan mempertimbangkan

penyusutan karena usia pakai, harga pembelian dan harga jual saat ini.

Page 39: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

115

Sementara hasil wawacara menunjukkan bahwa rata-rata hutang keluarga

adalah Rp265 522,00 (Rp49 009,35/kapita) pra-PKH dan Rp470 362,69 (Rp87

623,97/kapita) saat-PKH.

Tabel 47 Sebaran dan statistik kepemilikan hutang dan rasio hutang dan asetpra dan saat PKH

No Kepemilikan HutangPra-PKH (n=150) Saat-PKH (n=150)

n % n %Kepemilikan Hutang

1. Ya 71 47,3 124 82,72. Tidak 79 52,7 26 17,3

Rata-Rata±SD (Rp) 265 522,00±845 471,94 470 362,69±1 015 429,98

Kisaran (min-max) (Rp) 0-5 100 000 0-5 525 000

Uji Beda Berpasangan (sig) 0,000**Kategori Rasio Hutan dan Aset

1. ≤ 50 % 38 25,6 66 43,72. > 50% 112 74,4 84 56,3Ket : * nyata pada p<0,01

Dengan demikian, jika dilihat dari rata-rata keseluruhan nilai aset masih

lebih tinggi dibandingkan dengan hutang baik pada saat pra maupun saat

mendapatkan dana PKH. Namun jika dilihat dari rasio hutang terhadap aset per

keluarga (Tabel 47), maka sebelum mendapat dana PKH rata-rata hutang

keluarga contoh sekitar dua pertiga (74,4%) termasuk lebih dari 50 persen. Saat

mendapat dana PKH, rasio hutang terhadap aset mengalami penurunan dimana

keluarga dengan rasio lebih dari 50 persen menurun menjadi 56,3 persen.

Dengan demikian, kemampuan membayar hutang dengan menggunakan aset

yang dimiliki, semakin meningkat dengan diperolehnya dana PKH.

Jika hutang dibandingkan dengan pendapatan, maka diperoleh rata-rata

0,55 pra-PKH dan 0,92 saat-PKH, artinya hutang saat-PKH semakin tidak dapat

ditutupi oleh pendapatan. Selanjutnya, jika hutang dibandingkan dengan

penerimaan saat-PKH (pendapatan ditambah dana PKH), maka kemampuan

untuk membayar hutang semakin besar dengan turunnya hampir setengah (0,49)

rasio hutang terhadap penerimaan.

Tekanan Ekonomi KeluargaTekanan ekonomi pra-PKH yang dirasakan lebih dari separuh hingga

lebih dari tiga perlima keluarga contoh yang masuk dalam kategori tertekan

Page 40: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

116

berubah menjadi hanya sekitar dua perlima, yang mencakup kecukupan

keuangan keluarga (67,3% pra-PKH; 17,3% saat-PKH), menyekolahkan anak

usia sekolah (61,3% pra-PKH; 8,7% saat-PKH), membayar keperluan sekolah

anak (62,7% pra-PKH; 7,3% saat-PKH), dan membeli kebutuhan makanan

keluarga, termasuk jajanan sehari-hari (52,0% pra-PKH; 20,7% saat-PKH).

Perubahan-perubahan tersebut menjadi alasan mengapa kategori tekanan

ekonomi keluarga menjadi lebih banyak yang tidak tertekan. Semua item tekanan

ekonomi berbeda nyata (p<0,05) antara pra-PKH dan saat-PKH (Lampiran 5).

Skor komposit tekanan ekonomi yang diperoleh memiliki makna semakin

tinggi skor, maka tekanan ekonomi yang dialami keluarga juga semakin tinggi.

Berdasarkan kategorisasi tekanan ekonomi, lebih dari separuh (52,7%) keluarga

contoh sebelum mendapat dana PKH adalah tergolong tidak tertekan, yang

kemudian mengalami perbaikan, sebagian besar (81,3%) keluarga contoh

tergolong tidak tertekan tekanan ekonominya (Tabel 48). Rata-rata skor tekanan

ekonomi juga mengalami penurunan dari 53,27 pra-PKH menjadi 30,67 saat-

PKH, dimana secara statistik perbedaan ini adalah nyata (p=0,000). Data ini

menunjukkan bahwa pemberian dana PKH mempunyai implikasi terhadap

penurunan tekanan ekonomi yang dirasakan oleh keluarga contoh. Hal ini dapat

dipahami karena dengan dana PKH yang diperoleh, sedikit banyaknya akan

mampu mengurangi beban ekonomi yang dirasakan oleh keluarga. Indikasi ini

juga lebih terlihat dengan turunnya persentase keluarga yang tertekan secara

ekonomi dari 26,7 persen pra-PKH menjadi 4,7 persen saat mendapat PKH.

Tabel 48 Sebaran dan statistik tekanan ekonomi keluarga pra dan saat PKH

No Kategori Tekanan Ekonomi Pra-PKH (n=150) Saat-PKH (n=150)n % n %

1. Tidak Tertekan (skor < 60) 79 52,7 122 81,32. Cukup Tertekan (skor 60 - 80) 31 20,7 21 14,03. Tertekan (skor > 80) 40 26,7 7 4,7

Rata-Rata ±SD 53,27 ± 34,65 30,67 ± 28,16Kisaran 0,00-100,00 0,00-100,00Uji Beda Berpasangan (sig) 0,000**

Ket : ** nyata pada p < 0,01

Manajemen Keuangan KeluargaMenurut Raines (1964) manajemen keuangan meliputi perencanaan,

pelaksanaan dan evaluasi dari sumberdaya materi yang dimiliki. Perencanaan

keuangan yang baik dapat membantu kita untuk mengetahui sumberdaya yang

Page 41: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

117

dimiliki dan bagaimana menggunakan sumberdaya yang terbatas itu untuk

memenuhi kebutuhan dan tujuan keluarga.

Pelaksanaan suatu kegiatan seringkali tidak sesuai dengan rencana yang

telah dibuat, banyak hal yang seringkali mempengaruhi pelaksanaannya.

Lampiran 6 memperlihatkan sebaran contoh berdasarkan kesesuaian antara

rencana dengan penggunaan keuangan keluarga. Item-item manajemen

keuangan keluarga yang berbeda nyata anatara pra dan saat-PKH adalah pada

merujuk pada rencana sebelum membeli sesuatu, membeli keperluan ibu sendiri

(seperti baju, make-up, dan lain-lain) dengan pendapatan sendiri, berusaha

menabung walau sedikit dan berhutang uang/barang pada orang lain/toko/

warung. Dalam implementasinya, keluarga contoh jarang melaksanakan

manajemen keuangan. Hal ini dipengaruhi berbagai hal, seperti rendahnya

tingkat pendidikan dan keterbatasan sumberdaya keuangan yang dimiliki oleh

keluarga.

Lebih dari 70 persen contoh melakukan manajemen keuangan yang

tergolong rendah, baik pra maupun saat keluarga mendapat dana PKH, artinya

sistem pengelolaan keuangan keluarga masih kurang melakukan perencanaan,

pelaksanaan seadanya tanpa rencana dan kurang melakukan evaluasi yang

seharusnya. Hal ini juga terlihat dari rendahnya rata-rata skor manajemen

keuangan keluarga yang hanya sekitar 47 baik pra maupun saat-PKH, serta

secara statistik pun tidak ditemukan perbedaan yang nyata (p=0,433) antara

keduanya (Tabel 49).

Tabel 49 Sebaran dan statistik manajemen keuangan keluarga pra dan saatPKH

No Kategori ManajemenKeuangan Keluarga

Pra-PKH (n=150) Saat-PKH (n=150)n % n %

1. Kurang (skor < 60) 107 71,3 107 71,32. Sedang (skor 60 - 80) 31 20,7 30 20,03. Baik (skor > 80) 12 8,0 13 8,7

Rata-Rata+SD 47,00+21,91 47,30+21,70Kisaran (min-max) 0,00-95,50 0,00-95,50Uji Beda Berpasangan (sig) 0,433

Manajemen keuangan keluarga dilihat dari kebiasaan contoh dalam

membuat perencanaan keuangan, menyimpan uang dalam bentuk tabungan dan

mengevaluasi uang yang dibelanjakan serta membicarakan masalah keuangan

Page 42: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

118

di keluarga. Praktek manajemen keuangan keluarga pada lebih dari separuh

(50,6%) keluarga contoh masih tergolong kurang. Hanya sebagian kecil (12,6%)

contoh yang telah melakukan manajemen keuangan dengan baik. Umumnya

keluarga miskin memiliki pendapatan yang tidak teratur, karena sebagian besar

adalah bekerja secara ‘serabutan’ sebagai buruh, sehingga yang diterapkan ‘apa

yang didapat hari ini, itulah yang dimakan’. Hal ini membuat keluarga miskin tidak

melakukan pengelolaan keuangan karena menurut contoh tidak ada sumberdaya

yang dapat dikelola.

Strategi Koping Fungsi Ekonomi KeluargaSebagian besar (88,0%) contoh melaporkan memiliki masalah keuangan,

sementara sisanya (12%) menyatakan tidak mengalami. Jenis masalah

keuangan yang dialami oleh keluarga contoh diantaranya adalah banyak

kebutuhan yang tidak bisa terpenuhi, banyak pengeluaran, penghasilan sedikit,

belum bayar utang, belum bisa membantu saudara, setiap akhir bulan

mengalami kesulitan keuangan, suami yang tidak bekerja, pendapatan yang tidak

menentu, pengeluaran lebih besar dari pemasukan, selalu utang ke warung,

kesulitan membeli pangan untuk keluarga dan keluarga banyak yang hajatan

yang mengakibatkan keluarga lebih banyak pengeluaran. Jika dilihat dari waktu,

persentase terbesar keluarga mengalami masalah keuangan adalah setiap waktu

dan awal/akhir bulan. Hal ini dimungkinkan karena pekerjaan kepala keluarga

umumnya adalah sporadis sebagai buruh, sehingga penghasilan keluarga

cenderung rendah dari waktu ke waktu.

Hasil kategorisasi skor koping yang dilakukan oleh keluarga contoh

mengindikasikan bahwa lebih dari setengah contoh (57,3%) tergolong sedang

baik pra-PKH maupun saat-PKH (Tabel 50). Rata-rata skor komposit variabel

koping tersebut juga relatif rendah, yakni 38,41 pra-PKH dan 36,22 saat-PKH.

Secara statistik, perbedaan ini adalah nyata (p=0,000) yang berarti upaya yang

dilakukan mengalami penurunan yang signifkan saat keluarga contoh mendapat

dana PKH.

Jika dilihat berdasarkan dua dimensi strategi koping yang dilakukan

keluarga contoh, yakni mengurangi pengeluaran keluarga dan menambah

pendapatan keluarga, maka strategi koping yang paling banyak dilakukan adalah

mengurangi pengeluaran keluarga. Hal ini dapat dimaknai dari rata-rata skor

strategi koping mengurangi pengeluaran keluarga yang lebih tinggi hampir dua

kali lipat dibandingkan skor strategi koping menambah pendapatan keluarga baik

Page 43: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

119

sebelum maupun saat mendapat dana PKH. Untuk strategi koping mengurangi

pengeluaran keluarga, terdapat perbedaan yang nyata (p=0,000) antara sebelum

dan saat keluarga mendapat dana PKH, sebaliknya pada skor strategi koping

menambah pendapatan keluarga tidak ditemukan perbedaan yang nyata

(p=0,151). Indikasi dari data ini adalah keluarga cenderung tidak melakukan

upaya untuk menggerakkan pendapatan (income generating) yang sifatnya lebih

produktif, sebaliknya keluarga lebih memilih untuk melakukan upaya menghemat

atau memotong pengeluaran yang sifatnya lebih pasif. Sulitnya mencari

pekerjaan atau sumberdaya yang minim menjadi diantara alasan keluarga contoh

tidak mencari penghasilan tambahan.

Tabel 50 Sebaran dan statistik strategi koping fungsi ekonomi keluarga pra dansaat PKH

No Kategori Skor Strategi Koping Pra-PKH (n=150) Saat-PKH (n=150)n % n %

Strategi Koping Total1. Rendah (skor < 60) 149 99,3 149 99,32. Sedang (skor 60 - 80) 0 0,0 0 0,03. Tinggi (skor > 80) 1 0,7 1 0,7

Rata-Rata±SD 38,41±10,23 36,22±10,20Kisaran (min-max) 13,40-85,40 11,00-85,40Uji Beda Berpasangan (sig) 0,000**Strategi Koping Mengurangi Pengeluaran Keluarga

1. Rendah (skor < 60) 125 83,3 130 86,72. Sedang (skor 60 - 80) 24 16,0 19 12,73. Tinggi (skor > 80) 1 0,7 1 0,7

Rata-Rata±SD 46,91±13,45 43,67±12,92Kisaran (min-max) 16-96 16-96Uji Beda Berpasangan (sig) 0,000**Strategi Koping Menambah Pendapatan Keluarga

1. Rendah (skor < 60) 149 99,3 149 99,32. Sedang (skor 60 - 80) 1 0,7 1 0,73. Tinggi (skor > 80) 0 0,0 0 0,0

Rata-Rata±SD 25,15±10,4 24,59±11,13Kisaran (min-max) 3,1-68,8 0-68,8Uji Beda Berpasangan (sig) 0,151

Ket : ** nyata pada p < 0,01

Dibandingkan dengan strategi koping menambah pendapatan, keluarga

cenderung lebih memilih melakukan strategi koping menghemat pengeluaran

baik untuk pangan, kesehatan, pendidikan maupun pengeluaran lainnya. Strategi

Page 44: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

120

bersifat pasif ini lebih dipilih karena keterbatasan sumberdaya yang dimiliki

keluarga untuk melakukan strategi koping aktif, misalnya karena tidak

tersedianya lahan, tingkat pendidikan yang rendah, tidak ada pekerjaan, tidak

ada aset atau tidak ada tempat untuk meminjam uang. Hal ini sejalan dengan

penelitian Kusumo (2009) yang menyatakan bahwa dalam menghadapi kesulitan

ekonomi, keluarga petani lebih sering melakukan strategi penghematan

dibandingkan strategi penambahan sumberdaya ataupun strategi sosial.

Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan Purlika (2004) yang

menyatakan bahwa dalam melakukan upaya food coping mechanism

rumahtangga miskin di perkotaan, ditemukan adanya kecenderungan untuk

merubah kebiasaan makan, mencari pekerjaan tambahan, meminjam dalam

bentuk uang/pangan, dan menjual aset. Prioritas pilihan bentuk coping yang

cenderung dilakukan oleh rumahtangga pada berbagai tingkat ketahanan pangan

adalah merubah kebiasaan makan (51,5%). Pada rumahtangga sangat rawan

pangan bentuk food coping mechanism yang dilakukan cenderung lebih komplek

dibandingkan rawan dan tahan pangan.

Hasil tabulasi silang antara strategi koping mengurangi pengeluaran atau

penghematan dengan strategi menambah pendapatan untuk melihat tipologi

strategi koping keluarga, mengindikasikan bahwa pra-PKH, persentase terbesar

atau sepertiga keluarga contoh yang melakukan strategi mengurangi

pengeluaran yang rendah akan juga melakukan strategi menambah pendapatan

yang terkategori rendah (Tabel 51).

Tabel 51 Sebaran contoh berdasarkan kategori strategi koping fungsi ekonomidengan mengurangi pengeluaran keluarga dan menambahpendapatan keluarga pra dan saat PKH

Strategi MengurangiPengeluaran

Strategi Menambah Pendapatan

Rendah (n=150) Tinggi (n=150)

Rendah (n=150)33,3% (Pra-PKH)26,0% (Saat-PKH)

18,0% (Pra-PKH)23,3% (Saat-PKH)

Tinggi (n=150)21,3% (Pra-PKH)16,7% (Saat-PKH)

27,3% (Pra-PKH)34,0% (Saat-PKH)

Ket : Rendah jika skor < Rata-Rata; Tinggi jika skor > Rata-Rata; persentase adalah terhadap total contoh

Pada saat-PKH, persentase terbesar atau sepertiga keluarga contoh yang

menggunakan strategi mengurangi pengeluaran yang tergolong tinggi, akan juga

Page 45: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

121

menggunakan strategi menambahan pendapatan yang tergolong tinggi. Hasil

analisis korelasi Spearman menunjukkan hubungan yang positif nyata antara

strategi mengurangi pengeluaran dan strategi menambahan pendapatan baik

untuk pra-PKH (rs=0,212; p<0,01) maupun saat-PKH (rs=0,200; p<0,05).

Strategi Koping Fungsi Ekonomidengan Mengurangi Pengeluaran Keluarga

Permasalahan yang dihadapi keluarga dapat menimbulkan dapat

mengakibatkan stres pada anggotanya sehingga keluarga akan berupaya untuk

keluar dari permasalahan tersebut melalui coping behavior. Dalam menghadapi

tekanan ekonomi, keluarga umumnya mengembangkan strategi atau mekanisme

koping. Mekanisme koping bertujuan untuk mengurangi dampak tekanan

ekonomi dengan memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki, baik secara positif

maupun negatif. Mekanisme koping secara positif contohnya mengurangi

pengeluaran atau meningkatkan produktivitas keluarga, maupun secara negatif

seperti meminjam uang (Voydanoff & Donnelly 1988).

Pada penelitian ini, strategi koping fungsi ekonomi mengurangi

pengeluaran yang diamati, dibagi ke dalam empat kelompok, yaitu strategi

koping untuk masalah pangan, kesehatan, pendidikan dan pengeluaran lainnya

yang dapat dilihat pada Lampiran 7. Dalam pembahasan tentang strategi koping

yang dilakukan keluarga ini, yang disoroti lebih kepada item yang dilakukan oleh

lebih dari 40 persen keluarga dengan frekuensi sering.

Strategi Mengurangi Pengeluaran untuk Pangan. Secara umum

persentase keluarga yang termasuk sering melakukan koping dengan

mengurangi pengeluaran pangan mengalami penurunan saat mendapat dana

PKH (Lampiran 7). Jika dilihat dari 11 item strategi koping pangan, yang berada

di atas 40 persen adalah membeli pangan yang lebih murah (81,3% pra-PKH;

80,7% saat-PKH), mengurangi pembelian kebutuhan pangan baik jumlah

ataupun jenis (62,0% pra-PKH; 52,7% saat-PKH), mengurangi jajan anak (48,0%

pra-PKH; 45,3% saat-PKH) dan merubah distribusi pangan (prioritas ibu jadi

untuk anak) (44,7% pra-PKH; 39,3% saat-PKH). Upaya membeli pangan yang

lebih murah dilakukan misalnya dengan mengganti bahan makanan protein

hewani dengan protein nabati, sedangkan mengurangi pembelian kebutuhan

pangan baik jumlah ataupun jenis dilakukan misalnya dengan pengurangan

terhadap penggunaan minyak goreng. Dengan demikian, secara umum keluarga

Page 46: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

122

lebih sering melakukan empat dari sepuluh strategi penghematan pengeluaran

atas pangan.

Strategi Mengurangi Pengeluaran untuk Kesehatan. Secara umum

persentase keluarga yang termasuk sering melakukan koping dengan

mengurangi pengeluaran kesehatan mengalami penurunan saat mendapat dana

PKH. Dari lima item strategi koping kesehatan, yang berada di atas 40 persen

adalah memilih tempat berobat yang murah (86,0% pra-PKH; 84,7% saat-PKH)

dan mengurangi pembelian rokok (48,0% pra-PKH; 46,0% saat-PKH). Dengan

demikian, secara umum keluarga lebih sering melakukan dua dari lima strategi

penghematan pengeluaran untuk kesehatan (Lampiran 7).

Strategi Mengurangi Pengeluaran untuk Pendidikan. Secara umum

persentase keluarga yang termasuk sering melakukan koping dengan

mengurangi pengeluaran pendidikan mengalami penurunan saat mendapat dana

PKH. Dari enam item strategi koping pendidikan, yang berada di atas 40 persen

adalah mengurangi uang saku anak sehari-hari (46,7% pra-PKH; 43,3% saat-

PKH). Dengan demikian, secara umum keluarga lebih sering melakukan satu dari

enam strategi penghematan pengeluaran untuk pendidikan (Lampiran 7).

Strategi Mengurangi Pengeluaran Lainnya. Secara umum, persentase

keluarga yang termasuk sering melakukan koping dengan mengurangi

pengeluaran lainnya mengalami penurunan saat mendapat dana PKH, hanya

satu item dari empat item yang tidak mengalami perubahan antara pra dan saat-

PKH. Keempat item strategi koping pengeluaran lainnya berada di atas 40

persen yakni mengurangi pembelian peralatan dapur (96,7% pra-PKH; 93,3%

saat-PKH), mengurangi pembelian perabot rumahtangga (96,0% pra-PKH;

92,7% saat-PKH), mengurangi pembelian pakaian (95,3% pra-PKH; 92,7% saat-

PKH) dan mengurangi penggunaan air/listrik/telepon (42,0% pra-PKH; saat-

PKH). Dengan demikian, keluarga sering melakukan semua strategi

penghematan pengeluaran lainnya (Lampiran 7).

Strategi Koping Fungsi Ekonomidengan Menambah Pendapatan Keluarga

Strategi Menambah Pendapatan untuk Pangan. Dua dari lima strategi

koping dengan menambah pendapatan pangan yang sering dilakukan keluarga

mengalami peningkatan saat mendapat dana PKH yakni beternak (unggas atau

ikan) (38,7% pra-PKH; 40,0% saat-PKH) dan keluarga memanfaatkan lahan

kosong untuk menanam tanaman (jagung, ubi, singkong) (20,0% pra-PKH;

Page 47: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

123

22,7% saat-PKH). Jika dilihat dari lima item strategi koping pangan, yang berada

di atas 40 persen adalah membeli pangan dengan hutang (59,3% pra-PKH;

58,7% saat-PKH) dan meminjam uang (40,7% pra-PKH; 38,0% saat-PKH).

Dengan demikian, secara umum keluarga lebih sering melakukan 2 strategi dari

5 strategi penambahan pendapatan untuk pangan (Lampiran 8).

Strategi Menambah Pendapatan untuk Kesehatan. Satu dari dua

strategi koping dengan menambah pendapatan untuk kesehatan dengan

frekuensi sering dilakukan keluarga mengalami peningkatan saat mendapat dana

PKH, yakni keluarga memanfaatkan tanah pekarangan untuk tanaman obat

keluarga (14,7% pra-PKH; 15,3% saat-PKH) (Lampiran 8). Dari dua item strategi

koping menambah pendapatan untuk kesehatan, yang berada di atas 40 persen

adalah meminta obat gratis ke puskesmas/tempat berobat lainnya (49,3% pra-

PKH dan saat-PKH). Dengan demikian, secara umum keluarga lebih sering

melakukan satu dari dua strategi menambah pendapatan untuk kesehatan.

Strategi Menambah Pendapatan untuk Pendidikan. Dari tiga item

strategi koping menambah pendapatan untuk pendidikan, lebih dari 70 persen

keluarga menyatakan tidak pernah melakukannya. Ketiga item tersebut adalah

meminta buku bekas ke sekolah/tetangga, mengusahakan beasiswa untuk

sekolah anak dan anak bekerja/membantu orangtua untuk menambah keperluan

sekolah. Dengan demikian, keluarga contoh termasuk jarang atau tidak pernah

melakukan strategi menambah pendapatan untuk pendidikan (Lampiran 8).

Strategi Menambah Pendapatan Lainnya. Tidak berbeda dengan

strategi menambah pendapatan untuk pendidikan, dalam menambah pendapatan

lainnya baik dengan bekerja, menjual aset/barang ataupun migrasi, ternyata

jarang atau tidak pernah dilakukan oleh keluarga dengan persentase di atas 70

persen. Dengan demikian, keluarga contoh tergolong jarang atau tidak pernah

melakukan semua strategi menambah pendapatan lainnya (Lampiran 8).

Persepsi dan Relasi GenderPersepsi terhadap Peran Gender

Persepsi contoh dalam hal ini ibu terhadap peran gender mencakup lima

belas item pernyataan yang disajikan pada Lampiran 9. Beberapa pernyataan

yang disoroti adalah perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi yang disetujui

oleh 26,7 persen contoh, perempuan (istri) mampu berkontribusi lebih dari pria

(suami) dalam menghidupi keluarga dan layak untuk mengelola keluarga tidak

disetujui oleh sepertiga ibu, tugas istri adalah mengurus rumahtangga saja,

Page 48: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

124

sedangkan tugas suami adalah mencari nafkah bagi keluarga saja disetujui oleh

62,7 persen contoh, keterlibatan istri dalam kegiatan di luar rumah akan

membuat pekerjaan rumahtangga terbengkalai disetujui oleh 21,3 persen ibu,

pengasuhan dan perawatan anak merupakan tanggungjawab istri saja disetujui

oleh 38,7 persen ibu dan tugas utama istri mengurus rumahtangga dan tugas

utama suami mencari nafkah bagi keluarga, tetapi boleh bertukar peran apabila

secara ekonomis memang menguntungkan tidak disetujui oleh 48,7 persen ibu.

Hasil penelitian ini agak berbeda dengan dengan kajian Saleha (2003)

yang menyatakan bahwa persepsi tentang gender yang paling banyak dianut

baik oleh suami maupun isteri adalah ”isteri dan suami menyadari bahwa

perbedaan jenis kelamin tidak harus dipertentangkan dalam menghidupi

keluarga, tetapi justru bersifat saling mendukung dan melengkapi”, sedangkan

pilihan tugas berdasarkan gender yang paling banyak dianut baik oleh suami

maupun isteri adalah ”tugas utama isteri adalah mengurus rumahtangga, tetapi

boleh membantu tugas suami dalam mencari nafkah keluarga, sedangkan

tanggungjawab mencari nafkah utama tetap tugas suami”. Dalam penelitian ini,

sebagian besar contoh menyatakan setuju untuk pernyataan tugas “istri adalah

mengurus rumahtangga saja, sedangkan tugas suami adalah mencari nafkah

bagi keluarga saja”, meskipun di sisi lain sebagian besar contoh juga

menyatakan setuju untuk pernyataan “istri dan suami memiliki kedudukan yang

setara dalam hal pengambilan keputusan dalam keluarga” dan “istri boleh

membantu tugas suami dalam mencari nafkah keluarga”.

Persentase tertinggi (45%) dihasilkan dari kategorisasi skor persepsi

contoh terhadap peran gender dalam kategori cukup berperspektif gender (Tabel

52). Rata-rata skor persepsi terhadap peran gender adalah 74,93 dengan kisaran

skor antara 25,00 hingga 100,00. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa persepsi

tentang gender sebagian besar contoh adalah sama tentang gender, yaitu istri

dan suami menyadari bahwa perbedaan jenis kelamin tidak harus

dipertentangkan dalam menghidupi keluarga, tetapi justru bersifat saling

mendukung dan melengkapi. Bila dikaitkan dengan konteks teoritis antara faham

struktural fungsional dengan sosial konflik tentang pembagian kerja dalam

keluarga, dapat dikatakan bahwa persepsi para contoh mayoritas cenderung

mengarah pada penjelasan-penjelasan teori fungsionalisme yang mementingkan

keseimbangan pembagian kerja dalam keluarga. Persepsi contoh identik dengan

sifat ketradisionalannya, dimana sebagian besar memiliki pemikiran yang cukup

Page 49: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

125

terbuka mengenai peranan antara suami dan istri dalam keluarga, walaupun hal

ini belum banyak tercermin dalam tindakan.

Tabel 52 Sebaran dan statistik persepsi gender pra dan saat PKH

No Kategori Persepsi Gender Jumlah (n) Persentase (%)1 Berperspektif Gender Kurang (skor < 60) 25 16,72 Cukup Berperspektif Gender (skor 60 - 80) 68 45,33 Berperspektif Gender Baik (skor > 80) 57 38,0

Rata-Rata±SD 74,93±17,47

Kisaran (min-max) 25,00-100,00

Relasi GenderRelasi gender memandang hubungan antara laki-laki dan perempuan

berkaitan dengan pembagian peran yang dijalankan masing-masing pada

berbagai tipe dan struktur keluarga. Pola pengambilan keputusan untuk aktivitas

domestik yang terdapat pada masyarakat ini dapat dikatakan tidak didominasi

oleh satu pihak tertentu (suami saja atau istri saja), tetapi memiliki pola yang

tersebar pada masing-masing aspek keputusan yang diambil pada keluarga-

keluarga tersebut. Sumber dari permasalahan kemiskinan perempuan terletak

pada budaya patriarki laki-laki sebagai superior dan perempuan sebagai

subordinat. Budaya patriarki seperti ini tercermin baik dalam kehidupan

berkeluarga, bermasyarakat, maupun bernegara, dan menjadi sumber

pembenaran terhadap sistem distribusi kewenangan, sistem pengambilan

keputusan, sistem pembagian kerja, sistem kepemilikan, dan sistem distribusi

sumberdaya yang bias gender (Bappenas 2008).

Keadaan diatas menunjukkan bahwa perangkat aturan yang berlaku

dalam masyarakat tentang peran perempuan dalam keluarga cukup membuka

ruang publik bagi istri asalkan tetap tidak melupakan atau meninggalkan tugas

utamanya dalam keluarga sebagai ibu rumahtangga. Pada penelitian ini, pilihan

pola pengambilan keputusan yang ditawarkan terdiri dari tiga variasi

pengambilan keputusan yaitu : (1) Pengambilan keputusan yang didominasi oleh

istri, (2) Pengambilan keputusan oleh suami-istri senilai, dan (3) Pengambilan

keputusan yang didominasi oleh suami.

Pengambilan keputusan yang dilakukan hanya oleh suami adalah

bertanggungjawab pada pekerjaan publik/ekonomi, namun tidak berbeda nyata

antara pra dan saat-PKH. Sementara itu, tugas mencari jalan pemecahan

Page 50: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

126

masalah keuangan, bertanggungjawab pada aktivitas sosial dan bertanggung-

jawab pada pengasuhan dan pendidikan anak pengambilan keputusannya

dilakukan setara antara suami dan istri baik pra maupun saat-PKH. Peran istri

jauh lebih dominan untuk pengelolaan keuangan, penyediaan makanan dan

pengaturan kegiatan rumahtangga dibandingkan suami. Perbedaan yang nyata

antara pra dan saat-PKH ditemukan pada mencari jalan pemecahan masalah

keuangan dan bertanggungjawab pada pengasuhan dan pendidikan anak. Skor

kedua item tersebut mengalami penurunan, akibat meningkatnya pengambilan

keputusan yang hanya dilakukan ibu saja pada saat mendapat PKH. Dengan

demikian, kontrol ibu terhadap sumberdaya meningkatkan dengan skema dana

PKH yang harus diambil oleh ibu (Lampiran 10). Hasil studi Kusumo (2009)

sejalan dengan penelitian ini, peran istri lebih dominan di sektor domestik,

sedangkan suami lebih dominan dalam menjalankan peran di sektor publik. Pada

beberapa kegiatan di sektor domestik maupun publik, terlihat suami dan istri

sama-sama terlibat dalam pengambilan keputusan dan pembagian kerja.

Skor komposit relasi gender menunjukkan peran pengambilan keputusan

tugas-tugas keluarga antara suami dan istri. Semakin tinggi skor relasi gender,

maka pengambilan keputusan dilakukan setara antara suami dan istri. Meskipun

dalam implementasinya, tugas tersebut dilaksanakan oleh satu pihak saja,

namun terdapat transparansi antara suami dan istri dalam keputusan yang terkait

dengan tugas tersebut. Secara umum relasi gender yang diterapkan oleh

keluarga contoh masih relatif kurang responsif (Tabel 53).

Tabel 53 Sebaran dan statistik relasi gender pra dan saat PKH

No Kategori Relasi Gender Pra-PKH (n=150) Saat-PKH (n=150)n % n %

1. Kurang Responsif (skor < 60) 134 89,3 135 90,02. Cukup Responsif (skor 60 - 80) 15 10,0 30 9,33. Responsif (skor > 80) 1 0,7 1 0,7

Rata-Rata+SD 31,80+19,53 30,07+19,98Kisaran (min-max) 0,00-100,00 0,00-100,00

Uji Beda Berpasangan (sig) 0,024*Ket : ** nyata pada p < 0,05

Persentase contoh yang termasuk kurang responsif meningkat dari 89,3

persen pra-PKH menjadi 90,0 persen saat-PKH. Skor komposit relasi gender

juga mengalami penurunan dari 31,80 pra-PKH menjadi 30,07 saat-PKH (Tabel

Page 51: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

127

53). Perbedaan ini secara statistik adalah nyata (p=0,024), maknanya program

PKH mampu meningkatkan peran perempuan dalam pengambilan keputusan

tugas keluarga, yang terlihat dari pengambilan keputusan semakin banyak

dilakukan oleh ibu saja.

Menurut Son (2008), program CCT berkontribusi terhadap peningkatan

status wanita dalam rumahtangga karena penerima program langsung diarahkan

kepada wanita. Dengan demikian, wanita memainkan peran penting dalam

alokasi sumberdaya rumahtangga dan dalam membuat keputusan penting dalam

rumahtangga. Namun di lain pihak, dalam panduan PKH dinyatakan bahwa

salah satu manfaat PKH adalah mempercepat pencapaian MDGs melalui

peningkatan kesetaraan gender. Kesetaraan gender diangkat dalam program

PKH karena, secara sosial politik laki-laki sudah berdaya, sementara perempuan

seringkali tersubordinasi. Perempuan melalui program PKH diberikan kontrol dan

kekuasaan atas dana PKH, namun dalam pengambilan keputusan dana tersebut

akan digunakan untuk apa dapat dilakukan secara bersama-sama dengan

suaminya. Terkait dengan manfaat tersebut, maka program PKH belum dapat

dikatakan berhasil memperkuat kesetaraan gender, yang terindikasi dari masih

relatif rendahnya skor relasi gender.

Tingkat Stres IbuStres adalah konflik yang berupa tekanan eksternal dan internal serta

permasalahan lainnya dalam kehidupan (Haber & Runyon 1984). Berbagai

macam gejala stres yang dialami ibu dengan frekuensi sering mengalami

penurunan, saat keluarga mendapat dana PKH. Gejala-gejala stres yang dialami

contoh dikelompokkan menjadi dua, yakni gejala ringan (mild) dan berat (severe).

Gejala stres ringan mencakup gugup atau hati berdebar-debar, berperasaan

mudah tersinggung, berperasaan lemas dan kurang bertenaga, mudah

menangis, perasaan tertekan, tiba-tiba merasa tertekan tanpa sebab, menyesali

diri, merasa kesepian dan sendiri, merasa sedih dan kelabu, khawatir berlebihan,

tidak bersemangat dan bosan, merasa ingin cepat marah, sulit istirahat,

membayangkan hal-hal yang jelek, dan merasa tidak aman. Gejala stres berat

mencakup berpikir untuk bunuh diri, tubuh gemetar hebat, lepas kontrol/

temperamen, jantung berpacu dengan cepat dan keras, merasa putus asa

tentang masa depan, bertengkar dengan seseorang sampai melukai orang

tersebut, bertengkar dengan seseorang sampai memecahkan barang, merasa

tidak berguna sebagai manusia, berteriak dan melempar-lempar barang, dan

Page 52: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

128

kehilangan gairah seksual. Selanjutnya masing-masing kelompok stres tersebut

dikompositkan, semakin tinggi skor maka tingkat stres ibu akan semakin tinggi.

Gejala stres ringan yang termasuk sering dialami oleh contoh rata-rata

dialami oleh 26,5 persen contoh pra-PKH (berkisar antara 5,3%-49,3%) dan 18,6

persen contoh saat-PKH (berkisar antara 2,7%-39,3%), sedangkan gejala stres

berat yang tergolong sering rata-rata dialami oleh 9,4 persen contoh pra-PKH

(berkisar antara 2,0%-33,3%) dan 6,59 persen contoh saat-PKH (berkisar antara

0,7%-19,3%). Gejala stres ringan yang paling sering dialami oleh dua perlima ibu

adalah gugup atau hati berdebar-debar (47,3% pra-PKH; 25,3% saat-PKH),

berperasaan lemas dan kurang bertenaga (49,3% pra-PKH; 39,3% saat-PKH)

dan mudah menangis (44,7% pra-PKH; 30,7% saat-PKH), perasaan tertekan

(46,0% pra-PKH; 24,7% saat-PKH), dan merasa sedih dan kelabu (45,3% pra-

PKH; 29,3% saat-PKH). Sebagian besar gejala stres yang dialami ibu mengalami

penurunan yang berbeda nyata secara statistik (Lampiran 11).

Meskipun kondisi ekonomi keluarga yang sangat memprihatinkan, tingkat

stres ibu sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam pengaturan keluarga,

masih tergolong dalam stres yang ringan. Hal ini terlihat dari rata-rata skor tingkat

stres yang relatif rendah, yakni 31,16 sebelum mendapat PKH dan menurun

menjadi 25,09 saat mendapat PKH. Penurunan tingkat stres antara pra dan saat

mendapat dana PKH ini secara statistik, adalah nyata (p=0,000). Dengan

demikian, dapat dinyatakan bahwa dana PKH yang diperoleh keluarga cukup

mampu mengurangi stres yang dialami oleh ibu, khususnya yang terkait dengan

keuangan keluarga. Dari hasil wawancara dengan contoh juga terungkap bahwa

ibu merasa lebih tenang dengan adanya dana PKH terutama untuk menutupi

kebutuhan sehari-hari. Hal ini disebabkan penyebab stres utama yang sering

dialami oleh ibu adalah ketidakmampuan keluarga dalam memenuhi tuntutan-

tuntutan dalam kehidupan keluarga. Saat-PKH terjadi penurunan tingkat stres ibu

dari skor 40,80 menjadi 33,06 yang ditunjukkan pula oleh peningkatan

persentase contoh yang termasuk kategori stres rendah (77,3% pra-PKH; 84,7%

saat-PKH). Hasil yang sama ditemukan pada kelompok stres berat, dimana

terjadi peningkatan pada kategori stres ringan (99,3% pra-PKH; 100,0% saat-

PKH). Hasil analisis uji beda untuk kedua kelompok stres (ringan dan berat)

antara pra-PKH dan saat-PKH adalah nyata (masing-masing p=0,000) (Tabel

54).

Page 53: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

129

Tabel 54 Sebaran dan statistik tingkat stres ibu pra dan saat PKH

No Kategori Tingkat Stres Ibu Pra-PKH Saat-PKHn % n %

Kategori Stres Total (n=150)1. Tidak Stres (skor=0) 4 2,7 6 4,02. Stres Ringan (skor 1 - 60) 138 92,0 140 93,33. Stres Sedang (skor 60 - 80) 8 5,3 4 2,74. Stres Berat (skor > 80) 0 0,0 0 0,0

Rata-Rata±SD 31,16±17,24 25,09±16,85Kisaran (min-max) 0,00-78,00 0,00-66,00Uji Beda Berpasangan (sig) 0,000**Kategori Stres Ringan (n=150)

1. Tidak Stres (skor=0) 4 2,7 7 4,72. Stres Ringan (skor 1 - 60) 116 77,3 127 84,73. Stres Sedang (skor 60 - 80) 29 19,3 21 14,04. Stres Berat (skor > 80) 5 3,3 2 1,3

Rata-Rata±SD 40,80±21,09 33,06±21,39Kisaran (min-max) 0,00-93,30 0,00-83,30Uji Beda Berpasangan (sig) 0,000**Kategori Stres Berat (n=150)

1. Tidak Stres (skor=0) 22 14,7 30 20,02. Stres Ringan (skor 1 - 60) 149 99,3 150 100,03. Stres Sedang (skor 60 - 80) 1 0,7 0 0,04. Stres Berat (skor > 80) 0 0,0 0 0,0

Rata-Rata±SD 16,70±13,82 13,13±12,01Kisaran (min-max) 0,00-70,00 0,00-50,00Uji Beda Berpasangan (sig) 0,000**

Ket : ** nyata pada p < 0,01

Kesejahteraan Keluarga SubjektifPengukuran kesejahteraan subjektif menangkap perasaan seseorang

atau pengalaman riil secara langsung, kebahagiaan diri dan kepuasan hidup,

serta menggunakan ukuran ordinal (McGillivray & Clarke 2006). Jika dilihat per

item variabel kesejahteraan keluarga subjektif, terdapat beberapa item yang

dirasakan tidak puas oleh lebih dari separuh contoh sebelum mendapat PKH,

namun persentasenya mengalami penurunan saat keluarga mendapat dana

PKH. Item-item tersebut adalah keadaan keuangan keluarga (71,3% pra-PKH;

30,7% saat-PKH), keadaan tempat tinggal keluarga (52,0% pra-PKH; 47,3%

saat-PKH), keadaan materi/aset keluarga (60,7% pra-PKH; 54,7% saat-PKH),

dan perasaan istri terhadap penghasilan suami (57,3% pra-PKH; 50,7% saat-

PKH). Secara statistik terdapat perbedaan yang nyata antara pra dan saat-PKH

untuk semua item tersebut (Lampiran 12).

Di lain pihak, item variabel kesejahteraan keluarga subjektif yang

dinyatakan puas oleh lebih dari tiga perlima contoh pada pra-PKH, namun

Page 54: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

130

persentasenya mengalami peningkatan saat keluarga mendapat dana PKH

adalah gaya manajemen (cara pengelolaan) pekerjaan istri (61,3% pra-PKH;

62,0% saat-PKH), hubungan/komunikasi dengan orangtua/mertua (71,3% pra-

PKH; 72,7% saat-PKH), hubungan/komunikasi dengan tetangga (72,0% pra-

PKH; 74,0% saat-PKH) (Lampiran 12).

Kategori kesejahteraan keluarga subjektif yang tergolong puas

mengalami peningkatan dua kali lipat saat PKH. Rata-rata skor kesejahteraan

keluarga subjektif saat keluarga mendapat dana PKH (62,8) lebih tinggi

dibandingkan sebelum keluarga mendapat PKH (58,8). Hasil analisis uji beda t

berpasangan menunjukkan bahwa kesejahteraan keluarga subjektif antara pra

dan saat keluarga mendapat dana PKH adalah nyata (p=0,001). Hal ini

mengindikasikan meningkatnya kepuasan keluarga terhadap kondisi keluarganya

(Tabel 55).

Tabel 55 Sebaran dan statistik kesejahteraan keluarga subjektif pra dan saatPKH

No Kategori KesejahteraanKeluarga Subjektif

Pra-PKH(n=150)

Saat-PKH(n=150)

n % n %1. Tidak Puas (skor < 60) 75 50,0 66 44,02. Cukup Puas (skor 60 - 80) 59 39,3 53 35,33. Puas (skor > 80) 16 10,7 31 20,7

Rata-Rata±SD 58,79±18,75 62,84±19,29Kisaran (min-max) 4,50-97,70 11,40-100,00Uji Beda Berpasangan (sig) 0,000**

Ket : ** nyata pada p < 0,01

Jika kesejahteraan keluarga subjektif dikategorikan menjadi dua, yakni

sejahtera dan tidak sejahtera dengan cut off point kategori sejahtera jika skor

lebih dari 80 dan tidak sejahtera jika skor lebih dari dan sama dengan 80, maka

89,3 persen keluarga termasuk tidak sejahtera sebelum mendapat PKH, yang

kemudian menurun menjadi 79,3 persen saat keluarga mendapat PKH. Jika

dibandingkan dengan hasil kategori miskin berdasarkan penerimaan total

keluarga dengan bench mark garis kemiskinan BPS, dimana persentase

keluarga contoh yang miskin pra-PKH adalah 82,7 persen, sedangkan saat-PKH

sedikit meningkat menjadi 83,3 persen, maka ditemukan perbedaan dengan

ukuran kesejahteraan keluarga subjektif. Perbedaan ini dikarenakan

kesejahteraan keluarga subjektif lebih menunjukkan perasaan kepuasan pribadi

Page 55: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

131

atau rasa syukurnya akan kehidupan keluarganya dan materi yang diperolehnya.

Guhardja et al. (1992) menyatakan bahwa ukuran kepuasan ini dapat berbeda-

beda untuk setiap individu atau bersifat subjektif. Puas atau tidaknya seseorang

dapat dihubungkan dengan nilai yang dianut oleh orang tersebut dan tujuan yang

diinginkan. Konsep kesejahteraan adalah sesuatu yang bersifat subjektif dimana

setiap orang mempunyai pedoman, tujuan dan cara hidup yang berbeda-beda

sehingga memberikan nilai-nilai yang berbeda pula tentang faktor-faktor yang

menentukan tingkat kesejahteraan.

Berdasarkan Tabel 56, pada pra-PKH, keluarga contoh yang terkategori

miskin sekaligus tidak sejahtera adalah 74,0 persen, sedangkan pada saat-PKH,

keluarga contoh yang terkategori miskin sekaligus tidak sejahtera adalah 67,3

persen. Data ini sekaligus mengindikasikan sensitivitas kriteria kesejahteraan

keluarga subjektif dengan kriteria kemiskinan dengan bench mark BPS.

Sensitivitas adalah kemampuan suatu tes untuk mengidentifikasikan alat ukur

(misalnya untuk mengetahui kemiskinan) tersebut dengan tepat, dengan hasil tes

positif, dan benar rumahtangga tersebut miskin. Selanjutnya, spesifitas kriteria

kesejahteraan keluarga subjektif dengan kriteria kemiskinan dengan bench mark

BPS pada pra PKH adalah 2,0 sedangkan saat-PH sebesar 4,7. Spesifisitas

adalah kemampuan suatu tes untuk mengidentifikasi alat ukur dengan tepat,

dengan hasil tes negatif, dan benar rumahtangga tersebut tidak miskin. Angka ini

menunjukkan spesifitas.

Tabel 56 Sebaran kategori kesejahteraan keluarga subjektif dan kategori miskinpenerimaan keluarga dengan bench mark garis kemiskinan BPS pradan saat PKH

No Kategori kesejahteraankeluarga subjektif

Kategori Miskin Penerimaan Keluarga denganBench Mark Garis Kemiskinan BPS Sig (p);

nilai rsMiskin Tidak Miskin Total

Pra-PKH1. Tidak Sejahtera 74,0 15,3 89,3 0,495;

0,0562. Sejahtera 8,7 2,0 10,73. Total 82,7 17,3 100,0

Saat-PKH1. Tidak Sejahtera 67,3 12,0 79,3

0,056 ;0,3242. Sejahtera 16,0 4,7 20,7

3. Total 83,3 16,7 100,0

Page 56: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

132

Tidak ada hubungan yang nyata antara kategori kesejahteraan keluarga

subjektif dengan kategori kemiskinan penerimaan keluarga dengan bench mark

garis kemiskinan BPS baik untuk pra-PKH maupun saat-PKH. Hal ini sejalan

dengan penelitian Rambe, Hartoyo dan Karsin (2008) yang melaporkan temuan

bahwa kriteria kesejahteraan keluarga subjektif tidak berhubungan nyata

(p>0,05) dengan kriteria BPS. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini dapat

dijustifikasi pula dengan temuan Kusago (2007) dalam Kittiprapas (2009) yang

menyatakan bahwa tidak hanya kebahagiaan dan pendapatan, tetapi juga

kesejahteraan objektif dan kebahagiaan (dilaporkan dengan kesejahteraan

subjektif) adalah tidak berhubungan.

Pengukuran kesejahteraan objektif tidak dapat menggambarkan

kebahagiaan atau kesejahteraan subjektif. Contohnya, masyarakat Jepang

perkotaan dengan kesejahteraan objektif (dalam hal ini Indeks Pengembangan

Manusia/HDI) adalah tinggi, namun tidak tergolong tinggi dalam rangking

kesejahteraan subjektif. Selanjutnya hasil studi Easterlin dan Angelescu (2009)

dalam Kittiprapas (2009) terhadap data dari 37 negara - mengkonfirmasikan tidak

adanya hubungan antara pendapatan dan kebahagiaan di negara maju,

berkembang atau negara transisi, walaupun pada satu titik waktu peningkatan

dalam pendapatan akan mengarah pada peningkatan kebahagiaan, terutama

untuk negara-negara lebih miskin. Secara keseluruhan, kenaikan pertumbuhan

ekonomi negara tidak secara signifikan mempengaruhi kebahagiaan penduduk.

Analisis faktor dengan metode Principal Component Analysis dilakukan

untuk mengetahui dimensi-dimensi kesejahteraan keluarga subjektif. Analisis

faktor adalah salah satu metode statistik multivariat yang mencoba menerangkan

hubungan antar sejumlah variabel-variabel yang saling independen antara satu

dengan yang lain sehingga bisa dibuat satu atau lebih kumpulan variabel yang

lebih sedikit dari jumlah variabel awal. Analisis faktor juga digunakan untuk

mengetahui faktor-faktor dominan dalam menjelaskan suatu masalah. Analisis

faktor yang dilakukan untuk melihat dimensi kesejahteraan keluarga subjektif

menghasilkan tiga dimensi, yakni kepuasan fisik dan non fisik, kepuasan perka-

winan dan kepuasan komunikasi sosial (Lampiran 13).

Hasil skoring untuk ketiga dimensi kesejahteraan keluarga subjektif

ditampilkan pada Tabel 57. Skor dimensi kepuasan fisik dan non fisik serta

kepuasan komunikasi sosial mengalami peningkatan saat keluarga mendapat

dana PKH, sebaliknya skor dimensi kepuasan perkawinan mengalami penurunan

Page 57: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

133

saat keluarga mendapat dana PKH. Hasil analisis uji beda mengindikasikan

adanya perbedaan yang nyata antara sebelum dan saat keluarga mendapat

dana PKH untuk dimensi kepuasan fisik dan non fisik (p=0,000) dan dimensi

kepuasan perkawinan (p=0,013). Sementara itu, dimensi kepuasan komunikasi

sosial tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p=0,180) antara sebelum dan

saat keluarga mendapat dana PKH. Temuan ini menunjukkan bahwa peran PKH

adalah kepada peningkatan akses terhadap sumberdaya fisik dan non fisik

keluarga seperti keuangan, makanan maupun aset yang mampu memberikan

kepuasan bagi contoh. Selain itu, diduga kepuasan terhadap perkawinan

mengalami peningkatan dengan berkurangnya tekanan ekonomi keluarga yang

pada akhirnya membuat konflik suami istri juga berkurang.

Tabel 57 Sebaran dan statistik dimensi kesejahteraan keluarga subjektif pra dansaat PKH

NoKategori dimensi kesejahteraan

keluarga subjektifPra-PKH (n=150) Saat-PKH (n=150)

n % n %Kepuasan Fisik dan Non Fisik

1. Tidak Puas (skor < 60) 92 61,3 76 50,72. Cukup Puas (skor 60 - 80) 43 28,7 50 33,33. Puas (skor > 80) 15 10,0 24 16,0

Rata-Rata±SD 50,44±22,49 57,11±22,88Kisaran (min-max) 3,30-100,00 6,70-100,00Uji Beda Berpasangan (sig) 0,000**Kepuasan Perkawinan

1. Tidak Puas (skor < 60) 39 26,0 42 28,02. Cukup Puas (skor 60 - 80) 41 27,3 40 26,73. Puas (skor > 80) 70 46,7 68 45,3

Rata-Rata±SD 71,67±27,47 68,33±31,72Kisaran (min-max) 0,00-100,00 0,00-100,00Uji Beda Berpasangan (sig) 0,013*Kepuasan Komunikasi Sosial

1. Tidak Puas (skor < 60) 32 21,3 32 21,32. Cukup Puas (skor 60 - 80) 15 10,0 12 8,03. Puas (skor > 80) 103 68,7 106 70,7

Rata-Rata±SD 83,33±23,73 84,11±23,04Kisaran (min-max) 0,00-100,00 0,00-100,00Uji Beda Berpasangan (sig) 0,180

Ket : * nyata pada p < 0,05** nyata pada p < 0,01

Page 58: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

134

Karakteristik Anak (Sasaran Akhir PKH)Karakteristik Demografi Anak

Usia contoh anak yang menjadi contoh dalam penelitian ini berkisar

antara 9 sampai 15 tahun (Tabel 58), dengan rata-rata anak berusia 11,23 tahun.

Persentase terbesar anak adalah berusia 11 sampai 12 tahun. Proporsi jenis

kelamin anak berimbang antara laki-laki dan perempuan yakni 75 laki-laki dan 75

perempuan. Contoh anak dalam penelitian ini adalah anak ke-1 hingga anak ke-

8, sebanyak 48 persen anak tergolong anak ke-1 dan ke-2. Namun persentase

terbesar adalah anak ke-3 sampai ke-5. Hal ini sejalan dengan persentase

terbanyak besar keluarga yang termasuk dalam kategori keluarga sedang, yang

beranggotakan 5 sampai 7 orang. Jika sebagian besar keluarga contoh adalah

keluarga inti, maka jumlah anak keluarga contoh berkisar antara satu sampai

enam orang.

Tabel 58 Sebaran dan statistik usia dan urutan anak

No Karakteristik Anak Jumlah (n) Persentase (%)Usia Anak (tahun) (n=150)

1. 9-10 36 24,02. 11-12 100 66,73. 13-15 14 9,3

Rata-Rata±SD 11,23±1,10Kisaran (min-max) 9,00-15,00Urutan anak dalam keluarga (n=150)

1. 1 35 23,32. 2 37 24,73. 3-5 55 36,74. 6-8 23 15,4

Rata-Rata±SD 3,11±1,91Kisaran (min-max) 1,00-8,00

Jarak Antara Rumah ke SekolahJarak antara rumah ke sekolah bagi lebih dari setengah (58,7%) contoh

anak adalah dekat (Tabel 59). Sisanya dengan proporsi yang sama, masing-

masing 20,7 persen menyatakan jarak antara rumah kesekolah adalah jauh

(harus naik angkot) dan sedang (tidak harus naik angkot). Jarak yang cukup jauh

antara rumah dan sekolah dapat menjadi alasan anak untuk tidak masuk

sekolah.

Page 59: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

135

Tabel 59 Sebaran contoh anak berdasarkan jarak antara rumah ke sekolah

No Jarak Antara Rumahke Sekolah (n=150)

Jumlah (n) Persentase (%)

1. Jauh (harus naik angkot) 31 20,72. Sedang 31 20,73. Dekat 88 58,7

Persoalan jarak membuat banyak anak sekolah yang harus berjalan kaki

untuk sampai ke sekolah. Jarak menjadi masalah bukan saja karena untuk

menempuhnya anak sekolah harus menguras banyak energi dan memakan

waktu, tetapi juga karena dapat mengurangi semangat anak untuk belajar dan

berangkat ke sekolah. Konsentrasi belajar anak juga akan terganggu setelah

menempuh perjalanan panjang, apalagi kalau tidak dibekali makan pagi

sebelumnya. Jarak yang jauh juga menjadi permasalahan yang sering membuat

anak-anak tidak sampai ke sekolah dan akhirnya tidak masuk sekolah, atau

membolos. Kalaupun berupaya masuk, anak takut terkena hukuman guru karena

telah datang terlambat. Pada akhirnya, persoalan jarak ini tidak dapat dipisahkan

dari masalah akses keuangan yang terbatas. Bagi anak-anak sekolah yang tidak

kuat berjalan atau jarak tempuhnya terlalu jauh sehingga memerlukan waktu

yang lama harus disediakan dana untuk biaya transportasi. Dengan demikian,

persoalan keterbatasan ekonomi masyarakat sebenarnya lebih berkaitan dengan

biaya penunjang sekolah dan kebutuhan keluarga sehari-hari. Kedua hal inilah

yang menyebabkan anak seringkali putus sekolah.

Uang Saku AnakUang jajan dari sebagian besar anak berada dalam rentang Rp1 000

hingga kurang dari Rp3 000 per hari, dengan uang jajan terkecil adalah Rp500

dan terbesar Rp5 000. Sementara itu, sebagian besar (88,7%) anak tidak

memerlukan uang transport untuk ke sekolah karena pertimbangan jarak yang

dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Uang saku anak yang merupakan

penjumlahan uang jajan dan uang transport berkisar antara Rp 500 hingga Rp12

000 per hari (Tabel 60), dengan persentase terbesar anak mendapat Rp1 000

hingga kurang dari Rp3 000 per hari. Hasil wawancara mendalam dengan ibu

contoh mengindikasikan bahwa pengadaan uang saku anak sangat diupayakan

oleh orangtua karena seringkali anak tidak mau sekolah karena tidak diberikan

uang saku.

Page 60: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

136

Tabel 60 Sebaran uang jajan, uang transport dan uang saku anak (Rp/hari)

No Kategori (Rp/hari)Uang Jajan Uang Transport Uang Saku*

n % n % n %1. 0 0 0,0 133 88,7 0 0,02. < 999 4 2,7 2 1,3 3 2,03. > 1 000 – 1 999 60 40,0 8 5,3 53 35,34. > 2 000 – 2 999 65 43,3 5 3,3 65 43,35. > 3 000 21 14,0 2 1,3 29 19,3

Rata-Rata±SD 1 773,33±822,48 226,67±989,18 2000,00+1301,80Kisaran (min-max) 500,00-5 000,00 0,00-10 000,00 500,00-12 000,00

Ket : * uang saku adalah uang jajan ditambah uang transport

Nilai AnakVariabel nilai anak dikelompokkan menjadi tiga dimensi, yakni nilai

psikologi, sosial dan ekonomi. Nilai anak secara psikologis menggambarkan

posisi/keberadaan anak yang dapat memberikan kebahagiaan, rasa aman,

kepuasan dan memperkuat kasih sayang suami istri. Nilai anak secara sosial

menggambarkan posisi/keberadaan anak yang dapat menimbulkan penghar-

gaan, membawa nama harum, dan meningkatkan status sosial keluarga.

Adapun nilai anak secara ekonomi menggambarkan posisi/keberadaan anak

yang dapat meringankan beban dan memberikan bantuan ekonomi/keuangan.

Sebanyak lima dari enam item nilai anak dari aspek psikologi, ternyata lebih dari

85 persen ibu menyatakan setuju terhadap pernyataan-pernyataan anak

memberikan kepuasan pada orangtua, anak memberikan rasa aman di hari tua,

anak perempuan dapat menggantikan peran ibu di hari tua, anak perempuan

akan lebih memperhatikan orangtua di masa datang dan anak laki-laki akan lebih

memperhatikan orangtua di masa datang.

Pada dimensi nilai anak secara psikologis, pernyataan anak-anak selalu

menyita waktu orangtua disetujui oleh seperempat ibu. Pada dimensi nilai sosial

anak, sebagian besar (86,0%) ibu menyatakan setuju bahwa anak laki-laki

diharapkan mendapat pendidikan yang lebih tinggi daripada anak perempuan,

sedangkan untuk pernyataan setelah menikah anak perempuan menjadi ibu

rumahtangga saja disetujui oleh 66,7 persen ibu. Hal ini menjadi indikasi masih

banyak masyarakat yang menganggap anak perempuan tidak perlu

mendapatkan pendidikan yang tinggi seperti halnya laki-laki. Di lain pihak, nilai

ekonomi anak untuk tiga item pernyataan disetujui oleh lebih dari sepertiga ibu,

yakni anak perempuan tidak berkewajiban memberikan bantuan ekonomi di hari

Page 61: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

137

tua (36,7%), anak laki-laki tidak perlu turut membantu dalam mengerjakan

pekerjaan rumahtangga (34,7%), dan adanya anak menyebabkan bertambahnya

beban tanggungan keluarga (46,0%) (Lampiran 14).

Jika dibedakan antara nilai anak laki-laki dan perempuan, analisis uji

beda menunjukkan tidak ada perbedaan pada semua item nilai anak dan total

skor nilai anak, kecuali pada item anak laki-laki akan lebih memperhatikan

orangtua di masa datang (p=0,010) (Lampiran 14). Semua contoh dalam

penelitian ini adalah dari etnis sunda, dimana menurut Daulay (2001: 33) dalam

Hutagalung, Arif dan Suharyo (2009), dalam masyarakat Sunda anak laki-laki

akan menggantikan ayah dan anak perempuan akan menggantikan ibu sehingga

anak laki-laki akan mewarisi tanah dua kali lebih banyak dibandingkan anak

perempuan. Namun demikian, secara umum, persepsi contoh terhadap nilai anak

laki-laki maupun perempuan adalah tidak berbeda. Hasil ini memperkuat studi

Agustiana (2002) yang menyimpulkan tidak terdapat perbedaan persepsi nilai

anak antara anak laki-laki dan perempuan pada keluarga masyarakat Gayo.

Hasil studi Novianti (2004) jika dilihat berdasarkan kelas ekonomi (antara

orangtua juragan dan buruh) juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan

konsep nilai anak.

Untuk mengetahui kategori persepsi orangtua, dalam hal ini persepsi ibu

tentang nilai anak, maka skor nilai anak dikelompokkan menjadi tiga, yakni

rendah (skor<60, sedang (skor 60-80) dan tinggi (skor>80). Hasil

pengelompokan menunjukkan bahwa setengah contoh tergolong dalam kategori

sedang (skor 60 – 80), sementara sepertiga lainnya termasuk tinggi (skor > 80).

Hal ini juga tercermin dari nilai skor rata-rata persepsi nilai anak, yakni 73,14

dengan kisaran skor antara 18,2 hingga 100,0 (Tabel 61). Hasil ini sejalan

dengan penelitian Akmal (2004) yang menyatakan bahwa nilai anak di Kota dan

Kabupaten Bogor pada umumnya berada pada kategori sedang.

Tabel 61 Sebaran contoh berdasarkan kategori nilai anak

No Kategori Skor Nilai Anak Jumlah (n) Persentase (%)1. Rendah (skor < 60) 22 14,72. Sedang (skor 60 - 80) 75 50,03. Tinggi (skor > 80) 53 35,3

Rata-Rata±SD 73,14±13,77Kisaran (min-max) 18,20-100,00

Page 62: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

138

Pola Asuh Belajar AnakPola asuh belajar adalah praktik pengasuhan berupa jenis dan frekuensi

kegiatan serta curahan waktu yang diberikan orangtua atau anggota keluarga

lain dalam membimbing, mengarahkan, serta mengawasi kegiatan belajar anak.

Komponen pola asuh belajar yang dilihat dalam penelitian ini mencakup cara

orangtua menentukan waktu belajar anak, pengulangan pelajaran, pengerjaan

tugas/PR, evaluasi ulangan di sekolah, fasilitas belajar yang disediakan, dan

pemberian motivasi pada anak.

Fasilitas yang mendukung pendidikan anak di rumah serta dimiliki oleh

sebagian besar anak contoh saat keluarga memperoleh dana PKH adalah buku-

buku pelajaran, sedangkan fasilitas berupa meja belajar bersama,meja belajar

khusus untuk anak, rak buku dan kamar/ruang belajar tidak dimiliki oleh sebagian

besar anak (Tabel 62). Dari sejumlah kecil contoh anak yang memiliki sarana

pendukung pendidikan, persentase terbesar kondisinya adalah cukup memadai.

Padahal menurut Duvall (1971) keluarga dengan anak usia sekolah mempunyai

dua tahapan kritis tugas perkembangan keluarga, yakni membuat keluarga

konstruktif untuk anak usia sekolah dan mendorong pencapaian prestasi anak di

sekolah. Dengan demikian, keluarga contoh dalam penelitian belum memberikan

pengasuhan yang optimal untuk pembelajaran anak.

Tabel 62 Sebaran ketersediaan dan kondisi fasilitas pendidikan anak di rumah

No Fasilitas PendidikanAnak

Ketersediaan(%) (n=150) n

Kondisi Fasilitas (%)Tidak

MemadaiCukup

Memadai Memadai

1. Meja belajar bersama 4,7 7 14,3 85,7 0,02. Meja belajar khusus

untuk anak 2,0 3 0,0 100,0 0,0

3. Kamar/ruang belajar 9,3 14 7,1 78,6 14,34. Kamus 33,3 50 4,0 56,0 40,05. Buku-buku pelajaran 86,0 129 20,2 46,5 33,36. Rak buku 4,7 7 0,0 57,1 42,9

Pola asuh belajar oleh ibu yang tidak pernah dilakukan adalah orangtua

menentukan lama waktu belajar anak di rumah (pra-PKH 52,0%; saat-PKH

52,7%). Sementara itu, dengan persentase di atas 60 persen, pola asuh belajar

yang sering dilakukan adalah orangtua memeriksa hasil ulangan anak, orangtua

menanyakan hasil tes/ulangan anak, jika orangtua mengetahui anak akan ada

ulangan, maka ibu menyuruh dan membantu anak belajar, jika anak

mendapatkan nilai ulangan yang rendah maka orangtua menyuruh anak belajar

Page 63: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

139

lebih giat lagi dan jika anak mendapat nilai yang baik,orangtua memberi pujian/

penghargaan/hadiah. Pada semua item pola asuh belajar, tidak ada perbedaan

yang nyata antara pra dan saat-PKH. Namun, berdasarkan hasil wawancara

dengan ibu, dalam sehari biasanya anak belajar di rumah sebelum mendapat

dana PKH adalah 31,11 menit, selanjutnya saat mendapat dana PKH meningkat

menjadi 62,90 menit. Sementara itu, ketika ditanyakan berapa lama dalam sehari

biasanya ibu mendampingi anak belajar diperoleh rata-rata waktu sebelum

mendapat dana PKH adalah 29,35 menit yang kemudian meningkat menjadi

lebih dari dua kali lipat yakni 61,47 menit saat keluarga mendapat dana PKH

(Lampiran 15).

Lebih dari separuh (58,7% pra-PKH; 58,0% saat-PKH) anak contoh

memiliki pola asuh belajar yang tergolong kurang (Tabel 63). Hal ini sejalan pula

dengan rata-rata skor pola asuh belajar yang cenderung sama, yakni 53,14 pra-

PKH dan 52,83 saat-PKH, perbedaan skor antara pra dan saat-PKH ini secara

statistik adalah tidak nyata (p=0,339). Kurangnya sosialisasi terhadap keluarga

penerima PKH mengenai tujuan PKH, syarat-syarat, hak dan kewajiban serta

sangsi apabila peserta tidak memenuhi syarat yang ditetapkan dalam program

tujuan pemberian dana menjadi salah satu faktor kurang adanya kesadaran

orangtua untuk memperbaiki pola belajar anak. Kesan ini muncul karena pada

saat wawancara, sebagian contoh masih menganggap PKH sama saja dengan

BLT sehingga tidak ada upaya memperbaiki pola belajar anak, meskipun prestasi

anak tidak menjadi syarat bagi keluarga penerima dana PKH. Namun di lain

pihak, faktor pendidikan orangtua terutama ibu yang sebagian besar SD juga

menjadi kendala tersendiri dalam membentuk pola belajar anak yang baik.

Tabel 63 Sebaran dan statistik pola asuh belajar anak pra dan saat PKH

No Kategori Pola Asuh Belajar Anak Pra-PKH (n=150) Saat-PKH (n=150)n % n %

1. Kurang (skor < 60) 88 58,7 87 58,02. Sedang (skor 60-80) 56 37,3 57 38,03. Baik (skor > 80) 6 4,0 6 4,0

Rata-Rata±SD 53,14±17,24 52,83±17,51

Kisaran (min-max) 8,30-85,40 8,30-85,40

Uji Beda Berpasangan (sig) 0,339

Hasil penelitian ini menjadi indikasi nyata bahwa parenting style orangtua

tidak optimal dilakukan khususnya yang terkait dengan pembelajaran anak. Hal

Page 64: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

140

ini dapat pula diakibatkan orangtua yang tidak menempatkan pendidikan sebagai

prioritas kebutuhan hidup yang utama. Menurut Hastuti (2009) pola asuh belajar

bagi anak usia sekolah yang harus dilakukan orangtua diantaranya adalah : (1)

Mendorong anak karena anak berada pada masa pencarian jati diri atau identitas

dirinya, (2) Melakukan upaya agar anak dapat membentuk kepercayaan diri,

termasuk periode saat anak terbentuk sikap ”industry” yaitu ketekunan dan

kerajinan serta academic achievement; dan (3) Berusaha terbuka dan

mendorong anak untuk menyelesaikan permasalahan di sekolah, termasuk

proses belajar dan hasil belajar yang dicapai anak.

Tingkat Kehadiran Anak di SekolahRata-rata ketidakhadiran anak di sekolah paling tinggi disebabkan karena

alpa (tanpa pemberitahuan), yang meningkat saat-PKH sebesar 2,6 hari. Jumlah

ketidakhadiran karena alpa (tanpa adanya pemberitahuan) ini memiliki rentang

yang sangat besar hingga mencapai 32 kali pra-PKH dan 86 kali saat-PKH

(Tabel 64).

Tabel 64 Statistik absensi dan kehadiran anak di sekolah pra dan saat PKH

No Absensi dan Kehadiran Anak (n=125) Pra-PKH Saat-PKH DeltaSakit (Jumlah hari dalam setahun)

1. Rata-rata±SD 1,1±3,0 1,4±2,4 0,32. Kisaran (min-max) 0-25 0-113. Uji Beda Berpasangan (sig) 0,401

Ijin (Jumlah hari dalam setahun)1. Rata-rata±SD 0,8±1,9 0,9±2,3 0,12. Kisaran (min-max) 0-9 0-153. Uji Beda Berpasangan (sig) 0,586

Alpa (Jumlah hari dalam setahun)1. Rata-rata±SD 3,7±4,7 6,3±10,3 2,62. Kisaran (min-max) 0-32 0-863. Uji Beda Berpasangan (sig) 0,001**

Tingkat Kehadiran (% dalam setahun)1. Rata-rata±SD 97,7±2,5 96,5±4,5 -1,22. Kisaran (min-max) 86,4-100,0 64,0-100,03. Uji Beda Berpasangan (sig) 0,001**Ket : ** nyata pada p < 0,01

Hasil analisis uji beda berpasangan mengindikasikan adanya perbedaan

yang nyata (p=0,001) pada ketidakhadiran karena alpa, sementara

Page 65: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

141

ketidakhadiran karena sakit dan ijin tidak berbeda nyata antara pra dan saat

mendapat dana PKH. Tingkat kehadiran anak pra-PKH adalah sebesar 97,7

persen yang menurun menjadi 96,5 persen saat-PKH atau turun 1,2 poin. Tingkat

kehadiran anak dihitung berdasarkan persentase kehadiran anak dikalikan

dengan hari efektif sekolah per tahun yang berlaku dalam kalender pendidikan

nasional yakni 242 hari. Untuk memudahkan, jika peserta PKH yang memiliki

anak usia sekolah (6-15 tahun), anak-anak tersebut harus mendaftar di sekolah

dan harus hadir sekurang-kurangnya 85 persen setiap saat.

Perbedaan tingkat kehadiran antara pra dan saat-PKH secara statistik

adalah nyata (p=0,001). Pada kondisi pra-PKH semua anak justru memiliki

tingkat kehadiran yang telah memenuhi syarat PKH yakni minimal 85 persen,

sedangkan saat-PKH terdapat tiga anak (2,4%) tingkat kehadirannya kurang dari

85 persen. Penurunan kehadiran anak penerima PKH di sekolah menjadi satu

sorotan tersendiri dalam penelitian, karena indikator penilaian untuk

keberlanjutan penerimaan dana PKH adalah kehadiran 85 persen. Temuan

penelitian ini sejalan dengan laporan Son (2008) dimana program CCT di

beberapa negara memiliki dampak yang relatif rendah terhadap tingkat kehadiran

anak, prestasi sekolah atau dalam menarik drop-out sekolah.

Berdasarkan pedoman PKH (UPPKH Pusat 2007) di lembaga pendidikan

yang memiliki peserta PKH, guru hanya mencatat peserta didik yang tidak

memenuhi komitmen kehadiran yang telah ditentukan, yaitu setidaknya 85

persen hari sekolah atau ketentuan tatap muka setiap bulannya. Pengecualian

diberlakukan pada peserta didik yang absen karena sakit paling lama tiga hari

atau terjadinya bencana alam di daerah tersebut. Jika terdapat kasus sakit lebih

dari tiga hari berturut-turut, peserta didik wajib memberi surat keterangan sakit

yang dikeluarkan oleh dokter atau petugas kesehatan yang diakui.

Rendahnya tingkat kehadiran anak penerima PKH ini dikeluhkan juga

oleh pihak sekolah, sehingga paradigma yang muncul adalah untuk apa

diberikan dana PKH padahal anak malas sekolah. Pada pembahasan berikutnya

akan digali penyebab anak sering tidak masuk sekolah. Berdasarkan informasi

dari ibu contoh, berbagai penyebab anak tidak sekolah adalah karena sakit,

malas, tidak ada jajan, ingin membolos, membantu ibu atau karena kesiangan

(Tabel 65).

Page 66: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

142

Tabel 65 Sebaran anak berdasarkan frekuensi dan alasan tidak masuk sekolahselama semester berjalan

No Alasan anak tidak masuk sekolahselama semester berjalan (n=98)

Jumlah(n)

Persentase(%)

1. Sakit 85 86,72. Malas 9 9,23. Tidak ada jajan 3 3,14. Ingin bolos 2 2,05. Membantu Ibu 1 1,06. Kesiangan 1 1,0

Alasan untuk tidak masuk sekolah yang paling sering dikemukakan

adalah sakit. Hanya terdapat sebagian kecil siswa saja yang tidak masuk sekolah

karena alasan ekonomi. Masih berkaitan dengan alasan keterbatasan ekonomi,

sebagian orangtua tidak dapat membelikan anaknya baju seragam baru sebagai

pengganti baju seragam yang sudah rusak. Hal ini mengakibatkan anak hanya

bergantung pada satu baju seragam dan pada akhirnya terpaksa bolos karena

pakaian seragamnya sedang kotor atau sudah jelek. Karena keterbatasan

ekonomi juga, orangtua kadang-kadang tidak memberikan uang jajan kepada

anak dan hal ini menyebabkan anak tidak masuk sekolah. Seperti dinyatakan

oleh salah satu contoh:

“Anak saya minta uang jajan [dan] tidak dikasih, jadi dia tidak mausekolah)”

Temuan penelitian ini sebenarnya sejalan dengan hasil kajian Rahayu

(2008) yang melaporkan bahwa masalah akses keuangan berkaitan dengan

biaya penunjang sekolah dan biaya untuk kebutuhan keluarga sehari-hari adalah

yang menjadi penyebab anak malas sekolah atau bahkan putus sekolah. Biaya

penunjang sekolah meliputi biaya-biaya transportasi, pembelian buku, LKS

(Lembar Kerja Siswa), peralatan sekolah, seragam, dan uang jajan. Bahkan,

tidak sedikit anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena harus membantu

orangtuanya untuk mencari uang dengan bekerja. Alasan lainnya adalah ’otak

berat’ yang kemungkinan disebabkan oleh kurangnya asupan nutrisi dan

kurangnya perhatian orangtua. Sebagian besar siswa tidak pernah tidak masuk

sekolah dalam waktu yang panjang. Umumnya, jika anak tidak masuk sekolah,

hal ini karena alasan sakit, tidak membuat PR, membantu orangtua dan

sebagainya.

Page 67: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

143

Tidak bisa dipungkiri bahwa anak dari keluarga miskin dipandang sebagai

aset. Beberapa studi yang dilakukan oleh SMERU menunjukkan bahwa anak

sering tidak masuk sekolah atau bahkan drop-out dari sekolah karena harus

membantu orangtuanya bekerja di ladang, beternak atau menangkap ikan atau

bekerja untuk orang lain. Kekurangan sekolah, biaya pendidikan yang tinggi dan

rendahnya motivasi orangtua untuk menyuruh anaknya sekolah karena orangtua

tidak melihat anak akan mudah mendapat kerja setelah lulus adalah beberapa

faktor yang membuat anak tidak sekolah. Selain itu, masih ada masyarakat yang

menikahkan anak perempuannya pada usia yang masih sangat muda (Akhmadi

et al. 2003). Hal ini menjadi tantangan dalam pelaksanaan PKH, apakah

masyarakat dapat diyakinkan bahwa lebih penting bagi anak untuk bersekolah

dibandingkan bekerja atau kawin muda dan bahwa uang yang diberikan oleh

PKH dapat mengganti pendapatan yang diperoleh anak jika bekerja. Untuk itulah,

sebagai salah satu skema perlindungan sosial di Indonesia, harus didukung oleh

program perlindungan sosial lainnya seperti program after school yang dilakukan

di Brazil.

Prestasi Belajar AnakSaat keluarga contoh memperoleh dana PKH, menurut pengakuan

contoh/ibu, hanya setengah contoh anak yang mengalami perubahan menjadi

lebih rajin dalam belajar, sedangkan setengah lagi tidak mengalami perubahan,

tetap sama seperti sebelum mendapat PKH. Namun hasil penelitian juga

mengindikasikan bahwa lebih dari 60 persen contoh anak mengalami

peningkatan prestasi di sekolah saat keluarga mendapat dana PKH (Tabel 66).

Tabel 66 Sebaran contoh berdasarkan perubahan tingkat kerajinan dan prestasianak saat mendapat PKH

No Tingkat Kerajinan dan Prestasi Jumlah (n) Persentase (%)Saat PKH anak lebih rajin belajar (n=150)

1. Ya 75 50,02. Tidak 75 50,0

Prestasi anak di sekolah saat mendapat PKH (n=150)1. Naik 95 63,32. Sama saja dengan sebelum mendapat PKH 51 34,03. Tidak, semakin turun 4 2,7

Page 68: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

144

Rata-rata nilai prestasi belajar anak cenderung sama saat keluarga

memperoleh dana PKH dibandingkan pra-PKH (Tabel 67). Rata-rata nilai anak

pra-PKH adalah 6,61, sedangkan saat mendapat dana PKH sebesar 6,62 atau

hanya berbeda 0,01 poin saja. Perbedaan nilai ini didukung pula oleh hasil

analisis statistik yang menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antara

pra dan saat-PKH (p=0,794).

Tabel 67 Statistik prestasi belajar anak pra dan saat PKH

No Prestasi belajar Pra-PKH Saat-PKH Delta

1. Rata-rata±SD 6,61±0,47 6,62±0,49 0,01

2. Kisaran (min-max) 5,48-7,90 5,37-8,12

3. Uji Beda Berpasangan (sig) 0,794

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dana PKH yang diperoleh tidak

secara serta merta membuat anak menjadi baik prestasi belajarnya. Anak yang

berasal dari keluarga miskin cenderung tidak tercukupi kebutuhan gizinya dan

potensi akademiknya juga relatif rendah, sehingga jika sangat tidak rasional

mengharapkan terjadinya perubahan prestasi anak dalam waktu yang relatif

singkat. Duncan dan Magnuson (2001) juga menyatakan bahwa anak-anak dari

keluarga miskin berisiko lebih tinggi memiliki prestasi belajar yang rendah,

namun tidak berarti dengan meningkatkan pendapatan orangtua miskin secara

otomatis akan meningkatkan prestasi belajar anak.

Hasil temuan penelitian ini sejalan pula dengan World Bank (2008) yang

melaporkan bahwa skor dari test matematika dan bahasa yang dilakukan pada

anak SD penerima PKH menunjukkan performa yang sama (tidak ada perbedaan

yang nyata) antara kelompok kontrol (non-penerima PKH) dan perlakuan

(penerima PKH). Demikian pula hasil studi Ponce dan Bedi (2008) yang

melakukan evaluasi dampak program CCT Bono de Desarrollo Humano of

Ecuador terhadap prestasi kognitif anak, ternyata tidak ada dampak program

terhadap skor test, sehingga diharapkan dalam usaha untuk membangun modal

manusia, dengan menggunakan pertimbangan prestasi kognitif, dibutuhkan

intervensi alternatif atau tambahan.

Page 69: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

145

Hubungan Antar Variabel-Variabel PenelitianStrategi Koping Fungsi Ekonomi

Hasil analisis korelasi mengindikasikan beberapa variabel yang

berhubungan nyata dengan strategi koping total baik pra-PKH maupun saat-

PKH, yakni besar keluarga, jumlah utang, rasio utang dan aset, tekanan

ekonomi, sebaliknya berhubungan negatif nyata dengan lama pendidikan ibu.

Sementara itu, beberapa variabel yang berhubungan positif nyata dengan

strategi koping total saat-PKH adalah usia ayah, usia ibu, alokasi dana PKH

untuk non-pendidikan, sebaliknya variabel yang berhubungan negatif adalah

pengeluaran pangan, pengeluaran non pangan, penerimaan total keluarga

(Rp/kapita/bulan) (Lampiran 17 dan 18).

Besar keluarga berhubungan positif nyata dengan strategi koping total

baik pra-PKH maupun saat-PKH. Artinya semakin banyak anggota keluarga,

maka upaya mengatasi permasalahan keluarga akan semakin optimal dilakukan.

Jumlah utang dan rasio hutang dan aset juga berhubungan positif nyata dengan

strategi koping total, artinya hutang keluarga yang semakin banyak akan

mendorong keluarga melakukan berbagai upaya untuk keluar dari permasalahan

keluarga baik melalui penghematan maupun menambah pendapatan.

Sebaliknya lama pendidikan ibu berhubungan negatif nyata dengan strategi

koping total. Artinya semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, maka strategi koping

yang dilakukan juga akan semakin sedikit. Hal ini terkait dengan semakin tinggi

pendidikan ibu juga berarti semakin baik pula ekonomi keluarga, sehingga lebih

mapannya keluarga tidak memerlukan upaya penghematan atau mencari

tambahan pendapatan.

Usia ayah dan usia ibu berhubungan positif nyata dengan strategi koping

total saat-PKH yang berarti semakin tua ayah dan ibu, maka semakin banyak

upaya strategi koping dilakukan oleh keluarga. Pengalaman hidup yang lebih

banyak pada orang yang lebih tua akan membuat peluang atau pilihan-pilihan

untuk melakukan koping dalam mengatasi masalah semakin beragam. Semakin

banyak strategi koping yang dilakukan keluarga, maka alokasi dana PKH untuk

non-pendidikan semakin besar, artinya dengan melakukan berbagai upaya

koping akan dapat memperbesar dana untuk non-pendidikan. Sebaliknya

pengeluaran pangan dan non pangan serta penerimaan total keluarga

berhubungan negatif dengan strategi koping total keluarga. Hal ini dapat

dipahami jika melihat bahwa upaya koping yang paling banyak dilakukan oleh

Page 70: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

146

contoh adalah penghematan, sehingga hal ini berimplikasi terhadap menurunnya

pengeluaran keluarga. Namun di sisi lain, penerimaan total keluarga

berhubungan negatif dengan strategi koping, hal ini dapat dimaknai terbalik yakni

jika penerimaan keluarga semakin banyak (ekonomi membaik) maka keluarga

akan semakin kurang melakukan koping khususnya penghematan. Hal ini

didukung oleh strategi koping penghematan yang berkorelasi negatif nyata

dengan penerimaan total keluarga.

Relasi GenderHasil analisis korelasi mengindikasikan bahwa sebelum mendapat PKH,

relasi gender berhubungan positif nyata dengan persepsi gender. Sementara itu,

pada saat-PKH hasil korelasi yang diperoleh adalah relasi gender berhubungan

positif nyata dengan penerimaan total keluarga (Rp/kapita/bulan), alokasi dana

PKH untuk pendidikan, dan manfaat PKH. Sebaliknya baik pra maupun saat-PKH

relasi gender berhubungan negatif nyata dengan tekanan ekonomi (Lampiran 17

dan 18).

Persepsi gender berhubungan positif nyata dengan relasi gender, artinya

semakin perspektif persepsi ibu tentang peran suami dan istri dalam

melaksanakan berbagai tugas-tugas baik di dalam maupun di luar keluarga,

maka dalam implementasinya yang diwujudkan dalam bentuk relasi gender akan

semakin responsif pula. Selanjutnya relasi gender berhubungan positif nyata

dengan penerimaan total keluarga, artinya semakin responsif relasi gender

antara suami dan istri, maka penerimaan total keluarga yang dapat berasal dari

pendapatan seluruh anggota keluarga, bantuan dari pemerintah, kerabat atau

pihak-pihak lain semakin besar. Di lain pihak, relasi gender yang semakin

responsif juga akan membuat alokasi dana PKH untuk pendidikan semakin

tinggi. Transparansi ayah dan ibu dalam mengambil keputusan tugas dalam

keluarga, ternyata berdampak baik terhadap semakin besarnya dana PKH yang

dialokasikan untuk pendidikan. Demikian pula dengan manfaat PKH akan lebih

dirasakan semakin tinggi dengan semakin responsifnya relasi gender dalam

keluarga. Sebaliknya relasi gender yang semakin responsif akan dapat

menurunkan tekanan ekonomi yang dirasakan oleh keluarga. Hal ini dapat

dipahami bahwa dengan pengambilan keputusan yang dilakukan secara

bersama-sama antara ayah dan ibu akan dapat meringankan beban ekonomi

yang tidak hanya bertumpu pada satu pihak saja.

Page 71: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

147

Tingkat Stres IbuTerdapat dua variabel yang berhubungan positif nyata dengan tingkat

stres ibu baik pra-PKH maupun saat-PKH, yakni rasio utang dan aset, tekanan

ekonomi dan strategi koping total. Sementara itu, khusus untuk pra PKH, variabel

yang berhubungan positif nyata dengan tingkat stres ibu adalah persepsi gender,

dan manajemen keuangan. sedangkan saat-PKH, tingkat stres berhubungan

positif nyata dengan jumlah utang dan berhubungan negatif nyata dengan lama

pendidikan ibu (Lampiran 17 dan 18).

Rasio hutang dan aset yang semakin besar mengindikasikan kemampuan

keluarga membayar hutang dengan menggunakan aset yang dimiliki akan

semakin rendah, sehingga dengan hubungan positif antara kedua variabel dapat

dikatakan bahwa ibu akan semakin stres dengan semakin besarnya hutang yang

harus dikembalikan oleh keluarga. Besarnya hutang juga makin menambah stres

yang dirasakan ibu. Selanjutnya tekanan ekonomi atau kesulitan finansial yang

semakin tinggi dirasakan oleh keluarga akan mengakibatkan stres ibu juga

semakin tinggi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Coyne dan Downey (1991)

bahwa kesulitan secara finansial merupakan salah satu faktor penyebab

timbulnya ketegangan dan stres yang sekaligus memberi pengaruh terbesar

pada tingkat kesejahteraan seseorang. Hal ini sejalan pula dengan pernyataan

McLoyd (1998) dan Wadsworth dan Compas (2002) dalam Wadsworth dan

Berger (2006) bahwa orang yang mengalami tekanan ekonomi akan meningkat

risikonya untuk mengalami masalah sosial dan emosional. Berbagai studi di

Amerika Serikat menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

tekanan ekonomi dan gejala depresi (Conger & Elder 1994; Elder et al.1992).

Strategi koping total berhubungan positif dengan tingkat stres ibu, artinya

semakin banyak upaya penghematan maupun upaya mencari pendapatan

tambahan yang dilakukan keluarga akan membuat ibu semakin tertekan. Lama

pendidikan ibu berkorelasi negatif dengan tingkat stres ibu,artinya semakin tinggi

tingkat pendidikan ibu, maka stres yang dirasakan akan semakin rendah. Hal ini

sejalan dengan kenyataan bahwa ibu atau ayah yang berpendidikan lebih tinggi

mempunyai pendapatan yang lebih tinggi pula, sehingga stres yang dirasakan

terutama karena faktor ekonomi juga menjadi rendah. Namun hal yang menarik

adalah hubungan yang positif ditemukan antara manajemen keuangan dengan

tingkat stres, artinya semakin baik ibu melakukan manajemen keuangan, maka

tingkat stres ibu akan semakin tinggi. Hal ini dapat dimungkinkan karena

Page 72: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

148

pengaturan terhadap uang yang tidak jelas penerimaannya akan membuat ibu

menjadi stres. Misalnya perencanaan pengeluaran yang sudah ditetapkan di

awal tidak terwujud karena adanya kendala penerimaan keluarga akan membuat

ibu lebih stres, dibandingkan ibu yang memang tidak memiliki perencanaan.

Seringkali pula para ibu malas melakukan pengelolaan keuangan karena

seringkali tidak sesuai dengan yang telah direncanakan.

Kesejahteraan Keluarga SubjektifVariabel yang berhubungan positif nyata dengan kesejahteraan keluarga

subjektif baik pra-PKH maupun saat-PKH adalah relasi gender. Sebaliknya,

kesejahteraan keluarga subjektif baik pra-PKH maupun saat-PKH berhubungan

negatif nyata dengan tekanan ekonomi, tingkat stres, strategi koping total,

strategi koping mengurangi pengeluaran, strategi koping menambah pendapatan.

Sementara itu, jumlah utang hanya pada pra-PKH saja yang berhubungan

negatif nyata dengan kesejahteraan keluarga subjektif, sedangkan yang

berhubungan positif dengan kesejahteraan keluarga subjektif pada saat-PKH

adalah pengeluaran non pangan, pengeluaran total, alokasi dana PKH untuk

pendidikan, sebaliknya berhubungan negatif nyata dengan alokasi dana PKH

untuk non-pendidikan (Lampiran 17 dan 18).

Proses pengambilan keputusan mengenai pembagian peran (relasi

gender) antara ayah dan ibu yang semakin setara, berimplikasi terhadap

semakin tingginya kesejahteraan keluarga subjektif yang dirasakan oleh ibu.

Sebaliknya, semakin tinggi tekanan ekonomi yang dialami oleh keluarga akan

menurunkan kesejahteraan keluarga subjektif. Demikian pula dengan tingkat

stres ibu yang semakin tinggi dan strategi koping total, termasuk koping

menghemat dan menambah pendapatan yang semakin banyak dilakukan

keluarga, akan menurunkan tingkat kesejahteraan keluarga subjektif.

Semakin banyak keluarga melakukan penghematan atau harus mencari

tambahan pendapatan, maka ibu semakin merasa tidak sejahtera. Jumlah utang

yang semakin tinggi juga akan menurunkan kesejahteraan keluarga subjektif

yang dirasakan oleh ibu, artinya ibu menjadi semakin tidak puas terhadap kondisi

keluarganya dengan semakin banyaknya hutang. Sebaliknya pengeluaran non

pangan, pengeluaran total, dan alokasi dana PKH untuk pendidikan yang

semakin tinggi akan meningkatkan kesejahteraan keluarga subjektif. Ketiga

indikator ini adalah indikator ekonomi yang akan berpengaruh pada

Page 73: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

149

berkurangnya beban ibu khususnya yang terkait dengan permasalahan finansial,

sehingga semakin tinggi indikator ekonomi, maka semakin sejahtera ibu.

Adanya alokasi dana untuk pendidikan sesuai dengan misi PKH akan

membuat ibu lebih puas dengan penggunaan dana yang diterimanya karena

sejalan dengan skema PKH. Sebaliknya hubungan yang negatif ditemukan pada

alokasi dana PKH untuk non-pendidikan dengan kesejahteraan keluarga

subjektif, hal ini berarti jika dana PKH yang diterima semakin banyak untuk non-

pendidikan, maka ibu semakin tidak puas karena peruntukannya tidak sesuai

dengan misi PKH.

Pada Gambar 8 disajikan hubungan antara penerimaan total keluarga dan

kesejahteraan keluarga subjektif berdasarkan kategori relasi gender. Pada

contoh dengan kategori relasi gender di atas rata-rata terlihat peningkatan yang

lebih nyata dibandingkan dengan contoh dengan kategori relasi gender di bawah

rata-rata. Hal ini bermakna penerimaan yang semakin tinggi dan relasi gender

yang semakin responsif akan dapat meningkatkan kepuasan ibu terhadap

keadaan keluarga.

Gambar 8 Hubungan antara penerimaan total keluarga dan kesejahteraan keluargasubjektif berdasarkan kategori relasi gender

Pola Asuh Belajar AnakHasil analisis korelasi menunjukkan bahwa baik pada pra-PKH maupun

saat-PKH, pola asuh belajar anak berhubungan positif nyata dengan lama

Penerimaan Total Keluarga (Rp/Kapita)4000003000002000001000000

Kes

ejah

tera

an K

elua

rga

Subj

ektif

100

80

60

40

20

0

Fit line for TotalDi Atas Rata-RataDi bawah Rata-RataDi Atas Rata-RataDi bawah Rata-Rata

Kategori Relasi Gender

R Sq Linear = 0.007 R Sq Linear = 0.027

R Sq Linear = 0.02

Page 74: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

150

pendidikan ibu, relasi gender, manajemen keuangan, kesejahteraan keluarga

subjektif, sebaliknya berhubungan negatif nyata dengan usia ibu dan tekanan

ekonomi. Sementara itu, variabel yang berhubungan positif nyata dengan pola

asuh belajar anak hanya pada pra-PKH adalah persepsi gender, sedangkan

pada saat-PKH adalah pengeluaran non pangan, penerimaan total keluarga

(Rp/kapita/bulan), alokasi dana PKH untuk pendidikan, sebaliknya berhubungan

negatif nyata saat PKH adalah alokasi dana PKH untuk non-pendidikan, strategi

koping, dan koping mengurangi pengeluaran (Lampiran 19 dan 20).

Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, maka pola asuh belajar yang

diterapkan dalam keluarga juga akan semakin baik. Ibu yang berpendidikan akan

mampu mengajar anak di rumah. Pendidikan formal orangtua dapat

mempengaruhi kesejahteraan anak dengan membentuk interaksi orangtua-anak.

Jika dibandingkan dengan orangtua yang berpendidikan rendah, orangtua yang

berpendidikan formal lebih tinggi cenderung memberikan stimulasi lingkungan

pembelajaran di rumah secara kognitif dan mempunyai gaya pengajaran yang

lebih verbal dan mendukung. Perbedaan tersebut dianggap sangat penting

dalam menerangkan mengapa anak dengan orangtua yang kurang

berpendidikan menunjukkan kinerja kurang baik terhadap perkembangan kognitif

anak dibandingkan orangtua yang lebih berpendidikan lebih tinggi (Harris, Terrel

& Allen 1999 dalam Resendez et al. 2000).

Semakin responsif relasi gender antara ayah dan ibu, maka pola asuh

belajar akan juga akan semakin baik. Semakin baik manajemen keuangan

keluarga, maka akan berimplikasi terhadap semakin baiknya pola asuh belajar

anak. Selanjutnya semakin tinggi kesejahteraan keluarga subjektif akan

berdampak terhadap semakin baiknya pola asuh belajar anak. Hal ini disebabkan

ibu yang bahagia atau puas terhadap keluarga akan lebih baik dalam

menjalankan praktek pengasuhan anak khususnya membantu anak belajar.

Usia ibu yang semakin tua berkorelasi negatif dengan pola asuh belajar

anak. Hal ini dapat dimengerti karena data penelitian ini menunjukkan bahwa ibu

yang semakin tua memiliki tingkat pendidikan yang semakin rendah sehingga ibu

tidak dapat membantu anak dalam proses belajar di rumah. Hal yang sama

ditemukan pula pada hubungan negatif antara pola asuh belajar dengan tekanan

ekonomi, artinya semakin tinggi tekanan ekonomi yang dihadapi oleh keluarga

maka pola asuh belajar yang diterapkan orangtua juga akan semakin kurang

baik. Orangtua akan lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari

Page 75: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

151

dibandingkan meluangkan waktunya untuk membantu anak belajar. Tekanan

ekonomi juga mengurangi gairah orangtua untuk mendampingi anak belajar

karena fokus perhatian lebih pada pemenuhan kebutuhan keuangan sehingga

mengabaikan aktivitas lain yang diinginkan. Hal ini tergambar pada hasil indepth

interview dengan salah seorang contoh yang jarang menemani anaknya belajar

karena biasanya sibuk bekerja dan baru pulang sore hari. Sementara itu, pola

asuh belajar anak berhubungan positif nyata pada pra-PKH dengan persepsi

gender, artinya semakin perspektif persepsi ibu tentang peran gender maka ibu

akan lebih baik melakukan pengasuhan belajar anak. Sejalan dengan persepsi

gender, pada saat-PKH, pola asuh belajar anak juga berhubungan positif nyata

dengan pengeluaran non pangan, penerimaan total keluarga, alokasi dana PKH

untuk pendidikan. Data ini menunjukkan bahwa indikator-indikator kesejahteraan

objektif yang dapat dicerminkan oleh pengeluaran maupun penerimaan total

keluarga yang semakin meningkat.

Alokasi dana PKH untuk pendidikan yang semakin besar berhubungan

positif nyata dengan pola asuh belajar mengindikasikan bahwa semakin

tercukupinya perlengkapan sekolah seperti buku-buku, seragam maupun

peralatan tulis membuat pengasuhan belajar anak semakin baik. Sebaliknya,

saat PKH, pola asuh belajar anak berhubungan negatif nyata dengan alokasi

dana PKH untuk non-pendidikan, strategi koping, dan koping mengurangi

pengeluaran. Artinya semakin banyak dana PKH yang digunakan untuk

pengeluaran non-pendidikan akan berimplikasi pada semakin kurangnya pola

asuh belajar yang diterapkan orangtua. Hal ini dimungkinkan semakin kurang

tercukupinya fasilitas yang mendukung pendidikan anak. Upaya strategi koping

yang semakin banyak dilakukan keluarga akan menurunkan pola asuh belajar

anak, hal ini dimungkinkan oleh waktu yang digunakan oleh orangtua untuk

mencari tambahan pendapatan akan mengurangi waktu orangtua untuk

membantu belajar anak. Demikian pula dengan strategi mengurangi pengeluaran

keluarga, akan memaksa orangtua melakukan penghematan sehingga

berkorelasi nyata dengan semakin kurangnya pola asuh belajar orangtua.

Tingkat Kehadiran AnakHasil analisis korelasi menunjukkan variabel yang berhubungan negatif

nyata dengan tingkat kehadiran anak di sekolah pra-PKH adalah usia ayah dan

usia ibu. Sementara itu, saat-PKH hasil korelasi yang diperoleh adalah tingkat

kehadiran berhubungan positif nyata dengan jenis kelamin anak, sebaliknya

Page 76: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

152

berhubungan negatif nyata dengan pengeluaran total, tingkat stres, dan pola

asuh belajar anak (Lampiran 19 dan 20).

Usia ayah dan ibu yang semakin tua berhubungan dengan semakin

rendahnya tingkat kehadiran anak. Hal ini juga diperkuat dengan hasil korelasi

negatif yang nyata antara usia dengan tingkat pendidikan ayah dan ibu, artinya

usia ayah dan ibu yang semakin tua juga mengindikasikan tingkat pendidikan

yang semakin rendah. Selanjutnya data penelitian juga menunjukkan usia ayah

dan ibu yang semakin tua berkorelasi negatif dengan pendapatan yang semakin

rendah. Rendahnya tingkat kehadiran anak di sekolah dimungkinkan oleh

kurangnya perhatian ayah dan ibu terhadap pentingnya anak harus sekolah atau

anak yang harus membantu orangtuanya.

Tingkat kehadiran anak berhubungan positif dengan jenis kelamin,

maknanya anak perempuan mempunyai tingkat kehadiran yang lebih tinggi

dibandingkan anak laki-laki. Hal ini dimungkinkan karena anak laki-laki

mempunyai kecenderungan lebih besar karena lebih berani untuk bolos

dibandingkan anak perempuan.

Hasil analisis korelasi juga mengindikasikan bahwa semakin tinggi

pengeluaran total, maka tingkat kehadiran akan semakin rendah. Hal ini

dimungkinkan karena pengeluaran keluarga sangat kecil proporsinya untuk

pendidikan anak misalnya untuk uang saku anak sehingga kemungkinan anak

menjadi sering tidak masuk sekolah. Tingkat stres ibu yang semakin rendah akan

meningkatkan tingkat kehadiran anak, hal ini dapat dipahami karena ibu yang

tidak atau rendah tingkat stresnya akan lebih dapat memotivasi anak untuk

masuk sekolah. Di lain pihak, pola asuh belajar anak yang semakin baik justru

berhubungan nyata dengan semakin rendahnya tingkat kehadiran anak. Hal ini

dimungkinkan karena pola asuh belajar disini adalah pengasuhan yang dilakukan

oleh orangtua di rumah. Meskipun pengasuhan belajar anak di rumah sudah

baik, namun banyak faktor internal maupun eksternal seperti lingkungan

pembelajaran di sekolah yang juga berhubungan dengan tingkat kehadiran anak

di sekolah.

Prestasi BelajarSeperti terlihat pada Tabel 68, hasil analisis korelasi Pearson

menunjukkan bahwa ketidakhadiran anak di sekolah menentukan capaian

prestasi belajarnya. Hasil analisis ternyata menunjukkan bahwa yang

berhubungan secara nyata dengan nilai rata-rata atau prestasi belajar anak

Page 77: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

153

adalah ketidakhadiran tanpa alasan (alpa), baik pra maupun saat-PKH. Arah

korelasi kedua variabel ini adalah negatif, maknanya semakin sering anak absen

atau bolos bukan karena alasan yang dapat diterima, maka prestasi anak juga

akan semakin rendah. Sebaliknya semakin tinggi tingkat kehadiran anak di

sekolah, maka prestasi belajar anak juga akan semakin baik. Artinya faktor

penentu prestasi anak sebenarnya lebih kepada kehadiran anak di sekolah.

Hasil ini sejalan dengan temuan Asmin (2000) yang menyatakan kehadiran

contoh di sekolah berkorelasi positif (p<0,01) dengan prestasi belajar.

Tabel 68 Hubungan antara absensi dengan prestasi belajar pra dan saat PKH

No. Absensi IndikatorNilai Rata-Rata

Pra-PKH (n=125) Saat-PKH (n=125)

1. Jumlah Sakit Pra-PKH -0,021Saat-PKH -0,088

2. Jumlah Ijin Pra-PKH -0,125Saat-PKH 0,062

3. Jumlah alpa Pra-PKH -0, 476**Saat-PKH -0,366**

4. Tingkat Kehadiran Pra-PKH 0,465**Saat-PKH 0,338**

Ket : ** nyata pada p< 0,01

Penyebab yang diutarakan oleh ibu yang anaknya seringkali absen

adalah karena rumah yang jauh atau anak tidak mendapat uang jajan. Anak yang

tidak hadir di sekolah akan ketinggalan pelajaran dibandingkan teman-temannya.

Jarang terjadi anak yang pintar sering absen, justru sebaliknya anak yang tidak

pintar justru adalah anak yang sering absen.

Pada Gambar 9 terlihat bahwa semakin meningkat persentase

pengeluaran untuk pendidikan anak akan meningkatkan prestasi belajar anak.

Jika dilihat berdasarkan kategori pola asuh belajar, anak yang pola asuh

belajarnya di atas rata-rata, maka pengeluaran pendidikannya juga akan semakin

tinggi, sebaliknya ada kecenderungan pola asuh balajar anak di bawah rata-rata

maka pengeluaran untuk pendidikannya juga lebih rendah. Semakin tinggi

pengeluaran untuk pendidikan anak dan pola asuh yang semakin baik akan

meningkatkan prestasi belajar anak, meskipun dengan slope yang relatif tidak

miring.

Page 78: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

154

Gambar 9 Hubungan antara pengeluaran pendidikan untuk anak dan prestasi belajarberdasarkan kategori pola asuh belajar

Faktor-Faktor yang MempengaruhiKesejahteraan Keluarga Subjektif

Kesejahteraan secara subjektif menggambarkan evaluasi individu

terhadap kehidupannya, yang mencakup kebahagiaan, kondisi emosi yang

gembira, kepuasan hidup dan relatif tidak adanya semangat dan emosi yang

tidak menyenangkan. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini untuk

mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap kesejahteraan

keluarga subjektif adalah Structural Equation Modelling.

Analisis Structural Equation Modelling (SEM) terdiri dari variabel laten

karakteristik keluarga dengan indikator pendidikan ayah dan pendidikan ibu,

variabel laten ekonomi keluarga dengan indikator penerimaan total keluarga dan

tekanan ekonomi, variabel relasi gender, strategi koping, dan tingkat stres yang

dilihat pengaruhnya terhadap kesejahteraan keluarga subjektif. Hasil analisis

yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai Chi-Square, GFI (Goodness of Fit

Index), dan RMSEA berturut-turut adalah 121,14 (p= 0,00); 0,86; dan 0,19, maka

dikatakan cocok atau fit dengan data yang dikumpulkan.

Kondisi ekonomi keluarga yang semakin baik akan berpengaruh secara

langsung terhadap semakin responsifnya relasi gender dalam keluarga.

Sebaliknya ekonomi keluarga yang semakin kurang, akan berpengaruh secara

langsung terhadap semakin banyaknya upaya strategi koping yang dilakukan

% Pengeluaran Pendidikan Anak403020100

Pres

tasi

Bel

ajar

(nila

i)

8

7

6

5

Fit line for TotalDi Atas Rata-RataDi bawah Rata-RataDi Atas Rata-RataDi bawah Rata-Rata

Kategori Pola AsuhBelajar

R Sq Linear = 2.49E-4R Sq Linear = 0.002

R Sq Linear = 2.64E-4

Page 79: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

155

keluarga untuk keluar dari permasalahan finansial. Semakin banyak strategi

koping keluarga, akan berpengaruh secara langsung terhadap tingkat stres ibu.

Hal ini dimungkinkan karena upaya koping yang dilakukan keluarga lebih banyak

dalam bentuk penghematan, sehingga pengetatan ikat pinggang ini justru

membuat ibu menjadi lebih stres (Tabel 69 dan Gambar 10).

Tabel 69 Dekomposisi efek faktor-faktor yang berpengaruh terhadapkesejahteraan keluarga subjektif (n= 150).

No Variabel Laten TotalTE DE IE

1. Relasi Gender (3) R2=0,05Karakteristik Keluarga (1) -0,11 -0,11 0,00Ekonomi Keluarga (2) 0,26* 0,26* 0,00

2. Strategi Koping (4) R2=0,07Karakteristik Keluarga (1) -0,05 -0,05 0,00Ekonomi Keluarga (2) -0,21* -0,21* 0,00Relasi Gender (3) -0,02 -0,02 0,00

3. Tingkat Stres Ibu (5) R2= 0,22Karakteristik Keluarga (1) -0,03 0,00 -0,03Ekonomi Keluarga (2) -0,08 0,00 -0,08Relasi Gender (3) 0,05 0,05 0,00Strategi Koping (4) 0,47* 0,47* 0,00

4. Kesejahteraan KeluargaSubjektif (6) R2= 0,23Karakteristik Keluarga (1) -0,01 0,00 -0,01Ekonomi Keluarga (2) 0,12* 0,00 0,12*Relasi Gender (3) 0,23* 0,25* -0,02Strategi Koping (4) -0,30* -0,14 -0,16*Tingkat Stres (5) -0,32* -0,32* 0,00

Ket : TE = Efek Total; DE= Efek Langsung ; IE= Efek Tidak Langsung; * = p< 0,05

Hasil yang diperoleh mengindikasikan relasi gender dan tingkat stres ibu

memberikan pengaruh yang langsung terhadap kesejahteraan keluarga subjektif,

sedangkan ekonomi keluarga dan strategi koping memberikan pengaruh tidak

langsung. Semakin responsif relasi gender antara ayah dan ibu dalam

transparansi pengambilan keputusan tugas keluarga dan semakin rendah tingkat

stres ibu akan berpengaruh pada meningkatnya kesejahteraan keluarga subjektif.

Selanjutnya ekonomi keluarga yang semakin baik dan strategi koping untuk

mengatasi masalah ekonomi semakin sedikit dilakukan oleh keluarga akan

berdampak pada semakin tingginya kesejahteraan keluarga subjektif. Sebaliknya

Page 80: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

156

variabel laten karakteristik keluarga dengan indikator pendidikan ayah dan ibu

tidak memberikan pengaruh secara nyata terhadap kesejahteraan keluarga

subjektif, karena tingkat pendidikan contoh relatif rendah dan cenderung

homogen (tidak ada variasi) (Tabel 69 dan Gambar 10).

Relasi gender secara langsung memberikan pengaruh terhadap

kesejahteraan keluarga subjektif, dimana semakin baik relasi gender, maka ibu

akan merasakan semakin sejahtera atau puas terhadap kehidupan keluarganya.

Adanya program PKH yang penerimanya harus ibu atau wanita dewasa dapat

menciptakan relasi gender yang seimbang antara ayah dan ibu. Hal ini sejalan

dengan pernyataan Klein dan White (1996) dalam Puspitawati dan Fahmi (2008)

bahwa pembagian peran gender dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan

keluarga dalam menjalankan fungsi keluarga menuju terwujudnya tujuan

keluarga. Suami dan istri bersepakat dalam membagi peran dan tugas sehari-

hari, bertanggung jawab terhadap peran dan tugasnya masing-masing, dan

saling menjaga komitmen bersama. Hal ini sesuai dengan pendekatan teori

struktural-fungsional yang menekankan keseimbangan sistem yang stabil dalam

keluarga dan kestabilan sistem sosial dalam masyarakat. Levy dalam Megawangi

(1999) juga menguatkan bahwa harmoni dalam pembagian dan penyeleng-

garaan fungsi-peran, alokasi solidaritas, komitmen terhadap hak, kewajiban, dan

nilai-nilai bersama adalah kondisi utama berfungsinya keluarga. Berfungsinya

keluarga akan memberikan kepuasan bagi anggotanya. Menurut Megawangi

(1999) pembagian kerja antara sesama anggota keluarga (laki-laki dan

perempuan) dalam keluarga inti menunjukkan adanya ”differensiasi peran

gender” yang merupakan suatu prasyarat struktural untuk kelangsungan keluarga

inti. Eshleman (1991), Gelles (1995) dan Newman dan Grauerholz (2002) dalam

Puspitawati dan Fahmi (2008) juga menyatakan bahwa pendekatan teori

struktural fungsional dapat digunakan dalam menganalisis pembagian peran

keluarga agar dapat berfungsi dengan baik untuk menjaga keutuhan keluarga

dan masyarakat. Artinya semakin ada kerjasama atau kompromi antara suami

dan istri dalam pembagian tugas keluarga dan semakin sejahtera suatu keluarga

secara ekonomi, maka kepuasan seorang ibu terhadap kesejahteraan keluarga

secara subjektif akan semakin meningkat. Rice dan Tucker (1976) memaparkan

bahwa umumnya pasangan yang menganut prinsip kesetaraan dalam pola

pengambilan keputusannya lebih bahagia dengan kehidupan perkawinannya.

Page 81: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

157

Tingkat stres ibu memberikan pengaruh negatif yang langsung terhadap

kesejahteraan keluarga subjektif, artinya semakin turun stres ibu maka ibu akan

merasa semakin sejahtera. Hal ini sejalan dengan temuan Dewi (2003) bahwa

kesulitan ekonomi akan menimbulkan ketegangan dan stres yang selanjutnya

berpengaruh pada tingkat kesejahteraan seseorang. Coyne dan Downey (1991),

juga mengatakan bahwa kesulitan secara finansial merupakan salah satu faktor

penyebab timbulnya ketegangan dan stres yang sekaligus memberi pengaruh

terbesar pada tingkat kesejahteraan seseorang. Studi Puspitawati, Herawati dan

Sarma (2006) menunjukkan bahwa dengan adanya dana SLT akan membuat

stres keluarga terkurangi dan perempuan merasa beban beratnya berkurang.

Keadaan ekonomi keluarga berpengaruh secara tidak langsung melalui

meningkatnya relasinya gender, yang kemudian berpengaruh terhadap

peningkatan kesejahteraan keluarga subjektif. Hal ini dapat dipahami karena

dengan semakin membaiknya ekonomi keluarga dengan indikator penerimaan

dan pengeluaran keluarga, ibu akan semakin merasa tenang dengan teratasinya

permasalahan finansial untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari keluarga.

Temuan ini sejalan dengan laporan Puspitawati dan Fahmi (2008) yang

menyatakan bahwa keluarga dengan tingkat sosial ekonomi dan demografi yang

semakin tinggi akan berpengaruh terhadap tingkat relasi gender yang berkaitan

dengan diferensiasi peran. Guhardja et al. (1992) juga mendukung bahwa tingkat

sosial ekonomi keluarga yang semakin tinggi memerlukan manajemen

sumberdaya keluarga yang semakin kompleks yang sekaligus menuntut adanya

pembagian peran dalam keluarga yang semakin baik. Pembagian peran antara

ayah dan ibu yang semakin setara akan membuat ibu lebih merasa puas

terhadap kehidupannya.

Strategi koping memberikan pengaruh tidak langsung melalui

peningkatan tingkat stres ibu, untuk selanjutnya tingkat stres akan berpengaruh

terhadap menurunnya kesejahteraan keluarga subjektif. Hal ini dapat dipahami

sesuai dengan pernyataan Mistry et al. (2008) bahwa perbedaan yang bermakna

dalam pengalaman tekanan ekonomi dari ketidakmampuan untuk memenuhi

kebutuhan dasar dan pengeluaran tambahan akan berimplikasi pada

kesejahteraan psikologi ibu.

Page 82: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

158

O U T P U T 2P R O S E SI N P U T O U T P U T 1

Gambar 10 Hasil analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga subjektif

158

158

O U T P U T 2P R O S E SI N P U T O U T P U T 1

Gambar 10 Hasil analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga subjektif

158

158

O U T P U T 2P R O S E SI N P U T O U T P U T 1

Gambar 10 Hasil analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga subjektif

158

Page 83: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

159

Faktor-Faktor yang MempengaruhiOutput Pendidikan Anak

Analisis Structural Equation Modelling (SEM) terdiri dari variabel nilai

anak, pengeluaran pendidikan anak, pola asuh belajar, dan tingkat kepuasan

terhadap anak yang dilihat pengaruhnya terhadap output pendidikan anak yang

merupakan variabel laten dengan indikator tingkat kehadiran anak di sekolah dan

prestasi belajar anak. Hasil analisis yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai Chi-

Square, GFI (Goodness of Fit Index), serta RMSEA berturut-turut adalah 5,64

(p=0,48), 0,86, dan 0,00, maka dikatakan cocok atau fit dengan data yang

dikumpulkan (Tabel 70 dan Gambar 11).

Pola asuh belajar yang semakin baik dipengaruhi secara langsung dan

positif oleh semakin besarnya pengeluaran pendidikan untuk anak. Pola asuh

belajar mencakup penyediaan perlengkapan untuk belajar di rumah, sehingga

ketersediaan fasilitas belajar akan mendukung pada terciptanya pola

pembelajaran yang optimal dari orangtua. Tingkat kepuasan terhadap anak yang

semakin tinggi dipengaruhi secara langsung dan positif oleh semakin besarnya

pengeluaran pendidikan untuk anak dan pola asuh belajar anak. Sementara itu,

output pendidikan anak yang mencakup dua indikator, yakni tingkat kehadiran

dan prestasi belajar anak tidak dipengaruhi oleh satupun variabel independen.

Output pendidikan anak dari keluarga penerima PKH dalam penelitian ini adalah

cenderung sama atau homogen, sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya

dana PKH belum dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap

peningkatan kualitas pendidikan anak.

Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan Hartoyo dan Hastuti (2004)

yang menunjukkan bahwa nilai rapor anak tidak ditentukan oleh kualitas

lingkungan asuh anak. Kemungkinan banyak variabel lain yang menentukan

prestasi belajar anak tetapi tidak diteliti dalam penelitian ini, misalnya faktor

motivasi belajar anak, kuantitas waktu belajar anak, suasana di dalam kelas dan

faktor guru di sekolah. Banyak faktor yang berhubungan dengan prestasi belajar,

terutama faktor genetik, motif, dan suasana belajar di rumah. Studi Andriani

(2003) mendukung pula hasil penelitian ini yang melaporkan bahwa pola belajar

tidak memiliki hubungan yang nyata dengan prestasi belajar.

Page 84: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

160

Tabel 70 Dekomposisi efek faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prestasibelajar anak (n= 125)

No Variabel Laten TOTALTE DE IE

1. Pola Asuh Belajar Anak (3)R2=0,05Nilai Anak (1) -0,02 -0,02 0,00Pengeluaran untuk Pendidikan Anak (2) 0,21* 0,21* 0,00

2. Tingkat Kepuasan Terhadap Anak (4)R2=0,07Nilai Anak (1) -0,03 -0,03 0,00Pengeluaran untuk Pendidikan Anak (2) 0,20* 0,16* 0,04Pola Asuh Belajar Anak (3) 0,18* 0,18* 0,00

3. Output Pendidikan Anak (5)R2= 0,04Nilai Anak (1) 0,00 0,00 0,00Pengeluaran untuk Pendidikan Anak (2) -0,05 0,00 -0,05Pola Asuh Belajar Anak (3) -0,11 -0,08 -0,03Tingkat Kepuasan terhadap Anak (4) -0,10 -0,10 0,00

Ket : TE = Efek Total; DE= Efek Langsung ; IE= Efek Tidak Langsung; * = p< 0,05

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh

Wandini (2008) yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif antara

gaya pengasuhan orangtua dengan prestasi belajar dan antara fasilitas belajar

dengan prestasi belajar. Faktor yang paling berpengaruh terhadap prestasi

belajar adalah potensi akademik.

Jika dikaitkan dengan program PKH, pendapat yang dikemukakan oleh

Hastuti (2009) akan sejalan dengan penelitian ini, untuk memperoleh seluruh

kompetensi tersebut pada seorang anak memang bukan pekerjaan mudah, tetapi

memerlukan waktu, proses, dinamika dan tantangan yang cukup beragam, dan

dengan berbagai kendala yang harus dihadapi tergantung karakteristik anak, dan

orangtua itu sendiri. Orangtua dengan sumberdaya yang memadai, dengan

lingkungan subsistem keluarga yang mendukung, serta dengan karakteristik

dasar anak yang baik, maka peluang untuk seorang anak mencapai kompetensi

di atas menjadi relatif tinggi. Sebaliknya pada orangtua dengan sumberdaya

terbatas, dengan dukungan lingkungan tidak memadai, serta karakteristik anak

yang sulit, maka peluang untuk menumbuhkan kompetensi pada anak menjadi

rendah.

Page 85: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

161

Gambar 11 Hasil analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap output pendidikan anak

INPUT PROSES

Y6

OUTPUT

Y5

Pengeluaran untukPendidikan Anak

2

Nilai Anak1

Pola AsuhBelajar Anak

3

Tingkat Kepuasanterhadap Anak

4

Y1

Y4Y2

Y1 = Nilai Anak (skor)Y2 = Pengeluaran untuk Pendidikan Anak (Rp/kapita)Y3 = Pola Asuh Belajar (skor)Y4 = Tingkat Kepuasan terhadap Anak (skor)Y5 = Tingkat kehadiran Anak di Sekolah (%)Y6 = Prestasi Belajar Anak (nilai)

1.00

1,00

1,00 ,34*

-,08

-,10

,21*

,16*

-,12

-,02

,03

,18*

X2 = 5,64p = 0,48GFI = 0,99CFI = 1,00RMSEA = 0,00df = 6n = 125

Output PendidikanAnak5

161

161

Gambar 11 Hasil analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap output pendidikan anak

INPUT PROSES

Y6

OUTPUT

Y5

Pengeluaran untukPendidikan Anak

2

Nilai Anak1

Pola AsuhBelajar Anak

3

Tingkat Kepuasanterhadap Anak

4

Y1

Y4Y2

Y1 = Nilai Anak (skor)Y2 = Pengeluaran untuk Pendidikan Anak (Rp/kapita)Y3 = Pola Asuh Belajar (skor)Y4 = Tingkat Kepuasan terhadap Anak (skor)Y5 = Tingkat kehadiran Anak di Sekolah (%)Y6 = Prestasi Belajar Anak (nilai)

1.00

1,00

1,00 ,34*

-,08

-,10

,21*

,16*

-,12

-,02

,03

,18*

X2 = 5,64p = 0,48GFI = 0,99CFI = 1,00RMSEA = 0,00df = 6n = 125

Output PendidikanAnak5

161

161

Gambar 11 Hasil analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap output pendidikan anak

INPUT PROSES

Y6

OUTPUT

Y5

Pengeluaran untukPendidikan Anak

2

Nilai Anak1

Pola AsuhBelajar Anak

3

Tingkat Kepuasanterhadap Anak

4

Y1

Y4Y2

Y1 = Nilai Anak (skor)Y2 = Pengeluaran untuk Pendidikan Anak (Rp/kapita)Y3 = Pola Asuh Belajar (skor)Y4 = Tingkat Kepuasan terhadap Anak (skor)Y5 = Tingkat kehadiran Anak di Sekolah (%)Y6 = Prestasi Belajar Anak (nilai)

1.00

1,00

1,00 ,34*

-,08

-,10

,21*

,16*

-,12

-,02

,03

,18*

X2 = 5,64p = 0,48GFI = 0,99CFI = 1,00RMSEA = 0,00df = 6n = 125

Output PendidikanAnak5

161

Page 86: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

162

PEMBAHASAN UMUM

Penelitian ini dilandasi oleh pendekatan teori struktural-fungsional dalam

menjalankan strategi koping dan relasi gender untuk mencapai kesejahteraan

keluarga dan meningkatkan prestasi belajar anak. Selanjutnya aspek penting

program PKH adalah perempuan dalam hal ini ibu sebagai penerima dana PKH

yang akan berperan penting upaya mengurangi kemiskinan dan meningkatkan

kualitas sumberdaya manusia.

Hasil studi menjawab Hipotesis 1, yakni terjadi peningkatan yang nyata

pada penerimaan total keluarga, dan kesejahteraan subjektif saat keluarga

menerima dana PKH. Sebaliknya penurunan yang nyata ditemukan pada

tekanan ekonomi, strategi koping, relasi gender, dan tingkat stres ibu pada saat

keluarga mendapat PKH. Namun manajemen keuangan yang dilakukan oleh

keluarga tidak berbeda saat keluarga mendapat dana PKH.

Manfaat PKH untuk jangka pendek memberikan income effect kepada

rumahtangga miskin telah dapat terwujud dengan meningkatnya penerimaan

keluarga dibandingkan sebelum keluarga mendapat PKH. Peningkatan

penerimaan keluarga berimplikasi pada menurunnya tekanan ekonomi dan stres

ibu, dan pada akhirnya ibu akan merasakan lebih sejahtera atau puas terhadap

kehidupannya. Untuk itu, program ini dapat disebut sebagai sebuah program

kesejahteraan yang berbasis insentif (incentive-based welfare program). Program

PKH dirasakan dapat membantu masyarakat miskin mengatasi kemiskinan

dengan cara mengurangi hambatan-hambatan utama yang dihadapi orang

miskin.

Temuan yang menarik dari penelitian ini adalah terjadinya penurunan

relasi gender pada saat keluarga mendapat dana PKH. Hal ini sebenarnya logis,

mengingat ibu yang diberikan kekuasaan untuk mengambil dan memegang dana

PKH. Ibu merasa uang yang diterima atas namanya adalah haknya, termasuk

untuk memutuskan pengalokasiannya. Hal ini justru dianggap menciptakan

ketidaksetaraan yang dapat memarjinalkan laki-laki. Jika yang ingin dicapai oleh

program PKH adalah kesetaraan gender, maka harus diberikan penekanan

bahwa pengalokasian dana PKH dapat dilakukan pengambilan keputusannya

oleh suami dan istri secara bersama-sama. Sebenarnya salah satu aspek

penting program ini adalah fokusnya terhadap perbaikan hidup perempuan

miskin untuk mengurangi kemiskinan secara menyeluruh karena penerima dana

Page 87: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

163

tunai adalah para ibu dan juga merupakan aktor utama. Dengan menerima dana

ini, perempuan akan mengelola dana tersebut agar kepentingan keluarganya

menjadi prioritas.

Terdapat negatif efek dan positif efek dari program PKH. Relasi gender

akan menciptakan keterbukaan antara suami dan istri dalam pembagian beban

dan benefit. Secara disain, dana PKH diberikan kepada perempuan, karena

perempuan dianggap lebih memikirkan orang lain, mengatur uang, dan

mengontrol uang. Perlu pendampingan untuk memotivasi dan sharing

keberhasilan karena dana PKH diputar dalam bentuk human investment. Dasar

perempuan diberikan adalah secara sosial politik perempuan termarjinalkan,

patriarki lebih mengutamakan laki-laki yang telah ditunjukkan oleh beberapa

penelitian. PKH bertujuan untuk pengentasan kemiskinan sehingga kesetaraan

akan terjadi antara laki-laki dan perempuan. Perempuan yang mengambil dana

merupakan wujud legitimasi dari pemerintah karena laki-laki telah berdaya

secara sosial politik. Setiap keputusan keluarga dapat diwarnai oleh kesetaraan

antara laki-laki dan perempuan, dengan tetap berpegang pada teori struktural

fungsional dimana ada harmonisasi peran.

Melalui penguatan posisi perempuan, termasuk posisi tawarnya di dalam

keluarga, adalah salah satu prakondisi bagi perubahan-perubahan sosial-

ekonomi yang akan lebih menguntungkan masyarakat secara umum. Jika

kesejahteraan perempuan meningkat, maka masyarakat akan memperoleh

manfaat dari keadaan itu karena akan memperbaiki kualitas kesejahteraan

masyarakat pada umumnya. Apalagi melihat data Gender Empowerment

Measure (GEM) Indonesia yang masih rendah. Gender Empowerment Measure

(GEM) merupakan indeks komposit yang mengukur ketidaksetaraan gender

dalam tiga dimensi pemberdayaan dasar yakni partisipasi ekonomi dan

pengambilan keputusan, partisipasi politik dan pengambilan keputusan dan

kekuasaan terhadap sumberdaya ekonomi. Pada tahun 2008 Gender

Empowerment Measure pada urutan 55 dari 179 negara dengan nilai 0,586,

sedangkan tahun 2009 Gender Empowerment Measure (GEM) mempunyai nilai

0,408 pada peringkat 96 dari 182 negara (Human Development Report 2009).

Perbedaan persepsi perempuan dan laki-laki terhadap penyebab dan

persoalan kemiskinan yang dihadapi juga berkaitan dengan dinamika peran dan

tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam rumahtangga maupun dalam

masyarakat. Dalam lingkup rumahtangga, berbagai hasil penelitian mengungkap-

Page 88: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

164

kan bahwa perempuan lebih banyak bertanggung jawab dalam mengelola urusan

internal keluarga sehingga lebih banyak menghadapi faktor-faktor ketidak-

berdayaan. Diantara faktor-faktor tersebut adalah suami yang menganggur

sehingga tidak bisa memberikan nafkah, harga-harga barang konsumsi yang

tinggi, biaya pendidikan dan biaya kesehatan yang terus meningkat, serta

masalah utang yang terus melilit kehidupannya.

Hasil studi tidak mendukung Hipotesis 2, yakni tingkat kehadiran anak di

sekolah mengalami penurunan pada saat-PKH. Sementara itu, pola asuh belajar

dan prestasi belajar anak tidak mengalami peningkatan setelah keluarga

memperoleh dana PKH. Artinya pemberian dana PKH belum memberikan

pengaruh terhadap perbaikan pola asuh belajar anak di rumah, demikian pula

dengan kehadiran anak di sekolah serta prestasi belajar yang tidak berubah

dengan adanya dana PKH.

Secara teoritis program dana tunai bersyarat memang berpotensi sebagai

cikal-bakal program penanggulangan kemiskinan menyeluruh sehingga anak-

anak dari keluarga miskin tidak akan mengikuti jejak orangtuanya ketika dewasa

dengan menjadi orang miskin juga. Mekanisme “keluarga miskin akan

menciptakan keluarga miskin”, dapat berarti anak miskin investasinya rendah

dalam pendidikan (human capital). Hal ini berdampak terhadap pendapatan anak

di masa depan, karena peluang pasar tenaga kerja berhubungan dengan

pencapaian pendidikan akhir, sehingga anak hanya akan memperoleh upah yang

rendah ketika dewasa. Sebagai konsekuensinya, hal ini akan berulang kembali

kepada anaknya, yang pada akhirnya akan mengekalkan siklus kemiskinan

sepanjang generasi.

Pembentukan kualitas SDM suatu bangsa dimulai dari proses kegiatan

sosialisasi dan pendidikan sehari-hari di dalam keluarga. Oleh karena itu, peran

keluarga sangat penting dalam menciptakan SDM yang berkualitas, yaitu yang

memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima

disamping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi untuk

mencapai keberhasilan pembangunan nasional. Menurut Skoufias (2001),

pendidikan dapat dipandang sebagai komponen yang sangat penting dari

Progresa yang menggambarkan hubungan empiris yang kuat diantara modal

manusia, produktivitas dan pertumbuhan, namun secara khusus karena program

ini dipandang sebagai faktor strategis dalam memutuskan lingkaran setan

kemiskinan. Untuk itu, investasi dalam pendidikan harus dipandang sebagai cara

Page 89: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

165

memfasilitasi pertumbuhan sambil menurunkan ketidaksamarataan dan

kemiskinan secara silmultan.

Adakalanya keluarga tidak bisa menjalankan fungsi sesuai yang

diharapkan, sehingga menghasilkan sumberdaya manusia berkualitas rendah.

Sebagai contoh, dalam sebuah keluarga yang berpendapatan rendah dan hidup

dibawah garis kemiskinan besar kemungkinan akan tumbuh seorang anak yang

kualitas hidupnya rendah. Hal ini terekam dalam penelitian ini dimana terjadi

peningkatan jumlah absen (penjumlahan absen karena sakit, ijin dan alpa) saat

keluarga memperoleh dana PKH. Tingkat kehadiran anak di sekolah mengalami

penurunan saat-PKH dari 97,70 menjadi 96,46. Prestasi akademik tidak

menunjukkan perbedaan yang nyata saat keluarga mendapat dana PKH. Hal ini

memang sejalan dengan berbagai evaluasi yang dilaksanakan (seringkali bersatu

dengan program menunjukkan bahwa meskipun tidak semuanya, program CCT

memiliki efek positif terhadap outcome pendidikan dan kesehatan (Schady &

Araujo 2006). Menurut De Janvry dan Sadoulet (2005) CCT tidak memberikan

dampak karena masalah yang berhubungan dengan implementasi program.

Pengalaman menunjukkan bahwa informasi yang mencukupi dan benar diantara

program dan penerima program adalah penting untuk menjamin dampak secara

utuh dari program.

Prestasi belajar anak saat ini merupakan akumulasi potensi akademik dan

kondisi sosial ekonomi keluarga yang telah berlangsung sejak lama. Program

PKH yang baru berlangsung selama dua tahun tidak serta merta mampu

meningkatkan prestasi anak. Bahkan tingkat kehadiran anak yang meskipun

merupakan salah satu indikator berlanjutnya keluarga memperoleh dana PKH

tidak menjadikan keluarga menekankan anak untuk tetap sekolah. Salah satu

faktor penyebabnya adalah ketidaktahuan ibu mengenai prasyarat yang harus

dipenuhi jika masih ingin tetap memperoleh dana PKH dengan alasan adanya

anak usia sekolah dalam keluarga. Hal ini juga terindikasi dari tidak adanya

perbedaan pola asuh belajar anak antara pra dan saat keluarga memperoleh

dana PKH.

Fungsi terbesar keluarga sebagai lembaga sosial adalah membentuk

modal sumberdaya manusia anak. Deacon dan Firebaugh (1981) juga

menyatakan bahwa keluarga memiliki tanggung jawab dalam pemeliharaan dan

perkembangan anggotanya. Agar bisa menjalankan tanggungjawab tersebut,

keluarga harus dapat melakukan fungsi dalam: (1) Pengasuhan anak, (2)

Page 90: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

166

Pengembangan kepribadian, (3) Sosialisasi, dan (4) Enkulturasi. Dengan

keempat fungsi tersebut, seorang anak kelak diharapkan dapat berkembang dan

berfungsi sesuai dengan yang diinginkan oleh masyarakat. Hasil penelitian

Puspitawati (2006) juga melaporkan bahwa hubungan diadik antara orangtua dan

anak, baik antara ayah-anak, ibu-anak, maupun ayah-ibu, merupakan dasar dari

kualitas hubungan antar anggota keluarga yang membuat setiap anggota

keluarga merasa puas dan bahagia dalam hidupnya.

Hasil studi mendukung Hipotesis 3, yakni relasi gender yang semakin

responsif dan tingkat stres ibu yang semakin rendah memberikan pengaruh

langsung terhadap kesejahteraan keluarga subjektif, sedangkan ekonomi

keluarga yang semakin baik dan strategi koping yang semakin sedikit akan

memberikan pengaruh tidak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan

keluarga subjektif.

Walaupun tujuan PKH adalah untuk meningkatkan investasi manusia

untuk generasi mendatang, selain wanita yang menjadi target, PKH

menempatkan wanita dalam posisi yang unik sebagai penerima dana. Dalam

kasus di Indonesia wanita secara umum masih terperangkap dalam konstruksi

gender tradisional, dimana wanita mempunyai posisi yang lebih rendah

dibandingkan wanita. Upaya mendistribusikan dana PKH kepada wanita bagi

sebagian kalangan dianggap dapat menguatkan kembali konstruksi gender

tradisional sehingga akan lebih sulit bagi wanita untuk mencapai relasi gender

yang setara dengan laki-laki. Namun jika dikaitkan dengan teori struktural

fungsional, dimana salah satu aspek penting dari perspektif struktural-fungsional

adalah bahwa setiap keluarga yang sehat terdapat pembagian peran atau fungsi

yang jelas, fungsi tersebut terpolakan dalam struktur hirarkis yang harmonis, dan

komitmen terhadap terselenggaranya peran atau fungsi itu. Struktural–fungsional

berpegang bahwa sebuah struktur keluarga membentuk kemampuannya untuk

berfungsi secara efektif, dan bahwa sebuah keluarga inti tersusun dari seorang

laki-laki pencari nafkah dan wanita ibu rumahtangga adalah yang paling cocok

untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga. Harmoni dalam pembagian dan

penyelenggaraan fungsi-peran, alokasi solidaritas, komitmen terhadap hak,

kewajiban, dan nilai-nilai bersama ini merupakan kondisi utama bagi

berfungsinya keluarga. Dengan demikian, wanita sebagai penerima dana PKH

diminta untuk memikul beban tanggungjawab untuk keberhasilan program

dengan memfungsikan kembali struktur dan fungsi keluarga.

Page 91: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

167

Menilik pendapat Adato et al. (2000) tentang program CCT Progresa,

maka program ini dianggap berpotensi mempengaruhi bargaining power dan

keberdayaan wanita, melalui peningkatan sumberdaya di tangan wanita,

menciptakan jaringan cobeneficiaries dengan wanita lain yang bertemu dalam

pertemuan yang dilakukan secara teratur, kontrol terhadap tambahan

sumberdaya, peningkatan rasa percaya diri dan self-esteem serta peningkatan

pendidikan anak perempuan yang akan memperbaiki posisi wanita di masa

depan.

Hasil studi menolak Hipotesis 4, yakni output pendidikan anak yang

mencakup dua indikator, yakni tingkat kehadiran dan prestasi belajar anak tidak

dipengaruhi oleh nilai anak, pengeluaran untuk pendidikan anak, pola asuh

belajar, dan tingkat kepuasan terhadap anak. Artinya dana PKH belum

memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan kualitas pendidikan

anak.

Untuk memperbaiki output pendidikan anak yang masih rendah, selain

orangtua perlu memperbaiki pola asuh belajar anak di rumah dengan terlibat

dalam proses belajar anak, namun juga memantau apakah anak menghadapi

masalah dalam pembelajaran di sekolah. Keterlibatan orangtua dalam proses

belajar diperlukan terutama untuk memonitor kemajuan dan proses belajar serta

dampaknya bagi anak. Adanya pantauan orangtua dalam kegiatan sekolah

sehari-hari bermanfaat pula dalam mendeteksi adanya masalah anak di sekolah,

baik yang berhubungan dengan masalah prestasinya maupun dalam interaksi

anak dengan guru maupun teman di sekolah. Orangtua juga harus trampil dalam

mendorong prestasi belajar anak di sekolah dengan memberikan dukungan dan

motivasi anak dalam belajar. Orangtua harus juga menanamkan ketekunan dan

kerajinan serta kepercayaan diri bahwa anak mampu mencapai suatu prestasi

yang diinginkan atau diminati anak. Dengan cara ini anak akan memperoleh

kepercayaan diri atas kemampuannya sendiri, hal ini penting agar anak

mempunyai kekuatan dan keyakinan bahwa ia cukup untuk berprestasi.

Penanaman ”intrinsic motivation” juga penting agar anak memiliki motivasi

intrinsik dari dalam dirinya untuk mencapai prestasi yang dapat menunjang

keberhasilan kehidupannya di masa datang (Hatusti 2009).

Manfaat PKH untuk pendidikan anak akan dapat dicapai dengan

indikator-indikator meningkatnya tingkat partisipasi sekolah, kehadiran dan

prestasi akademik anak. Ketiganya diantaranya dapat dicapai melalui penguatan

Page 92: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

168

sisi supply dan kualitas layanan pendidikan dan penguatan tanggungjawab

orangtua dan apreasiasi keuntungan yang diperoleh dari pendidikan anaknya

(Skoufias 2001). Selain itu, pengalaman Brazil melaksanakan program CCT

Programa de Erradicação do Trabalho Infantil – PETI dikombinasikan dengan

Jornada Ampliada, program tambahan dengan memberikan aktivitas untuk anak

ketika tidak sekolah untuk memperkuat motivasi anak untuk sekolah dan

berprestasi, berupa program after-school. Hal ini dapat diterapkan dalam

program PKH untuk meningkatkan output pendidikan anak.

Jika beban keluarga dapat dibagi dengan pembagian peran yang didasari

optimalisasi sumberdaya akan terjadi produktivitas individual yang akan dapat

menanggulangi kemiskinan sehingga landasan filosofi PKH harus kuat. Intervensi

PKH untuk memutus rantai kemiskinan, karena ada kompensasi yang terkait

dengan pengasuhan anak khususnya pola asuh belajar.

Program PKH diharapkan berperan sebagai sarana untuk memutus

matarantai kemiskinan turun-temurun dengan cara meningkatkan investasi untuk

anak-anak dari keluarga kurang mampu dalam bidang pendidikan, kesehatan,

dan gizi. Dengan demikian, diharapkan di masa depan keluarga miskin akan

mampu meningkatkan kualitas hidup dan keluar dari kemiskinan. Apalagi dalam

Human Development Report (HDI) 2009, Indonesia berada di posisi 111 dari 182

negara dengan nilai HDI sebesar 0,734. Dengan adanya PKH, nilai HDI ini akan

semakin meningkat tahun 2015 nanti, sehingga kualitas sumberdaya manusia

Indonesia akan dapat bersaing dengan negara-negara lain. SDM Indonesia yang

akan terbentuk adalah berkualitas dan berdaya saing global sesuai dengan

kebutuhan berbagai jenis posisi dan lapangan kerja, sehingga akan terjadi

peningkatan proporsi angkatan kerja terdidik yang dapat memacu produktivitas

nasional serta pertumbuhan ekonomi. Pada akhirnya, pendayagunaan angkatan

kerja terdidik akan berdampak pada peningkatan efisiensi dan mutu hasil kerja

karena dianggap lebih mampu dalam mendayagunakan teknologi serta

diversifikasi kegiatan ekonomi.

Peran Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Kesehatan

dalam implementasi PKH mutlak diperlukan, meskipun PKH merupakan proyek

pengentasan kemiskinan yang dipegang oleh Kementerian Sosial. Dukungan ini

dirasakan sangat krusial, karena sisi supply PKH ada di tangan kedua

kementerian tersebut. Tanpa adanya koordinasi antara ketiga kementerian, maka

Page 93: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan

169

program ini kemungkinan besar akan gagal. Ego sektoral harus disingkirkan agar

pencapaian target program pada tahun 2015 dapat dipenuhi.

Pada akhirnya yang harus menjadi pemikiran bersama adalah program

PKH hanya diberikan pada keluarga dengan batas maksimum anak sekolah

menengah pertama, sehingga keberlanjutan anak untuk sekolah hingga SLTA

akan terancam. Pemerintah perlu memikirkan bagaimana anak-anak dari

keluarga miskin dapat masuk ke sekolah kejuruan sehingga menjadi tenaga-

tenaga trampil yang siap pakai. Menurut Paskarina (2007) orientasi pendidikan

bukanlah gelar, tapi life skilled individual, atau orang yang memiliki keterampilan

untuk mengatasi resiko dan tantangan perubahan sosial. Di masa mendatang,

paradigma pendidikan perlu digeser pada perluasan sekolah-sekolah kejuruan

sesuai dengan potensi lokal di tiap-tiap kabupaten/kota. Dukungan juga harus

diberikan bagi pembaharuan kurikulum yang memuat pendidikan kewirausahaan

atau life skill education.

Keterbatasan PenelitianPenggalian data dilakukan untuk mengetahui kondisi pra dan saat

keluarga menerima dana PKH, sehingga untuk data pra keluarga mendapat dana

PKH sangat ditentukan oleh kemampuan contoh untuk mengingat. Evaluasi

terhadap seberapa besar pengaruh program PKH terhadap kesejahteraan

keluarga adalah lebih kepada output sementara, karena untuk mengukur dampak

masih terlalu dini mengingat program PKH baru diluncurkan pada akhir tahun

2007 oleh pemerintah. Selain itu, ketersediaan data prestasi akademik yang

direpresentasikan oleh raport menjadi salah satu hambatan penelitian ini.

Beberapa diantara penyebabnya adalah perubahan kurikulum yang

menyebabkan raport harus berganti, kehilangan raport oleh wali kelas

sebelumnya atau oleh anak sendiri. Generalisasi penelitian ini memang perlu

dipertimbangkan mengingat kenyataan pengambilan sampel untuk setiap desa

tidak dapat dilakukan secara proporsional karena adanya berbagai kendala

seperti calon sampel yang pindah atau data anak yang salah bukan SD, namun

masih TK. Hal-hal tersebut mengakibatkan terjadinya penyimpangan proporsi

contoh yang diambil untuk setiap desa tidak sesuai dengan perencanaan.