faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga dan
TRANSCRIPT
77
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi PenelitianKecamatan Dramaga merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten
Bogor yang diresmikan pada tanggal 12 Februari 1992 berdasarkan Surat
Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 1992 yang posisinya di sebelah selatan
ibukota Kabupaten Bogor (Laporan Kinerja Tahunan Kecamatan Dramaga tahun
2009). Wilayah Kecamatan Dramaga berada pada ketinggian 500 meter di atas
permukaan laut, merupakan kawasan yang berbukit dengan suhu rata-rata 250C
hingga 300C. Jarak ibukota Kecamatan Dramaga dengan ibukota Kabupaten
Bogor sekitar 30 km. Adapun batas administratif Kecamatan Dramaga di sebelah
utara adalah berbatasan dengan Kecamatan Rancabungur, sebelah selatan
berbatasan dengan Kecamatan Kota Bogor Barat, sebelah barat berbatasan
dengan Kecamatan Ciampea dan di sebelah timur berbatasan dengan
Kecamatan Ciomas dan Tamansari.
Secara administratif, Kecamatan Dramaga terbagi dalam sepuluh desa
dengan total penduduk sebanyak 91.874 jiwa. Dari sepuluh desa yang ada di
Kecamatan Dramaga, tiga terbesar jumlah penduduknya adalah Desa Petir,
Desa Ciherang, dan Desa Dramaga (Tabel 16).
Tabel 16 Sebaran desa-desa dan jumlah penduduk di Kecamatan Dramaga
No Nama Desa Jumlah Penduduk1.2.3.4.5.6.7.8.9.10.
SukaweningPetirPurwasariNeglasariCiherangCikarawangDramagaBabakanSinarsariSukadamai
7.39912.289
6.3558.601
12.2387.953
11.42010.742
7.3867.491
JUMLAH 91.874Sumber : Laporan Kinerja Tahunan Kecamatan Dramaga tahun 2009
Jumlah penduduk Kecamatan Dramaga per 31 Desember 2008 sebanyak
91.874 jiwa. Adapun keadaan penduduk di Kecamatan Dramaga berdasarkan
mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 17. Persentase terbesar penduduk
Kecamatan Dramaga adalah berprofesi sebagai petani/peternak (37,4%),
pengusaha/wiraswasta (31,6%), dan buruh (23,5%).
78
Tabel 17 Sebaran penduduk Kecamatan Dramaga menurut mata pencaharian
No Mata Pencaharian Jumlah (n) Persentase (%)1. Karyawan Swasta 209 1,32. PNS 947 5,83. TNI/POLRI 64 0,44. Pengusaha/Wiraswasta 5.167 31,65. Petani/Peternak 6.113 37,46. Buruh 3.832 23,5
Jumlah 16.332 100,0Sumber : Laporan Kinerja Tahunan Kecamatan Dramaga tahun 2009
Peningkatan kesejahteraan masyarakat sangat tergantung kepada upaya
peningkatan pendidikan masyarakat, peningkatan derajat kesehatan masyarakat,
pengetahuan kesehatan dan kehidupan sosial budaya. Di Kecamatan Dramaga
kesempatan memperoleh pendidikan dapat ditempuh melalui lembaga
pendidikan formal yang ditunjang dengan sarana dan prasarana pendidikan
(Tabel 18).
Tabel 18 Data jumlah sekolah di Kecamatan Dramaga
No Nama sekolah Jumlah sekolah (buah)1.2.3.4.5.6.7.8.
PAUDTaman Kanak-kanakSekolah Dasar NegeriSMP NegeriSMP SwastaSMA NegeriSMA/K SwastaPerguruan Tinggi
10103427131
Sumber : Laporan Kinerja Tahunan Kecamatan Dramaga tahun 2009
Denyut nadi perekonomian di Kecamatan Dramaga didukung oleh sarana
dan prasarana wilayah yang ada. Jaringan transportasi di Kecamatan Dramaga
cukup baik, kondisi jalan relatif baik, sebagian besar telah beraspal dan seluruh
desa yang ada di Kecamatan Dramaga dapat dilalui oleh kendaraan roda empat
sepanjang tahun. Jalan kabupaten 75 km dan jalan desa 35 km, kondisi jalan
aspal 79 km, jalan diperkeras 8 km dan jalan tanah 19 km. Sementara itu,
prasarana perekonomian yang ada adalah empat buah KUD Mandiri, dan jumlah
keseluruhan toko/kios sebanyak 724 buah. Realisasi penyaluran raskin untuk
wilayah Kecamatan Dramaga disajikan pada Tabel 19, Desa Petir menjadi desa
paling banyak Rumahtangga Miskin (RTM) yang mendapat raskin.
79
Tabel 19 Realisasi penyaluran Raskin di Kecamatan Dramaga tahun 2008
No Desa Rumahtangga Miskin(Keluarga)
1. Ciherang 6682. Sukadamai 7363. Sukawening 8004. Petir 9605. Neglasari 8006. Sinarsari 5857. Purwasari 5108. Dramaga 7369. Babakan 53510. Cikarawang 940
JUMLAH 7.270Sumber : Laporan Kinerja Tahunan Kecamatan Dramaga tahun 2009
Implementasi Program Keluarga Harapandi Kecamatan Damaga
Wawancara secara mendalam dan telaah panduan PKH dilakukan untuk
menggali pelaksanaan program PKH di Kecamatan Dramaga dengan sasaran
pihak sekolah, pihak aparat desa, pendamping dan ketua kelompok PKH. Berikut
diuraikan gambaran implementasi program ini sejak mulai diluncurkan tahun
2007.
Penentuan Sasaran PKHPenentuan keluarga penerima program dilakukan oleh BPS dengan
menggunakan tiga tahapan, yakni keluarga diidentifikasi berdasarkan
serangkaian karakteristik bagi keluarga sangat miskin yang berasal dari survei
rumahtangga dan kondisi yang memenuhi syarat seperti adanya anak atau ibu
hamil. Validasi terhadap calon penerima PKH dilakukan di lapang, daftar
penerima disebarkan oleh UPPKH pusat, serta biasanya dengan berkonsultasi
terlebih dahulu dengan tim teknis PKH pusat dan provinsi serta tim koordinasi
PKH setempat. Informasi tentang rumahtangga penerima PKH dimasukkan ke
dalam master data base sehingga menjadi daftar resmi rumahtangga penerima
PKH. Namun untuk tahap awal (pilot proyek), modifikasi dilakukan dimana data
awal calon penerima PKH diambil dari rumahtangga penerima BLT tahun 2005.
Metode penentuan target yang dilakukan secara langsung ini menimbulkan
persepsi pada pemerintah setempat (kecamatan, kelurahan hingga RT/RW) dan
pihak sekolah bahwa program tidak transparan dan kadang-kadang salah
80
sasaran. Pihak-pihak ini merasa tidak dilibatkan dan tidak diberikan informasi
oleh pihak pusat.
Verifikasi Kriteria Rumahtangga Miskin. Hasil verifikasi untuk
mengetahui apakah keluarga penerima PKH tepat sasaran menunjukkan dari 14
indikator kemiskinan terdapat empat indikator yang persentasenya di atas 90
persen,yakni pendidikan tertinggi kepala rumahtangga tidak sekolah/tidak tamat
SD/hanya SD (98,0%), hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun
(98,7%), tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal
Rp500 000 (94,7%) dan hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam
seminggu (93,3%) (Lampiran 4).
Kisaran indikator yang dipenuhi oleh keluarga contoh adalah antara 4
sampai 14, dengan rata-rata keluarga memenuhi 10 indikator. Selanjutnya
dengan menggunakan kategori BPS (2005) sebuah keluarga dinyatakan layak
memperoleh dana PKH jika memenuhi minimal 9 kriteria, ternyata sebanyak
sepertiga keluarga contoh tidak layak mendapat dana PKH (Tabel 20). Hal ini
mengindikasikan terjadinya salah sasaran yang menyebabkan sepertiga keluarga
yang seharusnya tidak layak menerima PKH.
Tabel 20 Sebaran kelayakan contoh mendapat dana PKH berdasarkan indikatorverifikasi kriteria rumahtangga miskin BPS (2005) dan persepsi contohtentang ketepatan sasaran PKH
No Verifikasi dan Ketepatan Sasaran Jumlah (n) Persentase (%)
Kelayakan rumahtangga miskin1. Layak 113 75,02. Tidak Layak 38 25,0
Persepsi Ketepatan Sasaran Penerima PKH1. Tidak Tepat 8 5,02. Kurang tepat 11 7,03. Tepat 132 88,0Ket : Layak jika memenuhi > 9 kriteria BPS (2005)
Tidak layak jika hanya memenuhi < 9 kriteria BPS (2005)
Temuan dari penelitian ini jika dibandingkan dengan temuan Puspitawati,
Herawati dan Sarma (2006) dimana sekitar setengah dari jumlah rumahtangga
miskin dinyatakan salah sasaran atau tidak layak mendapatkan dana SLT adalah
lebih rendah. Padahal menurut Rawlings dan Rubio (2003), penetapan target
miskin atau rawan adalah kritis bagi tiap Program CCT. Kebanyakan tergantung
pada geografi dan level rumahtangga target, dengan mekanisme penentuan
81
target yang digunakan tergantung terutama semata pada jenis data yang
tersedia. Di beberapa negara, eligibility dari beneficiaries ditinjau secara periodik.
Di Mexico dan Jamaica, status kemiskinan rumahtangga dire-evaluasi setiap tiga
tahun untuk menentukan keberlanjutan keluarga dalam program. Di Nicaragua,
RPS dirancang hanya untuk tiga tahun dalam komunitas penerima, setelah itu
transfer tunai dihapus secara bertahap.
Persepsi Ketepatan Sasaran Penerima PKH. Berdasarkan penilaian
tentang ketepatan sasaran penerima PKH, sebagian besar (88,0%) contoh
menyatakan bahwa penerima PKH adalah tepat sasaran (Tabel 20), namun
demikian, masih terdapat 7,3 persen contoh menyatakan kurang tepat dan 4,7
persen bahkan menyatakan tidak tepat. Jika dibandingkan dengan temuan pada
program Subsidi Langsung Tunai yang dilakukan oleh Hastuti et al. (2006)
dilaporkan bahwa dalam penargetan, ditemui adanya kesalahan sasaran
(mistargeting) meskipun dalam tingkat yang relatif rendah. Hal ini terindikasi dari
adanya rumahtangga tidak miskin yang menjadi penerima SLT (leakage) dan
rumahtangga miskin yang belum menjadi penerima (undercoverage).
Beberapa faktor yang diperkirakan melatarbelakangi kesalahan sasaran
adalah: 1) Tidak meratanya kapasitas pencacah dan tidak ditunjang oleh
pelatihan dan bimbingan yang memadai; 2) Cukup tingginya subjektivitas
pencacah; 3) Prosedur penyaringan rumahtangga miskin tidak dilakukan secara
seksama; 4) Pencacah tidak selalu mendatangi rumahtangga yang dicacah; 5)
Terdapat indikasi adanya penjatahan jumlah rumahtangga target sampai di
tingkat RT; 6) Indikator kemiskinan yang digunakan kurang sensitif dalam
menangkap kondisi sosial ekonomi rumahtangga secara utuh; 7) Terdapat pilihan
jawaban yang tidak lengkap; dan 8) Konsep keluarga dan rumahtangga sebagai
unit penerima SLT tidak ditetapkan secara tegas. Jika dilihat kembali penentuan
calon penerima PKH adalah bersumber dari data penerima BLT tahun 2005 yang
dianggap sudah tidak up to date, maka kemungkinan kesalahan yang sama
terjadi pada penetapan sasaran PKH.
Sosialisasi Program PKHPemerintah selayaknya melakukan sosialisasi tentang PKH sehingga baik
penerima maupun masyarakat secara luas memahami konsep program ini dan
perbedaannya dengan program-program lainnya. Sosialisasi merupakan tahapan
penting dalam pelaksanaan program pembangunan yang ditujukan kepada
rakyat banyak, termasuk program penanggulangan kemiskinan. Tanpa
82
sosialisasi yang baik dan menyeluruh, besar kemungkinan timbul masalah dalam
pelaksanaan program seperti salah sasaran dan kecemburuan sosial yang dapat
memicu ketegangan sosial.
Berbagai permasalahan tentang penargetan dan penyaluran muncul
terkait dengan lemahnya sosialisasi program. Lemahnya sosialisasi terjadi di
semua tahap pelaksanaan mulai dari proses pendataan hingga mekanisme
pengaduan. Sosialisasi kepada masyarakat dapat dikatakan tidak dilakukan. Hal
ini diindikasikan oleh kenyataan bahwa keluarga penerima PKH tidak mengetahui
persyaratan yang harus dipenuhi oleh penerima PKH. Hal ini menjadi indikasi
masih kurangnya sosialisasi mengenai PKH yang dilakukan oleh pendamping.
Program sosialisasi seharusnya dilakukan bekerjasama dengan
pemerintah setempat (pihak desa) untuk pendataan. Kurangnya sosialisasi
tentang PKH dirasakan sekali oleh para contoh yang diwawancarai. Salah satu
jawaban contoh ketika ditanyakan apakah contoh mengetahui apa PKH itu dan
mengapa mendapat PKH adalah sebagai berikut :
”Apa ya PKH? Saya tidak tahu PKH, maklum neng, saya tidaksekolah”.
”Mungkin saya orang yang tidak mampu, tidak punya, sudah terpilih,bekerja sebagai buruh”.
Permasalahan kurangnya sosialisasi juga ditemukan pada program
bantuan langsung tunai sebagaimana dinyatakan oleh Hastuti et al. (2006)
Problem lemahnya sosialisasi Program SLT terjadi hampir di semua daerah dan
pada semua tahapan pelaksanaan, yaitu mulai dari proses pendataan, pencairan
dana, hingga mekanisme pengaduan. Baik jajaran pemerintah daerah maupun
masyarakat luas mengaku tidak memperoleh informasi yang memadai tentang
Program SLT. Bahkan sosialisasi kepada masyarakat bisa dikatakan tidak
dilakukan. Sosialisasi hanya diberikan kepada rumahtangga penerima saat
pembagian kartu PKH, itupun terbatas tentang tempat dan waktu pengambilan
dana.
Distribusi Dana PKHHasil penilaian contoh penerima PKH tentang distribusi PKH di
Kecamatan Dramaga menunjukkan bahwa sebagian besar (90,0%) penilaian
contoh terhadap distribusi dana PKH melalui kantor pos adalah baik (Tabel 21).
Sisanya menyatakan distribusi PKH masih kurang (8,0%) dan buruk (2,0%).
Selanjutnya hasil wawancara dengan contoh terkait dengan adanya konflik
83
dengan adanya, ternyata sekitar 43 persen contoh menyatakan adanya masalah
atau konflik antar warga. Berdasarkan hasil wawancara dengan contoh berbagai
masalah yang timbul terkait dengan pendistribusian PKH adalah ada yang demo
pada awal PKH berjalan karena ada yang merasa layak dapat tapi tidak diberi
PKH, kecemburuan dari tetangga yang tidak mendapat PKH, ada yang merasa
seharusnya mendapat bantuan tapi tidak dapat, banyak orang yang belum
mengetahui tentang PKH, demonstrasi masyarakat ke kampus/kantor pos,
disindir oleh warga lain, harus membagi ke warga, dan tetangga merasa
distribusi tidak merata.
Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan penilaian distribusi dan konflik alirandana PKH
No Penilaian distribusi dan konflik dana PKH Jumlah (n) Persentase (%)Penilaian distribusi dana PKH melalui kantor pos (n=150)
1. Baik 135 90,02. Kurang 12 8,03. Buruk 3 2,0
Masalah/konflik antar warga dengan adanya PKH (n=150)1. Ada 65 43,32. Tidak Ada 83 55,33. Tidak Tahu 2 1,3
Hasil wawancara mendalam dengan aparat desa, ternyata sama sekali
tidak ada koordinasi antara pihak pendamping ataupun ketua kelompok PKH
mengenai penerima maupun hal-hal yang terkait dengan PKH, termasuk dalam
penentuan sasaran. Aparat desa merasa meskipun tidak dilibatkan, sebagai
penguasa setempat seharusnya ada koordinasi antara pendamping dengan
pihak desa. Seperti yang dialami di Desa Sukadamai, masyarakat melakukan
demonstrasi kepada pihak desa karena tidak mendapat dana PKH, namun
seharusnya layak mendapat dana PKH. Pihak desa menyatakan ketika terjadi
kericuhan di masyarakat, maka yang menjadi sasaran adalah pihak desa. Daftar
nama penerima PKH juga tidak ditemukan di kantor kepala desa maupun kantor
camat. Pemantauan tidak dapat dilakukan, karena ketua kelompok langsung
berkonsolidasi dengan pendamping kecamatan.
Koordinasi dilakukan secara langsung dari pendamping dengan ketua-
ketua kelompok tanpa melakukan koordinasi dengan kepala desa maupun ketua
RT/RW sehingga pemerintah desa merasa dilangkahi di wilayah kekuasaannya.
Padahal banyak anggota masyarakat yang tidak menerima PKH menuntut
84
kepada pihak desa yang tidak mengetahui tentang PKH. Berdasarkan hasil
wawancara dengan kepala desa dan kepala sekolah di beberapa SD, harus ada
koordinasi dengan pemerintah maupun pihak sekolah ketika menentukan
sasaran dan dalam pelaksanaan PKH. Pihak sekolah mengeluhkan prestasi anak
penerima PKH yang rendah dan seringkali bolos. Selain itu, pendamping PKH
juga jarang sekali melakukan koordinasi dengan pihak sekolah.
Berdasarkan hasil wawancara diatas, terlihat pemerintah pusat tidak
belajar dari program pemberdayaan sebelumnya, yakni Subsidi Langsung Tunai
(SLT) yang secara kelembagaan dinilai lemah koordinasi dan komunikasi dalam
pelaksanaan SLT merupakan masalah utama yang dihadapi aparat di tingkat
kabupaten/kota (Hastuti et al. 2006). Pemerintah daerah merasa tidak dilibatkan
secara resmi dalam Program SLT sejak awal. Kegiatan pendataan rumahtangga/
keluarga miskin oleh BPS, menurut banyak pejabat di daerah, dilakukan tanpa
koordinasi dengan pemda. Hal ini diduga karena petugas BPS menganggap
pendataan ini sebagai kegiatan rutin saja. Proses tersebut menimbulkan kesan di
daerah bahwa program SLT bersifat sentralistik dan dilaksanakan oleh institusi
yang juga sentralistik (BPS dan PT. Pos Indonesia). Di satu pihak, pemda
mendukung usaha pemerintah pusat melakukan penanggulangan kemiskinan
didaerahnya. Di pihak lain, pemda mempertanyakan komitmen pemerintah pusat
atas pelaksanaan politik desentralisasi dan otonomi daerah. Pengorganisasian
pendataan dan penetapan rumahtangga/keluarga miskin oleh BPS sebagai
instansi pusat yang cenderung bersifat tertutup menambah kentalnya nuansa
sentralistik dalam pengelolaan Program SLT.
Di lain pihak, birokrasi yang relatif sederhana dari program PKH yang
diadopsi dari program SLT yang diserahkan kepada BPS dan kantor pos
cenderung lebih disenangi oleh masyarakat yang membuat program ini lebih
efisien. Penyaluran dana kepada rumahtangga penerima dilakukan oleh kantor
pos. Penunjukan kantor pos sebagai pelaksana pencairan dana PKH dinilai tepat
oleh banyak pihak. Kantor pos telah berpengalaman dalam melayani transfer
dana masyarakat. Selain itu, jumlah cabang kantor pos relatif banyak dan
tersebar hingga ke tingkat kecamatan. Kemungkinan terjadinya kebocoran dana
juga relatif kecil karena masyarakat secara langsung mengambilnya dan kantor
pos dinilai relatif bersih dari kasus penyelewengan. Beberapa kendala yang
ditemukan dalam penyaluran dana PKH adalah: 1) Minimnya jumlah petugas di
setiap kantor pos, 2) Penerima yang tinggal jauh harus mengeluarkan biaya
85
transpor yang cukup memberatkan, 3) Kecenderungan penerima mengambil
dana pada hari pertama pencairan menyebabkan antrean panjang, dan 4) Tidak
jelasnya dana operasional menjadi alasan tidak dilakukannya pelayanan keliling
atau penyediaan pos pelayanan tambahan di beberapa daerah.
Timbulnya konflik di tengah-tengah masyarakat sebenarnya selalu
menyertai program pengentasan kemiskinan, salah satu contohnya adalah pada
Program Subsidi Langsung Tunai. Hasil kajian Hastuti et al. (2006) menyatakan
adanya mistargetting yang diperparah dengan sosialisasi yang tidak memadai,
khususnya tentang kriteria target dan tujuan program, telah memicu munculnya
ketidakpuasan masyarakat. Ketidakpuasan masyarakat diungkapkan dalam
berbagai bentuk, mulai dari keluhan, protes atau demonstrasi, melakukan
ancaman, hingga pengrusakan. Pengaduan yang berbentuk aksi protes dan
ancaman biasanya ditangani oleh kepala desa/lurah dibantu oleh aparat
keamanan/kepolisian. Di beberapa daerah aparat pemda kabupaten/kota dan
kecamatan serta BPS juga ikut turun tangan. Aksi protes dan ancaman dapat
diredam dengan: 1) Dibukanya pendaftaran susulan bagi masyarakat yang
merasa berhak; 2) Adanya kesediaan penerima SLT untuk membagi sebagian
dana kepada rumahtangga miskin lainnya; dan 3) Ada pejabat yang menjanjikan
bahwa pendaftar susulan akan menerima SLT pada tahap berikutnya. Sementara
itu, hasil studi Hall (2006) menunjukkan beberapa kendala yang dialami oleh
CCT Bolsa Famı´lia di Brazil adalah rendahnya ketepatan sasaran penerima,
rendahnya koordinasi antar kementerian, monitoring yang tidak memadai,
clientelism, akuntabilitas yang lemah dan dugaan bias politik.
Pihak sekolah merasa tidak dilibatkan dalam menentukan anak yang
mendapat dana PKH. Terdapat beberapa nama yang pada saat sekolah
didatangi oleh pihak kantor pos tidak dikenali karena nama anak adalah nama
panggilan yang tidak dikenal disekolah. Terdapat pula anak yang sudah drop out
namun namanya masih dinyatakan sekolah di SD tersebut. Dalam penelitian ini
untuk memperoleh data prestasi dan absensi siswa ditemukan kendala dalam
mencocokkan nama anak dengan nama anak di sekolah. Secara umum, para
guru mengeluhkan anak yang mendapat PKH seringkali absen dan ada yang
tinggal kelas. Bahkan ada anak yang sebenarnya tinggal kelas atau sudah DO
namun dinyatakan oleh orangtua masih sekolah. Para guru di sekolah
menyatakan kemungkinan peruntukan yang salah dari dana PKH yang diterima
86
bukan untuk kebutuhan sekolah anak. Ada beberapa anak yang bersekolah
bukan tinggal dengan orangtua kandung tetapi dengan nenek atau di kota lain.
Alasan Mendapat Dana PKHAlasan keluarga mendapat dana PKH bukan hanya karena adanya anak
usia sekolah saja, namun keberadaan balita, ibu menyusui, ibu hamil ataupun
anak usia SMP/MTs. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya perbedaan jumlah
dana PKH yang diterima oleh setiap keluarga contoh. Berdasarkan data
penelitian, diperoleh pemetaan alasan keluarga mendapat dana PKH, yakni satu
alasan (ada anak usia SMP/MTs) 56 persen, kombinasi dua alasan sebanyak
30,7 persen dan kombinasi tiga alasan sebanyak 13,4 persen (Tabel 22).
Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan alasan keluarga mendapat PKH(jawaban dapat lebih dari satu)
No Alasan Mendapat PKH (n=150) Jumlah (n) Persentase (%)A* B* C* D* E*1. V 84 56,02. V V 33 22,03. V V 4 2,74. V V 9 6,05. V V V 8 5,36. V V V 1 0,77. V V V 10 6,78. V V V V 1 0,7
Keterangan :*A. Ada Anak Balita; B. Ada Ibu Menyusui; C. Ada Ibu Hamil; D. Ada anak usia SD/MI dan E. Adaanak usia SMP/MTs
Besaran dana PKH uang diterima keluarga yang memiliki anak usia
sekolah akan bervariasi tergantung pada tingkat pendidikan anak dan jumlah
anak yang bersekolah pada tingkat tersebut. Hasil penelitian juga menunjukkan
bahwa jumlah anak penerima dana PKH dalam keluarga berkisar antara satu
hingga tiga orang. Persentase keluarga dengan satu anak sebagai penerima
dana PKH adalah 48 persen, dua anak 40,7 persen dan sisanya dengan tiga
anak, yakni 11,3 persen.
Besar Dana PKH yang DiterimaSejak PKH mulai diluncurkan di Kecamatan Dramaga, keluarga penerima
telah memperoleh pencairan dana sebanyak enam kali. Pengambilan dana PKH
telah dilakukan pada tanggal 7 Maret 2008 (Tahap I), 17 Maret 2008 (Tahap II),
87
18 Juni 2008 (Tahap III), 25 November 2008 (Tahap IV), 19 Desember 2008
(Tahap V), dan 10 April 2009 (Tahap VI). Pembayaran bantuan dilakukan oleh
PT. POS setiap tiga bulan (triwulan) pada tanggal yang ditentukan oleh masing-
masing kantor pos untuk masing-masing desa/kelurahan. Setiap ibu membawa
Kartu PKH yang tercantum nama ibu/wanita yang mengurus anak. Dalam
kenyataannya keterlambatan pencairan dana seringkali terjadi, seperti pencairan
tahap pertama seharusnya dilakukan pada bulan Desember 2007 diundur hingga
awal Maret 2008. Dari enam kali pencairan dana PKH, rata-rata jumlah yang
diterima oleh keluarga bervariasi dengan rata-rata jumlah terbesar dana PKH
adalah pada pengambilan kedua (Rp1 094 406,7), sedangkan rata-rata penca-
iran dana terendah adalah pada tahap keenam (Rp491 086,7) (Tabel 23). Rata-
rata lama waktu bagi keluarga contoh penerima PKH untuk menghabiskan dana
PKH yang diterima adalah sekitar dua minggu. Bahkan berdasarkan pernyataan
contoh dana yang diperoleh dapat habis dalam waktu satu hari, yang biasanya
digunakan untuk membayar hutang. Dana PKH dihabiskan oleh keluarga contoh
dengan kisaran waktu antara 1 hari hingga 60 atau 90 hari.
Tabel 23 Rata-rata besar dana PKH yang diterima oleh keluarga contoh danlama habis berdasarkan tahapan pencairan
Tahapan Tanggal Pencairan Rata-Rata±SD (n=150) Rata-rata lamahabis dana PKH (hari)
I 07 Maret 2008 492 086,7±186 943,9 12,7II 17 Maret 2008 1 094 406,7±424 663,4 14,7III 18 Juni 2008 512 253,3±169 862,9 12,9IV 25 November 2008 497 940,0± 166 561,7 12,8V 19 Desember 2008 495 706,7± 170 979,7 13,0VI 10 April 2009 491 086,7± 174 011,4 13,5
Rata-rata 597 247,7±185 699,1 13,3
Rata-rata dana yang diterima contoh selama enam kali pencairan adalah
Rp597 247,7. Penerimaan terendah dana PKH oleh keluarga contoh adalah
Rp60 000 yakni pada pencairan kelima dan keenam. Jumlah dana PKH tertinggi
yang diterima oleh keluarga contoh adalah sebesar Rp1 867 000 yakni pada
pencairan kedua. Secara total, dari enam kali pengambilan dana PKH, dana
yang telah diserap oleh keluarga penerima PKH, rata-rata adalah Rp3 583 480
dengan nilai terendah adalah Rp1 200 000 dan nilai tertinggi adalah Rp6 020
000. Berdasarkan panduan PKH, rata-rata bantuan per RTSM adalah Rp1 390
000 dengan besar bantuan minimum per RTSM sebesar Rp600 000 dan bantuan
88
maksimum per RTSM adalah Rp2 200 000. Selanjutnya diketahui bahwa sekitar
30 keluarga memperoleh dana maksimum dan sekitar 12 keluarga memperoleh
dana minimum.
Penerimaan dana PKH hampir semua dilakukan oleh ibu, hanya 1,4
persen dilakukan oleh nenek. Hal ini ditujukan agar pemenuhan syarat PKH
efektif, sehingga bantuan harus diterima oleh ibu atau wanita dewasa yang
mengurus anak pada rumahtangga yang bersangkutan (dapat nenek, tante/bibi,
atau kakak perempuan). Pada kartu kepesertaan PKH akan tercantum nama
ibu/wanita yang mengurus anak, bukan kepala rumahtangga. Pengecualian dari
ketentuan di atas dapat dilakukan pada kondisi tertentu dengan mengisi formulir
pengecualian di UPPKH kecamatan yang harus diverifikasi oleh ketua RT
setempat dan pendamping PKH.
Pertimbangan ibu atau wanita dewasa menjadi penerima bantuan adalah
karena umumnya ibu bertanggungjawab atas kesehatan, nutrisi dan pendidikan
anak-anaknya. Banyak temuan penelitian yang menunjukkan bahwa ibu adalah
pihak yang sangat peduli terhadap keluarganya dibandingkan ayah. Misalnya,
suatu studi di Republic of Guinea, menunjukkan bahwa insiden kemiskinan
konsumsi di keluarga dengan kepala keluarga perempuan justru lebih kecil
dibandingkan insiden kemiskinan di keluarga dengan kepala keluarga laki-laki
(Cagatay, "Gender" 10-11 dalam Smeru News 2005). Gejala yang sama juga
terlihat dari data kemiskinan konsumsi di Indonesia, di mana angka kemiskinan di
rumahtangga dengan kepala keluarga perempuan lebih kecil dibanding
rumahtangga dengan kepala keluarga laki-laki.
Contoh selanjutnya adalah hasil studi Suryahadi dan Sumarto (2001),
tingkat kemiskinan rumahtangga yang dikepalai laki-laki (27,6%) sedikit lebih
tinggi daripada yang dikepalai perempuan (25,8%). Hasil studi Widyanti et al.
(2009) juga melaporkan komposisi rumahtangga ibu tunggal tanpa anak
mempunyai peluang terendah mengalami kemiskinan kronis atau kerawanan,
sedangkan keluarga dengan ayah tunggal dengan atau tanpa anak memiliki
peluang terbesar mengalami kerawanan.
Dari enam kali pengambilan dana PKH yang telah dilakukan, berdasarkan
pengakuan contoh terlihat kecenderungan persentase yang semakin meningkat
dari contoh yang menyatakan ada bagian yang diserahkan kepada suami (Tabel
24). Persentase contoh yang memberikan sebagian dana PKH kepada suami
meningkat dari 18 persen pada pengambilan pertama hingga 51,3 persen pada
89
pengambilan keenam dengan rata-rata keseluruhan tahapan adalah 43,7 persen.
Persentase bagian dana yang diserahkan kepada suami berkisar antara 2,6
hingga 4,7 persen, dengan rata-rata 4,0 persen. Umumnya contoh menyatakan
penggunaan dana PKH yang diserahkan kepada suami adalah untuk membeli
rokok dengan rata-rata bagian dana yang diberikan adalah Rp22 368,33.
Tabel 24 Rata-rata dan persentase bagian dana PKH yang diserahkan kepadasuami
TahapanPersentase yang
menyerahkan sebagian danakepada suami (%)
Persentase danayang diterima
suami (%)
Rata-rata jumlah yangdiserahkan kepada
suami (Rp)I 18,0 4,2 20 660,0II 32,7 2,6 28 143,3III 42,7 4,7 23 960,0IV 56,0 4,4 21 793,3V 61,3 4,1 20 326,7VI 51,3 3,9 19 326,7
Rata-Rata 43,7 4,0 22 368,33
Tabungan Dana PKHBiasanya individu dan keluarga berpendapatan rendah mempunyai
orientasi untuk masa sekarang saja daripada orientasi untuk masa depannya
dalam perspektif waktu. Hal ini tentunya tergantung dari situasi yang ada
(Guhardja et al. 1992). Menabung termasuk ke dalam strategi penghematan
dimasa kini, tetapi juga merupakan strategi penambahan di masa yang akan
datang, dimana keluarga menginvestasikan keuangannya untuk masa yang akan
datang. Menabung merupakan aktifitas manajerial yang mengakibatkan
ketersediaan sumberdaya keluarga bertambah.
Data yang disajikan pada Tabel 25 menunjukkan bahwa kurang dari
sepertiga contoh menyisihkan sebagian dari dana yang diterima untuk ditabung.
Rata-rata jumlah yang ditabung berbeda-beda antara tahapan pencairan dengan
rata-rata terkecil adalah Rp19 395,5 (pengambilan tahap I) hingga Rp57 499,6
(pengambilan tahap II), dengan rata-rata keseluruhan Rp28 721,30. Jumlah yang
ditabung berkisar dari nol hingga Rp500 000. Jika dibandingkan dengan rata-rata
jumlah dana PKH yang diterima keluarga contoh, maka persentase yang
ditabung adalah antara 3,9 hingga 5,3 persen atau rata-rata keseluruhan 4,7
persen. Tabungan dikelola oleh ketua kelompok, dimana pengambilan tabungan
dapat dilakukan kapan saja.
90
Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan rata-rata dan persentase bagian danaPKH yang ditabung
TahapanPersentase yang
menabungdana PKH (%)
Rata-rata jumlahyang ditabung
(Rp)
Persentase danayang ditabung
(%)
Kisaranmin-max
(Rp)I 28,0 20 787,8 4,2 0-150 000,0II 28,0 57 499,6 5,3 0-500 000,0III 30,0 26 795,7 5,2 0-100 000,0IV 24,0 25 837,0 5,2 0-100 000,0V 24,0 22 012,2 4,4 0-110 000,0VI 24,7 19 395,5 3,9 0-100 000,0
Rata-Rata 26,5 28 721,30 4,7 0-500 000,0
Sebanyak 42,7 persen contoh menyatakan menabung secara rutin pada
kelompok PKH dan dengan persentase yang sama menyatakan kadang-kadang
saja menabung. Terdapat 9,3 persen yang menyatakan tidak pernah menabung
dengan alasan uang yang diterima sudah ada peruntukannya. Dari 128 contoh
yang menabung, sebanyak 97,7 persen langsung menyetorkan tabungannya
kepada ketua kelompok segera saat mendapat dana PKH, sementara sisanya
menyetorkan sebagian dari dana yang diterima 1 atau dua hari sesudahnya
ataupun 2 atau 3 minggu sesudahnya. Rata-rata besar tabungan contoh adalah
Rp81 366,67 dengan persentase terbanyak (49,2%) berada pada kisaran antara
Rp50 000 hingga Rp100 000 (Tabel 26).
Tabel 26 Sebaran dan statistik kegiatan menabung contoh dalam kegiatanmenabung di kelompok PKH
No Kegiatan Menabung pada Kelompok PKH Jumlah (n) Persentase (%)Keterlibatan Ibu (n=150)
1. Kadang-Kadang 64 42,72. Selalu 64 42,73. Tidak Pernah 14 9,34. Tidak Ada Kegiatan Menabung 8 5,3
Waktu penyetoran (n=128)1. Langsung, setelah menerima dana PKH 125 97,72. Tidak langsung 3 2,3
Besar tabungan PKH (n=128)1. < Rp50 000 30 23,42. Rp50 000-Rp100 000 63 49,23. > Rp100 000 35 27,3
Rata-rata ± SD (Rp) 81 366,67 ± 75 471,44Kisaran (min-max) 0 – 410 000
91
Manfaat PKHLebih dari setengah contoh menyatakan besar uang PKH yang diterima
sudah memadai (Tabel 27). Sisanya (40,7%) contoh menyatakan uang PKH
masih kurang. Hal ini tercermin dari pernyataan salah satu contoh :
“Saya merasa senang karena mendapatkan uang PKH, tapiuangnya masih kurang”
Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan manfaat uang PKH yang diterimakeluarga
No Manfaat Dana PKH Jumlah (n) Persentase (%)Uang yang diterima memadai (n=150)
1. Ya 89 59,32. Tidak 61 40,7
Keluarga merasakan manfaat PKH (n=150)1. Ya 147 98,02. Tidak 3 2,0
PKH dapat mengurangi angka kemiskinan di Indonesia (n=150)1. Ya 112 74,72. Tidak 16 10,73. Tidak Tahu 22 14,7
Sebagian besar (98,0%) contoh menyatakan merasakan manfaat PKH.
Sekitar 75 persen contoh menyatakan PKH akan dapat mengurangi angka
kemiskinan di Indonesia. Berbagai penelitian tentang dampak Cash Conditional
Transfer di berbagai negara juga telah membuktikan bahwa program ini mampu
mengurangi angka kemiskinan (Rawlings & Rubio 2003).
Dari 15 pertanyaan terkait dengan kondisi keluarga saat mendapatkan
dana PKH, beberapa item mengalami kenaikan, yakni kualitas pendidikan anak
(83,3%), jumlah tabungan keluarga (76,7%), pendapatan total keluarga (76,0%)
(Tabel 28). Sementara itu, lebih dari 75 persen contoh menyatakan jumlah
penguasaan aset (jual, gadai), modal untuk usaha, kemampuan memberikan
pinjaman untuk kerabat, kualitas pekerjaan, kualitas hubungan dalam keluarga,
hubungan sosial dengan tetangga, konflik/pertengkaran dalam keluarga, dan
kekerasan dalam rumahtangga tidak mengalami perubahan saat keluarga
mendapatkan dana PKH. Manfaat yang tinggi dirasakan oleh keluarga contoh
saat mendapat dana PKH diantaranya adalah dapat membeli peralatan sekolah
anak, dapat membayar sekolah anak, serta memberikan kebahagiaan dan
motivasi hidup. Selanjutnya berdasarkan pengakuan contoh, manfaat dana PKH
92
untuk menjadi modal usaha, membantu keuangan kerabat lain, menurunkan
konflik keluarga dan untuk membayar hutang kurang atau tidak memberi
kontribusi besar.
Tabel 28 Sebaran manfaat yang dirasakan keluarga saat mendapat dana PKHdibandingkan dengan pra-PKH
No Kondisi KeluargaKondisi keluarga saat-PKH
(n=150)Turun Tetap Naik
1. Pendapatan total keluarga 2,7 21,3 76,02. Pengeluaran pangan keluarga 0,7 50,0 49,33. Pengeluaran non pangan keluarga 1,3 42,0 56,74. Jumlah penguasaan aset (jual, gadai) 2,7 86,7 10,75. Modal untuk usaha 1,3 84,7 14,06. Jumlah makanan keluarga 1,3 44,7 54,07. Jumlah tabungan keluarga 1,3 22,0 76,78. Kemampuan memberikan pinjaman untuk
kerabat 4,0 75,3 20,79. Kualitas pendidikan anak 2,7 14,0 83,310. Kualitas kesehatan keluarga 5,3 55,3 39,311. Kualitas pekerjaan 2,7 90,7 6,712. Kualitas hubungan dalam keluarga 3,3 81,3 15,313. Hubungan sosial dengan tetangga 1,3 92,7 6,014. Konflik/pertengkaran dalam keluarga 16,7 82,7 0,715. Kekerasan dalam rumahtangga 3,3 96,0 0,7
Manfaat yang dirasakan keluarga saat mendapat dana PKH terlihat pada
kategori skor yang sebagian besar (81%) termasuk dalam kategori cukup
bermanfaat dengan rata-rata skor sebesar 66,55 (Tabel 29). Hal ini disebabkan
sebagian besar item manfaat yang dirasakan keluarga adalah termasuk tetap
atau tidak mengalami perubahan saat keluarga mendapat dana PKH.
Tabel 29 Sebaran dan statistik manfaat dana PKH
No Kategori manfaat PKH Jumlah (n) Persentase (%)1. Kurang Bermanfaat (skor < 60) 26 17,32. Cukup Bermanfaat (skor 60 - 80) 121 80,73. Bermanfaat (skor > 80) 3 2,0
Total 150 100,0Rata-Rata±SD 66,55±8,71Kisaran (min-max) 43,30-93,30
93
Hasil wawancara mendalam dengan beberapa orang contoh terungkap
bahwa dana PKH yang diterima sangat membantu biaya pendidikan anak-anak
keluarga penerima. Dana yang diterima bukan hanya dialokasikan untuk dana
pendidikan semua anak yang sedang menempuh pendidikan saja, namun juga
dialokasikan untuk kebutuhan sehari-hari. Berikut adalah pernyataan salah satu
contoh yang diwawancarai secara mendalam terkait dengan perubahan yang
dirasakan setelah mendapat dana PKH:
“Tadinya kakaknya tidak dapat melanjutkan sekolah, sekarang adik-adiknya bisa melanjutkan sekolah”.
Harapan masyarakat terhadap keberlangsungan PKH adalah lebih
banyak keluarga yang mendapatkan PKH dan dana yang diterima juga lebih
banyak serta dapat berlanjut sampai anak SMA. Berikut adalah pernyataan salah
satu contoh terkait dengan mencukupi tidaknya dana PKH yang diterima :
“Sudah dibilang cukup, ya cukup; dibilang kurang, ya kurang”.
Peran Pendamping PKHDi dalam panduan PKH dinyatakan bahwa ketua kelompok berfungsi
sebagai perantara pendamping dan ibu yang menjadi peserta PKH, sehingga
informasi yang ada di tingkat penerima manfaat dapat diterima oleh pendamping
(ataupun sebaliknya) dan ditindaklanjuti dengan segera. Secara rutin sebulan
sekali ketua kelompok ini akan berkumpul dan berdiskusi bersama dengan
pendamping mengenai pelaksanaan program, kendala dan masukan yang
diperoleh dari lapangan maupun penyuluhan yang berkaitan dengan kegiatan
PKH.
Terkait dengan peran pendamping PKH, ternyata hanya 26,7 persen
contoh yang menyatakan pernah dikunjungi oleh pendamping PKH. Berkaitan
dengan 40 orang yang menyatakan pernah dikunjungi oleh pendamping PKH,
persentase terbesar adalah dikunjungi satu kali. Sebagian besar (93,3%) contoh
mengetahui dana PKH akan turun adalah dari informasi ketua kelompok, sisanya
mendapat informasi dari tetangga, pendamping dan ketua RT (Tabel 30).
Kendala yang dihadapi oleh pendamping adalah cakupan keluarga yang terlalu
banyak. Kendala lainnya adalah penerima PKH yang antara satu dengan yang
lainnya tinggal berjauhan. Upaya ke depan yang dapat dilakukan adalah jumlah
cakupan keluarga mempertimbangkan faktor geografis serta menambah jumlah
dan peran pendamping untuk pemberdayaan keluarga dan masyarakat. Jika
94
hanya peran ketua kelompok yang dikedepankan, dikhawatirkan banyak terjadi
bias, apalagi ketua kelompok juga berasal dari keluarga penerima PKH.
Tabel 30 Sebaran contoh berdasarkan kunjungan pendamping PKH dan sumberinformasi turunnya dana PKH
No Kunjungan Pendamping Jumlah (n) Persentase (%)Kunjungan Pendamping PKH (n=150)
1. Pernah 40 26,72. Tidak Pernah 110 73,3
Frekuensi kunjungan (kali) (n=150)1. 0 110 73,32. 1-3 35 23,33. 4-10 5 3,4
Sumber informasi dana PKH akan turun (n=150)1. Ketua Kelompok 140 93,32. Tetangga 3 2,03. Pendamping 7 4,7
Kegiatan Kelompok PKHKelompok PKH sebagai wadah bagi ibu-ibu penerima PKH
beranggotakan sekitar 6 hingga 26 orang. Sebanyak 56 persen contoh
menyatakan kelompok PKH-nya mempunyai kegiatan seperti arisan, usaha
tanaman hias, kegiatan insidentil (menjenguk orang sakit atau menghadiri
undangan) ataupun rapat (Tabel 31).
Tabel 31 Sebaran contoh berdasarkan kegiatan kelompok PKH
No Kegiatan kelompok PKH Jumlah (n) Persentase (%)Ada kegiatan kelompok PKH (n=150)
1. Ada 84 56,02. Tidak Ada 64 42,73. Tidak Tahu 2 1,3
Keterlibatan dalam kegiatan kelompok PKH (n=84)1. Kadang-Kadang 9 10,72. Selalu 72 85,73. Tidak Pernah 3 3,6
Keaktifan dalam arisan PKH (n=71)1. Kadang-Kadang 4 5,62. Selalu 61 85,93. Tidak Pernah 6 8,5
95
Pada Tabel 31 terdapat 42,7 persen contoh menyatakan tidak ada
kegiatan yang dilakukan oleh kelompok PKH tempat contoh bernaung.
Keterlibatan dari 84 ibu yang menyatakan ada kegiatan kelompok PKH,
menunjukkan sebanyak 85,7 persen ibu selalu ikut aktif dalam setiap kegiatan
kelompok. Salah satu kegiatan yang paling sering dilaksanakan oleh kelompok
PKH adalah arisan, dimana sebagian besar ibu menyatakan selalu mengikuti
kegiatan arisan tersebut.
Karakteristik Demografi KeluargaBesar dan Struktur Keluarga
Besar keluarga contoh dalam penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi
tiga seperti yang disajikan pada Tabel 32. Mengacu pada penetapan BKKBN,
yang disebut keluarga kecil adalah yang memiliki anggota keluarga kurang dari
dan sama dengan 4 orang, lainnya disebut keluarga sedang (5-6 orang), dan
keluarga besar (>6 orang). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 22,0 persen
termasuk keluarga kecil, 58,0 persen termasuk keluarga sedang dan 20,0 persen
termasuk keluarga besar.
Tabel 32 Sebaran dan statistik besar dan struktur keluarga
No Kategori Besar dan Struktur Keluarga Jumlah (n) Persentase (%)Kategori Besar Keluarga (n=150)
1. ≤ 4 orang 33 22,02. 5-7 orang 87 58,03. > 7 orang 30 20,0
Rata-Rata±SD 6,03±1,87Kisaran (min-max) 3-13Struktur Keluarga (n=150)
1. Keluarga Inti 126 84,02. Keluarga Luas 24 16,0
Jika dikaitkan dengan hasil studi Widyanti et al. (2009) ada indikasi bahwa
semakin besar keluarga, maka semakin besar peluang keluarga mengalami
kemiskinan kronis. Tidak dapat dipungkiri bahwa beban keluarga yang semakin
besar mengharuskan keluarga memiliki sumberdaya yang semakin besar pula,
padahal dalam keluarga penerima PKH yang terkategori miskin sumberdaya
tersebut sangat minim. Jika dilihat berdasarkan struktur keluarga, maka sebagian
besar (84,0%) keluarga contoh termasuk ke dalam keluarga inti, artinya keluarga
terdiri dari ayah, ibu dan anak. Sisanya adalah keluarga luas dimana didalam
96
keluarga contoh tinggal pula nenek, keponakan atau kerabat keluarga luas
lainnya.
Usia Ayah dan IbuSecara keseluruhan usia ayah dan ibu pada penelitian ini paling banyak
terdapat pada kisaran antara 30 sampai 49 tahun yang bila didasarkan pada
kelompok usia produktif, yaitu mulai usia 15 tahun sampai dengan usia 64 tahun,
maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar contoh berada pada kelompok usia
produktif (Tabel 33). Rata-rata usia ayah adalah 44,59 tahun, sedangkan usia ibu
rata-rata 38,41 tahun dengan perbedaan yang nyata (p=0,000) antara keduanya.
Kategori usia tersebut masih termasuk produktif sehingga potensi untuk
melakukan aktivitas ekonomi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
keluarga masih relatif tinggi.
Tabel 33 Sebaran dan statistik usia ayah dan ibu
No Kategori Usia Ayah (n=133)1 Ibu (n=149)2
n % n %1. < 25 tahun 1 0,8 1 0,72. 25-29 tahun 3 2,3 15 10,13. 30-39 tahun 47 35,3 71 47,74. 40-49 tahun 46 34,6 43 28,95. 50-59 tahun 23 17,3 19 12,86. >60 tahun 13 9,8 0 0,0
Rata-Rata ± SD 44,59± 10,21 38,41 ± 8,11Kisaran (min-max) 24-85 18 – 58Uji Beda Berpasangan (sig) 0,000**
Ket : 1Meninggal/Pisah sebanyak 17 orang (ayah); 2 ibu pisah sebanyak 1 orang** Nyata pada p<0,01
Berdasarkan sebaran usia, dapat digambarkan bahwa sebagian besar
keluarga contoh adalah keluarga dengan anak usia sekolah yang sedang tumbuh
dan berkembang, dalam artian bahwa kebutuhan keluarga pada saat ini cukup
besar dan keluarga-keluarga ini memerlukan pengelolaan sumberdaya keluarga
yang tepat untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang semakin bertambah. Hal
ini cukup didukung oleh usia suami yang sebagian besar sudah mencapai usia
yang matang berkaitan dengan pengalaman hidup maupun di bidang pekerjaan.
Begitu pula dengan sebaran usia istri yang cukup mendukung untuk melakukan
kegiatan produktif karena pada dasarnya usia produktif bagi seorang perempuan
berada pada usia 25-55 tahun. Semakin bertambah usia perempuan semakin
97
berkurang jumlah tenaga yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan produktif
sesuai dengan semakin lemahnya kondisi fisik.
Karakteristik Sosial KeluargaTingkat Pendidikan Ayah dan Ibu
Tingkat pendidikan ayah dan ibu baik secara formal maupun non formal
akan berpengaruh terhadap cara dan pola pikir untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidup dengan kondisi sosial ekonomi yang tidak memungkinkan.
Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2008), tingkat pendidikan orangtua baik secara
langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi komunikasi antara
orangtua dan anak di dalam lingkungan keluarga. Data hasil penelitian yang
dapat dilihat pada Tabel 34 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan formal yang
pernah ditempuh mayoritas ayah adalah tamat SD, dengan persentase sebesar
48,1 persen. Di lain pihak, ibu bahkan mempunyai tingkat pendidikan yang lebih
rendah dari ayah, yakni lebih dari separuhnya (59,1%) adalah tidak tamat SD.
Jika dikategorikan berdasarkan lamanya pendidikan yang ditempuh oleh ayah
dan ibu, maka sebagian besar (88,0%) ayah dan hampir semua (98,7%) ibu
adalah berpendidikan ≤ 9 tahun, sedangkan sisanya adalah berpendidikan lebih
dari sembilan tahun. Hasil analisis uji beda secara statistik ditemukan perbedaan
yang nyata (p=0,000) antara pendidikan ayah dan ibu, dengan lamanya
pendidikan ayah lebih tinggi daripada pendidikan ibu.
Tabel 34 Sebaran dan statistik tingkat pendidikan ayah dan ibu
No Tingkat Pendidikan Ayah (n=133)1 Ibu (n=149)2
n % n %1. Tidak Tamat SD 51 38,3 88 59,12. Tamat SD 64 48,1 39 26,23. Tamat SMP 8 6,0 3 2,04. Tamat SLTA 1 0,8 1 0,75. Tidak Pernah Sekolah 9 6,8 18 12,1
Rata-Rata ± SD (tahun) 4,83 ± 2,26 3,76 ± 2,26Kisaran (min-max) (tahun) 0 –12 0 – 12Uji Beda Berpasangan (sig) 0,000**
Ket : 1Meninggal/Pisah sebanyak 17 orang (ayah); 2 ibu pisah sebanyak 1 orang** Nyata pada p<0,01
Temuan pendidikan ayah dan ibu contoh penelitian ini sejalan dengan
data pada Website Resmi Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak RI dimana data tahun 2007 saja menunjukkan bahwa rata-
98
rata lama sekolah di Kabupaten Bogor untuk tahun 2007 untuk laki-laki adalah
8,0 tahun, sedangkan perempuan hanya 6,8 tahun. Rendahnya tingkat
pendidikan masyarakat dapat mengakibatkan rendahnya tingkat kesejahteraan.
Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan yang tinggi adalah merupakan sarana
untuk menggapai hidup yang lebih berkualitas. Pendidikan yang tinggi akan
memudahkan seseorang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan
memberikan penghasilan yang memadai.
Berdasarkan data pada Tabel 34 dapat pula disimpulkan bahwa
pendidikan ayah lebih tinggi dibandingkan pendidikan ibu, hal ini tidak berbeda
dengan yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya. Hal ini berkaitan dengan
sarana pendidikan yang tersedia, di mana biasanya orangtua enggan bila anak
perempuannya sekolah ke tempat yang jauh. Pendidikan akan menentukan jenis
pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang. Pendidikan berpengaruh terhadap
tingkat pendapatan serta daya beli keluarga. Tingkat pendidikan seseorang juga
akan mempengaruhi nilai-nilai yang dianutnya, cara berpikir, cara pandang,
bahkan persepsinya terhadap suatu masalah. Bahkan hasil studi Widyanti et al.
(2009) menunjukkan bahwa proporsi anggota keluarga berpendidikan SMA ke
atas yang lebih tinggi akan menurunkan secara signifikan peluang keluarga
menjadi miskin kronis atau rawan.
Kemampuan Baca Tulis Aksara LatinJika dilihat dari melek aksara baik dari membaca maupun menulis aksara
latin ternyata lebih dari 85 persen ayah maupun ibu termasuk mampu dalam
kedua ketrampilan tersebut (Tabel 35). Namun yang memprihatinkan adalah
kemampuan membaca dan menulis aksara latin ibu yang relatif lebih rendah
dibandingkan ayah. Hal ini terlihat dari lebih dua kali lipat ibu dibandingkan ayah
yang tidak dapat membaca dan menulis aksara latin. Orangtua khususnya ibu
yang tidak mampu membaca dan menulis aksara latin merupakan faktor
penghambat dalam menerapkan pola asuh belajar yang baik kepada anak.
Tabel 35 Sebaran contoh berdasarkan kemampuan baca dan tulis aksara latinayah dan ibu (persentase)
No Kemampuan Baca TulisAksara Latin
Ayah (n=133)1 Ibu (n=149)2
Baca Tulis Baca Tulis1. Melek Aksara 91,7 91,7 84,6 83,32. Buta Aksara 8,3 8,3 15,4 16,8Ket : 1Meninggal/Pisah sebanyak 17 orang (ayah); 2 ibu pisah sebanyak 1 orang
99
Penyebab buta huruf dapat diakibatkan faktor internal dan atau faktor
eksternal individu yang bersangkutan. Faktor internal dapat disebabkan antara
lain karena rendahnya motivasi yang bersangkutan maupun dukungan dari
keluarganya untuk mengikuti pendidikan disamping kemampuan ekonomi
keluarga yang tidak memadai. Sementara itu, faktor eksternal disebabkan antara
lain karena penyebaran penduduk di daerah terpencil yang tidak merata,
terisolasinya daerah terpencil dari informasi dan rendahnya aksesibilitas yang
dibangun, serta belum optimalnya fungsi kelembagaan masyarakat dalam bidang
pendidikan, karena kelembagaannya sendiri belum eksis selain terbatasnya
jumlah dan distribusi tutor, kesulitan untuk mengakses sarana pendidikan
disamping masyarakat yang kurang mampu secara finansial. Dampak yang
ditimbulkan oleh buta huruf antara lain akses untuk mendapatkan informasi
pekerjaan menjadi sulit sehingga sulit pula untuk memperoleh pekerjaan. Bila
memperoleh pekerjaan pun terbatas pada pekerjaan yang sifatnya fisik dengan
upah yang rendah, dengan kata lain daya tawar masyarakat tersebut untuk
memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak menjadi rendah. Hal ini
berpengaruh terhadap kemampuan daya beli masyarakat.
Bantuan yang Diterima di Luar PKHSelain dana PKH, keluarga contoh juga memperoleh bantuan berupa
Beras Miskin (Raskin), Askeskin (Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat
Miskin)/Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) atau BLT (Bantuan
Langsung Tunai) (Tabel 36). Persentase keluarga yang mendapat raskin antara
pra dan saat-PKH adalah sama, yakni 98,7 persen. Persentase keluarga yang
mendapat Askeskin/Jamkesmas dan BLT mengalami penurunan, yakni dari
masing-masing 60,7 persen dan 90,7 persen pra-PKH menjadi 55,3 persen dan
88,0 persen saat-PKH.
Tabel 36 Sebaran contoh berdasarkan bantuan yang pernah diterima keluargapra dan saat PKH
No Bantuan yang Diterima Pra-PKH (n=150) Saat-PKH (n=150)Ya Tidak Ya Tidak
1. Raskin 98,7 1,3 98,7 1,32. Askeskin/Jamkesmas 60,7 39,3 55,3 44,73. BLT 90,7 9,3 88,0 12,0
100
Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah bantuan kepada rumahtangga
miskin sebesar Rp100 000 per bulan yang diberikan tiga bulan sekali melalui PT.
Pos Indonesia, dimana pola ini diadopsi oleh PKH dalam penentuan target dan
cara penyalurannya. Askeskin/Jamkesmas merupakan program pelayanan
kesehatan gratis bagi masyarakat miskin. Untuk penyakit-penyakit ringan
biasanya masyarakat berobat di puskesmas yang tarifnya sangat murah
(Rp3 000 per sekali kunjungan) atau bidan/petugas kesehatan di desa yang juga
tidak terlalu mahal. Namun, untuk penyakit-penyakit berat masyarakat harus
berobat di rumah sakit yang biayanya mahal dan tidak terjangkau orang miskin.
Keberadaan program Askeskin sangat membantu keluarga miskin untuk
mengakses pelayanan kesehatan yang diperlukan.
Raskin merupakan pembagian beras bagi keluarga miskin dengan alokasi
15 kg/RTS (Rumahtangga Sasaran) per bulan. Dalam implementasinya, keluarga
contoh dapat secara bersamaan memperoleh ketiga program tersebut ditambah
dengan dana PKH. Hal ini dimungkinkan karena PKH bukan merupakan
kelanjutan program Subsidi Langsung Tunai yang diberikan dalam rangka
membantu rumahtangga miskin mempertahankan daya belinya pada saat
pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM. Program Bantuan Langsung
Tunai (BLT) dihentikan tahun 2010 setelah berjalan selama lima tahun. Hasil
wawancara mendalam dengan contoh mengindikasikan bahwa PKH lebih disukai
dibandingkan program lainnya karena jumlah dana yang diterima lebih besar.
Karakteristik Ekonomi KeluargaPekerjaan Ayah dan Ibu
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pra-PKH ayah yang
mempunyai pekerjaan utama adalah 96,0 persen, yang mengalami penurunan
menjadi 94,2 persen saat keluarga mendapat dana PKH. Namun untuk pekerjaan
tambahan, mengalami peningkatan dari 10,8 persen pra-PKH menjadi 12,8
persen saat mendapat dana PKH. Selanjutnya terdapat 4,3 persen ayah yang
tidak bekerja pra-PKH, bahkan saat PKH persentasenya meningkat menjadi 6,1
persen. Jenis pekerjaan utama terbanyak ditekuni oleh ayah adalah sebagai
buruh, baik buruh non tani dan buruh tani yang sifatnya sporadis (Tabel 37).
Jenis pekerjaan ayah terkait dengan rendahnya tingkat pendidikan rendah yang
menimbulkan kesulitan mengakses pekerjaan-pekerjaan yang menuntut
ketrampilan atau pengetahuan.
101
Tabel 37 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan utama dan tambahan ayah(persentase) pra dan saat PKH
No Jenis Pekerjaan AyahPekerjaan Utama Pekerjaan Tambahan
Pra-PKH(n=139)1
Saat-PKH(n=133)2
Pra-PKH(n=139)1
Saat-PKH(n=133)2
1. Buruh Non-Tani 43,9 43,6 3,6 3,72. Buruh Tani 31,0 31,6 3,6 4,53. Dagang 9,4 9,0 1,4 2,34. Becak 0,8 0,8 0,0 0,05. Guru Les/Mengaji/Menjaga Mesjid 0,8 0,8 1,4 1,56. Karyawan Swasta 0,8 0,8 0,0 0,07. Pemulung 1,4 0,8 0,8 0,88. Penceramah 0,8 0,0 0,0 0,09. Supir 5,7 5,3 0,0 0,010. Tidak Bekerja 4,3 6,1 89,2 87,311. Wiraswasta 1,4 1,5 0,0 0,0Ket : 1Meninggal/Pisah sebanyak 11 orang; 2 Meninggal/Pisah sebanyak 17 orang
Jenis pekerjaan sebagai buruh tergolong tidak tetap, sehingga kadang-
kadang pada saat ayah tidak bekerja, keluarga tidak memiliki penghasilan,
sehingga untuk memenuhi kebutuhan keluarga, contoh terpaksa berhutang ke
warung. Tidak ada ayah yang bekerja sebagai petani, hanya menjadi buruh tani
saja diakibatkan minimnya atau tidak adanya lahan pertanian untuk digarap.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kondisi pra-PKH, ibu yang
mempunyai pekerjaan utama adalah 45,6 persen yang mengalami peningkatan
menjadi 47,0 persen saat keluarga mendapat dana PKH. Demikian pula untuk
pekerjaan tambahan mengalami peningkatan dari 2,7 persen pra-PKH menjadi
4,7 persen saat keluarga mendapat dana PKH. Jenis pekerjaan utama terbanyak
ditekuni oleh ibu adalah sebagai buruh yang termasuk pekerjaan sporadis
apakah menjadi buruh tani, pembantu rumahtangga ataupun buruh tani (Tabel
38).
Saat mendapatkan dana PKH, secara umum sebagian besar (92,5%)
ayah tetap dengan pekerjaan utama yang sama dengan pra-PKH, demikian pula
dengan pekerjaan tambahan dimana 86,5 persen ayah tetap tidak mempunyai
pekerjaan tambahan saat mendapat dana PKH (Tabel 38). Terdapat 3,8 persen
ayah yang tidak bekerja baik sebelum maupun saat mendapat dana PKH. Di lain
pihak, sebanyak 48,3 persen ibu tetap tidak bekerja saat mendapat dana PKH
dan 40,9 persen tetap dengan pekerjaan yang sama. Peran ibu dalam
mendukung kepala keluarga memberikan tambahan pendapatan sejalan dengan
102
studi Widyanti et al. (2009) yang menyatakan bahwa bertambahnya orang
dewasa yang bekerja dalam rumahtangga akan sangat berpengaruh positif
terhadap kapasitas dan kondisi ekonomi melalui penambahan pendapatan
rumahtangga.
Tabel 38 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan utama dan tambahan ibu(persentase) pra dan saat PKH
No Jenis Pekerjaan IbuPekerjaan Utama Pekerjaan Tambahan
Pra-PKH(n=149)1
Saat-PKH(n=149)1
Pra-PKH(n=149)1
Saat-PKH(n=149)1
1. Buruh Tani 19,4 19,4 0,7 0,72. Buruh Non-Tani 7,3 10,1 1,3 2,03. Dagang 4,7 4,0 0,7 1,34. Karyawan Swasta 0,7 0,7 0,0 0,05. Maro Kambing 0,7 1,3 0,0 0,76. Pemulung 0,0 0,7 0,0 0,07. Penyanyi 0,7 0,7 0,0 0,08. Pembantu RT 12,1 10,1 0,0 0,09. Tidak Bekerja 54,4 53,0 97,2 95,3Ket : 1Pisah sebanyak 1 orang
Menurut Ferro dan Nicollela (2007), secara teori, program CCT dapat
mempengaruhi keputusan alokasi waktu untuk seluruh anggota keluarga, karena
orangtua sekarang memperoleh uang untuk membeli barang dan mendapat
pelayanan untuk keluarga. Aspek lain dari keputusan bekerja dan program
transfer tunai adalah bahwa ketika status ekonomi keluarga meningkat dengan
alasan apapun dapat mengakibatkan keluarga tidak memenuhi syarat lagi untuk
menerima CCT. Secara khusus, jika anggota keluarga bekerja lebih banyak,
akan diperoleh cukup uang yang dapat mempengaruhi eligibilitasnya dalam
program. Dalam menghadapi kemungkinan ini, orangtua dapat memilih untuk
mengurangi pekerjaan sehingga akan terus memperoleh uang transfer. Jika
dikaitkan pernyataan tersebut dengan penelitian ini, orangtua yang memperoleh
PKH dapat saja menjadi tidak bekerja karena telah adanya dana PKH. Jika dilihat
pada Tabel 39, persentase ayah yang dari bekerja menjadi tidak bekerja adalah
relatif kecil yakni 2,3 persen. Sebanyak 4,7 persen ibu berubah dari bekerja
menjadi tidak bekerja. Sayangnya, dalam pengambilan data tidak ditanyakan
lebih jauh apakah tidak bekerjanya ibu adalah karena telah mendapat dana PKH.
103
Tabel 39 Sebaran contoh berdasarkan perubahan pekerjaan utama dantambahan ayah dan ibu saat-PKH
No Perubahan Kerja Ayah dan Ibu Pekerjaan Utama Pekerjaan Tambahann % n %
Perubahan Kerja Ayah (n=133)1
1. Tetap bekerja 123 92,5 14 10,52. Bekerja menjadi tidak bekerja 3 2,3 1 0,83. Tidak bekerja menjadi bekerja 2 1,5 3 2,34. Tetap tidak bekerja 5 3,8 115 86,5
Perubahan Kerja Ibu (n-149)2
1. Tetap bekerja 61 40,9 3 2,02. Bekerja menjadi tidak bekerja 7 4,7 1 0,73. Tidak bekerja menjadi bekerja 9 6,0 4 2,74. Tetap tidak bekerja 72 48,3 141 94,6Ket : 1Meninggal/Pisah sebanyak 17 orang (ayah); 2 ibu pisah sebanyak 1 orang
Masyarakat miskin umumnya menghadapi permasalahan terbatasnya
kesempatan kerja dan berusaha, terbatasnya peluang mengembangkan usaha,
lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta
lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan
seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga. Keterbatasan
modal, kurangnya keterampilan, dan pengetahuan, menyebabkan masyarakat
miskin hanya memiliki sedikit pilihan pekerjaan yang layak dan peluang yang
sempit untuk mengembangkan usaha. Terbatasnya lapangan pekerjaan yang
tersedia saat ini seringkali menyebabkan keluarga terpaksa melakukan pekerjaan
yang beresiko tinggi dengan imbalan yang kurang memadai dan tidak ada
kepastian akan keberlanjutannya. Etos kerja keras yang kurang juga dapat
menjadi penyebab rendahnya pendapatan keluarga miskin, yang tergambar pula
dari sebagian besar ayah tidak memiliki pekerjaan sampingan.
Penerimaan Total KeluargaPenerimaan total keluarga (revenue) merupakan semua pemasukan uang
yang diterima oleh keluarga baik yang berasal dari pendapatan (diperoleh dari
pekerjaan yang dilakukan untuk mencari nafkah) anggota keluarga maupun
sumber-sumber lain seperti pinjaman, dan bantuan dari kerabat atau pemerintah,
termasuk dana PKH. Hasil pada Tabel 40 menunjukkan bahwa rata-rata
penerimaan total keluarga contoh per bulan per kapita adalah Rp89 594,01 pra-
PKH dan Rp118 044,96 saat-PKH. Hal ini berarti penerimaan keluarga
mengalami peningkatan saat keluarga mendapat dana PKH. Analisis statistik uji
beda berpasangan antara penerimaan pra-PKH dan saat-PKH dapat disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan yang nyata (p=0,000) antara keduanya. Hal ini
104
berarti, terjadi peningkatan yang cukup signifikan dalam penerimaan total
keluarga contoh saat keluarga mendapat dana PKH. Dengan adanya
penambahan penerimaan keluarga dari PKH, maka diperoleh rata-rata
penerimaan per kapita sebesar 1,3 kali lipat dari penerimaan pra-PKH. Program
CCT mampu meningkatkan pendapatan keluarga miskin dalam waktu singkat
dan meningkatkan kapabilitas manusia dalam jangka medium dan panjang (Son
2008).
Tabel 40 Sebaran dan statistik penerimaan total keluarga (Rp/kapita/bulan) pradan saat PKH
No Kategori Penerimaan TotalKeluarga (Rp)ab
Pra-PKH (n=150) Saat-PKH (n=150)n % n %
1. Miskin 124 82,7 125 83,32. Hampir Miskin 15 10,0 14 9,33. Hampir Tidak Miskin 8 5,3 7 4,74. Tidak Miskin 3 2,0 4 2,7
Rata-Rata+SD 89 594,01±55 982,34 118 044,96±60 567,63Kisaran (min-max) 10 000,00-345 000,00 22 229,00-365 833,00Uji Beda Berpasangan (sig) 0,000**
Ket : a Untuk Pra-PKH digunakan Garis Kemiskinan (GK) wilayah pedesaan Jawa Barat tahun 2007 sebesarRp144 204, sedangkan untuk saat-PKH digunakan garis kemiskinan wilayah pedesaan Jawa Barat tahun2009 sebesar Rp175 193b Menggunakan kriteria dari Berita Resmi Statistik No. 47 / IX / 1 September 2006 (Miskin : < GK (GarisKemiskinan), Hampir Miskin : 1,00-1,25 GK, Hampir Tidak Miskin : 1,25-1,50 GK dan Tidak Miskin :>1,50 GK)
Hasil kategorisasi penerimaan total keluarga dengan menggunakan
standar garis kemiskinan terlihat bahwa sebagian besar keluarga contoh
termasuk dalam kategori kurang dari garis kemiskinan (Rp144 204 pra-PKH dan
Rp175 193 saat-PKH) atau terkategori miskin. Hampir tidak ada perubahan
kategori kemiskinan keluarga penerima PKH saat mendapat PKH. Persentase
keluarga contoh yang miskin pra-PKH adalah 82,7 persen, sedangkan saat-PKH
sedikit meningkat menjadi 83,3 persen. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
program PKH belum mampu menurunkan proporsi keluarga miskin setelah
berjalan satu tahun dengan pencairan pertama bulan Maret 2008 hingga
pencairan 10 April 2009. Temuan penelitian ini masih jauh dari capaian program
sejenis di Kolombia yang mampu menurunkan angka kemiskinan hingga enam
persen. Dampak CCT terhadap kemiskinan bervariasi oleh program, dengan
Progresa memberikan hasil yang paling signifikan. Bourguignon et al.
menemukan dampak yang sangat kecil terhadap kemiskinan dan
ketidaksetaraan untuk Bolsa Escola karena jumlah transfer yang kecil
(Bourguignon, Ferreira, & Leite 2002). Zepeda (2006) juga menyimpulkan bahwa
105
Program CCT memberikan perbedaan besar pada pendapatan rumahtangga
miskin, namun tidak mengurangi kemiskinan secara signifikan.
Temuan ini sejalan dengan hasil survey Bappenas (2008) yang
mengindikasikan bahwa Program Keluarga Harapan dianggap berpengaruh
positif terhadap sensitivitas rumahtangga miskin untuk tumbuh dengan
meningkatkan pendapatan dan meningkatkan peluang penghasilan. Dalam
jangka panjang, inisiatif pendidikan dan kesehatan akan berdampak pada
generasi berikutnya. Untuk jangka pendek, PKH dapat mendorong keluarga
untuk berinvestasi paling tidak dari sebagian uang yang diterimanya pada
aktivitas yang produktif, sehingga PKH akan mampu meningkatkan penerimaan
total keluarga.
Kriteria miskin kedua yang digunakan adalah Bank Dunia yang
mengkategorikan tingkat kemiskinan berdasarkan pendapatan per kapita per
hari. Ada dua ukuran yang digunakan, yaitu :1) US $ 1 per kapita per hari; dan 2)
US $ 2 per kapita per hari. Dengan menggunakan nilai kurs dari Bank Indonesia
per tanggal 10 Agustus 2009, yakni sebesar Rp9 920,00 untuk US $ 1, maka
garis kemiskinan Bank Dunia adalah Rp297 600,00 dan untuk US $ 2 maka
garis kemiskinan Bank Dunia adalah Rp595 200,00. Menurut garis kemiskinan
Bank Dunia US $ 1 per kapita per hari, persentase keluarga contoh yang
tergolong miskin adalah 99,3 persen pra-PKH dan 98,7 persen saat-PKH,
sedangkan menurut garis kemiskinan Bank Dunia US $ 2 per kapita per hari, baik
pra maupun saat-PKH semua keluarga contoh adalah termasuk miskin.
Kemiskinan yang dialami oleh keluarga contoh secara umum menurut
Sumodiningrat, Santosa, dan Maiwan (1999) dapat dikelompokkan dalam
kemiskinan kultural yang lebih berakar pada faktor-faktor budaya setempat (lokal)
dan golongan masyarakat tertentu. Sifat kemiskinan kultural lebih banyak
diwarnai oleh sikap dan cara pandang individu serta kelompok masyarakat
tertentu terhadap kehidupan. Sikap–sikap itu antara lain tercermin dalam watak
yang cenderung fatalistik, “nrimo” dan kurang berorientasi ekonomi. Kegiatan
ekonomi lebih dipandang sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan subsistensi
saja dan bukan untuk memupuk kapital. Tidak jarang kegiatan ekonomi
dipandang sebagai bagian dari “keserakahan hidup”. Dengan cara pandang yang
semacam itu, maka secara turun temurun mewariskan kemiskinan kultur pada
generasi berikutnya, sehingga “lingkaran kemiskinan” terus membelit karena
justru lebih merasa “adjusted” dengan lingkungan (budaya) semacam itu
106
sehingga agak sulit atau memerlukan waktu cukup lama untuk mengubahnya,
baik itu lewat pendidikan maupun proses pembangunan yang secara nyata
dalam jangka panjang kelak akan membawa dampak perubahan visi.
Kontribusi Anggota Keluarga terhadapPenerimaan Total Keluarga
Hasil penelitian mengindikasikan bahwa ayah sebagai kepala keluarga
mempunyai kontribusi terbesar (68,3% pra-PKH; 51,1% saat-PKH) terhadap
penerimaan total keluarga (Tabel 41), baik pra maupun saat-PKH, serta secara
statistik adalah berbeda nyata (p=0,008). Kontribusi penerimaan total keluarga
selanjutnya adalah dari istri yang menyumbang 18,7 persen pra-PKH dan 14,5
persen saat-PKH.
Tabel 41 Kontribusi anggota keluarga dan pemasukan lainnya terhadap rata-rata penerimaan total keluarga (Rp/bulan) pra dan saat PKH
No Kontributor Pra-PKH (n=150) Saat-PKH (n=150) Uji beda(t-test)Rata-Rata % Rata-Rata %
1. Ayah 302 741,33 68,3 301 744,67 51,1 0,008**2. Ibu 82 873,33 18,7 85 536,00 14,5 0,1573. Anak 46 930,00 10,6 58 363,33 9,9 0,3234. Pemasukan lainnya 10 939,60 2,5 12 684,56 2,1 0,3135. Dana PKH - 132 207,78 22,46. Penerimaan Total 443 484,26 590 536,34 100,0** nyata pada p<0,01
Anggota keluarga lain yang menyumbang terhadap penerimaan keluarga
adalah anak (10,6% pra-PKH; 9,9% saat-PKH) dan pemasukan lain (2,5% pra-
PKH; 2,1% saat-PKH). Baik kontribusi ibu, anak maupun anggota keluarga lain
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara pra dan saat-PKH. Kontribusi
dana PKH terhadap penerimaan total keluarga adalah sebesar 22,4 persen,
sehingga kontribusi anggota keluarga menjadi berkurang dari pra-PKH. Hal ini
sejalan dengan skenario bantuan PKH yang diperkirakan menyumbang antara
15-25 persen terhadap pendapatan rata-rata RTSM per tahun.
Pengeluaran Total KeluargaPengeluaran rata-rata per kapita per bulan adalah biaya yang dikeluarkan
untuk semua anggota rumahtangga selama sebulan dibagi dengan banyaknya
anggota rumahtangga. Berdasarkan pengelompokan item pengeluaran,
persentase terbesar (62,0%) pengeluaran keluarga adalah untuk makanan,
diikuti untuk pendidikan (11,7%), serta pengeluaran ketiga terbesar adalah untuk
107
rokok (8,4%). Persentase terkecil pengeluaran keluarga dialokasikan untuk
tabungan (0,4%) (Tabel 42). Pengeluaran untuk pendidikan yang relatif kecil atau
seperlima dari pengeluaran untuk makanan merupakan indikator kurangnya
perhatian keluarga terhadap pentingnya kualitas pendidikan anak. Hal inilah yang
sering menjadi penyebab anak dari keluarga miskin hanya mampu
menyelesaikan pendidikan dasar saja atau bahkan tidak tamat. Namun kecilnya
pengeluaran pendidikan ini juga dapat dimungkinkan oleh adanya SPP gratis dan
pembebasan BP3 dengan adanya dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Temuan penelitian ini agak bertolak belakang dengan data Susenas (2003),
biaya pendidikan adalah salah satu pengeluaran rumahtangga terbesar. Untuk
20 persen pengeluaran terendah rumahtangga, biaya pendidikan per anak
adalah 10 persen dari total pengeluaran untuk anak SD, 18,5 persen untuk anak
SLTP dan 28,4 persen untuk anak SLTA.
Tabel 42 Rata-rata dan persentase pengeluaran contoh berdasarkan kelompokpengeluaran (Rp/kapita/bulan)
No Kelompok Pengeluaran Jumlah(Rp/Kapita/bulan)
Persentase(%)
1. Makanan 124 928,57 62,02. Pendidikan 23 668,54 11,73. Rokok 16 963,59 8,44. Perumahan & Fasilitas RT 11 203,58 5,65. Sanitary 9 206,87 4,66. Lainnya (transportasi, sumbangan) 7 480,95 3,77. Keperluan pesta dan upacara 4 351,51 2,28. Kesehatan 2 945,78 1,59. Tabung 815,36 0,4
Total 201 564,75 100,0
Jika dibandingkan dengan penelitian Rambe, Hartoyo dan Karsin (2008)
dan Kaban (2000), pengeluaran untuk rokok yang ditunjukkan penelitian ini lebih
tinggi, dimana pengeluaran untuk tembakau dan sirih adalah komponen
pengeluaran kedua terbesar pada rumahtangga miskin. Pengeluaran untuk rokok
ini disoroti karena dikhawatirkan dana PKH diberikan kepada ayah dan
digunakan untuk pembelian rokok (akan dilihat pula pada alokasi pengeluaran
dana PKH).
Tabel 43 menunjukkan bahwa pengeluaran rata-rata per bulan keluarga
contoh mempunyai persentase terbesar untuk pengeluaran pangan per bulan
(70,1%) yang jauh lebih besar daripada rata-rata pengeluaran non pangan per
108
bulan (29,9%). Hal ini sejalan dengan Soekirman (1991) yang menyatakan
bahwa keluarga berpendapatan rendah di Indonesia membelanjakan sekitar 60,0
hingga 80,0 persen dari pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan pangan. Hal
ini juga senada dengan Suhardjo (1989) bahwa golongan miskin menggunakan
bagian terbesar dari pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan makanan.
Tabel 43 Statistik dan rata-rata pengeluaran keluarga (Rp/kapita/bulan)berdasarkan kategori kemiskinan penerimaan total keluarga
NoKategori Kemiskinan
Penerimaan TotalKeluarga ab
Pangan Non Pangan Pengeluaran Total
1. Miskin 135 676,22 56 726,00 192 402,22
2. Hampir Miskin 189 623,97 70 862,82 260 486,79
3. Hampir Tidak Miskin 148 286,19 91 143,81 239 430,00
4. Tidak Miskin 157 889,58 85 012,92 242 902,50
5. Total 141 892,16 60 405,91 202 298,08
Rata-Rata 141 892,16 60 405,91 202 298,08
Standar Deviasi 59 011,50 34 490,82 76 891,27
Nilai Minimum 40 111,11 12 666,67- 70 166,67
Nilai Maksimum 466 750,00 203 202,78 627 250,00% terhadappengeluaran total 70,1 29,9 100,00
Ket : a Digunakan Garis Kemiskinan (GK) wilayah pedesaan Jawa Barat tahun 2009 sebesar Rp175 193b Menggunakan kriteria dari Berita Resmi Statistik No. 47 / IX / 1 September 2006 (Miskin : < GK (Garis
Kemiskinan), Hampir Miskin : 1,00-1,25 GK, Hampir Tidak Miskin : 1,25-1,50 GK dan Tidak Miskin :>1,50 GK)
Keluarga contoh rata-rata mengalokasikan pengeluaran untuk pangan per
kapita per bulan sebesar Rp141 892,16 dan alokasi pengeluaran untuk non
pangan rata-rata sebesar Rp60 405,91 per kapita per bulan. Berarti total
pengeluaran yang dialokasikan untuk pangan adalah sekitar 2,3 kali lebih besar
dibandingkan untuk pengeluaran non pangan.Teori Ernst Engel juga mendukung
hasil temuan penelitian, yakni proporsi pengeluaran total untuk makanan
menurun dengan meningkatnya pendapatan. Pola pengeluaran rumahtangga
dapat mencerminkan tingkat kehidupan suatu masyarakat. Indikator yang dipakai
untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk adalah komposisi pengeluaran
untuk makanan dan non makanan. Kesejahteraan dikatakan makin baik bila
persentase pengeluaran untuk makanan semakin kecil.
Rata-rata pengeluaran per kapita/bulan keluarga sebesar Rp202 298,08,
yang berkisar antara Rp70 166,67 hingga Rp627 250,00. Jika dibandingkan
dengan penerimaan total keluarga, maka pengeluaran keluarga hampir tiga kali
lipat lebih besar. Hal ini dapat terjadi karena bertambahnya penerimaan keluarga
109
dari dana PKH. Hall (2006) menyatakan bahwa bukti dari program CCT di
Amerika Latin menunjukkan hasil positif yang dapat dicapai terkait dengan
pemenuhan kebutuhan mendesak dari keluarga miskin.
Alokasi Dana PKHDalam Pedoman Umum PKH yang dikeluarkan oleh UPPKH Pusat tahun
2007 dinyatakan bahwa tidak ada pembatasan pengalokasian dana PKH yang
diperoleh, namun sebagai upaya untuk memaksimalkan penggunaan dana untuk
kebutuhan keluarga, maka penerima dana disyaratkan adalah ibu atau wanita
dewasa dalam rumahtangga. Peserta dapat menggunakan bantuan PKH untuk
keperluan apa saja asal memenuhi syarat pendidikan dan kesehatan.
Penggunaan uang bantuan tidak akan dimonitor oleh program.
Data alokasi pengeluaran dana PKH yang diambil dalam penelitian ini
adalah untuk semua anak dan anggota keluarga, karena sulitnya untuk mendata
alokasi pengeluaran untuk anak yang menjadi contoh saja. Jumlah pengeluaran
dengan alokasi dana yang diterima pada penerimaan tahap enam dengan total
pengeluaran tidak sama karena keterbatasan contoh dalam mengingat. Alokasi
pengeluaran dana PKH pada pencairan terakhir yang diterima keluarga contoh
disajikan pada Tabel 44. Alokasi dana PKH untuk pendidikan anak adalah
sebesar 55,3 persen yang dialokasikan untuk kebutuhan seperti tas dan sepatu
sekolah (17,1%) dan biaya seragam merah putih, pramuka dan olahraga
(16,7%). Tingginya biaya pendidikan berarti akses masyarakat miskin terhadap
pendidikan akan terbatas. Meskipun pemerintah secara resmi telah
menghapuskan SPP (Sumbangan Penunjang Pendidikan), namun faktanya
masyarakat masih harus membayar berbagai item seperti buku, peralatan tulis,
seragam, sepatu, biaya transport ke sekolah dan uang saku. Biaya-biaya
tersebut menjadi hambatan bagi masyarakat miskin ketika menyekolahkan
anaknya. Selain itu, ketika anak baru masuk sekolah pada tingkatan atau di
sekolah manapun masyarakat harus membayar uang pangkal atau uang
bangunan yang jumlahnya tergantung sekolah (Strategi Nasional
Penanggulangan Kemiskinan 2005).
Dana PKH yang dialokasikan untuk non-pendidikan seperti kebutuhan
makanan/kebutuhan dapur (15,5%), membayar utang (8,5%), tabungan (4,0%),
membayar listrik (3,5%), dan modal usaha (3,5%). Temuan ini sejalan dengan
Kajian Cepat Pelaksanaan Subsidi Langsung Tunai tahun 2005 di Indonesia:
studi kasus di DKI Jakarta dan lima kabupaten/kota lainnya, penerima umumnya
110
menggunakan dana untuk keperluan konsumsi, hanya sebagian kecil yang
menggunakan untuk membayar hutang, biaya berobat, keperluan anak sekolah,
tambahan modal, atau disimpan (Hastuti et al. 2006).
Tabel 44 Alokasi pengeluaran dana PKH pada pencairan terakhir yang diterimakeluarga contoh
No Jenis Pengeluaran Rata-Rata(Rupiah)
StandarDeviasi
% terhadapTotal Dana
PKH
Jumlah(n)
Pendidikan1. Biaya Transport 606,67 3 249,98 0,2 82. Biaya Jajan 15 100,00 36 757,82 3,6 503. Biaya BP3 dan
Pembangunan6 006.67 49 437.69 1,4 10
4. Biaya Sekolah (SPP) 8 073,33 31 865,72 1,9 155. Biaya Les 4 220,00 35 106,52 1,0 66. Buku Tulis & Alat Tulis 29 386,66 30 714,43 7,1 1507. Buku Pelajaran 5 100,00 17 105,67 1,2 238. Tas dan Sepatu 71 046,67 61 403,86 17,1 1169. Ekstra Kurikuler dan Komite
Sekolah1 713,33 - 0,4 6
10. Lembar Kerja Siswa (LKS) 4 233,33 163,30 1,0 3411. Biaya Seragam Merah Putih,
Pramuka & Olahraga69 553,34 61 958,41 16,7 142
12. Perpisahan/Acara Sekolah 15 230,00 16 804,34 3,7 23TOTAL PENDIDIKAN 230 270,00 150 308,88 55,3Non-pendidikan
1. Makanan/Kebutuhan Dapur 65 070,00 78 383,37 15,5 1502. Bayar Utang 35 228,00 61 194,83 8,5 663. Bayar Listrik 14 724,67 21 172,34 3,5 644. Tabungan (PKH dan non
PKH)16 666,67 21 772,67 4,0 76
5. Modal Usaha 14 413,33 57 654,51 3,5 136. Potongan Ketua Kelompok
dan RT13 973,34 37 887,67 3,4 85
7. Transportasi PKH (Ke KantorPos)
7 246,67 36 103,49 1,7 26
8. Pakaian 1 246,67 9 208,21 0,3 610. Diberikan kepada suami 350,00 3 051,98 0,1 211. Sumbangan/Shodaqoh/Hajat
an/Arisan/diberi kepadaorangtua
8 053,33 61 316,67 2,0 11
12. Memperbaiki Rumah/PerabotRT
4 933,33 43 706,12 1,2 4
13. Keperluan Kesehatan 2 266,67 16 174,25 0,5 414. Membeli Emas 2 366,67 21 672,49 0,6 2
TOTAL NON-PENDIDIKAN 186 539,35 145 582,07 44,8TOTAL DANA PKH 416 809,35 198 749,56 100
Setelah dana diterima oleh ibu, sebagian dana ditabung baik secara
langsung setelah dana diterima ataupun beberapa hari setelah itu. Satu
111
persepuluh bagian dana yang diterima diserahkan kepada suami, yang umumnya
digunakan untuk konsumsi rokok. Bagian dana PKH yang untuk pendidikan
dimanfaatkan semua anak yang masih sekolah dalam keluarga contoh, jadi
bukan hanya untuk anak penerima PKH saja. Jika alokasi dana PKH didekati
dengan pengelompokan untuk investasi manusia, kegiatan produktif dan
konsumtif, maka terlihat bahwa persentase terbesar masih digunakan untuk
investasi manusia adalah sekitar 55,3 persen. Sementara itu, untuk kegiatan
produktif 3,5 persen, sedangkan untuk kegiatan konsumtif sebesar 33,9 persen,
sisanya adalah untuk potongan dan ditabung. Dengan demikian, contoh masih
mengalokasikan dana PKH yang diterima dalam kegiatan yang sejalan dengan
misi PKH yang untuk peningkatan kualitas pendidikan anaknya.
Jika temuan penelitian ini dibandingkan dengan studi Puspitawati,
Herawati dan Sarma (2006) tentang dampak Subsidi Langsung Tunai (SLT) pada
kesejahteraan keluarga miskin di Bogor terlihat bahwa ”flow of resources to and
from the household”, sekitar setengah dari jumlah dana SLT (Rp300 000)
diprioritaskan untuk kebutuhan pangan pokok (sesuai dengan hirarki kebutuhan
Maslow). Selanjutnya, kurang dari sepertiganya dialokasikan untuk kebutuhan
non-pangan, seperti perumahan, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan rokok.
Bahkan sebagian lagi dialokasikan untuk membayar hutang atau untuk modal
usaha. Sayangnya, dana SLT yang diperuntukkan untuk modal usaha adalah
sangat kecil, yaitu kurang dari lima persen. Sepertinya keluarga contoh memang
sangat terbatas sumberdaya keuangannya, sehingga dana SLT ini langsung
dialokasikan untuk kebutuhan pokok saja. Hal ini juga terbukti apabila dilihat dari
jangka waktu lamanya dana SLT habis, yaitu kurang dari seminggu. Dengan
demikian, jika ditelaah lebih mendalam, antara program tunai bersyarat
(conditional cash transfer) dalam hal ini PKH dan tunai tidak bersyarat
(unconditional cash transfer) dalam hal ini SLT, maka pemanfaatan dana
bantuan berbanding terbalik. Pada PKH lebih dari separuh dana digunakan untuk
pendidikan anak, sedangkan pada SLT sekitar separuh dana digunakan untuk
konsumsi.
Kepemilikan AsetRumah merupakan salah satu kebutuhan penting bagi setiap keluarga.
Lebih dari tiga perlima (66,7%) kepemilikan rumah keluarga contoh adalah rumah
sendiri (Tabel 45), diikuti oleh rumah milik orangtua/keluarga (32,7%) dan
kontrak/sewa (0,7%).
112
Tabel 45 Sebaran dan statistik status kepemilikan rumah dan luas rumah
No Status Kepemilikan dan Luas Rumah Jumlah (n) Persentase (%)Status kepemilikan rumah (n=150)
1. Sendiri 100 66,72. Kontrak/Sewa 1 0,73. Milik Orangtua/Keluarga 49 32,7
Kategori luas rumah per kapita (n=150)1. < 8 m2 91 60,72. > 8 m2 59 39,3
Rata-Rata±SD 7,69±5,25Kisaran (min-max) 1,00-33,33
Rata-rata luas rumah per kapita keluarga adalah 7,69 m2 dengan
persentase keluarga yang memiliki rumah dengan luas kurang dari 8 m2 adalah
sebanyak 60,7 persen serta berkisar antara 1 m2 hingga 33,33 m2 per kapita.
Data ini menunjukkan masih kurang sehatnya rumah yang dihuni karena tidak
sesuai dengan batas yang disebut rumah sehat, dan selain itu rumah yang
sempit juga memunculkan ketidaknyamanan penghuninya. Rumah dengan luas
yang cukup merupakan prasyarat penting untuk menunjang kehidupan yang
sejahtera. Rumah sehat menurut World Health Organization adalah rumah yang
memiliki luas lantai minimal 10 m2 per kapita. Menurut Departemen Kesehatan
(BKKBN 2001) luas lantai rumah merupakan indikator kesejahteraan ekonomi
yang dapat dilihat secara fisik dengan kriteria miskin jika luas lantai kurang atau
sama dengan 8 m2 per kapita dan tidak miskin jika lebih dari 8 m2 per kapita.
Aset adalah salah satu bentuk sumberdaya materi yang dimiliki keluarga
yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang diharapkan oleh keluarga
tersebut (Raines 1964). Secara umum aset keluarga dalam penelitian ini
dikelompokkan menjadi lima, yaitu kendaraan, ternak, alat elektronik, alat RT,
dan kepemilikan mebel (Tabel 46). Kepemilikan kendaraan berupa motor atau
sepeda sangat sedikit ditemukan pada keluarga contoh, motor hanya dimiliki oleh
2 persen keluarga contoh. Secara umum, kepemilikan ternak pada keluarga
contoh mengalami peningkatan, meskipun tidak terlalu besar, namun sebagian
besar keluarga contoh tidak memiliki ternak. Alat elektronik yang terbanyak
dimiliki oleh sekitar setengah keluarga contoh adalah televisi. Terdapat beberapa
alat elektronik yang persentase kepemilikannya meningkat saat mendapat dana
PKH, seperti video/CD dari 9,3 persen pra-PKH menjadi 12,0 persen saat-PKH,
HP dari 5,3 persen pra-PKH menjadi 13,3 persen saat-PKH, televisi dari 49,3
113
persen pra-PKH menjadi 50,7 persen saat-PKH, kulkas dari 1,3 persen pra-PKH
menjadi 2,7 persen saat-PKH, dispenser dari 2,0 persen pra-PKH menjadi 6,0
persen saat-PKH, serta rice cooker dari 6,7 persen pra-PKH menjadi 10,7 persen
saat-PKH.
Tabel 46 Sebaran contoh berdasarkan kepemilikan aset pra dan saat PKH(persentase)
No Jenis Aset Pra-PKH(n=150)
Saat-PKH(n=150) Delta
Kepemilikan Kendaraan1. Motor 2,0 2,0 0,02. Sepeda 12,0 12,7 0,7
Kepemilikan Ternak1. Kambing/domba (induk/anak) 12,0 12,0 0,02. Ayam 24,7 30,7 6,03. Itik 3,3 4,7 1,44. Kelinci 0,0 1,3 1,35. Ikan 1,3 3,3 2,06. Angsa 0,0 0,7 0,77. Bebek 1,3 2,0 0,7
Kepemilikan Alat Elektronik1. Radio/Tape 22,0 21,3 -0,72. Video/CD 9,3 12,0 2,73. Kipas angin 5,3 4,7 -0,64. HP 5,3 13,3 8,05. Televisi 49,3 50,7 1,46. Setrika listrik 35,3 20,7 -14,67. Kulkas 1,3 2,7 1,48. Dispenser 2,0 6,0 4,09. Rice Cooker 6,7 10,7 4,0
Kepemilikan Alat RT1. Lemari makan 7,3 6,7 -0,62. Oven 2,7 2,7 0,03. Mesin jahit 2,0 2,7 0,74. Kompor gas 10,0 70,7 60,75. Kompor minyak 48,0 32,0 -16,0
Kepemilikan Mebel1. Kursi tamu (set) 14,0 12,7 -1,32. Meja makan (set) 6,0 5,3 -0,73. Tempat tidur 72,7 70,3 -2,44. Lemari pakaian 72,0 71,3 -0,75. Lemari hias 2,0 2,0 0,06. Lemari buku 2,0 2,0 0,0
114
Kepemilikan alat RT hanya meningkat secara signifikan pada kompor gas,
yakni dari 10,0 persen pra-PKH menjadi 70,7 persen saat-PKH. Hal ini lebih
diakibatkan oleh adanya program konversi minyak tanah menjadi gas yang
dicanangkan oleh pemerintah dan dibagikan secara gratis kepada masyarakat.
Berbanding terbalik dengan kompor gas, kepemilikan kompor minyak justru
mengalami penurunan karena semakin banyaknya masyarakat yang melakukan
konversi kepada kompor gas.
Kepemilikan mebel secara umum tidak mengalami perubahan pra dan
saat mendapat dana PKH. Dengan demikian, secara umum, peningkatan
kepemilikan aset saat keluarga mendapat dana PKH lebih kepada pembelian
beberapa alat elektronika. Hal ini menjadi indikasi pola hidup yang konsumtif
yang telah menjadi budaya yang melekat pada masyarakat miskin. Contoh
sederhana adalah kepemilikan handphone (HP), yang saat ini telah beralih
menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat dari semua kalangan. Padahal bukan
hanya handphonenya saja yang harus dibeli, namun kebutuhan pulsa juga akan
memberatkan pengeluaran keluarga. Temuan penelitian ini sejalan dengan
pernyataan De Janvry dan Sadoulet (2005) berdasarkan program CCT di
Meksiko dan Brazil bahwa jika dibandingkan dengan program bantuan langsung
tunai, maka melalui pendekatan bantuan tunai bersyarat (CCT) dapat dicapai
tujuan pendapatan untuk meningkatkan aset dan pendekatan ini sangat efektif.
Rasio Hutang dan AsetHal menarik yang perlu dicermati dari data penelitian adalah sebanyak
47,3 persen keluarga contoh mengaku memiliki hutang sebelum mendapat dana
PKH, yang ternyata mengalami peningkatan menjadi hampir dua kali lipat
(82,7%) saat mendapat dana PKH (Tabel 47). Hal ini disebabkan adanya pola
pikir di kalangan keluarga contoh, nantinya akan mendapat dana PKH sehingga
berhutang atau meminjam uang sebelum dana PKH turun. Apalagi turunnya
dana PKH sering mengalami keterlambatan dari informasi tanggal yang sudah
direncanakan, sehingga contoh memilih berhutang dahulu terutama untuk
menutupi kebutuhan sehari-hari.
Untuk memperoleh data rasio hutang terhadap aset, dalam penelitian ini
aset juga dilihat berdasarkan perkiraan nilainya yakni Rp376 880,00 (Rp67
378,32) pra-PKH dan Rp517 386,67 (Rp95 816,14) saat-PKH. Perkiraan nilai
aset yang dimiliki keluarga contoh dilakukan dengan mempertimbangkan
penyusutan karena usia pakai, harga pembelian dan harga jual saat ini.
115
Sementara hasil wawacara menunjukkan bahwa rata-rata hutang keluarga
adalah Rp265 522,00 (Rp49 009,35/kapita) pra-PKH dan Rp470 362,69 (Rp87
623,97/kapita) saat-PKH.
Tabel 47 Sebaran dan statistik kepemilikan hutang dan rasio hutang dan asetpra dan saat PKH
No Kepemilikan HutangPra-PKH (n=150) Saat-PKH (n=150)
n % n %Kepemilikan Hutang
1. Ya 71 47,3 124 82,72. Tidak 79 52,7 26 17,3
Rata-Rata±SD (Rp) 265 522,00±845 471,94 470 362,69±1 015 429,98
Kisaran (min-max) (Rp) 0-5 100 000 0-5 525 000
Uji Beda Berpasangan (sig) 0,000**Kategori Rasio Hutan dan Aset
1. ≤ 50 % 38 25,6 66 43,72. > 50% 112 74,4 84 56,3Ket : * nyata pada p<0,01
Dengan demikian, jika dilihat dari rata-rata keseluruhan nilai aset masih
lebih tinggi dibandingkan dengan hutang baik pada saat pra maupun saat
mendapatkan dana PKH. Namun jika dilihat dari rasio hutang terhadap aset per
keluarga (Tabel 47), maka sebelum mendapat dana PKH rata-rata hutang
keluarga contoh sekitar dua pertiga (74,4%) termasuk lebih dari 50 persen. Saat
mendapat dana PKH, rasio hutang terhadap aset mengalami penurunan dimana
keluarga dengan rasio lebih dari 50 persen menurun menjadi 56,3 persen.
Dengan demikian, kemampuan membayar hutang dengan menggunakan aset
yang dimiliki, semakin meningkat dengan diperolehnya dana PKH.
Jika hutang dibandingkan dengan pendapatan, maka diperoleh rata-rata
0,55 pra-PKH dan 0,92 saat-PKH, artinya hutang saat-PKH semakin tidak dapat
ditutupi oleh pendapatan. Selanjutnya, jika hutang dibandingkan dengan
penerimaan saat-PKH (pendapatan ditambah dana PKH), maka kemampuan
untuk membayar hutang semakin besar dengan turunnya hampir setengah (0,49)
rasio hutang terhadap penerimaan.
Tekanan Ekonomi KeluargaTekanan ekonomi pra-PKH yang dirasakan lebih dari separuh hingga
lebih dari tiga perlima keluarga contoh yang masuk dalam kategori tertekan
116
berubah menjadi hanya sekitar dua perlima, yang mencakup kecukupan
keuangan keluarga (67,3% pra-PKH; 17,3% saat-PKH), menyekolahkan anak
usia sekolah (61,3% pra-PKH; 8,7% saat-PKH), membayar keperluan sekolah
anak (62,7% pra-PKH; 7,3% saat-PKH), dan membeli kebutuhan makanan
keluarga, termasuk jajanan sehari-hari (52,0% pra-PKH; 20,7% saat-PKH).
Perubahan-perubahan tersebut menjadi alasan mengapa kategori tekanan
ekonomi keluarga menjadi lebih banyak yang tidak tertekan. Semua item tekanan
ekonomi berbeda nyata (p<0,05) antara pra-PKH dan saat-PKH (Lampiran 5).
Skor komposit tekanan ekonomi yang diperoleh memiliki makna semakin
tinggi skor, maka tekanan ekonomi yang dialami keluarga juga semakin tinggi.
Berdasarkan kategorisasi tekanan ekonomi, lebih dari separuh (52,7%) keluarga
contoh sebelum mendapat dana PKH adalah tergolong tidak tertekan, yang
kemudian mengalami perbaikan, sebagian besar (81,3%) keluarga contoh
tergolong tidak tertekan tekanan ekonominya (Tabel 48). Rata-rata skor tekanan
ekonomi juga mengalami penurunan dari 53,27 pra-PKH menjadi 30,67 saat-
PKH, dimana secara statistik perbedaan ini adalah nyata (p=0,000). Data ini
menunjukkan bahwa pemberian dana PKH mempunyai implikasi terhadap
penurunan tekanan ekonomi yang dirasakan oleh keluarga contoh. Hal ini dapat
dipahami karena dengan dana PKH yang diperoleh, sedikit banyaknya akan
mampu mengurangi beban ekonomi yang dirasakan oleh keluarga. Indikasi ini
juga lebih terlihat dengan turunnya persentase keluarga yang tertekan secara
ekonomi dari 26,7 persen pra-PKH menjadi 4,7 persen saat mendapat PKH.
Tabel 48 Sebaran dan statistik tekanan ekonomi keluarga pra dan saat PKH
No Kategori Tekanan Ekonomi Pra-PKH (n=150) Saat-PKH (n=150)n % n %
1. Tidak Tertekan (skor < 60) 79 52,7 122 81,32. Cukup Tertekan (skor 60 - 80) 31 20,7 21 14,03. Tertekan (skor > 80) 40 26,7 7 4,7
Rata-Rata ±SD 53,27 ± 34,65 30,67 ± 28,16Kisaran 0,00-100,00 0,00-100,00Uji Beda Berpasangan (sig) 0,000**
Ket : ** nyata pada p < 0,01
Manajemen Keuangan KeluargaMenurut Raines (1964) manajemen keuangan meliputi perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi dari sumberdaya materi yang dimiliki. Perencanaan
keuangan yang baik dapat membantu kita untuk mengetahui sumberdaya yang
117
dimiliki dan bagaimana menggunakan sumberdaya yang terbatas itu untuk
memenuhi kebutuhan dan tujuan keluarga.
Pelaksanaan suatu kegiatan seringkali tidak sesuai dengan rencana yang
telah dibuat, banyak hal yang seringkali mempengaruhi pelaksanaannya.
Lampiran 6 memperlihatkan sebaran contoh berdasarkan kesesuaian antara
rencana dengan penggunaan keuangan keluarga. Item-item manajemen
keuangan keluarga yang berbeda nyata anatara pra dan saat-PKH adalah pada
merujuk pada rencana sebelum membeli sesuatu, membeli keperluan ibu sendiri
(seperti baju, make-up, dan lain-lain) dengan pendapatan sendiri, berusaha
menabung walau sedikit dan berhutang uang/barang pada orang lain/toko/
warung. Dalam implementasinya, keluarga contoh jarang melaksanakan
manajemen keuangan. Hal ini dipengaruhi berbagai hal, seperti rendahnya
tingkat pendidikan dan keterbatasan sumberdaya keuangan yang dimiliki oleh
keluarga.
Lebih dari 70 persen contoh melakukan manajemen keuangan yang
tergolong rendah, baik pra maupun saat keluarga mendapat dana PKH, artinya
sistem pengelolaan keuangan keluarga masih kurang melakukan perencanaan,
pelaksanaan seadanya tanpa rencana dan kurang melakukan evaluasi yang
seharusnya. Hal ini juga terlihat dari rendahnya rata-rata skor manajemen
keuangan keluarga yang hanya sekitar 47 baik pra maupun saat-PKH, serta
secara statistik pun tidak ditemukan perbedaan yang nyata (p=0,433) antara
keduanya (Tabel 49).
Tabel 49 Sebaran dan statistik manajemen keuangan keluarga pra dan saatPKH
No Kategori ManajemenKeuangan Keluarga
Pra-PKH (n=150) Saat-PKH (n=150)n % n %
1. Kurang (skor < 60) 107 71,3 107 71,32. Sedang (skor 60 - 80) 31 20,7 30 20,03. Baik (skor > 80) 12 8,0 13 8,7
Rata-Rata+SD 47,00+21,91 47,30+21,70Kisaran (min-max) 0,00-95,50 0,00-95,50Uji Beda Berpasangan (sig) 0,433
Manajemen keuangan keluarga dilihat dari kebiasaan contoh dalam
membuat perencanaan keuangan, menyimpan uang dalam bentuk tabungan dan
mengevaluasi uang yang dibelanjakan serta membicarakan masalah keuangan
118
di keluarga. Praktek manajemen keuangan keluarga pada lebih dari separuh
(50,6%) keluarga contoh masih tergolong kurang. Hanya sebagian kecil (12,6%)
contoh yang telah melakukan manajemen keuangan dengan baik. Umumnya
keluarga miskin memiliki pendapatan yang tidak teratur, karena sebagian besar
adalah bekerja secara ‘serabutan’ sebagai buruh, sehingga yang diterapkan ‘apa
yang didapat hari ini, itulah yang dimakan’. Hal ini membuat keluarga miskin tidak
melakukan pengelolaan keuangan karena menurut contoh tidak ada sumberdaya
yang dapat dikelola.
Strategi Koping Fungsi Ekonomi KeluargaSebagian besar (88,0%) contoh melaporkan memiliki masalah keuangan,
sementara sisanya (12%) menyatakan tidak mengalami. Jenis masalah
keuangan yang dialami oleh keluarga contoh diantaranya adalah banyak
kebutuhan yang tidak bisa terpenuhi, banyak pengeluaran, penghasilan sedikit,
belum bayar utang, belum bisa membantu saudara, setiap akhir bulan
mengalami kesulitan keuangan, suami yang tidak bekerja, pendapatan yang tidak
menentu, pengeluaran lebih besar dari pemasukan, selalu utang ke warung,
kesulitan membeli pangan untuk keluarga dan keluarga banyak yang hajatan
yang mengakibatkan keluarga lebih banyak pengeluaran. Jika dilihat dari waktu,
persentase terbesar keluarga mengalami masalah keuangan adalah setiap waktu
dan awal/akhir bulan. Hal ini dimungkinkan karena pekerjaan kepala keluarga
umumnya adalah sporadis sebagai buruh, sehingga penghasilan keluarga
cenderung rendah dari waktu ke waktu.
Hasil kategorisasi skor koping yang dilakukan oleh keluarga contoh
mengindikasikan bahwa lebih dari setengah contoh (57,3%) tergolong sedang
baik pra-PKH maupun saat-PKH (Tabel 50). Rata-rata skor komposit variabel
koping tersebut juga relatif rendah, yakni 38,41 pra-PKH dan 36,22 saat-PKH.
Secara statistik, perbedaan ini adalah nyata (p=0,000) yang berarti upaya yang
dilakukan mengalami penurunan yang signifkan saat keluarga contoh mendapat
dana PKH.
Jika dilihat berdasarkan dua dimensi strategi koping yang dilakukan
keluarga contoh, yakni mengurangi pengeluaran keluarga dan menambah
pendapatan keluarga, maka strategi koping yang paling banyak dilakukan adalah
mengurangi pengeluaran keluarga. Hal ini dapat dimaknai dari rata-rata skor
strategi koping mengurangi pengeluaran keluarga yang lebih tinggi hampir dua
kali lipat dibandingkan skor strategi koping menambah pendapatan keluarga baik
119
sebelum maupun saat mendapat dana PKH. Untuk strategi koping mengurangi
pengeluaran keluarga, terdapat perbedaan yang nyata (p=0,000) antara sebelum
dan saat keluarga mendapat dana PKH, sebaliknya pada skor strategi koping
menambah pendapatan keluarga tidak ditemukan perbedaan yang nyata
(p=0,151). Indikasi dari data ini adalah keluarga cenderung tidak melakukan
upaya untuk menggerakkan pendapatan (income generating) yang sifatnya lebih
produktif, sebaliknya keluarga lebih memilih untuk melakukan upaya menghemat
atau memotong pengeluaran yang sifatnya lebih pasif. Sulitnya mencari
pekerjaan atau sumberdaya yang minim menjadi diantara alasan keluarga contoh
tidak mencari penghasilan tambahan.
Tabel 50 Sebaran dan statistik strategi koping fungsi ekonomi keluarga pra dansaat PKH
No Kategori Skor Strategi Koping Pra-PKH (n=150) Saat-PKH (n=150)n % n %
Strategi Koping Total1. Rendah (skor < 60) 149 99,3 149 99,32. Sedang (skor 60 - 80) 0 0,0 0 0,03. Tinggi (skor > 80) 1 0,7 1 0,7
Rata-Rata±SD 38,41±10,23 36,22±10,20Kisaran (min-max) 13,40-85,40 11,00-85,40Uji Beda Berpasangan (sig) 0,000**Strategi Koping Mengurangi Pengeluaran Keluarga
1. Rendah (skor < 60) 125 83,3 130 86,72. Sedang (skor 60 - 80) 24 16,0 19 12,73. Tinggi (skor > 80) 1 0,7 1 0,7
Rata-Rata±SD 46,91±13,45 43,67±12,92Kisaran (min-max) 16-96 16-96Uji Beda Berpasangan (sig) 0,000**Strategi Koping Menambah Pendapatan Keluarga
1. Rendah (skor < 60) 149 99,3 149 99,32. Sedang (skor 60 - 80) 1 0,7 1 0,73. Tinggi (skor > 80) 0 0,0 0 0,0
Rata-Rata±SD 25,15±10,4 24,59±11,13Kisaran (min-max) 3,1-68,8 0-68,8Uji Beda Berpasangan (sig) 0,151
Ket : ** nyata pada p < 0,01
Dibandingkan dengan strategi koping menambah pendapatan, keluarga
cenderung lebih memilih melakukan strategi koping menghemat pengeluaran
baik untuk pangan, kesehatan, pendidikan maupun pengeluaran lainnya. Strategi
120
bersifat pasif ini lebih dipilih karena keterbatasan sumberdaya yang dimiliki
keluarga untuk melakukan strategi koping aktif, misalnya karena tidak
tersedianya lahan, tingkat pendidikan yang rendah, tidak ada pekerjaan, tidak
ada aset atau tidak ada tempat untuk meminjam uang. Hal ini sejalan dengan
penelitian Kusumo (2009) yang menyatakan bahwa dalam menghadapi kesulitan
ekonomi, keluarga petani lebih sering melakukan strategi penghematan
dibandingkan strategi penambahan sumberdaya ataupun strategi sosial.
Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan Purlika (2004) yang
menyatakan bahwa dalam melakukan upaya food coping mechanism
rumahtangga miskin di perkotaan, ditemukan adanya kecenderungan untuk
merubah kebiasaan makan, mencari pekerjaan tambahan, meminjam dalam
bentuk uang/pangan, dan menjual aset. Prioritas pilihan bentuk coping yang
cenderung dilakukan oleh rumahtangga pada berbagai tingkat ketahanan pangan
adalah merubah kebiasaan makan (51,5%). Pada rumahtangga sangat rawan
pangan bentuk food coping mechanism yang dilakukan cenderung lebih komplek
dibandingkan rawan dan tahan pangan.
Hasil tabulasi silang antara strategi koping mengurangi pengeluaran atau
penghematan dengan strategi menambah pendapatan untuk melihat tipologi
strategi koping keluarga, mengindikasikan bahwa pra-PKH, persentase terbesar
atau sepertiga keluarga contoh yang melakukan strategi mengurangi
pengeluaran yang rendah akan juga melakukan strategi menambah pendapatan
yang terkategori rendah (Tabel 51).
Tabel 51 Sebaran contoh berdasarkan kategori strategi koping fungsi ekonomidengan mengurangi pengeluaran keluarga dan menambahpendapatan keluarga pra dan saat PKH
Strategi MengurangiPengeluaran
Strategi Menambah Pendapatan
Rendah (n=150) Tinggi (n=150)
Rendah (n=150)33,3% (Pra-PKH)26,0% (Saat-PKH)
18,0% (Pra-PKH)23,3% (Saat-PKH)
Tinggi (n=150)21,3% (Pra-PKH)16,7% (Saat-PKH)
27,3% (Pra-PKH)34,0% (Saat-PKH)
Ket : Rendah jika skor < Rata-Rata; Tinggi jika skor > Rata-Rata; persentase adalah terhadap total contoh
Pada saat-PKH, persentase terbesar atau sepertiga keluarga contoh yang
menggunakan strategi mengurangi pengeluaran yang tergolong tinggi, akan juga
121
menggunakan strategi menambahan pendapatan yang tergolong tinggi. Hasil
analisis korelasi Spearman menunjukkan hubungan yang positif nyata antara
strategi mengurangi pengeluaran dan strategi menambahan pendapatan baik
untuk pra-PKH (rs=0,212; p<0,01) maupun saat-PKH (rs=0,200; p<0,05).
Strategi Koping Fungsi Ekonomidengan Mengurangi Pengeluaran Keluarga
Permasalahan yang dihadapi keluarga dapat menimbulkan dapat
mengakibatkan stres pada anggotanya sehingga keluarga akan berupaya untuk
keluar dari permasalahan tersebut melalui coping behavior. Dalam menghadapi
tekanan ekonomi, keluarga umumnya mengembangkan strategi atau mekanisme
koping. Mekanisme koping bertujuan untuk mengurangi dampak tekanan
ekonomi dengan memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki, baik secara positif
maupun negatif. Mekanisme koping secara positif contohnya mengurangi
pengeluaran atau meningkatkan produktivitas keluarga, maupun secara negatif
seperti meminjam uang (Voydanoff & Donnelly 1988).
Pada penelitian ini, strategi koping fungsi ekonomi mengurangi
pengeluaran yang diamati, dibagi ke dalam empat kelompok, yaitu strategi
koping untuk masalah pangan, kesehatan, pendidikan dan pengeluaran lainnya
yang dapat dilihat pada Lampiran 7. Dalam pembahasan tentang strategi koping
yang dilakukan keluarga ini, yang disoroti lebih kepada item yang dilakukan oleh
lebih dari 40 persen keluarga dengan frekuensi sering.
Strategi Mengurangi Pengeluaran untuk Pangan. Secara umum
persentase keluarga yang termasuk sering melakukan koping dengan
mengurangi pengeluaran pangan mengalami penurunan saat mendapat dana
PKH (Lampiran 7). Jika dilihat dari 11 item strategi koping pangan, yang berada
di atas 40 persen adalah membeli pangan yang lebih murah (81,3% pra-PKH;
80,7% saat-PKH), mengurangi pembelian kebutuhan pangan baik jumlah
ataupun jenis (62,0% pra-PKH; 52,7% saat-PKH), mengurangi jajan anak (48,0%
pra-PKH; 45,3% saat-PKH) dan merubah distribusi pangan (prioritas ibu jadi
untuk anak) (44,7% pra-PKH; 39,3% saat-PKH). Upaya membeli pangan yang
lebih murah dilakukan misalnya dengan mengganti bahan makanan protein
hewani dengan protein nabati, sedangkan mengurangi pembelian kebutuhan
pangan baik jumlah ataupun jenis dilakukan misalnya dengan pengurangan
terhadap penggunaan minyak goreng. Dengan demikian, secara umum keluarga
122
lebih sering melakukan empat dari sepuluh strategi penghematan pengeluaran
atas pangan.
Strategi Mengurangi Pengeluaran untuk Kesehatan. Secara umum
persentase keluarga yang termasuk sering melakukan koping dengan
mengurangi pengeluaran kesehatan mengalami penurunan saat mendapat dana
PKH. Dari lima item strategi koping kesehatan, yang berada di atas 40 persen
adalah memilih tempat berobat yang murah (86,0% pra-PKH; 84,7% saat-PKH)
dan mengurangi pembelian rokok (48,0% pra-PKH; 46,0% saat-PKH). Dengan
demikian, secara umum keluarga lebih sering melakukan dua dari lima strategi
penghematan pengeluaran untuk kesehatan (Lampiran 7).
Strategi Mengurangi Pengeluaran untuk Pendidikan. Secara umum
persentase keluarga yang termasuk sering melakukan koping dengan
mengurangi pengeluaran pendidikan mengalami penurunan saat mendapat dana
PKH. Dari enam item strategi koping pendidikan, yang berada di atas 40 persen
adalah mengurangi uang saku anak sehari-hari (46,7% pra-PKH; 43,3% saat-
PKH). Dengan demikian, secara umum keluarga lebih sering melakukan satu dari
enam strategi penghematan pengeluaran untuk pendidikan (Lampiran 7).
Strategi Mengurangi Pengeluaran Lainnya. Secara umum, persentase
keluarga yang termasuk sering melakukan koping dengan mengurangi
pengeluaran lainnya mengalami penurunan saat mendapat dana PKH, hanya
satu item dari empat item yang tidak mengalami perubahan antara pra dan saat-
PKH. Keempat item strategi koping pengeluaran lainnya berada di atas 40
persen yakni mengurangi pembelian peralatan dapur (96,7% pra-PKH; 93,3%
saat-PKH), mengurangi pembelian perabot rumahtangga (96,0% pra-PKH;
92,7% saat-PKH), mengurangi pembelian pakaian (95,3% pra-PKH; 92,7% saat-
PKH) dan mengurangi penggunaan air/listrik/telepon (42,0% pra-PKH; saat-
PKH). Dengan demikian, keluarga sering melakukan semua strategi
penghematan pengeluaran lainnya (Lampiran 7).
Strategi Koping Fungsi Ekonomidengan Menambah Pendapatan Keluarga
Strategi Menambah Pendapatan untuk Pangan. Dua dari lima strategi
koping dengan menambah pendapatan pangan yang sering dilakukan keluarga
mengalami peningkatan saat mendapat dana PKH yakni beternak (unggas atau
ikan) (38,7% pra-PKH; 40,0% saat-PKH) dan keluarga memanfaatkan lahan
kosong untuk menanam tanaman (jagung, ubi, singkong) (20,0% pra-PKH;
123
22,7% saat-PKH). Jika dilihat dari lima item strategi koping pangan, yang berada
di atas 40 persen adalah membeli pangan dengan hutang (59,3% pra-PKH;
58,7% saat-PKH) dan meminjam uang (40,7% pra-PKH; 38,0% saat-PKH).
Dengan demikian, secara umum keluarga lebih sering melakukan 2 strategi dari
5 strategi penambahan pendapatan untuk pangan (Lampiran 8).
Strategi Menambah Pendapatan untuk Kesehatan. Satu dari dua
strategi koping dengan menambah pendapatan untuk kesehatan dengan
frekuensi sering dilakukan keluarga mengalami peningkatan saat mendapat dana
PKH, yakni keluarga memanfaatkan tanah pekarangan untuk tanaman obat
keluarga (14,7% pra-PKH; 15,3% saat-PKH) (Lampiran 8). Dari dua item strategi
koping menambah pendapatan untuk kesehatan, yang berada di atas 40 persen
adalah meminta obat gratis ke puskesmas/tempat berobat lainnya (49,3% pra-
PKH dan saat-PKH). Dengan demikian, secara umum keluarga lebih sering
melakukan satu dari dua strategi menambah pendapatan untuk kesehatan.
Strategi Menambah Pendapatan untuk Pendidikan. Dari tiga item
strategi koping menambah pendapatan untuk pendidikan, lebih dari 70 persen
keluarga menyatakan tidak pernah melakukannya. Ketiga item tersebut adalah
meminta buku bekas ke sekolah/tetangga, mengusahakan beasiswa untuk
sekolah anak dan anak bekerja/membantu orangtua untuk menambah keperluan
sekolah. Dengan demikian, keluarga contoh termasuk jarang atau tidak pernah
melakukan strategi menambah pendapatan untuk pendidikan (Lampiran 8).
Strategi Menambah Pendapatan Lainnya. Tidak berbeda dengan
strategi menambah pendapatan untuk pendidikan, dalam menambah pendapatan
lainnya baik dengan bekerja, menjual aset/barang ataupun migrasi, ternyata
jarang atau tidak pernah dilakukan oleh keluarga dengan persentase di atas 70
persen. Dengan demikian, keluarga contoh tergolong jarang atau tidak pernah
melakukan semua strategi menambah pendapatan lainnya (Lampiran 8).
Persepsi dan Relasi GenderPersepsi terhadap Peran Gender
Persepsi contoh dalam hal ini ibu terhadap peran gender mencakup lima
belas item pernyataan yang disajikan pada Lampiran 9. Beberapa pernyataan
yang disoroti adalah perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi yang disetujui
oleh 26,7 persen contoh, perempuan (istri) mampu berkontribusi lebih dari pria
(suami) dalam menghidupi keluarga dan layak untuk mengelola keluarga tidak
disetujui oleh sepertiga ibu, tugas istri adalah mengurus rumahtangga saja,
124
sedangkan tugas suami adalah mencari nafkah bagi keluarga saja disetujui oleh
62,7 persen contoh, keterlibatan istri dalam kegiatan di luar rumah akan
membuat pekerjaan rumahtangga terbengkalai disetujui oleh 21,3 persen ibu,
pengasuhan dan perawatan anak merupakan tanggungjawab istri saja disetujui
oleh 38,7 persen ibu dan tugas utama istri mengurus rumahtangga dan tugas
utama suami mencari nafkah bagi keluarga, tetapi boleh bertukar peran apabila
secara ekonomis memang menguntungkan tidak disetujui oleh 48,7 persen ibu.
Hasil penelitian ini agak berbeda dengan dengan kajian Saleha (2003)
yang menyatakan bahwa persepsi tentang gender yang paling banyak dianut
baik oleh suami maupun isteri adalah ”isteri dan suami menyadari bahwa
perbedaan jenis kelamin tidak harus dipertentangkan dalam menghidupi
keluarga, tetapi justru bersifat saling mendukung dan melengkapi”, sedangkan
pilihan tugas berdasarkan gender yang paling banyak dianut baik oleh suami
maupun isteri adalah ”tugas utama isteri adalah mengurus rumahtangga, tetapi
boleh membantu tugas suami dalam mencari nafkah keluarga, sedangkan
tanggungjawab mencari nafkah utama tetap tugas suami”. Dalam penelitian ini,
sebagian besar contoh menyatakan setuju untuk pernyataan tugas “istri adalah
mengurus rumahtangga saja, sedangkan tugas suami adalah mencari nafkah
bagi keluarga saja”, meskipun di sisi lain sebagian besar contoh juga
menyatakan setuju untuk pernyataan “istri dan suami memiliki kedudukan yang
setara dalam hal pengambilan keputusan dalam keluarga” dan “istri boleh
membantu tugas suami dalam mencari nafkah keluarga”.
Persentase tertinggi (45%) dihasilkan dari kategorisasi skor persepsi
contoh terhadap peran gender dalam kategori cukup berperspektif gender (Tabel
52). Rata-rata skor persepsi terhadap peran gender adalah 74,93 dengan kisaran
skor antara 25,00 hingga 100,00. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa persepsi
tentang gender sebagian besar contoh adalah sama tentang gender, yaitu istri
dan suami menyadari bahwa perbedaan jenis kelamin tidak harus
dipertentangkan dalam menghidupi keluarga, tetapi justru bersifat saling
mendukung dan melengkapi. Bila dikaitkan dengan konteks teoritis antara faham
struktural fungsional dengan sosial konflik tentang pembagian kerja dalam
keluarga, dapat dikatakan bahwa persepsi para contoh mayoritas cenderung
mengarah pada penjelasan-penjelasan teori fungsionalisme yang mementingkan
keseimbangan pembagian kerja dalam keluarga. Persepsi contoh identik dengan
sifat ketradisionalannya, dimana sebagian besar memiliki pemikiran yang cukup
125
terbuka mengenai peranan antara suami dan istri dalam keluarga, walaupun hal
ini belum banyak tercermin dalam tindakan.
Tabel 52 Sebaran dan statistik persepsi gender pra dan saat PKH
No Kategori Persepsi Gender Jumlah (n) Persentase (%)1 Berperspektif Gender Kurang (skor < 60) 25 16,72 Cukup Berperspektif Gender (skor 60 - 80) 68 45,33 Berperspektif Gender Baik (skor > 80) 57 38,0
Rata-Rata±SD 74,93±17,47
Kisaran (min-max) 25,00-100,00
Relasi GenderRelasi gender memandang hubungan antara laki-laki dan perempuan
berkaitan dengan pembagian peran yang dijalankan masing-masing pada
berbagai tipe dan struktur keluarga. Pola pengambilan keputusan untuk aktivitas
domestik yang terdapat pada masyarakat ini dapat dikatakan tidak didominasi
oleh satu pihak tertentu (suami saja atau istri saja), tetapi memiliki pola yang
tersebar pada masing-masing aspek keputusan yang diambil pada keluarga-
keluarga tersebut. Sumber dari permasalahan kemiskinan perempuan terletak
pada budaya patriarki laki-laki sebagai superior dan perempuan sebagai
subordinat. Budaya patriarki seperti ini tercermin baik dalam kehidupan
berkeluarga, bermasyarakat, maupun bernegara, dan menjadi sumber
pembenaran terhadap sistem distribusi kewenangan, sistem pengambilan
keputusan, sistem pembagian kerja, sistem kepemilikan, dan sistem distribusi
sumberdaya yang bias gender (Bappenas 2008).
Keadaan diatas menunjukkan bahwa perangkat aturan yang berlaku
dalam masyarakat tentang peran perempuan dalam keluarga cukup membuka
ruang publik bagi istri asalkan tetap tidak melupakan atau meninggalkan tugas
utamanya dalam keluarga sebagai ibu rumahtangga. Pada penelitian ini, pilihan
pola pengambilan keputusan yang ditawarkan terdiri dari tiga variasi
pengambilan keputusan yaitu : (1) Pengambilan keputusan yang didominasi oleh
istri, (2) Pengambilan keputusan oleh suami-istri senilai, dan (3) Pengambilan
keputusan yang didominasi oleh suami.
Pengambilan keputusan yang dilakukan hanya oleh suami adalah
bertanggungjawab pada pekerjaan publik/ekonomi, namun tidak berbeda nyata
antara pra dan saat-PKH. Sementara itu, tugas mencari jalan pemecahan
126
masalah keuangan, bertanggungjawab pada aktivitas sosial dan bertanggung-
jawab pada pengasuhan dan pendidikan anak pengambilan keputusannya
dilakukan setara antara suami dan istri baik pra maupun saat-PKH. Peran istri
jauh lebih dominan untuk pengelolaan keuangan, penyediaan makanan dan
pengaturan kegiatan rumahtangga dibandingkan suami. Perbedaan yang nyata
antara pra dan saat-PKH ditemukan pada mencari jalan pemecahan masalah
keuangan dan bertanggungjawab pada pengasuhan dan pendidikan anak. Skor
kedua item tersebut mengalami penurunan, akibat meningkatnya pengambilan
keputusan yang hanya dilakukan ibu saja pada saat mendapat PKH. Dengan
demikian, kontrol ibu terhadap sumberdaya meningkatkan dengan skema dana
PKH yang harus diambil oleh ibu (Lampiran 10). Hasil studi Kusumo (2009)
sejalan dengan penelitian ini, peran istri lebih dominan di sektor domestik,
sedangkan suami lebih dominan dalam menjalankan peran di sektor publik. Pada
beberapa kegiatan di sektor domestik maupun publik, terlihat suami dan istri
sama-sama terlibat dalam pengambilan keputusan dan pembagian kerja.
Skor komposit relasi gender menunjukkan peran pengambilan keputusan
tugas-tugas keluarga antara suami dan istri. Semakin tinggi skor relasi gender,
maka pengambilan keputusan dilakukan setara antara suami dan istri. Meskipun
dalam implementasinya, tugas tersebut dilaksanakan oleh satu pihak saja,
namun terdapat transparansi antara suami dan istri dalam keputusan yang terkait
dengan tugas tersebut. Secara umum relasi gender yang diterapkan oleh
keluarga contoh masih relatif kurang responsif (Tabel 53).
Tabel 53 Sebaran dan statistik relasi gender pra dan saat PKH
No Kategori Relasi Gender Pra-PKH (n=150) Saat-PKH (n=150)n % n %
1. Kurang Responsif (skor < 60) 134 89,3 135 90,02. Cukup Responsif (skor 60 - 80) 15 10,0 30 9,33. Responsif (skor > 80) 1 0,7 1 0,7
Rata-Rata+SD 31,80+19,53 30,07+19,98Kisaran (min-max) 0,00-100,00 0,00-100,00
Uji Beda Berpasangan (sig) 0,024*Ket : ** nyata pada p < 0,05
Persentase contoh yang termasuk kurang responsif meningkat dari 89,3
persen pra-PKH menjadi 90,0 persen saat-PKH. Skor komposit relasi gender
juga mengalami penurunan dari 31,80 pra-PKH menjadi 30,07 saat-PKH (Tabel
127
53). Perbedaan ini secara statistik adalah nyata (p=0,024), maknanya program
PKH mampu meningkatkan peran perempuan dalam pengambilan keputusan
tugas keluarga, yang terlihat dari pengambilan keputusan semakin banyak
dilakukan oleh ibu saja.
Menurut Son (2008), program CCT berkontribusi terhadap peningkatan
status wanita dalam rumahtangga karena penerima program langsung diarahkan
kepada wanita. Dengan demikian, wanita memainkan peran penting dalam
alokasi sumberdaya rumahtangga dan dalam membuat keputusan penting dalam
rumahtangga. Namun di lain pihak, dalam panduan PKH dinyatakan bahwa
salah satu manfaat PKH adalah mempercepat pencapaian MDGs melalui
peningkatan kesetaraan gender. Kesetaraan gender diangkat dalam program
PKH karena, secara sosial politik laki-laki sudah berdaya, sementara perempuan
seringkali tersubordinasi. Perempuan melalui program PKH diberikan kontrol dan
kekuasaan atas dana PKH, namun dalam pengambilan keputusan dana tersebut
akan digunakan untuk apa dapat dilakukan secara bersama-sama dengan
suaminya. Terkait dengan manfaat tersebut, maka program PKH belum dapat
dikatakan berhasil memperkuat kesetaraan gender, yang terindikasi dari masih
relatif rendahnya skor relasi gender.
Tingkat Stres IbuStres adalah konflik yang berupa tekanan eksternal dan internal serta
permasalahan lainnya dalam kehidupan (Haber & Runyon 1984). Berbagai
macam gejala stres yang dialami ibu dengan frekuensi sering mengalami
penurunan, saat keluarga mendapat dana PKH. Gejala-gejala stres yang dialami
contoh dikelompokkan menjadi dua, yakni gejala ringan (mild) dan berat (severe).
Gejala stres ringan mencakup gugup atau hati berdebar-debar, berperasaan
mudah tersinggung, berperasaan lemas dan kurang bertenaga, mudah
menangis, perasaan tertekan, tiba-tiba merasa tertekan tanpa sebab, menyesali
diri, merasa kesepian dan sendiri, merasa sedih dan kelabu, khawatir berlebihan,
tidak bersemangat dan bosan, merasa ingin cepat marah, sulit istirahat,
membayangkan hal-hal yang jelek, dan merasa tidak aman. Gejala stres berat
mencakup berpikir untuk bunuh diri, tubuh gemetar hebat, lepas kontrol/
temperamen, jantung berpacu dengan cepat dan keras, merasa putus asa
tentang masa depan, bertengkar dengan seseorang sampai melukai orang
tersebut, bertengkar dengan seseorang sampai memecahkan barang, merasa
tidak berguna sebagai manusia, berteriak dan melempar-lempar barang, dan
128
kehilangan gairah seksual. Selanjutnya masing-masing kelompok stres tersebut
dikompositkan, semakin tinggi skor maka tingkat stres ibu akan semakin tinggi.
Gejala stres ringan yang termasuk sering dialami oleh contoh rata-rata
dialami oleh 26,5 persen contoh pra-PKH (berkisar antara 5,3%-49,3%) dan 18,6
persen contoh saat-PKH (berkisar antara 2,7%-39,3%), sedangkan gejala stres
berat yang tergolong sering rata-rata dialami oleh 9,4 persen contoh pra-PKH
(berkisar antara 2,0%-33,3%) dan 6,59 persen contoh saat-PKH (berkisar antara
0,7%-19,3%). Gejala stres ringan yang paling sering dialami oleh dua perlima ibu
adalah gugup atau hati berdebar-debar (47,3% pra-PKH; 25,3% saat-PKH),
berperasaan lemas dan kurang bertenaga (49,3% pra-PKH; 39,3% saat-PKH)
dan mudah menangis (44,7% pra-PKH; 30,7% saat-PKH), perasaan tertekan
(46,0% pra-PKH; 24,7% saat-PKH), dan merasa sedih dan kelabu (45,3% pra-
PKH; 29,3% saat-PKH). Sebagian besar gejala stres yang dialami ibu mengalami
penurunan yang berbeda nyata secara statistik (Lampiran 11).
Meskipun kondisi ekonomi keluarga yang sangat memprihatinkan, tingkat
stres ibu sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam pengaturan keluarga,
masih tergolong dalam stres yang ringan. Hal ini terlihat dari rata-rata skor tingkat
stres yang relatif rendah, yakni 31,16 sebelum mendapat PKH dan menurun
menjadi 25,09 saat mendapat PKH. Penurunan tingkat stres antara pra dan saat
mendapat dana PKH ini secara statistik, adalah nyata (p=0,000). Dengan
demikian, dapat dinyatakan bahwa dana PKH yang diperoleh keluarga cukup
mampu mengurangi stres yang dialami oleh ibu, khususnya yang terkait dengan
keuangan keluarga. Dari hasil wawancara dengan contoh juga terungkap bahwa
ibu merasa lebih tenang dengan adanya dana PKH terutama untuk menutupi
kebutuhan sehari-hari. Hal ini disebabkan penyebab stres utama yang sering
dialami oleh ibu adalah ketidakmampuan keluarga dalam memenuhi tuntutan-
tuntutan dalam kehidupan keluarga. Saat-PKH terjadi penurunan tingkat stres ibu
dari skor 40,80 menjadi 33,06 yang ditunjukkan pula oleh peningkatan
persentase contoh yang termasuk kategori stres rendah (77,3% pra-PKH; 84,7%
saat-PKH). Hasil yang sama ditemukan pada kelompok stres berat, dimana
terjadi peningkatan pada kategori stres ringan (99,3% pra-PKH; 100,0% saat-
PKH). Hasil analisis uji beda untuk kedua kelompok stres (ringan dan berat)
antara pra-PKH dan saat-PKH adalah nyata (masing-masing p=0,000) (Tabel
54).
129
Tabel 54 Sebaran dan statistik tingkat stres ibu pra dan saat PKH
No Kategori Tingkat Stres Ibu Pra-PKH Saat-PKHn % n %
Kategori Stres Total (n=150)1. Tidak Stres (skor=0) 4 2,7 6 4,02. Stres Ringan (skor 1 - 60) 138 92,0 140 93,33. Stres Sedang (skor 60 - 80) 8 5,3 4 2,74. Stres Berat (skor > 80) 0 0,0 0 0,0
Rata-Rata±SD 31,16±17,24 25,09±16,85Kisaran (min-max) 0,00-78,00 0,00-66,00Uji Beda Berpasangan (sig) 0,000**Kategori Stres Ringan (n=150)
1. Tidak Stres (skor=0) 4 2,7 7 4,72. Stres Ringan (skor 1 - 60) 116 77,3 127 84,73. Stres Sedang (skor 60 - 80) 29 19,3 21 14,04. Stres Berat (skor > 80) 5 3,3 2 1,3
Rata-Rata±SD 40,80±21,09 33,06±21,39Kisaran (min-max) 0,00-93,30 0,00-83,30Uji Beda Berpasangan (sig) 0,000**Kategori Stres Berat (n=150)
1. Tidak Stres (skor=0) 22 14,7 30 20,02. Stres Ringan (skor 1 - 60) 149 99,3 150 100,03. Stres Sedang (skor 60 - 80) 1 0,7 0 0,04. Stres Berat (skor > 80) 0 0,0 0 0,0
Rata-Rata±SD 16,70±13,82 13,13±12,01Kisaran (min-max) 0,00-70,00 0,00-50,00Uji Beda Berpasangan (sig) 0,000**
Ket : ** nyata pada p < 0,01
Kesejahteraan Keluarga SubjektifPengukuran kesejahteraan subjektif menangkap perasaan seseorang
atau pengalaman riil secara langsung, kebahagiaan diri dan kepuasan hidup,
serta menggunakan ukuran ordinal (McGillivray & Clarke 2006). Jika dilihat per
item variabel kesejahteraan keluarga subjektif, terdapat beberapa item yang
dirasakan tidak puas oleh lebih dari separuh contoh sebelum mendapat PKH,
namun persentasenya mengalami penurunan saat keluarga mendapat dana
PKH. Item-item tersebut adalah keadaan keuangan keluarga (71,3% pra-PKH;
30,7% saat-PKH), keadaan tempat tinggal keluarga (52,0% pra-PKH; 47,3%
saat-PKH), keadaan materi/aset keluarga (60,7% pra-PKH; 54,7% saat-PKH),
dan perasaan istri terhadap penghasilan suami (57,3% pra-PKH; 50,7% saat-
PKH). Secara statistik terdapat perbedaan yang nyata antara pra dan saat-PKH
untuk semua item tersebut (Lampiran 12).
Di lain pihak, item variabel kesejahteraan keluarga subjektif yang
dinyatakan puas oleh lebih dari tiga perlima contoh pada pra-PKH, namun
130
persentasenya mengalami peningkatan saat keluarga mendapat dana PKH
adalah gaya manajemen (cara pengelolaan) pekerjaan istri (61,3% pra-PKH;
62,0% saat-PKH), hubungan/komunikasi dengan orangtua/mertua (71,3% pra-
PKH; 72,7% saat-PKH), hubungan/komunikasi dengan tetangga (72,0% pra-
PKH; 74,0% saat-PKH) (Lampiran 12).
Kategori kesejahteraan keluarga subjektif yang tergolong puas
mengalami peningkatan dua kali lipat saat PKH. Rata-rata skor kesejahteraan
keluarga subjektif saat keluarga mendapat dana PKH (62,8) lebih tinggi
dibandingkan sebelum keluarga mendapat PKH (58,8). Hasil analisis uji beda t
berpasangan menunjukkan bahwa kesejahteraan keluarga subjektif antara pra
dan saat keluarga mendapat dana PKH adalah nyata (p=0,001). Hal ini
mengindikasikan meningkatnya kepuasan keluarga terhadap kondisi keluarganya
(Tabel 55).
Tabel 55 Sebaran dan statistik kesejahteraan keluarga subjektif pra dan saatPKH
No Kategori KesejahteraanKeluarga Subjektif
Pra-PKH(n=150)
Saat-PKH(n=150)
n % n %1. Tidak Puas (skor < 60) 75 50,0 66 44,02. Cukup Puas (skor 60 - 80) 59 39,3 53 35,33. Puas (skor > 80) 16 10,7 31 20,7
Rata-Rata±SD 58,79±18,75 62,84±19,29Kisaran (min-max) 4,50-97,70 11,40-100,00Uji Beda Berpasangan (sig) 0,000**
Ket : ** nyata pada p < 0,01
Jika kesejahteraan keluarga subjektif dikategorikan menjadi dua, yakni
sejahtera dan tidak sejahtera dengan cut off point kategori sejahtera jika skor
lebih dari 80 dan tidak sejahtera jika skor lebih dari dan sama dengan 80, maka
89,3 persen keluarga termasuk tidak sejahtera sebelum mendapat PKH, yang
kemudian menurun menjadi 79,3 persen saat keluarga mendapat PKH. Jika
dibandingkan dengan hasil kategori miskin berdasarkan penerimaan total
keluarga dengan bench mark garis kemiskinan BPS, dimana persentase
keluarga contoh yang miskin pra-PKH adalah 82,7 persen, sedangkan saat-PKH
sedikit meningkat menjadi 83,3 persen, maka ditemukan perbedaan dengan
ukuran kesejahteraan keluarga subjektif. Perbedaan ini dikarenakan
kesejahteraan keluarga subjektif lebih menunjukkan perasaan kepuasan pribadi
131
atau rasa syukurnya akan kehidupan keluarganya dan materi yang diperolehnya.
Guhardja et al. (1992) menyatakan bahwa ukuran kepuasan ini dapat berbeda-
beda untuk setiap individu atau bersifat subjektif. Puas atau tidaknya seseorang
dapat dihubungkan dengan nilai yang dianut oleh orang tersebut dan tujuan yang
diinginkan. Konsep kesejahteraan adalah sesuatu yang bersifat subjektif dimana
setiap orang mempunyai pedoman, tujuan dan cara hidup yang berbeda-beda
sehingga memberikan nilai-nilai yang berbeda pula tentang faktor-faktor yang
menentukan tingkat kesejahteraan.
Berdasarkan Tabel 56, pada pra-PKH, keluarga contoh yang terkategori
miskin sekaligus tidak sejahtera adalah 74,0 persen, sedangkan pada saat-PKH,
keluarga contoh yang terkategori miskin sekaligus tidak sejahtera adalah 67,3
persen. Data ini sekaligus mengindikasikan sensitivitas kriteria kesejahteraan
keluarga subjektif dengan kriteria kemiskinan dengan bench mark BPS.
Sensitivitas adalah kemampuan suatu tes untuk mengidentifikasikan alat ukur
(misalnya untuk mengetahui kemiskinan) tersebut dengan tepat, dengan hasil tes
positif, dan benar rumahtangga tersebut miskin. Selanjutnya, spesifitas kriteria
kesejahteraan keluarga subjektif dengan kriteria kemiskinan dengan bench mark
BPS pada pra PKH adalah 2,0 sedangkan saat-PH sebesar 4,7. Spesifisitas
adalah kemampuan suatu tes untuk mengidentifikasi alat ukur dengan tepat,
dengan hasil tes negatif, dan benar rumahtangga tersebut tidak miskin. Angka ini
menunjukkan spesifitas.
Tabel 56 Sebaran kategori kesejahteraan keluarga subjektif dan kategori miskinpenerimaan keluarga dengan bench mark garis kemiskinan BPS pradan saat PKH
No Kategori kesejahteraankeluarga subjektif
Kategori Miskin Penerimaan Keluarga denganBench Mark Garis Kemiskinan BPS Sig (p);
nilai rsMiskin Tidak Miskin Total
Pra-PKH1. Tidak Sejahtera 74,0 15,3 89,3 0,495;
0,0562. Sejahtera 8,7 2,0 10,73. Total 82,7 17,3 100,0
Saat-PKH1. Tidak Sejahtera 67,3 12,0 79,3
0,056 ;0,3242. Sejahtera 16,0 4,7 20,7
3. Total 83,3 16,7 100,0
132
Tidak ada hubungan yang nyata antara kategori kesejahteraan keluarga
subjektif dengan kategori kemiskinan penerimaan keluarga dengan bench mark
garis kemiskinan BPS baik untuk pra-PKH maupun saat-PKH. Hal ini sejalan
dengan penelitian Rambe, Hartoyo dan Karsin (2008) yang melaporkan temuan
bahwa kriteria kesejahteraan keluarga subjektif tidak berhubungan nyata
(p>0,05) dengan kriteria BPS. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini dapat
dijustifikasi pula dengan temuan Kusago (2007) dalam Kittiprapas (2009) yang
menyatakan bahwa tidak hanya kebahagiaan dan pendapatan, tetapi juga
kesejahteraan objektif dan kebahagiaan (dilaporkan dengan kesejahteraan
subjektif) adalah tidak berhubungan.
Pengukuran kesejahteraan objektif tidak dapat menggambarkan
kebahagiaan atau kesejahteraan subjektif. Contohnya, masyarakat Jepang
perkotaan dengan kesejahteraan objektif (dalam hal ini Indeks Pengembangan
Manusia/HDI) adalah tinggi, namun tidak tergolong tinggi dalam rangking
kesejahteraan subjektif. Selanjutnya hasil studi Easterlin dan Angelescu (2009)
dalam Kittiprapas (2009) terhadap data dari 37 negara - mengkonfirmasikan tidak
adanya hubungan antara pendapatan dan kebahagiaan di negara maju,
berkembang atau negara transisi, walaupun pada satu titik waktu peningkatan
dalam pendapatan akan mengarah pada peningkatan kebahagiaan, terutama
untuk negara-negara lebih miskin. Secara keseluruhan, kenaikan pertumbuhan
ekonomi negara tidak secara signifikan mempengaruhi kebahagiaan penduduk.
Analisis faktor dengan metode Principal Component Analysis dilakukan
untuk mengetahui dimensi-dimensi kesejahteraan keluarga subjektif. Analisis
faktor adalah salah satu metode statistik multivariat yang mencoba menerangkan
hubungan antar sejumlah variabel-variabel yang saling independen antara satu
dengan yang lain sehingga bisa dibuat satu atau lebih kumpulan variabel yang
lebih sedikit dari jumlah variabel awal. Analisis faktor juga digunakan untuk
mengetahui faktor-faktor dominan dalam menjelaskan suatu masalah. Analisis
faktor yang dilakukan untuk melihat dimensi kesejahteraan keluarga subjektif
menghasilkan tiga dimensi, yakni kepuasan fisik dan non fisik, kepuasan perka-
winan dan kepuasan komunikasi sosial (Lampiran 13).
Hasil skoring untuk ketiga dimensi kesejahteraan keluarga subjektif
ditampilkan pada Tabel 57. Skor dimensi kepuasan fisik dan non fisik serta
kepuasan komunikasi sosial mengalami peningkatan saat keluarga mendapat
dana PKH, sebaliknya skor dimensi kepuasan perkawinan mengalami penurunan
133
saat keluarga mendapat dana PKH. Hasil analisis uji beda mengindikasikan
adanya perbedaan yang nyata antara sebelum dan saat keluarga mendapat
dana PKH untuk dimensi kepuasan fisik dan non fisik (p=0,000) dan dimensi
kepuasan perkawinan (p=0,013). Sementara itu, dimensi kepuasan komunikasi
sosial tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p=0,180) antara sebelum dan
saat keluarga mendapat dana PKH. Temuan ini menunjukkan bahwa peran PKH
adalah kepada peningkatan akses terhadap sumberdaya fisik dan non fisik
keluarga seperti keuangan, makanan maupun aset yang mampu memberikan
kepuasan bagi contoh. Selain itu, diduga kepuasan terhadap perkawinan
mengalami peningkatan dengan berkurangnya tekanan ekonomi keluarga yang
pada akhirnya membuat konflik suami istri juga berkurang.
Tabel 57 Sebaran dan statistik dimensi kesejahteraan keluarga subjektif pra dansaat PKH
NoKategori dimensi kesejahteraan
keluarga subjektifPra-PKH (n=150) Saat-PKH (n=150)
n % n %Kepuasan Fisik dan Non Fisik
1. Tidak Puas (skor < 60) 92 61,3 76 50,72. Cukup Puas (skor 60 - 80) 43 28,7 50 33,33. Puas (skor > 80) 15 10,0 24 16,0
Rata-Rata±SD 50,44±22,49 57,11±22,88Kisaran (min-max) 3,30-100,00 6,70-100,00Uji Beda Berpasangan (sig) 0,000**Kepuasan Perkawinan
1. Tidak Puas (skor < 60) 39 26,0 42 28,02. Cukup Puas (skor 60 - 80) 41 27,3 40 26,73. Puas (skor > 80) 70 46,7 68 45,3
Rata-Rata±SD 71,67±27,47 68,33±31,72Kisaran (min-max) 0,00-100,00 0,00-100,00Uji Beda Berpasangan (sig) 0,013*Kepuasan Komunikasi Sosial
1. Tidak Puas (skor < 60) 32 21,3 32 21,32. Cukup Puas (skor 60 - 80) 15 10,0 12 8,03. Puas (skor > 80) 103 68,7 106 70,7
Rata-Rata±SD 83,33±23,73 84,11±23,04Kisaran (min-max) 0,00-100,00 0,00-100,00Uji Beda Berpasangan (sig) 0,180
Ket : * nyata pada p < 0,05** nyata pada p < 0,01
134
Karakteristik Anak (Sasaran Akhir PKH)Karakteristik Demografi Anak
Usia contoh anak yang menjadi contoh dalam penelitian ini berkisar
antara 9 sampai 15 tahun (Tabel 58), dengan rata-rata anak berusia 11,23 tahun.
Persentase terbesar anak adalah berusia 11 sampai 12 tahun. Proporsi jenis
kelamin anak berimbang antara laki-laki dan perempuan yakni 75 laki-laki dan 75
perempuan. Contoh anak dalam penelitian ini adalah anak ke-1 hingga anak ke-
8, sebanyak 48 persen anak tergolong anak ke-1 dan ke-2. Namun persentase
terbesar adalah anak ke-3 sampai ke-5. Hal ini sejalan dengan persentase
terbanyak besar keluarga yang termasuk dalam kategori keluarga sedang, yang
beranggotakan 5 sampai 7 orang. Jika sebagian besar keluarga contoh adalah
keluarga inti, maka jumlah anak keluarga contoh berkisar antara satu sampai
enam orang.
Tabel 58 Sebaran dan statistik usia dan urutan anak
No Karakteristik Anak Jumlah (n) Persentase (%)Usia Anak (tahun) (n=150)
1. 9-10 36 24,02. 11-12 100 66,73. 13-15 14 9,3
Rata-Rata±SD 11,23±1,10Kisaran (min-max) 9,00-15,00Urutan anak dalam keluarga (n=150)
1. 1 35 23,32. 2 37 24,73. 3-5 55 36,74. 6-8 23 15,4
Rata-Rata±SD 3,11±1,91Kisaran (min-max) 1,00-8,00
Jarak Antara Rumah ke SekolahJarak antara rumah ke sekolah bagi lebih dari setengah (58,7%) contoh
anak adalah dekat (Tabel 59). Sisanya dengan proporsi yang sama, masing-
masing 20,7 persen menyatakan jarak antara rumah kesekolah adalah jauh
(harus naik angkot) dan sedang (tidak harus naik angkot). Jarak yang cukup jauh
antara rumah dan sekolah dapat menjadi alasan anak untuk tidak masuk
sekolah.
135
Tabel 59 Sebaran contoh anak berdasarkan jarak antara rumah ke sekolah
No Jarak Antara Rumahke Sekolah (n=150)
Jumlah (n) Persentase (%)
1. Jauh (harus naik angkot) 31 20,72. Sedang 31 20,73. Dekat 88 58,7
Persoalan jarak membuat banyak anak sekolah yang harus berjalan kaki
untuk sampai ke sekolah. Jarak menjadi masalah bukan saja karena untuk
menempuhnya anak sekolah harus menguras banyak energi dan memakan
waktu, tetapi juga karena dapat mengurangi semangat anak untuk belajar dan
berangkat ke sekolah. Konsentrasi belajar anak juga akan terganggu setelah
menempuh perjalanan panjang, apalagi kalau tidak dibekali makan pagi
sebelumnya. Jarak yang jauh juga menjadi permasalahan yang sering membuat
anak-anak tidak sampai ke sekolah dan akhirnya tidak masuk sekolah, atau
membolos. Kalaupun berupaya masuk, anak takut terkena hukuman guru karena
telah datang terlambat. Pada akhirnya, persoalan jarak ini tidak dapat dipisahkan
dari masalah akses keuangan yang terbatas. Bagi anak-anak sekolah yang tidak
kuat berjalan atau jarak tempuhnya terlalu jauh sehingga memerlukan waktu
yang lama harus disediakan dana untuk biaya transportasi. Dengan demikian,
persoalan keterbatasan ekonomi masyarakat sebenarnya lebih berkaitan dengan
biaya penunjang sekolah dan kebutuhan keluarga sehari-hari. Kedua hal inilah
yang menyebabkan anak seringkali putus sekolah.
Uang Saku AnakUang jajan dari sebagian besar anak berada dalam rentang Rp1 000
hingga kurang dari Rp3 000 per hari, dengan uang jajan terkecil adalah Rp500
dan terbesar Rp5 000. Sementara itu, sebagian besar (88,7%) anak tidak
memerlukan uang transport untuk ke sekolah karena pertimbangan jarak yang
dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Uang saku anak yang merupakan
penjumlahan uang jajan dan uang transport berkisar antara Rp 500 hingga Rp12
000 per hari (Tabel 60), dengan persentase terbesar anak mendapat Rp1 000
hingga kurang dari Rp3 000 per hari. Hasil wawancara mendalam dengan ibu
contoh mengindikasikan bahwa pengadaan uang saku anak sangat diupayakan
oleh orangtua karena seringkali anak tidak mau sekolah karena tidak diberikan
uang saku.
136
Tabel 60 Sebaran uang jajan, uang transport dan uang saku anak (Rp/hari)
No Kategori (Rp/hari)Uang Jajan Uang Transport Uang Saku*
n % n % n %1. 0 0 0,0 133 88,7 0 0,02. < 999 4 2,7 2 1,3 3 2,03. > 1 000 – 1 999 60 40,0 8 5,3 53 35,34. > 2 000 – 2 999 65 43,3 5 3,3 65 43,35. > 3 000 21 14,0 2 1,3 29 19,3
Rata-Rata±SD 1 773,33±822,48 226,67±989,18 2000,00+1301,80Kisaran (min-max) 500,00-5 000,00 0,00-10 000,00 500,00-12 000,00
Ket : * uang saku adalah uang jajan ditambah uang transport
Nilai AnakVariabel nilai anak dikelompokkan menjadi tiga dimensi, yakni nilai
psikologi, sosial dan ekonomi. Nilai anak secara psikologis menggambarkan
posisi/keberadaan anak yang dapat memberikan kebahagiaan, rasa aman,
kepuasan dan memperkuat kasih sayang suami istri. Nilai anak secara sosial
menggambarkan posisi/keberadaan anak yang dapat menimbulkan penghar-
gaan, membawa nama harum, dan meningkatkan status sosial keluarga.
Adapun nilai anak secara ekonomi menggambarkan posisi/keberadaan anak
yang dapat meringankan beban dan memberikan bantuan ekonomi/keuangan.
Sebanyak lima dari enam item nilai anak dari aspek psikologi, ternyata lebih dari
85 persen ibu menyatakan setuju terhadap pernyataan-pernyataan anak
memberikan kepuasan pada orangtua, anak memberikan rasa aman di hari tua,
anak perempuan dapat menggantikan peran ibu di hari tua, anak perempuan
akan lebih memperhatikan orangtua di masa datang dan anak laki-laki akan lebih
memperhatikan orangtua di masa datang.
Pada dimensi nilai anak secara psikologis, pernyataan anak-anak selalu
menyita waktu orangtua disetujui oleh seperempat ibu. Pada dimensi nilai sosial
anak, sebagian besar (86,0%) ibu menyatakan setuju bahwa anak laki-laki
diharapkan mendapat pendidikan yang lebih tinggi daripada anak perempuan,
sedangkan untuk pernyataan setelah menikah anak perempuan menjadi ibu
rumahtangga saja disetujui oleh 66,7 persen ibu. Hal ini menjadi indikasi masih
banyak masyarakat yang menganggap anak perempuan tidak perlu
mendapatkan pendidikan yang tinggi seperti halnya laki-laki. Di lain pihak, nilai
ekonomi anak untuk tiga item pernyataan disetujui oleh lebih dari sepertiga ibu,
yakni anak perempuan tidak berkewajiban memberikan bantuan ekonomi di hari
137
tua (36,7%), anak laki-laki tidak perlu turut membantu dalam mengerjakan
pekerjaan rumahtangga (34,7%), dan adanya anak menyebabkan bertambahnya
beban tanggungan keluarga (46,0%) (Lampiran 14).
Jika dibedakan antara nilai anak laki-laki dan perempuan, analisis uji
beda menunjukkan tidak ada perbedaan pada semua item nilai anak dan total
skor nilai anak, kecuali pada item anak laki-laki akan lebih memperhatikan
orangtua di masa datang (p=0,010) (Lampiran 14). Semua contoh dalam
penelitian ini adalah dari etnis sunda, dimana menurut Daulay (2001: 33) dalam
Hutagalung, Arif dan Suharyo (2009), dalam masyarakat Sunda anak laki-laki
akan menggantikan ayah dan anak perempuan akan menggantikan ibu sehingga
anak laki-laki akan mewarisi tanah dua kali lebih banyak dibandingkan anak
perempuan. Namun demikian, secara umum, persepsi contoh terhadap nilai anak
laki-laki maupun perempuan adalah tidak berbeda. Hasil ini memperkuat studi
Agustiana (2002) yang menyimpulkan tidak terdapat perbedaan persepsi nilai
anak antara anak laki-laki dan perempuan pada keluarga masyarakat Gayo.
Hasil studi Novianti (2004) jika dilihat berdasarkan kelas ekonomi (antara
orangtua juragan dan buruh) juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
konsep nilai anak.
Untuk mengetahui kategori persepsi orangtua, dalam hal ini persepsi ibu
tentang nilai anak, maka skor nilai anak dikelompokkan menjadi tiga, yakni
rendah (skor<60, sedang (skor 60-80) dan tinggi (skor>80). Hasil
pengelompokan menunjukkan bahwa setengah contoh tergolong dalam kategori
sedang (skor 60 – 80), sementara sepertiga lainnya termasuk tinggi (skor > 80).
Hal ini juga tercermin dari nilai skor rata-rata persepsi nilai anak, yakni 73,14
dengan kisaran skor antara 18,2 hingga 100,0 (Tabel 61). Hasil ini sejalan
dengan penelitian Akmal (2004) yang menyatakan bahwa nilai anak di Kota dan
Kabupaten Bogor pada umumnya berada pada kategori sedang.
Tabel 61 Sebaran contoh berdasarkan kategori nilai anak
No Kategori Skor Nilai Anak Jumlah (n) Persentase (%)1. Rendah (skor < 60) 22 14,72. Sedang (skor 60 - 80) 75 50,03. Tinggi (skor > 80) 53 35,3
Rata-Rata±SD 73,14±13,77Kisaran (min-max) 18,20-100,00
138
Pola Asuh Belajar AnakPola asuh belajar adalah praktik pengasuhan berupa jenis dan frekuensi
kegiatan serta curahan waktu yang diberikan orangtua atau anggota keluarga
lain dalam membimbing, mengarahkan, serta mengawasi kegiatan belajar anak.
Komponen pola asuh belajar yang dilihat dalam penelitian ini mencakup cara
orangtua menentukan waktu belajar anak, pengulangan pelajaran, pengerjaan
tugas/PR, evaluasi ulangan di sekolah, fasilitas belajar yang disediakan, dan
pemberian motivasi pada anak.
Fasilitas yang mendukung pendidikan anak di rumah serta dimiliki oleh
sebagian besar anak contoh saat keluarga memperoleh dana PKH adalah buku-
buku pelajaran, sedangkan fasilitas berupa meja belajar bersama,meja belajar
khusus untuk anak, rak buku dan kamar/ruang belajar tidak dimiliki oleh sebagian
besar anak (Tabel 62). Dari sejumlah kecil contoh anak yang memiliki sarana
pendukung pendidikan, persentase terbesar kondisinya adalah cukup memadai.
Padahal menurut Duvall (1971) keluarga dengan anak usia sekolah mempunyai
dua tahapan kritis tugas perkembangan keluarga, yakni membuat keluarga
konstruktif untuk anak usia sekolah dan mendorong pencapaian prestasi anak di
sekolah. Dengan demikian, keluarga contoh dalam penelitian belum memberikan
pengasuhan yang optimal untuk pembelajaran anak.
Tabel 62 Sebaran ketersediaan dan kondisi fasilitas pendidikan anak di rumah
No Fasilitas PendidikanAnak
Ketersediaan(%) (n=150) n
Kondisi Fasilitas (%)Tidak
MemadaiCukup
Memadai Memadai
1. Meja belajar bersama 4,7 7 14,3 85,7 0,02. Meja belajar khusus
untuk anak 2,0 3 0,0 100,0 0,0
3. Kamar/ruang belajar 9,3 14 7,1 78,6 14,34. Kamus 33,3 50 4,0 56,0 40,05. Buku-buku pelajaran 86,0 129 20,2 46,5 33,36. Rak buku 4,7 7 0,0 57,1 42,9
Pola asuh belajar oleh ibu yang tidak pernah dilakukan adalah orangtua
menentukan lama waktu belajar anak di rumah (pra-PKH 52,0%; saat-PKH
52,7%). Sementara itu, dengan persentase di atas 60 persen, pola asuh belajar
yang sering dilakukan adalah orangtua memeriksa hasil ulangan anak, orangtua
menanyakan hasil tes/ulangan anak, jika orangtua mengetahui anak akan ada
ulangan, maka ibu menyuruh dan membantu anak belajar, jika anak
mendapatkan nilai ulangan yang rendah maka orangtua menyuruh anak belajar
139
lebih giat lagi dan jika anak mendapat nilai yang baik,orangtua memberi pujian/
penghargaan/hadiah. Pada semua item pola asuh belajar, tidak ada perbedaan
yang nyata antara pra dan saat-PKH. Namun, berdasarkan hasil wawancara
dengan ibu, dalam sehari biasanya anak belajar di rumah sebelum mendapat
dana PKH adalah 31,11 menit, selanjutnya saat mendapat dana PKH meningkat
menjadi 62,90 menit. Sementara itu, ketika ditanyakan berapa lama dalam sehari
biasanya ibu mendampingi anak belajar diperoleh rata-rata waktu sebelum
mendapat dana PKH adalah 29,35 menit yang kemudian meningkat menjadi
lebih dari dua kali lipat yakni 61,47 menit saat keluarga mendapat dana PKH
(Lampiran 15).
Lebih dari separuh (58,7% pra-PKH; 58,0% saat-PKH) anak contoh
memiliki pola asuh belajar yang tergolong kurang (Tabel 63). Hal ini sejalan pula
dengan rata-rata skor pola asuh belajar yang cenderung sama, yakni 53,14 pra-
PKH dan 52,83 saat-PKH, perbedaan skor antara pra dan saat-PKH ini secara
statistik adalah tidak nyata (p=0,339). Kurangnya sosialisasi terhadap keluarga
penerima PKH mengenai tujuan PKH, syarat-syarat, hak dan kewajiban serta
sangsi apabila peserta tidak memenuhi syarat yang ditetapkan dalam program
tujuan pemberian dana menjadi salah satu faktor kurang adanya kesadaran
orangtua untuk memperbaiki pola belajar anak. Kesan ini muncul karena pada
saat wawancara, sebagian contoh masih menganggap PKH sama saja dengan
BLT sehingga tidak ada upaya memperbaiki pola belajar anak, meskipun prestasi
anak tidak menjadi syarat bagi keluarga penerima dana PKH. Namun di lain
pihak, faktor pendidikan orangtua terutama ibu yang sebagian besar SD juga
menjadi kendala tersendiri dalam membentuk pola belajar anak yang baik.
Tabel 63 Sebaran dan statistik pola asuh belajar anak pra dan saat PKH
No Kategori Pola Asuh Belajar Anak Pra-PKH (n=150) Saat-PKH (n=150)n % n %
1. Kurang (skor < 60) 88 58,7 87 58,02. Sedang (skor 60-80) 56 37,3 57 38,03. Baik (skor > 80) 6 4,0 6 4,0
Rata-Rata±SD 53,14±17,24 52,83±17,51
Kisaran (min-max) 8,30-85,40 8,30-85,40
Uji Beda Berpasangan (sig) 0,339
Hasil penelitian ini menjadi indikasi nyata bahwa parenting style orangtua
tidak optimal dilakukan khususnya yang terkait dengan pembelajaran anak. Hal
140
ini dapat pula diakibatkan orangtua yang tidak menempatkan pendidikan sebagai
prioritas kebutuhan hidup yang utama. Menurut Hastuti (2009) pola asuh belajar
bagi anak usia sekolah yang harus dilakukan orangtua diantaranya adalah : (1)
Mendorong anak karena anak berada pada masa pencarian jati diri atau identitas
dirinya, (2) Melakukan upaya agar anak dapat membentuk kepercayaan diri,
termasuk periode saat anak terbentuk sikap ”industry” yaitu ketekunan dan
kerajinan serta academic achievement; dan (3) Berusaha terbuka dan
mendorong anak untuk menyelesaikan permasalahan di sekolah, termasuk
proses belajar dan hasil belajar yang dicapai anak.
Tingkat Kehadiran Anak di SekolahRata-rata ketidakhadiran anak di sekolah paling tinggi disebabkan karena
alpa (tanpa pemberitahuan), yang meningkat saat-PKH sebesar 2,6 hari. Jumlah
ketidakhadiran karena alpa (tanpa adanya pemberitahuan) ini memiliki rentang
yang sangat besar hingga mencapai 32 kali pra-PKH dan 86 kali saat-PKH
(Tabel 64).
Tabel 64 Statistik absensi dan kehadiran anak di sekolah pra dan saat PKH
No Absensi dan Kehadiran Anak (n=125) Pra-PKH Saat-PKH DeltaSakit (Jumlah hari dalam setahun)
1. Rata-rata±SD 1,1±3,0 1,4±2,4 0,32. Kisaran (min-max) 0-25 0-113. Uji Beda Berpasangan (sig) 0,401
Ijin (Jumlah hari dalam setahun)1. Rata-rata±SD 0,8±1,9 0,9±2,3 0,12. Kisaran (min-max) 0-9 0-153. Uji Beda Berpasangan (sig) 0,586
Alpa (Jumlah hari dalam setahun)1. Rata-rata±SD 3,7±4,7 6,3±10,3 2,62. Kisaran (min-max) 0-32 0-863. Uji Beda Berpasangan (sig) 0,001**
Tingkat Kehadiran (% dalam setahun)1. Rata-rata±SD 97,7±2,5 96,5±4,5 -1,22. Kisaran (min-max) 86,4-100,0 64,0-100,03. Uji Beda Berpasangan (sig) 0,001**Ket : ** nyata pada p < 0,01
Hasil analisis uji beda berpasangan mengindikasikan adanya perbedaan
yang nyata (p=0,001) pada ketidakhadiran karena alpa, sementara
141
ketidakhadiran karena sakit dan ijin tidak berbeda nyata antara pra dan saat
mendapat dana PKH. Tingkat kehadiran anak pra-PKH adalah sebesar 97,7
persen yang menurun menjadi 96,5 persen saat-PKH atau turun 1,2 poin. Tingkat
kehadiran anak dihitung berdasarkan persentase kehadiran anak dikalikan
dengan hari efektif sekolah per tahun yang berlaku dalam kalender pendidikan
nasional yakni 242 hari. Untuk memudahkan, jika peserta PKH yang memiliki
anak usia sekolah (6-15 tahun), anak-anak tersebut harus mendaftar di sekolah
dan harus hadir sekurang-kurangnya 85 persen setiap saat.
Perbedaan tingkat kehadiran antara pra dan saat-PKH secara statistik
adalah nyata (p=0,001). Pada kondisi pra-PKH semua anak justru memiliki
tingkat kehadiran yang telah memenuhi syarat PKH yakni minimal 85 persen,
sedangkan saat-PKH terdapat tiga anak (2,4%) tingkat kehadirannya kurang dari
85 persen. Penurunan kehadiran anak penerima PKH di sekolah menjadi satu
sorotan tersendiri dalam penelitian, karena indikator penilaian untuk
keberlanjutan penerimaan dana PKH adalah kehadiran 85 persen. Temuan
penelitian ini sejalan dengan laporan Son (2008) dimana program CCT di
beberapa negara memiliki dampak yang relatif rendah terhadap tingkat kehadiran
anak, prestasi sekolah atau dalam menarik drop-out sekolah.
Berdasarkan pedoman PKH (UPPKH Pusat 2007) di lembaga pendidikan
yang memiliki peserta PKH, guru hanya mencatat peserta didik yang tidak
memenuhi komitmen kehadiran yang telah ditentukan, yaitu setidaknya 85
persen hari sekolah atau ketentuan tatap muka setiap bulannya. Pengecualian
diberlakukan pada peserta didik yang absen karena sakit paling lama tiga hari
atau terjadinya bencana alam di daerah tersebut. Jika terdapat kasus sakit lebih
dari tiga hari berturut-turut, peserta didik wajib memberi surat keterangan sakit
yang dikeluarkan oleh dokter atau petugas kesehatan yang diakui.
Rendahnya tingkat kehadiran anak penerima PKH ini dikeluhkan juga
oleh pihak sekolah, sehingga paradigma yang muncul adalah untuk apa
diberikan dana PKH padahal anak malas sekolah. Pada pembahasan berikutnya
akan digali penyebab anak sering tidak masuk sekolah. Berdasarkan informasi
dari ibu contoh, berbagai penyebab anak tidak sekolah adalah karena sakit,
malas, tidak ada jajan, ingin membolos, membantu ibu atau karena kesiangan
(Tabel 65).
142
Tabel 65 Sebaran anak berdasarkan frekuensi dan alasan tidak masuk sekolahselama semester berjalan
No Alasan anak tidak masuk sekolahselama semester berjalan (n=98)
Jumlah(n)
Persentase(%)
1. Sakit 85 86,72. Malas 9 9,23. Tidak ada jajan 3 3,14. Ingin bolos 2 2,05. Membantu Ibu 1 1,06. Kesiangan 1 1,0
Alasan untuk tidak masuk sekolah yang paling sering dikemukakan
adalah sakit. Hanya terdapat sebagian kecil siswa saja yang tidak masuk sekolah
karena alasan ekonomi. Masih berkaitan dengan alasan keterbatasan ekonomi,
sebagian orangtua tidak dapat membelikan anaknya baju seragam baru sebagai
pengganti baju seragam yang sudah rusak. Hal ini mengakibatkan anak hanya
bergantung pada satu baju seragam dan pada akhirnya terpaksa bolos karena
pakaian seragamnya sedang kotor atau sudah jelek. Karena keterbatasan
ekonomi juga, orangtua kadang-kadang tidak memberikan uang jajan kepada
anak dan hal ini menyebabkan anak tidak masuk sekolah. Seperti dinyatakan
oleh salah satu contoh:
“Anak saya minta uang jajan [dan] tidak dikasih, jadi dia tidak mausekolah)”
Temuan penelitian ini sebenarnya sejalan dengan hasil kajian Rahayu
(2008) yang melaporkan bahwa masalah akses keuangan berkaitan dengan
biaya penunjang sekolah dan biaya untuk kebutuhan keluarga sehari-hari adalah
yang menjadi penyebab anak malas sekolah atau bahkan putus sekolah. Biaya
penunjang sekolah meliputi biaya-biaya transportasi, pembelian buku, LKS
(Lembar Kerja Siswa), peralatan sekolah, seragam, dan uang jajan. Bahkan,
tidak sedikit anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena harus membantu
orangtuanya untuk mencari uang dengan bekerja. Alasan lainnya adalah ’otak
berat’ yang kemungkinan disebabkan oleh kurangnya asupan nutrisi dan
kurangnya perhatian orangtua. Sebagian besar siswa tidak pernah tidak masuk
sekolah dalam waktu yang panjang. Umumnya, jika anak tidak masuk sekolah,
hal ini karena alasan sakit, tidak membuat PR, membantu orangtua dan
sebagainya.
143
Tidak bisa dipungkiri bahwa anak dari keluarga miskin dipandang sebagai
aset. Beberapa studi yang dilakukan oleh SMERU menunjukkan bahwa anak
sering tidak masuk sekolah atau bahkan drop-out dari sekolah karena harus
membantu orangtuanya bekerja di ladang, beternak atau menangkap ikan atau
bekerja untuk orang lain. Kekurangan sekolah, biaya pendidikan yang tinggi dan
rendahnya motivasi orangtua untuk menyuruh anaknya sekolah karena orangtua
tidak melihat anak akan mudah mendapat kerja setelah lulus adalah beberapa
faktor yang membuat anak tidak sekolah. Selain itu, masih ada masyarakat yang
menikahkan anak perempuannya pada usia yang masih sangat muda (Akhmadi
et al. 2003). Hal ini menjadi tantangan dalam pelaksanaan PKH, apakah
masyarakat dapat diyakinkan bahwa lebih penting bagi anak untuk bersekolah
dibandingkan bekerja atau kawin muda dan bahwa uang yang diberikan oleh
PKH dapat mengganti pendapatan yang diperoleh anak jika bekerja. Untuk itulah,
sebagai salah satu skema perlindungan sosial di Indonesia, harus didukung oleh
program perlindungan sosial lainnya seperti program after school yang dilakukan
di Brazil.
Prestasi Belajar AnakSaat keluarga contoh memperoleh dana PKH, menurut pengakuan
contoh/ibu, hanya setengah contoh anak yang mengalami perubahan menjadi
lebih rajin dalam belajar, sedangkan setengah lagi tidak mengalami perubahan,
tetap sama seperti sebelum mendapat PKH. Namun hasil penelitian juga
mengindikasikan bahwa lebih dari 60 persen contoh anak mengalami
peningkatan prestasi di sekolah saat keluarga mendapat dana PKH (Tabel 66).
Tabel 66 Sebaran contoh berdasarkan perubahan tingkat kerajinan dan prestasianak saat mendapat PKH
No Tingkat Kerajinan dan Prestasi Jumlah (n) Persentase (%)Saat PKH anak lebih rajin belajar (n=150)
1. Ya 75 50,02. Tidak 75 50,0
Prestasi anak di sekolah saat mendapat PKH (n=150)1. Naik 95 63,32. Sama saja dengan sebelum mendapat PKH 51 34,03. Tidak, semakin turun 4 2,7
144
Rata-rata nilai prestasi belajar anak cenderung sama saat keluarga
memperoleh dana PKH dibandingkan pra-PKH (Tabel 67). Rata-rata nilai anak
pra-PKH adalah 6,61, sedangkan saat mendapat dana PKH sebesar 6,62 atau
hanya berbeda 0,01 poin saja. Perbedaan nilai ini didukung pula oleh hasil
analisis statistik yang menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antara
pra dan saat-PKH (p=0,794).
Tabel 67 Statistik prestasi belajar anak pra dan saat PKH
No Prestasi belajar Pra-PKH Saat-PKH Delta
1. Rata-rata±SD 6,61±0,47 6,62±0,49 0,01
2. Kisaran (min-max) 5,48-7,90 5,37-8,12
3. Uji Beda Berpasangan (sig) 0,794
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dana PKH yang diperoleh tidak
secara serta merta membuat anak menjadi baik prestasi belajarnya. Anak yang
berasal dari keluarga miskin cenderung tidak tercukupi kebutuhan gizinya dan
potensi akademiknya juga relatif rendah, sehingga jika sangat tidak rasional
mengharapkan terjadinya perubahan prestasi anak dalam waktu yang relatif
singkat. Duncan dan Magnuson (2001) juga menyatakan bahwa anak-anak dari
keluarga miskin berisiko lebih tinggi memiliki prestasi belajar yang rendah,
namun tidak berarti dengan meningkatkan pendapatan orangtua miskin secara
otomatis akan meningkatkan prestasi belajar anak.
Hasil temuan penelitian ini sejalan pula dengan World Bank (2008) yang
melaporkan bahwa skor dari test matematika dan bahasa yang dilakukan pada
anak SD penerima PKH menunjukkan performa yang sama (tidak ada perbedaan
yang nyata) antara kelompok kontrol (non-penerima PKH) dan perlakuan
(penerima PKH). Demikian pula hasil studi Ponce dan Bedi (2008) yang
melakukan evaluasi dampak program CCT Bono de Desarrollo Humano of
Ecuador terhadap prestasi kognitif anak, ternyata tidak ada dampak program
terhadap skor test, sehingga diharapkan dalam usaha untuk membangun modal
manusia, dengan menggunakan pertimbangan prestasi kognitif, dibutuhkan
intervensi alternatif atau tambahan.
145
Hubungan Antar Variabel-Variabel PenelitianStrategi Koping Fungsi Ekonomi
Hasil analisis korelasi mengindikasikan beberapa variabel yang
berhubungan nyata dengan strategi koping total baik pra-PKH maupun saat-
PKH, yakni besar keluarga, jumlah utang, rasio utang dan aset, tekanan
ekonomi, sebaliknya berhubungan negatif nyata dengan lama pendidikan ibu.
Sementara itu, beberapa variabel yang berhubungan positif nyata dengan
strategi koping total saat-PKH adalah usia ayah, usia ibu, alokasi dana PKH
untuk non-pendidikan, sebaliknya variabel yang berhubungan negatif adalah
pengeluaran pangan, pengeluaran non pangan, penerimaan total keluarga
(Rp/kapita/bulan) (Lampiran 17 dan 18).
Besar keluarga berhubungan positif nyata dengan strategi koping total
baik pra-PKH maupun saat-PKH. Artinya semakin banyak anggota keluarga,
maka upaya mengatasi permasalahan keluarga akan semakin optimal dilakukan.
Jumlah utang dan rasio hutang dan aset juga berhubungan positif nyata dengan
strategi koping total, artinya hutang keluarga yang semakin banyak akan
mendorong keluarga melakukan berbagai upaya untuk keluar dari permasalahan
keluarga baik melalui penghematan maupun menambah pendapatan.
Sebaliknya lama pendidikan ibu berhubungan negatif nyata dengan strategi
koping total. Artinya semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, maka strategi koping
yang dilakukan juga akan semakin sedikit. Hal ini terkait dengan semakin tinggi
pendidikan ibu juga berarti semakin baik pula ekonomi keluarga, sehingga lebih
mapannya keluarga tidak memerlukan upaya penghematan atau mencari
tambahan pendapatan.
Usia ayah dan usia ibu berhubungan positif nyata dengan strategi koping
total saat-PKH yang berarti semakin tua ayah dan ibu, maka semakin banyak
upaya strategi koping dilakukan oleh keluarga. Pengalaman hidup yang lebih
banyak pada orang yang lebih tua akan membuat peluang atau pilihan-pilihan
untuk melakukan koping dalam mengatasi masalah semakin beragam. Semakin
banyak strategi koping yang dilakukan keluarga, maka alokasi dana PKH untuk
non-pendidikan semakin besar, artinya dengan melakukan berbagai upaya
koping akan dapat memperbesar dana untuk non-pendidikan. Sebaliknya
pengeluaran pangan dan non pangan serta penerimaan total keluarga
berhubungan negatif dengan strategi koping total keluarga. Hal ini dapat
dipahami jika melihat bahwa upaya koping yang paling banyak dilakukan oleh
146
contoh adalah penghematan, sehingga hal ini berimplikasi terhadap menurunnya
pengeluaran keluarga. Namun di sisi lain, penerimaan total keluarga
berhubungan negatif dengan strategi koping, hal ini dapat dimaknai terbalik yakni
jika penerimaan keluarga semakin banyak (ekonomi membaik) maka keluarga
akan semakin kurang melakukan koping khususnya penghematan. Hal ini
didukung oleh strategi koping penghematan yang berkorelasi negatif nyata
dengan penerimaan total keluarga.
Relasi GenderHasil analisis korelasi mengindikasikan bahwa sebelum mendapat PKH,
relasi gender berhubungan positif nyata dengan persepsi gender. Sementara itu,
pada saat-PKH hasil korelasi yang diperoleh adalah relasi gender berhubungan
positif nyata dengan penerimaan total keluarga (Rp/kapita/bulan), alokasi dana
PKH untuk pendidikan, dan manfaat PKH. Sebaliknya baik pra maupun saat-PKH
relasi gender berhubungan negatif nyata dengan tekanan ekonomi (Lampiran 17
dan 18).
Persepsi gender berhubungan positif nyata dengan relasi gender, artinya
semakin perspektif persepsi ibu tentang peran suami dan istri dalam
melaksanakan berbagai tugas-tugas baik di dalam maupun di luar keluarga,
maka dalam implementasinya yang diwujudkan dalam bentuk relasi gender akan
semakin responsif pula. Selanjutnya relasi gender berhubungan positif nyata
dengan penerimaan total keluarga, artinya semakin responsif relasi gender
antara suami dan istri, maka penerimaan total keluarga yang dapat berasal dari
pendapatan seluruh anggota keluarga, bantuan dari pemerintah, kerabat atau
pihak-pihak lain semakin besar. Di lain pihak, relasi gender yang semakin
responsif juga akan membuat alokasi dana PKH untuk pendidikan semakin
tinggi. Transparansi ayah dan ibu dalam mengambil keputusan tugas dalam
keluarga, ternyata berdampak baik terhadap semakin besarnya dana PKH yang
dialokasikan untuk pendidikan. Demikian pula dengan manfaat PKH akan lebih
dirasakan semakin tinggi dengan semakin responsifnya relasi gender dalam
keluarga. Sebaliknya relasi gender yang semakin responsif akan dapat
menurunkan tekanan ekonomi yang dirasakan oleh keluarga. Hal ini dapat
dipahami bahwa dengan pengambilan keputusan yang dilakukan secara
bersama-sama antara ayah dan ibu akan dapat meringankan beban ekonomi
yang tidak hanya bertumpu pada satu pihak saja.
147
Tingkat Stres IbuTerdapat dua variabel yang berhubungan positif nyata dengan tingkat
stres ibu baik pra-PKH maupun saat-PKH, yakni rasio utang dan aset, tekanan
ekonomi dan strategi koping total. Sementara itu, khusus untuk pra PKH, variabel
yang berhubungan positif nyata dengan tingkat stres ibu adalah persepsi gender,
dan manajemen keuangan. sedangkan saat-PKH, tingkat stres berhubungan
positif nyata dengan jumlah utang dan berhubungan negatif nyata dengan lama
pendidikan ibu (Lampiran 17 dan 18).
Rasio hutang dan aset yang semakin besar mengindikasikan kemampuan
keluarga membayar hutang dengan menggunakan aset yang dimiliki akan
semakin rendah, sehingga dengan hubungan positif antara kedua variabel dapat
dikatakan bahwa ibu akan semakin stres dengan semakin besarnya hutang yang
harus dikembalikan oleh keluarga. Besarnya hutang juga makin menambah stres
yang dirasakan ibu. Selanjutnya tekanan ekonomi atau kesulitan finansial yang
semakin tinggi dirasakan oleh keluarga akan mengakibatkan stres ibu juga
semakin tinggi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Coyne dan Downey (1991)
bahwa kesulitan secara finansial merupakan salah satu faktor penyebab
timbulnya ketegangan dan stres yang sekaligus memberi pengaruh terbesar
pada tingkat kesejahteraan seseorang. Hal ini sejalan pula dengan pernyataan
McLoyd (1998) dan Wadsworth dan Compas (2002) dalam Wadsworth dan
Berger (2006) bahwa orang yang mengalami tekanan ekonomi akan meningkat
risikonya untuk mengalami masalah sosial dan emosional. Berbagai studi di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
tekanan ekonomi dan gejala depresi (Conger & Elder 1994; Elder et al.1992).
Strategi koping total berhubungan positif dengan tingkat stres ibu, artinya
semakin banyak upaya penghematan maupun upaya mencari pendapatan
tambahan yang dilakukan keluarga akan membuat ibu semakin tertekan. Lama
pendidikan ibu berkorelasi negatif dengan tingkat stres ibu,artinya semakin tinggi
tingkat pendidikan ibu, maka stres yang dirasakan akan semakin rendah. Hal ini
sejalan dengan kenyataan bahwa ibu atau ayah yang berpendidikan lebih tinggi
mempunyai pendapatan yang lebih tinggi pula, sehingga stres yang dirasakan
terutama karena faktor ekonomi juga menjadi rendah. Namun hal yang menarik
adalah hubungan yang positif ditemukan antara manajemen keuangan dengan
tingkat stres, artinya semakin baik ibu melakukan manajemen keuangan, maka
tingkat stres ibu akan semakin tinggi. Hal ini dapat dimungkinkan karena
148
pengaturan terhadap uang yang tidak jelas penerimaannya akan membuat ibu
menjadi stres. Misalnya perencanaan pengeluaran yang sudah ditetapkan di
awal tidak terwujud karena adanya kendala penerimaan keluarga akan membuat
ibu lebih stres, dibandingkan ibu yang memang tidak memiliki perencanaan.
Seringkali pula para ibu malas melakukan pengelolaan keuangan karena
seringkali tidak sesuai dengan yang telah direncanakan.
Kesejahteraan Keluarga SubjektifVariabel yang berhubungan positif nyata dengan kesejahteraan keluarga
subjektif baik pra-PKH maupun saat-PKH adalah relasi gender. Sebaliknya,
kesejahteraan keluarga subjektif baik pra-PKH maupun saat-PKH berhubungan
negatif nyata dengan tekanan ekonomi, tingkat stres, strategi koping total,
strategi koping mengurangi pengeluaran, strategi koping menambah pendapatan.
Sementara itu, jumlah utang hanya pada pra-PKH saja yang berhubungan
negatif nyata dengan kesejahteraan keluarga subjektif, sedangkan yang
berhubungan positif dengan kesejahteraan keluarga subjektif pada saat-PKH
adalah pengeluaran non pangan, pengeluaran total, alokasi dana PKH untuk
pendidikan, sebaliknya berhubungan negatif nyata dengan alokasi dana PKH
untuk non-pendidikan (Lampiran 17 dan 18).
Proses pengambilan keputusan mengenai pembagian peran (relasi
gender) antara ayah dan ibu yang semakin setara, berimplikasi terhadap
semakin tingginya kesejahteraan keluarga subjektif yang dirasakan oleh ibu.
Sebaliknya, semakin tinggi tekanan ekonomi yang dialami oleh keluarga akan
menurunkan kesejahteraan keluarga subjektif. Demikian pula dengan tingkat
stres ibu yang semakin tinggi dan strategi koping total, termasuk koping
menghemat dan menambah pendapatan yang semakin banyak dilakukan
keluarga, akan menurunkan tingkat kesejahteraan keluarga subjektif.
Semakin banyak keluarga melakukan penghematan atau harus mencari
tambahan pendapatan, maka ibu semakin merasa tidak sejahtera. Jumlah utang
yang semakin tinggi juga akan menurunkan kesejahteraan keluarga subjektif
yang dirasakan oleh ibu, artinya ibu menjadi semakin tidak puas terhadap kondisi
keluarganya dengan semakin banyaknya hutang. Sebaliknya pengeluaran non
pangan, pengeluaran total, dan alokasi dana PKH untuk pendidikan yang
semakin tinggi akan meningkatkan kesejahteraan keluarga subjektif. Ketiga
indikator ini adalah indikator ekonomi yang akan berpengaruh pada
149
berkurangnya beban ibu khususnya yang terkait dengan permasalahan finansial,
sehingga semakin tinggi indikator ekonomi, maka semakin sejahtera ibu.
Adanya alokasi dana untuk pendidikan sesuai dengan misi PKH akan
membuat ibu lebih puas dengan penggunaan dana yang diterimanya karena
sejalan dengan skema PKH. Sebaliknya hubungan yang negatif ditemukan pada
alokasi dana PKH untuk non-pendidikan dengan kesejahteraan keluarga
subjektif, hal ini berarti jika dana PKH yang diterima semakin banyak untuk non-
pendidikan, maka ibu semakin tidak puas karena peruntukannya tidak sesuai
dengan misi PKH.
Pada Gambar 8 disajikan hubungan antara penerimaan total keluarga dan
kesejahteraan keluarga subjektif berdasarkan kategori relasi gender. Pada
contoh dengan kategori relasi gender di atas rata-rata terlihat peningkatan yang
lebih nyata dibandingkan dengan contoh dengan kategori relasi gender di bawah
rata-rata. Hal ini bermakna penerimaan yang semakin tinggi dan relasi gender
yang semakin responsif akan dapat meningkatkan kepuasan ibu terhadap
keadaan keluarga.
Gambar 8 Hubungan antara penerimaan total keluarga dan kesejahteraan keluargasubjektif berdasarkan kategori relasi gender
Pola Asuh Belajar AnakHasil analisis korelasi menunjukkan bahwa baik pada pra-PKH maupun
saat-PKH, pola asuh belajar anak berhubungan positif nyata dengan lama
Penerimaan Total Keluarga (Rp/Kapita)4000003000002000001000000
Kes
ejah
tera
an K
elua
rga
Subj
ektif
100
80
60
40
20
0
Fit line for TotalDi Atas Rata-RataDi bawah Rata-RataDi Atas Rata-RataDi bawah Rata-Rata
Kategori Relasi Gender
R Sq Linear = 0.007 R Sq Linear = 0.027
R Sq Linear = 0.02
150
pendidikan ibu, relasi gender, manajemen keuangan, kesejahteraan keluarga
subjektif, sebaliknya berhubungan negatif nyata dengan usia ibu dan tekanan
ekonomi. Sementara itu, variabel yang berhubungan positif nyata dengan pola
asuh belajar anak hanya pada pra-PKH adalah persepsi gender, sedangkan
pada saat-PKH adalah pengeluaran non pangan, penerimaan total keluarga
(Rp/kapita/bulan), alokasi dana PKH untuk pendidikan, sebaliknya berhubungan
negatif nyata saat PKH adalah alokasi dana PKH untuk non-pendidikan, strategi
koping, dan koping mengurangi pengeluaran (Lampiran 19 dan 20).
Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, maka pola asuh belajar yang
diterapkan dalam keluarga juga akan semakin baik. Ibu yang berpendidikan akan
mampu mengajar anak di rumah. Pendidikan formal orangtua dapat
mempengaruhi kesejahteraan anak dengan membentuk interaksi orangtua-anak.
Jika dibandingkan dengan orangtua yang berpendidikan rendah, orangtua yang
berpendidikan formal lebih tinggi cenderung memberikan stimulasi lingkungan
pembelajaran di rumah secara kognitif dan mempunyai gaya pengajaran yang
lebih verbal dan mendukung. Perbedaan tersebut dianggap sangat penting
dalam menerangkan mengapa anak dengan orangtua yang kurang
berpendidikan menunjukkan kinerja kurang baik terhadap perkembangan kognitif
anak dibandingkan orangtua yang lebih berpendidikan lebih tinggi (Harris, Terrel
& Allen 1999 dalam Resendez et al. 2000).
Semakin responsif relasi gender antara ayah dan ibu, maka pola asuh
belajar akan juga akan semakin baik. Semakin baik manajemen keuangan
keluarga, maka akan berimplikasi terhadap semakin baiknya pola asuh belajar
anak. Selanjutnya semakin tinggi kesejahteraan keluarga subjektif akan
berdampak terhadap semakin baiknya pola asuh belajar anak. Hal ini disebabkan
ibu yang bahagia atau puas terhadap keluarga akan lebih baik dalam
menjalankan praktek pengasuhan anak khususnya membantu anak belajar.
Usia ibu yang semakin tua berkorelasi negatif dengan pola asuh belajar
anak. Hal ini dapat dimengerti karena data penelitian ini menunjukkan bahwa ibu
yang semakin tua memiliki tingkat pendidikan yang semakin rendah sehingga ibu
tidak dapat membantu anak dalam proses belajar di rumah. Hal yang sama
ditemukan pula pada hubungan negatif antara pola asuh belajar dengan tekanan
ekonomi, artinya semakin tinggi tekanan ekonomi yang dihadapi oleh keluarga
maka pola asuh belajar yang diterapkan orangtua juga akan semakin kurang
baik. Orangtua akan lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari
151
dibandingkan meluangkan waktunya untuk membantu anak belajar. Tekanan
ekonomi juga mengurangi gairah orangtua untuk mendampingi anak belajar
karena fokus perhatian lebih pada pemenuhan kebutuhan keuangan sehingga
mengabaikan aktivitas lain yang diinginkan. Hal ini tergambar pada hasil indepth
interview dengan salah seorang contoh yang jarang menemani anaknya belajar
karena biasanya sibuk bekerja dan baru pulang sore hari. Sementara itu, pola
asuh belajar anak berhubungan positif nyata pada pra-PKH dengan persepsi
gender, artinya semakin perspektif persepsi ibu tentang peran gender maka ibu
akan lebih baik melakukan pengasuhan belajar anak. Sejalan dengan persepsi
gender, pada saat-PKH, pola asuh belajar anak juga berhubungan positif nyata
dengan pengeluaran non pangan, penerimaan total keluarga, alokasi dana PKH
untuk pendidikan. Data ini menunjukkan bahwa indikator-indikator kesejahteraan
objektif yang dapat dicerminkan oleh pengeluaran maupun penerimaan total
keluarga yang semakin meningkat.
Alokasi dana PKH untuk pendidikan yang semakin besar berhubungan
positif nyata dengan pola asuh belajar mengindikasikan bahwa semakin
tercukupinya perlengkapan sekolah seperti buku-buku, seragam maupun
peralatan tulis membuat pengasuhan belajar anak semakin baik. Sebaliknya,
saat PKH, pola asuh belajar anak berhubungan negatif nyata dengan alokasi
dana PKH untuk non-pendidikan, strategi koping, dan koping mengurangi
pengeluaran. Artinya semakin banyak dana PKH yang digunakan untuk
pengeluaran non-pendidikan akan berimplikasi pada semakin kurangnya pola
asuh belajar yang diterapkan orangtua. Hal ini dimungkinkan semakin kurang
tercukupinya fasilitas yang mendukung pendidikan anak. Upaya strategi koping
yang semakin banyak dilakukan keluarga akan menurunkan pola asuh belajar
anak, hal ini dimungkinkan oleh waktu yang digunakan oleh orangtua untuk
mencari tambahan pendapatan akan mengurangi waktu orangtua untuk
membantu belajar anak. Demikian pula dengan strategi mengurangi pengeluaran
keluarga, akan memaksa orangtua melakukan penghematan sehingga
berkorelasi nyata dengan semakin kurangnya pola asuh belajar orangtua.
Tingkat Kehadiran AnakHasil analisis korelasi menunjukkan variabel yang berhubungan negatif
nyata dengan tingkat kehadiran anak di sekolah pra-PKH adalah usia ayah dan
usia ibu. Sementara itu, saat-PKH hasil korelasi yang diperoleh adalah tingkat
kehadiran berhubungan positif nyata dengan jenis kelamin anak, sebaliknya
152
berhubungan negatif nyata dengan pengeluaran total, tingkat stres, dan pola
asuh belajar anak (Lampiran 19 dan 20).
Usia ayah dan ibu yang semakin tua berhubungan dengan semakin
rendahnya tingkat kehadiran anak. Hal ini juga diperkuat dengan hasil korelasi
negatif yang nyata antara usia dengan tingkat pendidikan ayah dan ibu, artinya
usia ayah dan ibu yang semakin tua juga mengindikasikan tingkat pendidikan
yang semakin rendah. Selanjutnya data penelitian juga menunjukkan usia ayah
dan ibu yang semakin tua berkorelasi negatif dengan pendapatan yang semakin
rendah. Rendahnya tingkat kehadiran anak di sekolah dimungkinkan oleh
kurangnya perhatian ayah dan ibu terhadap pentingnya anak harus sekolah atau
anak yang harus membantu orangtuanya.
Tingkat kehadiran anak berhubungan positif dengan jenis kelamin,
maknanya anak perempuan mempunyai tingkat kehadiran yang lebih tinggi
dibandingkan anak laki-laki. Hal ini dimungkinkan karena anak laki-laki
mempunyai kecenderungan lebih besar karena lebih berani untuk bolos
dibandingkan anak perempuan.
Hasil analisis korelasi juga mengindikasikan bahwa semakin tinggi
pengeluaran total, maka tingkat kehadiran akan semakin rendah. Hal ini
dimungkinkan karena pengeluaran keluarga sangat kecil proporsinya untuk
pendidikan anak misalnya untuk uang saku anak sehingga kemungkinan anak
menjadi sering tidak masuk sekolah. Tingkat stres ibu yang semakin rendah akan
meningkatkan tingkat kehadiran anak, hal ini dapat dipahami karena ibu yang
tidak atau rendah tingkat stresnya akan lebih dapat memotivasi anak untuk
masuk sekolah. Di lain pihak, pola asuh belajar anak yang semakin baik justru
berhubungan nyata dengan semakin rendahnya tingkat kehadiran anak. Hal ini
dimungkinkan karena pola asuh belajar disini adalah pengasuhan yang dilakukan
oleh orangtua di rumah. Meskipun pengasuhan belajar anak di rumah sudah
baik, namun banyak faktor internal maupun eksternal seperti lingkungan
pembelajaran di sekolah yang juga berhubungan dengan tingkat kehadiran anak
di sekolah.
Prestasi BelajarSeperti terlihat pada Tabel 68, hasil analisis korelasi Pearson
menunjukkan bahwa ketidakhadiran anak di sekolah menentukan capaian
prestasi belajarnya. Hasil analisis ternyata menunjukkan bahwa yang
berhubungan secara nyata dengan nilai rata-rata atau prestasi belajar anak
153
adalah ketidakhadiran tanpa alasan (alpa), baik pra maupun saat-PKH. Arah
korelasi kedua variabel ini adalah negatif, maknanya semakin sering anak absen
atau bolos bukan karena alasan yang dapat diterima, maka prestasi anak juga
akan semakin rendah. Sebaliknya semakin tinggi tingkat kehadiran anak di
sekolah, maka prestasi belajar anak juga akan semakin baik. Artinya faktor
penentu prestasi anak sebenarnya lebih kepada kehadiran anak di sekolah.
Hasil ini sejalan dengan temuan Asmin (2000) yang menyatakan kehadiran
contoh di sekolah berkorelasi positif (p<0,01) dengan prestasi belajar.
Tabel 68 Hubungan antara absensi dengan prestasi belajar pra dan saat PKH
No. Absensi IndikatorNilai Rata-Rata
Pra-PKH (n=125) Saat-PKH (n=125)
1. Jumlah Sakit Pra-PKH -0,021Saat-PKH -0,088
2. Jumlah Ijin Pra-PKH -0,125Saat-PKH 0,062
3. Jumlah alpa Pra-PKH -0, 476**Saat-PKH -0,366**
4. Tingkat Kehadiran Pra-PKH 0,465**Saat-PKH 0,338**
Ket : ** nyata pada p< 0,01
Penyebab yang diutarakan oleh ibu yang anaknya seringkali absen
adalah karena rumah yang jauh atau anak tidak mendapat uang jajan. Anak yang
tidak hadir di sekolah akan ketinggalan pelajaran dibandingkan teman-temannya.
Jarang terjadi anak yang pintar sering absen, justru sebaliknya anak yang tidak
pintar justru adalah anak yang sering absen.
Pada Gambar 9 terlihat bahwa semakin meningkat persentase
pengeluaran untuk pendidikan anak akan meningkatkan prestasi belajar anak.
Jika dilihat berdasarkan kategori pola asuh belajar, anak yang pola asuh
belajarnya di atas rata-rata, maka pengeluaran pendidikannya juga akan semakin
tinggi, sebaliknya ada kecenderungan pola asuh balajar anak di bawah rata-rata
maka pengeluaran untuk pendidikannya juga lebih rendah. Semakin tinggi
pengeluaran untuk pendidikan anak dan pola asuh yang semakin baik akan
meningkatkan prestasi belajar anak, meskipun dengan slope yang relatif tidak
miring.
154
Gambar 9 Hubungan antara pengeluaran pendidikan untuk anak dan prestasi belajarberdasarkan kategori pola asuh belajar
Faktor-Faktor yang MempengaruhiKesejahteraan Keluarga Subjektif
Kesejahteraan secara subjektif menggambarkan evaluasi individu
terhadap kehidupannya, yang mencakup kebahagiaan, kondisi emosi yang
gembira, kepuasan hidup dan relatif tidak adanya semangat dan emosi yang
tidak menyenangkan. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini untuk
mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap kesejahteraan
keluarga subjektif adalah Structural Equation Modelling.
Analisis Structural Equation Modelling (SEM) terdiri dari variabel laten
karakteristik keluarga dengan indikator pendidikan ayah dan pendidikan ibu,
variabel laten ekonomi keluarga dengan indikator penerimaan total keluarga dan
tekanan ekonomi, variabel relasi gender, strategi koping, dan tingkat stres yang
dilihat pengaruhnya terhadap kesejahteraan keluarga subjektif. Hasil analisis
yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai Chi-Square, GFI (Goodness of Fit
Index), dan RMSEA berturut-turut adalah 121,14 (p= 0,00); 0,86; dan 0,19, maka
dikatakan cocok atau fit dengan data yang dikumpulkan.
Kondisi ekonomi keluarga yang semakin baik akan berpengaruh secara
langsung terhadap semakin responsifnya relasi gender dalam keluarga.
Sebaliknya ekonomi keluarga yang semakin kurang, akan berpengaruh secara
langsung terhadap semakin banyaknya upaya strategi koping yang dilakukan
% Pengeluaran Pendidikan Anak403020100
Pres
tasi
Bel
ajar
(nila
i)
8
7
6
5
Fit line for TotalDi Atas Rata-RataDi bawah Rata-RataDi Atas Rata-RataDi bawah Rata-Rata
Kategori Pola AsuhBelajar
R Sq Linear = 2.49E-4R Sq Linear = 0.002
R Sq Linear = 2.64E-4
155
keluarga untuk keluar dari permasalahan finansial. Semakin banyak strategi
koping keluarga, akan berpengaruh secara langsung terhadap tingkat stres ibu.
Hal ini dimungkinkan karena upaya koping yang dilakukan keluarga lebih banyak
dalam bentuk penghematan, sehingga pengetatan ikat pinggang ini justru
membuat ibu menjadi lebih stres (Tabel 69 dan Gambar 10).
Tabel 69 Dekomposisi efek faktor-faktor yang berpengaruh terhadapkesejahteraan keluarga subjektif (n= 150).
No Variabel Laten TotalTE DE IE
1. Relasi Gender (3) R2=0,05Karakteristik Keluarga (1) -0,11 -0,11 0,00Ekonomi Keluarga (2) 0,26* 0,26* 0,00
2. Strategi Koping (4) R2=0,07Karakteristik Keluarga (1) -0,05 -0,05 0,00Ekonomi Keluarga (2) -0,21* -0,21* 0,00Relasi Gender (3) -0,02 -0,02 0,00
3. Tingkat Stres Ibu (5) R2= 0,22Karakteristik Keluarga (1) -0,03 0,00 -0,03Ekonomi Keluarga (2) -0,08 0,00 -0,08Relasi Gender (3) 0,05 0,05 0,00Strategi Koping (4) 0,47* 0,47* 0,00
4. Kesejahteraan KeluargaSubjektif (6) R2= 0,23Karakteristik Keluarga (1) -0,01 0,00 -0,01Ekonomi Keluarga (2) 0,12* 0,00 0,12*Relasi Gender (3) 0,23* 0,25* -0,02Strategi Koping (4) -0,30* -0,14 -0,16*Tingkat Stres (5) -0,32* -0,32* 0,00
Ket : TE = Efek Total; DE= Efek Langsung ; IE= Efek Tidak Langsung; * = p< 0,05
Hasil yang diperoleh mengindikasikan relasi gender dan tingkat stres ibu
memberikan pengaruh yang langsung terhadap kesejahteraan keluarga subjektif,
sedangkan ekonomi keluarga dan strategi koping memberikan pengaruh tidak
langsung. Semakin responsif relasi gender antara ayah dan ibu dalam
transparansi pengambilan keputusan tugas keluarga dan semakin rendah tingkat
stres ibu akan berpengaruh pada meningkatnya kesejahteraan keluarga subjektif.
Selanjutnya ekonomi keluarga yang semakin baik dan strategi koping untuk
mengatasi masalah ekonomi semakin sedikit dilakukan oleh keluarga akan
berdampak pada semakin tingginya kesejahteraan keluarga subjektif. Sebaliknya
156
variabel laten karakteristik keluarga dengan indikator pendidikan ayah dan ibu
tidak memberikan pengaruh secara nyata terhadap kesejahteraan keluarga
subjektif, karena tingkat pendidikan contoh relatif rendah dan cenderung
homogen (tidak ada variasi) (Tabel 69 dan Gambar 10).
Relasi gender secara langsung memberikan pengaruh terhadap
kesejahteraan keluarga subjektif, dimana semakin baik relasi gender, maka ibu
akan merasakan semakin sejahtera atau puas terhadap kehidupan keluarganya.
Adanya program PKH yang penerimanya harus ibu atau wanita dewasa dapat
menciptakan relasi gender yang seimbang antara ayah dan ibu. Hal ini sejalan
dengan pernyataan Klein dan White (1996) dalam Puspitawati dan Fahmi (2008)
bahwa pembagian peran gender dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan
keluarga dalam menjalankan fungsi keluarga menuju terwujudnya tujuan
keluarga. Suami dan istri bersepakat dalam membagi peran dan tugas sehari-
hari, bertanggung jawab terhadap peran dan tugasnya masing-masing, dan
saling menjaga komitmen bersama. Hal ini sesuai dengan pendekatan teori
struktural-fungsional yang menekankan keseimbangan sistem yang stabil dalam
keluarga dan kestabilan sistem sosial dalam masyarakat. Levy dalam Megawangi
(1999) juga menguatkan bahwa harmoni dalam pembagian dan penyeleng-
garaan fungsi-peran, alokasi solidaritas, komitmen terhadap hak, kewajiban, dan
nilai-nilai bersama adalah kondisi utama berfungsinya keluarga. Berfungsinya
keluarga akan memberikan kepuasan bagi anggotanya. Menurut Megawangi
(1999) pembagian kerja antara sesama anggota keluarga (laki-laki dan
perempuan) dalam keluarga inti menunjukkan adanya ”differensiasi peran
gender” yang merupakan suatu prasyarat struktural untuk kelangsungan keluarga
inti. Eshleman (1991), Gelles (1995) dan Newman dan Grauerholz (2002) dalam
Puspitawati dan Fahmi (2008) juga menyatakan bahwa pendekatan teori
struktural fungsional dapat digunakan dalam menganalisis pembagian peran
keluarga agar dapat berfungsi dengan baik untuk menjaga keutuhan keluarga
dan masyarakat. Artinya semakin ada kerjasama atau kompromi antara suami
dan istri dalam pembagian tugas keluarga dan semakin sejahtera suatu keluarga
secara ekonomi, maka kepuasan seorang ibu terhadap kesejahteraan keluarga
secara subjektif akan semakin meningkat. Rice dan Tucker (1976) memaparkan
bahwa umumnya pasangan yang menganut prinsip kesetaraan dalam pola
pengambilan keputusannya lebih bahagia dengan kehidupan perkawinannya.
157
Tingkat stres ibu memberikan pengaruh negatif yang langsung terhadap
kesejahteraan keluarga subjektif, artinya semakin turun stres ibu maka ibu akan
merasa semakin sejahtera. Hal ini sejalan dengan temuan Dewi (2003) bahwa
kesulitan ekonomi akan menimbulkan ketegangan dan stres yang selanjutnya
berpengaruh pada tingkat kesejahteraan seseorang. Coyne dan Downey (1991),
juga mengatakan bahwa kesulitan secara finansial merupakan salah satu faktor
penyebab timbulnya ketegangan dan stres yang sekaligus memberi pengaruh
terbesar pada tingkat kesejahteraan seseorang. Studi Puspitawati, Herawati dan
Sarma (2006) menunjukkan bahwa dengan adanya dana SLT akan membuat
stres keluarga terkurangi dan perempuan merasa beban beratnya berkurang.
Keadaan ekonomi keluarga berpengaruh secara tidak langsung melalui
meningkatnya relasinya gender, yang kemudian berpengaruh terhadap
peningkatan kesejahteraan keluarga subjektif. Hal ini dapat dipahami karena
dengan semakin membaiknya ekonomi keluarga dengan indikator penerimaan
dan pengeluaran keluarga, ibu akan semakin merasa tenang dengan teratasinya
permasalahan finansial untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari keluarga.
Temuan ini sejalan dengan laporan Puspitawati dan Fahmi (2008) yang
menyatakan bahwa keluarga dengan tingkat sosial ekonomi dan demografi yang
semakin tinggi akan berpengaruh terhadap tingkat relasi gender yang berkaitan
dengan diferensiasi peran. Guhardja et al. (1992) juga mendukung bahwa tingkat
sosial ekonomi keluarga yang semakin tinggi memerlukan manajemen
sumberdaya keluarga yang semakin kompleks yang sekaligus menuntut adanya
pembagian peran dalam keluarga yang semakin baik. Pembagian peran antara
ayah dan ibu yang semakin setara akan membuat ibu lebih merasa puas
terhadap kehidupannya.
Strategi koping memberikan pengaruh tidak langsung melalui
peningkatan tingkat stres ibu, untuk selanjutnya tingkat stres akan berpengaruh
terhadap menurunnya kesejahteraan keluarga subjektif. Hal ini dapat dipahami
sesuai dengan pernyataan Mistry et al. (2008) bahwa perbedaan yang bermakna
dalam pengalaman tekanan ekonomi dari ketidakmampuan untuk memenuhi
kebutuhan dasar dan pengeluaran tambahan akan berimplikasi pada
kesejahteraan psikologi ibu.
158
O U T P U T 2P R O S E SI N P U T O U T P U T 1
Gambar 10 Hasil analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga subjektif
158
158
O U T P U T 2P R O S E SI N P U T O U T P U T 1
Gambar 10 Hasil analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga subjektif
158
158
O U T P U T 2P R O S E SI N P U T O U T P U T 1
Gambar 10 Hasil analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga subjektif
158
159
Faktor-Faktor yang MempengaruhiOutput Pendidikan Anak
Analisis Structural Equation Modelling (SEM) terdiri dari variabel nilai
anak, pengeluaran pendidikan anak, pola asuh belajar, dan tingkat kepuasan
terhadap anak yang dilihat pengaruhnya terhadap output pendidikan anak yang
merupakan variabel laten dengan indikator tingkat kehadiran anak di sekolah dan
prestasi belajar anak. Hasil analisis yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai Chi-
Square, GFI (Goodness of Fit Index), serta RMSEA berturut-turut adalah 5,64
(p=0,48), 0,86, dan 0,00, maka dikatakan cocok atau fit dengan data yang
dikumpulkan (Tabel 70 dan Gambar 11).
Pola asuh belajar yang semakin baik dipengaruhi secara langsung dan
positif oleh semakin besarnya pengeluaran pendidikan untuk anak. Pola asuh
belajar mencakup penyediaan perlengkapan untuk belajar di rumah, sehingga
ketersediaan fasilitas belajar akan mendukung pada terciptanya pola
pembelajaran yang optimal dari orangtua. Tingkat kepuasan terhadap anak yang
semakin tinggi dipengaruhi secara langsung dan positif oleh semakin besarnya
pengeluaran pendidikan untuk anak dan pola asuh belajar anak. Sementara itu,
output pendidikan anak yang mencakup dua indikator, yakni tingkat kehadiran
dan prestasi belajar anak tidak dipengaruhi oleh satupun variabel independen.
Output pendidikan anak dari keluarga penerima PKH dalam penelitian ini adalah
cenderung sama atau homogen, sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya
dana PKH belum dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
peningkatan kualitas pendidikan anak.
Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan Hartoyo dan Hastuti (2004)
yang menunjukkan bahwa nilai rapor anak tidak ditentukan oleh kualitas
lingkungan asuh anak. Kemungkinan banyak variabel lain yang menentukan
prestasi belajar anak tetapi tidak diteliti dalam penelitian ini, misalnya faktor
motivasi belajar anak, kuantitas waktu belajar anak, suasana di dalam kelas dan
faktor guru di sekolah. Banyak faktor yang berhubungan dengan prestasi belajar,
terutama faktor genetik, motif, dan suasana belajar di rumah. Studi Andriani
(2003) mendukung pula hasil penelitian ini yang melaporkan bahwa pola belajar
tidak memiliki hubungan yang nyata dengan prestasi belajar.
160
Tabel 70 Dekomposisi efek faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prestasibelajar anak (n= 125)
No Variabel Laten TOTALTE DE IE
1. Pola Asuh Belajar Anak (3)R2=0,05Nilai Anak (1) -0,02 -0,02 0,00Pengeluaran untuk Pendidikan Anak (2) 0,21* 0,21* 0,00
2. Tingkat Kepuasan Terhadap Anak (4)R2=0,07Nilai Anak (1) -0,03 -0,03 0,00Pengeluaran untuk Pendidikan Anak (2) 0,20* 0,16* 0,04Pola Asuh Belajar Anak (3) 0,18* 0,18* 0,00
3. Output Pendidikan Anak (5)R2= 0,04Nilai Anak (1) 0,00 0,00 0,00Pengeluaran untuk Pendidikan Anak (2) -0,05 0,00 -0,05Pola Asuh Belajar Anak (3) -0,11 -0,08 -0,03Tingkat Kepuasan terhadap Anak (4) -0,10 -0,10 0,00
Ket : TE = Efek Total; DE= Efek Langsung ; IE= Efek Tidak Langsung; * = p< 0,05
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Wandini (2008) yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif antara
gaya pengasuhan orangtua dengan prestasi belajar dan antara fasilitas belajar
dengan prestasi belajar. Faktor yang paling berpengaruh terhadap prestasi
belajar adalah potensi akademik.
Jika dikaitkan dengan program PKH, pendapat yang dikemukakan oleh
Hastuti (2009) akan sejalan dengan penelitian ini, untuk memperoleh seluruh
kompetensi tersebut pada seorang anak memang bukan pekerjaan mudah, tetapi
memerlukan waktu, proses, dinamika dan tantangan yang cukup beragam, dan
dengan berbagai kendala yang harus dihadapi tergantung karakteristik anak, dan
orangtua itu sendiri. Orangtua dengan sumberdaya yang memadai, dengan
lingkungan subsistem keluarga yang mendukung, serta dengan karakteristik
dasar anak yang baik, maka peluang untuk seorang anak mencapai kompetensi
di atas menjadi relatif tinggi. Sebaliknya pada orangtua dengan sumberdaya
terbatas, dengan dukungan lingkungan tidak memadai, serta karakteristik anak
yang sulit, maka peluang untuk menumbuhkan kompetensi pada anak menjadi
rendah.
161
Gambar 11 Hasil analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap output pendidikan anak
INPUT PROSES
Y6
OUTPUT
Y5
Pengeluaran untukPendidikan Anak
2
Nilai Anak1
Pola AsuhBelajar Anak
3
Tingkat Kepuasanterhadap Anak
4
Y1
Y4Y2
Y1 = Nilai Anak (skor)Y2 = Pengeluaran untuk Pendidikan Anak (Rp/kapita)Y3 = Pola Asuh Belajar (skor)Y4 = Tingkat Kepuasan terhadap Anak (skor)Y5 = Tingkat kehadiran Anak di Sekolah (%)Y6 = Prestasi Belajar Anak (nilai)
1.00
1,00
1,00 ,34*
-,08
-,10
,21*
,16*
-,12
-,02
,03
,18*
X2 = 5,64p = 0,48GFI = 0,99CFI = 1,00RMSEA = 0,00df = 6n = 125
Output PendidikanAnak5
161
161
Gambar 11 Hasil analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap output pendidikan anak
INPUT PROSES
Y6
OUTPUT
Y5
Pengeluaran untukPendidikan Anak
2
Nilai Anak1
Pola AsuhBelajar Anak
3
Tingkat Kepuasanterhadap Anak
4
Y1
Y4Y2
Y1 = Nilai Anak (skor)Y2 = Pengeluaran untuk Pendidikan Anak (Rp/kapita)Y3 = Pola Asuh Belajar (skor)Y4 = Tingkat Kepuasan terhadap Anak (skor)Y5 = Tingkat kehadiran Anak di Sekolah (%)Y6 = Prestasi Belajar Anak (nilai)
1.00
1,00
1,00 ,34*
-,08
-,10
,21*
,16*
-,12
-,02
,03
,18*
X2 = 5,64p = 0,48GFI = 0,99CFI = 1,00RMSEA = 0,00df = 6n = 125
Output PendidikanAnak5
161
161
Gambar 11 Hasil analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap output pendidikan anak
INPUT PROSES
Y6
OUTPUT
Y5
Pengeluaran untukPendidikan Anak
2
Nilai Anak1
Pola AsuhBelajar Anak
3
Tingkat Kepuasanterhadap Anak
4
Y1
Y4Y2
Y1 = Nilai Anak (skor)Y2 = Pengeluaran untuk Pendidikan Anak (Rp/kapita)Y3 = Pola Asuh Belajar (skor)Y4 = Tingkat Kepuasan terhadap Anak (skor)Y5 = Tingkat kehadiran Anak di Sekolah (%)Y6 = Prestasi Belajar Anak (nilai)
1.00
1,00
1,00 ,34*
-,08
-,10
,21*
,16*
-,12
-,02
,03
,18*
X2 = 5,64p = 0,48GFI = 0,99CFI = 1,00RMSEA = 0,00df = 6n = 125
Output PendidikanAnak5
161
162
PEMBAHASAN UMUM
Penelitian ini dilandasi oleh pendekatan teori struktural-fungsional dalam
menjalankan strategi koping dan relasi gender untuk mencapai kesejahteraan
keluarga dan meningkatkan prestasi belajar anak. Selanjutnya aspek penting
program PKH adalah perempuan dalam hal ini ibu sebagai penerima dana PKH
yang akan berperan penting upaya mengurangi kemiskinan dan meningkatkan
kualitas sumberdaya manusia.
Hasil studi menjawab Hipotesis 1, yakni terjadi peningkatan yang nyata
pada penerimaan total keluarga, dan kesejahteraan subjektif saat keluarga
menerima dana PKH. Sebaliknya penurunan yang nyata ditemukan pada
tekanan ekonomi, strategi koping, relasi gender, dan tingkat stres ibu pada saat
keluarga mendapat PKH. Namun manajemen keuangan yang dilakukan oleh
keluarga tidak berbeda saat keluarga mendapat dana PKH.
Manfaat PKH untuk jangka pendek memberikan income effect kepada
rumahtangga miskin telah dapat terwujud dengan meningkatnya penerimaan
keluarga dibandingkan sebelum keluarga mendapat PKH. Peningkatan
penerimaan keluarga berimplikasi pada menurunnya tekanan ekonomi dan stres
ibu, dan pada akhirnya ibu akan merasakan lebih sejahtera atau puas terhadap
kehidupannya. Untuk itu, program ini dapat disebut sebagai sebuah program
kesejahteraan yang berbasis insentif (incentive-based welfare program). Program
PKH dirasakan dapat membantu masyarakat miskin mengatasi kemiskinan
dengan cara mengurangi hambatan-hambatan utama yang dihadapi orang
miskin.
Temuan yang menarik dari penelitian ini adalah terjadinya penurunan
relasi gender pada saat keluarga mendapat dana PKH. Hal ini sebenarnya logis,
mengingat ibu yang diberikan kekuasaan untuk mengambil dan memegang dana
PKH. Ibu merasa uang yang diterima atas namanya adalah haknya, termasuk
untuk memutuskan pengalokasiannya. Hal ini justru dianggap menciptakan
ketidaksetaraan yang dapat memarjinalkan laki-laki. Jika yang ingin dicapai oleh
program PKH adalah kesetaraan gender, maka harus diberikan penekanan
bahwa pengalokasian dana PKH dapat dilakukan pengambilan keputusannya
oleh suami dan istri secara bersama-sama. Sebenarnya salah satu aspek
penting program ini adalah fokusnya terhadap perbaikan hidup perempuan
miskin untuk mengurangi kemiskinan secara menyeluruh karena penerima dana
163
tunai adalah para ibu dan juga merupakan aktor utama. Dengan menerima dana
ini, perempuan akan mengelola dana tersebut agar kepentingan keluarganya
menjadi prioritas.
Terdapat negatif efek dan positif efek dari program PKH. Relasi gender
akan menciptakan keterbukaan antara suami dan istri dalam pembagian beban
dan benefit. Secara disain, dana PKH diberikan kepada perempuan, karena
perempuan dianggap lebih memikirkan orang lain, mengatur uang, dan
mengontrol uang. Perlu pendampingan untuk memotivasi dan sharing
keberhasilan karena dana PKH diputar dalam bentuk human investment. Dasar
perempuan diberikan adalah secara sosial politik perempuan termarjinalkan,
patriarki lebih mengutamakan laki-laki yang telah ditunjukkan oleh beberapa
penelitian. PKH bertujuan untuk pengentasan kemiskinan sehingga kesetaraan
akan terjadi antara laki-laki dan perempuan. Perempuan yang mengambil dana
merupakan wujud legitimasi dari pemerintah karena laki-laki telah berdaya
secara sosial politik. Setiap keputusan keluarga dapat diwarnai oleh kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan, dengan tetap berpegang pada teori struktural
fungsional dimana ada harmonisasi peran.
Melalui penguatan posisi perempuan, termasuk posisi tawarnya di dalam
keluarga, adalah salah satu prakondisi bagi perubahan-perubahan sosial-
ekonomi yang akan lebih menguntungkan masyarakat secara umum. Jika
kesejahteraan perempuan meningkat, maka masyarakat akan memperoleh
manfaat dari keadaan itu karena akan memperbaiki kualitas kesejahteraan
masyarakat pada umumnya. Apalagi melihat data Gender Empowerment
Measure (GEM) Indonesia yang masih rendah. Gender Empowerment Measure
(GEM) merupakan indeks komposit yang mengukur ketidaksetaraan gender
dalam tiga dimensi pemberdayaan dasar yakni partisipasi ekonomi dan
pengambilan keputusan, partisipasi politik dan pengambilan keputusan dan
kekuasaan terhadap sumberdaya ekonomi. Pada tahun 2008 Gender
Empowerment Measure pada urutan 55 dari 179 negara dengan nilai 0,586,
sedangkan tahun 2009 Gender Empowerment Measure (GEM) mempunyai nilai
0,408 pada peringkat 96 dari 182 negara (Human Development Report 2009).
Perbedaan persepsi perempuan dan laki-laki terhadap penyebab dan
persoalan kemiskinan yang dihadapi juga berkaitan dengan dinamika peran dan
tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam rumahtangga maupun dalam
masyarakat. Dalam lingkup rumahtangga, berbagai hasil penelitian mengungkap-
164
kan bahwa perempuan lebih banyak bertanggung jawab dalam mengelola urusan
internal keluarga sehingga lebih banyak menghadapi faktor-faktor ketidak-
berdayaan. Diantara faktor-faktor tersebut adalah suami yang menganggur
sehingga tidak bisa memberikan nafkah, harga-harga barang konsumsi yang
tinggi, biaya pendidikan dan biaya kesehatan yang terus meningkat, serta
masalah utang yang terus melilit kehidupannya.
Hasil studi tidak mendukung Hipotesis 2, yakni tingkat kehadiran anak di
sekolah mengalami penurunan pada saat-PKH. Sementara itu, pola asuh belajar
dan prestasi belajar anak tidak mengalami peningkatan setelah keluarga
memperoleh dana PKH. Artinya pemberian dana PKH belum memberikan
pengaruh terhadap perbaikan pola asuh belajar anak di rumah, demikian pula
dengan kehadiran anak di sekolah serta prestasi belajar yang tidak berubah
dengan adanya dana PKH.
Secara teoritis program dana tunai bersyarat memang berpotensi sebagai
cikal-bakal program penanggulangan kemiskinan menyeluruh sehingga anak-
anak dari keluarga miskin tidak akan mengikuti jejak orangtuanya ketika dewasa
dengan menjadi orang miskin juga. Mekanisme “keluarga miskin akan
menciptakan keluarga miskin”, dapat berarti anak miskin investasinya rendah
dalam pendidikan (human capital). Hal ini berdampak terhadap pendapatan anak
di masa depan, karena peluang pasar tenaga kerja berhubungan dengan
pencapaian pendidikan akhir, sehingga anak hanya akan memperoleh upah yang
rendah ketika dewasa. Sebagai konsekuensinya, hal ini akan berulang kembali
kepada anaknya, yang pada akhirnya akan mengekalkan siklus kemiskinan
sepanjang generasi.
Pembentukan kualitas SDM suatu bangsa dimulai dari proses kegiatan
sosialisasi dan pendidikan sehari-hari di dalam keluarga. Oleh karena itu, peran
keluarga sangat penting dalam menciptakan SDM yang berkualitas, yaitu yang
memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima
disamping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
mencapai keberhasilan pembangunan nasional. Menurut Skoufias (2001),
pendidikan dapat dipandang sebagai komponen yang sangat penting dari
Progresa yang menggambarkan hubungan empiris yang kuat diantara modal
manusia, produktivitas dan pertumbuhan, namun secara khusus karena program
ini dipandang sebagai faktor strategis dalam memutuskan lingkaran setan
kemiskinan. Untuk itu, investasi dalam pendidikan harus dipandang sebagai cara
165
memfasilitasi pertumbuhan sambil menurunkan ketidaksamarataan dan
kemiskinan secara silmultan.
Adakalanya keluarga tidak bisa menjalankan fungsi sesuai yang
diharapkan, sehingga menghasilkan sumberdaya manusia berkualitas rendah.
Sebagai contoh, dalam sebuah keluarga yang berpendapatan rendah dan hidup
dibawah garis kemiskinan besar kemungkinan akan tumbuh seorang anak yang
kualitas hidupnya rendah. Hal ini terekam dalam penelitian ini dimana terjadi
peningkatan jumlah absen (penjumlahan absen karena sakit, ijin dan alpa) saat
keluarga memperoleh dana PKH. Tingkat kehadiran anak di sekolah mengalami
penurunan saat-PKH dari 97,70 menjadi 96,46. Prestasi akademik tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata saat keluarga mendapat dana PKH. Hal ini
memang sejalan dengan berbagai evaluasi yang dilaksanakan (seringkali bersatu
dengan program menunjukkan bahwa meskipun tidak semuanya, program CCT
memiliki efek positif terhadap outcome pendidikan dan kesehatan (Schady &
Araujo 2006). Menurut De Janvry dan Sadoulet (2005) CCT tidak memberikan
dampak karena masalah yang berhubungan dengan implementasi program.
Pengalaman menunjukkan bahwa informasi yang mencukupi dan benar diantara
program dan penerima program adalah penting untuk menjamin dampak secara
utuh dari program.
Prestasi belajar anak saat ini merupakan akumulasi potensi akademik dan
kondisi sosial ekonomi keluarga yang telah berlangsung sejak lama. Program
PKH yang baru berlangsung selama dua tahun tidak serta merta mampu
meningkatkan prestasi anak. Bahkan tingkat kehadiran anak yang meskipun
merupakan salah satu indikator berlanjutnya keluarga memperoleh dana PKH
tidak menjadikan keluarga menekankan anak untuk tetap sekolah. Salah satu
faktor penyebabnya adalah ketidaktahuan ibu mengenai prasyarat yang harus
dipenuhi jika masih ingin tetap memperoleh dana PKH dengan alasan adanya
anak usia sekolah dalam keluarga. Hal ini juga terindikasi dari tidak adanya
perbedaan pola asuh belajar anak antara pra dan saat keluarga memperoleh
dana PKH.
Fungsi terbesar keluarga sebagai lembaga sosial adalah membentuk
modal sumberdaya manusia anak. Deacon dan Firebaugh (1981) juga
menyatakan bahwa keluarga memiliki tanggung jawab dalam pemeliharaan dan
perkembangan anggotanya. Agar bisa menjalankan tanggungjawab tersebut,
keluarga harus dapat melakukan fungsi dalam: (1) Pengasuhan anak, (2)
166
Pengembangan kepribadian, (3) Sosialisasi, dan (4) Enkulturasi. Dengan
keempat fungsi tersebut, seorang anak kelak diharapkan dapat berkembang dan
berfungsi sesuai dengan yang diinginkan oleh masyarakat. Hasil penelitian
Puspitawati (2006) juga melaporkan bahwa hubungan diadik antara orangtua dan
anak, baik antara ayah-anak, ibu-anak, maupun ayah-ibu, merupakan dasar dari
kualitas hubungan antar anggota keluarga yang membuat setiap anggota
keluarga merasa puas dan bahagia dalam hidupnya.
Hasil studi mendukung Hipotesis 3, yakni relasi gender yang semakin
responsif dan tingkat stres ibu yang semakin rendah memberikan pengaruh
langsung terhadap kesejahteraan keluarga subjektif, sedangkan ekonomi
keluarga yang semakin baik dan strategi koping yang semakin sedikit akan
memberikan pengaruh tidak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan
keluarga subjektif.
Walaupun tujuan PKH adalah untuk meningkatkan investasi manusia
untuk generasi mendatang, selain wanita yang menjadi target, PKH
menempatkan wanita dalam posisi yang unik sebagai penerima dana. Dalam
kasus di Indonesia wanita secara umum masih terperangkap dalam konstruksi
gender tradisional, dimana wanita mempunyai posisi yang lebih rendah
dibandingkan wanita. Upaya mendistribusikan dana PKH kepada wanita bagi
sebagian kalangan dianggap dapat menguatkan kembali konstruksi gender
tradisional sehingga akan lebih sulit bagi wanita untuk mencapai relasi gender
yang setara dengan laki-laki. Namun jika dikaitkan dengan teori struktural
fungsional, dimana salah satu aspek penting dari perspektif struktural-fungsional
adalah bahwa setiap keluarga yang sehat terdapat pembagian peran atau fungsi
yang jelas, fungsi tersebut terpolakan dalam struktur hirarkis yang harmonis, dan
komitmen terhadap terselenggaranya peran atau fungsi itu. Struktural–fungsional
berpegang bahwa sebuah struktur keluarga membentuk kemampuannya untuk
berfungsi secara efektif, dan bahwa sebuah keluarga inti tersusun dari seorang
laki-laki pencari nafkah dan wanita ibu rumahtangga adalah yang paling cocok
untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga. Harmoni dalam pembagian dan
penyelenggaraan fungsi-peran, alokasi solidaritas, komitmen terhadap hak,
kewajiban, dan nilai-nilai bersama ini merupakan kondisi utama bagi
berfungsinya keluarga. Dengan demikian, wanita sebagai penerima dana PKH
diminta untuk memikul beban tanggungjawab untuk keberhasilan program
dengan memfungsikan kembali struktur dan fungsi keluarga.
167
Menilik pendapat Adato et al. (2000) tentang program CCT Progresa,
maka program ini dianggap berpotensi mempengaruhi bargaining power dan
keberdayaan wanita, melalui peningkatan sumberdaya di tangan wanita,
menciptakan jaringan cobeneficiaries dengan wanita lain yang bertemu dalam
pertemuan yang dilakukan secara teratur, kontrol terhadap tambahan
sumberdaya, peningkatan rasa percaya diri dan self-esteem serta peningkatan
pendidikan anak perempuan yang akan memperbaiki posisi wanita di masa
depan.
Hasil studi menolak Hipotesis 4, yakni output pendidikan anak yang
mencakup dua indikator, yakni tingkat kehadiran dan prestasi belajar anak tidak
dipengaruhi oleh nilai anak, pengeluaran untuk pendidikan anak, pola asuh
belajar, dan tingkat kepuasan terhadap anak. Artinya dana PKH belum
memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan kualitas pendidikan
anak.
Untuk memperbaiki output pendidikan anak yang masih rendah, selain
orangtua perlu memperbaiki pola asuh belajar anak di rumah dengan terlibat
dalam proses belajar anak, namun juga memantau apakah anak menghadapi
masalah dalam pembelajaran di sekolah. Keterlibatan orangtua dalam proses
belajar diperlukan terutama untuk memonitor kemajuan dan proses belajar serta
dampaknya bagi anak. Adanya pantauan orangtua dalam kegiatan sekolah
sehari-hari bermanfaat pula dalam mendeteksi adanya masalah anak di sekolah,
baik yang berhubungan dengan masalah prestasinya maupun dalam interaksi
anak dengan guru maupun teman di sekolah. Orangtua juga harus trampil dalam
mendorong prestasi belajar anak di sekolah dengan memberikan dukungan dan
motivasi anak dalam belajar. Orangtua harus juga menanamkan ketekunan dan
kerajinan serta kepercayaan diri bahwa anak mampu mencapai suatu prestasi
yang diinginkan atau diminati anak. Dengan cara ini anak akan memperoleh
kepercayaan diri atas kemampuannya sendiri, hal ini penting agar anak
mempunyai kekuatan dan keyakinan bahwa ia cukup untuk berprestasi.
Penanaman ”intrinsic motivation” juga penting agar anak memiliki motivasi
intrinsik dari dalam dirinya untuk mencapai prestasi yang dapat menunjang
keberhasilan kehidupannya di masa datang (Hatusti 2009).
Manfaat PKH untuk pendidikan anak akan dapat dicapai dengan
indikator-indikator meningkatnya tingkat partisipasi sekolah, kehadiran dan
prestasi akademik anak. Ketiganya diantaranya dapat dicapai melalui penguatan
168
sisi supply dan kualitas layanan pendidikan dan penguatan tanggungjawab
orangtua dan apreasiasi keuntungan yang diperoleh dari pendidikan anaknya
(Skoufias 2001). Selain itu, pengalaman Brazil melaksanakan program CCT
Programa de Erradicação do Trabalho Infantil – PETI dikombinasikan dengan
Jornada Ampliada, program tambahan dengan memberikan aktivitas untuk anak
ketika tidak sekolah untuk memperkuat motivasi anak untuk sekolah dan
berprestasi, berupa program after-school. Hal ini dapat diterapkan dalam
program PKH untuk meningkatkan output pendidikan anak.
Jika beban keluarga dapat dibagi dengan pembagian peran yang didasari
optimalisasi sumberdaya akan terjadi produktivitas individual yang akan dapat
menanggulangi kemiskinan sehingga landasan filosofi PKH harus kuat. Intervensi
PKH untuk memutus rantai kemiskinan, karena ada kompensasi yang terkait
dengan pengasuhan anak khususnya pola asuh belajar.
Program PKH diharapkan berperan sebagai sarana untuk memutus
matarantai kemiskinan turun-temurun dengan cara meningkatkan investasi untuk
anak-anak dari keluarga kurang mampu dalam bidang pendidikan, kesehatan,
dan gizi. Dengan demikian, diharapkan di masa depan keluarga miskin akan
mampu meningkatkan kualitas hidup dan keluar dari kemiskinan. Apalagi dalam
Human Development Report (HDI) 2009, Indonesia berada di posisi 111 dari 182
negara dengan nilai HDI sebesar 0,734. Dengan adanya PKH, nilai HDI ini akan
semakin meningkat tahun 2015 nanti, sehingga kualitas sumberdaya manusia
Indonesia akan dapat bersaing dengan negara-negara lain. SDM Indonesia yang
akan terbentuk adalah berkualitas dan berdaya saing global sesuai dengan
kebutuhan berbagai jenis posisi dan lapangan kerja, sehingga akan terjadi
peningkatan proporsi angkatan kerja terdidik yang dapat memacu produktivitas
nasional serta pertumbuhan ekonomi. Pada akhirnya, pendayagunaan angkatan
kerja terdidik akan berdampak pada peningkatan efisiensi dan mutu hasil kerja
karena dianggap lebih mampu dalam mendayagunakan teknologi serta
diversifikasi kegiatan ekonomi.
Peran Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Kesehatan
dalam implementasi PKH mutlak diperlukan, meskipun PKH merupakan proyek
pengentasan kemiskinan yang dipegang oleh Kementerian Sosial. Dukungan ini
dirasakan sangat krusial, karena sisi supply PKH ada di tangan kedua
kementerian tersebut. Tanpa adanya koordinasi antara ketiga kementerian, maka
169
program ini kemungkinan besar akan gagal. Ego sektoral harus disingkirkan agar
pencapaian target program pada tahun 2015 dapat dipenuhi.
Pada akhirnya yang harus menjadi pemikiran bersama adalah program
PKH hanya diberikan pada keluarga dengan batas maksimum anak sekolah
menengah pertama, sehingga keberlanjutan anak untuk sekolah hingga SLTA
akan terancam. Pemerintah perlu memikirkan bagaimana anak-anak dari
keluarga miskin dapat masuk ke sekolah kejuruan sehingga menjadi tenaga-
tenaga trampil yang siap pakai. Menurut Paskarina (2007) orientasi pendidikan
bukanlah gelar, tapi life skilled individual, atau orang yang memiliki keterampilan
untuk mengatasi resiko dan tantangan perubahan sosial. Di masa mendatang,
paradigma pendidikan perlu digeser pada perluasan sekolah-sekolah kejuruan
sesuai dengan potensi lokal di tiap-tiap kabupaten/kota. Dukungan juga harus
diberikan bagi pembaharuan kurikulum yang memuat pendidikan kewirausahaan
atau life skill education.
Keterbatasan PenelitianPenggalian data dilakukan untuk mengetahui kondisi pra dan saat
keluarga menerima dana PKH, sehingga untuk data pra keluarga mendapat dana
PKH sangat ditentukan oleh kemampuan contoh untuk mengingat. Evaluasi
terhadap seberapa besar pengaruh program PKH terhadap kesejahteraan
keluarga adalah lebih kepada output sementara, karena untuk mengukur dampak
masih terlalu dini mengingat program PKH baru diluncurkan pada akhir tahun
2007 oleh pemerintah. Selain itu, ketersediaan data prestasi akademik yang
direpresentasikan oleh raport menjadi salah satu hambatan penelitian ini.
Beberapa diantara penyebabnya adalah perubahan kurikulum yang
menyebabkan raport harus berganti, kehilangan raport oleh wali kelas
sebelumnya atau oleh anak sendiri. Generalisasi penelitian ini memang perlu
dipertimbangkan mengingat kenyataan pengambilan sampel untuk setiap desa
tidak dapat dilakukan secara proporsional karena adanya berbagai kendala
seperti calon sampel yang pindah atau data anak yang salah bukan SD, namun
masih TK. Hal-hal tersebut mengakibatkan terjadinya penyimpangan proporsi
contoh yang diambil untuk setiap desa tidak sesuai dengan perencanaan.