faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan fungsi paru...

182
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN FUNGSI PARU PADA PEKERJA PENGOLAHAN BATU KAPUR DI DESA TAMANSARI KABUPATEN KARAWANG TAHUN 2013 SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) Disusun Oleh : ANNISA FATHMAULIDA NIM : 109101000005 PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H/2013 M

Upload: trannhi

Post on 06-Feb-2018

251 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

  • FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN

    FUNGSI PARU PADA PEKERJA PENGOLAHAN BATU KAPUR

    DI DESA TAMANSARI KABUPATEN KARAWANG

    TAHUN 2013

    SKRIPSI

    Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

    (SKM)

    Disusun Oleh :

    ANNISA FATHMAULIDA

    NIM : 109101000005

    PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN

    PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

    FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

    1434 H/2013 M

  • i

  • ii

  • iii

  • iv

    FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

    PRORAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

    PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN

    Annisa Fathmaulida : 109101000005

    Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja

    Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Kab. Karawang Tahun 2013

    ABSTRAK

    Gangguan fungsi paru dari proses masuk dan keluarnya udara ke dalam paru adalah

    restriksi dan obstruksi. Gangguan fungsi paru pada umumnya terjadi karena faktor individu

    dan faktor lingkungan. Berdasarkan hasil studi pendahuluan sebanyak 12 dari 45 pekerja

    pengolahan batu kapur mengalami gangguan paru seperti asma dan bronchitis. Selain itu

    berdasarkan hasil penelitian pengukuran kadar PM10 ambien di area pengolahan batu kapur,

    diperoleh kadar PM10 melebihi nilai ambang batas dengan jumlah rata-rata sebesar 514

    g/m3. Kemudian hasil uji laboratorium kadar SiO2 yang melebihi ambang batas OSHA

    yaitu pada batu kapur sebelum di bakar sebesar 3,46%.

    Tujuan penelitian ini diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan

    fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur. Waktu penelitian dilakukan pada bulan

    Januari-April 2013. Jenis penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi dengan desain

    cross sectional study, jumlah sampel 40 responden dan teknik pengambilan sampel adalah

    quota sampling. Data diperoleh dari kuesioner (data responden), pengukuran PM10 dengan

    SKC-EPAM 5000 dan pengukuran suhu dan kelembaban dengan WBGT Quest. Analisis uji

    statistik menggunakan uji t-test independen dan Chi-square dengan derajat kepercayaan

    95%.

    Berdasarkan hasil penelitian, dari 40 responden pekerja batu kapur diperoleh

    sebanyak 7 orang yang didiagnosis mengalami gangguan fungsi paru. Faktor yang memiliki

    kemaknaan statistik terhadap gangguan fungsi paru adalah variabel umur (p:0,032). Faktor

    lainnya yang tidak berhubungan secara statistik adalah masa kerja (0,932) dengan rata-rata

    10 tahun bekerja; status gizi (0,842) dengan 32% kurus, 47% normal; konsumsi rokok

    (0,285) dengan rata-rata 15 batang/hari; kadar PM10 ambien (0,783) mean 514 g/m3; suhu

    (0,963) mean 32oC dan kelembaban (0,854) mean 79%.

    Penelitian ini diharapkan menjadi referensi studi dan kajian bagi beberapa pihak dan

    steakholder. Pertama pada pekerja untuk lebih mewaspadai bahaya kesehatan dan

    keselamatan bekerja. Kedua pada pemilik menghimbau untuk memperhatikan pekerja dari

    bahaya dan turut mendukung terciptanya lingkungan yang sehat dari aktivitas pengolahan

    batu kapur. Ketiga kepada UKK Puskesmas setempat melakukan pemantauan kesehatan dan

    peningkatan pengetahuan akan bahaya pada pekerja, dan pihak pemerintah daerah

    melakukan pemantauan kualitas udara ambien di sekitar Desa Tamansari sebagai sentra

    pengolahan batu kapur yang akan memiliki risiko terjadinya gangguan kesehatan pada

    pekerja dan masyarakat sekitar.

    xv+ 140 halaman, 3 bagan, 15 tabel, 7 gambar, 7 lampiran

    Kata kunci: gangguan fungsi paru, pekerja batu kapur, faktor lingkungan, faktor individu

    Daftar Bacaaan : 1986-2013

  • v

    FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES

    DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH

    MAJOR OF ENVIRONMENTAL HEALTH

    Undergraduated Thesis, June 2013

    Annisa Fathmaulida, NIM: 109101000005

    Factors Associated with Impaired Lung Function in Limestone Processing

    Workers In Tamansari Village, Pangkalan, Karawang 2013

    Abstract Pulmonary function impairment of the process of entry and exit of air into the lungs

    is a restriction and obstruction. Lung problems generally occur due to individual factors and

    environmental factors. Based on the results of preliminary studies as many as 19 of the 58

    workers processing limestone pulmonary disorders such as asthma and bronchitis. Also

    based on the results of measurements of ambient PM10 levels in limestone processing area,

    obtained PM10 levels exceed a threshold value with the average number of 514 g/m3. Then

    the SiO2 content of the laboratory test was also performed on the limestone before it is

    burned in excess of the OSHA limit of 3.46%.

    The purpose of this study knowing what factors are associated with impaired lung

    function in workers processing limestone. The time study was conducted in January-April

    2013. This type of research is a epidemiology study with cross-sectional design, the number

    of samples of 40 respondents and the sampling technique was quota sampling. Data obtained

    from the questionnaires (data respondents), PM10 measurements with SKC-5000 EPAM and

    temperature and humidity measurements with WBGT Quest. Statistical analysis using

    independent t-test and Chi-square with degrees of 95% and alpha of 0.05.

    The results, from 40 respondents limestone workers earned as much as 7 people in

    diagnosis malfunction. Factors that have statistical significance for lung function impairment

    is variable age (p:0.032). Other factors did not reach statistical significance are the tenure

    variable (0,932) mean 10 years; nutritional status (0,842) in 32% thin,47% normal; cigarette

    consumption (0,285) mean15/day; ambient PM10 levels (0,783) mean 514 g/m3;

    temperature (0,963) mean 32oC and humidity (0,854) mean 79%.

    This study is expected to be a reference for the study and review of some parties and

    steakholder. First the workers more aware of the dangers to health and safety work. Both of

    the owners are urged to pay attention to workers from hazards and contribute to the creation

    of a healthy environment of limestone processing activity. Third to the UKK Puskesmas

    Tamansari to monitor the health and increased knowledge of the dangers to workers, and

    government area to monitor ambient air quality around the Castle Village Tamansari as

    limestone processing centers that have a risk the occurrence of health workers and

    surrounding communities.

    Key Words: pulmonary function impairment, limestone processing workers, environment factors,

    personal factors

    Refferece : 1986-2013

    xv+ 140 pages , 3 diagrams, 15 tables, 7 pictures, 7 attechments

  • vi

    CURRICULUME VITAE

    IDENTITAS PERSONAL

    Nama : Annisa Fathmulida

    Alamt Asal : Jl. Tampomas No. 15 D Perum Karang Indah,

    Karang Pawitan, Karawang.

    TTL : Subang, 16 September 1991

    Agama : Islam

    Golongan Darah : O

    Alamat Email : [email protected]

    RIWAYAT PENDIDIKAN

    2009-2013 : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

    Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

    Program Studi Kesehatan Masyarakat

    Peminatan Kesehatan Lingkungan

    2007-2009 : SMA Negeri 3 Karawang

    2003-2006 : SMP Negeri 1 Karawang

    2003 : SDN Negeri Karang Pawitan 1 Karawang

    PENGALAMAN ORGANISASI DAN PELATIHAN

    2009-2010 : Pokja Tobacco Control ISMKMI Wil. II

    2010-2012 : Staff Departemen Komunikasi dan Informasi

    Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta

    2012 : Indonesian Leadership Devlopment Program 2012 oleh

    Rektorat Kemahasiswaan Universitas Indonesia

    2012 :Training Integrated Management Systems ISO 9001:2008,

    ISO 14001:2004&OHSAS 18001:2007

    PENGALAMAN PRAKTEK KERJA

    2011-2012 Pengalaman Belajar Lapangan Pusat Kesehatan Masyarakat

    (Puskesmas) Pondok Jagung Timur , Tangerang Selatan.

    2012 : Orientasi Kerja di HSE PT. Yama Engineering 2012

    2013 : Kerja Praktek bidang Environment di

    OE/HES PT. Chevron Pacific Indonesia

    mailto:[email protected]

  • vii

    KATA PENGANTAR

    Bismillahirrahmanirrahim

    Berkat Rahmat Allah Subhanahu wa Tala yang Maha Pengasih lagi Maha

    Penyayang serta dorongan yang kuat, akhirnya saya dapat menyelesaikan proposal

    skripsi dengan judul Faktor- faktor yang Berhubungan terhadap Gangguan Fungsi

    Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Kecamatan Pangkalan

    Kabupaten Karawang Tahun 2013. Shalawat serta salam selalu terjunjun kepada

    Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam yang telah membawa umatnya dari

    dari zaman kegelapan akan iman dan pengetahuan ke zaman terang benderang akan

    ilmu dan pengetahun.

    Penelitian ini ditujukan untuk memenuhi persyaratan jenjang pendidikan S-1

    pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

    Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

    Penyusunan skripsi ini tidak lepas saya ingin mengucapkan terima kasih yang

    kepada berbagai pihak, antara lain :

    1. Ibu Minsarnawati,M.Kes dan bapak Dr.H.Arif Sumantri,M.Kes selalu

    pembimbing I dan pembimbing II atas bimbingan dan arahan dalam

    penelitian ini dan menyempatkan waktu di kesibukannya untuk

    menyempurnakan penulisan skripsi.

    2. Ibu Yuli Amran,M.KM, Ibu Dewi Utami,Ph.D., dan Bpk. Ir. Untung

    Sryanto, M.Sc, selaku penguji sidang skripsi yang telah banyak

    mengarahkan untuk pengayaan materi dan informasi pada skripsi ini

    3. Pihak Puskesmas Pangkalan beserta staff UKK serta Dinas Kesehatan Kab.

    Karawang yang mengizinkan dan mendukung penelitian ini berjalan.

    4. Untuk saudara seperjuangan, jamaah peminatan Kesehatan Lingkungan

    2009 atas dukungan dan masukan penelitian; Rudi, Tari, Yudi, Ersa, Agung,

  • viii

    Yeni, Ratna, Rahmi, Maya, Cita, Aan, Risma, Dila, Moris, Udin, Nita, Zia,

    Reni dan Ratna beserta adik-adik angkatan 2010&2011 Kesling.

    5. Sahabat dan Saudara terdekat serta rekan-rekan seperjuangan yang telah

    membantu memberikan senyuman dan doa yang telah mendukung

    kelancaran penyusunan skripsi ini, terima kasih atas segala bantuan apapun,

    yaitu Sarah, Fira, Depi, Tanjung, Heni, Lulu, Fahad, Dea, Lilik, Ka Ami, Ka

    Egi, Vebria, Derie, Nurul, Iva dan lainnya yang tidak disebutkan satu

    persatu.

    6. Terakhir dan terpenting untuk papah yaitu Bpk.Rindu Putra, mamah ayi,

    nenek Adung dan segenap keluarga yang mendukung, mendoakan dan

    mencurahkan kasih sayangnya dari jauh dan tidak langsung di setiap

    waktunya.

    7. Especially for alm. Mamah yang sudah mendahului kami sekeluarga,

    ketidak beradaan beliau menjadi kekuatan dan motivasi terbesar dalam

    setiap prosesnya.

    Semoga bantuan, petunjuk, bimbingan dan pengarahan yang diberikan dari

    berbagai pihak kepada penulis mendapat balasan dari Allah Subhanahu wa Tala.

    Tanggerang Selatan, Juni 2013

    Penulis

  • ix

    DAFTAR ISI

    LEMBAR PERNYATAAN i

    ABSTRAK ii

    CURRICULUME VITAE iv

    LEMBAR PENGESAHAN v

    LEMBAR PERSETUJUAN vi

    KATA PENGANTAR vii

    DAFTAR ISI xi

    DAFTAR BAGAN xiii

    DAFTAR TABEL xiv

    DAFTAR GAMBAR xv

    BAB I PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang 1

    1.2. Rumusan Masalah 6

    1.3. Pertanyaan Penelitian 7

    1.4. Tujuan 8

    1.5. Manfaat 9

    1.6. Ruang Lingkup 11

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Fungsi Paru 12

    2.2. Gangguan Fungsi Paru 13

    2.3. Epidemiologi Gangguan Fungsi Paru 16

  • x

    2.4. Pemeriksaan Kapasitas Fungsi Paru 17

    2.5. Sistem Pernapasan 18

    2.6. Patofisiologi Pernapasan 21

    2.7. Spirometer sebagai Alat Pengukuran Kapasitas Paru 22

    2.8. Aktivitas Penambangan dan Pengolahan Batu Kapur 24

    2.9. Faktor Lingkungan sebagai Polutan Udara 27

    2.10. Baku Mutu Udara Ambien 37

    2.11. Faktor Karakteristik Individu yang Menyebabkan

    Gangguan Fungsi Paru 38

    2.12. Faktor Meteorologi yang Mempengaruhi

    Konsentrasi Udara Ambien 44

    2.13. Manajemen Pengendalian Risiko Kesehatan Kerja 47

    2.14. Patogenesi Penyakit Berbasis Lingkungan 48

    2.15. Kerangka Teori 52

    BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

    3.1. Kerangka Konsep 55

    3.2. Hipotesis 59

    3.3. Definisi Operasional 61

    BAB IV METODELOGI PENELITIAN

    4.1. Jenis dan Rancangan Penelitian 65

    4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 65

    4.3. Populasi dan Sampel 66

  • xi

    4.4. Metode Pengukuran Penelitian 68

    4.5. Teknik Pengolahan Data 74

    4.6. Analisis Data 75

    BAB V HASIL PENELITIAN

    5.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

    5.1.1.Desa Tamansari 77

    5.1.2. Profil Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari 78

    5.2. Hasil Analisis Univariat

    5.2.1. Gambaran Kejadian Gangguan Fungsi Paru pada

    Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari 82

    5.2.2. Gambaran Faktor Karakteristik Individu Pekerja

    Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari 83

    5.2.3. Gambaran Lingkungan Udara Ambien di Pengolahan

    Batu Kapur di Desa Tamansari 86

    5.2.4. Gambaran Kandungan SiO2 pada Batu Kapur 88

    5.3. Hasil Analis Bivariat

    5.3.1. Hubungan antara Karakteristik Individu terhadap

    Gangguan Fungsi Paru 93

    5.3.2. Hubungan antara Faktor Lingkungan terhadap

    Gangguan Fungsi Paru 95

  • xii

    BAB VI PEMBAHASAN PENELITIAN

    6.1. Keterbatasan Penelitian 97

    6.2. Kejadian Gangguan Fungsi Paru pada Responden 98

    6.3. Hubungan Karakteristik Individu terhadap 103

    6.3.1. Hubungan Usia terhadap Gangguan Fungsi Paru 104

    6.3.2. Hubungan Status Gizi terhadap Gangguan Fungsi Paru 108

    6.3.3. Hubungan Konsumsi Merokok terhadap Gangguan

    Fungsi Paru 114

    6.3.4. Hubungan Masa Kerja terhadap Gangguan Fungsi Paru 119

    6.4. Hubungan Faktor Lingkungan terhadap Gangguan Fungsi Paru

    6.4.1. Hubungan Kadar PM10 Ambien 122

    6.4.2. Hubungan Suhu terhadap Gangguan Fungsi Paru 129

    6.4.3. Hubungan Kelembaban terhadap Gangguan Fungsi Paru 132

    BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

    7.1. Simpulan 135

    7.2. Saran

    7.2.1. Saran Bagi Pekerja 138

    7.2.2. Saran Bagi Pemilik 139

    7.2.3. Saran Bagi Pemerintah Daerah 140

    7.2.4. Bagi Peneliti Selanjutnya 140

    DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN

  • xiii

    DAFTAR BAGAN

    No. Bagan Judul Bagan Halaman

    Bagan 2.1. Klafikasi Penilaian Fungsi Paru 24

    Bagan 2.2. Kerangka Teori 54

    Bagan 3.1. Kerangka Konsep Penelitian 58

  • xiv

    DAFTAR TABEL

    No. Tabel Judul Tabel Halaman

    Tabel 2.1. Klasifikasi Penilaian Fungsi Paru 23

    Tabel 2.2. Kategori Indeks Masa Tubuh 43

    Tabel 3.1. Definisi Operasional 61

    Tabel 4.1. Tabel Perhitungan Sampel 67

    Tabel 4.2. Drajat Kapasitas Fungsi Paru 73

    Tabel 5.1. Distribusi Gangguan Fungsi Paru

    pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur 82

    Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Jenis Pekerjaan 83

    Tabel 5.3. Distribusi Karakteristik Individu Pekerja 84

    Tabel 5.4. Hasil Pengukuran Kualitas Udara Ambien

    di Area Pengolahan Batu Kapur 86

    Tabel 5.5. Distribusi Rata-rata Kadar Udara Ambien

    di Area Pengolahan Batu Kapur 87

    Tabel 5.6. Hasil Uji Kadar SiO2 pada Material Batu

    Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013. 89

    Tabel 5.7. Distribusi Rata-rata dan Analisis Hubungan 91

    antara Karakteristik Lingkungan dengan

    Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja

    Tabel 5.8. Analisis Hubungan antara Karakteristik 92

    Individu dengan Gangguan Fungsi Paru

    pada Pekerja Batu Kapur Desa Tamansari

    Tabel 6.1. Distribusi Responden yang Mengalami 105

    Gangguan Fungsi Paru berdasarkan Umur

    Tabel 6.2. Hasil Pengukuran Udara Ambien PM10 124

    di Lingkungan Kerja

  • xv

    DAFTAR GAMBAR

    No. Gambar Judul Gambar Halaman

    Gambar 1.1. Kondisi Lingkungan Pengolahan

    Batu Kapur 5

    Gambar 2.1. Anatomi Sistem Pernapasan 20

    Gambar 2.2. Diagram Alir Proses Pengolahan 26

    Batu Kapur

    Gambar 2.3. Teori Simpul 50

    Gambar 4.1. SKC EPAM-5000 70

    Gambar 4.2. Peta Wilayah Desa Tamansari dan Titik

    Pengambilan Sampel Faktor Lingkungan 71

    Gambar 5.1. Distribusi Responden Penelitian 80

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Dengan berubahnya tingkat kesejahteraan di Indonesia, pola penyakit saat

    ini telah mengalami transisi epidemiologi yang ditandai dengan beralihnya

    penyebab kematian yang semula didominasi oleh penyakit menular bergeser ke

    penyakit tidak menular (non-communicable disease). Perubahan ini dapat dilihat

    dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1997 dan Survei

    Kesehatan Nasional Tahun 2000, dimana salah satu kelompok penyakit tidak

    menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia adalah

    penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) (Kemenkes RI, 2008).

    Data Badan Kesehatan Dunia (WHO), menunjukan bahwa pada tahun

    1990 PPOK menempati urutan ke-6 sebagai penyebab utama kematian di dunia,

    sedangkan pada tahun 2002 telah menempati urutan ke-3 setelah penyakit

    kardiovaskuler dan kanker (WHO, 2002). Hasil survei penyakit tidak menular

    oleh Direktorat Jendral PPM&PL di lima rumah sakit provinsi di Indonesia yaitu

    Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatra Selatan pada

    tahun 2004, menunjukan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka

    kesakitan (35%), diikuti asma bronkial bronkial (33%), kanker paru (30%) dan

    lainnya (2%) (Depkes RI, 2004).

  • 2

    Pada penelitian National Health Interview Survey dalam Aditama (1992)

    di Amerika Serikat, terdapat 7,5 juta penduduknya mengidap bronkitis kronik,

    lebih dari 2 juta orang menderita emfisema dan 6,5 juta orang menderita asma.

    Kemudian penelitian di Inggris menemukan bahwa bronkitis kronik pada kaum

    pria (50-64 tahun) adalah sebesar 17% dari jumlah populasi pria dan pada wanita

    sekitar 8%. Di Inggris ini bronkitis merupakan penyakit paling banyak

    menimbulkan hilangnya produktivitas. Salah satu faktor pencetus terjadinya

    penyakit paru tersebut adalah adanya paparan gas emisi, partikulat seperti silikat

    ( SiO2) pun zat toksik lain yang terjadi secara akut maupun kronik pada orang

    yang terpajan yang bersumber dari aktivitas transportasi, paparan asap rokok dan

    aktifitas industri.

    Aktivitas industri tersebut adalah salah satunya industri pengolahan batu

    kapur. Batu kapur atau limestone, adalah sedimen yang banyak mengandung

    organisme laut yang telah mati yang berubah menjadi kalsium karbonat

    (CaCO2). Agar digunakan sebagai bahan baku, batu kapur harus dibakar

    sehingga dihasilkan kapur tohor (CaO). Saat proses pembakaran ini diemisikan

    gas-gas hasil pembakaran seperti Particulate Matter (PM), Sulfur Dioksida (SO2)

    dan Nitrogen Dioksida (NO2) yang menambah beban pencemaran udara

    (Nukman, 2005). Gas dan partikel pencemar udara ini lah yang dapat mengenai

    pekerja di lingkungan sekitar pengolahan batu kapur. Demikian juga dengan

    SiO2 yang menurut EPA (Environmental Protection Agency) Amerika Serikat

  • 3

    dapat menimbulkan penyakit paru bila diatas ambang batas 2%. Keadaan ini

    dapat menimbulkan gangguan fungsi paru yang berdampak pada kesehatan

    pekerja.

    Penelitian sebelumnya dalam Rizal (2011) pada pengolahan batu kapur di

    desa Padabeunghar Kabupaten Sukabumi. Diperoleh konsentrasi PM10 dengan

    kadar rata-rata 0,282 mg/m3, sekitar 32% atau 107 responden mengalami

    gangguan pernafasan. Dari hasil uji regresi logistik ganda menunjukan adanya

    hubungan antara konsentrasi PM10 udara ambien dengan gangguan saluran

    pernafasan. Pada penelitian kegiatan pengolahan batu kapur lainnya oleh Sucipto

    (2007) di Desa Karangdewa Kabupaten Tegal, hasil pengukuran Total Suspended

    Particulate (TSP) didaerah pemukiman sekitar pembakaran kapur, rata-rata

    sebesar 893,25 g/m3 yang melebihi ambang batas baku mutu Kepala Gubernur

    Jawa Tengah yaitu 230 g/m3.

    Hal ini juga menguatkan bahwa menurut Fardiaz (1992) terdapat

    hubungan antara ukuran partikel polutan dengan sumbernya. Partikel yang

    berukuran diameter diantara 1-10 mikron biasanya termasuk tanah, debu dan

    produk-produk pembakaran dari industri lokal. Salah satunya produk

    pembakaran tersebut adalah dalam proses pengolahan batu kapur.

    Menurut Ikhsan (2001) debu dan gas-gas yang disebabkan oleh proses

    pengolahan batu kapur yang berada di lingkungan kerja, akan berakibat pada

  • 4

    tenaga kerja yang terpapar debu kapur dan asap-asap pembakaran pada

    konsentrasi maupun ukuran yang berbeda-beda. Sedangkan dalam Material

    Safety Data Sheet (MSDS) Calcium Carbonate, Solid bahaya debu batu kapur

    yang didalamnya terkandung CaCO3 dan Silica (SiO2) memiliki bahaya

    kesehatan apabila terpapar dan terhirup yang dapat menyebabkan peningkatan

    mukosa di hidung dan sistem jalan nafas kemudian menyebabkan iritasi saluran

    pernafasan. Paparan yang berlebihan dengan debu dapat menyebabkan

    hiperkalsemia, silikosis, pneumokiosis dan dari kandungan silica memiliki sifat

    karsinogenik yang dapat menyebabkan kanker (Brentag Canada Inc,2007).

    Kemudian dijelaskan dalam Mukono (2003), efek utama pembakaran

    debu kapur terhadap tenaga kerja berupa gangguan fungsi paru baik bersifat akut

    dan kronis. Gejala yang bersifat akut misalnya iritasi saluran pernapasan,

    peningkatan produksi lendir, penyempitan saluran pernapasan, lepasnya silia dan

    lapisan sel selaput lendir serta kesulitan bernapas. Selain itu dalam EPA (2001)

    Amerika Serikat juga menyebutkan obstruktif paru ini dapat menimbulkan

    gangguan kesehatan paru yang disebut pneumoniosis.

    Dalam Epler (2000) penumpukan dan pergerakan debu pada saluran

    napas dapat menyebabkan peradangan jalan napas. Peradangan ini dapat

    mengakibatkan penyumbatan jalan napas, sehingga menurunkan kapasitas paru.

    Dampak paparan debu yang terus menerus dapat menurunkan faal paru berupa

    obstruktif paru (Mukono, 2003).

  • 5

    Akibat adanya gangguan-gangguan kesehatan ini dapat mempengaruhi

    kondisi kesehatan pekerja. Apabila kondisi kesehatan pekerja mengalami

    penurunan, maka dapat berpengaruh pada produktifitas kerja, mangkir jam kerja,

    biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh pekerja dan angka harapan hidup

    yang menurun bahkan akan menimbulkan tingkat risiko yang lebih berat pada

    penyakit serangan jantung dan hipertensi, yang menjadi penyebab kematian

    nomor satu di Indonesia.

    Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak kepala bidang Upaya

    Kesehatan Kerja (UKK) Puskesmas setempat pada bulan Oktober 2012, bahwa

    kegiatan pembinaan dan balai pengobatan setiap bulan dilakukan secara rutin ke

    kelompok Lio setempat. Dari data laporan pemeriksaan rutin bulanan tersebut

    sampai Oktober 2012 sebanyak 12 pekerja di diagnosis menderita asma dan 4

    pekerja yang dirujuk ke Puskesmas di diagnosis bronkitis paru dari total 45

    pekerja yang terdata di puskesmas, kemudian dari hasil pengamatan, rata-rata

    pekerja berperilaku merokok dan tidak menggunakan alat pelingung diri (APD)

    berupa masker dan sejenisnya.

    Gambar 1.1. Kondisi Lingkungan Pengolahan Batu Kapur.

  • 6

    Selain itu, hasil observasi lapangan menghasilkan pemanfaatan bahan

    bakar berupa limbah karet dan bahan anorganik lainnya memicu zat-zat

    pencemaran semakin berbahaya, karena asap dan debu yang dihasilkan berupa

    asap hitam pekat. Hal ini memberikan gambaran bahwa kegiatan proses

    pengolahan batu kapur Desa Tamansari Pangkalan ini menjadi perlu untuk

    dilakukannya penelitian, karena subjek penelitian ini memiliki risiko pencemaran

    udara yang berbahaya bagi kesehatan pekerja dan masyarakat sekitarnya.

    1.2. Rumusan Masalah

    Berdasarkan hasil studi pendahuluan di lapangan pada pekerja pengolahan

    batu kapur di Desa Tamansari, dari hasil pemeriksaan kesehatan dan pengobatan

    pada 20 orang pekerja didapatkan 10 orang pekerja mengalami keluhan pada

    pernafasannya. Adapun keluhan yang dirasakan para pekerja adalah batuk

    berdahak kehitaman dan sesak nafas.

    Kemudian diperkuat dengan telaah dokumen data dari unik UKK Puskesmas

    Kec. Pangkalan didapatkan data pemeriksaan rutin bulanan dari September 2012

    sampai Februari 2013 sebanyak 12 pekerja didiagnosis menderita asma dan 4

    pekerja yang dirujuk ke Puskesmas didiagnosis bronkitis paru dari total 45

    pekerja yang terdata di puskesmas.

  • 7

    Kemudian dari hasil pengamatan, rata-rata pekerja berperilaku merokok

    dan tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) berupa masker dan

    sejenisnya serta bertempat tinggal berdekatan dengan aktivitas pengolahan.

    Penelitian kesehatan pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa

    Tamansari Kabupaten Karawang ini belum ada yang melakukan penelitian

    sebelumnya mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan fungsi

    paru.Berdasarkan hal itu, maka perlu dilakukan penelitian secara lebih lanjut

    mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan fungsi paru pada

    pekerja penambang dan pengolahan batu kapur di Desa Tamansari, Kecamatan

    Pangkalan Kabupaten Karawang.

    1.3. Pertanyaan Penelitian

    1. Bagaimana gambaran gangguan fungsi paru pada pekerja pengolahan batu

    kapur di Desa Tamansari?

    2. Bagaimana gambaran faktor karakteristik individu (host) (umur, masa kerja,

    status gizi dan konsumsi merokok) pada pekerja pengolahan batu kapur di

    Desa Tamansari?

    3. Bagaimana gambaran faktor kondisi lingkungaan (Kadar PM10 ambien,

    suhu, kelembaban) dan kadar SiO2 pada kandungan batu kapur sebelum dan

    sesudah proses pengolahan batu kapur di wilayah pengolahan batu kapur di

    Desa Tamansari?

  • 8

    4. Apakah ada hubungan antara faktor karakteristik individu (host) (umur,

    masa kerja, status gizi dan konsumsi merokok) terhadap gangguan fungsi

    paru pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari?

    5. Apakah ada hubungan antara faktor kondisi lingkungaan (Kadar PM10

    ambien, suhu, kelembaban) di wilayah pengolahan batu kapur di Desa

    Tamansari?

    6. Apakah ada hubungan antara komposisi kimia batu gamping sebagai bahan

    baku sebelum dan sesudah dibakar dengan kondisi kesehatan pekerja ?

    1.4. Tujuan

    1.4.1. Umum

    Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan

    fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari,

    Kecamatan Pangkalan Kabupaten Karawang tahun 2013.

    1.4.2. Khusus

    1. Diketahuinya gambaran kapasitas fungsi paru pada pekerja pengolahan

    batu kapur di Desa Tamansari Tahun 2013.

    2. Diketahuinya gambaran karakteristik pekerja (umur, masa kerja, status

    gizi dan konsumsi merokok) pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa

    Tamansari.

  • 9

    3. Diketahuinya gambaran kondisi meteorologi (kadar ambien PM10, suhu,

    kelembaban) dan kadar SiO2 pada kandungan batu kapur sebelum dan

    sesudah proses pengolahan batu kapur .

    4. Diketahuinya apakah ada hubungan antara faktor karakteristik pekerja

    (umur, masa kerja, status gizi dan konsumsi merokok) pada pekerja

    pengolahan batu kapur di Desa Tamansari.

    5. Diketahuinya apakah ada hubungan antara faktor lingkungan (kadar

    ambien PM10, suhu dan kelembaban) dengan gangguan fungsi paru pada

    pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari.

    1.5. Manfaat Penelitian

    1.5.1. Bagi Peneliti

    Menerapkan aplikasi teori dan keterampilan yang telah didapatkan sesuai

    dengan kompetensi program studi Kesehatan Masyarakat peminatan

    Kesehatan Lingkungan untuk diterapkan dalam menganalisis permasalahan

    kesehatan masyarakat dalam penelitian ini.

    1.5.2. Bagi Pemilik dan Kelompok Penambangan dan Pengolahan Batu Kapur

    Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan kepada pekerja

    mengenai adanya bahaya kesehatan yang ditimbulkan dari aktifitas

    pekerjaannya. Penelitian ini juga dapat menjadi petimbangan pemilik Lio

    untuk melakukan penanggulangan cemaran udara yang dihasilkan serta

  • 10

    dapat memperhatikan kesehatan pekerja dan lingkungan. Dengan begitu

    pada pekerja yang masih berusia remaja maupun dewasa dapat menjadi

    motivasi untuk melakukan pencegahan dari penyakit akut maupun kronis

    yang lebih parah.

    1.5.3. Bagi Dinas Kesehatan Kab. Karawang

    Penelitian ini dapat menjadi penentu kebijakan perencanaan

    kesehatan ditingkat daerah pada kelompok usaha informal ini, agar usaha

    batu kapur dapat tetap menjadi sumber pendapatan daerah yang berpotensi

    besar, namun tetap memperhatikan kearifan local daerah dan risiko penyakit

    yang timbul pada pekerja atau masyarakat sekitar sebagai upaya

    penanggulannya dalam melindungi masyarakat dari aktifitas tersebut.

    1.5.4. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang

    Penelitian ini dapat menjadi penentu kebijakan dibidang perencaan

    dan pembangunan daerah di wilayah Kecamatan Pangkalan dari aktivitas

    penambangan dan pengolahan batu kapur yang memiliki dampak kesehatan

    pada masyarakat sekitar dan lingkungan serta mewujudkan kontribusi daerah

    dalam menentaskan target Millenium Devlopment Goals pada point

    Menjamin Kelestarian Lingkungan Hidup melalui memadukan prinsip

    pembanguan berkelanjutan serta mengembalikan sumber daya lingkungan

    yang hilang yaitu mineral kapur dan udara yang sehat dari aktivitas

    penambangan dan pengolahan batu kapur di Desa Tamansari.

  • 11

    1.6. Ruang Lingkup

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran faktor-faktor yang

    berhubungan dengan kapasitas fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur

    di wilayah Kelurahan Tamansari Kecamatan Pangkalan Kab. Karawang pada

    tahun 2013. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret s.d. April 2013.

    Sasaran penelitian ini adalah pekerja yang beraktivitas langsung dengan proses

    penambang dan pengolahan batu kapur yang berada di wilayah tersebut.

    Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan cross

    sectional study. Dalam pengumpulan data primer peneliti menggunakan alat

    pengukur debu ambien berjenis PM10 yaitu Environmental Particulate Air

    Monitor (EPAM) 5000 Primer dan pengukuran suhu, kelembaban oleh WBGT

    Quest Digital dari laboratorium OHS FKIK UIN Jakarta. Untuk mengetahui

    tingkat gejala penurunan fungsi paru menggunakan alat spirometri dari

    Labolatorium Klinik Westrindo Jakarta. Data-data karakteristik pekerja

    menggunakan kuesioner dengan metode wawancara. Data sekunder didapatkan

    dari Kecamatan Pangkalan dan Puskesmas Pangkalan Kab. Karawang. Untuk

    mengetahui kandungan SiO2 dilakukan dilaboratorium PT.CCIC Cengkareng

    dengan menggunakan analisa kimia.

  • 12

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Fungsi Paru

    Fungsi paru yang utama dalam Yunus (2006) adalah proses respirasi

    yaitu pengambilan oksigen dari udara luar yang masuk ke dalam saluran napas

    dan terus ke dalam darah. Oksigen digunakan untuk proses metabolisme dan

    karbondioksida yang terbentuk pada proses terebut dikeluarkan dari dalam

    darah ke udara luar. Proses respirasi di bagi ke dalam tiga tahap, yaitu:

    a. Ventilasi yaitu proses keluar dan masuknya udara ke dalam paru, serta

    keluarnya karbondioksida dari alveoli ke udara luar.

    b. Difusi yaitu proses berpindahnya oksigen dari alveoli ke dalam darah,

    serta keluarnya karbondioksida dari darah ke alveoli.

    c. Perfusi yaitu distribusi darah yang telah teroksigenasi di dalam paru

    untuk di alirkan ke seluruh tubuh.

    Depnakertrans 2005 dalam penelitian Rahman (2008), adapun

    gangguan/kelainan fungi paru biasanya adalah :

    a. Gangguan fungsi paru Restriktif

    b. Gangguan fungsi paru Obstruktif

    c. Gangguan fungsi paru campuran (Obstruktif-Restriktif)

    Pada penyakit paru obstruktif tertentu misalnya asma dan emfisema,

    ekspirasi mengalami gangguan dan jumlah udara yang dapat dihembuskan

    secara paksa oleh individu, terutama secara cepat akan berkurang.

  • 13

    2.2. Gangguan Fungsi Paru

    Menurut Pearce. E (1986) dalam Yulaekah (2007) pada individu normal

    terjadi perubahan (nilai) fungsi paru secara fisiologis sesuai dengan

    perkembangan umur dan pertumbuhan parunya (lung growth). Mulai pada fase

    anak sampai kira kira umur 22 24 tahun terjadi pertumbuhan paru sehingga

    pada waktu itu nilai fungsi paru semakin besar bersamaan dengan pertambahan

    umur. Beberapa waktu nilai fungsi parumenetap (stasioner) kemudian menurun

    secara gradual (pelan pelan), biasanya umur 30 tahun sudah mulai penurunan,

    berikutnya nilai fungsi paru (KVP = Kapasitas Vital Paksa dan FEV1 = Volume

    Ekspirasi Paksa Satu Detik Pertama) mengalami penurunan rerata sekitar 20 ml

    tiap pertambahan satu tahun umur individu.

    Gangguan fungsi ventilasi paru merupakan jumlah udara yang masuk

    ke dalam paru akan berkurang dari normal. Gangguan fungsi ventilasi paru

    yang utama dalam Lauralee (2001) adalah sebagai berikut:

    1. Penyakit Paru Obstruktif Menahun.

    Dalam Lauralee (2001) penyakit paru obstruktif menahun (PPOM,

    chronic obstructive pulmonary disease, COPD) adalah sekelompok penyakit

    paru yang ditandai oleh peningkatan resistensi saluran pernafasan akibat

    penyempitan saluran pernafasan bagian bawah. Penyakit paru obstruktif

    menahun mencakup tiga penyakit kronik (jangka panjang) yaitu asma,

    bronkhitis kronis dan emfisema. Pada asma, obstruksi saluran pernafasan

    disebabkan oleh pertama, konstriksi berlebihan saluran pernafasan halus

  • 14

    karena spasme otot polos di dinding saluran pernafasan tersebut yang

    diindikasi oleh alergi; kedua, penyumpatan saluran pernafasan oleh sekresi

    berlebihan mukus yang sangat kental; dan ketiga, penebalan dinding saluran

    pernapasan akibat peradangan dan edema yang diindikasi oleh histamine.

    2. Emfisema

    Menurut Lauralee (2001) emfisema didefinisikan sebagai salah satu

    pelebaran normal dari ruang-ruang udara paru disertai dengan destruksi dari

    dindingnya. Beberapa ahli memperluas definisi ini memasukkan pelebaran

    ruang-ruang udara dengan atau tidak disertai destruksi dari dindingnya.

    Emfisema ditandai oleh kolapsnya saluran pernapasan halus dan rusaknya

    dinding alveolus. Keadaan ireversibel ini dapat timbul melalui dua cara, yang

    tersering, emfisema timbul akibat pengeluaran enzim-enzim destruktif,

    misalnya tripsin dari makrofag alveolus sebagai respons terhadap pajanan

    berulang dari asap rokok atau bahan kimiawi iritan lainnya.

    3. Penyakit Paru Restriktif

    Penyakit paru interstisial merupakan istilah untuk semua penyakit

    terutama yang ditandai dengan jelas pada dinding alveolar, proses dimulai

    dengan peradangan interstisial terutama yang mengenai septasepta, sel

    imunokompeten yang aktif kemudian terkumpul di dinding alveolar yang

    menjadi penyabab kerusakan.

  • 15

    Akibat yang paling ditakutkan dari penyakit ini ialah penebalan fibrosis

    dinding alveolar, yang menimbulkan kerusakan menetap pada fungsi

    pernapasan dan mengacaukan arsitektur paru. Bersamaan dengan itu pembuluh

    darah halus menyempit dan menyebabkan hipertensi pulmonalis, pelebaran

    dinding alveolar dan kontraksi jaringan fibrosis dapat mengecilkan ukuran

    rongga udara dan paru menjadi berkurang kemampuannya, sehingga pertukaran

    gas mengalami gangguan. Dengan demikian penyakit paru restriktif merupakan

    penyebab utama paru menjadi kaku dan mengurangi kapasitas vital dan

    kapasitas paru.

    4. Bronkitis Kronik

    Bronkhitis kronik adalah peradangan kronik saluran pernapasan bagian

    bawah, yang umumnya dicetuskan oleh pajanan berulang dari asap rokok, udara

    berpolusi atau alergan. Sebagai respons terhadap iritasi kronik, saluran

    pernapasan menyempit akibat penebalan edematosa kronik bagian dalam

    saluran pernapasan, disertai produksi berlebih mukus yang kental. Walaupun

    pengidap sering batuk karena iritasi kronik, mukus penyumbat sering tidak

    dapat dikeluarkan, terutama karena ekskalator mukus lumpuh oleh bahan iritan.

    Hal ini akan menyebabkan sering terjadi infeksi paru oleh bakteri, karena

    mukus yang tertimbun merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan

    bakteri.

  • 16

    2.3. Epidemiologi Gangguan Fungsi Paru

    Menurut Simpson (1998) dalam Aviandari dkk (2008) penyakit saluran

    napas banyak ditemukan secara luas dan berhubungan erat dengan lamanya

    pajanan terhadap debu tertentu. Di negara yang sedang berkembang ditemukan

    masih banyak orang yang bekerja pada sector informal seperti pertanian dan

    pertambangan non-formal, hal ini membuat problema akibat pajanan debu

    dilingkungan kerjanya.

    Kemudian dalam Loekita dkk (2003) studi epidemiologi secara cross

    sectional menggambarkan tingginya gejala gangguan saluran napas diantara

    pekerja yang terpajan langsung dengan debu dibandingkan dengan pekerja yang

    tidak terpajan. Gangguan paru non-spesifik akibat iritasi diperkirakan juga

    banyak berhubungan dengan para pekerja baik di pembakaran, karena intensitas

    pajanan debu berada disekitar area pabrik maka kemungkinan terjadi perbedaan

    prevalensi dan tingkat keparahan penyakit saluran pernapasan.

    Gangguan pada sistem pernapasan merupakan penyebab utama

    morbiditas dan mortalitas. Infeksi pada saluran pernapasan jauh lebih sering

    terjadi dibandingkan dengan infeksi pada sistem organ tubuh lain dan berkisar

    dari flu biasa dengan gejala-gejala serta gangguan yang relatif ringan sampai

    pneumonia berat.

  • 17

    Menurut Price (1995) pada tahun 1989, kira-kira 142.000 orang

    meninggal dunia karena kanker paru-paru menduduki peringkat pertama dari

    urutan kematian akibat kanker baik pada pria maupun wanita di Amerika

    Serikat. Angka ini terus mencuat ketingkat yang membahayakan dan

    prevalensinya saat ini kira-kira 25 kali lebih tinggi dibandingkan 25 tahun yang

    lalu. Insidens penyakit pernapasan kronik, terutama emfisema paru-paru dan

    bronkitis kronis semakin meningkat dan sekarang merupakan penyebab utama

    gangguan serta cacat kronik pada pria dan penyakit jantung.

    2.4. Pemeriksaan Kapasitas Fungsi Paru

    Menurut Guyton (2001) dalam Yulaekah (2007) Kapasitas fungsi paru

    merupakan kesanggupan atau kemampuan paru untuk atau dalam menampung

    udara di dalam. Kapasitas paru adalah suatu kombinasi peristiwa-peristiwa

    sirkulasi paru atau menyatakan dua atau lebih volume paru yaitu volume alun

    nafas, volume cadangan ekspirasi dan volume residu. Adapun kapasitas paru

    dapat di bedakan sebagai berikut:

    a. Kapasitas total yaitu jumlah udara yang dapat mengisi paruparu pada

    inspirasi sedalam-dalamnya. Dalam hal ini angka yang di dapat

    tergantung dari beberapa hal yaitu kondisi paru, umur, sikap, dan bentuk

    seseorang.

    b. Kapasitas vital yaitu jumlah udara yang dapat di keluarkan setelah

    ekspirasi maksimal (Syaifudin, 1997).

  • 18

    Menurut Lauralee (2001) Kapasitas paru dapat di bedakan empat yaitu:

    a. Kapasitas inspirasi

    b. Kapasitas residu fungsional

    c. Kapasitas vital

    d. Kapasitas paru total

    Dari klasifikasi atau penggolongan kapasitas paru di atas, maka yang

    dapat digunakan untuk pengukuran kapasitas vital paru merupakan pengukuran

    kemampuan menghirup udara sekuat-kuatnya hingga menghembuskannya

    dengan maksimal Lauralee (2001).

    Menurut Guyton (2001) dalam Yulaekah (2007) pengukuran kapasitas

    vital paru yaitu jumlah terbesar yang dapat dikeluarkan dari paru setelah

    inspirasi maksimum. Seringkali digunakan di klinik sebagai indeks fungsi paru.

    Nilai tersebut bermanfaat dalam memberikan informasi mengenai kekuatan

    otot-otot pernafasan serta beberapa aspek fungsi pernapasan lain yang

    berhubungan dengan gangguan fungsi paru

    2.5. Sistem Pernafasan

    2.5.1. Anatomi Saluran Pernafasan

    Dalam Lauralee (2001) sistem pernafasan adalah saluran yang

    mengangkut udara antara atmosfer dan alveolus, tempat terakhir yang

    merupakan satu-satunya tempat pertukaran gas-gas antara udara dan

    darah dapat berlangsung. Saluran pernafasan berawal di saluran hidung

    (nasal). Saluran hidung berjalan ke tenggorokan (faring) yang berfungsi

  • 19

    sebagai saluran bersama bagi sistem pernapasan maupun sistem

    pencernaan. Terdapat dua saluran yang berjalan dari faring-trakea,

    tempat lewatnya udara ke paru. Udara dalam keadaan normal masuk ke

    faring melalui hidung tetapi udara juga dapat masuk melalui mulut jika

    hidung tersumbat.

    Setelah faring, laring atau kotak suara yang terletak di pintu masuk

    trakea, memiliki penonjolan di bagian anterior yang membentuk jakun

    bagi laki-laku. Pada saat pita suara udara mengalir cepat melewati pita

    suara yang tegang, pita suara tersebut bergetar untuk menghasilkan

    bermacam-macam bunyi.

    Setelah laring, trakea terbagi menjadi dua cabang utama, bronkus

    kanan dan kiri, yang masing-masing ke paru kanan dan kiri. Di dalam

    setiap paru, bronkus tersebut bercabang-cabang menjadi saluran napas

    yang semakin sempit, pendek dan banyak seperti percabangan pohon.

    Cabang terkecil dikenal sebagai bronkiolus. Diujung bronkiolus

    terkumpul alveolus, kantung udara kecil tempat terjadinya pertukaran

    gas-gas antara udara dan darah.

  • 20

    Gambar 2.1. Anatomi sistem pernafasan.

    Sumber : Lauralee,2001, Hal.413.

    2.5.2. Fisiologi Pernafasan

    Dalam Lauralee (2001) fungsi paru-paru yang utama adalah untuk

    proses respirasi, yaitu pengambilan dari udara luar masuk ke dalam saluran

    nafas dan terus ke dalam darah. Oksigen digunakan untuk proses metabolisme

    dan korbondioksida yang terbentuk pada proses tersebut dikeluarkan dari dalam

    darah ke udara luar.

    Adapun Proses respirasi dapat dibagi dalam 3 tahap utama yaitu:

    1. Ventilasi adalah proses keluar dan masuknya udara ke dalam paru, serta

    keluarnya karbondioksida dari alveoli ke udara luar.

    2. Difusi adalah berpindahnya oksigen dari alveoli ke dalam darah serta

    keluarnya karbondioksida dari darah ke alveoli.

  • 21

    3. Perfusi adalah distribusi darah yang telah teroksigenasi di dalam paru

    untuk dialirkan ke seluruh tubuh.

    Masuk keluarnya udara dari atmosfer ke dalam paru-paru dimungkinkan

    oleh peristiwa mekanik pernafasan yang dikenal sebagai inspirasi dan ekspirasi.

    Pada masa inspirasi paru-paru berkembang sedangkan pada masa ekspirasi

    paru-paru menguncup. Otot terpenting dalam proses insiprasi adalah diafragma,

    antariga eksternal dan otot leher. Proses inspirasi adalah proses yang aktif

    karena dalam proses ini terjadi kontraksi otot dan mengeluarkan energi.

    Sedangkan ekspirasi merupakan proses yang pasif karena dihasilkan akibat

    relaksasinya otot-otot yang berkontraksi selama inspirasi, yaitu otot abdomen

    dan antariga internal.

    2.6. Patofisiologi Pernafasan

    Ada tiga jenis kelainan fisiologis yang menimbulkan insuffiensi pernafasan

    yaitu (Sanusi, 1986) :

    1. Disebabkan oleh ventilasi yang tidak memadai di alveoli

    2. Berkurangnya difusi gas melalui membran pernafasan

    3. Berkurangnya transpor oksigen dari paru-paru ke jaringan.

    Gejala gangguan fungsi paru, seperti sesak nafas, nyeri dada dan penurunan

    yang cepat dari kapasitas ventilasi pada hari pertama masuk kerja memberikan

    kesan bahwa debu terdapat bahan yang menyebabkan edema di bronchiolus.

    Pada stadium lanjut edema ini akan bersifat menetap pada setiap hari kerja.

  • 22

    Kegagalan pernafasan dapat terjadi akibat kelainan paru yang

    menyebabkan gangguan ventilasi atau aliran darah. Kelainan ventilasi yang biasa

    terjadi adalah obstruktif dan restriktif. Keadaan fungsi paru ini dapat dinilai atau

    diukur dengan menggunakan spirometri.

    2.7. Spirometer sebagai Alat Pengukur Kapasitas Paru

    Spirometer adalah alat untuk mengukur volume udara yang dihirup dan

    dihembuskan. Alat ini terdiri dari tong berisi udara yang terapung pada sebuah

    wadah berisi air. Sewaktu seseorang menghirup dan menghembuskan udara

    keluar-masuk tong melalui sebuah selang penghubung, tong akan naik atau turun

    yang kemudian dicatat sebagai suatu spirogram. Pencatatan tersebut dikalibrasi

    ke besarannya perubahan volume dinamik. Adapun klasifikasi volume dinamik

    sebagai berikut:

    1. Volume ekspirasi paksa dalam satu detik (forced expiratory volume,

    FEV1). Volume udara yang dapat diekspirasi selama satu detik pertama

    pada penentuan Kapasitas Vital (KV) yaitu volume maksimum udara

    yang dapat dikeluarkan selama satu kali bernapas setelah inspirasi

    maksimum. Biasanya FEV1 adalah sekitar 80%, yaitu dalam keadan

    normal 80% udara yang dapat dipaksa keluar dari paru-paru yang

    mengembang maksimum dapat dikeluarkan dalam 1 detik pertama

    (Ganong, 1998).

  • 23

    2. Maximum volumntary ventilation (MVV) adalah jumlah udara yang dapat

    dikeluarkan secara maksimum dalam 2 menit dengan bernapas cepat dan

    dalam secara maksimal (Ganong, 1998).

    Kegunaan pemeriksaan paru lebih dari sekedar untuk pengetahuan

    akademik. Pengukuran tersebut mendeteksi penyakit paru dengan gangguan

    pernapasan sebelum bekerja, kemudian secara berkala selama kerja untuk

    menemukan penyakit secara dini serta menentukan apakah seseorang mempunyai

    fungsi paru normal, restriksi, obstruksi atau campuran (mixed). Tujuan

    epidemiologis adalah menilai bahaya di tempat kerja dan mendapatkan standar

    bahaya tersebut (Lorriane, 1995).

    Tabel 2.1. Klasifikasi Penilaian Fungsi Paru

    Nilai Normal KVP >80%, nilai prediksi untuk semua umur

    Restriksi KVP < 80%; FEV1 > 75%

    Obstruksi KVP > 80%; FEV1 < 75%

    Restriksi Obstruksi

    (Mixed)

    KVP< 80%; FEV < 75%

    Sumber : American Thoracic Society, Medical Section of The Asian Lung

    Association.Am. Rev Respir.

  • 24

    RESTRIKSI NORMAL

    RESTRIKSI

    OBSTRUKSI

    OBSTRUKSI

    0 80% KVP

    Bagan 2.1. Klafikasi Penilaian Fungsi Paru

    2.8. Aktivitas Penambangan dan Pengolahan Batu Kapur

    Batu kapur adalah batuan sedimen berjenis khusus yang terbentuk dari

    kerangka hewan-hewan kecil lautan. Penggunaan batu kapur sudah beragam

    diantaranya untuk bahan kaptan, bahan campuran bangunan, industri karet dan

    ban, kertas, dan lain-lain. Batuan kapur ini sangat penting artinya sebagai

    bahan dasar dalam industri. Batuan kapur mempunyai sifat yang istimewa,

    bila dipanasi akan berubah menjadi kapur yaitu kalsium oksida (CaO) dengan

    terjadi proses dekarbonisasi (pelepasan gas CO2) (Curtis, 2000).

    2.8.1. Proses Penambangan dan Pengolahan Batu Kapur

    Menurut Bappedal (2006) dalam Sucipto (2007) sebelum kapur mati

    (kalsium karbonat) menjadi kalsium oksida (kapus hidup), terlebih dahulu

    FEV1

    75%

  • 25

    diawali dengan proses pengolahan batu kapur. Adapun proses pengolahan batu

    kapur terdiri dari beberapa tahap yaitu :

    a. Kegiatan Penambangan

    Kegiatan penambangan batu kapur biasanya menggunakan bahan

    peledak dinamit sederhadan dan peralatan penambangan penambangan

    lainnya.

    b. Kegiatan Pengangkutan dan Penimbunan

    Kegiatan ini mengangkut batu kapur dari penambangan menggunakan

    truk dengan kapasitas angkut 3 ton, kemudian batu kapur ditimbun ke

    lokasi pembakaran di dalam tungku atau tobong pembakaran.

    c. Kegiatan Pembakaran

    Kegiatan pembakaram merupakan tahapan dimana batuan kapur

    dibakar sampai menjadi kapur. Tungku pembakaran bias mencapai 3-5

    ton. Bahan bakar yang digunakan biasanya berbeda-beda setiap

    kelompok, ada yang menggunakan limbah karet, limbah kayu, limbah oil

    sludge dan sebagainya. Lamanya proses ini bekerja kurang lebih selama

    48 jam atau lamanya proses juga dipengaruhi bahan bakar yang

    digunakan. Kegiatan pembakaran ini menghasilkan debu dan asap yang

    hitam pekat.

    d. Kegiatan Pemadaman

    Batu kapur yang sudah hidup (matang) mencapai 88-90% sehingga

    menghasilkan kalsium oksida (CaO) dipadamkan dalam bentuk padat

  • 26

    (bongkahan) maupun bubuk (powder) apabila sudah disiram oleh air yang

    siap dijual. Bentuk dari CaO tergantung permintaan pasar.

    e. Kegiatan Pengayakan dan Finishing Produk Kapur.

    Batu kapur yang dipesan dalam bentuk bubuk perlu dilakukan

    pengayakan terlebih dahulu kemudian di masukan kedalam karung

    pengemasan dan siap untuk dijual.

    Gambar 2.2. Diagram Alir Proses Pengolahan Batu Kapur

    Sumber : Bappedal (2006) dalam Rizal (2010)

    Kapur Matang

    (CaO)

    Pengayakan&

    Finishing

    Pemadaman Kapur

    Bahan Bakar:

    Ban bekas, Kayu

    Bekas, Oli bekas,

    Solar.

    Air

    Gas Buang Emisi

    Batu Kapur Hail

    Penambangan

    sebagai Bahan Baku

    Tungku

    Pembakaran Kapur

  • 27

    2.9. Faktor Lingkungan sebagai Polutan Udara

    2.9.1. Gambaran Umum Pencemaran Udara

    Menurut Sumantri (2010), udara adalah suatu campuran gas yang

    terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Komposisi campuran gas

    tersebut tidak selalu konstan. Komponen yang konsentrasinya paling bervariasi

    adalah air dalam bentuk bentuk uap H2O dan Karbon Dioksida (CO2). Jumlah

    uap air yang terdapat di udara bervariasi dari cuaca dan suhu. Udara di alam

    tidak pernah ditemukan bersih tanpa polutan sama sekali.

    Beberapa gas polutan menurut Fardiaz (1992) seperti Sulfur dioksida

    (SO2), Hidrogen sulfida (H2S), dan Karbon Monoksida (CO) selalu dibebaskan

    ke udara sebagai produk sampingan dari proses-proses alami seperti aktivitas

    vulkanik, pembusukan sampah tanaman, kebakaran hutan, dan sebagainya.

    Selain itu partikel-partikel padatan atau cairan berukuran kecil dapat tersebar

    diudara oleh angin, letusan vulkanik atau gangguan alam lainnya. Selain

    disebabkan polutan alami tersebut, polusi udara disebabkan oleh aktivitas

    manusia.

    Menurut Chandra (2007), pencemaran udara adalah dimasukkannya

    komponen lain ke dalam udara, baik oleh kegiatan manusia secara langsung

    atau tidak langsung maupun akibat proses alam sehingga kualitas udara turun

    sampai ketingkatan tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang

  • 28

    atau tidak dapat lagi berfungsi sesuai peruntukannnya.

    Sedangkan menurut Wardhana (2001) pencemaran udara juga diartikan

    sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang

    menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya.

    Selain itu, menurut Sumamur (1986) pencemaran udara oleh partikel

    dapat disebabkan oleh karena peristiwa alamiah dan dapat pula disebabkan

    oleh aktifitas manusia, melalui kegiatan industri dan teknologi. Partikel yang

    mencemari udara banyak macam dan jenisnya, tergantung pada macam dan

    jenis kegiatan industri dan teknologi yang ada.

    Menurut Soedomo (2001), dilihat secara kimiawi, banyak sekali macam

    bahan pencemar. Bahan pencemar yang yang menjadi perhatian adalah pencemar

    utama (major air pollution) yaitu golongan oksida karbon (CO, CO2), Oksida

    belerang (SO2 ,SO3), Oksida Nitrogen (N20, NO,NO3), senyawa hasil reaksi foto

    kimia, partikel (asap, debu, asbestos, H2S, NH3, H2SO4, HNO3, Hidrokarbon

    (CH4, C4H10), unsur radio aktif (Tritium, Radon), energi panas (suhu) dan

    kebisingan.

    Menurut Yulaekah (2007), pencemaran udara dapat mengakibatkan

    bereaksinya bahan polutan dangan organ paru dan jika hal ini berlangsung terus-

    menerus dapat mengakibatkan gangguan fungsi paru, yang akhirnya dapat

    meningkatkan kelainan faal paru obstruktif. Bahan pencemar udara yang dapat

    menyebabkan gangguan pada saluran pernafasan dari udara ambien antara lain

  • 29

    gas SO2, O3, NO2 dan partikel debu (0,1-10g. Bahan-bahan tersebut dapat

    mempengaruhi fungsi paru yang akhirnya dapat menyebabkan terjadinya

    kelainan paru obstruktif. Berikut ini gambaran pencemaran partikel debu (PM10)

    dan asap (SO2, NO2) yang dapat berpengaruh terhadap gangguan kesehatan.

    2.9.2. Gambaran Pencemaran Partikel Debu (PM 10) dan Asap (SO2, NO2)

    terhadap Gangguan Paru.

    2.9.2.1. Paparan Debu Partikulat Meter 10 (PM 10).

    Menurut Slamet (2000) dalam Khumaidah (2009), debu adalah zat

    padat yang dihasilkan oleh manusia atau alam dan merupakan hasil dari

    proses pemecahan suatu bahan, berukuran 0,1-25 mikron dan termasuk kedalam

    golongan partikulat. Partikulat adalah zat padat/cair yang halus, dan tersuspensi

    diudara, misalnya embun, debu, asap, fumes dan fog. Partikulat ini dapat

    terdiri atas zat organik dan anorganik.

    Sedangkan dalam Environmetal Protection Agency (2001) debu

    merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel yang

    melayang di udara (Suspended Particulate Matter/SPM). Suspended particulare

    metter adalah partikel halus di udara yang terbentuk saat proses pembakaran

    bahan bakar minyak. Terutama partikulat halus yang disebut PM10. Particulat

    Matter 10 (PM10) adalah jenis pencemaran yang terdiri dari partikel cair dan

    padat yang sangat kecil berdiameter 10 mikron untuk dihirup kebagian terdalam

  • 30

    paru-paru. Diibaratkan, ukuran rambut manusia adalah 60 mikron, maka PM10

    adalah 6 kali lipat dari sehelai rambut

    Menurut Pudjiastuti (2002) partikel debu dapat menggangu kesehatan

    manusia seperti timbulnya iritasi pada mata, alergi, gangguan pernapasan dan

    kanker paru-paru. Efek debu terhadap kesehatan sangat tergantung pada :

    Solubity (mudah larut), komposisi kimia, konsentrasi debu dan ukuran partikel

    debu

    Kemudian, ukuran debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya

    penyakit pada saluran pernapasan. Dari hasil penelitian ukuran tersebut dapat

    mencapai organ target sebagai berikut:

    a. 5-10 mikron akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian atas.

    b. 2-5 mikron akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian tengah.

    c. 1-3 mikron hinggap dipermukaan/ selaput lendir sehingga

    menyebabkan vibrosis paru.

    d. 0,1-0,5 mikron melayang di permukan alveoli.

    Sedangkan dalam Fardiaz (1992) partikel-partikel yang masuk dan

    tertinggal di dalam paru-paru mungkin berbahaya bagi kesehatan karena tiga

    hal penting, yaitu:

    a. Partikel tersebut mungkin beracun karena sifat-sifat kimia dan

    fisiknya.

  • 31

    b. Partikel tersebut mungkin bersifat inert (tidak beraksi) tetapi

    tinggal di dalam saluran pernafasan dapat menggangagu

    pembersihan bahan-bahan lain yang berbahaya.

    c. Partikel-partikel tersebut mungkin dapat membawa molekul-

    molekul gas yang berbahaya, baik dengan cara mengabsorbsi

    atau mengadsorbsi, sehingga molekul-molekul gas tersebut

    dapat mencapai dan tertinggal di bagian paru-paru yang

    sensitif. Karbon merupakan partikel yang umum dengan

    kemampuan yang baik untuk mengabsorbsi molekul-molekul

    gas pada permukaannya.

    Dalam Pope III et al (2006) partikel PM10 yang berdiameter 10 mikron

    memiliki tingkat kelolosan yang tinggi dari saringan pernafasan manusia dan

    bertahan di udara dalam waktu cukup lama. Tingkat bahaya semakin

    meningkat pada pagi dan malam hari karena asap bercampur dengan uap air.

    PM10 tidak terdeteksi oleh bulu hidung sehingga masuk ke paru-paru. Jika

    partikel tersebut terdeposit ke paru-paru akan menimbulkan peradangan

    saluran pernapasan.

    Menurut Church dalam Kelly et al. (1998), terjadi hubungan peningkatan

    gejala asma dari kunjungan rumah sakit dan kematian akibat peningkatan PM10 di

    udara. Serangkaian analisis time-series dari hubungan kematian sebesar 1% per

    hari setiap harinya dengan peningkatan konsentrasi PM10 sebesar 10mg/m.

  • 32

    Hubungan kuat diamati dengan kejadian penyakit kardiovaskular dan peningkatan

    konsentrasi PM10 sebesar 1,4% per 10 mg/m dan gangguan pernafasan sebesar

    3,4% per 10 mg/m dengan gejala hidung berair, hidung tersumbat, sinusitis, sakit

    tenggorokan, batuk kering dan berdahak, sesak napas dan dada tidak sakit.

    Dalam Pudjiastuti (2002) gejala penyakit ini berupa sakit paru-paru,

    namun berbeda dengan penyakit TBC paru. Partikel debu selain memiliki

    dampak terhadap kesehatan juga dapat menyebabkan gangguan sebagai

    berikut:

    a. Gangguan estetik dan fisik seperti terganggunya pemandangan dan

    pelunturan warna bangunan dan pengotoran.

    b. Merusak kehidupan tumbuhan yang terjadi akibat adanya penutupan

    pori-pori tumbuhan sehingga jalnnya fotosintesis.

    c. Merubah iklim global regional maupun internasional

    d. Mengganggu perhubungan/penerbangan yang akhirnya menganggu

    kegiatan sosial ekonomi di masyarakat

    Menurut Price (1995) mekanisme penimbunan debu dalam paru ; debu

    diinhalasi dalam bentuk partikel debu solid, atau suatu campuran dan asap.

    Udara masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan dilembabkan.

    Ketiga fungsi tersebut disebabkan karena adanya mukosa saluran pernapasan

    yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia, dan mengandung sel goblet.

    Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat pada lubang

    hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam lapisan

  • 33

    mokosa. Gerakan silia mendorong lapisan mukosa ke posterior, ke rongga

    hidung dan kearah superior menuju faring dan menuju paru-paru.

    Kemudian, partikel debu yang masuk kedalam paru-paru akan

    membentuk fokus dan berkumpul dibagian awal saluran limfe paru. Debu ini

    akan difagositosis oleh magrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap magrofag

    akan merangsang terbentuknya magrofag baru. Pembentukan dan destruksi

    magrofag yang terus-menerus berperan penting dalam pembentukan jaringan

    ikat kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan ikat yang membentuk

    fibrosis.

    Fibrosis ini terjadi pada parenkim paru yaitu pada dinding alveoli dan

    jaringan ikat intertestial. Akibat fibrosis paru akan terjadi penurunan elastisitas

    jaringan paru (pergeseran jaringan paru) dan menimbulkan ganggguan

    pengembangan paru. Bila pengerasan alveoli mencapai 10% akan terjadi

    penurunan elastisitas paru yang menyebabkan kapasitas vital paru akan

    menurun dan dapat mengakibatkan menurunnya suplai oksigen ke dalam

    jaringan otak, jantung dan bagian-bagian tubuh lainnya sehingga hal ini

    menjadi faktor risiko terjadinya serangan penyakit kardiovaskular.

    Hal ini dibuktikan secara studi epidemiologi dalam Pope et al. (2003)

    menunjukkan bahwa partikulat halus (PM) polusi udara memiliki efek yang

    merugikan kesehatan manusia. Meskipun banyak penelitian telah difokuskan

    pada titik akhir kesehatan pernapasan, ada bukti yang berkembang bahwa PM

    merupakan faktor risiko untuk penyakit kardiovaskular. Bukti ini berasal dari

  • 34

    studi yang telah mengamati peningkatan kematian penyakit kardiovaskuler

    selama terjadinya polusi , asosiasi betwen perubahan harian di PM dan

    kematian kardiovaskular, rawat inap dan peningkatan risiko mortalitas penyakit

    cardiopulmonary pada dewasa yang terkait dengan perbedaan spasial dalam

    konsentrasi PM ambien.

    2.9.2.2. Paparan Sulfur Dioksida (SO2)

    Dalam Soedomo (2001) SO2 terbentuk dari fungsi kandungan Sulfur

    dalam bahan bakar fosil. Selain itu kandungan sulfur dalam pelumas juga

    menjadi penyebab emisi SO2.

    Reaksi kimia:

    S2

    + O2- SO2

    Udara yang telah tercemar SO2 menyebabkan manusia akan mengalami

    gangguan pada sistem pernapasannya. Hal ini karena gas SO2 yang mudah

    menjadi asam tersebut menyerang selaput lendir pada hidung, tenggorokan

    dan saluran napas yang lain sampai ke paru-paru. Serangan gas SO2 tersebut

    menyebabkan iritasi pada bagian tubuh yang terkena. Daya iritasi SO2 pada

    setiap orang ternyata tidak sama. Ada orang yang sensitif dan sudah akan

    mengalami iritasi apabila terkena SO2 berkonsentrasi 1-2 ppm, namun ada

    pula orang yang baru akan mengalami iritasi tenggorokan apabila terkena SO2

    berkonsentrasi 6 ppm.

  • 35

    Gas SO2 merupakan bahan pencemar yang berbahaya bagi anak anak,

    orang tua dan orang yang menderita penyakit pernapasan kronis dan penyakit

    kardiovaskular. Otot saluran pernapasan dapat mengalami kejang (spasme)

    bila teriritasi oleh SO2 dan spasme akan lebih berat bila konsentrasi SO2 lebih

    tinggi sementara suhu udara rendah. Apabila waktu paparan dengan gas SO2

    cukup lama maka akan terjadi peradangan yang hebat pada selaput lendir yang

    diikuti oleh paralysis cilia (kelumpuhan sistem pernapasan), kerusakan

    lapisan ephitelium yang pada akhirnya diikuti oleh kematian.

    Pajanan jangka pendek terhadap SO2 dapat menyebabkan konstriksi

    saluran udara pernapasan pada penderita asma dan individu sensitif lainnya.

    Sedangkan pajanan kronik dapat menyebabkan penebalan selaput lendir

    trachea, mirip dengan bronkhitis kronik.

    Penebalan selaput lendir trachea tersebut dapat menyelimuti dan

    membuat tidak aktifnya getaran atau denyut lapisan rambut getar dari saluran

    pernapasan atas, yang pada keadaan normal berfungsi mengeluarkan agen

    infeksius dan partikel asing. SO2 merupakan senyawa yang cepat bereaksi

    dengan jaringan paru dan menimbulkan efek yang sangat luas karena dapat

    ditransportasikan sampai ke sum-sum tulang dan menimbulkan anemia

    aplastik.

    Pada konsentrasi 6-12 ppm, SO2 mudah diserap oleh selaput lendir

    saluran pernapasan bagian atas (tidak lebih dalam daripada larynx). Dalam

  • 36

    kadar rendah, SO2 dapat menimbulkan spasme temporer otot-otot polos pada

    bronchioli. Spasme ini dapat menjadi lebih hebat pada keadaan dingin. Pada

    konsentrasi yang lebih besar, terjadi produksi lendir di saluran pernapasan

    bagian atas dan apabila kadar SO2 bertambah tinggi lagi, maka akan terjadi

    reaksi peradangan yang hebat pada selaput lendir yang disertai dengan

    paralysis cilia dan kerusakan lapisan epithelium. Bila kadar SO2 (6 - 12 ppm)

    tetapi pemaparan terjadi berulang kali, maka iritasi selaput lendir yang

    berulang ulang dapat menyebabkan terjadinya hyperplasia dan metaplasia

    sel-sel epitel. Metaplasia ini dicurigai dapat berubah menjadi kanker.

    2.9.2.3. Paparan NO2 terhadap Gangguan Pernafasan

    Selain terdapat di alam, nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida

    (NO2) berasal dari gas-gas yang dihasilkan oleh buangan kendaraan bermotor

    dan pusat-pusat tenaga listrik. Tidak seperti carbon dan sulfur, NO tidak

    terdapat dalam bahan bakar minyak, akan tetapi berasal dari udara dimana

    terjadi proses pembakaran dari senyawa ini. Pengaruh NO terhadap lingkungan

    yang utama adalah dalam pembentukan Smog.

    Pengaruh langsung dari NO terhadap kesehatan tidak diketahui dengan

    jelas, akan tetapi NO dalam kadar yang cukup tinggi dapat bereaksi dengan Hb

    dan mempunyai sifat yang sama dengan CO, karena dapat menghalangi fungsi

    normal Hb dalam darah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa NO

  • 37

    memberikan efek menambah kelemahan terhadap infeksi bakteri paruparu.

    NO dapat menyebabkan iritasi pada mata, saluran pernapasan dan

    pembengkakan pada paru-paru karena waktu paparan yang cukup lama pada

    konsentrasi 1 ppm. Absorbsi gas NO2 oleh mukosa dapat menyebabkan

    peradangan saluran pernapasan bagian atas dan iritasi pada mukosa mata

    (Soedomo, 2001).

    Menurut Sunu (2001), organ tubuh yang paling peka terhadap

    pencemaran gas NO2 adalah paruparu. Paruparu yang terkontaminasi oleh gas

    NO2 akan membengkak sehingga penderita sulit bernapas yang dapat

    mengakibatkan kematian. Pengaruhnya terhadap kesehatan yaitu terganggunya

    sistem pernapasan dan dapat menjadi emfisema, bila kondisinya kronis dapat

    berpotensi menjadi bronkhitis serta akan terjadi penimbunan NO2 dan dapat

    merupakan sumber karsinogenik.

    Sifat bahayanya terletak pada gejala yang tidak segera tampak setelah

    menghirup sejumlah dosis berbahaya. Gejala kerusakan paru atau pulmonary

    edema baru muncul setelah 72 jam. Konsentrasi 25 ppm dapat menimbulkan

    pulmonary edema setelah 5-48 jam (Irhamkhasani, 2002).

    2.10. Baku Mutu Udara Ambien

    Baku mutu udara ambien (BMUA) merupakan ukuran batas atau kadar

    zat, energi, dan/atau komponen yang ada atau seharusnya ada dan/atau unsur

  • 38

    pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien (Permen

    Lingkungan Hidup No. 12 Tahun 2010)

    Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun

    1999 Baku Mutu Udara Ambien Nasional, menyatakan bahwa kadar debu

    partikel 10 mikron di udara yang memenuhi syarat adalah tidak melebihi dari

    150 g/m3. Sedangkan konsentrasi suhu dan kelembaban diatur dalam Kepmenkes

    RI No.1405/Menkes/SK/XI/2002 lampiran II tentang Persyaratan Penyelenggaraan

    Kesehatan Lingkungan Kerja Industri persyaratan suhu adalah 18-30 oC dan untuk

    kelembaban adalah 65%-95% di lingkungan industry.

    2.11. Faktor Karakteristik Individu yang Menyebabkan Timbulnya Gangguan Fungsi Paru

    Selain dari paparan debu partikel dan asap dari faktor lingkungan, faktor-

    faktor lain yang dapat meningkatkan risiko gangguan fungsi paru pada pekerja

    pengolahan batu kepur, berikut pejelannya :

    a. Umur

    Faal paru tenaga kerja dipengaruhi oleh umur. Meningkatnya umur

    seseorang maka kerentanan terhadap penyakit akan bertambah, khususnya

    gangguan saluran pernapasan pada tenaga kerja (Yunus,F, 1997). Faktor umur

    mempengaruhi kekenyalan paru sebagaimana jaringan lain dalam tubuh.

    Walaupun tidak dapat dideteksi hubungan umur dengan pemenuhan volume

  • 39

    paru tetapi rata-rata telah memberikan suatu perubahan yang besar terhadap

    volume paru. Hal ini sesuai dengan konsep paru yang elastisitas.

    Pada penelitian Yulaekah (2007), menunjukan bahwa ada hubungan yang

    bermakna antara paparan debu terhirup dengan gangguan fungsi paru pada

    kelompok umur 31-40 tahun. Sedangkan pada kelompok umur 20-30 tahun

    tidak ada hubungan antara paparan debu dengan gangguan fungsi paru.

    b. Jenis Kelamin

    Menurut Wikipedia, jenis kelamin dikaitkan pula dengan aspek gender,

    karena terjadi diferensiasi peran sosial yang dilekatkan pada masing-masing

    jenis kelamin. Berdasarkan laporan National Center for Health Statistic/NCHS

    (2003) dalam Sucipto (2007) jumlah wanita yang mengalami serangan asma

    lebih banyak daripada lelaki

    Selain itu dalam Sucipto (2007) penyakit paru dapat menjadi perhatian

    utama bagi perempuan. Jumlah perempuan yang diidentifikasi memiliki

    penyakit paru-paru meningkat. Lebih banyak perempuan juga meninggal akibat

    penyakit paru-paru. Ada 3 jenis penyakit paru-paru yang sangat umum pada

    wanita: asma, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), dan kanker paru-paru.

    Perempuan memiliki variabilitas nilai arus puncak ekspirasi lebih rendah

    daripada laki-laki menurut H.M Boezen dkk (1994) dalam Sucipto (2007).

    Kecenderungan bahwa asma lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria

    mungkin disebabkan oleh fluktuasi kadar hormon, demikian sebuah laporan

    http://id.wikipedia.org/wiki/Gender_(sosial)

  • 40

    yang dipresentasikan dalam pertemuan tahunan American College of Allergy,

    Asthma and Immunology, di Anaheim, Calif. Menurut seorang peneliti dari

    University of California and the Allergy & Asthma Medical Group and

    Research Center di San Diego, wanita berusia antara 20-50 tahun ternyata 3

    kali lebih sering dibanding pria untuk dirawat di Rumah Sakit akibat asma.

    c. Masa Keja

    Masa kerja adalah jangka waktu orang sudah bekerja pada suatu kantor,

    badan dan sebagainya (KBBI, 2001). Menurut (Sumamur, 1996) masa kerja

    adalah lamanya seorang tenaga kerja dalam (tahun) dalam satu lingkungan

    perusahaan, dihitung mulai saat bekerja sampai penelitian berlangsung.

    Semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar

    bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut.

    Pada penelitian Yulaekah (2007), menunjukan bahwa pada kelompok

    kerja 5-10 tahun ada hubungan yang bermakna antara paparan debu terhirup

    dengan gangguan fungsi paru.

    d. Lama Paparan

    Dalam Yunus F (1997) berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya

    penyakit atau gangguan pada saluran napas akibat debu. Faktor itu antara lain

    adalah faktor debu yang meliputi ukuran partikel, bentuk, konsentrasi, daya

    larut dan sifat kimiawi dan lama paparan

  • 41

    Dalam Mengkidi (2006) lama paparan adalah waktu yang dihabiskan

    seseorang berada dalam lingkungan kerja dalam waktu sehari. Kemudian dalam

    Sumamur (1998) menyatakan bahwa salah satu variabel potensial yang dapat

    menimbulkan gangguan fungsi paru adalah lamanya seseorang terpapar polutan

    tersebut dalam suatu lingkungan tertentu, selain itu menurut Bannet (1997)

    dalam Nugraheni (2004) bahwa konsentrasi debu dan lama paparan terhadap

    polutan berbanding lurus dengan gangguan fungsi paru.

    e. Kebiasaan merokok.

    Kebiasan merokok dapat mempengaruhi kapasitas vital paru. Saat

    merokok terjadi suatu proses pembakaran tembakau dengan mengeluarkan

    polutan partikel padat dan gas. Asap rokok merangsang sekresi lender

    sedangkan nikotin akan melumpuhkan silia sehingga fungsi pembersihan jalan

    napas terhambat dan konsekuensinya terjadi penumpukan sekresi lendir yang

    menyebabkan terjadinya batuk-batuk, banyak dahak dan sesak napas menurut

    Ikhawn (2009) dalam Yuliani (2010). Kemudian, menyebutkan bahwa ada

    pengaruh antara kebiasaan merokok dengan kapasitas paru, yaitu semakin

    banyak jumlah batang rokok perhari yang dihisap, maka akan terjadi penurunan

    fungsi paru yang bersifat restruktif.

    Penelitian Gold et al (2005) dalam Suwondo (2013) menunjukan adanya

    hubungan dose respon antara kebiasaan merokok dengan dan rendahnya leval

    FEV1/FVC dan FEF 25-75% dengan jumlah konsumsi rokok sebanyak 10

  • 42

    batang perhari ditemukan berhubungan dengan penurunan FEF 25-75%

    disbanding orang yang tidak merokok.

    f. Status Gizi

    Status gizi secara teoritis dapat mempengaruhi daya tahan responden

    terhadap efek debu, sehingga pada seseorang dengan status gizi baik

    kemungkinan menderita penyakit pernafasan lebih kecil dari pada seseorang

    yang mempunyai gizi kurang (Setyakusuma, 1997).

    Salah satu penilaian status gizi seseorang yaitu dengan menghitung

    Indeks Masa Tubuh (IMT), dengan IMT akan diketahui apakah berat badan

    seseorang dinyatakan normal, kurus atau gemuk. Penggunaan IMT hanya untuk

    orang dewasa berumur lebih dari 18 tahun dan tidak dapat diterapkan pada bayi,

    anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan (Almatsier, 2002).

    Untuk menghitung nilai IMT dapat dihitung dengan rumus sebagai

    berikut :

    IMT=

    Untuk kepentingan Indonesia, batas ambang dimodifikasi lagi

    berdasarkan pengalaman klinis dan hasil penelitian di beberapa negara

    Berat Badan (Kg)

    Tinggi Badan (m) x Tinggi Badan (m)

  • 43

    berkembang. Pada akhirnya diambil kesimpulan, batas ambang IMT untuk

    Indonesia adalah sebagai berikut:

    Tabel 2.2. Kategori Indeks Masa Tubuh (IMT)

    IMT Kategori

  • 44

    h. Riwayat Penyakit

    Dalam Ganong (2002) beberapa penelitian diperoleh hasil bahwa

    seseorang yang mempunyai riwayat menderita penyakit paru berhubungan

    secara bermakna dengan terjadinya gangguan fungsi paru. Kondisi kesehatan

    dapat mempengaruhi nilai arus puncak ekspirasi seseorang. Kekuatan otot-otot

    pernapasan dapat berkurang akibat sakit, seperti asma, pasca Tb, PPOK

    (penyakit paru obstruktif kronik), penyakit sistemik.

    2.12. Faktor Meteorologi yang Mempengaruhi Konsentrasi Udara Ambien

    Menurut Achmadi (2011), kejadian penyakit itu dipengaruhi oleh

    kelompok variabel supra sistem, yaitu iklim, topografi, temporal dan

    suprasystem. Variabel ini dengan kata lain juga harus diperhitungkan dalam

    setiap analisis kejadian penyakit.

    Iklim menjadi salah satu peran dalam proses kejadian penyakit. Iklim

    harus diperhitungkan dalam setiap analisis, baik prediktor antisipatif maupun

    retrospektif dalam setiap kejadian penyakit.

    Berikut variabel yang termasuk dalam faktor meteorologi dan iklim

    dalam Laktin (2002) yang dapat mempengaruhi konsentrasi udara ambien

    sebagai media transmisi, yaitu diantaranya temperature, kecepatan angina, arah

    angina, curah hujan, kelembaban udara dan tekanan udara.

  • 45

    a. Temperatur

    Pergerakan mendadak lapisan udara dingin ke suatu kawasan industri

    dapat menimbulkan temperature tinggi. Dengan kata lain, udara dingin akan

    terperangkap dan titik dapat keluar dari kawasan tersebut dan cenderung

    menahan polutan tetap berada di lapisan permukaan bumi sehingga konsentrasi

    polutan di kawasan tersebut semakin lama semakin meningkat. Keadan tersebut

    di permukaan bumi dapat dikatakan tidak terdapat pertukaran udara sama

    sekali. Oleh karena itu, udara yang penuh dengan polutan dengan kondisi

    temperature tinggi akan dapat menimbulkan keadan lingkungan yang kritirs

    bagi kesehatan.

    b. Kecepatan Angin

    Kecepatan angin dalam klimatologi adalah kecepatan angina horizontal

    pada ketinggian 2 meter dari permukaan tanah yang ditanami rumput.

    Kecepatan angin yang kuat akan membawa polutan terbang kemana-mana dan

    dapat mencemari udara ke wilayah lain. Alat pengukur kecepatan angin yang

    umum digunakan adalah anemometer.

    c. Arah Angin

    Massa udara yang bergerak disebut angin. Angin selalu bertiup dari

    tempat dengan tekanan udara tinggi ke tempat yang tekanan udara rendah. Jika

    tidak ada gaya lain yang mempengaruhi maka angin akan bergerak secara

  • 46

    langsung, akan tetapi perputaran bumi pada sumbunya akan menimbulkan gaya

    yang akan mempengaruhi arah pergerakan angin. Pola arah angin ini akan

    menentukan kemana arah udara yang membawa sumber polutan bergerak ke

    suatu tempat.

    d. Hujan

    Air hujan sebagai pelarut umum cenderung melarutkan bahan polutan

    yang terdapat dalam udara. Pada musim hujan pembersihan atmosfer lebih

    efektif karena terjadi pengendapan bahan polutan yang lebih cepat (dengan

    adanya gaya gravitas) dan terjadi mekanisme pembersihan bahan polutan

    melalui mekanisme washout atau pencucian secara alami.

    e. Kelembaban Udara

    Kelembaban udara ditentukan oleh jumlah uap air yang terkandung di

    dalam udara. Dalam klimatologi untuk menunjukan kelembaban udara adalah

    kelembaban relative (relative humidity). Kelembaban relative adalah

    perbandingan antara tekanan uap air actual (yang terukur) dengan tekanan uap

    air pada kondisi jenuh, umumnya dinyatakan dalam persen. Kelembaban udara

    yang relative rendah di daerah tercemar akan mengurangi efek korosif dari

    bahan kimia pencemar. Pada kelembaban relatif tinggi didaerah tercemar akan

    terjadi peningkatan efek korosif.

  • 47

    f. Jarak Rumah dengan Sumber Pencemar

    Pencemaran udara dipengaruhi oleh iklim dan klimatologi serta

    topografi, sehingga dapat diduga semakin jauh jarak dengan sumber semakin

    rendah konsentrasi zat pencemar.

    Hasil penelitian Rahman & Suryaman (2009) menyebutkan bahwa hasil

    TSP dan PM10 menurun jaraknya dari sumber (pengolahan kapur mulai jarak

    500 meter sampai 5.000 meter.

    2.13. Manajemen Pengendalian Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja.

    Menurut Soeripto (1992) penyakit akibat faktor pekerjaan bisa

    dihindarkan asal saja tenaga kerja mempunyai kemauan dan itikad yang baik

    untuk mencegahnya. Disini tenaga kerja mempunyai peranan yang penting

    dalam menghindarkan penyakit akibat kerja. Untuk penyakit akibat kerja yang

    disebabkan golongan debu, upaya pengendaliannya dapat dilakukan :

    a. Substitusi yaitu mengganti bahan yang memiliki bahaya dengan

    bahan yang kurang berbahaya atau tidak berbahaya sama sekali.

    b. Ventilasi umum yaitu mengalirkan udara ke ruang kerja agar kadar

    debu yang ada dalam ruangan kerja menjadi lebih rendah dari kadar

    nilai ambang batas (NAB).

    c. Isolasi yaitu menutup proses, bahan atau alat kerja yang merupakan

    sumber debu agar tidak tersebar ke ruangan lain.

  • 48

    d. Memodifikasi proses yaitu mengubah proses atau cara kerja

    sedemikian rupa agar hamburan debu yang dihasilkan berkurang.

    e. Mengadakan pemantauan terhadap lingkungan kerja yaitu

    pemantauan terhadap lingkungan kerja agar dapat diketahui apakah

    kadar debu yang dihasilkan sudah melampaui nilai ambang batas

    yang diperkenankan

    f. Alat pelindung diri yaitu upaya perlindungan terhadap tenaga

    kerja agar terlindungi dari resiko bahaya yang dihadapi. Misalnya

    masker, sarung tangan, kaca mata dan pakaian pelindung.

    g. Penyuluhan kesehatan dan keselamatan kerja secara intensif agar

    tenaga kerja tetap waspada dalam melaksanakan pekerjaannya.

    2.14. Patogenesis Penyakit Berbasis Lingkungan

    Pathogenesis penyakit berbasis lingkungan dapat digambarkan dalam

    suatu model atau paradigma. Paradigma tersebut menggambarkan hubungan

    interaksi antara komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya penyakit

    dengan manusia. Hubungan interaktif tersebut sebagaimana digambarkan oleh

    Achmadi (2008) yaitu paradigm kesehatan lingkungan.

    Dengan mempelajari pathogenesis penyakit, kita dapat menentukan pada

    titik mana atau simpul mana kita bisa melakukan pencegahan. Tanpa

    memahami pathogenesis atau proses kejadian penyakit berbasis lingkungan,

    sulit melakukan pencegahan.

  • 49

    Telah disebutkan sebelumnya bahwa kejadian penyakit merupakan hasil

    hubungan interaktif antara manusia dan perilakunya serta komponen

    lingkungan yang memiliki potensi penyakit. Perilaku penduduk yang

    merupakan salah satu representativ budaya merupakan salah satu variable

    kependudukan, yaitu umur, gender, pendidikan, genetik, dan lain sebagainya.

    Dengan demikian, kejadian penyakit pada hakikatnya dipengaruhi oleh variable

    kependudukan dan variable lingkungan. Dengan kata lain pula, gangguan

    kesehatan merupakan resultant dari hubungan interaktif antara lingkungan dan

    variable kependudukan.

    Patogenesis penyakit dalam perspektif lingkungan dan kependudukan

    dapat digambarkan dalam teori Simpul oleh Achmadi (2008) pada Gambar 2.2.

    Dengan mengacu kepada gambaran skematik tersebut dibawah ini, maka

    pathogenesis atau proses kejadian penyakit berbasis lingkungan dapat diuraikan

    ke dalam 5 simpul, yaitu simpul 1 sebagai sumber penyakit; simpul 2 adalah

    komponen lingkungan yang merupakan media transmisi penyakit; simpul 3

    adalah penduduk dengan berbagai variable kependudukan seperti umur, gender,

    pendidikan, dll; sedangkan simpul 4 adalah penduduk yang dalam keadaan

    sehat atau sakit setelah mengalami inteaksi atau exposure dalam komponen

    lingkungan yang mengandung agen penyakit. Sedangkan simpul 5 adalah

    semua variabel yang memiliki pengaruh terhadap ke-empat simpul tersebut.

    Sebagai contoh adalah kebijakan, iklim dan topografi lingkungan.

  • 50

    Gambar 2.3. Teori Simpul (Achmadi, 2008).

    Simpul-simpul tersebut pada dasarnya menuntun kita sebagai simpul

    pencegahan atau simpul manajemen. Untuk mencegah penyakit tertentu agar

    tidak perlu menunggu hingga simpul 4 terjadi. Dengan mengendalikan sumber

    penyakit, kita dapat mencegah pada proses kejadian hingga simpul 3,4 atau 5.

    Adapun uraian simpu-simpul sebagai berikut :

    1. Simpul 1 : Sumber Penyakit

    Sumber penyakit adalah titik yang mempunyai dan/atau mengadakan

    agen penyakit serta mengemulsikan atau meng-emisikan agen penyakit. Agent

    Manajemen Penyakit

    Simpul 3:

    Jumlah

    Kontak

    Pemajanan

    Sehat/

    Sakit

    Simpul 1:

    Sumber

    Penyakit

    (Alamiah/

    Antropogenik)

    Udara

    Air

    Vektor penyakit

    Manusia

    Lingkungan Strategis/Politik,

    Iklim, Topografi, Suhu,dll.

    Agent Penyakit

    Simpul 2

    Manajemen Penyakit

    Simpul 3:

    Jumlah

    Kontak

    Pemajanan

    Sehat/

    Sakit

  • 51

    penyakit adalah komponen lingkungan yang menimbulkan gangguan penyakit

    melalui media perantara (yang juga komponen lingkungan).

    Sumber penyakit dapat dikelompokan menjadi dua kelompok besar, yaitu :

    a. Sumber penyakit alamiah, seperti gunung merapi dan proses pembusukan

    karena proses alamiah.

    b. Sumber penyakit hasil aktivitas manusia, seperti industri, rumah tangga,

    knalpot kendaraan dan penderita penyakit menular.

    c. Sumber penyakit dari reservoir penyakit, seperti Japanese Encephalitis,

    virus Dangue dan sebagainya.

    2. Simpul 2 : Media Transmisi Penyakit

    Media transmisi tidak memiliki potensi penyakit jika di dalamnya tidak

    mengandung agen penyakit. Mengacu pada gambar skematik komponen

    lingkungan yang dapat memindahkan agen penyakit pada hakikatnya ada lima

    komponen lingkungan, yaitu udara ambien, air yang dikonsunsi, tanah/pangan,

    binatang/vector penyakit dan manusia melalui kontak langsung.

    3. Simpul 3 : Perilaku Pemajanan

    Hubungan interaktif antara komponen lingkungan dengan penduduk

    berikut perilakunya dapat diukur dengan konsep disebut sebagai perilaku

    pemajanan atau behavioral exposure (Ahmadi, 1985). Perilaku pemajanan

    adalah jumlah kontak antara manusia dengan komponen lingkungan yang

    mengandung agen penyakit.

  • 52

    Apabila kesulitan mengukur besaran agen penyakit, maka diukur dengan

    cara tidak langsung yang disebut dengan biomarker atau tanda biologis pada

    tubuh.

    4. Simpul 4 : Kejadian Penyakit

    Kejadian penyakit merupakan outcome hubungan interaktif antara

    penduduk dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya gangguan

    kesehatan. Manifestasi hubungan tersebut menghasilkan penyakit pada

    penduduk. Ada tiga gradasi penderita penyakit, yaitu akut, subklinik dan

    penderita penyakit kategori samar dan masyarakat sehat yang harus dilindungi.

    5. Simpul 5 : Variabel Supra Sistem

    Iklim berperan dalam proses kejadian penyakit. Iklim termasuk

    komponen variabel supra sistem. Iklim harus di perhitungkan dalam setiap

    analisis, baik predictor antisipasi maupun retrospektif dalam kejadian penyakit.

    Contoh lain yang diperhitungkan juga adalah kebijakan mikro seperti

    keputusan politik yang dapat ditujukan untuk memengaruhi kondisi lingkungan

    strategis dalam setiap analisis kejadian penyakit.

    2.15. Kerangka Teori

    Mengacu pada pathogenesis penyakit yang menguhungkan interaksi

    antara komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya penyakit dengan

    manusia dalam sebuah teori simpul maka berdasarkan Ikhsan (2002), Rahman

    dan Suryaman (2009), Pudjiastuti (2002), Soedomo (2001), dan Sunu (2001)

  • 53

    menyebutkan bahwa faktor lingkungan berupa paparan debu partikel, hasil

    pembakaran seperti SO2 dan NO2 melalui udara ambien menjadi pencetus

    gangguan fungsi paru. Sedangkan menurut Yunus F (1997), Yulaekah (2007),

    Sumamur (1996), Yuliani (2010), Setyakusuma (1997), Dorce (2005), Ganong

    (2002) menyebutkan bahwa faktor-faktor lain dari internal yang berhubungan

    dengan gangguan fungsi paru adalah umur, jenis kelamin, status gizi, perilaku

    merokok, masa kerja, lama paparan, penggunaan APD, riwayat penyakit dan

    aktifitas fisik atau olahraga. Selain itu menurut Laktin (2002) adanya faktor-

    faktor meteorologi sebagai eksternal faktor yang dapat mempengaruhi

    konsentrasi udara ambien dari debu partikel, SO2 dan NO2.

  • 54

    Bagan 2.2.

    Kerangka Teori

    Sumber : Ikhsan, 2002; Rahman dan Suryaman, 2009; Pudjiastuti, 2002;

    Price&Wilson, 1995; Sunu , 2001; Soedomo, 2001; Yunus F, 1997; Yulaekah, 2007;

    Sumamur, 1996; Yuliani, 2010; Setyakusuma,1997; Dorce, 2005; Gano