faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan fungsi paru...
TRANSCRIPT
-
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN
FUNGSI PARU PADA PEKERJA PENGOLAHAN BATU KAPUR
DI DESA TAMANSARI KABUPATEN KARAWANG
TAHUN 2013
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
(SKM)
Disusun Oleh :
ANNISA FATHMAULIDA
NIM : 109101000005
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1434 H/2013 M
-
i
-
ii
-
iii
-
iv
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PRORAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
Annisa Fathmaulida : 109101000005
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja
Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Kab. Karawang Tahun 2013
ABSTRAK
Gangguan fungsi paru dari proses masuk dan keluarnya udara ke dalam paru adalah
restriksi dan obstruksi. Gangguan fungsi paru pada umumnya terjadi karena faktor individu
dan faktor lingkungan. Berdasarkan hasil studi pendahuluan sebanyak 12 dari 45 pekerja
pengolahan batu kapur mengalami gangguan paru seperti asma dan bronchitis. Selain itu
berdasarkan hasil penelitian pengukuran kadar PM10 ambien di area pengolahan batu kapur,
diperoleh kadar PM10 melebihi nilai ambang batas dengan jumlah rata-rata sebesar 514
g/m3. Kemudian hasil uji laboratorium kadar SiO2 yang melebihi ambang batas OSHA
yaitu pada batu kapur sebelum di bakar sebesar 3,46%.
Tujuan penelitian ini diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan
fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur. Waktu penelitian dilakukan pada bulan
Januari-April 2013. Jenis penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi dengan desain
cross sectional study, jumlah sampel 40 responden dan teknik pengambilan sampel adalah
quota sampling. Data diperoleh dari kuesioner (data responden), pengukuran PM10 dengan
SKC-EPAM 5000 dan pengukuran suhu dan kelembaban dengan WBGT Quest. Analisis uji
statistik menggunakan uji t-test independen dan Chi-square dengan derajat kepercayaan
95%.
Berdasarkan hasil penelitian, dari 40 responden pekerja batu kapur diperoleh
sebanyak 7 orang yang didiagnosis mengalami gangguan fungsi paru. Faktor yang memiliki
kemaknaan statistik terhadap gangguan fungsi paru adalah variabel umur (p:0,032). Faktor
lainnya yang tidak berhubungan secara statistik adalah masa kerja (0,932) dengan rata-rata
10 tahun bekerja; status gizi (0,842) dengan 32% kurus, 47% normal; konsumsi rokok
(0,285) dengan rata-rata 15 batang/hari; kadar PM10 ambien (0,783) mean 514 g/m3; suhu
(0,963) mean 32oC dan kelembaban (0,854) mean 79%.
Penelitian ini diharapkan menjadi referensi studi dan kajian bagi beberapa pihak dan
steakholder. Pertama pada pekerja untuk lebih mewaspadai bahaya kesehatan dan
keselamatan bekerja. Kedua pada pemilik menghimbau untuk memperhatikan pekerja dari
bahaya dan turut mendukung terciptanya lingkungan yang sehat dari aktivitas pengolahan
batu kapur. Ketiga kepada UKK Puskesmas setempat melakukan pemantauan kesehatan dan
peningkatan pengetahuan akan bahaya pada pekerja, dan pihak pemerintah daerah
melakukan pemantauan kualitas udara ambien di sekitar Desa Tamansari sebagai sentra
pengolahan batu kapur yang akan memiliki risiko terjadinya gangguan kesehatan pada
pekerja dan masyarakat sekitar.
xv+ 140 halaman, 3 bagan, 15 tabel, 7 gambar, 7 lampiran
Kata kunci: gangguan fungsi paru, pekerja batu kapur, faktor lingkungan, faktor individu
Daftar Bacaaan : 1986-2013
-
v
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH
MAJOR OF ENVIRONMENTAL HEALTH
Undergraduated Thesis, June 2013
Annisa Fathmaulida, NIM: 109101000005
Factors Associated with Impaired Lung Function in Limestone Processing
Workers In Tamansari Village, Pangkalan, Karawang 2013
Abstract Pulmonary function impairment of the process of entry and exit of air into the lungs
is a restriction and obstruction. Lung problems generally occur due to individual factors and
environmental factors. Based on the results of preliminary studies as many as 19 of the 58
workers processing limestone pulmonary disorders such as asthma and bronchitis. Also
based on the results of measurements of ambient PM10 levels in limestone processing area,
obtained PM10 levels exceed a threshold value with the average number of 514 g/m3. Then
the SiO2 content of the laboratory test was also performed on the limestone before it is
burned in excess of the OSHA limit of 3.46%.
The purpose of this study knowing what factors are associated with impaired lung
function in workers processing limestone. The time study was conducted in January-April
2013. This type of research is a epidemiology study with cross-sectional design, the number
of samples of 40 respondents and the sampling technique was quota sampling. Data obtained
from the questionnaires (data respondents), PM10 measurements with SKC-5000 EPAM and
temperature and humidity measurements with WBGT Quest. Statistical analysis using
independent t-test and Chi-square with degrees of 95% and alpha of 0.05.
The results, from 40 respondents limestone workers earned as much as 7 people in
diagnosis malfunction. Factors that have statistical significance for lung function impairment
is variable age (p:0.032). Other factors did not reach statistical significance are the tenure
variable (0,932) mean 10 years; nutritional status (0,842) in 32% thin,47% normal; cigarette
consumption (0,285) mean15/day; ambient PM10 levels (0,783) mean 514 g/m3;
temperature (0,963) mean 32oC and humidity (0,854) mean 79%.
This study is expected to be a reference for the study and review of some parties and
steakholder. First the workers more aware of the dangers to health and safety work. Both of
the owners are urged to pay attention to workers from hazards and contribute to the creation
of a healthy environment of limestone processing activity. Third to the UKK Puskesmas
Tamansari to monitor the health and increased knowledge of the dangers to workers, and
government area to monitor ambient air quality around the Castle Village Tamansari as
limestone processing centers that have a risk the occurrence of health workers and
surrounding communities.
Key Words: pulmonary function impairment, limestone processing workers, environment factors,
personal factors
Refferece : 1986-2013
xv+ 140 pages , 3 diagrams, 15 tables, 7 pictures, 7 attechments
-
vi
CURRICULUME VITAE
IDENTITAS PERSONAL
Nama : Annisa Fathmulida
Alamt Asal : Jl. Tampomas No. 15 D Perum Karang Indah,
Karang Pawitan, Karawang.
TTL : Subang, 16 September 1991
Agama : Islam
Golongan Darah : O
Alamat Email : [email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN
2009-2013 : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Program Studi Kesehatan Masyarakat
Peminatan Kesehatan Lingkungan
2007-2009 : SMA Negeri 3 Karawang
2003-2006 : SMP Negeri 1 Karawang
2003 : SDN Negeri Karang Pawitan 1 Karawang
PENGALAMAN ORGANISASI DAN PELATIHAN
2009-2010 : Pokja Tobacco Control ISMKMI Wil. II
2010-2012 : Staff Departemen Komunikasi dan Informasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta
2012 : Indonesian Leadership Devlopment Program 2012 oleh
Rektorat Kemahasiswaan Universitas Indonesia
2012 :Training Integrated Management Systems ISO 9001:2008,
ISO 14001:2004&OHSAS 18001:2007
PENGALAMAN PRAKTEK KERJA
2011-2012 Pengalaman Belajar Lapangan Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas) Pondok Jagung Timur , Tangerang Selatan.
2012 : Orientasi Kerja di HSE PT. Yama Engineering 2012
2013 : Kerja Praktek bidang Environment di
OE/HES PT. Chevron Pacific Indonesia
mailto:[email protected]
-
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Berkat Rahmat Allah Subhanahu wa Tala yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang serta dorongan yang kuat, akhirnya saya dapat menyelesaikan proposal
skripsi dengan judul Faktor- faktor yang Berhubungan terhadap Gangguan Fungsi
Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Kecamatan Pangkalan
Kabupaten Karawang Tahun 2013. Shalawat serta salam selalu terjunjun kepada
Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam yang telah membawa umatnya dari
dari zaman kegelapan akan iman dan pengetahuan ke zaman terang benderang akan
ilmu dan pengetahun.
Penelitian ini ditujukan untuk memenuhi persyaratan jenjang pendidikan S-1
pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penyusunan skripsi ini tidak lepas saya ingin mengucapkan terima kasih yang
kepada berbagai pihak, antara lain :
1. Ibu Minsarnawati,M.Kes dan bapak Dr.H.Arif Sumantri,M.Kes selalu
pembimbing I dan pembimbing II atas bimbingan dan arahan dalam
penelitian ini dan menyempatkan waktu di kesibukannya untuk
menyempurnakan penulisan skripsi.
2. Ibu Yuli Amran,M.KM, Ibu Dewi Utami,Ph.D., dan Bpk. Ir. Untung
Sryanto, M.Sc, selaku penguji sidang skripsi yang telah banyak
mengarahkan untuk pengayaan materi dan informasi pada skripsi ini
3. Pihak Puskesmas Pangkalan beserta staff UKK serta Dinas Kesehatan Kab.
Karawang yang mengizinkan dan mendukung penelitian ini berjalan.
4. Untuk saudara seperjuangan, jamaah peminatan Kesehatan Lingkungan
2009 atas dukungan dan masukan penelitian; Rudi, Tari, Yudi, Ersa, Agung,
-
viii
Yeni, Ratna, Rahmi, Maya, Cita, Aan, Risma, Dila, Moris, Udin, Nita, Zia,
Reni dan Ratna beserta adik-adik angkatan 2010&2011 Kesling.
5. Sahabat dan Saudara terdekat serta rekan-rekan seperjuangan yang telah
membantu memberikan senyuman dan doa yang telah mendukung
kelancaran penyusunan skripsi ini, terima kasih atas segala bantuan apapun,
yaitu Sarah, Fira, Depi, Tanjung, Heni, Lulu, Fahad, Dea, Lilik, Ka Ami, Ka
Egi, Vebria, Derie, Nurul, Iva dan lainnya yang tidak disebutkan satu
persatu.
6. Terakhir dan terpenting untuk papah yaitu Bpk.Rindu Putra, mamah ayi,
nenek Adung dan segenap keluarga yang mendukung, mendoakan dan
mencurahkan kasih sayangnya dari jauh dan tidak langsung di setiap
waktunya.
7. Especially for alm. Mamah yang sudah mendahului kami sekeluarga,
ketidak beradaan beliau menjadi kekuatan dan motivasi terbesar dalam
setiap prosesnya.
Semoga bantuan, petunjuk, bimbingan dan pengarahan yang diberikan dari
berbagai pihak kepada penulis mendapat balasan dari Allah Subhanahu wa Tala.
Tanggerang Selatan, Juni 2013
Penulis
-
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN i
ABSTRAK ii
CURRICULUME VITAE iv
LEMBAR PENGESAHAN v
LEMBAR PERSETUJUAN vi
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI xi
DAFTAR BAGAN xiii
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR GAMBAR xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 6
1.3. Pertanyaan Penelitian 7
1.4. Tujuan 8
1.5. Manfaat 9
1.6. Ruang Lingkup 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fungsi Paru 12
2.2. Gangguan Fungsi Paru 13
2.3. Epidemiologi Gangguan Fungsi Paru 16
-
x
2.4. Pemeriksaan Kapasitas Fungsi Paru 17
2.5. Sistem Pernapasan 18
2.6. Patofisiologi Pernapasan 21
2.7. Spirometer sebagai Alat Pengukuran Kapasitas Paru 22
2.8. Aktivitas Penambangan dan Pengolahan Batu Kapur 24
2.9. Faktor Lingkungan sebagai Polutan Udara 27
2.10. Baku Mutu Udara Ambien 37
2.11. Faktor Karakteristik Individu yang Menyebabkan
Gangguan Fungsi Paru 38
2.12. Faktor Meteorologi yang Mempengaruhi
Konsentrasi Udara Ambien 44
2.13. Manajemen Pengendalian Risiko Kesehatan Kerja 47
2.14. Patogenesi Penyakit Berbasis Lingkungan 48
2.15. Kerangka Teori 52
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep 55
3.2. Hipotesis 59
3.3. Definisi Operasional 61
BAB IV METODELOGI PENELITIAN
4.1. Jenis dan Rancangan Penelitian 65
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 65
4.3. Populasi dan Sampel 66
-
xi
4.4. Metode Pengukuran Penelitian 68
4.5. Teknik Pengolahan Data 74
4.6. Analisis Data 75
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
5.1.1.Desa Tamansari 77
5.1.2. Profil Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari 78
5.2. Hasil Analisis Univariat
5.2.1. Gambaran Kejadian Gangguan Fungsi Paru pada
Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari 82
5.2.2. Gambaran Faktor Karakteristik Individu Pekerja
Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari 83
5.2.3. Gambaran Lingkungan Udara Ambien di Pengolahan
Batu Kapur di Desa Tamansari 86
5.2.4. Gambaran Kandungan SiO2 pada Batu Kapur 88
5.3. Hasil Analis Bivariat
5.3.1. Hubungan antara Karakteristik Individu terhadap
Gangguan Fungsi Paru 93
5.3.2. Hubungan antara Faktor Lingkungan terhadap
Gangguan Fungsi Paru 95
-
xii
BAB VI PEMBAHASAN PENELITIAN
6.1. Keterbatasan Penelitian 97
6.2. Kejadian Gangguan Fungsi Paru pada Responden 98
6.3. Hubungan Karakteristik Individu terhadap 103
6.3.1. Hubungan Usia terhadap Gangguan Fungsi Paru 104
6.3.2. Hubungan Status Gizi terhadap Gangguan Fungsi Paru 108
6.3.3. Hubungan Konsumsi Merokok terhadap Gangguan
Fungsi Paru 114
6.3.4. Hubungan Masa Kerja terhadap Gangguan Fungsi Paru 119
6.4. Hubungan Faktor Lingkungan terhadap Gangguan Fungsi Paru
6.4.1. Hubungan Kadar PM10 Ambien 122
6.4.2. Hubungan Suhu terhadap Gangguan Fungsi Paru 129
6.4.3. Hubungan Kelembaban terhadap Gangguan Fungsi Paru 132
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1. Simpulan 135
7.2. Saran
7.2.1. Saran Bagi Pekerja 138
7.2.2. Saran Bagi Pemilik 139
7.2.3. Saran Bagi Pemerintah Daerah 140
7.2.4. Bagi Peneliti Selanjutnya 140
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
-
xiii
DAFTAR BAGAN
No. Bagan Judul Bagan Halaman
Bagan 2.1. Klafikasi Penilaian Fungsi Paru 24
Bagan 2.2. Kerangka Teori 54
Bagan 3.1. Kerangka Konsep Penelitian 58
-
xiv
DAFTAR TABEL
No. Tabel Judul Tabel Halaman
Tabel 2.1. Klasifikasi Penilaian Fungsi Paru 23
Tabel 2.2. Kategori Indeks Masa Tubuh 43
Tabel 3.1. Definisi Operasional 61
Tabel 4.1. Tabel Perhitungan Sampel 67
Tabel 4.2. Drajat Kapasitas Fungsi Paru 73
Tabel 5.1. Distribusi Gangguan Fungsi Paru
pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur 82
Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Jenis Pekerjaan 83
Tabel 5.3. Distribusi Karakteristik Individu Pekerja 84
Tabel 5.4. Hasil Pengukuran Kualitas Udara Ambien
di Area Pengolahan Batu Kapur 86
Tabel 5.5. Distribusi Rata-rata Kadar Udara Ambien
di Area Pengolahan Batu Kapur 87
Tabel 5.6. Hasil Uji Kadar SiO2 pada Material Batu
Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013. 89
Tabel 5.7. Distribusi Rata-rata dan Analisis Hubungan 91
antara Karakteristik Lingkungan dengan
Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja
Tabel 5.8. Analisis Hubungan antara Karakteristik 92
Individu dengan Gangguan Fungsi Paru
pada Pekerja Batu Kapur Desa Tamansari
Tabel 6.1. Distribusi Responden yang Mengalami 105
Gangguan Fungsi Paru berdasarkan Umur
Tabel 6.2. Hasil Pengukuran Udara Ambien PM10 124
di Lingkungan Kerja
-
xv
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar Judul Gambar Halaman
Gambar 1.1. Kondisi Lingkungan Pengolahan
Batu Kapur 5
Gambar 2.1. Anatomi Sistem Pernapasan 20
Gambar 2.2. Diagram Alir Proses Pengolahan 26
Batu Kapur
Gambar 2.3. Teori Simpul 50
Gambar 4.1. SKC EPAM-5000 70
Gambar 4.2. Peta Wilayah Desa Tamansari dan Titik
Pengambilan Sampel Faktor Lingkungan 71
Gambar 5.1. Distribusi Responden Penelitian 80
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dengan berubahnya tingkat kesejahteraan di Indonesia, pola penyakit saat
ini telah mengalami transisi epidemiologi yang ditandai dengan beralihnya
penyebab kematian yang semula didominasi oleh penyakit menular bergeser ke
penyakit tidak menular (non-communicable disease). Perubahan ini dapat dilihat
dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1997 dan Survei
Kesehatan Nasional Tahun 2000, dimana salah satu kelompok penyakit tidak
menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia adalah
penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) (Kemenkes RI, 2008).
Data Badan Kesehatan Dunia (WHO), menunjukan bahwa pada tahun
1990 PPOK menempati urutan ke-6 sebagai penyebab utama kematian di dunia,
sedangkan pada tahun 2002 telah menempati urutan ke-3 setelah penyakit
kardiovaskuler dan kanker (WHO, 2002). Hasil survei penyakit tidak menular
oleh Direktorat Jendral PPM&PL di lima rumah sakit provinsi di Indonesia yaitu
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatra Selatan pada
tahun 2004, menunjukan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka
kesakitan (35%), diikuti asma bronkial bronkial (33%), kanker paru (30%) dan
lainnya (2%) (Depkes RI, 2004).
-
2
Pada penelitian National Health Interview Survey dalam Aditama (1992)
di Amerika Serikat, terdapat 7,5 juta penduduknya mengidap bronkitis kronik,
lebih dari 2 juta orang menderita emfisema dan 6,5 juta orang menderita asma.
Kemudian penelitian di Inggris menemukan bahwa bronkitis kronik pada kaum
pria (50-64 tahun) adalah sebesar 17% dari jumlah populasi pria dan pada wanita
sekitar 8%. Di Inggris ini bronkitis merupakan penyakit paling banyak
menimbulkan hilangnya produktivitas. Salah satu faktor pencetus terjadinya
penyakit paru tersebut adalah adanya paparan gas emisi, partikulat seperti silikat
( SiO2) pun zat toksik lain yang terjadi secara akut maupun kronik pada orang
yang terpajan yang bersumber dari aktivitas transportasi, paparan asap rokok dan
aktifitas industri.
Aktivitas industri tersebut adalah salah satunya industri pengolahan batu
kapur. Batu kapur atau limestone, adalah sedimen yang banyak mengandung
organisme laut yang telah mati yang berubah menjadi kalsium karbonat
(CaCO2). Agar digunakan sebagai bahan baku, batu kapur harus dibakar
sehingga dihasilkan kapur tohor (CaO). Saat proses pembakaran ini diemisikan
gas-gas hasil pembakaran seperti Particulate Matter (PM), Sulfur Dioksida (SO2)
dan Nitrogen Dioksida (NO2) yang menambah beban pencemaran udara
(Nukman, 2005). Gas dan partikel pencemar udara ini lah yang dapat mengenai
pekerja di lingkungan sekitar pengolahan batu kapur. Demikian juga dengan
SiO2 yang menurut EPA (Environmental Protection Agency) Amerika Serikat
-
3
dapat menimbulkan penyakit paru bila diatas ambang batas 2%. Keadaan ini
dapat menimbulkan gangguan fungsi paru yang berdampak pada kesehatan
pekerja.
Penelitian sebelumnya dalam Rizal (2011) pada pengolahan batu kapur di
desa Padabeunghar Kabupaten Sukabumi. Diperoleh konsentrasi PM10 dengan
kadar rata-rata 0,282 mg/m3, sekitar 32% atau 107 responden mengalami
gangguan pernafasan. Dari hasil uji regresi logistik ganda menunjukan adanya
hubungan antara konsentrasi PM10 udara ambien dengan gangguan saluran
pernafasan. Pada penelitian kegiatan pengolahan batu kapur lainnya oleh Sucipto
(2007) di Desa Karangdewa Kabupaten Tegal, hasil pengukuran Total Suspended
Particulate (TSP) didaerah pemukiman sekitar pembakaran kapur, rata-rata
sebesar 893,25 g/m3 yang melebihi ambang batas baku mutu Kepala Gubernur
Jawa Tengah yaitu 230 g/m3.
Hal ini juga menguatkan bahwa menurut Fardiaz (1992) terdapat
hubungan antara ukuran partikel polutan dengan sumbernya. Partikel yang
berukuran diameter diantara 1-10 mikron biasanya termasuk tanah, debu dan
produk-produk pembakaran dari industri lokal. Salah satunya produk
pembakaran tersebut adalah dalam proses pengolahan batu kapur.
Menurut Ikhsan (2001) debu dan gas-gas yang disebabkan oleh proses
pengolahan batu kapur yang berada di lingkungan kerja, akan berakibat pada
-
4
tenaga kerja yang terpapar debu kapur dan asap-asap pembakaran pada
konsentrasi maupun ukuran yang berbeda-beda. Sedangkan dalam Material
Safety Data Sheet (MSDS) Calcium Carbonate, Solid bahaya debu batu kapur
yang didalamnya terkandung CaCO3 dan Silica (SiO2) memiliki bahaya
kesehatan apabila terpapar dan terhirup yang dapat menyebabkan peningkatan
mukosa di hidung dan sistem jalan nafas kemudian menyebabkan iritasi saluran
pernafasan. Paparan yang berlebihan dengan debu dapat menyebabkan
hiperkalsemia, silikosis, pneumokiosis dan dari kandungan silica memiliki sifat
karsinogenik yang dapat menyebabkan kanker (Brentag Canada Inc,2007).
Kemudian dijelaskan dalam Mukono (2003), efek utama pembakaran
debu kapur terhadap tenaga kerja berupa gangguan fungsi paru baik bersifat akut
dan kronis. Gejala yang bersifat akut misalnya iritasi saluran pernapasan,
peningkatan produksi lendir, penyempitan saluran pernapasan, lepasnya silia dan
lapisan sel selaput lendir serta kesulitan bernapas. Selain itu dalam EPA (2001)
Amerika Serikat juga menyebutkan obstruktif paru ini dapat menimbulkan
gangguan kesehatan paru yang disebut pneumoniosis.
Dalam Epler (2000) penumpukan dan pergerakan debu pada saluran
napas dapat menyebabkan peradangan jalan napas. Peradangan ini dapat
mengakibatkan penyumbatan jalan napas, sehingga menurunkan kapasitas paru.
Dampak paparan debu yang terus menerus dapat menurunkan faal paru berupa
obstruktif paru (Mukono, 2003).
-
5
Akibat adanya gangguan-gangguan kesehatan ini dapat mempengaruhi
kondisi kesehatan pekerja. Apabila kondisi kesehatan pekerja mengalami
penurunan, maka dapat berpengaruh pada produktifitas kerja, mangkir jam kerja,
biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh pekerja dan angka harapan hidup
yang menurun bahkan akan menimbulkan tingkat risiko yang lebih berat pada
penyakit serangan jantung dan hipertensi, yang menjadi penyebab kematian
nomor satu di Indonesia.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak kepala bidang Upaya
Kesehatan Kerja (UKK) Puskesmas setempat pada bulan Oktober 2012, bahwa
kegiatan pembinaan dan balai pengobatan setiap bulan dilakukan secara rutin ke
kelompok Lio setempat. Dari data laporan pemeriksaan rutin bulanan tersebut
sampai Oktober 2012 sebanyak 12 pekerja di diagnosis menderita asma dan 4
pekerja yang dirujuk ke Puskesmas di diagnosis bronkitis paru dari total 45
pekerja yang terdata di puskesmas, kemudian dari hasil pengamatan, rata-rata
pekerja berperilaku merokok dan tidak menggunakan alat pelingung diri (APD)
berupa masker dan sejenisnya.
Gambar 1.1. Kondisi Lingkungan Pengolahan Batu Kapur.
-
6
Selain itu, hasil observasi lapangan menghasilkan pemanfaatan bahan
bakar berupa limbah karet dan bahan anorganik lainnya memicu zat-zat
pencemaran semakin berbahaya, karena asap dan debu yang dihasilkan berupa
asap hitam pekat. Hal ini memberikan gambaran bahwa kegiatan proses
pengolahan batu kapur Desa Tamansari Pangkalan ini menjadi perlu untuk
dilakukannya penelitian, karena subjek penelitian ini memiliki risiko pencemaran
udara yang berbahaya bagi kesehatan pekerja dan masyarakat sekitarnya.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan hasil studi pendahuluan di lapangan pada pekerja pengolahan
batu kapur di Desa Tamansari, dari hasil pemeriksaan kesehatan dan pengobatan
pada 20 orang pekerja didapatkan 10 orang pekerja mengalami keluhan pada
pernafasannya. Adapun keluhan yang dirasakan para pekerja adalah batuk
berdahak kehitaman dan sesak nafas.
Kemudian diperkuat dengan telaah dokumen data dari unik UKK Puskesmas
Kec. Pangkalan didapatkan data pemeriksaan rutin bulanan dari September 2012
sampai Februari 2013 sebanyak 12 pekerja didiagnosis menderita asma dan 4
pekerja yang dirujuk ke Puskesmas didiagnosis bronkitis paru dari total 45
pekerja yang terdata di puskesmas.
-
7
Kemudian dari hasil pengamatan, rata-rata pekerja berperilaku merokok
dan tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) berupa masker dan
sejenisnya serta bertempat tinggal berdekatan dengan aktivitas pengolahan.
Penelitian kesehatan pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa
Tamansari Kabupaten Karawang ini belum ada yang melakukan penelitian
sebelumnya mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan fungsi
paru.Berdasarkan hal itu, maka perlu dilakukan penelitian secara lebih lanjut
mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan fungsi paru pada
pekerja penambang dan pengolahan batu kapur di Desa Tamansari, Kecamatan
Pangkalan Kabupaten Karawang.
1.3. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran gangguan fungsi paru pada pekerja pengolahan batu
kapur di Desa Tamansari?
2. Bagaimana gambaran faktor karakteristik individu (host) (umur, masa kerja,
status gizi dan konsumsi merokok) pada pekerja pengolahan batu kapur di
Desa Tamansari?
3. Bagaimana gambaran faktor kondisi lingkungaan (Kadar PM10 ambien,
suhu, kelembaban) dan kadar SiO2 pada kandungan batu kapur sebelum dan
sesudah proses pengolahan batu kapur di wilayah pengolahan batu kapur di
Desa Tamansari?
-
8
4. Apakah ada hubungan antara faktor karakteristik individu (host) (umur,
masa kerja, status gizi dan konsumsi merokok) terhadap gangguan fungsi
paru pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari?
5. Apakah ada hubungan antara faktor kondisi lingkungaan (Kadar PM10
ambien, suhu, kelembaban) di wilayah pengolahan batu kapur di Desa
Tamansari?
6. Apakah ada hubungan antara komposisi kimia batu gamping sebagai bahan
baku sebelum dan sesudah dibakar dengan kondisi kesehatan pekerja ?
1.4. Tujuan
1.4.1. Umum
Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan
fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari,
Kecamatan Pangkalan Kabupaten Karawang tahun 2013.
1.4.2. Khusus
1. Diketahuinya gambaran kapasitas fungsi paru pada pekerja pengolahan
batu kapur di Desa Tamansari Tahun 2013.
2. Diketahuinya gambaran karakteristik pekerja (umur, masa kerja, status
gizi dan konsumsi merokok) pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa
Tamansari.
-
9
3. Diketahuinya gambaran kondisi meteorologi (kadar ambien PM10, suhu,
kelembaban) dan kadar SiO2 pada kandungan batu kapur sebelum dan
sesudah proses pengolahan batu kapur .
4. Diketahuinya apakah ada hubungan antara faktor karakteristik pekerja
(umur, masa kerja, status gizi dan konsumsi merokok) pada pekerja
pengolahan batu kapur di Desa Tamansari.
5. Diketahuinya apakah ada hubungan antara faktor lingkungan (kadar
ambien PM10, suhu dan kelembaban) dengan gangguan fungsi paru pada
pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Bagi Peneliti
Menerapkan aplikasi teori dan keterampilan yang telah didapatkan sesuai
dengan kompetensi program studi Kesehatan Masyarakat peminatan
Kesehatan Lingkungan untuk diterapkan dalam menganalisis permasalahan
kesehatan masyarakat dalam penelitian ini.
1.5.2. Bagi Pemilik dan Kelompok Penambangan dan Pengolahan Batu Kapur
Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan kepada pekerja
mengenai adanya bahaya kesehatan yang ditimbulkan dari aktifitas
pekerjaannya. Penelitian ini juga dapat menjadi petimbangan pemilik Lio
untuk melakukan penanggulangan cemaran udara yang dihasilkan serta
-
10
dapat memperhatikan kesehatan pekerja dan lingkungan. Dengan begitu
pada pekerja yang masih berusia remaja maupun dewasa dapat menjadi
motivasi untuk melakukan pencegahan dari penyakit akut maupun kronis
yang lebih parah.
1.5.3. Bagi Dinas Kesehatan Kab. Karawang
Penelitian ini dapat menjadi penentu kebijakan perencanaan
kesehatan ditingkat daerah pada kelompok usaha informal ini, agar usaha
batu kapur dapat tetap menjadi sumber pendapatan daerah yang berpotensi
besar, namun tetap memperhatikan kearifan local daerah dan risiko penyakit
yang timbul pada pekerja atau masyarakat sekitar sebagai upaya
penanggulannya dalam melindungi masyarakat dari aktifitas tersebut.
1.5.4. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang
Penelitian ini dapat menjadi penentu kebijakan dibidang perencaan
dan pembangunan daerah di wilayah Kecamatan Pangkalan dari aktivitas
penambangan dan pengolahan batu kapur yang memiliki dampak kesehatan
pada masyarakat sekitar dan lingkungan serta mewujudkan kontribusi daerah
dalam menentaskan target Millenium Devlopment Goals pada point
Menjamin Kelestarian Lingkungan Hidup melalui memadukan prinsip
pembanguan berkelanjutan serta mengembalikan sumber daya lingkungan
yang hilang yaitu mineral kapur dan udara yang sehat dari aktivitas
penambangan dan pengolahan batu kapur di Desa Tamansari.
-
11
1.6. Ruang Lingkup
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran faktor-faktor yang
berhubungan dengan kapasitas fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur
di wilayah Kelurahan Tamansari Kecamatan Pangkalan Kab. Karawang pada
tahun 2013. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret s.d. April 2013.
Sasaran penelitian ini adalah pekerja yang beraktivitas langsung dengan proses
penambang dan pengolahan batu kapur yang berada di wilayah tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan cross
sectional study. Dalam pengumpulan data primer peneliti menggunakan alat
pengukur debu ambien berjenis PM10 yaitu Environmental Particulate Air
Monitor (EPAM) 5000 Primer dan pengukuran suhu, kelembaban oleh WBGT
Quest Digital dari laboratorium OHS FKIK UIN Jakarta. Untuk mengetahui
tingkat gejala penurunan fungsi paru menggunakan alat spirometri dari
Labolatorium Klinik Westrindo Jakarta. Data-data karakteristik pekerja
menggunakan kuesioner dengan metode wawancara. Data sekunder didapatkan
dari Kecamatan Pangkalan dan Puskesmas Pangkalan Kab. Karawang. Untuk
mengetahui kandungan SiO2 dilakukan dilaboratorium PT.CCIC Cengkareng
dengan menggunakan analisa kimia.
-
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fungsi Paru
Fungsi paru yang utama dalam Yunus (2006) adalah proses respirasi
yaitu pengambilan oksigen dari udara luar yang masuk ke dalam saluran napas
dan terus ke dalam darah. Oksigen digunakan untuk proses metabolisme dan
karbondioksida yang terbentuk pada proses terebut dikeluarkan dari dalam
darah ke udara luar. Proses respirasi di bagi ke dalam tiga tahap, yaitu:
a. Ventilasi yaitu proses keluar dan masuknya udara ke dalam paru, serta
keluarnya karbondioksida dari alveoli ke udara luar.
b. Difusi yaitu proses berpindahnya oksigen dari alveoli ke dalam darah,
serta keluarnya karbondioksida dari darah ke alveoli.
c. Perfusi yaitu distribusi darah yang telah teroksigenasi di dalam paru
untuk di alirkan ke seluruh tubuh.
Depnakertrans 2005 dalam penelitian Rahman (2008), adapun
gangguan/kelainan fungi paru biasanya adalah :
a. Gangguan fungsi paru Restriktif
b. Gangguan fungsi paru Obstruktif
c. Gangguan fungsi paru campuran (Obstruktif-Restriktif)
Pada penyakit paru obstruktif tertentu misalnya asma dan emfisema,
ekspirasi mengalami gangguan dan jumlah udara yang dapat dihembuskan
secara paksa oleh individu, terutama secara cepat akan berkurang.
-
13
2.2. Gangguan Fungsi Paru
Menurut Pearce. E (1986) dalam Yulaekah (2007) pada individu normal
terjadi perubahan (nilai) fungsi paru secara fisiologis sesuai dengan
perkembangan umur dan pertumbuhan parunya (lung growth). Mulai pada fase
anak sampai kira kira umur 22 24 tahun terjadi pertumbuhan paru sehingga
pada waktu itu nilai fungsi paru semakin besar bersamaan dengan pertambahan
umur. Beberapa waktu nilai fungsi parumenetap (stasioner) kemudian menurun
secara gradual (pelan pelan), biasanya umur 30 tahun sudah mulai penurunan,
berikutnya nilai fungsi paru (KVP = Kapasitas Vital Paksa dan FEV1 = Volume
Ekspirasi Paksa Satu Detik Pertama) mengalami penurunan rerata sekitar 20 ml
tiap pertambahan satu tahun umur individu.
Gangguan fungsi ventilasi paru merupakan jumlah udara yang masuk
ke dalam paru akan berkurang dari normal. Gangguan fungsi ventilasi paru
yang utama dalam Lauralee (2001) adalah sebagai berikut:
1. Penyakit Paru Obstruktif Menahun.
Dalam Lauralee (2001) penyakit paru obstruktif menahun (PPOM,
chronic obstructive pulmonary disease, COPD) adalah sekelompok penyakit
paru yang ditandai oleh peningkatan resistensi saluran pernafasan akibat
penyempitan saluran pernafasan bagian bawah. Penyakit paru obstruktif
menahun mencakup tiga penyakit kronik (jangka panjang) yaitu asma,
bronkhitis kronis dan emfisema. Pada asma, obstruksi saluran pernafasan
disebabkan oleh pertama, konstriksi berlebihan saluran pernafasan halus
-
14
karena spasme otot polos di dinding saluran pernafasan tersebut yang
diindikasi oleh alergi; kedua, penyumpatan saluran pernafasan oleh sekresi
berlebihan mukus yang sangat kental; dan ketiga, penebalan dinding saluran
pernapasan akibat peradangan dan edema yang diindikasi oleh histamine.
2. Emfisema
Menurut Lauralee (2001) emfisema didefinisikan sebagai salah satu
pelebaran normal dari ruang-ruang udara paru disertai dengan destruksi dari
dindingnya. Beberapa ahli memperluas definisi ini memasukkan pelebaran
ruang-ruang udara dengan atau tidak disertai destruksi dari dindingnya.
Emfisema ditandai oleh kolapsnya saluran pernapasan halus dan rusaknya
dinding alveolus. Keadaan ireversibel ini dapat timbul melalui dua cara, yang
tersering, emfisema timbul akibat pengeluaran enzim-enzim destruktif,
misalnya tripsin dari makrofag alveolus sebagai respons terhadap pajanan
berulang dari asap rokok atau bahan kimiawi iritan lainnya.
3. Penyakit Paru Restriktif
Penyakit paru interstisial merupakan istilah untuk semua penyakit
terutama yang ditandai dengan jelas pada dinding alveolar, proses dimulai
dengan peradangan interstisial terutama yang mengenai septasepta, sel
imunokompeten yang aktif kemudian terkumpul di dinding alveolar yang
menjadi penyabab kerusakan.
-
15
Akibat yang paling ditakutkan dari penyakit ini ialah penebalan fibrosis
dinding alveolar, yang menimbulkan kerusakan menetap pada fungsi
pernapasan dan mengacaukan arsitektur paru. Bersamaan dengan itu pembuluh
darah halus menyempit dan menyebabkan hipertensi pulmonalis, pelebaran
dinding alveolar dan kontraksi jaringan fibrosis dapat mengecilkan ukuran
rongga udara dan paru menjadi berkurang kemampuannya, sehingga pertukaran
gas mengalami gangguan. Dengan demikian penyakit paru restriktif merupakan
penyebab utama paru menjadi kaku dan mengurangi kapasitas vital dan
kapasitas paru.
4. Bronkitis Kronik
Bronkhitis kronik adalah peradangan kronik saluran pernapasan bagian
bawah, yang umumnya dicetuskan oleh pajanan berulang dari asap rokok, udara
berpolusi atau alergan. Sebagai respons terhadap iritasi kronik, saluran
pernapasan menyempit akibat penebalan edematosa kronik bagian dalam
saluran pernapasan, disertai produksi berlebih mukus yang kental. Walaupun
pengidap sering batuk karena iritasi kronik, mukus penyumbat sering tidak
dapat dikeluarkan, terutama karena ekskalator mukus lumpuh oleh bahan iritan.
Hal ini akan menyebabkan sering terjadi infeksi paru oleh bakteri, karena
mukus yang tertimbun merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan
bakteri.
-
16
2.3. Epidemiologi Gangguan Fungsi Paru
Menurut Simpson (1998) dalam Aviandari dkk (2008) penyakit saluran
napas banyak ditemukan secara luas dan berhubungan erat dengan lamanya
pajanan terhadap debu tertentu. Di negara yang sedang berkembang ditemukan
masih banyak orang yang bekerja pada sector informal seperti pertanian dan
pertambangan non-formal, hal ini membuat problema akibat pajanan debu
dilingkungan kerjanya.
Kemudian dalam Loekita dkk (2003) studi epidemiologi secara cross
sectional menggambarkan tingginya gejala gangguan saluran napas diantara
pekerja yang terpajan langsung dengan debu dibandingkan dengan pekerja yang
tidak terpajan. Gangguan paru non-spesifik akibat iritasi diperkirakan juga
banyak berhubungan dengan para pekerja baik di pembakaran, karena intensitas
pajanan debu berada disekitar area pabrik maka kemungkinan terjadi perbedaan
prevalensi dan tingkat keparahan penyakit saluran pernapasan.
Gangguan pada sistem pernapasan merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas. Infeksi pada saluran pernapasan jauh lebih sering
terjadi dibandingkan dengan infeksi pada sistem organ tubuh lain dan berkisar
dari flu biasa dengan gejala-gejala serta gangguan yang relatif ringan sampai
pneumonia berat.
-
17
Menurut Price (1995) pada tahun 1989, kira-kira 142.000 orang
meninggal dunia karena kanker paru-paru menduduki peringkat pertama dari
urutan kematian akibat kanker baik pada pria maupun wanita di Amerika
Serikat. Angka ini terus mencuat ketingkat yang membahayakan dan
prevalensinya saat ini kira-kira 25 kali lebih tinggi dibandingkan 25 tahun yang
lalu. Insidens penyakit pernapasan kronik, terutama emfisema paru-paru dan
bronkitis kronis semakin meningkat dan sekarang merupakan penyebab utama
gangguan serta cacat kronik pada pria dan penyakit jantung.
2.4. Pemeriksaan Kapasitas Fungsi Paru
Menurut Guyton (2001) dalam Yulaekah (2007) Kapasitas fungsi paru
merupakan kesanggupan atau kemampuan paru untuk atau dalam menampung
udara di dalam. Kapasitas paru adalah suatu kombinasi peristiwa-peristiwa
sirkulasi paru atau menyatakan dua atau lebih volume paru yaitu volume alun
nafas, volume cadangan ekspirasi dan volume residu. Adapun kapasitas paru
dapat di bedakan sebagai berikut:
a. Kapasitas total yaitu jumlah udara yang dapat mengisi paruparu pada
inspirasi sedalam-dalamnya. Dalam hal ini angka yang di dapat
tergantung dari beberapa hal yaitu kondisi paru, umur, sikap, dan bentuk
seseorang.
b. Kapasitas vital yaitu jumlah udara yang dapat di keluarkan setelah
ekspirasi maksimal (Syaifudin, 1997).
-
18
Menurut Lauralee (2001) Kapasitas paru dapat di bedakan empat yaitu:
a. Kapasitas inspirasi
b. Kapasitas residu fungsional
c. Kapasitas vital
d. Kapasitas paru total
Dari klasifikasi atau penggolongan kapasitas paru di atas, maka yang
dapat digunakan untuk pengukuran kapasitas vital paru merupakan pengukuran
kemampuan menghirup udara sekuat-kuatnya hingga menghembuskannya
dengan maksimal Lauralee (2001).
Menurut Guyton (2001) dalam Yulaekah (2007) pengukuran kapasitas
vital paru yaitu jumlah terbesar yang dapat dikeluarkan dari paru setelah
inspirasi maksimum. Seringkali digunakan di klinik sebagai indeks fungsi paru.
Nilai tersebut bermanfaat dalam memberikan informasi mengenai kekuatan
otot-otot pernafasan serta beberapa aspek fungsi pernapasan lain yang
berhubungan dengan gangguan fungsi paru
2.5. Sistem Pernafasan
2.5.1. Anatomi Saluran Pernafasan
Dalam Lauralee (2001) sistem pernafasan adalah saluran yang
mengangkut udara antara atmosfer dan alveolus, tempat terakhir yang
merupakan satu-satunya tempat pertukaran gas-gas antara udara dan
darah dapat berlangsung. Saluran pernafasan berawal di saluran hidung
(nasal). Saluran hidung berjalan ke tenggorokan (faring) yang berfungsi
-
19
sebagai saluran bersama bagi sistem pernapasan maupun sistem
pencernaan. Terdapat dua saluran yang berjalan dari faring-trakea,
tempat lewatnya udara ke paru. Udara dalam keadaan normal masuk ke
faring melalui hidung tetapi udara juga dapat masuk melalui mulut jika
hidung tersumbat.
Setelah faring, laring atau kotak suara yang terletak di pintu masuk
trakea, memiliki penonjolan di bagian anterior yang membentuk jakun
bagi laki-laku. Pada saat pita suara udara mengalir cepat melewati pita
suara yang tegang, pita suara tersebut bergetar untuk menghasilkan
bermacam-macam bunyi.
Setelah laring, trakea terbagi menjadi dua cabang utama, bronkus
kanan dan kiri, yang masing-masing ke paru kanan dan kiri. Di dalam
setiap paru, bronkus tersebut bercabang-cabang menjadi saluran napas
yang semakin sempit, pendek dan banyak seperti percabangan pohon.
Cabang terkecil dikenal sebagai bronkiolus. Diujung bronkiolus
terkumpul alveolus, kantung udara kecil tempat terjadinya pertukaran
gas-gas antara udara dan darah.
-
20
Gambar 2.1. Anatomi sistem pernafasan.
Sumber : Lauralee,2001, Hal.413.
2.5.2. Fisiologi Pernafasan
Dalam Lauralee (2001) fungsi paru-paru yang utama adalah untuk
proses respirasi, yaitu pengambilan dari udara luar masuk ke dalam saluran
nafas dan terus ke dalam darah. Oksigen digunakan untuk proses metabolisme
dan korbondioksida yang terbentuk pada proses tersebut dikeluarkan dari dalam
darah ke udara luar.
Adapun Proses respirasi dapat dibagi dalam 3 tahap utama yaitu:
1. Ventilasi adalah proses keluar dan masuknya udara ke dalam paru, serta
keluarnya karbondioksida dari alveoli ke udara luar.
2. Difusi adalah berpindahnya oksigen dari alveoli ke dalam darah serta
keluarnya karbondioksida dari darah ke alveoli.
-
21
3. Perfusi adalah distribusi darah yang telah teroksigenasi di dalam paru
untuk dialirkan ke seluruh tubuh.
Masuk keluarnya udara dari atmosfer ke dalam paru-paru dimungkinkan
oleh peristiwa mekanik pernafasan yang dikenal sebagai inspirasi dan ekspirasi.
Pada masa inspirasi paru-paru berkembang sedangkan pada masa ekspirasi
paru-paru menguncup. Otot terpenting dalam proses insiprasi adalah diafragma,
antariga eksternal dan otot leher. Proses inspirasi adalah proses yang aktif
karena dalam proses ini terjadi kontraksi otot dan mengeluarkan energi.
Sedangkan ekspirasi merupakan proses yang pasif karena dihasilkan akibat
relaksasinya otot-otot yang berkontraksi selama inspirasi, yaitu otot abdomen
dan antariga internal.
2.6. Patofisiologi Pernafasan
Ada tiga jenis kelainan fisiologis yang menimbulkan insuffiensi pernafasan
yaitu (Sanusi, 1986) :
1. Disebabkan oleh ventilasi yang tidak memadai di alveoli
2. Berkurangnya difusi gas melalui membran pernafasan
3. Berkurangnya transpor oksigen dari paru-paru ke jaringan.
Gejala gangguan fungsi paru, seperti sesak nafas, nyeri dada dan penurunan
yang cepat dari kapasitas ventilasi pada hari pertama masuk kerja memberikan
kesan bahwa debu terdapat bahan yang menyebabkan edema di bronchiolus.
Pada stadium lanjut edema ini akan bersifat menetap pada setiap hari kerja.
-
22
Kegagalan pernafasan dapat terjadi akibat kelainan paru yang
menyebabkan gangguan ventilasi atau aliran darah. Kelainan ventilasi yang biasa
terjadi adalah obstruktif dan restriktif. Keadaan fungsi paru ini dapat dinilai atau
diukur dengan menggunakan spirometri.
2.7. Spirometer sebagai Alat Pengukur Kapasitas Paru
Spirometer adalah alat untuk mengukur volume udara yang dihirup dan
dihembuskan. Alat ini terdiri dari tong berisi udara yang terapung pada sebuah
wadah berisi air. Sewaktu seseorang menghirup dan menghembuskan udara
keluar-masuk tong melalui sebuah selang penghubung, tong akan naik atau turun
yang kemudian dicatat sebagai suatu spirogram. Pencatatan tersebut dikalibrasi
ke besarannya perubahan volume dinamik. Adapun klasifikasi volume dinamik
sebagai berikut:
1. Volume ekspirasi paksa dalam satu detik (forced expiratory volume,
FEV1). Volume udara yang dapat diekspirasi selama satu detik pertama
pada penentuan Kapasitas Vital (KV) yaitu volume maksimum udara
yang dapat dikeluarkan selama satu kali bernapas setelah inspirasi
maksimum. Biasanya FEV1 adalah sekitar 80%, yaitu dalam keadan
normal 80% udara yang dapat dipaksa keluar dari paru-paru yang
mengembang maksimum dapat dikeluarkan dalam 1 detik pertama
(Ganong, 1998).
-
23
2. Maximum volumntary ventilation (MVV) adalah jumlah udara yang dapat
dikeluarkan secara maksimum dalam 2 menit dengan bernapas cepat dan
dalam secara maksimal (Ganong, 1998).
Kegunaan pemeriksaan paru lebih dari sekedar untuk pengetahuan
akademik. Pengukuran tersebut mendeteksi penyakit paru dengan gangguan
pernapasan sebelum bekerja, kemudian secara berkala selama kerja untuk
menemukan penyakit secara dini serta menentukan apakah seseorang mempunyai
fungsi paru normal, restriksi, obstruksi atau campuran (mixed). Tujuan
epidemiologis adalah menilai bahaya di tempat kerja dan mendapatkan standar
bahaya tersebut (Lorriane, 1995).
Tabel 2.1. Klasifikasi Penilaian Fungsi Paru
Nilai Normal KVP >80%, nilai prediksi untuk semua umur
Restriksi KVP < 80%; FEV1 > 75%
Obstruksi KVP > 80%; FEV1 < 75%
Restriksi Obstruksi
(Mixed)
KVP< 80%; FEV < 75%
Sumber : American Thoracic Society, Medical Section of The Asian Lung
Association.Am. Rev Respir.
-
24
RESTRIKSI NORMAL
RESTRIKSI
OBSTRUKSI
OBSTRUKSI
0 80% KVP
Bagan 2.1. Klafikasi Penilaian Fungsi Paru
2.8. Aktivitas Penambangan dan Pengolahan Batu Kapur
Batu kapur adalah batuan sedimen berjenis khusus yang terbentuk dari
kerangka hewan-hewan kecil lautan. Penggunaan batu kapur sudah beragam
diantaranya untuk bahan kaptan, bahan campuran bangunan, industri karet dan
ban, kertas, dan lain-lain. Batuan kapur ini sangat penting artinya sebagai
bahan dasar dalam industri. Batuan kapur mempunyai sifat yang istimewa,
bila dipanasi akan berubah menjadi kapur yaitu kalsium oksida (CaO) dengan
terjadi proses dekarbonisasi (pelepasan gas CO2) (Curtis, 2000).
2.8.1. Proses Penambangan dan Pengolahan Batu Kapur
Menurut Bappedal (2006) dalam Sucipto (2007) sebelum kapur mati
(kalsium karbonat) menjadi kalsium oksida (kapus hidup), terlebih dahulu
FEV1
75%
-
25
diawali dengan proses pengolahan batu kapur. Adapun proses pengolahan batu
kapur terdiri dari beberapa tahap yaitu :
a. Kegiatan Penambangan
Kegiatan penambangan batu kapur biasanya menggunakan bahan
peledak dinamit sederhadan dan peralatan penambangan penambangan
lainnya.
b. Kegiatan Pengangkutan dan Penimbunan
Kegiatan ini mengangkut batu kapur dari penambangan menggunakan
truk dengan kapasitas angkut 3 ton, kemudian batu kapur ditimbun ke
lokasi pembakaran di dalam tungku atau tobong pembakaran.
c. Kegiatan Pembakaran
Kegiatan pembakaram merupakan tahapan dimana batuan kapur
dibakar sampai menjadi kapur. Tungku pembakaran bias mencapai 3-5
ton. Bahan bakar yang digunakan biasanya berbeda-beda setiap
kelompok, ada yang menggunakan limbah karet, limbah kayu, limbah oil
sludge dan sebagainya. Lamanya proses ini bekerja kurang lebih selama
48 jam atau lamanya proses juga dipengaruhi bahan bakar yang
digunakan. Kegiatan pembakaran ini menghasilkan debu dan asap yang
hitam pekat.
d. Kegiatan Pemadaman
Batu kapur yang sudah hidup (matang) mencapai 88-90% sehingga
menghasilkan kalsium oksida (CaO) dipadamkan dalam bentuk padat
-
26
(bongkahan) maupun bubuk (powder) apabila sudah disiram oleh air yang
siap dijual. Bentuk dari CaO tergantung permintaan pasar.
e. Kegiatan Pengayakan dan Finishing Produk Kapur.
Batu kapur yang dipesan dalam bentuk bubuk perlu dilakukan
pengayakan terlebih dahulu kemudian di masukan kedalam karung
pengemasan dan siap untuk dijual.
Gambar 2.2. Diagram Alir Proses Pengolahan Batu Kapur
Sumber : Bappedal (2006) dalam Rizal (2010)
Kapur Matang
(CaO)
Pengayakan&
Finishing
Pemadaman Kapur
Bahan Bakar:
Ban bekas, Kayu
Bekas, Oli bekas,
Solar.
Air
Gas Buang Emisi
Batu Kapur Hail
Penambangan
sebagai Bahan Baku
Tungku
Pembakaran Kapur
-
27
2.9. Faktor Lingkungan sebagai Polutan Udara
2.9.1. Gambaran Umum Pencemaran Udara
Menurut Sumantri (2010), udara adalah suatu campuran gas yang
terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Komposisi campuran gas
tersebut tidak selalu konstan. Komponen yang konsentrasinya paling bervariasi
adalah air dalam bentuk bentuk uap H2O dan Karbon Dioksida (CO2). Jumlah
uap air yang terdapat di udara bervariasi dari cuaca dan suhu. Udara di alam
tidak pernah ditemukan bersih tanpa polutan sama sekali.
Beberapa gas polutan menurut Fardiaz (1992) seperti Sulfur dioksida
(SO2), Hidrogen sulfida (H2S), dan Karbon Monoksida (CO) selalu dibebaskan
ke udara sebagai produk sampingan dari proses-proses alami seperti aktivitas
vulkanik, pembusukan sampah tanaman, kebakaran hutan, dan sebagainya.
Selain itu partikel-partikel padatan atau cairan berukuran kecil dapat tersebar
diudara oleh angin, letusan vulkanik atau gangguan alam lainnya. Selain
disebabkan polutan alami tersebut, polusi udara disebabkan oleh aktivitas
manusia.
Menurut Chandra (2007), pencemaran udara adalah dimasukkannya
komponen lain ke dalam udara, baik oleh kegiatan manusia secara langsung
atau tidak langsung maupun akibat proses alam sehingga kualitas udara turun
sampai ketingkatan tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang
-
28
atau tidak dapat lagi berfungsi sesuai peruntukannnya.
Sedangkan menurut Wardhana (2001) pencemaran udara juga diartikan
sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang
menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya.
Selain itu, menurut Sumamur (1986) pencemaran udara oleh partikel
dapat disebabkan oleh karena peristiwa alamiah dan dapat pula disebabkan
oleh aktifitas manusia, melalui kegiatan industri dan teknologi. Partikel yang
mencemari udara banyak macam dan jenisnya, tergantung pada macam dan
jenis kegiatan industri dan teknologi yang ada.
Menurut Soedomo (2001), dilihat secara kimiawi, banyak sekali macam
bahan pencemar. Bahan pencemar yang yang menjadi perhatian adalah pencemar
utama (major air pollution) yaitu golongan oksida karbon (CO, CO2), Oksida
belerang (SO2 ,SO3), Oksida Nitrogen (N20, NO,NO3), senyawa hasil reaksi foto
kimia, partikel (asap, debu, asbestos, H2S, NH3, H2SO4, HNO3, Hidrokarbon
(CH4, C4H10), unsur radio aktif (Tritium, Radon), energi panas (suhu) dan
kebisingan.
Menurut Yulaekah (2007), pencemaran udara dapat mengakibatkan
bereaksinya bahan polutan dangan organ paru dan jika hal ini berlangsung terus-
menerus dapat mengakibatkan gangguan fungsi paru, yang akhirnya dapat
meningkatkan kelainan faal paru obstruktif. Bahan pencemar udara yang dapat
menyebabkan gangguan pada saluran pernafasan dari udara ambien antara lain
-
29
gas SO2, O3, NO2 dan partikel debu (0,1-10g. Bahan-bahan tersebut dapat
mempengaruhi fungsi paru yang akhirnya dapat menyebabkan terjadinya
kelainan paru obstruktif. Berikut ini gambaran pencemaran partikel debu (PM10)
dan asap (SO2, NO2) yang dapat berpengaruh terhadap gangguan kesehatan.
2.9.2. Gambaran Pencemaran Partikel Debu (PM 10) dan Asap (SO2, NO2)
terhadap Gangguan Paru.
2.9.2.1. Paparan Debu Partikulat Meter 10 (PM 10).
Menurut Slamet (2000) dalam Khumaidah (2009), debu adalah zat
padat yang dihasilkan oleh manusia atau alam dan merupakan hasil dari
proses pemecahan suatu bahan, berukuran 0,1-25 mikron dan termasuk kedalam
golongan partikulat. Partikulat adalah zat padat/cair yang halus, dan tersuspensi
diudara, misalnya embun, debu, asap, fumes dan fog. Partikulat ini dapat
terdiri atas zat organik dan anorganik.
Sedangkan dalam Environmetal Protection Agency (2001) debu
merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel yang
melayang di udara (Suspended Particulate Matter/SPM). Suspended particulare
metter adalah partikel halus di udara yang terbentuk saat proses pembakaran
bahan bakar minyak. Terutama partikulat halus yang disebut PM10. Particulat
Matter 10 (PM10) adalah jenis pencemaran yang terdiri dari partikel cair dan
padat yang sangat kecil berdiameter 10 mikron untuk dihirup kebagian terdalam
-
30
paru-paru. Diibaratkan, ukuran rambut manusia adalah 60 mikron, maka PM10
adalah 6 kali lipat dari sehelai rambut
Menurut Pudjiastuti (2002) partikel debu dapat menggangu kesehatan
manusia seperti timbulnya iritasi pada mata, alergi, gangguan pernapasan dan
kanker paru-paru. Efek debu terhadap kesehatan sangat tergantung pada :
Solubity (mudah larut), komposisi kimia, konsentrasi debu dan ukuran partikel
debu
Kemudian, ukuran debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya
penyakit pada saluran pernapasan. Dari hasil penelitian ukuran tersebut dapat
mencapai organ target sebagai berikut:
a. 5-10 mikron akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian atas.
b. 2-5 mikron akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian tengah.
c. 1-3 mikron hinggap dipermukaan/ selaput lendir sehingga
menyebabkan vibrosis paru.
d. 0,1-0,5 mikron melayang di permukan alveoli.
Sedangkan dalam Fardiaz (1992) partikel-partikel yang masuk dan
tertinggal di dalam paru-paru mungkin berbahaya bagi kesehatan karena tiga
hal penting, yaitu:
a. Partikel tersebut mungkin beracun karena sifat-sifat kimia dan
fisiknya.
-
31
b. Partikel tersebut mungkin bersifat inert (tidak beraksi) tetapi
tinggal di dalam saluran pernafasan dapat menggangagu
pembersihan bahan-bahan lain yang berbahaya.
c. Partikel-partikel tersebut mungkin dapat membawa molekul-
molekul gas yang berbahaya, baik dengan cara mengabsorbsi
atau mengadsorbsi, sehingga molekul-molekul gas tersebut
dapat mencapai dan tertinggal di bagian paru-paru yang
sensitif. Karbon merupakan partikel yang umum dengan
kemampuan yang baik untuk mengabsorbsi molekul-molekul
gas pada permukaannya.
Dalam Pope III et al (2006) partikel PM10 yang berdiameter 10 mikron
memiliki tingkat kelolosan yang tinggi dari saringan pernafasan manusia dan
bertahan di udara dalam waktu cukup lama. Tingkat bahaya semakin
meningkat pada pagi dan malam hari karena asap bercampur dengan uap air.
PM10 tidak terdeteksi oleh bulu hidung sehingga masuk ke paru-paru. Jika
partikel tersebut terdeposit ke paru-paru akan menimbulkan peradangan
saluran pernapasan.
Menurut Church dalam Kelly et al. (1998), terjadi hubungan peningkatan
gejala asma dari kunjungan rumah sakit dan kematian akibat peningkatan PM10 di
udara. Serangkaian analisis time-series dari hubungan kematian sebesar 1% per
hari setiap harinya dengan peningkatan konsentrasi PM10 sebesar 10mg/m.
-
32
Hubungan kuat diamati dengan kejadian penyakit kardiovaskular dan peningkatan
konsentrasi PM10 sebesar 1,4% per 10 mg/m dan gangguan pernafasan sebesar
3,4% per 10 mg/m dengan gejala hidung berair, hidung tersumbat, sinusitis, sakit
tenggorokan, batuk kering dan berdahak, sesak napas dan dada tidak sakit.
Dalam Pudjiastuti (2002) gejala penyakit ini berupa sakit paru-paru,
namun berbeda dengan penyakit TBC paru. Partikel debu selain memiliki
dampak terhadap kesehatan juga dapat menyebabkan gangguan sebagai
berikut:
a. Gangguan estetik dan fisik seperti terganggunya pemandangan dan
pelunturan warna bangunan dan pengotoran.
b. Merusak kehidupan tumbuhan yang terjadi akibat adanya penutupan
pori-pori tumbuhan sehingga jalnnya fotosintesis.
c. Merubah iklim global regional maupun internasional
d. Mengganggu perhubungan/penerbangan yang akhirnya menganggu
kegiatan sosial ekonomi di masyarakat
Menurut Price (1995) mekanisme penimbunan debu dalam paru ; debu
diinhalasi dalam bentuk partikel debu solid, atau suatu campuran dan asap.
Udara masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan dilembabkan.
Ketiga fungsi tersebut disebabkan karena adanya mukosa saluran pernapasan
yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia, dan mengandung sel goblet.
Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat pada lubang
hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam lapisan
-
33
mokosa. Gerakan silia mendorong lapisan mukosa ke posterior, ke rongga
hidung dan kearah superior menuju faring dan menuju paru-paru.
Kemudian, partikel debu yang masuk kedalam paru-paru akan
membentuk fokus dan berkumpul dibagian awal saluran limfe paru. Debu ini
akan difagositosis oleh magrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap magrofag
akan merangsang terbentuknya magrofag baru. Pembentukan dan destruksi
magrofag yang terus-menerus berperan penting dalam pembentukan jaringan
ikat kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan ikat yang membentuk
fibrosis.
Fibrosis ini terjadi pada parenkim paru yaitu pada dinding alveoli dan
jaringan ikat intertestial. Akibat fibrosis paru akan terjadi penurunan elastisitas
jaringan paru (pergeseran jaringan paru) dan menimbulkan ganggguan
pengembangan paru. Bila pengerasan alveoli mencapai 10% akan terjadi
penurunan elastisitas paru yang menyebabkan kapasitas vital paru akan
menurun dan dapat mengakibatkan menurunnya suplai oksigen ke dalam
jaringan otak, jantung dan bagian-bagian tubuh lainnya sehingga hal ini
menjadi faktor risiko terjadinya serangan penyakit kardiovaskular.
Hal ini dibuktikan secara studi epidemiologi dalam Pope et al. (2003)
menunjukkan bahwa partikulat halus (PM) polusi udara memiliki efek yang
merugikan kesehatan manusia. Meskipun banyak penelitian telah difokuskan
pada titik akhir kesehatan pernapasan, ada bukti yang berkembang bahwa PM
merupakan faktor risiko untuk penyakit kardiovaskular. Bukti ini berasal dari
-
34
studi yang telah mengamati peningkatan kematian penyakit kardiovaskuler
selama terjadinya polusi , asosiasi betwen perubahan harian di PM dan
kematian kardiovaskular, rawat inap dan peningkatan risiko mortalitas penyakit
cardiopulmonary pada dewasa yang terkait dengan perbedaan spasial dalam
konsentrasi PM ambien.
2.9.2.2. Paparan Sulfur Dioksida (SO2)
Dalam Soedomo (2001) SO2 terbentuk dari fungsi kandungan Sulfur
dalam bahan bakar fosil. Selain itu kandungan sulfur dalam pelumas juga
menjadi penyebab emisi SO2.
Reaksi kimia:
S2
+ O2- SO2
Udara yang telah tercemar SO2 menyebabkan manusia akan mengalami
gangguan pada sistem pernapasannya. Hal ini karena gas SO2 yang mudah
menjadi asam tersebut menyerang selaput lendir pada hidung, tenggorokan
dan saluran napas yang lain sampai ke paru-paru. Serangan gas SO2 tersebut
menyebabkan iritasi pada bagian tubuh yang terkena. Daya iritasi SO2 pada
setiap orang ternyata tidak sama. Ada orang yang sensitif dan sudah akan
mengalami iritasi apabila terkena SO2 berkonsentrasi 1-2 ppm, namun ada
pula orang yang baru akan mengalami iritasi tenggorokan apabila terkena SO2
berkonsentrasi 6 ppm.
-
35
Gas SO2 merupakan bahan pencemar yang berbahaya bagi anak anak,
orang tua dan orang yang menderita penyakit pernapasan kronis dan penyakit
kardiovaskular. Otot saluran pernapasan dapat mengalami kejang (spasme)
bila teriritasi oleh SO2 dan spasme akan lebih berat bila konsentrasi SO2 lebih
tinggi sementara suhu udara rendah. Apabila waktu paparan dengan gas SO2
cukup lama maka akan terjadi peradangan yang hebat pada selaput lendir yang
diikuti oleh paralysis cilia (kelumpuhan sistem pernapasan), kerusakan
lapisan ephitelium yang pada akhirnya diikuti oleh kematian.
Pajanan jangka pendek terhadap SO2 dapat menyebabkan konstriksi
saluran udara pernapasan pada penderita asma dan individu sensitif lainnya.
Sedangkan pajanan kronik dapat menyebabkan penebalan selaput lendir
trachea, mirip dengan bronkhitis kronik.
Penebalan selaput lendir trachea tersebut dapat menyelimuti dan
membuat tidak aktifnya getaran atau denyut lapisan rambut getar dari saluran
pernapasan atas, yang pada keadaan normal berfungsi mengeluarkan agen
infeksius dan partikel asing. SO2 merupakan senyawa yang cepat bereaksi
dengan jaringan paru dan menimbulkan efek yang sangat luas karena dapat
ditransportasikan sampai ke sum-sum tulang dan menimbulkan anemia
aplastik.
Pada konsentrasi 6-12 ppm, SO2 mudah diserap oleh selaput lendir
saluran pernapasan bagian atas (tidak lebih dalam daripada larynx). Dalam
-
36
kadar rendah, SO2 dapat menimbulkan spasme temporer otot-otot polos pada
bronchioli. Spasme ini dapat menjadi lebih hebat pada keadaan dingin. Pada
konsentrasi yang lebih besar, terjadi produksi lendir di saluran pernapasan
bagian atas dan apabila kadar SO2 bertambah tinggi lagi, maka akan terjadi
reaksi peradangan yang hebat pada selaput lendir yang disertai dengan
paralysis cilia dan kerusakan lapisan epithelium. Bila kadar SO2 (6 - 12 ppm)
tetapi pemaparan terjadi berulang kali, maka iritasi selaput lendir yang
berulang ulang dapat menyebabkan terjadinya hyperplasia dan metaplasia
sel-sel epitel. Metaplasia ini dicurigai dapat berubah menjadi kanker.
2.9.2.3. Paparan NO2 terhadap Gangguan Pernafasan
Selain terdapat di alam, nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida
(NO2) berasal dari gas-gas yang dihasilkan oleh buangan kendaraan bermotor
dan pusat-pusat tenaga listrik. Tidak seperti carbon dan sulfur, NO tidak
terdapat dalam bahan bakar minyak, akan tetapi berasal dari udara dimana
terjadi proses pembakaran dari senyawa ini. Pengaruh NO terhadap lingkungan
yang utama adalah dalam pembentukan Smog.
Pengaruh langsung dari NO terhadap kesehatan tidak diketahui dengan
jelas, akan tetapi NO dalam kadar yang cukup tinggi dapat bereaksi dengan Hb
dan mempunyai sifat yang sama dengan CO, karena dapat menghalangi fungsi
normal Hb dalam darah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa NO
-
37
memberikan efek menambah kelemahan terhadap infeksi bakteri paruparu.
NO dapat menyebabkan iritasi pada mata, saluran pernapasan dan
pembengkakan pada paru-paru karena waktu paparan yang cukup lama pada
konsentrasi 1 ppm. Absorbsi gas NO2 oleh mukosa dapat menyebabkan
peradangan saluran pernapasan bagian atas dan iritasi pada mukosa mata
(Soedomo, 2001).
Menurut Sunu (2001), organ tubuh yang paling peka terhadap
pencemaran gas NO2 adalah paruparu. Paruparu yang terkontaminasi oleh gas
NO2 akan membengkak sehingga penderita sulit bernapas yang dapat
mengakibatkan kematian. Pengaruhnya terhadap kesehatan yaitu terganggunya
sistem pernapasan dan dapat menjadi emfisema, bila kondisinya kronis dapat
berpotensi menjadi bronkhitis serta akan terjadi penimbunan NO2 dan dapat
merupakan sumber karsinogenik.
Sifat bahayanya terletak pada gejala yang tidak segera tampak setelah
menghirup sejumlah dosis berbahaya. Gejala kerusakan paru atau pulmonary
edema baru muncul setelah 72 jam. Konsentrasi 25 ppm dapat menimbulkan
pulmonary edema setelah 5-48 jam (Irhamkhasani, 2002).
2.10. Baku Mutu Udara Ambien
Baku mutu udara ambien (BMUA) merupakan ukuran batas atau kadar
zat, energi, dan/atau komponen yang ada atau seharusnya ada dan/atau unsur
-
38
pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien (Permen
Lingkungan Hidup No. 12 Tahun 2010)
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun
1999 Baku Mutu Udara Ambien Nasional, menyatakan bahwa kadar debu
partikel 10 mikron di udara yang memenuhi syarat adalah tidak melebihi dari
150 g/m3. Sedangkan konsentrasi suhu dan kelembaban diatur dalam Kepmenkes
RI No.1405/Menkes/SK/XI/2002 lampiran II tentang Persyaratan Penyelenggaraan
Kesehatan Lingkungan Kerja Industri persyaratan suhu adalah 18-30 oC dan untuk
kelembaban adalah 65%-95% di lingkungan industry.
2.11. Faktor Karakteristik Individu yang Menyebabkan Timbulnya Gangguan Fungsi Paru
Selain dari paparan debu partikel dan asap dari faktor lingkungan, faktor-
faktor lain yang dapat meningkatkan risiko gangguan fungsi paru pada pekerja
pengolahan batu kepur, berikut pejelannya :
a. Umur
Faal paru tenaga kerja dipengaruhi oleh umur. Meningkatnya umur
seseorang maka kerentanan terhadap penyakit akan bertambah, khususnya
gangguan saluran pernapasan pada tenaga kerja (Yunus,F, 1997). Faktor umur
mempengaruhi kekenyalan paru sebagaimana jaringan lain dalam tubuh.
Walaupun tidak dapat dideteksi hubungan umur dengan pemenuhan volume
-
39
paru tetapi rata-rata telah memberikan suatu perubahan yang besar terhadap
volume paru. Hal ini sesuai dengan konsep paru yang elastisitas.
Pada penelitian Yulaekah (2007), menunjukan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara paparan debu terhirup dengan gangguan fungsi paru pada
kelompok umur 31-40 tahun. Sedangkan pada kelompok umur 20-30 tahun
tidak ada hubungan antara paparan debu dengan gangguan fungsi paru.
b. Jenis Kelamin
Menurut Wikipedia, jenis kelamin dikaitkan pula dengan aspek gender,
karena terjadi diferensiasi peran sosial yang dilekatkan pada masing-masing
jenis kelamin. Berdasarkan laporan National Center for Health Statistic/NCHS
(2003) dalam Sucipto (2007) jumlah wanita yang mengalami serangan asma
lebih banyak daripada lelaki
Selain itu dalam Sucipto (2007) penyakit paru dapat menjadi perhatian
utama bagi perempuan. Jumlah perempuan yang diidentifikasi memiliki
penyakit paru-paru meningkat. Lebih banyak perempuan juga meninggal akibat
penyakit paru-paru. Ada 3 jenis penyakit paru-paru yang sangat umum pada
wanita: asma, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), dan kanker paru-paru.
Perempuan memiliki variabilitas nilai arus puncak ekspirasi lebih rendah
daripada laki-laki menurut H.M Boezen dkk (1994) dalam Sucipto (2007).
Kecenderungan bahwa asma lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria
mungkin disebabkan oleh fluktuasi kadar hormon, demikian sebuah laporan
http://id.wikipedia.org/wiki/Gender_(sosial)
-
40
yang dipresentasikan dalam pertemuan tahunan American College of Allergy,
Asthma and Immunology, di Anaheim, Calif. Menurut seorang peneliti dari
University of California and the Allergy & Asthma Medical Group and
Research Center di San Diego, wanita berusia antara 20-50 tahun ternyata 3
kali lebih sering dibanding pria untuk dirawat di Rumah Sakit akibat asma.
c. Masa Keja
Masa kerja adalah jangka waktu orang sudah bekerja pada suatu kantor,
badan dan sebagainya (KBBI, 2001). Menurut (Sumamur, 1996) masa kerja
adalah lamanya seorang tenaga kerja dalam (tahun) dalam satu lingkungan
perusahaan, dihitung mulai saat bekerja sampai penelitian berlangsung.
Semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar
bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut.
Pada penelitian Yulaekah (2007), menunjukan bahwa pada kelompok
kerja 5-10 tahun ada hubungan yang bermakna antara paparan debu terhirup
dengan gangguan fungsi paru.
d. Lama Paparan
Dalam Yunus F (1997) berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya
penyakit atau gangguan pada saluran napas akibat debu. Faktor itu antara lain
adalah faktor debu yang meliputi ukuran partikel, bentuk, konsentrasi, daya
larut dan sifat kimiawi dan lama paparan
-
41
Dalam Mengkidi (2006) lama paparan adalah waktu yang dihabiskan
seseorang berada dalam lingkungan kerja dalam waktu sehari. Kemudian dalam
Sumamur (1998) menyatakan bahwa salah satu variabel potensial yang dapat
menimbulkan gangguan fungsi paru adalah lamanya seseorang terpapar polutan
tersebut dalam suatu lingkungan tertentu, selain itu menurut Bannet (1997)
dalam Nugraheni (2004) bahwa konsentrasi debu dan lama paparan terhadap
polutan berbanding lurus dengan gangguan fungsi paru.
e. Kebiasaan merokok.
Kebiasan merokok dapat mempengaruhi kapasitas vital paru. Saat
merokok terjadi suatu proses pembakaran tembakau dengan mengeluarkan
polutan partikel padat dan gas. Asap rokok merangsang sekresi lender
sedangkan nikotin akan melumpuhkan silia sehingga fungsi pembersihan jalan
napas terhambat dan konsekuensinya terjadi penumpukan sekresi lendir yang
menyebabkan terjadinya batuk-batuk, banyak dahak dan sesak napas menurut
Ikhawn (2009) dalam Yuliani (2010). Kemudian, menyebutkan bahwa ada
pengaruh antara kebiasaan merokok dengan kapasitas paru, yaitu semakin
banyak jumlah batang rokok perhari yang dihisap, maka akan terjadi penurunan
fungsi paru yang bersifat restruktif.
Penelitian Gold et al (2005) dalam Suwondo (2013) menunjukan adanya
hubungan dose respon antara kebiasaan merokok dengan dan rendahnya leval
FEV1/FVC dan FEF 25-75% dengan jumlah konsumsi rokok sebanyak 10
-
42
batang perhari ditemukan berhubungan dengan penurunan FEF 25-75%
disbanding orang yang tidak merokok.
f. Status Gizi
Status gizi secara teoritis dapat mempengaruhi daya tahan responden
terhadap efek debu, sehingga pada seseorang dengan status gizi baik
kemungkinan menderita penyakit pernafasan lebih kecil dari pada seseorang
yang mempunyai gizi kurang (Setyakusuma, 1997).
Salah satu penilaian status gizi seseorang yaitu dengan menghitung
Indeks Masa Tubuh (IMT), dengan IMT akan diketahui apakah berat badan
seseorang dinyatakan normal, kurus atau gemuk. Penggunaan IMT hanya untuk
orang dewasa berumur lebih dari 18 tahun dan tidak dapat diterapkan pada bayi,
anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan (Almatsier, 2002).
Untuk menghitung nilai IMT dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut :
IMT=
Untuk kepentingan Indonesia, batas ambang dimodifikasi lagi
berdasarkan pengalaman klinis dan hasil penelitian di beberapa negara
Berat Badan (Kg)
Tinggi Badan (m) x Tinggi Badan (m)
-
43
berkembang. Pada akhirnya diambil kesimpulan, batas ambang IMT untuk
Indonesia adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2. Kategori Indeks Masa Tubuh (IMT)
IMT Kategori
-
44
h. Riwayat Penyakit
Dalam Ganong (2002) beberapa penelitian diperoleh hasil bahwa
seseorang yang mempunyai riwayat menderita penyakit paru berhubungan
secara bermakna dengan terjadinya gangguan fungsi paru. Kondisi kesehatan
dapat mempengaruhi nilai arus puncak ekspirasi seseorang. Kekuatan otot-otot
pernapasan dapat berkurang akibat sakit, seperti asma, pasca Tb, PPOK
(penyakit paru obstruktif kronik), penyakit sistemik.
2.12. Faktor Meteorologi yang Mempengaruhi Konsentrasi Udara Ambien
Menurut Achmadi (2011), kejadian penyakit itu dipengaruhi oleh
kelompok variabel supra sistem, yaitu iklim, topografi, temporal dan
suprasystem. Variabel ini dengan kata lain juga harus diperhitungkan dalam
setiap analisis kejadian penyakit.
Iklim menjadi salah satu peran dalam proses kejadian penyakit. Iklim
harus diperhitungkan dalam setiap analisis, baik prediktor antisipatif maupun
retrospektif dalam setiap kejadian penyakit.
Berikut variabel yang termasuk dalam faktor meteorologi dan iklim
dalam Laktin (2002) yang dapat mempengaruhi konsentrasi udara ambien
sebagai media transmisi, yaitu diantaranya temperature, kecepatan angina, arah
angina, curah hujan, kelembaban udara dan tekanan udara.
-
45
a. Temperatur
Pergerakan mendadak lapisan udara dingin ke suatu kawasan industri
dapat menimbulkan temperature tinggi. Dengan kata lain, udara dingin akan
terperangkap dan titik dapat keluar dari kawasan tersebut dan cenderung
menahan polutan tetap berada di lapisan permukaan bumi sehingga konsentrasi
polutan di kawasan tersebut semakin lama semakin meningkat. Keadan tersebut
di permukaan bumi dapat dikatakan tidak terdapat pertukaran udara sama
sekali. Oleh karena itu, udara yang penuh dengan polutan dengan kondisi
temperature tinggi akan dapat menimbulkan keadan lingkungan yang kritirs
bagi kesehatan.
b. Kecepatan Angin
Kecepatan angin dalam klimatologi adalah kecepatan angina horizontal
pada ketinggian 2 meter dari permukaan tanah yang ditanami rumput.
Kecepatan angin yang kuat akan membawa polutan terbang kemana-mana dan
dapat mencemari udara ke wilayah lain. Alat pengukur kecepatan angin yang
umum digunakan adalah anemometer.
c. Arah Angin
Massa udara yang bergerak disebut angin. Angin selalu bertiup dari
tempat dengan tekanan udara tinggi ke tempat yang tekanan udara rendah. Jika
tidak ada gaya lain yang mempengaruhi maka angin akan bergerak secara
-
46
langsung, akan tetapi perputaran bumi pada sumbunya akan menimbulkan gaya
yang akan mempengaruhi arah pergerakan angin. Pola arah angin ini akan
menentukan kemana arah udara yang membawa sumber polutan bergerak ke
suatu tempat.
d. Hujan
Air hujan sebagai pelarut umum cenderung melarutkan bahan polutan
yang terdapat dalam udara. Pada musim hujan pembersihan atmosfer lebih
efektif karena terjadi pengendapan bahan polutan yang lebih cepat (dengan
adanya gaya gravitas) dan terjadi mekanisme pembersihan bahan polutan
melalui mekanisme washout atau pencucian secara alami.
e. Kelembaban Udara
Kelembaban udara ditentukan oleh jumlah uap air yang terkandung di
dalam udara. Dalam klimatologi untuk menunjukan kelembaban udara adalah
kelembaban relative (relative humidity). Kelembaban relative adalah
perbandingan antara tekanan uap air actual (yang terukur) dengan tekanan uap
air pada kondisi jenuh, umumnya dinyatakan dalam persen. Kelembaban udara
yang relative rendah di daerah tercemar akan mengurangi efek korosif dari
bahan kimia pencemar. Pada kelembaban relatif tinggi didaerah tercemar akan
terjadi peningkatan efek korosif.
-
47
f. Jarak Rumah dengan Sumber Pencemar
Pencemaran udara dipengaruhi oleh iklim dan klimatologi serta
topografi, sehingga dapat diduga semakin jauh jarak dengan sumber semakin
rendah konsentrasi zat pencemar.
Hasil penelitian Rahman & Suryaman (2009) menyebutkan bahwa hasil
TSP dan PM10 menurun jaraknya dari sumber (pengolahan kapur mulai jarak
500 meter sampai 5.000 meter.
2.13. Manajemen Pengendalian Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
Menurut Soeripto (1992) penyakit akibat faktor pekerjaan bisa
dihindarkan asal saja tenaga kerja mempunyai kemauan dan itikad yang baik
untuk mencegahnya. Disini tenaga kerja mempunyai peranan yang penting
dalam menghindarkan penyakit akibat kerja. Untuk penyakit akibat kerja yang
disebabkan golongan debu, upaya pengendaliannya dapat dilakukan :
a. Substitusi yaitu mengganti bahan yang memiliki bahaya dengan
bahan yang kurang berbahaya atau tidak berbahaya sama sekali.
b. Ventilasi umum yaitu mengalirkan udara ke ruang kerja agar kadar
debu yang ada dalam ruangan kerja menjadi lebih rendah dari kadar
nilai ambang batas (NAB).
c. Isolasi yaitu menutup proses, bahan atau alat kerja yang merupakan
sumber debu agar tidak tersebar ke ruangan lain.
-
48
d. Memodifikasi proses yaitu mengubah proses atau cara kerja
sedemikian rupa agar hamburan debu yang dihasilkan berkurang.
e. Mengadakan pemantauan terhadap lingkungan kerja yaitu
pemantauan terhadap lingkungan kerja agar dapat diketahui apakah
kadar debu yang dihasilkan sudah melampaui nilai ambang batas
yang diperkenankan
f. Alat pelindung diri yaitu upaya perlindungan terhadap tenaga
kerja agar terlindungi dari resiko bahaya yang dihadapi. Misalnya
masker, sarung tangan, kaca mata dan pakaian pelindung.
g. Penyuluhan kesehatan dan keselamatan kerja secara intensif agar
tenaga kerja tetap waspada dalam melaksanakan pekerjaannya.
2.14. Patogenesis Penyakit Berbasis Lingkungan
Pathogenesis penyakit berbasis lingkungan dapat digambarkan dalam
suatu model atau paradigma. Paradigma tersebut menggambarkan hubungan
interaksi antara komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya penyakit
dengan manusia. Hubungan interaktif tersebut sebagaimana digambarkan oleh
Achmadi (2008) yaitu paradigm kesehatan lingkungan.
Dengan mempelajari pathogenesis penyakit, kita dapat menentukan pada
titik mana atau simpul mana kita bisa melakukan pencegahan. Tanpa
memahami pathogenesis atau proses kejadian penyakit berbasis lingkungan,
sulit melakukan pencegahan.
-
49
Telah disebutkan sebelumnya bahwa kejadian penyakit merupakan hasil
hubungan interaktif antara manusia dan perilakunya serta komponen
lingkungan yang memiliki potensi penyakit. Perilaku penduduk yang
merupakan salah satu representativ budaya merupakan salah satu variable
kependudukan, yaitu umur, gender, pendidikan, genetik, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, kejadian penyakit pada hakikatnya dipengaruhi oleh variable
kependudukan dan variable lingkungan. Dengan kata lain pula, gangguan
kesehatan merupakan resultant dari hubungan interaktif antara lingkungan dan
variable kependudukan.
Patogenesis penyakit dalam perspektif lingkungan dan kependudukan
dapat digambarkan dalam teori Simpul oleh Achmadi (2008) pada Gambar 2.2.
Dengan mengacu kepada gambaran skematik tersebut dibawah ini, maka
pathogenesis atau proses kejadian penyakit berbasis lingkungan dapat diuraikan
ke dalam 5 simpul, yaitu simpul 1 sebagai sumber penyakit; simpul 2 adalah
komponen lingkungan yang merupakan media transmisi penyakit; simpul 3
adalah penduduk dengan berbagai variable kependudukan seperti umur, gender,
pendidikan, dll; sedangkan simpul 4 adalah penduduk yang dalam keadaan
sehat atau sakit setelah mengalami inteaksi atau exposure dalam komponen
lingkungan yang mengandung agen penyakit. Sedangkan simpul 5 adalah
semua variabel yang memiliki pengaruh terhadap ke-empat simpul tersebut.
Sebagai contoh adalah kebijakan, iklim dan topografi lingkungan.
-
50
Gambar 2.3. Teori Simpul (Achmadi, 2008).
Simpul-simpul tersebut pada dasarnya menuntun kita sebagai simpul
pencegahan atau simpul manajemen. Untuk mencegah penyakit tertentu agar
tidak perlu menunggu hingga simpul 4 terjadi. Dengan mengendalikan sumber
penyakit, kita dapat mencegah pada proses kejadian hingga simpul 3,4 atau 5.
Adapun uraian simpu-simpul sebagai berikut :
1. Simpul 1 : Sumber Penyakit
Sumber penyakit adalah titik yang mempunyai dan/atau mengadakan
agen penyakit serta mengemulsikan atau meng-emisikan agen penyakit. Agent
Manajemen Penyakit
Simpul 3:
Jumlah
Kontak
Pemajanan
Sehat/
Sakit
Simpul 1:
Sumber
Penyakit
(Alamiah/
Antropogenik)
Udara
Air
Vektor penyakit
Manusia
Lingkungan Strategis/Politik,
Iklim, Topografi, Suhu,dll.
Agent Penyakit
Simpul 2
Manajemen Penyakit
Simpul 3:
Jumlah
Kontak
Pemajanan
Sehat/
Sakit
-
51
penyakit adalah komponen lingkungan yang menimbulkan gangguan penyakit
melalui media perantara (yang juga komponen lingkungan).
Sumber penyakit dapat dikelompokan menjadi dua kelompok besar, yaitu :
a. Sumber penyakit alamiah, seperti gunung merapi dan proses pembusukan
karena proses alamiah.
b. Sumber penyakit hasil aktivitas manusia, seperti industri, rumah tangga,
knalpot kendaraan dan penderita penyakit menular.
c. Sumber penyakit dari reservoir penyakit, seperti Japanese Encephalitis,
virus Dangue dan sebagainya.
2. Simpul 2 : Media Transmisi Penyakit
Media transmisi tidak memiliki potensi penyakit jika di dalamnya tidak
mengandung agen penyakit. Mengacu pada gambar skematik komponen
lingkungan yang dapat memindahkan agen penyakit pada hakikatnya ada lima
komponen lingkungan, yaitu udara ambien, air yang dikonsunsi, tanah/pangan,
binatang/vector penyakit dan manusia melalui kontak langsung.
3. Simpul 3 : Perilaku Pemajanan
Hubungan interaktif antara komponen lingkungan dengan penduduk
berikut perilakunya dapat diukur dengan konsep disebut sebagai perilaku
pemajanan atau behavioral exposure (Ahmadi, 1985). Perilaku pemajanan
adalah jumlah kontak antara manusia dengan komponen lingkungan yang
mengandung agen penyakit.
-
52
Apabila kesulitan mengukur besaran agen penyakit, maka diukur dengan
cara tidak langsung yang disebut dengan biomarker atau tanda biologis pada
tubuh.
4. Simpul 4 : Kejadian Penyakit
Kejadian penyakit merupakan outcome hubungan interaktif antara
penduduk dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya gangguan
kesehatan. Manifestasi hubungan tersebut menghasilkan penyakit pada
penduduk. Ada tiga gradasi penderita penyakit, yaitu akut, subklinik dan
penderita penyakit kategori samar dan masyarakat sehat yang harus dilindungi.
5. Simpul 5 : Variabel Supra Sistem
Iklim berperan dalam proses kejadian penyakit. Iklim termasuk
komponen variabel supra sistem. Iklim harus di perhitungkan dalam setiap
analisis, baik predictor antisipasi maupun retrospektif dalam kejadian penyakit.
Contoh lain yang diperhitungkan juga adalah kebijakan mikro seperti
keputusan politik yang dapat ditujukan untuk memengaruhi kondisi lingkungan
strategis dalam setiap analisis kejadian penyakit.
2.15. Kerangka Teori
Mengacu pada pathogenesis penyakit yang menguhungkan interaksi
antara komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya penyakit dengan
manusia dalam sebuah teori simpul maka berdasarkan Ikhsan (2002), Rahman
dan Suryaman (2009), Pudjiastuti (2002), Soedomo (2001), dan Sunu (2001)
-
53
menyebutkan bahwa faktor lingkungan berupa paparan debu partikel, hasil
pembakaran seperti SO2 dan NO2 melalui udara ambien menjadi pencetus
gangguan fungsi paru. Sedangkan menurut Yunus F (1997), Yulaekah (2007),
Sumamur (1996), Yuliani (2010), Setyakusuma (1997), Dorce (2005), Ganong
(2002) menyebutkan bahwa faktor-faktor lain dari internal yang berhubungan
dengan gangguan fungsi paru adalah umur, jenis kelamin, status gizi, perilaku
merokok, masa kerja, lama paparan, penggunaan APD, riwayat penyakit dan
aktifitas fisik atau olahraga. Selain itu menurut Laktin (2002) adanya faktor-
faktor meteorologi sebagai eksternal faktor yang dapat mempengaruhi
konsentrasi udara ambien dari debu partikel, SO2 dan NO2.
-
54
Bagan 2.2.
Kerangka Teori
Sumber : Ikhsan, 2002; Rahman dan Suryaman, 2009; Pudjiastuti, 2002;
Price&Wilson, 1995; Sunu , 2001; Soedomo, 2001; Yunus F, 1997; Yulaekah, 2007;
Sumamur, 1996; Yuliani, 2010; Setyakusuma,1997; Dorce, 2005; Gano