faktor apa yang menentukan apoteker melakukan pelayanan kefarmasian

3
1 Sangguplah apoteker melaksanakan pelayanan kefarmasian? Desak Ernawati Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, sebaiknya kita harus mengerti definisi pelayanan kefarmasian – pharmaceutical care (PC). Konsep PC mulai dikenal sejak Hepler and Strand menyampaikan konsep tersebut di tahun 1990an. Mereka mendefinisikan PC sebagai berikut ““the responsible provision of drug therapy for the purpose of achieving definite outcomes that improve a patient’s quality of life.” 1 Sejak saat itu, dunia kefarmasian sangat gencar mengembangkan peranan apoteker tidak hanya terbatas di pelayanan distribusi obat namun juga meberikan pelayanan kepada pasien. Tahun 2007, Cipole memberikan definisi PC dengan menekankan pelayanan yang bertanggung jawab terhadap kebutuhan pasien terhadap obat yang berdasarkan hukum (“a patient- centred practice in which the practitioner assumes responsibility for a patient’s drug related needs and is held accountable for this commitment”). 2 Namun, Blackburn 3 di tahun 2012 menyatakan bahwa definisi dari pendahulunya tidak memberikan pedoman tentang bagaimana praktek PC secara jelas. Blackburn menegaskan bahwa PC ini harus secara konsisten berfokus dan memprioritaskan pasien. Berdasarkan argumen tersebut, PC bisa diterjemahkan sebagai pelayanan yang bertanggungjawab langsung yang berdasarkan atas peraturan untuk memastikan kebutuhan pasien terhadap obat dengan tujuan akhir untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Untuk dapat melakukan inovasi untuk mengembangkan peranan apoteker sebagai pelaksana pelayanan kefarmasian tidak gampang. Salah satu model yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan faktor yang dapat mempengaruhi peranan apoteker untuk memberikan pelayanan kefarmasian adalah Practice Change System (PCS) dari Nimmo dan Holland. 4, 5 Mereka menyebutkan ada tiga faktor (practice environment, motivational strategies, dan learning resources) yang dapat mempengaruhi peranan apoteker dalam pelayanan kefarmasian. Ketiga faktor ini harus dipertimbangkan oleh leaders baik di apotek maupun rumah sakit. Faktor yang pertama dari PCS model adalah practice environment. Ada tiga tingkatan dari faktor ini yaitu dukungan (acceptance) public dan tenaga kesehatan lain terhadap peranan apoteker di tingkat nasional (society), dukungan peranan apoteker dalam sistem pelayanan kesehatan (health-system), dan dukungan peranan apoteker di praktek di lapangan (practice site). Diperlukan penelitian untuk dapat memahami sejauhmana pemahaman publik atau masyarakat umum maupun tenaga profesi lain tentang pemahaman peranan apoteker sebagai pemberi pelayanan langsung kepada pasien. Sepengetahuan penulis, sejauh ini, apoteker di apotek (komunitas) masih dikenal sebagai penjual obat (drug retailer). Di beberapa apotek, apoteker mungkin sudah mulai meningkatkan peranannya dengan memberikan konseling kepada pasien. Konseling mungkin sebatas pemberian informasi tentang aturan pemakaian obat. Namun, pandangan public terhadap apoteker masih sebagai businessman. Pandangan ini tentu tidak salah karena apoteker ‘menjual’ obat dalam memberikan pelayanannya. Di praktek farmasi rumah sakit, peranan apoteker sebagai tenaga kesehatan masih terbatas di depo farmasi atau apotek pusat rumah sakit. Masih belum banyak ditemui praktek apoteker di ruangan.

Upload: sarifarmasi

Post on 20-Sep-2015

15 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

  • 1

    Sangguplah apoteker melaksanakan pelayanan kefarmasian?

    Desak Ernawati

    Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, sebaiknya kita harus mengerti definisi pelayanan

    kefarmasian pharmaceutical care (PC). Konsep PC mulai dikenal sejak Hepler and Strand

    menyampaikan konsep tersebut di tahun 1990an. Mereka mendefinisikan PC sebagai berikut the

    responsible provision of drug therapy for the purpose of achieving definite outcomes that improve a

    patients quality of life.1 Sejak saat itu, dunia kefarmasian sangat gencar mengembangkan peranan

    apoteker tidak hanya terbatas di pelayanan distribusi obat namun juga meberikan pelayanan kepada

    pasien. Tahun 2007, Cipole memberikan definisi PC dengan menekankan pelayanan yang

    bertanggung jawab terhadap kebutuhan pasien terhadap obat yang berdasarkan hukum (a patient-

    centred practice in which the practitioner assumes responsibility for a patients drug related needs

    and is held accountable for this commitment).2 Namun, Blackburn3 di tahun 2012 menyatakan

    bahwa definisi dari pendahulunya tidak memberikan pedoman tentang bagaimana praktek PC secara

    jelas. Blackburn menegaskan bahwa PC ini harus secara konsisten berfokus dan memprioritaskan

    pasien. Berdasarkan argumen tersebut, PC bisa diterjemahkan sebagai pelayanan yang

    bertanggungjawab langsung yang berdasarkan atas peraturan untuk memastikan kebutuhan pasien

    terhadap obat dengan tujuan akhir untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Untuk dapat

    melakukan inovasi untuk mengembangkan peranan apoteker sebagai pelaksana pelayanan

    kefarmasian tidak gampang. Salah satu model yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan faktor

    yang dapat mempengaruhi peranan apoteker untuk memberikan pelayanan kefarmasian adalah

    Practice Change System (PCS) dari Nimmo dan Holland.4, 5 Mereka menyebutkan ada tiga faktor

    (practice environment, motivational strategies, dan learning resources) yang dapat mempengaruhi

    peranan apoteker dalam pelayanan kefarmasian. Ketiga faktor ini harus dipertimbangkan oleh

    leaders baik di apotek maupun rumah sakit.

    Faktor yang pertama dari PCS model adalah practice environment. Ada tiga tingkatan dari faktor ini

    yaitu dukungan (acceptance) public dan tenaga kesehatan lain terhadap peranan apoteker di tingkat

    nasional (society), dukungan peranan apoteker dalam sistem pelayanan kesehatan (health-system),

    dan dukungan peranan apoteker di praktek di lapangan (practice site). Diperlukan penelitian untuk

    dapat memahami sejauhmana pemahaman publik atau masyarakat umum maupun tenaga profesi

    lain tentang pemahaman peranan apoteker sebagai pemberi pelayanan langsung kepada pasien.

    Sepengetahuan penulis, sejauh ini, apoteker di apotek (komunitas) masih dikenal sebagai penjual

    obat (drug retailer). Di beberapa apotek, apoteker mungkin sudah mulai meningkatkan peranannya

    dengan memberikan konseling kepada pasien. Konseling mungkin sebatas pemberian informasi

    tentang aturan pemakaian obat. Namun, pandangan public terhadap apoteker masih sebagai

    businessman. Pandangan ini tentu tidak salah karena apoteker menjual obat dalam memberikan

    pelayanannya. Di praktek farmasi rumah sakit, peranan apoteker sebagai tenaga kesehatan masih

    terbatas di depo farmasi atau apotek pusat rumah sakit. Masih belum banyak ditemui praktek

    apoteker di ruangan.

  • 2

    Dukungan health system terhadap peranan apoteker mungkin sudah mulai terdengar dengan adanya

    peraturan pemerintah yang menjadi driver yaitu Peraturan Pemerintah No 51 tahun 2009 tentang

    pekerjaan kefarmasian. Walaupun peraturan pemerintah tersebut sudah didukung oleh Peraturan

    Menteri Kesehatan tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek dan di rumah sakit. Namun,

    pelaksanaan pelayanan kefarmasian bisa dibilang masih lambat. Pertanyaannya adalah apakah

    peraturan pemerintah tersebut telah mempengaruhi peraturan lain dibawahnya agar PC dapat

    berjalan dengan baik? Peraturan yang dimaksud adalah peraturan dari pemerintah daerah dan kota

    yang mengharuskan apoteker harus ada baik di komunitas maupun di rumah sakit. Kalaupun ada,

    apakah ada aturan yang jelas (practice guidelines- pedoman praktis) untuk dapat melakukan

    kegiatan sebagai pemberi pelayanan kefarmasian. Sepengetahuan penulis, saat ini pedoman praktis

    pelayanan kefarmasian baik di rumah sakit maupun di apotek masih belum jelas. Mungkin

    ketidakjelasan pedoman atau job description ini yang menyebabkan belum jelasnya standar fee

    terhadap pelayanan apoteker. Tingkatan terakhir dari practice environment adalah penerimaan

    tenaga kesehatan lain di tempat melaksanakan praktek PC tersebut (practice site). Untuk praktek

    pelayanan kefarmasian di rumah sakit, dukungan dari clinical leader sangat dibutuhkan. Apoteker

    harus dapat menunjukkan eksistensinya dengan berbasis klinik di rumah sakit. Jika clinical leader

    dimaksud mendukung peranan apoteker, bukan mustahil, mereka akan menggunakan

    wewenangnya mempengaruhi klinisi atau profesi kesehatan yang lain untuk melibatkan apoteker

    dalam team. Untuk praktek pelayanan kefarmasian di apotek, sangat tergantung dari kepemilikan

    apotek. Jika apoteker sebagai pemilik, mereka akan dapat menggunakan peranan sebagai pemilik

    dan apoteker untuk dapat melaksanakan pelayanan kefarmasian secara optimal. Namun, jika

    apoteker berpraktek di apotek milik orang lain baik individual maupun organisasi swasta, untuk

    dapat melakukan praktik secara ideal pasti akan lebih banyak tantangannya. Dukungan dari

    lingkungan di tempat praktek sangat dipengaruhi oleh kemampuan komunikasi, hubungan

    interpersonal antara apoteker dengan profesi lain, dan faktor teknis lain yang mempengaruhi praktik

    pelayanan kefarmasian yang diinginkan.

    Faktor kedua dari PCS model adalah strategi yang diperlukan oleh leaders untuk memotivasi

    terlaksananya praktek pelayanan kefarmasian. Menurut Nimmo dan Holland faktor yang paling

    efektif untuk memotivasi terlaksananya PC adalah rewards (fee for service). Namun, seperti yang

    telah disebutkan sebelumnya, sampai saat ini belum ada fee yang jelas bagi apoteker jika mereka

    melakukan PC. Peranan organisasi profesi (Ikatan Apoteker Indonesia-IAI dan himpunan seminatnya,

    dalam hal ini) sangat strategis untuk memotivasi anggotanya untuk dapat melaksanakan PC tsb.

    Organisasi profesi harus dapat mensosialisakan peranan profesi apoteker (professional socialisation)

    kepada apoteker baru maupun calon apoteker. Sosialisasi dari organisasi profesi diharapkan dapat

    menjadi internal driver bagi apoteker baru untuk dapat mengubah mind-set mereka bahwa mereka

    tidak hanya bekerja di apotek atau di depo farmasi tetapi juga sebagai tenaga kesehatan yang

    memberikan pelayanan langsung kepada pasien. Untuk dapat melakukan sosialisasi terhadap

    peranan apoteker ini, perlu dukungan dari apoteker yang telah melaksanakan pelayanan

    kefarmasian sebagai role model agar apoteker baru dan calon apoteker dapat melihat peranan

    mereka secara nyata. Apoteker role model harus dapat menjadi contoh untuk melakukan standar PC

    yang diharapkan, mampu bekerjasama positif dengan tenaga kesehatan lainnya, dan mampu

    berkomunikasi dengan baik dengan tenaga kesehatan lain dan tentu saja dengan pasien.

    Professional socialisation yang efektif harus didukung oleh institusi pendidikan (fakultas atau sekolah

  • 3

    farmasi), institusi kesehatan (rumah sakit/puskesmas maupun apotek komunitas), dan juga

    organisasi profesi (termasuk himpunan seminatnya- komunitas dan rumah sakit). Yang menjadi

    pertanyaan adalah, apakah role model ada di praktek pelayanan kefarmasian sekarang?

    Faktor yang ketiga dari PCS model adalah materi pelatihan dalam melakukan pelayanan kefarmasian

    tersebut (learning resources). Sampai sejauh ini, sepertinya asumsi umum, peran pelatihan dan

    pengetahuan semata-mata ada di tangan institusi pendidikan. Namun, sebagai profesi, kerjasama

    antara organisasi profesi dan institusi pendidikan tidak dapat dilepaskan untuk dapat memberikan

    pelatihan/training berkaitan dengan peranan apoteker dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian

    tersebut. Leaders harus mampu membuat pelatihan yang practiced-based yang dibutuhkan oleh

    apoteker dalam memberikan pelayanan langsung kepada pasien. Misalnya, pelatihan dengan

    metode role play dimana apoteker memberikan konseling kepada pasien, pelatihan tentang cara

    berkomunikasi yang efektif dengan tenaga profesi lain, dan pelatihan tentang cara melakukan

    review klinik terhadap pengobatan yang diterima pasien di ruangan. Diharapkan pelatihan yang

    diberikan harus relevan untuk meningkatkan pemahaman apoteker secara nyata untuk

    mempraktekkan pelayanan yang diinginkan dan mudah dilakukan. Tentu saja faktor lain adalah

    pelatihan yang diberikan harus ramah waktu dan biaya. Pertanyaan terakhir yang muncul adalah

    apakah pelatihan yang bersifat praktis, affordable dan doable sudah ada?

    Untuk menjawab pertanyaan apakah apoteker sanggup untuk melakukan pelayanan kefarmasian

    berdasarkan PCS model dari Nimmo dan Holland, perlu dukungan dari pemerintah (peraturan di

    level nasional sampai daerah) institusi pendidikan (kurikulum pendidikan yang berfokus pelayanan

    kefarmasian), institusi kesehatan (rumah sakit, puskesmas, dan apotek sebagai tempat pelatihan),

    organisasi profesi (dengan seminatnya sebagai role model), profesi kesehatan lain dan tentu saja

    positif mind-set dari apoteker bahwa mereka mampu melakukan pelayanan kefarmasian tersebut.

    Penulis akan mengembalikan kepada masing-masing individu apoteker, sanggupkah anda untuk

    melakukan pelayanan kefarmasian tersebut?

    Salam semangat!

    Penulis adalah seorang apoteker, PhD candidate, dan tenaga pengajar di Universitas Udayana.

    Acknowledgment: Terima kasih kepada Drs IGN Warsika Apt karena telah mereview tulisan ini.

    Reference

    1. Hepler CD, Strand LM. Opportunities and responsibility in pharmaceutical care. Am J Hosp Pharm. 1990; 47:533-43.

    2. RJ Cipole. Pharmaceutical care practice: the clinician's guide. 2nd

    ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2007. 3. Blackburn DF, Yakiwchuck EM, Jorgenson Dj, Mansell KD. Proposing a redefinition of pharmaceutical care. Ann

    Pharmacother. 2012; 46:447-9. Available 4. Nimmo CM, Holland RW. The practice-change system applied to medication safety. In: Manasse HR, Thompson

    KK, editors. Medication safety: a guide for health care facilities. Bethesda: American Society of Health-System Pharmacists; 2005.

    5. Holland R, Nimmo C. Transitions in pharmacy practice, part 3: effecting change-the three-ring circus. Am J Health-Syst Pharm. 1999; 56. Available