faktor
DESCRIPTION
faktorTRANSCRIPT
Faktor-Faktor Pengaruh Pergeseran Kesetimbangan
Pergeseran Kesetimbangan dapat terjadi karena dipengaruhi beberapa faktor. Menurut asas Le
Chatelier sendiri sebagai ilmuwan, Jika sutu sistem kesetimbangan diberikan aksi-aksi tertentu,
maka sistem akan mengadakan reaksi yang cenderung menghilangkan pengaruh aksi yang
diberikan. Cara sistem bereaksi adalah dengan melakukan pergeseran, baik ke kanan maupun ke
kiri.
Berikut ini faktor-faktor yang mempengaruhi pergeseran kesetimbangan, yaitu:
Faktor Konsentrasi; jika konsentrasi reaksi diperbesar, maka kesetimbangan reaksi akan
bergeser ke kanan begitupun sebaliknya
Faktor Tekanan; jika tekanan reaksi diperbesar tetapi volume diperkecil, pergeseran
kesetimbangan reaksi akan menuju ke arah bagian yang jumlah koefisiennya kecil,
Sumber: http://www.chem-is-try.org/
Faktor Suhu; jika suhu suatu sistem dinaikkan, maka sistem akan bereaksi dengan
menurunkan suhu, kesetimbangan akan bergeser ke bagian reaksi yang menyerap kalor atau
dikenal dengan reaksi endoterm. Begitupun sebaliknya, jika suhu diturunkan maka
kesetimbangan akan bergeser ke bagian yang melepaskan kalor atau disebut dengan reaksi
eksoterm.
Faktor Katalis; Katalis itu sendiri adalah sebuah zat yang dapat mempercepat reaksi namun
akan kembali ke wujudnya semula ketika reaksi telah selesai. Katalis dapat memperbesar
laju reaksi karena menurunkan energi aktivasi. Dengan menggunakan katalis, suatu reaksi
dapat dijadikan berjalan lambat ataupun cepat, sesuai yang dibutuhkan. Katalis juga penting
untuk reaksi yang berlangsung pada suhu tinggi karena dengan menggunakan katalis maka
reaksi dapat diatur agar tetap berlangsung pada suhu rendah.
Jadi, faktor-faktor tersebut di atas dapat menjadi bagian penting dalam terjadinya pergeserean
kesetimbangan kimia.
•faktor yang mempengaruhi pergeseran kesetimbangan,•faktor faktor yang mempengaruhi
pergeseran kesetimbangan,•faktor-faktor yang mempengaruhi pergeseran kesetimbangan,•Faktor
yg mempengaruhi pergeseran kesetimbangan,•pergeseran kesetimbangan,•faktor pergeseran
kesetimbangan,•asas Le Chatelier tentang pergeseran kesetimbangan,•faktor faktor yang
mempengaruhi pergeseran kesetimbangan kimia,•pergeseran kesetimbangan kimia,•faktor yang
mempengaruhi pergeseran kesetimbangan kimia
Siklus Krebs (Daur Asam Trikarboksilat)
Posted by chemy18 on February 5, 2012
Siklus Krebs adalah proses utama kedua dalam reaksi pernafasan sel. Siklus Krebs ini
ditemukan oleh Hans Krebs (1900-1981). Reaksi pernafasan sel tersebut disebut juga sebagai
daur asam sitrat atau daur asam trikarboksilat.
Tahapan Reaksi dalam Siklus Krebs
Siklus Krebs terjadi di mitokondria dengan menggunakan bahan utama berupa asetil-CoA, yang
dihasilkan dari proses dekarboksilasi oksidatif. Ada delapan tahapan utama yang terjadi selama
siklus Krebs.
1. Kondensasi
Kondensasi merupakan reaksi penggabungan molekul asetil-CoA dengan oksaloasetat
membentuk asam sitrat. Enzim yang bekerja dalam reaksi ini adalah enzim asam sitrat sintetase.
2. Isomerase sitrat
Tahapan ini dibantu oleh enzim aconitase, yang menghasilkan isositrat.
3. Produksi CO2
Dengan bantuan NADH, enzim isositrat dehidrogenase akan mengubah isositra menjadi alfa-
ketoglutarat. Satu molekul CO2 dibebaskan setiap satu reaksi.
4. Dekarboksilasi oksidatif kedua
Tahapan reaksi ini mengubah alfa-ketoglutara menjadi suksinil-CoA. Reaksi dikatalisasi oleh
enzim alfa-ketoglutarat dehidrogenase.
5. Fosforilasi tingkat substrat
Respirasi seluler juga menghasilkan ATP dari tahapan ini. Reaksi pembentukan ATP inilah yang
dinamakan dengan fosforilasi, karena satu gugus posfat akan ditambahkan ke ADP menjadi
ATP. Pada awalnya, suksinil-CoA akan diubah menjadi suksinat, dengan mengubah GDP + Pi
menjadi GTP. GTP tersebut akan digunakan untuk membentuk ATP.
6. Dehidrogenasi
Suksinat yang dihasilkan dari proses sebelumnya akan didehidrogenasi menjadi fumarat dengan
bantuan enzim suksinat dehidrogenase.
7. Hidrasi dan regenerasi oksaloasetat
Dua tahapan ini merupakan akhir dari Siklus Krebs. Hidrasi merupakan penambahan atom
hidrogen pada ikatan ganda karbon (C=C) yang ada pada fumarat sehingga menghasilkan malat.
Malat dehidrogenase mengubah malat menjadi oksaloasetat. Oksaloasetat yang dihasilkan
berfungsi untuk menangkap asetil-CoA, sehingga siklus Krebs akan terus berlangsung. Adapun
hasil dari Siklus Krebs adalah ATP, FADH2, NADH dan CO2. Siklus akan menghasilkan 2
molekul CO2, yang dilepaskan. Jumlah molekul NADH yang dihasilkan adalah 6 molekul,
sedangkan FADH adalah 2 molekul. ATP yang diproduksi secara langsung ada sebanyak 2
molekul, yang merupakan hasil dari reaksi fosforilasi tingkat substrat. FADH2 dan NADH adalah
molekul yang digunakan dalam tahapan transpor elektron. Setiap molekul NADH akan
dioksidasi lewat transpor elektron sehingga menghasilkan 3 ATP per molekul, sedangkan satu
molekul FADH2 menghasilkan 2 molekul ATP.
•siklus krebs,•siklus kreb,•daur krebs,•siklus asam sitrat,•makalah siklus krebs,•siklus krebs
adalah,•siklus krebs biokimia,•proses siklus krebs,•peristiwa daur krebs,•daur siklus krebs
Minyak Atsiri dari Daun Jeruk Purut: Proses
Penyulingan dan Ekstraksi
Minyak atsiri dari jeruk purut dapat diperoleh dengan melakukan penyulingan. Namun
sebelum menjelaskan tentang proses penyulingan tersebut, ada baiknya jika meninjau lebih jauh
tentang tanaman jeruk purut ini.
JerukPurut Penghasil Minyak Atsiri
Jeruk purut adalah salah satu anggota suku jeruk-jerukan, Rutacea, dari jenis Citrus. Nama
latinnya adalah Citrus hystrix. Buahnya tidak umum dimakan, karena tak enak rasanya. Banyak
mengandung asam dan berbau wangi agak keras. Tinggi pohonnya antara 2-12 meter.
Batangnya agak kecil, bengkok atau bersudut dan bercabang rendah. Batang yang telah tua
berbentuk bulat, berwarna hijau tua, polos atau berbintik-bintik. Daun jeruk purut berwarna hijau
kekuningan dan berbau sedap. Bentuknya bulat dengan ujung tumpul dan bertangkai. Tangkai
daun bersayap lebar, sehingga hampir menyerupai daun. Daun ini banyak dipakai untuk bumbu
masakan. Buah jeruk purut lebih kecil dari kepalan tangan, bentuknya seperti buah pir, tetapi
banyak tonjolan dan berbintil. Kulit buahnya tebal dan berwarna hijau. Buah yang matang benar
berwarna sedikit kuning. Warna daging buahnya hijau kekuningan, rasanya sangat masam dan
agak pahit.
Proses Penyulingan dan Ekstraksi Minyak Atsiri
Jika daun jeruk purut itu disuling, dihasilkan minyak atsiri yang dari tidak berwarna (bening)
sampai kehijauan (tergantung cara ekstraksi), minyak atsiri berbau harum mirip bau daun (jeruk
purut). Minyak atsiri hasil destilasi (penyulingan) menggunakan uap mengandung 57 jenis
komponen kimia. Yang utama dan terpenting adalah sitronelal dengan jumlah 81, 49%, sitronelol
8,22%, linalol 3,69% dan geraniol 0,31%. Komponen lainnya ada dalam jumlah yang sedikit.
Ekstrasi yang dilakukan menggunakan pelarut meliputi persiapan bahan, mencampur, mengaduk
dan memanaskan bahan dan pelarut serta memisahkan pelarut dari minyak atsiri. Metode
ekstraksi yang digunakan antara lain destilasi uap, destilasi dengan cara Likens-Nickerson,
maserasi dan perkolasi.
Pelarut yang banyak digunakan untuk mengekstraksi minyak atsiri adalah etanol, heksana, etilen
diklorida, aseton, isopropanol dan metanol. Penyulingan atau destilasi uap dilakukan dengan cara
menimbang daun jeruk purut sesuai dengan kapasitas tangki penyulingan, kemudian dirajang
(dipotong kecil-kecil). Proses penyulingan minyak atsiri dilakukan selama 6 jam. Minyak atsiri
yang diperoleh dipisahkan dari air dengan menggunakan labu pemisah minyak. Destilasi
menggunakan alat yang sama dengan destilasi uap, hanya rajangan daun jeruk purut langsung
dicampur dengan air dan dididihkan. Dalam destilasi uap, rajangan dipisahkan dari air mendidih
oleh suatu kawat kasa, hingga hanya terkena uapnya. Proses penyulingan dan pemisahan minyak
atsirinya juga sama.
Cara Likens-Nickerson (alatnya disebut ekstraktor Lickens-Nickerso) merupakan
ekstraksi minyak atsiri dalam skala laboratorium. Rajangan daun jeruk purut dicampur dengan
air suling, lalu diletakkan dalam labu erlenmeyer 1 liter. Pelarut ditempatkan dalam labu didih 50
ml (labu ini berhubungan dengan labu erlenmeyer melalui pipa gas dan kondensor). Kedua labu
dipanaskan sampai mendidih hingga minyak atsiri tersuling secara simultan selama 3 jam.
Pemisahan minyak atsiri dari pelarutnya dilakukan dengan penguapan pada tekanan rendah. Pada
cara maserasi, daun jeruk purut yang telah dihancurkan direndam dalam tangki tertutup dan
didiamkan beberapa hari. Selama itu dilakukan pengadukan beberapa kali supaya larutan minyak
atsiri merata. Selanjutnya dilakukan penyaringan dan pengepresan, hingga diperoleh cairan
pelarut. Penjernihan dilakukan dengan pengendapan atau penyaringan. Sedangkan perkolasi
adalah melarutkan minyak atsiri dari hancuran daun jeruk purut dengan pelarut yang mengalir.
Seperti halnya maserasi, daun dihancurkan lebih dulu supaya ekstraksi berlangsung lebih cepat.
Hancuran jeruk purut itu kemudian dialiri dengan pelarut pada sebuah perkolator. Setelah proses
dianggap selesai, cairan yang diperoleh dipisahkan minyak atsirinya dengan cara penyulingan.
•jeruk purut,•destilasi minyak atsiri,•penyulingan daun jeruk purut,•minyak atsiri daun jeruk
purut,•minyak jeruk purut,•daun jeruk purut,•ekstraksi minyak atsiri,•penyulingan jeruk
purut,•daun jeruk,•minyak atsiri dari daun jeruk purut
Sandi DNA Membentuk Partikel Nano Emas
Tim ini menemukan kalau segmen DNA dapat mengarahkan bentuk partikel nano emas – kristal
emas kecil yang dapat diterapkan dalam kedokteran, elektronika, dan katalisis. Dipimpin oleh Yi
Lu, profesor kimia di Universitas Illinois, tim ini menerbitkan temuan mengejutkan mereka di
jurnal Angewandte Chemie.
“Sintesis partikel nano tersandi DNA dapat memberi kita cara baru untuk menghasilkan partikel
nano dengan bentuk dan sifat teramalkan,” kata Lu. “Penemuan demikian berpotensi berdampak
pada teknologi bio-nano dan penerapan dalam kehidupan sehari-hari seperti sebagai katalis,
sensor, pencitraan, dan kedokteran.”
Partikel nano emas memiliki terapan yang luas pada biologi dan ilmu bahan karena sifat
fisikokimianya yang unik. Sifat partikel nano emas sangat ditentukan oleh bentuk dan
ukurannya, jadi penting untuk mampu merancang sifat partikel nano untuk terapan tertentu.
“Kami bertanya apakah kombinasi barisan DNA berbeda dapat memiliki ‘sandi genetik’ untuk
mengarahkan sintesis bahan nano dengan cara yang sama dengan arah sintesis protein mereka,”
kata Zidong Wang, lulusan baru dari grup Lu dan pengarang perdana makalah ini.
Partikel nano emas dibuat dengan merajut benih emas kecil dalam larutan garam emas. Partikel
ini tumbuh sebagai emas dalam larutan garam yang terendapkan ke benih. Grup Lu
menginkubasi benih emas dengan segmen pendek DNA sebelum menambah larutan garam,
menyebabkan partikel ini tumbuh dalam berbagai bentuk yang ditentukan oleh sandi genetik
DNA.
Abjad DNA mengandung empat huruf: A, T, G, dan C. Istilah sandi genetik merujuk pada
barisan huruf-huruf ini, yang disebut basa. Empat basa dan kombinasinya dapat berikatan
berbeda dengan benih nano emas dan mengarahkan jalur pertumbuhan benih emas,
menghasilkan berbagai bentuk.
Dalam eksperimen mereka, para peneliti menemukan kalau untaian A berulang menghasilkan
partikel emas bulat kasar; T menghasilkan bintang, C menghasilkan cakram bulat lempeng; dan
G menghasilkan heksagon. Lalu grup ini menguji untai DNA yang merupakan kombinasi dua
basa, misalnya, 10 T dan 20 A. Mereka menemukan kalau banyak basa bersaing satu sama lain
menghasilkan bentuk perantara, walaupun A selalu mendominasi T.
Selanjutnya, para peneliti berencana menyelidiki bagaimana sandi DNA mengarahkan
pertumbuhan partikel nano. Mereka juga berencana menerapkan metode mereka untuk
mensintesis tipe bahan nano lainnya untuk penerapan baru.
Sumber berita:
University of Illinois at Urbana-Champaign.
Referensi jurnal:
Zidong Wang, Longhua Tang, Li Huey Tan, Jinghong Li, Yi Lu. Discovery of the DNA
“Genetic Code” for Abiological Gold Nanoparticle Morphologies. Angewandte Chemie
International Edition, 2012; DOI: 10.1002/anie.201203716
Bentuk awal mahkluk hidup penghasil oksigen di
Bumi muncul 60 juta tahun lebih awal dari yang
sebelumnya diperkirakan
Ahli geologi dari Trinity College Dublin, Irlandia, menemukan bahwa bentuk kehidupan
penghasil oksigen pertama di Bumi muncul sekitar 3 milyar tahun yang lalu. Ini berarti 60 juta
tahun lebih awal dari yang selama ini diperkirakan oleh para ahli dan tertulis di buku buku
sejarah evolusi. Bentuk kehidupan ini bertanggungjawab atas terbentuknya oksigen yang
melimpah yang kini ada di atmosfer kita. Oksigen yang melimpah ini di kemudian hari berperan
penting dalam berkembangnya mahkluk hidup yang lebih kompleks seperti manusia.
Bekerjasama dengan Profesor Joydip Mukhopadhyay dan Gautam Ghosh dan rekan-rekan lain
dari Universitas Kepresidenan di Kolkata, India, para ahli geologi ini menemukan bukti adanya
pelapukan batuan kimia yang merujuk pada pembentukan tanah yang terjadi ketika ada
kemunculan O2. Menggunakan sistem uranium-lead isotop decay yang muncul secara alami,
para geolog melakukan pengukuran usia secara cermat dan akhirnya menyimpulkan bahwa
peristiwa ini muncul setidaknya 3,020,000,000 tahun yang lalu. Tanah kuno (atau paleosol)
tersebut berasal dari Singhbhum Kraton Odisha, dan kemudian dinamakan ‘Keonjhar Paleosol’
sesuai nama kota terdekat.
Seperti kita ketahui, bukti penggalian geologi menujukkan bahwa pada awal kemunculan
kehidupan, terjadi peningkatan kadar oksigen dalam atmosfer kita. Ini karena melimpahnya
tumbuh tumbuhan purba yang mengconvert karbon dioksida menjadi oksigen sebelum
munculnya hewan yang merubah oksigen menjadi CO2. Pola pelapukan kimia yang didapat
dalam paelosol tersebut sesuai dengan pola kenaikan level Oksigen dari masa ke masa. Level
Oksigen seperti itu hanya bisa terjadi akibat melimpahnya organisme kala itu yang mengubah
energi cahaya matahari dan karbon dioksida menjadi oksigen dan air. Proses yang
disebut fotosintesis ini digunakan oleh jutaan spesies tumbuhan dan bakteri berbeda yang ada di
bumi saat ini. Melimpahnya kadar oksigen dalam atmosfer kala itu berperan penting
berkembangnya bentuk kehidupan yang lebih kompleks seperti mamalia.
Penelitian ini baru saja dipublikasikan secara online dalam jurnal Geologi peringkat teratas dunia
bernama ‘Geology’. Quentin Crowley, Asisten Profesor dalam Analisis Isotop dan Lingkungan
di Sekolah Ilmu Pengetahuan Alam di Trinity, sekaligus penulis senior dari artikel jurnal yang
menjelaskan penelitian ini berkata: “Ini adalah penemuan yang sangat menarik, yang membantu
untuk mengisi kesenjangan dalam pengetahuan kita tentang evolusi awal Bumi. Paleosol dari
India ini mengatakan kepada kita bahwa ada kejadian oksigenasi atmosfer, dan ini terjadi jauh
lebih awal dari yang dibayangkan sebelumnya. “
Awal Bumi kala itu sangat berbeda dengan apa yang kita lihat sekarang ini. Suasana awal
atmosfer planet kita kaya akan metana dan karbon dioksida dan hanya ada O2 dalam skala yang
sangat sedikit. Fakta yang sebelumnya diterima secara luas untuk evolusi atmosfer menyatakan
bahwa tingkat O2 tidak meningkat secara signifikan sampai sekitar 2,4 miliar tahun yang lalu.
Kejadian yang disebut ‘Great Oxidation Event’ ini kemudian menyebabkan melimpahnya
atmosfer dan lautan dengan O2, dan digembar-gemborkan sebagai salah satu perubahan terbesar
dalam sejarah evolusi awal kehidupan di bumi. Mikroorganisme sendiri, dapat dipastikan telah
hadir sebelum 3,0 miliar tahun yang lalu, namun tidak mungkin mampu menghasilkan O2 dalam
jumlah banyak lewat fotosintesis. Sebelum ini masih belum jelas apakah terdapat peristiwa
oksigenasi yang terjadi sebelum Oksidasi Besar itu, sementara itu argumen yang melandasi
kemampuan evolusi fotosintesis sebagian besar telah didasarkan pada tanda-tanda pertama dari
penumpukan oksigen di atmosfer dan lautan.
Profesor Crowley menambahkan, “Ini adalah contoh langka dari catatan geologi yang
memberikan gambaran sekilas tentang bagaimana batuan melapuk. Perubahan kimia yang terjadi
selama pelapukan ini memberitahu kita sesuatu tentang komposisi atmosfer pada saat itu. Sangat
sedikit dari ‘paleosols’ yang telah didokumentasikan dari periode sejarah bumi sebelum 2,5
miliar tahun yang lalu. Satu satunya adalah yang kita kerjakan dan itu berusia setidaknya
3020000000 tahun, dan itu menunjukkan bukti kimia bahwa pelapukan berlangsung dalam
suasana dengan tingkat O2 tinggi. “
Hampir tidak ada O2 di atmosfer bumi pada 3,4 miliar tahun yang lalu, namun karya terbaru dari
paleosols Afrika Selatan menunjukkan bahwa sekitar 2,96 miliar tahun lalu tingkat O2 mungkin
mulai meningkat. Oleh karena itu temuan Profesor Crowley telah menggeser batas sejarah
tersebut setidaknya 60 juta tahun. Mengingat manusia baru ada di planet ini sekitar seper sepuluh
dari waktu itu, maka hal itu bukanlah hal yang insignifikan dalam sejarah evolusi.
Referensi Jurnal:
1. J. Mukhopadhyay, Q. G. Crowley, S. Ghosh, G. Ghosh, K. Chakrabarti, B. Misra, K. Heron,
S. Bose. Oxygenation of the Archean atmosphere: New paleosol constraints from
eastern India. Geology, 2014; DOI: 10.1130/G36091.1
Untuk Ketersediaan Pangan di Masa Depan,
Diperlukan Evaluasi Kekayaan Bank Benih Dunia
Kurang dari selusin tanaman berbunga dari 300.000 spesies terhitung merupakan 80 persen dari
asupan kalori manusia. Dengan fakta demikian, maka diperlukan pemanfaatan tanaman yang tak
terpakai untuk membantu menambah ketersediaan pangan dunia dalam waktu dekat, klaim ahli
genetika tanaman Universitas Cornell, Susan McCouch, dalam jurnalNature edisi 4 Juli.
Untuk mengimbangi pertumbuhan penduduk serta kian meningkatnya pendapatan di seluruh
dunia, para peneliti memperkirakan bahwa ketersediaan pangan dunia harus mencapai dua kali
lipat dalam 25 tahun ke depan. Keanekaragaman hayati yang tersimpan dalam bank gen
tanaman, ditambah dengan kemajuan dalam bidang genetika dan budi daya tanaman, dapat
menjadi solusi untuk memenuhi tuntutan pangan yang lebih banyak dalam menghadapi
perubahan iklim, degradasi tanah dan air serta keterbatasan lahan.
“Bank gen menyimpan ratusan ribu bahan kultur jaringan dan benih yang dikumpulkan dari
ladang petani, dan dari populasi liar, tersedia bahan baku yang dibutuhkan dalam budi daya
tanaman untuk menciptakan tanaman pangan di masa depan,” ungkap McCouch.
Misalnya, setelah memindai lebih dari 6.000 varietas dari bank benih, tanaman budi daya
diidentifikasi dan disilangkan dengan spesies padi liar, Oryza nivara; hasilnya adalah varietas
yang tahan terhadap penyakit virus kerdil rumput yang menyerang pada hampir semua varietas
padi tropis di kawasan Asia dalam kurun 36 tahun terakhir. Demikian pula, di tahun 1997,
manfaat penggunaan kerabat liar tanaman sebagai sumber ketahanan lingkungan serta ketahanan
terhadap hama dan penyakit dapat menghasilkan keuntungan tahunan hingga sekitar 115 milyar
dolar bagi perekonomian dunia.
Meski berbagai benih dapat dengan mudah diakses dalam 1.700 bank gen di seluruh dunia,
“potensinya tidak dimanfaatkan secara penuh dalam pembudidayaan tanaman,” kata McCouch.
Saat ini, sulit bagi para petani untuk memanfaatkan kekayaan materi genetik dalam bank
benih akibat kurangnya informasi tentang gen beserta sifat-sifat pada sebagian besar tanaman.
Karena dibutuhkan waktu dan upaya untuk mengidentifikasi dan kemudian menggunakan
sumber daya genetik liar dan tak teradaptasi, “para petani harus punya gagasan yang bagus
tentang manfaat genetik dari sumber daya yang tidak dikarakterisasikan sebelum mencoba
menggunakannya dalam program budi daya,” tambah McCouch.
Dalam makalah studi ini, McCouch beserta rekan-rekannya menguraikan rencana tiga-poin
untuk mengatasi kendala-kendala tersebut:
Sebuah upaya pengurutan genetik secara besar-besaran pada bank-benih yang ada untuk
mendokumentasikan apa saja yang ada di dalam berbagai koleksi, bertujuan untuk secara
strategis menargetkan percobaan dalam mengevaluasi ciri-ciri apa saja yang dimiliki suatu
tanaman dan mulai memprediksi kinerja tanaman tersebut.
Sebuah inisiatif pengevaluasian ciri tanaman secara meluas, tidak hanya pada bank-gen, tapi
juga pada keturunan yang dihasilkan dari persilangan materi liar dan eksotis dengan varietas
teradaptasi yang ditargetkan untuk penggunaan lokal.
Sebuah infrastruktur informatika yang bisa diakses secara internasional untuk
mengkoordinasikan data yang baru dikelola secara mandiri oleh para kurator bank-gen,
agronom dan petani.
Menurut McCouch, perkiraan biaya untuk upaya global yang sistematis dan kolaboratif dalam
membantu mencirikan sumber daya genetik yang diperlukan untuk ketersediaan pangan di masa
depan ini, adalah sekitar 200 juta dolar per tahun.
“Tampaknya nilai yang tak seberapa, mengingat sebagai masyarakat kita menghabiskan sekitar 1
miliar dolar per tahun untuk menjalankan program Large Hadron Collider CERN di Jenewa,
Swiss, dan 180 juta dolar untuk sebuah pesawat jet tempur,” kata McCouch.
Kredit: Universitas Cornell
Jurnal: Susan McCouch, Gregory J. Baute, James Bradeen, Paula Bramel, Peter K. Bretting,
Edward Buckler, John M. Burke, David Charest, Sylvie Cloutier, Glenn Cole, Hannes
Dempewolf, Michael Dingkuhn, Catherine Feuillet, Paul Gepts, Dario Grattapaglia, Luigi
Guarino, Scott Jackson, Sandra Knapp, Peter Langridge, Amy Lawton-Rauh, Qui Lijua,
Charlotte Lusty, Todd Michael, Sean Myles, Ken Naito, Randall L. Nelson, Reno Pontarollo,
Christopher M. Richards, Loren Rieseberg, Jeffrey Ross-Ibarra, Steve Rounsley, Ruaraidh
Sackville Hamilton, Ulrich Schurr, Nils Stein, Norihiko Tomooka, Esther van der Knaap, David
van Tassel, Jane Toll, Jose Valls, Rajeev K. Varshney, Judson Ward, Robbie Waugh, Peter
Wenzl, Daniel Zamir. Agriculture: Feeding the future. Nature, 2013; 499 (7456): 23
DOI:10.1038/499023a
Bangunan DNA dan Asam Amino
Dengan menggunakan teknologi baru pada teleskop dan yang ada di laboratorium, para peneliti
menemukan sepasang molekul prebiotik penting di ruang antarbintang. Penemuan ini
menunjukkan bahwa beberapa bahan kimiadasar yang merupakan langkah-langkah kunci menuju
ke kehidupan mungkin telah terbentuk pada butiran es berdebu yang mengambang di antara
bintang-bintang.
Para ilmuwan menggunakan Teleskop Green Bank milik National Science Foundation di West
Virginia untuk mempelajari awan gas raksasa berjarak sekitar 25.000 tahun cahaya dari bumi,
dekat dengan pusat Galaksi Bima Sakti kita. Bahan kimia yang mereka temukan pada awan
tersebut meliputi suatu molekul yang diduga menjadi pelopor bagi komponen kunci DNA dan
lainnya yang mungkin berperan dalam pembentukan asam amino alanin.
Molekul yang baru ditemukan itu, disebut cyanomethanimine, merupakan salah satu langkah
dalam proses yang diyakini memproduksi adenin, satu dari empat nukleobasa yang membentuk
“anak tangga” dalam struktur seperti-tangga DNA. Molekul lainnya, disebut ethanamine, diduga
berperan dalam membentuk alanin, satu dari dua puluh asam amino dalam kode genetik.
Teleskop Green Bank dan molekul-molekul yang sudah ditemukan. (Kredit: Bill Saxton,
NRAO/AUI/NSF)
“Penemuan molekul-molekul dalam awan gas antarbintang ini mengindikasikan bahwa blok
bangunan yang penting bagi DNA dan asam amino dapat menebar ke planet yang baru terbentuk,
bersama dengan prekursor-prekursor kimiawi untuk kehidupan,” tutur Anthony Remijan dari
National Radio Astronomy Observatory.
Pada masing-masing kasus, kedua molekul yang baru ditemukan itu merupakan tahap peralihan
dalam proses kimiawi multi-langkah yang mengarah ke molekul biologis akhir. Rincian proses-
prosesnya belum sepenuhnya jelas, namun penemuan ini menyediakan wawasan baru tentang di
mana proses-proses itu terjadi.
Sebelumnya, para ilmuwan menduga proses tersebut berlangsung dalam gas yang sangat tipis di
antara bintang-bintang. Namun penemuan baru menunjukkan bahwa urutan pembentukan
kimiawi untuk molekul-molekul itu tidak terjadi di dalam gas, melainkan pada permukaan
butiran es di ruang antarbintang.
Struktur cyanomethanimine, molekul yang baru ditemukan dalam ruang antarbintang.
Biru=nitrogen, abu-abu=karbon, putih=hidrogen. (Kredit: NRAO/AUI/NSF)
“Kami perlu melakukan penelitian lebih lanjut untuk lebih memahami cara kerja reaksi-
reaksinya, tapi beberapa langkah kunci pertama yang mengarah ke bahan-bahan kimia biologis
bisa saja terjadi pada butiran es kecil,” kata Remijan.
Penemuan ini bisa terwujud dengan adanya teknologi baru yang mempercepat proses
mengidentifikasi “sidik jari” bahan kimia kosmik. Masing-masing molekul memiliki satu set
rotasi tertentu yang menandakan dapat diintepretasi. Saat terjadi perubahan dari satu keadaan ke
keadaan lain, sejumlah energi tertentu dipancarkan atau diserap, seringkali sebagai gelombang
radio pada frekuensi tertentu yang dapat diamati dengan Teleskop Green Bank.
Struktur adenin, suatu komponen DNA. (Kredit: NRAO/AUI/NSF)
Teknik laboratorium terbaru memungkinkan para astrokimiawan mengukur pola karakteristik
dari frekuensi radio untuk molekul tertentu. Berbekal informasi itu, mereka kemudian dapat
menyesuaikan polanya dengan data yang diperoleh dari teleskop. Perangkat laboratorium di
University of Virginia dan Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics mengukur emisi radio
dari cyanomethanimine danethanamine, kemudian pola frekuensi dari kedua molekul itu
dicocokkan dengan data publik hasil survei yang dilakukan dengan Teleskop Green Bank dari
tahun 2008 hingga 2011.
Sebuah tim mahasiswa yang berpartisipasi dalam program riset musim panas spesial, yang
diperuntukkan bagi para mahasiswa minoritas di University of Virginia (U.Va.), mengerjakan
beberapa percobaan yang mengarah pada penemuan cyanomethanimine. Para mahasiswa ini
bekerja di bawah arahan profesor U.Va. Brooks Pate, Ed Murphy, dan Remijan. Program yang
didanai National Science Foundation ini, membawa para mahasiswa dari empat perguruan tinggi
untuk mengalami penelitian musim panas tersebut. Mereka bekerja di laboratorium astrokimia
milik Pate, lengkap dengan data dari Teleskop Green Bank.
“Ini adalah penemuan yang cukup istimewa dan membuktikan bahwa para mahasiswa awal-karir
dapat melakukan penelitian yang luar biasa,” ujar Pate.
Kredit: National Radio Astronomy Observatory
Jurnal: Daniel P. Zaleski, Nathan A. Seifert, Amanda L. Steber, Matt T. Muckle, Ryan A.
Loomis, Joanna F. Corby, Oscar Martinez, Kyle N. Crabtree, Philip R. Jewell, Jan M. Hollis,
Frank J. Lovas, David Vasquez, Jolie Nyiramahirwe, Nicole Sciortino, Kennedy Johnson,
Michael C. McCarthy, Anthony J. Remijan, Brooks H. Pate. DETECTION OF E-
CYANOMETHANIMINE TOWARD SAGITTARIUS B2(N) IN THE GREEN BANK
TELESCOPE PRIMOS SURVEY. The Astrophysical Journal, 2013; 765 (1): L10
DOI: 10.1088/2041-8205/765/1/L10
Ilmuwan Membentuk Sel-sel Saraf Baru – Langsung
di Dalam Otak
Bidang terapi sel, yang bertujuan membentuk sel-sel baru dalam tubuh untuk menyembuhkan
penyakit, telah mencapai langkah penting dalam pengembangan menuju pengobatan baru.
Laporan terbaru dari para peneliti di Universitas Lund, Swedia, menunjukkan cara yang mungkin
untuk memprogram-ulang sel-sel lain menjadi sel-sel saraf, secara langsung di dalam otak.
Dua tahun yang lalu, para peneliti Universitas Lund merupakan yang pertama di dunia yang
berhasil memprogram-ulang sel kulit manusia, yang dikenal sebagai fibroblast, menjadi sel saraf
penghasil dopamin – tanpa harus mengambil jalan memutar melalui tahap sel punca. Kelompok
riset ini kini melangkah jauh ke depan dan menunjukkan cara memprogram-ulang sel kulit
maupun sel-sel pendukung menjadi sel-sel saraf, secara langsung pada tempatnya di dalam otak.
“Temuan ini merupakan bukti pertama yang penting untuk kemungkinan memprogram-ulang sel
lain menjadi sel saraf di dalam otak,” kata Malin Parmar, pimpinan studi yang dipublikasikan
dalam jurnalProceedings of the National Academy of Sciences ini.
Para peneliti menggunakan gen yang dirancang untuk diaktifkan atau dinonaktifkan dengan
menggunakan obat. Gen ini dimasukkan ke dalam dua jenis sel manusia: sel fibroblas dan glia,
atau sel pendukung yang hadir di dalam otak secara alami. Setelah mentransplantasikannya ke
dalam sel-sel otak tikus, gen itu lantas diaktifkan dengan obat khusus yang dicampur ke dalam
minuman tikus. Sel-selnya kemudian mulai melakukan transformasi menjadi sel-sel saraf.
Pada eksperimen terpisah, di mana gen serupa disuntikkan ke dalam otak tikus, para penelitian
juga berhasil memprogram-ulang sel-sel glia dari tikus itu sendiri menjadi sel-sel saraf.
“Temuan riset ini berpotensi membuka jalan alternatif bagi transplantasi sel di masa depan, yang
akan menghilangkan hambatan sebelumnya untuk bisa diteliti, seperti kesulitan membuat otak
bisa menerima sel-sel asing, serta munculnya risiko perkembangan tumor,” tutur Malin Parmar.
Pada akhirnya, teknik baru pemrograman-ulang secara langsung di dalam otak ini dapat
membuka kemungkinan baru untuk lebih efektif mengganti sel-sel otak yang sudah mati pada
penderita penyakit Parkinson.
“Kami tengah mengembangkan teknik ini agar dapat digunakan untuk menciptakan sel-sel saraf
baru sebagai pengganti fungsi sel-sel yang rusak,” tambah Marlin, “Dengan mampu
melaksanakan pemprograman-ulang in vivo, maka dimungkinkan untuk membayangkan
gambaran masa depan di mana kita bisa membentuk sel-sel baru secara langsung dalam otak
manusia, tanpa harus mengambil jalan memutar melalui kultur dan transplantasi sel.”
Kredit: Universitas Lund
Jurnal: Olof Torper, Ulrich Pfisterer, Daniel A. Wolf, Maria Pereira, Shong Lau, Johan
Jakobsson, Anders Björklund, Shane Grealish, Malin Parmar. Generation of induced neurons
via direct conversion in vivo. Proceedings of the National Academy of Sciences, 2013
DOI:10.1073/pnas.1303829110
Ilmuwan Menghidupkan Kembali Embrio Katak yang
Telah Punah
Genom seekor katak Australia yang telah punah berhasil dihidupkan dan diaktifkan kembali oleh
tim ilmuwan dengan menggunakan teknologi kloningyang canggih untuk menanamkan inti sel
“mati” ke dalam telur spesies katak lain yang masih segar.
Katak aneh perut-pengeram, Rheobatrachus silus – yang secara unik menelan telur-telurnya
untuk dierami di dalam perutnya, lalu melahirkannya melalui mulut – diketahui telah punah sejak
tahun 1983.
Namun tim Lazarus Project telah mampu memulihkan inti sel dari jaringan-jaringan
yang dikumpulkan pada tahun 1970-an dan yang selama 40 tahun tetap berada dalam sebuah
pendingin konvensional. Proyek ini bertujuan untuk menghidupkan kembali katak tersebut.
Dalam percobaan yang dilakukan secara berulang-ulang selama lima tahun, para peneliti
menggunakan teknik laboratorium yang dikenal sebagai transfer nuklir sel somatik. Mereka
memilih telur segar dari jenis katak yang berkerabat jauh, Mixophyes fasciolatus, mematikan inti
telurnya dan menggantinya dengan inti mati dari katak punah. Beberapa sel telur di dalamnya
spontan mulai membelah dan bertumbuh ke tahap embrio awal berupa bola kecil sel hidup.
Ilustrasi katak perut-pengeram, Rheobatrachus silus, spesies katak asal Australia yang telah
punah sejak tahun 1983. (Kredit: Peter Schouten)
Meski tak ada embrio yang mampu bertahan lebih dari beberapa hari, tes genetik menegaskan
bahwa sel-sel yang membelah tersebut mengandung bahan genetik dari katak punah.
“Kami tengah menyaksikan Lazarus bangkit dari kematian, selangkah demi selangkah yang
mendebarkan,” ucap pemimpin tim Lazarus Project, Profesor Mike Archer dari University of
New South Wales, Sydney, “Kami telah mengaktifkan kembali sel-sel mati menjadi hidup
dan memulihkan kembali genom katak yang telah punah dalam sebuah proses. Sekarang kami
memiliki sel-sel segar katak punah dalam tabung lab untuk digunakan dalam eksperimen kloning
selanjutnya.
“Kami semakin yakin bahwa rintangan ke depan adalah masalah teknologi, bukan biologis, dan
yakin kami akan berhasil. Yang penting, kami sudah tunjukkan janji besar dari teknologi ini
sebagai alat konservasi di saat ratusan spesies amfibi di dunia berada dalam bencana penurunan.”
Pekerjaan teknis dalam proyek ini dipimpin oleh Dr. Andrew French dan Dr. Jitong Guo, dalam
laboraturium University of Newcastle yang dipimpin seorang ahli katak, Profesor Michael
Mahony, bersama dengan Mr. Simon Clulow dan Dr. John Clulow. Spesimen beku diawetkan
dan disediakan oleh Profesor Mike Tyler dari University of Adelaide, yang secara ekstensif
sempat mempelajari kedua spesies katak perut-pengeram, R. silus dan R. vitellinus, saat sebelum
keduanya lenyap di alam liar sejak tahun 1979 dan 1985.
Dalam acara TEDx DeExtinction yang diselenggarakan oleh Revive and Restore dan National
Geographic Society di Washington DC, Profesor Archer untuk pertama kalinya berbicara secara
terbuka mengenai Lazarus Project ini dan juga tentang minat yang tengah berlangsung mengenai
rencana kloning thylacine Australia, hewan karnivora yang dikenal sebagai harimau Tasmania
dan diduga telah punah sekitar 2.000 tahun lalu.
Para peneliti dari seluruh dunia berkumpul di sana untuk membahas kemajuan dan perencanaan
bagi berbagai jenis hewan dan tanaman punah lainnya. Spesies yang menjadi kandidat mungkin
meliputi mammoth berbulu, dodo, beo merah Kuba dan moa raksasa Selandia Baru.
Ilmuwan Merancang “Usus Hidup” pada Sebuah Chip
Para peneliti Institut Rekayasa Biologis Wyss di Universitas Harvard telah menciptakan
perangkat-mikro ‘usus pada chip‘ yang dilapisi sel-sel hidup manusia, yang meniru struktur,
fisiologi, dan mekanika usus manusia – bahkan mendukung pertumbuhan mikroba hidup dalam
ruang luminal-nya. Sebagai alternatif yang lebih akurat untuk kultur sel konvensional dan model
hewan, perangkat-mikro ini bisa membantu para peneliti memperoleh wawasan baru tentang
penyakit gangguan pencernaan, seperti penyakit Crohn dan kolitis ulseratif, sekaligus berguna
untuk mengevaluasi keamanan dan kemanjuran pengobatan yang dianggap potensial.
Hasil riset yang dipublikasikan secara online dalam jurnal Lab on Chip ini menjadi terobosan
Institut Wyss dalam teknologi “Organ-on-Chip” yang menggunakan teknik fabrikasi-mikro
untuk membangun tiruan organ hidup.
‘Usus pada chip‘, yang merupakan perangkat silikon polimer seukuran stik memori komputer ini,
meniru fitur-fitur 3D usus yang kompleks dalam format miniatur. Pada bagian dalam ruang
pusatnya, satu lapisan sel epitel usus manusia yang bertumbuh pada membran berpori,
menciptakan penghalang usus. Membran ini menempel pada dinding-dinding sisi yang
membentang dan mengendur dengan bantuan pengontrol vakum. Deformasi mekanik siklis ini
meniru gerakan peristaltik mirip-gelombang yang memindahkan makanan di sepanjang saluran
pencernaan. Rancangan ini juga merekapitulasi antarmuka jaringan-ke-jaringan usus,
memungkinkan cairan mengalir di atas dan di bawah lapisan sel usus, meniru lingkungan-mikro
luminal pada satu sisi perangkat dan aliran darah melewati pembuluh kapiler pada sisi lainnya.
Selain itu, para peneliti juga mampu menumbuhkan dan mempertahankan kelangsungan hidup
mikroba usus pada permukaan sel-sel usus terkultur ini. Hal ini, dengan demikian, berguna untuk
mensimulasikan beberapa fitur-fitur fisiologis yang penting dalam memahami berbagai penyakit.
Kombinasi kemampuan ini bisa menjadi alat diagnostik in vitro yang berharga untuk lebih
memahami penyebab dan perkembangan berbagai macam gangguan pencernaan, sekaligus
membantu mengembangkan pengobatan terapi yang aman dan efektif. ‘Usus pada chip‘ juga bisa
digunakan untuk menguji daya serap metabolisme dan oral terhadap obat-obatan dan nutrisi.
“Karena kebanyakan model yang tersedia bagi kita saat ini tidak merekapitulasi penyakit
manusia, maka kita tidak bisa sepenuhnya memahami mekanisme di balik berbagai gangguan
pencernaan. Artinya, obat-obatan dan berbagai terapi yang kita validasikan dalam model hewan
seringkali gagal untuk menjadi efektif saat diujicobakan pada manusia,” kata Donald Ingber,
MD, Ph.D., Direktur Pendiri Wyss yang memimpin tim riset. “Dengan memiliki model
penyakit in vitro yang lebih baik dan lebih akurat, seperti ‘usus pada chip‘ ini, maka secara
signifikan dapat mempercepat kemampuan kita dalam mengembangkan obat-obatan baru yang
efektif, yang akan menolong para penderita terlepas dari penyakit-penyakit tersebut.”
‘Usus pada chip‘ merupakan kemajuan yang paling baru dalam portofolio perancangan model
organ milik Institut Wyss. Teknologi platform mereka yang pertama dilaporkan dalam jurnal
Science pada Juni 2010, mendeskripsikan ‘paru-paru pada chip‘ yang hidup dan bernafas. Pada
tahun yang sama, Wyss menerima pendanaan dari Institut Kesehatan Nasional dan Administrasi
Makanan dan Obat-obatan AS dalam rangka mengembangkan mesin-mikro jantung-paru untuk
menguji keamanan dan kemanjuran obat pernafasan pada perpaduan fungsi jantung dan paru-
paru. Pada September 2011, Wyss memperoleh pendanaan selama empat tahun dari Badan
Proyek Riset Lanjutan Pertahanan dalam upaya mengembangkan ‘limpa pada chip‘ untuk
mengobati sepsis, infeksi aliran darah yang umumnya sangat fatal.
Kredit: Institut Wyss untuk Rekayasa Biologis, Universitas Harvard
Jurnal: Hyun Jung Kim, Dongeun Huh, Geraldine Hamilton, Donald E. Ingber. Human gut-on-
a-chip inhabited by microbial flora that experiences intestinal peristalsis-like motions and
flow. Lab on a Chip, 2012; DOI: 10.1039/C2LC40074J
Kromosom Kelamin Manusia
Seperti kita ketahui, perempuan memiliki kromosom XX (dua kromosom X) dan laki-laki
memiliki kromosom XY (satu kromosom X dan satu Y). Pada saat ML, cowok mengeluarkan sel
sperma haploid, yang artinya hanya mengandung kromosom X atau kromosom Y. Begitu juga
cewek, hanya mengeluarkan sel telur haploid. Tapi karena cewek hanya punya kromosom X, jadi
tetap saja sel telur yang ada berkromosom X. Dari hasil pembuahan, janin yang memperoleh
kromosom Y dari ayah, akan menjadi laki-laki. Bila janin mendapat kromosom X, bukannya Y
dari ayah, maka yang jadi adalah perempuan.
Tapi ada persentase kecil dimana anak mendapatkan kromosom yang rusak atau bahkan tidak
berkromosom XX atau XY.
A. Kromosom Rusak
Obsesi Memutilasi Diri
Nama ilmiah : Sindrom Lesch-Nyhan
Genotipe : XY
Penyebab : mutasi titik di gen HGPRT yang ada di kromosom X
Salah satu perbedaan pada kromosom X yang paling mengerikan adalah sindrom Lesch-Nyhan.
Sindrom ini terjadi selalu pada laki-laki. Alasannya karena kromosom X pada laki-laki hanya ada
satu, sementara pada perempuan ada dua. Bila kromosom X pada perempuan rusak, dia selalu
punya penggantinya, yaitu di kromosom X kedua. Anak penderita sindrom Lesch-Nyhan
mengalami disfungsi syaraf yang mendorongnya untuk mual dan melukai dirinya sendiri.
Tindakan menyakiti diri ini kadang ekstrim, seperti menggigiti jari dan bibir, menyiram badan
dengan air panas dan bahkan menikam mata atau wajahnya dengan benda tajam. Mereka
merasakan sakit, tapi tidak mampu mengendalikan perbuatannya. Sindrom ini disebabkan mutasi
titik di gen penyandi HGPRT (Hiposantin Guanin PhosphoRiboSiltransferase).
Ambiguitas Seksual
Nama ilmiah : Disgenesis gonad
Genotipe : XY
Penyebab : berbagai kelainan pada gen TDF di kromosom Y
Perbedaan pada kromosom Y yang sekali lagi, hanya terjadi pada laki-laki, adalah ambiguitas
seksual. Kerusakan pada gen TDF (Testis Determining Factor) menyebabkan beberapa
kemungkinan tergantung pada daerah mana dalam gen yang berbeda. Kemungkinan ini antara
lain:
1. Fisik laki-laki tapi memiliki penis sangat kecil (mikropenis)
2. Fisik perempuan (lengkap dengan vagina) namun memiliki kromosom XY
3. Bentuk kelamin yang ambigu antara penis dan vagina
4. Fisik laki-laki (lengkap dengan penis) namun memiliki kromosom XX (kromosom Y
berubah menjadi X karena meiosis abnormal)
Perbedaan Kromosom X dan Y
B. Kromosom Seks Tunggal
Individu X0
Fenotipe : perempuan
Gejala : Sindrom Turner
Penyebab : Hanya memiliki satu kromosom kelamin dan kromosom itu adalah kromosom X
Ciri-ciri :
1. Perawakan pendek
2. Indung telur rusak
3. Leher bergelambir
4. Pembengkakan tangan dan kaki
5. Penyempitan aorta
C. Kromosom Tiga
Trisomi XXX
Fenotipe perempuan. Gejala klinis ringan walau sering mencakup kesulitan belajar atau
kemandulan parsial
Individu XXY
Fenotipe laki-laki dengan gejalanya disebut Sindrom Klinefelter. Berperawakan jangkung, kurus
dan biasanya mandul.
Penderita Sindrom Klineferter
Individu XYY
Fenotipe laki-laki. Gejala ringan dan biasanya tidak terdeteksi.
D. Individu dengan dua kelamin
Individu memiliki dua tipe sel, satu laki-laki dan satu perempuan. Disebut hermafrodisme sejati,
karena testis dan indung telur sama –sama berkembang pada satu individu. Hal ini disebabkan
khimerisme XX/XY yaitu pembuahan ganda pada saat janin. Individu yang terbentuk seharusnya
dua yaitu kembar yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, namun terjadi gagal membelah
sehingga sel XX dan XY tercampur.
Referensi
John C Avise. 2001. The Genetic Gods: Evolution and Belief in Human Affairs. Diterjemahkan
dengan judul: Kuasa Gen atas Takdir Manusia oleh Leinovar Bahfein, dan diterbitkan oleh
Serambi, Hal.112-117
Berkat Penemuan Baru, Regenerasi Paru-paru Selangkah
Mendekati Kenyataan
Para peneliti di Weill Cornell Medical College telah mengambil langkah penting dalam
pencarian untuk “menghidupkan” regenerasi paru-paru – kemajuan yang secara efektif dapat
mengobati jutaan orang penderita gangguan pernapasan.
Dalam edisi 28 Oktober jurnal Cell, tim peneliti melaporkan bahwa mereka telah menemukan
sinyal biokimia pada tikus yang memicu generasi baru alveoli paru-paru, sejumlah kantung kecil
mirip-anggur di dalam paru-paru di mana pertukaran oksigen terjadi. Secara khusus, sinyal-
sinyal regeneratif ini berasal dari sel-sel endotel khusus yang melapisi bagian dalam pembuluh
darah pada paru-paru.
Meskipun telah lama diketahui bahwa tikus dapat meregenerasi dan memperluas kapasitas satu
paru-paru jika yang lainnya hilang, studi ini sekarang mengidentifikasi molekuler pemicu di
balik proses ini, dan para peneliti yakin bahwa temuan ini relevan dengan manusia.
“Beberapa organ manusia dewasa berpotensi cedera pada regenerasi di tingkat tertentu, dan
sementara kita bisa dengan mudah memantau jalur yang terlibat dalam regenerasi hati dan
sumsum tulang, jauh lebih rumit untuk mempelajari regenerasi organ dewasa lainnya, seperti
paru-paru dan jantung,” kata peneliti utama studi, Dr. Shahin Rafii.
“Ini adalah spekulasi, namun tidak terbukti, bahwa manusia memiliki potensi untuk
menumbuhkan alveoli paru-paru sampai akhirnya tidak bisa lagi bertumbuh, akibat merokok,
kanker, atau kerusakan kronis lainnya yang luas,” kata Dr. Rafii, yang juga seorang peneliti di
Howard Hughes Medical Institute. “Harapan kami adalah memanfaatkan temuan ini untuk klinik
dan melihat apakah kami bisa menginduksi regenerasi paru-paru pada pasien yang
membutuhkannya, seperti orang yang terkena penyakit paru-paru obstruktif kronik (PPOK).”
“Tidak ada terapi yang efektif bagi pasien yang didiagnosis PPOK. Berdasarkan penelitian ini,
saya membayangkan suatu hari ketika pasien penderita COPD dan penyakit paru-paru kronis
lainnya mungkin memperoleh manfaat dari pengobatan dengan faktor-faktor yang berasal dari
pembuluh darah paru-paru yang menginduksi regenerasi paru-paru,” ungkap Dr. Ronald G.
Crystal, penulis pendamping studi dan profesor kedokteran paru-paru dan genetik di Weill
Cornell.
Dr. Rafii dan para kolega sebelumnya telah menemukan faktor pertumbuhan yang mengontrol
regenerasi pada hati dan tulang sumsum, dan dalam kedua kasus ini, mereka menemukan bahwa
sel-sel endotel menghasilkan kunci dari faktor-faktor pertumbuhan induktif, yang mereka
definisikan sebagai “faktor-faktor angiocrine“. Dalam studi paru-paru saat ini, mereka
menemukan fenomena yang sama, yaitu sel-sel pembuluh darah dalam regenerasi melejitkan
alveoli paru-paru. “Pembuluh darah bukan hanya sebagai penyalur lamban yang membawa
darah. Sel-sel ini juga aktif menginstruksikan regenerasi organ,” kata Dr. Rafii. “Ini adalah
penemuan penting. Tiap-tiap organ menggunakan faktor pertumbuhan yang berbeda dalam
sistem lokal vaskular untuk mempromosikan regenerasi.”
Untuk melakukan studi ini, Dr. Bi-Sen Ding, pasca-doktoral di laboratorium Dr. Rafii dan
penulis pertama makalah ini, menyingkirkan paru-paru kiri tikus dan mempelajari proses
biokimia regenerasi berikutnya pada paru-paru kanan yang tersisa. Hasil kerja perintis
sebelumnya oleh Dr. Kristal telah menunjukkan bahwa ketika paru-paru kiri tikus dihapus, paru-
paru kanan melakukan regenerasi sebesar 80 persen, secara efektif menggantikan
sebagian alveoli yang hilang. “Proses regenerasi juga mengembalikan fungsi fisiologis
pernapasan paru-paru, yang dimediasi oleh amplifikasi berbagai sel-sel progenitor epitel dan
regenerasi kantung-kantung alveolar,” kata Dr. Ding.
“Bagaimanapun juga, fenomena regeneratif ini hanya terjadi setelah trauma yang tiba-tiba
mengurangi massa paru-paru. Kemudian subset spesifik pembuluh darah pada paru-paru yang
tersisa menerima pesan untuk mulai mengisi alveoli kembali, dan tugas kami adalah menemukan
sinyal-sinyal tersebut,” kata Dr. Daniel Nolan, seorang ilmuwan senior dalam proyek ini yang
mengembangkan metode untuk mengkarakterisasi sel-sel pembuluh darah paru-paru.
Para ilmuwan menemukan bahwa penghapusan paru-paru kiri mengaktifkan reseptor pada sel
endotel paru-paru yang merespon faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF) dan dasar dari
faktor pertumbuhan fibroblast (FGF-2). Aktivasi reseptor ini mempromosikan munculnya
protein lain, yaitumatriks metalloproteinase-14 (MMP14). Para peneliti menemukan bahwa
MMP14, dengan melepaskan faktor pertumbuhan epidermal (EGF), menginisiasikan generasi
baru jaringan paru-paru.
Ketika para peneliti menonaktifkan reseptor VEGF dan FGF-2 secara khusus di dalam sel-sel
endotel tikus, paru-paru kanannya tidak akan beregenerasi. Cacat dalam regenerasi paru-paru ini
ditemukan karena kurangnya generasi MMP14 dari pembuluh darah. Hebatnya, ketika tikus-
tikus ini menerima transplantasi sel endotel dari tikus normal, produksi MMP14 menjadi pulih,
lantas memicu regenerasi alveoli.
“Pemulihan fungsi paru-paru dan paru-paru mekanik dengan transplantasi sel-sel endotel yang
merangsang produksi MMP14 mungkin berharga untuk merancang terapi baru bagi gangguan
pernapasan,” kata Dr. Stefan Worgall, yang membantu dengan studi paru-paru fungsional dalam
proyek ini. “Studi ini juga akan membantu kita memahami mekanisme bagi perbaikan pada
pertumbuhan paru-paru bayi dan anak-anak,” tambahnya. Dr. Worgall adalah profesor pediatri
dan kedokteran genetik serta profesor terkemuka pulmonologi anak.
Mengingat peran MMP14 ini, Dr. Rafii mengklasifikasikannya sebagai sinyal penting
“angiocrine” – suatu faktor pertumbuhan endotel paru-paru tertentu yang bertanggung jawab
untuk regenerasi alveolar. Tim Dr. Rafii juga berusaha untuk mengungkapkan sinyal inisiasi
yang mengakibatkan aktivasi pembuluh darah paru-paru. “Perubahan dalam aliran darah lokal
dan kekuatan biomekanik pada paru-paru yang tersisa setelah pengangkatan paru-paru kiri tentu
bisa menjadi salah satu isyarat inisiasi yang menginduksi aktivasi endotel,” kata Dr. Sina
Rabbany, penulis pendamping senior dalam studi ini.
Para peneliti selanjutnya akan menentukan apakah MMP14 dan faktor-faktor angiocrine lainnya
yang belum diketahui, bertanggung jawab atas regenerasi paru-paru pada manusia. “Kami yakin
bahwa proses yang sama terjadi pula pada manusia, meskipun kami belum memiliki bukti
langsung,” kata Dr. Ding. Penulis penelitian berteori bahwa pasien penderita PPOK (gangguan
yang paling sering disebabkan oleh merokok kronis) memiliki begitu banyak kerusakan sel-sel
endotel paru-paru mereka sehingga tidak lagi menghasilkan sinyal induktif yang tepat. “Kita tahu
merokok dapat merusak paru-paru, tapi paru-paru dapat terus menumbuhkan alveoli,” kata Dr.
Koji Shido, penulis pendamping studi ini. “Tapi pada titik tertentu, cedera yang signifikan
terhadap sel-sel endotel dapat mengganggu kapasitas mereka untuk mendukung regenerasi paru-
paru.”
“Mungkin penggantian faktor angiocrine, atau transplantasi sel endotel paru-paru normal yang
berasal dari sel induk pluripoten, dapat memulihkan regenerasi paru-paru,” kata Dr. Zev
Rosenwaks, direktur Ronald Perelman dan Pusat Kedokteran Reproduksi Claudia O. Cohen di
Weill Cornell. “Baru-baru ini, kami menghasilkan sel induk pluripoten yang berasal dari pasien
penderita gangguan paru-paru genetik untuk mengidentifikasi jalur potensial, yang pada akhirnya
dapat meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana paru-paru sel endotel dapat
memperbaiki fungsi paru-paru pada pasien ini.”
Kredit: New York- Presbyterian Hospital
Jurnal: Bi-Sen Ding, Daniel J. Nolan, Peipei Guo, Alexander O. Babazadeh, Zhongwei Cao,
Zev Rosenwaks, Ronald G. Crystal, Michael Simons, Thomas N. Sato, Stefan Worgall, Koji
Shido, Sina Y. Rabbany, Shahin Rafii. Endothelial-Derived Angiocrine Signals Induce and
Sustain Regenerative Lung Alveolarization. Cell, Volume 147, Issue 3, 539-553, 28 October
2011. DOI:10.1016/j.cell.2011.10.003
Teknik Ultra-cepat Menyingkap Prinsip-prinsip
Perancangan dalam Biologi Kuantum
Para peneliti dari University of Chicago telah berhasil menciptakan suatu senyawa sintetis yang
meniru dinamika kuantum yang kompleks seperti yang bisa diamati dalam fotosintesis.
Terobosan ini memungkinkan dibangunnya cara fundamental terbaru untuk menciptakan
teknologi energi surya. Merekayasa efek kuantum untuk dijadikan sebagai perangkat pemanen-
cahaya sintetik tidak saja bisa terwujud, namun, prosesnya pun ternyata lebih mudah dari yang
diduga, lapor para peneliti dalam edisi 19 April jurnal Science.
Para peneliti merekayasa molekul kecil yang mendukung koherensi kuantum agar tahan lama.
Koherensi adalah perilaku superposisi kuantum yang secara makroskopik bisa diamati.
Superposisi adalah konsep kuantum mekanik yang fundamental, dicontohkan dengan eksperimen
klasik yang dikenal sebagai Cat Schrodinger, di mana partikel kuantum tunggal seperti elektron
menempati lebih dari satu keadaan secara bersamaan.
Efek kuantum umumnya diabaikan dalam ketidakteraturan sistem yang besar dan panas. Namun
demikian, eksperimen ultra-cepat spektroskopi yang baru-baru ini dikerjakan oleh Prof. Greg
Engel dalam laboratorium kimia University of Chicago telah sukses menunjukkan bahwa
superposisi kuantum mungkin berperan menghasilkan efisiensi kuantum yang nyaris
sempurna dalam pemanenan cahaya fotosintesik, sekalipun dalam suhu fisiologis.
Para peneliti dari University of Chicago berhasil menciptakan senyawa sintetis yang meniru
dinamika kuantum yang kompleks seperti yang teramati dalam fotosintesis. Senyawa ini
memungkinkan dibangunnya cara fundamental terbaru untuk mengembangkan teknologi
pemanenan cahaya matahari. (Kredit: Graham Griffith)
Antena fotosintetik – protein yang mengatur klorofil dan molekul-molekul cahaya-serapan
lainnya pada tanaman dan bakteri – mendukung superposisi untuk bertahan lama dalam tingkat
anomali. Banyak peneliti yang mengusulkan bahwa organisme telah berevolusi dan
mengembangkan sarana untuk melindungi superposisi tersebut. Hasilnya: terjadi peningkatan
efisiensi dalam proses mentransfer energi dari sinar matahari yang terserap ke bagian-bagian sel
yang mengubah energi matahari menjadi energi kimia. Hasil-hasil studi yang baru-baru ini
dilaporkan ini telah menunjukkan bahwa manifestasi tertentu pada mekanika kuantum dapat
direkayasa menjadi senyawa hasil buatan-manusia.
Para peneliti memodifikasi fluoresein – molekul serupa yang pernah digunakan untuk mewarnai
Sungai Chicago menjadi hijau dalam rangka Hari St. Patrick – lalu menghubungkan pasangan-
pasangan pewarna yang berbeda menjadi satu dengan menggunakan struktur penjembatan yang
ketat. Molekul-molekul yang dihasilkan mampu menciptakan sifat-sifat penting dari molekul
klorofil di dalam sistem fotosintesis, yang menyebabkan koherensi mampu bertahan selama
puluhan femtosekon dalam suhu ruangan.
“Mungkin kedengarannya bukan waktu yang sangat lama – femtosekon setara dengan
sepersejuta miliar detik,” kata rekan penulis studi Dugan Hayes, lulusan University of
Chicago dalam bidang kimia, “Tapi pergerakan eksitasi melalui sistem juga terjadi pada skala
waktu yang ultra-cepat ini, mengindikasikan bahwa superposisi kuantum dapat berperan penting
dalam proses transfer energi.”
Para peneliti University of Chicago yang terlibat dalam studi. Dari kiri ke kanan: sarjana pasca-
doktoral Graham Griffin, profesor Greg Engel dan mahasiswa pascasarjana Dugan Hayes.
(Kredit: Tom Jarvis)
Untuk mendeteksi bukti superposisi yang tahan lama, para peneliti memfilmkan aliran energi
dalam molekul dengan menggunakan rekayasa laboratorium dan sistem laser tingkat tinggi
dalam skala femtosekon. Tiga pulsa laser yang terkontrol secara tepat diarahkan ke dalam
sampel, menghasilkan pancaran sinyal optik yang ditangkap dan diarahkan ke dalam kamera.
Dengan memindai jeda waktu di antara kedatangan pulsa-pulsa laser tersebut, para peneliti
memfilmkan aliran energi di dalam sistem, menandainya sebagai rangkaian spektrum dua
dimensi. Masing-masing spektrum dua-dimensi termuat dalam satu frame film, berisi informasi
tentang keberadaan energi di dalam sistem sekaligus memberitahu jalur-jalur apa saja yang
dilaluinya untuk mencapai ke sana.
Film ini mempertunjukkan relaksasi dari keadaan energi tingkat tinggi menuju ke keadaan energi
tingkat yang lebih rendah dalam serangkaian waktu, serta memperlihatkan osilasi sinyal di area-
area sinyal yang sangat spesifik, atau ketukan-ketukan kuantum. “Ketukan kuantum
merupakan ciri dari koherensi kuantum, timbul dari interferensi antara keadaan-keadaan energik
yang berbeda dalam superposisi, mirip dengan suara ketukan ketika dua instrumen musik yang
tidak selaras mencoba memainkan nada yang sama,” ungkap Hayes.
Simulasi komputer menunjukkan bahwa koherensi kuantum bekerja dalam antena fotosintesis
untuk menjaga eksitasi untuk tetap tidak terjebak dalam perjalanannya menuju pusat reaksi, yaitu
tempat dimulainya konversi ke energi kimia. Dalam satu interpretasi, sebagaimana eksitasi
berpindah melalui antena, keberlangsungannya tetap berada dalam superposisi dari semua jalur
sekaligus, memaksa eksitasi berlanjut ke jalur yang semestinya. “Sebelum koherensi-koherensi
ini berhasil teramati dalam sistem sintetis, ada keraguan bahwa fenomena yang
kompleks mampu diciptakan di luar alam,” ujar Hayes.
Kredit: University of Chicago
Jurnal: D. Hayes, G. B. Griffin, G. S. Engel. Engineering Coherence Among Excited States
in Synthetic Heterodimer Systems. Science, 2013; DOI: 10.1126/science.1233828
Studi Terbaru Menunjukkan Bagaimana Pepohonan
di London Membersihkan Udara dari Polusi
Penelitian terbaru oleh para ilmuwan di University of Southampton telah menunjukkan
bagaimana pepohonan di kota London mampu meningkatkan kualitas udara dengan menyaring
partikulat polusi yang merusak kesehatan manusia.
Makalah yang dipublikasikan bulan ini dalam jurnal Landscape and Urban
Planning menunjukkan bahwa pepohonan perkotaan di wilayah Greater London Authority
(GLA) menghapus antara 850 hingga 2000 ton polusi partikulat (PM10) dari udara setiap
tahunnya.
Perkembangan penting dalam penelitian ini, yang dilakukan oleh Dr. Matius Tallis, adalah
bahwa metodologinya memungkinkan prediksi seberapa banyak polusi bisa terhapus di masa
depan seiring perubahan iklim dan emisi polusi. Hal ini menunjukkan manfaat nyata pada
rencana peningkatan jumlah pohon jalanan di kota London dan seluruh Inggris, termasuk
rencana GLA untuk meningkatkan area pohon perkotaan pada tahun 2050 dan inisiatif ‘Big tree
plant’ dari pemerintah Inggris saat ini.
Penelitian ini menemukan bahwa penargetan penanaman pohon di daerah GLA yang paling
tercemar, terutama penggunaan campuran pohon, termasuk pohon hijau seperti pinus dan ek,
akan memberi manfaat terbesar bagi kualitas udara masa depan dalam hal penghapusan PM10.
Great London Authority (GLA) menampilkan batas-batas administrasi dari 33 distrik. Hutan-
hutan perkotaan ditampilkan (diekstraksi dari Land Cover Map 2000). Kanopi hutan ini terdiri
dari c. 8,6 persen keseluruhan luas daratan GLA; c. 11,4 persen terdiri dari pohon taman, pohon
jalan dan setiap pohon-pohon yang tak terdaftar. (Kredit: Fuller R, Smith GM, JM Sanderson,
Hill RA, Thompson AG)
Salah satu penulis makalah, Profesor Gail Taylor, menjelaskan: “Pohon telah berevolusi untuk
menghilangkan CO2 dari atmosfer, sehingga tidak mengejutkan bahwa mereka juga bagus untuk
menghilangkan polutan. Pohon yang memiliki daun sepanjang tahun terpapar polusi lebih
banyak sehingga mereka menyerapnya lebih banyak lagi. Dengan menggunakan sejumlah
spesies pohon yang berbeda dan pendekatan pemodelan, efektivitas dari kanopi pohon untuk
udara bersih dapat dioptimalkan.”
Penelitian ini menyajikan prediksi serapan partikulat (PM10) pada iklim di masa depan dan
selama lima skenario penanaman pohon di London. Dengan menggunakan data musiman
daripada data per jam, terbukti memiliki dampak kecil pada pemodelan deposisi polusi tahunan
(PM10) untuk kanopi perkotaan, menunjukkan bahwa penyerapan polusi juga dapat diperkirakan
di kota-kota lain dan untuk masa depan di mana data per jam tidak tersedia.
Penulis pendamping, Peter Freer-Smith, Kepala Ilmuwan untuk Riset Hutan (Komisi Kehutanan)
dan profesor di University of Southampton, mengatakan: “Kita tahu bahwa partikulat dapat
merusak kesehatan manusia, misalnya memperburuk asma dan pengurangan eksposur ini bisa
memiliki manfaat nyata di beberapa tempat, seperti di sekitar tepi halaman sekolah. Ruang
hijau serta pepohonan di perkotaan memberi berbagai manfaat dan studi ini menegaskan bahwa
peningkatan kualitas udara adalah salah satunya, dan juga akan membantu kita memperoleh hasil
maksimal dari manfaat ini di masa depan.”
Kredit: University of Southampton
Jurnal: Matthew Tallis, Gail Taylor, Danielle Sinnett, Peter Freer-Smith. Estimating the
removal of atmospheric particulate pollution by the urban tree canopy of London, under
current and future environments. Landscape and Urban Planning; September 2011;
DOI:10.1016/j.landurbplan.2011.07.003
Memberi Makan Dunia Sekaligus Melindungi Bumi:
Rencana Global bagi Pertanian yang Berkelanjutan
Masalahnya sangat mencolok: Satu miliar orang di bumi tidak memiliki cukup makanan saat ini.
Diperkirakan pada tahun 2050 akan ada lebih dari sembilan miliar manusia yang hidup di planet
ini.
Sementara itu, praktek pertanian saat ini justru merupakan salah satunya yang menjadi ancaman
terbesar bagi lingkungan global. Artinya, jika kita tidak mengembangkan praktek-praktek yang
lebih berkelanjutan, planet ini akan semakin kurang mampu untuk memberi makan populasi
yang kian bertumbuh dibandingkan saat ini.
Tapi kini, tim peneliti dari Kanada, AS, Swedia dan Jerman telah hadir dengan rencana untuk
melipatgandakan produksi pangan dunia sekaligus mengurangi dampak lingkungan dari
pertanian. Temuan mereka baru-baru ini dipublikasikan dalam jurnal Nature.
Dengan menggabungkan informasi yang dikumpulkan dari catatan tanaman dan gambar satelit
dari seluruh dunia, mereka mampu menciptakan model-model baru sistem pertanian dan dampak
lingkungannya yang benar-benar dalam lingkup global.
Profesor geografi McGill, Navin Ramankutty, salah satu pemimpin tim studi tersebut, turut
berkolaborasi di antara peneliti untuk mencapai hasil penting tersebut. “Banyak sarjana dan
pemikir lain yang telah mengusulkan solusi untuk masalah pangan dan lingkungan global.
Namun mereka seringkali terfragmentasi, hanya melihat satu aspek dari masalah pada satu
waktu. Dan mereka sering tidak memiliki spesifik dan angka-angka untuk mendukung mereka.
Ini adalah pertama kalinya berbagai data telah dibawa bersama di bawah satu kerangka umum,
dan ini memungkinkan kita untuk melihat beberapa pola yang jelas. Ini menjadi lebih mudah
untuk mengembangkan beberapa solusi konkret bagi masalah-masalah yang kita dihadapi.”
Ini adalah peta global yang menunjukkan bagaimana lahan pertanian didistribusikan. (Kredit:
Navin Ramankutty)
Sebagai rencana lima-poin untuk memberi makan dunia sekaligus melindungi planet ini, para
peneliti merekomendasikan:
1. Menghentikan perluasan lahan pertanian dan pembukaan lahan untuk tujuan pertanian,
khususnya di hutan-hutan tropis. Hal ini bisa dicapai dengan menggunakan insentif seperti
pembayaran untuk jasa ekosistem, sertifikasi dan ekowisata. Perubahan ini akan
menghasilkan manfaat lingkungan yang besar tanpa memotong secara dramatis ke dalam
produksi pertanian atau kesejahteraan ekonomi.
2. Meningkatkan hasil pertanian. Banyak kawasan pertanian di Afrika, Amerika Latin dan
Eropa Timur yang tidak mencapai potensi untuk memproduksi tanaman – sesuatu yang
dikenal sebagai “kesenjangan panen”. Dengan meningkatkan penggunaan varietas tanaman
yang ada, manajemen yang lebih baik dan pengembangan genetika, akan mampu
meningkatkan produksi pangan saat ini hampir sebesar 60 persen.
3. Penyuburan tanah dengan lebih strategis. Penggunaan air, nutrisi dan bahan kimia pertanian
saat ini menimbulkan masalah yang oleh para peneliti disebut sebagai “Masalah
Goldilocks”: terlalu banyak di beberapa tempat, terlalu sedikit di tempat lainnya, jarang
yang benar-benar tepat. Realokasi strategis secara substansial dapat meningkatkan manfaat
yang kita dapatkan dari masukan-masukan yang berharga.
4. Pergeseran pola makan. Bertambahnya pakan ternak atau biofuel di lahan pertanian utama,
tidak peduli seberapa besar efisiensinya, malah menguras pasokan makanan bagi manusia.
Dengan mendedikasikan lahan pertanian untuk mengarahkan produksi makanan manusia
dapat meningkatkan kalori yang dihasilkan per orang sebanyak hampir 50 persen. Bahkan
penggeseran non-pangan, yang menggunakan pakan hewan atau produksi biofuel, jauh dari
lahan pertanian utama bisa membuat perbedaan yang besar.
5. Mengurangi limbah. Satu-sepertiga dari makanan yang diproduksi oleh peternakan biasanya
dibuang, disia-siakan atau dibiarkan dimakan oleh hama. Dengan memanfaatkan makanan
yang tersia-sia ini bisa meningkatkan makanan yang tersedia untuk konsumsi lain hingga 50
persen.
Penelitian ini juga menguraikan pendekatan terhadap masalah yang akan membantu para
pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan informasi tentang pilihan yang dihadapi
pertanian mereka. “Untuk pertama kalinya, kami telah menunjukkan bahwa adalah mungkin
untuk memberi makan dunia yang lapar sekaligus melindungi planet yang terancam ini,” kata
pemimpin penulis Jonathan Foley, kepala dari Institut Lingkungan University of Minnesota. “Ini
memerlukan kerja yang serius. Tapi kita bisa melakukannya.”
Penelitian ini didanai oleh NSERC, NASA, NSF.
Kredit: McGill University
Jurnal: Jonathan A. Foley, Navin Ramankutty, Kate A. Brauman, Emily S. Cassidy, James S.
Gerber, Matt Johnston, Nathaniel D. Mueller, Christine O’Connell, Deepak K. Ray, Paul C.
West, Christian Balzer, Elena M. Bennett, Stephen R. Carpenter, Jason Hill, Chad Monfreda,
Stephen Polasky, Johan Rockström, John Sheehan, Stefan Siebert, David Tilman, David P. M.
Zaks. Solutions for a cultivated planet. Nature, 2011; DOI: 10.1038/nature10452
Kafein dalam Nektar Mendorong Kinerja Lebah dan
Memperkaya Penyerbukan
Sebagian dari Anda mungkin perlu secangkir kopi untuk memulai hari. Hal
ini tampaknya berlaku pula bagi lebah madu untuk bisa lebih berdengung dengan mengkonsumsi
nektar bunga yang mengandung kafein. Dalam jurnalScience, para peneliti menunjukkan bahwa
kandungan kafein mampu meningkatkan memori lebah madu sekaligus membantu tanaman
meraup lebih banyak lebah untuk memperoleh penyerbukan.
Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa lebah madu yang mengkonsumsi larutan gula
mengandung kafein, kandungan alami dalam nektar dari bunga kopi dan jeruk, tiga kali lebih
mungkin untuk mengingat aroma bunga dibanding lebah lain yang hanya mengkonsumsi gula
tanpa kandungan kafein.
Pemimpin studi Dr. Geraldine Wright dari Newcastle University, menjelaskan bahwa efek kafein
bermanfaat baik bagi lebah madu maupun bagi tanaman: “Mengingat ciri-ciri bunga merupakan
hal yang rumit bagi lebah, sehingga memperlambat terbang lebah saat harus berpindah dari
bunga ke bunga lainnya, dan kami telah menemukan bahwa kafein membantu lebah mengingat
bunga-bunga tersebut.”
“Pada gilirannya, lebah-lebah yang diberi nektar mengandung kafein ini menjadi sarat dengan
serbuk sari kopi dan mereka mencari tanaman kopi lainnya untuk memperoleh lebih banyak
nektar, menghasilkan penyerbukan yang lebih baik.
“Jadi, kafein dalam nektar kemungkinan berguna untuk meningkatkan kecakapan lebah dalam
mencari makan sekaligus membantu menyediakan penyerbuk yang lebih setia bagi tanaman.”
Dalam studi ini, para peneliti menemukan bahwa nektar dari spesies Citrus dan Coffea seringkali
mengandung kafein dalam dosis yang rendah. Salah satunya adalah spesies kopi ‘robusta’ yang
biasanya diolah untuk dijadikan kopi kering dan ‘arabika’.
“Kafein merupakan bahan kimia pertahanan bagi tanaman dan terasa pahit bagi berbagai
serangga, termasuk lebah, jadi kami terkejut saat menemukannya dalam nektar. Meski demikian,
dosisnya terlalu rendah untuk bisa dirasakan oleh lebah, namun cukup tinggi mempengaruhi
perilaku lebah,” jelas Profesor Phil Stevenson dari Royal Botanic Gardens, Kew dan University
of Greenwich’s Natural Resources.
Pengaruh kafein terhadap memori jangka panjang lebah sedemikian kuat, mendorong
kemampuan lebah hingga tiga kali lipat untuk mengingat aroma bunga dalam 24 jam,
dan menjadi dua kali lipat setelah tiga hari kemudian.
Biasanya, nektar dalam bunga tanaman kopi mengandung tingkat kafein yang setara dengan
secangkir kopi instan. Sama seperti kopi hitam yang terasa kuat pahitnya bagi kita, konsentrasi
kafein yang tinggi bisa menjadi penolak lebah madu.
“Karya ilmiah ini membantu kita memahami mekanisme dasar pada bagaimana kafein
mempengaruhi otak kita. Apa yang kami saksikan pada lebah bisa menjelaskan mengapa orang
lebih memilih minum kopi ketika belajar,” tambah Dr. Wright.
Dr. Mustard Julie Arizona State University, yang turut berperan dalam penelitian, lebih lanjut
menjelaskan, “Meskipun otak manusia dan lebah madu memiliki banyak perbedaan, namun, saat
Anda melihat ke tingkat sel, protein dan gen, keduanya memiliki fungsi-fungsi yang sangat
serupa. Dengan demikian, kita bisa menggunakan lebah madu untuk meneliti tentang pengaruh
kafein terhadap otak dan perilaku kita sendiri.”
Studi ini sebagian didanai oleh Insect Pollinators Initiative, sebuah yayasan yang khusus
mendukung berbagai proyek yang bertujuan meneliti penyebab dan akibat dari adanya ancaman
terhadap serangga penyerbuk serta menginformasikan pengembangan strategi mitigasi yang
tepat.
Menurunnya tingkat populasi di antara lebah berdampak serius bagi ekosistem alam dan
pertanian karena lebah adalah penyerbuk yang penting bagi berbagai jenis tanaman pertanian dan
tanaman liar. Jika penurunan ini terus dibiarkan, akan memunculkan risiko yang serius bagi
keanekaragaman hayati alam kita dan bagi beberapa produksi tanaman pertanian.
“Dengan memahami bagaimana lebah memilih makanan dan kembali lagi ke beberapa bunga
yang sudah dipilihnya, akan membantu menginformasikan cara pengelolaan berbagai lanskap
dengan lebih baik,” tutur Profesor Steveson, “Memahami kebiasaan dan preferensi lebah madu
bisa membantu dalam menemukan cara untuk menggairahkan kembali spesies ini agar bisa
melindungi industri pertanian dan pedesaan kita.”
Kredit: Universitas Newcastle
Jurnal: G. A. Wright, D. D. Baker, M. J. Palmer, D. Stabler, J. A. Mustard, E. F. Power, A. M.
Borland, P. C. Stevenson. Caffeine in Floral Nectar Enhances a Pollinator’s Memory of
Reward. Science, 2013; 339 (6124): 1202 DOI: 10.1126/science.1228806
Untuk Ketersediaan Pangan di Masa Depan,
Diperlukan Evaluasi Kekayaan Bank Benih Dunia
Kurang dari selusin tanaman berbunga dari 300.000 spesies terhitung merupakan 80 persen dari
asupan kalori manusia. Dengan fakta demikian, maka diperlukan pemanfaatan tanaman yang tak
terpakai untuk membantu menambah ketersediaan pangan dunia dalam waktu dekat, klaim ahli
genetika tanaman Universitas Cornell, Susan McCouch, dalam jurnalNature edisi 4 Juli.
Untuk mengimbangi pertumbuhan penduduk serta kian meningkatnya pendapatan di seluruh
dunia, para peneliti memperkirakan bahwa ketersediaan pangan dunia harus mencapai dua kali
lipat dalam 25 tahun ke depan. Keanekaragaman hayati yang tersimpan dalam bank gen
tanaman, ditambah dengan kemajuan dalam bidang genetika dan budi daya tanaman, dapat
menjadi solusi untuk memenuhi tuntutan pangan yang lebih banyak dalam menghadapi
perubahan iklim, degradasi tanah dan air serta keterbatasan lahan.
“Bank gen menyimpan ratusan ribu bahan kultur jaringan dan benih yang dikumpulkan dari
ladang petani, dan dari populasi liar, tersedia bahan baku yang dibutuhkan dalam budi daya
tanaman untuk menciptakan tanaman pangan di masa depan,” ungkap McCouch.
Misalnya, setelah memindai lebih dari 6.000 varietas dari bank benih, tanaman budi daya
diidentifikasi dan disilangkan dengan spesies padi liar, Oryza nivara; hasilnya adalah varietas
yang tahan terhadap penyakit virus kerdil rumput yang menyerang pada hampir semua varietas
padi tropis di kawasan Asia dalam kurun 36 tahun terakhir. Demikian pula, di tahun 1997,
manfaat penggunaan kerabat liar tanaman sebagai sumber ketahanan lingkungan serta ketahanan
terhadap hama dan penyakit dapat menghasilkan keuntungan tahunan hingga sekitar 115 milyar
dolar bagi perekonomian dunia.
Meski berbagai benih dapat dengan mudah diakses dalam 1.700 bank gen di seluruh dunia,
“potensinya tidak dimanfaatkan secara penuh dalam pembudidayaan tanaman,” kata McCouch.
Saat ini, sulit bagi para petani untuk memanfaatkan kekayaan materi genetik dalam bank
benih akibat kurangnya informasi tentang gen beserta sifat-sifat pada sebagian besar tanaman.
Karena dibutuhkan waktu dan upaya untuk mengidentifikasi dan kemudian menggunakan
sumber daya genetik liar dan tak teradaptasi, “para petani harus punya gagasan yang bagus
tentang manfaat genetik dari sumber daya yang tidak dikarakterisasikan sebelum mencoba
menggunakannya dalam program budi daya,” tambah McCouch.
Dalam makalah studi ini, McCouch beserta rekan-rekannya menguraikan rencana tiga-poin
untuk mengatasi kendala-kendala tersebut:
Sebuah upaya pengurutan genetik secara besar-besaran pada bank-benih yang ada untuk
mendokumentasikan apa saja yang ada di dalam berbagai koleksi, bertujuan untuk secara
strategis menargetkan percobaan dalam mengevaluasi ciri-ciri apa saja yang dimiliki suatu
tanaman dan mulai memprediksi kinerja tanaman tersebut.
Sebuah inisiatif pengevaluasian ciri tanaman secara meluas, tidak hanya pada bank-gen, tapi
juga pada keturunan yang dihasilkan dari persilangan materi liar dan eksotis dengan varietas
teradaptasi yang ditargetkan untuk penggunaan lokal.
Sebuah infrastruktur informatika yang bisa diakses secara internasional untuk
mengkoordinasikan data yang baru dikelola secara mandiri oleh para kurator bank-gen,
agronom dan petani.
Menurut McCouch, perkiraan biaya untuk upaya global yang sistematis dan kolaboratif dalam
membantu mencirikan sumber daya genetik yang diperlukan untuk ketersediaan pangan di masa
depan ini, adalah sekitar 200 juta dolar per tahun.
“Tampaknya nilai yang tak seberapa, mengingat sebagai masyarakat kita menghabiskan sekitar 1
miliar dolar per tahun untuk menjalankan program Large Hadron Collider CERN di Jenewa,
Swiss, dan 180 juta dolar untuk sebuah pesawat jet tempur,” kata McCouch.
Kredit: Universitas Cornell
Jurnal: Susan McCouch, Gregory J. Baute, James Bradeen, Paula Bramel, Peter K. Bretting,
Edward Buckler, John M. Burke, David Charest, Sylvie Cloutier, Glenn Cole, Hannes
Dempewolf, Michael Dingkuhn, Catherine Feuillet, Paul Gepts, Dario Grattapaglia, Luigi
Guarino, Scott Jackson, Sandra Knapp, Peter Langridge, Amy Lawton-Rauh, Qui Lijua,
Charlotte Lusty, Todd Michael, Sean Myles, Ken Naito, Randall L. Nelson, Reno Pontarollo,
Christopher M. Richards, Loren Rieseberg, Jeffrey Ross-Ibarra, Steve Rounsley, Ruaraidh
Sackville Hamilton, Ulrich Schurr, Nils Stein, Norihiko Tomooka, Esther van der Knaap, David
van Tassel, Jane Toll, Jose Valls, Rajeev K. Varshney, Judson Ward, Robbie Waugh, Peter
Wenzl, Daniel Zamir. Agriculture: Feeding the future. Nature, 2013; 499 (7456): 23
DOI:10.1038/499023a
Peningkatan Hilangnya Keanekaragaman Hayati
Mengancam Kesejahteraan Manusia
Dua puluh tahun setelah KTT Bumi di Rio de Janeiro, 17 ahli ekologi terkemuka menyerukan
upaya internasional untuk menekan hilangnya keanekaragaman hayati, yang mengorbankan
kemampuan alam untuk menyediakan barang dan jasa yang penting bagi kesejahteraan manusia.
Selama dua dekade terakhir, bukti ilmiah yang kuat telah menunjukkan bahwa hilangnya
keanekaragaman hayati di dunia mengurangi produktivitas dan keberlanjutan ekosistem alam
serta mengurangi kemampuannya dalam menyediakan barang dan jasa seperti makanan, kayu,
pakan ternak, tanah subur, serta perlindungan dari hama dan penyakit, demikian menurut tim
internasional yang dipimpin ahli ekologi Bradley Cardinale dari University Michigan.
Tindakan-tindakan manusia telah memporak-porandakan ekosistem alam di bumi,
mengakibatkankepunahan spesies dalam tingkat beberapa kali lipat lebih cepat dari yang pernah
teramati dalam catatan fosil. Meskipun demikian, masih ada waktu – jika negara-negara di dunia
membuat prioritas internasional pelestarian keanekaragaman hayati – untuk menyelamatkan
berbagai spesies yang masih hidup dan untuk mengembalikan sebagian dari apa yang telah
hilang, demikian menurut Cardinale dan rekan-rekannya.
Para peneliti mempresentasikan temuan mereka pada jurnal Nature edisi 7 Juni, dalam sebuah
artikel berjudul “Hilangnya Keanekaragaman Hayati dan Dampaknya terhadap Kemanusiaan.”
Makalah ini merupakan pernyataan konsensus ilmiah yang merangkum bukti-bukti dari 1.000
lebih studi ekologi selama dua dekade terakhir.
“Seperti halnya pernyataan konsensus dari para dokter dengan peringatan publiknya tentang
bahaya penggunaan tembakau bagi kesehatan, ini adalah pernyataan konsensus dari para ahli
yang sepakat bahwa punahnya spesies liar di bumi akan berbahaya bagi ekosistem dunia dan bisa
membahayakan masyarakat dengan berkurangnya layanan ekosistem yang penting bagi
kesehatan dan kesejahteraan manusia,” kata Cardinale, seorang profesor di Sekolah Sumber
Daya Alam dan Lingkungan serta di Departemen Ekologi dan Biologi Evolusioner UM.
“Kita harus menanggapi hilangnya keanekaragaman hayati dengan jauh lebih serius – dari
individu-individu hingga badan-badan internasional – dan mengambil tindakan yang lebih besar
untuk mencegah kepunahan spesies lebih lanjut,” kata Cardinale, penulis pertama dalam
makalah Nature.
Diperkirakan ada sekitar 9 juta spesies tumbuhan, hewan, protista dan jamur yang menghuni
bumi, berbagi dengan sekitar 7 miliar manusia.
Peneliti mengukur produktivitas ganggang di sungai. (Kredit: Brad Cardinale)
Himbauan untuk bertindak diserukan di saat-saat para pemimpin internasional mempersiapkan
diri untuk berkumpul di Rio de Janeiro pada tanggal 20-22 Juni untuk menghadiri Konferensi
PBB mengenai Pembangunan Berkelanjutan, yang dikenal sebagai Konferensi Rio +20.
Konferensi mendatang ini menandai 20 Tahun KTT Bumi 1992 di Rio yang menghasilkan
dukungan dari 193 negara terhadap tujuan-tujuan Konvensi pada Keanekaragaman Hayati berupa
konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan.
KTT Bumi 1992 yang didorong oleh besarnya minat untuk memahami tentang
hilangnya keanekaragaman hayati mungkin berdampak pada dinamika dan pemfungsian
ekosistem, begitu pula pada penyediaan barang dan jasa yang berharga bagi masyarakat. Dalam
makalah Nature, Cardinale dan para kolega meninjau studi-studi terkait yang sudah
dipublikasikan dan membuat daftar enam pernyataan konsensus, empat kecenderungan yang
muncul serta empat pernyataan “keseimbangan bukti”.
Keseimbangan bukti menunjukkan, misalnya, bahwa keragaman genetik meningkatkan hasil
panen tanaman komersial, meningkatkan produksi kayu di hutan, meningkatkan produksi pakan
ternak di padang rumput, serta meningkatkan stabilitas hasil panen pada perikanan.
Meningkatnya keanekaragaman tumbuhan juga menghasilkan resistensi yang lebih besar
terhadap invasi, menghambat patogen tanaman seperti infeksi jamur dan virus, meningkatkan
penyerapan karbon di di udara melalui penyempurnaan biomassa, serta meningkatkan
remineralisasi nutrisi dan bahan organik tanah.
“Tak akan ada yang setuju dengan apa yang akan terjadi jika ekosistem kehilangan spesies,
namun kebanyakan dari kita setuju bahwa itu tidak akan menjadi baik. Dan kita setuju bahwa
jika ekosistem kehilangan sebagian besar spesiesnya, maka itu akan menjadi bencana,” kata
Shahid Naeem dari Universitas Columbia, salah satu penulis pendamping dalam
makalah Nature. “Dua puluh tahun dan seribu studi kemudian, apa dipikir benar oleh dunia
dalam pertemuan di Rio pada tahun 1992 akhirnya telah terbukti: Keanekaragaman hayati
mendasari kemampuan kita untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.”
Meskipun terdapat dukungan luas terhadap Konvensi pada Keanekaragaman Hayati, namun
hilangnya keanekaragaman hayati terus berlangsung selama dua dekade terakhir, bahkan
seringkali dengan tingkat yang menanjak. Sebagai responnya, satu set tujuan baru pelestarian
keanekaragaman untuk tahun 2020, yang dikenal sebagai target Aichi, baru-baru telah
dirumuskan. Juga, sebuah badan internasional baru yang disebut Panel Antarpemerintah tentang
Keanekaragaman Hayati dan Jasa Ekosistem telah dibentuk pada bulan April 2012 untuk
memandu respon global terhadap pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistem dunia.
Kesenjangan yang signifikan dalam ilmu pengetahuan di balik keanekaragaman hayati masih
tetap ada dan harus diatasi apabila target Aichi harus dipenuhi, kata Cardinale dan para kolega
dalam makalahNature.
“Beberapa pertanyaan kunci yang kami uraikan dapat membantu menunjukkan jalan bagi
penelitian generasi berikutnya tentang bagaimana perubahan keanekaragaman hayati
mempengaruhi kesejahteraan manusia,” kata David Hooper dari Universitas Western
Washington, salah satu penulis pendamping studi.
Tanpa adanya pemahaman tentang proses ekologis mendasar yang menghubungkan
keanekaragaman hayati, fungsi dan jasa ekosistem, maka upaya untuk meramalkan konsekuensi
sosial akibat hilangnya keragaman, dan untuk memenuhi tujuan kebijakan, akan cenderung
gagal, demikian menurut 17 ahli ekologi.
“Tapi dengan adanya pemahaman yang mendasar dalam genggaman, kita mungkin bisa
membawa era modern hilangnya keanekaragaman hayati ke arah jalur yang aman bagi
kemanusiaan,” simpul mereka.
Selain Cardinale, Naeem dan Hooper, penulis pendamping dalam makalah Nature ini adalah J.
Emmett Duffy dari The College of William and Mary, Andrew Gonzalez dari Universitas
McGill, Charles Perrings dan Ann Kinzig dari Universitas Arizona, Patrick Venail dan Anita
Narwani dari Sekolah Sumber Daya Alam dan Lingkungan UM; Georgina Mace dari Imperial
College London, David Tilman dari Universitas Minnesota, David Wardle dari Universitas Ilmu
Pertanian Swedia; Gretchen Daily dari Universitas Stanford, Michel Loreau dari Pusat Nasional
de la Recherche Scientifique di Moulis, Perancis, James Grace dari US Geological Survey; Anne
Larigauderie dari Museum Nasional d’Histoire Naturelle di Rue Cuvier, Perancis, serta Diane
Srivastava dari Universitas British Columbia.
Penelitian ini memperoleh pendanaan dari National Science Foundation dan dari University of
California-Santa Barbara dan negara bagian California.
“Kemurnian air, produksi pangan dan kualitas udara bisa mudah untuk digunakan begitu saja,
namun semua itu sebagian besar disediakan oleh komunitas organisme,” kata George Gilchrist,
direktur program di Divisi Biologi Lingkungan National Science Foundation, yang mendanai
penelitian. “Makalah ini menunjukkan bahwa bukan hanya jumlah makhluk hidup, tetapi juga
keanekaragaman hayati spesies, genetik dan sifat mereka yang mempengaruhi ketersediaan
berbagai ‘jasa ekosistem’ yang penting.”
Kredit: University of British Columbia
Jurnal: Bradley J. Cardinale, J. Emmett Duffy, Andrew Gonzalez, David U. Hooper, Charles
Perrings, Patrick Venail, Anita Narwani, Georgina M. Mace, David Tilman, David A. Wardle,
Ann P. Kinzig, Gretchen C. Daily, Michel Loreau, James B. Grace, Anne Larigauderie, Diane S.
Srivastava, Shahid Naeem. Biodiversity loss and its impact on humanity. Nature; 486, 59–67
(07 Juni 2012); DOI:10.1038/nature11148
Gen di Otak Merubah Perempuan menjadi Laki-laki
Para peneliti di Australia selangkah lebih dekat untuk mengungkap misteri perkembangan
seksual manusia, berdasarkan studi genetik yang menunjukkan bahwa tikus jantan bisa
diciptakan tanpa kromosom Y – melalui aktivasi gen otak purba.
Laki-laki normalnya memiliki satu kromosom Y dan satu kromosom X, sementara perempuan
memiliki dua kromosom X. Sebuah gen tunggal pada Y, yang disebut SRY, memicu
perkembangan testis pada embrio awal, dan sekali ini mulai terbentuk, semua embrio yang
tersisa juga menjadi laki-laki.
Bagaimanapun juga, para peneliti Adelaide telah menemukan cara untuk menciptakan tikus
jantan tanpa memerlukan kromosom Y dengan mengaktifkan gen tunggal, disebut SOX3, pada
janin yang berkembang. SOX3 dikenal penting untuk perkembangan otak, tapi belum pernah
terbukti mampu memicu jalur laki-laki.
Seekor tikus kecil dari laboratorium Professor Asosiasi Paul Thomas. Professor Asosiasi Thomas
beserta rekan-rekannya menghasilkan tikus jantan yang memiliki dua kromosom X dengan
mengaktifkan secara artifisial gen SOX3 dalam gonad yang berkembang. (Kredit: Foto oleh Piltz
Sandra)
Dalam studi kolaboratif utama internasional, mereka juga telah menunjukkan untuk pertama
kalinya bahwa perubahan dalam gen yang sama pada manusia juga terdapat pada beberapa
pasien yang mengalami gangguan perkembangan seksual.
Hasil kerja ini dipublikasikan secara online dalam Journal of Clinical Investigation, dan akan
diterbitkan dalam versi cetak jurnal pada bulan Januari 2011.
“Kromosom Y mengandung gen yang disebut SRY yang berfungsi sebagai saklar genetik untuk
mengaktifkan jalur laki-laki selama perkembangan embrio,” kata Associate Professor Paul
Thomas dari Universitas Adelaide School of Molecular & Biomedis Science.
“Saklar genetik SRY adalah unik untuk mamalia dan diduga telah berevolusi dari gen SOX3
selamaevolusi mamalia awal.”
Professor Asosiasi Thomas beserta rekan-rekannya telah menghasilkan tikus jantan
berkromosom XX dengan mengaktifkan secara artifisial gen SOX3 di dalam gonad yang
berkembang.
“Tikus ‘jenis kelamin terbalik’ jantan XX ini benar-benar jantan dalam penampilan, struktur
reproduksi dan perilaku, tetapi steril karena ketidakmampuan untuk menghasilkan sperma,”
katanya.
“Kami sudah menduga untuk waktu yang lama bahwa SOX3 merupakan gen
prekursor evolusi untuk SRY. Dengan menunjukkan bahwa SOX3 dapat mengaktifkan jalur laki-
laki dalam cara yang sama seperti SRY, kami sekarang yakin bahwa hal ini benar.”
Karya ini merupakan kolaborasi lama antara Professor Asosiasi Thomas dan Dr. Robin Lovell-
Badge di Medical Research Council National Institute for Medical Research, London, yang
menemukan gen SRY pada tikus lebih dari 20 tahun yang lalu.
Dr. Lovell-Badge mengatakan dia gembira karena temuan ini: “SOX3 normalnya berfungsi
dalam pengembangan sistem saraf, tetapi sekarang jelas bahwa mutasi yang membuatnya aktif
dalam gonadawal dapat mengubahnya menjadi saklar yang membuat testis berkembang.
“Sekarang sangat mungkin bahwa sesuatu yang mirip dengan apa yang telah terjadi pada tikus
jantan dan manusia XX yang telah kami deskripsikan juga menjelaskan telah terjadi pada leluhur
awal mamalia kita, dan ini menyebabkan evolusi tidak hanya pada SRY, tetapi juga pada
kromosom X dan Y. Bayangkan semua masalah yang disebabkan oleh gen kecil ini!” katanya.
Penelitian kolaborasi lebih lanjut dengan Profesor Andrew Sinclair di Murdoch Children’s
Research Institute di Melbourne dan Profesor Eric Vilain di UCLA (Universitas California Los
Angeles) juga telah menunjukkan bahwa perubahan pada gen SOX3 manusia terdapat pula pada
beberapa individu yang adalah laki-laki XX.
“Dari perspektif genetik, kasus pembalikan jenis kelamin laki-laki XX sangat menarik dan
kurang dipahami,” kata Professor Asosiasi Thomas.
“Penemuan ini memberi wawasan baru tentang penyebab genetik gangguan perkembangan
seksual, yang relatif umum dalam masyarakat.
“Untuk masa depan, penemuan ini akan berdampak pada diagnosis molekular terhadap gangguan
dan, pada akhirnya, membantu kita mengembangkan terapi atau teknologi untuk meningkatkan
hasil klinis,” katanya.
Sumber artikel: Brain gene a trigger for determining gender (adelaide.edu.au)
Kredit: University of Adelaide
Informasi lebih lanjut: Edwina Sutton, James Hughes, Stefan White, Ryohei Sekido,
Jacqueline Tan, Valerie Arboleda, Nicholas Rogers, Kevin Knower, Lynn Rowley, Helen
Eyre, Karine Rizzoti, Dale Mcaninch, Joao Goncalves, Jennie Slee, Erin Turbitt, Damien
Bruno, Henrik Bengtsson, Vincent Harley, Eric Vilain, Andrew Sinclair, Robin Lovell-
Badge and Paul Thomas. Identification of SOX3 as an XX male sex reversal gene in
mice and humans.Journal of Clinical Investigation, 2010; DOI: 10.1172/JCI42580