fact sheet iii 2012 - the wahid institute

4
S epanjang enam bulan, terjadi banyak pelanggaran dan intoleransi dalam ranah kebebasan beragama dan berkeyakinan. The WAHID Institute mencatat adanya pelanggaran KBB (Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) sebanyak 62 kasus dan intoleransi sebanyak 65 kasus. Dari beragam jenis kasus dan tindakan baik yang dilakukan oleh negara maupun masyarakat, yang paling menonjol adalah persoalan rumah ibadah. Sebanyak 19 kasus (32,8%) pelanggaran menyangkut penyegelan rumah ibadah. Termasuk dalam kategori ini adalah 16 gereja di Singkil, beberapa gereja di Jawa Tengah dan Jawa Tengah serta beberapa masjid. The WAHID Institute & Yayasan Tifa Fact Sheet Edisi III, 2012 Problem Rumah Ibadah Sepanjang Januari-Juni 2012

Upload: the-wahid-institute

Post on 23-Mar-2016

217 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Problem Rumah Ibadah Sepanjang Januari - Juni 2012

TRANSCRIPT

Page 1: Fact Sheet III 2012 - The Wahid Institute

S epanjang enam bulan, terjadi banyak pelanggaran dan intoleransi dalam ranah

kebebasan beragama dan berkeyakinan. The WAHID Institute mencatat adanya pelanggaran KBB (Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) sebanyak 62 kasus dan intoleransi sebanyak 65 kasus. Dari beragam jenis kasus dan tindakan baik yang dilakukan oleh negara maupun masyarakat, yang paling menonjol adalah persoalan rumah ibadah. Sebanyak 19 kasus (32,8%) pelanggaran menyangkut penyegelan rumah ibadah. Termasuk dalam kategori ini adalah 16 gereja di Singkil, beberapa gereja di Jawa Tengah dan Jawa Tengah serta beberapa masjid.

The WAHID Institute& Yayasan Tifa

Fact Sheet Edisi III, 2012

Problem Rumah Ibadah Sepanjang Januari-Juni 2012

Page 2: Fact Sheet III 2012 - The Wahid Institute

Problem Rumah Ibadah Sepanjang Januari - Juni 2012

Banjar), dan Masjid al-Mujahidin (Babakansari, Tasikmalaya). Semua masjid ini berafiliasi kepada komunitas Ahmadiyah.

Meningkatnya jumlah rumah ibadah ini berimbas pada meningkatnya korban pelanggaran KBB. Di antara para korban adalah jemaat Ahmadiyah, jemaat GKI Taman Yasmin, jemaat HKBP Filadelfia, jemaat GKPPD, jemaat GMII, dan jemaat Gereja Katolik Singkil. Mereka adalah korban dari lalainya korban memberikan perlindungan dan jaminan KBB.

Sebagian dari para korban ini juga menjadi kelompok masyarakat sipil yang ekstrim dalam mengekspresikan sikap kontra terhadap pemeluk yang beribadah pada rumah ibadah tertentu, karena mereka meminta rumah ibadah ini disegel. Disebut ekstrim karena mereka diancam dan diintimadasi, bahkan di antara mereka terdapat orang yang meneriaki “perkosa, perkosa”. Masyarakat sipil lainnya melakukan perusakan dengan derajat yang beragam: membakar, memecahkan, melempari bahkan merubuhkan. Pelaku intoleransi yang cukup menonjol adalah Front Pembela Islam (FPI) sebanyak 6 kali (7,4%). Sebagian lagi dilakukan oleh warga 14 kali (17,3%), dan massa yang tidak memiliki identitas jelas 7 kali (8,6%).

Pada aras ini sesungguhnya aksi-aksi ekstrim semacam ini dapat diatasi. Tetapi, aparat ternyata tidak

K eenam belas gereja yang dimaksud adalah GKPPD(Gereja Kristen

Pakpak Dairi) Biskang, Gereja Katolik Nagapaluh, Gereja Katolik Lae Mbalno, GKPPD Siatas, GKPPD Kuta Tinggi, GKPPD Tuhtuhen, GKPPD Sanggabru, Gereja JKI (Jemaat Kristen Indonesia) Kuta Karangan, Jemaat Gereja HKI (Huria Kristen Indonesia) Gunung Meriah, Jemaat Gereja Katolik Gunung Meriah, Jemaat GKPPD Mandumpang, Jemaat Gereja Katolik Mandumpang, GMII (Gereja Misi Injili Indonesia) Siompin, GKPPD Guha, GMII Ujung Sialit, dan GKPPD Dangguren. Selain itu, rumah ibadah PAMBI (Persatuan Agama Malim Baringin Batak Indonesia) turut ditutup. Selain gereja-gereja ini, terdapat beberapa gereja yang mengalami nasib yang tidak kalah memprihatinkannya. Gereja yang dimaksud adalah Gereja Pantekosta Bekasi Gereja Kristen Rahmani Indonesia (GKRI) Bekasi, dan Gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) Bekasi) yang sama-sama disegel. Selain, jemaat GKI Indramayu ditembak oleh orang tak dikenal. HKBP Filadelfia dan Taman Yasmin menjadi bulan-bulanan massa tiap harinya.

Adapun masjid yang dimaksud adalah Masjid Nurhidayah (Cipeyuem, Cianjur), Masjid al-Kautsar (Gemuh, Kendal), Masjid Baiturrahim (Babakan Sindang, Tasikmalaya), Masjid al-Istiqomah (Kampung Tanjungsukur, Kota

Page 3: Fact Sheet III 2012 - The Wahid Institute

“Pelaku intoleransi yang cukup

menonjol adalah Front Pembela Islam

(FPI) sebanyak 6 kali (7,4%). Sebagian

lagi dilakukan oleh warga 14 kali

(17,3%), dan massa yang tidak memiliki identitas jelas 7 kali

(8,6%)”

Fact Sheet Edisi III, 2012

cukup sigap dengan beragam alasan yang terkadang di luar ‘melampaui akal sehat’. Para aparat lebih banyak melakukan pembiaran dengan berbagai cara: menurunkan sedikit personel dalam keadaan yang darurat, datang ke lokasi ketika insiden sudah ‘selesai’, dan bekerja bersama-sama dengan masyarakat sipil tertentu untuk melakukan penyisiran. Aparat lebih sering bekerja pada aras ‘diskresi’: mengungsikan korban ke tempat yang dianggap aman.

Sikap-sikap semacam ini tak ayal menimbulkan dampak baru yang semakin m e m b a h a y a k a n korban itu sendiri. Kelompok ini kemudian semakin leluasa menjalankan aksinya karena merasa tidak mendapat tekanan berupa absennya aparat dalam pengamanan bahkan penegakan hukum. Karenanya tidak ada lagi yang ditakuti, apalagi sasaran korban biasanya berjumlah lebih sedikit dan dengan daya tawar secara sosial politik yang lebih rendah. Di samping semakin bertambahnya ormas radikal, dalam situasi inilah ‘partisipasi’ masyarakat tumbuh tinggi.

Partisipasi yang tumbuh tinggi ini kemudian memunculkan adanya afirmasi terhadap alasan-alasan di luar akal sehat. Keresahan sekelompok orang, misalnya, diadopsi menjadi keresahan bersama yang selanjutnya dipakai sebagai legitimasi untuk melakukan perusakan rumah ibadah yang dianggap menyebarkan aliran sesat atau aliran yang sudah dilarang beraktivitas.

Termasuk aliran yang sering dipakai adalah sikap kontra terhadap rumah ibadah. Sikap kontra suatu kelompok terus-menerus

dikumandangkan sehingga seolah-olah ia menjadi r e p r e s e n t a s i sebuah sikap umat. Keadaan ini masih dalam batas wajar tetapi yang membahayakan adalah sikap kontra ini kemudian d i a n g g a p m e n g a t a s i p e r s y a r a t a n dalam IMB. Sikap semacam ini terus d i d e n g u n g k a n s e h i n g g a kemudian IMB tidak diberikan karena masih t e r d a p a t

kelompok yang kontra—padahal IMB hanya membahas persyaratan administratif yang wajib dipenuhi dan tidak menyoal sikap kontra.

Page 4: Fact Sheet III 2012 - The Wahid Institute

Penerbit: The WAHID Institute I Penanggung Jawab: Yenny Zannuba Wahid, Anita Wahid Pemimpin Redaksi: Rumadi I Sta! Redaksi: Subhi Azhari, Alamsyah M. Djafar, Nurun Nisa, Gamal Ferdhi,

Badrus Samsul Fata Design & Layout: Neng ErlinaAlamat Redaksi: Jl. Taman Amir Hamzah 8, Jakarta-10320 I Telp: + 62 21 3928 233 I Fax: +62 21 3928 250

Email: info.wahidinstitute.org I Website: wahidinstitute.org Facebook: facebook.com/Wahid.Institute.GusDur I Twitter: @WAHIDinst

Pernerbitan ini hasil kerjasama The Wahid Institute dan Yayasan Tifa

Analisa

Persoalan rumah ibadah bukan persoalan bangunan belaka. Lebih dari itu, persoalan rumah ibadah melibatkan berlakunya otoritas administrative, otoritas politik, dan otoritas keagamaan itu sendiri. Otoritas administratif bertumpu pada sah tidaknya sebuah rumah ibadah yang ditandai dengan terbitnya IMB. Tetapi IMB bukan segalanya karena otoritas politik juga dapat menafikan segalanya. Otoritas politik dapat berupa rezim pemerintah itu sendiri, tetapi akhir-akhir ini sering disokong oleh kekuatan penekan dari luar yang tidak pro keberagaman. Kasus penutupan gereja secara massif di Aceh, misalnya, merupakan penanda berlakunya mekanisme seperti ini. Gereja diminta membikin IMB padahal ia berdiri sebelum berlakunya peraturan tentang IMB itu sendiri. Pada sisi yang lain, aparat menutup gereja demi menghindari anarkhisme sekelompok massa yang mengaku sebagai simbol representasi umat tertentu. HKBP Filadelfia dan GKI Taman Yasmin terganjal soal yang sama namun dengan nuansa yang agak berbeda. Mereka sudah memperolehnya dengan perjuangan yang luar biasa, tetapi ia sia-sia belaka karena otoritas politik yang ada lebih memilih tekanan mencari aman. Alih-alih menaati keputusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, mereka justru terus menunda pelaksanaan pembukaan penyegelan gereja demi kelompok kontra yang seharusnya bisa diatasi oleh aparat kepolisian itu sendiri.Otoritas keagamaan bekerja dengan ‘baik’ pada kasus yang menimpa masjid-masjid Ahmadiyah. Relatif tidak bermasalah dengan IMB, karena tidak ada yang mempersoalkannya, masjid semacam ini menjadi layak dirusak, disegel, bahkan dibakar karena sesat menurut ukuran otoritas keagamaan tertentu. Persoalan masjid bukan lagi melakukan misi tertentu tetapi karena memiliki paham yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Karena perbedaan inilah, ia dianggap meresahkan masyarakat sehingga harus ditertibkan. Otoritas keagamaan (konservatif) “menertibkan” masjid-masjid ini sejak definisi hingga aksi perusakan dan atau penyegelan terjadi.

Rekomendasi1. Rumah ibadah adalah sarana mutlak untuk mengekspresikan hak untuk bebas

beragama dan berkeyakinan. Karenanya, sudah selayaknya pemerintah memfasilitasi kebutuhan ini dengan beragama cara, termasuk menyediakan rumah ibadah sementara ketika

2. Aparat seharusnya bertindak tegas melawan penyegelan bahkan perusakan atau justru terlibat bersama-sama dengan warga bahkan menginisiasi penyegelan atas dasar konstitusi di mana semua warga berhak dan dijamin untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya itu

3. Masyarakat seharusnya cerdas dan dewasa menyikapi persoalan rumah ibadah. Rumah ibadah selayaknya dianggap sebagai sarana beribadah dan bukan sarana untuk mempengaruhi umat lain agar tertarik ikut. Selain itu, protes tidak selayaknya dengan menutup gereja, melakukan kekerasan kepada para pengguna tempat ibadah, dan atau merusak gereja. Sudah selayaknya sikap semacam ini dilakukan dialog dengan duduk bersama disertai pikiran dingin dan dewasa