evaluasi retrospektif sistem penghitungan prediksi amputasi

44
EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI PADA FRAKTUR TERBUKA TIBIA TIPE III Made Bramantya Karna Satrio, dr. SpOT SMF ORTHOPAEDI DAN TRAUMATOLOGI FK UNAIR/RSUD DR.SOETOMO 2005

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

EVALUASI RETROSPEKTIF

SISTEM PENGHITUNGAN

PREDIKSI AMPUTASI

PADA FRAKTUR TERBUKA TIBIA TIPE III

Made Bramantya Karna

Satrio, dr. SpOT

SMF ORTHOPAEDI DAN TRAUMATOLOGI

FK UNAIR/RSUD DR.SOETOMO

2005

Page 2: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

2

DAFTAR ISI

BAB I Pendahuluan 1

BAB II Tinjauan Pustaka

2.1. Klasifikasi Fraktur Terbuka 3

2.2. Faktor-Faktor Penentu Keputusan Amputasi 4

2.3. Sistem Penghitungan 9

2.4. Resiko Pilihan Penanganan 12

BAB III Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian 16

BAB IV Metodologi Penelitian

4.1. Rancangan Penelitian 18

4.2. Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Tehnik

Pengambilan Sampel 19

4.3. Variabel Penelitian 19

4.4. Instrumen Penelitian 22

4.5. Lokasi dan Waktu Penelitian 22

4.6. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data 22

4.7. Cara Analisa Data 22

BAB V Pasien dan Metode 23

BAB VI Analisis Hasil Penelitian 25

BAB VII Pembahasan 28

BAB VIII Kesimpulan 32

Daftar Pustaka

Lampiran

Page 3: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Seringkali cedera yang berat pada tungkai (mangled leg) menghadapkan

pada sebuah tantangan dalam penanganan pembedahannya. Perkembangan terbaru

pada bidang pengobatan, meliputi antibiotik yang lebih ampuh serta

perkembangan tehnik pembedahan seperti graft saraf, flap jaringan lunak,

rekonstruksi mikrovaskuler dan tehnik fiksasi fraktur yang semakin baik, telah

memberikan berbagai harapan baru yang sebelumnya tidak mungkin kepada para

dokter bedah. Penanganan yang melibatkan berbagai disiplin ilmu memegang

peranan penting untuk mencapai hasil terbaik dalam menyelamatkan tungkai yang

cedera.

Namun dibalik semua keberhasilan tersebut, tetap ada penderita dengan

cedera tungkai berat yang lebih baik dilakukan amputasi sejak awal. Apabila pada

penderita ini tungkai yang cedera dipertahankan, penderita harus melewati periode

infeksi yang lama dan masalah iskemi pada tungkai, juga harus menghadapi

beberapa kali operasi yang rumit, dan menderita lebih banyak komplikasi daripada

bila dilakukan amputasi lebih awal.

Tentu saja hal yang mengecewakan ini harus dihindari. Banyak faktor

mempengaruhi pilihan apakah tungkai yang cedera akan dipertahankan atau

diamputasi sejak awal. Tetapi bukan suatu hal yang mudah untuk memutuskan hal

Page 4: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

4

tersebut, sehingga para ahli bedah membutuhkan suatu predictive scoring system

untuk menilai beratnya cedera yang terjadi dan menjadi petunjuk dalam

mengambil keputusan amputasi atau tidak.

Penderita mangled extremity yang datang di IRD RSU Dr. Soetomo dinilai

menggunakan Mangled Extremity Severity Score (MESS) untuk mengambil

keputusan penanganan yang akan dikerjakan apakah tungkai yang cedera akan

dipertahankan atau dilakukan amputasi. Namun MESS dinilai kurang sensitif

karena ternyata masih banyak penderita yang tungkainya dipertahankan harus

menghadapi amputasi pada akhirnya (3, 14). Untuk itu dirasa perlu dilakukan

evaluasi terhadap sistem penghitungan yang selama ini dipergunakan.

Page 5: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi Fraktur Terbuka

Fraktur terbuka adalah fraktur dimana terjadi kerusakan barier kulit dan

jaringan lunak hingga terjadi hubungan antara fraktur dan hematomnya dengan

luar.

Prognosis suatu fraktur terbuka sangat tergantung pada banyaknya jaringan

lunak yang tidak viabel karena trauma serta derajat kontaminasi dan jenis

bakterinya. Mengklasifikasikan suatu fraktur terbuka sangat penting bagi dokter

bedah dalam menentukan prognosis serta sebagai pegangan dalam menentukan

penanganan yang akan dikerjakan.

Klasifikasi Gustilo-Anderson diperkenalkan sejak 1976 dan diperluas

dengan subklasifikasi grade III tahun 1984. Klasifikasi mereka menekankan pada

pentingnya derajat kerusakan jaringan lunak akibat trauma serta derajat

kontaminasi yang terjadi.

Fraktur terbuka tipe I disebabkan trauma berenergi rendah, biasanya panjang

luka kurang dari 1 cm, karena patahan tulang yang menembus keluar. Derajat

kontaminasi biasanya rendah dan kerusakan otot minimal. Luka tipe II lebih dari 1

cm dengan derajat kerusakan jaringan lunak menengah karena energi trauma yang

lebih besar. Mengelupasnya jaringan dari tulang minimal, sehingga penutupan

luka masih memungkinkan tanpa graft atau flap. Trauma berenergi besar

Page 6: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

6

menimbulkan luka tipe III, biasanya lebih dari 10 cm dengan banyak otot tidak

viabel dan fraktur yang kominutif. Tipe IIIa terjadi pengelupasan periosteum dan

otot derajat menengah, namun tulang masih bisa ditutupi, tipe IIIb menunjukkan

pengelupasan yang luas sehingga penutupan tulang membutuhkan flap atau graf,

sedang tipe IIIc disertai cedera pembuluh darah besar.

Klasifikasi fraktur terbuka menurut Gustillo-Anderson membutuhkan

evaluasi obyektif dan subyektif terhadap tungkai yang cedera. Klasifikasi cedera

sebaiknya ditetapkan saat operasi debrideman dari luka yang terjadi.

2.2. Faktor-Faktor Penentu Keputusan Amputasi

Permasalahan terbesar dalam menangani mangled leg bukannya pada apakah

seorang dokter bedah dapat menyelamatkan tungkai yang cedera ini, namun

apakah ia harus menyelamatkan tungkai tersebut. Keputusan itu sangat

dipengaruhi keadaan dan beratnya cedera serta kondisi penderita secara

keseluruhan. Banyak faktor memegang peranan penting dalam

mempertimbangkan pengambilan keputusan untuk mempertahankan atau

melakukan amputasi sejak awal pada tungkai yang fraktur disertai kerusakan

jaringan yang berat.

2.2.1. Faktor penderita

2.2.1.1. Usia

Umur mempengaruhi prognosis penderita dalam jangka panjang, secara

umum karena penderita yang lebih tua akan memiliki penyakit penyerta yang

Page 7: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

7

lebih banyak dan inaktivitas. Gaston (1999) mendapatkan usia menentukan waktu

penyembuhan dari fraktur isolated dari tibia yang difiksasi dengan intramedullary

nailling, begitu pula waktu weight bearing-nya. Nicoll (1964) menyatakan

penderita diatas usia 60 tahun menunjukkan pemanjangan yang bermakna

terhadap waktu penyembuhan fraktur (15). Sehubungan dengan mangled leg,

kebanyakan ahli menyatakan usia diatas 50 sangat tidak menguntungkan. Tentu

usia fisiologis dan keadaan vaskularisasi dari tungkai lebih bermakna

pengaruhnya dibandingkan usia kronologis.

2.2.1.2. Penyakit penyerta

Diabetes melitus dan kelainan pembekuan dapat memperlambat

penyembuhan serta mengarahkan pada terjadinya komplikasi. Penyakit paru yang

berat dan gagal jantung kongestif dapat memperpanjang operasi dan beresiko,

juga osteoporosis meningkatkan resiko instabilitas mekanik setelah osteosintesis.

2.2.1.3. Perilaku merokok

Perokok akan menghadapi sejumlah masalah selama penyembuhan cedera

tungkai yang berat. Mereka memerlukan waktu yang lebih panjang untuk

penyembuhan fraktur. Dalam kasus pembedahan mikrovaskuler, kebiasaan

merokok secara bermakna meningkatkan komplikasi post operasi, dengan luka

infeksi, nekrosis otot dan kegagalan graft kulit.

Page 8: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

8

2.2.2. Faktor lokal trauma

2.2.2.1. Mekanisme trauma

Mengetahui mekanisme trauma yang terjadi akan dapat digambarkan

energi yang diserap oleh jaringan. Pada trauma berenergi besar (seperti

kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian) akan lebih besar resiko terjadinya

fraktur yang kominutif dengan kerusakan jaringan lunak yang berat, dibandingkan

pada trauma berenergi rendah (seperti cedera olah raga).

2.2.2.2. Gambaran fraktur

Dengan bertambahnya pergeseran fragmen dan derajat kominutif dari

konfigurasi fraktur, kemampuan penyembuhan pun berkurang. Fraktur yang

kominutif cenderung memberikan lebih banyak komplikasi dan memerlukan

waktu penyembuhan yang lebih lama dibandingkan fraktur yang simple atau

wedge.

2.2.2.3. Cedera jaringan lunak

Cedera jaringan lunak yang berat merupakan indikator prognostik yang

penting. Kerusakan jaringan lunak yang serius dan nekrosis otot yang terjadi

kemudian akan berakhir dengan kematian tungkai. Otot tidak hanya berfungsi

menutup lokasi trauma, namun juga memungkinkan vaskularisasi ke lokasi fraktur

dan mengatasi kontaminasi luka dan infeksi.

Page 9: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

9

2.2.2.4. Cedera pembuluh darah

Trauma pembuluh darah yang menyertai akan mengakibatkan buruknya

pasokan darah untuk tulang dan jaringan lunak yang cedera. Iskemi akibat

gangguan aliran darah dan perdarahan yang luas mengakibatkan pembengkakan

jaringan, dengan resiko tinggi terjadinya sindroma kompartmen. Toleransi

jaringan terhadap iskemi maksimal selama 6 jam dan fasiotomi lengkap harus

segera dikerjakan bahkan pada kasus fraktur terbuka.

2.2.2.5. Cedera saraf

Rusaknya saraf tibial posterior mengakibatkan hilangnya keseluruhan rasa

raba pada telapak kaki, dengan resiko tinggi terjadinya ulkus neuropatik. Menurut

banyak ahli, hal ini dapat menjadi pertimbangan yang kuat untuk melakukan

amputasi sejak awal. Namun, Jones melaporkan hilangnya rasa raba kaki dalam

trauma berenergi besar pada tungkai memang menyebabkan kecacatan, namun hal

ini tidak tergantung pada apakah dilakukan penanganan dengan amputasi sejak

awal atau tidak (11). Lagi pula, graft nervus tibialis dilaporkan dapat

mengembalikan rasa raba kaki pada beberapa kasus.

2.2.2.6. Cedera lain pada tungkai yang sama

Cedera tungkai bawah akan ditangani berbeda bila disertai cedera berat

lainnya pada tungkai tersebut, misalnya pada kaki, yang akan menyebabkan

sulitnya mengembalikan fungsi sebelumnya bila tungkai dipertahankan.

Page 10: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

10

2.2.2.7. Kontaminasi

Bila luka sangat kotor, resiko infeksi akan sangat tinggi, dengan segala

konsekuensi negatifnya.

2.2.3. Faktor umum trauma

2.2.3.1. Beratnya cedera

Penderita dengan mangled leg bisa disertai cedera lain yang mengancam

jiwa, seperti hematom intrakranial atau perdarahan intraabdominal karena ruptur

liver atau lien. Dalam situasi seperti ini, usaha untuk mempertahankan tungkai

yang cedera akan memakan waktu banyak sehingga meningkatkan mortalitas.

Kebanyakan penderita dengan cedera berat yang multiple dan Injury Severity

Score yang tinggi, mendahulukan keselamatan jiwa penderita dibandingkan

tunkainya adalah tepat.

2.2.3.2. Syok

Perdarahan masif dengan syok hipovolemik dan pemberian obat-obatan

vasoaktif akan menyebabkan perfusi jaringan yang tidak adekuat, dengan segala

konsekuensinya.

2.2.3.3. Hipotermi

Hipotermi mempengaruhi penanganan yang akan dilakukan serta hasilnya.

Hipotermi mengganggu hemostasis dengan menurunkan fungsi platelet,

mempengaruhi coagulation cascade, dan meningkatkan efek dari sistem

Page 11: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

11

fibrinolisis. Pada akhirnya, semua ini akan berakhir dengan koagulopati dan

perdarahan yang sulit dikendalikan, dengan resiko sindroma kompartmen dan

komplikasi perioperatif. Pada kasus hipotermi berat, lebih baik dikerjakan

amputasi sejak awal.

2.3. Sistem Penghitungan

Berdasarkan variabel-variabel yang dibicarakan di atas, beberapa ahli

berusaha merancang sistem penghitungan untuk menilai beratnya cedera yang

terjadi pada tungkai sehingga dapat membantu ahli bedah dalam memutuskan

apakah akan mempertahankan tungkai yang cedera atau melakukan amputasi

sejak awal. Secara umum, sistem penghitungan ini dinilai secara retrospektif pada

beberapa penderita dimana tungkainya yang cedera berusaha dipertahankan untuk

kemudian ditentukan nilai ambang menentukan amputasi.

Variabel-variabel yang menentukan sistem ini masing-masing diberi nilai,

dan bila total nilai melebihi nilai ambang (cutoff point), amputasi sejak awal harus

dianjurkan untuk menyelamatkan penderita. Validitas sistem penghitungan ini

ditetapkan melalui rasio sensitivitas (hampir semua tungkai yang cedera dengan

nilai di bawah ambang batas berhasil dipertahankan) dan spesifisitas (hampir

semua tungkai dengan nilai pada atau di atas ambang diamputasi) yang tinggi.

Sistem penghitungan yang paling banyak digunakan adalah Mangled

Extremity Syndrome Index (MESI), Predictive Salvage Index (PSI), Hannover

Fracture Scale (HFS), Limb Salvage Index (LSI), Mangled Extremity Severity

Page 12: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

12

Score (MESS) dan Nerve Injury, Ischemia, Soft-Tissue Injury, Skeletal Injury,

Shock, Age (NISSSA).

MESI, adalah sistem penghitungan yang pertama dipublikasikan (1985)

melalui studi retrospektif terhadap 17 penderita (termasuk 5 penderita dengan

cedera ekstremitas atas) (7). Sistem ini menekankan pada beratnya kerusakan

tungkai (jaringan ikat, saraf, pembuluh darah dan tulang), Injury Severity Score

(ISS), berat dan lamanya iskemi, usia, cedera lain, dan syok. Peneliti menetapkan

nilai ambang 20 sebagai batas dimana di bawah angka tersebut usaha

menyelamatkan tungkai dapat dicoba, sedang di atas itu semua penderita yang

mereka tangani membutuhkan amputasi. Namun Hoogendoorn, melaporkan

penelitiannya terhadap 57 penderita fraktur terbuka tibia derajat III menyatakan

MESI cenderung meremehkan cedera pada tungkai bawah (9). Kelemahannya

lagi, lokasi fraktur dan cedera lain pada tungkai yang sama (kaki) tidak

diperhitungkan.

PSI, merupakan hasil analisa retrospektif terhadap 21 fraktur ekstremitas

bawah disertai cedera vaskuler, tahun 1987 oleh Howe dan rekan-rekannya (10).

Para peneliti ini menyatakan penyelamatan tungkai tidak berhubungan dengan

adanya syok, rusaknya vena, dan cedera penyerta lain. Faktor yang menentukan

adalah interval waktu antara kejadian trauma dan saat operasi, lokasi arteri yang

cedera, serta beratnya cedera yang dialami otot dan tulang. Dibandingkan dengan

MESI, PSI memiliki lebih sedikit variabel dan tampak lebih mudah digunakan.

Namun dalam aplikasinya, sangatlah sulit untuk menilai beratnya cedera yang

terjadi pada jaringan lunak, karena PSI tidak memberikan batasan yang jelas.

Page 13: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

13

Bosse dan rekannya melakukan evaluasi terhadap PSI dan menunjukkan

sensitivitas dan spesifisitas yang rendah, 47% dan 84% (3).

HFS, diajukan oleh Sudkamp dan kawan-kawan tahun 1989, terdiri dari

beberapa parameter tipe fraktur, ukuran defek tulang, beratnya cedera jaringan

lunak, berat dan lamanya iskemi, cedera saraf, kontaminasi, beratnya cedera

keseluruhan, serta periode antara trauma dan operasi (17). Walaupun HFS

tampaknya memiliki kombinasi variabel-variabel yang lebih masuk akal,

sensitivitas ternyata rendah, sehingga banyak penderita harus mengalami banyak

komplikasi karena amputasi tidak dikerjakan sejak awal. Disamping itu, HFS sulit

digunakan karena banyaknya parameter yang harus diperhitungkan serta

membutuhkan penilaian kerusakan jaringan lunak dengan tepat.

Tahun 1991, Russell dan rekan-rekannya mempublikasikan LSI sebagai

hasil penelitian retrospektif dari hasil penanganan 70 penderita fraktur terbuka

tibia dengan cedera arteri (16). Penghitungan didasarkan pada tujuh kriteria :

arteri, saraf, tulang, kulit, otot dan cedera vena dalam begitu pula waktu iskemi.

Walau LSI sangat detail, parameter yang penting seperti usia dan cedera yang

menyertai, tidak diperhitungkan disini. Beberapa peneliti meragukan kegunaan

penghitungan ini dalam pengambilan keputusan pada kasus yang akut.

MESS, digambarkan oleh Johansen dan kawan-kawan tahun 1990,

berdasarkan empat variabel klinis (cedera pada tulang dan jaringan lunak, iskemi,

syok, dan usia). Karena variabelnya tidak terlalu banyak, penghitungan ini tampak

mudah dipergunakan dan mungkin paling banyak digunakan. Adanya variabel

mengenai mekanisme trauma (luka tembakan dan luka masuk) menjadikannya

Page 14: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

14

pilihan di Amerika dan Eropa sebagai dasar pengambilan keputusan untuk

amputasi atau tidak.

Tahun 1994, McNamara dan rekan-rekannya mendisain NISSSA

(modifikasi dari MESS) dengan menambahkan penekanan pada cedera jaringan

lunak dan tulang (16). Dalam laporan mereka, sistem baru ini memiliki

sensitivitas (82%) dan spesifisitas (92%) yang lebih baik. Sayangnya, perbaikan

ini tidak berhasil dibuktikan peneliti lainnya.

2.4. Resiko Pilihan Penanganan

Tujuan akhir dari rekonstruksi tungkai yang cedera adalah mempertahankan

tungkai yang viabel dan berfungsi. Bagaimanapun, pilihan rekonstruksi memiliki

beberapa konsekuensi, baik dalam waktu pendek maupun panjang.

2.4.1. Jangka pendek

Banyak laporan mengenai jumlah dan rumitnya operasi yang harus dilalui penderita, lamanya rawat inap, banyaknya serta macam komplikasi yang dialami penderita yang tungkainya coba dipertahankan dibandingkan yang dilakukan

amputasi sejak awal.

a. Operasi

Penderita dengan usaha mempertahankan tungkai yang cedera membutuhkan

lebih banyak operasi yang kompleks dibandingkan yang diamputasi sejak awal.

Hoogendoom (2001) melaporkan hasil akhir penanganan 72 penderita fraktur

terbuka tibia derajat III dimana penderita yang tungkainya berhasil dipertahankan

harus melalui rata-rata 5,3 kali operasi, 3,8 kali untuk yang amputasi sejak awal

dan 5,0 untuk yang sekunder amputasi (9). Penderita dimana tungkainya berusaha

dipertahankan harus melalui beberapa tahap rekonstruksi yang sulit (misalnya

Page 15: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

15

fiksasi fraktur, transplantasi jaringan dengan free atau mikrovaskuler, serta

rekonstruksi vaskuler). Bondurant dan kawan-kawan (1988) juga melaporkan

peningkatan jumlah operasi yang harus dilalui penderita dengan primer amputasi

dibandingkan sekunder amputasi (1,6 berbanding 6,9 operasi) (2).

b. Lamanya rawat inap

Lamanya rawat inap penderita tentunya berhubungan dengan jumlah operasi

yang harus dijalani. Banyak peneliti melaporkan penderita dengan tungkai yang

dipertahankan memerlukan waktu inap dua kali lebih lama dibandingkan yang

diamputasi sejak awal. (Hoogendoorn melaporkan 38,4 hari berbanding 67,1 hari).

c. Komplikasi

Lebih banyak komplikasi yang dialami penderita dengan tungkai cedera yang

dipertahankan dibandingkan amputasi primer. Komplikasi yang paling sering

seperti infeksi dengan osteitis, gagalnya flap parsial maupun total dan

pseudoarthrosis. Komplikasi ini dapat sedemikian beratnya serta persisten hingga

terpaksa dilakukan amputasi sekunder.

2.4.2. Jangka panjang

Secara umum, konsekuensi yang mungkin terjadi adalah berkurangnya

fungsi tungkai (impairment) yang berakhir dengan terbatasnya aktivitas sehari-

hari (disability), yang selanjutnya akan merubah peran dalam masyarakat

(handicap). Banyak penelitian melaporkan komplikasi lebih lanjut dari

berkurangnya fungsi fisik dalam waktu lama dan kualitas hidup penderita.

Page 16: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

16

Melalui pengamatannya terhadap 18 penderita yang diamputasi dan 16

yang dipertahankan, Georgiadis (1993) menyimpulkan penderita yang tungkai

cederanya dipertahankan memiliki hasil akhir jangka panjang yang lebih jelek

dalam kualitas hidup dan penerimaan atas kecacatannya (6). Disamping itu,

penderita dengan usaha mempertahankan tungkai yang cedera lebih merasa tidak

berguna, lebih bermasalah dengan pekerjaan dan aktivitas lainnya. Kemp dan

kawan-kawan (1993) mengevaluasi 17 penderita yang berhasil diselamatkan

tungkainya dengan menggunakan “Guides to the Evaluation of Permanent

Impairment” dari Ikatan Dokter Amerika dan menyatakan penderita ini memiliki

nilai lebih rendah dibandingkan yang dilakukan amputasi bawah lutut (12).

Fairhurst (1994) melakukan pengamatan terhadap 12 penderita yang

diamputasi di bawah lutut dibandingkan 12 yang dipertahankan memiliki kualitas

hidup yang lebih baik, sehingga ia lebih menganjurkan tindakan amputasi bila

menghadapi kasus-kasus perbatasan (4). Namun Herthel dan kawan-kawan (1996)

menyarankan usaha rekonstruksi pada tungkai yang potensial viabel, karena ia

mendapatkan 56% penderita yang diamputasi dan 19% dipertahankan harus

mengganti pekerjaannya, 54% amputasi dan 16% dipertahankan harus berhenti

dari pekerjaannya (8).

Sangatlah sulit mengambil keputusan pada penderita dengan cedera

tungkai yang berat, apakah tungkainya harus diamputasi sejak awal atau berusaha

dipertahankan. Keputusan ini sangat dipengaruhi perasaan, baik keluarga maupun

dokter bedahnya. Adalah wajar, dokter bedah, begitu pula penderita dan

Page 17: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

17

keluarganya berharap untuk menyelamatkan tungkainya bila memungkinkan.

Namun harus disadari pula, penderita yang tungkainya dipertahankan harus

melalui lebih banyak prosedur operasi yang rumit, lebih lama tinggal di rumah

sakit dan menderita lebih banyak komplikasi. Komplikasi ini bisa demikian berat

dan persistennya sehingga penderita harus dilakukan sekunder amputasi. Hal ini

tentu sangat mengecewakan baik bagi dokter bedah maupun penderita.

Meskipun tehnik pembedahan rekonstruksi semakin maju, tetap ada

tempat tersendiri untuk amputasi sejak awal pada kasus-kasus tertentu. Beberapa

sistem penghitungan telah dikembangkan untuk membantu dokter bedah

mengambil keputusan, sehingga mencegah penundaan atau sekunder amputasi.

Parameter umum dan lokal seperti yang dijelaskan di depan menjadi dasar

pertimbangan lainnya karena banyak laporan meragukan keberhasilan sistem

penghitungan yang ada.

Page 18: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

18

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1. Kerangka Konseptual

MESI PSI HFS LSI MESS

NISSSA

Prediksi

Amputasi Pertahankan Tungkai

Konsekuensi

Jangka Pendek :

1. Jumlah dan kompleksnya

operasi. 2. Lamanya rawat inap.

3. Komplikasi.

Jangka Panjang :

1. Impairment, disability,

handicap. 2. Pekerjaan dan sosial.

3. Kualitas hidup.

Open Fraktur tibia derajat III (Gustillo-Anderson)

Page 19: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

19

3.2. Hipotesis Penelitian

Mangled Extremity Severity Score memiliki sensitivitas, spesifisitas, NPV

dan PPV yang lebih tinggi dibandingkan sistem penghitungan yang lain dalam

memprediksi ketepatan pengambilan keputusan amputasi sejak awal ataukah

mempertahankan tungkai yang cedera.

Page 20: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

20

OF

tibia

grd III

MESS

Amputasi

Salvage

Evaluation

MESS

MESI

PSI

HFS

LSI

NISSSA

Sensitivitas

Spesifisitas

PPV

NPV

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian adalah studi retrospektif terhadap penderita fraktur

terbuka derajat III menurut Gustillo-Anderson dengan melakukan evaluasi

terhadap sistem penghitungan yang digunakan terhadap penderita dalam

mengambil keputusan amputasi atau tidak. Evaluasi ditekankan pada sensitivitas,

spesifisitas, PPV dan NPV sistem yang digunakan, serta membandingkannya

dengan sistem penghitungan yang lain.

MESS

MESI

PSI

HFS

LSI

NISSSA

Page 21: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

21

4.2. Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Tehnik Pengambilan Sampel

4.2.1. Populasi penderita adalah pasien yang datang ke IRD RSUD Dr. Soetomo

dengan fraktur terbuka tibia derajat III menurut Gustillo-Anderson dari

tanggal 1 Januari 2004 sampai dengan 31 Desember 2001.

4.2.2. Sampel penderita yang dipilih adalah dengan catatan medik yang memiliki

keterangan lengkap sebagai informasi untuk dinilai dengan ke enam sistem

penghitungan.

4.2.3. Jumlah sampel adalah sesuai jumlah penderita yang memiliki informasi

lengkap dalam catatan mediknya untuk penilaian masing-masing variabel

tiap sistem penilaian.

4.2.4. Tehnik pengambilan sampel adalah dari data kunjungan IRD RSUD Dr.

Soetomo dilanjutkan dengan penelusuran catatan medik serta semua

informasi di dalamnya yang dibutuhkan untuk penilaian dalam sistem

penghitungan.

4.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel

4.3.1. Variabel penelitian

4.3.1.1.Variabel bebas

Sistem penghitungan untuk memprediksi pengambilan keputusan terhadap

tungkai yang cedera adalah Mangled Extremity Syndrome Index (MESI),

Predictive Salvage Index (PSI), Hannofer Fracture Scale (HFS), Limb Salvage

Page 22: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

22

Index (LSI), Mangled Extremity Severity Score (MESS) dan Nerve Injury,

Ischemia, Soft-Tissue Injury, Skeletal Injury, Shock, Age (NISSSA).

4.3.1.2.Variabel tergantung

Keenam sistem penghitung ini akan dievaluasi melalui sensitivitasnya,

spesifisitas, positive predictive value (PPV) dan negative predictive value (NPV).

4.3.2. Definisi operasional variabel

4.3.2.1. Penderita fraktur terbuka grade III adalah pasien yang datang ke IRD

RSUD Dr. Soetomo dengan fraktur tibia derajat III menurut Gustillo-

Anderson dari tanggal 1 Januari 2004 sampai dengan 31 Desember 2001.

4.3.2.2. Mangled Extremity Syndrome Index (MESI)

4.3.2.3. Predictive Salvage Index (PSI)

4.3.2.4. Hannofer Fracture Scale (HFS)

4.3.2.5. Limb Salvage Index (LSI)

4.3.2.6. Mangled Extremity Severity Score (MESS)

4.3.2.7. Nerve Injury, Ischemia, Soft-Tissue Injury, Skeletal Injury, Shock, Age

(NISSSA)

4.3.2.8. Primary amputation : apabila dikerjakan dalam 24 jam setelah trauma.

Page 23: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

23

4.3.2.9. Secondary amputation : apabila dikerjakan dalam 6 bulan setelah

trauma dan setelah dikerjakan suatu penanganan tertentu (stabilisasi

fraktur, revaskularisasi, penutupan luka).

4.3.2.10. Mempertahankan tungkai : limb salvage, dikatakan bila tungkai yang

cedera berhasil dipertahankan atau masih dalam usaha rekonstruksi

dalam 6 bulan setelah trauma.

4.3.2.11. Sensitivitas : adalah besarnya kemungkinan tungkai cedera yang perlu

diamputasi akan memiliki nilai pada atau di atas ambang batas dari

sistem penghitungan. Angka probabilitas ini diperoleh dengan jumlah

tungkai yang diamputasi dengan nilai pada atau diatas ambang batas

dibagi jumlah total tungkai yang diamputasi dalam jangka waktu 6 bulan

setelah trauma.

4.3.2.12. Spesifisitas : adalah kemungkinan tungkai yang dipertahankan akan

memiliki nilai di bawah nilai ambang, diperoleh dari jumlah tungkai

yang dipertahankan dengan nilai di bawah ambang batas dibagi jumlah

tungkai yang dipertahankan selama 6 bulan setelah trauma.

4.3.2.13. PPV : adalah insiden terjadinya amputasi dari yang diprediksikan

sebelumnya, diperoleh dengan membagi jumlah tungkai yang diamputasi

dengan jumlah total yang diprediksikan sebelumnya.

4.3.2.14. NPV : adalah insiden tungkai yang berhasil dipertahankan 6 bulan

setelah trauma dari yang diprediksikan sebelumnya, diperoleh dengan

Page 24: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

24

membagi jumlah tungkai yang berhasil dipertahankan dengan jumlah

total yang diprediksikan sebelumnya.

4.4. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah catatan medik penderita fraktur terbuka tibia

derajat III yang datang ke IRD RSUD Dr. Soetomo dari tanggal 1 Januari 2004

sampai dengan 31 Desember 2004.

4.5. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di RSUD Dr. Soetomo dari bulan Mei-Juni 2005.

4.6. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

Penderita ditelusuri melalui daftar kunjungan di IRD RSUD Dr. Soetomo.

Data-data dari catatan medik penderita dikumpulkan dalam kuesioner.

4.7. Cara Analisa Data

Dari data-data pada catatan medik penderita, MESI, PSI, HFS, LSI, MESS

dan NISSSA dikalkulasi. Kemudian hasilnya dinilai melalui sensitivitas,

spesifisitas, PPV serta NPV-nya. Student t-test dengan p < 0,05 digunakan untuk

membandingkan antar kelompok.

Page 25: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

25

BAB V

PASIEN DAN METODA

Selama periode 1 Januari 2004 sampai 31 Desember 2004, sebanyak 134

penderita fraktur terbuka tulang tibia derajat III Gustilo-Anderson ditangani di

IRD RSU Dr.Soetomo. Pilihan penanganan (amputasi sejak awal ataukah

mencoba mempertahankan) terhadap tungkai yang cedera berdasarkan hasil

penghitungan Mangled Extremity Severity Score terhadap keadaan penderita saat

tiba serta penilaian klinis (clinical impressions) dan beberapa pertimbangan lain

(seperti penolakan penderita dan keluarga terhadap rencana tindakan dokter).

Sebanyak 63 penderita tidak memiliki catatan klinis yang lengkap untuk

memberikan informasi yang cukup untuk dilakukan penghitungan kedalam

beberapa sistem prediksi amputasi yang dievaluasi, dan 13 penderita kesalahan

diagnosis sehingga harus dikeluarkan dari kelompok penelitian (sample). Pada

akhirnya, terdapat sebanyak 58 penderita yang dimasukkan sebagai sample

penelitian.

Kelompok penelitian ini terdiri dari 53 laki-laki (91,4%) dan 5 wanita

(8,6%), dengan usia rata-rata 35,8 tahun (usia antara 12 tahun sampai 60 tahun).

17 (29%) fraktur diklasifikasikan sebagai Gustillo derajat IIIA, 27 (47%) sebagai

derajat IIIB dan 14 (24%) kasus disertai cedera pembuluh arteri sehingga

diklasifikasikan sebagai fraktur terbuka derajat IIIC.

Page 26: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

26

Sebanyak 46 (79,3%) penderita, tungkainya dipertahankan, sedang 12

(20,7%) penderita dilakukan amputasi sejak awal.

Page 27: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

27

BAB VI

ANALISIS HASIL PENELITIAN

Tabel 1 menggambarkan nilai rata-rata sistem penghitungan prediksi yang

dievaluasi terhadap penderita yang menerima amputasi sejak awal, amputasi

sekunder serta yang tungkainya berhasil dipertahankan. Nilai ambang untuk

anjuran pilihan tindakan amputasi yang dianjurkan pada masing-masing sistem

penghitungan digunakan dalam evaluasi ini.

Tabel 1. Rata-rata nilai sistem penghitungan

MESI PSI HFS LSI MESS NISSA

Range 3-73 4-11 5-22 2-12 2-10 2-13

Threshold 20 8 15 6 7 9

Success attempt at salv 13,7 7,1 12,6 4,9 4,2 4,3

Early amputation 10 10 18,5 9 8 11

Secondary amputation 9 7,5 19 7 10 11

Gambar 1-6 menunjukkan frekuensi amputasi dan mempertahankan tungkai

yang dialami penderita dan yang diprediksikan melalui ke-enam sistem

penghitungan. Penderita yang mengalami amputasi (sejak awal maupun sekunder)

Page 28: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

28

sebanyak 12 orang dan yang berhasil dipertahankan tungkainya sebanyak 46

orang.

Figure 1. Analisa dengan MESI Figure 2. Analisa dengan PSI

Figure 3. Analisa dengan HFS Figure 4. Analisa dengan LSI

Figure 5. Analisa dengan MESS Figure 6. Analisa dengan NISSA

Observed

Amp Salv

Amp

Predicted

Salv

6 8

6 38

14

44

12 46 58

Observed

Amp Salv

Amp

Predicted

Salv

7 24

5 22

31

27

12 46 58

Observed

Amp Salv

Amp

Predicted

Salv

9 18

3 28

27

31

12 46 58

Observed

Amp Salv

Amp

Predicted

Salv

8 14

4 32

22

36

12 46 58

Observed

Amp Salv

Amp

Predicted

Salv

7 8

5 38

15

43

12 46 58

Observed

Amp Salv

Amp

Predicted

Salv

8 7

4 39

15

43

12 46 58

Page 29: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

29

Tabel 2 menunjukkan sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value,

dan negative predictive value untuk setiap sistem penghitungan. Nilai sensitivitas

berkisar dari 50% (MESI) sampai 75% (HFS), spesifisitas berkisar dari 61%

(HFS) sampai 85% (NISSA). Positive predictive value berkisar antara 23% (PSI)

dan 53% (NISSA) dan negative predictive value berkisar antara 81% (PSI) dan

91% (NISSA).

Tabel 2. Validasi masing-masing sistem penghitungan

Score System Sensitivity Specificity PPV NPV

MESI 0,50 (6/12) 0,83 (38/46) 0,43 (6/14) 0,86 (38/44)

PSI 0,58 (7/12) 0,48 (22/46) 0,23(7/31) 0,81 (22/27)

HFS 0,75 (9/12) 0,61 (28/46) 0,33 (9/27) 0,90 (28/31)

LSI 0,67 (8/12) 0,69 (32/46) 0,36 (8/22) 0,89 (32/36)

MESS 0,58 (7/12) 0,83 (38/46) 0,47 (7/15) 0,88 (38/43)

NISSA 0,67 (8/12) 0,85 (39/46) 0,53 (8/15) 0,91 (39/43)

Page 30: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

30

BAB VII

PEMBAHASAN

Tungkai bawah yang mengalami cedera berat merupakan tantangan dalam

penanganan bedah. Banyak kontroversi muncul mengenai criteria apa yang dapat

dijadikan standar untuk memutuskan suatu tindakan amputasi pada tungkai yang

cedera. Banyak sistem penghitungan dirancang untuk menilai secara obyektif

beratnya tungkai yang cedera untuk membantu dokter bedah dalam memprediksi

kemungkinan menyelamatkan tungkai yang cedera atau harus segera diputuskan

untuk melakukan amputasi.

Idealnya, sistem penghitungan untuk memprediksi ini harus 100% sensitive

dan 100% spesifik. Sensitivitas yang tinggi sangat penting untuk mencegah

terjadinya penundaan amputasi pada tungkai yang jelas-jelas tidak dapat

dipertahankan lagi. Spesifisitas yang tinggi penting untuk menghindarkan

banyaknya jumlah tungkai yang dapat dipertahankan akan memiliki nilai diatas

batas ambang amputasi.

Studi ini berusaha melakukan evaluasi terhadap sistem penghitungan yang

paling banyak digunakan yaitu Mangled Extremity Syndrome Index (MESI),

Predictive Salvage Index (PSI), Hannover Fracture Scale (HFS), Limb Salvage

Index (LSI), Mangled Extremity Severity Score (MESS) dan Nerve Injury,

Ischemia, Soft-Tissue Injury, Skeletal Injury, Shock, Age (NISSSA).

Page 31: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

31

Mangled Extremity Severity Index (MESI)

Sistem ini menekankan pada derajat cedera tungkai bawah (jaringan lunak,

saraf, pembuluh darah, dan tulang), Injury Severity Score, berat dan lamanya

iskemia, usia, penyakit penyerta dan syok, dengan nilai 20 menjadi garis batas

yang membagi kemungkinan penyelamatan tungkai dan indikasi amputasi.

Banyak studi melaporkan bahwa MESI merupakan sistem penghitungan

yang sangat komplek, mencakup banyak komponen penting dalam proses

penentuan keputusan, namun akhirnya tidak terlalu berhasil dalam memprediksi

resiko amputasi dan tidak praktis.

Dalam studi ini, MESI hanya memiliki sensitivitas sebesar 50%, spesifisitas

83%, PPV 43% dan NPV 86%. Jadi dengan sistem MESI ini hanya 50% penderita

yang seharusnya diamputasi memiliki kemungkinan nilai diatas ambang batas,

dan 83% penderita yang berhasil dipertahankan tungkainya akan memiliki nilai

dibawahnya. Insiden terjadinya amputasi seperti yang diprediksikan pun hanya

43%, sedang berhasilnya penyelamatan tungkai seperti yang diperkirakan sebesar

83%.

Dalam studi ini ditemukan beberapa kesulitan dalam penggunaan MESI,

diantaranya pada komponen deskripsi fraktur tidak terdapat spesifikasi fraktur

kominutif tanpa segmental, karena gambaran fraktur seperti ini akan disertai

kerusakan jaringan lunak yang berat. Pada kasus-kasus yang terlambat

(neglected), akan sangat besar karena satu point diberikan setiap jamnya bila

penanganan diberikan diatas 6 jam, sehingga waktu memberikan kontribusi sangat

besar dibandingkan komponen lain.

Page 32: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

32

Pada sistem ini, komponen syok pun tidak dideskripsikan derajatnya apakah

transient atau prolonged.

Predictive Salvage Index (PSI)

Dalam studi ini, PSI memberikan sensitivitas sebesar 58%, spesifisitas 48%,

PPV 23% dan NPV 81%. Dalam sistem ini tidak terdapat batasan yang jelas pada

derajat beratnya cedera jaringan lunak dan tulang, dimana hanya dideskripsikan

sebagai mild, moderate dan severe. Tentunya hal ini akan menimbulkan

perbedaan interpretasi pada dokter yang berbeda.

Hannover Fracture Scale (HFS)

Banyak laporan menilai HFS sulit digunakan karena banyaknya jumlah

parameter dan jaringan lunak harus dinilai sedetail mungkin. Dalam studi ini,

komponen kontaminasi bakteri sulit dinilai, karena pemeriksaan terhadap bakteri

memerlukan waktu untuk dinilai. Pada kasus multifraktur pun terjadi kesulitan

memilih derajat fraktur mana yang akan digunakan.

Studi ini mendapatkan sensitivitas HFS sebesar 75%, spesifisitas 61%, PPV

hanya 33%, dan NPV 90%.

Limb Salvage Index (LSI)

Sistem ini berdasarkan tujuh criteria : arteri, saraf, tulang, kulit, otot, cedera

vena dalam dan waktu iskemia. Sistem ini tidak menyertakan komponen penting

lain seperti usia penderita dan cedera lain yang menyertai. Banyak yang tidak

menganjurkan sistem ini untuk menilai cedera yang akut. Studi ini mendapatkan

kesulitan menilai gambaran cedera struktur dalam sebelum dilakukan eksplorasi.

Page 33: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

33

Dalam studi ini didapatkan sensitivitas sebesar 67%, spesifisitas 69%, PPV 36%

dan NPV 89%.

Mangled Extremity Severity Score (MESS)

Sistem ini paling banyak digunakan karena memiliki variabel yang tidak

terlalu banyak, tidak memerlukan operasi besar untuk evaluasi, dan tampak

mudah digunakan. Dari studi ini didapatkan sensitivitas sebesar 58%, spesifisitas

83%, PPV 47% dan NPV 88%.

Nerve Injury, Ischemia, Soft-Tissue Injury, Skeletal Injury, Shock, Age

(NISSSA)

Sistem ini merupakan modifikasi dari MESS denganb harapan dapat

meningkatkan sensitivitas dan spesifisitasnya dalam memprediksi amputasi,

Namun dalam studi ini hanya didapatkan sedikit peningkatan, dimana sensitivitas

sebesar 67%, spesifisitas 85%, PPV 53%, NPV 91%.

Page 34: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

34

BAB VIII

KESIMPULAN

Studi ini tidak berhasil menunjukkan kegunaan ke enam sistem

penghitungan karena hanya menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang rendah

dalam membedakan tungkai cedera yang memerlukan amputasi segera dan yang

memungkinkan untuk dipertahankan.

Walau HFS memiliki sensitivitas tertinggi (75%) namun spesifisitasnya

sangat rendah (61%), NISSA memiliki spesifisitas tertinggi (85%) namun

sensitivitasnya hanya 67%. Di samping itu beberapa sistem penghitungan telah

salah memprediksikan, dimana beberapa penderita yang berhasil dipertahankan

tungkainya telah diprediksikan untuk diamputasi dan sebaliknya.

Untuk itu, sistem-sistem penghitungan ini memiliki nilai klinis yang harus

ditingkatkan lagi dengan berbagai pertimbangan factor-faktor lain seperti yang

dijabarkan didepan.

Page 35: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

35

DAFTAR PUSTAKA

1. Adams CI., et. al. Cigarette Smoking and Open Tibial Fractures. Injury

2001; 32 : 61-5

2. Bondurant FJ., et.al. The Medical and Economis Impact of Severely Injured

Lower Extremities. Journal of Trauma 1988; 28: 1270-3

3. Bosse, Michael J., et.al. A Prospective Evaluation of The Clinical Utility of

The Lower-Extremity Injury-Severity Score. Journal Bone & Joint

Surgery (Am). 2001; 83-A: 3-14

4. Fairhurst MJ. The Function of Below-Knee Amputee Versus The Patient with

Salvage Grade III Tibial Fracture. Clinical Orthopaedic 1994; 301:

227-32

5. Gaston P., et.al. Fractures of The Tibia : Can Their Outcome be Predicted ?.

Journal Bone & Joint Surgery (Br). 1999; 81: 71-6

6. Georgiadis GM., et.al. Open Tibial Fractures with Severe Soft-Tissue Loss.

Journal Bone & Joint Surgery (Am). 1993; 75: 1431-41

7. Gregory RT., et.al. The Mangled Extremity Syndrome Index : A Severity

Grading System for Multisystem Injury of The Extremity. Journal of

Trauma. 1985; 25: 1147-50

8. Herthel R., et.al. Amputation Versus Reconstruction in Traumatic Defects of

The Legs Outcome and Costs. Journal of Orthopaedic Trauma. 1996;

10: 223-9

9. Hoogendoorn, Jochem M., Chris van der Werken. The Mangled Leg

Decision-Making Based on Scoring Systems and Outcome. European

Journal of Trauma. 2002; 28: 1-10

10. Howe HR., et.al. Salvage of Lower Extremities Following Combined

Orthopaedic and Vascular Trauma. A Predictive Salvage Index.

American Surgery 187; 53:205-8

Page 36: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

36

11. Jones AI., et.al. The Insensate Foot : An Indication for Amputation?

Presented at OTA Meeting San Antonio, Texas, USA October 12,

2000

12. Kemp AG., et.al. Impairment Scores of Type III Open Tibial Fractures.

Injury 1993; 24: 161-2

13. Lange RH. Limb Reconstruction Versus Amputation Decision Making in

Massive Lower Extremity Trauma. Clinical Orthopaedic 1989; 243:

92-9

14. Mc. Namara MG., et.al. Severe Open Fractures of The Lower Extremity : A

Retrospective Evaluation of The Mangled Extremity Severity Score

(MESS). Journal of Orthopaedic Trauma 1994; 8: 81-7

15. Nicoll EA. Fractures of The Tibial Shaft : A Survey of 705 Cases. Journal

Bone & Joint Surgery (Br). 1964; 46: 373-87

16. Russel WL., et.al. Limb Salvage Versus Traumatic Amputation : A Decision

Based on A Seven Part Predictive Index. Annual Surgery 1991; 213:

473-80

17. Sudkamp N., et.al. Criteria for Amputation, Reconstruction and

Replantation of Extremities in Multiple Trauma Patient. Chirurgy

1989; 60: 774-81

Page 37: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

37

Name : __________________________ M / F Age :

_______________

Address :

_________________________________________________________

Date : __________________________ CM :

_______________

MOI :

_________________________________________________________

ToAcc : _______________ ToAdd : _______________ ToOprt :

_______________

Diagnosis : 1. __________________________

2. __________________________

3. __________________________

4. __________________________

5. __________________________

Predictive Scoring System : Mangled Extremity Syndrome Index (MESI)

Type Characteristic Points

Injury

Severity Score

0 - 25 1

25 - 50 2

> 50 3

Integument Guillotine 1

Crush / bum 2

Avulsion / degloving 3

DATA COLLECTION FORM

TYPE III OPEN TIBIAL FRACTURE

Page 38: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

38

Nerve Contusion 1

Transection 2

Avulsion 3

Vascular Artery

transected 1

thrombosed 2

avulsed 3

Vein 1

Type Characteristic Points

Bone Simple fract * 1

Segmental fract 2

Segmental-comminuted fract 3

Segmental-comminuted fract with bone loss < 6 cm* 4

Segmental fract intra-extraarticular 5

Segmental fract intra-extraarticular with bone loss < 6 cm* 6

Lag time (1 point for every hr > 6)

Age 40 – 50 years 1

50 – 60 years 2

60 – 70 years 3

Pre-existing disease 1

Shock 2

* Bone loss greater than 6 cm, add 1

Total Score

Page 39: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

39

Predictive Salvage Index (PSI)

Type Characteristic Points

Level of arterial injury

Suprapopliteal 1

Popliteal 2

Infrapopliteal 3

Skeletal Injury

Mild 1

Moderate 2

Severe 3

Soft-tissue injury

Mild 1

Moderate 2

Severe 3

Timespan between accident and

arrival at OR

< 6 h 0

6 – 12 h 2

> 12 h 4

Total Score

Page 40: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

40

Hannover Fracture Scale (HFS)

Type Points Type Points

A. Fracture C. Artery

AO type A 1 Normal 0

AO type B 2 Incomplete ischemia (cap refill+) 1

AO type C 4 Complete ischemia

Bone loss < 4 h 2

< 2 cm 1 4 – 8 h 3

> 2 cm 2 > 8 h 4

B. Soft tissue D. Nerve

Skin (laceration, contusion) Palmar-plantar sensibility

None 0 Yes 0

< ¼ circumference 1 No 1

¼ - ½ circumference 2 Finger-toe motor activity

½ - ¾ circumference 3 Yes 0

> ¾ circumference 4 No 1

Soft-tissue lose E. Contamination

None 0 Foreign body

< ¼ circumference 1 None 0

¼ - ½ circumference 2 Little 1

½ - ¾ circumference 3 Massive 2

> ¾ circumference 4 Bacterial contamination

Deep soft tissues (muscle,tendon, None 0

ligament); contusion or defect Aerobe, 1 species 2

None 0 > 1 species 3

< ¼ circumference 1 Anaerobe 2

¼ - ½ circumference 2 Aerobe-anaerobe 4

½ - ¾ circumference 3 F. Associated injuries

> ¾ circumference 4 Monotrauma, PTS 1 0

Amputation PTS 2 1

None 0 PTS 3 2

Subtotal guillotine 1 PTS 4 4

Subtotal crush 2 G. Start of operation (tissue score > 2)

Total guillotine 3

Total crush 4 6 – 12 h 1

> 12 h 3

Total Score

Page 41: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

41

Limb Salvage Index (LSI)

Location Extent of Injury Points

Artery

Contusion, intimal tear, partial laceration or avulsion

(pseudoaneurysm) with no distal thrombosis and palpable

pedal pulses; complete occlusion of one of three shank vessels or profunda

0

Occlusion of two or more shank vessels, complete

laceration, avulsion or thrombosis of femoral or politeal vessels without palpable pedal pulse

1

Complete occlusion of femoral, popliteal, or three of three shank vessels with no distal runoff available

2

Nerve

Contusion or stretch injury, minimal clean laceration of

femoral, peroneal, or tibial nerve 0

Partial transection or avulsion of sciatic nerve, complete or partial transection of femoral, peroneal, or tibial nerve

1

Complete transection or avulsion of sciatic nerve, complete transection or avulsion of both peroneal and tibial nerve

2

Bone

Closed fracture one or two sites; open fracture without

comminution or with minimal displacement; closed dislocation without fracture, open joint without foreign

body, fibula fracture

0

Closed fracture at three or more sites on same extremity; open fracture with comminution or moderate to large

displacement; segmental fracture; fracture dislocation; open joint with foreign body, bone loss < 3 cm

1

Bone loss > 3 cm; type IIIB or IIIC fracture 2

Skin

Clean laceration, single or multiple, or small avulsion injuries, all with primary repair; first degree burn

0

Delayed closure due to contamination; large avulsion

requiring SSG or flap closure; second and third degree burn 1

Muscle

Laceration or avulsion involving a single compartment or

single tendon 0

Laceration or avulsion involving two or more compartment; complete laceration or avulsion of two or more tendon

1

Crush injury 2

Deep vein

Contusion, partial laceration, or avulsion; complete laceration or avulsion if alternate route of venous return is

intact; superficial vein injury

0

Complete laceration, avulsion, or thrombosis with no alternate route of venous return

1

Warm

ischemia time

< 6 hours 0

6 – 9 hours 1

9 – 12 hours 2

12 – 15 hours 3

> 15 hours 4

Total Score

Page 42: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

42

Mangled Extremity Severity Score (MESS)

Type Characteristic Injuries Points

Skeletal/soft-

tissue Low energy

Stab wounds, simple closed fracture,

small-caliber gunshot wounds 1

Medium energy Open or multiple-level fractures,

dislocations, moderate crush injuries 2

High energy Shotgun blast (close range), high velocity gunshot wounds

3

Massive crush Logging, railroad, oil rig accident 4

Shock Normotensive hemo dynamics

BP stable in field and OR 0

Transiently hypotensive

BP unstable in field, but responsive to intravenous fluid

1

Prolonged hypotension

Systolic BP less than 90 mmHg in field

and responsive to intravenous fluids only in OR

2

Ischemia None Apulsatile limb without sign of ischemia 0

Mild Diminished pulses without sign of ischemia

1*

Moderate

No pulse by Doppler, sluggish capillary

refill, paresthesia, diminished motor activity

2*

Advanced Pulseless, cool, paralysed, and nymb

without capillary refill 3*

Age < 30 years 0

30 – 50 years 1

> 50 years 2

* Points x2 ischemic time exceeds 6h; BP = Blood Presure; OR = Operating Room

Total Score

Page 43: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

43

Nerve injury, Ischemia, Soft-tissue injury, Skeletal injury, Shock,

Age (NISSSA)

Type Characteristic Description Points

Nerve injury Sensitive No injury of important nerves 0

Dorsal Deep or superficial peroneal or femoral nerve injury

1

Plantar, partial Tibial nerve injury 2

Plantar, complete Sciatic nerve injury 3

Ischemia None

A pulsatile limb without signs of ischemia

0

Mild Diminished pulses without signs of

ischemia 1*

Moderate No pulse by Doppler, sluggish capillary refill, paresthesia, diminished moto

activity

2*

Advanced Pulseless, cool, paralysed and numb

without capillary refill 3*

Soft-tissue injury

Low Minimal to no soft-tissue injury, no contamination

0

Medium

Moderate soft-tissue injury, gunshot

wound (low velocity), little contamination, minimal crush

1

High

Moderate crush, open fracture, gunshot

wound (high velocity) heavy contamination

2

Massive Massive crush, soft-tissue loss, gross

contamination 3

Skeletal

injury Low energy

Spiral fracture, oblique fracture, no to

minimal dislocation 0

Medium energy Tranverse fracture, small-caliber gunshot wounds

1

High energy Wedge fracture, moderate dislocation,

gunshot wounds (high velocity) 2

Very high energy Complex fracture, bone loss 3

Shock Normotensive hemodynamic

BP stable in field and OR 0

Transiently

hypotensive

BP unstable in field, but responsive to

intravenous fluids 1

Prolonged hypotension

Systolic BP less than 90 mmHg in field

and responsive to intravenous fluids

only in OR

2

Age Young < 30 years 0

Middle 30 – 50 years 1

Old > 50 years 2

* Points x2 ischemic time exceeds 6h; BP = Blood Presure; OR = Operating Room

Total Score

Page 44: EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

44

Emergency Room Data : GCS : ____/____/_____ BP : _____/_________ P : ______ RR :

______

Resusit : Intubation : Y / N Fluid : __________ Chest tube : Y / N

Respon : ________

time : _______

Surgery :

kind of : 1. _____________________________________

2. _____________________________________

3. _____________________________________

time : __________ to _____________

Definitive Surgery : Date : _______ / ______ / 200_____

Kind of : 1. _____________________________________

2. _____________________________________

3. _____________________________________

Time : __________ to _____________

Discharge Summary Data : Date : _______ / ______ / 200_____

LOS : ____________________ days