evaluasi penggunaan obat pada pasien dispepsia menggunakan
TRANSCRIPT
Evaluasi Penggunaan Obat pada Pasien Dispepsia Menggunakan Metode ATC/DDD di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu Tahun 2016
Erni Destiarini, Azizahwati, Nanda Asyura Rizkyani
Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Jawa Barat, Indonesia.
E-mail: [email protected]
Abstrak
Tingginya angka kejadian dispepsia mempengaruhi pola penggunaan obat pada pasien dispepsia di fasilitas kesehatan, sehingga diperlukan evaluasi penggunaan obat. Penggunaan obat di fasilitas kesehatan harus mengikuti acuan yang berlaku secara nasional, yaitu Formularium Nasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan obat pada pasien dispepsia. Desain penelitian ini adalah deskriptif dengan pengambilan data secara retrospektif dari resep pasien dan menggunakan metode ATC/DDD. Sampel adalah seluruh resep pasien dispepsia di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu tahun 2016. Berdasarkan hasil analisis menunjukan bahwa 71,28% pasien dispepsia adalah perempuan, 38,90% berusia 45 sampai 60 tahun, dan 75,64% mengikuti program BPJS. Obat yang digunakan pada pasien dispepsia adalah antasida DOEN, ranitidin, simetidin, omeprazol, domperidon, dan papaverin. Kuantitas penggunaan obat dispepsia yang dinyatakan dalam DDD/1000 pasien/hari paling tinggi, yaitu ranitidin (4,35). Obat pada pasien dispepsia yang menyusun segmen DU90%, yaitu ranitidin (41,15%), omeprazol (24,22%), antasida DOEN (19,28%), dan simetidin (11,10%). Penggunaan obat pada pasien dispepsia di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu tahun 2016 sesuai dengan Formularium Nasional (87,54%). Kata Kunci: Dispepsia, ATC/DDD, DU90%, pola penggunaan obat, Puskesmas Pasar Minggu
Evaluation of Drug Utilization in Dyspepsia Patients Using ATC / DDD Method at Puskesmas Pasar Minggu 2016
Abstract
High incidence rate of dyspepsia affects the pattern of drug use of dyspepsia patients in the health facilities, it is necessary to evaluate the use of drugs. The uses of drugs in health facilities must comply with applicable national reference that the national formulary. This research aimed to evaluate the usage of drug from dyspepsia patients. The research’s design was descriptive with retrospective data collection from patient’s prescriptions by using the ATC / DDD method. The samples used in this study were all prescriptions of dyspepsia patients at Puskesmas Pasar Minggu in 2016. The results showed that 71,28% of dyspepsia patients were females, 38,90% were 45 to 60 years old and 75,64% of them followed the BPJS program. The drugs that used for dyspepsia patients were antacid DOEN, ranitidine, cimetidine, omeprazole, domperidon, and papaverine. The highest quantity of dyspepsia drug use expressed in the DDD/1000 patients per day was ranitidine (4,35). Drugs for dyspepsia patients that made up the DU90% segment were ranitidine (41,15%), omeprazole (24,22%), antacid DOEN (19,28%), and cimetidine (11,10%). The use of drugs for dyspepsia patients at Puskesmas Pasar Minggu in 2016 was appropriate according to National Formulary (87,54%). Keywords: Dyspepsia, ATC/DDD, drug utilization pattern, DU90%, Puskesmas Pasar Minggu
Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017
PENDAHULUAN
Dispepsia merupakan sindrom seperti nyeri ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa,
rasa cepat kenyang atau rasa penuh pada perut (Rani, Simadibrata dan Syam, 2011). Kejadian
dispepsia di dunia mencapai 13-40% dari total populasi setiap tahunnya (Wijayanti dan Nuraeni,
2014). Dispepsia merupakan sepuluh besar penyakit terbanyak pada pasien rawat inap maupun
rawat jalan di Indonesia (Putri, Ernalia dan Bebasari, 2015). Angka kejadian dispepsia khususnya
di Jakarta cukup tinggi, yaitu mencapai 60% (Wika, 2013).
Penggunaan obat pada pasien dispepsia terus meningkat seiring dengan tingginya angka
kejadian, sehingga diperlukan evaluasi penggunaan obat. WHO merekomendasikan metode
evaluasi penggunaan obat berdasarkan sistem klasifikasi Anatomical Therapeutical Chemical
(ATC) dan Define Daily Dose (DDD). Sistem klasifikasi ATC obat dibagi menjadi beberapa
kelompok, yaitu sesuai dengan organ atau sistem obat bekerja, farmakologi dan sifat kimia.
Evaluasi DDD merupakan evaluasi penggunaan obat secara kuantitatif berupa rata-rata dosis
pemeliharaan obat per hari yang digunakan pada orang dewasa (WHO, 2017). Nilai DDD akan
dihubungkan dengan Drug Utilization 90% (DU 90%) yang merupakan indikator kualitatif,
mencerminkan 90% jumlah obat dari obat yang diresepkan untuk menilai kualitas penggunaan
obat (WHO, 2003).
Peningkatan kualitas seperti efektivitas dan efisiensi penggunaan obat merupakan tujuan
utama dari pengaturan obat dalam Formularium Nasional. Formularium Nasional yaitu daftar
obat yang ditetapkan sebagai acuan dalam pelayanan obat di setiap tingkat pelayanan kesehatan,
baik primer, sekunder maupun tersier, khususnya dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) (Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2014).
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi penggunaan obat pada pasien dispepsia di
Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu dengan metode ATC/DDD, karena di Puskesmas tersebut
belum pernah dilakukan, demikian juga dengan kesesuaian penggunaan obat terhadap
Formularium Nasional. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi penggunaan
obat pada pasien dispepsia di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu.
Rumusan Masalah
Bagaimana evaluasi penggunaan obat pada pasien dispepsia di Puskesmas Kecamatan Pasar
Minggu tahun 2016?
Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017
Tujuan Umum Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah mengevaluasi penggunaan obat pada pasien dispepsia di
Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu pada tahun 2016.
Tujuan Khusus Penelitian
1) Memperoleh data karakteristik pasien dispepsia berdasarkan jenis kelamin, kelompok usia,
dan status pengobatan di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu tahun 2016.
2) Memperoleh data obat yang digunakan pada pasien dispepsia di Puskesmas Kecamatan
Pasar Minggu pada tahun 2016.
3) Memperoleh data kuantitas penggunaan obat pada pasien dispepsia di Puskesmas Kecamatan
Pasar Minggu pada tahun 2016 dalam satuan DDD dan DDD/1000 pasien/hari.
4) Memperoleh data penggunaan obat yang masuk ke dalam segmen DU90% di Puskesmas
Kecamatan Pasar Minggu pada tahun 2016.
5) Memperoleh persentase kesesuaian penggunaan obat pada pasien dispepsia di Puskesmas
Kecamatan Pasar Minggu pada tahun 2016 terhadap Formularium Nasional.
TINJAUAN TEORITIS
Dispepsia
Dispepsia merupakan kumpulan gejala atau sindrom nyeri ulu hati, mual, kembung,
muntah, rasa cepat kenyang atau rasa penuh pada perut dan sendawa yang sering ditemukan
dalam praktek sehari-hari. Kata dispepsia berasal dari Bahasa Yunani memiliki arti dys (bad =
buruk) dan peptein (digest = pencernaan). Jika digabungkan dispepsia memiliki arti gangguan
atau ketidakmampuan dalam mencerna (Rani, Simadibrata dan Syam, 2011).
Dispepsia digolongkan menjadi dua subklasifikasi, yaitu dispepsia organik dan dispepsia
fungsional. Dispepsia organik merupakan dispepsia ketika pemeriksaan secara klinis dan
laboratorium diidentifikasi adanya penyakit organik yang menjadi dasar penyebab gejala.
Menurut Rome III, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai adanya rasa nyeri atau rasa panas
di epigastrium, rasa penuh setelah makan atau rasa cepat kenyang tanpa adanya penyakit organik
(Oustamanolakis & Tack, 2012). Dispepsia fungsional dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
postprandial distress syndrome dan epigastric pain syndrome (Simadibrata et al., 2014).
Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017
Patofisiologi Dispepsia
Sindrom dispepsia fungsional, yaitu dapat dilihat dengan kriteria tidak adanya kelainan
organik pada saluran cerna sehingga memiliki teori bervariasi. Hipotesis dispepsia fungsional
seperti sekresi asam lambung, infeksi H. pylori, motilitas dan abnormalitas akomodasi lambung,
hipersensitivitas viseral, dan intoleransi makanan dimana menjelaskan bahwa makanan tertentu
dapat menyebabkan gejala-gejala dispepsia (Rani, Simadibrata dan Syam, 2011).
a. Sekresi Asam Lambung
Sekresi asam lambung merupakan suatu proses yang dikendalikan oleh berbagai faktor
neural (asetilkolin), parakrin (histamin) dan endokrin (gastrin) dimana memiliki reseptor spesifik
terlokalisasi di membran basolateral sel parietal, yaitu reseptor M3, H2 dan CCK2 yang
berkontribusi untuk sekresi H+ (Goodman dan Gilman, 2012).
[Sumber: Goodman dan Gilman, 2012, telah diolah kembali]
Keterangan: Skema ini menunjukkan interaksi antara sel endokrin yang mensekresikan histamin (sel ECL). Sel pensekresi asam (sel parietal), sel yang mensekresi faktor sitoprotektif (sel epitel permukaan). Jalur fisiologi ditunjukan dalam garis hitam tebal yang dapat distimulasi (+) atau diinhibisi (-). Agonis fisiologis menstimulasi reseptor transmembrane, yaitu reseptor muskarinik (M) untuk asetilkolin, kolesistokinin (CCK2) untuk reseptor gastrin, H2 merupakan reseptor histamin, dan EP3 untuk reseptor prostaglandin E2. Kerja obat ditunjukan oleh arah garis. Tanda x menunjukkan terjadinya antagonis farmakologi.
Gambar 1. Regulasi fisiologis dan farmakologis sekresi asam lambung
Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017
Pelepasan ACh dari serabut vagus dapat menstimulasi sekresi asam lambung secara
langsung melalui reseptor muskarinik dan tidak langsung melalui sel ECL yang akan melepaskan
histamin untuk sekresi asam lambung. Gastrin terdapat pada sel G antral yang pelepasannya
terjadi secara langsung ke reseptor CCK2 dan secara tidak langsung melalui sel ECL yang akan
melepaskan histamin. Pada sel parietal terdapat dua jalur persinyalan utama, yaitu jalur
bergantung AMP siklik dan jalur bergantung Ca2+, dimana kedua jalur ini mengaktivasi pompa
proton (H+, K+- ATPase) untuk menghasilkan asam.
b. Motilitas dan Abnormalitas Akomodasi Lambung
Motilitas merupakan gerakan peristaltik yang dipengaruhi oleh regulasi susunan saraf
enterik melalui berbagai neurotransmiter. Berbagai keadaan dapat mempengaruhi keadaan
motilitas ini baik hiper, hipo maupun dismotilitas. Penyebab adanya gangguan motilitas belum
jelas diketahui, bisa disebabkan oleh hormonal, stress, atau lainnya (Rani, Simadibrata dan Syam,
2011).
Akomodasi lambung dalam berbagai penelitian diduga bahwa kapasitas akomodasi
lambung pada kasus dispepsia waktu puasa adalah normal kemudian terjadi kegagalan proses
relaksasi bagian proksimal lambung (fundus) sewaktu menerima makanan. Hal inilah yang
diduga sebagai penyebab timbulnya rasa cepat kenyang. Keadaan ini juga yang menimbulkan
keadaan dimana masa pengosongan makanan cair yang normal tetapi terjadi perlambatan
pengosongan lambung untuk makanan padat (Rani, Simadibrata dan Syam, 2011).
c. Faktor psikologis
Faktor psikologis dapat berupa stress yang menyebabkan penurunan motilitas lambung
yang mendahului mual setelah stimulus stres sentral. Namun, belum ada bukti yang kuat untuk
menyatakan hubungan antara faktor psikologis dan keluhan dispepsia (Rani, Simadibrata dan
Syam, 2011).
d. Diet dan Lingkungan
Berbagai jenis makanan dilaporkan oleh pasien sebagai hal yang mencetuskan serangan
antara buah-buahan, kopi, alkohol, makanan berlemak dan lain-lain. Sulit untuk dibuktikan
bahwa faktor itu berlaku untuk setiap orang, demikian juga dengan pola makan seseorang (Rani,
Simadibrata dan Syam, 2011).
Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017
Terapi Dispepsia
Obat-obat yang digunakan pada terapi pasien dispepsia, yaitu antasida, antagonis reseptor
H2, dan inhibitor pompa proton. Terapi pengobatan diberikan secara oral, antara lain: antasida 3 x
500-1000 mg/ hari, antagonis reseptor H2 dosis 2 x sehari (ranitidin 150 mg/kali, famotidin 20
mg/kali, simetidin 400-800 mg/kali), PPI dosis 2 x sehari (omeprazol 20 mg/kali, lansoprazol 30
mg/kali) (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015).
1. Antasida
Antasida merupakan basa lemah, digunakan untuk menetralkan asam yang telah
memenuhi lambung. Contoh obat antasid seperti kombinasi alumunium hidroksida dan
magnesium hidroksida. Antasid tidak mengurangi volume HCl yang dikeluarkan lambung. Obat
ini dapat menghasilkan efek samping seperti diare akibat dari senyawa magnesium atau sembelit
akibat dari senyawa aluminium (Gunawan, 2012).
2. Antagonis Reseptor H2
Antagonis reseptor H2 merupakan senyawa yang mampu menghambat produksi HCl,
dengan cara bersaing secara reversibel dengan histamin untuk mengikat reseptor H2 pada
membran basolateral sel parietal. Contoh obatnya, yaitu simetidin, ranitidin, famotidin.
Ginekomastia pada pria dan galaktorea pada wanita dapat muncul akibat mengkonsumsi
simetidin dalam dosis tinggi dan jangka panjang. Obat golongan antagonis reseptor H2 kurang
efektif dari obat inhibitor pompa proton. Efek samping yang terjadi pada obat golongan ini
umumnya ringan meliputi sakit kepala, diare, mengantuk (Goodman dan Gilman, 2012).
3. Inhibitor Pompa Proton
Inhibitor Pompa Proton dapat menghambat sekresi asam lambung lebih kuat dari
antagonis reseptor H2. Obat ini bekerja menghambat langkah terakhir dalam produksi asam
lambung. Contoh obat yang digunakan, yaitu omeprazol, dan lansoprazol (Gunawan, 2012). Obat
penghambat pompa proton sebaiknya diberikan dalam sediaan salut enterik untuk mencegah
degradasi zat tersebut dalam suasana asam. Inhibitor pompa proton merupakan “prodrug” yang
memerlukan aktivasi dilingkungan asam. Senyawa ini memasuki sel parietal melalui darah dan
berakumulasi dalam kanalikuli sel parietal sehingga terjadi aktivasi senyawa menghasilkan
pembentukan asam sulfenat. Bentuk teraktivasi ini kemudian bereaksi melalui pembentukan
Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017
ikatan kovalen dengan gugus sulfhidril di bagian pompa proton, sehingga dapat menghambat
produksi asam (Goodman dan Gilman, 2012).
4. Analog Prostaglandin
Misoprostol merupakan suatu analog prostaglandin yang memiliki efek menghambat
sekresi HCl dengan cara berikatan dengan reseptor EP3 pada sel parietal dan bersifat sitoprotektif
untuk mencegah tukak saluran cerna yang diinduksi obat AINS (Gunawan, 2012). Misoprostol
dikontraindikasikan selama kehamilan, karena dapat menyebabkan keguguran akibat terjadinya
peningkatan kontraktilitas uterus. Misoprostol merupakan obat analog prostaglandin yang
disetujui FDA untuk pencegahan luka mukosa akibat obat-obat AINS (Goodman dan Gilman,
2012).
5. Sukralfat
Kondisi kerusakan mukosa lambung disebabkan oleh asam dan hidrolisis protein mukosa
yang diperantarai oleh pepsin. Proses ini dapat dihambat oleh polisakarida bersulfat. Sukralfat
terdiri dari sukrosa oktasulfat yang telah ditambahkan alumunium hidroksida. Dalam lingkungan
asam, senyawa ini menghasilkan gel yang kental dan lengket dan melekat kuat pada sel-sel epitel.
Sukralfat digunakan pada saat kondisi lambung kosong satu jam sebelum makan. Efek samping
yang sering dilaporkan adalah konstipasi (Goodman dan Gilman, 2012).
6. Antiemetik
Proses mual dan muntah dikoordinasi oleh pusat mutah di CTZ (chemotriggerzone) pada
batang otak dan NTZ (Nucleus Tractus Solitarius) saraf vagus. CTZ merupakan pusat muntah
yang memiliki banyak reseptor serotonin (5-HT3), dopamine (D2), dan opioid, sedangkan NTS
memiliki reseptor histamin, kolinergik dan mengandung reseptor 5-HT3. Ondansetron merupakan
obat golongan antagonis reseptor 5-HT3 yang paling banyak digunakan untuk mengatasi emesis
yang diinduksi oleh kemoterapi dan mengobati mual akibat dari penyinaran abdomen bagian atas.
Obat yang memiliki mekanisme kerja antagonis reseptor D2 di CTZ sebagai efek antimual yaitu
domperidon. Antagonis reseptor histamin (H1) bermanfaat untuk mabuk perjalanan, yaitu seperti
difenhidramin (Goodman dan Gilman, 2012).
Evaluasi Penggunaan Obat
Evaluasi penggunaan obat (EPO) merupakan proses jaminan mutu yang dilaksanakan
secara terus menerus dan terstruktur, ditunjukan untuk menjamin penggunaan obat yang tepat,
Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017
aman dan efektif. Evaluasi penggunaan obat juga merupakan salah satu teknik pengelolaan sistem
formularium di rumah sakit maupun di puskesmas. Program evaluasi penggunaan obat terdiri dari
evaluasi secara kuantitatif maupun kualitatif. Tujuan dari program evaluasi penggunaan obat,
yaitu mengetahui pola penggunaan obat di puskesmas serta menilai ketepatan atau ketidaktepatan
penggunaan obat tertentu (Siregar, 2003).
Formularium Nasional
Formularium Nasional merupakan daftar obat terpilih yang dibutuhkan dan harus tersedia
di fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Obat yang masuk dalam daftar obat Fornas adalah obat yang paling berkhasiat, aman, dan dengan
harga terjangkau yang disediakan serta digunakan sebagai acuan untuk penulisan resep dalam
sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) (Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, 2014).
Sistem Klasifikasi ATC
Sistem ATC merupakan sistem yang digunakan pada penelitian penggunaan obat dalam
rangka meningkatkan kualitas penggunaan obat melalui data statistik untuk perbandingan secara
internasional. Pada sistem klasifikasi Anatomical Therapeutic Chemical (ATC) dibagi menjadi
kelompok-kelompok yang berbeda sesuai dengan organ atau sistem di tempat kerjanya dan terapi
obat, farmakologi dan sifat kimia. Obat diklasifikasikan dalam lima tingkat kelompok yang
berbeda. Obat dibagi menjadi 14 kelompok utama (tingkat 1), selanjutnya subkelompok
farmakologi/terapi (tingkat 2). Tingkat 3 dan 4 adalah subkelompok kimia/farmakologis/terapi
dan tingkat 5 adalah zat kimia. Contoh klasifikasi lengkap klasifikasi ATC untuk
menggambarkan struktur kode pada obat ranitidin (WHO, 2017):
A : Saluran pencernaan dan metabolisme
(Tingkat 1, kelompok utama anatomi)
A02 : Obat yang digunakan untuk gangguan asam
(Tingkat 2, subkelompok terapi)
A02B : Obat untuk penyakit ulkus peptikum dan GERD
(Tingkat 3, subkelompok farmakologi)
A02BA : Antagonis Reseptor H2
(Tingkat 4, subkelompok kimia)
Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017
A02BA02 : Ranitidin
(Tingkat 5, zat kimia)
Pada sistem klasifikasi produk obat memiliki prinsip umum, yaitu dikelompokkan
berdasarkan fungsi terapeutik utama dari senyawa aktif, dengan prinsip bentuk farmasi yang
berbeda untuk penggunaan terapi yang berbeda akan memiliki kode ATC yang berbeda. Sediaan
farmasi dengan komposisi yang sama dan memiliki kekuatan yang berbeda tetap memiliki kode
ATC sama (WHO, 2017).
Sistem Klasifikasi Defined Daily Dose (DDD)
Defined Daily Dose (DDD) dapat diasumsikan yaitu rata-rata dosis pemeliharaan per hari
untuk obat yang digunakan terutama diindikasikan pada orang dewasa. Dosis harian yang
ditetapkan adalah satuan pengukuran dan tidak selalu mencerminkan sebagai dosis harian yang
direkomendasikan atau ditetapkan. DDD hanya ditetapkan untuk obat yang memiliki kode ATC
dan DDD biasanya tidak dapat untuk bahan yang produknya belum disetujui dan dipasarkan
(WHO, 2017).
Perhitungan DDD yang sering digunakan dalam evaluasi penggunaan obat meliputi (The
Pantented Medicine Prices Review Board Standard Life Centre, 2010):
a) DDD/1000 pasien/hari
Data yang disajikan dalam DDD per 1000 penduduk per hari dapat memberikan perkiraan
proporsi populasi penelitian yang diobati setiap hari dengan obat atau kelompok obat tertentu. Hasil dari 10 DDD/1000 pasien/hari menginterpretasikan dalam suatu kelompok yang terdiri dari
1000 pasien, rata-rata sebesar 10 DDDs obat digunakan pada tiap hari pemberian dalam satu
tahun analisis dilakukan atau menunjukkan bahwa 1% dari populasi rata-rata mungkin menerima
obat tertentu setiap hari. Rumus yang dapat digunakan untuk menghitung DDD/1000 pasien
perhari, yaitu (Lahon, Shetty, Paramel, & Sharma, 2011):
DDD/1000 pasien perhari = ! ! ! ! !"""!"#$ !!! ! !"# !"#$ ! !"!#$%&'
N adalah jumlah obat selama setahun, M merupakan kekuatan obat dalam sediaan, unit DDD
adalah ukuran unit DDD yang disebutkan dalam indeks klasifikasi ATC.
b) DDD per pasien per tahun
Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017
DDD per pasien per tahun menunjukan perkiraan jumlah rata-rata hari setiap penduduk
yang diberikan pengobatan setiap tahunnya. Hasil dari 10 DDD per penduduk per tahun setara
dengan rata-rata 10 hari pengobatan dengan obat tertentu per penduduk per tahun.
c) DDD per 100 hari rawat.
Langkah ini diterapkan untuk analisis penggunaan obat di rumah sakit. Hasil dari 10 DDD
per 100 hari rawat adalah setara dengan 10% dari pasien rawat inap yang menerima DDD obat
setiap hari. Unit ini cukup berguna untuk pembandingan di rumah sakit. Drug Utilization 90% (DU90)
Drug Utilization 90% (DU90) yaitu mencerminkan jumlah obat 90% dari resep obat dan
kepatuhan terhadap pedoman resep lokal atau nasional. Indikator umum ini dapat diterapkan pada
tingkat yang berbeda (misalnya resep individu, resep kelompok, rumah sakit, wilayah atau
daerah) untuk mendapatkan perkiraan kasar dari kualitas resep. DU90% bertujuan untuk
membuat pengelompokkan data statistik penggunaan obat, sehingga kualitas penggunaan obat
dapat dinilai. DU90% merupakan pengembangan lebih lanjut dari data yang diberikan baik data
kuantitatif maupun data kualitatif (WHO, 2003).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan desain potong lintang (cross-
sectional). Pengambilan data dilakukan secara retrospektif menggunakan data sekunder, yaitu
resep pasien di puskesmas kecamatan Pasar Minggu tahun 2016. Penelitian dilakukan di
Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu.
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode total sampling. Sampel yang
digunakan yaitu seluruh resep pasien dispepsia yang mendapatkan obat dispepsia di Puskesmas
Kecamatan Pasar Minggu pada tahun 2016 dengan kriteria inklusi, yaitu resep pasien dispepsia
usia diatas atau sama dengan 18 tahun, sedangkan kriteria eksklusinya adalah resep pasien
dispepsia dengan data yang tidak lengkap dan tidak terbaca.
Analisis dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel 2013. Analisis ini digunakan
untuk mendapatkan frekuensi distribusi pada semua variabel. Data kemudian disajikan dalam
bentuk tabel atau diagram.
Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017
PEMBAHASAN
Total resep pasien dispepsia pada bulan Januari hingga Desember tahun 2016 di
Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu sebanyak 3745 resep. Total resep yang memenuhi kriteria
inklusi sebanyak 3280 resep, sedangkan resep yang dieksklusi sebanyak 465 resep. Resep yang
dieksklusi disebabkan karena resep yang kurang lengkap, yaitu sebanyak 27 resep dan pasien
dibawah usia 18 tahun sebanyak 438 resep pasien. Resep pasien yang kurang lengkap diakibatkan
oleh lamanya penyimpanan resep menyebabkan tulisan resep mulai memudar dan tidak terbaca
yang mengakibatkan data pasien tidak lengkap.
Distribusi Pasien Dispepsia Berdasarkan Karakteristik
a. Prevalensi Pasien Dispepsia Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi pasien dispepsia selengkapnya dapat dilihat pada
Tabel 1. Tabel 1. Prevalensi Pasien Dispepsia Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Jumlah Pasien
(Orang)
Persentase
(%)
Laki-Laki
Perempuan
942
2338
28,72
71,28
Total 3280 100
Hasil analisis menunjukkan bahwa prevalensi dispepsia lebih banyak terjadi pada
perempuan, yaitu sebanyak 2338 pasien (71,28%). Hasil penelitian ini sama seperti yang
dilakukan oleh Putri, Ernalia dan Bebasari pada tahun 2015 menunjukkan bahwa kejadian
dispepsia dialami paling banyak pada perempuan 99 orang (71,7%). Hal tersebut dikarenakan
timbulnya dispepsia berhubungan dengan pola makan yang tidak teratur atau diet yang sering
dilakukan wanita dan faktor psikologi seperti stres (Alkhatib, Turk, Idris dan Saadi, 2016). Stres
Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017
akan meningkatkan hormon kortisol. Peningkatan kortisol ini akan merangsang produksi asam
lambung dan dapat menghambat prostaglandin yang bersifat protektif terhadap mukosa lambung
sehingga menyebabkan kejadian sindrom dispepsia (Rulianti, Almasdy dan Murni, 2013)
b. Prevalensi Pasien Dispepsia Berdasarkan Usia
Berdasarkan kelompok usia, pasien dispepsia dikelompokkan berdasarkan kategori usia
yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2014 dan telah
dimodifikasi untuk memudahkan pembacaan. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Prevalensi Pasien Dispepsia Berdasarkan Usia
Usia
(Tahun)
Jumlah Pasien
(Orang)
Persentase
(%)
18-25
>25-45
>45-60
>60
457
1095
1276
452
13,93
33,39
38,90
13,78
Total 3280 100
Berdasarkan Tabel 2. ditunjukkan bahwa prevalensi dispepsia terbanyak pada kelompok
usia di atas 45 hingga 60 tahun, yaitu sebanyak 1276 pasien (38,90%). Hasil penelitian ini sama
seperti yang dilakukan oleh Nasution, pada tahun 2015 bahwa mayoritas pasien dispepsia terjadi
pada pasien berusia > 45 tahun sebanyak 59,09%. Hal ini dapat disebabkan oleh penurunan
fungsi tubuh serta faktor riwayat mengkonsumsi obat-obatan seperti obat anti inflamasi non
steroid (OAINS) pada kelompok umur di atas 45 tahun (Arnelis, Asterina dan Putri, 2016).
OAINS merupakan obat penghambat enzim siklooksigenase (COX) yang akan menurunan
produksi prostaglandin sehingga menurunkan sekresi mukus dan bikarbonat pada lambung. Hal
ini dapat menyebabkan asam lambung dan pepsin melukai lambung (Rani, Simadibrata dan
Syam, 2011). Pasien dispepsia di atas 60 tahun pada Kecamatan Pasar Minggu menunjukkan
penurunan jumlah penduduk, hal tersebut ditandai dengan sedikitnya penduduk usia 60 tahun ke
atas dan banyaknya penduduk usia produktif (Badan Pusat Statistik, 2016).
c. Prevalensi Pasien Dispepsia Berdasarkan Status Pengobatan
Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017
Pasien di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu terdiri dari pasien umum dan pasien
peserta BPJS. Pasien umum termasuk ke dalam status pengobatan non BPJS. Data selengkapnya
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Prevalensi Pasien Dispepsia Berdasarkan Status Pengobatan Pasien
Status Pengobatan Jumlah Pasien
(Orang)
Persentase
(%)
BPJS
Non BPJS
2481
799
75,64
24,36
Total 3280 100
Hasil analisis menunjukkan bahwa pasien dispepsia di Puskesmas Kecamatan Pasar
Minggu lebih dari setengahnya merupakan pasien yang mengikuti program BPJS Kesehatan,
yaitu sebanyak 2481 pasien (75,64%). Hal ini menunjukkan bahwa sosialisasi dari BPJS
Kesehatan kepada masyarakat berhasil dilakukan selama dua tahun program berjalan. Sosialisasi
bertujuan untuk memperluas cakupan kepesertaan sekaligus sebagai upaya meningkatkan
pengetahuan masyarakat mengenai manfaat program JKN sehingga masyarakat mudah
memahami tentang pentingnya mendaftar jadi peserta dari program BPJS Kesehatan (BPJS
Kesehatan, 2015).
Jenis Obat yang Digunakan Pasien Dispepsia
Penggunaan obat pada pasien dispepsia di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu terdiri
dari enam obat. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Daftar nama obat yang digunakan pada pasien dispepsia
Nama Obat Zat Aktif Kode
ATC
Jenis
Sediaan
Jumlah
Obat
Persentase
Penggunaan
(%)
Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017
Antasida
DOEN
Ranitidin
Simetidin
Omeprazol
Domperidon
Papaverin
Alumunium
Hidroksida 200 mg
Magnesium
Hidroksida 200 mg
Ranitidin 150 mg
Simetidin 200 mg
Omeprazol 20 mg
Domperidon 10 mg
Papaverin HCl 40 mg
A02AD01
A02BA02
A02BA01
A02BC01
A03FA03
A03AD01
Tablet
Suspensi
Tablet
Tablet
Kapsul
Tablet
Tablet
23507
75
10420
5614
3067
1096
434
53,17
0,17
23,57
12,69
6,94
2,48
0,98
TOTAL 44213 100
Obat antasida DOEN merupakan obat paling banyak digunakan. Hal ini disebabkan
karena antasida merupakan lini pertama dalam pengobatan dispepsia (McDonal, Burroughs,
Feagan, dan Fennerty, 2010). Selain itu, kombinasi kandungan Al(OH)3 dan Mg(OH)2 pada
antasida DOEN dapat meminimalkan efek samping pada pasien dispepsia (Goodman dan
Gilman, 2012).
DDD dan DDD/1000 Pasien/Hari
Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan nilai DDD dan DDD/1000 pasien/hari di
Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. DDD dan DDD/1000 pasien/hari
Nama Obat Zat Aktif Kode
ATC
Jumlah
Obat
Unit
DDD*
Nilai
DDD
DDD/1000
Pasien/hari
Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017
Antasida
DOEN
Ranitidin
Simetidin
Omeprazol
Domperidon
Papaverin
Alumunium
Hidroksida 200 mg
Magnesium
Hidroksida 200 mg
Ranitidin 150 mg
Simetidin 200 mg
Omeprazol 20 mg
Domperidon 10 mg
Papaverin HCl 40 mg
A02AD01
A02BA02
A02BA01
A02BC01
A03FA03
A03AD01
23507
(Tablet)
75
(Suspensi)
10420
5614
3067
1096
434
10 UD
= 10
Tablet
10 UD
= 50 ml
300 mg
800 mg
20 mg
30 mg
100 mg
2440,7
5210
1403,5
3067
365,33
173,6
2,04
4,35
1,17
2,56
0,31
0,15
*DDD yang ditentukan WHO
Berdasarkan hasil analisis kuantitatif, diperoleh nilai DDD dan DDD/1000 pasien/hari
terbesar, yaitu ranitidin. Semakin besar nilai DDD artinya semakin besar pula dosis penggunaan
obat tersebut. Nilai DDD terbesar di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu, yaitu ranitidin (5210)
menunjukkan bahwa dalam satu tahun rata-rata penggunaan dosis ranitidin sebanyak 5210 DDD.
Nilai DDD/1000 pasien/hari di Puskesmas Pasar Minggu, yaitu ranitidin (4,35 DDD/1000
pasien/hari) menunjukkan bahwa 0,43% dari populasi menggunakan ranitidin setiap harinya.
Antasida DOEN (2,04 DDD/1000 pasien/hari) menunjukkan bahwa 0,20% populasi
menggunakan antasida DOEN setiap harinya. Omeprazol (2,56 DDD/1000 pasien/hari)
menunjukkan bahwa 0,26% populasi menggunakan omeprazol setiap harinya. Berdasarkan data
statistik di Norway penggunaan obat dispepsia berdasarkan nilai DDD/1000 pasien/hari, yaitu
ranitidin (5,2 DDD/1000 pasien/hari), omeprazol (7,8 DDD/1000 pasien/hari) dan antasida (4,3
DDD/1000 pasien/hari). Hal ini menunjukkan perbedaan nilai DDD antara negara (Furu dan
Straume, 2008).
Drug Utilization 90%
Drug Utilization 90% merupakan obat yang menyusun 90% penggunaan obat pada pasien
dispepsia berdasarkan besarnya penggunaan obat dalam satuan DDD. Data selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Drug Utilization 90%
Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017
Nama Obat Kode ATC Nilai
DDD
Persentase
(%)
Persentase
Kumulatif (%)
Ranitidin
Omeprazol
Antasida DOEN
Simetidin
Domperidon
Papaverin
A02BA02
A02BC01
A02AD01
A02BA01
A03FA03
A03AD01
5210
3067
2440,7
1403,5
365,33
173,6
41,15
24,22
19,28
11,10
2,88
1,37
41,15
65,37
84,65
95,75
98,63
100
12660,13 100
Berdasarkan analisis kualitatif, obat yang masuk ke dalam segmen DU90% adalah
ranitidin (41,15%), omeprazol (24,22%), antasida DOEN (19,28%) dan simetidin (11,10%). Hal
ini sudah menunjukkan efektivitas penggunaan obat baik, karena penggunaan obat dalam segmen
tersebut mencakup sedikit jenis obat dan kuantitas obat yang digunakan banyak (Bjerrum dan
Bergman, 2009).
Kesesuaian Obat dengan Formularium Nasional
Kesesuaian obat dengan Formularium Nasional didapatkan dari keseluruhan penggunaan
obat pada pasien dispepsia. Obat yang digunakan pada pasien dispepsia di Puskesmas Pasar
Minggu, yaitu ranitidin, antasida DOEN, omeprazol, domperidone, simetidin, dan papaverin.
Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Kesesuaian obat dengan Formularium Nasional
Kesesuaian dengan Fornas Nilai DDD Persentase
Sesuai
Tidak Sesuai
11083,03
1577,1
87,54%
12,46%
Total 12660,13 100%
Penggunaan obat pada pasien dispepsia yang sesuai dengan Formularium Nasional, yaitu
antasida DOEN, ranitidin, domperidon, dan omeprazol (87,54%), sedangkan yang tidak sesuai
dengan Formularium Nasional, yaitu simetidin dan papaverin (12,46%). Persentase kesesuaian
Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017
dengan Formularium Nasional cukup tinggi, sebab Formularium Nasional sudah digunakan
sebagai acuan dalam pelayanan program BPJS. Obat yang tidak sesuai dengan Formularium
Nasional masih digunakan, yaitu simetidin dan papaverin. Obat simetidin tidak masuk ke dalam
Formularium Nasional, tetapi masih digunakan pada puskesmas tersebut karena obat simetidin
masuk ke dalam daftar obat yang digunakan pada panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas
pelayanan kesehatan primer (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015). Penggunaan
obat simetidin jangka panjang menyebabkan impotensi dan ginekomastia pada pria. Papaverin
merupakan obat golongan analgesik opioid yang masih digunakan karena masih dibutuhkan oleh
dokter. Papaverin memiliki efek yang menguntungkan seperti meredakan nyeri pada lambung,
tetapi penggunaan obat tersebut harus di awasi, sebab dapat berpotensi adiktif atau kecanduan
(Goodman dan Gilman, 2012).
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Berdasarkan karakteristiknya, pasien dispepsia lebih banyak pada perempuan (71,28%),
kelompok usia di atas 45 sampai 60 tahun (38,90%) dan mengikuti program BPJS (75,64%).
2. Obat yang digunakan pada pasien dispepsia paling banyak adalah antasida DOEN (53,17%).
3. Kuantitas obat pada pasien dispepsia berdasarkan DDD dan DDD/1000 pasien/hari paling
tinggi, yaitu obat ranitidin 5210 dan 4,35.
4. Obat pada pasien dispepsia yang menyusun segmen DU90%, yaitu ranitidin (41,15%),
omeprazol (24,22%), antasida DOEN (19,28%), dan simetidin (11,10%).
5. Penggunaan obat pada pasien dispepsia sudah sesuai dengan Formularium Nasional sebesar
87,54%.
SARAN
1. Puskesmas sebaiknya menggunakan obat yang terdapat pada Formularium Nasional yang
disediakan untuk fasilitas kesehatan satu.
2. Penelitian selanjutnya sebaiknya dikatagorikan penyakit dispepsia yang diderita pasien, untuk
mengevaluasi penggunaan obat berdasarkan ketepatan pemberian obat yang digunakan.
Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017
DAFTAR REFERENSI Alkhatib, M., Turk, T., Idris, A., & Saadi, T. Al. (2016). Epidemiology and risk factors of
uninvestigated dyspepsia, irritable bowel syndrome, and gastroesophageal reflux disease among students of Damascus University, Syria. J Epidemiol Global Health, 213(9), 1-9.
Badan Pusat Statistik. (2016). Statistik Daerah Kecamatan Pasar Minggu Tahun 2016. Jakarta: BPS Kota Administrasi Jakarta Selatan.
Bjerrum, L., & Bergman, U. (2009). Wide variation in the number of different drugs prescribed by general practitioners: A prescription database study Wide variation in the number of different drugs prescribed by general practitioners a prescription database study. Scandinavian Journal of Primary Health Care, 18(2), 94–98.
BPJS Kesehatan. (2015). Indeks Kepuasan Peserta dan Faskes terhadap BPJS Kesehatan Sukses Lampaui Target. Jakarta: BPJS Kesehatan Kantor Pusat
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. (2014). Pedoman Penerapan Formularium Nasional. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. (2016). Profil Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Dwigint, S. (2015). The Relation of Diet Pattern to Dyspepsia Syndrom in College Students. J MAJORITY, 4(1), 73–80
Furu, K., & Straume, B. (2008). Changes in antacid use over a 9-year period in a general population adjusted for changes in dyspeptic complaints. Norsk Epidemiologi, 18(2), 201–207.
Goodman dan Gilman. (2012). Dasar Farmakologi Terapi. (Ed. ke-10). Jakarta: EGC.
Gunawan, S.G. (2012). Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Profil kesehatan Indonesia 2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2015). Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Kesehatan Primer. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Formularium Nasional. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017
Lahon, K., Shetty, H. M., Paramel, A., & Sharma, G. (2011). A Retrospective Drug Utilization Studi of Antidepressants in The Pschyatric Unit of a Tertiary Care Hospital. Journal of Clinical and Diagnostic Research, 5(5), 1069-1075.
McDonal, J. W., Burroughs, A. K., Feagan, B. G., & Fennerty, M. B. (2010). Evidence Based Gastroenterology and Hepatology. UK: Blackwell Publishing.
Muya, Y., Murni, A. W., & Herman, R. B. (2015). Karakteristik Penderita Dispepsia Fungsional yang Mengalami Kekambuhan di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang, Sumatera Barat Tahun 2011. Jurnal Kesehatan Andalas, 4(2), 490-496.
Nasution, A. R. (2015). Pola Penggunaan Obat Pada Pasien Dispepsia Rawat Inap Tahun 2014 Di RSUD Dr. Tengku Mansyur Kota Tanjung Balai. Tanjung Balai: Universitas Sumatra Utara.
Oustamanolakis, P., & Tack, J. (2012). Dyspepsia Organic Versus Functional. J Clin Gastroenterol, 46(3), 175–190.
Putri, C. Y., Arnelis, & Asterina. (2016). Gambaran Klinis dan Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas Pasien Dispepsia di Bagian RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 5(2), 343–348.
Putri, R. N., Ernalia, Y., & Bebasari, E. (2015). Gambaran Sindroma Dispepsia Fungsional Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau Angkatan 2014. JOM FK, 2(2), 3-19.
Rani, A., Simadibrata, M., & Syam, A. F. (2011). Buku Ajar Gastroenterologi. Jakarta: InternaPublishing.
Rulianti, M. R., Almasdy, D., & Murni, A. W. (2013). Hubungan Depresi dan Sindrom Dispepsia pada Pasien Penderita Keganasan Yang Menjalani Kemoterapi di RSUP DR. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 2(3), 137-140.
Simadibrata, M. (2006). Penatalaksanaan Sindrom Dispepsia. In Penyakit Dalam (p. 132). Jakarta: FKUI.
Simadibrata, M., et al. (2014). Konsensus Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helicobacter pylori. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI).
Siregar, C. (2003). Farmasi Rumah Sakit: Teori Dan Penerapan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG.
Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017
The Patented Medicine Prices Review Board Standard Life Centre. (2010). Use of The World Health Organization Defined Daily Dose in Canadian Drug Utilization and Cost Analyses. Ottawa: Patented Medicine Prices Review Board.
Wijayanti, A., & Nuraeni. (2014). Pola Peresepan Antiemetika Pada Penderita Dispepsia Pasien Dewasa Dan Lansia Rawat Inap di Pku Muhammadiyah Yogyakarta Periode Januari-Juni Tahun 2012. Media Farmasi, 11(2), 197–207.
Wijayanti, A., & Saputro, Y. W. (2016). Pola Peresepan Obat Dispepsia Dan Kombinasinya Pada Pasien Dewasa Rawat Inap di Rumah Sakit Islam Yogyakarta Persaudaraan Djamaah Haji Indonesia (PDHI) 2012. CERATA Journal of Pharmacy Science, 17-30.
Wika. (2013). Dispepsia, Gejala dan Penanganannya. Jurnal Kedokteran Indonesia, 39(4).
World Health Organization. (2003). Introduction to Drug Utilization Research. Geneva: World Health Organization.
World Health Organization. (2017). Guidelines for ATC classification and DDD assignment. Oslo, Norwegia: WHO Collaborating Centre for Drug Statistics Methodology.
Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017