evaluasi penggunaan obat pada pasien dispepsia menggunakan

20
Evaluasi Penggunaan Obat pada Pasien Dispepsia Menggunakan Metode ATC/DDD di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu Tahun 2016 Erni Destiarini, Azizahwati, Nanda Asyura Rizkyani Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Jawa Barat, Indonesia. E-mail: [email protected] Abstrak Tingginya angka kejadian dispepsia mempengaruhi pola penggunaan obat pada pasien dispepsia di fasilitas kesehatan, sehingga diperlukan evaluasi penggunaan obat. Penggunaan obat di fasilitas kesehatan harus mengikuti acuan yang berlaku secara nasional, yaitu Formularium Nasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan obat pada pasien dispepsia. Desain penelitian ini adalah deskriptif dengan pengambilan data secara retrospektif dari resep pasien dan menggunakan metode ATC/DDD. Sampel adalah seluruh resep pasien dispepsia di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu tahun 2016. Berdasarkan hasil analisis menunjukan bahwa 71,28% pasien dispepsia adalah perempuan, 38,90% berusia 45 sampai 60 tahun, dan 75,64% mengikuti program BPJS. Obat yang digunakan pada pasien dispepsia adalah antasida DOEN, ranitidin, simetidin, omeprazol, domperidon, dan papaverin. Kuantitas penggunaan obat dispepsia yang dinyatakan dalam DDD/1000 pasien/hari paling tinggi, yaitu ranitidin (4,35). Obat pada pasien dispepsia yang menyusun segmen DU90%, yaitu ranitidin (41,15%), omeprazol (24,22%), antasida DOEN (19,28%), dan simetidin (11,10%). Penggunaan obat pada pasien dispepsia di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu tahun 2016 sesuai dengan Formularium Nasional (87,54%). Kata Kunci: Dispepsia, ATC/DDD, DU90%, pola penggunaan obat, Puskesmas Pasar Minggu Evaluation of Drug Utilization in Dyspepsia Patients Using ATC / DDD Method at Puskesmas Pasar Minggu 2016 Abstract High incidence rate of dyspepsia affects the pattern of drug use of dyspepsia patients in the health facilities, it is necessary to evaluate the use of drugs. The uses of drugs in health facilities must comply with applicable national reference that the national formulary. This research aimed to evaluate the usage of drug from dyspepsia patients. The research’s design was descriptive with retrospective data collection from patient’s prescriptions by using the ATC / DDD method. The samples used in this study were all prescriptions of dyspepsia patients at Puskesmas Pasar Minggu in 2016. The results showed that 71,28% of dyspepsia patients were females, 38,90% were 45 to 60 years old and 75,64% of them followed the BPJS program. The drugs that used for dyspepsia patients were antacid DOEN, ranitidine, cimetidine, omeprazole, domperidon, and papaverine. The highest quantity of dyspepsia drug use expressed in the DDD/1000 patients per day was ranitidine (4,35). Drugs for dyspepsia patients that made up the DU90% segment were ranitidine (41,15%), omeprazole (24,22%), antacid DOEN (19,28%), and cimetidine (11,10%). The use of drugs for dyspepsia patients at Puskesmas Pasar Minggu in 2016 was appropriate according to National Formulary (87,54%). Keywords: Dyspepsia, ATC/DDD, drug utilization pattern, DU90%, Puskesmas Pasar Minggu Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Evaluasi Penggunaan Obat pada Pasien Dispepsia Menggunakan

Evaluasi Penggunaan Obat pada Pasien Dispepsia Menggunakan Metode ATC/DDD di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu Tahun 2016

Erni Destiarini, Azizahwati, Nanda Asyura Rizkyani

Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Jawa Barat, Indonesia.

E-mail: [email protected]

Abstrak

Tingginya angka kejadian dispepsia mempengaruhi pola penggunaan obat pada pasien dispepsia di fasilitas kesehatan, sehingga diperlukan evaluasi penggunaan obat. Penggunaan obat di fasilitas kesehatan harus mengikuti acuan yang berlaku secara nasional, yaitu Formularium Nasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan obat pada pasien dispepsia. Desain penelitian ini adalah deskriptif dengan pengambilan data secara retrospektif dari resep pasien dan menggunakan metode ATC/DDD. Sampel adalah seluruh resep pasien dispepsia di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu tahun 2016. Berdasarkan hasil analisis menunjukan bahwa 71,28% pasien dispepsia adalah perempuan, 38,90% berusia 45 sampai 60 tahun, dan 75,64% mengikuti program BPJS. Obat yang digunakan pada pasien dispepsia adalah antasida DOEN, ranitidin, simetidin, omeprazol, domperidon, dan papaverin. Kuantitas penggunaan obat dispepsia yang dinyatakan dalam DDD/1000 pasien/hari paling tinggi, yaitu ranitidin (4,35). Obat pada pasien dispepsia yang menyusun segmen DU90%, yaitu ranitidin (41,15%), omeprazol (24,22%), antasida DOEN (19,28%), dan simetidin (11,10%). Penggunaan obat pada pasien dispepsia di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu tahun 2016 sesuai dengan Formularium Nasional (87,54%). Kata Kunci: Dispepsia, ATC/DDD, DU90%, pola penggunaan obat, Puskesmas Pasar Minggu

Evaluation of Drug Utilization in Dyspepsia Patients Using ATC / DDD Method at Puskesmas Pasar Minggu 2016

Abstract

High incidence rate of dyspepsia affects the pattern of drug use of dyspepsia patients in the health facilities, it is necessary to evaluate the use of drugs. The uses of drugs in health facilities must comply with applicable national reference that the national formulary. This research aimed to evaluate the usage of drug from dyspepsia patients. The research’s design was descriptive with retrospective data collection from patient’s prescriptions by using the ATC / DDD method. The samples used in this study were all prescriptions of dyspepsia patients at Puskesmas Pasar Minggu in 2016. The results showed that 71,28% of dyspepsia patients were females, 38,90% were 45 to 60 years old and 75,64% of them followed the BPJS program. The drugs that used for dyspepsia patients were antacid DOEN, ranitidine, cimetidine, omeprazole, domperidon, and papaverine. The highest quantity of dyspepsia drug use expressed in the DDD/1000 patients per day was ranitidine (4,35). Drugs for dyspepsia patients that made up the DU90% segment were ranitidine (41,15%), omeprazole (24,22%), antacid DOEN (19,28%), and cimetidine (11,10%). The use of drugs for dyspepsia patients at Puskesmas Pasar Minggu in 2016 was appropriate according to National Formulary (87,54%). Keywords: Dyspepsia, ATC/DDD, drug utilization pattern, DU90%, Puskesmas Pasar Minggu

Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017

Page 2: Evaluasi Penggunaan Obat pada Pasien Dispepsia Menggunakan

PENDAHULUAN

Dispepsia merupakan sindrom seperti nyeri ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa,

rasa cepat kenyang atau rasa penuh pada perut (Rani, Simadibrata dan Syam, 2011). Kejadian

dispepsia di dunia mencapai 13-40% dari total populasi setiap tahunnya (Wijayanti dan Nuraeni,

2014). Dispepsia merupakan sepuluh besar penyakit terbanyak pada pasien rawat inap maupun

rawat jalan di Indonesia (Putri, Ernalia dan Bebasari, 2015). Angka kejadian dispepsia khususnya

di Jakarta cukup tinggi, yaitu mencapai 60% (Wika, 2013).

Penggunaan obat pada pasien dispepsia terus meningkat seiring dengan tingginya angka

kejadian, sehingga diperlukan evaluasi penggunaan obat. WHO merekomendasikan metode

evaluasi penggunaan obat berdasarkan sistem klasifikasi Anatomical Therapeutical Chemical

(ATC) dan Define Daily Dose (DDD). Sistem klasifikasi ATC obat dibagi menjadi beberapa

kelompok, yaitu sesuai dengan organ atau sistem obat bekerja, farmakologi dan sifat kimia.

Evaluasi DDD merupakan evaluasi penggunaan obat secara kuantitatif berupa rata-rata dosis

pemeliharaan obat per hari yang digunakan pada orang dewasa (WHO, 2017). Nilai DDD akan

dihubungkan dengan Drug Utilization 90% (DU 90%) yang merupakan indikator kualitatif,

mencerminkan 90% jumlah obat dari obat yang diresepkan untuk menilai kualitas penggunaan

obat (WHO, 2003).

Peningkatan kualitas seperti efektivitas dan efisiensi penggunaan obat merupakan tujuan

utama dari pengaturan obat dalam Formularium Nasional. Formularium Nasional yaitu daftar

obat yang ditetapkan sebagai acuan dalam pelayanan obat di setiap tingkat pelayanan kesehatan,

baik primer, sekunder maupun tersier, khususnya dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan

Nasional (JKN) (Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2014).

Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi penggunaan obat pada pasien dispepsia di

Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu dengan metode ATC/DDD, karena di Puskesmas tersebut

belum pernah dilakukan, demikian juga dengan kesesuaian penggunaan obat terhadap

Formularium Nasional. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi penggunaan

obat pada pasien dispepsia di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu.

Rumusan Masalah

Bagaimana evaluasi penggunaan obat pada pasien dispepsia di Puskesmas Kecamatan Pasar

Minggu tahun 2016?

Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017

Page 3: Evaluasi Penggunaan Obat pada Pasien Dispepsia Menggunakan

Tujuan Umum Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah mengevaluasi penggunaan obat pada pasien dispepsia di

Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu pada tahun 2016.

Tujuan Khusus Penelitian

1) Memperoleh data karakteristik pasien dispepsia berdasarkan jenis kelamin, kelompok usia,

dan status pengobatan di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu tahun 2016.

2) Memperoleh data obat yang digunakan pada pasien dispepsia di Puskesmas Kecamatan

Pasar Minggu pada tahun 2016.

3) Memperoleh data kuantitas penggunaan obat pada pasien dispepsia di Puskesmas Kecamatan

Pasar Minggu pada tahun 2016 dalam satuan DDD dan DDD/1000 pasien/hari.

4) Memperoleh data penggunaan obat yang masuk ke dalam segmen DU90% di Puskesmas

Kecamatan Pasar Minggu pada tahun 2016.

5) Memperoleh persentase kesesuaian penggunaan obat pada pasien dispepsia di Puskesmas

Kecamatan Pasar Minggu pada tahun 2016 terhadap Formularium Nasional.

TINJAUAN TEORITIS

Dispepsia

Dispepsia merupakan kumpulan gejala atau sindrom nyeri ulu hati, mual, kembung,

muntah, rasa cepat kenyang atau rasa penuh pada perut dan sendawa yang sering ditemukan

dalam praktek sehari-hari. Kata dispepsia berasal dari Bahasa Yunani memiliki arti dys (bad =

buruk) dan peptein (digest = pencernaan). Jika digabungkan dispepsia memiliki arti gangguan

atau ketidakmampuan dalam mencerna (Rani, Simadibrata dan Syam, 2011).

Dispepsia digolongkan menjadi dua subklasifikasi, yaitu dispepsia organik dan dispepsia

fungsional. Dispepsia organik merupakan dispepsia ketika pemeriksaan secara klinis dan

laboratorium diidentifikasi adanya penyakit organik yang menjadi dasar penyebab gejala.

Menurut Rome III, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai adanya rasa nyeri atau rasa panas

di epigastrium, rasa penuh setelah makan atau rasa cepat kenyang tanpa adanya penyakit organik

(Oustamanolakis & Tack, 2012). Dispepsia fungsional dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

postprandial distress syndrome dan epigastric pain syndrome (Simadibrata et al., 2014).

Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017

Page 4: Evaluasi Penggunaan Obat pada Pasien Dispepsia Menggunakan

Patofisiologi Dispepsia

Sindrom dispepsia fungsional, yaitu dapat dilihat dengan kriteria tidak adanya kelainan

organik pada saluran cerna sehingga memiliki teori bervariasi. Hipotesis dispepsia fungsional

seperti sekresi asam lambung, infeksi H. pylori, motilitas dan abnormalitas akomodasi lambung,

hipersensitivitas viseral, dan intoleransi makanan dimana menjelaskan bahwa makanan tertentu

dapat menyebabkan gejala-gejala dispepsia (Rani, Simadibrata dan Syam, 2011).

a. Sekresi Asam Lambung

Sekresi asam lambung merupakan suatu proses yang dikendalikan oleh berbagai faktor

neural (asetilkolin), parakrin (histamin) dan endokrin (gastrin) dimana memiliki reseptor spesifik

terlokalisasi di membran basolateral sel parietal, yaitu reseptor M3, H2 dan CCK2 yang

berkontribusi untuk sekresi H+ (Goodman dan Gilman, 2012).

[Sumber: Goodman dan Gilman, 2012, telah diolah kembali]

Keterangan: Skema ini menunjukkan interaksi antara sel endokrin yang mensekresikan histamin (sel ECL). Sel pensekresi asam (sel parietal), sel yang mensekresi faktor sitoprotektif (sel epitel permukaan). Jalur fisiologi ditunjukan dalam garis hitam tebal yang dapat distimulasi (+) atau diinhibisi (-). Agonis fisiologis menstimulasi reseptor transmembrane, yaitu reseptor muskarinik (M) untuk asetilkolin, kolesistokinin (CCK2) untuk reseptor gastrin, H2 merupakan reseptor histamin, dan EP3 untuk reseptor prostaglandin E2. Kerja obat ditunjukan oleh arah garis. Tanda x menunjukkan terjadinya antagonis farmakologi.

Gambar 1. Regulasi fisiologis dan farmakologis sekresi asam lambung

Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017

Page 5: Evaluasi Penggunaan Obat pada Pasien Dispepsia Menggunakan

Pelepasan ACh dari serabut vagus dapat menstimulasi sekresi asam lambung secara

langsung melalui reseptor muskarinik dan tidak langsung melalui sel ECL yang akan melepaskan

histamin untuk sekresi asam lambung. Gastrin terdapat pada sel G antral yang pelepasannya

terjadi secara langsung ke reseptor CCK2 dan secara tidak langsung melalui sel ECL yang akan

melepaskan histamin. Pada sel parietal terdapat dua jalur persinyalan utama, yaitu jalur

bergantung AMP siklik dan jalur bergantung Ca2+, dimana kedua jalur ini mengaktivasi pompa

proton (H+, K+- ATPase) untuk menghasilkan asam.

b. Motilitas dan Abnormalitas Akomodasi Lambung

Motilitas merupakan gerakan peristaltik yang dipengaruhi oleh regulasi susunan saraf

enterik melalui berbagai neurotransmiter. Berbagai keadaan dapat mempengaruhi keadaan

motilitas ini baik hiper, hipo maupun dismotilitas. Penyebab adanya gangguan motilitas belum

jelas diketahui, bisa disebabkan oleh hormonal, stress, atau lainnya (Rani, Simadibrata dan Syam,

2011).

Akomodasi lambung dalam berbagai penelitian diduga bahwa kapasitas akomodasi

lambung pada kasus dispepsia waktu puasa adalah normal kemudian terjadi kegagalan proses

relaksasi bagian proksimal lambung (fundus) sewaktu menerima makanan. Hal inilah yang

diduga sebagai penyebab timbulnya rasa cepat kenyang. Keadaan ini juga yang menimbulkan

keadaan dimana masa pengosongan makanan cair yang normal tetapi terjadi perlambatan

pengosongan lambung untuk makanan padat (Rani, Simadibrata dan Syam, 2011).

c. Faktor psikologis

Faktor psikologis dapat berupa stress yang menyebabkan penurunan motilitas lambung

yang mendahului mual setelah stimulus stres sentral. Namun, belum ada bukti yang kuat untuk

menyatakan hubungan antara faktor psikologis dan keluhan dispepsia (Rani, Simadibrata dan

Syam, 2011).

d. Diet dan Lingkungan

Berbagai jenis makanan dilaporkan oleh pasien sebagai hal yang mencetuskan serangan

antara buah-buahan, kopi, alkohol, makanan berlemak dan lain-lain. Sulit untuk dibuktikan

bahwa faktor itu berlaku untuk setiap orang, demikian juga dengan pola makan seseorang (Rani,

Simadibrata dan Syam, 2011).

Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017

Page 6: Evaluasi Penggunaan Obat pada Pasien Dispepsia Menggunakan

Terapi Dispepsia

Obat-obat yang digunakan pada terapi pasien dispepsia, yaitu antasida, antagonis reseptor

H2, dan inhibitor pompa proton. Terapi pengobatan diberikan secara oral, antara lain: antasida 3 x

500-1000 mg/ hari, antagonis reseptor H2 dosis 2 x sehari (ranitidin 150 mg/kali, famotidin 20

mg/kali, simetidin 400-800 mg/kali), PPI dosis 2 x sehari (omeprazol 20 mg/kali, lansoprazol 30

mg/kali) (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015).

1. Antasida

Antasida merupakan basa lemah, digunakan untuk menetralkan asam yang telah

memenuhi lambung. Contoh obat antasid seperti kombinasi alumunium hidroksida dan

magnesium hidroksida. Antasid tidak mengurangi volume HCl yang dikeluarkan lambung. Obat

ini dapat menghasilkan efek samping seperti diare akibat dari senyawa magnesium atau sembelit

akibat dari senyawa aluminium (Gunawan, 2012).

2. Antagonis Reseptor H2

Antagonis reseptor H2 merupakan senyawa yang mampu menghambat produksi HCl,

dengan cara bersaing secara reversibel dengan histamin untuk mengikat reseptor H2 pada

membran basolateral sel parietal. Contoh obatnya, yaitu simetidin, ranitidin, famotidin.

Ginekomastia pada pria dan galaktorea pada wanita dapat muncul akibat mengkonsumsi

simetidin dalam dosis tinggi dan jangka panjang. Obat golongan antagonis reseptor H2 kurang

efektif dari obat inhibitor pompa proton. Efek samping yang terjadi pada obat golongan ini

umumnya ringan meliputi sakit kepala, diare, mengantuk (Goodman dan Gilman, 2012).

3. Inhibitor Pompa Proton

Inhibitor Pompa Proton dapat menghambat sekresi asam lambung lebih kuat dari

antagonis reseptor H2. Obat ini bekerja menghambat langkah terakhir dalam produksi asam

lambung. Contoh obat yang digunakan, yaitu omeprazol, dan lansoprazol (Gunawan, 2012). Obat

penghambat pompa proton sebaiknya diberikan dalam sediaan salut enterik untuk mencegah

degradasi zat tersebut dalam suasana asam. Inhibitor pompa proton merupakan “prodrug” yang

memerlukan aktivasi dilingkungan asam. Senyawa ini memasuki sel parietal melalui darah dan

berakumulasi dalam kanalikuli sel parietal sehingga terjadi aktivasi senyawa menghasilkan

pembentukan asam sulfenat. Bentuk teraktivasi ini kemudian bereaksi melalui pembentukan

Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017

Page 7: Evaluasi Penggunaan Obat pada Pasien Dispepsia Menggunakan

ikatan kovalen dengan gugus sulfhidril di bagian pompa proton, sehingga dapat menghambat

produksi asam (Goodman dan Gilman, 2012).

4. Analog Prostaglandin

Misoprostol merupakan suatu analog prostaglandin yang memiliki efek menghambat

sekresi HCl dengan cara berikatan dengan reseptor EP3 pada sel parietal dan bersifat sitoprotektif

untuk mencegah tukak saluran cerna yang diinduksi obat AINS (Gunawan, 2012). Misoprostol

dikontraindikasikan selama kehamilan, karena dapat menyebabkan keguguran akibat terjadinya

peningkatan kontraktilitas uterus. Misoprostol merupakan obat analog prostaglandin yang

disetujui FDA untuk pencegahan luka mukosa akibat obat-obat AINS (Goodman dan Gilman,

2012).

5. Sukralfat

Kondisi kerusakan mukosa lambung disebabkan oleh asam dan hidrolisis protein mukosa

yang diperantarai oleh pepsin. Proses ini dapat dihambat oleh polisakarida bersulfat. Sukralfat

terdiri dari sukrosa oktasulfat yang telah ditambahkan alumunium hidroksida. Dalam lingkungan

asam, senyawa ini menghasilkan gel yang kental dan lengket dan melekat kuat pada sel-sel epitel.

Sukralfat digunakan pada saat kondisi lambung kosong satu jam sebelum makan. Efek samping

yang sering dilaporkan adalah konstipasi (Goodman dan Gilman, 2012).

6. Antiemetik

Proses mual dan muntah dikoordinasi oleh pusat mutah di CTZ (chemotriggerzone) pada

batang otak dan NTZ (Nucleus Tractus Solitarius) saraf vagus. CTZ merupakan pusat muntah

yang memiliki banyak reseptor serotonin (5-HT3), dopamine (D2), dan opioid, sedangkan NTS

memiliki reseptor histamin, kolinergik dan mengandung reseptor 5-HT3. Ondansetron merupakan

obat golongan antagonis reseptor 5-HT3 yang paling banyak digunakan untuk mengatasi emesis

yang diinduksi oleh kemoterapi dan mengobati mual akibat dari penyinaran abdomen bagian atas.

Obat yang memiliki mekanisme kerja antagonis reseptor D2 di CTZ sebagai efek antimual yaitu

domperidon. Antagonis reseptor histamin (H1) bermanfaat untuk mabuk perjalanan, yaitu seperti

difenhidramin (Goodman dan Gilman, 2012).

Evaluasi Penggunaan Obat

Evaluasi penggunaan obat (EPO) merupakan proses jaminan mutu yang dilaksanakan

secara terus menerus dan terstruktur, ditunjukan untuk menjamin penggunaan obat yang tepat,

Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017

Page 8: Evaluasi Penggunaan Obat pada Pasien Dispepsia Menggunakan

aman dan efektif. Evaluasi penggunaan obat juga merupakan salah satu teknik pengelolaan sistem

formularium di rumah sakit maupun di puskesmas. Program evaluasi penggunaan obat terdiri dari

evaluasi secara kuantitatif maupun kualitatif. Tujuan dari program evaluasi penggunaan obat,

yaitu mengetahui pola penggunaan obat di puskesmas serta menilai ketepatan atau ketidaktepatan

penggunaan obat tertentu (Siregar, 2003).

Formularium Nasional

Formularium Nasional merupakan daftar obat terpilih yang dibutuhkan dan harus tersedia

di fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Obat yang masuk dalam daftar obat Fornas adalah obat yang paling berkhasiat, aman, dan dengan

harga terjangkau yang disediakan serta digunakan sebagai acuan untuk penulisan resep dalam

sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) (Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat

Kesehatan, 2014).

Sistem Klasifikasi ATC

Sistem ATC merupakan sistem yang digunakan pada penelitian penggunaan obat dalam

rangka meningkatkan kualitas penggunaan obat melalui data statistik untuk perbandingan secara

internasional.  Pada sistem klasifikasi Anatomical Therapeutic Chemical (ATC) dibagi menjadi

kelompok-kelompok yang berbeda sesuai dengan organ atau sistem di tempat kerjanya dan terapi

obat, farmakologi dan sifat kimia. Obat diklasifikasikan dalam lima tingkat kelompok yang

berbeda. Obat dibagi menjadi 14 kelompok utama (tingkat 1), selanjutnya subkelompok

farmakologi/terapi (tingkat 2). Tingkat 3 dan 4 adalah subkelompok kimia/farmakologis/terapi

dan tingkat 5 adalah zat kimia. Contoh klasifikasi lengkap klasifikasi ATC untuk

menggambarkan struktur kode pada obat ranitidin (WHO, 2017):

A : Saluran pencernaan dan metabolisme

(Tingkat 1, kelompok utama anatomi)

A02 : Obat yang digunakan untuk gangguan asam

(Tingkat 2, subkelompok terapi)

A02B : Obat untuk penyakit ulkus peptikum dan GERD

(Tingkat 3, subkelompok farmakologi)

A02BA : Antagonis Reseptor H2

(Tingkat 4, subkelompok kimia)

Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017

Page 9: Evaluasi Penggunaan Obat pada Pasien Dispepsia Menggunakan

A02BA02 : Ranitidin

(Tingkat 5, zat kimia)

Pada sistem klasifikasi produk obat memiliki prinsip umum, yaitu dikelompokkan

berdasarkan fungsi terapeutik utama dari senyawa aktif, dengan prinsip bentuk farmasi yang

berbeda untuk penggunaan terapi yang berbeda akan memiliki kode ATC yang berbeda. Sediaan

farmasi dengan komposisi yang sama dan memiliki kekuatan yang berbeda tetap memiliki kode

ATC sama (WHO, 2017).

Sistem Klasifikasi Defined Daily Dose (DDD)

Defined Daily Dose (DDD) dapat diasumsikan yaitu rata-rata dosis pemeliharaan per hari

untuk obat yang digunakan terutama diindikasikan pada orang dewasa. Dosis harian yang

ditetapkan adalah satuan pengukuran dan tidak selalu mencerminkan sebagai dosis harian yang

direkomendasikan atau ditetapkan. DDD hanya ditetapkan untuk obat yang memiliki kode ATC

dan DDD biasanya tidak dapat untuk bahan yang produknya belum disetujui dan dipasarkan

(WHO, 2017).

Perhitungan DDD yang sering digunakan dalam evaluasi penggunaan obat meliputi (The

Pantented Medicine Prices Review Board Standard Life Centre, 2010):

a) DDD/1000 pasien/hari

Data yang disajikan dalam DDD per 1000 penduduk per hari dapat memberikan perkiraan

proporsi populasi penelitian yang diobati setiap hari dengan obat atau kelompok obat tertentu. Hasil dari 10 DDD/1000 pasien/hari menginterpretasikan dalam suatu kelompok yang terdiri dari

1000 pasien, rata-rata sebesar 10 DDDs obat digunakan pada tiap hari pemberian dalam satu

tahun analisis dilakukan atau menunjukkan bahwa 1% dari populasi rata-rata mungkin menerima

obat tertentu setiap hari. Rumus yang dapat digunakan untuk menghitung DDD/1000 pasien

perhari, yaitu (Lahon, Shetty, Paramel, & Sharma, 2011):

DDD/1000 pasien perhari = !  !  !  !  !"""!"#$  !!!  !  !"#  !"#$  !  !"!#$%&'

N adalah jumlah obat selama setahun, M merupakan kekuatan obat dalam sediaan, unit DDD

adalah ukuran unit DDD yang disebutkan dalam indeks klasifikasi ATC.

b) DDD per pasien per tahun

Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017

Page 10: Evaluasi Penggunaan Obat pada Pasien Dispepsia Menggunakan

DDD per pasien per tahun menunjukan perkiraan jumlah rata-rata hari setiap penduduk

yang diberikan pengobatan setiap tahunnya. Hasil dari 10 DDD per penduduk per tahun setara

dengan rata-rata 10 hari pengobatan dengan obat tertentu per penduduk per tahun.

c) DDD per 100 hari rawat.

Langkah ini diterapkan untuk analisis penggunaan obat di rumah sakit. Hasil dari 10 DDD

per 100 hari rawat adalah setara dengan 10% dari pasien rawat inap yang menerima DDD obat

setiap hari. Unit ini cukup berguna untuk pembandingan di rumah sakit.  Drug Utilization 90% (DU90)

Drug Utilization 90% (DU90) yaitu mencerminkan jumlah obat 90% dari resep obat dan

kepatuhan terhadap pedoman resep lokal atau nasional. Indikator umum ini dapat diterapkan pada

tingkat yang berbeda (misalnya resep individu, resep kelompok, rumah sakit, wilayah atau

daerah) untuk mendapatkan perkiraan kasar dari kualitas resep. DU90% bertujuan untuk

membuat pengelompokkan data statistik penggunaan obat, sehingga kualitas penggunaan obat

dapat dinilai. DU90% merupakan pengembangan lebih lanjut dari data yang diberikan baik data

kuantitatif maupun data kualitatif (WHO, 2003).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan desain potong lintang (cross-

sectional). Pengambilan data dilakukan secara retrospektif menggunakan data sekunder,   yaitu

resep pasien di puskesmas kecamatan Pasar Minggu tahun 2016. Penelitian dilakukan di

Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu.

Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode total sampling. Sampel yang

digunakan yaitu seluruh resep pasien dispepsia yang mendapatkan obat dispepsia di Puskesmas

Kecamatan Pasar Minggu pada tahun 2016 dengan kriteria inklusi, yaitu resep pasien dispepsia

usia diatas atau sama dengan 18 tahun, sedangkan kriteria eksklusinya adalah resep pasien

dispepsia dengan data yang tidak lengkap dan tidak terbaca.

Analisis dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel 2013.   Analisis ini digunakan

untuk mendapatkan frekuensi distribusi pada semua variabel. Data kemudian disajikan dalam

bentuk tabel atau diagram.  

Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017

Page 11: Evaluasi Penggunaan Obat pada Pasien Dispepsia Menggunakan

PEMBAHASAN

Total resep pasien dispepsia pada bulan Januari hingga Desember tahun 2016 di

Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu sebanyak 3745 resep. Total resep yang memenuhi kriteria

inklusi sebanyak 3280 resep, sedangkan resep yang dieksklusi sebanyak 465 resep. Resep yang

dieksklusi disebabkan karena resep yang kurang lengkap, yaitu sebanyak 27 resep dan pasien

dibawah usia 18 tahun sebanyak 438 resep pasien. Resep pasien yang kurang lengkap diakibatkan

oleh lamanya penyimpanan resep menyebabkan tulisan resep mulai memudar dan tidak terbaca

yang mengakibatkan data pasien tidak lengkap.

Distribusi Pasien Dispepsia Berdasarkan Karakteristik

a. Prevalensi Pasien Dispepsia Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi pasien dispepsia selengkapnya dapat dilihat pada

Tabel 1. Tabel 1. Prevalensi Pasien Dispepsia Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah Pasien

(Orang)

Persentase

(%)

Laki-Laki

Perempuan

942

2338

28,72

71,28

Total 3280 100

Hasil analisis menunjukkan bahwa prevalensi dispepsia lebih banyak terjadi pada

perempuan, yaitu sebanyak 2338 pasien (71,28%). Hasil penelitian ini sama seperti yang

dilakukan oleh Putri, Ernalia dan Bebasari pada tahun 2015 menunjukkan bahwa kejadian

dispepsia dialami paling banyak pada perempuan 99 orang (71,7%). Hal tersebut dikarenakan

timbulnya dispepsia berhubungan dengan pola makan yang tidak teratur atau diet yang sering

dilakukan wanita dan faktor psikologi seperti stres (Alkhatib, Turk, Idris dan Saadi, 2016). Stres

Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017

Page 12: Evaluasi Penggunaan Obat pada Pasien Dispepsia Menggunakan

akan meningkatkan hormon kortisol. Peningkatan kortisol ini akan merangsang produksi asam

lambung dan dapat menghambat prostaglandin yang bersifat protektif terhadap mukosa lambung

sehingga menyebabkan kejadian sindrom dispepsia (Rulianti, Almasdy dan Murni, 2013)

b. Prevalensi Pasien Dispepsia Berdasarkan Usia

Berdasarkan kelompok usia, pasien dispepsia dikelompokkan berdasarkan kategori usia

yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2014 dan telah

dimodifikasi untuk memudahkan pembacaan. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Prevalensi Pasien Dispepsia Berdasarkan Usia

Usia

(Tahun)

Jumlah Pasien

(Orang)

Persentase

(%)

18-25

>25-45

>45-60

>60

457

1095

1276

452

13,93

33,39

38,90

13,78

Total 3280 100

Berdasarkan Tabel 2. ditunjukkan bahwa prevalensi dispepsia terbanyak pada kelompok

usia di atas 45 hingga 60 tahun, yaitu sebanyak 1276 pasien (38,90%). Hasil penelitian ini sama

seperti yang dilakukan oleh Nasution, pada tahun 2015 bahwa mayoritas pasien dispepsia terjadi

pada pasien berusia > 45 tahun sebanyak 59,09%. Hal ini dapat disebabkan oleh penurunan

fungsi tubuh serta faktor riwayat mengkonsumsi obat-obatan seperti obat anti inflamasi non

steroid (OAINS) pada kelompok umur di atas 45 tahun (Arnelis, Asterina dan Putri, 2016).

OAINS merupakan obat penghambat enzim siklooksigenase (COX) yang akan menurunan

produksi prostaglandin sehingga menurunkan sekresi mukus dan bikarbonat pada lambung. Hal

ini dapat menyebabkan asam lambung dan pepsin melukai lambung (Rani, Simadibrata dan

Syam, 2011). Pasien dispepsia di atas 60 tahun pada Kecamatan Pasar Minggu menunjukkan

penurunan jumlah penduduk, hal tersebut ditandai dengan sedikitnya penduduk usia 60 tahun ke

atas dan banyaknya penduduk usia produktif (Badan Pusat Statistik, 2016).

c. Prevalensi Pasien Dispepsia Berdasarkan Status Pengobatan

Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017

Page 13: Evaluasi Penggunaan Obat pada Pasien Dispepsia Menggunakan

Pasien di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu terdiri dari pasien umum dan pasien

peserta BPJS. Pasien umum termasuk ke dalam status pengobatan non BPJS. Data selengkapnya

dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Prevalensi Pasien Dispepsia Berdasarkan Status Pengobatan Pasien

Status Pengobatan Jumlah Pasien

(Orang)

Persentase

(%)

BPJS

Non BPJS

2481

799

75,64

24,36

Total 3280 100

Hasil analisis menunjukkan bahwa pasien dispepsia di Puskesmas Kecamatan Pasar

Minggu lebih dari setengahnya merupakan pasien yang mengikuti program BPJS Kesehatan,

yaitu sebanyak 2481 pasien (75,64%). Hal ini menunjukkan bahwa sosialisasi dari BPJS

Kesehatan kepada masyarakat berhasil dilakukan selama dua tahun program berjalan. Sosialisasi

bertujuan untuk memperluas cakupan kepesertaan sekaligus sebagai upaya meningkatkan

pengetahuan masyarakat mengenai manfaat program JKN sehingga masyarakat mudah

memahami tentang pentingnya mendaftar jadi peserta dari program BPJS Kesehatan (BPJS

Kesehatan, 2015).

Jenis Obat yang Digunakan Pasien Dispepsia

Penggunaan obat pada pasien dispepsia di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu terdiri

dari enam obat. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Daftar nama obat yang digunakan pada pasien dispepsia

Nama Obat Zat Aktif Kode

ATC

Jenis

Sediaan

Jumlah

Obat

Persentase

Penggunaan

(%)

Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017

Page 14: Evaluasi Penggunaan Obat pada Pasien Dispepsia Menggunakan

Antasida

DOEN

Ranitidin

Simetidin

Omeprazol

Domperidon

Papaverin

Alumunium

Hidroksida 200 mg

Magnesium

Hidroksida 200 mg

Ranitidin 150 mg

Simetidin 200 mg

Omeprazol 20 mg

Domperidon 10 mg

Papaverin HCl 40 mg

A02AD01

A02BA02

A02BA01

A02BC01

A03FA03

A03AD01

Tablet

Suspensi

Tablet

Tablet

Kapsul

Tablet

Tablet

23507

75

10420

5614

3067

1096

434

53,17

0,17

23,57

12,69

6,94

2,48

0,98

TOTAL 44213 100

Obat antasida DOEN merupakan obat paling banyak digunakan. Hal ini disebabkan

karena antasida merupakan lini pertama dalam pengobatan dispepsia (McDonal, Burroughs,

Feagan, dan Fennerty, 2010). Selain itu, kombinasi kandungan Al(OH)3 dan Mg(OH)2 pada

antasida DOEN dapat meminimalkan efek samping pada pasien dispepsia (Goodman dan

Gilman, 2012).

DDD dan DDD/1000 Pasien/Hari

Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan nilai DDD dan DDD/1000 pasien/hari di

Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. DDD dan DDD/1000 pasien/hari

Nama Obat Zat Aktif Kode

ATC

Jumlah

Obat

Unit

DDD*

Nilai

DDD

DDD/1000

Pasien/hari

Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017

Page 15: Evaluasi Penggunaan Obat pada Pasien Dispepsia Menggunakan

Antasida

DOEN

Ranitidin

Simetidin

Omeprazol

Domperidon

Papaverin

Alumunium

Hidroksida 200 mg

Magnesium

Hidroksida 200 mg

Ranitidin 150 mg

Simetidin 200 mg

Omeprazol 20 mg

Domperidon 10 mg

Papaverin HCl 40 mg

A02AD01

A02BA02

A02BA01

A02BC01

A03FA03

A03AD01

23507

(Tablet)

75

(Suspensi)

10420

5614

3067

1096

434

10 UD

= 10

Tablet

10 UD

= 50 ml

300 mg

800 mg

20 mg

30 mg

100 mg

2440,7

5210

1403,5

3067

365,33

173,6

2,04

4,35

1,17

2,56

0,31

0,15

*DDD yang ditentukan WHO

Berdasarkan hasil analisis kuantitatif, diperoleh nilai DDD dan DDD/1000 pasien/hari

terbesar, yaitu ranitidin. Semakin besar nilai DDD artinya semakin besar pula dosis penggunaan

obat tersebut. Nilai DDD terbesar di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu, yaitu ranitidin (5210)

menunjukkan bahwa dalam satu tahun rata-rata penggunaan dosis ranitidin sebanyak 5210 DDD.

Nilai DDD/1000 pasien/hari di Puskesmas Pasar Minggu, yaitu ranitidin (4,35 DDD/1000

pasien/hari) menunjukkan bahwa 0,43% dari populasi menggunakan ranitidin setiap harinya.

Antasida DOEN (2,04 DDD/1000 pasien/hari) menunjukkan bahwa 0,20% populasi

menggunakan antasida DOEN setiap harinya. Omeprazol (2,56 DDD/1000 pasien/hari)

menunjukkan bahwa 0,26% populasi menggunakan omeprazol setiap harinya. Berdasarkan data

statistik di Norway penggunaan obat dispepsia berdasarkan nilai DDD/1000 pasien/hari, yaitu

ranitidin (5,2 DDD/1000 pasien/hari), omeprazol (7,8 DDD/1000 pasien/hari) dan antasida (4,3

DDD/1000 pasien/hari). Hal ini menunjukkan perbedaan nilai DDD antara negara (Furu dan

Straume, 2008).

Drug Utilization 90%

Drug Utilization 90% merupakan obat yang menyusun 90% penggunaan obat pada pasien

dispepsia berdasarkan besarnya penggunaan obat dalam satuan DDD. Data selengkapnya dapat

dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Drug Utilization 90%

Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017

Page 16: Evaluasi Penggunaan Obat pada Pasien Dispepsia Menggunakan

Nama Obat Kode ATC Nilai

DDD

Persentase

(%)

Persentase

Kumulatif (%)

Ranitidin

Omeprazol

Antasida DOEN

Simetidin

Domperidon

Papaverin

A02BA02

A02BC01

A02AD01

A02BA01

A03FA03

A03AD01

5210

3067

2440,7

1403,5

365,33

173,6

41,15

24,22

19,28

11,10

2,88

1,37

41,15

65,37

84,65

95,75

98,63

100

12660,13 100

Berdasarkan analisis kualitatif, obat yang masuk ke dalam segmen DU90% adalah

ranitidin (41,15%), omeprazol (24,22%), antasida DOEN (19,28%) dan simetidin (11,10%). Hal

ini sudah menunjukkan efektivitas penggunaan obat baik, karena penggunaan obat dalam segmen

tersebut mencakup sedikit jenis obat dan kuantitas obat yang digunakan banyak (Bjerrum dan

Bergman, 2009).

Kesesuaian Obat dengan Formularium Nasional

Kesesuaian obat dengan Formularium Nasional didapatkan dari keseluruhan penggunaan

obat pada pasien dispepsia. Obat yang digunakan pada pasien dispepsia di Puskesmas Pasar

Minggu, yaitu ranitidin, antasida DOEN, omeprazol, domperidone, simetidin, dan papaverin.

Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Kesesuaian obat dengan Formularium Nasional

Kesesuaian dengan Fornas Nilai DDD Persentase

Sesuai

Tidak Sesuai

11083,03

1577,1

87,54%

12,46%

Total 12660,13 100%

Penggunaan obat pada pasien dispepsia yang sesuai dengan Formularium Nasional, yaitu

antasida DOEN, ranitidin, domperidon, dan omeprazol (87,54%), sedangkan yang tidak sesuai

dengan Formularium Nasional, yaitu simetidin dan papaverin (12,46%). Persentase kesesuaian

Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017

Page 17: Evaluasi Penggunaan Obat pada Pasien Dispepsia Menggunakan

dengan Formularium Nasional cukup tinggi, sebab Formularium Nasional sudah digunakan

sebagai acuan dalam pelayanan program BPJS. Obat yang tidak sesuai dengan Formularium

Nasional masih digunakan, yaitu simetidin dan papaverin. Obat simetidin tidak masuk ke dalam

Formularium Nasional, tetapi masih digunakan pada puskesmas tersebut karena obat simetidin

masuk ke dalam daftar obat yang digunakan pada panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas

pelayanan kesehatan primer (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015). Penggunaan

obat simetidin jangka panjang menyebabkan impotensi dan ginekomastia pada pria. Papaverin

merupakan obat golongan analgesik opioid yang masih digunakan karena masih dibutuhkan oleh

dokter. Papaverin memiliki efek yang menguntungkan seperti meredakan nyeri pada lambung,

tetapi penggunaan obat tersebut harus di awasi, sebab dapat berpotensi adiktif atau kecanduan

(Goodman dan Gilman, 2012).

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Berdasarkan karakteristiknya, pasien dispepsia lebih banyak pada perempuan (71,28%),

kelompok usia di atas 45 sampai 60 tahun (38,90%) dan mengikuti program BPJS (75,64%).

2. Obat yang digunakan pada pasien dispepsia paling banyak adalah antasida DOEN (53,17%).

3. Kuantitas obat pada pasien dispepsia berdasarkan DDD dan DDD/1000 pasien/hari paling

tinggi, yaitu obat ranitidin 5210 dan 4,35.

4. Obat pada pasien dispepsia yang menyusun segmen DU90%, yaitu ranitidin (41,15%),

omeprazol (24,22%), antasida DOEN (19,28%), dan simetidin (11,10%).

5. Penggunaan obat pada pasien dispepsia sudah sesuai dengan Formularium Nasional sebesar

87,54%.

SARAN

1. Puskesmas sebaiknya menggunakan obat yang terdapat pada Formularium Nasional yang

disediakan untuk fasilitas kesehatan satu.

2. Penelitian selanjutnya sebaiknya dikatagorikan penyakit dispepsia yang diderita pasien, untuk

mengevaluasi penggunaan obat berdasarkan ketepatan pemberian obat yang digunakan.

Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017

Page 18: Evaluasi Penggunaan Obat pada Pasien Dispepsia Menggunakan

DAFTAR REFERENSI Alkhatib, M., Turk, T., Idris, A., & Saadi, T. Al. (2016). Epidemiology and risk factors of

uninvestigated dyspepsia, irritable bowel syndrome, and gastroesophageal reflux disease among students of Damascus University, Syria. J Epidemiol Global Health, 213(9), 1-9.

Badan Pusat Statistik. (2016). Statistik Daerah Kecamatan Pasar Minggu Tahun 2016. Jakarta: BPS Kota Administrasi Jakarta Selatan.

Bjerrum, L., & Bergman, U. (2009). Wide variation in the number of different drugs prescribed by general practitioners: A prescription database study Wide variation in the number of different drugs prescribed by general practitioners a prescription database study. Scandinavian Journal of Primary Health Care, 18(2), 94–98.

BPJS Kesehatan. (2015). Indeks Kepuasan Peserta dan Faskes terhadap BPJS Kesehatan Sukses Lampaui Target. Jakarta: BPJS Kesehatan Kantor Pusat

Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. (2014). Pedoman Penerapan Formularium Nasional. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. (2016). Profil Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Dwigint, S. (2015). The Relation of Diet Pattern to Dyspepsia Syndrom in College Students. J MAJORITY, 4(1), 73–80

Furu, K., & Straume, B. (2008). Changes in antacid use over a 9-year period in a general population adjusted for changes in dyspeptic complaints. Norsk Epidemiologi, 18(2), 201–207.

Goodman dan Gilman. (2012). Dasar Farmakologi Terapi. (Ed. ke-10). Jakarta: EGC.

Gunawan, S.G. (2012). Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Profil kesehatan Indonesia 2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2015). Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Kesehatan Primer. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Formularium Nasional. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017

Page 19: Evaluasi Penggunaan Obat pada Pasien Dispepsia Menggunakan

Lahon, K., Shetty, H. M., Paramel, A., & Sharma, G. (2011). A Retrospective Drug Utilization Studi of Antidepressants in The Pschyatric Unit of a Tertiary Care Hospital. Journal of Clinical and Diagnostic Research, 5(5), 1069-1075.

McDonal, J. W., Burroughs, A. K., Feagan, B. G., & Fennerty, M. B. (2010). Evidence Based Gastroenterology and Hepatology. UK: Blackwell Publishing.

Muya, Y., Murni, A. W., & Herman, R. B. (2015). Karakteristik Penderita Dispepsia Fungsional yang Mengalami Kekambuhan di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang, Sumatera Barat Tahun 2011. Jurnal Kesehatan Andalas, 4(2), 490-496.

Nasution, A. R. (2015). Pola Penggunaan Obat Pada Pasien Dispepsia Rawat Inap Tahun 2014 Di RSUD Dr. Tengku Mansyur Kota Tanjung Balai. Tanjung Balai: Universitas Sumatra Utara.

Oustamanolakis, P., & Tack, J. (2012). Dyspepsia Organic Versus Functional. J Clin Gastroenterol, 46(3), 175–190.

Putri, C. Y., Arnelis, & Asterina. (2016). Gambaran Klinis dan Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas Pasien Dispepsia di Bagian RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 5(2), 343–348.

Putri, R. N., Ernalia, Y., & Bebasari, E. (2015). Gambaran Sindroma Dispepsia Fungsional Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau Angkatan 2014. JOM FK, 2(2), 3-19.

Rani, A., Simadibrata, M., & Syam, A. F. (2011). Buku Ajar Gastroenterologi. Jakarta: InternaPublishing.

Rulianti, M. R., Almasdy, D., & Murni, A. W. (2013). Hubungan Depresi dan Sindrom Dispepsia pada Pasien Penderita Keganasan Yang Menjalani Kemoterapi di RSUP DR. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 2(3), 137-140.

Simadibrata, M. (2006). Penatalaksanaan Sindrom Dispepsia. In Penyakit Dalam (p. 132). Jakarta: FKUI.

Simadibrata, M., et al. (2014). Konsensus Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helicobacter pylori. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI).

Siregar, C. (2003). Farmasi Rumah Sakit: Teori Dan Penerapan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG.

Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017

Page 20: Evaluasi Penggunaan Obat pada Pasien Dispepsia Menggunakan

The Patented Medicine Prices Review Board Standard Life Centre. (2010). Use of The World Health Organization Defined Daily Dose in Canadian Drug Utilization and Cost Analyses. Ottawa: Patented Medicine Prices Review Board.

Wijayanti, A., & Nuraeni. (2014). Pola Peresepan Antiemetika Pada Penderita Dispepsia Pasien Dewasa Dan Lansia Rawat Inap di Pku Muhammadiyah Yogyakarta Periode Januari-Juni Tahun 2012. Media Farmasi, 11(2), 197–207.

Wijayanti, A., & Saputro, Y. W. (2016). Pola Peresepan Obat Dispepsia Dan Kombinasinya Pada Pasien Dewasa Rawat Inap di Rumah Sakit Islam Yogyakarta Persaudaraan Djamaah Haji Indonesia (PDHI) 2012. CERATA Journal of Pharmacy Science, 17-30.

Wika. (2013). Dispepsia, Gejala dan Penanganannya. Jurnal Kedokteran Indonesia, 39(4).

World Health Organization. (2003). Introduction to Drug Utilization Research. Geneva: World Health Organization.

World Health Organization. (2017). Guidelines for ATC classification and DDD assignment. Oslo, Norwegia: WHO Collaborating Centre for Drug Statistics Methodology.

 

Evaluasi Penggunaan ..., Erni Destiarini, FF UI, 2017