etiologi

5
1. Etiologi Disebabkan oleh Corynebacterium dipththeriae, bakteri gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarnaan sediaan langsung dapat dilakukan dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung ini. Bakteri ini mati pada pemanasan 60°C selama 10 menit, tahan sampai beberapa minggu dalam es, air, susu dan lendir yang telah mongering. Terdapat tiga jenis basil yaitu bentuk gravis, mitis dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk koloni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium telurit. Basil dapat membentuk: 1. Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena; terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan basil. 2. Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf. Satu perlima puluh ml toksin dapat membunuh marmot dan lebih kurang 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick. Minimum lethal dose (MLD) dari toksin ini adalah 0,02 ml. 8

Upload: asmalina-azizan

Post on 03-Oct-2015

215 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

gbknl

TRANSCRIPT

1. EtiologiDisebabkan oleh Corynebacterium dipththeriae, bakteri gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarnaan sediaan langsung dapat dilakukan dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung ini. Bakteri ini mati pada pemanasan 60C selama 10 menit, tahan sampai beberapa minggu dalam es, air, susu dan lendir yang telah mongering.Terdapat tiga jenis basil yaitu bentuk gravis, mitis dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk koloni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium telurit. Basil dapat membentuk:1. Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena; terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan basil.

2. Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf. Satu perlima puluh ml toksin dapat membunuh marmot dan lebih kurang 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick. Minimum lethal dose (MLD) dari toksin ini adalah 0,02 ml. 8

2. PatogenesisBasil hidup dan berkembang biak pada traktus respiratorius bagian atas terlebih-lebih bila terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus dan lain-lain. Tetapi walaupun jarang basil dapat pula hidup pada daerah vulva, telinga dan kulit. Pada tempat ini basil membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran dapat timbul lokal atau kemudian menyebar dari faring atau tonsil ke laring dan seluruh traktus respiratorius bagian atas sehingga menimbulkan gejala yang lebih berat. Kelenjar getah bening sekitarnya akan mengalami hiperplasia dan mengandung toksin. Eksotoksin dapat mengenai jantung dan menyebabkan miokarditis toksik atau mengenai jaringan saraf perifer sehingga timbul paralisis terutama otot-otot pernafasan. Toksin juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, malahan dapat timbul nefritis interstitialis (jarang sekali).83. EpidemiologiPenularan umumnya melalui udara, berupa infeksi droplet, selain itu dapat pula melalui benda atau makanan yang terkontaminasi.7

4. Gejala klinisMasa tunas 2-7 hari. Selanjutnya gejala klinis dapat dibagi dalam gejala umum dan gejala local serta gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena.Gejala umum yang timbul berupa demam tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, nyeri kepala dan anoreksia sehingga tampak penderita sangat lemah sekali. Gejala ini biasanya disertai dengan gejala khas untuk setiap bagian yang terkena seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas dengan serak dan stridor, sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung kepada jaringan yang terkena seperti miokarditis, paralisis jaringan saraf atau nefritis.8a. Difteria hidungGejalanya paling ringan dan jarang terdapat (hanya 2%). Mula-mula hanya tampak pilek, tetapi kemudian secret yang ke luar tercampur darah sedikit yang berasal dari pseudomembran. Penyebaran pseudomembran dapat pula mencapai faring dan laring. Penderita diobati seperti penderita difteri lainnya.b. Difteria faring dan tonsil (difteria fausial)Paling sering dijumpai (75%). Gejala mungkin ringan hanya berupa radang pada selaput lendir dan tidak membentuk pseudomembran sedangkan diagnosis dapat dibuat atas dasar hasil biakan yang positif.2,7 Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada penderita. Pada penyakit yang lebih berat, mulainya seperti radang akut tenggorok dengan suhu yang tidak terlalu tinggi, dapat ditemukan pseudomembran yang mula-mula hanya berupa bercak putih keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring, nafas berbau dan timbul pembengkakan kelenjar regional sehingga leher tampak seperti leher sapi (bull neck).Dapat terjadi salah menelan dan suara serak serta stridor inspirasi walaupun belum terjadi sumbatan laring. Hal ini disebabkan oleh paresis palatum mole. Pada pemeriksaan darah dapat terjadi penurunan kadar haemoglobin dan leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumin, sedangkan pada urin mungkin dapat ditemukan albuminuria ringan.c. Difteria laring dan trakeaLebih sering sebagai penjalaran difteria laring dan tonsil (3 kali lebih banyak) daripada primer mengenai laring. Gejala gangguan jalan nafas berupa serak dan stridor inspirasi jelas dan bila lebih berat dapat timbul sesak nafas hebat, sianosis dan tampak retraksi suprasternal serta epigastrium. Pembesaran kelenjar regional akan menyebabkan bull neck. Pada pemeriksaan laring tampak kemerahan, sembab, banyak secret dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran. Bila anak terlihat sesak dan payah seklai maka harus segera ditolong dengan tindakan trakeostomi sebagai pertolongan pertama.

2.Richard E. Nelson textbook of pediatrics. 17th ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 2003.p. 115-126.7. Hassan R, Alatas H. Difteria. Dalam: Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Edisi 11. Jakarta: FKUI; 2007.h.550-6.8. Robbins, Kumar, Cotranz. Buku ajar patologi. Edisi 7. Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007.h.730-60.