esay analisis faktor resiko ansietas post partum
DESCRIPTION
Essay ini memaparkan tentang studi literatur dari berbagai faktor penyebab atau resiko ansietas post partumTRANSCRIPT
ANALISIS FAKTOR RESIKO DEPRESI POSTPARTUM
RENI NURHIDAYAH
8/26/2015ESSAY UNTUK MEMENUHI TUGAS PATMAGISTER KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Analisis Faktor Resiko Depresi Postpartum
Latar belakang
Masa transisi menjadi orang tua merupakan proses perkembangan
psikologis yang kompleks. Kelahiran bayi menyebabkan perubahan secara
personal dan perubahan dalam pola keluarga. Perubahan gaya hidup, pola tidur,
rekreasi, pola hubungan dalam keluarga dan identitas diri menjadi karakteristik
dari masa transisi tersebut. Kedua orang tua harus mampu menyesuaikan diri
baik dari sisi identitas, perubahan sususan keluarga dan kemampuan dalam
merawat anak. Ketidakmampuan adaptasi pada masa ini memunculkan masalah
baru yang disebut depresi postpartum. Depresi postpartum memunculkan
berbagai dampak yang serius. Ketidakmampuan ibu merawat bayinya sendiri
menimbulkan masalah bonding ibu dan bayi. Masalah dalam proses menyusui
merupakan dampak yang tidak bisa dihindarkan dari depresi postpartum. Depresi
postpartum akan meningkatkan angka morbiditas ibu dan bayi dikarenakan
gangguan pada hubungan ibu dan bayi. Berbagai masalah pada masa transisi ini
dan dampak yang ditimbulkan menjadikan depresi postpartum menjadi salah
satu masalah psikologis serius yang dihadapi orang tua baru khususnya ibu
(Epifanio, Genna, De Luca, Roccella, & La Grutta, 2015).
Depresi postpartum memiliki prevalensi yang cukup tinggi di masyarakat.
Hasil penelitian yang dilakukan Epifianio et al (2015) menunjukkan dari 75
pasangan primipara di Parlemo dan Trapani Italia, 20,8 % ibu mengalami depresi
postpartum, sedangkan dari sudut ayah 5,7% yang mengalami depresi
postpartum pada bulan pertama kelahiran. Tingginya angka depresi postpartum
pada ibu juga didukung oleh penelitian yang dilakukan pada hari pertama
postpartum di Chaim Seba Medical Center Israel, menujukkan 40,4% dari 89 ibu
postpartum mengalami depresi (Shlomi Polachek, Huller Harari, Baum, & R,
2014). Sedangkan di Indonesia, penelitian yang dilakukan pada 90 ibu
postpartum di RS X Medan 43,3% responden mengalami depresi postpartum
(Yusdiana, 2011). Beberapa hasil penelitian diatas telah menunujukkan tingginya
angka depresi postpartum di masyarakat.
Tingginya prevalensi depresi postpartum dipengaruhi oleh banyak faktor.
Faktor demografi seperti usia, status pernikahan, paritas, tingkat pendidikan dan
status ekonomi berperan sebagai salah satu stressor yang berkontribusi pada
depresi postpartum. Selain itu, faktor psikososial seperti dukungan keluarga juga
menjadi salah satu faktor penentu munculnya depresi postpartum. Depresi atau
ansietas perinatal juga dipandang sebagai salah satu faktor predisposisi penting
munculnya depresi postpartum. Berbagai faktor diatas saling berkontribusi untuk
meningkatkan angka kejadian depresi postpartum (Shlomi Polachek et al., 2014).
Tujuan
Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi faktor-faktor yang berperan
dalam peningkatan kejadian depresi postpartum. Analisis dilakukan dengan studi
literatur untuk melihat seberapa jauh faktor tersebut berkontribusi terhadap
terjadinya depresi postpartum tersebut.
Tinjauan Literatur
Depresi postpartum merupakan kelanjutan dari ansietas postpartum
dimana suasana hati atau mood menjadi labil yang berlangsung 10 hari hingga 4
minggu pasca melahirkan. Depresi postpartum merupakan masalah psikologis
yang cukup banyak terjadi di masyarakat namun kurang disadari oleh
masyarakat awam. Depresi postpartum menjadikan ibu baru belum mampu untuk
mengambil perannya secara utuh dalam merawat anak setelah lebih dari 10 hari
paska melahirkan (Basri, Zulkifli, & Abdullah, 2014).
Depresi postpartum dalam tingkatan yang rendah mempunyai manifestasi
antara lain peningkatan reaktifitas emosional seperti tegang, fokus perhatian
menurun, mudah menangis dan marah dan selalu takut melakukan sesuatu.
Manifestasi depresi postpartum dalam tingkatan yang cukup berat antara lain
sedih yang menetap, harga diri rendah, tegang, menurunnya selera makan, sulit
tidur, merasa kesepian, emosi yang labil, bingung, penelantaran anak bahkan
muncul ide bunuh diri. Manifestasi tersebut membawa dampak tersendiri bagi ibu
maupun bayi apabila tidak ditangani dengan cepat dan tepat (Epifanio et al.,
2015).
Depresi postpartum memerlukan penanganan cepat dan tepat, karena
tidak hanya mempengaruhi kesehatan ibu namun juga kesehatan bayi. Efek lebih
lanjut dari depresi postpartum adalah meningkatnya angka kesakitan bagi ibu
dan bayi. Penelitian yang dilakukan oleh Paul et al (2012) menunjukkan angka
kesakitan ibu postpartum meningkat pada ibu dengan depresi. Namun angka
kesakitan paling banyak dialami oleh bayi mereka. Adanya gangguan menyusui
pada ibu dengan depresi postpartum menyebabkan bayi mengalami berbagai
penyakit serius seperti hiperbilirubin patologis. Depresi postpartum akan
menurunkan level oksitosin sehingga akan mengurangi pengeluaran ASI.
Sehingga, dengan adanya depresi postpartum akan mempengaruhi kesehatan
ibu dan bayi.
Depresi postpartum yang mempunyai dampak serius tersebut belum
teridentifikasi etiologinya hingga kini, namun penelitian tentang faktor resiko telah
banyak berkembang. Studi epidemiologi yang berkembang menunjukkan bahwa
depresi postpartum terjadi apabila ada faktor resiko spesifik yang menjadi
stressor utama. Namun studi lanjutan menunjukkan bahwa depresi postpartum
terjadi apabila ada beberapa faktor resiko yang berakumulasi menjadi stressor.
Faktor resiko tersebut meliputi faktor demografi, psikososial dan riwayat depresi
perinatal. Faktor demografi antara lain usia, paritas, status ekonomi, status
perkawinan, tradisi lokal. Dukungan keluarga pada khususnya dukungan suami
juga mengambil peran sebagai faktor psikososial dalam meningkatkan angka
kejadian ansietas atau depresi postpartum. Riwayat stress atau ansietas selama
kehamilan baik pada trimester awal maupun akhir juga meningkatkan resiko
munculnya kelainan psikologis postpartum. Berbagai faktor predisposisi tersebut
dinilai memberi kontribusi yang signifikan terhadap timbulnya ansietas atau
depresi postpartum (Epifanio et al., 2015).
Faktor demografi merupakan salah satu faktor yang berkontribusi pada
terjadinya depresi postpastum. Salah satu faktor demografi yang mempengaruhi
depresi postpartum adalah usia. Usia yang beresiko mengalami depresi
postpartum adalah usia muda (< 20 tahun) dan usia tua (> 35 tahun). Hal ini
dikarenakan, pada usia muda minimnya pengalaman dan gangguan mood yang
masih sering terjadi menyulitkan adaptasi pada peran baru sehingga memicu
timbulnya parenting stress yang menjadi stressor spesifik depresi postpartum.
Sedangkan usia tua yang merupakan usia resiko kehamilan berkontribusi pada
timbulnya ansietas perinatal. Ibu hamil dengan usia tua lebih fokus pada resiko
yang dihadapinya selama kehamilan dan persalinan. Hal tersebutlah yang
berkontribusi menimbulkan ansietas atau depresi prenatal, sehingga akan
meningkatkan resiko munculnya depresi postpartum (Wahyuni, Murwati, &
Supiati, 2014).
Faktor demografi kedua yang meningkatkan resiko depresi postpartum
adalah paritas. Primipara diyakini memiliki tingkat kecenderungan mengalami
depresi postpartum dari pada multipara. Hal ini dikaitkan dengan minimnya
pengalaman primipara dalam beradaptasi dengan peran baru sebagai orang tua.
Masa transisi menjadi orang tua akan membawa kebingungan tersendiri bagi
primipara sehingga dapat menimbulkan stress parenting. Stress parenting akan
menjadi stressor spesifik sehingga meningkatkan resiko munculnya depresi
postpartum (Wahyuni et al, 2014).
Faktor demografi ketiga yang dinilai berkontribusi pada depresi postpartum
adalah pendidikan ibu. Pendidikan rendah dinilai sebagai salah satu faktor resiko
terjadinya depresi postpartum. Hai ini dikaitkan dengan minimnya pengetahuan
yang dimiliki dan keterbatasan penggunaan informasi yang akan berdampak
pada rendahnya ketrampilan ibu postpartum dalam beradaptasi dengan peran
barunya. Keterbatasan tersebutlah yang akan berdampak pada meningkatnya
resiko depresi postpartum (Wijayanti, Wijayanti, & Nuryanti, 2013).
Faktor demografi selanjutnya adalah penghasilan keluarga. Income atau
penghasilan keluarga yang rendah dipandang sebagai salah satu alasan
munculnya depresi postpartum. Rendahnya kemampuan finansial keluarga akan
membuat ibu lebih cemas dalam memikirkan cara untuk memenuhi kebutuhan
bayi baru lahir yang tidak sedikit. Ansietas yang dihadapi ibu dapat berkembang
lebih lanjut menjadi depresi postpartum bila tidak tertangani dengan baik (Basri et
al, 2014).
Selain faktor demografi, faktor psikososial juga diangkap berkontribusi
besar pada munculnya depresi postpartum. Faktor psikososial utama yang
menimbulkan munculnya depresi adalah dukungan keluarga. Dukungan keluarga
dinilai membawa dampak besar bagi ibu postpartum karena keluarga merupakan
support system utama ibu dalam beradaptasi dengan peran barunya. Apabila
dukungan keluarga tidak adekuat maka masalah depresi postpartum diyakini
lebih mudah terjadi (Urbayatun, 2010).
Faktor terakhir yang dinilai berkontribusi pada munculnya depresi
postpartum adalah riwayat ansietas atau depresi pranatal. Ansietas atau depresi
pranatal merupakan stressfull life event tersendiri bagi ibu postpartum. Ansietas
atau depresi pranatal tersebut akan terakumulasi dan membuat ibu postpartum
menjadi lebih rentan dan sensitif terhadap perubahan peran yang terjadi (Shlomi
et al, 2014).
Pembahasan
Faktor demografi pertama yaitu usia (usia < 20 tahun dan > 35 tahun)
meningkatkan resiko ibu postpartum mengalami depresi. Depresi postpartum
prevalensi terbesar terjadi pada ibu muda. Usia dianggap berkontribusi dalam
meningkatkan resiko ansietas atau depresi postpartum karena pada usia muda
kemungkinan terjadinya gangguan mood lebih besar. Selain itu, pada usia muda
ibu postpartum memiliki ketrampilan yang masih kurang dalam mengelola emosi
terkait dengan perubahan yang terjadi postpartum. Kurangnya ketrampilan
tersebut dinilai berkontribusi pada timbulnya depresi postpartum (Wijayanti,
Wijayanti, & Nuryanti, 2013). Senada dengan hal tersebut penelitian di Australia
menyebutkan bahwa terlalu muda seorang ibu maka resiko mengalami depresi
prenatal dan postpartum juga akan meningkat (Yelland, Sutherland, & Brown,
2010). Penelitian yang dilakukan di Blora menunjukkan bahwa kejadian depresi
postpartum terbesar dialami oleh kelompok usia beresiko, yaitu 83,33% ibu
dengan usia muda (dibawah 20 tahun) mengalami depresi postpartum dan diikuti
oleh 41,67% ibu dengan usia tua (diatas 35 tahun) mengalami depresi
postpartum (Wijayanti et al., 2013). Sementara itu hasil berbeda dipaparkan oleh
Wahyuni et al (2014) menunjukkan hasil uji statistik pvalue= 0,470 (α= 0,05) yang
berarti usia saat melahirkan tidak berkontribusi besar pada depresi postpartum.
Hasil penelitian tersebut sesuai dengan konsep tugas perkembangan dewasa
muda, yaitu masa dimana terjadi penyesuaian diri terhadap perubahan-
perubahan kehidupan baru dan harapan –harapan baru. Dewasa muda
mempunyai kemampuan untuk mengambil tanggung jawab, peran serta
membuat komitmen baru (Wahyuni et al, 2014). Dari beberapa hasil penelitian
diatas masih terdapat perdebatan hingga kini seberapa besar usia ibu
mempengaruhi depresi postpartum.
Paritas menjadi faktor kedua yang dinilai mempunyai andil dalam adaptasi
psikologi postpartum. Primipara dinilai menjadi kelompok rentan yang mengalami
depresi postpartum, karena transisi peran pada primipara merupakan kondisi
yang penuh dengan tekanan. Transisi ini dapat mengganggu pola rutin keluarga,
perubahan prioritas dan peningkatan tanggung jawab. Perubahan-perubahan
dalam memenuhi kebutuhan bayi baru lahir dengan minimnya pengalaman
mengakibatkan munculnya parenting stress yang akan memicu munculnya
depresi postpartum (Epifanio et al., 2015). Menurut penelitian Wijayanti (2013)
depresi postpartum pada ibu pripimara 17,4% lebih tinggi dari ibu multipara. Hal
ini diperkuat dengan berbagai studi yang dilakukan bahwa pada primipara lebih
rentan terhadap depresi postpartum. Namun, penelitian Basri (2014) menujukkan
hasil yang berbeda yang menyebutkan bahwa multipara juga memiliki resiko
depresi postpartum yang sama dengan primipara. Hal ini berkaitan dengan
bertambahnya anak maka bertambah pula beban ekonomi dan tanggung jawab,
sehingga memicu timbulnya ansietas atau depresi postpartum (Wahyuni,
Murwati, & Supiati, 2014).
Status ekonomi menjadi faktor demografi ketiga yang menjadi predisposisi
depresi postpartum. Status ekonomi keluarga meningkatkan resiko depresi
postpartum sesuai dengan penjabaran Yelland et al (2010) yang menyebutkan
bahwa rendahnya pendapatan keluarga menjadi salah satu faktor predisposisi
depresi postpartum. Pendapatan keluarga yang rendah akan menyulitkan
kesediaan finansial dengan bertambahnya anak. Sehingga baik pengeluaran
jangka panjang maupun jangka pendek akan mengalami perubahan. Penelitian
yang dilakukan Basri (2014) menjelaskan bahwa 52,8% responden yang
mengalami depresi postpartum berasal dari kelompok ekonomi yang lemah.
Faktor pendidikan ibu memicu depresi postpartum masih menjadi
perdebatan. Pendidikan yang rendah diyakini menjadi salah satu faktor
munculnya depresi postpartum. Hal ini dikarenakan ibu yang mempunyai
pendidikan yang rendah, mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang
kurang dalam beradaptasi dengan perubahan peran yang terjadi (Yelland et al.,
2010). Penelitian Wijayanti (2013) menunjukkan hasil bahwa responden dengan
tingkat pendidikan rendah lebih mudah mengalami depresi postpartum. Namun,
hasil penelitian berbeda disampaikan oleh Wahyuni (2014) dan Basri (2014) yang
menyatakan bahwa pendidikan yang tinggi justru akan meningkatkan resiko
depresi postpartum. Dari hasil penelitian didapatkan data bahwa 57,7%
responden yang mengalami depresi berasal dari tingkat pendidikan tinggi. Hal
yang senada juga disebutkan oleh Shlomi (2014) bahwa level pendidikan tinggi
akan menyebabkan tingginya masalah psikologis postpartum. Hal ini dikarenakan
tingginya ideal diri dan terlalu banyak paparan informasi yang mereka dapat,
sehingga hal itu justru membuat bingung ibu postpartum saat menjalankan
perannya karena adanya kesenjangan antara teori dan realita. Beberapa
penelitian tentang pendidikan ibu masih menuai polemik hingga kini tentang
pengaruhnya pada masalah psikologis postpartum.
Selain faktor demografi diatas, faktor psikososial yaitu dukungan keluarga
memicu timbulnya depresi postpartum telah banyak diteliti. Dukungan keluarga
berperan penting dalam pencegahan depresi postpartum, karena dukungan
keluarga merupakan support system bagi ibu postpartum. Dukungan keluarga
yang baik akan membuat ibu postpartum merasa dihargai, diperhatikan sehingga
dapat mengurangi perasaan tertekan dan tidak berdaya yang timbul paska
melahirkan. Dukungan sosial tersebut dapat berupa dukungan emosi, finansial,
informasi dan penghargaan. Dengan adanya support system yang efektif maka
ibu postpartum akan lebih mudah dalam menyusun koping yang adaptif untuk
menghadapi perubahan peran yang terjadi (Ayu & Lailatushifah, 2010).
Penelitian yang dilakukan Ayu (2010) menunjukkan terdapat hubungan negatif
yang sangat spesifik antara dukungan suami dengan kejadian depresi
postpartum. Hal ini berarti, semakin rendah dukungan suami maka semakin
tinggi tingkat depresi postpartum begitu juga sebaliknya. Penelitian seupa di
Jogjakarta menunjukkan hasil bahwa dukungan sosial (keluarga) mempunyai
kontribusi sebesar 29,7% dalam menyebabkan depresi postpartum pada ibu
primipara (Urbayatun, 2010).
Faktor terakhir yang memicu depresi postpartum adalah masalah
psikologis prenatal. Peristiwa yang terjadi selama kehamilan dan persalinan juga
menjadi salah satu faktor resiko utama depresi postpartum. Faktor resiko utama
adalah adanya riwayat ansietas prenatal atau ketakutan selama kehamilan yang
menjadi faktor resiko utama depresi postpartum. Penelitian yang dilakukan oleh
Shlomi et al (2014) menunjukkan hasil bahwa adanya hubungan yang konsisten
antara ansietas selama kehamilan dapat mempengaruhi munculnya depresi
postpartum. Kecemasan tersebut meliputi ketakutan akan persalinan, ketakutan
akan hidupnya dan janinya saat persalinan, ketidakpercayaan diri dalam
menghadapi persalinan dan kurangnya kepercayaan diri dalam merawat bayinya
nanti. Beberapa hal tersebut akan terakumulasi dan menyebabkan ansietas
prepartum. Ansietas prepartum yang tidak terselesaikan akan mengendap dan
menjadi stressfull life event yang akan terakumulasi dan akan melemahkan
kemampuan koping ibu postpartum (Paul, Downs, Schaefer, Beiler, & Weisman,
2012).
Berbagai faktor resiko berkontribusi dalam timbulnya masalah psikologis
postpartum mulai dari usia ibu saat persalinan, tingkat pendidikan ibu, status
ekonomi keluarga, riwayat paritas, dukungan keluarga dan riwayat ansietas atau
depresi prenatal. Terlepas dari pro dan kontra besar tidaknya faktor tersebut
dalam menyebabkan ansietas dan depresi postpartum, pencegahan yang tepat
penting untuk mencegah efek dari ansietas dan depresi postpartum pada
kesehatan ibu dan bayi.
Kesimpulan
Ansietas ataupun depresi postpartum menjadi salah satu masalah
postpartum yang sering terjadi. Berbagai faktor resiko dapat menyebabkan
munculnya masalah adaptasi psikososial postpartum ini. Dukungan keluarga dan
riwayat ansietas atau depresi prenatal dipercaya membawa kontribusi cukup
signifikan dalam kejadian ansietas ataupun depresi postpartum. Sedangkan usia
ibu, paritas, pendidikan dan status ekonomi mempunyai peran dalam munculnya
masalah adaptasi psikologis postpartum walaupun masih terdapat pro dan kontra
dari beberapa hasil penelitian. Penanganan yang kurang tepat dalam mengatasi
depresi postpartum dipercaya akan meningkatkan angka morbiditas maternal
dan fetal, seperti gangguan menyusui.
Daftar Pustaka
Ayu, F. R, & Lailatushifah, S. N. F. (2010). Dukungan suami dan depresi pasca melahirkan. Jurnal FPSI Mercubuana, 2.
Basri, A. H, Zulkifli, A, & Abdullah, M. T. (2014). Efektivitas psikoedukasi terhadap depresi postpartum di RSIA Sitti Fatimah dan RSIA pertiwi Makasar Junrnal Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanudin, 7.
Epifanio, M. S., Genna, V., De Luca, C., Roccella, M., & La Grutta, S. (2015). Paternal and Maternal Transition to Parenthood: The Risk of Postpartum Depression and Parenting Stress. Pediatr Rep, 7(2), 5872. doi: 10.4081/pr.2015.5872
Paul, I. M, Downs, D. S, Schaefer, E. W, Beiler, J. S, & Weisman, C. S. (2012). Postpartum anxiety and maternal-infant health outcome. American Academy of Pediatric, 2147, 1218-1224. doi: 10.1542/peds.2012-2147
Shlomi Polachek, I., Huller Harari, L., Baum, M., & R, D. Strous. (2014). Postpartum anxiety in a cohort of women from the general population: risk factors and association with depression during last week of pregnancy, postpartum depression and postpartum PTSD. Isr J Psychiatry Relat Sci, 51(2), 128-134.
Urbayatun, S. (2010). Dukungan sosial dan kecenderungan depresi postpartum pada ibu primipara di daerah gempa Bantul. Humanitas, VII, 114-122.
Wahyuni, S, Murwati, & Supiati. (2014). Faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi depresi postpartum. Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, 3(2), 106-214.
Wijayanti, K, Wijayanti, F. A, & Nuryanti, E. (2013). Gambaran faktor-faktor resiko postpartum blues di wilayah kerja puskesmas Blora. Jurnal Kebidanan, 2(5).
Yelland, J, Sutherland, G, & Brown, S. J. (2010). Postpartum anxiety, depression and social health: finding from a population-based survey of Australian women. BMC Public Health, 10, 1-11.
Yusdiana, D. (2011). Kejadian stres pasca trauma pada ibu post partum dengan secsio sesaria emergenci, partus pervaginam dengan vakum dan partus pervaginam normal. Jurnal Keperawatan Indonesia, 14.