erspektif hukum nasional indonesia dan hukum internasional...

69
55 BAB III HUKUM NASIONAL INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL SEBAGAI A BODY OF LAW YANG KOHEREN DALAM RANGKA PERLINDUNGAN TERHADAP KEBEBASAN BERAGAMA SEBAGAI HAM Mengingat urgensi kebebasan beragama yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), hak atas kebebasan beragama menjadi salah satu prioritas perlindungan oleh hukum yang berlaku. Di mana negara memiliki kewajibkan untuk menjamin, melindungi, serta menghormati hak tersebut. Bentuk perlindungan tersebut adalah melalui pengaturan hukum. Perlindungan tersebut disediakan oleh hukum nasional dan hukum internasional. Dalam kaitan dengan pemberian perlindungan terhadap kebebasan beragama tersebut, hukum nasional dan hukum internasional adalah sebuah sistem, a body of law, yang seyogyanya koheren. Namun penulis menemukan inkoherensi dalam pengaturan mengenai hak atas kebebasan beragama di dalam hukum nasional Indonesia dan hukum internasional Dalam kaitan dengan itu Bab ini hendak mendiskusikan dan berargumen mengenai hukum nasional Indonesia dan hukum internasional sebagai a body of law yang koheren dalam rangka perlindungan terhadap kebebasan beragama

Upload: vohanh

Post on 07-Mar-2019

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

55

BAB III

HUKUM NASIONAL INDONESIA DAN HUKUM

INTERNASIONAL SEBAGAI A BODY OF LAW YANG

KOHEREN DALAM RANGKA PERLINDUNGAN

TERHADAP KEBEBASAN BERAGAMA

SEBAGAI HAM

Mengingat urgensi kebebasan beragama yang merupakan bagian dari Hak

Asasi Manusia (HAM), hak atas kebebasan beragama menjadi salah satu prioritas

perlindungan oleh hukum yang berlaku. Di mana negara memiliki kewajibkan

untuk menjamin, melindungi, serta menghormati hak tersebut. Bentuk

perlindungan tersebut adalah melalui pengaturan hukum.

Perlindungan tersebut disediakan oleh hukum nasional dan hukum

internasional. Dalam kaitan dengan pemberian perlindungan terhadap kebebasan

beragama tersebut, hukum nasional dan hukum internasional adalah sebuah

sistem, a body of law, yang seyogyanya koheren. Namun penulis menemukan

inkoherensi dalam pengaturan mengenai hak atas kebebasan beragama di dalam

hukum nasional Indonesia dan hukum internasional

Dalam kaitan dengan itu Bab ini hendak mendiskusikan dan berargumen

mengenai hukum nasional Indonesia dan hukum internasional sebagai a body of

law yang koheren dalam rangka perlindungan terhadap kebebasan beragama

Page 2: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

56

sebagai HAM. Untuk mencapai tujuan tersebut maka sistematika pembahasan

dalam Bab ini disusun sebagai berikut. Pertama, mengemukakan pengaturan

hukum nasional Indonesia mengenai kebebasan beragama (infra Sub-judul A).

Kedua, mengemukakan pengaturan hukum internasional mengenai kebebasan

beragama (infra Sub-judul B). Ketiga, mengidentifikasi adanya inkoherensi antara

hukum nasional Indonesia dan hukum internasional serta memberikan solusi atas

inkoherensi dalam rangka a coherent body of law keduanya (infra Sub-judul C).

A. Pengaturan Hukum Nasional Indonesia Mengenai Kebebasan

Beragama

Dalam sub-judul ini penulis akan mendiskusikan konsep hubungan antara

negara dan agama di Indonesia (infra Sub-judul A.1) serta selanjutnya

mendiskusikan peraturan perundang-undangan (legislasi dan regulasi) berkaitan

dengan hak atas kebebasan beragama di Indonesia (infra Sub-judul A.2 & 3).

Hak-hak yang dimaksud meliputi: 1) Kebebasan dalam meyakini suatu agama,

serta 2) Kebebasan dalam menjalankan/mengekspresikan agama yang diyakini.

1. Konsep Hubungan antara Negara dan Agama di Indonesia

Indonesia bukan negara sekuler serta bukan negara agama mayoritas.

Dalam sidang-sidang BPUPKI tahun 1945, golongan Islam menyatakan bahwa

Indonesia harus berdasarkan Islam sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunah. Namun

pendapat ini ditentang oleh kaum nasionalis yang menyadari adanya

agama/kepercayaan lain di Indonesia. Perdebatan tersebut akhirnya mencapai

Page 3: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

57

konsensus penting berupa Rancangan UUD yang memuat pasal mengenai

kebebasan beragama yang berbunyi “Negara menjamin kebebasan setiap warga

negara untuk memeluk agama apa pun dan untuk menjalankan ibadahnya sesuai

dengan agama masing-masing.”1

Namun golongan Islam tidak menyetujui sehingga diubah menjadi,

pertama, “Negara harus mendasarkan pada Ketuhanan dengan menjalankan

syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Kedua, “Negara akan menjamin

kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama lain dan untuk beribadah

sesuai dengan kepercayaan masing-masing.2 Sekali lagi golongan Islam

menentang ayat kedua ketentuan tersebut sehingga diubah menjadi “Negara

menjamin kebebasan bagi setiap warga negara untuk memeluk agama dan

beribadah sesuai dengan agama masing-masing.”

Konsep negara Islam ditentang oleh kaum nasionalis dengan latar

belakang keanekaragaman agama/kepercayaan yang diyakini oleh bangsa

Indonesia. Ketentuan mengenai syari’at Islam berpotensi timbulnya kedudukan

yang lebih menguntungkan bagi Islam dibandingkan dengan penganut agama

lain.3 Di samping konsep negara Islam, konsep negara sekuler juga ditentang

sebagai dasar negara Indonesia karena dipandang sebagai sebuah pemikiran,

1 Adnan Buyung Nasution, Op. Cit. Hlm. 102.

2 Ibid. Hlm. 103.

3 Ibid. Hlm. 105.

Page 4: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

58

tujuan, dan sikap yang terbatas pada kehidupan duniawi. Sekulerisme dianggap

tidak sanggup memberi bimbingan yang kuat dan tegas dibanding agama.4

Penolakan terhadap konsep-konsep hubungan negara dan agama tersebut

menyebabkan konsep hubungan negara dan agama di Indonesia sangat ambigu.

Sila pertama Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang membuat

Indonesia semakin digambarkan sebagai bukan negara sekuler namun juga bukan

negara agama mayoritas.5

Hal ini dipertegas oleh Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 tersebut berbunyi

“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pasal 29 Ayat (2) UUD

1945 sebagai penjabarannya menjamin seseorang bebas mendiskusikan atau

memilih atau tidak memilih suatu agama tanpa campur tangan negara, dan ketika

telah menganut agama dia bebas mengikuti ajaran-ajarannya, berpartisipasi dalam

kebaktian, menyebarkan ajaran-ajarannya dan menjadi pejabat dalam organisasi

agamanya.6

2. Kebebasan dalam Meyakini suatu Agama

Hak-hak berkenaan dengan kebebasan meyakini agama yang akan dibahas

oleh Sub-judul ini adalah: a) Hak untuk beragama dan tidak beragama; b) Hak

untuk berganti agama; serta c) Hak anak untuk menentukan agama.

4 Ibid. Hlm. 106.

5 Nicola Cobran, Kebebasan Beragama atau Nerkeyakinan di Indonesia dalam Tore Lindholm, et

al., Op. Cit., hlm. 683. “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan hasil kompromi antara

kelompok pendukung nasionalisme sekuler dan kelompok yang menginginkan Islam sebagai

dasar negara.

6 Buku VIII Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945. Hlm. 372-374.

Page 5: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

59

a. Hak untuk Beragama serta Hak untuk Tidak Beragama

UUD 1945 mengakui hak atas kebebasan beragama sebagai HAM serta

memberikan dasar perlindungan terhadap berupa Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 jis.

Pasal 28E ayat (1) jo. ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.

Ketentuan tersebut mengamanatkan bahwa negara menjamin kemerdekaan serta

kebebasan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan

untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu, serta kebebasan

untuk meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati

nuraninya. Hak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani serta hak beragama

adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Hak atas kebebasan seseorang untuk meyakini suatu agama meliputi hak

untuk memilih serta memeluk suatu agama baik itu keyakinan teistik ataupun

ateistik, hak untuk tidak memeluk suatu agama/keyakinan, hak untuk berganti

agama/keyakinan, serta hak untuk mempertahankan agama/keyakinan yang

pernah dipeluknya.7

Negara berkewajiban untuk menjamin kebebasan beragama serta segala

sesuatu yang menjadi turunannya, seperti hak-hak sipil lainnya.8 Sifat internal dari

hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan9 tidak boleh dibatasi karena

7 Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 770. Lihat juga General comment No. 22: Article 18 ICCPR

(Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 2 dan paragraf 5.

8 Pasal 28I ayat (4) berbunyi “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi

manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”

9 Oeripan Notohamidjojo, Soal-soal Pokok Filsafat Hukum, Salatiga: Griya Media, 2011, hlm. 69.

Yaitu hak setiap warga negara untuk menganut atau menetapkan agama atau keyakinannya atas

Page 6: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

60

merupakan persoalan individu, bukan persoalan negara. Negara tidak boleh

melakukan justifikasi sepihak mengenai agama yang resmi ataupun agama yang

belum diakui. Setiap warga negara harus mendapatkan hak kebebasannya dalam

menentukan pilihan agama.10

Beberapa persoalan pengaturan dalam hukum nasional Indonesia terkait

dengan hak beragama/tidak beragama adalah sebagai berikut.

a.1. Pengaturan tentang Administrasi Kependudukan

UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan

dan/atau Penodaan Agama menyebutkan agama-agama resmi yang dipeluk

oleh penduduk Indonesia yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan

Kong Hu Cu. Kendati undang-undang tersebut menegaskan bahwa agama-

agama lainnya seperti Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoisme tidak

dilarang di Indonesia, namun undang-undang ini diartikan hanya

mengakui secara resmi enam agama saja.11

Hal ini dapat dilihat dalam dokumen resmi negara serta undang-

undang yang menggunakan istilah agama resmi dan agama yang belum

diakui.12

Dalam UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

pilihannya sendiri, serta untuk membentuk pendapat dalam batin sesuai dengan keinsyafan-

batinnya sendiri.

10 Nicola Cobran, Op. Cit., hlm. 692.

11 Penjelasan UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan

Agama.

12 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 8 ayat (2), Pasal 61 ayat (4),

dan Pasal 64 ayat (2).

Page 7: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

61

Kependudukan dimuat tentang keharusan pencantuman dokumen

kependudukan setiap warga negara. Pasal 61 jo. Pasal 64 menyatakan,

(1) KK dan KTP memuat keterangan mengenai kolom nomor KK,

nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis

kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal Iahir, agama, pendidikan,

pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga,

kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orang tua;

(2) Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai

agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan

atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani

dan dicatat dalam database Kependudukan.

Ketentuan ini mengharuskan adanya pencantuman agama yang

dianut oleh warga negara. Yang menjadi isu sebenarnya adalah ketika

seseorang beragama/berkepercayaan yang belum diakui, serta bagi

seseorang yang tidak memeluk agama, maka konsekuensinya ia tidak

mencantumkan agamanya ke dalam dokumen kependudukan. Hal ini

menunjukkan adanya inkonsistensi pengakuan negara terhadap kebebasan

beragama.

Ketika pengaturan dalam UUD 1945 dihadapkan dengan ketentuan

dalam UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,

terlihat jelas bahwa sebenarnya yang diberi kebebasan memeluk dan

beribadah hanyalah pemeluk agama resmi. Implikasinya, warga negara

yang agama/kepercayaannya tidak diakui menjadi tidak mencantumkan

agamanya ke dalam dokumen kependudukan yang merupakan suatu

Page 8: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

62

keharusan.13

Lebih lanjut hal ini menunjukkan adanya diskriminasi bagi

kaum minoritas yang ada di dalam suatu negara.

a.2. Pengaturan mengenai Pencatatan Perkawinan

Salah satu contoh peniadaan hak-hak sipil dan politik penganut

agama di luar agama resmi adalah peniadaan hak untuk dicatatkan

perkawinannya.14

Hak seseorang untuk melaksanakan perkawinan terdapat

dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) UU No. 39

Tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan “Setiap orang berhak

membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

sah.”

Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

menyatakan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agama dan kepercayaannya itu.” Permasalahan timbul

ketika pasangan calon suami-istri yang hendak melakukan perkawinan

memeluk agama yang belum diakui. Sahnya sebuah perkawinan harus

dicatatkan, namun kenyataannya pencatatan tersebut hanya berlaku bagi

agama-agama yang diakui oleh negara. Hal ini mengacu pada kenyataan

bahwa syarat administatif pencatatan perkawinan adalah pencantuman

dokumen kependudukan yang mencangkup klausul agama. Namun karena

13

Pasal 61 jo. Pasal 64 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

14 Nicola Cobran, Loc. Cit.

Page 9: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

63

agama yang dapat tercantum hanyalah agama resmi, maka terjadi

ketidaklengkapan substansi dokumen kependudukan.15

UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan

PP No. 37 Tahun 2007 tentang pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006

tentang Administrasi Kependudukan untuk mengakomodasi kemungkinan

pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan apabila

perkawinannya dilakukan di hadapan Pemuka Penghayat Kepercayaan

yang ditunjuk dan ditetapkan.16

Namun UU No. 23 Tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan dan PP No. 37 Tahun 2007 ini tidak mampu

menghapus praktik diskriminasi terhadap golongan minoritas yang

agamanya belum diakui. Hal ini dikarenakan ketika syarat administratif

berupa dokumen kependudukan memuat klausul pengosongan identitas

terkait agama, maka akan terjadi kesulitan pencatatan perkawinan.

Permasalahan pencatatan perkawinan juga mengalami kendala

terkait keabsahan perkawinan yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) UU

No. 1 Tahun 1974. Isu yang menarik adalah ketika pasangan calon suami-

istri memiliki agama/keyakinan yang berbeda. Salah satu kebijakan negara

Indonesia dalam persoalan klasik yang tetap menjadi isu aktual adalah

perkawinan antar agama.

15

UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Pasal 8 ayat (2), Pasal 61 ayat (4),

dan Pasal 64 ayat (2). Lihat juga sub bab A.a.1.

16 Pasal 81 ayat (2) PP No. 37 tahun 2007.

Page 10: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

64

Dalam rangka mengisi kekosongan hukum karena UU No. 1 Tahun

1974 tidak mengatur tentang perkawinan antar agama, Mahkamah Agung

dalam yurisprudensinya tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400

K/Pdt/1986, menyatakan bahwa perkawinan antar agama dapat diterima

permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang

berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami

istri untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar agama.17

Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentu saja perlu dikritisi

lebih lanjut karena beberapa hal yaitu, pertama sebagai satu negara yang

sudah memiliki instrumen hukum berupa UU No. 39 Tahun 1999 tentang

HAM, idealnya negara menjamin kebebasan warganya untuk memilih

pasangannya dalam membentuk sebuah keluarga. Hak untuk memilih

pasangan hidup merupakan kebebasan yang harus diakui keberadaannya

oleh negara. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang

HAM setiap orang berhak membentuk sebuah keluarga dan melanjutkan

keturunan melalui perkawinan yang sah. Hal ini bermakna bahwa setiap

orang berhak untuk membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan

melalui perkawinan yang sah dan atas kehendak yang bebas. Namun pada

kenyataannya, negara justru membatasi perkawinan tersebut. Kedua,

Indonesia bukan negara agama mayoritas dan bukan pula negara sekuler

sehingga di dalam pembentukan hukum nasional, pemerintah harus bisa

17

Sudikno Mertokusumo. Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar. Liberty. Jakarta. 2007. Hlm. 40.

Dalam kasus ini Hakim MA berfungsi mengisi kekosongan hukum yang ada dengan

melakukan penemuan hukum.

Page 11: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

65

menjamin kepastian hukum kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa

melihat agama dan kepercayaan yang dianut, termasuk dalam persoalan

perkawinan antar agama. Ketiga, perkawinan antar agama secara objektif

sosiologis adalah wajar karena penduduk Indonesia memeluk bermacam-

macam agama dan UUD 1945 menjamin kemerdekaan beragama bagi

setiap penduduknya sehingga tentu saja terbuka kemungkinan terjadinya

dua orang berbeda agama untuk membentuk sebuah keluarga. Keempat,

akibat tidak diaturnya ketentuan mengenai perkawinan antar agama dalam

UU No. 1 Tahun 1974, maka hal tersebut membuka ruang terjadinya

penyeludupan hukum. Untuk memenuhi persyaratan formal secara

perdata, suami-istri berbeda agama rela melangsungkan pernikahan di luar

negeri tanpa memperhatikan hukum agama, atau salah satu pihak pura-

pura pindah agama.18

Pengaturan mengenai pencatatan serta keabsahan perkawinan ini

jelas bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat

(1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan “Setiap orang

berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui

perkawinan yang sah.” Pengaturan tersebut juga menimbulkan

diskriminasi secara tidak langsung terhadap kebebasan meyakini suatu

agama yang merupakan hak absolut.

18

Nicola Cobran, Op. Cit, hlm. 693.

Page 12: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

66

Meskipun pemerintah atau negara tidak menyebutkan klausul

larangan perkawinan antar agama, namun pemerintah secara tidak

langsung menolak hak asasi tersebut melalui substansi Pasal 2 ayat (1) UU

No. 1 Tahun 1974. Oleh karena itu, bila di Indonesia terjadi penolakan

perkawinan antar agama baik dari segi pelaksanaannya maupun

pencatatannya, maka dalam perspektif HAM menurut penulis hal tersebut

jelas bertentangan dan melanggar prinsip-prinsip yang dikandung oleh

HAM terutama hak beragama dan berkeluarga yang merupakan hak sipil

seseorang.

b. Hak untuk Berganti Agama

Salah satu hak yang termasuk dalam hak atas kebebasan beragama adalah

hak untuk berganti agama.19

Namun dalam perjalanannya, terjadi perdebatan

mengenai pencantuman kebebasan berganti agama sebagai salah satu bentuk

kebebasan beragama dalam perumusan konstitusi Indonesia.20

Keberatan

pencantuman kebebasan berganti agama disampaikan oleh tokoh Islam Sajid

Husein Abubakar (Masyumi) yang menganggap perbuatan meninggalkan agama

merupakan suatu hal yang berbahaya. Namun golongan Katolik justru

memberikan usulan supaya Konstitusi yang baru tersebut memasukkan perumusan

Article 18 UDHR mengenai kebebasan beragama secara utuh. Dimana materi

muatan Article 18 UDHR memuat klausul kebebasan berpindah/mengganti agama

19

Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 770. Lihat juga General comment No. 22: Article 18

ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 2 dan paragraf 5.

20 Adnan Buyung Nasution, Op. Cit. Hlm. 204.

Page 13: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

67

sebagai salah satu bentuk kebebasan beragama. Perbedaan dua pandangan ini

bertitik pada pemuatan secara eksplisit terhadap hak untuk berpindah agama.21

Kesimpulan yang didapat dalam perdebatan tersebut adalah setiap orang

berhak untuk memilih dan berpindah agama atau kepercayaan dengan bebas.

Kebebasan ini memang tidak dinyatakan secara eksplisit dalam pengaturan hukum

nasional Indonesia, namun dasar perlindungan terhadap hak untuk berganti agama

diatur dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 jis. Pasal 28E ayat (1) jo. ayat (2) UUD

1945 dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara

menjamin kebebasan setiap orang untuk memeluk agamanya masing-masing dan

untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya.

Kebebasan untuk memilih agama mencakup kebebasan untuk memilih

agama lain untuk menggantikan agama yang sedang dianut.22

Walaupun terdapat

kontroversi terkait pemuatan hak untuk berganti agama sebagai bagian dari hak

atas kebebasan beragama,23

namun The Human Rights Committee mengamati

bahwa kebebasan untuk memiliki agama/kepercayaan tentu memerlukan

kebebasan untuk memilih agama atau kepercayaan, termasuk hak untuk

mengganti agama atau kepercayaan dengan yang lain atau untuk mengadopsi

pandangan ateistik, serta hak untuk mempertahankan agama/kepercayaan

21

Ibid.

22 Malcolm D. Evans, Loc. Cit.

23 Ibid. Hlm. 194-195.

Page 14: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

68

seseorang.24

Kebebasan tersebut tetap diakui walaupun tidak secara eksplisit

dimuat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

c. Hak Anak untuk Menentukan Agama

Indonesia memberikan pengakuan, penghormatan, serta perlindungan

terhadap hak atas kebebasan meyakini suatu agama bagi setiap orang, termasuk

anak. Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak jo. Pasal 1 angka 5 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

Hak anak atas kebebasan beragama dimuat dalam Pasal 6 UU No. 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan “Setiap anak berhak

untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan

tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.” Pasal 42 UU No.

23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan “(1) Setiap anak

mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya. (2) Sebelum anak

dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang

tuanya.” Perlindungan atas hak anak dalam rangka memeluk agama merupakan

suatu kebutuhan yang mutlak. Pemberdayaan anak penting agar mereka tidak

sekadar menjadi objek dari hak agama orang tua. Hal ini dikarenakan pada

24

General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion)

paragraf 2 dan paragraf 5.

Page 15: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

69

dasarnya anak secara otomatis mengikuti agama yang dianut oleh orang tua

mereka.25

Pengaturan tentang hak anak untuk beragama berimplikasi pada persoalan

adopsi, karena berpengaruh terhadap proteksi kebebasan beragama anak oleh

orang tua angkatnya. Pengaturan tentang adopsi di Indonesia memuat ketentuan

mengenai agama sebagai salah satu syarat keabsahan pengangkatan anak. Pasal 39

ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan “Calon

orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak

angkat.”

PP No. 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak juga

memberikan pengaturan mengenai agama dalam pengangkatan anak. Pasal 3

menyatakan “(1) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang

dianut oleh calon anak angkat.” Pasal 13 menyatakan “Calon orang tua angkat

harus memenuhi syarat-syarat: c. beragama sama dengan agama calon anak

angkat.” Pengaturan tersebut secara langsung ataupun tidak langsung telah

membatasi hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara

optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan yang terdapat dalam

Pasal 1 angka 2 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hak anak

tersebut juga termaktub dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan

“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta

berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

25

Rajaji Ramanadha Babu Gogineni dan Lars Gule, Humanisme dan Kebebasan dari Agama

dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 638.

Page 16: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

70

Ketika seorang anak menjadi tidak dapat diasuh oleh orang yang

berkompeten karena kendala agama, maka sebenarnya telah terjadi pembatasan

terhadap hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara

optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Di sisi lain pengaturan

ini dapat memicu penyelundupan atas syarat administratif tersebut, misalnya anak

berganti agama dahulu supaya sesuai dengan agama calon orang tua angkatnya.

Hal ini merupakan bentuk pelanggaran HAM terhadap anak.

3. Kebebasan dalam Menjalankan/Mengekspresikan Agama yang

Diyakini

Kebebasan seseorang atau sekelompok orang untuk dapat menjalankan

atau mengekspresikan agamanya masing-masing juga mendapatkan

perlindungan.26

Namun dimensinya berbeda dengan kebebasan meyakini suatu

agama karena kebebasan menjalankan agama merupakan dimensi eksternal hak

atas kebebasan beragama.27

Berbicara tentang kebebasan untuk mengekspresikan agama/keyakinan,

hubungan yang terbentuk bukan hanya antara individu dengan Tuhannya, namun

juga dengan individu lain. Sehingga yang perlu ditekankan adalah adanya

toleransi yang ujungnya demi menghormati hak-hak orang lain.28

26

Louis Henkin, Religion, Religions and Human Rights, The Journal of Religious Ethics, 1998,

hlm. 229-239.

27 Nicola Cobran, Loc. Cit.

28 Nihal Jayawickrama. Op.cit. Hlm. 8.

Page 17: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

71

Dalam Amandemen ke-2 UUD 1945 yang menambahkan Pasal 28J ke

dalam konstitusi, terdapat usul yang disampaikan oleh Nurdiati Akma (F-

Reformasi) yang menyatakan bahwa manusia juga mempunyai kewajiban di

samping haknya, serta memerlukan ada undang-undang untuk aplikasinya.

Mempertimbangkan usulan tersebut, rumusan Pasal 28J UUD 1945 menjadi,

(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam

tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk

kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan

maksud semata mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas

hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai

dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban

umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Pembatasan terhadap kebebasan untuk menjalankan/mengekspresikan

agama dapat diterapkan. Dari sisi eksternal, kebebasan tersebut dapat dibatasi

sepanjang pembatasan tersebut ditetapkan dengan hukum, dan pembatasan

tersebut benar-benar diperlukan untuk melindungi keamanan (dalam arti

keamanan pribadi pemeluk agama), ketertiban, kesehatan, nilai moral masyarakat,

atau hak-hak mendasar orang lain.29

Pembatasan yang diperbolehkan harus

berhubungan secara langsung dengan salah satu dari lima kepentingan tersebut,

bersifat proporsional (tidak berlebihan) dengan kepentingan yang melandasinya,

dan tidak boleh diterapkan dengan cara yang akan meniadakan hak kebebasan

29

Article 18 ICCPR, Pasal 28J UUD 1945. Lihat juga Nicola Cobran, Op. Cit. Hlm. 724.

Page 18: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

72

beragama itu sendiri.30

Penilaian apakah pembatasan itu benar-benar diperlukan

harus didasarkan pertimbangan yang objektif.31

Pembahasan penulis atas kebebasan dalam menjalankan/mengekspresikan

agama yang diyakini akan meliputi beberapa hak spesifik yaitu a) hak untuk bebas

menjalankan agama sesuai tafsir yang diyakini; b) hak untuk mendirikan tempat

ibadah; c) hak untuk membela/mempertahankan agama yang diyakini; serta d) hak

untuk menyebarluaskan ajaran agama.

a. Hak untuk Bebas Menjalankan Agama sesuai Tafsir yang Diyakini

Hak untuk bebas menjalankan agama sesuai tafsir yang diyakini di

Indonesia mendapatkan beberapa pengaturan berupa UU No. 1/PNPS/1965

tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama serta yang lebih

spesifik yakni SKB No: 3 Tahun 2008, No: Kep-033/A/JA/6/2008, dan No: 199

Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau

Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat

oleh Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung (SKB No: 3 Tahun

2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau

Anggota Pengurus JAI).

Tujuan adanya UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan

dan/atau Penodaan Agama adalah mencegah terjadinya penyelewengan-

30

General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion)

paragraf 8. Lihat juga paragraf 2 dan 10.

31 Ibid.

Page 19: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

73

penyelewengan dari ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran

pokok32

serta melindungi ketentraman beragama tersebut dari

penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang

bersendikan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.33

Dalam penjelasan Pasal 1 disebutkan

bahwa agama yang dimaksud adalah agama-agama yang dipeluk oleh penduduk

di Indonesia yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu

(Confusius).34

Pelanggaran atas larangan dalam UU No. 1/PNPS/1965 tentang

Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama diberi peringatan keras

untuk menghentikan perbuatannya melalui surat keputusan bersama Menteri

Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.35

UU ini juga menetapkan pasal baru KUHP (Pasal 156a) yang memberikan

sanksi pidana maksimum lima tahun bagi yang mengeluarkan perasaan atau

melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan

atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia serta dengan

maksud agar supaya orang tidak menganut apapun juga, yang bersendikan Ke-

Tuhanan Yang Maha Esa.36

Dalam perjalanan penerapannya, terdapat pihak yang mempermasalahkan

substansi berkenaan dengan konstitusionalitas UU No. 1/PNPS/1965 tentang

32

Pasal 1-3 UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan

Agama.

33 Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

Lihat juga Penjelasan I, umum angka 4.

34 Hal ini menunjukkan bahwa hanya agama tersebut yang diakui keberadaannya di Indonesia.

35 Pasal 2 UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

36 Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

Page 20: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

74

Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Mahkamah Konstitusi

dalam Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009 telah menyatakan bahwa UU No.

1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

konstitusional. Namun dalam putusan tersebut terdapat disenting opinion yang

disampaikan oleh salah satu hakim konstitusi yakni Maria Farida Indrati yang

menyatakan:

“Bahwa Undang-Undang a quo merupakan produk masa lampau, yang

walaupun berdasarkan Aturan Peralihan Pasal I Undang-Undang Dasar

1945 secara formal masih mempunyai daya laku (validity), namun secara

substansial mempunyai berbagai kelemahan karena adanya perubahan

yang sangat mendasar terhadap Undang-Undang Dasar 1945 khususnya

pasal-pasal yang menyangkut hak-hak asasi manusia.”

Substansi undang-undang tersebut sebenarnya telah melanggar hak atas

kebebasan menjalankan agama sesuai dengan tafsir yang diyakini oleh seseorang.

Padahal pengaturan mengenai HAM akan selalu disejajarkan dan tidak dapat

dikesampingkan dari materi-materi yang lain dalam konstitusi Negara.37

Walaupun Putusan MK menyatakan bahwa undang-undang tersebut

konstitusional, namun pada kenyataannya terdapat inkonsistensi dalam undang-

undang a quo terhadap ketentuan konstitusi mengenai kebebasan beragama yang

seharusnya dilindungi.

SKB No: 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut,

Anggota, dan/atau Anggota Pengurus JAI bermuatan spesifik yaitu pembekuan

37

B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia,

Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2003, hlm. 272.

Page 21: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

75

kegiatan JAI.38

Latar belakang disusunnya SKB adalah keberadaan aliran

Ahmadiyah yang dipandang sudah melenceng dari agama induknya.Secara

khusus, keputusan tersebut melarang penyebarluasan ajaran Ahmadiyah.39

SKB

tersebut memberikan peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota,

dan/atau anggota pengurus JAI untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan

kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu

penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah

Nabi Muhammad SAW.40

Sedangkan secara umum SKB No: 3 Tahun 2008

tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota

Pengurus JAI juga berlaku bagi bangsa Indonesia secara luas karena memberikan

peringatan dan perintah kepada masyarakat untuk tidak menceritakan,

menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran

tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan

keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang

menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.

Selain itu, dalam SKB tersebut juga termuat sanksi terhadap penganut,

anggota, dan/atau anggota pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan dan

perintah yang telah dimuat dalam SKB.41

Pelanggaran terhadap larangan

38

Jurnal Konstitusi Volume 7 Nomor 6, Desember 2010, hlm. 101.

39 Diktum Kedua SKB No: 3 Tahun 2008.

40 Ibid.

41Ibid.,Diktum Ketiga dan Kelima SKB No: 3 Tahun 2008.

Page 22: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

76

penyebarluasan dapat diancam dengan hukuman maksimum lima tahun penjara

atas tuduhan melakukan penistaan.42

SKB No: 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut,

Anggota, dan/atau Anggota Pengurus JAI justru menjadi pintu masuk diskriminasi

terhadap JAI karena pemerintah secara jelas menyatakan pembekuan terhadap

segala kegiatan JAI. JAI dilarang untuk menjalankan agamanya sesuai dengan

tafsir yang diyakini. Akibatnya JAI mempunyai dua pilihan: bisa melanjutkan

langkahnya jika keluar dari Islam; atau menjadi bagian dari Islam dengan catatan

harus mengubah ajarannya.43

Secara tidak langsung hal ini menyiratkan bahwa

JAI tidak boleh beribadah dengan keyakinan mereka sendiri. Negara melakukan

pelanggaran HAM yaitu melanggar kewajiban korelatifnya berupa kewajiban

untuk menghormati dan melindungi HAM setiap warga negaranya.

Ketentuan yang terdapat di dalam UU No. 1/PNPS/1965 tentang

Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama serta SKB No: 3 Tahun

2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau

Anggota Pengurus JAI tidak memberikan jaminan hak atas kebebasan untuk

menjalankan/memanifestasikan agama/kepercayaan yang diyakini. Ketentuan

tersebut mengandung larangan menafsirkan suatu agama di Indonesia. Ketika ada

seseorang yang beribadah sesuai keyakinannya namun tidak sama persis dengan

ajaran agamanya tersebut, maka ia dianggap melakukan kejahatan penodaan

agama sesuai dengan Pasal 156a KUHP.

42

Ibid.

43 Nicola Cobran, Op. Cit, hlm. 713.

Page 23: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

77

Pembatasan hak dalam menjalankan agama di Indonesia melalui UU No.

1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

serta SKB No: 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut,

Anggota, dan/atau Anggota Pengurus JAI adalah tidak tepat karena

dilatarbelakangi adanya pencampuradukan kepentingan stabilitas politik atau

keamanan negara, bukan atas dasar melindungi keamanan pribadi pemeluk agama.

Ketentuan tersebut justru menjadi pintu masuk diskriminasi yang berujung

kekerasan terhadap pemeluk agama yang seharusnya dilindungi. Namun

pembatasan hak dengan latar belakang seperti ini jelas tidak diperbolehkan karena

stabilitas politik atau keamanan negara tidak termasuk dalam salah satu kriteria

pembatasan hak yang diperbolehkan.44

b. Hak untuk Mendirikan Tempat Ibadah

Mendirikan tempat ibadah merupakan salah satu pengaplikasian kebebasan

menjalankan/mengekspresikan agama yang diyakini. Dari hak atas kebebasan

beragama maka timbul hak untuk mendirikan tempat-tempat ibadah.45

Pembahasan Pasal 29 UUD 1945 menimbulkan perdebatan mengenai

kebebasan pendirian rumah ibadah di Indonesia terkait persoalan persyaratan

dalam perizinannya. Berkenaan dengan hal tersebut muncul usulan

ditambahkannya satu ayat dalam Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan “Negara

harus menyediakan tempat beribadah bagi tiap-tiap pemeluk agama dan

44

General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion)

paragraf 8.

45 Buku VIII Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945. Hlm. 372.

Page 24: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

78

kepercayaannya itu, agar dapat beribadah sesuai dengan agama dan

kepercayaannya itu.”46

Namun usulan ini dipandang berlebihan. Rumusan Pasal

29 ayat (2) 1945 secara substansial telah mencangkup kebebasan mendirikan

rumah ibadah sebagai bagian “beribadah menurut agama dan kepercayaan”.

Hukum nasional Indonesia memberikan pengaturan tentang kebebasan

pendirian rumah ibadah berupa Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri

Dalam Negeri No: 9 Tahun 2006 dan No: 8 Tahun 2006 tentang Pedoman

Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan

Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama,

dan Pendirian Rumah Ibadah (PBM No: 9 Tahun 2006 dan No: 8 Tahun 2006

tentang Pendirian Rumah Ibadah).

PBM No: 9 Tahun 2006 dan No: 8 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah

Ibadah mencantumkan persyaratan pendirian rumah ibadah. Pasal 14 menyatakan,

(1) Pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan administratif

dan persyaratan teknis bangunan gedung.

(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan khusus meliputi:

a. daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadah

paling sedikit 90 (Sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat

setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 13 ayat (3);

b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang

yang disahkan oleh lurah/kepala desa;

c. rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama

kabupaten/kota; dan

d. rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.

(3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a

terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi, pemerintah

46

Ibid. Hlm. 384.

Page 25: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

79

daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan

rumah ibadah.

Pengaturan administratif mengenai pendirian rumah ibadah telah

membatasi kebebasan umat beragama mengekspresikan agama/keyakinannya

secara publik termasuk di dalamnya untuk melaksanakan ibadah secara kolektif

dan menyebarkan agamanya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya persyaratan yang

kaku yang diberikan oleh negara berupa kewajiban pengumuman daftar nama

serta pengumpulan dukungan dari masyarakat setempat. Hal ini menghalangi hak

kelompok penganut agama minoritas untuk menjalankan agamanya.47

Pengaturan tentang pendirian rumah ibadah ini juga memicu radikalisasi

penolakan kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas yang hendak

mendirikan rumah ibadah, termasuk digunakannya cara-cara kekerasan.

Seharusnya kebebasan mendirikan rumah ibadah dilindungi oleh Negara dari

siapapun yang hendak menghalangi. Memberikan perlindungan merupakan

tanggungjawab mutlak negara terhadap norma hukum yang mengikat negara.

Mengingat kebebasan mendirikan rumah ibadah merupakan bagian hak atas

kebebasan beragama sebagai HAM.

Sebagai perbandingan kasus Mannousakis v. Greece. Dalam kasus ini

pengadilan HAM Eropa menguji kesesuaian/kebenaran dari suatu dakwaan

terhadap pendirian dan pengoperasian suatu rumah ibadah tanpa izin dari Menteri

47

Jazim Hamidi, Op.cit., Hlm. 124-125.

Page 26: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

80

Urusan Pendidikan dan Agama Yunani.48

Pengadilan menyatakan bahwa

penerapan keharusan adanya perizinan memang selaras dengan Article 9 ECHR,

namun dengan catatan hanya berupa verifikasi persyaratan formal tertentu apakah

sudah dipenuhi atau belum. Namun pengadilan menemukan dan mengemukakan

bahwa Yunani telah menggunakan perizinan ini untuk menerapkan pula

persyaratan-persyaratan yang kaku, atau yang bersifat mempersulit, bahkan

melarang praktik keagamaan tertentu. Pengadilan memutuskan bahwa dakwaan

terhadap pemohon merupakan suatu bentuk intervensi terhadap kebebasan mereka

dalam memanifestasikan agama mereka, suatu intervensi yang tidak

diperlukan/tidak diharuskan dalam suatu masyarakat demokratik.49

c. Hak untuk Membela/Mempertahankan Agama yang Diyakini

Hak untuk membela/mempertahankan agama yang diyakini merupakan

konsekuensi pembahasan tentang hak untuk bebas memeluk dan menjalankan

agama sesuai tafsir yang diyakini dan pengaplikasian dalam menjalankan hak

tersebut. Tidak ada aturan secara spesifik mengenai hak untuk

membela/mempertahankan agama dalam pengaturan hukum Indonesia. Namun

hak ini berlaku secara lex generalis dan sudah melekat dengan kebebasan untuk

menjalankan/mengekspresikan agama/keyakinan yang telah dipeluk seseorang.

Sebagai bagian dari dimensi eksternal, hak ini mendapatkan pembatasan.

48

Manousakis and Others v. Greece, 23 EHRR 387 (1997) (EctHR 1996-IV, 26 September 1996).

49 Ibid., Lihat juga Manfred Nowak dan Tanja Vosprnik dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit.,

hlm. 213.

Page 27: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

81

Hak seseorang atau sekelompok orang dalam mempertahankan

agama/keyakinannya dihadapkan dengan situasi yang menunjukkan adanya

interpretasi yang berbeda satu sama lain mengenai suatu agama. Meskipun

konstitusi telah memberikan kebebasan kepada setiap warga negara untuk

memeluk dan beribadah menurut agama/kepercayaannya,50

namun dalam praktik

ditemui interpretasi yang berlainan.

Sering kali ditemui adanya justifikasi sepihak kesahihan ajaran suatu

agama yang ditafsirkan oleh sekelompok agama terhadap kelompok lain yang

berujung tindakan anarkis. Hal ini dilatarbelakangi pengaturan yang memberikan

ruang pemberian predikat sesat terhadap suatu agama berupa UU No.

1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

Pengaturan ini diderivasikan dalam sebuah SKB yang melarang penyebarluasan

ajaran Ahmadiyah.

Dalam rangka kebebasan berekspresi, setiap orang atau sekelompok orang

dapat mengekspresikan dan membela/mempertahankan agamanya di muka umum.

Namun kebebasan ini harus tunduk pada ketentuan pembatasan hak. Pasal 9 UU

No. 9 Tahun I998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka

Umum menyatakan bahwa bentuk penyampaian pendapat di muka urnum dapat

dilaksanakan dengan unjuk rasa/dernonstrasi, pawai, rapat umurn, dan/atau

mimbar bebas. Pelaksanaan hak mempertahankan agama sebagai wujud

kebebasan berekspresi tidak boleh bertentangan dengan ketentuan perundang-

50

Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 jis. Pasal 28E ayat (1) jo. ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28I ayat (1)

UUD 1945. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

Page 28: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

82

undangan, serta harus tetap menghormati hak orang lain. Oleh karena itu segala

tindakan anarkis dalam upaya perwujudan hak merupakan sesuatu yang dilarang

secara hukum berdasarkan undang-undang yang berlaku yaitu UU No. 9 Tahun

1998.

d. Hak untuk Menyebarluaskan Ajaran Agama

Penyebaran agama merupakan tindakan ekspresif yang dilakukan dengan

tujuan mencoba mengubah keyakinan agama orang lain.51

Setiap agama ingin

menyebarkan sabda Tuhan kepada orang-orang di luar lingkungan itu,52

oleh

karena itu penyebaran agama menjadi salah satu bagian dari kebebasan beragama

yakni kebebasan dalam menjalankan agama yang diyakini.

Kebebasan menyebarkan agama bukanlah kebebasan yang steril dari

pembatasan. Pembatasan yang paling utama dalam kebebasan ini ialah hak asasi

orang lain yang menjadi sasaran penyebaran agama.

Hukum nasional Indonesia menyediakan aturan tentang penyebaran agama

berupa SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1979

tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri Kepada

Lembaga Keagamaan di Indonesia (SKB No. 1 Tahun 1979 tentang Tatacara

Pelaksanaan Penyiaran Agama). Secara substansial SKB tersebut memberikan

pengaturan dan pengarahan bagi usaha-usaha penyebaran agama sehingga

pelaksanaannya dapat berlangsung dengan tertib dan serasi. SKB No. 1 Tahun

51

Tad Stahnke, Op. Cit., hlm. 531.

52 Pendapat Sihombing dalam perumusan Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945.

Page 29: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

83

1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama juga menentukan

bagaimana cara pelaksanaan penyiaran agama yakni:

Pelaksanaan penyiaran agama tidak dibenarkan untuk ditujukan terhadap

orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama lain

dengan cara:

a. Menggunakan bujukan dengan atau tanpa pemberian barang, uang,

pakaian, makanan dan atau minuman, pengobatan, obat-obatan dan

bentu-bentuk pemberian apapun lainnya agar orang atau kelompok orang

yang telah memeluk/menganut agama yang lain berpindah dan

memeluk/menganut agama yang disiarkan tersebut.

b. Menyebarkan pamflet, majalah, bulletin, buku-buku, dan bentuk-bentuk

barang penerbitan cetakan lainnya kepada orang atau kelompok orang

yang telah memeluk/menganut agama yang lain.

c. Melakukan kunjungan dan rumah ke rumah umat yang telah

memeluk/menganut agama yang lain.

Pengaturan mengenai penyebaran agama di Indonesia tersebut merupakan

wujud pembatasan hak. Pembatasan hak memang diperbolehkan sepanjang

pembatasan tersebut sesuai dengan kriteria yuridis. Namun pembatasan atas

kebebasan menyebarkan agama di Indonesia tersebut terlampau eksesif karena

mengabaikan batasan bahwa substansi dari hak tersebut juga meliputi hak untuk

mencoba meyakinkan orang lain untuk meyakini agamanya.53

Hal ini analog

dengan kasus Kokkinakis v. Greece54

yang mengadili pasangan suami istri yang

didakwa melakukan aktivitas penyebaran agama dengan berkunjung dari pintu ke

pintu untuk membujuk orang lain untuk menjadi penganut agama mereka.

Pengadilan menegaskan bahwa kebebasan seseorang dalam memanifestasikan

agamanya meliputi hak untuk mencoba meyakinkan orang lain dengan maksud

53

Kokkinakis v. Greece, 17 EHRR 397 (1994) (EctHR 260-A, 25 Mei 1993).

54 Ibid.

Page 30: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

84

untuk memperoleh anggota baru.55

Bentuk penyebaran agama yang seyogianya

dilarang adalah (a) penyebaran agama secara tidak patut (proselytism), (b)

penghujatan (blasphemy), serta (c) pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan-

kebebasan selebihnya dari orang-orang lain.56

B. Pengaturan Hukum Internasional Mengenai Kebebasan Beragama

Hak atas kebebasan beragama sebagai HAM merupakan norma yang

universal. Karakteristik utama yang membedakan HAM dari hak-hak lainnya

adalah sifat mereka yang inheren pada diri setiap manusia berdasarkan

kemanusiaannya.57

Sifat inheren berimplikasi pada universalitas HAM.58

HAM

ada dan harus dihormati oleh seluruh manusia secara mutlak. Mutlak dalam artian

tidak tergantung posisi, situasi, kondisi suatu wilayah atau bangsa tertentu.59

Dalam sub-judul ini penulis akan mendiskusikan konsep hak atas

kebebasan beragama sebagai hak internasional (infra Sub-judul B.1) dan

selanjutnya tentang pengaturan hukum internasional berkaitan dengan hak atas

kebebasan beragama (infra Sub-judul B.2 & 3). Hak-hak yang dimaksud meliputi:

1) Kebebasan dalam meyakini suatu agama, serta 2) Kebebasan dalam

menjalankan/mengekspresikan agama yang diyakini.

55

Manfred Nowak dan Tanja Vosprnik, Op. Cit., hlm. 223-224.

56 Ibid., hlm. 222-230.

57 Paul Sieghart dalam Ibid., hlm. 174.

58 Ibid., hlm. 157.

59 Nihal Jayawickrama, Op.cit., hlm. 157.

Page 31: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

85

1. Hak atas Kebebasan Beragama sebagai Hak Internasional

Hak atas kebebasan beragama sebagai hak internasional memiliki

pengertian bahwa hak tersebut dijamin dan dilindungi oleh hukum internasional.

Isu hak atas kebebasan beragama sebagai hak internasional dijustifikasi dengan

jalan mencari apakah ada sumber-sumber hukum internasional yang valid dan

relevan yang memberi pengakuan dan jaminan atas eksistensinya.60

Sumber

hukum internasional yang dapat menjadi acuan validitas hak tersebut sesuai

dengan Article 38 (1) Statute of the International Court of Justice (Statuta ICJ)

meliputi:

a. international conventions, whether general or particular, establishing

rules expressly recognized by the contesting states;

b. international custom, as evidence of a general practice accepted as law;

c. the general principles of law recognized by civilized nations;

d. judicial decisions and the teachings of the most highly qualified

publicists of the various nations, as subsidiary means for the

determination of rules of law.

Perjanjian internasional (international conventions) merupakan hasil dari

kesepakatan atau keputusan negara untuk menciptakan kewajiban yang mengikat

di antara mereka.61

Perjanjian internasional hanya mengikat kepada negara pihak

setelah yang bersangkutan menyatakan persetujuannya untuk terikat.62

Mengandung efek yuridis kebalikannya adalah kebiasaan internasional

(international custom) yang berasal dari praktik umum yang diikuti/dipatuhi oleh

60

Titon Slamet Kurnia, Op.,Cit. hlm. 374.

61 Nihal Jayawickrama, Op.,Cit. hlm. 5.

62 Article 11-16 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969. Persetujuan untuk terikat

biasanya dinyatakan dengan penandatanganan (signature) dan diikuti oleh pengesahan

(ratification).

Page 32: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

86

negara-negara.63

Eksistensi kebiasaan internasional bergantung pada beberapa

kriteria, yaitu: kebiasaan internasional dipraktikkan dalam jangka waktu lama; ada

konsistensi dan keseragaman dalam praktik; praktik tersebut bersifat umum; serta

diakui memiliki kekuatan mengikat (opinio juris et necessitatis).64

Setiap negara

terikat pada kebiasaan internasional meskipun tidak menyatakan pengikatan diri

terhadapnya.

Secara substantif, norma-norma atau kaidah-kaidah HAM telah menjadi

bagian dari kebiasaan internasional. Meskipun negara tidak menjadi pihak dalam

perjanjian internasional, namun setiap negara tetap terikat oleh norma-norma atau

kaidah-kaidah HAM karena keberlakuan berdasarkan kebiasaan internasional.65

Hal yang sama berlaku bagi Indonesia, khususnya berkenaan dengan HAM yang

spesifik yaitu kebebasan beragama. Sebagai catatan, keberlakuan dengan efek

erga omnes tidak berlaku untuk semua jenis HAM, tetapi hanya ditujukan pada

HAM yang berkarakter jus cogens.66

2. Kebebasan dalam Meyakini suatu Agama

Cakupan perlindungan hukum internasional terhadap hak atas kebebasan

untuk meyakini suatu agama meliputi kebebasan untuk meyakini agama67

serta

pelarangan pembatasan yang mengganggu hak setiap orang dalam rangka

63

Nihal Jayawickrama, Loc.Cit.

64 Tim Hiller, Op., Cit. Hlm. 66.

65 Thomas Buergenthal, Op., Cit. Hlm. 104.

66 Malcolm N. Shaw. Op., Cit. Hlm. 124.

67 General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion)

paragraf 5.

Page 33: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

87

kebebasan untuk mempertahankan atau untuk mengubah agamanya atau

keyakinannya. Prinsip yang berlaku dalam perlindungan internasional terhadap

kebebasan untuk meyakini suatu agama adalah dalam hal apapun kebebasan

memeluk dan meyakini suatu agama atau keyakinan dianggap sebagai kebebasan

absolut.68

Dalam penelitian ini, hak-hak yang akan disorot berkenaan dengan

kebebasan meyakini agama adalah: a) Hak untuk beragama dan tidak beragama;

b) Hak untuk berganti agama; serta c) Hak anak untuk menentukan agama.

a. Hak untuk Beragama serta Hak untuk Tidak Beragama

Instrumen hukum internasional pertama yang memberikan penghormatan

dan penjaminan terhadap hak atas kebebasan beragama adalah Universal

Declaration of Human Rights (UDHR).69

Article 18 UDHR menyatakan bahwa

setiap orang memiliki hak atas kebebasan untuk berpikir, berkeyakinan serta

beragama. Ketentuan ini menjamin hak atas kebebasan pemikiran, keyakinan, dan

agama yang umumnya dideskripsikan sebagai dimensi internal hak atas kebebasan

beragama.70

Hak tersebut meliputi hak untuk memeluk suatu agama atau tidak,

dalam hal ini, untuk percaya atau tidak percaya terhadap agama.

Article 18 (1) dan (2) ICCPR serta Article 1 1981 Declaration on the

Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion

or Belief menambahkan bahwa tidak ada seorangpun yang dapat dikenai

68

Malcolm D. Evans, Op., Cit. Hlm. 221, 317.

69 Natan Lerner. Sifat dan Standar Minimum Kebebebasan Beragama atau Berkeyakinan dalam

Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 175.

70 Ibid.

Page 34: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

88

pemaksaan yang akan mengganggu kebebasannya untuk memiliki atau

mengadopsi suatu agama atau kepercayaan pilihannya. Ketentuan dalam Article

18 (1) dan (2) ICCPR serta Article 1 1981 Declaration memberi penegasan

terhadap Article 18 UDHR, di mana dalam ICCPR dan 1981 Declaration telah ada

penegasan cakupan hak atas kebebasan berpikir, bernurani, dan beragama yang

mencakup hak untuk memilih suatu agama serta hak untuk menjalankan agama

yang diyakininya tersebut. Bagaimanapun dalam menikmati hak atas kebebasan

berpikir, bernurani, dan beragamanya tidak ada seorangpun yang dapat dikenakan

pemaksaan yang akan mengganggu kebebasannya untuk memiliki atau

mengadopsi suatu agama/kepercayaan yang menjadi pilihannya.71

Hak atas kebebasan seseorang untuk meyakini suatu agama meliputi hak

untuk memilih serta memeluk suatu agama baik itu keyakinan teistik ataupun

ateistik,72

hak untuk tidak memeluk suatu agama/keyakinan,73

hak untuk berganti

agama/keyakinan, termasuk hak untuk mempertahankan agama/keyakinan yang

pernah dipeluknya.

71

General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion)

paragraf 5.

72 Pitsillides v. Republic of Cyprus, Supreme Court of Cyprus, (1983) 2 CLR 374, at 385, per

Stylianides J. Cf. Mahkamah Agung Siprus telah mengkonfirmasi pandangan bahwa hati

nurani dan agama tidak terbatas pada kepercayaan atau hubungan manusia untuk seorang

pencipta. Agama atau keyakinan tersebut meliputi keyakinan teistik dan keyakinan ateistik.

Dalam Barralet et al v. Attorney General [1980] 3 All ER 918 pengadilan mendefinisikan

'agama' sebagai hal yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan. Dua dari atribut

penting dari agama adalah iman dan ibadah; iman pada Tuhan dan menyembah Tuhan.

73 Dalam kasus Buscarini v. San Marino, European Court, (1999) 30 EHRR 208 pengadilan

menyatakan bahwa kebebasan beragama melingkupi antara lain, kebebasan memiliki atau tidak

memiliki keyakinan agama dan mempraktikkan atau tidak mempraktikkan agama.

Page 35: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

89

Pengaturan hukum internasional terhadap kebebasan berkeyakinan

memberikan jaminan atas sifat absolut dari hak ini karena masuk ke dalam

dimensi internal kebebasan beragama yang tidak boleh diganggu gugat dalam

keadaan apapun oleh siapapun. Hak ini diperkuat dengan jaminan perlindungan

atas hak privasi. Article 17 ICCPR menyatakan bahwa tidak seorangpun dapat

menjadi subyek intervensi yang sewenang-wenang atau melanggar privasinya.

Oleh karena itu setiap orang berhak atas kebebasan diri pribadi mereka termasuk

dalam hal meyakini atau tidak meyakini suatu agama.74

Hak ini mencakup pula

persoalan tentang administrasi kependudukan. Pada substansi data administrasi

kependudukan, setiap orang berhak untuk mencantumkan ataupun tidak

mencantumkan informasi mengenai agama atau keyakinannya secara eksplisit.

Walaupun tidak ada aturan dalam hukum internasional yang secara jelas mengatur

hak tersebut, namun hak untuk mencantumkan atau untuk tidak mencantumkan

agamanya merupakan bagian dari hak atas privasi yang dimiliki oleh setiap orang.

Masalah meyakini atau tidak meyakini suatu agama atau keyakinan merupakan

urusan personal setiap orang yang tidak dapat diintervensi oleh siapapun dalam

keadaan apapun.75

Oleh karena itu, negara seyogianya tidak melakukan intervensi

terhadap kebebasan tersebut dengan memberikan keharusan pencantuman klausul

agama dalam data kependudukan warganya.

74

Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 177.

75 General comment No. 16: Article 17 (Right to privacy) paragraf 1, hak atas privasi tidak dapat

dikenai intervensi dalam hal apapun oleh siapapun termasuk oleh negara. Sebaliknya, negara

harus melindungi kebebasan tersebut dengan membuat aturan yang melarang adanya gangguan

terhadap hak tersebut.

Page 36: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

90

Salah satu contoh peniadaan hak-hak sipil dan politik penganut agama di

luar agama resmi adalah peniadaan hak untuk dicatatkan perkawinannya.76

Hak

seseorang untuk melaksanakan perkawinan terdapat dalam Article 16 (1) UDHR

yang menyatakan laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak

dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan

untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal

perkawinan.

Article 23 (2) ICCPR, Article 12 ECHR serta Article 17 (2) ACHR

menyatakan hak laki-laki dan perempuan usia perkawinan untuk membentuk

keluarga harus diakui dan dilindungi. Hak ini tidak boleh dibatasi oleh alasan

yang bersifat diskriminatif termasuk terhadap persoalan agama.77

Diskriminasi

yang membatasi hak untuk melaksanakan perkawinan ditentang dalam Hamer v.

United Kingdom.78

Dalam kasus tersebut pengadilan menentang adanya

diskriminasi terhadap tahanan yang hendak melakukan perkawinan. Pengadilan

menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran Article 12 ECHR ketika terjadi

pelarangan perkawinan terhadap tahanan.

76

Nicola Cobran, Loc. Cit.

77 Article 16 (1) UDHR menyatakan penentangan diskriminasi atas dasar kebangsaan,

kewarganegaraan atau agama dalam pelaksanaan hak untuk melangsungkan perkawinan.

Article 17 (2) ACHR menyatakan pengaturan tentang hak untuk melangsungkan perkawinan

tidak boleh melanggar prinsip non-diskriminasi. Ruang lingkup non-diskriminasi mencangkup

ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, sosial,

kekayaan, kelahiran atau status lainnya.

78 Hamer v. United Kingdom, European Commission, (1979) 4 EHRR 139.

Page 37: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

91

b. Hak untuk Berganti Agama

Salah satu hak yang termasuk dalam hak atas kebebasan beragama adalah

hak untuk berganti agama.79

Walaupun terdapat kontroversi terkait pemuatan hak

untuk berganti agama sebagai bagian dari hak atas kebebasan beragama,80

namun

The Human Rights Committee mengamati bahwa kebebasan untuk memiliki atau

mengadopsi sebuah agama/kepercayaan tentu memerlukan kebebasan untuk

memilih agama atau kepercayaan, termasuk hak untuk mengganti agama saat

seseorang atau kepercayaan dengan lain atau untuk mengadopsi pandangan

ateistik, serta hak untuk mempertahankan agama/kepercayaan seseorang.81

Article 18 UDHR dan Article 9 (1) ECHR menyatakan bahwa setiap orang

berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama, dimana hak tersebut

termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan. Pengaturan ini memberikan

ruang bagi setiap orang untuk memilih agama apapun untuk diyakini, termasuk

kebebasan dalam memilih agama lain untuk menggantikan agama yang sedang ia

anut.82

ICCPR mengadopsi suatu formulasi yang berhubungan dengan pernyataan

tersebut “No one shall be subject to coercion which would impair his freedom to

have or to adopt a religion or belief of his choice.” Dengan kata lain setiap orang

79

Ibid. hlm. 770. Lihat juga General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought,

conscience or religion) paragraf 2 dan paragraf 5.

80 Malcolm D. Evans, Op. Cit. Hlm. 194-195.

81 General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion)

paragraf 2 dan paragraf 5.

82 Malcolm D. Evans, Loc. Cit.

Page 38: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

92

tidak dapat dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau

memeluk suatu agama atau keyakinan pilihannya sendiri.83

Komentar umum Komite Hak Asasi Manusia tentang bidang cakupan

ketentuan ini menyatakan bahwa:

“The Committee observes that the freedom to “have or to adopt” a

religion or belief necessarily entails the freedom to choose a religion or

belief, including the right to replace one’s current religion or belief with

another or to adopt atheistic views, as well as the right to retain one’s

religion or belief.”

Hak untuk berganti agama ini termasuk dalam dimensi internal kebebasan

beragama. Konsekuensinya, hak ini merupakan hak yang absolut, mengingat

dimensi hak internal menjadi ranah urusan pribadi seseorang, sehingga tidak dapat

dibatasi dalam keadaan apapun oleh siapapun.

Salah satu contoh kasus adalah Darby v Swedia. Pengadilan menyatakan

bahwa pembatasan hanya dapat diterapkan dalam dimensi eksternal kebebasan

beragama, tetapi bukan untuk kebebasan memilih agama atau keyakinan

seseorang.84

Pembatasan tidak berlaku bagi seseorang untuk berganti agama.

Ketidakberlakuan atas pembatasan ini didasarkan adanya perbedaan bobot

perlindungan antara kebebasan beragama dalam dimensi internal dan eksternal.85

Berganti agama masuk dalam kategori dimensi internal kebebasan beragama yang

83

Article 18 (2) ICCPR. Lihat juga Tad Stahnke, Hak untuk Melakukan Persuasi Keagamaan

dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 544.

84 Darby v Swedia, Rep. Com. 11581/85 (EComHR, 9 Mei 1989). Paragraph 44.

85 Manfred Nowak dan Tanja Vosprnik dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 228.

Page 39: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

93

bersifat absolut, sehingga tidak dapat dibatasi dalam keadaan apapun oleh

siapapun.86

c. Hak Anak untuk Menentukan Agama

Anak memiliki hak atas informasi yang tepat, dilindungi dari indoktrinasi

dan pencucian otak (dari negara, sekte-sekte, atau dari orang tua mereka sendiri),

dan hak untuk tumbuh menjadi orang dewasa yang matang dan bertanggung

jawab. Orang tua memiliki hak, namun hak ini dimaksudkan untuk menetralisir

kekuatan intrusif negara dan melindungi keluarga, serta tidak dimaksudkan

merugikan anak. Dalam hal ini pandangan anak juga harus dihormati.87

Hak anak untuk memeluk agama pilihannya dirumuskan dalam Article 14

Convention on the Rights of the Child (CRC) yang menyatakan “States Parties

shall respect the right of the child to freedom of thought, conscience and

religion.” Pengaturan tersebut berimplikasi terhadap isu adopsi yang dimuat

dalam Article 21 CRC yang memberikan syarat pelaksanaan adopsi dalam negara

pihak. Tidak ada ketentuan CRC yang mengatur mengenai persyaratan agama

dalam proses adopsi. Pelaksanaan adopsi anak semata-mata dilakukan dengan

dilandasi prinsip demi kepentingan terbaik anak.88

Kepentingan terbaik anak

86

General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion)

menjelaskan bahwa “Article 18 melindungi keyakinan yang mempercayai Tuhan, yang tidak

percaya pada Tuhan dan ateis, maupun hak untuk tidak mengakui memeluk agama atau

keyakinan apapun.” Hal ini termasuk hak untuk memiliki, menganut, mempertahankan atau

pindah agama atau keyakinan

87 Rajaji Ramanadha Babu Gogineni dan Lars Gule, Humanisme dan kebebasan dari agama, dalam

Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 638.

88 Ingvill Thorson Plesner, Memajukan Toleransi melalui Pendidikan Agama dalam Tore

Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 650-651.

Page 40: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

94

artinya di dalam semua tindakan yang menyangkut anak, maka apa yang terbaik

bagi anak haruslah menjadi pertimbangan yang utama.89

Standar HAM PBB tentang kebebasan beragama atau berkeyakinan seperti

norma-norma HAM fundamental lainnya, juga mencangkup penekanan yang kuat

terhadap prinsip non-diskriminasi.90

1981 Declaration memuat pengakuan hak

yang sama dan sederajat dari semua warga terhadap kebebasan beragama atau

keyakinan. Deklarasi ini menggarisbawahi hubungan yang erat antara pemajuan

toleransi dan kebebasan beragama atau keyakinan. Deklarasi itu menyatakan:

“The child shall be protected from any form of discrimination on the

ground of religion or belief. He shall be brought up in a spirit of

understanding, tolerance, friendship among peoples, peace and universal

brotherhood, respect for freedom of religion or belief of others, and in full

consciousness that his energy and talents should be devoted to the service

of his fellow men.”91

Menurut 1981 Declaration, anak dilindungi dari setiap bentuk diskriminasi

berdasarkan agama atau keyakinan dan harus diasuh dalam semangat pemahaman,

toleransi, dan yang paling utama adalah anak dapat menghormati pula kebebasan

beragama atau berkeyakinan orang lain. Substansi terpenting lainnya adalah anak

tidak dapat atau tidak boleh dipaksa untuk menerima pengajaran agama atau

keyakinan yang tidak sesuai dengan keinginan orang tua atau walinya yang sah,

89

Article 3 Convention on the Rights of Child. Prinsip “the best interests of child” dalam perkara

adopsi juga dapat dilihat dalam kasus Van Oosterwijck v. Belgium, European Commission,

(1979) 3 EHRR 581.

90 Ingvill Thorson Plesner, Loc. Cit.

91 Article 5 (3) 1981 Declaration.

Page 41: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

95

dengan dilandasi prinsip demi kepentingan terbaik anak.92

Kepentingan terbaik

anak diperlukan untuk melindungi kepentingan anak itu sendiri, karena anak

belum dapat melaksanakan hak atas self determination yang dimilikinya. Oleh

karena itu orang tua/wali bertanggungjawab penuh dalam pengawasan

kelangsungan hidup anak dalam hal pendidikan agama/keyakinan.93

3. Kebebasan dalam Menjalankan/Mengekspresikan Agama yang

Diyakini

Termasuk dalam lingkup kebebasan untuk mengekspresikan/menjalankan

agama ialah kebebasan untuk menjalankan/mengekspresikan agama baik secara

individu ataupun secara berkelompok dengan orang lain secara umum atau

pribadi.94

Hal ini mencakup pelaksanaan ritual dan seremonial yang memberikan

dampak langsung terhadap keyakinan, maupun pengalaman sejenis yang integral

termasuk pembangunan tempat ibadah, penggunaan formula maupun peralatan

ritual dan simbol keagamaan.95

Bobot perlindungan terhadap kebebasan memanifestasikan/menjalankan

agamanya masing-masing dengan kebebasan dalam meyakini keyakinannya

masing-masing adalah berbeda. Jika kebebasan meyakini suatu agama/keyakinan

92

Michael Freeman, A Commentary on the United Nations Convention on the Rights of the Child:

The Best Interests of the Child, Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2007, hlm. 8. Ingvill

Thorson Plesner. Op. Cit., hlm. 650-651.

93 General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion)

paragraf 6.

94 General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion)

paragraf 4.

95 Ibid.

Page 42: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

96

merupakan hak yang absolut, hak untuk menjalankan/memanifestasikan suatu

agama/kepercayaan merupakan hak yang dapat dibatasi pelaksanaannya dengan

syarat tertentu. Berdasarkan Article 18 (3) ICCPR, Article 9 (2) ECHR, serta

Article 12 (3) ACHR, kebebasan menjalankan/mengekspresikan agama hanya

dapat dibatasi dalam rangka untuk melindungi keamanan publik, ketertiban,

kesehatan, atau moral atau hak-hak dasar orang lain.96

Hak-hak yang akan disorot dalam kebebasan beragama, kebebasan dalam

menjalankan/mengekspresikan agama dalam hukum internasional meliputi a) hak

untuk bebas menjalankan agama sesuai tafsir yang diyakini; b) hak untuk

mendirikan tempat ibadah; c) hak untuk membela/mempertahankan agama yang

diyakini; serta d) hak untuk menyebarluaskan ajaran agama.

a. Hak untuk Bebas Menjalankan Agama sesuai Tafsir yang Diyakini

Walau tidak ada pernyataan eksplisit tentang jaminan dan perlindungan

kebebasan menjalankan agama sesuai tafsir yang diyakini, namun hak ini tetap

menjadi obyek perlindungan oleh hukum internasional.97

Kebebasan menafsirkan

agama sesuai keyakinan masing-masing merupakan hak absolut.98

Pelaksanaan

hak ini oleh seseorang ataupun oleh sekelompok orang dilindungi oleh Article 18

(1) ICCPR serta Article 18 UDHR. Namun pelaksanaan hak tersebut dapat

96

Manfred Nowak, Pembatasan-Pembatasan yang Diperbolehkan terhadap Kebebasan Beragama

atau Berkeyakinan, dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 207. Lihat juga General

comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 4.

97 Javier Martinez-Torron & Rafael Navarro-Valls, Perlindungan Kebebasan Beragama dalam

Sistem Dewan Eropa, dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 275.

98 General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion)

paragraf 4.

Page 43: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

97

dibatasi sepanjang pembatasan tersebut ditetapkan dengan hukum, dan

pembatasan tersebut benar-benar diperlukan untuk melindungi keamanan (dalam

arti keamanan pribadi pemeluk agama), ketertiban, kesehatan, nilai moral

masyarakat, atau hak-hak mendasar orang lain.99

Secara a contrario, sepanjang

tidak mengganggu keamanan, ketertiban, kesehatan, nilai moral masyarakat, atau

hak-hak mendasar orang lain, (misalnya sebagai ekspresi keagamaan hal ini

dilakukan secara damai), maka tindakan demikian tidak seyogianya dikenakan

pembatasan oleh negara.

Salah satu contoh pembatasan yang diperbolehkan berdasarkan klausul

keselamatan pulik adalah kasus X v. UK. Dalam kasus X v. UK, komisi HAM

Eropa menganggap hukum di Inggris yang mengharuskan semua pengendara

sepeda motor untuk menggunakan helm sebagai hukum yang

diperbolehkan/dibenarkan untuk melindungi keselamatan publik, bahkan ketika

hukum tersebut diterapkan kepada penganut Sikh.100

Lebih lanjut perbedaan penafsiran tersebut berimplikasi timbulnya

golongan mayoritas dan minoritas dalam hal menafsirkan suatu agama. Prinsip

non-diskriminasi mewajibkan Negara untuk menghormati dan menjamin

kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi semua orang yang berada dalam

wilayahnya dan yang tunduk pada wilayah hukum atau yurisdiksinya tanpa

99

Article 18 ICCPR, Pasal 28J UUD 1945. Lihat juga Nicola Cobran, Op. Cit. Hlm. 724.

100 X v. UK, App No. 7992/77 (EcomHR, 14 Keputusan dan laporan 234, 12 Juli 1978), keputusan

penolakan. Lihat juga Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 208.

Page 44: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

98

pembedaan apapun.101

Pembatasan tidak boleh dikenakan untuk tujuan

diskriminatif atau dilaksanakan dengan cara diskriminatif.102

Oleh karena itu tidak

ada satupun orang yang dapat dibedakan perlakuannya walaupun ia memiliki

penafsiran yang berbeda terhadap suatu agama.

b. Hak untuk Mendirikan Tempat Ibadah

Hukum internasional tidak memberikan pengaturan secara eksplisit

mengenai kebebasan pendirian rumah ibadah. Mendirikan tempat ibadah

merupakan salah satu pengaplikasian kebebasan menjalankan/mengekspresikan

agama yang diyakini. Hak untuk mendirikan tempat ibadah yang merupakan

dimensi eksternal hak atas kebebasan beragama dapat dibatasi sepanjang sesuai

dengan kriteria pembatasan yang berlaku menurut hukum internasional. Namun

pembatasan harus proporsional serta tidak boleh dikenakan untuk tujuan

diskriminatif atau dilaksanakan dengan cara diskriminatif.103

Salah satu contoh penerapan pembatasan dalam hak untuk mendirikan

tempat ibadah yang tidak proporsional adalah dalam kasus Mannousakis v.

Greece. Pengadilan HAM Eropa menguji kesesuaian dakwaan terhadap pendirian

dan pengoperasian suatu rumah ibadat tanpa izin dari Menteri Urusan Pendidikan

101

Article 2(1) ICCPR.

102 Cole Durham. Memfasilitasi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan melalui Perundang-

undangan Asosiasi Keagamaan dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 355. General

comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 8.

103 Durham, Cole. Loc. Cit.

Page 45: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

99

dan Agama Yunani.104

Pengadilan menyatakan bahwa penerapan keharusan

adanya perizinan memang selaras dengan Article 9 ECHR, namun dengan catatan

hanya berupa verifikasi persyaratan formal tertentu apakah sudah dipenuhi atau

belum. Namun pengadilan menemukan dan mengemukakan bahwa Yunani telah

menggunakan perizinan ini untuk menerapkan pula persyaratan-persyaratan yang

kaku, atau yang bersifat mempersulit, bahkan melarang praktik keagamaan

tertentu. Pengadilan memutuskan bahwa dakwaan terhadap pemohon merupakan

suatu bentuk intervensi terhadap kebebasan mereka dalam memanifestasikan

agama mereka, suatu intervensi yang tidak diperlukan.105

c. Hak untuk Membela/Mempertahankan Agama yang Diyakini

Hak untuk membela/mempertahankan agama yang diyakini merupakan

bagian dari hak untuk bebas memeluk dan menjalankan/mengekspresikan agama

sesuai tafsir yang diyakini. Hak tersebut dihadapkan dengan situasi yang

menunjukkan adanya interpretasi yang berbeda satu sama lain mengenai suatu

agama.106

Tidak ada aturan yang spesifik mengenai hak untuk

membela/mempertahankan agama dalam pengaturan hukum internasional. Namun

hak ini berlaku secara lex generalis dan sudah melekat dengan kebebasan untuk

104

Manousakis and Others v. Greece, 23 EHRR 387 (1997) (EctHR 1996-IV, 26 September

1996).

105 Ibid., Lihat juga Manfred Nowak dan Tanja Vosprnik dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit.,

hlm. 213.

106 General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion)

paragraf 8.

Page 46: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

100

menjalankan/mengekspresikan agama/keyakinan yang telah dipeluk seseorang.

Sebagai bagian dari dimensi eksternal, hak ini mendapatkan pembatasan.

Kebebasan mempertahankan agama merupakan wujud kebebasan

mengekspresikan agama. Dalam rangka menjalankan kebebasan untuk

mempertahankan agamanya tersebut setiap orang dapat dikenai pembatasan yang

didasarkan untuk melindungi keamanan publik, ketertiban, kesehatan, atau moral

atau hak-hak dasar orang lain.107

Oleh karena itu tidak seorangpun dapat

memaksakan pendapat atau agama atau keyakinannya terhadap orang lain dalam

rangka mempertahankan agamanya.108

d. Hak untuk Menyebarluaskan Ajaran Agama

Kebebasan menyebarkan agama bukanlah kebebasan yang tidak dapat

dikenai pembatasan.109

Pembatasan yang paling utama dalam kebebasan ini ialah

hak asasi orang lain yang menjadi sasaran penyebaran agama. Kebebasan

menjalankan/mengekspresikan agama juga meliputi hak untuk mencoba

meyakinkan orang lain untuk meyakini agamanya.110

Oleh karena itu praktik

pengajaran agama terhadap penganut atau non-penganut agama tetap diakui dalam

107

Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 207. Lihat juga General comment No. 22: Article 18

ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 4.

108 General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion)

paragraf 3.

109 Ibid. Hlm. 537.

110 Kokkinakis v. Greece, 17 EHRR 397 (1994) (EctHR 260-A, 25 Mei 1993). Pengadilan

menegaskan bahwa kebebasan seseorang dalam memanifestasikan agamanya meliputi hak

untuk mencoba meyakinkan orang lain dengan maksud untuk memperoleh anggota baru.

Page 47: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

101

hukum internasional111

sepanjang tidak memenuhi kriteria pembatasan yang

diperbolehkan.

C. Konvergensi Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional

Hukum nasional dan hukum internasional berkonvergensi sebagai sebuah

sistem. Konsekuensi dari sistem adalah tidak boleh ada pertentangan atau

inkoherensi pada bagian-bagian dari sistem. Sehingga, sebagai sistem atau a body

of law, aturan hukum nasional dan internasional harus koheren. Oleh karena itu

ketika terjadi inkoherensi di antara keduanya, maka salah satu ketentuan yang

mengalami inkoherensi tersebut harus disisihkan.

Dalam Sub-judul ini penulis hendak mengidentifikasi inkoherensi antara

hukum internasional dengan hukum nasional Indonesia mengenai pengaturan

tentang kebebasan beragama sebagai HAM. Sebagai tolok ukur utama dalam

rangka koherensi itu adalah prinsip non-intervensi yang diperkuat oleh prinsip

non-diskriminasi serta prinsip toleransi. Sistematika pembahasan dalam Sub-

judul ini adalah sebagai berikut. Pertama, penulis akan menyoroti kedudukan

hukum internasional dalam sistem hukum Indonesia (infra Sub-judul C.1). Kedua,

penulis akan menjelaskan isu utama mengenai sumber inkoherensi dalam

perlindungan hukum terhadap kebebasan beragama di Indonesia yaitu

ketidakjelasan visi bernegara mengenai hubungan antara negara dan agama (infra

Sub-judul C.2). Ketiga, menjelaskan keberlakuan prinsip non-intervensi dan

111

General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion)

paragraf 5.

Page 48: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

102

prinsip non-diskriminasi (infra Sub-judul C.3), serta prinsip toleransi (infra Sub-

judul C.4).

1. Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Hukum Indonesia

Kedudukan hukum internasional dalam sistem hukum Indonesia tidak

dilandasi kaidah konstitusional yang jelas oleh UUD 1945 dalam pengertian

apakah cara yang dipilih Indonesia untuk memberlakukan hukum internasional

dalam pengadilannya sebagai sumber hukum.112

Namun demikian sebagai subyek

hukum internasional Indonesia terikat oleh hukum internasional sebagaimana

termanifestasikan dalam sumber-sumber hukum internasional, baik dengan cara

mengikatkan diri terhadap perjanjian internasional ataupun tanpa proses

pengikatan diri secara eksplisit.

Persetujuan untuk terikat pada perjanjian internasional dinyatakan dengan

penandatanganan (signature) dan diikuti oleh pengesahan (ratification).113

Pengikatan diri negara Indonesia terhadap perjanjian internasional menuntut

konsekuensi penerapan hukum internasional ke dalam sistem hukum Indonesia.114

Sedangkan yang dimaksud tanpa proses pengikatan diri ialah Indonesia harus

tunduk pada norma-norma universal yang terkandung dalam kebiasaan

internasional meskipun tidak menyatakan secara eksplisit persetujuannya untuk

terikat.

112

Titon Slamet Kurnia. Pengantar Sistem Hukum Indonesia. Op.Cit. Hlm.124.

113 Article 11-16 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969.

114 Pasal 3 UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Page 49: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

103

Indonesia telah meratifikasi perjanjian internasional terkait hak atas

kebebasan beragama berupa ICCPR melalui UU No. 12 Tahun 2005. Hal ini

menunjukkan bahwa Indonesia harus tunduk pada subtansi ICCPR serta terikat

pada seluruh kewajiban negara yang termuat di dalamnya. Selain itu Indonesia

juga terikat pada kebiasaan internasional yang dapat diidentifikasi antara lain

melalui UDHR, ECHR, ACHR, serta Declaration on the Elimination of all Forms

of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief 1981.

Keterikatan pada hukum internasional mengandung implikasi bahwa

negara Indonesia harus menghormati dan mematuhi hukum internasional.

Penghormatan dan kepatuhan tersebut salah satunya dilakukan melalui tindakan

rule-making. Dalam tindakan rule-making maka Indonesia tidak boleh

menghasilkan peraturan perundang-undangan yang bertentangan atau tidak

koheren dengan hukum internasional. Dalam konteks ini penulis berargumen

bahwa hukum internasional adalah hukum dalam sistem hukum Indonesia.

Sebagai hukum dalam sistem hukum Indonesia maka koherensi peraturan

perundang-undangan Indonesia dengan hukum internasional sifatnya imperatif

dikaitkan dengan implikasi hukumnya: pelanggaran hukum internasional oleh

Indonesia jika yang terjadi kebalikannya.115

115

Article 27 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 menyatakan “A party may not

invoke the provisions of its internal law as justification for its failure to perform a treaty.”

Page 50: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

104

2. Visi Bernegara Indonesia tentang Hubungan antara Negara dan

Agama

Visi bernegara Indonesia tentang hubungan antara negara dan agama

bersifat ambigu (lihat kembali supra Sub-judul A). Negara Indonesia menolak

predikat sebagai negara agama dan sebagai negara sekuler.116

Kondisi ini

menimbulkan dampak negatif pada aras kebijakan negara berkenaan dengan soal-

soal keagamaan. Walaupun kebebasan beragama merupakan hak yang universal,

namun pelaksanaan perlindungan terhadap hak tersebut di Indonesia sangat

dipengaruhi oleh visi yang ambigu tentang hubungan antara negara dan agama.

Konsekuensi logisnya adalah ketiadaan batasan secara tegas terhadap kekuasaan

intervensionis negara untuk soal-soal keagamaan.

Hal ini merupakan keprihatinan serius sejumlah tokoh bangsa yang

memiliki aspirasi supaya kemajemukan Indonesia dikelola berdasarkan asas

pluralisme, bukan eksklusivisme. Salah satu tokoh bangsa yang sangat concern

dengan isu ini adalah K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur secara tegas

menentang pencampuradukan urusan agama dan negara, serta memilih untuk

berpihak pada asas pluralisme sebagai dasar hubungan antara negara dan

agama.117

Gus Dur meminta legislator untuk melihat Pancasila sebagai dasar

negara serta prinsip non-diskriminasi dalam kebebasan beragama, sehingga tidak

terjadi intervensi yang berlebihan pada urusan agama yang berujung pada

116

Nicola Cobran, Op. Cit., hlm. 683. “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan hasil kompromi

antara kelompok pendukung nasionalisme sekuler dan kelompok yang menginginkan Islam

sebagai dasar negara.

117 Abdurrahman Wahid, Membangun Demokrasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999, hlm. 29.

Page 51: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

105

diskriminasi.118

Agama ditekankan hanya sebagai dasar moral dalam kehidupan

bernegara, bukan sebagai dasar penyusunan peraturan perundang-undangan.119

Perdebatan mengenai konsep hubungan negara dan agama mencapai

konsensus puncak dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara menjamin

kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama apa pun dan untuk

menjalankan ibadahnya sesuai dengan agama masing-masing.120

Namun desain

konstitusional tersebut tidak cukup kuat untuk membentengi hak atas kebebasan

beragama di Indonesia. Sehingga yang kemudian terjadi, peraturan perundang-

undangan sebagai pengaturan mengenai persoalan keagamaan di Indonesia tidak

mampu memberikan perlindungan terhadap hak atas kebebasan beragama bagi

setiap orang sebagai hal yang prinsip. Sebaliknya, hal itu justru menjadi legitimasi

bagi pemerintah untuk melakukan intervensi secara berlebihan dan sekaligus

menjadi alasan bagi sebagian orang untuk bersikap tidak toleran terhadap

penganut agama berbeda. Hal ini adalah sumber utama inkoherensi pengaturan

hukum nasional dengan hukum internasional sebagaimana akan didiskusikan

selanjutnya di bawah.

3. Prinsip Non-Intervensi dan Prinsip Non-Diskriminasi

Isu inkoherensi pertama yang menjadi perhatian penulis adalah hak atas

kebebasan beragama dengan dimensi internal, yaitu hak untuk meyakini suatu

118

Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004, hlm. 181-202.

119 Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, Depok: Desantara, 2001,

hlm. 95.

120 Adnan Buyung Nasution, Op. Cit. Hlm. 102.

Page 52: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

106

agama/kepercayaan. Berdasarkan pembahasan sebelumnya diketahui bahwa pada

dimensi internal ini sifat yuridis dari hak atas kebebasan beragama adalah absolut,

menyangkut hubungan antara individu dengan agama/keyakinannya yang bersifat

batiniah atau rohaniah. Oleh karena itu, terhadap hak dengan dimensi internal ini,

yang berlaku sebagai bentuk perlindungan hukumnya adalah prinsip non-

intervensi.

Prinsip non-intervensi mengehendaki adanya kewajiban negara untuk

menghormati HAM yang dimiliki oleh setiap warganya. Kebebasan meyakini

suatu agama termasuk dalam dimensi internal kebebasan beragama, yang

bermakna bahwa hak tersebut tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun dalam

keadaan apapun. Oleh karena itu, negara tidak berhak untuk melakukan segala

bentuk intervensi termasuk pembatasan terkait hak a quo.

Keberlakuan prinsip non-intervensi diperkuat oleh prinsip non-

diskriminasi yang melarang diskriminasi dalam penikmatan HAM yang dijamin.

Setiap orang memiliki hak yang sama atas penikmatan HAM-nya tanpa adanya

pembedaan dalam bentuk apapun berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin,

bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, asal nasional atau sosial,

kepemilikan, kelahiran atau status lainnya. Prinsip non-diskriminasi dalam HAM

menjadi tanggungjawab setiap institusi penegak HAM, khususnya pemerintah.121

Berdasarkan pengertian di atas maka penulis berargumen bahwa hukum

nasional Indonesia, dalam pokok-pokok pengaturan tertentu, telah gagal

121

Paul Sieghart dalam Nihal Jayawickrama, Op. Cit. Hlm. 175.

Page 53: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

107

memenuhi tuntutan prinsip non-intervensi, sehingga terjadi inkoherensi antara

pengaturan hukum nasional Indonesia dengan pengaturan hukum internasional.

Pemicu dari kegagalan tersebut adalah kecenderungan intervensionis serta sikap

diskriminatif dalam kebijakan negara yang diwarnai oleh perspektif mayoritas

yang sulit menerima perbedaan dengan minoritas. Pada paragraf-paragraf

selanjutnya di bawah penulis akan menjustifikasi argumen tersebut.

a. Hak untuk Beragama serta Hak untuk Tidak Beragama

Perlindungan terhadap hak untuk beragama serta hak untuk tidak

beragama didasarkan pada prinsip non-intervensi serta non-diskriminasi. Negara

wajib menghormati HAM yang dimiliki oleh setiap warganya tersebut, serta tidak

berhak untuk melakukan segala bentuk intervensi termasuk pembatasan terkait

hak a quo. Lebih lanjut prinsip non-diskrimisasi melarang diskriminasi dalam

penikmatan hak-hak asasi manusia yang dijamin. Negara tidak boleh melakukan

justifikasi sepihak mengenai agama yang resmi ataupun agama yang belum

diakui. Setiap warga negara harus mendapatkan hak kebebasannya dalam

menentukan pilihan agama.122

Namun dalam praktik hukum nasional Indonesia, terdapat pemberian

predikat “agama resmi” dan “agama yang belum diakui” terhadap

agama/kepercayaan yang ada.123

Hal tersebut menunjukkan adanya inkonsistensi

122

Nicola Cobran, Op. Cit., hlm. 692.

123 Penjelasan UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan

Agama jo. Pasal 8 ayat (2), Pasal 61 ayat (4), dan Pasal 64 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2006

tentang Administrasi Kependudukan.

Page 54: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

108

pengakuan negara terhadap kebebasan beragama. Di satu sisi negara menyatakan

adanya kebebasan yang absolut bagi setiap warga negara untuk meyakini suatu

agama/kepercayaan124

, namun di sisi lain kebebasan tersebut justru dibatasi

dengan adanya klausul “agama resmi” dan “agama yang belum diakui”. Hal ini

menunjukkan adanya diskriminasi bagi kaum minoritas yang ada di dalam suatu

negara, terutama bagi warga negara yang memeluk “agama yang belum diakui”.

Selanjutnya, hukum nasional Indonesia juga belum mengakomodasi hak

warga negaranya untuk tidak beragama. Meskipun secara implisit hak tersebut

sudah terdapat dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 jis. Pasal 28E ayat (1) jo. ayat

(2) UUD 1945 dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, namun tidak adanya pengaturan

mengenai kebebasan tersebut serta adanya klausul “agama resmi” dan “agama

yang belum diakui” justru menimbulkan pemahaman bahwa tidak ada kebebasan

untuk tidak beragama sebagai bentuk kebebasan memeluk suatu

agama/kepercayaan.

Berikut ini adalah beberapa isu inkoherensi pengaturan hukum nasional

terhadap hukum internasional terkait dengan hak/kebebasan untuk beragama/tidak

beragama. Pertama, intervensi negara berkenaan dengan persoalan administrasi

kependudukan. Pasal 61 jo. Pasal 64 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan adalah bentuk intervensi terhadap hak atas kebebasan beragama

yaitu hak untuk beragama/tidak beragama. Pengaturan tersebut kurang

mengakomodasi kepentingan warga negara yang memiliki agama/keyakinan yang

124

Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 jis. Pasal 28E ayat (1) jo. ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28I ayat

(1) UUD 1945

Page 55: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

109

selama ini tidak diakui sebagai “agama resmi” berdasarkan UU No. 1/PNPS/1965

tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Oleh karena itu,

supaya UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dapat

dijalankan tanpa melanggar atau bertentangan dengan hak atas kebebasan

beragama maka seyogianya persepsi keliru tentang “agama resmi” dihilangkan

terlebih dahulu.

Pencantuman identitas keagamaan tidak seyogianya bersifat imperatif,

tetapi fakultatif dengan asumsi bahwa pencantuman identitas keagamaan tersebut

harus didasarkan pada prior consent dari individu yang bersangkutan. Keharusan

mencantumkan agama dalam dokumen kependudukan tersebut menunjukkan

adanya inkonsistensi pengakuan negara terhadap kebebasan beragama. Dalam

ketentuan tersebut sebenarnya yang diberi kebebasan memeluk dan beribadah

hanyalah pemeluk agama resmi. Implikasinya, warga negara yang

agama/kepercayaannya tidak diakui menjadi tidak dapat mencantumkan

agamanya ke dalam dokumen kependudukan.125

Hal ini menunjukkan adanya

diskriminasi bagi kaum minoritas yang ada di dalam suatu negara, serta negara

telah melanggar prinsip non-intervensi terhadap hak absolut. Walaupun tidak ada

ketentuan dalam hukum internasional yang secara jelas mengatur hal itu, namun

hak untuk mencantumkan atau untuk tidak mencantumkan agama yang dipeluk

telah dijamin berdasarkan hak atas privacy yang dimiliki oleh setiap orang.126

125

Pasal 61 jo. Pasal 64 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

126 General comment No. 16: Article 17 (Right to privacy) paragraf 1, hak atas privacy tidak dapat

dikenai intervensi dalam hal apapun oleh siapapun termasuk oleh negara. Sebaliknya, negara

Page 56: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

110

Kedua, inkoherensi dalam pengaturan mengenai pencatatan perkawinan.

Hukum internasional mengakui hak laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa,

dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, untuk menikah

dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal

perkawinan, serta tidak boleh menerima perlakuan diskriminatif, termasuk

terhadap persoalan agama.127

Pengaturan ini sejalan dengan aturan hukum

nasional Indonesia berupa Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) UU

No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan setiap orang berhak

membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

Aturan hukum nasional Indonesia tidak mengakomodasi hak untuk

melangsungkan perkawinan, karena tidak memberikan pengakuan pelaksanaan

perkawinan pemeluk agama yang belum diakui, serta perkawinan antar agama.

Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan perkawinan sah apabila

dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. UU No.

23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan PP No. 37 Tahun 2007

tentang Pelaksanaan No. 23 Tahun 2006 berupaya untuk mengakomodasi

kemungkinan pencatatan perkawinan bagi pemeluk agama yang belum diakui.128

Namun pengaturan tersebut justru menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap

golongan minoritas yang agamanya belum diakui, karena terjadi pengosongan

identitas agama.

harus melindungi kebebasan tersebut dengan membuat aturan yang melarang adanya gangguan

terhadap hak tersebut.

127 Article 16 (1) UDHR, Article 23 (2) ICCPR, Article 12 ECHR serta Article 17 (2) ACHR

128 Pasal 81 ayat (2) PP No. 37 Tahun 2007.

Page 57: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

111

Selanjutnya, pengaturan nasional Indonesia juga tidak mengakomodasi hak

setiap warga negara untuk melangsungkan perkawinan antar agama. Hal ini

dikarenakan adanya kekosongan pengaturan dalam undang-undang129

serta

pemahaman secara sempit klausul “perkawinan sah apabila dilakukan menurut

hukum masing-masing agama dan kepercayaannya”. Klausul yang terdapat dalam

Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tersebut sering menjadi dasar penolakan

pencatatan perkawinan di Indonesia, seperti yang terjadi dalam kasus Sudiningsih

and Geluk v. Head of the Jakarta Civil Registry. Pengadilan menyatakan bahwa

ketika terjadi penolakan perkawinan antar agama baik dari segi pelaksanaannya

maupun pencatatannya, maka dalam perspektif HAM hal tersebut jelas

bertentangan dan melanggar prinsip-prinsip yang dikandung oleh HAM terutama

hak beragama dan berkeluarga yang merupakan hak sipil seseorang.130

Meskipun dalam praktik beberapa putusan pengadilan telah memberikan

jaminan bagi keabsahan perkawinan beda agama, namun pelanggaran HAM

berupa diskriminasi oleh UU No. 1 Tahun 1974 tetap terjadi karena

pengaturannya yang inkoheren dengan jaminan perlindungan HAM secara

internasional meghalangi orang-orang berbeda agama untuk melangsungkan

perkawinan masih eksis. Oleh karena itu perlu jaminan oleh undang-undang

secara eksplisit bahwa perkawinan beda agama diperbolehkan. Dengan

pengaturan demikian maka efek yuridisnya adalah akan terjadi koherensi.

129

Adriaan Bedner, Administrative Courts in Indonesia, The Hague: Kluwer Law International.

2001, hlm. 177.

130 Ibid.

Page 58: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

112

b. Hak untuk Berganti Agama

Kebebasan untuk berganti agama tidak dijamin secara eksplisit dalam

hukum nasional Indonesia. Hal ini berbeda dengan pengaturan dalam hukum

internasional. Meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, akan tetapi jaminan atas

kebebasan untuk berganti agama telah diberikan oleh konstitusi maupun peraturan

perundang-undangan. Indonesia menghadapi pilihan yang sulit dalam menentukan

metode formulasi atas hak tersebut karena terkait dengan sejarah konstitusional

yang rumit dalam mengakomodasi pendapat kelompok agama tertentu. Akibatnya,

selalu terjadi pasang surut dalam pro dan kontra. Akan tetapi hal fundamental

yang harus disepakati adalah prinsip non-intervensi berlaku mutlak dalam kasus

ini. Kegagalan negara mencegah pihak ketiga untuk tidak mengintervensi

kebebasan berganti agama pada seseorang sama bobotnya dengan negara sendiri

yang melakukan intervensi.

Hukum internasional dan hukum nasional Indonesia mengakui bahwa

setiap orang berhak untuk memilih dan berpindah agama atau kepercayaan dengan

bebas. Namun hak tersebut tidak dinyatakan secara eksplisit dalam pengaturan

hukum nasional Indonesia, hanya secara implisit terdapat dalam Pasal 29 ayat (2)

UUD 1945 jis. Pasal 28E ayat (1) jo. ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28I ayat (1)

UUD 1945. Sedangkan hukum internasional mengakui secara eksplisit dalam

Article 18 UDHR dan Article 9 (1) ECHR. Ketiadaan pernyataan eksplisit

mengenai kebebasan berganti agama di Indonesia dapat menghambat kebebasan

Page 59: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

113

itu sendiri, bahkan muncul kesan bahwa berganti agama tidak dibenarkan secara

yuridis.

c. Hak Anak untuk Menentukan Agama

Hukum internasional dan hukum nasional Indonesia mengakui adanya hak

anak atas kebebasan beragama.131

Namun pengaturan mengenai hak anak tersebut

berimplikasi terhadap isu adopsi terkait proteksi kebebasan beragama anak oleh

orang tua angkatnya.

Pengaturan tentang adopsi di Indonesia memuat ketentuan mengenai

agama sebagai salah satu syarat keabsahan pengangkatan anak yakni calon orang

tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.132

Pengaturan tersebut membatasi hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.

Ketika seorang anak menjadi tidak dapat diasuh oleh orang yang dapat

mengasuh demi kebaikannya karena kendala agama, maka sebenarnya telah

terjadi pembatasan terhadap hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.

Pengaturan hukum nasional Indonesia justru diskriminatif terhadap anak yang

hendak diadopsi.

131

Article 14 Convention on the Rights of the Child dan Pasal 6 jo. Pasal 42 ayat (1) dan (2) UU

No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

132 Pasal 39 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 3 ayat (1) jo.

Pasal 13 huruf c PP No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

Page 60: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

114

Pengaturan tersebut tidak sejalan dengan hukum internasional yang di

dalamnya tidak memuat ketentuan yang mengatur mengenai agama dalam proses

adopsi.133

Pelaksanaan adopsi anak semata-mata dilakukan dengan dilandasi

prinsip demi kepentingan terbaik anak.134

Kepentingan terbaik anak artinya di

dalam semua tindakan yang menyangkut anak, maka apa yang terbaik bagi anak

haruslah menjadi pertimbangan yang utama.135

4. Prinsip Toleransi

Kebebasan ekspresi keagamaan adalah persoalan yang rumit dalam

masyarakat pluralistik seperti Indonesia. Dengan setiap orang memiliki kebebasan

untuk mengekspresikan agama/kepercayaannya maka peran negara dalam

persoalan keagamaan menjadi semakin kompleks untuk mencegah supaya tidak

timbul konflik berkenaan dengan relasi antar umat beragama.

Prinsip toleransi ialah prinsip yang seyogianya melandasi hubungan

horizontal antar warga negara ketika memanifestasikan kebebasan ekspresi

keagamaannya. Prinsip toleransi berfungsi melindungi kebebasan beragama

dengan menempatkan beberapa batasan pada ekspresi keagamaan.136

Berbicara

tentang kebebasan untuk mengekspresikan agama/keyakinan, hubungan yang

terbentuk bukan hanya antara individu dengan Tuhannya, namun juga dengan

133

Article 21 Convention on the Rights of Child.

134 Ingvill Thorson Plesner, Op. Cit., hlm. 650-651.

135 Article 3 Convention on the Rights of Child.

136 Melissa S. Williams, Op. Cit., Hlm. 8.

Page 61: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

115

individu lain (dimensi eksternal). Oleh karena itu yang perlu ditekankan adalah

adanya toleransi yang ujungnya demi menghormati hak-hak orang lain.137

Jika kebebasan meyakini suatu agama/keyakinan merupakan hak yang

absolut, hak untuk menjalankan/memanifestasikan suatu agama/kepercayaan

merupakan hak yang dapat dibatasi pelaksanaannya dengan syarat tertentu.

Dengan kata lain, negara dapat mengintervensi kebebasan ini. Pembatasan berupa

undang-undang sebagai perwujudan toleransi memang diperbolehkan, sepanjang

pembatasan tersebut proporsional.138

Pembatasan harus memperhatikan

keseimbangan yang dicapai antara tujuan pembatasan hak dengan elemen penting

dari hak yang diakui.139

Pembatasan terhadap hak untuk menjalankan/mengekspresikan

agama/keyakinannya di dalam hukum nasional Indonesia didasarkan pada hak

kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan

pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam

suatu masyarakat demokratis.140

Namun pembatasan yang didasarkan nilai-nilai

agama tidak sesuai dengan kriteria pembatasan yang terdapat dalam hukum

137

Nihal Jayawickrama, Op. Cit., hlm. 8.

138 Ibid, hlm. 189. Chassagnou v. France, European Court, (1999) 29 EHRR 615. Dalam kasus ini

pengadilan membenarkan intervensi yang dilakukan oleh negara sepanjang pembatasan yang

dikenakan pada hak harus proporsional dengan tujuan sah yang ingin dicapai.

139 Ibid. Rassemblement Jurassien & Unit´e Jurassienne v. Switzerland, European Commission,

(1980) 17 Decisions & Reports 93. Lihat juga kasus State v. Smith, High Court of Namibia,

[1997] 4 LRC 330. Kedua kasus tersebut menitikberatkan proporsionalitas sebagai dasar

pemberian pembatasan hak.

140 Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

Page 62: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

116

internasional.141

Hal ini dikarenakan pembatasan tersebut justru menyebabkan

timbulnya diskriminasi terhadap golongan minoritas.

Pada Sub-judul ini penulis akan mengidentifikasi inkoherensi pengaturan

hukum internasional dan hukum nasional Indonesia berkenaan dengan kebebasan

untuk menjalankan/mengekspresikan agama/keyakinan yang meliputi: a) hak

untuk bebas menjalankan agama sesuai tafsir yang diyakini; b) hak untuk

mendirikan tempat ibadah; serta c) hak untuk membela/mempertahankan agama

yang diyakini. Terkait dengan hak-hak itu penulis berargumen bahwa aturan

hukum nasional Indonesia gagal dalam merealisasikan prinsip toleransi yang

sangat penting antar umat beragama. Bahkan dalam hal-hal tertentu pengaturan

hukum nasional Indonesia justru mendorong munculnya perilaku tidak toleran

sehingga hal itu sering menimbulkan konflik antar umat beragama. Lebih jauh

lagi, Indonesia telah gagal dalam merealisasikan kewajiban to protect melalui

peraturan perundang-undangannya.

a. Hak untuk Bebas Menjalankan Agama sesuai Tafsir yang

Diyakini

Dalam rangka mengekspresikan kebebasan menjalankan agama sesuai

tafsir yang diyakini, pembatasan terhadap hak tersebut dapat diberlakukan.142

141

Article 18 (3) ICCPR, Article 9 (2) ECHR, Article 12 (3) ACHR.

142 Article 18 ICCPR, Pasal 28J UUD 1945. Lihat juga Nicola Cobran, Op. Cit. Hlm. 724.

Page 63: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

117

Pembatasan tersebut berkaitan dengan toleransi yang ditujukan untuk

menghormati hak-hak orang lain.143

Hak untuk bebas menjalankan agama sesuai tafsir yang diyakini di

Indonesia mendapatkan beberapa pengaturan berupa UU No. 1/PNPS/1965

tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama serta yang lebih

spesifik SKB No: 3 Tahun 2008. Substansi pengaturan-pengaturan tersebut adalah

pembatasan terhadap hak. Namun yang menjadi isu adalah substansi pembatasan

hak tersebut cenderung eksesif karena menghilangkan makna kebebasan dalam

menjalankan ajaran agama sesuai dengan tafsir yang diyakini. Ketika ada

seseorang yang beribadah sesuai keyakinannya namun tafsirannya tidak sama

persis dengan ajaran agamanya tersebut, maka ia dianggap melakukan kejahatan

penodaan agama sesuai dengan Pasal 156a KUHP.

Pembatasan hak dalam menjalankan agama di Indonesia melalui UU No.

1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

serta SKB No: 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut,

Anggota, dan/atau Anggota Pengurus JAI tidak tepat dan tidak proporsional. Hal

ini dikarenakan pembatasan dilatarbelakangi adanya pencampuradukan

kepentingan stabilitas politik atau keamanan negara, bukan atas dasar melindungi

keamanan pribadi pemeluk agama.144

Ketentuan tersebut justru menjadi pintu

masuk diskriminasi yang berujung kekerasan terhadap pemeluk agama yang

seharusnya dilindungi.

143

Nihal Jayawickrama, Op. Cit, Hlm. 8.

144 Ibid, hlm. 185.

Page 64: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

118

Negara seharusnya tidak melakukan intervensi terhadap “keabsahan” suatu

agama/kepercayaan. Negara tidak boleh membuat pengaturan yang justru menjadi

sumber perlakuan diskriminasi terhadap warganya.145

Seharusnya pengaturan

yang disusun mengakomodasi toleransi, sehingga kerukunan antar umat beragama

terwujud.

b. Hak untuk Mendirikan Tempat Ibadah

Mendirikan tempat ibadah merupakan salah satu perwujudan kebebasan

menjalankan/mengekspresikan agama yang diyakini.146

Hak untuk mendirikan

tempat ibadah yang merupakan dimensi eksternal hak atas kebebasan beragama

dapat dibatasi sepanjang pembatasan tersebut proporsional serta tidak boleh

dikenakan untuk tujuan atau dilaksanakan dengan cara diskriminatif.147

Hukum internasional memberikan pengakuan atas hak ini secara implisit

dalam klausul kebebasan menjalankan/mengekspresikan suatu agama/keyakinan.

Sedangkan hukum nasional Indonesia memberikan pengaturan secara spesifik

berupa PBM No: 9 Tahun 2006 dan No: 8 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah

Ibadah yang memuat syarat pendirian rumah ibadah. Pengaturan ini membatasi

kebebasan umat beragama dalam mengekspresikan agama/keyakinannya secara

publik untuk melaksanakan ibadah secara kolektif dan menyebarkan agamanya

melalui rumah ibadah. Pengaturan ini memuat persyaratan yang kaku berupa

145

Cole Durham, Loc. Cit. General Comment No. 22: Article 18 ICCPR paragraf 8.

146 General comment No. 22: Article 18 ICCPR paragraf 4.

147 Cole Durham, Loc. Cit. General comment No. 22: Article 18 ICCPR paragraf 8.

Page 65: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

119

kewajiban pengumpulan dukungan dari masyarakat setempat sebagai syarat untuk

mendirikan rumah ibadah. Hal ini menghalangi hak kelompok penganut agama

minoritas untuk menjalankan agamanya.148

Pengaturan demikian inkoheren

dengan jaminan perlindungan terhadap HAM melalui hukum internasional.

Meskipun intervensi negara berupa penetapan syarat-syarat administratif

pendirian rumah ibadah sah menurut hukum internasional,149

namun pengaturan

hukum nasional Indonesia mengenai rumah ibadah tersebut justru memancing

adanya pemanfaatan posisi dominan warga negara terhadap kelompok minoritas.

Pembatasan berupa aturan oleh negara Indonesia justru tidak sesuai dengan

prinsip toleransi.

c. Hak untuk Membela/Mempertahankan Agama yang Diyakini

Hak untuk membela/mempertahankan agama yang diyakini merupakan

konsekuensi pembahasan tentang hak untuk bebas memeluk dan menjalankan

agama sesuai tafsir yang diyakini. Hak tersebut dihadapkan dengan situasi yang

menunjukkan adanya interpretasi yang berbeda satu sama lain mengenai suatu

agama.150

Prinsip toleransi memberikan acuan terhadap pelaksanaan hak ini,

148

Jazim Hamidi, Op., Cit., Hlm. 124-125.

149 Manousakis and Others v. Greece, 23 EHRR 387 (1997) (EctHR 1996-IV, 26 September

1996).

150 General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion)

paragraf 8.

Page 66: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

120

dimana hubungan horizontal antar umat beragama harus mentolerir satu sama lain

walaupun mereka menganggap keyakinan satu sama lain adalah berseberangan.151

Dalam pengaturan hukum Indonesia, salah satu perwujudan kebebasan

berekspresi oleh setiap atau sekelompok orang adalah mempertahankan agamanya

di muka umum. Pasal 9 UU No. 9 Tahun I998 tentang Kemerdekaan

Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menyatakan bahwa bentuk

penyampaian pendapat di muka urnum dapat dilaksanakan dengan unjuk

rasa/dernonstrasi, pawai, rapat umurn, dan/atau mimbar bebas. Pelaksanaan hak

mempertahankan agama sebagai wujud kebebasan berekspresi harus tetap

menghormati hak orang lain. Oleh karena itu segala tindakan anarkis dalam upaya

perwujudan hak merupakan sesuatu yang dilarang.

Pembatasan hak untuk berekspresi dalam mempertahankan

agama/keyakinannya ini sudah sesuai dengan prinsip toleransi. Hal ini ditujukan

untuk mencegah adanya tindakan anarkis, dikarenakan tidak seorangpun dapat

memaksakan pendapat atau agama atau keyakinannya terhadap orang lain dalam

rangka mempertahankan agamanya.152

Pertentangan terhadap prinsip toleransi

dilatarbelakangi adanya SKB No: 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah

Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus JAI yang melarang

penyebarluasan ajaran Ahmadiyah yang justru menjadi pintu masuk tindakan

anarkis itu sendiri. Pengaturan ini menimbukan justifikasi sepihak tentang

151

Melissa S. Williams, Op. Cit., Hlm. 5.

152 General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion)

paragraf 3.

Page 67: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

121

kebenaran/kesesatan suatu agama yang berujung tindakan anarkis terhadap

golongan tertentu.

d. Hak untuk Menyebarluaskan Ajaran Agama

Penyebaran agama merupakan tindakan ekspresif yang dilakukan dengan

tujuan mencoba mengubah keyakinan agama orang lain.153

Oleh karena itu praktik

pengajaran agama terhadap penganut atau non-penganut agama tetap diakui dalam

hukum internasional154

sepanjang tidak memenuhi kriteria pembatasan yang

diperbolehkan. Pembatasan yang paling utama dalam kebebasan ini ialah hak

asasi orang lain yang menjadi sasaran penyebaran agama. Sedangkan bentuk

penyebaran agama yang dilarang menuru hukum internasional adalah (a)

penyebaran agama secara tidak patut (proselytism), (b) penghujatan (blasphemy),

serta (c) pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan selebihnya dari

orang-orang lain.155

Hukum nasional Indonesia menyediakan aturan tentang penyebaran agama

berupa SKB No. 1 Tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama.

Namun pembatasan atas kebebasan menyebarkan agama di Indonesia melalui

SKB tersebut terlampau eksesif karena mengabaikan batasan bahwa substansi dari

hak tersebut juga meliputi hak untuk mencoba meyakinkan orang lain untuk

153

Tad Stahnke, Hak untuk Melakukan Persuasi Keagamaan Op. Cit., hlm. 531.

154 General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion)

paragraf 5.

155 Tad Stahnke, Op. Cit. hlm. 222-230.

Page 68: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

122

meyakini agamanya.156

Hal ini merupakan bentuk inkoherensi antara hukum

internasional dan hukum nasional Indonesia yang seharusnya melindungi

kebebasan penyebarluasan agama.

Mengingat kebebasan beragama merupakan bagian dari HAM yang

dilindungi oleh hukum nasional dan hukum internasional secara universal,

pemberian perlindungan terhadap kebebasan beragama harus koheren sebagai

sebuah sistem, serta segala bentuk inkoherensi harus ditiadakan. Upaya

harmonisasi tersebut secara umum akan dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, Indonesia seyogianya mengadopsi konsep hubungan negara dan

agama yang tegas supaya tidak terjadi lagi ambiguitas perlindungan terhadap hak

atas kebebasan beragama. Kedua, negara harus menghilangkan persepsi “agama

resmi” serta “agama yang belum diakui” terlebih dahulu agar tidak terjadi

diskriminasi. Penghilangan persepsi tersebut dilakukan dengan cara memperbaiki

peraturan perundang-undangan terkait yakni UU No. 23 Tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan serta UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Selanjutnya, negara tidak boleh

melakukan intervensi terhadap hak atas privacy yang dimiliki oleh setiap warga

negara berupa hak untuk mencantumkan/tidak mencantumkan agamanya dalam

dokumen kependudukan. Negara juga harus memberikan pengaturan yang

mengakomodasi hak untuk melaksanakan perkawinan antar agama sebagai bagian

dari hak untuk melangsungkan perkawinan yang merupakan hak absolut. Selain

itu negara harus memberikan pengaturan secara eksplisit mengenai hak untuk

156

Kokkinakis v. Greece, 17 EHRR 397 (1994) (EctHR 260-A, 25 Mei 1993).

Page 69: erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2672/4/T1_312008032_BAB III... · negara dan agama di Indonesia ... berbunyi

123

berpindah agama/kepercayaan dengan bebas termasuk hak untuk tidak memeluk

agama.

Sebagai tambahan, untuk mengakomodasi hak anak untuk beragama

legislator harus memperbaiki pengaturan mengenai adopsi tentang persyaratan

agama orang tua harus sama dengan agama anak yang hendak diadopsi. Karena

hal tersebut akan menimbulkan diskriminasi serta bertentangan dengan prinsip

demi kepentingan terbaik anak. Lebih jauh lagi negara harus memberikan

peraturan perundang-undangan yang mengakomodasi toleransi antar umat

beragama. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan memberikan pembatasan yang

proporsional terhadap hak untuk menjalankan/mengekspresikan

agama/kepercayaannya. Pembatasan yang proporsional akan mereduksi adanya

praktik diskriminasi terhadap golongan minoritas yang selama ini terjadi di

Indonesia.